Ceritasilat Novel Online

Cheng Hoa Kiam 6


Cheng Hoa Kiam Karya Kho Ping Hoo Bagian 6



"Aduhai para iblis hutan yang perkasa! Dari mana datangnya seorang pemuda begini gagah dan ganteng?"

   Terdengar seruan kagum.

   Kun Hong mendengar suara ini seperti suara wanita yang tadi menyuruhnya berhenti kemudian yang memberi perintah kepada anjing-anjing yang mengeroyoknya. Ia cepat menoleh dan memandang. Ia menjadi tertegun ketika melihat bahwa wanita itu ternyata adalah seorang perempuan muda remaja yang berdiri memandang kepadanya dengan mata kagum dan mata terbelalak. Perempuan ini tidak bisa disebut cantik, tidak secantik Tok-sim Sian-li, hanya perempuan dusun yang pakaiannya terbuat dari kain kasar berpotongan sederhana. Akan tetapi ia masih muda dan bentuk tubuhnya menarik kulitnyapun bersih. Luluh kemarahan hati Kun Hong. Kalau perempuan ini tua sedikit saja. atau tidak memiliki bentuk tubuh demikian menggiurkan tentu sudah sejak tadi Kun Hong melakukan pukulan mautnya pula terhadap pemilik anjing-anjing itu.

   "Salahmu sendiri, terpaksa membunuh anjing-anjingmu."

   Akhirnya ia berkata sambil menoleh ke arah bangkai anjing yang bertumpukan.

   "Tidak apa, malah terima kasih kau sudah membunuh mereka. Tidak susah-susah lagi aku harus menyembelih mereka", jawab gadis dusun itu.

   "Menyembelih mereka? Untuk apakah? Apa mau ada pesta?"

   Tanya Kun Hong.

   Gadis itu mengangguk.

   "Ayah pulang dari kota dan kami kedatangan tamu agung, patut dijamu dengan masak daging anjing yang lezat."

   "Tamu agung? Siapa?"

   "Kau sendiri!"

   Gadis itu tertawa ngikik dan Kun Hong ikut tersenyum.

   "Kau siapakah dan kenapa kau berada di dalam hutan seorang diri bersama anjing-anjingmu yang galak?"

   "Namaku Kim Li, bersama ayah tinggal di tengah hutan, bekerja sebagai pemburu. Telah seminggu lamanya ayah pergi ke kota menjual kulit binatang, hari ini pasti pulang. Tadi aku melihat kau lewat dengan kudamu yang bagus kukira makanan empuk, tidak tahunya tulang keras! Anjing-anjingku sudah mati, daging bertumpuk-tumpuk, sayang kalau dibuang begitu saja. Aku suka padamu, kau gagah dan tampan, mari ikut dengan aku ke rumah. Kubuatkan masak daging anjing yang lezat sambil menanti datangnya ayah. Mau, bukan?"

   Memang Kun Hong sedang merasa lapar sekali. Perutnya minta diisi. Ia pandang lagi gadis di depannya itu penuh perhatian. Lumayan, manis juga kalau tersenyum. Akan tetapi ia teringat akan gurunya yang mungkin mengejarnya, maka ia menoleh ke belakang, ragu-ragu.

   "Kau seperti orang melarikan diri, siapa sih yang mengejar dan mengancammu? Jangan khawatir, kalau ada musuh mengejar, aku membantumu melawan dia. Kau begini muda dan gagah perlkasa. mengapa hatimu kecil? Perlu banyak makan hati anjing kalau begitu."

   Kun Hong tertawa lalu melompat mendekati gadis itu sambil menuntun kudanya.

   "Kau anak baik. mari aku ikut kau ke rumahmu."

   Kim Li girang sekali. Tanpa ragu-ragu lagi ia menyambar lengan Kun Hong. digandengnya sambil berkata.

   "Kau tidak keberatan membantuku membawa bangkai-bangkai anjing itu, bukan?"

   Kun Hong menggelengkan kepalanya dan kedua orang muda itu lalu mengambili bangkai-bangkai anjing, ditumpuk di punggung Hek-liong-ma yang sudah tenang kembali. Sambil tertawa-tawa dan bergandengan tangan mereka lalu memasuki hutan itu menuju ke rumah Kim Li.

   Kim Li adalah seorang gadis yang semenjak kecil sudah ikut ayahnya bekerja di dalam hutan-hutan sebagai pemburu binatang-binatang buas. Ia tidak beribu lagi, hanya hidup berdua ayahnya yang bernama Ciok Sam, seorang pemburu binatang yang kasar dan memiliki kepandaian ilmu silat yang tinggi juga. Oleh karena selalu keluyuran dari hutan ke hutan. Kim Li menjadi seorang gadis yang kasar pula, liar dan tidak malu-malu seperti gadis-gadis kota. Ayahnya seorang kasar yang jujur, selalu menyatakan apa yang terasa dalam hati dan pikiran. Demikian pula Kim Li tak pernah menyembunyikan perasaannya. Kalau orang lain yang membunuh anjing-anjingnya, tentu ia akan menjadi marah dan menyerangnya mati-matian. Akan tetapi begitu melihat Kun Hong, hati gadis hutan sederhana ini sekaligus terpikat dan tunduk!

   Yang disebut rumah oleh Kim Li ternyata hanyalah sebuah pondok kecil sederhana saja. tempat berteduh di waktu hujan. Dengan wajah berseri dan hati girang sekali Kim Li menyuruh Kun Hong menunggu sedangkan dia sendiri sibuk memasak daging anjing. Ternyata gadis ini mempunyai persediaan bumbu yang cukup banyak dan lengkap.

   "Ayah seorang yang suka makan enak, maka tiap kali datang dari kota ia tentu membawa bumbu-bumbu dan aku dipaksa belajar masak enak.

   "

   Kata Kim Li sambil sibuk memasak untuk tamunya.

   Kun Hong yang merasa lelah, tanpa sungkan-sungkan lagi lalu melonjorkan tubuh rebah di atas tanah yang ditimbuni daun-daun kering, lalu tidur dengan enaknya. Kim Li hanya tertawa saja melihat tamunya tidur, melanjutkan masak dengan asyik, membuat beberapa macam masakan memanggang daging menanak nasi, semua ini dilakukannya dengan hati gembira. Kadang-kadang ia menengok memandang wajah Kun Hong dan ia begitu terpikat sampai beberapa kali ia kaget mendapatkan diri sendiri berdiri bengong menatap wajah yang membuat hatinya tidak karuan itu Kemudian mukanya menjadi merah ia tersenyum-senyum malu dan melanjutkan pekerjaannya.

   Kun Hong bermimpi dikejar dan tersusul oleh Tok-sim Sian-li yang memegang lengannya dan menarik-nariknya. mengajaknya kembali ke Wi-san. Ketika ia membuka mata dan sadar dari tidurnya, ternvata yang menarik-narik lengannya ladalah Kim Li. Gadis ini membangunkannya, menarik-narik lengan sambil berkata dengan suara merdu.

   "Bangunlah, kanda, bangun. Makanan telah tersedia, mari kita makan!"

   Kun Hong melompat bangun, hatinya lega bahwa yang menariknya bukan Tok-sim Sian-li, melainkan gadis hutan ini. Tercium bau yang amat sedap, membuat perutnya menjadi makin lapar.

   "Aduh enaknya bau masakanmu....!"

   Ia memuji sambil tersenyum.

   Merah wajah Kim Li. matanya bersinar-sinar girang.

   "Kau tidur saja tidak mau membantu orang yang sibuk masak. Hayo kita makan selagi masakan masih panas."

   Kun Hong mengikuti gadis itu ke dalam dan ternyata nasi dan masakan telah tersedia di atas tanah yang telah ditilami kulit. Uap mengebul dari beberapa mangkok. membuat Kun Hong segera menyerbu. Di lain saat dua orang muda itu telah duduk berhadapan sambil makan dengan lahap dan sedapnya.

   "Masakanmu enak sekali!"

   Kun Hong memuji sambil menghirup arak. Ia merasa puas dan timbul keinginan hati untuk melanjutkan perjalanannya.

   Kim Li nampak girang dengan pujian ini. matanya mengerling bibirnya tersenyum lebar.

   "Betulkah? Kalau kau mau. setiap hari aku bisa membuat masakan yang enak-enak seperti itu untukmu. Eh. kau sudah tahu namaku, akan tetapi aku sendiri belum mengenal kau ini siapa."

   "Namaku Kun Hong, Kam Kun Hong,"

   Jawab pemuda itu sembarangan.

   "Kau datang dari mana dan hendak ke manakah?"

   Tanya Kim Li.

   Mendengar pertanyaan ini, baru Kun Hong ingat bahwa ia belum tahu ke mana sebetulnya jurusan menuju ke Wuyi-san.

   "Aku hendak pergi ke Wuyi-san. Tahukah kau di mana gunung itu?"

   Kiin Li tertawa.

   "Ke Wuyi-san mengapa menuju ke barat? Ayah pernah membawa aku ke kaki bukit Wuyi-san, akan tetapi tempatnya jauh sekali di selatan, ribuan li jauhnya dari sini. Kam-koko, kau mau apa sih pergi ke tempat sejauh itu? Lebih baik tinggal saja di sini bersama aku. senang kan?"

   Girang hati Kun Hong mendengar bahwa Gunung Wuyi-san yang dicarinya itu berada di selatan. Baiknya ia bertemu dengan gadis ini, kalau tidak ia bisa terus ke barat! Ucapan terakhir dari Kim Li yang mengandung penuh maksud itu tak diacuhkannya sama sekali.

   Pada saat itu terdengar suara tindakan kaki yang berat dari luar pondok.

   "Heei. alangkah sedap baunya. Kim Li. kau masak apakah begini enak?"

   Suara seorang laki-laki yang kasar parau memasuki pondok.

   Pintu pondok dibuka dari luar dan masuklah seorang laki-laki setengah tua yang bertubuh tinggi besar bermuka licin kemerahan. Ia memanggul bangkai seekor macan yang besar dan gemuk.

   Pantas saja tindakan kakinya demikian berat. Orang ini melepaskan bangkai macan dari pundaknya, menghapus keringat di jidatnya sambil berkata.

   "Dalam perjalanan pulang bertemu dengan si loreng ini. Kebetulan sekali kupecahkan kepalanya dengan ruyungku. Aku sudah mengilar makan dagingnya, eh, tahu-tahu sampai di sini sudah ada masakan yang lebih sedap!"

   Orang itu mendengus-dengus dan menggerak-gerakkan lubang hidungnya.

   "Eh, seperti daging anjing sedapnya!"

   "Memang daging anjing ayah."

   Jawab Kim Li.

   "Aku sengaja masak untuk menyambut kau datang dan kebetulan sekali ada seorang tamu. Kam-koko ini."

   Jawaban ini diterima biasa saja oleh Ciok Sam, pemburu tinggi besar itu.

   "Orang she Kam? Bagus, bagus! Kau panggil Kam-koko, he? Hemm, bagus......... memang dia tampan dan ganteng. Ha-ha-ha-ha!"

   Kun Hong merasa tak enak sekali melihat sikap yang kasar ini, akan tetapi ia diam saja hanya memandang dengan kerling matanya.

   Ciok Sam tanpa banyak upacara lagi lalu menjatuhkan diri duduk di dekat hidangan yang masih banyak itu, lalu sekali sambar ia telah mempergunakan sumpit yang tadi dipakai Kun Hong untuk menyumpit sepotong besar daging anjing, dimasukkan ke dalam mulut dan dikunyah dengan lahap dan enaknya. Ia tidak sabar menanti sampai daging itu cukup lembut dikunyah, melainkan terus saja ditelan, sampai mengeluarkan bunyi ketika melalui kerongkongnya.

   "Enak............ enak........."

   La menyumpit lagi.

   "Anjing yang mana yang kau potong ini, Kim Li? Melihat begini gemuk menggajih. agaknya si belang.. akan tetapi melihat empuknya, tentu si putih yang muda."

   Kemudian, sebelum memasukkan lagi daging ke mulutnya, ia menoleh ke kanan kiri dan bertanya.

   "Eh, anjing-anjing lainnya ke mana perginya? Jangan biarkan mereka berkeliaran di hutan sendiri, kalau berjumpa loreng sebesar yang kubunuh tadi kan bisa celaka!"

   "Anjing-anjing sudah habis semua ayah. Semua kumasak dagingnya......."

   Daging yang sudah dibawa ke depan mulut itu terlepas dari sumpit, menggelinding di atas tanah. Sepasang mata yang lebar terpentang melotot ketika ayah ini memandang puterinya.

   "Kau....... kau gila......? Kau bilang sembilan ekor anjing itu kau sembelih semua dan kaumasak dagingnya?"

   Kim Li mengangguk tenang.

   "Terpaksa, ayah. Dari pada daging sebanyak itu membusuk kan lebih baik dimasak dan dimakan?"

   "Membusuk bagaimana maksudmu?"

   "Karena sembilan ekor anjing itu sudah mati semua..........."

   "Mati semua......??"

   Ciok Sam kini bangun berdiri, tubuhnya yang tinggi itu hampir sampai ke atap.

   "Sembilan ekor itu bukan hadiah dari Kwa lo-enghiong melainkan kutukar dengan empatpuluh lima lembar kulit harimau dan serigala. Belinya tidak murah. Bagaimana bisa mati sekaligus sembilan ekor? Hayo bilang, kenapa?"

   Kun Hong yang melihat Kim Li didesak menjadi tidak tega dan menjawab tenang.

   "Aku yang membunuh sembilan ekor anjingmu itu."

   Mendengar ini. Ciok Sam menjadi merah mukanya, matanya menjadi beringas!"Kau yang membunuhnya, ya? Kau.........?"

   "Ayah, aku yang menyuruh anjing-anjing kita menyerangnya! Kusangka tadinya Kam-koko adalah daging lunak, tidak tahunya tulang keras dan akibatnya anjing-anjing kita mati semua,"

   Kata Kim Li yang melihat ayahnya marah.

   Kun Hong yang sudah lama sekali hidup bersama orang-orang macam Tok-sim Sian-li dan Bu-ceng Tok-ong, tentu saja maklum akan arti "daging lunak"

   Dan "tulang keras "

   Ini, yaitu istilah yang digunakan oleh para anggauta liok-lim untuk menerangkan keadaan calon korban yang hendak dirampok. Oleh karena ia sejak tadi maklum bahwa Kim Li dan ayahnya selain menjadi pemburu binatang juga pemburu manusia untuk dirampok, ia bersikap dingin saja.

   Mendengar ucapan anaknya, Ciok Sam tidak menjadi senang, malah makin marah.

   "Keparat ini lawan yang membunuh anjing-anjing pemburu kita dan kau malah menjamunya? Benar-benar gila kau! He, orang muda. kau telah membikin rugi besar padaku. Harga sembilan ekor anjing itu lima puluh tail lebih. Kau harus menggantinya!"

   "Aku tidak punya uang "

   Jawab Kun Hong tenang.

   "Kulihat kudamu di luar. Kau harus meninggalkan kuda itu sebagai penggantinya!"

   Kata Ciok Sam marah.

   Kun Hong bangkit berdiri, mulai hilang kesabarannya.

   "Anjing-anjing itu milikmu, sekarang masih ada. Bangkai-bangkainya boleh kau makan habis. Aku datang ke rumah ini atas undangan anakmu, kalau tidak, siapa sudi makan daging anjingmu? Kuda itu milikku, tak boleh kau mengganggunya.''

   "Kau tidak mau menyerahkan kuda itu?"

   "Tidak, dan aku mau pergi sekarang juga."

   Dengan marah Kun Hong melangkah keluar dari kamar itu.

   "Keparat, kalau begitu nyawamu harus kautinggalkan!"

   Mendengar seruan ini. Kun Hong tidak menoleh. Juga ia tidak menoleh ketika mendengar angin menyambarnya dibarengi pekik Kim Li yang merasa kaget melihat ayahnya menyerang Kun Hong dengan ruyungnya.

   "Ayah, jangan bunuh dia.........!"

   Akan tetapi Ciok Sam tidak perduhkan seruan anaknya, ruyungnya menyambar dengan cepat dan kuat sekali. Ia hendak memecahkan kepala Kun Hong dengan sekali pukul seperti yang ia lakukan terhadap harimau besar tadi.

   Akan tetapi ia kecele. Nampaknya ruyung itu akan mengenai sasaran karena Kun Hong diam saja, namun setelah dekat kepala pemuda itu, sedikit gerakan tubuh saja membuat ruyung itu menghantam angin

   "Kau menjemukan!"

   Terdengar Kun Hong berseru, tangan kanannya bergerak dari samping.

   "Auukkk!"

   Ciok Sam melepaskan ruyungnya, terhuyung-huyung lalu roboh terlentang. mulutnya mengeluarkan darah. Keadaannya persis seperti anjing-anjing yang terpukul oleh Kun Hong itadi. Ternyata pemuda yang berilmu tinggi ini telah mempergunakan pukulan maut Toat-sim-ciang yang ia pelajari dari Tok-sim Sian-li! Pukulan tadi sekaligus telah mengguncangkan jantung Ciok Sam dan membuatnya muntah darah.

   Ciok Sam memandang ke arah anaknya dengan mata mendelik, seakan-akan ia menegur mengapa puterinya tidak membantunya menggempur Kun Hong. Kim Li agaknya mengerti pandang mata ayahnya itu, maka ia berkata terisak.

   "Ayah, aku......aku cinta padanya......"

   Ciok Sam menarik napas panjang, mengangguk-angguk lalu mengeluh panjang, dan di lain saat nyawanya telah meninggalkan badan. Kim Li menubruk ayahnya sambil menangis tersedu-sedu.

   "Menyesal aku terpaksa membunuh ayahmu yang galak,"

   Kata Kun Hong dengan hati tidak enak, kemudian pemuda ini bertindak keluar hendak meninggalkan tempat itu.

   Akan tetapi Kim Li segera melompat berdiri dan menubruk memeluknya.

   "Kam-koko. jangan kau tinggalkan aku..... masa kau begitu kejam? Setelah ayah meninggal, hidupku seorang diri..... bawalah aku bersamamu......"

   Kun Hong menjadi serba salah. Setelah sejak kecil hidup bersama Tok-sim Sian-li ia paling lemah menghadapi wanita, sungguhpun hatinya sudah mengeras dan kejam seperti hati Bu-ceng Tok ong! Dengan lemah-lembut ia mengusap- usap rambut Kim Li sambil berkata.

   "Aku tidak bisa membawamu Kim Li. Ayahmu mati karena salahnya sendiri kepadamu aku tidak benci. Akan tetapi sungguh tak mungkin aku membawamu bersama dalam perjalananku yang jauh."

   "Akan tetapi, setidaknya jangan tinggalkan aku sekarang, koko. Tidak kasihankah kau kepadaku? Aku bisa mati kalau kau tinggalkan sekarang....."

   Kun Hong menarik napas panjang.

   "Biarlah, aku mengawanimu sampai kau selesai mengubur ayahmu."

   Demikianlah, Kun Hong yang tak dapat bersikap keras terhadap wanita itu. mengawani Kim Li bahkan bantu mengurus penguburan Ciok Sam. Tentu saja Kim Li menjadi terhibur hatinya dan cepat melupakan kesedihan hatinya ditinggal mati oleh ayahnya. Akan tetapi, hanya tiga hari Kun Hong mau menemaninya. Pada hari ke tiga, pagi-pagi sekali Kun Hong sudah melompat ke atas punggung Hek-liong-ma. Dengan air mata bercucuran Kim Li mencoba untuk menahan Kun Hong, akan tetapi pemuda itu dengan tegas berkata.

   "Kim Li. hanya karena sayang dan kasihan kepadamu aku sampai menunda perjalananku selama tiga hari. Sekarang, bagaimanapun juga aku harus pergi"

   "Kam-koko aku ikut..... jangan tinggalkan aku seorang diri......."

   "Tidak mungkin. Kau tak boleh ikut. Selamat tinggal, mudah-mudahan lain waktu kita dapat saling berjumpa pula."

   Tanpa perdulikan lagi tangis dan keluhan Kim Li. Kun Hong membalapkan kudanya pergi dari situ.

   "Kam-koko...... aku ikut....... aku cinta padamu.......!"

   Kim Li menjerit- jerit sambil lari mengejar sekuat tenaga. Wanita ini juga memiliki kepandaian, larinya cepat. Akan tetapi mana mungkin ia dapat menyusul Hek-liong-ma?

   
Cheng Hoa Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Kam-koko......... aduuhhh.........!'"

   Tadinya Kun Hong tidak mengambil perduli sama sekali, akan tetapi mendengar gadis itu menjerit kesakitan, ia menengok juga. Kagetlah hatinya melihat Kim Li roboh terguling,, nampaknya terluka hebat karena ia melihat darah. Kun Hong memutar kudanya dan menghampiri gadis itu, ingin tahu apa yang telah terjadi.

   Dari atas kudanya ia melihat gadis itu berkelojotan, pada kedua betis kakinya terdapat luka yang mengeluarkan darah, nampaknya seperti luka biasa saja. Akan tetapi tidak demikian dalam pandangan Kun Hong yang memandang dengan mata terbelalak. Ia melompat turun, memeriksa luka-luka itu yang mengandung warna kehijauan.

   "Celaka.........!"

   Katanya perlahan. Tanpa ragu-ragu lagi ia lalu menotok jalan darah kedua kaki gadis itu di bagian belakang dan lutut, kemudian ia mencabut pedang pendek yang masih terselip di punggung Kim Li dan....... mengayun pedang itu membabat putus kedua kaki Kim Li sebatas lutut! Kim Li menjerit ngeri dan roboh pingsan. Akan tetapi dari kedua kaki yang buntung itu tidak keluar banyak darah. Ini adalah karena jalan darahnya telah dihentikan oleh totokan Kun Hong.

   Pemuda itu melemparkan pedang pendek ke bawah, lalu ia celingukan ke kanan kiri.

   "Niocu marah kepadaku mengapa menyerang gadis ini?"

   Ia berseru

   Terdengar suara ketawa dan muncullah Tok-sim Sian-li! Wanita ini masih kelihatan muda dan genit biarpun sekarang usianya sudah bertambah dua belas tahun lagi Pandang matanya masih segalak dulu. juga suaranya masih nyaring merdu ketika ia berkata sambil memandang ke arah Kim Li sambil tertawa-tawa.

   "Alangkah lucunya! Kau meninggalkan aku untuk main gila dengan seorang wanita macam dia ini. Manusia macam dia ini mana ada harga untuk berdekatan dengan kau, Kun Hong? Lihat betapa buruknya, apa lagi setelah kedua kakinya menjadi buntung. Masih maukah kau bermain gila dengan dia?"

   "Niocu, aku pergi dari Wi-san bukan untuk main gila dengan siapapun juga. Hanya kebetulan saja aku bertemu dengan dia. Kau tentu sudah dapat menduga bahwa kepergianku ini untuk merampas kembali Cheng-hoa-kiam dari tangan Thian Te Cu dan sekalian membalas kekalahanku dahulu dari Wi Liong!"

   Tok-sim Sian-li mainkan mata dan bibirnya.

   "Betulkah itu Kun Hong. apakah kau belum melupakan aku dan masih cinta padaku?"

   Diam-diam Kun Hong menarik napas panjang, akan tetapi ia tersenyum ketika menjawab.

   "Tentu saja. Niocu. Kau sudah begitu baik kepadaku selama belasan tahun ini, bagaimana aku tidak cinta padamu?"

   "Cinta sebagai murid terhadap guru atau sebagai laki-laki terhadap kekasihnya?"

   Tok-sim Sian-li mendesak, matanya memandang tajam penuh selidik.

   Kun Hong cukup cerdik untuk tidak memancing pertikaian dengan gurunya ini, maka ia menjawab dengan suara sungguh-sungguh "Sebagai kedua-duanya!"

   Tok-sim Sian-li menubruk dan memeluknya sambil berkata dengan suara penuh perasaaan.

   "Kun Hong..... Kun Hong. betapa aku mencintamu..... tak mungkin lagi aku dapat hidup jauh darimu......"

   Kun Hong membiarkan saja wanita itu memeluk dan membelainya, kadang-kadang seperti sikap seorang ibu kepada anaknya, ada kalanya juga seperti seorang wanita terhadap kekasihnya.

   "Kun Hong. kau anak baik....... kau laki-laki tampan dan ganteng, sudah kuketahui sejak dahulu bahwa kau akan menjadi seorang pemuda yang paling baik dan gagah di seluruh dunia ini."

   Kun Hong hanya tersenyum saja kemudian dengan halus ia melepaskan pelukan gurunya.

   "Niocu. sekarang aku hendak melanjutkan perjalananku ke Wu-yi-san."

   "Kau seorang diri ke Wuyi-san? Kun Hong. jangan kau main-main. Thian Te Cu bukanlah orang yang boleh dipandang rendah. Orang-orang lain tidak kukhawatirkan dan tidak kutakuti, akan tetapi Thian Te Cu..... dia benar-benar lihai."

   "Aku tidak takut."

   Jawab 'Kun Hong tabah.

   "Kau boleh tak takut, akan tetapi aku tidak rela melihat kau pergi ke sarangnya di Wu-yi-san. Ketahuilah, Kun Hong. Aku sendiri dan gurumu Bu-ceng Tok-ong juga tidak sanggup menghadapi Thian Te Cu. Orang satu-satunya yang sanggup kiranya hanya Thai Khek Sian susiok dari Tok-ong. Dahulu Thai Khek Sian sudah berjanji hendak menurunkan kepandaian kepadamu. Lebih baik kau lebih dulu pergi ke Pek-go-to memperdalam ilmu kepandaian, mari kuantarkan."

   "Tidak. Niocu. Aku akan mencoba-coba pergi ke Wuyi-san lebih dulu,"

   Kata pemuda yang keras hati ini.

   "Kalau aku tidak dapat merampas kembali Cheng-hoa-kiam dan tidak sanggup mengalahkan Thian Te Cu, tidak apa, hal itu dapat ditunda dulu. Akan tetapi setidaknya aku harus dapat mencoba kepandaian Wi Liong."

   "Kalau begitu aku ikut. Tak sampai hatiku membiarkan kau seorang diri pergi ke Wuyi-san....."

   "Jangan. Niocu. Aku ingin pergi sendiri!"

   Setelah berkata demikian, Kun Hong melompat ke atas punggung kuda Hek-liong-ma dan hendak membalapkan kudanya itu. Akan tetapi terdengar suara ketawa dan tahu-tahu tubuh Tok-sim Sian-li juga sudah melayang dan duduk di atas punggung kuda. tepat di belakang Kun Hong.

   "Mana kau bisa tinggalkan aku, anak manis?"

   Tok-sim Sian-li berkata menggoda.

   "Kau tak boleh ikut dan harus turun, Niocu yang baik."

   Kata Kun Hong tak kalah manisnya, akan tetapi tiba-tiba tubuhnya membalik dan dengan kedua tangannya murid yang "manis"

   Ini melakukan pukulan dorongan yang hebat!

   Tok-sim Sian-li terkejut sekali karena maklum bahwa tenaga dorongan pemuda itu sudah amat kuat dan berbahaya. Ia mencoba untuk menangkis dengan kedua tangannya, akan tetapi tetap saja ia terguling dari atas punggung kuda. Baiknya ia sudah memiliki ginkang yang tinggi sehingga sekali menggerakkan pinggang ia dapat mengatur jatuhnya sehingga dapat tiba di atas tanah dalam keadaan berdiri.

   Tok-sim Sian-li tersenyum manis sekali dan matanya memancarkan cahaya kilat. Kedua tangannya diayun ke depan bergantian dan sinar hijau menyambar-nyambar.

   Kun Hong kaget bukan main. cepat mencoba untuk mengeprak kudanya supaya melompat tinggi ke depan, namun terlambat. Kuda itu mengeluarkan ringkikan keras dan roboh terjengkang karena kedua kaki belakangnya telah rusak oleh jarum-jarum beracun yang dilepas Tok-sim Sian-li.

   Kun Hong melompat pada saat kuda itu terjungkal, berdiri bertolak pinggang memandangi kuda yang sudah empas-empis mau mampus itu. Pemuda ini maklum bahwa kuda itu tak dapat tertolong lagi paling-paling untuk menolongnya hanya harus kedua kaki belakangnya dipotong. Akan tetapi apa artinya? Ia meludah ke arah kuda, lalu memandang kepada gurunya sambil tersenyum.

   "Jarum-jarummu masih lihai, Niocu. Benar-benar kau nekat sekali hendak ikut dengan aku sampai-sampai kau tidak segan dan sayang mengorbankan kudamu Hek-liong-ma. Akan tetapi makin nekat kau hendak ikut. makin nekat pula aku hendak pergi seorang diri. Ha-ha-ha! Kejarlah kalau kau sanggup!"

   Setelah berkata demikian. Kun Hong lari dengan cepat sekali keluar hutan, mengerahkan seluruh kepandaiannya karena maklum betapa hebat ginkang dan ilmu lari cepat dari Tok-sim Sian-li.

   Tok-sim Sian-li marah di dalam hatinya ia menoleh dan melihat tubuh Kim Li masih meringkuk dengan kedua kaki buntung di atas tanah, kemarahannya tertimpa kepada gadis yang bernasib malang ini. Ia mencabut pedang hijaunya dan berkata perlahan.

   "Jangankan hanya seekor kuda. Kun Hong biar berkorban nyawa aku rela untuk dapat hidup berdekatan selalu dengan kau. Gadis ini berani mati mencintamu, ia harus mampus!"

   Pedangnya berkelebat menusuk dada gadis itu.

   Traangg.........! Sebuah batu karang sebesar kepala orang hancur lebur terpukul pada pedang itu, akan tetapi pedang di tangan Tok-sim Sian-li tertahan dan tidak terus menusuk dada Kim Li.

   Tok-sim Sian-li cepat melompat ke belakang sambil membalikkan tubuh, gerakannya cepat sekali, mulutnya masih tersenyum akan tetapi alisnya berdiri matanya berkilat-kilat tanda bahwa dia marah bukan main. Siapakah yang begitu berani mati menangkis pedangnya dengan lemparan batu? Ia melihat seorang laki-laki pendek gemuk bermuka toapan. Muka itu berkulit putih bersih dengan kumis terpelihara baik-baik dan jenggotnya lebat, hitam dan terpelihara pula. Rambutnya yang pendek dan jarang itu digelung ke atas, kecil saja terbungkus kain kuning. Laki-laki itu tertawa lebar, sikapnya tenang gagah dan berdiri dengan kedua kaki terpentang dan kedua lengannya yang kuat dan berbulu itu disilangkan di depan dada.

   "Tok-sim Sian-li benar-benar makin tua makin gila, tak tahu malu sudah berusia tua masih tergila-gila kepada seorang pemuda. Juga hatimu yang beracun itu makin jahat saja. sudah melukai kedua kaki gadis ini sampai buntung kedua kakinya, sekarang masih mau dibunuh lagi karena cemburu."

   Tok-sim Sian-li melengak. Kalau orang ini dapat mengetahui apa yang telah terjadi tadi, itu tandanya orang ini memiliki kepandaian tinggi. Dan selain itu. nampaknya orang ini sudah mengenalnya baik-baik. Dengan penuh selidik Tok-sim Sian-li memandang wajah orang itu. Serasa pernah ia melihatnya, muka ini benar-benar tidak asing baginya, malah muka yang amat dikenalnya, akan tetapi ia lupa lagi siapa gerangan dia.

   "Manusia bermulut lancang, siapa kau?"

   Akhirnya ia membentak. Ini sebetulnya amat aneh bagi yang sudah mengenal watak Tok-sim Sian-li. Wanita ini biasanya menggerakkan tangan lebih dulu dari pada menggerakkan mulutnya. Sekarang ia menanyakan nama orang dan belum menggerakkan tangannya ini benar luar biasa dan hal ini hanya dapat terjadi karena ia merasa sangsi melihat muka yang amat dikenalnya tapi lupa lagi siapa itu.

   Laki-laki itu tertawa bergelak dan ternyata giginya yang rata masih baik dan putih bersih. Ketika ia tertawa kelihatan bahwa ia mempunyai garis-garis muka yang tampan dan mudah diduga bahwa ketika masih muda ia seorang yang ganteng.

   "Ha-ha-ha. terlalu banyak kau mengenal pria sampai-sampai kau lupa kepada aku orang she Kwa!"

   "Siang-jiu Lo-thian (Sepasang Kepalan Mengacau Langit)! Kau Kwa Cun Ek?"

   Tanya Tok-sim Sian-li tercengang dan baru sekarang ia ingat muka laki-laki yang sebetulnya tidak asing baginya ini, kira-kira duapuluh tahun yang lalu! Orang ini adalah Siang-jiu Lo-thian Kwa Cun Ek, seorang jago silat kenamaan di dunia selatan.

   Begitu teringat bahwa orang di depannya ini Kwa Cun Ek Tok-sim Sian-li lalu mengeluarkan seruan marah dan langsung menyerang dengan pedangnya! Kwa Cun Ek yang mempunyai julukan Sepasang Kepalan Mengacau Langit tentu saja dapat mengelak dengan mudah.

   "Kau masih seperti dulu."

   Katanya tertawa, ''genit, galak dan....... tetap cantik."

   Mendengar kata-kata yang bersifat setengah memuji kecantikannya ini, Tok-sim Sian-li menunda pedangnya, menudingkan pedang ke arah muka laki-laki itu sambil memaki.

   "Orang she Kwa! Kau meninggalkan aku lari kepada siluman lautan timur itu, benar-benar penghinaan besar namanya. Karena itu. kali ini kau harus mampus di tanganku!"

   Kembali ia menyerang hebat, akan tetapi lagi-lagi Kwa Cun Ek dapat mengelak tanpa balas menyerang,

   "Kau benar-benar tak tahu diri dan mau menang sendiri saja!"

   Kwa Cun Ek menegur, suaranya sungguh-sungguh menyatakan penyesalan hatinya.

   "Karena kau isteriku lari meninggalkan aku dan seorang anak. Perbuatanmu yang keji itu masih hendak kau tutup dengan menyalahkan semua kepadaku? Benar-benar kau wanita dengan hati beracun!"

   Tiba-tiba sikap Tok-sim Sian-li berubah mendengar ini. Senyumnya melebar dan kembali pedangnya ditahannya.

   "Dia meninggalkan kau? Hi-hi, lucunya! Dia minggat dari kau karena cemburu kepadaku? Bagus, baru kau puas. Siapa sih wanita yang sudi lama-lama bersamamu. Lihat jenggotmu panjang, kepalamu mulai botak dan perutnya mulai gendut. Hi-hi, puas hatiku mendengar kau ditinggal sia-sia oleh isterimu! '

   Kwa Cun Ek sekarang yang nampak marah. Sebagai jawaban dua tangannya memukul ke depan secara bergantian dan hebatnya, begitu ia menggerakkan tangan, batang-batang pohon di belakang Tok-sim Sian-li bergoyang-goyang seperti ada gempa bumi! Inilah kehebatan tenaga pukulan Kwa Cun Ek Si Sepasang Tangan Mengacau Langit! Akan tetapi Tok-sim Sian-li dengan ringannya melompat dan pukulan-pukulan itu sama sekali tidak menyusahkannya.

   "Tentu saja aku tidak menarik lagi karena sudah tua. Dulu kau tergila-gila kepadaku, ketika aku masih seganteng pemuda yang kaukejar-kejar tadi. Akan tetapi kaupun sudah tua......"

   (Lanjut ke Jilid 07)

   Cheng Hoa Kiam (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 07

   Kwa Cun Ek terpaksa menghentikan kata-katanya karena begitu mendengar tentang "pemuda tadi"

   Segera Tok-sim Sian-li teringat akan Kun Hong dan tanpa mengeluarkan kata-kata lagi berkelebat pergi dari situ mengejar pemuda yang dikasihinya itu.

   Kwa Cun Ek menarik napas panjang berkali-kali.

   "Dia masih hebat baik aksi maupun kepandaiannya. Aku belum tentu bisa mengalahkan dia......"

   Kemudian ia menoleh kepada Kim Li, menggeleng-geleng kepala dan menggerutu.

   "Kasihan sekali bocah ini mati tidak hiduppun bercacad, hilang kedua kakinya sebatas lutut. Hemm, harus kuapakan dia? Biar kubawa pulang. bagaimana keputusan Siok Lan saja........."

   Ia lalu menghampiri Kim Li yang masih pingsan, membungkuk lalu memondongnya, dibawa pergi keluar hutan dengan langkah lebar.

   Siapakah Kwa Cun Ek dan bagaimana ia dapat kenal Tok-sim Sian-li? Dia dahulu memang benar seorang pemuda ganteng dan tampan di selatan, seorang jago muda yang banyak digilai wanita-wanita, terutama wanita-wanita kangouw yang tentu saja mengharapkan jodoh-jodoh yang gagah perkasa. Di antara semua wanita gagah dan cantik, hanya seorang pendekar wanita gagah perkasa yang menarik hatinya. Pendekar wanita ini adalah seorang tokoh muda yang disegani, yang telah membuat nama besar di sepanjang laut timur dengan pedangnya dan ilmu pukulan Sin-na-hwat yang lihai sekali. Saking hebatnya sepak terjang pendekar wanita ini, dunia kang-ouw memberi julukan kepadanya Tung-hai Sian-li (Dewi Lautan Timur). Tentu pembaca masih ingat akan tokoh ini, yaitu seorang di antara tokoh-tokoh yang mengadakan pertemuan di puncak Kun-lun-san.

   Begitu berjumpa, terjalin cinta kasih antara Kwa Cun Ek dan Tung-hai Sian-li sampai terjadi pernikahan di antara mereka. Akan tetapi sebelum bertemu dengan Tung-hai Sian-li Kwa Cun Ek pernah tergila-gila kepada seorang tokoh wanita hek-to (jalan hitam), yaitu Tok-sim Sian-li yang ketika itu masih muda. cantik jelita, genit dan cabul!

   Setelah Tok-sim Sian-li yang kembali bertemu dengan Kwa Cun Ek mendengar bahwa bekas kekasihnya ini telah menikah dengan Tung-hai Sian-li, ia menjadi marah sekali dan datang menyerbu rumah bekas kekasihnya ini dengan maksud membunuh Tung-hai Sian-li. Akan tetapi di luar dugaannya, Tung-hai Sian-li adalah seorang wanita muda yang gagah perkasa sehingga ia mendapat perlawanan setimpal. Selain itu, Kwa Cun Ek juga dengan sendirinya membantu isterinya. Dikeroyok dua. Tok-sim Sian-li tidak kuat melawan dan melarikan diri. Akan tetapi, semenjak itu, penghidupan Kwa Cun Ek tidak bahagia lagi karena Tok-sim Sian-li belum mau puas sebelum Tung-hai Sian-li mendengar akan hubungan "antara suaminya dan iblis wanita itu. Perhubungan suami isteri menjadi renggang, padahal tadinya amat penuh kebahagiaan, apa lagi karena Tung-hai Sian-li sudah mengandung.

   Tung-hai Sian-li adalah seorang wanita yang berhati keras laksana baja. Ia keren, sungguh-sungguh, jujur dan galak pula. Sakit hatinya karena hubungan suaminya dengan perempuan cabul itu tak dapat dihibur dan setelah ia melahirkan seorang anak perempuan, ia lalu lari minggat meninggalkan Kwa Cun Ek dengan anaknya yang baru berusia satu tahun!

   Demikianlah riwayat singkat Kwa Cun Ek ketika masih muda. Sekarang anaknya telah berusia delapanbeias tahun cantik jelita dan selain ilmu silatnya tinggi, juga mempunyai kecerdikan luar biasa. Karena cerdiknya, hampir dalam segala hal Kwa Cun Ek menyerahkan kepada puterinya itu. Bahkan perdagangannya, yaitu perdagangan kulit, boleh dibilang berada di tangan Kwa Siok Lan, puterinya itu. Maka tidak mengherankan apabila menghadapi nasib Kim Li, Kwa Cun Ek yang kebingungan akhirnya mengambil keputusan membawa gadis yang malang itu pulang untuk menanyakan nasihat Siok Lan! Dengan Kim Li ia sudah kenal sejak lama karena Ciok Sam ayah Kim Li adalah langganannya dalam pembelian kulit binatang.

   Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Kwa Siok Lan ketika melihat ayahnya pulang memondong tubuh Kim Li yang sudah buntung kedua kakinya. Siok Lan tentu saja kenal baik dengan Kim Li yang sering kali datang ke kota mengantarkan kulit, bahkan sering kali Kim Li minta petunjuk tentang ilmu silat dari Siok Lan yang memiliki kepandaian tinggi. Melihat keadaan Kim Li dan mendengar penuturan ayahnya, Siok Lan mengerutkan alisnya yang bagus sambil berkata,

   "Bagaimana Kim Li sampai bertemu dengan iblis wanita itu dan di mana pula paman Ciok Sam. ayahnya?"

   "Aku sendiri tidak tahu apa yang tadinya terjadi. Ciok Sam tidak kelihatan. Ketika aku memasuki hutan untuk mencari Ciok Sam yang sudah beberapa hari tidak muncul, kumelihat Kim Li mengejar seorang pemuda dan tahu-tahu muncul Tok-sim Sian-li yang melukai Kim Li dengan jarum-jarum hijaunya. Pemuda itu nampaknya lihai juga, segera menolong Kim Li dan terpaksa membuntungi kedua kaki gadis ini untuk menyelamatkan nyawanya. Pemuda itu bahkan berani melawan dan dapat melarikan diri dari Tok-sim Sian-li."

   "Hemm. Kim Li seorang gadis hutan yang sederhana, mudah sekali tertipu orang. Kurasa orang muda itupun bukan orang baik-baik. ayah."

   "Aku tidak mengenalnya, akan tetapi ia lihai dan nampaknya gagah."

   Diam-diam di dalam hatinya, Kwa Cun Ek melihat seorang calon mantu yang amat baik. dalam diri Kun Hong. Sudah lama pendekar tua ini membujuk puterinya untuk segera memilih seorang calon suami, menerima seorang di antara banyak peminang akan tetapi selalu Siok Lan menolak, menyatakan belum ingin menikah dan akhirnya menyatakan belum ada pemuda yang ia penujui. Sekarang melihat Kun Hong yang gagah, ganteng dan lihai sekali. Kwa Cun Ek amat tertarik. Seorang pemuda yang cocok benar untuk menjadi jodoh anakku pikirnya.

   Setelah siuman dari pingsannya dan mendapatkan kedua kakinya sudah buntung. Kim Li menangis tersedu-sedu dalam pelukan Siok Lan yang menghiburnya. Juga Siok Lan sudah mengobati dan membalut kedua kaki itu, membaringkan Kim Li di atas pembaringan.

   Dengan sabar Siok Lan menanyakan pengalaman Kim Li dan apa yang telah terjadi dengan ayahnya. Kim Li orangnya jujur, dan diapun amat menghormat Siok Lan. Tanpa malu-malu lagi lalu menceriterakan semua pengalamannya semenjak ia bertemu dengan Kun Hong sampai pertemuannya dengan Tok-sim Sian-li iblis wanita itu.

   Siok Lan mengepal tinjunya.

   "Sudah kuduga pemuda itu bukan orang baik-baik!"

   "Ah. tidak nona. Dia bukan orang jahat. Kam Kun Hong koko seorang yang amat baik, gagah perkasa dan mulia. Semua adalah salahku sendiri. Aku yang tergila-gila kepadanya dan aku pula yang menjadi sebab kematian ayah."

   Dia lalu secara terus terang lagi menceritakan betapa ia menyuruh anjing-anjingnya menyerang Kun Hong sehingga binatang-binatang itu tewas semua dan ayahnya menjadi marah, terjadi pertempuran antara ayahnya dan Kun Hong yang mengakibatkan tewasnya Ciok Sam. Juga ia menceritakan pula bahwa Kun Hong tinggal bersama dia selama tiga hari itu hanya untuk membantu mengurus penguburan jenazah ayahnya dan unituk menghiburnya.

   "Dia tidak bersalah apa-apa, nona Siok Lan. Dia seorang yang berhati mulia dan aku.......aku cinta padanya....."

   Merah wajah Siok Lan, ia merasa jengah mendengar ucapan yang jujur dari Kim Li. Timbul kasihan dalam hatinya.

   "Kau bodoh Kim Li. Kau mengapa mencinta orang yang tidak membalas perasaanmu itu. kau hendak menyiksa diri sendiri."

   "Apa dayaku nona? Aku tergila-gila kepada Kun Hong, dia pemuda terbaik di dunia ini. biarpun hanya cinta sefihak, aku tidak penasaran. Aku sudah puas hidup bersama Kam Kun Hong. biarpun hanya untuk tiga hari tiga malam lamanya!"

   Kim Li lalu menangis lagi terisak-isak. Siok Lan hanya menggeleng kepala, di dalam hatinya memaki Kim Li sebagai seorang gadis yang bodoh, mudah saja menjadi permainan cinta!

   "Mulai sekarang kau tinggallah saja di sini. Kim Li. Biar ayah melatihmu dengan ilmu silat yang lebih tinggi. Aku percaya kalau kau sudah matang ilmu silatmu, kakimu yang cacad itu tidak akan terlalu mengganggumu lagi."

   Kim Li menjadi terharu dan hanya mengangguk-angguk dengan mata berlinang air mata. Demikianlah, semenjak saat itu. gadis yang bernasib malang ini menjadi murid Siang-jiu Lo-thian Kwa Cun Ek menerima pelajaran ilmu silat tinggi.

   Kota Ningpo di Propinsi Cekiang adalah kota yang cukup besar dan ramai, terletak di dekat pantai Laut Tung-hai. Kota ini boleh dibilang terletak di bagian paling pinggir sebelah timur Tiongkok dan karena berada di tepi laut dan dekat dengan kota besar Syanghai, maka menjadi pusat perdagangan dan penduduknya padat. Toko-toko, rumah-rumah makan dan losmen-losmen besar menjadi bukti kemajuan kota ini.

   Di antara rumah-rumah makan yang terdapat di kota Ningpo. kiranya rumah makan Tung-thian terkenal sebagai rumah makan yang paling besar dan paling lengkap. Rumah makan ini di ruang bawah saja memiliki duapuluh lima pasang meja kursi, belum yang di ruang atas yaitu di loteng, di siitu terdapat lima pasang meja kursi. Setiap hari tentu ada tamu yang makan di situ. belum pernah kelihatan kosong, biarpun hanya tiga empat orang tentu ada yang bersantap. Hanya di loteng jarang terisi tamu oleh karena tamu-tamu biasa lebih suka makan di bawah. Di loteng ini hanya disediakan untuk tamu-tamu pembesar yang tidak suka makan dalam satu ruangan dengan orang-orang biasa, atau disediakan untuk keperluan khusus, misalnya ada serombongan keluarga yang hendak merayakan sesuatu.

   Pada suatu senja, ruangan bawah rumah makan Tung-thian sudah penuh tamu yang makan minum sambil bersendau-gurau di antara teman dengan gembira. Tidak mengherankan apa bila keadaan pada hari itu amat ramai, karena selain malam hari itu bulan muncul sore-sore, juga saat itu adalah saat panen ikan. Para nelayan membanjiri kota dengan hasil-hasil ikan laut mereka dan inilah saatnya para penduduk mengeduk keuntungan besar, membeli dan memborong ikan-ikan itu dari para nelayan untuk kemudian dijual dan dikirim ke lain kota dengan harga berlipat ganda.

   Hanya seorang pemuda yang duduk seorang diri di pojok ruangan bawah rumah makan itu yang tidak dapat bergembira seperti yang lain-lain, karena ia makan minum seorang diri tiada kawan. Akan tetapi kegembiraan orang-orang di situ menarik hatinya dan memancing senyum di bibirnya dan seri pada matanya. Agaknya pemuda ini seorang asing, buktinya tidak ada seorangpun penduduk Ningpo mengenalnya.

   Serombongan orang terdiri dari delapan orang muda memasuki restoran itu minta tempat. Pengurus rumah makan menyambut mereka dan dengan muka ramah minta mereka bersabar menanti meja kosong karena semua tempat sudah penuh.

   "Bukankah di loteng masih kosong?"

   Tanya seorang di antara pemuda-pemuda itu sambil menunjuk ke atas.

   "Sekarang masih kosong, akan tetapi telah dipesan oleh tuan-tuan dari Hai-liong-pang yang akan mengadakan pertemuan di loteng dan tidak mau diganggu oleh orang-orang lain."

   Kata pengurus rumah makan.

   Mendengar kata-kata ini, pemuda-pemuda itu tak berani berkata apa-apa lagi, melainkan menanti di luar rumah makan. Bahkan para tamu penduduk Ning-po yang mendengar nama Hai-liong-pang, nampak terkejut dan gelisah. Ada yang cepat-cepat menyelesaikan makan lalu tergesa-gesa meninggalkan rumah makan. Malah ada yang segera membayar makanan dan pergi tanpa menghabiskan sisa hidangan yang masih banyak. Akan tetapi pemuda-pemuda yang tadi menanti di luar agaknya lebih berani karena melihat banyak tempat kosong, dengan wajah gembira mereka lalu masuk dan memilih tempat duduk. Sebentar saja ruangan bawah itu hanya tinggal setengahnya terisi tamu, di antaranya pemuda asing yang duduk menyepi seorang diri, saban-saban mengirup araknya.

   "Mereka boleh galak dan berpengaruh, asal kita tidak mengganggu mereka tak mungkin kita diganggu."

   Terdengar seorang di antara para pemuda itu berkata, dan pesanan makanan dan minuman dilakukan oleh seorang pelayan yang melayani mereka dengan hormat. Pemuda-pemuda ini adalah putera-putera penduduk yang terkenal kaya di kota Ningpo, maka tentu saja para pelayan amat menghormati mereka.

   Tak lama kemudian datang serombongan orang. Mereka ini adalah tujuh orang laki-laki setengah tua yang pakaiannya seperti yang biasa dipakai oleh jago-jago silat Sikap mereka keren sekali dan melihat tindakan kaki mereka, mudah diduga bahwa mereka rata-rata memiliki kepandaian silat yang lumayan.

   "He, pengurus Tung-thian! Lekas siapkan meja. sam-wipangcu (tiga ketua) sebentar lagi datang!"

   Seorang di antara mereka berseru kepada pengurus rumah makan.

   Melihat bahwa mereka ini adalah orang-orang dari Hai-liong-pang para pelayan menjadi sibuk sekali, cepat-cepat membereskan dan membersihkan meja kursi di loteng, dan di bagian dapur juga terjadi kesibukan luar biasa. Ayam gemuk di sembelih, ikan-ikan hidup dibelek perutnya, daging-daging segar dipilih, sayur dan bumbu nomor satu dikeluarkan pendeknya persiapan pesta besar yang mewah dan mahal dilakukan semua pegawai rumah makan Tung-thian. Tujuh orang anggauta Hai-liong-pang inipun tidak tinggal diam, mengepalai para pelayan mengatur persiapan, kemudian mereka melakukan penjagaan di luar rumah makan. Benar-benar lagak mereka seperti serdadu-serdadu yang menjaga kedatangan pembesar-pembesar negeri.

   Siapa dan apakah Hai-liong-pang yang agaknya berpengaruh serta ditakuti oleh penduduk Ningpo itu? Namanya telah menyatakan bahwa Hai-liong-pang (Perkumpulan Naga Laut) adalah sebuah perkumpulan yang berpusat di pantai laut. Perkumpulan ini adalah perkumpulan nelayan, diketuai oleh tiga orang kakak beradik she Phang yang sebetulnya bukanlah nelayan-nelayan melainkan juragan- juragan perahu yang bertindak sewenang-wenang mengandalkan kepandaian ilmu silat mereka yang memang amat tinggi. Tiga orang ini yang memiliki modal besar, membeli perahu-perahu yang banyak jumlahnya dan perahu-perahu ini mereka sewakan kepada para nelayan dengan cara pemungutan hasil yang tidak adil sama sekali. Pendeknya mereka memeras tenaga buruh nelayan mengandalkan pengaruh dan milik mereka. Ada nelayan yang mempunyai perahu sendiri dan tidak mau menyewa perahu mereka? Nelayan seperti ini akan celaka,, karena ke manapun ia mencari ikan, ia akan selalu diganggu sampai ia terpaksa pulang dengan tangan kosong. Pulang dengan selamat saja masih untung!

   Tiga orang she Phang itu makin lama makin berpengaruh dan makin kaya. Kemudian karena merasa khawatir kalau-kalau para nelayan itu bersatu dan melakukan pemberontakan, secara cerdik mereka mendirikan perkumpulan nelayan yang diberi nama Hai-liong-pang. Nelayan-nelayan yang menjadi jagoan, mereka tarik menjadi kaki tangan mereka, dan makin lama perkumpulan ini menjadi makin besar dan kuat sampai para nelayan miskin tak dapat berkutik sama sekali. Seolah-olah lautan luas menjadi milik Hai-liong-pang dan para nelayan, mengandalkan makan mereka dari hasil pemberian Hai-liong-pang?

   Tidak saja di pantai Hai-liong-pang merajai para nelayan juga di laut perahu- perahu yang berbendera naga ini menjadi raja. Ke mana saja perahu-perahu ini berlayar mencari ikan perahu-perahu nelayan lain daerah harus segera pergi dan mengalah. Sampai jauh perahu-perahu Hai-liong-pang ini menjelajah ke lautan timur, mengunjungi tempat-tempat yang paling banyak ikannya. Memang harus diakui bahwa semenjak penangkapan ikan di daerah Ningpo dimonopoli oleh Hai-liong-pang, hasil penangkapan ikan menjadi makin banyak, berkat perahu-perahu yang kuat dan jala-jala ikan yang lebih baik. Akan tetapi sebagian besar dari pada hasil pendapatan itu masuk ke dalam gedung dan gudang tiga orang saudara Phang ini!

   Akan tetapi tiga orang she Phang itu benar-benar tidak sadar bahwa mereka telah main-main di dekat gua naga dan harimau, tidak sadar bahwa mereka melebarkan sayap mencari pengaruh di tempat yang amat berbahaya. Perlu diketahui bahwa Ningpo terletak di tepi pantai dan tak jauh dari pantai itu adalah kelompok Kepulauan Cou-san-to dan di antara kepulauan ini terdapat Pulau Pek-go-to (Pulau Buaya Putih) yang menjadi sarang atau tempat tinggal Thai Khek Sian, tokoh utama dari Mo-kauw!

   Cheng Hoa Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Lebih celaka lagi tiga orang she Phang ini belum pernah mengenal Thai Khek Sian dan tidak tahu bahwa Thai Khek Sian adalah "rajanya"

   Orang jahat! Kalau mereka ini sudah mengenal Thai Khek Sian, kiranya biar matipun mereka takkan berani mencari pengaruh di dekat tempat itu. Sebulan yang lalu, pada suatu hari selagi tiga buah perahu Hai-liong-pang mencari perahu dan tanpa disengaja mendekati Pulau Pek-go-to. tiba-tiba muncul sebuah perahu kecil yang ditumpangi oleh dua orang wanita muda yang cantik.

   Sembilan orang nelayan dan kaki tangan Hai-liong-pang yang berada di atas tiga perahu ikan itu menjadi tercengang. Bagaimana di tengah laut muncul dua orang wanita muda cantik dengan perahu sekecil itu? Setiap perahu ikan ditumpangi oleh dua orang nelayan dan seorang kaki tangan Hai-liong-pang yang bertindak selaku pengawas, jadi pada waktu itu terdapat enam orang nelayan dan tiga orang Hai-liong-pang. Enam orang nelayan itu yang masih percaya akan tahyul segera menjadi ketakutan dan mengira bahwa dua orang wanita cantik itu adalah dewi-dewi laut! Akan tetapi tiga orang Hai-iiong-pang memandang kagum dan seorang di antara mereka yang terkenal mata keranjang berlancang mulut,

   "Aduhai dari mana datangnya nona-nona cantik di atas lautan? Apakah sengaja datang hendak menghibur hatiku setelah aku lelah berlayar mencari ikan? Mari sini, nona-nona cantik, sini bersama Ciam-ko. jangan malu-malu....."

   Celaka bagi orang she Ciam ini. Ucapan lancang kurang ajar yang keluar dari mulutnya itu merupakan ucapan terakhir karena tiba-tiba ia terjungkal ke dalam laut dan tidak timbul lagi! Dua orang wanita itu terus menggerak-gerakkan kedua tangan dan terdengar bunyi "krak-krak-krak"

   Tiga kali. Ketika semua orang melihat ke atas tiang layar, ternyata gambar naga sebagai tanda keangkeran Hai-liong- pang telah patah gagangnya dan bendera-bendera itu melayang-layang jatuh ke bawah!

   Dapat dibayangkan betapa kagetnya para nelayan, lebih-lebih lagi dua orang Hai-liong-pang yang melihat kawan mereka terjungkal ke laut dan tewas. Seorang di antara mereka menegur marah.

   "Kalian ini siapakah, berani mati sekali mematahkan tiang bendera Hai-liong-pang dan membunuh kawan kami?"

   Dua orang wanita muda itu tertawa, suara ketawanya merdu dan seorang di antara mereka yang berbaju hijau menjawab.

   "Kalian ini orang-orang Hai-liong-pang sungguh tak tahu diri. seperti kucing berlagak di depan harimau! Sudah lama Siansu membiarkan saja kalian berlagak dan menganggap orang-orang Hai-liong-pang seperti orang-orang gila yang tak perlu diurus. Akan tetapi hari ini kalian berani mendekati Pek-go-to. berani memasang bendera, sudah sepatutnya kalau kalian dimusnahkan ke dalam laut. Akan tetapi untuk sementara cukup seorang di antara kamu saja merasai kelihaian kami. Mau tahu kami siapa? Kami adalah pelayan-pelayan dari Thai Khek Siansu dan katakan kepada pemimpin-pemimpin kalian agar supaya pada tanggal lima belas malam mengadakan perjamuan di rumah makan Tung-thian di Ningpo. Siansu tentu akan mengutus seorang wakil dan memberi petunjuk lebih jauh!"

   Dua orang itu, seperti yang lain-lain. sudah mendengar bahwa Pulau Pek-go-to didiami oleh orang-orang aneh, akan tetapi oleh karena selama ini Thai Khek Siansu dan para pelayannya tak pernah melakukan sesuatu yang diketahui oleh penduduk sekitar itu, mereka tidak tahu betul Thai Khek Siansu itu orang macam apa. Ucapan wanita itu membikin panas perut dua orang Hai-liong-pang, karena terang-terangan ketua mereka dipandang rendah sekali.

   "Siansu kalian itu orang macam apakah begitu tidak memandang kepada pangcu (ketua) kami? Mana bisa begitu bertemu memerintahkan pangcu kami menyediakan penyambutan? Benar-benar terlalu sekali!"

   Seorang di antara dua wanita yang berbaju ungu mengeluarkan suara menghina.

   "Hemm, sudah mendengar perintah tidak lekas pergi, apa ingin mampus? Terimalah ini untuk peringatan! Nona baju ungu ini menggerakkan tangan dan dua sinar emas berkelebat. Dua orang Hai-liong-pang yang berdiri di perahu masing-masing itu cepat mencoba untuk mengelak, akan tetapi gerakan mereka sangat terlambat. Datangnya benda bersinar itu cepat sekali dan tahu-tahu mereka merasa telinga kiri mereka sakit sekali. Ketika mereka meraba, ternyata telinga kiri mereka telah lenyap, terbabat putus oleh senjata rahasia kim-ji-piauw (piauw uang logam) dan lenyap entah terlempar ke mana Hebatnya, ketika mereka memandang, dua orang nona itu dengan perahu mereka yang kecil telah berada jauh sekali dari tempat itu. seakan-akan perahu itu dapat terbang!

   Baru sekarang dua orang Hai-liong-pang itu ketakutan.

   "Cepat putar perahu. Kita pulang......!"

   Perintah mereka kepada para nelayan yang melakukan perintah ini dengan hati girang oleh karena sejak tadi mereka memang sudah ketakutan dan mengira dua orang wanita itu sebangsa jin atau dewi-dewi lautan.

   Sambil meringis-ringis kesakitan, dua orang Hai-liong-pang itu memberi laporan kepada tiga orang saudara Phang ketua Hai-liong-pang. Tentu saja mereka menjadi marah sekali terutama Phang Hui yang termuda.

   "Kurang ajar sekali. Orang macam apakah Thai Khek Sian di Pulau Pek-go-to! Mari kita siapkan barisan dan serbu pulau itu!"

   "Jangan terburu nafsu. Sepanjang kabar angin, orang-orang yang tinggal di pulau itu memang aneh. Siapa tahu mereka adalah orang-orang sakti yang mengasingkan diri. Kita harus berlaku hati-hati dan lebih dulu mengadakan penyelidikan sebelum lancang turun tangan."

   Kata Phang Cu, orang ke dua yang terhitung paling cerdik di antara tiga orang ketua itu.

   "Betul apa yang dikatakan oleh ji-te."

   Kata Phang Kong yang tertua.

   "Kita harus berlaku hati-hati. Sering kali aku mendengar daerah ini dilalui oleh orang-orang aneh, tentu ada hubungannya dengan Pulau Pek-go-to. Tak boleh bertindak gegabah, apa lagi kalau mendengar laporan orang kita, baru pelayan-pelayan saja kepandaiannya begitu baik."

   "Habis apa yang hendak twako lakukan sekarang?"

   Tanya Phang Hui yang merasa kewalahan karena kedua orang kakaknya sependapat dan hendak bersikap hati-hati, tidak seperti dia yang ingin menggempur saja.

   "Tidak ada lain jalan, kita harus menanti sampai tanggal lima belas. Biar kita mendengar saja apa kehendak mereka, baru kemudian mengambil keputusan harus bersikap bagaimana."

   Demikianlah, tiga orang saudara yang menjadi ketua Hai-liong-pang itu menanti sampai tanggal limabelas. Seperti telah diceritakan di bagian depan pada tanggal Limabelas sore di rumah makan Tung-thian, tujuh orang Hai-liong-pang sudah memesan tempat dan siap menanti kedatangan tiga orang ketua Hai-liong-pang itu yang hendak menyambut tamu dari Pek-go-to. Tiga orang ketua ini tidak mau berlaku sembrono. Paling sukar adalah menghadapi lawan yang belum dikenal keadaannya dan belum dikenal siapa. Oleh karena itu mereka sudah memasang penjagaan terlebih dulu, bahkan telah diatur baihok (barisan pendam) yang bersembunyi di sekeliling tempat itu untuk melindungi keselamatan para ketua Hai-liong-pang.

   Seperti telah dituturkan di bagian depan, di ruang bawal tinggal sedikit saja tamu yang masih berani duduk, di antaranya adalah delapan orang pemuda kaya penduduk Ningpo dan seorang pemuda yang duduk menyendiri di pojok ruangan itu. Suasana di ruang bawah itu sunyi, seakan-akan semua orang terpengaruh oleh sesuatu yang menakutkan. Hal ini terutama sekali ditimbulkan oleh sikap para pelayan yang nampak sibuk dan gelisah. Untuk menghilangkan suasana tidak enak ini. para pemuda itu mulai bersendau-gurau dan karena mereka memang orang-orang muda yang gembira sebentar saja keadaan di situ menjadi ramai dan para pelayan juga mulai berani tersenyum. Tiba-tiba terdengar suara "tar-tar-tar"

   Di depan pintu rumah makan. Seperti jengkerik-jengkerik yang tadinya riuh bersuara kini terpijak diam, semua orang tak berani membuka suara dan menoleh saja mereka tidak berani, hanya mengerling diam-diam ke arah pintu depan.

   Keadaan hening itu sebentar saja karena segera terpecah oleh suara orang bernyanyi sederhana diiringi suara "tar-tar-tar"

   

Pedang Awan Merah Karya Kho Ping Hoo Jodoh Si Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini