Kilat Pedang Membela Cinta 3
Kilat Pedang Membela Cinta Karya Kho Ping Hoo Bagian 3
"Aku bersumpah untuk mencari jahanam itu dan dengan pedang ini akan kubalaskan dendam kami. Semoga para Dewata membantuku!"
Dalam waktu semalam saja, Darmini yang tadinya merupakan seorang wanita lemah yang tahunya hanya meratap dan menangis, kini menjadi seorang wanita yang dingin dan tabah, penuh dendam kesumat. Dengan tenang ia membersihkan noda darah di tilam pembaringannya karena peristiwa yang baru saja terjadi di atas pembaringannya takkan diberitahukan kepada siapapun juga.
Aib itu akan dibawanya sampai mati, setelah ia berhasil membalas dendam, membunuh jahanam yang memperkosanya, yang telah membunuh kekasihnya. Setelah membereskan semua, ia duduk di atas pembaringan. Pedang yang sudah disarungkan berada di dekatnya, juga bunga teratai layu. Ia tidak menangis lagi. Tidak, mulai saat itu ia tidak menangis lagi. Ia tidak akan memperlihatkan kelemahan lagi. Ia harus menjadi seorang wanita yang kuat, karena hanya kalau menjadi seorang wanita kuat saja ia akan mampu membalas dendam! Mulailah ia mengingat-ingat. Siapa gerangan orang yang memperkosanya tadi, yang juga telah membunuh Ong Cun? Ia merasa menyesal sekali mengapa ia tak sadarkan diri sehingga ia tidak dapat mengenal orang itu.
Biarpun perkosaan itu terjadi di dalam kegelapan, namun kalau ia tidak pingsan, sedikit banyak ia tentu akan dapat mengingat ciri-ciri orang tadi. Sekarang, sama sekali tidak ada ciri-ciri yang teringat olehnya, kecuali suaranya yang parau dan ketawanya yang seperti ringkik kuda. Akan tetapi, suara dapat diatur dan diubah. Bahkan perawakan orang itupun ia tidak tahu, apalagi bentuk wajahnya, tidak tahu pula tua mudanya! Celaka! Akan tetapi, demikian ia memutar otaknya, siapakah yang mempunyai alasan kuat untuk membunuh Ong Cun dan memperkosanya? Kedua perbuatan itu dilakukan tentu karena satu hal, yaitu bahwa orang itu tergila-gila kepadanya dan cemburu melihat ia memilih Ong Cun. Pemerkosanya itupun mengatakan bahwa setelah membunuh Ong Cun, dia harus memilikinya karena sudah lama merindukannya! Siapakah laki-laki yang sudah lama merindukannya?
Terbayanglah beberapa wajah laki-laki. Banyak sudah orang yang pernah mengajukan pinangan kepada dirinya, baik melalui orang tuanya maupun langsung kepadanya, pinangan yang semuanya ditolaknya dengan halus. Kiranya mereka itu tidak mendendam kepadanya, sedikit sekali kemungkinan di antara para peminang yang ditolak itu mengandung dendam dan melakukan pembunuhan terhadap Ong Cun dan perkosaan keji terhadap dirinya itu. Lalu siapa gerangan? Wajah tiga orang penculiknya terbayang terutama sekali si muka hitam bertubuh raksasa itu dan ia bergidik. Orang-orang seperti itu mungkin saja melakukan kecurangan. Mereka adalah penjahat-penjahat kejam dan memang berasalan kalau mereka yang melakukan perbuatan terkutuk itu. Mereka pernah dihajar oleh Ong Cun, hal itu dapat menimbulkan dendam, dan tentang memperkosanya,
Menurut penilaiannya, seorang di antara mereka mungkin saja melakukan hal itu. Ong Cun dibunuh secara keji dan pengecut, walaupun ia tidak melihatnya sendiri namun dapat diduganya bahwa tentu Ong Cun dibunuh secara curang. Kalau tidak, mana mungkin Ong Cun yang gagah perkasa itu dapat dikalahkan lawan lalu meninggalkan gelanggang? Orang seperti kekasihnya itu kalau bertemu lawan, tentu akan menang atau mati di tempat. Kenyataan bahwa Ong Cun lari sampai ke taman dan memanggil-manggilnya, menjadi bukti bahwa dia tentu di serang secara sembunyi dan penyerangnya melarikan diri. Lalu siapa lagi yang dapat dimasukkan catatan sebagai orang yang mungkin menjadi musuh besarnya itu? Panji Sarono! Ah, pemuda itu sudah lama mencintanya, akan tetapi selalu ditolaknya.
Dan Panji Sarono bersama Empu Tanding pernah menegur mengenai pertemuannya dengan Ong Cun di dalam taman, bahkan kemudian Panji Sarono dikalahkan oleh Ong Cun. Pantas sekali kalau pemuda itu menaruh dendam dan membunuh Ong Cun. Memperkosanya? Bukan tidak mungkin bagi orang seperti Panji Sarono. Ia sudah banyak mendengar tentang pemuda itu dari berita diluar. Seorang pemuda mata keranjang, sombong, mengandalkan kedudukan untuk mempermainkan banyak wanita, tidak perduli ia gadis atau isteri orang! Akan tetapi, siapapun orangnya yang telah membunuh Ong Cun dan memperkosa dirinya, jelas adalah seorang laki-laki yang tangguh. Apa dayanya sebagai seorang wanita lemah untuk menghadapinya? Apa yang dapat dilakukannya andaikata ia berhasil menemukan musuh itu? Membalas dendam? Bagaimana caranya?
"Aahhh, Ong Cun, apa yang harus kulakukan? Apa yang harus kulakukan?"
Ia meratap dan mendekap pedang Lian-Hwa-Kiam. Ketika ia mendekap pedang itu, seperti ada penerangan mengusir kegelapan hatinya. Tentu saja dengan pedang ini! Dan untuk itu ia harus belajar bagaimana harus mempergunakan pedang ini sebaiknya! Seolah-olah demikian bisikan suara Ong Cun kepadanya
"Baiklah, kekasihku, baiklah. Aku akan mempelajari ilmu kadigdayaan (kesaktian) dan akan kupergunakan pedangmu ini untuk membalas dendam!"
Demikian keputusan yang diambilnya.
Pada keesok harinya, segala berjalan seperti biasa seolah-olah malam tadi tidak terjadi sesuatu. Hanya banyak orang yang merasa heran, termasuk Nyi Demang karena malam tadi banyak di antara mereka yang tertidur begitu saja di tempat mereka duduk, seolah-olah mereka tak dapat lagi menahan rasa kantuk dan tidak sempat pindah ke atas pembaringan. Akan tetapi karena tidak terjadi sesuatu, tidak ada yang mempersoalkan hal itu, tidak tahu bahwa malam tadi mereka tidur karena pengaruh aji penyirepan yang ampuh!
Semenjak kematian Ong Cun, Darmini lebih banyak mengeram diri di dalam kamarnya. Ia tidak menangis lagi, akan tetapi kini wajahnya Nampak dingin dan acuh kehilangan sinar seolah-olah menjadi boneka hidup yang tidak bergairah. Melihat keadaan ini, tentu saja Ki Demang Bragolo dan isterinya menjadi khawatir sekali, prihatin dan berduka. Kurang lebih satu bulan semenjak kematian Ong Cun, pada suatu senja, rumah Ki Demang Bragolo kedatangan tamu. Mereka adalah Empu Tanding dan isterinya. Suami isteri bangsawan ini Nampak agung ketika menuruni kereta yang membawa mereka dari rumah berkunjung ke Kademangan.
