Kilat Pedang Membela Cinta 2
Kilat Pedang Membela Cinta Karya Kho Ping Hoo Bagian 2
"Keparat! Bersiaplah untuk menyambut kerisku. Keluarkan senjatamu!"
Teriaknya marah. Akan tetapi Ong Cun yang sudah meloncat ke belakang mendekati Darmini, memberi hormat dan berkata halus,
"Maafkan aku, aku tidak ingin berkelahi lagi. Biarlah aku mengaku kalah!"
"Tidak!"
Bentak Panji Sarono.
"Engkau tidak boleh menghentikan pertarungan kita. Belum lecet kulit, belum patah tulang..."
"Sudahlah, anakku. Cukup sudah. Mari kita pergi,"
Kata Empu Tanding sambil melirik ke arah Kwee Lok yang tiba-tiba muncul di situ.
"Suheng, apakah yang terjadi?"
Tanya Kwee Lok khawatir.
"Karena terlalu lama, aku datang mencarimu."
"Tidak apa-apa, Sute. Tidak apa-apa,"
Jawab Ong Cun. Agaknya melihat kenyataan betapa tangguhnya Ong Cun, dan munculnya seorang pemuda Cina lain yang mungkin juga tangguh, maka Empu Tanding yang tadi melihat betapa lawan puternya itu telah mengalah dan jauh lebih pandai dari pada Panji Sarono, dia menganggap lebih baik kalau menyudahi adu ilmu yang tidak menguntungkan itu. Panji Sarono tidak berani membantah perintah Ayahnya dan merekapun segera pergi dari taman itu dengan langkah lebar, akan tetapi lebih dahulu dia memandang ke arah wajah Ong Cun dengan sinar mata berkilat penuh kebencian.
"Suheng, aku tidak suka melihat kilatan mata pemuda itu. Dia amat benci kepadamu dan ada ancaman maut di dalam sinar matanya,"
Kata Kwee Lok kepada Suhengnya. Karena Sutenya bicara dalam bahasa Cina, dan khawatir kalau-kalau Darmini yang tentu saja tidak mengerti itu menjadi tidak senang, Ong Cun tersenyum dan berkata dalam bahasa Jawa,
"Tidak apa-apa. Dia sedang marah..."
Akan tetapi Darmini juga melihat kilatan cahaya mata penuh ancaman itu, dan dipegangnya lengan kekasihnya, dirapatkan rubuhnya ke tubuh Ong Cun. Merasa betapa tubuh kekasihnya menggigil, Ong Cun cepat bertanya,
"Ada apakah, Darmini? Mereka sudah pergi, dan tidak ada apa-apa lagi. Kenapa engkau seperti ketakutan?"
"Ong Cun, aku khawatir sekali. Kakang-Mas Panji Sarono itu sudah lama menaruh hati kepadaku. Aku selalu menolak cintanya."
"Sungguh mengherankan, Darmini,"
Kata Ong Cun sambil tersenyum.
"Bukankah ketika itu engkau belum bertemu dengan aku, dan bukankah Panji Saroso itu tampan dan gagah, agaknya bangsawan pula dan bahkan masih ada hubungan keluarga denganmu?"
Darmini cemberut.
"Huh, siapa sudi menerima cinta seorang pria seperti dia? Hanya wanita bodoh saja yang akan jatuh oleh rayuannya. Dia terkenal sebagai seorang laki-laki mata keranjang, perayu dan perusak wanita. Entah sudah berapa banyak gadis yang jatuh bertekuk lulut karena rayuannya, dan setelah menjadi korbannya lalu ditinggalkannya begitu saja. Di Kotaraja Majapahit dia sudah terkenal sekali dan kini setelah Lumajang menjadi telukan Majapahit, tentu dia akan merajalela di sini. Huh, biarpun dia itu masih Kakak misanku karena Ayahnya adalah Kakak kandung Ibuku, akan tetapi sejak dulu aku tidak suka dan muak melihat sikapnya yang mata keranjang."
"Suheng, harap engkau hati-hati terhadap orang seperti dia,"
Kembali Kwee Lok memperingatkan Suhengnya. Ong Cun tetap tenang dan tersenyum. Kebahagiaan yang baru saja diperolehnya karena pinangannya diterima, baik oleh orang tua Darmini maupun oleh gadis itu sendiri, tidak ingin dia mengganggunya dengan segala macam kekhawatiran.
"Darmini, aku akan pulang dulu. Keberangkatan kami masih beberapa hari lagi dan percayalah, setiap sore aku pasti akan datang mengunjungi setelah selesai pekerjaanku sehari,"
Sambil memegang kedua tangan kekasihnya, Ong Cun berpamitan dan melihat kemesraan diantara mereka, biarpun hanya saling berpegangan tangan. Kwee Lok memalingkan dan membuang muka. Mereka lalu pergi meninggalkan Darmini yang memandang bayangan kekasihnya dengan wajah cerah. Biarpun ia tahu bahwa beberapa hari lagi ia akan berpisah dari kekasihnya, namun perpisahan itu hanya sementara saja. Ia percaya penuh kepada kekasihnya. Tentu Ong Cun akan segera kembali dari negerinya dan akan berada disampingnya untuk selamanya. Ia mengambil pedang dan bunga teratai putih, menciumi kedua benda itu lalu melangkah memasuki rumah dengan sinar mata penuh kebahagiaan.
Setelah Kwee Lok meninggalkan Ki Demang Bragolo untuk pergi mencari Kakaknya ke taman, Ki Demang Bragolo duduk melamun seorang diri. Tak lama kemudian, suara orang berkulo-nuwun (memberitahukan kedatangannya) menyadarkannya dari lamunan. Ketika dia melihat bahwa yang muncul adalah Ki Empu Tanding dan puteranya, Panji Sarono, berubah wajah Ki Demang Bragolo. Cepat dia bangkit berdiri menyongsong kedua tamunya itu. Ki Empu Tanding adalah Kakak isterinya, akan tetapi, yang lebih dari pada itu, Kakek berambut kelabu itu adalah seorang Ponggawa Majapahit yang kini ditugaskan di Lumajang. Berarti bahwa orang ini adalah utusan yang membawa kekuasaan dari Majapahit, kekuasaan si pemenang atas yang kalah, dan dia sendiri sebagai bekas Pamong Kerajaan Lumajang, merasa sebagai wakil dari yang kalah!
"Ah, kiranya Kakang-Mas Empu yang datang. Selamat datang dan silahkan duduk, Kakang-Mas. Dan andika juga, anak-mas Panji Sarono, silahkan duduk. Ki Empu Tanding duduk tanpa menjawab, sedangkan Panji Sarono hanya menggumamkan kata terima kasih dengan lirih. Tidak enak rasa hati Ki Demang Bragolo. Sikap mereka yang dingin itu menjadi tanda peringatan baginya bahwa hati mereka sedang kesal.
"Kakang-Mas Empu, kepentingan apakah yang mendorong Kakang-Mas malam-malam begini me-langkahkan kaki memberi kehormatan kepada saya dengan kunjungan ini? Ataukah hanya bertandang saja?"
Tanya Ki Demang dengan hati-hati. Dengan wajah bersungut-sungut, Ki Empu Tanding menghentakkan tongkat hitamnya ke atas lantai, seperti hendak memperlihatkan bahwa dia sedang tidak sabar.
"Adimas Demang, kami datang untuk bertandang, akan tetapi ketika kami melalui taman, kami melihat hal yang membuat hatiku terasa amat tidak senang dan kesal."
Ki Demang Bragolo mengerutkan alisnya, sejenak belum dapat menangkap apa yang menyebabkan kekesalan hati Kakak isterinya itu.
"Apakah yang terjadi, Kakang-Mas? Apakah yang telah menyebabkan hati Kakang-Mas menjadi kesal?"
"Tidak lain melihat puterimu, Nini Darmini, bergaul sedemikian akrabnya dengan seorang pemuda asing! Malam-malam lagi berdua di dalam taman. Sungguh memalukan!"
Mengertilah Ki Demang Bragolo dan diapun tersenyum.
"Harap Kakang-Mas melegakan hati. Pemuda itu bukan orang asing, melainkan sahabat baik, bahkan kini menjadi tunangan Darmini, calon suaminya."
"Apa? Sejak kapan andika mempunyai niat bermenantukan seorang Bangsa Cina?"
"Maaf, Kakang-Mas. Sejak anak kami Darmini jatuh cinta kepada Ong Cun, pemuda itu yang menyelamatkannya dari ancaman orang-orang yang merampok dan menculiknya. Dan kami menyetujuinya karena pemuda itu amat baik."
"Tapi dia Cina!"
"Apa salahnya itu, Kakang-Mas? Cinapun manusia juga bukan? Dan bukankah sejak dahulu bahkan Maharaja-Maharaja banyak yang beristerikan seorang wanita Cina?"
"Ah, itu lain lagi, kalau pria bangsa kita menikah dengan wanita Cina. Akan tetapi puterimu, anak tunggal lagi, hendak kau nikahkan dengan seorang laki-laki Cina? Tahukah engkau laki-laki itu pengikut Laksamana The Ho yang baru-baru ini terlihat dalam perang melawan pasukan Majapahit?"
"Saya sudah tahu, Kakang-Mas. Akan tetapi, perang itu hanya merupakan suatu kesalah-pahaman belaka, bukan? Dan bukankah sekarang urusan itu telah didamaikan?"
"Huh! Didamaikan akan tetapi Majapahit harus membayar uang kerugian yang amat banyak! Dia, seperti yang lain-lain, tentu orang beragama Islam pula!"
"Maaf, Kakang-Mas. Saya sendiri belum pernah mendengar secara jelas apa sesungguhnya Agama Islam itu, apa bedanya dengan agama kita yang Hindu Buddha. Akan tetapi, melihat betapa kini banyak sudah para Adipati dan Raja muda di pesisir utara telah masuk ke dalam Agama Islam, saya kira agama itupun sama baiknya. Bagi kami, yang menikah itu orangnya, Kakang-Mas, bukan agamanya, dan syarat kami sebagai Ayah dan Ibu hanya satu, iyalah kebahagiaan puteri kami. Kalau Nini Darmini sudah setuju dan ia saling mencinta dengan calon suaminya, sudah cukuplah syarat itu bagi kami untuk menerima pinangan pria itu."
"Adimas Demang Bragolo, apakah andika berani bertanggung jawab akan pilihan itu? Bertanggung jawab bahwa Darmini telah andika pilihkan jodoh seorang pemuda Cina beragama Islam? Ingat, Nini Darmini bukanlah puteri kandungmu!"
Mendengar ini, sepasang mata Ki Demang Bragolo menjadi terbelalak dan mukanya berubah merah. Akan tetapi, dia belum berani memperlihatkan sikap marah kepada Kakak isterinya ini, yang juga menjadi kuasa dari Majapahit itu. Dia menahan sabar.
"Benar, Kakang-Mas. Memang Nini Darmini bukan puteri kandung saya, akan tetapi ia telah saya anggap sebagai puteri kandung sendiri, bahkan ia sendiri tidak tahu bahwa Ayah kandungnya sudah meninggal dan bahwa ketika ia masih bayi, Ibunya menikah dengan saya. Ia menganggap saya sebagai Ayah kandung sendiri. Dan saya berani bertanggung jawab, karena hendaknya Kakang-Mas ketahui bahwa yang menyetujui perjodohan ini bukan saya sendiri, melainkan juga Ibunya, yaitu Adik Kakang-Mas sendiri."
Pada saat itu, terdengar suara langkah kaki dan muncullah isteri Ki Demang Bragolo. Melihat bahwa suaminya sedang bercakap-cakap dengan Kakaknya, dan di situ hadir pula keponakannya, Nyi Demang Bragolo segera berseru,
"Ah, kiranya ada tamu agung! Kenapa saya tidak diberitahu bahwa Kakang-Mas Empu Tanding dan Panji Sarono yang datang berkunjung? Sudah lamakah, Kakang-Mas Empu?"
"Sudah cukup lama, dan karena ada keperluan lain, kami malah hendak minta diri. Kami akan pulang. Permisi!"
Empu Tanding bangkit berdiri diikuti puteranya dan mereka berdua segera meninggalkan pendopo gedung Kademangan itu.
"Eh, mengapa Kakang-Mas Empu kelihatan marah-marah? Apakah yang telah terjadi?"
Tanya Nyi Demang kepada suaminya. Ki Demang Bragolo menarik napas panjang dan menceritakan tentang percakapan mereka tadi mengenai pertunangan Darmini dan Ong Cun. Wanita itu mengerutkan alisnya dan menjadi marah.
"Huh, apa pedulinya? Aku tahu mengapa dia marah. Tentu dia kecewa karena pernah dia dahulu mengutarakan maksud hatinya untuk mejodohkan Darmini dengan Panji Sarono. Akan tetapi, siapa sudi mempunyai mantu seperti dia? Seorang laki-laki mata keranjang yang suka mempermainkan wanita, hanya pandai menjual tampang saja, memelihara banyak tukang pukul dan terkenal sebagai pemuda yang berlagak bangsawan, memaksakan kehendaknya diantara rakyat kecil, Huh!"
Biarpun demikian, suami isteri itu merasa tidak enak hati ketika Ong Cun dan Kwee Lok berpamit. Seolah-olah merasa adanya suatu ancaman yang tidak kelihatan. Maka mereka memberi nasihat kepada Ong Cun agar berhati-hati.
Perasaan tidak enak yang dirasakan oleh Ki dan Nyi Demang bukan merupakan bayangan kosong belaka. Memang terdapat ancaman yang datang dari pihak Panji Sarono. Ketika pulang ke rumah gedung keluarganya, Panji Sarono lalu pulang ke pondoknya sendiri, sebuah gedung mungil di belakang kompleks perumahan Ayahnya, merupakan tempat tinggal untuk dia dan Adik kandungnya, yaitu Panji Saroto yang baru berusia lima belas tahun.
Dia segera mengutus seorang pelayan untuk memanggil anak buahnya, yaitu empat orang yang terkenal sebagai bekas bajak-bajak Sungai Berantas yang kini menjadi anak buah atau kaki tangan Panji Sarono. Tak lama kemudian, datanglah empat orang laki-laki yang sikapnya menyeramkan. Mereka itu berusia antara tiga puluh sampai empat puluh tahun, dan rata-rata memiliki tubuh yang Kokoh kuat dan gerak-gerik yang kasar, sikap yang menunjukkan bahwa mereka adalah golongan orang-orang yang suka sekali mempergunakan kekerasan dan pamer kekuatan. Mereka adalah empat orang Kakak beradik angkat yang sudah amat terkenal sebelum menjadi kaki tangan Panji Sarono sebagai Empat Bajul Brantas karena mereka selalu mengganggu lalu lintas Sungai Brantas.
Orang pertama bernama atau berjuluk Bajul Sengoro, tubuhnya tinggi besar dengan otot-oto menonjol dan melingkar-lingkar di seluruh tubuhnya, mukanya hitam penuh brewok dan matanya lebar selalu melotot, dan dipinggangnya terselip sebatang senjata yang mengerikan, yaitu sebuah kapak besar yang kelihatan berkilauan saking tajamnya dan masih berbau batu asahan. Orang kedua bertubuh tinggi kurus, kulitnya putih sekali, akan tetapi kalau diteliti akan nampak bahwa putihnya itu adalah karena seluruh kulit tubuhnya menderita penyakit panu. Dia nampak malas dan selalu garuk-garuk sana-sini, usianya sebaya dengan Bajul Sengoro, yaitu sekitar tiga puluh lima tahun dan orang ke dua yang namanya Bajul Sengkolo ini menyimpan sebatang arit panjang terselip di pinggang.
Juga arit ini berkilauan saking tajamnya, melengkung menyeramkan. Orang ke tiga bertubuh sedang, berusia tiga puluh tahun bernama Bajul Paruso. Dibandingkan dengan dua orang terdahulu, dia dapat disebut tampan. Orangnya pesolek, pakaiannya juga bersih dan terpelihara, di pinggangnya terselip sebatang golok. Orang ini selain ahli bermain golok, kejam hatinya, juga cabul dan suka mempermainkan wanita. Adapun orang ke empat bernama Bajul Kanisto, bertubuh pendek dengan perut gendut sekali. Mukanya buruk dan bopeng, dan dia selalu membawa sebatang lembing yang dipakai sebagai tongkat. Melihat munculnya empat orang pembantunya yang memberi hormat kepadanya, legalah hati Panji Sarono.
"Raden Mas Panji, ada perintah apakah maka malam begini memanggil kami?"
Tanya Bajul Sengoro setelah disuruh duduk oleh pemuda itu di dalam ruangan belakang dimana tidak ada orang lain kecuali mereka berlima.
"Apakah ada yang harus dibunuh malam ini?"
Bajul Sengkolo meraba gagang aritnya.
"Hemm, ada si cantik yang harus di culik?"
Kata pula Bajul Paruso sambil menyeringai genit.
"Kalau hanya tugas biasa saja, serahkan kepadaku, tentu beres!"
Kata pula Bajul Kanisto sambil mengetuk-ngetukkan gagang lembingnya di atas lantai.
"Memang aku ingin kalian membunuh seseorang, akan tetapi kukira tidaklah semudah yang kalian duga. Orang itu tangguh sekali sehingga aku sendiripun tak mampu mengalahkan dia."
Empat orang bekas bajak sungai itu saling pandang. Mereka mengenal siapa Raden Panji Sarono, seorang pemuda bangsawan yang royal, akan tetapi juga memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, walaupun tentu saja masih kalah kalau dibandingkan mereka! Pemuda itu menerima ilmu-ilmunya dari Sang Empu Tanding sendiri dan bahkan Bajul Sengoro yang merupakan orang pertama di antara Empat Bajul itupun jeri menghadapi Empu Tanding yang sakti. Dan pemuda ini mengatakan tidak mampu mengalahkan musuh itu?
"Siapa dia, Raden? Jangan khawatir, betapapun saktinya dia, kalau kami maju berempat, dia pasti akan dapat kami bunuh!"
"Benar sekali, Raden!"
Kata Bajul Kanisto yang paling pendek, akan tetapi paling sombong di antara rekan-rekannya.
"Biar dia sakti setinggi langit, biar dia berkawan Dewata sekalipun, kalau menghadapi kami berempat, tentu akan kami hancurkan kepalanya, kami pecahkan dadanya!"
Panji Sarono mengerutkan alisnya. Kadang-kadang ia merasa kesal juga melihat kecongkakan empat orang pembantunya ini. Benar bahwa mereka ini sudah banyak berjasa baginya, terutama dalam merampas dan menculik wanita untuknya. Wanita manapun di Majapahit, asalkan jangan puteri bangsawan, yang diinginkannya, dia tinggal menunjuk saja dan tentu, dengan halus maupun kasar, dengan jalan merayu maupun menculik, akan didapatkannya dengan bantuan empat Bajul ini. Akan tetapi, sikap mereka yang kadang-kadang amat sombong itu membuat dia kurang puas.
"Sebaiknya kalian berhati-hati sekali ini. Yang kuinginkan agar kalian membunuhnya adalah seorang pemuda Bangsa Cina..."
"Ehhh...!"
Empat orang itu serentak berseru kaget dan saling pandang. Sepak terjang rombongan Cina yang pernah bertempur melawan pasukan Majapahit membuat mereka merasa agak gentar juga.
"Apakah anggauta rombongan yang belum lama ini bertempur melawan pasukan kita di Lumajang, Raden?"
"Benar, karena itu kalian harus berhati-hati. Yang kuhendaki memang hanya satu orang saja. Akan tetapi dia memiliki banyak kawan dan kalau sampai kawan-kawannya tahu, bukan saja tugas kalian akan gagal, malah kalian dapat mampus di tangan dia dan teman-temannya. Karena itu, harus dipergunakan siasat, dicari kesempatan selagi dia seorang diri, lalu kalian menyerang secara tiba-tiba."
Suaranya berubah menjadi bisik-bisik ketika Panji Sarono menceritakan betapa dia telah berselisih dengan Ong Cun di taman Kademangan, dan betapa Ong Cun telah diterima menjadi tunangan Darmini yang diharapkannya menjadi korbannya yang terbaru, atau juga isterinya karena dia tergila-gila kepada gadis hitam manis itu.
(Lanjut ke Jilid 02)
Kilat Pedang Membelah Cinta (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 02
"Dalam waktu beberapa hari ini, Ong Cun akan pergi bersama rombongannya. Dan aku yakin bahwa besok atau lusa, sebelum dia berangkat, pasti dia akan datang mengunjungi Darmini di taman rumah Paman Demang Bragolo. Nah, itulah kesempatan baik bagi kalian. Aku sendiri akan membantu dari jauh dan bawalah keris pusakaku ini untuk membunuhnya. Akan tetapi hati-hati, jangan sampai kerisku ini kau tinggalkan, dan sampai kelihatan orang lain. Aku ingin kerisku sendiri yang mencabut nyawa pemuda Cina keparat itu!"
Kata Panji Sarono dengan gemas mengingat kekalahannya.
Dia kalah di depan Darmini, hal ini sungguh merupakan penghinaan baginya. Tiba-tiba lima orang itu terkejut dan percakapan segera terhenti ketika mendadak muncul seorang pemuda remaja keluar dari pintu sebelah dalam. Pemuda ini wajahnya mirip Panji Sarono, akan tetapi kulitnya lebih bersih dan sepasang matanya amat tajam dan terang. Usianya lima belas tahun dan dia adalah Panji Saroto, Adik kandung Panji Sarono. Dengan sepasang matanya yang tajam pemuda remaja ini melihat keris pusaka Kyai Crubuk berluk tujuh itu di tangan Bajul Sengoro. Dia lalu menoleh kepada Kakaknya, mengerutkan alis dan berkata dengan suara yang halus dan tegas.
"Kakang-Mas Sarono, apa lagi yang kau perintahkan kepada empat orang yang menjemukan ini? Dan mengapa pula pusaka Kyai Crubuk kau berikan kepada mereka? Siapa yang harus mereka bunuh?"
Wajah Panji Sarono berubah merah dan dia melotot kepada Adik kandungnya.
"Saroto, engkau anak kecil jangan mencampuri urusan orang dewasa. Pergilah masuk kedalam!"
Bentaknya. Akan tetapi Panji Saroto tetap berdiri tegak dan sedikitpun tidak merasa gentar kepada Kakaknya.
"Kakang-Mas, aku bukan anak kecil lagi yang boleh kau hardik dan usir begitu saja! Aku tadi telah mendengar sebagian bahwa engkau menyuruh mereka membunuh seseorang dengan Kyai Crubuk. Kakang-Mas, apakah nasihat yang diberikan oleh Kanjeng Rama masih juga belum cukup untukmu? Hentikanlah perbuatan jahat itu. Membunuh orang, menculik wanita, bermabok-mabokan, berjudi sampai berhari-hari. Ibu sampai berduka memikirkan keadaanmu, Kakang-Mas. Rencanamu kali ini jahat sekali, janganlah kau lanjutkan."
"Sudahlah, ini bukan urusanmu, mengerti? Sekali lagi, bukan urusanmu dan semua perbuatanku, akan kutanggung sendiri akibatnya. Apa sangkut pautnya dengan kamu?"
"Kakang-Mas, aku adalah adikmu, Adik kandungmu. Rama dan Ibu hanya mempunyai dua orang anak, yaitu engkau dan aku. Bagaimana engkau dapat mengatakan bahwa urusanmu bukan urusanku? Kalau engkau celaka, akupun ikut menderita, kalau engkau senang, akupun ikut bahagia. Di waktu perang yang lalu, boleh saja Kakang-Mas mengumpulkan kekuatan termasuk empat orang ini, akan tetapi sekarang tidak ada perang lagi. Suasana sudah damai dan tenteram, apakah Kakang-Mas bahkan hendak mendatangkan kekacauan?"
"Cukup! Aku bukan adikmu yang boleh kau tegur dan nasihati begitu saja! Apakah engkau akan melaporkan kepada Kanjeng Rama? Atau kepada Ibu karena engkau adalah anak emas dari Kanjeng Ibu? Boleh, akan tetapi awas kau!"
"Kakang-Mas, aku tidak takut akan ancamanmu. Akan tetapi akupun bukan seorang besar mulut yang suka menceritakan atau mengadu kepada Kanjeng Rama dan Kanjeng Ibu. Aku hanya memberi nasihat sebagai saudaramu, kalau tidak kau dengarkan, terserah karena apa yang akan ditanam oleh tangan kanan, buahnya akan dipetik oleh tangan kiri sendiri!"
Setelah berkata demikian, pemuda remaja itu cepat meninggalkan mereka, masuk ke dalam.
"Wah, Adik Paduka itu sungguh galak, Raden Mas!"
Kata Bajul Kanisto.
"Kalau saya yang mempunyai Adik seperti itu, tentu sudah saya pukul!"
Panji Sarono mendelik kepada si pendek gendut, orang ke empat dari Empat Bajul itu.
"Hemm, boleh kau coba untuk memukul Panji Saroto, tentu dalam belasan bahkan puluhan jurus belum tentu engkau berhasil. Kau tahu, adikku itu memiliki bakat yang hebat dalam ilmu pencak silat, sehingga sekarang sudah hampir melampuai tingkatku!"
Mendengar ini, Bajul kanisto melongo dan empat orang itu menjadi kagum.
"Bagaimana kalau dia melapor kepada Kanjeng Empu...?"
Tanya Bajul Sengoro khawatir.
"Jangan takut, adikku itu biarpun lancing, tak pernah mau mengadu. Nah, kalian berangkatlah dan laksanakan tugas kalian baik-baik. Sekali ini aku ingin kalian berhasil dan hadiahnya tentu banyak."
Empat orang itu berangkat pergi dan Panji Sarono memasuki kamarnya dengan hati puas. Akan tetapi Panji Saroto duduk termenung di dalam kamarnya, alisnya berkerut. Itulah akibat perang saudara, pikirnya sedih. Ketika terjadi perang antara Lumajang dan Majapahit, Ayahnya dan Kakaknya ikut maju berjuang membela Majapahit. Dan dalam keadaan perang seperti itu, tentu saja Kakaknya boleh mengumpulkan kekuatan dengan mempergunakan tenaga orang-orang dari golongan manapun sehingga Kakaknya bergaul dengan orang-orang macam Empat Bajul itu. Sayangnya, setelah perang selesai Kakaknya terus mempergunakan empat orang jahat itu menjadi kaki tangannya! Dia merasa khawatir sekali karena bagaimanapun juga, dia amat mencinta Kakak kandungnya yang merupakan saudara tunggalnya itu.
Ketika memasuki taman dan melihat betapa kekasihnya begitu bertemu dengannya langsung saja menubruk dan merangkul pinggang, menyembunyikan mukanya di dadanya, Ong Cun terkejut. Belum pernah Darmini bersikap seperti ini! Karena rindukah? Karena sedih hendak ditinggal pergi? Tidak bukan, sama sekali bukan. Tubuh ini agak menggigil dan dua tangan yang merangkul pinggangnya itu gemetar. Dengan halus dia memegang kedua pundak gadis itu dan mendorongnya agar dia dapat mengamati wajahnya. Benar saja, Gadis itu ketakutan. Wajahnya agak pucat dan matanya terbelalak seperti seekor kelinci dikejar harimau.
"Aih, Darmini sayang. Engkau kenapakah? Engkau kelihatan ketakutan..."
Ong Cun berkata sambal tersenyum untuk menghibur bahwa tidak ada sesuat yang perlu ditakutkan.
"Ong Cun... Ah, Ong Cun... Aku takut..."
"Kenapa? Takut apakah, Darmini?"
"Semalam aku mimpi, Ong Cun."
"Bagus sekali! Mimpi tentang aku, bukan?"
Ong Cun mencoba untuk menggoda dan menghibur kekasihnya. Usahanya berhasil, Darmini Nampak terheran,
"Eh, bagaimana engkau bisa tahu?"
"Tentu saja aku tahu. Habis siapa lagi kalau bukan aku yang muncul dalam mimpimu, seperti juga kau selalu muncul dalam setiap mimpiku?"
"Jangan main-main, Ong Cun, aku sungguh khawatir. Aku bermimpi bahwa kita berdua mendayung sebuah perahu di tengah lautan..."
"Wah, senangnya, berperahu berdua saja!"
Ong Cun memotong, masih bergurau untuk menenangkan hati Darmini yang kelihatan agak pucat itu.
"Tiba-tiba air lautan itu berubah merah seperti darah! Aku terkejut sekali dan pada saat itu, engkau terpelanting keluar dari dalam perahu, jatuh ke dalam lautan merah itu, aku menjerit dan sadar. Aku khawatir sekali, Ong Cun karena mimpi seperti itu tentu merupakan alamat yang buruk sekali."
Diam-diam Ong Cun juga merasa heran akan mimpi kekasihnya, namun dengan sikapnya tenang dia memegang tangan gadis itu.
"Jangan pikirkan lagi tentang mimpi, Darmini. Mimpi terjadi karena banyak pikiran mengganggu batin. Tenanglah."
"Tapi aku... aku takut, aku seperti mendapat firasat yang buruk tentang dirimu, Ong Cun. Ah, bagaimana mungkin hatiku dapat tenteram kalau engkau pergi meninggalkan aku? Apakah keberangkatanmu itu tidak dapat diundur saja?"
Kilat Pedang Membela Cinta Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ong Cun menggeleng kepala.
"Kalau menurut keinginan hatiku, aku ingin selamanya berada di sampingmu dan tidak pergi lagi, Darmini. Akan tetapi pada saat ini aku adalah seorang anggauta rombongan Laksamana The Ho. Aku harus mentaati perintah atasan. Pula, aku harus cepat-cepat pulang untuk mendapatkan ijin orang tuaku, baru aku akan terbang kembali ke sini secepatnya. Ah, kalau saja aku bersayap, tentu aku akan terbang, tidak naik perahu yang memakan waktu lama."
"Tapi... tapi, mimpiku semalam..."
"Mimpimu semalam? Hanya karena engkau memikirkan aku. Engkau bermimpi naik perahu bersamaku, karena engkau membayangkan aku akan segera naik perahu kembali negeriku melalui lautan luas."
"Tapi, air laut berubah merah seperti darah dan engkau terjatuh ke dalam air itu..."
"Itu timbul karena engkau mengkhawatirkan diriku. Percayalah, tidak akan ada bahaya mengancam diriku, sayang. Yang penting, engkaulah yang harus berhati-hati menjaga dirimu selama aku pergi."
"Akan tetapi jangan terlalu, Ong Cun..."
Gadis itu menahan isak.
"Tidak, Darmini. Kau kira aku kuat untuk berlama-lama terpisah darimu?"
"Ong Cun..."
Karena mereka berdekatan, kembali Darmini merangkul pinggang dan menangis di atas dada kekasihnya. Ong Cun merangkulnya dan mengelus rambut kepala Darmini untuk menghibur dan menenangkan hatinya. Di dalam diri setipa orang manusia sudah terdapat kekuatan mujijat, kepekaan yang amat halus, kepekaan inilah yang kadang-kadang dapat menangkap isyarat yang mengandung getaran halus, dan agaknya hanya di waktu masih bayi sajalah kepekaan halus itu masih bekerja dengan sempurna. Seorang bayi yang masih bersih dari pada segala macan kekotoran pikiran, dapat berhubungan dengan hal-hal yang tidak dapat diketahui oleh manusia dewasa,
Sayanglah bahwa kekuatan mujijat dan kepekaan halus ini makin lama makin menipis untuk kemudian tidak bekerja sama sekali ketika bayi itu tumbuh menjadi manusia dewasa. Kesibukan pikiran membuat batin menjadi tumpul dan sarat oleh beban menjadi kotor. Bagaikan sebuah bola lampu yang kotor tertutup debu tebal, sinarnya yang berada di dalamnya tidak dapat menyorot keluar sehingga biarpun api di dalamnya masih ada, namun tidak dapat dipergunakan lagi. Kini banyak di antara kita sibuk mencari api itu, sinar itu, dengan berbagai macam cara, menurut contoh dan Guru masing-masing. Kenapa mencari api dan sinar yang sesungguhnya sudah ada pada tiap orang manusia? Yang terpenting bukanlah mencari api dan sinarnya, melainkan MEMBERSIHKAN debu penutup itu dari batin.
Kalau batin sudah bersih, tidak lagi penuh kotoran yang keluar dari perahan pikiran yang selalu mengada-ada, maka kita tidak lagi mengejar dan mencari sinar, karena sinar itu sudah ada pada kita masing-masing. Ong Cun dan Darmini terlena dalam kemesraan kasih sayang antara mereka, dan mereka bercakap-cakap dengan penuh kasih sayang dan kemesraan karena malam itu merupakan malam terakhir bagi mereka. Biarpun keberangkatan itu masih beberapa hari lagi, namun besok pagi, Ong Cun tidak lagi diperkenankan keluar dari rombongannya yang harus bekerja keras mempersiapkan segalanya untuk keberangkatan mereka kembali ke negeri mereka. Akhirnya pertemuan itupun harus mereka akhiri. Ong Cun selalu menjaga kesopanan dan menjaga nama baik kekasihnya. Tidak boleh terlalu malam dia berada di situ.
"Darmini, harap kau simpan baik-baik pedangku itu sebagai pengganti diriku,"
Katanya sambil memegang kedua tangan kekasihnya.
"Akan kusimpan selalu, Ong Cun, juga bunga teratai darimu itu masih kusimpan dan akan terus kusimpan sampai engkau kembali kepadaku."
Untuk beberapa saat lamanya mereka berdiri berhadapan, dengan kedua tangan saling genggam, dua pasang mata saling pandang dan berbicara lebih banyak dari pada mulut mereka. Akhirnya, dengan lembut Ong Cun melepaskan kedua tangannya.
"Selamat tinggal, Darmini sayang..."
"Bukan selamat tinggal, Ong Cun, hanya selamat berpisah untuk sementara waktu saja. Jaga dirimu baik-baik dan lekaslah kembali ke sini. Ingaaat, aku selalu menantimu, siang malam..."
Darmini menahan isaknya.
"Engkau juga, jaga dirimu baik-baik, sayang. Aku pergi takkan lama, aku akan segera kembali..."
Ong Cun cepat membalikkan tubuhnya dan pergi meninggalkan kekasihnya, karena dia tahu kalau dia tidak pergi cepat-cepat, hatinya akan tidak tega berpisahan dari kekasihnya itu. Dengan langkah cepat Ong Cun keluar dari taman itu, dan karena tadi dia sudah berpamit dari Ki Demang Bragolo dan isterinya, diapun langsung saja keluar tanpa pamit lagi. Ketika dia tiba di daerah sunyi yang menuju ke tempat pemondokan rombongannya, di dekat sebuah anak sungai, mendadak dia berhenti melangkah karena dia melihat berkelebatnya bayangan tiga orang muncul dari balik batang pohon asam besar yang berdiri di tepi jalan itu. Keadaan cuaca terlampau gelap untuk dapat mengenal siapa adanya tiga orang itu.
Akan tetapi nalurinya dan juga pendengarannya yang tajam dapat mengikuti gerakan mereka dan tahulah dia bahwa tiga orang itu menyerangnya dengan dahsyat, dari depan, kanan dan kiri! Mereka menyerang dengan senjata keris. Teringatlah Ong Cun akan tiga orang yang dulu pernah menculik dan hampir memperkosa Darmini. Tentu merekalah yang kini menyerangnya! Dengan marah dia lalu mengelak sambil membalas dengan tendangan kaki kea rah penyerang di depan. Akan tetapi, orang itu dapat pula menghindarkan diri dari tendangannnya dengan loncatan ke belakang, lincah juga gerakannya. Adapun dua orang penyerang lain sudah menerjangnya dari kanan kiri lagi. Ternyata tiga orang ini memiliki gerakan yang cukup cepat dan kuat, agaknya lebih hebat dari pada tiga orang yang dulu pernah dikalahkannya ketika dia menyelamatkan Darmini.
Agaknya mereka ini telah berlatih, dan kini berlaku hati-hati, piker Ong Cun. Betapapun cepat dan kuat gerakan tiga orang pengeroyok itu, Ong Cun tidak menjadi gentar, dan bagaimanapun juga, tiga orang itu masih belum mampu menandingi kelihaian Ong Cun yang menghadapi mereka dengan tangan kosong saja. Memang pemuda ini tidak mempunyai senjata Lain kecuali Lian-Hwa-Kiam. Akan tetapi pedang itu telah diberikannya kepada Darmini dan sekarang dia tidak mempunyai senjata lain kecuali sepasang tangannya. Namun, ini saja sudah cukup untuk menghadapi pengeroyokan tiga orang itu. Kegelapan tempat di bawah pohon asam itu menguntungkan Ong Cun karena baik sepasang matanya maupun sepasang telinganya lebih tergembleng dan lebih tajam daripada tiga orang pengeroyoknya.
Dia mampu mengikuti gerakan mereka melalui pendengarannya saja. Beberapa kali kaki dan tangannya sudah berhasil menyerempet tubuh para pengeroyoknya sehingga beberapa kali mereka itu terjatuh. Akan tetapi, mereka memiliki tubuh yang kebal juga karena begitu terjatuh, mereka sudah cepat meloncat bangkit dan menyerang kembali. Hal ini terutama sekali karena serangan Ong Cun tidak mengenai sasaran yang tepat. Dalam keadaan cuaca yang demikian gelap memang agak sukar untuk mengarahkan serang ke sasaran yang tepat. Selagi Ong Cun mendesak tiga orang pengeroyoknya, tiba-tiba nampak bayangan hitam lain berkelebat dan bayangan ini menyerangnya dari samping dengan tikaman keris. Gerakannya cepat dan kuat sekali, lebih kuat dari pada tiga orang pengeroyok terdahulu.
"Bretttt...!"
Keris situ merobek ujung baju Ong Cun yang menjadi marah sekali. Dengan gerakan refleks yang amat cepat, sebagai reaksi dari serangan lawan yang nyaris merobek perutnya, tubuhnya menerjang dan tangannya menampar dengan kekuatan sinkang.
"Wuuuutttt..."
Orang itu mengelak dengan menjatuhkan diri, namun tetap saja tangan kiri Ong Cun yang menyambar itu mengenai pundaknya.
"Krekk...!"
Patahlah tulang pundak orang itu yang mengeluarkan teriakan kesakitan dan meloncat jauh ke belakang.
Akan tetapi, pada saat itu, Ong Cun yang juga mengeluarkan teriakan tertahan dan tubuhnya terhuyung lalu dia roboh terpelanting, tangan kirinya mendekap lambung yang terluka dan tangan kanan mencengkeram ke atas seperti hendak menyerang orang yang telah melukainya dengan parah itu. Melihat Ong Cun roboh, orang-orang yang mengeroyoknya berloncatan dan menghilang ke dalam kegelapan malam. Ong Cun merangkak bangun, ketika hendak berdiri dia terguling lagi. Tahulah dia bahwa dia telah menderita luka parah sekali, bahkan nyawanya takkan tertolong lagi. Dibandingkan dengan tempat rombongannya berada, rumah Ki Demang Bragolo lebih dekat, dan sebelum dia mati, dia harus bertemu lebih dulu dengan Darmini. Maka diapun mengerahkan tenaga terakhir, tertatih-tatih dan terhuyung-huyung dia kembali ke taman yang tadi ditinggalkan.
"Darmini... ohhhh, Darmini...!"
Dia memanggil-manggil dari dalam taman itu. Agaknya Darmini belum tidur, bahkan masih belum memasuki kamarnya. Ia sedang berdiri di depan jendela yang terbuka, memandang ke arah taman, mengenangkan pertemuannya yang terakhir dengan kekasihnya tadi. Tentu saja ia mendengar Ong Cun yang memanggil-manggilnya dengan lemah itu.
"Ong Cun...!"
Ia menjerit karena ada perasaan tidak enak menusuk hatinya. Sambil mengangkat sedikit kainnya sampai ke betis, iapun lari keluar dari dalam kamarnya, masuk ke dalam taman.
"Ong Cun...!"
Ia menjerit ketika melihat kekasihnya itu duduk terkulai di atas bangku tempat mereka biasa bertemu, dan Nampak bajunya penuh darah yang mudah dilihat di bawah sinar lampu taman. Ia lari menubruk dan dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika ia melihat Ong Cun mendekap lambung yang mengeluarkan banyak darah.
"Darmini... aku... Aku..."
Pada saat itu, terdengar suara keras.
"Suheng...!"
Dan munculnya Kwee Lok. Melihat keadaan Suhengnya, diapun menubruk dan merangkul Suhengnya.
"Suheng, aku disuruh menyusulmu... ah, apa yang telah terjadi, Suheng? Engkau terluka parah, siapakah yang melakukan ini dan mengapa?"
"Sute..., aku tadi..., ahhhhh, sute...! Darmini...!"
Tubuh itu terkulai dan tak bergerak lagi.
"Ong Cuuuuuuuunn...! Ong Cuuunnnn...!"
Darmini menjerit-jerit dan terguling pingsan di samping jenazah Ong Cun yang masih di pangku olhe Sutenya. Kwee Lok hanya dapat menangis ketika melihat betapa Suhengnya telah tewas. Jeritan-jeritan itu membangunkan semua orang dan tak lama kemudian muncullah Ki Demang Bragolo bersama isterinya dan para pelayan. Tentu saja Ki Demang Bragolo terkejut bukan main, apa lagi melihat betapa calon mantunya itu telah tewas. Nyi Demang menubruk anaknya, dan memanggil-manggil namanya sambil menangis.
"Darmini... anakku... ingatlah, naik. Ini Ibumu..."
Tubuh itu dipangkunya, didekapnya dan digoncang-goncangnya. Akhirnya Darmini siuman dan melihat Ong Cun, gadis itu meronta lepas dari rangkulan Ibunya dan menubruk jenazah Ong Cun.
"Ong Cun, bawa aku mati bersamamu...!"
Jeritnya dan seperti orang kesurupan, ia menguncang-guncang tubuh Ong Cun, tanpa malu-malu lagi ia menciumi muka yang sudah pucat itu, seolah-olah dengan ciumannya hendak menggugah lagi kekasihnya yang telah mati. Akhirnya untuk ke dua kalinya iapun terguling dan jatuh pingsan.
Kwee Lok membawa jenazah Suhengnya kembali ke pemondokan rombongan Laksamana The Ho yang merasa prihatin sekali dengan terjadi pembunuhan lagi atas diri seorang di antara anak buahnya yang baik. Akan tetapi karena urusan itu agaknya menyangkut pribadi, dan karena rombongannya akan segera berangkat dan pemerintah setempat tidak ada hubungannya dengan pembunuhan itu, maka diapun tidak mau memperpanjangnya lagi. Jenazah Ong Cun yang beragama Islam dikubur secara sederhana dan rombongan itupun segera mempersiapkan diri untuk berlayar kembali ke negerinya. Darmini diangkat ke dalam kamarnya dan dalam keadaan pingsan. Dan kalau saja tidak dicegah oleh Ayah dan Ibunya, tentu malam itu dara ini sudah membunuh diri menggunakan pedang Lian-Hwa-Kiam peninggalan Ong Cun.
Akan tetapi Ibunya menangisinya dan akhirnya Darmini membatalkan niatnya untuk membunuh diri dan ia hanya menangis saja di atas tempat tidurnya, tidak mau keluar dari kamar, tidak mau makan atau minum. Pada keesokan harinya, Ki Demang Bragolo menghadiri pemakaman jenazah Ong Cun, dan dia bersama isterinya membujuk Darmini untuk makan dan minum. Namun gadis ini tetap tidak mau sehingga akhirnya ia ditinggal seorang diri di kamarnya. Darmini hanya tidur, kalau terjaga hanya menangis. Sehari itu suasana di rumah Ki Demang Bragolo Nampak sunyi dan berkabung. Untuk menghilangkan semua kedukaan itu, Ki Demang Bragolo mencari hiburan atau melarikan diri kepada minuman keras yang disukanya dan setelah mabok diapun tertidur.
Tidak ada yang kekal di dunia ini, bahkan hidup inipun tidak. Sekali waktu, entah kapan, entah cepat atau lambat, hidup inipun akan terhenti, direnggut kematian yang tiba-tiba maupun lambat-lambat. Sedangkan nyawa kitapun bukan milik kita, apa lagi benda-benda di luar tubuh kita. Oleh karena itu, tidaklah sia-sia belaka dan hanya menimbulkan kesengsaraan kalau kita terikat kepada apapun juga. Yang kita namakan "AKU"
Yang kita agung-agungkan, yang selalu kita turuti keinginannya, sebenarnya hanyalah angan-angan belaka. Buatan pikiran yang tidak ingin menerima kenyataan bahwa semua ini akhirnya akan terhenti dan lenyap! Karena itu, mengapa kita tidak mau membuang semua ikatan dengan apapun juga? Kenapa kita tidak menikmati hidup ini saat demi saat?
Menikmati hidup bukan berarti mengumbar kesenangan, bukan berarti menjadi hamba nafsu badani dengan segala macam keinginannya. Sama sekali bukan! Menikmati hidup dalam hal ini berarti bahwa kita menyelami dan menghayati hidup ini detik demi detik, saat demi saat. Sudahkah kita melakukan ini? Sudahkah kita benar-benar hidup, ataukah kita hanya menjadi semacam robot saja yang digerakkan oleh bahan bakar nafsu? Apakah kita hanya menjadi budak saja dari kebiasaan-kebiasaan? Hidup adalah sekarang, saat ini, detik demi detik! Mari kita selidiki diri sendiri. Kalau kita sedang makan, itupun merupakan bahagian hidup ini, saat ini kita makan, itulah saat hidup kita. Pada saat kita makan itu, pernahkah kita menyelami hidup, mencurahkan segenap perhatian kepada diri kita lahir batin, mengikuti setiap gerakan bagian tubuh?
Ataukah kita makan seperti robot kebiasaan saja, asal bergerak, mengunyah, menelan tanpa kita sadari? Demikian pula kalau kita mandi, bicara, berpikir, melamun, marah, takut, dan segala peristiwa dalam kehidupan ini, apakah terdapat KEWASPADAAN di saat itu? Pernahkah kita melihat keindahan awan berarak di angkasa? Indahnya bunga mekar dikelilingi kupu-kupu, ujung-ujung daun pohon digantungi mutiara-mutiara embun di waktu pagi, atau bergoyangnya padi-padi yang menari-nari ditiup angin di sawah? Ataukah kita sudah kehilangan sama sekali kepekaan kita, kehilangan sama sekali kegairahan hidup, kehilangan kewaspadaan dan tidak melihat betapa segala yang Nampak maupun yang tidak nampak merupakan limpahan berkah untuk kita? Kalau semua itu belum kita lakukan, marilah mulai detik ini juga, kita menikmati hidup dengan jalan mawas diri,
Mengamati diri penuh kewaspadaan setiap saat, waspada terhadap segala sesuatu yang bergerak maupun yang tidak bergerak di luar dan terutama sekali di dalam diri sendiri! Siapa tahu mungkin malam nanti atau besok pagi kita akan mati! Sebelum mati, mari kita nikmati segala keindahan ini. Tengoklah awan putih berarak di bawah langit biru itu. Bintang-bintang cemerlang gemerlapan di langit hitam. Matahari pagi timbul dengan agungnya. Matahari tenggelam dengan sayunya. Betapa ajaib tubuh kita ini! Dengarkan jantung berdetik setiap saat tanpa henti-hentinya, baik kita kehendaki ataupun tidak. Pertumbuhan kuku dan rambut yang tidak nampak tapi pasti, di luar kekuasaan kita untuk mengaturnya pula. Lihat Perhatikan semua itu dan kita akan menemukan sumber pelajaran tentang hidup yang amat indah dan tiada habisnya dalam diri kita sendiri.
Malam itu Jumat Kliwon, Malam Jumat Kliwon yang dianggap malam keramat, malam yang menyeramkan karena pada malam seperti itu biasanya segala setan iblis dedemit keluar dari tempat persembunyian mereka untuk berpesta pora. Malam itu amat menyeramkan, juga amat dinginnya. Sore tadi hujan deras sekali, dan setelah malam tiba, mendung masih menghitamkan langit menyembunyikan bintang-bintang. Malam yang masih basah, dingin dan menyeramkan. Jarang ada orang keluar rumah pada malam hari itu, lebih aman rasanya berada di dalam rumah, dimana terdapat penerangan lampu dan kehangatan teman.
Bau kemenyan dan dupa yang dibakar orang dengan maksud untuk menyenangkan hati para mahluk halus agar jangan mengganggu manusia, bahkan diharapkan agar dapat membantu, berhamburan keluar dari rumah-rumah, membuat malam itu terasa semakin menyeramkan bagi mereka yang kebetulan berada diluar. Kembang setaman dalam takir daun pisang diletakkan orang di sudut-sudut yang dianggap patut, dibawah-bawah pohon bessar, di dapur agar dapur itu setiap hari dapat mengepulkan asap dan uap di tempat-tempat dagangan dengan harapan agar dagangannya semakin laris, pendeknya di mana saja asal menguntungkan. Suasana di Lumajang amat sunyi karena jarang ada orang keluar rumah. Agaknya peristiwa pembunuhan atas diri seorang Cina yang terjadi pada malam sebelumnya, menambah keseraman itu.
Berita tentang pembunuhan itu sudah tersiar dan semua orang bergidik. Perang telah selesai, keadaan sudah aman tentram, maka pembunuhan atas diri seorang saja sudah dapat membuat semua orang merasa tidak aman dan gelisah. Memang demikianlah selalu. Di waktu perang, biarpun puluhan, ratusan bahkan ribuan orang terbunuh, tidak akan menghebohkan orang. Akan tetapi, di waktu aman, pembunuhan atas diri seorang saja sudah cukup menggegerkan. Seolah-olah dalam perang, secara mendadak kutukan terhadap pembunuhan antara sesame manusia dicabut, bahkan membunuh berbalik menjadi hal yang amat dibanggakan dan di puji! Akan tetapi, menjelang tengah malam, nampak asap dupa yang tebal mengepul di dalam pekarangan kuburan yang lebih sunyi lagi.
Kuburan ini berada di luar kota, di tempat terpencil dan di dalam keremangan cuaca, nampak dua orang laki-laki sedang duduk bersila di depan sebuah makam kuno. Seorang di antara mereka terdengar membaca mantera diikuti oleh orang ke dua yang seolah-olah sedang menghafalkan mantera itu. Asap dupa mengepul semakin tebal dan bau bunga-bunga kamboja yang tumbuh di perkuburan itu kini menjadi semakin wangi karena bercampur bau dupa. Wangi yang menyeramkan. Wangi yang disuka oleh mahluk halus, akan tetapi membuat manusia merasa seram dan mendirikan bulu tengkuk. Setelah asap dupa menipis, mereka berhenti membaca mantera dan mereka bangkit berdiri. Seorang diantara mereka, yang tadi mengajarkan mantera, dan bertubuh kecil bongkok terkekeh. Suara ketawanya juga menyeramkan, seperti suara burung hantu.
"Hu-huh-huk, dengan aji penyirepan Dresti Nendra ini. Setelah kau kerahkan, semua orang sekampung akan tidur nyenyak dan tidak akan dapat tergugah walaupun ada seekor gajah mengamuk. Heh-heh-hek!"
"Terima kasih Eyang. Terimalah sumbangsih saya ini sebagai tanda terima kasih kepada Eyang."
Kata orang kedua sambil mengambil sesuatu dari ikat pinggangnya.
"Oohh-he-hoh, andika baik sekali, terima kasih heh-heh... ohhhh!!"
Suara ketawa itu ditutup teriakan kaget dan kesakitan karena orang ke dua itu tadi mengeluarkan sebatang keris dan tahu-tahu keris itu telah dihujamkan ke dada Kakek bongkok. Tanpa dapat bersambat lagi Kakek itupun roboh terkulai dan tewas seketika ketika keris dicabut. Setelah memeriksa dan mendapat keyakinan bahwa Kakek bongkok itu telah tewas. Darahnya mengalir membasahi tanah depan makam kuno, orang itupun melompat dan lenyap ke dalam kegelapan malam! Kuburan itu menjadi semakin menyeramkan.
Seolah-olah terasa teriakan-teriakan dan loncatan-loncatan segala macam mahluk yang tidak nampak, yang menjadi gempar dengan terjadinya peristiwa yang amat kejam dan mengerikan itu. Malam semakin larut dan semakin sunyi, juga semakin menyeramkan. Terutama sekali di sekitar gedung Ki Demang Bragolo yang masih diliputi suasana berkabung sepanjang hari tadi. Pada tengah malam tadi nampak asap yang mengepul keluar dari dalam rumah itu, dan asap ini begitu keluar dari rumah disambut angin dan membuyar ke empat penjuru. Bau wangi yang menyeramkan seperti yang tercium di kuburan tadi kini memenuhi udara. Seluruh penghuni rumah Ki Demang Bragolo tertidur nyenyak. Demikian pula dengan Nyi Demang dan Darmini. Tadi, dua orang wanita ini masih bercakap-cakap didalam kamar Darmini.
Ibu gadis itu tidak mau meninggalkan puterinya dan selalu menemaninya sejak kemarin malam. Darmini sudah dapat dibujuk Ibunya dan mau makan dan minum sedikit, akan tetapi masih sering menangis sambil memangku pedang Lian-Hwa-Kiam dan setangkai bunga teratai yang sudah layu. Kini, lampu masih bernyala di atas meja dan kedua orang wanita itu juga tertidur nyenyak. Akan tetapi kedudukan tubuh mereka menunjukkan bahwa mereka tidur dengan cara yang tidak wajar! Nyi Demang tertidur dalam keadaan duduk di atas kursi dan kepalanya terkulai diatas meja. Sedangkan Darmini lebih aneh lagi. Ia tidur pula dalam keadaan duduk pula di atas pembaringan, tubuhnya bersandar kepada dinding, dan kedua tangannya masih memegang pedang Lian-Hwa-Kiam dan setangkai bunga teratai layu yang terletak di atas pangkuannya.
Rambutnya terlepas riap-riapan diatas pundak dan dadanya, pakaiannyapun kusut, mukanya tidak berbedak. Akan tetapi keadaan yang tanpa riasan itu bahkan menonjolkan kecantikan aseli dari Darmini. Ia tertidur pulas sekali, mulutnya setengah terbuka dan napasnya lambat-lambat dan panjang. Daun pintu dibuka dengan paksa dari luar. Biarpun hal ini menimbulkan bunyi gaduh, namun kedua orang wanita itu sama sekali tidak bergerak. Juga semua orang yang tidur didalam rumah itu tidak ada yang terbangun, seolah-olah tidak ada lagi mahluk hidup tinggal di rumah itu. Keadaan ini tidaklah wajar dan inilah akibat kekuatan aji penyirepan Dresti Nendra! Daun pintu terbuka dan sesosok bayangan meloncat masuk. Daun pintu dibiarkan saja terbuka.
Orang itu memperhatikan keadaan dalam kamar dengan sinar matanya yang mencorong, kemudian dia tertawa kecil dan mengambil pedang dan bunga teratai dari pangkuan Darmini, melempar kedua benda itu ke atas meja. Setelah mengamati gadis itu beberapa lamanya sehingga sinar matanya menjadi semakin mencorong penuh gairah, diapun menggerakkan tangan ke arah meja dan lampu itupun padam. Cuaca menjadi remang-remang gelap, sukar untuk mengenal wajah orang dalam cuaca seperti itu. Orang itu lalu merangkul tubuh Darmini dan diangkatnya, dipangkunya di atas pembaringan. Diapun mendekatkan mulut di telinga gadis itu dan membaca mantera. Gadis itu mengeluh dan mengulet, akan tetapi terkejut sekali ketika mendapat kenyataan bahwa dirinya berada di atas pangkuan orang, dalam pelukan orang.
"Ehhh! Apa... siapa... siapa andika? Lepaskan aku!!"
Teriaknya. Biarpun gadis itu berteriak, namun orang itu tidak berusaha untuki menutup mulutnya. Biarkan ia berteriak siapa yang akan dapat mendengarnya dalam keadaan tidur lelap seperti mati? Dia bahkan memperkuat dekapannya sampai Darmini tidak mampu berkutik lagi, dan dia mengeluarkan suara ketawa seperti ringkik kuda lalu berkata,
"Manis, Cina kekasihmu itu telah kubunuh dan sekarang engkau harus menjadi milikku. Aih, betapa lama sudah aku menahan rindu kepadamu!"
Dan dia lalu memeluk lebih kuat dan menciumi muka Darmini. Gadis itu menjerit, meronta, dan menangis. Jantungnya seperti ditusuk-tusuk rasanya. Jadi orang inikah pembunuh Ong Cun?
"Ong Cuuunnn... ah, ini pembunuhmu... Ahhhhh..."
Ia meronta dan jatuh pingsan ketika orang itu merenggut robek pakaiannya. Ia tidak ingat apa-apa lagi. Ketika Darmini siuman atau tersadar, karena ia sendiri tidak tahu apakah ia tadi pingsan ataukah hanya tidur saja, ia merasa tubuhnya nyeri semua, tulang-tulang seperti patah-patah. Teringatlah ia akan keadaannya dan iapun bangkit duduk, lalu menelungkup dan menangis terisak-isak. Orang itu telah tidak ada disitu, meninggalkan aib dan merenggut kehormatannya. Ia telah diperkosa, hal ini dapat dirasakannya.
"Aduh, Gusti...!"
Ia meratap dan air matanya membanjir lagi setelah sehari kemarin ia menangisi kematian Ong Cun.
Kini ia menangisi dirinya sendiri yang tertimpa malapetaka, rasanya lebih hebat daripada maut. Lebih menyedihkan dan menghancurkan hati daripada ditinggal mati Ong Cun. Kemudian ia teringat kepada Ibunya. Di mana Ibunya? Ia menggigit bibir menahan rasa nyeri pada tubuhnya, turun dari pembaringan, menyambar kainnya dan menyelimuti tubuh dengan kain. Ia meraba-raba dalam gelap dan terkejut ketika tangannya menyentuh Ibunya yang ternyata masih tidur di atas kursi, dengan kepala tertumpang pada kedua lengan di atas meja! Diambilnya batu api dengan meraba-meraba sehingga ia menyentuh pedang Lian-Hwa-Kiam dan bunga teratai layu di atas meja dan dinyalakannya lampu. Kini nampak olehnya tanda bahwa ia memang telah diperkosa orang. Darah di atas nilam tempat tidurnya.
"Ong Cunnnn...!"
Ia menjatuhkan diri berlutut di atas lantai, menelungkup dan menangis meratap-ratap, sesenggukan. Kemudian ia menjadi bringas dan diambilnya pedang dari atas meja. Dicabutnya pedang itu. Ia harus mati! Untuk apa lagi hidup menanggung aib yang begini hebat?
"Ong Cun, aku menyusulmu, Ong Cun...!"
Ia hendak menusuk dadanya dengan pedang, akan tetapi pedang itu terlampau panjang sehingga sukarlah hal itu dilakukan. Melihat betapa pedang itu amat tajam, ia lalu bermaksud untuk menggorok leher sendiri. Akan tetapi, sebelum pedang menempel di kulit lehernya yang halus tipis, tiba-tiba ia terbelalak! Ia melihat wajah Ong Cun di depannya. Jelas benar! Itulah Ong Cun!
"Ong Cun...!"
Ia melempar pedang itu ke atas lantai dan mengembangkan kedua lengannya sehingga kain yang menyelimuti tubuhnya terlepas. Ia tidak perduli akan ketelanjangannya nampak oleh Ong Cun. Ia hendak menubruk. Akan tetapi, tiba-tiba wajah itu lenyap!
"Ong Cun...!"
Ia menjerit. Tiba-tiba ia mendengar suara Ong Cun, lapat-lapat namun jelas sekali terdengar olehnya.
"Darmini, ingatlah. Membunuh diri adalah perbuatan yang amat hina dan dikutuk oleh Langit dan Bumi. Pula, kalau engkau membunuh diri, lalu siapa yang akan menyelidiki, siapa yang akan mencari pembunuhku dan pemerkosamu?"
"Ong Cun... ah, hu-hu-hu-hu, Ong Cun...!"
Darmini menangis mengguguk lagi sambil melungkup di atas lantai. Akan tetapi niat untuk membunuh diripun lenyap sama sekali. Setelah mereda tangisnya, ia lalu bangkit, dan terjadi perubahan pada gerak-geriknya. Tubuhnya masih nyeri semua rasanya, akan tetapi ia menggigit bibir dan bertekad untuk menanggungnya tanpa keluhan. Ong Cun benar! Masih banyak waktu kelak untuk menyusul Ong Cun. Akan tetapi ia harus menemukan pembunuh kekasihnya, dan orangnya adalah pemerkosanya tadi! Pembunuhan atas diri Ong Cun dan perkosaan atas dirinya yang dilakukan oleh seorang, tak boleh dibiarkan begitu saja. Dikenakan pakaiannya, dan diambilnya pedang Lian-Hwa-Kiam, dipeluknya pedang telanjang itu, lalu diangkatnya dengan kedua tangannya ke atas kepala, mengacung ke atas.
Sepasang Naga Lembah Iblis Karya Kho Ping Hoo Jodoh Rajawali Karya Kho Ping Hoo Naga Sakti Sungai Kuning Karya Kho Ping Hoo