Ceritasilat Novel Online

Cheng Hoa Kiam 34


Cheng Hoa Kiam Karya Kho Ping Hoo Bagian 34



Betapapun tinggi ilmu kepandaian mereka, namun mereka harus menyerah kepada usda tua. Semangat masih besar, akan tetapi keuletan mereka banyak berkurang karena usia tua membuat jasmani mereka tidak sekuat dulu. Makin lambat gerakan-gerakan mereka dan pada suatu saat ujung tali ikat pinggang Kui-bo Thai houw melibat jari-jari tangan Thai Khek Sian yang berkuku runcing-runcing itu. Baru sekarang sepuluh buah kuku yang terlalu panjang itu mungkin dapat terbelit dan tak dapat dilepaskan lagi. Mereka saling betot dan kedua tangan Thai Khek Sian seperti dibelenggu saja karena ia tidak dapat melepaskan belitan ujung tali yang. lihai itu. Terdengar Kui-bo Thai houw mengeluarkan suara ketawa mengejek dan tangan kirinya yang tidak memegang sabuk bergerak menampar. Inilah pukulan maut yang menghantam dada Thai Khek Sian. pukulan yang tak dapat dielakkan lagi. Tepat mengarah dada di mana tergantung tengkorak manusia.

   "Prakkk.........!"

   "Celaka............!"

   Seru Kui bo Thai houw.

   Pada saat ia memukul pecah tengkorak itu berikut dada Thai Khek Sian, tengkorak yang pecah itu muncrat melontarkan jarum-jarum hitam yang bagaikan hujan menyerang tubuhnya tanpa dapat dielakkan lagi. Juga. ternyata Thai Khek Sian telah mengumpulkan tenaga pada dadanya, menerima pukulan itu mengadu kekuatan lweekang sehingga keduanya mendapat luka hebat di dalam tubuh.

   "Ha-ha-ha-ha-ha.........!"

   Thai Khek Sian tertawa bergelak melihat Kui-bo Thaihouw bergulingan di atas tanah, akan tetapi suara ketawanya tiba-tiba terhenti, tubuhnya berkelojotan dan nyawanya melayang. Lukanya di dalam tubuh akibat pukulan tadi terlampau hebat, ditambah lagi oleh jarum-jarumnya sendiri yang keluar berhamburan dari dalam tengkorak, memasuki dadanya.

   Kui-bo Thai houw merintih-rintih. Kun Hong yang melihat hal ini menjadi tidak tega, lalu lari menghampiri untuk menolong. Kui bo Thai-houw tersenyum getir, maklum akan maksud Kun Hong bahwa luka-luka akibat racun dapat ditolong oleh Ngo-heng giok cu. Ia menggeleng kepala.

   "Tiada guna......... iblis itu hebat........ lukaku di dada........ ah........ dua kemala di lain saku bajuku......... kutinggalkan untukmu, Kun Hong......... aduuuhhhh............"

   Wanita itu menjadi lemas dan meninggal dunia dalam keadaan tenang, tidak berkelojotan seperti Thai Khek Sian.

   Empat orang nenek kembar menubruk mayat Kui bo Thai houw sambil menangis menggerung-gerung. Kemudian mereka mengambil dua buah batu kemala mujijat dan memberikannya kepada Kun Hong. Tadinya pemuda ini segan menerima.

   "Kongcu....... terimalah........."

   "......... Im-yang giok cu........."

   "......... Ngo heng giok cu........."

   "......... menurut pesan Thai houw........."

   Kata mereka di antara tangis. Memang aneh dan lucu empat orang nenek kembar ini, dalam keadaan susah masih bicara sambung-menyambung sambil menangis. Akhirnya Kun Hong menerima dan menyimpan dua batu kemala mustika itu.

   "Siancai......... siancai........."

   Tiba-tiba entah dari mana datangnya, seorang kakek tinggi kurus berpakaian putih bermuka pucat kehijauan seperti mayat hidup, telah berdiri di situ dan mengebut-ngebutkan kebutannya ke kanan kiri, menggeleng-geleng kepala melihat sekian banyaknya mayat bertumpuk memenuhi tempat itu.

   "Thian Khek Sian menimbulkan bencana hebat......".

   Kun Hong dan yang lain-lain kaget sekali dan menengok. Wi Liong menjatuhkan diri berlutut.

   "Suhu..........."

   Kun Hong juga memberi hormat sambil berlutut.

   "Siansu........."

   Thian Te Cu, kakek itu, tidak berkata apa-apa hanya menggeleng-geleng kepala, kelihatan sedih sekali melihat sekian banyaknya manusia mati di tempat itu. Tak lama kemudian, datanglah Kwee Sun Tek. Wi Liong memburu dan memeluk pamannya.

   "Paman, Beng Kun Cinjin sudah tewas di tanganku."

   Kwee Sun Tek tidak kelihatan gembira, hanya menarik napas panjang.

   "Dia mencari celaka sendiri."

   Hanya demikian ucapannya, membuat Wi Liong agak heran mengapa sekarang pamannya itu sudah hampir menyerupai sikap gurunya.

   Kemudian barturut-turut muncul Thai It Cinjin bersama Im yang Sian-cu. juga ikut pula murid-muridnya Hui Nio dan Hui Sian diiringkan oleh Kong Bu dan pasukannya. Muncul pula menyusul ke situ Lin Lin, Lan Lan dan Eng Lan yang tak dapat menahan hatinya untuk menyusul Wi Liong dan Kun Hong. Ternyata mereka telah bertemu dengan orang orang kang-ouw yang berdatangan ke situ dan kini orang orang kang-ouw itu juga ikut pula menyusul ke pulau itu karena penasaran mendengar bahwa Thai Khek Sian hendak menyambut kedatangan mereka dengan......... keroyokan orang-orang Mongol!

   Banyak yang bermunculan di situ. Berturut-turut datang Bhok Lo Cinjin yang mewakili Siauw limpai, Kun-lun Lojin atau Pek Mau Sian-jin ketua Kun lun-pai, Hu Lek Siansu ketua Go-bi-pai. Lam san Sian ong si tangan buntung. See-thian Hoat-ong, dan tokuh-tokoh lain. Bahkan muncul pula sambil tertawa-tawa Phang Ek Kok dan muridnya. Sim hui-kiam Kui Sek pemuda gemuk tampan yang dogol dan jujur!

   Semua orang menyatakan bersyukur bahwa tipu muslihat keji yang direncanakan oleh Thai Khek Sian dan kawan kawannya telah digagalkan oleh Kun Hong dan Wi Liong, malah-malah pentolan Mo kauw Thai Khek Sian sendiri tewas dalam pertempurannya melawan iblis wanita Kui-bo Thai houw yang juga terkenal keji.

   Agak tidak enak hati Cin Cin Cu tokoh Go-bi-pai yang dulu menjebak dan menangkap Kun Hong, juga ketua Kun-lun, Pek Mau Cinjin melihat Kun Hong dengan muka merah. Ketika mendengar semua orang memuji Kun Hong, tak tertahan lagi Pek Mau Sianjin melangkah maju menghadapi Kun Hong sambil berkata.

   "Siancai...........! Siapa sangka sekarang kau yang telah berjasa besar membasmi rencana jahat yang membahayakan kami semua. Dulu pinto telah berlaku salah kepadamu, malah nyaris membunuhmu. Orang muda, kalau untuk perbuatan yang dulu itu kau menaruh sakit hati, pinto bersedia menebus di hari ini."

   Tosu tua ini meraba gagang pedangnya sambil menjura.

   "Ah, pinto keduluan oleh Pek Mau Sianjin. Orang muda, pinto juga masih berhutang padamu dahulu di Kun-lun-san. Kalau sekarang harus membayar, pinto bersedia."

   Cin Cin Cu melompat maju dan menjura pula.

   Muka Kun Hong menjadi merah sekali. Sikap dua orang tosu ini sekaligus mengingatkan ia akan semua penyelewengannya sehingga ia dimusuhi orang- orang gagah dari Kun-lun. Ia cepat-cepat balas menjura penuh hormat kepada dua orang kakek itu sambil berkata.

   "Ji-wi toliang harap maafkan dan memberi muka terang kepadaku. Memang kuakui bahwa dahulu aku telah terperosok ke jalan sesat oleh karena pergaulanku dengan orang-orang yang mendidikku. Peristiwa di Kun-lun dahulu adalah karena kesalahanku sendiri. Masih untung aku tidak binasa oleh pukulan totiang Im-yang lian-hoan karena mendapat pertolongan mendiang Liong Thai suhu. Akan tetapi, ji-wi totiang, apakah seorang yang pernah tersesat seperti aku ini tidak boleh mencari jalan benar kembali? Harap ji-wi tidak mendesakku."