Empu Tanding, biarpun usianya sudah enam puluh tahun dan rambutnya sudah putih, namun tubuhnya masih Nampak tegap dan sore itu dia Nampak gagah dan keren dengan pakaian baru, tidak ketinggalan tongkat hitamnya yang berbentuk ular. Isterinya berusia kurang lebih empat puluh dua tahun, kelihatan masih muda dan cantik, dengan pakaian baru pula. Ki Demang Bragolo dan isterinya menyambut kedatangan tamu ini dengan gembira dan heran. Tidak seperti biasanya suami isteri bangsawan yang masih sanak itu kini datang berkereta dan dengan pakaian serba baru, kelihatan dari pakaian dan sikapnya bahwa kunjungan ini adalah kunjungan resmi, bukan sekedar ajang ono antara keluarga belaka. Merekapun menyambut tamu itu dengan sikap Ramah dan hormat. Nyi Demang segera berangkulan dengan Nyi Empu,
"Ah, angin apakah yang menerbangkan Kakang Empu dan Mbakyu ke sini? Selamat datang dan silahkan masuk."
Mereka memasuki ruangan dalam dan sepasang tamu itu dipersilahkan duduk. Pelayan segera datang menghidangkan air the panas dan kueh yang terbuat dari ketan. Setelah berbasa-basi saling menanyakan keselamatan, Ki Empu Tanding menoleh ke kanan kiri dengan mata mencari-cari.
"Eh, adimas Demang, ke mana perginya Nini Darmini? Sejak tadi aku tidak melihatnya!"
"Benar, akupun sudah kangen kepada Nini Darmini! Dimana keponakanku yang cantik itu?"
Sambung pula Nyi Empu. Ditanya demikian, tiba-tiba saja Nyi Demang menitikkan air mata yang diusahakan untuk dihapus secepatnya.
"Eh, engkau kenapakah Diajeng? Kenapa tiba-tiba menangis!"
Tanya Nyi Empu. Nyi Demang menghela napas panjang.
"Anak kami itu masih berkabung atas kematian tunangannya, selalu berada di dalam kamar dan jarang sekali keluar, sungguh membuat hati kami merasa prihatin sekali."
"Itu tandanya bahwa ia seorang tunangan yang setia Diajeng. Akan tetapi kalau dibiarkan berlarut-larut dalam kedukaan juga amat tidak baik. Yang sudah mati tidak akan kembali, kenapa menyiksa diri?"
"Benar sekali kata-kata Mbakyu kalian itu,"
Empu Tanding berkata.
"Dan kedatangan kami berkunjung inipun ada kepentingan yang berhubungan dengan diri Nini Darmini. Mengingat bahwa kini Nini Darmini telah bebas, tidak terikat pertunangan dengan orang lain maka kami sengaja datang untuk mengajukan pinangan atas diri Nini Darmini, untuk menjadi pasangan atau jodoh putera sulung kami, Panji Sarono."
Ki Demang Bragolo saling pandang dengan isterinya untuk sejenak lamanya. Ki Demang Bragolo maklum bahwa isterinya tidak suka kalau Darmini dijodohkan dengan Panji sarono karena wanita itu sudah mendengar akan kelakuan Panji Sarono yang buruk, seorang pemuda perayu dan perusak pagar ayu. Akan tetapi, untuk menolak begitu saja pinangan itu, diapun merasa kurang enak, apalagi kini tidak ada alasan untuk menolak karena memang benar bahwa Darmini sudah tidak terikat oleh pertunangan dengan orang lain.
"Aku ingin sekali ada ikatan yang lebih erat antara keluar kita, Diajeng,"
Kata pula Nyi Empu.
"Kulihat sudah tepat dan serasi sekali kalau Nini Darmini menjadi jodoh Panji Sarono. Tahun ini usia Panji Sarono sudah dua puluh lima tahun, sudah cukup untuk mempunyai seorang isteri yang sah sebelum dia menduduki suatu jabatan yang akan dimintakan oleh Ayahnya kepada Sribaginda kelak. Aku suka sekali kepada Nini Darmini, anak itu begitu manis dan lemah lembut, cocok dengan puteraku yang juga tampan dan gagah."
Nyi Demang tidak dapat menjawab dan hatinya bingung pula seperti suaminya, Ki Demang Bragolo maklum akan nisi hati isterinya, maka diapun segera berkata sebagai jawaban atas pinangan itu.
"Kami menghaturkan terima kasih atas budi kecintaan Kakang-Mas Empu berdua dan kami bersyukur bahwa andika berdua masih memikirkan keadaan Nini Darmini!"
"Jadi kalian menerima pinangan kami!"
Empu Tanding mendesak. Demang Bragolo menarik napas panjang.
"Harap andika jangan tergesa-gesa, Kakang-Mas Empu. Agaknya bagi kami berdua, sungguh tak tahu diri kalau kami menolak pinangan itu, akan tetapi hendaknya diketahui bahwa kami tidak mungkin menerimanya sekarang. Kami harus bertanya dulu kepada anak kami, karena ialah yang akan menjalani pernikahan. Dan kami kira, sekarang belum saatnya bagi kami untuk membicarakan soal perjodohannya dengan orang lain kepada Nini Darmini."
"Hemm, jadi bagaimana? Kalian menolaknya?"
Empu Tanding yang memang wataknya agak keras itu menegaskan.
"Nanti dulu, Kakang Empu, jangan tergesa-gesa mengambil kesimpulan. Harus diingat akan keadaan Nini Darmini yang kau pinang untuk Panji Sarono itu. Ia masih berkabung, masih bingung. Bagaimana kami dapat bicara dengannya tentang perjodohan baru? Karena itulah kami minta waktu, satu dua bulan. Kalau keadaannya sudah membaik, tidak tenggelam dalam kedukaan lagi, barulah kami perlahan-lahan akan bicara dengannya. Nah, itulah sebabnya maka terpaksa kami belum dapat menerima pinangan itu, Kakang Empu."
Empu Tanding sudah mendengar dari puteranya betapa puteranya itu jatuh cinta kepada Darmini akan tetapi selalu Darmini bersikap tidak suka. Hal ini saja sudah membuat dia merasa penasaran, maka kini mendengar jawaban Ayah Ibu Darmini, dia merasa bahwa mereka itu sengaja mencari alasan untuk menolak pinangannya.
"Alasan itu terlalu dicari-cari!"
Demikian katanya dengan alis berkerut.
"Jawaban setiap orang anak gadis berada dimulut Ayah Ibunya! Aku tidak percaya bahwa kalian berdua tidak dapat membujuk dan memaksanya. Kalau kalian sudah menerima pinangan, sudah setuju, iapun tinggal menggangguk saja. Katakan saja kalian tidak suka mempunyai mantu Panji Sarono, habis perkara, tidak usah mencari alasan yang bukan-bukan!"
Ki Demang Bragolo diam saja, akan tetapi Nyi Demang yang tentu saja tidak berapa gentar menghadapi Kakak kandungnya sendiri, segera membantah.
"Harap Kakang tidak bicara seperti itu! Ketahuilah bahwa anak kami hanya seorang saja, dan Nini Darmini memiliki watak yang amat keras sejak kecil. Bagaimana kami dapat memaksa ia untuk melakukan sesuatu kalau ia tidak menyetujuinya? Apalagi dalam hal perjodohan, bagaimana kami dapat memaksa? Ia bukanlah seekor ayam atau domba yang dapat kami ikat dan serahkan kepada calon suaminya. Kalau sampai kami memaksa dan ia lalu nekat membunuh diri, yang kehilangan bukanlah Empu berdua, melainkan kami juga."
"Sudahlah, sudahlah, perlu apa ribut-ribut!"
Nyi Empu mencela.
"Pertemuan ini dimaksudkan untuk mempersatukan keluarga, membicarakan hal yang menggembirakan, bukan untuk bercekcok. Biarlah mereka rundingkan dulu dengan anak mereka. Kami berdua hanya mengharapkan dari andika untuk memberi kabar keputusan secepat mungkin."
"Baik, Mbakyu, berilah kami waktu paling lama dua bulan, pasti kami akan datang memberi keputusan,"
Kata Ki Demang Bragolo dengan hati lega melihat betapa Nyi Empu dapat meredakan kemarahan suaminya. Dua orang tamu itu lalu berpamit dan dengan wajah agak muram mereka meninggalkan gedung Kademangan memasuki kereta mereka, tidak seperti ketika mereka datang tadi. Pada malam harinya, dengan hati-hati sekali Nyi Demang Bragolo memasuki kamar puterinya dan mengajak puterinya bicara. Seperti biasa, Darmini hanya melayani pembicaraan Ibunya dengan singkat dan dingin saja. Akan tetapi sikapnya berubah ketika Ibunya bicara tentang kunjungan Ki dan Nyi Empu Tanding sore hari tadi.
"Ada keperluan apakah mereka datang berkunjung, Ibu?"
Tanya Darmini dan baru sekali ini semenjak kurang lebih sebulan yang lalu Darmini memperlihatkan keinginan tahu. Hal ini menggembirakan hati Ibunya yang segera merangkulnya.
"Mereka datang untuk keperluan yang ada hubugannya dengan dirimu, Nini."
Darmini semakin tertarik. Ia memandang wajah Ibunya penuh selidik lalu bertanya,
"Urusan apakah itu, Ibu?"
"Mereka datang untuk meminangmu, Darmini, untuk dijodohkan dengan Panji Sarono."
Darmini tersenyum, senyum dingin dan mengejek yang belum pernah selamanya dilihat oleh Ibu itu kepada bibir puterinya dan diam-diam ia bergidik. Ada sesuatu dalam senyum itu, sesuatu yang kejam membayang, kejam dan aneh. Lalu gadis itu berbisik dan seperti bicara kepada diri sendiri.
..".sudah kuduga... kesitu juga larinya..."
Karena ia bicara dengan bisikan. Ibunya hanya mendengar sedikit dan tidak jelas.
"Nini, kau berkata apa tadi?"
Darmini menatap wajah Ibunya.
"Tidak apa-apa, Ibu. Lalu, bagaimana pendapat Kanjeng Rama dan Ibu sendiri? Apakah pinangan itu tidak diterima begitu saja?"
Ibunya cepat menggeleng kepala. Kalau menurutkan kata hatinya, ia tentu seketika menolak dan tidak setuju kalau puterinya berjodoh dengan pemuda yang namanya terkenal buruk itu. Seorang pemuda perusak pagar ayu, gila perempuan dan tidak bertanggung jawab. Ia pernah mendengar adanya beberapa orang perawan yang membunuh diri karena mengandung tanpa Ayah, dan besar dugaan umum bahwa yang menghamili perawan-perawan itu bukan lain adalah Raden Panji Sarono!
"Kami belum memberi jawaban, anakku. Kami ingin mendengar dulu pendapatmu bagaimana, dan kami telah minta waktu satu bulan sampai dua bulan baru akan memberi jawaban."
"Tidak saja, Ibu!"
"Mengapa, anakku? Bukankah Kakak misanmu Panji Sarono seorang pemuda yang tampan, kaya raya dan bangsawan pula?"
Ibunya memancing. Sinar berapi mencorong dari sepasang mata gadis itu dan hal inipun baru pertama kali nampak oleh Ibu itu yang menjadi terkejut.
"Ibu, dia seorang pemuda yang jahat sekali. Dia perusak wanita, dia hidung belang, mata keranjang dan perusak pagar ayu! Apakah Ibu rela anaknya menjadi hamba seorang laki-laki macam begitu? Tolak saja, Ibu!"
Ibunya mengangguk-angguk.
"Terus terang saja, Ibu sudah mendengar tentang kelakuannya, Nini. Akan tetapi engkau sendiripun tahu, Ayahmu, bagaimanapun juga, adalah bekas kawulo (hamba) mendiang Sang Adipati Wirabumi yang sudah kalah, menjadi kawulo negara taklukan. Sebaliknya, Kakang Empu Tanding adalah seorang pejabat yang mewakili Sang Prabu di Majapahit, utusan pihak pemenang. Dari kedudukan saja kita sudah kalah jauh, apa lagi diingat bahwa Kakang Empu Tanding adalah Kakak kandungku. Karena itulah, maka Ayah dan Ibumu merasa susah sekali menolak. Sungguh terasa berat dan tidak enak, akan tetapi kamipun tidak sudi menerima kalau engkau tidak suka. Jadi, aku bingung sekali, bagaimana kita harus berbuat sekarang?"
Kini sikap Darmini nampak benar-benar mengherankan hati Ibunya. Puterinya yang biasanya pendiam dan lemah itu, kini kelihatan begitu tabah dan begitu tenang.
"Jangan takut, Ibu. Ada satu alasan kuat yang membuat Ayah dan Ibu dapat menolak pinangan itu dengan mudah. Aku akan pergi dari rumah ini!"
Ibunya terbelalak dan merangkul lagi puterinya.
"Pergi? Engkau seorang gadis... engkau hendak pergi ke mana, anakku?"
Dengan halus Darmini melepaskan rangkulan Ibunya. Agaknya ia telah berubah benar, tidak suka akan sifat-sifat kewanitaan yang lemah.
"Itulah yang membuat aku selaman ini berpikir dan mencari-cari, Ibu. Aku ingin bertapa dan mencari Guru yang pandai."
"Bertapa? Mencari guru? Guru apa, Nini?"
"Guru dalam olah keperwiraan, mempelajari aji kesaktian!"
"Kau? Seorang perempuan? Untuk apa, nak?"
Darmini memandang wajah Ibunya dengan sinar mata tajam.
"Ibu, lupakah Ibu sudah kepada Ong Cun?"
"Ehh? Tentu saja tidak. Akan tetapi apa perlunya diingat terus orang yang sudah meninggal dunia? Ada apa dengan Ong Cun?"
"Dia adalah seorang yang memiliki aji kedigdayaan, gagah perkasa. Akan tetapi dia terbunuh juga. Jelas bahwa pembunuhnya adalah seorang yang tangguh, Ibu. Karena itulah aku harus menjadi seorang yang digdaya, yang sakti karena aku hendak mencari pembunuh Ong Cun, untuk membalaskan dendamnya."
"Ah, untuk apa, Nini? Apa perlunya semua itu? Engkau hanya akan menempatkan dirimu ke dalam bahaya. Engkau seorang wanita akan mampu berbuat apa? Jangan-jangan engkau malah akan menjadi korban."
"Aku sudah bertekad, Ibu. Kasihan Ong Cu. Nyawanya akan melayang menjadi roh penasaran kalau dendam ini tidak terbalas. Dan dia tidak mempunyai siapapun di sini, kecuali aku. Akulah yang akan membalaskan dendamnya dan untuk itu aku harus belajar kedigdayaan dan bertapa. Sekarang kebetulan ada urusan pinangan ini. Jadi, kepergianku ini mempunyai dua keuntungan. Pertama, akan tercapai keinginan hatiku, dan kedua, dapat membebaskan Ayah dan Ibu dari keadaan serba salah. Kalau aku pergi bertapa dan berguru, tentu Uwa Empu Tanding akan mengerti bahwa kalian tidak dapat memberi keputusan mengenai pinangan itu."
Nyi Demang Bragolo nampak bingung dan gelisah.
"Akan tetapi, anakku, engkau seorang wanita muda, lalu hendak mencari Guru kemanakah? Duh gusti, kemalangan apa lagi yang harus hamba derita ini?"
Dan sepasang wanita itu sudah basah lagi.
"Sudahlah, Kanjeng Ibu, jangan menangis. Lebih baik bantulah aku. Tadinya aku teringat bahwa Uwa Empu Tanding adalah seorang yang memiliki aji kesaktian, demikian kata orang. Benarkah itu?"
"Benar sekali, Darmini. Uwamu itu seorang yang digdaya."
"Tadinya aku berniat untuk bergur kepadanya. Akan tetap sekarang tidak mungkin lagi setelah dia datang meminang dan pinangan itu kita tolak. Aku harus mencari Guru lain, bahkan kalau mungkin lebih digdaya dari pada Uwa Empu. Tahukah engkau, Ibu, siapa Guru Uwa Empu Tanding?"
"Guru Uwamu itu adalah Kakak seperguruannya juga yang bernama Empu Kebondanu, seorang Pertapa di dusun Talasan di kaki Gunung Bromo."
"Apakah dia lebih digdaya dibandingkan Kanjeng Uwa Empu Tanding, Ibu?"
"Aku tidak tahu pasti, anakku. Yang kutahu hanyalah bahwa yang bernama Empu Kebondanu adalah seorang Pertapa sakti, dan biarpun dahulunya menjadi Kakak seperguruan, ketika Guru mereka meninggal dunia, Empu Kebondanu yang melanjutkan mendidik Uwamu."
"Kenapa kalau Kanjeng Uwa menjadi seorang pejabat dan bangsawan, Empu Kebondanu tidak?"
"Karena kabarnya dia tidak suka akan keduniawian, lebih suka menjadi seorang Pertapa di dusun Talasan itu."
"Ah, agaknya dialah orangnya, Ibu. Aku akan pergi ke sana, berguru kepada Empu Kebondanu! Kalau Kanjeng Uwa menjadi muridnya, tentu dia amat sakti, jauh lebih sakti daripada Kanjeng Uwa sendiri."
"Tapi, anakku, dusun itu jauh sekali, dan engkau seorang anak perempuan!"
Kata Ibunya khawatir sambil merangkul anaknya.
"Ibu, apakah lebih senang melihat aku berdiam disini dan mati?"
Nyi Demang menjerit.
"Tidak, tidak...!"
"Kalau aku tinggal saja disini, sama saja dengan mati, Ibu. Hatiku akan diracuni dendam dan penasaran. Sebaliknya, kalau aku mempelajari ilmu, akan timbul harapan dalam hatiku dan ada gairah semangat untuk hidup. Ibu jangan khawatir, aku akan menyamar sebagai seorang pria, dan kalau Ibu demikian mengkhawatirkan, biarlah Ibu menyuruh seorang yang dapat dipercaya untuk menemaniku pergi ke Talasan mencari Empu Kebondanu."
"Baiklah, anakku, akan tetapi biarkan Ibumu ini lebih dulu merundingkaan dengan Ayahmu... ahhhh, anakku..."
Sambil mengeluh panjang Ibu yang gelisah itu lari keluar dari kamar anaknya untuk menyampaikan berita yang mengejutkan itu kepada suaminya. Mendengar penuturan isterinya, Ki Demang terbelalak.
"Apa?"
Untuk beberapa saat lamanya dia tidak mampu berkata-kata. Berita itu terlalu mengejutkan, sama sekali tak pernah disangkanya. Akhirnya, dia menghela napas panjang dan memandang isterinya.
"Engkau tentu tahu bahwa ia telah kuanggap sebagai darahku sendiri, sebagai anakku sendiri, apalagi karena kau tidak mempunyai anak lain kecuali Nini Darmini. Sungguh berat rasanya membiarkan dia pergi dari sini, apalagi untuk berguru dan bertapa! Seorang gadis mempelajari aji kesaktian dan bertapa, padahal tidaklah mudah untuk mempelajari ilmu itu, harus berani hidup sengsara, kurang makan kurang tidur. Akan tetapi, kalau kita melarangnya dengan keras, tentu akan berbahaya sekali. Ia sudah bicara tentang kematian, berarti kalau kita melarang, ia akan membunuh diri. Ah, sungguh tidak kusangka akan begini akibat pertunangannya dengan Cina itu..."
"Sudahlah, tidak ada artinya menyesal hal yang sudah lewat. Yang penting sekarang, bagaimana engkau dapat mengatur agar anak kita dapat selamat menghadap Eyang Empu Kebondanu yang terkenal sakti itu."
"Bagaimana kalau aku sendiri yang mengantarkannya ke sana?"
"Tidak, Kanjeng Rama, aku tidak ingin Kanjeng Rama yang mengantarkan aku. Harap dicarikan orang lain saja, atau aku akan pergi seorang diri saja!"
Tiba-tiba muncul Darmini. Ki Demang Bragolo dan isterinya terkejut bukan main, tidak mengira bahwa Darmini telah berada di situ.
"Nini, sudah... Sudah lamakah engkau berada di situ?"
Darmini yang baru saja keluar dari balik tihang besar itu mengangguk.
"Sudah sejak tadi, Ibu."
"Kalau begitu... kau... apakah mendengarkan semua percakapan kami?"
Tanya pula Ki Demang Bragolo sambil menantap wajah gadis itu penuh perhatian dan selidik. Darmini menghampiri mereka lalu duduk di atas bangku, berhadapan dengan mereka.
"Harap Kanjeng Rama dan Kanjeng Ibu tidak menjadi kaget atau gelisah mengenai keadaan saya karena apa yang saya dengar tentang hubungan Kanjeng Rama dengan saya tadi sudah sejak lama saya ketahu."
"Apa...? Kau... kau sudah tahu bahwa engkau bukan..."
"Saya tahu bahwa saya bukan puteri kandung Kanjeng Rama, Ibu."
"Bagaimana engkau bisa tahu, Nini?"
Ki Demang Bragolo bertanya kaget.
"Saya pernah mendengar desas-desus tentang hal itu sejak beberapa tahun yang lalu, akan tetapi karena saya tidak ingin membuat Paduka berdua gelisah, saya pura-pura tidak tahu saja. Dan lagi, apa bedanya bagi saya? Kanjeng Rama demikian baik kepada saya, sudah saya anggap sebagai Ayah kandung sendiri."
Legalah hati suami isteri itu dan Nyi Demang Bragolo lalu duduk di dekat anaknya, merangkul pinggang puterinya.
"Nini, maafkan kami yang tidak pernah menceritakan hal ini kepadamu. Memang sesungguhnya kami sengaja tidak bercerita karena kami khawatir hal itu akan membuat engkau berduka. Sekarang ketahuilah bahwa Ayah kandungmu sendiri telah meninggal ketika engkau masih kecil. Ibumu lalu menikah lagi dengan Ayahmu yang sekarang ini dan karena engkau masih kecil, maka kamipun mengambil keputusan untuk merahasiakan keadaaan dirimu itu, apalagi karena Kanjeng Rama mengganggap engkau sebagai anak kandungnya sendiri."
"Ibu, hal itu sudah berlalu dan anggap saja bahwa saya tetap tidak pernah mengetahui. Yang saya ingin bicarakan bukan hal itu, melainkan tentang keinginan saya berguru. Saya tidak setuju kalau Kanjeng Rama yang mengantarkan saya, karena dengan demikian berarti belum bulat tekad saya. Saya harus pergi seorang diri saja meninggalkan rumah ini, dan kalau Kanjeng Ibu demikian mengkhawatirkan saya, biarlah ada orang kepercayaan yang mengantar saya sampai ke dusun Talasan di kaki Bromo."
Ki Demang Bragolo mengangguk-angguk dan kelihatan terharu. Dia meraba-raba dagunya yang tidak berjenggot, lalu berkata,
Kilat Pedang Membela Cinta Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku melihat betapa tekadmu sudah bulat sekali, Nini. Engkau dibara dendam yang mendalam karena kematian tunanganmu. Baiklah, aku akan mencarikan seorang perajurit yang gemblengan untuk mengawalmu sampai ke kaki Bromo, sampai engkau dapat menghadap Eyang Empu Kebondanu."
"Akan tetapi, Kanjeng Rama. Kalau dapat harap dipilihkan seorang abdi biasa saja dari keluarga kita sendiri. Selain saya tidak senang melakukan perjalanan dengan orang yang sama sekali belum pernah kukenal, juga saya khawatir orang luar itu akan membocorkan rahasia dan menceritakan kepergianku kepada orang-orang lain.
"Biarlah Paman Nala, tukang kebun kita itu saja, yang mengantar Nini Darmini,"
Kata Nyi Demang.
"Dia sudah belasan tahun mengabdi kepada kita, sejak Darmini masih kanak-kanak, dan dia seorang yang setia dan jujur."
"Saya setuju, Ibu!"
Kata Darmini.
"Biar dia yang menemani saya. Kanjeng Rama dan Kanjeng Ibu, besok pagi-pagi sekali, sebelum matahari terbit, saya akan berangkat. Saya akan memberi tahu Paman Nala sekarang juga."
Dan gadis itupun tanpa menanti jawaban lari masuk ke bagian belakang rumah itu. Ayah dan Ibunya hanya saling pandang dan Nyi Demang lalu menubruk suaminya sambil menangis. Suaminya memeluknya dan mengusap rambutnya, mengeluarkan kata-kata menghibur.
Pemuda itu tampan sekali. Dari pakaiannya saja, dengan baju indah menutup tubuh atasnya, dan kain kepala menutupi rambutnya, mudah diketahui bahwa dia bukan seorang pemuda dusun belaka yang jarang menutup bagian tubuh atas dengan baju. Tentu seorang pemuda bangsawan dari Kotaraja, atau setidaknya tentu seorang pemuda kaya raya dari dari kota. Akan tetapi melihat betapa pakaiannya sederhana saja, lebih tepat kalau dia seorang pemuda putera seorang Ponggawa atau putera seorang Pendeta yang meniru-niru pakaian pemuda kaya akan tetapi tidak mampu membeli pakaian indah yang mahal. Perawakannya sedang atau lebih tepat kecil ramping, sebagian rambut yang tersembul dari kain kepala demikian hitam dan segar. Wajahnya yang lembut dan agak dingin muram itu amat tampan. Kulit kaki dan tangannya juga halus, tanda bahwa pemuda ini jarang bekerja berat. Teman yang berjalan disampingnya itu seorang lak-laki berusia kurang lebih lima puluh tahun,
Pakaiannya juga sederhana dan sikapnya seperti seorang petani yang biasa bekerja keras. Punggungnya agak bongkok, agaknya karena sejak kecil sampai tua jarang melepas gagang cangkul. Orang ini tinggi kurus, wajahnya lonjong, dan nampak bodoh, akan tetapi sinar matanya lembut dan mulutnya Ramah, sikapnya gembira, berbeda dengan pemuda itu yang nampak jarang tersenyum, padahal kalau sekali-kali dia tersenyum, nampak betapa wajahnya menjadi tampan sekali! Pemuda itu bukan lain adalah Darmini yang menyamar sebagai seorang pemuda, dan temannya adalah Nala, tukang kebun yang menjadi hamba keluarga Ki Demang Bragolo semenjak Ibu kandung Darmini menikah dengan Demang itu. Ki Nala ini seorang duda yang tidak mempunyai anak, tidak mempunyai keluarga pula, seorang perantau yang datang jauh dari dusun di Pegunungan Kidul dekat pantai laut selatan.
Mereka telah melakukan perjalanan selama beberapa hari dan pada siang hari yang panas itu mereka beristirahat di tepi jalan, tepi sawah dimana tumbuh sebatang pohon beringin dan duduk bercakap-cakap sambil makan ketupat yang mereka beli pagi tadi di sebuah dusun yang mereka lalui. Siang itu matahari terik sekali. Bahkan dibawah pohon beringin itu masih nampak sinar matahari yang menyelinap di antara celah-celah daun pohon, menciptakan garis-garis sinar lurus menimpa bumi. Beberapa ekor burung di dalam phon beringin itu tidak mengeluarkan bunyi, agaknya merekapun merasakan panasnya siang hari itu dan mengaso di dalam perlindungan daun-daun hijau yang sejuk. Namun, setelah melakukan perjalanan yang melelahkaan di antara sengatan terik matahari dan pengapnya debu,
Duduk di atas batu di bawah pohon beringin itu amatlah sejuknya... Apalagi ketika angin semilir menerpa tubuh, segar rasanya. Baju yang basah oleh keringat menjadi kering, dan laparpun terasa oleh perut. Dalam keadaan seperti itu, dialam terbuka, dibawah pohon yang rindang, ditiupi angin lembut, makan ketupat dan sambal tempe yang mereka beli tadi sudah terasa nikmat dan lezat bukan main! Perpisahan dengan Ayah Ibunya terjadi singkat saja. Hari keberangkatan, pagi-pagi sekali dilengkapi tangis Ibunya. Darmini sudah siap bersama Ki Nala ketika Ayah dan Ibunya muncul. Ibunya terbelalak melihat puterinya berpakaian pria dan berubah menjadi seorang pemuda tampan, lalu menubruk, merangkul dan menangis. Darmini mencium kedua pipi Ibunya, lalu melepaskan diri dengan lembut dan berkata,
"Harap Kanjeng Ibu suka menenangkan hati dan jangan memberatkan beban saya dengan kedukaan. Sebaliknya, saya mohon doa restu dan saya membutuhkan kegembiraan dan semangat untuk melakukan perjalanan ini, Kanjeng Ibu."
Mendengar ucapan puterinya, Nyi Demang menghentikan tangisnya. Darmini lalu berlutut menyembah di depan kaki Ki Demang Bragolo.
"Kanjeng Rama, saya mohon diri dan mohon doa restu."
"Kuberi doa restuku, Nini. Semoga engkau selalu dilindungi Hyang Widhi Wisesa di sepanjang perjalanan dan dapat terkabul cita-citamu."
"Terima kasih, Kanjeng Rama, Kanjeng Ibu, saya mohon pamit dan doa restu."
"Anakku...!"
Nyi Demang juga berlutut dan merangkul, tak dapat menahan tangisnya.
"Semoga selamat perjalananmu, anakku. Aku akan memujikan siang malam... dan bawalah ini, Nini, perlu untuk bekal di dalam perjalananmu. Ki Nala, hati-hatilah menjaga momonganmu Damini."
Darmini menerima peti kecil berisi perhiasan dari Ibunya, walaupun ia tidak merasa perlu membawa barang berharga itu. Ia sudah membawa pakaian laki-laki yang telah disuruhnya beli Ki Nala semalam, dibuntalnya bersama beberapa pakaian wanita. Ia tidak melupakan pedang Lian-Hwa-Kiam dan juga bunga teratai layu pemberian Ong Cun dahulu!
"Terima kasih, Kanjeng Ibu. Saya berangkat, selamat tinggal!"
Dengan cepat Darmini meninggalkan Ayah Ibunya yang mengikutinya dengan pandang mata kabur karena linangan air mata. Kalau tidak dirangkul suaminya, tentu Nyi Demang sudah mengejar puterinya atau jatuh pingsan. Darmini tidak menengok lagi, bahkan berjalan cepat keluar dari rumah gedung orang tuanya. Demikianlah, mereka melakukan perjalanan dengan cepat. Karena Darmini seorang gadis pingitan, puteri seorang Demang yang tentu saja jarang melakukan perjalanan, dan tidak pernah melakukan perjalanan kaki demikian jauh, maka perjalanan ini merupakan siksaan bagi tubuhnya, terutama sekali kedua kakinya. Akan tetapi, berkat tekadnya yang bulat, didorong oleh dendam sakit hatinya yang setinggi langit sedalam lautan, ia menanggung semua itu tanpa pernah mengeluh sedikitpun juga.
Seringkali Ki Nala menggeleng kepala, penuh rasa iba, juga penuh rasa kagum, melihat betapa gadis yang menyamar pria itu melangkahkan kakinya dengan berat agak terpincang-pincang, namun terus saja ia melangkah tanpa mengeluh, hanya menggigit bibir dengan sinar mata mencorong penuh semangat. Kakek inipun merasa kasihan sekali melihat betapa kalau mereka berhenti, gadis itu memijat-mijat kedua kakinya yang agak membengkak! Ingin dia menggendong momongannya itu, gadis yang dikenalnya sejak gadis itu masih seorang anak kecil yang baru belajar jalan. Akan tetapi tentu saja dia tidak berani mengatakannya, karena pernah ketika dia mengusulkan apakah sebaiknya tidak berhenti dulu kalau gadis itu merasa lelah, Darmini membentaknya.
"Paman Nala, jangan sekali-kali mengatakan bahwa aku lelah! Dan ingat, namaku sekarang Darmono, jangan salah sebut sehingga membuka rahasiaku. Engkau harus menyimpan rahasiaku ini dengan taruhan nyawa. Maukah engkau berjanji, Paman?"
Ki Nala mengangguk-angguk.
"Baik, dan maafkan saya... eh, Raden Darmono."
Darmini tersenyum mendengar Kakek itu agak meragu, lalu lenyaplah sudah kemarahannya. Ia mendekat dan memegang tangan kanan Ki Nala.
"Engkaulah yang harus maafkan sikapku tadi, Paman. Engkau begini setia, dan aku hanya membentakmu, padahal engkau bermaksud baik."
Demikianlah, mereka melanjutkan perjalanan lagi setelah beristirahat dan makan di bawah pohon beringin. Gunung Bromo yang menjulang tinggi itu kini sudah nampak dekat. Dusun Talasan tidak jauh lagi. Menurut orang terakhir yang mereka tanyai, mereka harus melewati tiga buah hutan lagi dan perjalanan itu akan makan setengah hari, dan mereka akan tiba di dusun Talasan. Ketika mereka tiba di hutan ketiga, hari sudah menjelang malam. Cuaca sudah remang-remang.
"Maaf Raden, malam telah hampir tiba. Apakah tidak lebih baik kalau kita berhenti di luar hutan ini dan melanjutkan besok?"
"Tidak, Paman. Hutan ini adalah hutan terakhir menurut keterangan orang yang kita tanyai tadi. Lebih baik cepat-cepat kita tembusi hutan ini dan kita sudah akan tiba di dusun Talasan."
"Tapi, malam hampir tiba, tentu gelap sekali di dalam hutan."
"Apakah engkau takut, Paman? Aku tidak!"
Mendengar ucapan itu dan melihat sikap gadis yang gagah itu. Ki Nala merasa malu untuk memperlihatkan kekecilan hatinya.
"Kalau begitu baiklah, Raden. Saya tidak takut, saya tadi hanya ingin menguji sampai dimana keberanian hati andika."
(Lanjut ke Jilid 03)
Kilat Pedang Membelah Cinta (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 03
Darmini tersenyum mendengar ucapan ini. Kadang-kadang kegembiraan dan kelucuan sikap Ki Nala dapat memancing senyumnya, dan memang seringkali Kakek itu sengaja melucu untuk dapat menggembirakan hati momongannya.
"Mari, Paman, kita percepat jalan kita agar dapat segera sampai di tempat tujuan. Malam ini bulan muncul sore-sore, lumayan untuk menerangi perjalanan kalau sampai kita kemalaman di hutan."
Kadang-kadang Kakek ini sendiri merasa heran akan ketabahan hati momongannya. Demikian beraninya sampai seperti orang nekat yang tidak lagi menghiraukan bahaya.
Akan tetapi, sebagai seorang yang lebih tua dan terutama sekali sebagai laki-laki, tentu saja dia merasa malu kalau memperlihatkan rasa serem dan takutnya memasuki hutan itu padahal hari mulai malam gelap begini. Yang mengharukan hatinya, setiap kali menghadapi bahaya atau kelelahan yang sangat, gadis itu seperti mendapatkan tenaga baru kalau sudah mengeluarkan kembang teratai layu dari saku bajunya, memegangi bunga layu itu dari saku bajunya, memegangi bunga layu itu dan mencium-ciumnya. Sebagai seorang tukang kebun yang sejak dahulu bekerja di keluarga Kademangan, tentu saja dia tahu akan riwayat asmara momonganya ini. Dia tahu pula betapa kekasih dan tunangan momongannya mati terbunuh orang. Bahkan di dalam perjalanan pernah Darmini mengajaknya bercakap-cakap tentang peristiwa pembunuhan itu.
"Paman Nala, masih ingatkah engkau kepada Ong Cun?"
Demikian tiba-tiba gadis itu bertanya, beberapa hari yang lalu ketika mereka bermalam di dalam gubuk di tengah sawah.
"Tentu saja, Raden."
Dia sudah terbiasa kini menyebut Raden Darmono, kepada gadis momongannya itu.
"Akan tetapi, baikkah membicarakan dia?"
"Tidak apa-apa, Paman. Aku terkenang kepadanya, dan aku sudah dapat mengatasi kesedihanku atas kematiannya. Dia... dia seorang yang mulia, gagah dan baik sekali, Paman. Aku cinta sekali padanya."
"Tentu saja Raden. Sayapun pernah diajaknya bercakap-cakap dan biarpun terhadap seorang tukang kebun seperti saya."
"Ah, semua itu hanya tinggal kenangan. Dan sekarang yang tinggal daripadanya hanyalah pedang ini, dan... dan layon kembang ini, Paman. Ini setangkai bunga teratai yang dipetiknya dari kolam kita, dan diberikannya kepadaku. Kusimpan selalu bersama pedang ini, sampai matipun aku tidak mau berpisah lagi."
Ki Nala merasa terharu sekali. Dia pernah muda, pernah mempunyai isteri yang juga amat dicintainya. Isterinya itu kemudian lari dengan pria lain, dan untuk beberapa tahun lamanya dia berduka. Untung bahwa mereka belum mempunyai anak dan semenjak itu, dia tidak lagi mau menikah. Akan tetapi, kini melihat cinta yang demikian mendalam dari gadis momongannya, yang masih tetap setia dan mencinta kekasihnya walaupun telah ditinggal mati, membuat dia merasa terharu bukan main.
"Biarpun nasibnya buruk dan telah meninggal dibunuh orang, akan tetapi tunangannya andika itu, siapa lagi namanya..."
"Ong Cun..."
"Oya, Ong Cun, sukar benar teringat oleh saya nama Cina itu. Tunangan andika itu sungguh beruntung sekali mempunyai seorang tunangan seperti andika, Raden."
Darmini terdiam. Percakapan tentang Ong Cun itu menggugah kembali rasa kehilangan dan membangkitkan kembali rasa kehilangan dan kesedihan hatinya.
Memang, duka timbul dari pikiran, timbul dari ingatan. Suatu peristiwa terjadi. Pikiran yang menciptakan si-aku menyambut dan menilai peristiwa itu. Ternyata merugikan si-aku yang penuh ikatan. Ikatan putus dan si-aku merasa dirugikan. Timbullah iba diri dan iba diri ini mendatangkan duka. Setiap kali pikiran teringat, timbullah duka itu. Kalau tidak teringat, dukapun tidak ada! Demikian pula Darmini. Begitu bicara tentang Ong Cun dan teringat bahwa ia telah kehilangan kekasihnya itu, ia merasa sengsara, merasa kesepian, merasa kehilangan, dan timbul iba diri yang mendatangkan duka. Ini tidak benar, celanya kepada diri sendiri. Melemahkan semangat saja. Yang penting sekarang adalah berusaha membalas dendam dan ia sedang pergi untuk mempelajari ilmu agar kelak dapat membalas dendam setelah berhasil menemukan pembunuh Ong Cun, pemerkosa dirinya!
"Paman Nala, Ong Cun terbunuh pada malam Kamis Wage, bukan?"
"Maaf, saya tidak ingat lagi, Raden. Agaknya begitulah. Mengapa?"
"Aku ingat dan takkan pernah dapat melupakan malam itu dan malam berikutnya."
"Malam berikutnya? Setelah malam Kamis Wage, malam berikutnya adalah malam Jumat Kliwon! Ada apa dengan malam itu, Raden?"
"Benar, Paman, malam Jumat Kliwon."
Diam-diam Darmini mengepal tinju dan bergidik.
"Malam itu serem sekali, Paman, dan aku masih diliputi kedukaan mendalam berhubung dengan kematian Ong Cun. Ingatkah engkau Paman, barangkali ada terjadi sesuatu hal yang menarik di malam Jumat Kliwon itu?"
"Malam Jumat Kliwon itu? Di Kademangan memang tidak ada apa-apa, akan tetapi... hiiiihhh..."
Ki Nala bergidik seperti orang ketakutan teringat akan sesuatu. Berdebar rasa jantung dalam dada Darmini. Agaknya ada terjadi sesuatu pada malam jahanam itu!
"Apakah yang telah terjadi, Paman? Cepat ceritakan padaku!"
"Saya hanya mendengar saja cerita orang, Raden. Dikabarkan bahwa pada pagi harinya setelah malam Jumat Kliwon itu, orang mendapatkan seorang yang terkenal sebagai dukun dengan nama Eyang Rudiro telah mati terbunuh orang di tanah kuburan yang angker. Hiih, orang itu memang menyeramkan sekali, akan tetapi kematiannya sungguh penuh rahasia. Jelas dia dibunuh orang dikuburan itu, dan disitu masih Nampak bekas kembang menyan berserakan."
"Siapakah itu Eyang Rudiro, Paman? Aku belum pernah mendengar namanya."
"Memang lebih baik kalau tidak mendengar nama orang seperti itu dan selamanya tidak usah berkenalan. Dia terkenal sebagai seorang dukun tukang tenung, tukang guna-guna dan segala macam ilmu setan lainnya. Orangnya sudah tua dan tubuhnya bongkok, mukanya... hiiiiih, lebih baik kalau andika tidak pernah melihatnya, Raden. Menyeramkan dan menakutkan, bukan seperti muka manusia."
Darmini tidak memperhatikan tentang keburukan dan keseraman Kakek yang dinamakan dukun Eyang Rudiro itu. Yang menarik perhatiannya adalah bahwa dukun itu terbunuh orang pada malam Jumat Kliwon, malam jahanam waktu ia diperkosa orang yang tidak dikenalnya. Suatu kebetulan saja? Ataukah masih ada kaitannya? Apakah hubungan atas diri dukun itu dengan perkosaan atas dirinya! Siapa tahu pemerkosanya juga pembunuh dukun itu, seperti ia yakin bahwa pemerkosanya adalah pembunuh Ong Cun. Jahanam itu sendiri mengakuinya sebelum ia pingsan, bahwa jahanam itu telah membunuh kekasihnya, kemudian menggagahinya. Aku harus menyelidiki semua itu.
Akan tetapi tidak sekarang. Tidak, ia hanya seorang gadis lemah. Ia harus belajar dulu menguasai ilmu, agar dengan bantuan pedang Lian-Hwa-Kiam, ia akan mampu melakukan penyelidikan, dan mampu pula membalas dendam, membunuh jahanam yang telah menewaskan Ong Cun dan memperkosanya. Mereka memasuki hutan terakhir dan cuaca menjadi semakin gelap. Pohon-pohon dalam hutan mulai Nampak menakutkan, hitam dan diam, seperti setan-setan atau raksasa-raksasa yang berdiri tegak berbaris untuk menghadang perjalanan mereka berdua. Cabang-cabang besar itu seperti lengan-lengan panjang yang siap menjangkau dan mencengkeram siapa yang berani memasuki hutan itu. Ki Nala bergidik dan tanpa disadarinya, dia makin mendekat Darmini.
"Ada apa Paman?"
Tanya Darmini ketika merasa betapa sikunya tersentuh lengan pengikutnya.
"Tidak apa-apa, Raden, hanya... huh, kelihatan menyeramkan hutan ini dan hati saya merasa tidak enak..."
"Tenanglah, Paman. Tidak ada apa-apa disini. Pohon-pohon dalam cuaca gelap itu bahkan nampak indah sekali. Lihatlah, di langit timur sudah mulai nampak terang. Bulan akan segera muncul."
Kata-kata ini dipergunakan Darmini bukan hanya untuk membesarkan hati Ki Nala, akan tetapi juga untuk membesarkan hatinya sendiri karena bagaimanapun juga, hutan itu memang nampak sunyi dan menyeramkan.
Untung terdapat jalan setapak yang jelas sehingga mereka dapat mengikuti jalan ini tanpa khawatir akan tersesat jalan. Untuk menenangkan batinnya sendiri, Darmini yang sudah menguluarkan bunga teratai layu dari saku bajunya, menciumi bunga itu dan terbayanglah wajah Ong Cun, tersenyum-senyum kepadanya, seolah-olah merestui dan menyetujui perjalanannya itu. Bunga itu sudah layu, sudah tidak berupa bunga lagi, sudah menjadi benda kering kuning kecoklatan. Namun anehnya, kalau di waktu masih segar bunga teratai itu tidak mengeluarkan bau apa-apa, kini setelah layu dan tidak berujut bunga lagi, mempunyai keharuman yang aneh. Tiba-tiba saja, bunga itu terlepas dari tangan Darmini, yang segera menahan langkahnya.
"Ehhh..."
Ia berseru dan membungkuk, memungut bunga yang disayangnya dan yang terjatuh ke atas tanah di depan kakinya itu.
"Syuuuuutt... wirrr... ceppp!"
"Aduhhhhhhh...!"
Darmini terkejut bukan main ketika mendengar terikan Ki Nala, apa lagi ketika melihat Ki Nala yang tadi berjalan disampingnya itu kini terpelanting roboh dan berkelojotan!
"Paman Nala...!"
Teriaknya sambil berlutut dan matanya terbelalak ketika melihat betapa ada sebatang panah menancap di dada pengikutnya itu sampai tembus! Tangan yang hendak mengguncang pundak Kakek itu ditariknya kembali dan iapun hanya dapat memanggil-manggil dengan bingung.
"Paman... Paman Nala..., ah, bagaimana ini...?"
Semenjak meninggalkan rumah berganti pakaian pria. Darmini sudah berjanji di dalam hatinya untuk tidak menangis. Hatinya cukup tabah dan biarpun sekarang iaa merasa bingung sekali, akan tetapi ia tidak menangis. Hatinya hanya merasa ngeri melihat betapa tubuh itu berkelojotan. Anak panah! Ada orang yang membunuh Ki Nala! Darmini cepat bangkit berdiri dan memandang ke arah darimana datangnya anak panah itu. Akan tetapi ia tidak melihat apa-apa, hanya mendengar lapat-lapat suara derap kaki kudah menjauh. Pembunuh itu datang berkuda, pikirnya. Akan tetapi mengapa ia membunuh Ki Nala?
"Paman... Paman Nala..."
Ia berjongkok kembali.
"Paman, siapa yang melakukan ini dan mengapa?"
Kini ia memberanikan diri mengguncangkan pundak orang itu. Akan tetapi tubuh itu sudah diam, tidak berkelojotan lagi. Sinar lemah bulan cukup menerangi muka itu dan Darmini bergidik. Muka Ki Nala itu nampak menyeramkan, matanya terbelalak dan mulutnya ternganga, seperti orang hendak menjerit dan memaki, dan mata itu membayangkan kemarahan!
"Ah, Paman..., maafkan, terpaksa ku tinggalkan engkau disini, Paman,"
Katanya. Ia memungut bunganya yang terjatuh tadi, dan cepat ia bangkit dan lari dari tempat itu, melanjutkan perjalanan.
Ia kini teringat bahwa anak panah itu datangnya dari arah kiri, dan ia tadi berdiri di sebelah kiri Ki Nala. Hal itu berarti bahwa anak panah itu ditujukan kepadanya, dan kalau saja bunga teratai layu itu tidak jatuh, kalau saja ia tidak membungkuk untuk memungutnya, tentu ialah yang terkena anak panah, bukan Ki Nala! Ia hendak dibunuh, akan tetapi Ki Nala yang menjadi korban. Ia tertolong oleh kembang teratai pemberian Ong Cun! Secara aneh kembang itu tadi terlepas dari jari-jari tangannya dan ia membungkuk, tepat ketika anak panah meluncur! Orang itu bermaksud membunuhnya, pikiran ini membuat Darmini mempercepat larinya, melalui jalan setapak menuju ke arah kaki Gunung Bromo. Rasa ngeri dan takut kalau-kalau pembunuh itu melihat kekeliruannya dan mengejarnya, membuat kedua kakinya seperti ditumbuhi sayap dan ia berlari seperti terbang!
Penat sekali rasanya seluruh tubuh ketika akhirnya Darmini tiba di luar sebuah dusun yang amat sederhana, di kaki Gunung Bromo itu. Terutama sekali kedua kakinya teraa amat lelah dan nyeri, seperti akan patah-patah rasanya semua persendian tulang dari paha kebawah. Akan tetapi, karena tekat yang membaja, Darmini melanjutkan langkahnya, biarpun tertatih-tatih, memasuki dusun itu. Masih sunyi pagi itu, karena masih terlampau pagi. Fajar baru menyingsing dan ayam-ayam jantan berkeruyuk saling bersahutan. Burung-burung juga baru saja keluar, belum begitu banyak, berkicau riang diantara daun-daun pohon. Ketika ia melihat seorang petani memanggul cangkul, hendak keluar dari dusun itu, mungkin hendak ke sawah lading, Darmini cepat menghampirinya dan dengan halus ia bertanya.
"Maafkan saya, Paman. Dapatkah Paman menunjukkan di mana tempat tinggal Eyang Empu Kebondanu? Katanya tinggal di dusun Talasan, apakah benar dusun ini yang bernama Talasan?"
Sejenak petani yang usianya empat puluh tahun lebih itu mengamati Darmini dari kepala sampai ke kaki. Agaknya dia kagum melihat orang asing yang masih muda dan amat tampan ini, walaupun nampak kusut dan lelah.
"Benar, orang muda. Dusun ini adalah Talasan. Andika mencari Eyang Empu Kebondanu? Dia bertapa di sebuah guha, disebelah utara dusun ini, agak naik sedikit ke daerah gunung."
Petani itu menuding ke arah utara di mana samar-samar nampak daerah berbatu yang agak tinggi letaknya. Bukan main girang rasa hati Darmini karena ternyata ia tiba di tempat yang dicarinya. Biarpun semalam tadi ia melakukan perjalanan setengah berlari yang amat melelahkan, ditambah lagi rasa takut dan duka karena kematian Ki Nala yang mengerikan, namun terobatlah rasa jerih payah itu karena ia tiba di tempat yang selama ini dicarinya. Apalagi mendengar bahwa memang benar Empu Kebondanu berada di situ!
"Terima kasih, Paman, terima kasih. Andika baik sekali, semoga sawah ladangmu menghasilkan banyak tahun ini!"
Darmini sudah membalikkan tubuh untuk pergi menuju ke utara ketika ia mendengar petani itu bertanya,
"Eh, orang muda, nanti dulu. Siapakah andika dan datang dari mana?"
Pertanyaan ini tidak menyenangkan hati Darmini yang tak ingin dikenal orang, ingin menyembunyikan keadaan dirinya. Akan tetapi karena petani itu telah bersikap baik dengan pemberitahuan tentang Pertapa yang dicarinya, iapun menjawab singkat,
"Nama saya Darmono dan saya seorang perantau yang tidak tentu tempat tinggal saya."
Setelah berkata demikian digerakkannya kaki yang nyeri-nyeri itu secepatnya meninggalkan petani yang masih berdiri bengong, lalu melanjutkan perjalanannya ke sawah sambil berkata-kata seorang diri.
"Sungguh aneh orang-orang muda dari kota. Heran, apa yang mereka cari dari seorang Pertapa tua yang hanya pandai mengobati orang sakit? Baru kemarin ada seorang bangsawan muda mengunjungi Empu Kebondanu, dan sekarang, begini pagi sudah ada lagi yang datang. Dia jelas pemuda kota, gerak geriknya dan tutur katanya. Hemm, mengherankan!"
Akan tetapi sebagai seorang petani yang sederhana, dia sudah melupakan lagi urusan itu setelah dia mulai mengerjakan tanah yang berbau sedap sepagi itu dengan cangkulnya.
Guha itu sudah nampak ketika Darmini keluar dari pintu dusun sebelah utara. Sebuah guha di daerah yang berbatu gamping (kapur), nampak putih dan berlubang-lubang. Ia tidak ragu lagi menuju ke sebuah guha yang besar karena guha itu jelas nampak ditinggali manusia, bahkan di luar guha terdapat sebuah tempat perapian dan sebuah bangku batu yang panjang. Darmini telah mendengar dari Ayahnya bahwa para Pertapa adalah orang-orang aneh yang wataknya juga kadang-kadang aneh. Dan Ibunya bercerita bahwa Empu Kebondanu ini seorang yang sakti, maka iapun tidak berani lancang dan begitu tiba di depan guha yang nampak sunyi itu, ia terus saja menjatuhkan diri berlutut dan bersila di depan guha setelah menyembah dengan hormatnya. Enak rasanya duduk di situ. Lantai yang didudukinya itu bukan tanah lembab, melainkan batu kering yang halus.
Kedua kakinya terasa berdenyut-denyut dan baru sekarang terasa betapa lelah kedua kakinya, terasa semua perjalanan darah melalui otot-otot dan urat-uratnya. Entah berapa lama ia duduk di situ ia tidak tahu lagi, Matahari telah nampak di ufuk timur ketika terdengar suara batuk-batuk, batuk orang tua, dari dalam guha dan tak lama kemudian keluarlah seorang Kakek dari dalam guha itu. Darmini mengangkat muka memandang. Seorang Kakek yang usianya tentu sudah lebih dari enam puluh tahun, mengenakan pakaian serba hitam dan kulitnya, dari kulit kaki yang telanjang, kulit tangan sampai kulit muka dan lehernya, demikian hitam seperti arang, juga nampak kulitnya itu tebal dan kasar. Pantaslah kalau Kakek ini bernama Kebondanu. Sepasang matanya yang lebar itu nampak bersinar dan menambah kebengisan wajahnya, dan suaranya terdengar parau dan kasar ketika ia membuka mulut.
"Jagad Dewa Bathara...! Andika hendak mencari siapakah, orang muda?"
Melihat bahwa Kakek itu belum tua benar, hanya se puluh tahun lebih tua dari Ayahnya, bahkan nampaknya tidak lebih tua dari Uwanya, yaitu Empu Tanding, Darmini merasa tidak tepat kalau menyebut Eyang kepadanya. Setelah mempertimbangkannya sejenak, iapun menjawab dengan hormat.
"Maaf, Paman, saya datang mencari Paman Empu Kebondanu."
"Hemmmm, tanpa diundang dan tanpa memberi-tahu lebih dulu andika datang ke sini mencari aku, siapakah andika dan ada keperluan apakah?"
Diam-diam Darmini merasa tidak enak juga menghadapi sikap yang kasar dan sama sekali di luar dugaannya itu. Tadinya ia menggambarkan bahwa seorang Pertapa sakti, tentu Empu Kebondanu lebih berwibawa dan lemah-lembut penuh kebijaksanaan, akan tetapi Kakek ini demikian kasar, walaupun harus diakui memiliki kewibawaan yang besar.
Naga Beracun Karya Kho Ping Hoo Sepasang Naga Penakluk Iblis Karya Kho Ping Hoo Tangan Geledek Karya Kho Ping Hoo