Ceritasilat Novel Online

Cheng Hoa Kiam 4


Cheng Hoa Kiam Karya Kho Ping Hoo Bagian 4



Selagi Kam Ceng Swi melakukan perondaan di bagian selatan dan memberi tahu kepada kawan-kawannya bahwa hari pertemuan itu sudah dekat dan mungkin sekali para tamu akan datang, terdengar suara keras.

   "Kun-lun-pai benar-benar menjadi pasukan besar!"

   Semua orang terkejut dan Kam Ceng Swi yang bermata tajam melihat berkelebatnya bayangan orang dari lereng. Cepat ia mengangkat tangan memberi hormat dan berkata.

   "Couwsu Kun lun Lojin mengutus teecu sekalian untuk menyambut kedatangan para locianpwe. harap saja Locianpwe yang baru datang sudi memperlihatkan diri."

   Ucapannya ini disambut oleh suara ketawa dingin, lalu tiba-tiba muncullah seorang kakek yang gemuk pendek, tangan kirinya buntung sebatas siku. pakaiannya seperti orang gila, tambal tambalan kembang-kembangan tidak karuan. Ia memegang sebatang tongkat bambu butut. Dengan mata bergerak-gerak liar ia menghampiri Kam Ceng Swi, meludah ke kiri lalu berkata.

   "'Kau ini apanya Kun-Iun Lojin?"

   "Teecu yang bodoh adalah murid suhu Kun-Iun Lojin, bernama Kam Ceng Swi. Mohon petunjuk locianpwe siapakah agar teecu dapat memberi tahu kepada suhu tentang kedatangan locianpwe."

   Orang itu tertawa bergelak suara ketawanya ha-ha-hi-hi seperti orang gila ketawa.

   "Aku datang, kau di sini belum tahu siapa, akan tetapi dua orang tua bangka di puncak itu sudah lama tahu. Ha-ha-ha kau terlalu banyak peraturan, lebih pantas menjadi orang berpangkat dari pada menjadi pertapa."

   Kam Ceng Swi kaget sekali. Orang aneh ini datang-datang sudah tahu bahwa di puncak ada suhunya dan Bhok Lo Cinjin, benar-benar luar biasa sekali. Tiba-tiba orang aneh ini tanpa bicara apa-apa lagi menerobos saja ke atas, gerakannya cepat sekali. Kam Ceng Swi tidak berani sembrono, ia dan para sutenya hanya berdiri saja dan tidak memberi jalan, sengaja ia menutup jalan dengan batu besar dan jalan itu menjadi kecil saja. Orang yang akan naik harus melalui jalan yang dua kaki lebarnya ini dan sekarang lorong ini sudah la tempati bersama sute-sutenya. Akan tetapi orang aneh itu seakan-akan tidak melihat adanya batu besar. Ia berjalan terus dan....... batu besar itu kena tertendang kedua kakinya yang berjalan terus. Bagaikan sebuah bola karet besar, batu itu tertendang maju, menggelinding naik. kemudian susulan tendangan kedua membuat batu yang beratnya ratusan kati ini menggelundung ke dalam jurang!

   Melihat gerak-gerik aneh dari tamu ini, Kam Ceng Swi menjadi curiga. Biarpun ia telah melihat demonstrasi tenaga yang luar biasa, namun hal ini bagi Kam Ceng Swi bukan apa-apa. Dia adalah murid terkasih dari Kun-Iun Lojin. tentu saja memiliki kepandaian tinggi. Dia sudah menerima pesan suhunya bahwa kali ini mungkin Kun-lun-san akan didatangi orang-orang aneh dari pihak mo kauw yang selalu memusuhi orang-orang kang ouw golongan bersih, maka ia harus menjaga dengan hati-hati.

   Melihat tamu itu menerobos saja, Kam Ceng Swi sudah melompat naik untuk mengejarnya, akan tetapi begitu kakinya turun menginjak tanah, hampir ia terpeleset jatuh. Tanah yang diinjaknya itu tiba-tiba bergoyang dan batu-batu berserakan Ketika ia memandang, ternyata orang aneh itu menggerakkan tangan kirinya ke arah tanah yang diinjaknya. Tahulah dia bahwa orang itu telah sengaja hendak mempermainkannya. Sungguhpun permainan itu tidak membahayakan jiwanya, setidaknya dapat membuat ia jatuh, kaget dan malu.

   "'Locianpwe harap memperkenalkan diri dulu......"

   Katanya mengejar terus. Orang itu hanya tertawa mengejek, tanpa perdulikan Kam Ceng Swi ia maju terus.

   Selagi Kam Ceng Swi hendak mengerahkan tenaga untuk menyusul tiba tiba terdengar suara parau dari atas.

   "Lam-san Sian-ong kakek gila, kau datang tidak lekas-lekas naik ke sini, malah bermain-main dengan anak-anak. Apa gilamu sudah kumat lagi?"

   Lam-san Sian-ong, orang aneh itu. tertawa bergelak "Bhok Lo Cinjin, kau selamanya tidak suka main-main!"

   Dan berbareng dengan kata-kata itu, tubuhnya melesat bagaikan burung terbang ke atas puncak, membuat Kam Ceng Swi menjadi bengong terlongong. Baru ia tahu bahwa kakek aneh yang seperti orang gila itu bukan lain adalah Lam san Sian ong, tokoh dari selatan yang sering dipuji-puji gurunya sebagai seorang sakti yang tinggi ilmu silatnya. Benar-benar tak dinyana sama sekali!

   Tak lama kemudian berdatanganlah para tamu yang diundang oleh Kun-lun Lojin. Pertama-tama datang Hu Lek Siansu, hwesio yang menjadi ketua di Go bi pai, hitam kurus dan bersikap angker sekali. Kam Ceng Swi sudah mengenal tokoh besar ini maka bersama para sute dan muridnya ia buru-buru menyambut dengan penuh penghormatan. Hu Lek Siansu ini datang bersama seorang yang gagah sekali. Usianya kurang lebih limapuluh tahun, tubuhnya tinggi besar dan tegap, pakaiannya seperti seorang panglima perang, indah dan gagah sekali. Jalannya seperti seekor singa, mukanya merah seperti muka Kwan Kong, benar benar seorang yang pantas menjadi seorang panglima perang yang gagah perkasa.

   Melihat keadaan orang ini. Kam Ceng Swi segera mengenalnya, biarpun ia belum pernah bertemu muka. Tokoh besar ini tentulah See thian Hoat-ong. jago tua dari barat, bekas raja muda di Sin-kiang yang sudah mengundurkan diri. Cepat ia memberi hormat dan mempersilahkan dua orang tokoh besar ini naik ke puncak.

   Kini sudah ada lima orang tokoh besar di puncak. Tinggal dua orang lagi yang masih ditunggu kedatangannya. Kam Ceng Swi sudah diberi tahu gurunya bahwa yang dua lagi itu adalah Pak- thian Koanjin, tokoh utara yang belum pernah dilihatnya dan ke dua adalah Tung-hai Sian-li, tokoh timur yang juga belum pernah dilihatnya, maka ia menanti dengan hati-hati jangan sampai salah duga seperti ketika bertemu dengan Lam-san Sian-ong tadi.

   Tiba-tiba datang seorang sutenya berlari lari. Sutenya ini tadinya menjaga di bagian utara.

   "Kam suheng, celaka! Kun Hong diculik orang gil.!"

   Tentu saja Kam Ceng Swi menjadi kaget bukan main. Seperti telah dituturkan di bagian depan. Kam Ceng Swi telah menolong Kun Hong ketika bocah ini baru berusia setengah tahun, menggeletak di dekat mayat ibunya. Selama itu, Kam Ceng Swi merawat Kun Hong dan menganggapnya seperti anak sendiri. Sekarang Kun Hong sudah berusia enam tahun, hidup di Kun lun-san, menjadi buah hati semua anak murid Kun lun pai. Juga Kun-lun Lojin suka kepada bocah yang dianggapnya berbakat baik ini, malah couwsu ini pernah menyatakan bahwa kalau berjodoh, kelak ia akan mewariskan ilmu-ilmu Kun lun pai kepada bocah itu.

   Mendengar laporan sutenya. Kam Ceng Swi cepat melompat dan bersama sute-sutenya yang lain ia lari ke tempat itu, yaitu di bagian penjagaan sebelah utara. Dari jauh ia sudah mendengar suara Kun Hong bersorak girang.

   "Haaa......... suhu lucu sekali.........!"

   Kam Ceng Swi melihat seorang kakek bertubuh kecil pendek seperti orang katai, pakaiannya seperti pakaian pengemis, matanya besar dan berkejap-kejapan saja seperti orang sakit mata, mulutnya tersenyum-senyum nakal. Kakek ini sedang main ayun-ayunan di atas cabang pohon yang menjulur ke atas jurang dan ia memondong tubuh Kun Hong yang dilempar lemparkan ke atas seperti orang main anak-anakan saja. Kalau dilihat betapa cabang sebesar ibu jari kaki itu menjulur ke atas jurang yang tidak dapat diukur dalamnya, benar-benar permainan itu berbahaya sekali! Sekali cabang itu patah atau sekali saja kakek itu tidak tepat menerima kembali tubuh Kun Hong yang dilempar-lempar ke atas, habislah nyawa mereka. Akan tetapi Kun Hong malah tertawa-tawa girang. Memang anak ini selalu bergembira dan wataknya agak nakal, suka sekali main-main tanpa mengenal bahaya.

   Melihat kedatangan Kam Ceng Swi, Kun Hong segera berseru setelah ia turun kembali dan berdiri di atas pundak kakek itu.

   "Ayah, lihat ini! Suhu cebol ini pandai sekali. Aku ingin menjadi muridnya."

   Akan tetapi Kam Ceng Swi tidak perdulikan seruan putera angkatnya. Ia memperhatikan kakek itu dan dapat menduga bahwa tentu orang ini yang bernama Pak thian Koaijin, tokoh utara yang sebetulnya adalah suheng dari Hu Lek Sian-su ketua Go-bi-pai. Tentu saja kepandaiannya amat tinggi. Maka ia menjura sambil berkata.

   "Apakah locianpwe bukan Pak thian Koaijin yang ditunggu kedatangannya oleh suhu Kun-Iun Lojin?"

   Kakek itu tertawa bergelak dan sekali melompat ia sudah berada di depan Kam Ceng Swi.

   "Jadi, kau ayah anak ini? Ha ha. sungguh lucu. Baru sekarang aku mendengar murid Kun-lun-pai membawa anak isterinya ke gunung. Apa Kun-lun Lojin si tua bangka sudah merobah aturan?"

   "Teecu......teecu tidak beristeri......"

   Jawab Kam Ceng Swi dengan muka merah untuk membantah tuduhan yang mencemarkan nama Kun lun pai ini.

   "Ho-ho. tidak beristeri punya anak? Kau ini laki-laki, perempuan, atau banci?"

   Memang kakek cebol ini suka sekali berkelakar dan amat nakal suka menggoda orang, tak perduli siapa orang yang dihadapinya itu.

   Muka Kam Ceng Swi makin merah.

   "Locianpwe harap jangan main-main. Teecu bernama Kam Ceng Swi murid suhu Kun-lun Lojin dan anak ini adalah anak angkat teecu. Locianpwe sudah ditunggu di atas, silahkan naik terus.

   "

   Kembali kakek itu tertawa.

   "Jadi bukan anakmu? Bagus. anak ini bertulang baik, cocok menjadi muridku. Biar aku minta dia dari tangan tua bangka Kun lun Lojin."

   Setelah berkata demikian, ia mengeluarkan sebuah kembang gula yang kelihatannya kotor sekali kepada Kun Hong. lalu sekali berkelebat ia lenyap dari depan mata.

   Kam Ceng Swi menarik napas panjang, dan tiba-tiba ia merampas kembang gula yang sudah diterima oleh Kun Hong dan hendak dimasukkan ke dalam mulutnya yang kecil.

   "Bodoh, kembang gula sekotor ini hendak dimakan. Rakus benar kau! Lebih baik buang saja!"

   Kam Ceng Swi melempar kembang gula itu ke bawah lereng.

   Tiba-tiba berkelebat bayangan biru dan tahu tahu seorang wanita yang cantik dan gagah, berpakaian biru telah berkelebat dan menyambar kembang gula itu. Dia sudah berusia empat puluh lima tahun, namun masih kelihatan muda dan cantik, sikapnya keren dan galak, pedang yang indah gagangnya tergantung di pinggang.

   "Hemm, sin-tan (obat sakti) ini pembersih darah. Sayang kakek gila itu memberikan kepada orang yang tak tahu diri. Lebih baik dikembalikan kepadanya."

   Setelah berkata demikian, ia berjalan terus ke atas.

   Kam Ceng Swi yang mengenal wanita ini sebagai Tung-hai Sian li. biarpun belum pernah bertemu dengannya, cepat memberi hormat yang tak dijawab oleh wanita galak itu. Diam-diam Kam Ceng Swi merasa menyesal mengapa tadi ia begitu ceroboh membuang obat kuat yang dikiranya hanya kembang gula yang dapat mendatangkan batuk.

   "Kenapa kau keluar dan menimbulkan onar di sini?"

   Ia menegur Kun Hong dengan marah.

   Anak itu mainkan bibir dan matanya. Memang Kun Hong tampan sekali, kulit mukanya putih, bibirnya merah dan matanya indah dan tajam.

   "Ayah dan semua susiok pergi melakukan penjagaan, kata para suheng akan datang tamu-tamu aneh dari bawah gunung. Anak mana bisa kerasan tinggal di dalam rumah menghafal pelajaran? Suhu tadi lucu dan pandai, sayang dia pergi....."

   "Jangan kau kurang ajar, dia itu tamu dari sucouw. Hayo kau kembali kepada pelajaranmu membaca!"

   Akan tetapi sebelum Kun Hong pergi, bocah ini menengok ke bawah dan berseru.

   "Ada tamu lagi, sekarang dengan anaknya!"

   Kam Ceng Swi dan yang lain-lain memandang. Betul saja dari lereng bukit itu kelihatan dua orang mendaki dengan susah payah. Seorang laki-laki yang gagah, jenggot dan kumisnya penuh tak terpelihara, berjalan perlahan menggandeng seorang anak laki-laki berusia tujuh tahun. Bocah itu memandang ke atas lalu berseru girang.

   "Paman, itu di atas ada orang!"

   "Bagus. Wi Liong. Mari kita ke sana."

   Mereka terus mendaki ke atas. Kam Ceng Swi terheran-heran. Melihat gerak-gerik orang itu, jelas bahwa dia seorang ahli silat yang pandai. Akan tetapi mengapa ia mendaki bukit demikian perlahan dan lambat, tidak mempergunakan gin-kangnya? Malah kelihatannya seperti anak itu yang menuntun dan mencari jalan! Apa dia terluka? Mukanya kelihatan sehat.

   Mudah diduga siapa adanya orang itu. Dia bukan lain adalah Kwee Sun Tek yang sudah menjadi buta biarpun matanya kelihatan melek. Anak itu adalah Thio Wi Liong. Menurut petunjuk dari Siang Tek Hosiang. Sun Tek mengajak Wi Liong ke Kun lun-san.

   Akhirnya, setelah susah payah mendaki, mereka berhadapan dengan Kam Ceng Swi dan para sutenya yang bertugas menjaga.

   "Siapakah saudara yang baru datang ini dan ada keperluan apa mendaki ke Kun lun pai?"tanya Kam Ceng Swi, masih belum tahu bahwa tamunya adalah seorang buta.

   "Siauwte bernama Kwee Sun Tek dan kedatangan siauwte ini hendak mencari Bhok Lo Cinjin yang kabarnya berkunjung ke sini,"

   Jawab Kwee Sun Tek sambil menjura memberi hormat.

   Kam Ceng Swi menjadi curiga. Memang hatinya masih panas dan penasaran karena peristiwa dengan Pak-thian Koaijin tadi. masih merasa khawatir kalau-kalau kakek aneh itu benar-benar akan membawa pergi Kun Hong sebagai muridnya. Kekhawatiran ini membuat ia agak kurang ramah.

   "Memang benar Bhok Lo Cinjin berada di puncak, menjadi tamu dari guruku Kun-lun Lojin. Akan tetapi menyesal sekali tak seorangpun diperbolehkan naik ke puncak pada waktu ini. Baik suhu maupun Bhok Lo Cinjin tidak mau diganggu. Tidak tahu saudara mencari Bhok Lo Cinjin ada urusan apakah?"