   Dua orang tosu ini melangkah mundur dan menjura lagi.

   "Tua-tua pinto menjadi lamur dan tak tahu diri. Maaf, maaf............"

   Kata Pek Mau Sianjin terpukul oleh pengakuan Kun Hong yang terus terang itu.

   Tiba-tiba terdengar suara yang halus namun berpengaruh sekali sehingga orang-orang yang berada di situ menengok. Kiranya Thian Te Cu si Mayat Hidup yang bicara.

   "Cu-wi sekalian. Thai Khek Sian telah terjerumus ke dalam lobang jebakan yang ia pasang sendiri. Sudah terang bahwa srigala-srigala dari utara (orang-orang Mongol) selalu mempergunakan setiap kesempatan dan perpecahan antara kita untuk menghancurkan kita agar pertahanan di selatan menjadi makin lemah dan mudah bagi mereka untuk memperluas jajahannya. Oleh karena itu. aku yang tua mengharapkan mulai sekarang, lenyapkanlah atau sedikitnya kurangilah pertikaian antara kita sendiri agar pada masanya kita akan kuat membantu negara menahan serbuan musuh dari utara. Sekarang harap cu-wi kembali ke tempat masing-masing. Urusan mayat-mayat ini, biar aku yang mengurusnya karena Thai Khek Sian masih terhitung suteku sendiri."

   Semua tokoh di situ makfum siapa Thian Te Cu, biarpun sebagian besar baru kali ini melihat orangnya. Setelah semua memberi hormat mereka berbondong-bondong lalu meninggalkan pulau ini. Tak lama kemudian, di pulau itu hanya tinggal Thian Te Cu dan yang belum pergi adalah Wi Liong, Kun Hong, Eng Lan. Lin Lin dan Lan Lan. Kong Bu dan ayahnya See-thian Hoat-ong, Kwee Sun Tek. Hui Nio dan Hui Sian yang ditahan oleh Kong Bu. Juga Phang Ek Kok dan muridnya, Kui Sek, berkeras menyatakan mau membantu Thian Te Cu mengurus mayat mayat yang banyak itu. Dalam kesempatan kunjungan ini, Kui Sek diam-diam jatuh hati kepada Hui Sian yang kenes dan ayu, dan pemuda yang jujur sekali ini secara terang-terangan menyatakan perasaan hatinya dalam pandang mata dan kata-katanya, membuat Hui Sian tersipu-sipu dan jengah.

   Beramai-ramai dan secara gotong royong mereka semua ini mengurus penguburan sekian banyak mayat itu dan pekerjaan ini baru selesai setelah matahari tenggelam di ujung barat. Thian Te Cu mengucapkan terima kasih kepada orang-orang muda yang bekerja keras itu, kemudian tanpa banyak cakap lagi ia berpamit dan berkelebat pergi, lenyap dari pandangan semua orang. Kwee Sun Tek hendak menyusul gurunya, akan tetapi ditahan oleh Wi Liong yang berseru.

   "Nanti dulu, paman Kwee.........!"

   Kwee Sun Tek yang buta itu menahan kakinya dan menghadapi keponakannya. Dalam kesibukan tadi, memang tidak ada kesempatan bagi paman dan keponakan ini untuk bicara. Wi Liong membawa pamannya ke samping, lalu ia bicara terus terang tentang perjodohannya.

   "Paman, dahulu paman telah memesan supaya aku melanjutkan perjodohan dengan seorang puteri dari Kwa Cun Ek lo-enghiong, malah untuk ikatan jodoh ini paman sudah memberikan sebuah kalungku, bukan?"

   "Betul, habis mengapa?"

   Tanya orang buta itu sabar.

   "Ada persoalan rumit, paman. Aku bertemu dengan Tung hai Sian-li dan dalam saat ia menghembuskan napas terakhir, ia memesan dan menjodohkan aku kepada seorang di antara anak-anak kembarnya sebagai pengganti nona Kwa Siok Lan. Aku tidak kuasa menolak. Bagaimana baiknya, paman?"

   Ia lalu menceritakan pengalamannya ketika hal itu terjadi.

   Kalau menurutkan wataknya, Kwee Sun Tek tentu sudah marah-marah mendengar akan hal ini. Akan tetapi sekarang la telah dapat menguasai perasaan hatinya dan dengan tenang ia berkata.

   "'Karena Tung-hai Sian li juga berhak dalam perjodohan itu. baik kau pergi ke Thian mu-san dan tanyakan pendapat Kwa Cun Ek dan puterinya sendiri. Keputusannya terserah mereka. Wi Liong, kau sudah cukup dewasa, aku percaya akan kebijaksanaanmu, aturlah sendiri sebaiknya agar semua fihak senang. Kelak saja kalau hendak dilangsungkan pernikahan, beri tahu padaku ke Wuyi-san. Selamat tinggal."

   Kwee Sun Tek lalu pergi meninggalkan pulau itu menyusul gurunya yang sudah menanti di perahu.

   Sementara itu, orang-orang muda yang lain bergembira setelah pekerjaan berat tadi selesai. Mereka saling berkenalan dan segera mendapat kecocokan satu sama lain. Malah Phang Ek Kok yang gembira bertemu dengan Lan Lan, anak angkatnya yang memang ia sayang, berkelakar sampai semua orang sakit perutnya tertawa-tawa. Terjalin rasa persahabatan yang erat di antara mereka

   Ketika Wi Liong menghampiri mereka dan mendengar bahwa pemuda ini hendak mengunjungi Kwa Cun Ek di dalam gua di lereng Thian-mu-san, segera para muda itu menyatakan ikut serta. Semua orang ingin melihat tunangan Wi Liong dan diam-diam Lan Lan membuat semacam "propaganda"

   Sehingga berbondong-bondong mereka semua ingin menjadi saksi, Kun Hong, Eng Lan, Lan Lan sendiri, Hui Nio, Hui Sian, Lin Lin, malah Kui Sek yang tergila-gila kepada Hui Sian ikut pula, tidak ketinggalan Kong Bu yang minta pertolongan ayahnya supaya pulang lebih dulu bersama pasukannya. See-thian Hoat-ong yang melihat kegembiraan orang-orang muda ini hanya tersenyum sambil menggeleng kepala, diam-diam merasa iri juga bahwa dia sudah terlalu tua untuk menikmati kegembiraan orang-orang muda.

   Berangkatlah mereka beramai meninggalkan pulau kosong itu menuju ke daratan Tiongkok. Dan di darat ini See-thian Hoat-ong memimpin pasukan rombongan orang-orang muda itu. Phang Ek Kok yang cukup awas melihat gerak- gerik muridnya, segera menuju ke tempat tinggal Thai It Cinjin di Kim-Ie-san untuk membicarakan tentang perjodohan, yaitu Kui Sek dengan Hui Sian.

   Akan tetapi selagi rombongan orang muda fon hendak berangkat, Kong Bu yang lebih dulu menyiapkan kuda dari pasukannya, mengeluarkan beberapa ekor kuda tunggangan yang bagus-bagus untuk semua anggauta rombongan, membuat mereka menjadi makin gembira. Tiba-tiba Lin Lin berkata dengan muka sungguh-sungguh.

   "Harap cu-wi berangkat dulu ke Thian mu-san. Aku mempunyai urusan pribadi yang amat penting yang harus kukerjakan lebih dulu. Aku akan segera menyusul ke sana."

   Semua orang kecewa, akan tetapi melihat bahwa Lan Lan juga memperkuat kepentingan adiknya, Kong Bu lalu memberikan kudanya sendiri kepada Lin Lin, katanya.

   "Nona Lin Lin, kudaku ini paling baik dan paling cepat di antara semua kuda. Selain kuat dan cepat larinya, juga dia mempunyai keistimewaan, yaitu bisa tertawa. Kau naiklah kuda ini supaya kau nanti dapat cepat membereskan urusanmu dan dapat mengejar kami."

   Semua orang tidak percaya dan terpaksa Kong Bu memberi bukti. Ia mencemplak kudanya dan berkata.

   "Koai-ma, beratkah bebanmu?"

   Aneh sekali sebagai jawaban kuda itu meringkik seperti orang tertawa terbahak, seakan-akan mengejek dan menyatakan bahwa muatan itu sama sekali tidak berat!

   "Betul tidak kataku? Ia mentertawakan aku!"

   Semua orang ikut tertawa dan suasana menjadi makin gembira.

   Setelah berpamit, Lin Lin lalu menunggang kuda yang bisa tertawa itu dan di lain saat ia sudah membalap pergi meninggalkan rombongan yang melakukan perjalanan ke Thian-mu san perlahan-lahan sambil bercakap-cakap gembira. Hanya Wi Liong yang tampak agak pendiam. Perginya Lin Lin membuat ia merasa kehilangan dan baiknya ada Lan Lan di situ.. Diam-diam ia terkejut dan memaki diri sendiri. Aku telah mencintai mereka berdua, pikirnya. Orang gila, mana mungkin? Urusan dengan puteri Kwa Cun Ek saja belum beres, masa sekarang ditambah seorang gadis seperti Lin Lin pula? Gila!

   Lan Lan dan Suhengnya, Kui Sek, yang pernah mendatangi lereng itu, menjadi penunjuk jalan, juga Kun Hong yang sudah pernah pergi ke tempat itu, menjelaskan kepada Wi Liong di mana tempat tinggal Kwa Cun Ek.

   Karena Wi Liong tak pernah menyebut-nyebut tentang keperluannya mengunjungi Kwa Cun Ek, semua orang kecuali Lan Lan tidak tahu apa yang sebetulnya terjadi dan akan terjadi. Hanya Wi Liong sendiri yang makin berdebar cemas setelah mereka nuuliai mendaki Gunung Thian mu-san, juga wajah Kun Hong agak muram karena ia teringat akan nasib Ciok Kim Li yang tewas di lereng itu. Maka legalah hatinya ketika Wi Liong minta supaya mereka semua menanti di sebuah lereng yang teduh sedangkan dia sendiri bersama Lan Lan melanjutkan perjalanan dengan jatan kaki ke lereng yang dituju. Ini adalah kehendak Lan Lan dan Wi Liong maklum bahwa tunangannya inipun tentu hendak melihat gadis yang sudah lebih dulu ditunangkan kepada Wi Liong. Diam-diam ia makin gelisah, mengkhawatirkan adegan yang amat tak enak antara dua orang gadis yang di luar kehendaknya sudah dijodohkan kepadanya.

   "Turunnya dari tempat ini,"

   Kata Lan Lan seteteh mereka tiba di tepi jurang yang curam itu.

   "Pernah aku bersama suhu dan suheng sampai di tempat ini."

   Keduanya lalu menuruni tebing dan ternyata jalan itu sudah dipersiapkan Lebih dulu, kini tidak sesukar dahulu karena sudah dibuatkan jalan menurun merupakan anak tangga. Jalan ini dahulu yang dibuat oleh Lin Lin dan Lan Lan ketika mereka mengangkat jenazah Kwa Cun Ek untuk dimakamkan. Ketika mereka menuruni lereng itu, terdengar Lan Lan terisak, membuat Wi Liong terkejut sekali.

   "Ada apakah, adik Lan?"

   Lan Lan menyusut air matanya, menggeleng perlahan.

   "Tidak apa-apa."

   Wi Liong berdebar hatinya. Celaka, pikirnya. Belum apa-apa Lan Lan sudah menangis, tentu cemburu dan pasti akan terjadi adegan yang menghebohkan nanti antara Lan Lan dan "tunangannya"

   Yang lain! Akan tetapi ia tidak berdaya dan harus berani menghadapi kenyataan, harus dapat menyelesaikan dan membereskan urusan ini bersama Kwa Cun Ek dan puterinya yang entah siapa itu.

   Akhirnya dua orang muda itu sampai juga di dalam gua. Sunyi saja di situ dan Wi Liong berteriak.

   "Kwa Cun Ek. lo-enghiong, aku Thio Wi Liong datang menghadap!"

   Suara itu bergema di dalam gua. Tak lema kemudian terdengar suara wanita menjawab dari datem.

   "Ayah Kwa Cun Ek telah lama meninggal dunia, siapa yang mencari ayah?"

   Dan dari dalam gua yang agak gelap muncul seorang gadis bertubuh ramping, berwajah ayu agak pucat dengan rambut hitam gemuk digelung tinggi-tinggi ke atas. Ia berjalan dengan tenang menghadapi Wi Liong dan Lan Lan.

   "Siok Lan..........!!"

   Wi Liong berseru dengan suara gemetar.

   Gadis itu tersenyum, sikapnya masih tenang.

   "Siapa menyebut-nyebut nama enci Siok Lan yang sudah meninggal pula? Orang muda aneh, apa kau mimpi? Siapa kau?"

   Tubuh Wi Liong masih menggigil, darahnya selengah beku membuat sampai lama ia tak dapat membuka mulut. Akhirnya ia melihat bahwa gadis yang persis Siok Lan ini jauh lebih muda. Ia cepat menjura dengan hormat dan berkata.

   "Siauwte Thio Wi Liong dan datang ke sini hendak......... hendak......... bertemu dengan Kwa-lo enghiong."

   Gadis itu nampak terkejut.

   "Ahhh.......... ayah sebelum meninggal dunia pernah menyebut nama itu. Katanya Thio Wi Liong adalah......... adalah calon mantunya. Jadi kaukah orangnya? Sudah nasibku........ diserahkan kepada orang yang belum pernah kulihat sebagai pengganti enci Siok Lan. Tuan Thio. yang ditinggalkan oleh ayah hanyalah aku dan........ dan.........mereka ini. Kau boleh pilih.........."

   Cepat gadis itu mengeluarkan sebuah karung besar dan membukanya. Seekor monyet kecil meloncat keluar, diikuti oleh seekor kadal besar.

   Wi Liong membelalak. Siapa pernah menyebut-nyebut tentang monyet dan kadal? Yang berkata bahwa siapa tahu kalau puteri Kwa Cun Ek seperti monyet atau kadal?

   ''Lin Lin.........!"

   Teriaknya dan sekarang terbukalah matanya. Tak salah lagi, Lin Lin-lah gadis ini! Ia menjadi begitu girang sampai lupa keadaan, menubruk maju dan memeluk gadis itu. Lin Lin tak kuasa mengelak, hanya meramkan mata dalam pelukan Wi Liong sambil berbisik lirih.

   "Apa kau cocok dengan pilihan pamanmu!?"

   "Lin Lin. siapa kira......... kau orangnya!"

   Kata Wi Liong mesra.

   Lan Lan melangkah maju, wajahnya cemberut, ia pura-pura marah "Apa apaan ini? Adikku sendiri merampas tunanganku! Kalau betul kau yang dijodohkan, mana buktinya?"

   Wi Liong baru teringat akan Lan Lan dan cepat melepaskan pelukannya, kini berdiri bingung dan bengong, tak tahu harus berbuat apa. Lin Lin tertawa kecil dan mengeluarkan kalung kecil berhuruf LIONG yang selalu ia pakai.

   "Inilah buktinya, tanda mata pengikat jodoh."

   Kini wajah Lan Lan berseri dan sambil memandang Wi Liong ia berkata.

   "Kalau begitu, baik sekali. Adikku Lin Lin inilah tunanganmu yang sah. adapun aku.......... baik kau lupakan saja pesan terakhir dari ibu."

   "Tidak bisa! Eh.......... kumaksud......... tak mungkin mengingkari pesan Tung-hai Sian-li begitu saja........."

   Kata Wi Liong gagap.

   "Habis, maumu bagaimana?"

   Lin Lin pura-pura marah membentak.

   "Kau mau putuskan lagi ikatan jodohmu dengan puteri ayah seperti yang kaulakukan terhadap enci Siok Lan dulu?"

   "Tidak.........! Itupun tidak bisa jadi! Aku......... aku......... aduh. bagaimana ini?"

   Wi Liong makin bingung, wajahnya sampai pucat, peluh membasahi mukanya.

   "Bilang saja terus terang, apakah kau setuju dengan pesan ibu, apakah kau......... mencintaku?"

   Tanya Lan Lan menantang.

   Wi Liong mengangguk.

   "Aku setuju sekali dan aku cinta padamu, adik Lan....... tapi......"

   "Nanti dulu!"

   Lin Lin memotong dengan bentakan pula. Apakah kau tidak kecewa akan pilihan pamanmu dan apakah kau mencinta padaku?"

   "Aku girang sekali akan pilihan paman dan aku......... akupun cinta padamu, adik Lin."

   "Uhh, gila.........!"

   Seru Lan Lan.

   "Mata keranjang!"

   Sambung Lin Lin.

   Wi Liong mengambil keputusan nekat. Ia menyambar lengan Lan Lan dengan tangan kiri dan lengan Lin Lin dengan tangan kanan. Kepandaiannya yang lebih tinggi memungkinkan ia memeluk dua orang gadis itu sekaligus di kanan kiri tanpa dua orang gadis itu mampu berkutik.

   "Lan Lan, Lin Lin, dengarlah baik-baik. Aku cinta kepada kalian berdua dan tak mungkin aku berpisah dari seorang di antara kalian. Bagiku, kalian tiada bedanya, keduanya merupakan penjelmaan Siok Lan. Aku tidak akan bisa mencinta Lan Lan tanpa adanya Lin Lin dan demikian sebaliknya. Aku harus mendapatkan kalian berdua sebagai kawan hidup atau......... tidak sama sekali dan aku akan menyusul Siok Lan di alam baka. Aku cinta kalian seluruh cinta kasihku dahulu terhndap Siok Lan sekarang berpindah kepada kalian yang kuanggap sebagai penjelmaan Siok Lan. Lan Lan, Lin Lin, kalian menjadi tunanganku secara sah. Kalian harus menaruh kasihan kepadaku... kekasihku...."

   Lan Lan dan Lin Lin saling pandang dan tersenyum.

   
Cheng Hoa Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Orang bodoh, apakah selama ini kau tidak melihat bahwa kami berdua juga mencintamu?"

   Bisik Lan Lan.

   "Enci Lan Lan dan akupun tak mau saling berpisah, karenanya tidak mungkin kami mempersuamikan dua orang pria. Kaulah orangnya pilihan hati kami"

   Tidak ada kegirangan di dunia ini yang melebihi kegirangan pada saat itu bagi Wi Liong. Ia memeluk makin mesra dan berkata.

   "Terima kasih... kalian berdua isteri-isteriku yang kucinta...."

   Lin Lin dan Lan Lan sekaligus memberontak dan melepaskan diri.

   "Cih, tak tahu malu!"

   Lan Lan menggoda.

   "Menikah juga belum sudah menyebut-nyebut isteri. Benar tak patut!"

   Lin Lin menyambung.

   Wi Liong tertawa, tertawa bergelak sehingga suara ketawanya berkumandang di dalam gua, keluar dan bergema di lereng bukit Thian-mu-san. Dalam kebahagiaannya, pemuda ini ketawa sambil mengerahkan tenaganya, membuat sekeliling tempat itu seperti tergetar!

   Mereka bertiga sambi bergandengan tangan, Wi Liong di tengah, mendaki jurang itu dan bersembahyang di depan makam Kwa Cun Ek. Kemudian mereka meninju ke empat kawan-kawan yang menanti tak sabar. Melihat Wi Liong datang menggandeng dua orang gadis kembar, sekarang Lin Lin sudah merobah sanggul dan pakaiannya seperti semula, kawan-kawan itu menjadi terheran. Akan tetapi Kun Hong dapat mengerti. Bersama Eng Lan ia menyambut sambil tertawa-tawa. Saking girangnya, tanpa malu-malu lagi Wi Liong memperkenalkan dua gadis kembar itu.

   "Saudara-saudara ketahuilah, nona nona Lan Lan dan Lin Lin ini adalah calon isiteri-isteriku, dijodohkan oleh Kwa Cun Ek lo enghiong dan Tung-hai Sian-li."

   Semua orang bersorak girang dan bergantian memberi selamat sambil tertawa-tawa. Lin Lin lalu mengajak mereka ke sebuah rumah seorang petani di mana ia menitipkan kudanya. Kuda itu meringkik gembira melihat rombongan orang-orang muda itu.

   "Wi Liong, aku merasa girang melihat nasibmu yang baik. Terimalah ini sebagai tanda mata, dan terimalah kembali Cheng-hoa-kiam,"

   Kata Kun Hong yang mengeluarkan dua buah batu kemala keramat Im-yang giok-cu dan Ngo-heng-giok cu, juga mengembalikan pedang.

   Wi Liong menerima dua buah batu kemala itu, akan tetapi ia memberikan pedang kepada Kun Hong.

   "Kun Hong, pedang Cheng-hoa-kiam adalah pedang seorang pendekar budiman dan patut sekali berada di tanganmu. Aku percaya bahwa selanjutnya kau akan menggunakan pedang itu sebagaimana layaknya."

   Kun Hong hendak menolak, akan tetapi Wi Liong mendesak.

   "Kau memberi tanda mata sebagai ucapan selamat atas pertunanganku, apakah akupun tidak boleh memberikan pedang Cheng-hoa-kiam sebagai tanda mata dan ucapan selamat atas pertunanganmu dengan....... dengan......"

   Wi Liong memandang kepada Eng Lan penuh arti. Biarpun tidak menyebut nama, semua orang tahu dan bersorak girang, memberi selamat kepada Kun Hong dan Eng Lan yang menjadi merah sekali mukanya. Kun Hong berlinang air mata, hanya bisa mengucap lirih,

   "Aku bahagia......, ibu......., aku bahagia....."

   Wi Liong berjanji akan minta bantuan suhunya untuk membicarakan perjodohan antara dua orang muda itu.

   "Akupun tidak ketinggalan, memberi selamat dan biarlah kuberi tanda mata kudaku yang bisa ketawa itu,"

   Kata Kong Bu kepada Wi Liong..

   Wi Liong menyatakan terima kasihnya.

   "Kami bertiga hendak pergi ke Wuyi-san menjumpai suhu. Kawan-kawan, selamat berpisah sampai berjumpa pula di........."

   "Pesta pernikahan!"

   Sambung Kun Hong dan semua orang bersorak menyatakan setuju.

   Kuda koai-ma dikeluarkan, juga kuda Wi Liong dan kuda Lan Lan. Akan tetapi Kong Bu yang timbul kegembiraannya berkata.

   "Aku hanya memberi tanda mata seekor kuda itu saja, maka harus kalian pakai bertiga!"

   Semua orang tertawa menggoda dan Wi Liong menjadi merah mukanya.

   "Masa seekor kuda untuk bertiga? Apa dia kuat?"

   "Eh, eh, Thio-taihiap jangan memandang rendah. Coba saja dulu!"

   Kata Kong Bu.

   "Kalau tidak kuat baru aku mau memberi dua ekor lagi."

   Lin Lin melompat ke atas kuda koai-ma itu, Wi Liong terpaksa melompat pula di belakangnya dan Lan Lan juga melompat di belakang Wi Liong.

   "Koai-ma. apakah bebanmu terlampau berat?"

   Tanya Kong Bu.

   Kuda itu menggerakkan empat kakinya ke depan, mulutnya menyengir dan mengeluarkan ringkikan tertawa berkakakan. Sebentar kemudian kuda itu membalap maju dikemudikan oleh Lin Lin. Mereka sekali lagi menengok ke belakang dan semua orang mengangkat tangan memberi salam terakhir. Eng Lan dan Hui Sian tak dapat menahan bertitiknya air mata menyaksikan kebahagiaan yang mengharukan itu.

   Beberapa bulan kemudian. Wuyi-san ramai bukan main, para tamu dari pelbagai kalangan, terutama sekali orang-orang kang-ouw, mendaki Bukit Wuyi-san untuk menghadiri pesta besar-besaran yang diadakan di bukit itu untuk merayakan pernikahan masal antara Wi Liong dengan Lan Lan dan Lin Lin, Kun Hong dengan Eng Lan, Kong Bu dengan Hui Nio. dan akhirnya Hui Sian dengan......... Kui Sek! Setelah berusaha susah-payah, akhirnya pemuda dogol jujur gemuk tampan ini berhasil juga mencuri hati Hui Sian dan mendapat banyak bantuan dalam hal ini dari su-moinya, Lan Lan.

   Demikianlah, cerita CHENG-HOA KIAM ini ditutup dalam suasana penuh kebahagiaan dan sedikit catatan dari pengarang bahwa orang yang pernah menyeleweng dalam hidupnya, tersesat ke dalam kejahatan, belum tentu akan menjadi hina seterusnya asalkan dia cepat sadar dan insyaf akan kesesatannya, secara radikal dan berani membanting setir hidupnya, kembali ke jalan benar dan memulai lembaran baru yang bersih dan berguna dalam hidup yang tak berapa lama ini, seperti yang telah dialami oleh Kun Hong.

   TAMAT

   Solo Mei 1965

   Penerbit : CV. GEMA - Solo 1976

   Di Upload Oleh : Radenmas Dul Betoq pada :

   https://www.facebook.com/groups/Tiraikasih/635540856563821

   DJVU Oleh : BBSC

   Ebook Oleh : Dewi KZ & Budi S

   http://kangzusi.com dan http://dewi-kz.com

   


Rajawali Hitam Karya Kho Ping Hoo Bu Kek Siansu Karya Kho Ping Hoo Pedang Penakluk Iblis Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini