Cheng Hoa Kiam 8
Cheng Hoa Kiam Karya Kho Ping Hoo Bagian 8
Ucapan ini disertai kerling mata yang amat menarik dan penuh arti. Akan tetapi mana pemuda itu mengerti?"Kongcu telah mengetahui nama kami, akan tetapi pertanyaan adikku Cheng In tadi belum kongcu jawab. Siapakah nama besar kongcu dan dari partai mana?"
Pemuda itu tersenyum dan kembali hati dua orang perempuan itu dak-dik-duk tidak karuan.
"Orang seperti aku ini mana mempunyai nama besar? Diberi tahu juga tidak akan kenal. Akan tetapi agar jangan disangka orang aku menyembunyikan nama dan takut dikenal orang, biarlah ji-wi ketahui bahwa aku she Thio bernama Wi Liong. Dari partai mana aku sendiripun tidak tahu karena sepanjang pengetahuanku, aku tidak masuk partai mana-mana dan hanya mempelajari sedikit ilmu penjaga diri.
"
Mendengar pemuda itu menyebut namanya Seng-goat-pian Kam Ceng Swi mendengarkan penuh perhatian. Ia merasa pernah mendengar nama Thio Wi Liong ini akan tetapi sudah lupa lagi entah kapan dan di mana. Tentu pembaca masih ingat akan nama ini. Tak salah, pemuda ini adalah bocah yang dahulu dibawa oleh pamannya, Kwee Sun Tek, ke puncak Kun-lun-san untuk mencari tokoh Siauw-lim yang berada di puncak. Pemuda ini adalah putera tunggal Thio Houw dan Kwee Goat yang telah tewas oleh guru mereka sendiri, Beng Kun Cinjin dan anak buahnya, yaitu para pengawal istana Jengis Khan!
Seperti telah dituturkan di bagian depan, ketika Thio Wi Liong dibawa naik ke puncak Kun-lun-san oleh pamannya yang telah buta oleh Beng Kun Cinjin. terjadi keributan di puncak itu dengan munculnya dua orang tokoh Mo-kauw yang lihai, yaitu Bu-ceng Tok-ong dan Tok-sim Sian-li. Dua orang manusia iblis ini telah menculik Wi Liong dan seorang bocah lain. yaitu Kam Kun Hong anak pungut Kam Ceng Swi. Akan tetapi di tengah jalan, Wi Liong dirampas dari tangan dua orang iblis itu oleh Thian Te Cu Si Mayat Hidup, tokoh aneh yang jarang sekali muncul di dunia ramai dan tidak mau tahu tentang urusan dunia.
Sebagai seorang tukang ramal atau ahli bintang. Thian Te Cu maklum bahwa Thio Wi Liong adalah seorang bocah yang selain berbakat baik sekali, juga jodoh dengan dia, seorang bocah yang patut mewarisi kepandaian tinggi karena memiliki watak yang boleh dipercaya dan mempunyai pembawaan seorang ksatria dan pendekar budiman. Karena itu Thian Te Cu membawa Wi Liong ke Wuyi-san di mana ia bertapa dan menggembleng bocah itu, mewariskan semua kepandaiannya ilmu silat yang tinggi dan jarang tandingannya di dunia kang-ouw.
Wi Liong adalah seorang anak yang amat berbakti. Biarpun ia merasa aman dan senang berada di puncak Gunung Wuyi-san, akan tetapi hatinya selalu gelisah dan berduka kalau ia mengingat keadaan pamannya yang buta. Bagaimana dengan keadaan pamannya itu? Siapa yang akan menuntunnya kalau berjalan dan siapa yang akan mencarikan sesuap nasi?
Thian Te Cu berpemandangan awas. Tanpa bertanya ia sudah dapat membaca isi hati muridnya. Pada suatu hari ia memesan agar muridnya itu berlatih baik-baik dan tinggal seorang diri di puncak karena ia mau turun gunung untuk beberapa bulan lamanya. Dan dapat dibayangkan betapa girang hali bocah itu ketika gurunya pulang bersama dengan pamannya, Kwee Sun Tek yang buta! Paman dan keponakan saling peluk dengan air mata mengalir turun saking bahagia dan girang. Mulai saat itu, Kwee Sun Tek juga tinggal di Wuyi-san, malah ia menerima pelajaran ilmu batin yang tinggi, juga ilmu silatnya bertambah maju dengan cepat sekali di bawah petunjuk Thian Te Cu.
Sepuluh tahun lewat dengan amat cepatnya dan selama itu, belum pernah seharipun Wi Liong dan pamannya meninggalkan puncak Wu-yi-san, Mereka nampaknya hidup dengan amat.tenteram, aman damai tidak membutuhkan apa-apa. Akan tetapi di dalam hati Kwee Sun Tek yang matanya buta itu selalu menyala api dendam yang tak kunjung padam, bahkan ada kalanya berkobar-kobar membuat ia seperti gila menahan kemarahannya. Hanya berkat ilmu batin yang banyak ia pelajari, maka ia dapat menahan dan selama itu menyimpan rahasia hatinya.
Wi Liong yang pernah bertanya tentang ayah bundanya, dijawab singkat bahwa ayah bundanya sudah meninggal dan kelak kalau sudah tiba masanya ia akan menceritakan dengan jelas tentang ayah bundanya itu. Pedang Cheng-hoa-kiam tak pernah disentuhnya, juga ia melarang keponakannya itu menjamahnya. Ia menaruh pedang itu di dalam sebuah peti dan menyimpan peti itu di sebuah ruangan kosong di rumah kediaman Thian Te Cu di puncak gunung. Rumah besar terbuat dari pada batu besar yang ditumpuk-tumpuk, sederhana namun kuat sekali.
Setelah Thian Te Cu menyatakan bahwa pelajaran Wi Liong dalam ilmu silat dan ilmu surat sudah tamat dan kakek ini tak mau diganggu lagi karena hendak bertapa sampai datang saat penghabisan dalam hidupnya. Kwee Sun Tek lalu memanggil Wi Liong dan berkata,
"Wi Liong, saatnya sudah hampir tiba bagimu untuk mengetahui semua rahasia yang selama ini terkandung dalam hatiku. Kau hanya tahu bahwa aku ini pamanmu, adik ibumu, akan tetapi kau sendiri belum pernah melihat wajah ayah bundamu. Kasihan kau......!"
Teringat akan kakak dan iparnya, Kwee Sun Tek menjadi terharu sekali, memeluk pundak keponakannya dan matanya yang selalu terbuka akan tetapi tidak melihat apa-apa itu menjadi basah.
Wi Liong lebih tenang dan ia menahan hasratnya hendak banyak bertanya. Karena semenjak kecil iapun banyak menerima pelajaran ilmu surat, bahkan Thian Te Cu menyuruh ia membaca kitab-kitab kuno tentang filsafat hidup, maka pengetahuannya tentang kebatinan tidak kalah oleh pamannya. Malah dalam hal menguasai perasaan dan pikiran ia jauh lebih kuat.
"Gurumu sudah mengundurkan diri dan mulai sekarang kau boleh pergi ke mana saja."
Kata pula Kwee Sun Tek.
"Sekarang kau turunlah dari puncak ini dan pergilah ke utara ke kota raja. Di sana kau selidiki apakah orang tua yang bernama Beng Kun Cinjin Gan Tui masih menjadi koksu, ataukah sudah pindah kalau pindah ke mana. Aku ingin sekali tahu apakah dia masih hidup dan di mana sekarang ia berada. Kalau kau sudah mendapat tempat tinggalnya, kau kembalilah ke sini lagi dan nanti bersama aku turun gunung. Pada saat itulah aku akan membuka rahasiamu anak baik!"
Wi Liong mengerutkan alisnya. Mengapa pamannya ini demikian pelit dengan rahasia orang tuanya? Dia tidak berani mendesak, dan diam saja. Agaknya Kwee Sun Tek merasa juga akan perasaan hati pemuda itu maka katanya.
"Kau bersabarlah, Wi Liong. Percayalah bahwa apa yang kulakukan adalah demi kebaikanmu sendiri. Hanya kau boleh mengetahui bahwa Beng Kun Cinjin itu adalah guruku sendiri. Nah, kau berangkatlah."
Wi Liong terkejut dan makin terheran-heran. Akan tetapi ia memang kuat menyimpan dan menekan perasaan hatinya, maka ia lalu berkemas dan berangkat. Ia hanya merasa kecewa tidak dapat berpamit dari gurunya, karena Thian Te Cu sudah memesan tidak mau diganggu kecuali kalau dia sendiri keluar dari kamar pertapaannya.
Demikianlah, pada hari itu Wi Liong sudah sampai di Ningpo dan kebetulan sekali dalam sebuah rumah makan bertemu dengan Seng-goat-pian Kam Ceng Swi yang gagah perkasa dan menarik perhatiannya. Sikap Kam Ceng Swi yang amat gagah, kata-katanya yang mengandung arti, sepak-terjangnya ketika menghadapi orang-orang Hai-Iiong-pang yang galak dan sewenang-wenang, benar-benar amat menarik hati Wi Liong dan mendatangkan rasa kagum dalam hatinya. Ingin benar ia berkenalan dengan orang tua gagah perkasa ini, ingin benar ia belajar dari orang yang gerak-geriknya malah jauh lebih masak dari pada pamannya ini.
Di samping itu, iapun agak khawatir akan keselamatannya ketika kakek ini diundang naik ke loteng, karena pandangan mata yang amat tajam dari Wi Liong telah melihat bahwa orang-orang yang berada di loteng itu tak boleh dipandang ringan. Makin besar rasa kagum dan suka hatinya ketika ia melihat kakek itu menghadapi tiga orang ketua Hai-Iiong-pang. Ia sengaja bersikap bodoh, sampai akhirnya ia melihat Kam Ceng Swi terancam hebat oleh desakan dua orang wanita Pek-go-to. baru ia turun tangan menolong.
Kita kembali kepada keadaan di atas loteng rumah makan Tung-thian di kota Ningpo. Wi Liong dengan sikap tenang sekali menghadapi dua orang wanita muda. Cheng In dan Ang Hwa yang amat lihai itu, hendak melihat apa yang selanjutnya akan terjadi. Dia tadi sudah mendengar pengakuan dua orang gadis itu bahwa mereka adalah utusan Thai Khek Sian akan tetapi ia tidak gentar mendengar nama ini karena memang selama hidupnya ia belum pernah mendengarnya dan tidak tahu orang macam apa adanya Thai Khek Sian!
Di lain fihak, dua orang perempuan itu yang sebetulnya selain utusan, juga setengah murid dan setengah kekasih Thai Khek Sian gembong Mo-kauw itu. adalah wanita-wanita yang berhati kotor dan cabul. Melihat Wi Liong yang tampan, mana hati mereka tidak tergerak? Sukar bagi mereka untuk marah terhadap seorang pemuda sehebat Wi Liong, biarpun terhadap orang lain mereka ini biasa bertindak seperti iblis-iblis betina dari neraka yang tidak mengenal kasihan.
"Kalian lihatlah,"
Kata Cheng In kepada tiga orang pangcu dari Hai-liong-pang.
"pemuda seperti inilah yang tepat untuk mengangkat diri menjadi pangcu. bukan orang-orang tiada guna seperti kalian. Orang macam Seng-goat-pian Kam Ceng Swi juga berani main gila di depan kita? Hemm, kalau tidak sungkan terhadap Thio-kong-cu yang gagah, tentu nyawanya telah putus. Thio-kongcu yang baik, melihat mukamu biarlah kami bikin habis urusan dengan Seng-goat-pian asal kongcu sudi memenuhi undangan kami untuk berkunjung ke pulau kami."
Kata-kata ini disambut suara ketawa Kam Ceng Swi yang segera membunyikan cambuknya.
"Tar-tar-tar"
Disambung nyanyiannya dengan suara lantang.
"Menyukai yang indah membenci yang buruk
inilah sifat manusia dewasa.
Melihat keburukan dalam keindahan
dan keindahan dalam keburukan
inilah keunggulan kaum bijaksana!
Buah yang kulitnya halus menimbulkan selera
belum tentu dalamnya manis tak berulat
Karena ini ;
Kaum budiman tidak buta oleh sinar keindahan!"
Mendengar nyanyian ini, merah wajah dua orang wanita itu, juga Wi Liong berkata tertawa.
"Kam-lo-enghiong, jangan khawatir."
Kemudian ia menghadapi dua orang gadis itu, menjura dan berkata.
"Terima kasih atas undangan ji-wi. akan tetapi maafkan siauwte tidak dapat memenuhi undangan itu karena siauwte sedang dalam perjalanan jauh. Adapun tentang urusan Kam-lo-enghiong, sesungguhnya memang tidak ada sesuatu antara kita yang harus direntang panjang. Terima kasih kalau ji-wi suka menghabiskan keributan ini."
"Dengan Mo-kauw tidak ada urusan, akan tetapi dengan Hai-liong-pang masih banyak urusan. Kalau Hai-Iiong-pang tidak menghentikan praktek- prakteknya memeras para nelayan, mencekik leher mereka dan mempergunakan tenaga nelayan untuk membikin kaya diri sendiri, aku orang she Kam takkan berhenti dan takkan gentar untuk menentangnya!"
Sementara itu, dua orang wanita itu tadi berlaku sabar dan bersikap lemah mengalah terhadap Wi Liong hanya karena mereka sayang akan ketampanan wajah dan kehalusan sikap pemuda sasterawan ini yang sengaja hendak mereka pikat. Sama sekali mereka bukan bersikap lemah karena.takut. Sekarang melihat bahwa pemuda itu tidak bersedia memenuhi undangan mereka, berubahlah sikap mereka.
"Orang she Thio, kami tidak biasa menerima penolakan atas undangan kami. Satu kali kami mengundang, biar kaisar sekalipun akan datang! Kaupun. setelah menerima undangan kami. bagaimanapun juga harus datang!"
Kata Ang Hwa dengan mata bersinar galak.
"Kalau aku tidak mau?"
Kata Wi Liong tersenyum tabah.
"Kami akan memaksamu!"
Jawab Ang Hwa.
"Kalau aku melawan?"
Tanya pula Wi Liong.
"Hwa-moi, cubit saja bibirnya yang banyak membantah itu. Gemas aku!"
Seru Cheng In sambil menggigit bibir dengan gemas, lalu jari-jari tangannya yang halus dan kecil itu menyambar ke depan betul-betul hendak mencubit bibir Wi Liong!
"Aauuuu!"
"Anak nakal, kau perlu dihajar!"
Yang menjerit kesakitan bukan Wi Liong, melainkan Cheng In. Sebaliknya yang menegur adalah Wi Liong. Ketika tadi tangan Cheng in menyambar dan sudah dekat sekali dengan bibirnya. Wi Liong menggerakkan tangan kanan menangkis akan tetapi bukan tangkisan biasa melainkan tangannya terus menyelonong maju dan jari tangan kanannya menyentil daun telinga kiri Cheng In, membuat gadis itu menjerit kesakitan karena daun telinganya terasa panas dan pedas.
Mengapa Wi Liong menyentil daun telinga dan tidak menyerang? Ini adalah karena pemuda yang belum banyak pengalaman ini merasa tidak enak hati kalau harus menyerang seorang wanita. Ia hanya menganggap Cheng In seorang anak nakal maka iapun memberi hajaran seperti orang menghajar bocah, dengan menyentil daun telinganya!
"Eh. kau berani kurang ajar?"
Ang Hwa berseru marah dan melompat maju menotok ke arah tiga bagian jalan darah di tubuh Wi Liong untuk membikin pemuda itu tak berdaya. Hebat sekali serangan ini dan sebuah tangan dapat dengan berturut-turut cepat sekali menotok tiga jalan darah, ini merupakan kepandaian luar biasa dan Kam Ceng Swi sendiri kiranya tidak akan mampu melakukannya. Oleh karena melihat hebatnya serangan ini, tak terasa lagi ia berseru kaget. Biarpun serangan itu tidak ditujukan pada bagian yang mematikan, namun sekali pemuda itu tertawan, siapa yang akan sanggup menolongnya?
"Ayaaa......! Kau lebih nakal lagi......!"
Wi Liong memutar tubuhnya dan menggerakkan kedua tangannya.
Kam Ceng Swi memandang dengan mulut celangap. Hampir ia tidak percaya akan apa yang dilihatnya. Begitu mustahil nampaknya. Gerakan Wi Liong sukar diikuti oleh pandangan mata saking cepatnya, akan tetapi hasil gerakannya itu benar-benar mengherankan karena tahu-tahu Ang Hwa yang tadi melakukan serangan totokan secara dahsyat, kini telah berdiri kaku karena totokan! Yang menotok tertotok, apa ini tidak aneh? Seperti tadi para ketua Hai-liong-pang. Ang Hwa berdiri dalam keadaan menyerang, jari tangannya dibuka siap untuk melakukan ilmu pukulan Tiam-hiat-hoat (Ilmu Menotok Jalan Darah), kedua kakinya memasang kuda-kuda, lutut sedang ditekuk sedikit maka kedudukan tubuhnya seperti orang naik kuda dengan tubuh belakang menonjol ke belakang, lucu sekali!
Tidak hanya Kam Ceng Swi dan Ang Hwa sendiri yang kaget, juga Cheng In terkejut bukan main melihat adiknya dikalahkan orang secara demikian mudahnya. Ia tahu bahwa dalam hal ilmu menotok, kepandaian Ang Hwa malah lebih tinggi dari pada kepandaiannya. Bagaimana mungkin dalam keadaan menyerang hebat gadis itu malah tertotok seakan-akan totokannya tadi mengenai tubuh sendiri? Ia cepat melompat dan membebaskan totokan di tubuh Ang Hwa dengan beberapa tepukan dan pijatan. Setelah Ang Hwa dapat bergerak lagi Cheng In mencabut pedangnya dan menudingkan senjata itu ke arah Wi Liong sambil membentak.
"Bocah setan tak tahu diuntung! Tak tahu orang mengalah malah berani menghina! Rasakan pedangku!"
Juga Ang Hwa sudah mencabut pedangnya dan menyerang sambil berseru.
"Orang tak berbudi, tak mau terima kasih sayang, sudah bosan hidup rupanya!"
Dua orang wanita lihai itu menggerakkan pedang dari dua jurusan dan dalam sekejap mata saja dua gulung sinar yang berkilauan menyambar-nyambar dan mengurung tubuh Wi Liong, memotong dan menutupi semua jalan keluar! Kam Ceng Swi memandang penuh kekhawatiran. Jago tua ini maklum akan kelihaian dua orang gadis yang ilmu pedangnya benar-benar tak boleh dipandang ringan itu.
Wi Liong bukanlah pemuda sembarangan. Dia ahli waris tunggal dari ilmu kepandaian Thian Te Cu. seorang aneh yang memiliki kesaktian tinggi. Di waktu masih terkenal dengan julukan Mayat Hidup dahulu, ketika ia masih suka berkelana dan menggegerkan dunia persilatan, dengan sebatang suling bambu saja Thian Te Cu sudah mengalahkan entah berapa banyaknya jago-jago pedang yang terkenal tinggi ilmu pedangnya. Ketika ia datang mengaduk-aduk dunianya kaum Mo-kauw, jago-jago sakti dari Mo-kauw geger dan baru ia bertemu lawan ketika benggolan Mo-kauw Thai Khek Sian muncul. Tiga hari tiga malam Thian Te Cu bertempur melawan Thai Khek Sian, hanya mengaso untuk memulihkan napas saja, lupa makan lupa tidur, dan akhirnya Thai Khek Sian terpaksa masih harus mengakui keunggulan lawan dalam mengadu kesaktian hawa murni dalam tubuh. Ini adalah karena kalau Thian Te Cu selalu hidup dalam keadaan bersih batinnya, sebaliknya Thai Khek Sian mengumbar kesenangan.
Sekarang Wi Liong berhadapan dengan dua orang gadis yang boleh dibilang murid juga dari Thai Khek Sian! Wi Liong tidak pernah tahu bahwa gurunya dahulu pernah bertanding mati-matian dan hebat selama tiga hari tiga malam melawan Thai Khek Sian kalau dia tahu, tentu ia lebih bersemangat lagi menghadapi dua orang utusan yang ia tadi mendengar adalah utusan seorang tokoh bernama Thai Khek Sian yang tidak dikenalnya.
Begitu dua pedang gadis itu berkelebat, sebagai seorang ahli silat yang sudah masak ilmunya, Wi Liong segera dapat mengetahui bahwa dua orang lawannya memang betul-betul pandai dan dahsyat ilmu pedangnya. Pantas saja jago tua dari Kun-lun-pai tadi terdesak hebat. Sekarang ia tidak boleh memandang rendah karena biarpun tadi dalam keadaan bertangan kosong, dua orang gadis itu boleh ia permainkan, sekarang ia harus berlaku hati-hati. Pedang mereka memiliki gerakan cepat sekali terbukti dari sinar pedang yang berkelebat dan bergulung panjang. Juga tenaga lweekang mereka dalam mempergunakan pedang sudah tinggi sehingga ujung pedang mereka tergetar menjadi tujuh!
"Bocah perempuan bermain senjata tajam, sungguh berbahaya!"
Wi Liong berkata dan ketika tangan kirinya bergerak, ia telah mengeluarkan sebatang suling dari balik jubahnya. Suling ini adalah hadiah dari suhunya, sebuah suling yang panjangnya seperti pedang pendek, terbuat dari pada logam yang amat kuat melebihi baja. Suling ini selain indah sekali bunyinya kalau ditiup. juga baik sekali dipakai sebagai senjata. Karena suhunya seorang yang ahli dalam mainkan suling sebagai senjata pedang, tentu saja Wi Liong juga menuruni kepandaian hebat ini.
Biarpun hatinya mendongkol dan marah. Cheng In dan Ang Hwa masih tidak tega untuk melukai atau membunuh pemuda tampan ini. Tadinya mereka berniat untuk menawan saja dan dibawa ke Pulau Pek-go-to. Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka ketika suling di tangan pemuda itu bergerak perlahan, sekaligus sudah dapat menangkis pedang mereka yang terpental oleh getaran suling! Mereka hampir tidak percaya dan mendesak lagi. Sama saja pedang mereka selalu terpental setelah terbentur oleh suling, malah kini mereka merasa betapa telapak tangan mereka gatal-gatal dan dingin, tanda bahwa getaran pada suling itu amat halus dan kuat!
Baru terbuka mata dua orang wanita Pek-go-to itu bahwa mereka sebenarnya berhadapan dengan seorang pemuda sakti, pemuda yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali, jauh lebih tinggi dari pada Seng-goat-pian Kam Ceng Swi. malah masih lebih tinggi dari pada kepandaian mereka sendiri digabung menjadi satu. Dari kaget mereka menjadi jerih. Akan tetapi nasi sudah menjadi bubur. Mereka sudah menyerang dan mencari permusuhan. Terpaksa keduanya lalu mengerahkan seluruh kepandaian dan mencoba untuk membobolkan pertahanan suling di tangan Wi Liong yang sinarnya bergulung bulat dan mengeluarkan bunyi halus lembut.
Ang Hwa yang sudah hilang lagi rasa cintanya karena penasaran tak mampu mengalahkan lawannya, cepat mengeluarkan senjata rahasia Kim-ji-piauw dan tanpa peringatan melepas senjata rahasia itu ke arah tubuh Wi Liong, tujuh buah banyaknya!
Wi Liong tetap saja melayani pedang, sama sekali tidak memperdulikan datangnya senjata rahasia itu. Hebatnya, ketika senjata rahasia yang berupa mata uang tembaga disepuh emas ini mengenai tubuhnya, benda-benda kecil ini terpental kembali seperti mengenai karet saja, beterbangan ke kanan kiri.
"Aduh"
Berbahaya! Aduh lihai........!"
Seru Kam Ceng Swi berulang-ulang, ia menyebut berbahaya melihat serangan menggelap itu dan menyebut lihai melihat cara Wi Liong menerima serangan. Akan tetapi ia cepat-cepat membuang diri untuk mengelak dari sambaran beberapa buah mata uang yang tadinya terpental dan terbang ke arahnya. Ia maklum bahwa tenaga sambaran mata uang ini masih kuat sekali dan setidaknya kulitnya akan lecet kalau terkena! Dengan gembira sekali Kam Ceng Swi menonton pertempuran itu dan tiba-tiba jago tua ini tak dapat menahan tangisnya! Ia teringat akan putera pungutnya Kam Kun Hong, dan sekaligus begitu teringat akan Kun Hong. iapun ingat siapa adanya bocah lihai bernama Thio Wi Liong ini! Inilah bocah yang dulu dibawa datang oleh Kwee Sun Tek yang buta dan bocah inilah yang bersama Kun Hong telah diculik oleh Bu-ceng Tok-ong dan Tok-sim Sian-li! Dengan mata terbelalak dan basah air mata. Kam Ceng Swi memandang kepada Wi Liong.
"Jadi kaukah ini? Begini lihai? Dan di mana adanya Kun Hong?"
Katanya yang ditujukan kepada Wi Liong, akan tetapi perlahan saja seperti bicara kepada diri sendiri.
Sementara itu. pertempuran telah terjadi makin seru. Kini Wi Liong mulai menyerang, marah karena dua orang lawannya menggunakan senjata rahasia tanpa memberi tanda, dan hal ini dalam dunia persilatan dianggap perbuatan yang amat curang.
"Cukup, kembalilah ke tempat asalmu!"
Bentak Wi Liong dan dengan gerakan memutar sehingga sinar sulingnya melibat dua sinar pedang, ia mengerahkan tenaga membuang ke samping. Tak dapat ditahan lagi, dua orang nona itu mengeluarkan seruan tertahan dan pedang mereka terlepas dari pegangan meluncur ke kiri dan menancap setengahnya di atas tanah, gagangnya bergoyang-goyang. Pada saat itu. menyusul sinar berkilauan di depan mata Cheng In dan Ang Hwa yang menjerit kaget, akan tetapi suling itu yang tadi berkelebat di depan mata telah ditarik kembali dan pemuda itu sudah berdiri di depan mereka tersenyum- senyum. Sulingnya sudah diselipkan di ikat pinggangnya.
Cheng In dan Ang Hwa mengeluarkan keringat dingin, bersyukur bahwa pemuda ganteng itu akhirnya tidak mencelakakan mereka yang mutlak sudah kalah itu. Dengan muka kemerahan mereka membungkuk mengambil pedang masing- masing, mengerahkan tenaga untuk mencabut pedang. Setelah hal ini terlaksana, mereka saling pandang dan menjadi pucat.
"Celaka..... Ceng In cici...... pipimu......!"
Jerit Ang Hwa.
"Ang Hwa siauwmoi............ pipimu sendiri kenapa.........?"
Kata Cheng In.
Keduanya mengangkat tangan dengan otomatis sambil melepaskan pedang, kedua telapak tangan mengusap-usap pipi yang halus putih itu. Kini, entah dari mana datangnya, pada kulit pipi yang halus itu terdapat "cap"
Bundar merah seperti bulan purnama di kanan kiri merupakan "tembong"
Yang cukup besar urttuk membuat muka mereka menjadi seperti muka badut! Mereka saling pandang penuh perhatian karena maklum bahwa mereka mengalami nasib yang sama. bahwa melihat tanda merah di pipi kawan sama dengan melihat tanda di pipi sendin. Melihat bentuk bulat dan ukuran besarnya, keduanya mengerti dan dengan marah mereka memandang ke arah Wi Liong.
"Kau...... kau telah menghina kami......!"
Teriak Ang Hwa dengan isak tangis mengancam suaranya.
"Tak bisa lain, tanda merah di pipi kami ini tentu dibuat oleh sulingmu yang terkutuk!"
Bentak Cheng In marah.
Wi Liong tersenyum.
"Nona-nona yang baik. Tadi pedangmu mengancam nyawaku yang hanya satu, sedangkan sulingku hanya menyentuh sedikit pipi kalian, mengapa marah-marah? Aku hanya memberi peringatan agar lain kali kalian tidak begitu ganas dan kejam, mudah saja hendak
(Lanjut ke Jilid 09)
Cheng Hoa Kiam (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 09
membunuh orang."
Cheng In dan Ang Hwa maklum bahwa tiada gunanya melawan, mereka toh akan kalah. Dengan marah sekali mereka mengambil pedang masing-masing dan tanpa pamit mereka melompat turun dari loteng rumah makan, tidak melalui anak tangga lagi, langsung melompat keluar terus lari pergi! Tiga orang ketua Hai-liong-pang yang melihat dengan mata kepala sendiri betapa hebatnya pemuda iitu di samping Seng-goat-pian yang sudah membikin keok mereka, kini berdiri di sudut dengan kepala tunduk, mati kutu sama sekali.
"Orang she Thio, kau tunggu saja. Siansu akan datang membalaskan sakit hati kami!"
Dari jauh terdengar Cheng In berseru dengan pengerahan tenaga khikang.
"Orang muda, mari. kita pergi dari sini '"
Tiba-tiba Kam Ceng Swi berkata sambil memegang tangan orang dan ditarik pergi menuruni anak tangga. Di kepala tangga ia menoleh dan berkata kepada tiga orang ketua Hai-liong-pang,
"Harap saja kejadian hari ini akan membuat kalian berlaku lebih adil dan pantas terhadap kaum nelayan yang miskin!"
Tanpa menanti jawaban ia lalu menarik tangan Wi Liong dan dibawa lari menjauhi tempat itu.
"Lo-enghiong. hendak mengajak aku ke manakah?"
Tanya Wi Liong terheran-heran sambil tersenyum. Kalau ia mau, tentu saja dengan mudah ia dapat menarik lepas tangannya yang dipegang, akan tetapi percaya bahwa kakek ini tidak berniat jahat, ia menurut saja dan ikut berlari-lari.
"Ikut saja, nanti kuberi tahu!"
Jawab Kam Ceng Swi mempercepat larinya. Setelah berlari jauh meninggalkan kota Ningpo dan memasuki sebuah hutan di sebelah barat kota itu, baru Kam Ceng Swi berhenti, memandang ke belakang dan menarik napas panjang penuh kelegaan hati.
"Orang muda, kau bernama Thio Wi Liong, bukankah kau ini anak keponakan Kwee Sun Tek!"
"Kam-lo-enghiong bagaimana bisa tahu? Memang betul aku keponakannya."
"Aku adalah seorang Kun-lun-pai. bagaimana tidak tahu? Aku berada di sana ketika kau diantar oleh pamanmu ke puncak Kun-lun untuk mencari Bhok Lo Cinjin ketua Siauw-lim-pai."
"Ah, kalau begitu aku berlaku kurang hormat."
Kata Wi Liong sambil menjura.
"Tak usah menggunakan banyak upacara, orang muda. Aku girang sekali bertemu dengan kau, girang dan kagum melihat bahwa kau telah menjadi seorang pemuda yang gagah perkasa. Akan tetapi aku mengharap keteranganmu. orang muda. Kau tentu masih ingat bahwa ketika kau terculik oleh Bu-ceng Tok-ong dan Tok-sim Sian-li. ada seorang bocah lain yang terculik bersamamu."
"Kun Hong.....?"
Tanya Wi Liong yang tentu saja ingat kepada bocah nakal itu.
"Ya......... ya. dia Kam Kun Hong........ anakku........."
Cheng Hoa Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Wi Liong terkejut dan memandang kepada kakek itu. Tak dinyana sama sekali bahwa bocah nakal itu adalah putera kakek yang simpatik ini. Sinar kasihan berpancar keluar dari pandang matanya dan ini agaknya terasa oleh Kam Ceng Swi yang menjadi pucat ketika bertanya.
"Apa yang telah terjadi dengan Kun Hong. anakku? Thio-siauwhiap. lekas katakan, apa yang tejah terjadi dengan dia?"
"Menyesal sekali aku tidak dapat menjawab pertanyaan ini. lo-enghiong. karena aku sendiri juga tidak tahu di mana adanya puteramu itu.
"
Secara jelas Wi Liong lalu menceritakan pengalamannya ketika dulu bersama Kun Hong ia diculik oleh Bu-ceng Tok-ong dan Tok-sim Sian-li sampai kemudian ia ditolong oleh Thian Te Cu.
"Sayang Kun Hong tidak mau ikut suhu dan lebih suka menjadi murid dua orang itu, tentu sekarang diapun masih ikut Bu-ceng Tok-ong dan Tok-sim Sian-li yang menjadi gurunya."
Wi Liong menutup penuturannya.
Kam Ceng Swi menarik napas panjang, diam-diam ia merasa menyesal sekali mengapa Kun Hong tidak mau ditolong oleh Thian Te Cu seperti Wi Liong yang ternyata sekarang telah memiliki kepandaian tinggi.
"Di mana anak itu? Sudah sepuluh tahun berpisah, apa ia tidak ingat padaku?"
Orang tua itu berkata seorang diri. Wi Liong memandang heran. Masa ada anak tidak ingat kepada ayahnya? Akan tetapi Kam Ceng Swi berpikir lain. Ia teringat akan waktu dahulu ketika ia mengangkat seorang bayi yang menangis di samping jenazah ibunya. Teringat betapa dengan susah payah ia memelihara bocah itu sampai besar, bocah yang ia cinta seperti kepada anak sendiri. Kemudian anak itu menghilang, diculik manusia-manusia iblis! Kam Ceng Swi terkejut dan sadar dari lamunannya ketika Wi Liong menegurnya.
"Lo-enghiong, kau membawa aku ke sini apakah hanya untuk bertanya tentang Kun Hong?"
"Betul...... hanya untuk itu......."
"Akan tetapi tadi lo-enghiong kelihatan seperti orang ketakutan dan agaknya ingin cepat-cepat membawa aku keluar dari kota Ningpo, Sebetulnya apakah yang menggelisahkan hati lo-enghiong?"
"Kau bermata awas dan berotak cerdik, kuharap saja Kun Hong juga seperti kau ini......"
Kakek itu mengangguk-angguk.
"ya benar....... dia dulu juga cerdik dan pintar dan sebaya dengan kau........."
"Aku lebih tua satu dua tahun."
Kata Wi Liong teringat kepada bocah cilik yang nakal sekali dan dahulu begitu bertemu telah menantangnya dan mengajaknya berkelahi!"Akan tetapi, siapakah yang lo-enghiong takuti tadi?"
"Thai Khek Sian,"
Jawab Kam Ceng Swi dengan suara sungguh-sungguh.
"aku tadi takut dia datang."
"Penghuni Pek-go-to?"
Kakek itu mengangguk.
"Dia orang nomor satu, atau setidaknya seorang di antara tokoh-tokoh terbesar di dunia Mo-kauw. Kepandaiannva tinggi bukan main dan kekejamannya sudah terkenal di kolong langit. Bu-ceng Tok-ong dan Tok-sim Sian-li bukan apa-apa kalau dibandingkan dengan tokoh besar itu."
"Aku tidak takut!"
Kata Wi Liong yang merasa tidak senang setelah mengetahui bahwa dia tadi diajak lari-lari karena takut terhadap Thai Khek Sian. Masa dia harus berlari-lari. melarikan diri ketakutan?
"Akan tetapi aku takut, orang muda. aku khawatir kalau-kalau kau akan mengalami bencana kalau Thai Khek Sian muncul. Oleh karena itulah aku mengajakmu melarikan diri."
Wi Liong berperasaan halus. Ia menjadi terharu mendengar kata-kata ini. Tadi di atas loteng rumah makan ia telah menyaksikan sendiri keberanian dan kegagahan tokoh Kun-lun-pai itu, menyaksikan betapa untuk menjaga nama dan kehormaitan, kakek itu tidak takut menghadapi maut di tangan dua orang wanita utusan Pek-go-to yang lihai. Akan tetapi sekarang, karena takut kalau dia sampai terkena celaka, kakek itu mengajaknya lari. Ini merupakan tanda bahwa kakek itu sayang kepadanya! Mungkin sayang ini timbul karena kakek yang hidupnya kesunyian ini terlalu rindu kepada puteranya sehingga merasa sayang terhadap setiap orang muda. Buktinya kakek itupun di rumah makan telah beramah-tamah dan bergembira dengan serombongan anak muda yang tidak dikenal sama sekali.
"Harap lo-enghiong jangan mengkhawatirkan aku. Kiranya Thai Khek Sian takkan begitu mudah mencelakakan aku, siapapuh juga dan orang macam apa dia itu!"
Setelah berkata demikian. Wi Liong lalu memutar tubuh dan berlari cepat hendak kembali ke kota Ningpo.
"Wi Liong, tunggu........!' Kam Ceng Swi berseru sambil lari mengejar. Kakek ini sudah tahu betul siapa adanya Thai Khek Sian dan orang macam apa tokoh iblis ini. Ia amat sayang melihat Wi Liong yang tentu akan celaka apabila bertemu dengan Thai Khek Sian.
"Kalau lo-enghiong takut kepada Thai Khek Sian, jangan kembali, biar aku sendiri yang melihat orang macam apakah itu!"
Jawab Wi Liong. Tahu bahwa orang muda yang behati keras dan tabah ini tak mungkin mau menurut bujukannya agar menjauhkan diri dari Thai Khek Sian. terpaksa Kam Ceng Swi berlari cepat mengikuti Wi Liong, hatinya gelisah bukan main.
Kita tinggalkan dulu Wi Liong dan Kam Ceng Swi untuk menengok ke puncak Wuyi-san. karena sepeninggal Wi Liong yang turun gunung memenuhi perintah pamannya, di puncak itu terjadi hal yang menarik. Seperti telah dituturkan di bagian depan, di puncak Wuyi-san hanya tinggal tiga orang, yaitu Thian Te Cu. Kwcc Sun Tek; dan Thio Wi Liong. Setelah sekarang Wi Liong turun gunung dan Thian Te Cu mengurung diri di dalam kamar, Kwee Sun Tek hidup kesepian. Baiknya ia telah banyak mempelajari ilmu batin dan kepandaiannya sudah meningkat tinggi maka ia melewatkan waktu menganggurnya dengan bersamadhi atau melatih ilmu silatnya yang ia dapatkan dari petunjuk Thian Te Cu. Kalau dibandingkan dengan dahulu, Kwee Sun Tek kini telah memperoleh kemajuan hebat, dan biarpun kedua matanya sudah buta, akan tetapi kepandaiannya jauh lebih sempurna dari pada dahulu ketika ia masih pandai melihat.
Pada suatu hari, ketika Kwee Sun Tek tengah duduk terpekur, mengenang dan mendoakan agar keponakannya selamat di perjalanan dan bisa mendapatkan keterangan tentang Beng Kun Cinjin musuh besarnya, mendengar suara tindakan kaki orang yang amat ringan. Kagetlah hati Kwee Sun Tek karena biarpun ia buta, telinganya yang berpendengaran tajam terlatih itu dapat membedakan tindakan kaki orang. Bahkan ia dapat mengetahui bahwa yang datang adalah seorang luar yang tidak bermaksud baik, kentara dari tindakan kaki ringan berhati-hati dan ragu-ragu seperti lakunya seorang pencuri memasuki rumah orang. Kwee Sun Tek cepat menyelinap dan bersembunyi di balik tembok tebal, menanti dengan hati berdebar.
Siapakah orangnya yang berani mendatangi tempat bertapa Thian Te Cu dan mau apa? Ia merasa menyesal sekali bahwa ia tidak dapat melihat lagi siapa orangnya yang berani mati ini. Menilik dari suara gerakan kakinya, biarpun pendatang ini memiliki ginkang yang cukup tinggi, akan tetapi bukan apa-apa baginya, apa lagi bagi Thian Te Cu! Benar-benar menggelikan sekali kalau orang dengan tingkat kepandaian seperti itu saja berani menyerbu tempat tinggal Thian Te Cu!
"Tentu seorang yang masih muda,"
Pikir Kwee Sun Tek. Kalau seorang kang-ouw yang sudah lanjut usianya sudah pasti pernah mendengar tentang Thian Te Cu dan tidak begitu bodoh untuk mencari penyakit.
Sayang Kwee Sun Tek tidak dapat melihat bahwa dugaannya itu memang tepat sekali. Orang yang berani mati mengunjungi tempat kediaman Thian Te Cu sebagai seorang pencuri ini bukan lain adalah Kam Kun Hong! Pemuda ini setelah berhasil meninggalkan Tok-sim Sian-li, gurunya yang mati-matian mencintainya seperti seorang kekasih itu, lalu lari terus menuju ke Wuyi-san. Memang ke situlah ia hendak pergi, dengan maksud untuk mencuri atau merampas pedang pusaka Cheng-hoa-kiam dari tangan Kwee Sun Tek atau Thio Wi Liong juga sekalian untuk menjajal kepandaian Wi Liong guna menebus kekalahannya sepuluh tahun yang lalu! Ia tidak perduli akan peringatan Tok-sim Sian-li yang takut setengah mati mendengar muridnya terkasih itu hendak pergi ke Wuyi-san. Akan tetapi ia tidak takut. Mana ada anak kerbau yang masih hijau takut akan harimau?
Demikianlah, pada siang hari itu Kun Hong berhasil mendaki Wuyi-san sampai di puncak. Melihat keadaan yang sunyi sepi itu, hati Kun Hong makin besar. Kini ia telah maju dan sampai di depan rumah batu. Ia heran dan kagum melihat tempat tinggal terbuat dari pada batu ditumpuk-tumpuk itu, tempat tinggal yang kelihatan megah dan angker. Pintu depan yang lebar merupakan gapura yang tidak ada daun pintunya, terbuka celangap begitu saja seperti mulut gua. Kun Hong berlaku hati-hati, menghampiri pintu gapura itu dengan perlahan seluruh urat di tubuhnya menegang, siap menghadapi setiap kemungkinan.
Akan tetapi sunyi-sunyi saja. Ia masuk dan longak-longok. Sunyi tidak terdengar suara apa-apa. Rumah kosongkah? Salah carikah dia? Tak mungkin. Di puncak tidak ada rumah lain. Inilah rumah satu-satunya. Ataukah penghuninya sedang pergi atau sudah pindah? Kun Hong tidak segera masuk, memandang dari luar penuh perhatian. Ia melihat lantai dan dinding batu bersih terpelihara, hatinya lega. Rumah ini terawat tanda penghuninya ada. Andaikata keliru memasuki rumah orang lain, ia dapat menanyakan di mana tempat tinggal Thian Te Cu. Dengan besar hati dan tabah sekali Kun Hong masuk, celingukan dan mulai memeriksa. Sama sekali ia tidak mengira bahwa gerak-geriknya diperhatikan orang, di "ikuti"
Pendengaran yang amat tajam.
Segera Kun Hong kecewa sekali karena di dalam rumah batu yang besar itu ia tidak melihat siapapun juga. Rumah kosong, pikirnya. Telah ada tiga buah kamar dimasukinya, namun di dalam kamar-kamar itu tidak terdapal apa-apa. Ia memeriksa terus, penasaran.
Kwee Sun Tek yang mengikuti gerak-gerik pemuda itu dengan pendengarannya, tahu belaka ke mana Kun Hong bergerak dan diam-diam tersenyum mendengar "pencuri"
Itu memasuki kamar-kamar kosong. Akan tetapi ia terkejut sekali ketika mendengar gerakan pendatang itu yang membuka pintu kamar Thian Te Cu! Benar-benar mencari celaka orang itu, pikirnya dengan hati berdebar. Ia menanti dengan penuh perhatian, mendengarkan dengan kepala dimiringkan, la. mendengar pintu kamar itu dibuka dari luar dan gerakan kaki maling itu memasuki kamar dan...... tidak terjadi sesuatu, sunyi saja! Sun Tek terheran-heran, apa lagi ketika ia mendengar maling itu keluar dari kamar Thian Te Cu dan menggerutu.
"Sialan benar, rumah setan ini kosong agaknya......!"
Jelas bahwa Thian Te Cu tidak Berada di dalam kamarnya. Ke mana perginya orang tua itu? Sun Tek benar-benar merasa heran sekali, baru saja tadi ia mendengar gerakan kakek itu di kamarnya. Akan tetapi orang selihai Thian Te Cu memang tak mungkin diikuti gerak-geriknva.
Kun Hong memang tidak melihat siapa-siapa di dalam kamar tadi dan kini ia memasuki kamar terakhir yang berada di belakang. Melihat orang memasuki kamar belakang. Kwee Sun Tek menjadi khawatir, karena di ruangan belakang inilah ia menyimpan barang-barang dan juga pedang Cheng-hoa-kiam! Cepat ia menyelinap dan bersembunyi di balik dinding, mengintai dari sebuah lubang yang sengaja dibuat untuk mengintai ke dalam ruangan.
Begitu memasuki ruangan ini, Kun Hong mengeluarkan seruan tertahan.
"Aahhh, tempat ini tentu ada penghuninya........."
Pikirnya melihat kotak-kotak dan peti-peti yang berjajar di situ. Ia teringat akan pedang Cheng-hoa-kiam yang dahulu dirampas oleh Thian Te Cu dari tangan Bu-ceng Tok-ong. Timbul harapannya untuk mencari pedang itu. Siapa tahu berada di antara peti-peti itu. Kun Hong bukan seorang pencuri, akan tetapi sekarang terpaksa ia membuka-bukai peti orang lain. Hatinya berdebar dan tangannya sedikit gemetar, Ia melihat pakaian-pakaian orang, pakaian sederhana, tapi tidak melihat pedang. Ia membuka peti ke dua dan seterusnya. Isinya selain pakaian, hanya perabot-perabot dapur dan makan. Ia tiba pada peti terakhir, peti kecil panjang yang terletak di sudut, dekat pintu. Tepat di atas peti itu terdapat lubang pada dinding dari mana Sun Tek mengintai. Tentu saja ia menyelinap pergi ketika mendengar orang di dalam ruangan itu mendekati lubang, dan mengintai lagi dengan hati-hati.
Kun Hong membuka peti, bergerit bunyi tutup peti dibuka saking sudah lama tidak pernah dibuka. Sinar putih berkilauan keluar dari peti itu. sinar pedang Cheng-hoa-kiam yang tidak bersarung. Kun Hong mengeluarkan seruan girang. Ia tidak tahu apakah pedang ini betul Cheng-hoa-kiam, akan tetapi tak dapat disangkal lagi sebuah pedang pusaka yang amat baik. Pada saat itu ia mendengar suara angin menyambar, suara yang datangnya dari pintu. Ia menengok dan matanya masih melihat bayangan berkelebat. Akan tetapi ia tidak yakin apakah betul ia melihat bayangan orang tadi lewat di pintu. Kalau betul orang mengapa tidak terdengar tindakan kakinya dan bayangan itu majunya demikian lambat mengapa tidak kelihatan orangnya? Memang betul bentuknya seperti sosok tubuh manusia, akan tetapi mana ada manusia bisa terbang dan menghilang? Bergidik juga pemuda gagah ini dan bulu tengkuknya berdiri.
Ia mempunyai bermacam dugaan. Entah matanya yang melihat bayangan karena memikirkan yang bukan-bukan, entah betul telah melihat setan di siang hari atau....... melihat bayangan manusia yang luar biasa saktinya. Saking tercengang dan kaget, ia sampai tidak melihat orang lain yang berdiri tepat di depannya, hanya terpisah tembok batu, orang yang kepalanya melongok dari balik lubang di depannya. Perhatiannya sudah seluruhnya habis ditujukan kepada bayangan aneh di pintu tadi maka Kun Hong tidak memperhatikan lubang di atas kepalanya. Kalau ia melihat wajah yang berjenggot lebat, sepasang mata yang melotot di depannya itu, tentu ia akan menjadi kaget sekali. Akan tetapi wajah itu hanya sebentar saja mengintai, kemudian lenyap.
Kun Hong tidak segera mengambil pedang. Ia berlaku hati-hati, maklum bahwa pedang pusaka tidak digeletakkan begitu saja. Kalau tidak ada orang menjaganya, tentu ada rahasianya. Ketika ia mengamat-amati, alangkah girang hatinya melihat gagang pedang itu ada ukiran dua huruf kecil "Cheng Hoa". Tak salah lagi, inilah Cheng-hoa-kiam yang dimaksudkan oleh suhunya. Inilah pedang pusaka yang harus ia rampas. Alangkah mudahnya, tinggal mengambil saja! Akan tetapi belum juga tangannya menjamah pedang, terdengar bentakan keras.
"Maling rendah! Kau hendak mencuri apa?"
Kun Hong kaget sekali, apa lagi ketika orang itu menggerakkan tangan mencengkeram ke pundaknya dengan tenaga dahsyat sampai mendatangkan angin, ia cepat melompat ke samping dan terus kabur! Kun Hong bukan seorang penakut, akan tetapi ia bukan pencuri dan sekarang ia kepergok sedang hendak melakukan pencurian, ia menjadi malu sekali dan tidak mau melayani orang. Lebih baik lekas-lekas kabur sebelum orang mengenalnya. Alangkah malunya kalau kelak ia disohorkan sebagai seorang pencuri! Kun Hong memang dididik oleh dua orang manusia iblis yang tidak segan-segan membunuh orang, menyiksa orang atau mencurangi orang, akan tetapi mencuri? Ini adalah perbuatan rendah yang manusia-manusia macam Bu-ceng Tok-ong dan Tok-sim Sian-li sekalipun tidak sudi melakukannya!
Mereka mau merampas, mau merampok, akan tetapi tidak sudi mencuri. Mempergunakan kesempatan selagi orang tidak ada atau tidur untuk mengambil barangnya, inilah perbuatan pengecut dan tak tahu malu. Sebaliknya, merampas atau merampok dilakukan mengandalkan kepandaian, setelah lebih dulu mengalahkan pemiliknya, inilah perbuatan yang termasuk perbuatan gagah. Demikian jalan pikiran orang-orang macam mereka. Sudah tentu saja jalan pikiran yang dipengaruhi oleh hukum rimba, hukum liar yang menentukan bahwa siapa kuat dia berkuasa. Sudah tentu saja jalan pikiran macam ini tidak betul, karena mencuri, menyopet, merampas atau merampok bagi seorang manusia sama buruknya, sama jahatnya karena mengambil hak milik orang.
"Maling busuk, kau hendak lari ke mana"
Bentak Kwee Sun Tek yang cepat mengejar. Biarpun kedua matanya sudah buta. namun Sun Tek dapat bergerak cepat sekali dan pendengarannya yang tajam dapat membuat ia tahu ke mana larinya maling itu. Dia sudah tinggal di puncak ini selama sepuluh tahun lebih, biarpun ia buta, namun ia sudah hafal benar akan keadaan di situ dan dapat bergerak leluasa sekali tanpa dibantu tongkat. Tentu saja kalau ia pergi ke tempat lain, atau turun dari puncak, ia takkan dapat bergerak secepat itu. harus berhati-hati agar' jangan terjeblos ke dalam jurang.
Kun Hong makin bingung. Ternyata pengejarnya itu cepat sekali gerakannya. Untuk melawan, ia merasa malu karena ia telah melakukan perbuatan mencuri. Di depannya terdapat batu-batu gunung yang besar dan cepat ia menyelinap dan bersembunyi di balik sebuah batu besar.
Aneh! Orang yang mengejarnya tiba-tiba berhenti di dekat batu itu, mengerutkan kening dan miringkan kepala, berdiri tegak tidak bergerak sedikitpun. Matanya tetap melotot memandang ke depan tanpa sinar, hanya telinga kiri yang dipasang ke arah depan. Melihat hal ini. Kun Hong terheran-heran. Sekarang ia mulai mengenal muka ini. Benar, tak salah lagi. Inilah Kwee Sun Tek yang dulu pernah membawa Thio Wi Liong ke puncak Kun-lun-san! Akan tetapi mengapa agaknya orang ini menjadi buta? Memang dulu Kun Hong tidak tahu bahwa Sun Tek yang matanya melotot itu sebetulnya telah buta. Ia telah dibawa pergi Tok-sim Sian-li dari puncak ketika orang-orang lain mendapat kenyataan tentang kebutaan Sun Tek.
Melihat bahwa orang yang mengejarnya adalah Kwee Sun Tek paman dari Thio Wi Liong dan orangnya buta lagi, lenyap rasa malu di hati Kun Hong. Kalau pengejarnya buta, ia takut apa? Malah ia bisa mempermainkannya, pikir pemuda nakal ini. Perlahan ia keluar dari tempat sembunyinya, akan tetapi betapapun perlahan gerakannya, masih terdengar oleh Kwee Sun Tek yang cepat melompat mendekat dan membentak.
"Maling cilik, kau hendak lari ke mana?"
"Orang tua, aku tidak lari karena takut, hanya aku tidak tega melawan seorang buta,"
Jawab Kun Hong penuh ejekan.
"Setan keparat! Apa kau tidak tahu bahwa kau telah datang di tempat kediaman Thian Te Cu Lo-siansu? Mengapa kau berani berlaku kurang ajar? Siapakah kau?"
"Aku tidak kurang ajar. Memang aku datang hendak mengambil Cheng-hoa-kiam. Akan tetapi bukankah pedang itu dahulu juga dapat orang merampas dari tangan orang lain? Sekarang giliranku untuk memilikinya. Mau tahu aku siapa? Cari saja di kota Poan-kun, keluarga Kwa......"
Memang Kun Hong sengaja mempermainkan. Dalam menghadapi Kwee Sun Tek itu ia teringat akan pengalamannya di dalam hutan dekat kota Poan-kun ketika ia dikeroyok anjing-anjing kepunyaan Ciok Kim Li gadis manis itu. la teringat ketika Ciok Sam, ayah gadis itu yang kemudian dibunuhnya, marah- marah dan menyatakan bahwa anjing-anjing itu didapat dari Kwa-lo-eng-hiong di Poan-kun. Maka nama inilah ia pergunakan untuk mempermainkan Kwee Sun Tek. Tidak nyana sama sekali bahwa Kwee Sun Tek kelihatan terkejut mendengar nama ini.
"Apa kau bilang? Kau maksudkan Siang-jiu Lo-thian Kwa Cun Ek yang tinggal di Poan-kun?"
Tentu saja Kun Hong melengak. Ia tidak mengenal siapa itu Siang-jiu Lo-thian Kwa Cun Ek, juga tadi nama keluarga Kwa di Poan-kun ia bawa-bawa secara ngawur saja. Akan tetapi sudah kepalang membohong, sambil tertawa ia berkata.
"Tentu saja, mana ada orang she Kwa lainnya?"
Kwee Sun Tek kelihaian bingung dan terheran-heran.
"Kau......... kau apanya?"
Kun Hong memang seorang yang berwatak nakal, suka mempermainkan orang dan suka melihat orang menderita. Kini menghadapi Kwee Sun Tek yang buta, ia ingin mempermainkan kakek ini, maka ditanya begitu ia menjawab makin melantur lagi.
"Aku? Ah, aku mantunya!"
Sungguh sama sekali tidak dinyana oleh Kun Hong bahwa jawabannya ini membuat Sun Tek tiba-tiba menjadi pucat mukanya.
"Ucapan apa ini?! Kau mau bilang bahwa kau suami Kwa Siok Lan......?"
Untuk kedua kalinya Kun Hong tercengang. Bagaimana ada hal yang begitu kebetulan? Dia tadi, ngawur saja mengaku mantu dari orang bernama Kwa Cun Ek tanpa mengetahui apakah orang she Kwa itu punya anak perempuan ataukah tidak. Dan ternyata orang itu betul-betul punya anak perempuan yang agaknya bernama Kwa Siok Lan!
Sambil menahan ketawanya, pemuda nakal itu menjawab.
"Tentu saja!"
"Kau bohong! Penipu!!"
Kwee Sun Tek membentak sambil menyerang hebat dengan pukulan tangan kiri, disusul cengkeraman tangan kanan. Serangan ini dahsyat sekali dan tenaga lweekang dari Kwee Sun Tek tak boleh disamakan dengan dahulu sebelum ia menerima petunjuk dari Thian Te Cu. Kun Hong sampai menjadi kaget sekali dan cepat-cepat ia melompat mundur untuk menyelamatkan diri dari pukulan dan cengkeraman berbahaya itu.
"Nanti dulu!"
Ia berseru, masih belum hilang kagetnya menyaksikan penyerangan demikian hebatnya dari kakek ini.
"Bagaimana kau bisa bilang aku pembohong dan penipu?"
"Kwa Siok Lan itu tunangan keponakanku Wi Liong, dia masih gadis mana bisa kau bilang bahwa kau suaminya?"
Bentak Kwee Sun Tek.
Memang hal ini betul. Kwa Cun Ek pernah datang mengunjungi Thian Te Cu di Wuyi-san untuk sekedar menyampaikan hormat dan kagumnya kepada tokoh besar ini. Dia bertemu dengan Kwee Sun Tek dan juga melihat Wi Liong. Timbul rasa sukanya melihat pemuda itu, apa lagi melihat bahwa Wi Liong adalah murid Thian Te Cu. Ia lalu berunding dengan Kwee Sun Tek, mengusulkan perjodohan antara puteri tunggalnya, Kwa Siok Lan dengan Wi Liong. Tadinya Kwee Sun Tek belum dapat mengambil keputusan, akan tetapi Thian Te Cu menyatakan bahwa memang Wi Liong berjodoh dengan puteri Siang-jiu Lo-thian Kwa Cun Ek ini, maka ikatan jodoh diikatlah. Ketika itu Wi Liong baru berusia tigabelas tahun dan sampai dewasa anak ini belum pernah bertemu muka dengan gadis yang menjadi tunangannya, sungguhpun ia telah tahu hahwa tunangannya bernama Kwa Siok Lan, puteri dari tokoh besar di dunia kang-ouw yang berjuluk Siang-jiu Lo-thian (Sepasang Kepalan Mengacau Langit).
Keterangan Lu tentu saja membuat Kun Hong kaget sekali juga girang karena ia mendapat kesempatan mempermainkan paman dari Wi Liong ini, bahkan dapat mengacaukan urusan perjodohan Thio Wi Liong, orang yang ia benci semenjak mereka saling bertemu sepuluh tahun yang lalu.
"Aku dan nona Kwa belum menikah, akan tetapi sudah saling mencinta dan berjanji kelak akan menikah. Apakah itu tidak sama halnya dengan ikatan perjodohan?"
Ejeknya dan pemuda yang curang ini tiba-tiba mengirim pukulan ke arah dada Kwee Sun Tek.
"Bukkk!!"
Pukulan itu tepat mengenai dada orang buta itu. Hal ini tidak mengherankan karena ketika mendengar ucapan Kun Hong. Kwee Sun Tek menjadi demikian kaget, heran dan marah sampai ia berdiri melenggong, perhatiannya terpecah dan ketajaman telinganya terganggu.
Tentu saja ia tidak dapat melihat datangnya pukulan yang tepat mengenai dadanya. Pukulan itu hebat bukan.main. Pukulan Toat-sim-ciang (Pukulan Tangan Pencabut Hati) warisan Tok-sim Sian li yang amat hebat, selain mengandung tenaga lweekang juga mengandung hawa beracun. Orang biasa takkan sanggup menahan dan akan tewas seketika kalau terkena pukulan ini. Akan tetapi tubuh Kwee Sun Tek sudah memiliki kekuatan sinkang yang tangguh. Apa lagi karena matanya huta, ia selalu melindungi tubuhnya dengan aliran sinkang untuk menjaga serangan gelap. Terkena pukulan hebat itu ia terjengkang dan roboh bergulingan: Dadanya terasa sakit, akan tetapi tidak mengganggu pernapasannya, berarti ia tidak menderita luka terlalu hebat. Sekali berpoksai (bersalto) ia sudah berdiri lagi!
Kun Hong tercengang. Pukulannya tadi hebat sekali dan kakek ini ternyata hanya terguling saja dan dapat segera bangun kembali. Dari kenyataan ini saja sudah jelas bahwa ia tidak akan dapat menangkan kakek aneh ini maka ia cepat lari, mengambil jalan memutar dan...... kembali ke rumah batu untuk mengambil pedang Cheng hoa kiam! Ia sengaja lari dulu turun dari puncak, ketika melihat kakek itu mengejar ia menyelinap dan memutar kemudian lari naik lagi sebelum Kwee Sun Tek maklum akan siasatnya.
Dengan mudah ia mendaki puncak dan memasuki rumah batu, langsung menuju ke ruangan belakang di mana pedang Cheng-hoa-kiam tersimpan. Akan tetapi matanya terbelalak kaget ketika ia melihat bahwa peti tempat pedang itu terbuka, sedangkan pedang itu sendiri telah lenyap!
"Celaka.........!"
Ia berseru dan membanting kaki. Ia telah didahului oleh orang lain. Tiba-tiba ia teringat akan bayangan aneh yang ia lihat sekelebatan ketika ia pertama kali datang di tempat itu. Cepat ia melompat melalui pintu dan mencari ke seluruh isi rumah. Namun hasilnya sia-sia belaka. Ia tidak melihat seorangpun manusia.
"Kwee Sun Tek manusia celaka!"
Ia memaki marah.
"Kalau tidak karena dia. tentu pedang itu sudah kubawa tadi!"
Kun Hong menjadi marah sekali dan kemarahan ini memuncak ketika ia melihat kedatangan Kwee Sun Tek dari jauh. Ia tidak perduli lagi akan kelihaian orang tua itu yang tadi sudah ia rasai, saking marahnya ia malah lari memapaki orang tua itu sambil berseru.
"Manusia celaka, karena kau pedang yang hendak kubawa telah hilang!"
Kwee Sun Tek berhenti dan terkejut.
"Hilang? Kalau bukan kau maling kecil yang mengambil, siapa lagi?"
Bentaknya.
"Setan! Kalau aku yang ambil tak perlu aku berdiam lebih lama di sini!"
Kun Hong marah sekali dan menyerang dengan hebat. Karena usahanya untuk merampas pedang dan mencoba kepandaian Wi Liong gagal, ia menumpahkan kemarahannya kepada Kwee Sun Tek.
Sementara itu, Sun Tek heran sekali. Kalau pemuda ini betul mantu atau masih ada hubungan dengan Kwa Cun Ek, tak mungkin macam ini orangnya. Dan pemuda yang datang hendak mencuri pedang ini mengapa bilang pedangnya hilang dan marah-marah kepadanya? Benar-benar pemuda aneh sekali!
"Kau benar-benar manusia tak tahu diri! Kepandaianmu masih begini rendah berani naik ke Wuyi-san untuk berlagak. Jangan kaukira aku orang tua yang sudah lemah takut kepadamu!"
Jawab Sun Tek sambil menangkis dan dua orang ini bertempur dengan hebat.
Namun, baru duapuluh jurus lebih saja Kun Hong terpaksa harus mengakui kehebatan ilmu silat dan tenaga lawan. Setiap kali lengannya beradu dengan lengan lawan, ia merasa tulang-tulangnya sakit semua. Kalau dia tidak memiliki kegesitan yang ia warisi dari Tok-sim Sian-li, kiranya sukar baginya untuk masih dapat bertahan. Pukulan yang dilakukan oleh kedua tangan kakek itu menyambar-nyambar dahsyat. Kun Hong mulai terdesak hebat dan setelah lewat iimapuluh jurus, ia hanya dapat mengelak dan menangkis, main mundur saja. Sama sekali ia tidak diberi kesempatan untuk membalas. Hebat sekali kemajuan Kwee Sun Tek selama sepuiuh tahun ini. Dia telah menjadi seerang sakti yang tinggi sekali ilmunya.
Pendekar Super Sakti Karya Kho Ping Hoo Iblis Dan Bidadari Karya Kho Ping Hoo Memburu Iblis Karya Sriwidjono