   Urusan Sun Tek adalah urusan pribadi dan dalam penyerahan keponakannya sebagai murid, tentu ia harus menceritakan tentang duduknya perkara dari mulai pembunuhan terhadap enci dan cihunya oleh bekas gurunya, Beng Kun Cinjin, sampai ia menjadi buta matanya. Maka tak mungkin diceritakan kepada sembarang orang.

   "Ada urusan pribadi yang amat penting. Oleh karena itu. harap sahabat yang baik sudi menolong kami bertemu dengan Bhok Lo Cinjin,"

   Jawab Sun Tek singkat.

   "Sayang sekali tak mungkin hal itu dilaksanakan. Lebih baik saudara Kwee turun gunung saja dan menanti di bawah gunung sampai Bhok Lo Cinjin pulang. Menanti di sini selain percuma. juga tidak diperbolehkan oleh partai kami."

   Sun Tek mengerutkan keningnya, hatinya kecewa dan menyesal sekali. Tiba- tiba perhatian mereka tertarik kepada Kun Hong dan Wi Liong yang agaknya bertengkar.

   Begitu melihat Wi Liong, Kun Hong yang nakal sudah mendekatinya dan berkata.

   "Apa kau berani melawan aku?"

   Wi Liong memandang dengan mata tajam. Bocah ini wataknya pendiam dan pikirannya sudah masak karena gemblengan penderitaan. Ia tahu berhadapan dengan seorang bocah nakal, maka jawabnya tenang.

   "Tentu saja berani."

   Kun Hong tersenyum mengejek, mengepal tinju dan memasang kuda-kuda sambil menantang; "Kalau kau berani, majulah. Mari kita mengadu kepalan!"

   Wi Liong tetap berdiri tenang dan menggeleng kepala.

   "Mengapa? Kau takut padaku?"

   Kun Hong mengejek.

   "Aku tidak takut, hanya tidak mau berkelahi,"

   Jawab Wi Liong.

   "Ha, kau pengecut! Mulutmu bilang berani akan tetapi sebetulnya kau takut. Hi-hi!"

   Kun Hong mengejek mentertawakan.

   "Aku datang ikut paman bukan untuk berkelahi. Laginya, aku takkan berkelahi tanpa alasan "

   Jawab Wi Liong yang menjadi panas juga hatinya.

   "Macammu ini, mana berani bertempur? Nah. aku beri alasan, coba kau berani melawanku tidak!"

   Sambil berkata demikian, Kun Hong menggeser kakinya ke depan dan mengayun tangannya.

   "Plak!"

   Pipi kiri Wi Liong digamparnya sampai menjadi merah.

   Wi Liong mulai naik darah, akan tetapi bocah ini memang mempunyai pikiran matang. Ia maklum bahwa pamannya mengajaknya ke tempat itu untuk mencarikan guru yang pandai, tentu saja ia tidak boleh sembarangan membikin kacau dengan perkelahian melawan bocah nakal ini tanpa perkenan pamannya. Ia menengok kepada Sun Tek dan bertanya.

   "Paman, bocah nakal ini telah menampar pipiku tanpa sebab apakah aku harus membalasnya?"

   Sun Tek memang sudah tak senang hati mendengar sikap Kam Ceng Swi yang tidak ramah, kini mendengar percekcokan antara keponakannya dengan seorang bocah nakal, bahkan keponakannya digampar, ia menjadi marah.

   "Kau membikin malu pamanmu kalau kau tidak membalas hinaan orang."

   Mendengar jawaban ini. Wi Liong lalu memasang kuda-kuda dan berkelahilah dua orang anak itu. Mereka sama-sama terlatih sejak kecil, akan tetapi Wi Liong menang tua setahun lebih, pula tubuhnya lebih kuat karena sejak kecil ia memantau dan menderita. Maka setelah lewat belasan jurus, ia berhasil memukul dada Kun Hong sampai roboh terjengkang. Kun Hong merayap bangun tanpa mengeluarkan keluhan sedikitpun dan sudah bersiap hendak menerjang lagi, akan tetapi Kam Ceng Swi mencegah.

   "Cukup, jangan kau kurang ajar terhadap tamu!"

   Mendengar bentakan ini, Kun Hong mundur, akan tetapi ia tersenyum kepada Wi Liong dan berkata.

   "Bocah, siapa namamu?"

   "Aku Thio Wi Liong!"

   "Bagus, akan kuingat nama itu. Kelak akan datang saatnya kita bertemu satu lawan satu dan melanjutkan pertandingan ini. Aku Kam Kun Hong!"

   "Diam kau!"

   Bentak Kam Ceng Swi yang diam-diam merasa geli juga melihat sikap Kun Hong yang ugal-ugalan namun lucu. Adapun Sun Tek menjadi gemas dan mendongkol mendengar semua itu. Ia berkata kepada Wi Liong,

   "Mari kita pergi saja, agaknya kita kesasar ke tempat orang-orang yang tidak sopan."

   Seorang sute Kam Ceng Swi yang berdarah panas menjadi marah mendengar sindiran ini. Ia bergerak maju dan menjambret leher baju Sun Tek sambil berkata keras.

   "

   "Apa kau bilang? Jangan kau berani menghina fihak Kun-lun-pai, tahu?"

   Sun Tek yang sudah marah karena kecewa hatinya itu, mengibaskan lengannya ke arah lengan orang yang mencengkeram leher bajunya sambil mengerahkan tenaga.

   "Bluk!"

   Orang itu terpelanting dan mengaduh kesakitan karena tulang lengannya sudah patah!

   "Kun-lun-pai atau partai yang manapun juga, kalau orang-orangnya tak tahu aturan tak perlu dihormati!"

   Kata Sun Tek. Memang tak dapat terlalu disalahkan sikap Sun Tek. Dia seorang yang sudah buta, sudah melakukan perjalanan amat jauh dan setengah mati. Sekarang, setelah tiba di tempat tujuan, bukan saja ia tidak diperbolehkan bertemu dengan Bhok Lo Cinjin. malah ia mendapat perlakuan yang kurang hormat. Tentu saja ia menjadi kecewa sekali dan kekecewaannya inilah yang membuat darahnya menjadi panas dan mudah marah.

   Kam Ceng Swi juga sedang tak senang hati. Ia seorang ahli filsafat, seorang bekas pembesar, dan kepandaiannya tinggi. Akan tetapi, tadi ia telah dipermainkan atau diperlakukan seperti anak-anak oleh para tokoh besar yang menjadi tamu gurunya. Sekarang melihat sikap Sun Tek yang ia anggap orang biasa saja. ia menjadi makin mendongkol.

   "Orang she Kwee, apa kau datang sengaja hendak mengacau?"

   Katanya sambil mendorong.

   Biarpun Sun Tek tak dapat melihat gerakan ini, namun hawa dorongan itu sudah terasa olehnya. Ia kaget sekali karena maklum bahwa lawannya ini benar-benar memiliki tenaga lweekang yang amat hebat. Cepat ia melakukan tangkisan dengan kedua tangannya, namun tetap saja tubuhnya terhuyung ke belakang. Melihat betapa lawannya ini tidak berapa lihai. Kam Ceng Swi tidak mendesak lebih jauh. Sun Tek tentu saja tidak tinggal diam oleh serangan lawan, biarpun ia maklum akan kelihaian lawannya, seberapa bisa ia harus melakukan perlawanan. Maka begitu ia dapat mengatur keseimbangan tubuhnya ia lalu melangkah maju dan melakukan pukulan dengan tangan kirinya. Matanya yang buta membuat ia tidak melihat bahwa Kam Ceng Swi sebetulnya sudah tidak akan menyerangnya lagi.

   Dan pada saat itu, ketika Ceng Swi terpaksa menggerakkan tangan untuk menangkis serangan balasan lawan, terjadilah hal yang amat aneh. Sun Tek yang melakukan pukulan tangan kiri. tiba-tiba merasa ada sesuatu menempel di punggungnya dan membuat pukulannya itu keras bukan main. Ia merasa hawa yang hangat panas menjalar ke dalam tubuhnya dan memenuhi tangan kiri yang melakukan pukulan.

   Kam Ceng Swi menangkis dan......... tidak saja tangannya menjadi terpental, juga pukulan Sun Tek itu terus mengenai dadanya! Kam Ceng Swi terhuyung ke belakang lalu roboh, biarpun pukulan itu tidak membahayakan jiwanya, namun mendatangkan luka yang cukup berat! Sun Tek mendengar lawannya roboh. Ia menyesal bukan main.

   "Aku......... aku tidak niat memukul roboh........."

   Katanya gagap.

   Akan tetapi para anak murid Kun-lun pai tentu saja tidak mau tinggal diam. Melihat Kam Ceng Swi dipukul roboh, mereka beramai maju mengeroyok Sun Tek.

   Kembali terjadi hal yang amat aneh. Di luar kehendaknya sendiri, tubuh Kwee Sun Tek bergerak dan kedua tangannya melakukan pukulan ke kanan kiri.

   Terdengar suara blak-bluk-blak-bhuk dan tubuh para anak murid Kunlun-pai berpelantingan, roboh dan terluka oleh pukulan- pukulan Sun Tek yang tiba-tiba menjadi luar biasa tangguhnya itu!

   "Aku tidak mau berkelahi............ aku tidak memukul..........!"

   Sun Tek berteriak-teriak penuh penyesalan dan juga amat terheran-keran. Ia merasa dirinya seakan-akan kemasukan setan, bergerak di luar kemauannya dan tahu-tahu semua pengeroyok yang jumlahnya ada delapan belas orang, itu roboh semua oleh pukulan pukulannya.

   Tiba-tiba tenaga aneh yang menguasainya itu lenyap meninggalkan tubuhnya. Sun Tek menjadi lemas dan roboh terengah engah di tengah-tengah para korban pukulannya. Keadaan sunyi sekali di sekelilingnya, membuat ia teringat akan keponakannya.

   
Cheng Hoa Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Wi Liong.........!"

   Teriaknya memanggil. Tidak ada jawaban.

   "Wi Liong........., di mana kau.........??"

   Kembali ia berseru, kini lebih keras lagi. Tetap tidak ada jawaban.

   Sun Tek bangkit berdiri, meraba ke kanan kiri dan menjadi gelisah sekali.

   "Wi Liong....!"

   Tiba-tiba dari jauh terdengar suara ketawa, suara ketawanya dua orang, laki-laki dan wanita, dan suara ketawa itu menyeramkan sekali, bahkan mengandung hawa khikang yang mengguncangkan jantung Sun Tek, membuat ia tak tertahankan lagi jatuh duduk di tengah-tengah para korbannya yang masih pingsan!

   "Setan......"

   Gerutunya.

   "apakah Wi Liong dibawa setan........?"

   Tiba-tiba ia meraba ke punggungnya dan mendapat kenyataan bahwa pedang Cheng hoa kiam juga lenyap tanpa ia merasa ada yang ambil!

   Dari puncak bukit melayang turun tujuh orang tokoh besar yang tadinya sedang mengadakan pertemuan. Mereka ini mendengar suara ketawa laki-laki dan wanita tadi dan menjadi kaget bukan main. Cepat mereka berlari-lari ke tempat itu dan menjadi kesima menyaksikan anak murid Kun lun pai malang-melintang dalam keadaan pingsan, dan di tengah tengah antara mereka duduk seorang laki laki yang brewok dan gagah, yang secara aneh meraba-raba ke kanan kiri seperti orang buta, biarpun matanya melotot lebar.

   Kam Ceng Swi yang tidak pingsan, merangkak bangun ketika melihat suhunya datang bersama enam orang tamunya.

   "Suhu........."

   Katanya lemah.

   Kun-lun Lojin menghampiri muridnya ini dan wajah yang halus itu menjadi berkerut. Kakek ini mengeluarkan sebungkus obat bubuk warna kuning, memberikan obat kepada muridnya sambil berkata,

   "Telan dulu obat ini, kau telah menerima pukulan yang mengandung hawa beracun."

   Kam Ceng Swi menerima obat itu dan menuangkan ke dalam mulut, lalu menelannya bersama ludah. Kemudian ia bersila dan mengatur napas. Melihat muridnya sudah mendingan. Kun-lun Lojin bertanya.

   "Apa yang telah terjadi di sini? Siapa yang memukulmu?"

   Kam Ceng Swi menudingkan telunjuknya ke arah Sun Tek.

   "Dialah yang merobohkan teecu dan semua anak murid Kun-lun-pai. Dia datang bersama seorang anak kecil, sengaja mencari keributan dengan alasan mencari Bhok Lo Cinjin. Mungkin dia membawa kawan-kawan karena sekarang teecu tidak melihat ke mana perginya bocah itu. bahkan Kun Hong juga tidak ada....... teecu khawatir anak itu diculik oleh kawan-kawannya........."

   Tujuh orang tokoh itu kini memandang kepada Sun Tek, dan Bhok Lo Cinjin yang disebut sebut namanya melangkah maju. Adapun Sun Tek ketika mendengar laporan Kam Ceng Swi itu, menjadi kaget sekali. Ia merayap maju, meraba-raba dengan kedua tangannya, lalu berkata.

   "Apakah betul Bhok Lo Cinjin berada di sini.........?"

   Tanyanya, suaranya gagap karena maklum bahwa ia berada dalam keadaan sulit sekali.

   "Pinceng Bhok Lo Cinjin, kau siapa dan ada apa mencari pinceng?"

   Kwee Sun Tek cepat menjatuhkan diri berlutut dan mengangguk-anggukkan kepalanya.

   "Cu-wi locianpwe yang berada di sini, harap ampunkan teecu yang sudah tak dapat melihat lagi......!"

   Dan Sun Tek tak tertahan lagi lalu menangis.

   Semua orang menjadi heran, juga Kam Ceng Swi. Baru sekarang ia melihat bahwa biarpun orang she Kwee itu matanya melotot, namun ternyata ia seorang buta!

   "Seorang laki-laki pantang menangis, lekas kau ceritakan!"

   Kata Bhok Lo Cinjin dengan suara keren. Hwesio ketua Siauwlim-pai ini biarpun air mukanya manis dan tersenyum-senyum ramah, namun wataknya keras dan ia menjaga peraturan dengan tertib.

   Sun Tek lalu menuturkan pengalamannya.

   "Teecu adalah murid Beng Kun Cinjin. Melihat bekas suhu itu menyeleweng membantu pemerintah penjajah, teecu bersama enci dan cihu yang juga murid-murid Beng Kun Cinjin, pergi ke kota raja untuk membujuk suhu. Akan tetapi, cnci dan cihu tewas oleh para panglima. Teecu berhasil melarikan Wi Liong, putera cici. Di tengah jalan teecu dibikin buta oleh suhu yang mengejar teecu, malah mungkin para suhu di Siauw-limsi, Siang Tek Hosiang dan suhu-suhu lain yang membela teecu kena dikalahkan oleh Beng Kun Cinjin. Kemudian enam tahun lamanya teecu mengajak Wi Liong mengembara dan akhirnya membawa anak itu ke Siauw-lim-pai untuk menjadi murid. Sayang Bhok Lo Cinjin tidak ada, kabarnya ke Kun-lun san. Teecu mengajak keponakan itu menyusul ke sini."

   Ia menarik napas panjang dan semua orang yang mendengarkan penuturan ini menjadi tertarik dan gemas. Memang semua sudah mendengar perihal Beng Kun Cinjin dan membenci pengkhianat.

   "Sungguh sial bagi teecu, di sini teecu dianggap membikin kacau sampai terjadi percekcokan. Kemudian, dalam sedikit pertempuran, entah bagaimana, tiba-tiba teecu tak dapat menguasai diri, kedua tangan teecu bergerak sendiri merobohkan saudara-saudara murid Kun-lun-pai, teecu sama sekali bukan lawannya. Benar-benar aneh sekali. Sayang mata teecu tak dapat melihat, sekarang tahu-tahu..... Wi Liong telah lenyap....!"

   Kembali Sun Tek menangis.

   Kun-lun Lojin melompat maju dan menekan kedua pundak Sun Tek. Sun Tek tak berdaya sama sekali, merasa seluruh tenaganya lenyap dalam tekanan itu. Ia dilepas kembali dan Kun-lun Lojin berkata lirih.

   "Dia tidak membohong. Dia sama sekali takkan sanggup melawan Kam Ceng Swi......"

   "Akan tetapi teecu dirobohkan dengan sekali pukul.

   "

   Kata Kam Ceng Swi terheran-heran.

   "Tangannya tidak mengandung hawa pukulan beracun, sedangkan kau dirobohkan oleh pukulan beracun. Tentu ada orang jahat yang merobohkan kalian dengan jalan bersembunyi, meminjam tangan Kwee sicu ini kemudian menculik Wi Liong dan agaknya Kun Hong juga terculik!"

   Semua orang diam. Tujuh orang tokoh besar itu saling pandang, teringat akan suara ketawa laki-laki dan wanita tadi. Tung-hai Sian-li tertarik melihat seorang anak murid Kun-lun yang merintih dan pada leher orang ini terdapat tanda bintik-bintik merah. Ia mendekat, memeriksa sebentar lalu tokoh wanita ini dengan alis berkerut berkata.

   "Bekas tangan Tok-sim Sian-li (Dewi berhati Racun)!"

   Semua orang terkejut. Nama Tok-sim Sian-li sudah terkenal di seluruh dunia kang-ouw sebagai seorang wanita tokoh Mo-kauw yang kejam, galak dan cabul. Akan tetapi kepandaiannya luar biasa sekali, bahkan pernah Tung-hai Sian-li tokoh timur ini roboh olehnya!

   Lam-san Sian-ong juga maju mendekati Kam Ceng Swi smbil berkata.

   "Mengingatkan lohu akan seorang....."

   Tanpa berkata apa-apa lagi ia memeriksa dada Kam Ceng Swi, merobek bajunya dan mengetuk-ngetuk iganya. Ia menangguk-angguk dan berkata.

   "Sudah kuduga..... sudah kuduga..... baiknya kau tidak langsung menerima pukulan dari tangannya, dan sudah keburu minum obat penawar manjur. Kalau tidak..... hemmm, jangan harap bisa hidup lagi. Tanganku yang tekena pukulan Ngo-tok-jiauw (Cengkeraman Lima Racun) terpaksa kubikin buntung!"

   Ia memperlihatkan tangan kirinya yang buntung dan mukanya memperlihatkan kegemasan besar.

   "Lam-san Sian-ong, kaumaksudkan muridku terkena pukulan Ngo-tok-jiauw.....?"

   Tanya Kun-lun Lojin, wajahnya berobah sungguh-sungguh.

   Kakek buntung tangannya itu mengangguk-angguk.

   "Kau telah mendapat kehormatan tadi, menerima kunjungan Bu-ceng Tok-ong (Raja Racun Tanpa Aturan) sendiri!"

   Semua orang menjadi terkejut lagi. Kiranya suara ketawa tadi adalah suara ketawa Bu-ceng Tok-ong dan Tok-sim Sian-li dua orang tokoh Mo-kauw yang amat kejam dan lihai.

   Mendengar ini Sun Tek mengeluh.

   "Wi Liong..... Wi Liong..... kasihan sekali kau nak....."

   Juga Kam Ceng Swi amat terkejut dan berduka. Ia berlutut di depan suhunya dan berkata.

   "Suhu, mohon belas kasihan suhu, tolonglah anakku Kun Hong....."

   Kun-lun Lojin menarik napas panjang.

   "Sukar, sukar..... akan tetapi sudah menjadi kewajiban kami untuk memikirkannya. Ceng swi kau rawat saudara-saudaramu dan layani Kwee sicu ini baik-baik. Jangan ganggu kami yang akan merundingkan soal ini di atas."

   Kun-lun Lojin dan para tamunya lalu kembali ke puncak. Wajah mereka rata-rata muram, kecuali Lam-sam Sian-ong yang kadang-kadang tersenyum-senyum seorang diri seperti orang yang miring otaknya, akan tetapi karena semua orang sudah mengenal keanehannya, tak seorangpun memperhatikan dia. Tujuh orang tokoh besar ini melanjutkan pertemuan yang terganggu tadi.

   "Soalnya menjadi makin sulit,"

   Kata Kun-lun Lojin.

   "Dahulu ketika pinto bertemu dengan Thian Te Cu, orang sakti itu sudah memperingatkan bahwa akan tiba saatnya negara kita dikuasai oleh Bangsa Mongol seluruhnya sampai seratus tahun lamanya. Beliau yang mencegah kita jangan bergerak, dan jangan mencoba melawan kehendak alam.

   "

   "Biarpin Thian berkuasa, namun manusia harus berdaya-upaya!"

   Bantah Tung-hai Sian-li.

   "Melihat negara diilas-ilas, masa kita harus peluk tangan saja melihat rakyat dibinasakan? Di mana kegagahan kita?"

   "Betul.

   "

   Kata Kun-lun Lojin.

   "memang tidak ada yang melarang kalau di antara kita berusaha. Akan tetapi ada batas-batasnya dan usaha kita hanya mengganyang para orang gagah yang menyeleweng dan membantu musuh seperti halnya Beng Kun Cinjin dan yang lain-lain. Akan tetapi Beng Kun Cinjin sudah menghilang dan sepanjang pendengaran pinto, bala tentara Mongol mulai menghubungi orang-orang Mo-kauw untuk memperkuat kedudukannya. Sekarang fihak Mo-kauw sudah terang-terangan mengadakan permusuhan dengan kita, sengaja datang untuk mengacau pertemuan kita, merobohkan anak murid Kun-lun-pai dan menculik dua orang anak yang berada di sini. Kun Hong adalah anak murid Kun-lun-pai yang berbakat, perbuatan dua orang Mo-kauw itu benar-benar merupakan hinaan besar.

   "

   Bhok Lo Cinjin mengeluarkan gerengan.

   "Juga bocah bernama Thio Wi Liong itu sudah hendak dititipkan kepada pinceng, biarpun belum pinceng terima, akan tetapi orang sudah datang mendahului dan menculik, inipun berarti penghinaan bagi Siauw-lim-pai. Kita harus mencari dua orang iblis itu."

   "Sudah bertahun-tahun aku mencari untukminta ganti tanganku yang buntung ini, akan tetapi lebih mudah mencari setan dari pada mencari Bu-ceng Tok-ong.

   "

   Kata Lam-san Sian-ong mendongkol.

   "Juga aku sudah lama mencari-cari Tok-sim Sian-li untuk membalas penghinaannya beberapa tahun yang lalu, akan tetapi siapa tahu di mana sarang siluman itu?"

   Kata Tung-hai Sian-li.

   "Seperti pinto katakan tadi, fihak Mongol sekarang minta bantuan Mo-kauw, kiranya tidak akan jauh dari kota raja berkumpulnya para tokoh Mo-kauw. Kita sekarang masing-masing mencari jejak mereka dan beramai-ramai menyerbu apa bila sarang mereka sudah diketahui. Biarlah setahun lagi pada waktu sekarang ini kita berkumpul di Kuil Siauw-lim-si untuk menceritakan hasil pemnyelidikan masing-masing."

   Kata Kun-lun Lojin. Setelah diadakan permufakatan ini, mereka lalu bubaran dan mulailah para tokoh besar ini mengadakan penyelidikan untuk melawan orang-orang Mo-kauw kalau mereka benar menjadi kaki tangan pemerintah penjajah, dan sekalian mencari dua orang tokoh Mo-kauw yang telah menghina mereka di Kun-lun-san dan menolong dua orang anak kecil yang mereka culik.

   Dugaan tujuh tokoh di puncak Kun-lun-san itu memang tidak meleset. Yang mengacau di lereng Kun-lun-san dan menculik dua orang bocah itu memang Bu-ceng Tok-ong dan Tok-sim Sian-li dua orang tokoh besar dari golongan Mo-kauw yang ditakuti orang. Fihak Mo-kauw mendengar tentang pertemuan puncak itu dan dua orang ini diutus untuk mengacau karena golongan Mo-kauw maklum bahwa tujuh orang tokoh besar itu sedang membicarakan gerakan mereka membantu bala tentara Mongol!

   Akan tetapi, biarpun dua orang tokoh Mo-kauw itu berkepandaian tinggi, mereka merasa jerih juga kalau harus menyerbu ke atas, menghadapi tujuh orang tokoh besar sekaligus. Maka mereka hanya mengacau di lereng tempat penjagaan. Kebetulan sekali mereka melihat dua orang bocah itu yang mereka tahu bertulang baik sekali, maka mereka tidak menyia-nyiakan kesempatan baik ini untuk menculik dua orang anak itu. Tok-sim Sian-li menculik Kun Hong sedangkan Bu-ceng Tok-ong menculik Wi Liong sambil tidak lupa membawa pedang Cheng- hoa-kiam yang berada di punggung Sun Tek karena ia tahu bahwa pedang itu adalah pedang pusaka yang ampuh.

   Tok-sim Sian-li atau Dewi Hati Beracun adalah seorang wanita yang masih muda nampaknya biarpun usianya sudah empat puluh tahun. Kalau orang melihat potongan tubuhnya dan wajahnya tak akan dia mengira bahwa wanita ini seorang iblis betina yang amat jahat. Wajahnya cantik dengan kulit muka putih kemerahan, matanya tajam dengan kerling genit. Senyumnya dapat merobohkan hati pria yang kurang kuat batinnya. Potongan tubuhnya juga menarik dengan gerak gerik menggiurkan. Pendeknya, Tok-sim Sian-li adalah seorang wanita cantik yang bersikap genit sekali. Akan tetapi di dalam hatinya ia kejam luar biasa dan di balik senyum menarik dan kerling mata menggairahkan bersembunyi sifat galak dan ganas. Dia terkenal sebagai seorang wanita cabul, pandai merayu pria yang disukainya, akan tetapi kalau hatinya sudah tidak suka, ia akan membunuh pria itu tanpa berkedip mata dan dengan senyum di kulum!

   Sebaliknya, kawannya. Bu-ceng Tok-ong adalah seorang yang bermuka iblis. Mukanya segi empat dengan alis mata tebal sekali sampai menutupi sepasang matanya yang hitam. Mukanya hitam totol-totol putih karena dimakan penyakit kulit dan kulit badannya kasar seperti kulit buaya. Tubuh tinggi besar dan nampaknya kuat bukan main. Wataknya aneh dan suka melucu, benar-benar berbeda dengan mukanya yang menyeramkan. Akan tetapi dalam hal kekejaman, ia tidak kalah banyak oleh Tok-sim Sian-li. Dua orang ini merupakan tokoh-tokoh yang tinggi sekali kepandaiannya, dan entah sudah berapa ratus atau berapa ribu orang yang sudah menjadi korban keganasan mereka.

   Setelah berhasil menculik dua orang bocah itu, keduanya berlari cepat sambil meninggalkan suara ketawa menyeramkan. Sebentar saja mereka sudah turun gunung dan pergi jauh sekali, tak mungkin dapat dikejar oleh orang-orang di Kun-lun-san. Setelah jauh barulah mereka berjalan perlahan sambil bercakap-cakap.

   Tok-sim Sian-li memondong Kun Hong mengamat-amati wajah anak laki-laki yang tampan ini. Seperti juga keadaan Wi Liong, Kun Hong tak dapat mengeluarkan kata-kata karena ditotok urat gagunya, dan ia tak dapat bergerak dalam pondongan wanita itu. Tok-sim Sian-li tertawa-tawa dan menciumi pipi Kun Hong.

   "Aduh sayang masih kecil. Kalau sudah dewasa dia tentu menjadi pemuda yang tampan sekali!"

   Katanya sambil membelai rambut Kun Hong yang hitam.

   "Dasar kau gila laki-laki!"

   Bu-ceng Tok-ong berkata mencela dengan mulut cemberut.

   "Aku membawa dia ini karena dia bertulang baik, patut sekali menjadi muridku. Akan tetapi agaknya kau menculik bocah itu karena tampannya. Ha-ha, kau mau menanti sampai berapa tahun untuk menjadikannya sebagai kekasih barumu? Mata keranjang!"

   Dimaki demikian, Tok-sim Sian-li hanya tertawa genit.

   "Tentu saja aku memilih pemuda tampan, habis apa aku harus selalu mendekati laki-laki seperti macammu? Buruk, kasar dan tidak menyenangkan. Cih! Bisa saja kau mencela orang padahal kau sendiri sekali melihat gadis cantik mulutmu terus mengilar! Kau bilang bocah yang kau bawa itu bertulang baik? Hemm, kiranya matamu sudah buta kalau kau tidak melihat bahwa bocahku ini bakatnya jauh lebih besar dari pada bocahmu itu!"

   "Tak bisa jadi! Kau lihat saja!"

   Kata Bu-ceng Tok-ong sambil membuka baju Wi Liong dan meraba-raba dada anak itu.

   "Kau memang sudah buta. Kau lihat ini!"

   Juga Tok-sim Sian-li membuka baju Kun Hong dan memperlihatkan dada bocah itu.

   Keduanya memeriksa dan akhirnya mereka harus mengakui bahwa dua orang anak laki-laki itu bertulang baik sekali.

   "Kita benar-benar beruntung."

   Kata Bu-ceng Tok-ong.

   "Tak dinyana kedua anak ini benar-benar merupakan tunas yang jarang terdapat!"

   "Kita bertaruh siapa yang akan lebih jadi di antara dua orang murid kita ini kelak.

   "

   Kata Tok-sim Sian-li menantang.

   Bu-ceng Tok-ong tertawa bergelak, suara ketawanya seperti tadi ketika meninggalkan Kun-lun-san, bergema smpai jauh dari tempat itu. memang setiap kali perasaannya tersinggung sehingga ia menjadi marah mendongkol, tentu Bu-ceng Tok-ong mengeluarkan suara ketawa seperti ini.

   "Ha-ha-ha-ha, kau sombong. Kuterima tantanganmu, apa taruhanmu?"

   "Apa saja menurut permintaanmu!"

   Jawab Tok-sim Sian-li sambil tesenyum mengejek.

   Kembali Bu-ceng Tok-ong tersenyum.

   "Dalam waktu sepuluh tahun dua orang murid kita sudah dewasa dan boleh kita adu kepandaian mereka. Kalau muridku menang...."

   Ia tersenyum pula.

   "dan ini sudah pasti kau harus mau menjadi isteriku. Bagaimana?"

   Tok-sim Sian-li memicingkan matanya yang bagus itu, bibirnya tersenyum lebih manis lagi dengan gaya memikat.

   "Mudah-mudahan sepuluh tahun lagi kau takkan menjadi lebih kasar dan lebih buruk."

   Jawabnya.

   "Akan tetapi bagaimana kalau muidmu kalah?"

   "Sesukamulah, kau minta apa? Kau minta kepalaku juga boleh!"

   "Cih, untuk apa kepala buruk itu? Kalau muridku yang menang kau harus memberikan muridmu itu untuk menghiburku selama satu tahun!"

   Bu-ceng Tok-ong tertawa bergelak.

   "Ha-ha-ha kau pintar! Memang mata keranjang macam matamu mana bisa melewatkan laki-laki tampan? Muridku ini kelak tak kalah tampan oleh muridmu. Boleh, boleh, mari kita sama lihat sepuluh tahun lagi! Benar-benar pertaruhan yang menyenangkan hati sekali."

   Dari percakapan ini dapat dinilai betapa bobroknya moral dari kedua orang ini yang sudah tidak kenal apa artinya malu lagi. Kun Hong dan Wi Liong yang baru berusia enam tujuh tahun itu tentu saja menjadi bingung dan tidak mengerti, dan sedikit pengertian mereka membuat mereka terheran-heran dan juga ngeri. Bu-ceng Tok-ong lalu menotok leher muridnya, membebaskannya dari totokan yang membuatnya gagu. Juga Tok-sim Sian-li membebaskan muridnya, lalu mengelus-elus leher Kun Hong.

   "Kau tidak merasa sakit, bukan?"

   Tanyanya halus dengan suara menyayang sekali. Kun Hong menggeleng kepala. Bocah ini merasa takut dan benci kepada Bu-ceng To-ong yang berwajah buruk, akan tetapi biarpun ia agak merasa heran dan ngeri melihat Tok-sim Sian-li, namun ia tidak membenci wanita ini. Wanita ini memperlihatkan kasih sayang kepadanya, bicaranya juga lemah lembut, tentu saja ia tidak membencinya. Akan tetapi ia masih ragu-ragu kalau hendak dijadikan muridnya. Seorang wanita begini lemah lembut gerak-geriknya mau menjadi gurunya? Apa sih kemampuannya?

   Cheng Hoa Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Sedangkan Wi Liong yang sudah lebih banyak penglamannya segera tahu bahwa ia terjatuh ke dalam tangan tokoh-tokoh jahat sekali, maka ia diam saja dan keningnya berkerut, hatinya gelisah kalau ia mengingat pamannya.

   Setelah memebebaskan totokan Wi Liong, Bu-ceng Tok-ong bertanya kepada bocah yang hendak dijadikan muridnya itu.

   "Siapa namamu?"

   "Thio Wi Liong."

   Jawab bocah itu singkat.

   "Nama bagus! Wi Liong, mulai sekarang kau menjadi muridku, kau harus rajin berlatih agar kelak dapat mengalahkan dia!"

   Kakek itu menuding ke arah Kun Hong yang menjebikan bibirnya kepada Wi Liong.

   Wi Liong menggeleng kepala keras-keras.

   "Aku tidak mau!"

   "Eh, eh. tidak mau bagaimana?"

   "Aku tidak mau menjadi muridmu lebih baik lekas kalian mengembalikan aku dan Kun Hong itu ke Kun-Lun-san lagi, kalau tidak tentu para locianpwe yang berada di puncak Kun-lun-san akan mencari dan membunuh kalian."

   Bersama pamannya, Wi Liong sudah sering kali menghadapi penjahat dan ia tahu pula bahwa di puncak Kun-lun-san terdapat banyak orang sakti, maka ia menggunakan kesempatan ini untuk menakut-nakuti Bu-ceng Tok-ong.

   Bu-ceng Tok-ong tertawa bergelak.

   "Sian-li kau lihat beraninya muridku ini!"

   Memang orang-orang Mo-kauw mengagumi keberanian maka si raja racun itu girang sekali melihat sikap Wi Liong yang tanpa takut-takut malah mengancamnya!"Wi Liong, siapakah locianpwee yang kau andalkan itu dan apa sebabnya kau yakin mereka akan menolongmu?"

   Wi Liong berpikir. Kalau orang seperti ini tidak diancam, ia tidak tahu bagaimana ia akan dapat

   (Lanjut ke Jilid 05)

   Cheng Hoa Kiam (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 05

   meloloskan diri.

   "Dengarlah, aku adalah calon murid dari Bhok Lo Cinjin ketua Siauw-lim-pai. Kau berani menculikku, bukankah itu berarti kau telah mengganggu harimau tidur? Calon suhuku itu pasti akan mengejarmu dan akan menghajarmu sampai kau berkeok-kaok minta ampun!"

   Kembali Bu-ceng Tok-ong tertawa bergelak keras sekali.

   "Ha-ha-ha, Wi Liong, omongan apa ini? Jangankan baru seorang Bhok Lo Cinjin, biar dia pianhoa (merobah diri) menjadi tiga, dia takkan menangkan aku!"

   "Siapa bisa percaya omonganmu sebelum melihat buktinya?"

   Wi Liong memang cerdik dan bocah ini sengaja melepas api membikin panas hati orang. Usahanya berhasil baik, Bu-ceng Tok-ong menjadi panas perutnya. Tidak ada hal yang lebih tidak enak dari pada seorang calon guru tidak dipercaya tentang kepandaiannya oleh calon murid.

   "Baik, kalau kau mau hendak minta bukti, kau lihat saja nanti. Aku akan menghadang perjalanan pulang Bhok Lo Cinjin!"

   Kata Bu-ceng Tok-ong dengan perut panas. Mendengar percakapan antara Wi Liong dan Bu-ceng Tok-ong, Kun Hong juga segera berkata kepada Tok-sim Sian-li.

   "Aku juga tidak mau menjadi murimu, bibi!"

   Tok-sim sian-li merasa geli mendengar disebut bibi. Ia mencubit pipi Kun Hong dan bertanya.

   "Bocah bagus, apa sebabnya kau tidak mau menjadi muridku?"

   "Bibi seorang wanita halus dan cantik, mana bisa mengajar silat? Aku lebih senang menjadi murid Kun-lun-san atau lebih suka lagi kalau bisa menjadi muid suhu cebol yang berpakaian pengemis, yang datang di kun-lun-san tadi!"

   Mendengar disebutnya suhu cebol berpakaian pengemis, berubah wajah Tok-sim Sian-li. Ia bertukar pandang dengan Bu-ceng Tok-ong, lalu berkata.

   "Kau maksudkan Pak-thian Koaijin si pengemis kelaparan itu?"

   "Betul, namanya Pak-thian Koai-jin, aku mendengar ayah menyebutnya begitu. Akan tetapi ia tidak kelaparan, ia baik, ia lucu dan kepandaiannya setinggi langit. Aku suka menjadi muridnya."

   Tanpa disengaja, Kun Hong juga memanaskan perut Tok-sim Sian-li, yang menjadi marah sekali sungguhpun senyumnya makin menarik dan matanya makin bersinar-sinar.

   "Murid Tok-ong menghendaki bukti, apa salahnya kalau akupun membuktikan kepandaianku kepadamu, Kun Hong? Kau lihat saja nanti betapa aku yang kauanggap halus dan cantik ini mengalahkan Pak-thian Koai-jin dengan mudah.

   Kun Hong tidak percaya dan ia memandang kepada wanita itu dengan matanya yang jeli dan bagus. Tok-sim Sian-li menjadi girang sekali dan memeluk muridnya ini.

   "Bocah bagus, kau menyenangkan hati sekali!"

   Memang hati Toj-sim Sian-li bangga dan girang mendengar kata-kata muridnya yang tadi menyebutnya "halus dan cantiknya"

   "Ha-ha-ha-ha! Benar tidak mudah menjadi guru tunas-tunas berbakat!"

   Kata Bu-ceng Tok-ong.

   "Belum apa-apa sudah diuji kepandaian kita oleh calon murid kita. Mana di dunia ini ada guru diuji murid? Benar-benar kita ini guru-guru gila dan goblok. Sian-li, kita berpisah jalan, aku harus mencegah lolosnya Bhok Lo Cinjin!"

   Setelah berkata demikian, Bu-ceng Tok-ong cepat mengempit tubuh Wi Liong dan di lain saat ia telah berkelebat pergi.

   Melihat kegesitan gerakan Bu-ceng Tok-ong ini, Kun Hong memandang bengong.

   "Waah, guru si Wi Liong itu hebat bukan main....."

   Katanya khawatir.

   "Hemm, apanya yang hebat? Kau lihat gerakanku."

   Tok-sim Sian-li memeluk tubuh Kun Hong dan di lain saat anak itu berteriak-teriak kagum dan ngeri karena ia merasa dibawa "terbang"

   Oleh wanita itu.

   Kalau melihat tubuhnya yang gemuk sekali seperti arca Jilaihud sedang duduk buka baju, akan tetapi dapat berjalan bukan main cepatnya dan ringannya, menyusup di antara pohon dan semak bagaikan seekor harimau, melompati jurang-jurang seringan kijang, benar-benar amat mengherankan. Inilah Bhok Lo Cinjin, hwesio tua bertubuh gemuk yang selalu tersenyum-senyum. Akan tetapi kalau tahu bahwa hwesio yang gemuk ini adalah ketua Siauw-lim-pai, orang takkan merasa heran lagi akan kepandaiannya dalam ilmu ginkang ini.

   Bhok Lo Cinjin turun dari puncak Kun-lun-san. hatinya kecewa dan penasaran sekali oleh pebuatan Bu-ceng Tok-ong yang telah menculik seorang bocah yang dicalonkan menjadi murid Siauw-lim-pai. Perbuatan seperti itu hanya boleh diartikan bahwa Bu-ceng Tok-ong sengaja hendak menantang fihak Sauw-lim-pai! Bhok Lo Cinjin marah bukan main. Sebagai seorang hwesio tentu saja Bhok Lo Cinjin memiliki kesabaran besar akan tetapi sebagai orang Siauw-lim-pai, ia memiliki kekerasan hati dalam hal mempertahankan nama besar partai persilatannya. Apalagi dia adalah ketua dari Siauw-lim-pai, sekarang Bu-ceng Tok-ong melakukan penghinaan dilereng Kun-lun-san selagi dia berada di puncak mengadakan pertemuan dengan orang-orang gagah. Hal ini sama saja artinya dengan menghina di depan hidungnya!

   "Hemm, Bu-ceng Tok-ong memperlihatkan kekurang-ajarannya, berarti fihak Mo-kauw sengaja hendak melakukan perang terbuka."

   Hwesio itu menggerutu sambil melangkah lebar untuk segera kembali ke Siauw-lim-si dan mempersiapkan saudara-saudara seperguruan dan anak-anak muridnya untuk mencari jejak Bu-ceng Tok-ong dan merampas kembali Thio Wi Liong yang diculik Raja Racun itu.

   Tiba-tiba ia menahan langkahnya, berdiri tegak, seluruh urat syarafnya tegang karena ia mendengar sesuatu yang mencurigakan.

   "Siiuuuutt!"

   Sinar kehijauan menyambar ke arah lima jalan darah terpenting di tubuhnya. Sinar ini adalah jarum-jarum halus yang menyambar demikian cepat hampir tak mengeluarkan suara, hanya dapat terdengar oleh telinga yang sudah terlatih baik saja.

   "Omitohud, siapa orangnya begini keji?"

   Dengan kebutan lengan baju sebelah kiri, ketua Siauw-lim-pai ini berhasil menyampok semua jarum halus. Akan tetapi alangkah kagetnya melihat jarum-jarum yang tersampok itu tidak runtuh ke bawah, melainkan terpental dan melayang kembali ke arah semula, seakan-akan hidup dan dapat terbang kembali kepada tuannya! Tahulah dia bahwa penyerangnya bukan sembarang orang, melainkan seorang yang berilmu tinggi. Ketika ia melirik ke arah lengan bahunya yang putih bersih, ia melihat lima titik hitam seperti hangus terbakar api.

   "Omitohud, kiranya Bu-ceng Tok-ong yang melakukan penyerangan gelap! Benar memalukan, benar tak tahu aturan!"

   Hwesio itu berkata lagi.

   Dari balik semak-semak terdengar suara ketawa ngakak seperti ular raksasa, kemudian berkelebat bayangan dan Bu-ceng Tok-ong muncul di depan hwesio ketua Siauw-lim-pai.

   "Muridku, kaubuka matamu baik-baik dan lihat bahwa gurumu lebih gagah dari pada babi gemuk ini. Hak-hak-hak-hak!"

   Kata Bu-ceng Tok-ong kepada seorang anak laki-laki yang tadi ia gandeng dan sekarang anak yang bukan lain Thio Wi Liong itu berdiri tegak memandang kepada Bhok lo cinjin dengan matanya terbelalak bersinar-sinar. Wi Liong biarpun kecil memiliki perasaan yang tajam dan dalam perantauannya dengan pamannya, ia sudah mendapat pengetahuan untuk membedakan antara orang baik dan orang jahat. Begitu melihat Bhok Lo Cinjin, sekilas pandang saja tahulah Wi Liong bahwa ia berhadapan dengan seorang yang boleh ia percaya, seorang yang oleh pamannya pasti akan dihormati. Apa lagi karena menurut Tok-ong, orang ini adalah ketua Siauw-lim-pai yang akan dijadikan gurunya. Serta merta ia menjatuhkan diri berlutut sambil berkata.

   "Losuhu, tolonglah teecu dari orang jahat ini...."

   Bu-ceng Tok-ong tertawa bergelak.

   "Nyalimu memang besar. Kau tunggu dulu di sana!"

   Kakinya bergerak menendang dan Wi Liong merasa tubuhnya melayang dan tahu-tahu ia telah terlempar ke atas pohon yang lebat daunnya. Saking takutnya ia meraih sekenanya dan berhasil memegang ranting pohon, memeluknya erat-erat dan duduk di atas cabang. Ketika ia menengok ke bawah, ternyata ia telah berada di puncak pohon yang amat tinggi! Ia melihat Raja Racun itu masih tertawa-tawa di bawah menghadapi hwesio tua yang gendut itu.

   "Bu-ceng Tok-ong,"

   Hwesio itu berkata dengan suaranya yang halus namun nyaring berpengaruh.

   "Sungguh pun Siauw-lim-si dan Mo-kauw mempunyai jalan hidup yang arahnya berlawanan, akan tetapi selama ini hanya bersimpang jalan tidak sling bentrok. Siauw-lim-pai selalu mengambil jalan kanan dan Mo-kauw jalan kiri. Apa maksudmu sekarang kau berani menghina pinceng?"

   Bu-ceng Tok-ong tertawa terkekeh-kekeh sebelum menjawab.

   "Babi gundul, bagaimana kau bisa bilang bahwa aku menghinamu?"

   Muka Bhok Lo Cinjin menjadi merah. Sebagai seorang ketua partai persilatan besar, belum pernah ada orang memakinya seperti yang dilakukan oleh Raja Racun ini. Jangankan orang-orang biasa, kaisar di selatan dan utara dahulu pun belum tentu berani memaki-makinya seperti ini.

   "Bu-ceng Tok-ong, kata-katamu begitu kotor kau masih belum mengaku menghina pinceng?"

   Bentaknya marah.

   Kembali Raja Racun itu tertawa bergelak, memang dia seorang yang tidak perduli tentang segala macam aturan, berlaku kurang ajar atau tidak menurut enaknya perutnya sendiri. Oleh karena itulah maka ia disebut Bu-ceng yang berarti Tidak Ada Aturan!

   "Ha-ha-ha, kau memang babi gemuk mengapa tidak mau disebut babi gemuk? Lihat saja perutmu, bukankah seperti perut babi yang terlalu banyak makan dan tidur? Kerjamu hanya tidur dan bersamadhi di samping makan sayur-sayuran, apa bedanya dengan babi?"

   "Tok-ong, pinceng tidak sudi bicara tentang hal yang bukan-bukan. Kau sudah berani mendatangi Kun-lun-san dan membikin kacau di sana, kemudian kau menculik calon murid Siauw-lim-pai, ini berarti kau menghina pinceng, menghina Siauw-lim-pai. Sekarang kau datang-datang selain memaki-maki dengan mulutmu yang kotor, kau pun menyerang secara menggelap. Apa maksudmu sebenarnya?"

   Betapapun juga ketua Siauw-lim-pai ini menahan diri, memang sebagai seorang ciangbujin (ketua) partai besar ia jarang sekali menurunkan tangan mempergunakan kepandaian.

   "Bhok Lo Cinjin, bukankah kau seorang hwesio?"

   "Betul, habis ada apakah?"

   "Bukankah kau diajar berlaku welas asih, diajar berlaku mengalah dan berlaku sabar?"

   "Betul, habis mengapa?"

   "Nah, kalau begitu sebagai hwesio kau harus mengalah dan berlaku baik. Mengapa kau tidak mau mengalah saja kepadaku dan memberikan murid ini secara baik-baik, kemudian berterima kasih karena aku berkenan memberi pendidikan kepada bocah itu? Sekarang aku datang hendak menguji sampai di mana kepandaian ketua Siauw-lim-pai, selain untuk memuaskan hatiku juga untuk memberi hajaran kepada kau yang sudah bersikap sombong dan berani kepada Tok-ong! Kecuali kalau kau mau berlutut, bilang bahwa dengan rela hati kau memberikan Thio Wi Liong kepadaku dan selanjutnya berjanji takkan kurang ajar terhadap aku golongan yang lebih tinggi tingkatnya, mana aku sudi membei ampun?"

   Sudah terang ucapan-ucapan yang keluar dari mulut Bu-ceng Tok-ong sama sekali diputar balikkan dan amat bocengli (kurang ajar). Sesabar-sabarnya hati hwesio tua Siauw-lim-pai, Bhok Lo Cinjin tetap hanya seorang manusia biasa. Mana ia dapat bertahan mendengar ucapan yang benar-benar tidak karuan dan amat sombong tidak tahu aturan ini?

   "Bu-ceng Tok-ong siluman sombong. kaukira pinceng jerih terhadapmu? Kau hendak mengadu ilmu, boleh kau maju dan keluarkan semua ilmumul Siapa sih yang takut?"

   Akan tetapi belum habis hwesio ini bicara, tanpa memberi peringatan lagi Bu-ceng Tok-ong sudah menyerang dengan pukulan dahsyat. Benar-benar seorang tokoh yang tidak tahu aturan. Jangankan tokoh yang sudah demikian tinggi tingkatnya, yang lebih rendah tingkat kepandaiannya sekalipun selalu memberi tahu sebelum melakukan serangan pertama, tidak sudi melakukan serangan secara tiba-tiba dan menggelap seperti yang dilakukan oleh Raja Racun ini!

   Bhok Lo Cinjin yang maklum akan kelihaian lawannya, tidak berlaku lengah. memang sejak tadi ia sudah dapat menduga macam apa adanya Raja Racun ini maka selalu bersap waspada. Melihat datangnya pukulan yang amat dahsyat, dan mengandung hawa panas ini, ia cepat melompat ke samping sambil mengebutkan lengan bajunya. Pukulan meleset, membuat pohon di belakang hwesio itu yang terkena hawa pukulan bergoyang goyang dan daun-daunnya rontok seperti tertiup angin besar! Dari sini saja dapat dibayangkan betapa hebat dan berbahayanya serangan dari Bu-ceng Tok-ong.

   

Kisah Si Bangau Putih Karya Kho Ping Hoo Pusaka Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini