Ceritasilat Novel Online

Cheng Hoa Kiam 32


Cheng Hoa Kiam Karya Kho Ping Hoo Bagian 32



"Demikianlah, nona. Kalian sudah mendengar riwayatku yang tak menyenangkan, riwayat seorang tolol yang bermata buta. Dapat kalian bayangkan betapa kaget dan bahagia hatiku melihat kalian berdua yang dalam segala hal merupakan Siok Lan ke dua. Dapat kalian bayangkan betapa bahagia hatiku akan pesan ibu kalian tentang ikatan jodoh itu........ seakan-akan ikatan jodoh antara aku dan Siok Lan disambung kembali......... seakan-akan Siok Lan yang sudah mati hidup kembali dan akan berada di sampingku untuk selamanya.........."

   Dua orang gadis itu hanya terisak, tak kuasa menjawab atau memberi komentar.

   "Akan tetapi..........aku tidak begitu picik, aku tidak akan mengulang kebodohanku. Aku tidak dapat menurutkan nafsu hati, menurutkan cinta kasih yang menggeragoti hatiku. Paman lelah memesan kepadaku bahwa aku telah ditunangkan kembali dengan puteri Kwa Cun Ek lo enghiong, dan paman memesan supaya kali ini aku tidak mengulangi kemurtadanku. Tidak! Kukatakan sudah, siapapun juga tunanganku itu, kali ini aku akan patuh, akan taat karena hanya kebaktian terhadap pamankulah perbuatan baik satu-satunya yang dapat kulakukan........."

   "......... kau seorang yang berbakti"

   Hanya demikian Lin Lin dapat berkata.

   "......... kasihan sekali kau........."

   Sambung Lan Lan sambil menghapus air matanya.

   Tiba tiba Wi Liong menggerakkan tangan, menggunakan ujung lengan baju mengusir dua titik air matamya, lalu ia memaksa diri tersenyum.

   "Ah, aku benar gila. Kenapa aku membikin kalian menjadi sedih dan terharu oleh ceritaku yang tak berharga? Tidak boleh! Kalian merupakan dua orang yang paling kuhormati, paling kusayang dan yang takkan kubiarkan berduka. Kalian benar-benar seperti Siok Lan. Biarlah selamanya aku akan menjadi pelindung kalian. Mengapa sekarang aku membikin kalian berduka? Jiwi siocia. hilangkanlah keharuan dan kesedihan, biar kalian gembira dengarlah aku berlagu."

   Wi Liong lalu mengangkat suling, menempelkan bibir pada sulingnya dan tak lama kemudian terdengarlah tiupan suling yang amat merdu, mengalun turun naik dengan nada yang halus menggetarkan kalbu. Memang Wi Liong pandai sekali bersuling. Kali ini ia mencurahkan seluruh isi hatinya ke dalam tiupannya karena ia berusaha mengalihkan semua perasaannya yang timbul karena ceritanya tadi ke dalam permainan suling ini. Ia yang meniup suling sama sekali tidak sadar bahwa justeru karena inilah maka tiupannya sama sekali bukan merupakan hiburan, malah terdengar menyayat hati kedua orang gadis itu. Semua penderitaan, duka nestapa, kekecewaan dan kemenyesalan, rindu yang amat mendalam, kasih sayang yang semesra-mesranya, semua perasaan ini timbul dari dada Wi Liong, memasuki suling melalui tiupannya dan menciptakan lagu yang membuat Lan Lan dan Lin Lin merasa hatinya diremas-remas. Lin Lin tanpa disadarinya meraba- raba sepatu kecil yang tersimpan di balik baju, di dadanya, sedangkan Lan Lan membelai-belai rambut sendiri yang terjuntai di depan. Tak terasa air mata hangat yang baru mengucur turun membasahi pipi kedua orang gadis kembar itu. mata mereka menatap Wi Liong yang tunduk menyuling, lupa segala seperti orang berada di dunia lain.

   Wi Liong yang sedang tenggelam dalam ayunan perasaannya sendiri, tiba tiba merasa sulingnya direnggut orang dibarengi pekik.

   "Berhenti........! Laki-laki bodoh, laki-laki gagah perkasa yang berbatin lemah.......! Kau....... kau.........!!"

   Wi Liong melongo melihat betapa Lin Lin dengan marah marah merenggut sulingnya terlepas dan membanting suling itu ke dalam api unggun! Akan tetapi suling itu terbuat dari pada logam yang kuat tahan api, maka tidak terbakar. Wi Liong juga tidak perdulikan sulingnya lagi. Ia menatap ke depan, ganti-berganti memandangi dua orang gadis itu. Lin Lin marah-marah dan sinar mata dan sikapnya persis Siok Lan ketika dulu marah-marah kepadanya, ketika dikejarnya dan memaki-makinya. Kini Lin Lin memandangnya dengan mata terbelalak lebar, air mata memenuhi pipi dan wajahnya agak pucat. Sebaliknya. Lan Lan duduk bersimpuh dengan muka tunduk dan menangis terisak-isak. Tak disangkanya sama sekali dua orang gadis itu berada dalam keadaan seperti itu.

   "Ada......... ada apakah.........? Kenapa marah.........?'"

   Dengan muka bodoh Wi Liong mengambil sulingnya dari api unggun, sampai tidak merasa betapa tangannya sakit karena terjilat api.

   "Laki laki bodoh!"

   Lin Lin marah-marah terus.

   "Kau meracuni jiwa dengan kesedihan, merusak pikiran dengan kenangan lampau. Alangkah bodohnya, seperti hidup di dunia lain. Bukankah kau sudah......... sudah ditunangkan dengan puteri Kwa Cun Ek? Bukankah kau malah sudah menjadi tunangan puteri Tunghai Sian-li? Kenapa menyesali nasib dan berduka cita seperti itu? Iih, alangkah lemahnya!"

   Anehnya, habis marah-marah Lin Lin menangis.

   "Itulah........."

   Wi Liong menarik napas panjang.

   "Riwayat lama terulang kembali. Hatiku terhibur karena kalian, kebahagiaan membayang karena aku mendapat pengganti Siok Lan, akan tetapi kenyataan amat keji. Paman telah mengikatku dengan perjodohan lain. Persis seperti dulu lagi........."

   "Dan persis kau setolol dulu!"

   Lin Lin memaki, kemudian ia teringat bahwa ia bersikap keterlaluan terhadap seorang yang baru tadi masih ia sebut "tuan", apa lagi sekarang Wi Liong memandangnya dengan mata kagum.

   "Alangkah sama......."

   Katanya.

   "Apanya yang sama?"

   Lin Lin bertanya.

   "Kalau marah............. begitulah dulu Siok Lan marah-marah kepadaku....."

   Kemudian ia melirik Lan Lan.

   "dan begini ketika berduka."

   "Lagi-lagi Siok Lan............!"

   Lan Lan mencela.

   "Tidak, dengan adanya ji-wi siocia (nona berdua)........."

   "Apa itu nona-nona? Setelah kita menjadi......... sahabat, apa lagi menjadi tunangan kami......... eh, seorang di antara kami. tak perlu lagi bersungkan- sungkan dalam sebutan, tuan Thio yang terhormat,"

   Cela Lin Lin.

   Wi Liong tersenyum, lalu mengangguk-angguk.

   "Baiklah, aku akan menyebut kalian moi-moi (adik). Tentang ikatan perjodohan......... harap jangan sebut- sebut agar luka di hatiku tidak parah lagi. Seperti kalian tahu, aku sudah bertunangan dan............"

   "Apa salahnya?"

   Lin Lin memotong "Kau bisa mengawini tunanganmu si monyet atau si kadal itu, juga dapat melanjutkan perjodohanmu dengan......... seorang di antara kami........."

   Wi Liong melirik. Ia tahu bahwa ynng bicara ini tentu Lin Lin karena ia masih ingat bahwa inilah gadis yang tadi lebih lihai kepandaiannya, mengenalnya dari baju yang berbeda warnanya.

   "Mana ada aturan begitu.........?"

   Ia berkata sungkan.

   "Bukan hal aneh mempunya dua orang isteri"

   Jawab Lin Lin dengan suara tetap. Memang pada jaman itu, seorang pria memiliki dua orang isteri bukan hal yang mengherankan. Malah, kaum bangsawan dan kaum berada mempunyai banyak isteri muda sebelum menikah, atau setelah beristeri masih mempunyai isteri muda sampai empat lima orang.

   "Hal ini............ hal ini......... eh. apakah adik Lan Lan membolehkan? Kumaksud......... adik Lan Lan, eh, yang mana sih adik Lan Lan"

   Tanyanya pura- pura masih belum tahu

   "Yang manapun sama saja."

   Jawab Lan Lan yang sudah timbul kembali kegembiraannya.

   "Sudahlah jangan memusingkan hal ini, tuan Thio............"

   "Hush, kau ini bagaimana? Aku menyebut adik, masa kalian masih mau menggunakan sebutan tuan-tuanan segala!"

   "Habis bagaimana?"

   Tanya Lin Lin.

   "Sebaiknya menyebut kakak atau saudara jangan tuan-tuanan........."

   Tiba-tiba Wi Liong berhenti bicara dan cepat memadamkan api unggun.

   "Ada orang datang..........."

   Bisiknya. Tubuhnya berkelebat dan ia lenyap menyelinap di antara pohon. Kini keadaan menjadi gelap remang-remang, hanya diterangi oleh ribuan bintang di langit.

   Lan Lan hendak menyusul, akan tetapi lengannya dipegang adiknya.

   "Jangan bergerak. Kita menunggu di sini saja,"

   Katanya penuh kepercayaan kepada Wi Liong. Juga dia sekarang telah mendengar suara orang dari arah pantai, akan tetapi karena keadaan, gelap laginya mereka berdua sama sekali masih asing dengan keadaan pulau kecil ini. Lin Lin berpendapat bahwa menanti di situ lebih baik, selain aman juga tidak mengganggu penyelidikan Wi Liong.

   Sementara itu, Wi Liong menyusup-nyusup dan dengan hati hati namun cepat ia menuju ke arah suara orang-orang itu. Dari tempat persembunyiannya ia melihat tiga buah perahu diseret ke pinggir dan belasan orang melompat ke pantai lalu berjalan dalam barisan rapi, dipimpin oleh seorang bertubuh tinggi besar dan gagah. Wi Liong merasa kenal orang ini, akan tetapi karena keadaan remang-remang, ia tidak dapat melihat mukanya. Hanya ia dapat menduga bahwa melihat gerak-gerik orang-orang itu, tentu mereka merupakan.sebuah pasukan terlatih dan orang tinggi besar itu komandannya. Tidak hanya dari gerak-gerik yang teratur dan terlatih, akan tetapi juga mereka itu semua membawa senjata yang sama, di pinggang sebatang golok besar dan di punggung tergantung busur dan anak panah.

   "Benar benar kosongkah pulau ini?"

   Terdengar orang tinggi besar itu bertanya kepada seorang anggauta barisan terdepan.

   "Betul. Hanya pulau kecil inilah yang kosong, yang lain sudah mereka duduki,"

   Jawab yang ditanya.

   "Hemmm, baik juga tempat ini. Biarlah aku menyelidik sendiri!. Kalian kembali ke darat dan beri peta tentang pulau ini kepada Coa ciangkun (Perwira Coa) agar dipelajari dan pada waktunya nanti tempat ini menjadi markas kita. Tinggalkan perahu kecil untukku di pantai."

   Belasan orang itu menyatakan baik, lalu mereka kembali ke perahu-perahu mereka, meninggalkan sebuah perahu yang paling kecil, lalu mendayung pergi dua perahu yang lain di dalam gelap.

   Sementara itu. mendengar pembicaraan tadi. Wi Liong segera teringat siapa adanya perwira tinggi besar ini. Bukan lain adalah Kong Bu, putera See-thian Hoat ong yang bertugas menjaga pantai timur! Agaknya perwira muda inipun datang hendak menyelidiki sesuatu dan bukan tak mungkin menyelidiki Pek-go-to karena mencium sesuatu yang mencurigakan. Ia segera melompat dan memanggil.

   "Kong-ciangkun!"

   Kong Bu, komandan muda itu, secepat kilat mencabut goloknya dan memutar tubuh. Kagetnya bukan main mendengar di tempat sunyi yang disangkanya kosong itu ternyata ada orangnya, malah sudah mengenalnya.

   Wi Liong muncul sambil tertawa.

   "Kong-ciangkun. simpan golokmu. Aku bukan orang jahat."

   Seelah Wi Liong berada di depannya, barulah Kong Bu mengenalnya. Hatinya menjadi lega bukan main dan cepat ia menyimpan goloknya.

   "Ah, kiranya Thio-taihiap. Berkeliaran di tempat seperti ini benar benar membuat hatiku mudah kaget dan takut! Ah, anak-anak itu ternyata kurang teliti memeriksa. Benar-benar harus dihukum!"

   "Jangan salahkan mereka, Kong-ciangkun. Memang pulau ini kosong, yaitu sebelum aku datang senja tadi. Kong-ciangkun, ada terjadi apakah maka kau dan anak buahmu berada di sini?"

   "Ssttt, mari kita pergi ke dalam pulau dan nanti kuceritakan. Kebetulan sekali, Thio-taihiap, kita bertemu di sini karena aku amat membutuhkan pertolonganmu dalam hal ini."

   Wi Liong mengerti akan maksud Kong Bu. Kalau berdiri di pantai, akan mudah terlihat oleh orang-orang dari perahu, dan di dalam pulau yang banyak pohon-pohonnya itu mereka dapat bersembunyi. Ketika mereka berdua mulai memasuki hutan, berkelebat dua bayangan orang dan lagi lagi Kong Bu mencabut golok, memasang kuda-kuda dan sikapnya gelisah sekali!

   "Ha ha, Kong ciangkun. yang datang adalah dua orang kawan baik, tak usah kau mencabut senjatamu,"

   Kata Wi Liong geli.

   Kong Bu kini melihat bahwa yang muncul adalah dua orang gadis remaja yang cantik jelita dan kembar. Mukanya menjadi merah mendengar ucapan Wi Liong, maka ia menyimpan kembali goloknya dan berkata perlahan.

   "Daerah yang dikuasai That Khek Sian benar menimbulkan keseraman dihatiku, membuat aku seperti seorang penakut. Jiwi lihiap, maafkan aku Kong Bu yang bersikap kasar."

   Lan Lan dan Lin Lin balas memberi hormat. Wi Liong memperkenalkan mereka.

   "Ini adalah nona Pek Lan Lan dan Pek Lin Lin. sahabat-sahabat baik yang tidak perlu kaucurigai. Kong ciangkun."

   Dan kepada dua orang gadis kembar itu Wi Liong berkata.

   "Ini adalah Kong Bu ciangkun. putera tunggal locianpwe See-thian Hoat-ong, seorang perwira muda yang menjaga keamanan di pantai timur."

   Setelah tiga orang itu saling menjura dengan hormat, Wi Liong menyalakan lagi api unggun dan berkata.

   "Nah, Kong-ciangkun, sekarang kau boleh bicara dengan aman. Apa sih yang telah terjadi di daerah ini!"

   Kong Bu menarik napas panjang dan balas bertanya.

   "Sam-wi tentunya datang ke sini hendak menghadiri pesta ulang tahun dari Thai Khek Siansu, bukan?"

   Ketika Wi Liong mengangguk membenarkan, perwira muda itu melanjutkan penuturannya.

   "Undangan antara orang-orang kang-ouw bukan hal yang aneh, bahkan kalau berekor pertempuran-pertempuran sekalipun, aku yang muda dan bodoh mana berani mencampuri urusan para locianpwe dan orang-orang gagah? Akan tetapi kali ini, kebetulan sekali terjadi hal yang amat penting bagi keselamatan negara. Aku mendapat kabar dari para penyelidik bahwa pada waktu ini di daerah Kepulauan Cousanto kedatangan pasukan-pasukan rahasia dari pemerintah musuh di utara! Pentolan-pentolan barisan Mongol kabarnya telah berkumpul di daerah ini!"

   Wi Liong terkejut. Tak disangkanya sama sekali berita ini. Ia teringat akan perahu-perahu yang dilihatnya sore tadi.

   "Apa.........? Mereka mau apa?"

   Kong Bu menggerakkan pundaknya.

   "Itulah yang harus kuselidiki dan aku harus mengerahkan orang untuk menangkap mereka. Mereka itu tentulah serombongan mata-mata musuh yang hendak melakukan kekacauan di sini."

   "Akan tetapi mengapa di daerah ini?"

   "Ini yang mencurigakan. Thio-taihiap. Sudah bukan rahasia lagi bahwa orang-orang Mo-kauw dan Shia-pai membantu pergerakan musuh secara sembunyi. Siapa tahu kalau ada apa-apanya dalam pesta yang diadakan oleh Thai Khek Siansu sekarang ini."

   Wi Liong mengangguk-angguk, teringat akan pesan pamannya tentang kecurigaan Thian Te Cu terhadap pesta yang diadakan di Pekgo-to ini.

   "Sekarang kau hendak menyelidiki, Kong-ciangkun?"

   "Betul. Dengan perahu kecil itu malam ini juga aku hendak menyelidiki pulau-pulau lain."

   "Mari aku menyertaimu,"

   Kata Wi Liong dan Kong Bu menjadi girang sekali, ia sudah tahu akan kelihaian pemuda ini maka ia tidak bisa mengharapkan pembantu yang lebih cakap dari pada Wi Liong.

   "Ji-wi siauwmoi harap menanti di sini saja,"

   Kata Wi Liong kepada dua orang gadis kembar itu.

   "Selain tidak baik terlalu banyak orang menyelidiki, juga kuharap kalian menjaga di sini. siapa tahu ada orang lain lagi mendarat di pulau ini yang sudah dijadikan markas oleh Kong ciangkun. Andaikata ada orang asing mendarat harap kalian diamkan saja, kalau tidak perlu tak usah turun tangan, hanya mengintai apa yang mereka lakukan di sini."

   Lan Lan dan Lin Lin menyanggupi dan berangkatlah dua orang pemuda itu meninggalkan pulau dengan perahu kecil Kong Bu. Mereka hendak menyelidiki pulau pulau di sekitar Pek go-to, terutama sekali tiga pulau sorga yang berada dekat Pek-go-to dan di mana tadi Wi Liong lihat ada perahu-perahu hitam mendarat.

   Lan Lan dan Lin Lin yang ditinggal sendirian menyalakan api unggun lagi dan mengambil keputusan untuk berjaga semalam itu, tidak berani tidur di tempat asing ini. Tentu saja setelah Wi Liong pergi mereka merasai kesunyian yang amat tak enak dan untuk menghilangkan kesunyian mereka bercakap-cakap tentang pemuda itu.

   "Kasihan sekali dia"

   Terdengar Lan Lan akhirnya berkata.

   ''Betul, cici, dia benar-benar telah dirundung malang."

   Sambung Lin Lin.

   Lan Lan mengangkat muka dan memandang wajah adiknya dengan sinar mata tajam menyelidik.

   "Lin Lin. kau cinta padanya........."

   Lin Lin juga membalas pandangan kakak perempuannya dan berkata perlahan.

   "Betul, dan kaupun juga, cici."

   Keduanya terdiam, tenggelam dalam lamunan masing-masing. Kemudian terdengar Lan Lan berkata lirih, seperti menghibur dan membela perasaan mereka itu.

   "Apa salahnya? Dia itu tunangan kita berdua, pilihan orang-orang tua kita. Bagaimana orang takkan mencinta tunangan sendiri?"

   Tiba-tiba, seperti yang dilakukan Wi Liong tadi. Lin Lin melompat dan memadamkan api unggun. Dia yang memiliki kepandaian lebih tinggi dari pada cicinya, telah lebih dulu mendengar suara.

   "Ada orang datang........"

   Bisiknya. Api unggun padam dan dua orang gadis itu menyelinap di antara pohon pohon untuk melakukan penyelidikan dan pengintaian.

   Makin larut malam keadaan cuaca menjadi agak terang, tidak segelap tadi karena angkasa bersih sekali dan bintang-bintang merupakan lampu-lampu kecil yang mendatangkan cahaya redup dingin. Dua orang gadis itu dengan hati-hati menyusup di antara pohon dan batu karang menuju ke pantai. Lin Lin di depan.

   Setelah tiba dekat pantai, Lin Lin memberi tanda kepada Lan Lan sambil menyusup ke belakang batu karang besar, bersembunyi sambil mengintai. Jelas terlihat lima orang berjalan menuju ke tengah pulau. Yang paling depan berjalan seorang laki-laki gundul tinggi besar yang memondong tubuh seorang gadis cantik yang pingsan atau tertotok. Di belakang atau agak berdampingan berjalan seorang wanita cantik setengah tua. kemudian di belakangnya berjalan seorang pemuda dan di belakang pemuda ini seorang laki-laki hitam gundul mengerikan berkuku panjang. Melihat pemuda itu. Lin Lin dan Lan Lan terkejut karena dia itu bukan lain adalah Kun Hong.

   Rombongan ini berhenti di tempat terbuka tidak jauh dari tempat sembunyi dua gadis itu. Lin Lin dan Lan Lan mengintai terus, siap menghadapi segala kemungkinan dan mereka dalam hati bertanya-tanya siapa gerangan orang-orang itu dan bagaimana Kun Hong bisa bersama mereka. Siapa pula gadis itu yang kini diturunkan dari pondongan, dibuka jalan darahnya lalu diikat pada sebatang pohhon! Gadis itu berdiri tegak dengan mata dibuka lebar, sedikitpun tidak takut malah sikapnya menantang!

   Siapakah mereka? Laki laki gundul tinggi besar yang tadi memondong gadis itu adalah Beng Kun Cinjin Gan Tui dan yang ditawannya itu bukan lain adalah Pui Eng Lan! Wanita cantik di sebelahnya adalah Tok sim Sian-li dan laki-laki mengerikan yang berjalan di belakang Kun Hong adalah datuk orang Mo kauw. Thai Khek Sian. Bagaimana Kun Hong bisa berada dengan mereka dan bagaimana pula Eng Lan sampai terjatuh di tangan Beng Kun Cinjin? Untuk mengetahui akan hal ini mari kita ikuti perjalanan Kun Hong semenjak berpisah dari Wi Liong dan dua gadis kembar Lin Lin dan Lan Lan.

   Setelah mendengar dari Wi Liong bahwa Eng Lan berada di An king, Kun Hong cepat melakukan pengejaran ke kota itu. la ingin sekali bertemu dengan kekasihnya, ingin ia minta ampun dan memohon agar Eng Lan jangan marah-marah kepadanya.

   "Tanpa Eng Lan, hidup tidak ada artinya,"

   
Cheng Hoa Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Pikirnya sepanjang jalan. Alangkah kecewanya ketika di kota Anking ia tidak mendapatkan bayangan Eng Lan lagi. Tiga hari ia mencari gadis itu dan akhirnya ia mendapat keterangan dari orang yang melihat gadis cantik itu bahwa Eng Lan meninggalkan kota An king melalui pintu gerbang sebelah timur. Segera ia mengejar ke timur. Akan tetapi, mengejar sampai ke perbatasan antara Propinsi An hui dan Ce-kiang. ia belum juga dapat menyusul gadis itu.

   Beberapa hari kemudian ia tiba di kaki Bukit Thian mu san sebelah timur setelah melewati bukit ini dari selatan. Jejak Eng Lan menghilang. Tak seorangpun yang dijumpai melihat gadis itu. Sebaiknya ia mendengar akan lewatnya rombongan rombongan orang yang menuju ke timur. Orang-orang kang-ouw. Teringatlah ia akan hari besar suhunya, Thai Khek Sian. Karena tempat tinggal suhunya tak jauh lagi, Kun Hong lalu mengambil keputusan untuk mengunjungi Pulau Pek go-to dan di sana kalau ia tidak mendapatkan Eng Lan sedikitnya ia akan bertemu orang orang kang ouw dan siapa tahu dari mereka ini ia bisa mendapat dengar tentang kekasihnya itu atau lebih baik lagi. siapa tahu kalau Eng Lan datang pula bersama gurunya Pak-thian Koai-jin.

   Ketika Kun Hong sedang berjalan di pagi hari itu, mulai mendaki lagi bukit kecil di sebelah timur Thian-mu-san, ia melihat sebuah rumah tua menyendiri dan dari rumah ini tercium bau masakan yang enak dan gurih sekali. Bau ini membuat perut Kun Hong terasa amat lapar dan otomatis kedua kakinya bergerak menuju ke rumah itu.

   Akan tetapi baru sampai di depan pintu rumah yang sudah rusak dan butut itu, ia berhenti karena di samping bau sedap masakan, hidungnya mencium bau yang amat memuakkan, bau bangkai! Heran dia mengapa tadi ia hanya mencium bau masakan saja. Ketika ia melihat asap keluar dari celah-celah pintu dan bilik, baru ia tahu bahwa tentu saja bau tidak enak itu tidak bisa tercium dari tempat jauh, tidak seperti bau masakan panas yang masih mengepulkan asap. Ia merasa heran sekali dan tidak segera masuk karena merasa jijik. Tiba-tiba ia mendengar suara orang tertawa berkakakan dan disusul kata-kata yang parau.

   "Hah-hah hah. dulu kau begitu cantik, begitu menarik sampai-sampai aku menjadi tergila gila padamu. Tapi kau menolak dan melayani pria-pria lain. Sekarang? Hah hah hah. setiap orang pria akan takut dan jijik melihatmu, akan tetapi aku orang sial masih menjagamu dan makan minum di samping mayatmu. Hah hah-hah!"

   Suara ketawa terakhir ini terdengar seperti orang menangis. Kun Hong terkejut sekali ketika mengenal suara ini, suara Buceng Tok-ong! Ia cepat menolak pintu dan masuk cepat-cepat Benar saja. ia melihat bekas gurunya itu duduk di atas bangku, menghadapi meja yang penuh masakan masih mengebul panas dan arak, makan minum seorang diri. Entah dari mana orang aneh ini bisa mendapatkan makanan panas di tempat seperu itu. Akan tetapi bukan itu yang menarik perhatian Kun Hong, melainkan apa yang terdapat di atas dipan dekat dengan tempat duduk Bu-ceng Tok-ong. Di atas pembaringan itu membujur sebuah mayat yang dikerubungi kain lapuk. Mayat inilah yang mengeluarkan bau busuk. Benar-benar di dunia ini banya Buceng Tok ong saja kiranya yang dapat makan minum di samping sebuah mayat yang sudah membusuk dan berbau!

   "Tok-ong.........!"

   Kun Hong berseru heran. Sudah lama ia tidak mau menyebut kakek ini sebagai gurunya biarpun sebenarnya Bu-ceng Tok-ong adalah gurunya yang pertama kali.

   "Heh heh heh, Kun Hong. Bagus kau datang. Mari temani aku makan minum untuk menghormati pembebasan Tok sim Sian li dari siksa dunia. Hah-hah!' kata Bu ceng Tok ong tanpa menoleh.

   Kun Hong makin kaget. Jadi mayat itu adalah mayat Tok sim Sian li! Biarpun ia tidak suka kepada Tok sim Sian li yang cabul dan jahat, seorang yang terutama di antara sekian banyak orang yang menyeretnya ke jalan sesat dahnlu, namun harus ia akui bahwa cinta kasih Tok sim Sian li kepadanya amat mendalam dan juga setulusnya, ia menghampiri dipan itu dan ingin melihat wajah wanita itu yang kini sudah membujur sebagai mayat. Ia paksakan diri dan menahan napas untuk melawan bau busuk. Tangannya menjangkau dan kain penutup bagian muka ia tarik.

   "Ayaaaa.........!!"

   Kun Hong melepaskan kembali kain penutup muka mayat itu sambil melompat mundur ke belakang dengan penuh kengerian dan keseraman. Ia masih mengenal muka Tok sim Sian li hanya karena ia dahulu dekat sekali hubungannya dengan wanita ini. Muka itu kini berwarna hitam agak biru, kulit muka yang dahulu putih kemerahan itu kini benjal benjol membengkak , matanya terbelalak besar, hidung dan mulutnya tertarik ke samping. Benar-benar menjijikkan dan menakutkan sekali.

   "Hah-hah hah, apa kataku, Sian-li? Bahkan Kun Hong, pemuda tampan yang dulu paling kau cinta, sekarang ketakutan dan jijik melihat mukamu! Hah hah hah baru sekarang kau melihat bedanya cinta kasih murni dan cinta kasih nafsu bukan? Sayang terlambat...... terlambat......"

   Dan kakek aneh ini kembali tertawa seperti orang menangis.

   Kun Hong maklum bahwa di balik tawa dan kegembiraan ini. sebenarnya Buceng Tok-ong amat berduka. Ia sudah mengenal baik watak bekas suhunya ini.

   "Tok-ong, apa yang terjadi dengannya? Bagaimana ia sampai begitu?"

   Pemuda ini melompat dan mengguncang-guncang pundak bekas gurunya.

   Bu ceng Tok-ong menunda minumnya dan memandang bekas murid ini dengan mata terbelalak.

   "Kau ingin membalaskan dendamnya? Ingin menemui pembunuhnya?"

   "Mana dia? Ingin kulihat orangnya!"

   Kata Kun Hong yang merasa benci melihat orang membunuh Tok-sim Sian-Ii secara demikian mengerikan.

   "Hah-hah-hah, dia bukan orang."

   "Bukan orang?"

   Bu-ceng Tok ong bangkit dari tempat duduknya, memandang kepada pemuda itu dengan mulut tersenyum mengejek akan tetapi wajahnya berseri lalu berkata.

   "Mari ikut dengan aku."

   Ia lalu melompat keluar dan berlari, diikuti oleh Kun Hong.

   Kakek itu membawanya ke daerah berbatu, di mana batu-batu gunung menonjol dengan bentuk bermacam-macam, daerah tandus yang hanya ditumbuhi pohon-pohon tua kering dan tetumbuhan yang kurus.

   "Bantu aku mencari seekor katak yang gemuk."

   Kata Bu-ceng Tok-ong yang segera mencari-cari di bawah tetumbuhan. Biarpun tidak tahu akan maksud bekas gurunya, namun karena bernafsu hendak melihat apa yang telah membunuh Tok sim Sian-Ii demikian kejinya, Kun Hong tanpa banyak cakap lagi lalu ikut mencari. Akhirnya mereka mendapatkan seekor katak betina yang gemuk. Bu ceng Tok-ong menangkapnya lalu mengikat katak itu pada perutnya dengan sehelai tali yang sudah ia siapkan. Kemudian ia mengikatkan ujung tali pada sebuah ranting yang dua depa panjangnya. Dengan langkah hati-hati ia lalu menuju ke sebelah lubang di atas gundukan tanah, kemudian menancapkan ranting itu di atas tanah. Katak yang diikatnya tergantung dan bergerak-gerak hendak melepaskan diri dengan sia-sia.

   "Kita tunggu di sana."

   Kata Bu-ceng Tok ong yang mengajak Kun Hong bersembunyi di balik batang pohon. Kun Hong menurut saja dan ia mulai timbul dugaan yang membuat hatinya ngeri.

   "Ular berbisa?"

   Tanyanya lirih. Bu-ceng Tok ong tidak menjawab, hanya nengangguk.

   Kun Hong mendongkol.

   "Jangan kau main-main, Tok-ong. Kau yang dijaluki Raja Racun, masa untuk menangkap ular saja harus minta bantuanku!"

   Omelnya.

   Memang hal ini amat mencurigakan. Jangankan baru menangkap seekor ular berbisa, biar sekaligus ada sepuluh ekor, orang macam Bu-ceng Tok-ong biasanya akan dapat menangkap dengan mudah. Memang itulah pekerjaannya untuk mengumpulkan bisa ular. Kalau memang betul Tok sim Sian-li tewas digigit ular, selain hal ini tak masuk di akal mengingat kelihaian Tok-sim Sianli, juga mengapa Bu-ceng Tok-ong tidak terus membunuh ular itu dan malah minta bantuannya?

   Agaknya Bu-ceng Tok-ong dapat membaca isi pikirannya. Orang tua itu mengeluarkan suara ketawa perlahan mengejek.

   "Kau tahu apa? Ular seperti yang akan kau lihat ini sedunia belum tentu ada keduanya. Ketika aku dan Sian-li hendak menangkapnya, baru terkena semburannya saja Sianli sudah menemui ajalnya. Akupun hampir saja celaka kalau tidak lekas lari. Terus terang saja aku tidak berani menghadapinya, maka kau yang lebih gesit kumintai tolong untuk menangkapnya agar kita bisa membalas dendam Sianli."

   Kun Hong kaget bukan main. Pada orang lain, boleh jadi Bu-ceng Tok-ong membohong dan main-main. akan tetapi ucapannya kepadanya tadi ia percaya. Tentu seekor ular berbisa yang hebat sekali.

   ''Ular apakah itu.........?"

   Tanyanya.

   "Ssssttt........."

   Bu-ceng Tok-ong mencegah pemuda itu bicara sambil menunjuk ke depan.

   Kun Hong memandang ke arah katak yang dijadikan umpan. Katak itu masih meronta-ronta hendak melepaskan diri dari ikatan. Tiba-tiba katak itu mengeluarkan suara keras dan meronta makin keras lagi. Dan dari dalam lubang di bawah katak yang menjadi umpan pancing itu, keluar sinar merah ke atas seakan akan di dalam lubang terdapat api bernyala. Setelah itu, perlahan-lahan keluar uap kemerahan, makin lama makin tebal dan katak itupun meronta makin hebat seakan akan kepanasan. Kemudian tubuh katak itu meneteskan air. entah peluh entah apa, akan tetapi terus menerus meneteskan air yang memasuki lubang. Makin tebal uap merah, makin deras tubuh katak itu meneteskan air sampai akhirnya gerakan katak menjadi lemah sekali dan airpun hanya menetes sedikit Agaknya tubuh katak itu sudah disedot hampir kering.

   Kun Hong hendak mengajukan pertanyaan akan tetapi kembali Bu-ceng Tok-ong mencegahnya dengan suara "sstttt.........!"

   Terpaksa Kun Hong menahan diri dan memandang lagi. Dari dalam lubang itu keluar sebuah benda merah kecil yang bergerak cepat sekali, tersembul keluar lalu masuk lagi, demikian cepatnya sehingga sukar Kun Hong mengikuti dengan pandangan matanya. Makin lama makin panjang benda itu dan tersembullah kepala seekor ular yang bermata merah, berkulit merah kuning dan ternyata bahwa benda kecil yang bergerak cepat itu adalah lidahnya yang panjang bercabang. Ular itu mulai merayap keluar dari lubang dan sekarang baru kelihatan oleh Kun Hong bahwa ular ini memang berbeda dengan ular-ular lain. Besarnya tidak seberapa, paling-paling sebesar lengan dan panjangnya juga tiga kaki paling banyak, akan tetapi bentuknya aneh sekali. Di bagian punggung ular itu. dari kepala sampai ke ekor, terdapat duri-duri seperti duri landak!

   Bu teng Tok-ong menanti sampai ular itu keluar dari lubang dan mulailah ular itu merayap mengelilingi katak sambil menjilat-jilat. Kemudian ia berkata perlahan.

   "Kau serang ular itu, harus ditangkap hidup jangan dibunuh, awas, jangan kata lagi gigitannya, baru semburannya bisa mematikan. Aku akan menutupi lubangnya sementara kau memancingnya meninggalkan lubang,

   "Baik!"

   Kata Kun Hong yang di dalam hatinya merasa heran bagaimana Tok-ong tidak berani menangkap seekor ular sekecil itu. Apakah Bu-ceng Tok-ong sudah menjadi seorang pengecut?

   Akan tetapi ia segera mendapat bukti akan kebenaran Tok-ong mengenai ular aneh itu. Begitu melihat manusia, ular itu mengeluarkan desis yang tajam sampai menggetarkan jantung, dan tiba-tiba ular itu berdiri di atas ekornya! Pernah Kun Hong melihat ular ular yang bisa berdiri, akan tetapi hanya setengah badannya saja yang berdiri. Ular ini, lain dari pada yang lain, berdiri seluruh tubuhnya, lurus-lurus seperti tonggak, berdiri di atas ekornya dan mukanya menjadi makin merah. Kemudian ular itu menyemburkan uap berair berwarna merah. Semburan ini hebat, cepat sekali dan dapat mencapai jarak tiga meter!

   Kun Hong terkejut dan cepat melompat ke kiri untuk menghindarkan diri dari semburan maut itu. Kembali ular menyembur sambil meloncat. Memaug aneh kalau disebut ular meloncat, berkakipun tidak bagaimana bisa meloncat? Caranya meloncat, ketika ular itu berdiri ia melengkungkan tubuh lalu meregang kembali dan tenaga iniah yang membuat ia bisa meloncat sampai hampir dua meter jauhnya!

   Untuk kedua kalinya Kun Hong terkejut, akan tetapi ia masih dapai mengelak dengan mudah. Ia kini sengaja menanti serangan ke tiga, siap untuk menangkap leher ular itu apa bila menyerangnya. Benar saja, ular itu menyerang lagi dengan loncatan tinggi dan semburan melebar. Kun Hong mengelak ke kanan dan tangan kirinya menyambar hendak menangkap leher ular itu akan tetapi tiba-tiba duri duri yang berada di belakang leher itu berdiri dan merupakan jarum-jarum menyambut tangannya. Kun Hong memiliki kegesitan dan ketajaman mata yang sudah tinggi, maka ia dapat melihat gerakan ini. Cepat ia menarik kembali tangannya sehingga tidak menjadi korban. Pemuda ini mulai mengerti mengapa ular ini begini lihai. Kalau hendak membunuhnya dengan senjata, tentu saja mudah. Akan te!api Tok-ong menghendaki dia menangkapnya hidup-hidup dan tentu Tok sim Sian-li juga tadinya berusaha menangkapnya hidup hidup maka sampai menjadi korban. Dia sendiri yang memiliki ilmu lebih tinggi dari pada Tok sim Sian-li, sekarang merasa bingung, tak tahu bagaimana ia bisa menangkap ular aneh ini dengan tangan kosong.

   Sementara itu, setelah tiga kali gagal menyerang orang, ular itu menjadi gelisah. Agaknya iapun maklum bahwa kali ini ia menghadapi lawan tangguh. Agaknya tiga kali sudah cukup baginya dan ia merayap kembali ke lubangnya. Akan tetapi, pada saat binatang itu tadi menyerang Kun Hong, Bu-ceng Tok ong sudah bekerja cepat, menghampiri lubang dan menutupnya dengan sebuah batu besar. Melihat ular itu datang. Tok-ong segera menjauhi. Ular itu bingung melihat lubangnya tertutup batu. kemudian ia mendesis-desis marah dan berdiri lagi menghadapi Kun Hong.

   "Eh, Kun Hong. Apakah kau juga tidak berani dan tidak bisa menangkapnya hidup-hidup?"

   Kata Tok ong memanaskan hati.

   "Binatang macam ini mengapa tidak dibunuh saja?"

   Kata Kun Hong hendak mencabut pedangnya.

   "Jangan bunuh! Kalau hanya membunuh, untuk apa aku minta bantuanmu? Aku sendiripun bisa kalau hanya membunuh, apa sukarnya?"

   Panas hati Kun Hong mendengar ini. Ia tidak jadi mencabut pedangnya.

   "Apa sih sukarnya menangkap ular?"

   Katanya dan otaknya bekerja. Terang baginya bahwa kalau menangkap dengan tangan kosong, andaikata bisapun amat besar resikonya. salah sedikit saja bisa tewas oleh semburan yang mengandung bisa maut.

   Dengan tabah ia menghampiri ular yang berdiri itu. Binatang itu kini menjadi marah setelah tak dapat lari ke dalam lubangnya. Ia mendesis dan tubuhnya mencelat ke arah leher Kun Hong. Pcmuda ini kembali mengelak, akan tetapi ular itu sambil melompat memutar leher dan menyembur! Inilah serangan hebat dan berbahaya sekali. Kun Hong terpaksa membuang diri karena serangan ini tiba-tiba datangnya. Akan tetapi ujung bajunya yang melambai oleh gerakannya masih terkena semburan dan baju itu menjadi hangus!

   Kun Hong terkejut bukan main. cepat ujung baju itu ia sobek dan buang, maklum bahwa racun yang menempel di situ amat berbahaya. Ia mengeluarkan keringat dingin dan hatinya menjadi makin panas ketika mendengar suara ketawa Bu ceng Tok-ong yang mengejeknya. Ia melihat "pancing"

   Tadi dan timbullah akal. Cepat disambarnya ranting yang di sambung tali pengikat katak itu, kemudian ia menghampiri lawannya. Ular menyerang lagi, Kun Hong melompat ke kiri dan menggerakkan pancingnya. Usahanya berhasil baik. Tali pancing berikut katak di ujungnya itu menyambar ke arah leher dan tepat sekali mengitari dan mengikat leher ular yang tentu saja menjadi tak berdaya lagi. Binatang itu meronta-ronta, membelit belit, akan tetapi tak mungkin ia bisa melepaskan diri.

   "Bagus, kau dapat menangkapnya, anak baik!"

   Terdengar Bu-ceng Tok-ong memuji. Orang ini berlari menghampiri dan dengan sehelai tali lain mengikat ekor ular itu, terus ia gantung ke atas sehingga ular itu tergantung dengan kepala di bawah. Karena leher dan ekornya terikat ia tidak dapat menyerang lagi. malah tidak dapat menyembur karena lehernya tercekik erat-erat.

   "Tahan dulu dia biar jangan lepas, aku membuat api,"

   Kata Bu-ceng Tok-ong yang kegirangan. Raja Racun ini sambil tertawa-tawa membuat api unggun, kemudian menyediakan sebuah panci dan sambil tertawa bergelak ia memanggang ular itu di atas api.

   Tentu saja, ular itu menggeliat geliat kepanasan.

   "Hah-hah-hah. rasakan kau pembalasanku, ular siluman. Rasakan kau panasnya api neraka, hah-hah-hah!"

   Bu-ceng Tok-ong tidak membakar tubuh ular di dalam api, melainkan memanggangnya di atas api sehingga ular yang kepanasan itu tersiksa bukan main. Binatang itu menggeliat geliat dan mulutnya terengah-engah, tubuhnya mulai mengeluarkan peluh berminyak. Warna merah menjadi makin tua dan dari dalam mulutnya keluarlah minyak merah. Bu ceng Tok-ong cepat-cepat menadahi minyak merah yang bukan lain adalah racun ular itu dengan panci yang sudah ia sediakan. Kun Hong hanya mengawasi saja dan sekarang tahulah dia mengapa Bu-ceng Tok ong menghendaki ular itu ditangkap hidup-hidup. Tak lain untuk mengambil racunnya. Memang cara terbaik mengambil seluruh racun ular adalah dengan jalan memanggangnya sampai kepanasan dan keluar semua racun dari lehernya. Ia tidak perduli akan hal ini, bukan urusannya. Akan tetapi ia merasa heran melihat ular aneh ini dan mengapa pula Tok sim Sian li sampai mati oleh binatang ini?

   "Ular apakah ini. Tok-ong? Dan kenapa tadi kau tutupi lubangnya?"

   Ular ini adalah rajanya ular kelabang dan belum tentu keluar dari dalam bumi selama puluhan tahun. Aku pernah mendengar namanya akan tetapi baru kali ini melihatnya. Namanya tak diketahui orang, akan tetapi dahulu ia disebut Naga Kecil Merah. Kalau tadi ia bisa lari memasuki lubang, jangan harap bisa menangkapnya lagi karena lubangnya itu merupakan terowongan yang tidak ada dasarnya."

   Tok ong sekarang menyimpan racun ular minyak merah itu karena ular tadi sudah mati. kering tidak mengeluarkan minyak lagi. Bangkai ular yang sudah kering seperti ikan asin ini ia simpan pula.

   "Kenapa Tok-sim Sian li sampai bisa terkena semburannya?"

   Bu ceng Tok-ong menarik napas panjang.

   "Sudah kuperingatkan dia. Dia tahu akan kehebatan racun ular ini. maka ia begitu bernafsu untuk menangkapnya sehingga ia menjadi korban tanpa dapat kutolong lagi."

   "Untuk apa kau mengambil racunnya?"

   Ia bertanya sambil memandang tajam. Tentu ada maksud tertentu Raja Racun ini, kalau tidak, masa sampai mau minta bantuannya?

   "Hah-hah hah. aku dan Sianli tadinya hendak pergi ke pesta Thai Khek Siansu. Tanpa barang antara, mana aku ada muka datang ke sana? Racun Ang-siauw-Kong (Naga Kecil Merah) ini merupakan hadiah yang tak ternilai harganya."

   "Dan bangkai itu? Untuk apa?"

   "Ah. ini hanya untuk peringatan. Ular ini telah membunuh Sian li........."

   Kemudian Kun Hong teringat akan maksud perjalanannya. Tok-ong adalah seorang perantau, pikirnya, bukan tak mungkin ia mengetahui tentang Eng Lan.

   (Lanjut ke Jilid 35)

   Cheng Hoa Kiam (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 35

   "Tok-ong. apakah kau melihat nona Pui Eng Lan?"

   Tiba-tiba ia bertanya.

   Buceng Tok-ong menengok heran, lalu tertawa. Tidak aneh kalau pemuda ini menanyakan seorang wanita. Ia sudah kenal baik watak bekas muridnya ini, seorang pemuda yang mempunyai banyak kekasih.

   "Heh-heh heh, di mana kau kehilangan kekasihmu ini?"

   Ia menggoda.

   "Tok-ong. jangan main main. Kau melihat dia atau tidak?"

   Bentak Kun Hong. Bu ceng Tok-ong heran. Belum pernah ia melihat Kun Hong marah-marah digoda tentang diri seorang wanita.

   "Bagaimana aku bisa menjawab pertanyaanmu kalau aku tidak tahu siapa itu Pui Eng Lan?"

   Kun Hong insyaf akan kekeliruan pertanyaannya. Orang macam Bu-ceng Tok-ong ini mana bisa mengenal Eng Lan? Dia itu murid tunggal Pak-thian Koaijin.

   "Aku mencarinya."

   Bu-ceng Tok-ong masih tersenyum lebar, akan tetapi keningnya dikernyitkan dan matanya bersinar-sinar ganjil. Kun Hong berlaku waspada. Dari pengalamannya ketika hidup dekat bekas gurunya itu ia tahu bahwa kalau Raja Racun ini mengerutkan kening dan matanya bersinar-sinar seperti itu, menandakan bahwa ia sedang menggunakan pikirannya yang selalu penuh akal-akal licin.

   "Ah, dia.........? Bukankah dia itu gadis cantik jelita, agak kehitaman tapi manis sekali, membawa pedang, lincah dan tabah?"

   Kegembiraan dan harapan besar memenuhi hati Kun Hong, membuat ia lupa akan tanda-tanda pada muka bekas gurunya tadi.

   "Betul, Tok-ong, betul dia. Apa kau tahu di mana dia?"

   "Hah-hah-hah-hah, agaknya kali ini kau betul-betul jatuh cinta. Bukan begitu?"

   Maklum akan ketajaman mata bekas gurunya. Kun Hong tak perlu membohong lagi. Ia mengangguk, wajahnya demikian sungguh sungguh sehingga Bu ceng Tok-ong tidak berani main-main lagi.

   "Aku tahu di mana dia. Baru kemarin aku melihat dia menuju ke Pek go-to juga,"

   "Seorang diri?"

   Tanya Kun Hong. agak heran bagaimana gadis itu berani pergi ke Pek-go-to seorang diri.

   "Tadinya seorang diri. Kemudian....... sayang sekali........."

   Kun Hong melangkah maju dan menerkam lengan kakek itu.

   "Kemudian bagaimana? Kenapa sayang? Hayo bilang!"

   Bu-ceng Tok-ong meringis. Terkaman tangan itu benar-benar amat kuat dan menyakitkan lengannya.

   "Kemudian......... kemudian ia pergi bersama-sama dengan Beng Kun Cinjin Gan Tui."

   Pucat seketika wajah Kun Hong mendengar ini, kedua kakinya menggetar saking hebatnya ketegangan hatinya. Memang ia sedang mencari-cari Beng Kun Cinjin.

   "ayahnya"

   Dan musuh besarnya ini. Tentu saja mendengar adanya Beng Kun Cinjin, ia menjadi girang dan ingin segera melakukan pembalasan dendamnya. Akan tetapi mendengar kekasihnya terjatuh ke dalam tangan musuh besar itu, ia benar-benar kaget.

   "Bagaimana ia bisa bersama dengan........,Beng Kun Cinjin?"

   Tanyanya.

   "Heh-heh-heh, mana aku mengerti? Aku hanya mendengar Beng Kun Cinjin berkata kepada nona itu begini. Kau calon mantuku, hayo ikut dengan pinceng sambil menanti datangnya Kun Hong anakku! Nah. demikianlah, lalu mereka pergi bersama."

   Pucat lagi wajah Kun Hong.

   "Jadi kau......kaupun sudah tahu tentang dia dan aku.........?"

   "Hah hah, siapa orangnya yang tidak tahu? Tentang kau anak Beng Kun Cinjin, semua orang sudah tahu. Kau hendak menyusul ke sana, Kun Hong? Mari pergi bersamaku."

   Kun Hong menyembunyikan getaran hatinya. Ia khawatir sekali akan nasib Eng Lan, akan tetapi juga gembira karena akan berhadapan dengan musuh besarnya. Maka tanpa banyak cakap lagi ia lalu ikut Bu ceng Tok-ong menuju ke Pek-go-to.

   Setelah tiba di pantai. Bu ceng Tok-ong lalu mendatangi sebuah tempat tersembunyi di pantai laut di mana ternyata sudah disediakan perahu-perahu kecil yang dijaga oleh beberapa orang selir Thai Khek Siansu. Mereka ini menyambut kedatangan Bu ceng Tok-ong dan terutama Kun Hong dengan gembira. Akan-tetapi Kun Hong tidak memperdulikan mereka, biarpun di antaranya ada beberapa orang yang dahulu pernah menjadi sobat baiknya. Bersama Bu ceng Tok ong ia lalu mendayung perahu yang dikemudikan oleh si Raja Racun.

   "Eh, kenapa tidak ke Pek-go-to?"

   Tanya Kun Hong ketika melihat bahwa perahu menuju ke pulau lain.

   Cheng Hoa Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Nanti dulu. aku hendak singgah di pulau gudang makanan. Kau tahu. untuk keperluan para tamunya. Siansu menyediakan makanan dan minuman di pulau kecil itu dan aku mempunyai tugas di sana. Laginya, sekarang sudah hampir gelap, tidak patut datang malam malam di Pek-go-to."

   Biarpun hatinya tidak puas, akan tetapi pada saat itu Kun Hong tidak mau banyak ribut. Pula. diam-diam ia masih menaruh hati curiga terhadap Raja Racun ini dan hendak mengawasi gerak-geriknya.

   Perahu kecil itu mendarat di pulau kosong, sebuah di antara tiga pulau kosong yang kecil dan indah. Kedatangan mereka disambut lagi oleh sepasukan gadis penjaga yang sudah mendirikan banyak kemah kemah darurat di tempat itu.

   "Kalian pergilah menghadap Siansu dan katakan, bahwa tugasku sudah berhasil baik."

   Kata Bu-ceng Tok-ong kepada duabelas orang penjaga itu.

   "Sekarang ada aku dan Kun Hong di sini, kami yang akan menjaga. Pergilah!"

   Duabelas orang wanita itu segera meninggalkan pulau dengan perahu-perahu kecil mereka yang mewah, meninggalkan Kun Hong berdua. Jelas sekali kelihatan mereka itu kecewa harus pergi meninggalkan Kun Hong, karena tadinya mereka sudah bergembira melihat datangnya pemuda ini.

   Malam ilu Bu-ceng Tok-ong bekerja keras. Sambil tertawa-tawa kakek ini menggodok minyak racun ular kelabang sampai menjadi kental, kemudian ia membawa godokan racun ini ke dalam sebuah tenda tempat menyimpan minuman. Tigapuluh buah guci arak besar berada di tempat ini dan Bu ceng Tok ong menuangkan racun ke dalam guci-guci itu. lalu menggunakan sebatang sumpit panjang untuk mengocek agar racun itu, bercampur betul.

   "He... apa yang kaulakukan ini, Tok-ong?"

   Kun Hong tak sadar lagi menegur, kaget melihat perbuatan ini.

   "Hah-hah-hah, kau lihat sendiri. Mencampuri arak dengan racun Ang-siauw liong. Ha-ha-ha!"

   Kun Hong melangkah maju, sikapnya mengancam.

   "Apa maksudmu? Katakan Tok ong, apa maksudmu melakukan ini?"

   Hampir ia menyebut melakukan perbuatan keji akan tetapi ia menahannya karena maklum bahwa ucapan ini tidak sesuai dengan keadaan Tok ong dan karenanya tentu akan menimbulkan kecurigaan bekas purunya itu.

   "Hah-hah, apa kau tidak mengenal watak suhumu sendiri, Thai-Khek Siansu? Gurumu itu selain lihai juga amat cerdik. Sekali ini ia hendak menggunakan kepandaianku untuk melenyapkan semua lawan. Ha ha ha."

   "Apa maksudnya?"

   "Apa lagi? Semua tokoh tingkat tinggi dunia kang ouw diundang. Akan datang para bengcu dan ciangbunjin, para ketua partai persilatan dan terutama sekati akan datang juga Thian Te Cu dan Kui bo Thai-houw. Kalau tidak menggunakan kepandaianku, mana bisa menyuguhkan minuman maut tanpa diketahuli! mereka yang lihai itu? Hah-hah-hah-hah!"

   Kun Hong menekan perasaannya dan dengan suaira biasa ia bertanya lagi.

   "Jadi suhu Thai Khek Sian hendak membunuh para undangan dengan minuman ini? Kedengarannya begitu mudah. Hemmm, kiraku takkan semudah itu mengingat bahwa mereka itu rata-rata memiliki kepandaian tinggi. Laginya, mereka tentu menaruh curiga."

   "Ha ha, kau kira gurumu begitu bodoh? Arak campuran ini dikeluarkan sebagai hidangan umum, tidak hanya para undangan yang dianggap musuh, juga kawan sendiri sampai Thai Khek Siansu ikut pula minum."

   Kun Hong mendongkol. Dia tidak percaya dan mengira Bu-ceng Tok-ong main-main.

   "Siapa percaya kebohongan ini? Kau sendiri bilang bahwa racun Ang-siauw-Iiong tidak ada obat penolaknya."

   "Tidak ada obat penolaknya, memang. Kecuali tubuh ular itu sendiri."

   But-ceng Tok-ong mengeluarkan bangkai ular yang sudah kering dari saku bajunya.

   Bukan main marah dan kagetnya hati Kun Hong. Dia. bukan Kun Hong dahulu yang tentu tidak akan perduli dengan rencana pembunuhan keji besar besaran ini, malah akan ikut gembira. Akan tetapi sekarang dia lain lagi. Ia tidak rela membiarkan perbuatan keji ini terjadi, apa lagi kalau mengingat bahwa di antara mereka yang hendak dibunuh terdapat Thian Te Cu, Kui-bo Thai-houw, dan lain-lain. Akan tetapi Kun Hong juga cerdik, tidak kalah oleh Bu ceng Tok-ong. Ia sudah mempelajari segala tipu muslihat licik dari orang-orang semacam Bu-ceng Tok-ong. Rasa benci dan jijik tidak tampak pada mukanya, malah ia segera tersenyum.

   "Hebat sekali. Kau benar-benar lihai, Tok-ong, tidak malu aku mengaku kau sebagai bekas pendidikku. Memang itulah jalan terbaik untuk melenyapkan orang-orang yang berbahaya bagi kita Selanjutnya, apakah Thai Khek Sian guruku itu hanya mengandalkan racun ini saja? Bagaimana kalau gagal? Ingat, fihak sana tak boleh dipandang ringan. Selain Thian Te Cu dan Kui-bo Thai houw yang luar biasa lihainya, juga masih banyak orang lihai lainnya seperti Thio Wi Liong, Thai It Cinjin. Imyang Sian-cu dan para ciangbunjin dari partai-partai persilatan besar.

   "Mana bisa gagal? Arak kehormatan dikeluarkan, semua minum baik tamu maupun tuan rumah. Curiga apa? Mereka akan roboh setengah jam kemudian, tidak kentara. Hahaha! Takut apa? Kalau gagal sekalipun sudah ada perangkap lain. Gurumu sudah........."

   Tiba-tiba Bu-ceng Tok ong menghentikan kata-katanya, berhenti tertawa dan menatap wajah Kun Hong dengan tajam.

   "Eh, Kun Hong. Kau ini murid terkasih dari Thai Khek Siansu mengapa sampai tidak tahu akan rencana gurumu?"

   Kun Hong menarik napas panjang, memperlihatkan muka menyesal.

   "Salahku sendiri, Tok-ong. Terlalu lama aku merantau meninggalkan Pek-go-to mengejar-ngejar Wi Liong tanpa hasil. Pesta ulang tahun suhupun aku mendengar dari luaran dan sekaranglah saatnya yang baik aku akan dapat membalas kekalahan-kekalahanku dari Wi Liong. Rencana apakah yang diatur oleh suhu selain racun ini? Aku akan membantu sekuat tenaga, karenanya aku harus tahu segalanya."

   "Kau tahu, kawan-kawan dari utara juga sudah datang berkumpul di dua pulau itu. Jumlah mereka ada limapuluh orang lebih, orang-orang pilihan. Mereka ini akan datang menyerbu kalau racun ini gagal. Dengan bantuan limapuluh orang tenaga pilihan dari utara, kita takut apa?"

   Diam-diam Kun Hong terkejut sekali. Sekarang jelaslah baginya bahwa Thai Khek Sian, dengan perantaraan Bu-ceng Tok-ong. telah mengadakan kontak dengan bala tentara Mongol untuk mengadakan pukulan besar-besaran terhadap para tokoh selatan. Tentu saja fihak Mongol bersedia membantu oleh karena para orang gagah di selatan ini kalau sekarang bisa dibasmi, kelak tidak ada yang menyulitkan penyerbuan mereka ke selatan. Inilah berbahaya, pikir Kun Hong.

   Sudah lama jalan pikiran Kun Hong berubah, sudah lama ia berbalik hati dan membenci segala macam kejahatan yang sudah banyak ia lihat, malah ia lakukan. Sekarang, mendengar rencana keji dan pengecut ini makin bencilah hatinya. Andaikata Thai Khek Sian hendak mengadakan gelanggang mengadu kepandaian secara jujur dan gagah, tentu ia takkan memihak mana-mana. Akan tetapi kalau diadakan rencana-rencana keji, tak boleh tidak ia harus menghalangi. Sikapnya sama sekali berubah sekarang. Ia melangkah maju dan berkata tegas.

   "Bu-ceng Tok-ong, berikan bangkai siauw-liong itu kepadaku!"

   Berubah wajah yang biasanya menyeramkan dari Bu-ceng Tok ong. Sepasang mata yang tertutup alis tebal itu mengeluarkan cahaya liar. Ia terkejut dan gelisah, akan tetapi mencoba menutupi kegelisahannya dengan sikap gagah.

   "Kun Hong. jangan main gila! Apa maumu?"

   "Manusia keji, kau dan orang-orang macam kau sudah menyeretku dahulu ke lembah kehinaan. Sekarang aku harus menebus dosa. Aku harus menghalangi niat kalian yang jahat itu, biarpun aku harus berkorban nyawa untuk itu. Berikan padaku bangkai Ang-siauwliong itu. Cepat "

   "Bocah gila!"

   Bu-ceng Tok-ong masih memertahankan kegalakannya.

   "Kau bisa melawanku, akan tetapi apa kau tidak takut kepada gurumu Thai Khek Siansu? Siansu akan membunuhmu!"

   "Siapa takut? Hayo berikan, jangan membikin aku habis sabar!"

   Melihat pemuda itu melangkah maju, Bu-ceng Tok-ong mundur sambil berkata.

   "Tidak.......... tidak kuberikan."

   "Manusia keji!"

   Kun Hong bergerak maju, tangannya menampar berbareng hendak merampas bangkai ular yang disimpan di saku baju Bu-ceng Tok-ong.

   Bu-ceng Tok ong mengelak dan mencoba menangkis, akan tetapi gerakan susulan dari Kun Hong tepat mengenai pundaknya, membuat ia sempoyongan dan hampir roboh ke belakang. Marahlah Bu-ceng Tok-ong. Kalau ia memberikan bangkai ular dan usahanya gagal, tentu ia akan mendapat kemarahan dari Thai Khek Sian, kemarahan yang akan berakibat mengerikan baginya. Dari pada menentang Thai Khek Sian, lebih baik menentang Kun Hong.

   Sambil mengeluarkan geraman seperti singa. Raja Racun ini meloloskan senjatanya, sepasang penggada yang berbentuk gembolan berduri, mengerikan dan berat sekali. Ia mainkan sepasang senjata ini dan menyerang Kun Hong kalang kabut.

   Kun Hong menghadapinya dengan tenang. Dulu, ketika ia masih menjadi murid Bu-ceng Tok- ong dan Tok-sim Sian-li, kepandaian yang ia terima dari dua orang ini digabungkan menjadi satu, cukup baginya untuk menandingi Bu-ceng Tok-ong. Apa lagi sekarang. Sekarang setelah menjadi murid Thai Khek Sian dan menerima pelajaran dari Kui-bo Thai-houw, kepandaian pemuda ini sudah meningkat jauh lebih tinggi dari pada Bu-ceng Tok ong. Tenang-tenang saja ia menghindarkan semua serangan Bu-ceng Tok ong. Betapapun juga, Kun Hong berlaku sangat hati hati karena ia maklum betapa bahayanya orang macam Raja Racun ini. Gembolan itu bukan sembarang senjata begitu saja, akan tetapi setiap durinya yang runcing itu mengandung semacam bisa tertentu yang cukup kuat untuk membunuh orang apa bila terluka.

   "Bocah durhaka, bocah setan, mampuslah!"

   Bu ceng Tok-ong yang bernafsu sekali menyerang makin hebat pada bekas muridnya yang bertangan kosong.

   "Sebetulnya kaulah yang harus mampus, sayangnya aku masih menaruh kasihan kepadamu."

   Ejek Kun Hong sambil mengelak dan dengan gerakan memutar secepat kilat ia mengirim tendangan bertubi-tubi. Dua kali ujung sepatunya mengenai sasaran, tepat di bagian siku mengenai otot besar. Bu-ceng Tok-ong menggereng kesakitan dan sepasang penggadanya terlempar jauh.

   Mukanya menjadi merah dan matanya terbelalak mengeluarkan sinar berapi saking marahnya.

   "Kalau tak dapat membunuhmu, aku bukan Tok-ong!"

   Teriaknya dan kini ia menubruk maju, Dari sepasang lengan bajunya menyambar keluar uap hitam sedangkan dari kedua tangannya meluncur benda-benda halus yang hitam kemerahan. Inilah senjata senjata rahasia yang amat berbahaya, belum pernah dipelajari oleh Kun Hong karena merupakan senjata pribadi Raja Racun itu. Uap hitam itu adalah semacam bubuk beracun yang halus dan ringan sekali, mudah terbawa angin dan sekali saja memasuki hidung lawan, orang itu pasti akan terjungkal pingsan. Benda-benda halus hitam kemerahan itu disebut Hek see-kong (Sinar Pasir Hitam), adalah pasir-pasir hitam yang sudah direndam bisa ular. Jangan kata sampai pasir ini memasuki kulit, baru menyerempet sedikit saja membuat kulit melepuh dan racun menyerap ke dalam daging dan tulang, sakitnya bukan kepalang.

   Kun Hong biarpun belum mempelajari penggunaan senjata-senjata rahasia ini, namun ia sudah tahu akan kelihaiannya. Cepat ia mengebut-ngebutkan tangannya dengan penyaluran tenaga lweekang sepenuhnya sambil melompat ke sana ke mari menghindarkan diri dari pasir-pasir itu. Selain mengelak, juga tenaga kebutan tangannya cukup kuat untuk mendatangkan angin meniup pergi pasir-pasir itu, maka dengan mudah ia terbebas dari ancaman pasir hitam. Adapun uap hitam yang menyerangnya, ia hindarkan dengan tiupan mulutnya yang disertai khikang.

   

Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo Rajawali Hitam Karya Kho Ping Hoo Harta Karun Kerajaan Sung Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini