Cheng Hoa Kiam 7
Cheng Hoa Kiam Karya Kho Ping Hoo Bagian 7
Tadi. Suaranya nyaring, nadanya tenang menyenangkan, nyanyiannya seperti orang membaca sajak dan iramanya sederhana.
"Kata-kata yang jujur tidak bagus
sebaliknya kata-kata yang bagus tidak jujur.
Orang baik tidak banyak cakap
sebaliknya yang banyak cakap tidak baik.
Orang yang pandai tidak sombong
sebaliknya yang sombong tidak pandai
Orang bijaksana tidak menyimpan.
ia menyumbangkan miliknya sampai habis,
akan tetapi ia makin menjadi kaya;
ia memberi dan terus memberi
akan tetapi ia makin berkelebihan
Jalan yang ditempuh oleh Langit
selalu menguntungkan, tidak merugikan.
Maka jalan yang ditempuh orang bijaksana
juga selalu memberi, tidak merebut jasa!"
Inilah sajak terakhir dari kitab To Tik King,pelajaran dari Nabi Lo Cu dari Agama To. Semua orang yang mendengar ini tersenyum, juga pemuda yang duduk menyendiri di sudut tersenyum kagum. Biarpun tidak semua orang hafal akan isi sajak To Tik King, akan tetapi sajak-sajak Agama To mudah dikenal amat berbeda dengan sajak-sajak Agama Buddha.
Sebelum nyanyian habis, penyanyinya sudah muncul di depan pintu, terus masuk ke rumah makan itu dan duduk di atas sebuah kursi kosong. Orang ini sudah tua, sedikitnya limapuluh tahun usianya, jenggot dan kumisnya terpelihara baik-baik, pakaiannya rapi dan wajahnya nampak gembira sekali. Suara menjetar tadi adalah suara ujung tali yang diikatkan di pinggangnya, ujung tali ini ia gerak- gerakkan seperti pecut mengeluarkan bunyi yang mengiringi nyanyiannya.
Delapan orang pemuda yang tadinya juga ikut diam dan tegang kini tertawa- tawa ketika melihat bahwa yang datang hanya seorang kakek yang aneh, pakaian dan sikapnya bukan tosu (pendeta To) akan tetapi datang-datang menyanyi ayat kitab To Tik King.
"Ha-ha-ha. lopek (paman tua), kau benar-benar mengagetkan orang saja!"
Kata seorang di antara para pemuda itu.
"Lopek yang baru datang pandai bernyanyi, harus dihadiahi arak hangat!"
Kata pemuda ke dua.
"Pangcu telah datang!"
Inilah suara para penjaga tadi, yaitu orang-orang Hai-liong-pang. Mereka sudah memasuki ruangan bawah dengan sikap tegak seperti serdadu-serdadu menanti datangnya jenderal.
Semua orang kembali merasa tegang dan gelisah. Bahkan para pemuda tadi juga merasa tegang dan tidak berani mengeluarkan suara. Akan tetapi kakek tadi tersenyum-senyum, menenggak cawan araknya dan tiba-tiba ia berkata perlahan.
"Kalau ini suara yang kasar dan tidak menyenangkan, juga tidak bisa dibilang bagus!"
Suaranya perlahan saja, akan tetapi jelas terdengar di ruangan itu oleh karena keadaan memang amat sunyi. Mendengar ini, para pemuda itu cekikikan sukar dapat menahan ketawa. Mereka lirak-lirik ke arah para penjaga Hai-liong-pang dengan mulut tersenyum-senyum.
"Itu suara yang sombong!"
Bisik seorang pemuda di balik ujung lengan bajunya. Semua orang kaget akan tetapi sukar diketahui siapa di antara delapan orang pemuda itu yang mengeluarkan kata-kata ini tadi.
Akan tetapi kakek itu mengangguk-angguk.
"Orang yang pandai tidak sombong, maka yang berseru sombong tadi tentulah sebangsa gentong kosong!"
Tak dapat ditahan lagi, para pemuda itu tertawalah cekakak-cekikik mendengar kata-kata...
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Halaman 58 s/d 59 hilang-dewi kz
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
... pangcu telah datang!"
Inilah suara para penjaga tadi, yaitu orang-orang Hai-liong-pang. Mereka sudah memasuki ruangan bawah dengan sikap tegak seperti serdadu-serdadu menanti datangnya jenderal.
Semua orang kembali merasa tegang dan gelisah. Bahkan para pemuda tadi juga merasa tegang dan tidak berani mengeluarkan suara. Akan tetapi kakek tadi tersenyum-senyum, menenggak cawan araknya dan tiba-tiba ia berkata perlahan.
"Kalau ini suara yang kasar dan tidak menyenangkan, juga tidak bisa dibilang bagus!"
Suaranya perlahan saja, akan tetapi jelas terdengar di ruangan itu oleh karena keadaan memang amat sunyi. Mendengar ini, para pemuda itu cekikikan sukar dapat menahan ketawa. Mereka lirak-lirik ke arah para penjaga Hai-liong-pang dengan mulut tersenyum-senyum.
"Itu suara yang sombong!"
Bisik seorang pemuda di balik ujung lengan bajunya. Semua orang kaget akan tetapi sukar diketahui siapa di antara delapan orang pemuda itu yang mengeluarkan kata-kata ini tadi.
Akan tetapi kakek itu mengangguk-angguk.
"Orang yang pandai tidak sombong, maka yang berseru sombong tadi tentulah sebangsa gentong kosong!"
Tak dapat ditahan lagi, para pemuda itu tertawalah cekakak-cekikik mendengar kata-kata kakek ini yang mengangguk-angguk sambil menggerak -gerakkan mulut. Penjaga anggauta Hai-liong-pang yang tadi berseru, menjadi marah. Dengan langkah lebar ia menghampiri kakek ini dan membentak.
"Kau ini pengemis kelaparan berani main gila di depan tuan besarmu!"
Kakek itu menengok perlahan dan tersenyum sambil menudingkan telunjuknya ke muka orang itu.
"Menurut penglihatanku, mukamu tidak kukenal dan muka seperti mukamu ini mana patut disebut tuan besar?"
Suara dan lagaknya yang lucu membuat para pemuda itu kembali tertawa.
"Kurang ajar kau!"
Si penjaga itu mengulur tangan mencengkeram leher baju kakek itu, hendak diseretnya keluar. Akan tetapi pada saat itu tiba-tiba para penjaga lain berseru bahwa para pangcu sudah tiba maka penjaga inipun melepaskan cengkeramannya dan berdiri tegak memberi hormat. Semua orang memandang ke arah pintu. Muncullah tiga orang laki-laki setengah tua yang rata-rata bertubuh kate gemuk memasuki rumah makan itu diiringkan oleh selosin penjaga yang bersenjata lengkap. Setelah tiba di anak tangga, tiga orang pangcu itu memberi isyarat dengan tangan melarang para pengiringnya ikut naik dan naiklah mereka bertiga ke loteng, sedangkan para penjaga atau pengiring ini berdiri berbaris di kanan kiri....
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Halaman 62 s/d 63 hilang-dewi kz
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
....maka sebentar saja kakek ini menarik perhatian para pemuda itu. Gangguan karena datangnya tiga orang ketua Hai-liong-pang tadi sudah mereka lupakan, juga mereka tidak perduli lagi bahwa di tangga loteng itu menjaga duabelas orang anggauta Hai-liong-pang di kanan kiri seperti barisan. Para penjaga ini memandang ke arah orang-orang muda itu dengan mata melotot akan tetapi agaknya mereka itu bertugas menjaga saja maka tidak berani meninggalkan pos penjagaannya.
Selagi orang-orang muda itu tertawa-tawa. dari loteng terdengar bentakan keras.
"Hee. yang di bawah diam jangan ribut-ribut!"
Ketika para pemuda itu menengok, di kepala tangga muncul seorang di antara tiga ketua tadi. Yang muncul adalah Phang Hui, berdiri dengan muka merah dan tangan kanannya memegang sumpit. Memang Phang Hui ini terkenal ngesing (brangasan). Ketika melihat bahwa yang ribut-ribut dan bersendau-gurau seperti tidak mengindahkan kehadiran tiga orang ketua Hai-liong-pang itu hanya serombongan pemuda biasa dan seorang kakek, ia membentak lagi "Kalau aku mendengar suara ketawa-tawa lagi, sumpitku ini takkan mengenal ampun!"
Setelah berkata begitu, tangannya bergerak dan sebatang sumpit meluncur ke bawah.
"Crepp........."
Sumpit bambu itu seperti sebatang anak panah, menancap di atas meja kayu yang tebal dan keras itu, menancap sampai setengahnya lebih dan bergoyang-goyang..
Para pemuda itu meleletkan lidah dan menjadi pucat Kalau sumpit itu ditujukan kepada mereka, kepala atau dada mereka bisa bolong tertusuk sumpit dan nyawa mereka takkan tertolong lagi! Seketika mereka tak berani usik lagi.
Dengan lagak sombong Phang Hui meludah lalu pergi dari kepala tangga untuk kembali ke meja saudara-saudaranya di loteng. Kakek tadi tertawa geli.
"Ha-ha-ha, alangkah bagusnya. Sedangnya kita bergembira datang pelawak menghibur kita dan main sulap!"
"Sssttt......"
Beberapa orang pemuda memberi peringatan kepada kakek yang mereka anggap lancang itu. Kali ini mereka tidak berani menyambut kelakar si kakek, malah menjadi makin gelisah kalau-kalau para ketua Hai-liong-pang yang terkenal kejam mendengar ejekan tadi.
Phang Hui tidak mendengar, dan para penjaga di tangga yang mendengar hanya melotot, akan tetapi para penjaga di luar rumah makan mendengarnya! Masuklah tujuh orang anggauta Hai-liong-pang itu, dikepalai oleh orang yang tadi mengancam si kakek. Mereka menuju ke meja rombongan pemuda itu dengan sikap mengancam.
"Siapa tadi yang berani mengeluarkan omongan menghina Sam-pangcu?"
Tanya kepala rombongan itu yang berkumis tebal.
Para pemuda tak ada yang berani bergerak, dan tamu-tamu lain diam-diam sudah membayar makanan dan menyelinap pergi meninggalkan ruangan itu. Hanya pemuda bertopi yang duduk seorang diri di pojok masih minum araknya dan matanya melirik ke arah rombongan orang Hai-liong-pang.
Kakek itu tersenyum-senyum menjawab.
"Siapa sih yang menghina orang? Apa yang kau maksudkan dengan penghinaan itu, pak kumis?"
Si kumis tebal membelalakkan matanya.
"Tadi ada yang menyebut pangcu ke tiga kami sebagai pelawak. Siapa yang bicara begitu tadi?"
"Aah, kalau yang bicara tadi adalah aku sendiri............"
Tangan kanan si kumis tebal bergerak dan pundak kakek itu sudah dicengkeram, terus diseret keluar. Penjaga-penjaga lain tertawa dan tidak ikut keluar karena mereka ini menjaga kalau-kalau para pemuda itu ada yang hendak membela kakek itu. Akan tetapi pemuda-pemuda itu mana berani menentang orang-orang Hai-liong-pang yang sudah terkenal sebagai jagoan-jagoan tukang pukul? Mereka hanya saling pandang dengan muka pucat, berdebar-debar dan amat mengkhawatirkan keadaan kakek peramah tadi. Celaka, kakek itu tentu akan dibunuh pikir mereka, atau setidaknya dipukul setengah mati. Membunuh atau menyiksa orang sampai setengah mati adalah pekerjaan biasa dari orang-orang Hai-liong-pang dan para pembesarpun tidak ada yang mampu menghukum mereka!
Beberapa saat yang menegangkan hati lewat dengan sunyi dan semua mata memandang ke arah pintu depan ke mana kakek tadi diseret keluar ke tempat gelap. Para pemuda sudah membayangkan kakek itu menggeletak di sisi jalan dalam keadaan mati atau setengah hidup sedangkan penyiksanya, si kumis tebal itu. memasuki ruangan itu kembali dengan senyum mengejek.
Betul saja, seorang memasuki ruangan itu dengan langkah tenang. Akan tetapi, semua mata terbelalak lebar ketika melihat bahwa yang masuk adalah si kakek tadi, masuk sambil berjalan tenang, tersenyum-senyum lalu duduk di tempatnya yang tadi dekat pemuda-pemuda itu seakan-akan tidak pernah terjadi sesuatu!
"Jaman sekarang ini orang-orang sudah lupa akan keadaan asalnya, lupa akan dirinya sebagai manusia makhluk yang paling tinggi derajatnya. Orang-orang sekarang hidup menurutkan nafsu duniawi, lebih jahat dari pada binatang yang tidak memiliki akal budi, lebih kejam dari pada setan. Yang kuat menindas yang lemah, yang kaya mengisap yang miskin, di dunia mana ada keadilan?"
Melihat kakek aneh itu datang lagi tanpa menderita sesuatu, para pemuda menjadi lega hatinya. Akan tetapi mereka merasa tidak enak melihat kakek ini bicara sendiri. Seorang diantara mereka berkata.
"Akan tetapi, lopek, bagaimana kau bisa bilang tidak ada keadilan sedangkan kita mempunyai pemerintah dan banyak terdapat pemimpin-pemimpin?"
Kakek itu tersenyum mengejek.
"Pemimpin? Yang mana yang kau maksudkan pemimpin?"
"Lho. bukankah para pejabat pemerintah yang berpangkat tinggi itu biasanya disebut pemimpin?"
Kata si pemuda.
"Hah, orang-orang berpangkat itu kauanggap pemimpin? Cih, mereka memualkan perut saja!"
Kata si kakek dengan lagak lucu sehingga pemuda- pemuda itu timbul lagi keberanian mereka dan tertawa, biarpun perlahan-lahan dan tertahan.
Sementara itu, dua orang penjaga sudah melangkah maju lagi. Mereka tidak melihat kembalinya si kumis dan mengira kakek ini tentu telah dimaafkan oleh si kumis, atau mungkin sekali di luar kakek ini sudah melakukan siasat menyogok. Siapa tahu kakek yang pakaiannya rapi ini mempunyai banyak uang dan suka menyogok. Maka dua orang penjaga inipun mengharapkan keuntungan dan tanpa banyak cakap lagi mereka menyeret kakek itu keluar, seorang menarik sebelah lengan.
"Eh, eh. kalian ini mau apa sih?"
Tanya kakek itu sambil meronta-ronta, namun ia tak dapat terlepas dan terus diseret keluar.
"Kau tidak tahu aturan, membikin ribut saja di sini. Kau memang ingin mampus barangkali!"
Bentak seorang di antara dua penjaga itu.
Kembali para pemuda menanti dengan gelisah untuk beberapa lama dan..... sekali lagi kakek itu muncul sendiri dari depan pintu, berjalan tenang seperti tadi dan duduk lagi. Dua orang penjaga itu tidak kelihatan masuk lagi!
"Orang-orang berpangkat tak boleh sekali-kali kalian anggap mereka itu pemimpin, apa lagi pemimpin rakyat. Mereka itu hanya pembesar-pembesar yang besar mulut besar kepala, dan besar perut! Besar mulut karena pandai sekali bicara menina-bobokkan rakyat, besar kepala karena mengandalkan kedudukan berlaku sewenang-wenang dan besar perut karena mereka melakukan korupsi dan mbadok (makan) uang rakyat dan negara untuk menggendutkan perut dan kantong sendiri! Pembesar-pembesar macam ini adalah penjahat-penjahat yang berkedok pangkat, mereka ini lebih berbahaya dari pada penjahat biasa, karenanya aku benci sekali kepada mereka."
Kakek itu bicara dengan bernafsu dan agaknya ia sama sekali tidak pernah terganggu oleh penjaga-penjaga yang tadi menyeretnya keluar. Sebenarnya apakah yang telah terjadi? Pertanyaan inipun memasuki benak para penjaga lain akan tetapi selagi mereka hendak keluar, dari luar masuk dua orang wanita cantik berbaju hijau dan ungu! Dua orang wanita ini masih muda, paling banyak tiga puluh tahun usianya cantik-cantik dan pakaiannya mewah. Akan tetapi sikap mereka angker dan pedang yang menggemblok di punggung menandakan bahwa mereka bukanlah wanita sembarangan. Dengan langkah tenang. tanpa menengok ke kanan kiri mereka langsung menuju ke anak tangga yang menyambung ruangan itu ke loteng. Akan tetapi melihat pemuda-pemuda yang berada di situ, mereka melirik dan sedikit senyum, membuat hati para pemuda itu menjadi berdebar tertarik. Sikap dua orang wanita ini begitu bertemu dengan pemuda-pemuda menjadi genit! Akan tetapi, tiba-tiba dua orang wanita itu mengerling ke arah pemuda yang duduk di pojok dan........ mereka menahan tindakan kaki, lalu tersenyum lebar, saling pandang dan saling berbisik.
"Sayang kita ada urusan penting........."
Terdengar si baju hijau berbisik. Kemudian mereka melangkah ke anak tangga, sedikitpun tidak perduli kepada para penjaga Hai-liong-pang yang menjaga di kanan kiri tangga.
Seorang penjaga melangkah maju memalangkan gagang tombaknya di depan dua orang wanita itu.
"Loteng sudah diborong oleh pangcu kami, harap nona-nona turun."
Si baju hijau tersenyum manis dan menyentuh gagang tombak itu dengan dua jari tangannya yang runcing dan halus.
"Kalian ini penjaga macam apakah? Tidak tahu bahwa kami datang dari Pek-go-to hendak menemui Hai-liong-pangcu?"
Penjaga itu kaget dan melangkah mundur, tiba-tiba mukanya berubah pucat karena tahu-tahu gagang tombaknya telah patah menjadi dua! Dua orang wanita muda itu dengan langkah menggairahkan menaiki tangga loteng sambil tersenyum- senyum.
Para penjaga menjadi gelisah untuk beberapa lama. Sama sekali tidak mereka sangka bahwa tokoh Pek-go-to yang hendak dijamu oleh para pangcu mereka ternyata adalah dua orang wanita muda dan cantik. Akan tetapi alangkah hebat kepandaian dua orang wanita itu terbukti bahwa sekali sentuh dengan jari tangan, gagang tombak seorang penjaga telah patah menjadi dua! Untuk beberapa lama mereka lupa akan kakek aneh dan lupa mengapa para penjaga yang tadi menyeret kakek itu tidak nampak masuk kembali ke dalam ruangan. Akan tetapi para pemuda yang menemani kakek itu timbul hati curiga dan diam-diam seorang di antara mereka melangkah keluar untuk melihat apa yang terjadi di luar.
Tak lama kemudian ia masuk kembali dengan wajah pucat, berbisik-bisik kepada kawan-kawannya dan segera mereka membayar makan dan minuman lalu bubar tergesa-gesa, memandang kepada kakek itu dengan kagum dan juga takut. Tamu-tamu lain melihat gelagat tidak baik antara para penjaga dan kakek itu, juga berangsur-angsur bubar sehingga akhirnya di ruang bawah rumah makam itu tinggal si kakek, para penjaga dan orang muda bertopi yang duduk di pojok seorang diri. Pemuda ini ternyata amat tampan berkulit muka halus, bermata jernih tajam, alisnya tebal menghitam, hidungnya mancung dan gerak-geriknya halus seperti seorang terpelajar. Pemuda ini amat tampannya, pantas saja kalau dua orang wanita cantik yang mempunyai sifat-sifat cabul dan genit itu tadi memandang dan berbisik-bisik.
"Bagus, orang-orang muda tak tahu apa-apa memang lebih baik lekas pulang ke rumah masing-masing."
Kakek itu mengangguk-angguk bicara seorang diri. Karena pemuda-pemuda itu telah pergi dan telah membayar semua makanan dan minuman, maka kakek ini sekarang minum seorang diri dari guci arak besar dengan lahapnya. Sebentar saja mukanya sudah menjadi merah karena kebanyakan minum arak. Kemudian ia menoleh kepada pemuda bertopi itu dan berkata mengerutkan kening,
"Eh, anak muda. Kenapa kau masih di sini. tidak lekas pulang ke rumah ayah bundamu dan belajar membaca kirab kuno?"
Pemuda itu tersenyum, amat manis dan nampak ia amat sabar dan tenang.
"Lopek, ke mana harus pulang? Aku seorang perantau, di mana aku berada di situlah rumahku, kadang-kadang berlantai bumi beratap langit.''
Mendengar jawaban ini, kakek itu nampak girang sekali- "Bagus, anak muda, kau seorang baik dan beruntung. Ha-ha-ha!"
Ia mengangkat cawan araknya yang sudah ia penuhi lagi.
"Senang bertemu dengan kau dan mari minum!"
Pemuda itupun mengangkat cawan araknya dan berkata.
"Kesenangan berada di fihakku lo-enghiong yang perkasa. Aku yang muda kagum sekali melihatmu."
Pada saat itu terdengar ribut-ribut di luar rumah makan. Ternyata para penjaga yang melanjutkan pemeriksaannya di luar, melihat hal yang amat aneh. Di halaman rumah makan itu bergeletakan tubuh para penjaga yang tadi menyeret kakek itu keluar, berada dalam keadaan tidak berdaya, pingsan terpukul atau tertotok!
Setelah melihat bahwa kakek iltu bukan orang biasa dan telah merobohkan tiga orang penjaga, para anggauta Hai-Iiong-pang menjadi marah sekali. Dengan senjata tombak, pedang atau golok mereka menghampiri kakek itu dan seorang di antara mereka membentak,
"Keladi tak tahu diri, kau berani menghina kami orang-orang Hai-Iiong-pang?"
Sebentar saja kakek itu dikurung oleh belasan orang Hai-liong-pang yang sikapnya mengancam. Akan tetapi kakek ini tenang-tenang saja, malah segera menggunakan dua jari tangan menjepit sumpit yang tadi menancap meja dilempar oleh Phang Hui. lalu berkata,
"Kalian ini diperintah menjaga tiga orang pangcumu di loteng, mengapa memusuhi aku yang berada di bawah? Kawan-kawanmu tadi menyeretku keluar, mereka yang tidak becus merangketku sekarang kalian hendak menyalahkan aku. Aturan mana ini?"
Katanya sambil tertawa-tawa dan melanjutkan minum araknya.
"Kami yang akan merangketmu!"
Bentak seorang Hai-Iiong-pang sambil membacokkan goloknya.
Kakek itu tidak menghentikan minumnya, hanya menggerakkan sumpit bambu di tangannya. Si penyerang menjerit kesakitan, goloknya terlempar dan ia berjingkrak-jingkrak ke belakang sambil memegangi lengan kanannya yang telah kena ditotok sumpit, sakitnya bukan buatan!
Orang-orang Hai-liong-pang yang lain berseru-seru marah dan segera menghujankan senjata mereka kepada kakek itu. Terdengar bunyi suara nyaring "trang-tring-trang-tring!"
Ketika kakek itu dengan cekatan menggunakan sumpit di tangan kanan dan cawan arak di tangan kiri untuk menangkis semua serangan orang-orang Hai-Iiong-pang itu, disusul oleh semburan arak dari mulutnya "whirr-whirr-whirr!"
Cheng Hoa Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Semburan arak dari mulut orang biasa tentu hanya akan membasahi muka dan pakaian orang seperti datangnya air hujan saja, akan tetapi semburan arak dari mulut kakek ini jauh berlainan. Para pengeroyok itu menjerit kesakitan dan di lain saat mereka lari pontang-panting keluar dari ruangan itu sambil menutupi muka yang terasa sakit-sakit seperti ditusuk-tusuk ratusan jarum yang runcing! Sebentar saja para pengeroyok itu habis berlarian keluar, tidak tahan menghadapi kakek yang ternyata seorang berilmu tinggi ini.
Pemuda sasterawan yang duduk di pojok mengangguk-angguk kepala perlahan dan matanya berkilat.
"Seorang tokoh Kun-lun-pai......!"
Bisiknya perlahan kepada diri sendiri.
Sementara itu, tiga orang ketua Hai-liong-pang yang mendengar suara ribut-ribut sudah cepat muncul di kepala tangga. Alangkah kaget dan marah hati mereka ketika melihat anak buah mereka kocar-kacir dan lari cerai-berai oleh amukan seorang kakek yang tadi mereka anggap sebagai seorang tukang dongeng yang sedang dijamu oleh serombongan orang muda. Akan tetapi Phang Cu yang paling cerdik segera dapat melihat bahwa kakek itu bukanlah orang biasa, maka ia cepat berseru ke bawah,
"Sahabat yang berada di bawah, kalau orang-orang Hai-liong-pang kami lalai tidak mengadakan penyambutan sebagai tamu, silahkan naik. Arak dan daging kami masih berlimpah-limpah di sini!"
Kakek itu memandang ke atas lalu tertawa.
"Ha-ha-ha, perut! Kau mimpi apa semalam? Baru saja ada yang menjamu, sekarang ada yang menawari arak dan daging. Akan tetapi rejeki tak layak ditolak dan tidak saban hari perut mendapatkan rejeki bertumpuk-tumpuk. He. kawan muda perenung, jangan kau mimpi siang di pojok itu, ada orang-orang menawari arak dan daging, mari-mari jangan sungkan, seji sipun (yang sungkan tak kebagian)!"
Katanya kepada pemuda sasterawan yang duduk di pojok. Pemuda itu tersenyum, mengangguk dan bangkit berdiri lalu bersama kakek itu menaiki tangga loteng.
Mereka dipersilahkan duduk menghadapi meja penuh hidangan dan mereka melihat betapa dua orang wanita muda cantik tadi tengah duduk minum arak. Tanpa malu-malu lagi kakek itu lalu duduk dan menggayam daging, terus didorong arak memasuki perutnya. Sebaliknya pemuda itu hanya minum sedikit arak tidak perduli sama sekali betapa dua pasang mata yang bening dan genit mengerling-ngerling disertai bibir merah tersenyum-senyum memikat.
"Kongcu tinggal di mana dan siapakah nama yang mulia?"
Si baju hijau langsung bertanya dengan merdu dan senyum lebar memperlihatkan deretan gigi yang putih seperti mutiara.
Pemuda itu sekali lagi mengirup araknya untuk menyembunyikan rasa malu dan jengah. Belun pernah selama hidupnya ia menghadapi rayuan wanita, apa lagi wanita yang tanpa malu-malu memperlihatkan kegenitan dan bertanya rumah dan nama pada seorang pria yang baru saja dijumpainya!
"Aku sebatangkara, tidak ada tempat tinggal yang tetap......"
Jawabnya.
Si baju ungu tertawa kecil.
"Iiih. agaknya kongcu belum mau memperkenalkan nama karena kamipun belum memperkenalkan diri. Dia ini enci Cheng Po dan aku Ang Po. Kami enci adik saudara-saudara angkat. Kongcu siapakah?"
Pemuda itu nampak bingung dan kakek itulah yang tertawa lebar menjawab.
"Datang-datang ditanya nama, perlu apa sih? Waktu lahirpun tidak bernama kalau sudah mati nama dilupakan orang! Kami berdua datang atas undangan, paling perlu makan minum. He, kau ini siucai atau bukan kupanggil siucai (sasterawan) saja. Hayo lekas sikat habis daging-daging itu."
Kakek itu tertawa terbahak.
Phang Kong bangkit berdiri, menyambar cawan arak di depan kakek itu yang telah kosong lalu mengisinya dengan arak dari guci sambil berkata.
"Kami tiga orang saudara she Phang ketua Hai-liong-pang berlaku kurang hormat, ada orang gagah di ruang bawah sampai tidak tahu. Harap maafkan dan biarlah siauwte minta maaf dengan secawan arak!"
Ia terus menuangkan arak itu, dan biarpun sudah penuh dituang terus. Arak sampai naik lebih tinggi dari pada pinggiran cawan, akan tetapi anehnya tidak meluber dan tidak tumpah keluar seakan-akan arak itu telah menjadi beku! Inilah demonstrasi tenaga lweekang yang tinggi. Dengan hawa lweekangnya. Phang Kong telah mempergunakan tenaga menyedot melalui cawan sehingga biarpun isi cawan melebihi batas namun tidak tumpah keluar. Dengan cawan yang terlalu penuh ini Phang Kong menghampiri kakek itu dan memberikan cawan. Maksudnya kalau kakek itu menerima cawan dan ternyata kurang pandai, pasti arak kelebihan di cawan itu akan tumpah membasahi tangan dan pakaian sehingga kakek itu mendapatkan hajaran. Pula ini adalah sebagai ujian, kalau kakek itu ternyata tidak berkepandaian tinggi, dapat "dilempar"
Ke luar sebagai pembalasan.
Kakek itu memandang ke arah cawan yang diangsurkan kepadanya, tertawa ha-ha-he-he. tidak segera menerimanya.
(Lanjut ke Jilid 08)
Cheng Hoa Kiam (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 08
"Waah. kok penuh amat? Mana perutku kuat menerimanya? Jangan penuh-penuh, pang-cu. jangan sungkan-sungkan, bikin malu saja."
Kakek itu meniup dengan mulutnya ke arah arak di cawan. Arak itu muncrat dan menyiram muka Phang Kong tanpa dapat dicegah lagi. Ketua nomor satu dari Hai-liong-pang itu kaget dan kesakitan, akan tetapi sebelum ia dapat berbuat sesuatu, cawan yang dipegangnya telah berpindah tangan! Kini cawan itu tidak seperti tadi isinya hanya penuh saja, tidak lebih seperti tadi.
Sambil tersenyum-senyum kakek itu menanti sampai Phang Kong dapat membuka kembali matanya dan menyusut mukanya yang basah, lalu sambil mengangguk dan menjura ia mengangkat cawan itu, berdongak sambil membuka mulut dan menuang cawan ke arah mulutnya. Aneh bin ajaib! Arak itu tidak mau mengalir turun, seolah-olah telah membeku di dalam cawan. Ini namanya saling memamerkan lweekang tingkat tinggi. Kalau tadi Phang Kong hanya menahan arak itu tidak meluber saja, sekarang kakek itu malah menjungkir-balikkan cawan dan arak itu tidak tumpah!
"Arak pangcu enak betul, terima kasih."
Kata kakek itu dan membalikkan lagi cawannya lalu minum arak itu seperti biasa, seperti lajimnya manusia minum arak dari cawannya. Muka Phang Kong menjadi merah sekali karena dalam demonstrasi ini sudah terang ia mendapat malu, selain kalah juga ia mendapat hadiah, mukanya disiram arak.
Phang Cu sudah melangkah maju. Orang ke dua dari ketua-ketua Hai-Iiong-pang ini selain cerdik, juga memiliki tenaga gwakang (tenaga luar) yang amat besar, juga ia seorang ahli pedang yang cekatan dan lihai. Ia pikir bahwa mengadu lweekang dengan kakek ini takkan ada gunanya, juga kalau menyerang begitu saja berarti mencemarkan nama kehormatannya sebagai pangcu Hai-liong-pang, apa lagi di situ ada tamu-tamu terhormat seperti utusan dari Pulau Pek-go-to itu. Sambil tersenyum. Phang Cu mempergunakan sebatang sumpit, menusuk sepotong daging lalu menghampiri kakek itu.
"Orang tua yang gagah, kakakku sudah menyuguh minuman, biar aku pangcu ke dua dari Hai-liong-pang menyuguh daging kepadamu dan kepada siucai muda itu, masing-masing sepotong!"
Begitu kata-katanya habis diucapkan, sumpit yang ada daging di ujungnya itu ia gerakkan menusuk ke arah mulut kakek tadi!
"Kamsia......... (terima kasih)!"
Kakek itu berkata sambil membuka mulutnya dan........"Cappp!"
Daging memasuki mulutnya berikut sumpit. Sumpit itu bukan hanya dimasukkan saja melainkan ditusukkan dan kalau penerimanya kurang pandai sudah pasti sumpit itu akan melukai tenggorokan yang berarti orangnya akan tewas. Akan tetapi hebatnya, setibanya di mulut, sumpit itu macet tidak dapat terus tidak dapat ditarik kembali. Phang Cu menarik dan membetot sia- sia belaka biarpun ia memiliki tenaga sebesar tenaga gajah. Pada saat Phang Cu mengerahkan semua tenaganya, kakek itu tiba-tiba melepaskan gigitannya dan....... Phang Cu terdorong ke belakang oleh tenaganya sendiri, menabrak bangku sampai roboh. Baiknya ia terdorong terus ke arah wanita baju ungu yang tersenyum manis dan berkata.
"Ji-pangcu, hati-hati sedikit!"
Sambil menggerakkan tangan kiri menahan ke depan. Phang Cu tertahan dan tidak jadi jatuh oleh gerakan ini. Diam-diam kakek itu menjadi kaget melihat kekuatan lweekang dari jarak jauh ini dan maklum bahwa kepandaian wanita itu jauh lebih tinggi dari pada kepandaian tiga orang ketua Hai-liong-pang.
Phang Cu menjadi merah sekali mukanya. Setelah ia dipermainkan oleh kakek itu, ia tidak ada muka lagi untuk melanjutkan penyuguhan daging kepada siucai muda kawan kakek itu, maka ia lalu menjura dan berkata.
"Biarlah penyuguhan daging kepada siucai muda ku wakilkan kepada sam-te saja."
Memang Phang Cu ini orangnya cerdik. Setelah melihat betapa kakaknya dan dia sendiri tidak nempil kepandaiannya melawan kakek itu, ia maklum bahwa Phang Hui juga bukan lawannya. Oleh karena itu, untuk bisa mencuci malu karena dua kali kalah tadi, ia sengaja hendak mewakilkan penyuguhan daging kepada siucai itu pada adiknya. Ia maklum betapa berangasan adanya Phang Hui dan kalau Phang Hui didiamkan saja tentu akan melakukan sesuatu terhadap kakek lihai itu dan akhirnya menderita kekalahan yang lebih memalukan lagi.
Phang Hui memang orangnya pemarah dan keberaniannya luar biasa Mendengar bahwa ia disuruh menjadi wakil menyuguh daging kepada siucai muda yang nampaknya lembah lembut itu ia tertawa girang. Memang sejak tadi ia merasa iri hati dan cemburu melihat betapa dua orang tamu wanita itu kelihatan amat tergila-gila kepada siucai. Dia sendiri terkenal paling mata keranjang di antara saudara-saudaranya dan sejak tadi semangatnya sudah terbang sebagian besar ketika melihat bahwa tamu-tamunya adalah dua orang wanita yang cantik-cantik. Dengan langkah lebar ia menghampiri meja di depan siucai itu. lalu mencabut sebuah pisau belati. Dengan pisau yang runcing tajam mengkilap ini ia menusuk sepotong bakso yang kecil, lalu menghampiri siucai tadi.
"Kau siucai yang masih muda, mulutmu kecil, maka perkenankan aku menyuguh cacahan daging yang kecil pula!"
Karuan saja si siucai menjadi gelagapan dan nampak bingung dan takut. Siapa yang tidak takut kalau membayangkan bahwa cara menyuguh bakso itu dilakukan dengan menusukkan pisau runcing itu ke mulut? Kalau meleset bibir bisa suwing, kalau tepat tenggorokan bisa bolong!
"Tahan, sam-pangcu!"
Si baju hijau mencegah dengan suara lembut akan tetapi amat berpengaruh.
"Siucai ini tidak ikut apa-apa, hanya terbawa oleh kakek itu. Penghormatan secara itu patut diberikan kepada si kakek!"
Tentu saja Phang Hui menjadi makin mendongkol. Memang ia sudah cemburu dan iri, sekarang si baju hijau yang manis itu mencegah ia mencelakakan siucai tampan itu, perutnya menjadi makin panas.
"Dia sudah berani naik ke sini, mengapa takut menerima suguhan?"
Bantahnya. Semenjak dua orang wanita itu naik ke loteng, tiga orang ketua Hai-liong-pang memang belum sempat menyaksikan kelihaian mereka. Dua orang wanita itu hanya datang memperkenalkan diri bahwa mereka adalah utusan dari Thai Khek Siansu di Pek-go-to dan datang untuk memberi peringatan kepada Hai-liong-pang bahwa di wilayah Kepulauan Couw-san-to, yang berdaulat dan berkuasa adalah Thai Khek Siansu dan setiap perahu Hai-Iiong-pang harus menghormati peraturan-peraturan yang ditentukan oleh Thai Khek Siansu! Sebelum perundingan itu dibicarakan selesai, keburu naiknya kakek yang mengganggu pertemuan itu.
Oleh karena belum mengetahui kelihaian dua orang utusan dari Pek-go-to itu, maka Phang Hui berani membantah dan ketua ke tiga dari Hai-Iiong-pang ini melanjutkan maksudnya, menusukkan pisau berujung bakso itu ke arah mulut siucai tadi.
"Trang......... auupp!"
Pisau itu terlepas dari tangan Phang Hui dan sial baginya, bakso di ujung pisau itu mencelat dan secara kebetulan sekali memasuki mulutnya yang terbuka karena kagetnya.
"Ha-ha-ha-ha. aduh lucunya! Sam-pangcu dari Hai-liong-pang benar-benar pandai membadut. Lihai sekali cara makan bakso seperti itu, beberapa mangkok bakso bisa lenyap dalam sekejab mata kalau menggunakan cara seperti tadi. Sekali lagi. sam-pangcu. sekali lagi biar lohu melihat dan menikmati!"
Siucai yang tadi ketakutan, melihat kejadian ini dan mendengar omongan kakek itu menjadi geli dan ikut tertawa. Phang Hui memandang kepada wanita baju hijau yang telah menyambit pisaunya dengan sumpit sehingga pisaunya tadi terlepas dari tangan dan bakso masuk ke dalam mulut terus menggelinding memasuki perutnya. Ia hendak marah kepada wanita baju hijau itu, akan tetapi agak jerih karena dari sambitan tadi ia tahu bahwa wanita itu lihai sekali. Kemudian, mendengar suara ejekan kakek tadi, semua kemarahannya sekaligus berpindah kepada kakek itu. malah makin memuncak. Tubuhnya yang gemuk pendek kelihatan makin pendek lagi ketika ia mencabut sebuah golok panjang dari pinggangnya dan menghampiri kakek itu dengan tubuh agak direndahkan, siap untuk menerjang seperti seekor harimau mengintai korban.
"Setan tua, kau berani menghina Koai-to Phang Hui?"
Serunya marah sekali, mukanya merah dan lubang hidungnya berkembang-kempis. Memang Phang Hui terkenal akan ilmu goloknya maka mendapat nama poyokan Koai-to (Si Golok Setan).
"Tuanmu akan membikin kau menjadi setan tak berkepala!"
Cepat golok besar itu menyambar, bersiut suaranya mendatangkan angin, bergemerlapan mengerikan.
"Aaiiit, aduh galaknya. Agaknya yang kau makan tadi bakso perangsang, obat kuat penambah semangat!"
Si kakek tetap mengejek tenang, akan tetapi secepat kilat tangan kirinya menyambar mangkok kuah dan tangan kanannya siap dengan jari tangan terbuka. Di lain saat, ketika tangan kirinya digerakkan, semangkok kuah panas menyambar muka Phang Hui dengan kecepatan yang sukar dielakkan lagi.
"Celaka.........!"
Phang Hui berseru kaget, cepat melompat mundur dan miringkan mukanya. Akan tetapi tetap saja kuah itu menyemprot leher dan pundaknya, sampai basah kuyup. Kalau lidah yang sudah biasa akan kuah panas, agaknya akan merasa segar kalau disiram kuah itu, akan tetapi kulit leher dan pundak yang tidak biasa, seketika menjadi merah dan panasnya membuat Phang Hui jingkrak-jingkrak dan kelejetan.
"Aauphh...... panas...... panas......!"
Ia mengaduh-aduh. akan tetapi suaranya itu tiba-tiba berhenti dan ia terguling roboh terkena totokan jari tangan kanan kakek yang lihai itu.
Kini Phang Kong dan Phang Cu kaget sekali. Mereka tidak nyana bahwa hari ini selagi mengadakan pertemuan dengan orang-orang Pek-go-to yang belum mereka ketahui bagaimana lihainya, tahu-tahu muncul orang asing yang datang-datang terus saja membikin kacau dan ternyata amat lihai. Keduanya melompat maju menghadapi kakek itu.
"Hemm, sobat yang memperlihatkan kepandaian dan sengaja mencari perkara dengan Hai-liong-pang, sebetulnya siapa dan dari manakah? Apa alasannya pula datang-datang sengaja memusuhi Hai-liong-pang?"
Tanya Phang Kong sambil mencabut pedangnya, juga Phang Cu mencabut pedangnya yang tipis dan agak melengkung bentuknya seperti senjata orang-orang dari barat.
Kakek itu kini berkata dengan suara sungguh-sungguh "Sudah lama aku mendengar bahwa di daerah ini muncul Hai-liong-pang yang benar-benar merupakan hai liong (naga laut) yang jahat bagi rakyat nelayan. Oleh karena aku paling tidak suka mendengar adanya binatang binatang laut yang mengganas di darat, aku sengaja hendak menyelidiki ke sini dan ternyata memang Hai-Iiong-pang mempunyai kaki tangan yang ganas sekali. Kalau saja kepalanya tidak jahat dan dapat mengatur keadilan, menekan dan melenyapkan keganasan kaki tangannya, mengatur agar supaya rakyat nelayan dapat hidup beruntung dan cukup sandang pangan, aku orang tua akan pergi dengan senang dan tidak mau mencampuri urusan orang. Biar orang jangan panggil aku Seng-goat-pian Kam Ceng Swi lagi kalau aku suka mencampuri urusan orang lain yang tidak bersifat menindas rakyat jelata."
Mendengar nama ini, Phang Kong dan Phang Cu kelihatan kaget sekali. Memang Kam Ceng Swi adalah seorang tokoh Kun-lun yang amat terkenal sebagai seorang pendekar yang budiman, terkenal pula kelihaian dengan senjatanya yang istimewa, yaitu tali yang kedua ujungnya terdapat senjata tajam berbentuk bulan dan bintang. Karena senjata ini maka ia mendapat julukan Seng-goat-pian (Senjata Pian Bintang Bulan).
"Kami Hai-liong-pang tidak ada permusuhan dengan fihak Kun-Iun-pai, juga kami adalah nelayan-nelayan yang menyewakan perahu, hidup mengandalkan nasib baik di tengah laut mencari ikan. Bagaimana kau bisa menyebut kami penjahat-penjahat pemeras rakyat nelayan?"
Kata Phang Cu.
Kam Ceng Swi tertawa bergelak.
"Kalau di dunia ini semua orang dapat melihat dan mengakui kesalahan sendiri, dunia akan menjadi aman dan tenteram. Kalau ketua-ketua Hai-liong-pang dapat melihat kesalahan sendiri, Hai-liong-pang tidak akan menjadi Hai-liong-pang yang sekarang ini! Oleh karena tak dapat melihat sendiri, aku membantu kalian melihat kesalahan itu dan merobahnya. Melarang nelayan menggunakan perahu sendiri, merampas perahu, menyewakan perahu-perahu dengan aturan seenaknya sendiri, memungut hasil terbesar dan membagi kepada nelayan hanya asal mereka tidak kelaparan, bukankah ini memeras namanya?"
Phang Kong tak dapat menahan marahnya lagi.
"Orang she Kam! Kau sombong amat. Kau ini berhak apakah hendak mengatur pekerjaan dan cara hidup kami?"
Phang Cu juga sudah marah.
"Persetan dengan dia, twako. Dikiranya kita takut. Serang!".
Dua batang pedang dengan cepatnya meluncur dan menyerang Kam Ceng Swi. Tokoh Kun-lun ini mengeluarkan suara mengejek. Ia membuat gerakan aneh dengan kaki tangan dan tubuhnya.
"Traangg.........! Traaangg.........!"
Dua saudara Phang itu melompat mundur dan menjadi terkejut sekali karena mereka merasa tangan mereka menjadi pegal-pegal setelah pedang mereka ditangkis oleh senjata bulan di ujung kiri tali yang tahu-tahu sudah berada di tangan Kam Ceng Swi.
"Kalian memang benar jahat, tidak cukup dihajar dengan kata-kata,"
Kata Kam Ceng Swi dan sebelum dua orang pengeroyoknya sempat tergerak menyerang, ia telah memutar senjatanya lebih dulu dan di lain saat dua orang saudara Phang itu menjadi sibuk tidak karuan. Dalam pandangan mereka, seakan-akan segala bintang dan bulan di langit runtuh berhamburan, menyambar-nyambar ke arah mereka dengan kecepatan luar biasa sampai mata mereka menjadi berkunang! Mereka masih berusaha mengerahkan tenaga dan kepandaian, memutar pedang melindungi diri dan balas menyerang, namun ternyata mereka hanya dapat bertahan belasan jurus saja.
Tanpa mereka ketahui bagaimana caranya, tahu-tahu secara berturut-turut pedang mereka telah terlibat tali dan dibetot terlepas dari tangan mereka! Sebelum mereka dapat melompat mundur, senjata bintang telah menghantam pinggang Phang Kong dan senjata bulan menghamtam pundak Phang Cu, membuat dua orang ketua Hai-liong-pang itu terjungkal dan merayap-rayap mundur dalam keadaan terluka, tidak membahayakan jiwa akan tetapi cukup parah.
Tiba-tiba berkelebat bayangan hijau dan ungu dan dua sinar berkeredepan menyambar ke arah tubuh Kam Ceng Swi.
"Ayaaaa......... lihai sekali.........!"
Seru tokoh Kun-Iun ini dengan kaget. Baiknya ia dapat bergerak luar biasa cepatnya, memutar senjata Seng-goat-pian sedemikian rupa sehingga tubuhnya seperti dilindungi oleh benteng baja dan dua batang pedang yang menyerangnya tadi terpaksa ditarik mundur. Akan tetapi Kam Ceng Swi merasa sesuatu tak beres dan ketika ia memperhatikan, ternyata ujung lengan baju kirinya sudah terbabat putus. Keringat dingin membasahi jidatnya ketika ia berkata perlahan,
"Berbahaya sekali............"
Dan ia berdiri tegak memandang ke arah dua orang wanita muda yang tahu-tahu sudah berdiri di depannya dengan pedang terhunus di tangan, sikap mereka keren.
"Orang-orang Kun-lun-pai dari Pek Mau Sianjin sampai kepada murid-muridnya, semua adalah manusia-manusia usil yang gatal tangan, suka mencampuri urusan orang lain! Kiranya murid Kun-lun yang bernama Seng-goat-pian. Kam Ceng Swi juga tidak terkecuali!"
Kata wanita baju hijau sambil tersenyum, akan tetapi matanya bersinar tajam menyambar ke arah kakek itu.
Kam Ceng Swi adalah seorang tokoh kang-ouw yang sudah banyak pengalaman. Dari serangan satu gebrakan tadi saja tahulah ia bahwa biarpun dua orang wanita di depannya ini masih muda-muda, namun agaknya memiliki kepandaian ganas dan lihai yang tak boleh dipandang ringan sama sekali. Maka ia menjura dan berkata, juga dengan senyum.
"Tidak lohu (aku yang tua) sangkal, kata kata lihiap memang tepat. Orang Kun-lun-pai memang selalu mencampuri urusan orang, yaitu urusan yang tidak-adil. Memang murid-murid Kun-lun-pai belajar ilmu silat untuk membela yang lemah membasmi yang jahat, maka selalu mencampuri urusan orang lain. Bukankah demikian pula dengan semua murid partai persilatan seperti Siauw-lim-pai. Go-bi-pai, Hoa-san-pai; Kong-thong-pai dan yang lain-lain?"
Dengan kata-kata ini Kam Ceng Swi hendak bertanya sebetulnya dua orang itu dari partai mana karena terus terang saja dalam segebrakan tadi ia tidak dapat mengenal gaya ilmu silat pedang mereka.
Akan tetapi si baju hijau menjawab sambil tersenyum mengejek.
"Itu kan menurut pendapatmu. Kalau menurut pendapat kami, orang yang mencampuri urusan lain orang adalah orang-orang usilan yang patut dibasmi. Orang-orang Kun-lun. Siauw-lim. Go-bi dan lain-lain adalah manusia-manusia sombong yang menganggap diri sendiri paling gagah, paling baik dan paling bersih. Cih memuakkan perut!"
Kam Ceng Swi terkejut. Ucapan semacam ini hanya dapat dikeluarkan oleh orang-orang dari satu golongan saja, yaitu golongan sia-pai atau pemeluk Mo-kauw! Ia memang sudah mendengar berita selewat bahwa di antara pulau-pulau Couw-san-to terdapat pulau yang dijadikan sarang benggolan Mo-kauw.
"Hemm, agaknya ji-wi mewakili fihak Mo-kauw. Entah siapakah gerangan yang bertahta di Kepulauan Couw-san-to?"
"Kami adalah utusan dari Thai Khek Siansu, kau yang mengganggu tugas kami sudah seharusnya dihukum. Berlututlah!"
Kata wanita baju hijau.
Kam Ceng Swi berubah air mukanya. Tak dinyana sama sekali bahwa ia berhadapan dengan orang-orang utusan Thai Khek Sian, orang nomor satu dari fihak Mo-kauw, orang yang berilmu tinggi sekali, bahkan yang dikabarkan bukan manusia melainkan iblis sendiri yang turun ke dunia untuk memimpin para penjahat! Dia maklum bahwa meiawan mereka ini berbahaya sekali, dan kalau ia berlutut mungkin hukumannya ringan, sebaliknya melawan mereka berarti mati betapapun tinggi ilmunya! Akan tetapi, seorang pendekar gagah perkasa seperti Kam Ceng Swi, mana sudi berlutut minta ampun di depan penjahat? Dia bersedia mengalah dalam segala hal, bersedia sabar, akan tetapi berlutut minta ampun di depan utusan-utusan Thai Khek Sian? Tidak sudi!
"Sebelum Kam Ceng Swi mati, mana bisa kau menyuruh dia berlutut?"
Bentaknya dan senjata Seng-goat-pian di tangannya sudah diputar untuk melindungi dirinya.
"Kalau begitu kau harus mati!"
Bentak si baju hijau dan seperti sepasang sinar kilat dari angkasa, pedangnya dan pedang si baju ungu itu tahu-tahu sudah menyambar cepat sekali. Kam Ceng Swi menangkis dan terjadilah pertempuran hebat dan sengit di loteng rumah makan Tung-thian itu.
Seng-goat-pian Kam Ceng Swi adalah seorang tokoh persilatan yang lihai. Selain ilmu silatnya yang ia warisi dari Kun-lun-pai di mana merupakan tokoh pertengahan, juga sebagai seorang pembesar militer Kerajaan Cin dahulu, ia memiliki pengalaman luas dalam soal persilatan. Inilah sebabnya maka ia dapat menciptrakan senjata aneh seperti Seng-goat-pian yang agaknya hanya satu- satunya di dunia kang-ouw. Dapat dibayangkan betapa tinggi ilmunya, hanya sedikit di bawah tingkat ketua Kun-lun-pai sendiri. Pek Mau Sianjin, oleh karena Kam Ceng Swi mendapat pimpinan langsung dari seorang jago tua Kun-lun, susiok dari Pek Mau Sianjin yang bernama Liong Tosu.
Akan tetapi, kali ini menghadapi dua pedang di tangan dua orang wanita utusan dari Pek-go-to ia benar-benar menjadi sibuk sekali. Belum pernah ia melawan ilmu pedang yang begini anehnya, aneh cepat dan ganas sekali, ilmu silat yang sama sekali tidak mengandung keindahan dan agaknya penciptanya tidak memperdulikan segi keindahannya, melainkan khusus setiap gerakan untuk mematikan lawan! Kam Ceng Swi mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya, piannya yang berujung bulan sabit dan bintang itu digerakkan cepat untuk melindungi tubuh dan untuk balas menyerang. Namun ia hanya dapat bertahan sampai limapuluh jurus saja. Piannya mulai menyempit gerakannya, gulungan sinar pian yang tadinya panjang menjadi pendek dan kecil, tanda bahwa ia mulai terkurung dan hanya mampu mempertahankan diri secara mati-matian saja.
"Seng-goat-pian Kam Ceng Swi, hayo lempar senjata dan berlutut minta ampun!"
Terdengar si baju ungu membentak sambil mendesak terus.
"Kam Ceng Swi seorang jantan tulen, mana sudi berlutut di depan siluman-siluman betina?"
Bentak jago Kun-lun itu sambil bertahan mati-matian.
Baiknya senjatanya terbuat dari pada bahan yang kuat, juga talinya ulet sekali sehingga tidak sampai rusak oleh desakan dua pedang itu. Akan tetapi ia benar-benar sudah payah dan mengerti bahwa sebentar lagi ia tentu akan roboh.
Dalam saat yang amat berbahaya bagi Kam Ceng Swi jago Kun-Iun yang gagah perkasa itu, tiba-tiba terdengar pujian halus.
"Seorang gagah seperti Seng-goat-pian Kam Ceng Swi pada waktu sekarang jarang terdapat, sungguh membikin orang kagum!"
Yang bicara ini ternyata adalah pemuda sasterawan tadi. Dia sudah berdiri dari bangkunya dan berjalan menghampiri tempat pertempuran. Di antara tiga orang ketua Hai-liong-pang, Phang Cu paling berat lukanya karena tulang pundaknya patah ketika terpukul oleh senjata bulan sabit dari Kam Ceng Swi. Oleh karena itu, ketika Phang Kong dan Phang Hui maju menghadang siucai itu, ia tidak dapat ikut. Phang Kong sudah membawa pedang bengkoknya yang tadi ia pungut dari atas lantai, dan Phang Hui memegang goloknya. Sikap dua orang ini mengancam, karena merekapun hendak menumpahkan sakit hati mereka kepada siucai ini sebagai kawan Kam Ceng Swi.
"Cacing buku kau mau apa?"
Bentak Phang Hui dan goloknya ditodongkan di depan dada siucai itu, sikapnya mengancam sekali.
Siucai itu tersenyum tenang, sama sekali tidak takut biarpun ujung golok yang runcing itu sudah menempel di depan dadanya. Juga kini Phang Kong sudah menempelkan pedang bengkoknya ke lehernya!
"Kalian ini tadi sudah keok oleh Kam-lo-enghiong, kok sekarang hendak menjual lagak Malu ah!"
Merah muka kedua orang ketua Hai-Iiong-pang itu.
"Olehmu aku belum kalah!"
Cheng Hoa Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bentak Phang Hui.
"Belek saja dadanya!"
Kata Phang Kong. Dia sendiri menggerakkan pedang dibacokkan ke leher sedangkan Phang Hui menusukkan goloknya ke dada. Agaknya siucai muda yang tampan dan halus gerak-geriknya itu akan mati konyol di situ. Demikian tentu pendapat semua orang kalau melihat adegan ini.
Akan tetapi benar-benar di luar dugaan karena tiba-tiba, entah mengapa, Phang Kong dan Phang Hui berhenti bergerak dan tubuh mereka kaku dalam sikap menyerang seperti tadi. seolah-olah mereka secara mendadak telah berubah menjadi batu.
"Dua orang perempuan tamu itu terlalu ganas, mengapa kalian tidak melarang?"
Kata lagi pemuda itu dan sekarang ia kelihatan menggerakkan kedua tangan ke arah Phang Kong dan Phang Hui. dan...... tubuh yang sudah kaku dari dua orang ketua Hai-liong-pang itu melayang ke tempat pertempuran! Dengan tepat sekali dua tubuh ketua itu menimpa dua orang wanita utusan Pek-go-to yang sedang mendesak Kam Ceng Swi dengan pedang mereka!
Tentu saja dua orang wanita itu kaget sekali melihat Phang Kong dan Phang Hui tiba-tiba datang menubruk mereka. Kalau saja mereka tidak melihat sikap yang aneh dari dua orang tuan rumah itu, tentu mereka akan menyambut dengan tusukan pedang. Akan tetapi melihat gerak-gerik yang kaku dan tidak sewajarnya dari Phang Kong dan Phang Hui, dua orang wanita muda itu cepat melompat ke samping dan terpaksa meninggalkan Kam Ceng Swi yang dapat melangkah mundur terlepas dari desakan hebat.
"Bruk! Bruk!"
Tubuh Phang Kong dan Phang Hui jatuh terbanting ke atas lantai, akan tetapi tetap saja mereka tidak bergerak dan kedudukan tubuh masih seperti tadi, dalam sikap menyerang! Benar-benar aneh dan lucu keadaan dua orang itu, seperti boneka-boneka besar digeletakkan di atas lantai. Sekali pandang saja tahulah dua orang wanita itu bahwa Phang Kong dan Phang Hui telah kena ditotok orang dan mereka terkejut. Tidak mereka sangka bahwa siucai yang sekarang masih berdiri tersenyum-senyum itu ternyata adalah seorang yang memiliki kepandaian juga!
Sementara itu, Kam Ceng Swi yang biarpun sudah menduga bahwa pemuda ini memiliki kepandaian akan tetapi tidak mengira sedemikian lihainya sehingga bisa menolongnya dari bahaya maut, tertawa terbahak-bahak lalu piannya membuat suara "tar-tar-tar"
Diikuti oleh suara nyanyiannya,
"Pendekar sejati tidak memperlihatkan kegagahannya,
ahli ilmu perang tidak menunjukkan kemarahannya,
yang pandai mengagahkan musuh tidak bertengkar dengannya,
yang pandai mengepalai orang merendahkan diri kepadanya.
Inilah yang disebut ;
Sakti yang tidak merebut
atau cara mempergunakan orang,
atau penyesuaian dengan Langit!
Nyanyian yang dinyanyikan oleh Kam Ceng Swi itu adalah sajak dari kitab To-tik-khing. dinyanyikan untuk memuji pemuda sasterawan itu. Kemudian ia menjura kepada pemuda itu dan berkata.
"Sejak tadi lohu sudah menduga bahwa kau tentu seorang pendekar muda yang pandai sastera dan silat (bun-bu-coan-jai). Ternyata kenyataan jauh melampaui dugaan."
Pemuda itu tersenyum dan cepat-cepat membalas penghormatan orang.
"Kam-lo-enghiong (orang tua gagah she Kam) terlalu memuji. Kaulah seorang tua yang patut dijadikan teladan, gagah berani dan bersemangat. Aku yang muda benar-benar tunduk dan takluk."
Dua orang ini bicara seakan-akan di situ tidak ada lain orang. Tentu saja perempuan-perempuan muda dari Pek-go-to menjadi mendongkol, lebih-lebih kepada Phang Kong dan Phang Hui yang mereka anggap tolol dan mendatangkan malu saja. Dengan ujung sepatu mereka yang runcing dan kecil itu mereka menendang tubuh Phang Kong dan Phang Hui yang dalam sekejab mata saja dapait bergerak lagi dan merayap bangun sambil mengaduh-aduh. Melihat itu. pemuda sasterawan tadi diam-diam memuji. Dengan ujung sepatu dapat memulihkan totokan berarti telah memiliki ilmu tendang yang hebat sekali, berarti pula dengan tendangan ujung kaki dapat menotok jalan darah orang. Pantas saja Kam Ceng Swi tidak dapat menangkan mereka, karena orang-orang yang sudah memiliki kepandaian seperti itu beranti telah mencapai tingkat yang tinggi.
Setelah membebaskan Phang Kong dan Phang Hui. dua orang perempuan muda itu melangkah maju menghadapi pemuda itu. Kembali mereka tersenyum- senyum manis dan mata mereka memandang penuh gairah, mesra dan genit. Harus mereka akui bahwa jarang mereka bertemu dengan seorang pemuda setampan ini, dengan kulit muka yang putih halus, alis hitam tebal mata bersinar-sinar, hidung mancung dan bibir merah berbentuk bagus dan gagah.
"Kiranya kongcu yang bersikap lemah seperti seorang siucai juga memiliki ilmu silat yang tinggi. Sungguh mengagumkan sekali. Siauwmoi (adikmu yang muda) Cheng ln (Awan Hijau) dan ini ci-ciku Ang Hwa (Bunga Merah) mohon sedikit petunjuk dari kongcu yang ingin sekali kami ketahui namanya yang mulia."
Kata-kata yang keluar dari bibir merah gadis baju hijau itu amat merdu dengan suara mengalun naik turun, mesra menarik. Adapun si baju ungu yang bernama Ang Hwa itu melirak-lirik dengan senyum-senyum simpul pula.
Pemuda itu menjadi merah mukanya. Biarpun ia belum mempunyai pengalaman sama sekali dengan wanita dan tidak tahu apa maksud dua orang gadis cantik itu tersenyum-senyum dan melirak-lirik, namun perasaannya memberitahukan bahwa ia menghadapi dua orang perempuan cabul dan genit, membuat ia merasa jengah dan malu-malu. Akan tetapi karena mendengar ucapan orang merendah, iapun menjawab dengan suara menyindir.
"Biarpun kelihatan lemah aku seorang laki-laki sejati, apa anehnya memiliki sedikit kepandaian untuk menjaga diri? Sebaliknya, ji-wi adalah nona-nona muda yang kelihatan amat lemah, tidak nyana memiliki ilmu silat yang demikian ganas!"
Ang Hwa tertawa sambil menutupi mulut dengan tangan kirinya, pedangnya dilintangkan di depan dada dengan sikap aksi sekali.
"Kongcu yang baik, dalam jaman seperti ini kalau kami wanita-wanita lemah tidak mengandalkan pedang dan kecepatan, bukankah kita ini hanya akan menjadi permainan pria seperti kembang-kembang yang tiada berduri dan tidak ada yang membela?"
Mutiara Hitam Karya Kho Ping Hoo Kisah Si Bangau Putih Karya Kho Ping Hoo Dara Baju Merah Karya Kho Ping Hoo