Kilat Pedang Membela Cinta 10
Kilat Pedang Membela Cinta Karya Kho Ping Hoo Bagian 10
Darmini menentang pandang mata pemuda itu dengan sinar mata mencorong.
"Agaknya engkau bukan kanak-kanak lagi, adimas Panji Saroto, dan engkau telah mengetahuinya. Benar seperti kau katakan tadi. Kelirukah kecurigaanku kepadanya menurut pendapatmu?"
Panji Saroto mengangkat kedua pundaknya.
"Aku tidak tahu, Mbak-Ayu, dan aku tidak ingin mencampuri urusan itu. Memang sebaiknya kalau Mbak-Ayu bicara sendiri dengan Kakang-Mas Panji Sarono."
"Dimana adanya Empat Bajul itu?"
"Saya tidak tahu apakah mereka itu masih bersama Kakang-Mas Panji Sarono, akan tetapi hal itupun dapat kau tanyakan sendiri kepadanya?"
"Bagaimana aku dapat bertemu dengan Kakang-Mas Panji Sarono?"
"Dia jarang berada di rumah karena Kanjeng Rama selalu marah kepadanya. Dia mempunyai sebuah rumah dimana dia menyimpan selir-selirnya, diujung Kotaraja sebelah selatan. Rumahnya bercat kuning dan di depannya penuh dengan tanaman bunga mawar, terkenal di sana dengan nama Gedung Mawar."
"Hemm, kuharap saja keteranganmu ini benar, adimas Panji Saroto."
"Kenapa tidak benar? Aku tidak pernah membohong dan ini... nona ini apa hubungannya dengan urusan pribadinya. Mbak-Ayu Darmini? Kenapa ia ikut campur pula?"
"Ong Bi Kwi adalah adik kandung mendiang tunanganku Ong Cun, jadi ia bukan orang lain""
"Wah! Jauh-jauh dari negeri Cina datang untuk membalas dendam atas kematian Kakaknya?"
Panji Saroto berseru sambil memandang gadis Cinta itu dengan mata terbelalak.
"Kau pikir seorang pembunuh keji harus dibiarkan saja karena dia adalah Kakakmu sendiri?"
Bi Kwi balas mengejek. Panji Saroto menggeleng kepala dan menarik napas panjang.
"Bukan demikian maksudku, kalau memang dia bersalah, biar Kakak kandungku sendiri, dia patut menerima hukuman. Akan tetapi kalian berdua ini, wanita-wanita muda, kini telah berubah menjadi dua ekor singa betina yang haus darah. Betapa mengerikan!"
Mendengar ucapan adik misannya ini, Darmini teringat akan pesan gurun, Sang Panembahan Ganggamurti, maka iapun cepat menjawab,
"Kami bukan haus darah, bukan semata-mata hendak membalas dendam sakit hati, adimas, melainkan kami sebagai orang-orang yang menjungjung tinggi keadilan, tidak dapat membiarkan seorang pembunuh keji berkeliaran tanpa dihukum!"
Kembali Panji Saroto menarik napas panjang.
"Bunuh-membunuh, balas-membalas menurutkan amarah dan kebencian. Jagad Dewa Bathara... semoga para dewata mengampuni kita manusia yang lemah ini, hanya aku pesan kepadamu, Mbak-Ayu Darmini agar engkau tidak mabok dalam dendam, dan bertindak adil tidak sembarangan membunuh orang agar tidak sampai kesalahan tangan membunuh orang yang tidak berdosa."
"Aku hanya ingin menegakkan keadilan, bukan haus darah dan ingin membunuh orang, apa lagi orang tidak berdosa, adimas Panji Saroto,"
Jawab Darmini.
"Dan engkau, nona... siapa tadi namamu? Nona Bi Kwi, lain kali kalau engkau ingin memondong orang, tidak perlu pakai todong-todongan pedang segala!"
Kata Panji Saroto kepada Bi Kwi yang menjadi merah mukanya. Kalau saja ia tidak ingat bahwa pemuda itu adalah adik misan Darmini, tentu akan ditamparnya mulut yang mengejeknya itu. Panji Saroto lalu keluar dari gubuk dan kembali ke rumah orang tuanya. Setelah pemuda itu pergi, Darmini saling pandang dengan Bi Kwi dan gadis ini mengomel,
"Celaka, sungguh sial aku. Salah comot membuat aku menjadi bahan ejekan!"
Darmini tertawa kecil.
"Jangan murung, adikku. Bagaimanapun juga, keterangan Panji Saroto tadi amat penting. Sekarang juga kita pergi ke Gedung Mawar dan mencari Empat Bajul di sana."
Mereka memadamkan lentera dan meninggalkan gubuk. Di dalam perjalanan menuju ke ujung kota bagian selatan ini, Bi Kwi sempat bertanya,
"Aku merasa heran sekali, apakah yang bernama Panji Sarono itu juga seperti adiknya tadi?"
"Seperti adiknya bagaimana?"
"Dia tadi tidak kelihatan sebagai orang jahat!"
"Memang tidak sama. Panji Sarono adalah seorang pemuda mata keranjang yang sudah terkenal suka mengganggu dan merusak pagar ayu, mengejar wanita. Akan tetapi, nama Panji Saroto tidak pernah dibicarakan orang, dan agaknya dia orang yang baik dan dia"
Oh, ketika memandangmu tadi, agaknya dia amat suka dan kagum padamu, adikku!"
Wajah Bi Kwi menjadi merah dan jantungnya berdebar kencang.
"Ihh! Tertarik untuk mentertawakan dan mengejek? Heran, bagaimana dia dapat membebaskan diri sendiri dari pengaruh totokanku tadi?"
"Jangan pandang rendah padanya, Bi Kwi. Ayahnya adalah Uwa Empu Tanding yang memiliki aji kesaktian dan kabarnya Panji Saroto itu tidak kalah tangguhnya dibandingkan Kakaknya, Panji Sarono."
"Hemmm..."
Bi Kwi tidak melanjutkan kata-katanya, hanya diam-diam timbul keinginan hatinya untuk menguji sampai dimana ketangguhan Panji Saroto tadi.
Rumah itu tidak sebesar kelompok bangunan tempat tinggal Empu Tanding. Akan tetapi cukup besar untuk disebut sebagai gedung, Dan taman di depan rumah yang luas itu memang penuh dengan tanaman bunga mawar beraneka warna sehingga dari luar pagar tembok saja orang sudah dapat mencium bau mawar semerbak harum. Letak gedung itu agak terpencil, di ujung selatan. Para penjaga yang mengantuk karena malam sudah sangat larut, bahkan menjelang subuh berkumpul di dalam gardu penjagaan sehingga mudahlah bagi. Darmini dan Bi Kwi untuk melompati pagar tembok dan langsung saja mereka menyelinap di antara tihang-tihang, berindap-indap menghampiri ruangan dalam. Sunyi sekali di situ dan gelap karena penerangan hanya terdapat di ujung depan dan belakang sehingga ruangan terbuka yang mereka masuki itu nampak remang-remang. Selagi kedua orang gadis itu merasa ragu apakah rumah ini ada penghuninya ataukah kosong, tiba-tiba saja terdengar suara bergelak disusul suara parau,
"Ha-ha-ha, dua ekor kelinci berani memasuki sarang harimau, agaknya dua orang mata-mata muda ini sudah bosan hidup!"
Darmini dan Bi Kwi terkejut, akan tetapi tetap tenang dan waspada, dan mereka sudah berdiri saling membelakangi untuk menghindarkan serangan gelap dari belakang. Kini, nampak sinar terang bernyala-nyala dan muncullah sedikitnya dua puluh orang dan setengah jumlah mereka itu memegang obor di tangan kiri dan golok di tangan kanan sedangkan selebihnya juga sudah siap dengan senjata mereka yang bermacam-macam bentuknya. Mereka telah mengepung ruangan terbuka itu dan kini Darmini dan Bi Kwi maklum bahwa mereka telah memasuki perangkap, bahwa pihak lawan agaknya sudah tahu akan kedatangan mereka dan mempersiapkan diri.
Namun mereka tidak takut dan keduanya lalu bergerak memutar untuk mengamati semua orang itu, dengan tetap saling membelakangi. Mereka mencari-cari dengan pandang mata mereka, dan akhirnya Darmini melihat empat orang seperti yang digambarkan oleh Gagak Ireng kepadanya. Seorang tinggi besar dengan brewok hitam, memegang sebatang senjata kapak besar, disebelahnya seorang tinggi kurus yang mukanya putih penuh dengan panu, memegang sebatang arit panjang kemudian seorang yang tampan pesolek memegang golok di samping orang k empat yang bertubuh gendut pendek, mukanya buruk dan dia memegang sebatang lembing. Maka iapun berhenti bergerak menghadapi empat orang itu.
"Apakah kalian yang dijuluki Empat Bajul?"
Tanya Darmini, suaranya tenang namun matanya seperti menyambar-nyambar ke arah empat orang itu.
"Ha-ha-ha, sudah tahu Empat Bajul berada disini, kalian berdua tikus-tikus cilik berani sekali masuk! Kalian tentulah mata-mata pihak musuh yang berniat buruk. Menyerah sebelum kami bergerak menghancurkan kepala kalian!"
Bentuk Bajul Sengoro yang tinggi besar.
"Empat Bajul, kami datang karena urusan pribadi dengan kalian berempat! Kalau memang gagah, keluarlah dan kami tidak melibatkan orang-orang lain di sini!"
Kembali Darmini berkata dengan sikap gagah.
"Ha-ha, sudah masuk jangan harap dapat keluar dengan badan utuh! Percuma engkau menggunakan akal mencari jalan keluar, orang muda. Lekas berlutut dan menyerah!"
Kembali Bajul Sengoro menjawab sambil mengangkat kepaknya dengan sikap mengancam
"Hemmm, jangan harap kami berdua akan menyerah terhadap coro-coro macam kalian!"
Darmini membentak dan kini terdengar suara bentakan nyaring dan parau dari belakang orang-orang itu.
"Aummmm! Kiranya kalian dua orang gadis yang nekat itu!"
Dan muncullah orangnya yang bukan lain adalah Ki Empu Kebondanu yang memegang tongkat bambu gading yang ampuh itu. Dan agak jauh di belakangnya nampak seorang pria muda yang tampan, berkumis tipis dan matanya lincah, namun sikapnya sombong. Darmini juga segera mengenal orang itu yang bukan lain adalah Panji Sarono. Akan tetapi orang muda itu tidak mengenal Darmini yang berpakaian pria dan masih memandang bingung dan heran mendengar betapa Empu Kebondanu mengatakan bahwa dua orang pemuda yang dikepung oleh orang-orangnya itu adalah dua orang gadis.
"Kiranya Empu Kebondanu juga berada disini! Pantas mereka semua ini jahat dan kejam!"
Kata Darmini dengan marah melihat munculnya Kakek ini walaupun ia merasa heran pula.
Bukankah Kebondanu tadinya berada di rumah Wiratama pemimpin pemberontak Lumajang itu? Dan kenapa kini berada bersama Panji Sarono, padahal menurut keterangan Raden Gajah, Empu Tanding termasuk seorang yang setia kepada kerajaan? Apakah kini diam-diam diluar tahunya Raden Gajah, Empu Tanding sudah berubah dan berkhianat, ataukah hanya Panji Sarono saja yang memiliki langkah hidup yang berbeda dari Ayahnya dan menyimpang? Akan tetapi ia tidak sempat banyak bicara karena tiba-tiba saja terdengar bentakan nyaring yang dipimpin oleh Empat Bajul dan para pengepung itu telah menyerbu dan menyerang mereka! Darmini dan Bi Kwi maklum akan bahaya yang mengancam, maka hampir berbareng mereka menggerakkan tangan mencabut pedang mereka. Sinar pedang berkilat menyilaukan mata ketika pedang Lian-Hwa-Kiam dan Liong-Cu-Kiam dicabut dari sarungnya.
Dan lenyaplah bentuk kedua pedang itu ketika dua orang gadis perkasa itu memainkannya, karena telah berubah menjadi dua gulung sinar pedang yang menyambar-nyambar dan melindungi tubuh mereka dari serangan banyak senjata. Terdengar suara nyaring berkali-kali disusul teriakan beberapa orang pengeroyok yang senjatanya buntung begitu bertemu dengan kerasnya tertangkis dua gulungan sinar pedang itu. Empu Kebondanu yang masih merasa penasaran terhadap Darmini, kini menerjang dengan tongkat bambu gadingnya dan disambut oleh pedang Darmini. Mereka segera terlibat dalam perkelahian yang seru, sedang Bi Kwi kini dikeroyok oleh Empat Bajul. Anak buah yang lain hanya mengepung dan kadang-kadang saja mengerakkan senjata mengeroyok karena perkelahian itu amat cepat jalannya sehinga mereka bingung juga bagaimana dapat membantu kawan.
Empu Kebondanu kini mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua kepandaiannya, mendesak Darmini yang harus mengakui bahwa Kakek itu hebat bukan main. Serangannya dahsyat dan kejam sifatnya, dan tongkat bambu kuning itupun merupakan senjata ampuh yang mampu menahan pedangnya dengan pukulan dari samping, tidak langsung menyambut mata pedang. Yang hebat, dalam gerakan Kakek itu terkandung tenanga mujijat, bukan tenaga sewajarnya, bahkan dalam bentakannya yang seperti macan mengaum itu mengandung kekuatan yang akan mampu melumpuhkan atau setidaknya menggetarkan jantung mengecilkan nyali lawan. Namun, Darmini adalah murid dari Panembahan Ganggamurti yang sudah digembleng dan diisi dengan kekuatan batin yang tangguh.
Biarpun demikian, karena ia hanya selama lima tahun menjadi murid di puncak Bromo, menghadapi seorang Kakek yang sudah matang ilmunya seperti Empu Kebondanu, Darmini mulai terdesak. Ia kalah pengalaman, juga kalah matang gerakan-gerakannya disamping kalah banyak perkembangan gerakannya. Apa lagi Kakek itu memiliki banyak sekali ilmu-ilmu pukulan yang curang dan tidak disangka-sangka. Hanya karena ia memiliki sebatang pedang ampuh saja Darmini masih dapat bertahan, dengan lindungan kilatan sinar pedang yang diputar cepat. Bi Kwi juga mulai terdesak karena selain Empat Bajul itu merupakan ahli-ahli dalam perkelahian, juga mereka itu buas dan memiliki tenaga kuat sekali, apalagi masih dibantu kadang-kadang oleh anak buah yang mengepung. Gadis ini melawan dengan penuh semangat.
Empat orang itu adalah orang-orang yang diduga keras menjadi pembunuh Kakak kandungnya, maka iapun mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk melawan, tidak segan-segan kalau perlu merobohkan dan membunuh mereka karena ia maklum bahwa kalau ia kalah, ia akan menebusnya dengan nyawa pula. Sudah ada tiga orang anak buah yang ikut mengeroyok roboh oleh pedangnya. Perkelahian antara Ki Empu Kebondanu dan Darmini berlangsung semakin seru, dan kini Darmini sudah benar-benar terdesak, bahkan pernah satu kali paha kirinya terkena pukulan tongkat bambu kuning. Tidak sampai terluka memang, namun terasa nyeri sekali sehingga permainan pedangnya agak mengendur. Hal ini dapat dilihat oleh Empu Kebondanu yang mentertawakannya dan membujuk agar mau menyerah saja.
"Heh-heh-heh, percuma saja engkau melawan. Lebih baik menyerah tanpa terluka, daripada terancam maut di ujung tongkatku, heh-heh!"
(Lanjut ke Jilid 08)
Kilat Pedang Membelah Cinta (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 08
Akan tetapi Darmini menyambut bujukan ini dengan babatan pedangnya ke arah pinggang Kakek itu. Gerakannya cepat dan kuat sekali, sehingga Kakek itu tidak sempat mengelak, hanya dapat menangkis dengan tongkatnya.
"Tranggg...!"
Keduanya meloncat ke belakang karena lengan mereka yang memegang senjata tergetar hebat oleh pertemuan dua senjata itu. Darmini yang masih merasa kenyerian pahanya agak terhuyung. Keringat sudah membasahi leher wanita ini, namun ia sama sekali tidak merasa gentar dan sudah siap lagi dengan pedang melintang di depan dada ketika saat itu dipergunakan oleh dua orang anak buah yang menyerang secara tiba-tiba dari belakang. Darmini merasakan adanya angin menyambar dari belakang, maka iapun cepat membalikkan tubuh, pedangnya mengeluarkan kilat dan dua orang itupun menjerit, seorang di antara mereka buntung lenganya, dan seorang lagi terluka pundaknya!
"Perempuan nekat!"
Bentak Empu Kebondanu marah dan tongkatnya diputar sambil mendesak ke depan. Kembali Darmini membalik dan menghadapi serangan ini dengan pedangnya, akan tetapi karena baru saja ia menghadapi dua orang dan serangan Kakek itu amat cepat, ia tidak dapat menghindarkan diri ketika kaki kiri Empu Kebondanu menendang, menyerempet pinggangnya dan membuat tubuhnya terjengkang ke belakang! Namun Darmini bergulingan dan meloncat bangkit kembali sehingga ia dapat menangkis dengan tepat ketika melihat ujung tongkat kuning itu menyambar dan meluncur ke arah tenggorokannya.
"Trang...!"
Kembali keduanya mundur selangkah dan pada saat itu nampak berkelebat bayangan putih.
"Diajeng, jangan takut, aku membantumu!"
"Kakang-Mas Sridenta...!"
Darmini berseru girang sekali melihat pemuda berpakaian putih itu tahu-tahu telah berada disitu dan menyambut terjangan empat anak buah yang segera mengeroyoknya begitu melihat munculnya pemuda berpakaian putih ini. Biarpun ia hanya bertangan kosong saja, namun Sridenta menyambut serangan-serangan itu dengan tenang dan dua batang golok runtuh oleh sabetan kedua tangannya, sedangkan dua orang yang lain roboh karena lutut mereka tercium ujung kaki Sridenta yang menendang dengan gerakan amat cepatnya. Melihat munculnya pemuda berpakaian putih ini, Empu Kebondanu menjadi kaget dan marah. Sambil menggereng dia meloncat ke depan Sridenta, menudingkan tongkatnya ke arah muka pemuda itu dan membentak dengan suaranya parau dan kasar,
"Sridenta! Ini bukan urusanmu dan tidak ada sangkut pautnya dengan dirimu. Berani engkau mencampuri dan menghinaku?"
Dengan sikap tenang dan mulut tersenyum penuh kesabaran, Sridenta menghadapi Kakek itu menjawab,
"Paman Empu, bagaimana saya dapat tinggal diam saja melihat seorang adik seperguruan terancam bahaya?"
"Babo-babo! Jadi gadis ini menjadi murid Ganggamurti?"
Tanya Empu Kebondanu marah.
"Benar, Paman,"
Jawab Sridenta tenang.
"Karena itu, saya mengharap dengan hormat agar Paman mengalah dan mundur, tidak mencampuri urusannya."
"Bocah sombong! Kau kira aku takut kepadamu?"
Bentak Kakek itu.
"Uwa Empu, biar aku yang menghadapi bocah ini!"
Tiba-tiba terdengar bentakan Panji Sarono dan diapun sudah menerjang dengan kerisnya, menusuk ke arah perut Sridenta. Tentu saja Sridenta cepat mengelak karena diapun maklum bahwa keris yang dipergunakan oleh lawannya itu bukan keris sembarangan saja, melainkan sebuah keris pusaka yang ampuh. Dan memang sesungguhnya demikian. Keris di tangan Panji Sarono itu adalah keris yang bernama Kyai Crubuk, keris ber-luk tujuh dan berbahaya sekali karena mengandung racun warangan yang sudah meresap ke dalam pamor keris itu. Akan tetapi, begitu tusukannya meleset dan luput, tangan kiri Panji Sarono menyambar dan mencengkeram ke arah muka Sridenta. Sekali ini Sridenta mengangkat tangan kanan menangkis.
"Dukkk!"
Panji Sarono terdorong ke belakang, sedangkan Sridenta juga terkejut karena ternyata lawan juga amat kuat. Akan tetapi yang membuat dia lebih kaget lagi adalah karena dia teringat akan gerakan orang yang menyerangnya ini.
Pernah dia bertanding dengan orang ini, hal itu dia yakin benar, hanya dia lupa lagi entah kapan dan dimana. Namun, Panji Sarono tidak memberi banyak kesempatan baginya untuk berpikir, karena sudah menerjang lagi secara bertubi-tubi dengan kerisnya. Kalau Panji Sarono maju menghadapi Sridenta, adalah karena dia belum tahu siapa pemuda ini dan sama sekali tidak pernah menyangka bahwa kepandaian Sridenta jauh lebih tinggi dibandingkan Darmini, dan tadi dia sudah melihat betapa Empu Kebondanu hampir dapat mengalahkan Darmini, maka kini ingin membiarkan Empu Kebondanu lebih dahulu mengalahkan Darmini, baru dapat membantunya menghadapi pemuda berpakaian putih itu. Empu Kebondanu kembali menyerang dengan tongkat bambu gadingnya, dan Darmini menyambutnya dengan pedang ditangan.
Kini semangat Darmini bangkit serentak terdorong oleh perasaan gembira yang tiba-tiba muncul begitu dia melihat Sridenta! Diluar kesadarannya sendiri, sebenarnya ia telah lama merindukan pemuda ini, maka begitu bertemu, terdapat kegembiaraan yang meluap-luap. Juga hatinya menjadi besar karena kini ia mendapatkan bantuan Kakak seperguruannya itu yang ia tahu memiliki kesaktian yang jauh melebihi kepandaiannya sendiri. Bi Kwi sendiripun masih mengamuk, dikeroyok oleh Empat Bajul yang dibantu oleh para pengawal dan kini ia dikepung semakin rapat, didesak oleh hujan senjata yang selalu mental kembali terhalang oleh gulungan sinar pedangnya. Akan tetapi, gadis perkasa inipun sudah merasa lelah. Selagi perkelahian itu makin memuncak, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring,
"Semua berhenti berkelahi! Sarono, apa yang kau lakukan ini?"
Panji Sarono terkejut bukan main mendengar suara Ayahnya! Dia meloncat ke belakang meninggalkan Sridenta dan ketika membalikkan tubuhnya, dia melihat Ayahnya. Emput Tanding, telah berdiri disitu dan disebelah orang tua ini berdiri Panji Saroto, adiknya dan dibelakang mereka terdapat pasukan perajurit yang sudah mengepung tempat itu. Empu Kebondanu juga menghentikan serangannya terhadap Darmini yang segera meloncat ke dekat Bi Kwi untuk membantu gadis itu.
Akan tetapi, Empat Bajul yang mengetahui bahwa Ayah majikan mereka telah datang, tidak berani membantah bentakan tadi dan kini merekapun sudah mundur. Sridenta lalu menghampiri Darmini dan Bi Kwi, berdiri di dekat gadis-gadis itu, siap untuk melindungi mereka. Akan tetapi dua orang gadis itu, melihat betapa pihak lawan tidak lagi menyerang, sudah menyimpan kembali pedang mereka ke dalam sarung pedang, dan Darmini memandang kepada Empu Tanding, Kakak misan Ibunya itu, dengan sinar mata tajam dan tenang, sedikitpun tidak merasa takut. Empu Tanding juga berdiri tegak, memandang kepada mereka yang tadi berkelahi, satu demi satu sampai akhirnya pandang matanya bertemu dengan pandang mata Empu Kebondanu. Muka Empu Tanding menjadi kemerahan dan alisnya berkerut.
"Kakang Empu Kebondanu,"
Katanya dengan suara membayangkan kemarahan hatinya, Kiranya andika telah berada disini. Sungguh aneh, kenapa kalau berkunjung tidak langsung berkunjung ke rumah kami, akan tetapi berada disini bersama puteraku Sarono?"
Empu Kebondanu nampak gugup mendengar teguran ini. Empu Tanding adalah seorang adik seperguruannya, bahkan pernah diajarkannya ilmu kepada adik seperguruan itu sehingga biarpun usia mereka hanya berselisih beberapa tahun, Empu Tanding boleh juga dibilang muridnya. Akan tetapi, selama beberapa tahun ini tidak pernah mereka sejalan. Bahkan kinipun, kalau dia memenuhi panggilan Raden Wiratama untuk membantu gerakan mereka, sebaliknya dia tahu bahwa Empu Tanding adalah seorang hamba Kerajaan Majapahit yang setia. Maka diapun mendekati Panji Sarono yang sudah lama mempunyai hubungan dengannya, bahkan diam-diam Panji Sarono berlatih ilmu kedigdayaan kepadanya.
"Aku memang melancong ke Kotaraja dan... eh, karena kangen aku berkunjung kepada puteramu Panji Sarono, maksudku"
Eh, besuk atau lusa baru aku akan berkunjung padamu, adikku Empu Tanding."
Memang Empu Tanding merupakan seorang hamba yang setia dari Majapahit, bahkan dia menjadi pembantu Senopati Raden Gajah dalam menghadapi gerakan para pemberontak Lumajang dan para pemberontak lainnya, oleh karena itu, melalui para penyelidiknya, diapun sudah mendengar bahwa Kakak seperguruannya yang memang mempunyai watak yang buruk dan mudah menyeleweng walaupun menjadi Pertapa ini telah dapat dibujuk oleh Raden Wiratama untuk datang ke Majapahit. Inilah sebabnya mengapa dia menjadi tidak senang begitu melihat Kakek Pertapa itu.
"Sudahlah, Kakang Empu Kebondanu, kuharap agar Kakang tidak mencampuri urusan anak anak ini, karena ini merupakan urusan keluarga antara puteraku Panji Sarono dan keponakanku Nini Darmini. Biarlah lain hari saja kita mengadakan pertemuan dan bercakap-cakap."
Ucapan ini merupakan pengusiran halus, dan memang Empu Kebondanu sudah merasa canggung sejak tadi. Tak disangkanya bahwa dia akan bertemu dengan Empu Tanding di situ. Dia menerima tugas dari Raden Wiratama untuk menghubungi Panji Sarono yang menjadi murid dan juga murid keponakan itu untuk menarik pemuda itu dan anak buahnya menjadi sekutu, karena untuk membujuk Empu Tanding sungguh tidak mungkin. Kalau Panji Sarono dapat dibujuk dan bersekutu, tentu akan berguna sekali karena pemuda itu akan dapat menjadi mata-mata untuk menyelidiki rencana dan keadaan pihak musuh. Tak di sangkanya, ketika dia berada disitu, terjadi keributan dengan serbuan Darmini dan Bi Kwi sehingga dia terpaksa turun tangan membantu Panji Sarono dan kini dia berhadapan dengan Empu Tanding!
"Baiklah, adi empu, aku pergi saja, tidak mau mencampuri urusan kanak-kanak, dan urusan keluarga."
Kakek itu lalu pergi tersaruk-saruk menyeret tongkatnya, keluar dari rumah itu dan para pengawal yang datang bersama Empu Tanding memberi jalan kepadanya. Setelah Kakek itu pergi, Empu Tanding memandang puteranya yang nampak gelisah. Kakek ini tadi sudah menerima pelaporan Panji Saroto tentang kemunculan Darmini dan Ong Bi Kwi yang menyelidiki rahasia pembunuhan atas diri Ong Cun lima tahun yang lalu, dan mereka itu agaknya mencurigai Panji Sarono dan Empat Bajul.
"Menurut keterangan Mbak-Ayu Darmini, mungkin pembunuhnya adalah Empat Bajul atas suruhan Kakang-Mas Panji Sarono,"
Demikian Panji Saroto mengakhiri laporannya. Hal ini membuat Empu Tanding merasa tidak enak sekali dan diapun mengikuti putera bungsunya untuk mencari putera sulungnya itu, sambil membawa sepasukan perajurit.
"Panji Sarono, urusan ini harus kita selesaikan sekarang juga. Suruh semua anak buahmu, kecuali Empat Bajul keluar dari ruangan ini!"
Terdengar suara Empu Tanding, keren. Panji Sarono tidak berani membantah dan dengan isyarat tangan dia menyuruh semua anak buahnya keluar sambil membawa mereka yang terluka dalam pertempuran tadi. Empat Bajul, empat orang pembantu utamanya, merasa tidak enak dan hendak pergi, namun ditahan oleh Panji Sarono yang juga membutuhkan kehadiran mereka untuk dijadikan kawan dan pelindung pula.
Setelah di pihak Panji Sarono tinggal dia dan Empat Bajul, kini Empu Tanding juga memberi isyarat kepada semua perajurit untuk keluar dan menanti dipekarangan luar, dan hanya dia dan Panji Saroto yang tinggal. Kemudian dia memandang kepada Darmini, Bi Kwi, dan Sridenta yang masih berdiri dengan sikap tenang disitu. Kalau saja belum diberitahu bahwa Darmini berada disitu menyamar sebagai seorang pria, agaknya tidak mudah bagi Empu Tanding untuk mengenal pemuda berpakaian serba putih itu sebagai keponakannya. Dia memandang penuh perhatian dan diam-diam merasa kagum. Lenyaplah sifat kelembutan dan kelemahan seorang wanita dan dia melihat seorang wanita yang seperti Srikandi, demikian gagah, berani dan tenang, dengan sepasang mata yang mencorong penuh semangat.
"Jagat Dewa Bathara...! Hampir aku tidak dapat mengenalmu, Darmini. Aku hanya mendengar bahwa lima tahun yang lalu engkau menghilang dan kini tahu-tahu muncul sebagai seorang wanita perkasa dan bahkan memusuhi anakku sendiri!"
Darmini cepat memberi hormat dengan sembah kepada Empu Tanding.
"Harap Uwa Empu sudi memberi maaf kepada saya. Terpaksa sekali saya melakukan hal ini demi menuntut keadilan atas kematian Ong Cun tunangan saya itu."
"Hemmm..., engkau sungguh seorang wanita sejati, seorang wanita yang setia. Baiklah, kita urus hal itu. Akan tetapi nanti dulu, siapakah mereka ini? Aku tidak ingin orang luar untuk mencampuri urusan keluarga. Engkau tahu sendiri, betapa aku menyuruh pergi Kakak Empu Kebondanu dan semua orang lainnya."
Darmini menunjuk kepada Bi Kwi.
"Uwa Empu, ia bernama Ong Bi Kwi, adik kandung dari mendiang Ong Cun. Jauh-jauh gadis ini datang dari negerinya untuk mencari siapa pembunuh Kakak kandungnya."
Empu Tanding megerutkan alisnya dan mengangguk-angguk, memandang kagum. Bukan main! Seorang gadis demikian keras hatinya, bulat tekatnya, melakukan pelayaran sedemikian jauhnya untuk mencari pembunuh Kakak kandungnya. Dia memandang kepada dua orang gadis itu bergantian, penuh kagum. Sukar ditemukan dua orang gadis seperti mereka ini, seperti Srikandi dan Larasati dalam cerita wayang, dua orang di antara isteri-isteri Raden Harjuna yang dikenal sebagai wanita-wanita perkasa!
"Dan andika ini, siapakah?"
Empu Tanding kemudian menghadapi Sridenta, tidak senang karena ketika tiba tadi, dia melihat pemuda ini berkelahi melawan Panji Sarono. Sridenta cepat memberi hormat kepada Empu Tanding.
"Paman Empu tidak mengenal saya karena memang tidak pernah bertemu, akan tetapi tentu Paman mengenal baik Ayah saya yaitu mendiang pangeran Arya Cakra..."
"Jagad Dewa Bathara...!"
Ki Empu Tanding berseru kaget dan wajahnya berubah, berseri dan kagum memandang pemuda berpakaian putih itu.
"Kiranya andika putera beliau""
Tentu saja dia mengenal mendiang Pangeran Arya Cakra, seorang pangeran yang bijaksana dan disayang oleh semua kawula dan pamong praja di Majapahit.
"Benar, Paman Empu Tanding, dan selain itu, saya juga Kakak seperguruan dari Diajeng Darmini. Kami berdua adalah murid Eyang Panembahan Ganggamurti. Saya tidak mencampuri urusan pribadi Diajeng Darmini, akan tetapi tadi melihat ia dikeroyok dan terancam bahaya, terpaksa saya turun tangan melindungi dan membelanya."
Empu Tanding merasa tidak enak hati kalau mengusir Sridenta, apa lagi kalau diingat bahwa pihak Darmini hanya ada dua orang, keduanya gadis-gadis muda, sehingga tidak enaklah keadaannya.
Kilat Pedang Membela Cinta Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Biarlah andika hadir pula sebagai saksi, Raden..."
"Nama saya Sridenta, Paman Empu."
Ruangan itu cukup luas dan kini diterangi lampu-lampu dan lentera yang bergelantungan di setiap sudut. Ki Empu tanding lalu berkata kepada Darmini, suaranya lantang dan tegas.
"Nini Darmini, sekarang ceritakan apa maksud kedatanganmu disini dan menyerbu tempat tinggal anakku Panji Sarono sehingga terjadi perkelahian."
"Begini, Paman. Saya dan Bi Kwi memang sedang menyelidiki tentang rahasia kematian mendiang Ong Cun yang terbunuh lima tahun yang lalu. Dari penyelidikan itu, kami mendapatkan keterangan bahwa dahulu Empat Bajul ini pernah menyatakan hendak membunuh Ong Cun, dan mengingat bahwa mereka adalah anak buah Kakang-Mas Raden Panji Sarono, maka tentu saja kami merasa curiga kepada mereka. Malam ini kami datang untuk bertemu dengan Empat Bajul dan minta pengakuan mereka mengenai peristiwa itu, akan tetapi kami dikeroyok sehingga terjadi perkelahian."
"Sekarang, kalian telah kupertemukan dengan Panji Sarono dan Empat Bajul. Nah apa yang hendak kau tanyakan?"
"Saya hanya minta kepada Empat Bajul untuk menceritakan tentang usaha mereka membunuh Ong Cun, dan siapa diantara mereka yang telah membunuhnya, lalu siapa pula yang mengutus mereka. Juga kepada Kakang-Mas Panji Sarono saya hendak bertanya, benarkah Kakang-Mas Panji Sarono mengutus kaki tangannya untuk melakukan pembunuhan atas diri Ong Cun?"
Dengan matanya yang berbinar-binar kini Darmini menoleh dan memandang kepada lima orang ini bergantian.
"Heh, kalian ini Empat Bajul. Siapakah nama kalian?"
"Hamba bernama Bajul Sengoro."
"Hamba Bajul Sengkolo."
"Hamba Bajul Paruso."
"Hamba Bajul Kanisto,"
Kata empat orang itu berturut-turut.
"Kalian sudah mendengar sendiri pertanyaan Nini Darmini, karena itu jawablah sejujurnya agar persoalan ini segera dapat diselesaikan,"
Kata pula Empu Tanding. Empat orang itu saling pandang, kemudian Bajul Sengoro yang agaknya menjadi pimpinan mereka, menjawab sambil melotot kearah Darmini.
"Kami adalah Empat Bajul yang selamanya tidak pernah dipaksa membuat pengakuan apapun oleh siapapun, kecuali oleh atasan kami atau kalau kami sudah dikalahkan. Karena itu kami baru mau membuat pengakuan kalau nona ini mampu mengalahkan kami!"
Mendengar ucapan Bajul Sengoro itu, tiga temannya mengangguk-angguk, tersenyum mengejek dan memandang kepada Darmini. Mendengar ini, Empu Tanding mengerutkan alisnya, akan tetapi tentu saja dia tidak mau bertindak berat sebelah, apalagi karena empat orang itu adalah anak buah dari puteranya sendiri.
"Nini, engkau sudah mendengar jawaban mereka, terserah kepadamu."
"Mbak-Ayu, Darmini, biarlah aku yang menghadapi empat ekor buaya ini!"
Bi Kwi berseru dan iapun sudah melangkah maju menghadapi Empat Bajul. Akan tetapi Darmini juga melangkah maju dan berkata.
"Mereka maju berempat, biarlah kita maju berdua, Bi Kwi. Nah, Empat Bajul, kami berdua melawan kalian berempat dan kalau kalian kalah, kalian harus memenuhi janji dan menceritakan segala yang telah terjadi dengan sebenarnya karena ketahuilah, untuk menentang kejahatan dan menegakkan keadilan, kami tidak sega-segan untuk membunuh kalian kalau kalian berbohong!"
Empu Tanding tidak melarang melihat kedua orang gadis itu maju. Memang mereka berdua itulah yang langsung tersangkut dalam urusan ini, sedangkan Sridenta hanya berdiri di sudut, menonton dengan sikap tenang.
"Boleh, kedua pihak boleh maju, empat lawan dua, akan tetapi tidak boleh mempergunakan senjata karena disini hanya merupakan pertandingan adu kepandaian. Nah mulailah!"
Karena dilarang mempergunakan senjata mereka, Empat Bajul itu melemparkan senjata mereka kesudut ruangan, sedangkan dua orang gadis itupun melepaskan pedang dan Darmini menyerahkan dua batang pedang itu kepada Sridenta. Pemuda ini percaya sepenuhnya bahwa Darmini dan gadis Cina itu tidak akan kalah. Dia tadi sudah melihat gerakan gadis Cina itu ketika ia berkelahi dan dikeroyok banyak orang. Empat Bajul tadi sudah pernah mengeroyok Bi Kwi dan mereka tahu betapa lihainya gadis Cina itu, maka Bajul Sengoro lalu memberi isyarat kepada teman-temannya, yaitu dia dan Bajul Sengkolo mengeroyok Bi Kwi sedangkan Bajul Paruso dan Bajul Kanisto menghadapi Darmini.
Mereka berloncatan kedepan dan segera mengepung dari kanan kiri. Darmini menghadapi Bajul Paruso dan Bajul Kanisto. Yang pertama merupakan orang paling bersih dan tampan diantara mereka berempat dan Bajul Paruso ini juga terkenal dengan kecabulan dan mata keranjangnya. Usianya sudah tiga puluh lima tahun lebih dan tubuhnya sedang, kini dia menghadapi Darmini dari kanan, sedangkan Bajul Kanisto yang pendek gendut bermuka buruk itu maju dari arah kiri, Darmini berdiri tegak saja, tidak menggerakkan tubuh, hanya sepasang matanya saja yang melirik kekanan kiri penuh kewaspadaan, kedua tangannya dipasang dengan gaya Braja-gunting, kedua pergelangan tangan saling bersilang di depan dada, sepuluh jari tangan terbuka dan menunjuk keatas.
"Heeeaahh...!"
Tiba-tiba Bajul Sengoro membentak dan tubuhnya yang tinggi besar itu bergerak menubruk kedepan, menggunakan kedua lengannya yang panjang dan tangannya yang besar dengan jari-jari panjang kuat itu mencengkeram ke arah kepala dan dada Bi Kwi yang dikepung di sisi lain.
Gadis ini dikepung oleh Bajul Sengoro dan Bajul Sengkolo dan kini dalam serangannya tiba-tiba Bajul Sengoro sudah membuka serangannya. Tadi Bi Kwi berdiri dengan kedua lutut ditekuk, agak merendah, dengan kedua lengan dikembangkan lurus dengan pundak, ke kanan kiri, dengan tangan terbuka dan jari berdiri tegak. Melihat tubrukan Bajul Sengoro yang menyerang dengan cengkeram ini, Bi Kwi tidak menjadi, dengan sigap kedua kakinya digeser dan tubuhnya sudah berada diluar jangkauan kedua tangan besar berbulu itu, bahkan ia membalas secara kontan dengan sebuah tendangan ke arah lambung Bajul Sengoro yang berdiri miring.
"Dukk!"
Bajul Sengoro menangkis dengan lengannya dan tubuhnya terdorong oleh kerasnya tendangan, namun dia telah menghindarkan lambungnya terkena tendangan itu, sedangkan pada saat itu, Bajul Sengoro sudah menyerang dengan pukulan tangannya ke arah tengkuk Bi Kwi dari belakang. Lengan orang ke dua dari Empat Bajul ini panjang sekali dan tahu-tahu sudah menyambar dekat tangan yang memukul dengan miring terbuka seperti golok itu. Namun, angin pukulannya terdengar oleh Bi Kwi dan gadis inipun cepat membalik dan mencengkeram ke arah lengan yang menyambarnya.
Untung Bajul Sengkolo masih sempat menarik kembali lengannya, kalau tidak, tentu lengan itu akan terkena cengkeraman Bi Kwi yang dapat menghancurkan kulit daging dan mematahkan tulang! Kedua orang itu lalu menyerang lagi bertubi-tubi dan sebentar saja Bi Kwi harus mempergunakan kelincahan tubuhnya dengan geseran-geseran kaki yang mantap, yang merupakan ciri khas dari ilmu silat yang dipelajarinya dari Kuil Siauw-Lim. Sementara itu, gerakan Darmini lain lagi dalam menghadapi pengeroyokan dua orng lawannya. Ia telah digembleng oleh Panembahan Ganggamurti dengan ilmu yang membuat tubuhnya dapat bergerak ringan dan cepat seperti burung srikatan saja, sehingga serangan kedua orang itu selalu luput dan sebaliknya, tamparan tangan dan tendangan kaki Darmini membuat keduanya menjadi repot sekali.
"Kena...!"
Tiba-tiba Bajul Paruso berteriak, menubruk maju dan kedua tangannya mencengkeram ke arah dada Darmini. Sungguh merupakan serangan yang curang dan tidak sopan terhadap seorang lawan wanita! Darmini cepat memutar tubuhnya menghindarkan dadanya dicengkeram, dan berbareng kakinya mencuat dari samping belakang, menyambut tubuh Bajul Paruso.
"Bukkk!!"
Tumit kaki Darmini mengenai ulu hati orang ke tiga dari Empat Bajul itu.
"Hekkkk!"
Tubuh Bajul Paruso terjengkang dan dia megap-megap karena sukar bernapas, kemudian dia roboh tak sadarkan diri! Melihat ini, Bajul Kanisto menyerang kalang kabut dengan marah sekali, akan tetapi Darmini yang membayangkan betapa empat orang ini pernah mengeroyok Ong Cun dan berusaha membunuhnya, bahkan mungkin terjadi pembunuhan, sudah menyambutnya dengan tamparan keras yang mengenai telingan kanannya.
"Plakk!"
Tamparan itu keras sekali. Tubuh Bajul Kanisto terputar, lalu diapun roboh tak sadarkan diri. Ketika Darmini membalikkan tubuh untuk membantu Bi Kwi, ia melihat betapa Bajul Sengkolo sudah roboh merintih-rintih memegang pundak kanannya yang patah tulangnya, sedangkan Bajul Sengoro sudah repot sekali menghadapi serangan Bi Kwi. Biarpun orang pertama Empat Bajul itu sudah berusaha untuk melindungi dirinya dengan ilmu kekebalan, namun ketika kaki Bi Kwi yang kecil itu melayang ke arah mukanya, diapun tidak mampu menghindar lagi.
"Prakkk!"
Rontoklah gigi dari mulut Bajul Sengoro dan hidungnya berdarah pula, seperti mulutnya yang juga berdarah dan ketika dia mengaduh sambil mundur, Bi Kwi menyusulkan totokan ke arah pundaknya dan tubuhnya roboh terkulai dengan lemas tak mampu berkutik lagi.
Diam-diam Empu Tanding memandang kagum. Dua orang gadis itu sungguh hebat, memiliki ilmu kepandaian yang cukup tinggi dan merupakan lawan yang tangguh. Kepandaian Empat Bajul tadi jelas amat dahsyat, namun ternyata mereka berempat dapat dirobohkan oleh dua orang gadis itu dalam waktu yang tidak terlalu lama! Diapun menoleh kepada Panji Sarono yang berdiri dengan muka agak pucat melihat betapa empat orang kaki tangannya yang paling diandalkan itu roboh semua. Biarpun dia sendiri juga memiliki kepandaian yang tinggi, apalagi setelah selama ini dia sering minta petunjuk Empu Kebondanu, namun harus diakuinya bahwa kalau empat orang kepercayaannya itu yang maju bersama saja kalah, maka dia seorang diripun takkan menang menghadapi dua orang gadis itu.
"Panji Sarono!"
Panggilan membentak dari Ayahnya ini mengejutkan hatinya.
"Bagaimana dengan engkau? Engkau mau memberi keterangan sejelasnya dan sejujurnya, ataukah engkau kini sudah seperti orang-orang kasar ini, bersikap pengecut dan tidak berani mengaku terus terang dan ingin menguji kepandaian kedua orang gadis ini?"
"Kakang-Mas Panji Sarono, lebih baik engkau mengaku saja terus terang dan jangan mengajak mereka bertanding. Baru melawan nona Ong Bi Kwi ini saja, wah akan sukar mencapai kemenangan. Ia tangguh bukan main! Dan lagi, kalau memang engkau tidak bersalah, apa salahnya mengaku, Kakang-Mas?"
Kata Panji saroto kepada Kakaknya.
Dia tahu bahwa Kakaknya menyeleweng dan suka bergaul dengan segala macam penjahat, suka sekali mengejar dan mempermainkan wanita, baik wanita itu perawan, janda ataukah isteri orang lain! Akan tetapi, dia tidak pernah melihat petunjuk Kakaknya membunuh orang dengan tangannya sendiri. Panji Sarono meragu. Tadinya dia merasa penasaran, merasa disudutkan oleh Darmini dan dia merasa malu kalau harus mengalah kepada seorang wanita saja. Ingin ia menggunakan kekerasan dan melawan, akan tetapi ucapan adiknya itu menyadarkannya. Adiknya ini memiliki kedigdayaan yang mungkin masih berada di atas tingkatnya, dan kalau adiknya memuji, tentu bukan pujian kosong. Aplagi dia memang tidak merasa bersalah mengenai pembunuhan atas diri Ong Cun.
"Baiklah, kau mau bertanya apa, akan kujawab sebenarnya!"! akhirnya dia berkata sambil memandang kepada Darmini dengan mata berkilat karena hatinya mendongkol sekali. Legalah hati Darmini. Sama sekali ia tidak gentar menghadapi Panji Sarono akan tetapi tidak enaklah rasa hatinya kalau ia harus mengalahkan pemuda itu didepan Uwanya. Dan kini Panji Sarono bersedia menjawab, di depan Empu Tanding pula, tentu tidak berani berbohong.
"Kakang-Mas Panji Sarono,"
Katanya dengan hormat walaupun tegas dan lantang.
"Menurut hasil penyelidikan kami, engkau pernah mengutus Empat Bajul ini untuk membunuh Ong Cun. Benarkah engkau melakukan hal itu?"
"Benar, memang aku pernah mengutus mereka untuk membunuh pemuda Cina itu..."
"Panji Sarono!"
Tiba-tiba Empu Tanding membentak marah, mukanya menjadi pucat kemudian merah sekali.
"Tak kusangka engkau telah melakukan kejahatan di luar tahuku! Keparat, engkau memalukan orang tua. Kenapa engkau mengutus mereka untuk melakukan perbuatan keji itu?"
Hampir saja Empu Tanding menghampiri puteranya untuk memukulnya, kalau saja Panji Saroto tidak menyentuh lengan Ayahnya itu untuk menyabarkannya. Kini, pemuda yang merasa tersudut itu menghadapi Ayahnya, mukanya menjadi merah sekali, akan tetapi tidak ada tanda sedikitpun juga bahwa dia merasa telah melakukan suatu kesalahan.
"Kanjeng Rama tentu masih ingat betapa sakit hati saya ketika pinangan kita ditolak oleh Diajeng Darmini yang sudah bertunangan dengan seorang pemuda Cina. Saya menganggapnya suatu penghinaan, dan pemuda itu saya anggap sebagai penghalang, oleh karena itu saya mengutus mereka berempat ini untuk membunuhnya!"
Bi Kwi sudah mengepal tinju, akan tetapi pundaknya dirangkul Darmini dan iapun sadar bahwa ia tidak boleh menurutkan perasaan hatinya.
"Kalau begitu benar mereka inilah yang telah membunuh Ong Cun?"
Tanya Darmini kepada Panji Sarono. Pemuda itu mendengus dan menjawab dengan sikap acuh.
"Tanya saja sendiri kepada mereka!"
Bi Kwi juga sudah tidak sabaran lagi, lalu menghampiri Bajul Sengoro yang masih tidak mampu berkutik karena tertotok tadi. Ia membebaskan totokannya, sehingga Bajul Sengoro mampu bergerak lagi dan orang inipun bangkit duduk di atas lantai, kepalanya ditundukkan karena maklumlah orang pertama dari Empat Bajul ini bahwa mereka telah kalah.
"Engkau tadi sudah berjanji, kalau kalah akan menjawab sejujurnya. Awas, kalau kalian berbohong, aku tidak akan segan-segan menyiksa atau membunuhmu!"
Kata Bi Kwi.
"Nah, Mbak-Ayu Darmini, tanyai mereka!"
Darmini bertanya kepada Bajul Sengoro yang dianggap pemimpin keempat orang tukang pukul itu.
"Bajul Sengoro, sekarang ceritakan dengan jeas bagaimana kalian berempat melaksanakan tugas yang diperintahkan Raden Panji Sarono, kepada kalian untuk membunuh Ong Cun."
Bajul Sengoro menarik napas panjang.
"Setelah menerima perintah, kami berempat lalu menghadangnya dan pada malam itu, tak berapa jauh dari rumah Ki Demang Bragolo di Lumajang, ketika pemuda Cina itu keluar dari taman, kami membayangi dan di jalan yang sunyi kami lalu menyerangnya. Dia melawan dan kami berkelahi di tempat yang mulai gelap itu."
"Dan kalian... kalian membunuhnya"?"
Bi Kwi berteriak dengan suara gemetar, kedua tangannya dikepal dan sukar baginya untuk menahan diri.
"Tidak!"
Bajul Sengoro menggeleng kepala.
"Kami... kami kalah dan kami nyaris celaka..."
"Keparat, jangan bohong!"
Tiba-tiba Panji Sarono berteriak.
"Bajul Sengoro, kalian pulang dan mengatakan kepadaku bahwa kalian sudah berhasil membunuhnya, dan kalian menuntut upah yang besar!"
"Bukan... bukan kami yang membunuhnya, raden."
"Kalau begitu engkau menipuku!"
Panji Sarono berteriak lagi. Ayahnya lalu menghardiknya.
"Panji Sarono, tutup mulutmu! Baru terbuka matamu betapa engkau tidak boleh bergaul dan percaya kepada orang-orang macam ini? Nini Darmini, teruskan pemeriksaanmu terhadap mereka!"
"Bajul Sengoro, engkau mengatakan bahwa engkau dan tiga orang kawanmu tidak mampu membunuh Ong Cun karena kalian kalah. Hal ini masuk di akal,"
Darmini memandang kepada Bi Kwi yang mengerti bahwa memang sukar dipercaya kalau empat orang ini mampu mengalahkan dan membunuh Kakak kandungnya yang lihai itu.
"Akan tetapi, engkau telah melapor kepada Kakang-Mas Panji Sarono bahwa kalian telah membunuhnya, dan tadi kau katakan bahwa bukan kalian yang membunuhnya. Bagaimana ini? Siapa sesungguhnya yang telah membunuhnya? Kalian harus dapat mengatakan, baru aku percaya benar bahwa kalian bukan pembunuhnya."
"Kami tidak tahu, ketika kami berempat kewalahan menghadapi pemuda Cina itu, di dalam keremangan malam, tiba-tiba muncul bayangan hitam yang menyerang pemuda itu dengan tiba-tiba. Pemuda Cina itu terluka dan roboh, dan kemudian kami mendengar bahwa dia telah tewas."
"Bayangan hitam? Siapa dia...?"
Bi Kwi ikut membentak. Empat orang itu saling pandang dan kini Bajul Kanisto yang membantu Kakaknya menjawab.
"Keadaan waktu itu remang-remang, kami sungguh tidak mengetahui siapa orang yang mengenakan pakaian serba hitam itu, apalagi dia memakai sebuah topeng hitam pula."
"Pakaian hitam? Topeng hitam? Perawakannya sedang dan tegap?"
Darmini bertanya, suaranya mendesak dan napasnya memburu. Empat Bajul itu mengangguk dan membenarkan.
"Si Walet Hitam...!"
Darmini berseru sambil mengepal tinju. Empu Tanding terkejut mendengar disebutnya nama ini.
"Si Walet Hitam? Tapi dia... dia juga seorang Cina, dialah yang membantu pemberontak Lumajang, dia pula yang mengakibatkan orang-orang Cina dimusuhi!"
Darmini mengangguk-angguk,
"Hemmm... Walet Hitam, dia membunuh Ong cun. Aku harus menemukan dia, apapun yang terjadi!"
"Aku akan membantumu, Mbak-Ayu Darmini!"
Kata Bi Kwi.
"Akupun akan mencari jejaknya agar engkau dapat cepat menemukannya, Diajeng Darmini,"
Kata Sridenta.
"Terima kasih, Kakang-Mas. Akan tetapi, masih ada lagi pertanyaan yang harus kusampaikan kepada Kakang-Mas Panji Sarono. Kakang-Mas Panji, dari keterangan empat orang ini, jelas bahwa pembunuh Ong Cun bukan engkau, bukan pula mereka ini, melainkan menurut perkiraanku adalah Walet Hitam, sekarang aku masih ingin bertanya kepadamu. Apa yang kau lakukan pada malam itu, malam sesudah terjadi pembunuan atas diri Ong Cun? Apa yang telah kau lakukan pada malam Jumat Kliwon yang terkutuk itu?"
Panji Sarono memandang wajah Darmini dengan sinar mata penuh pertanyaan. Sejenak mereka berpandangan dan Darmini melihat bahwa pemuda itu tidak menyembunyikan sesuatu.
"Apa maksudmu, Darmini? Aku begitu gugup setelah mereka membohongi aku bahwa mereka telah berhasil membunuh pemuda Cina itu, dan karena khawatir, malam-malam berikutnya aku tidak berada di Lumajang, melainkan lari ke Majapahit sini untuk mencari hiburan."
Darmini percaya akan keterangan ini. Memang bukan pemuda ini yang telah memperkosanya karena orang itu memiliki tubuh yang lebih besar.
"Satu pertanyaan lagi, Kakang-Mas Panji Sarono, dan kuharap engkau suka memberi keterangan yang sejujurnya. Ketika aku pergi untuk berguru ke Gunung Bromo, di dalam hutan di kaki Gunung Bromo, aku dan pengawalku, yaitu Paman Nala, diserang orang dengan anak panah sehingga Paman Nala terkena anak panah dan tewas..."
"Aku sama sekali tidak tahu akan hal itu! Aku tidak membunuh pengawalmu atau siapapun juga!"
Panji Sarono membantah cepat.
"Pertanyaanku belum habis, Kakang-Mas Panji Sarono, ketika aku bertemu dengan Paman Empu Kebondanu yang menyuruh aku bertapa dalam sebuah guha, lalu muncul seorang bertopeng yang menggangguku. Tahukah engkau siapa orang itu?"
Terdengar seruan tertahan dan Darmini melirik ke arah Sridenta yang mengeluarkan Suara itu. Ia melihat Kakak seperguruan itu mengerutkan alisnya dan memandang tajam ke arah Panji Sarono sehingga iapun kini menatap lagi wajah Panji Sarono yang nampak agak pucat.
"Aku... tidak tahu apa-apa..."
"Diajeng Darmini, dialah orangnya! Dialah dulu yang bertopeng mengganggumu di dalam guha itu. Tadi ketika aku berkelahi dengannya, aku sudah merasa heran karena mengenal gerakan-gerakannya, akan tetapi aku lupa lagi di mana dan kapan.Ketika tadi engkau bercerita tentang gangguan orang bertopeng di dalam guha itu, teringatlah aku."
Tiba-tiba Sridenta berkata dan mendengar ini wajah Panji Sarono menjadi makin pucat.
"Hemm, keparat! Puteraku boleh jadi menyeleweng, akan tetapi tidak boleh menjadi pengecut! Panji Sarono, kalau benar engkau bersalah, mengakulah!"
Bentak Empu Tanding yang mukanya berubah merah sekali, apalagi tadi dia melihat sendiri betapa Empu Kebondanu berada di situ, tandan bahwa memang ada hubungan antara puteranya ini dengan Empu Kebondanu yang berkhianat dan dia sudah mendengar betapa Kakak seperguruannya itu kini membantu Wiratama.
"Baiklah, Kanjeng Rama, saya akan mengaku,"
Katanya dengan muka pucat.
"Saya tidak sudi menjadi pengecut. Penolakan cinta dan pinangna saya terhadap Darmini sungguh menyakitkan hati saya, kemudian pengakuan Empat Bajul bahwa mereka telah berhasil membunuh Ong Cun, membuat hati saya selalu gelisah. Oleh karena itu, setelah berada di Kotaraja, saya lalu mengambil keputusan untuk pergi mengunjungi Paman Empu Kebondanu, untuk belajar ilmu dan sementara menjauhkan diri. Akan tetapi, pada suatu hari, saya melihat Darmini menghadap Paman Empu Kebondanu dan diperintahkan bertapa di sebuah guha. Hati saya tergerak dan bujukan iblis menguasai saya. Saya lalu mengenakan topeng dan bermaksud untuk memiliki Diajeng Darmini, walaupun secara paksa"
Akan tetapi orang ini datang menggagalkan niat saya""
Dia memandang kepada Sridenta. Empu Tanding marah sekali.
"Jahanam engkau, Panji Sarono! Semenjak kecil segala keinginanmu kupenuhi belaka, dan sekarang apa yang kau lakukan untuk membalas semua kebaikan orang tuamu? Engkau mencoreng arang di muka orang tuamu dengan perbuatan yang keji dan jahat! Sungguh memalukan. Hayo katakan, apa pula artinya kehadiran Kakang Empu Kebondanu disini!"
Panji Sarono sudah merasa tersudut dan diapun kini melihat kenyataan betapa semua tingkah lakunya yang lalu bertentangan sama sekali dengan watak Ayahnya atau juga watak adiknya, Panji Saroto. Dia dikelilingi oleh teman-teman yang pandai membujuknya, menyeretnya ke dalam kesesatan melalui kesenangan-kesenangan dan pengumbaran nafsu.
"Kanjeng Rama, sesungguhnya Paman Empu Kebondanu mendatangi saya untuk membujuk saya agar suka bersekutu dengan Wiratama dan membantu gerakan mereka bersama semua pembantu dan anak buah saya""
"Keparat jahanam! Engkau bahkan hendak menjadi pengkhianat!"
Empu Tanding mencabut kerisnya dengan muka merah, akan tetapi pada saat itu Panji Saroto meloncat ke depan dan memegang lengan Ayahnya.
"Kanjeng Rama harap ingat dan menyadari bahwa Kakang-Mas Panji Sarono adalah putera Kanjeng rma sendiri,"
Kilat Pedang Membela Cinta Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kata pemuda ini dengan tenang.
"Tapi dia tersesat, harus dihukum!"
Bentak Empu Tanding.
"Benar sekali, Kanjeng Rama, akan tetapi bukan melalui kematian di tangan Kanjeng Rama sendiri. Masih ada pengadilan yang akan mempertimbangkan kesalahannya. Bagaimanapun juga, perbuatannya yang jahat terhadap Mbak-Ayu Darmini belum terlaksana, bukan? Juga, dia belum sampai berkhianat, baru menerima bujukan Paman Empu Kebondanu. Bahkan usahanya membunuh Ong Cun ketika itupun gagal, berarti bukan dia yang bertanggung jawab atas kematian Ong Cun. Bukankah demikian, Mbak-Ayu Darmini?"
Melihat betapa marahnya Empu Tanding yang hendak membunuh puteranya sendiri, Darmini juga membujuk,
"Sudahlah, Kanjeng Paman, memang benar seperti dikatakan Adimas Panji Saroto."
Akan tetapi Empu Tanding masih marah sekali. Dia lalu memanggil perajurit-perajuritnya dan memerintahkan mereka agar menangkap Panji Sarono, Empat Bajul dan semua anak buah Panji Sarono, menjebloskan mereka ke dalam penjara menanti keputusan pengadilan selanjutnya! Dengan kepala ditundukkan dan tidak melawan sama sekali Panji Sarono lalu ditangkap bersama semua anak buahnya, digiring oleh pasukan perajurit ke dalam penjara. Melihat keadaan Kakaknya yang amat dicintainya, Panji Saroto menjadi sedih sekali dan diapun mengepal tinju lalu berkaa lantang,
"Keparat Wiratama! Dialah yang menjadi biang keladi sampai Kakang-Mas Panji Sarono terbujuk! Aku akan membuka kedoknya dan menghancurkan persekutuannya!"
Sridenta yang sejak tadi merasa suka dan kagum kepada putera ke dua Empu Tanding ini, segera berkata,
"Kalau boleh, aku bersedia membantumu, Adimas Panji Saroto."
Panji Saroto juga kagum terhadap Sridenta, apalagi mendengar bahwa pemuda ini adalah Kakak seperguruan Darmini, bahkan putera dari Pangeran Arya Cakra, bangsawan tinggi yang sudah meninggal dunia dan yang meninggalkan nama harum diantara para bangsawan dan pamong praja.
Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo Harta Karun Kerajaan Sung Karya Kho Ping Hoo Pendekar Kelana Karya Kho Ping Hoo