Ceritasilat Novel Online

Kilat Pedang Membela Cinta 6


Kilat Pedang Membela Cinta Karya Kho Ping Hoo Bagian 6



"Ah! Keparat! Lalu, bagaimana, Diajeng?"

   "Hampir saja aku celaka, Kakang-Mas. Untunglah pada saat itu, muncul seorang penolong. Dia berhasil mengusir tiga orang perampok itu dan menyelamatkan diriku dari penghinaan."

   "Bagus! Agaknya para Dewata masih melindungimu, Diajeng."

   "Setelah itu, terjalin persahabatan antara aku dan penolongku itu, Kakang-Mas, bahkan kemudian... kami lalu bertunangan, kami... kami saling mencinta, Kakang..."

   Suara Darmini tersendat karena ia teringat kembali kepada Ong Cun, akan tetapi ia tidak menangis. Tidak, setelah digembleng selama lima tahun, ia tidak lagi selemah dahulu, tidak akan mudah mencucurkan air mata.

   "Baik sekali,Diajeng. Tentu penolongmu itu seorang yang bijaksana dan baik budi maka engkau sampai dapat jatuh cinta kepadanya,"

   Kata Sridenta denga suara biasa, penuh perhatian akan cerita gadis itu.

   "Dia memang seorang pria yang luar biasa, Kakang-Mas. Akan tetapi... Pada suatu malam, ketika dia meninggalkan taman setelah mengadakan pertemuan dengaku, dia"

   Dia dibunuh orang..."

   "Ahhh...!!"

   Sridenta bangkit berdiri dan mukanya berubah pucat. Akan tetapi dia dapat menenangkan hatinya lalu duduk kembali, kini memandang kepada Darmini dengan sinar mata penuh dengan perasaan iba.

   "Siapakah pembunuhnya, Diajeng? Dan mengapa dia dibunuh?"

   "Aku tidak tahu, Kakang-Mas. Tidak ada yang tahu. Tunanganku juga tidak sempat memberi tahu ketika dia tewas dalam pelukanku."

   Darmini menunduk, tidak menangis walaupun kenangan akan kematian Ong Cun itu meremas hatinya. Sridenta juga diam, mengangguk-angguk. Kini maklumlah dia mengapa gadis ini nekat pergi meninggalkan rumah, menyamar sebagai pria dan mempelajari ilmu kedigdayaan, maklum mengapa ketika ia pertama kali berjumpa dengan Darmini, sinar mata gadis itu mengandung kekerasan dan dendam yang amat mendalam.

   "Diajeng, sungguh menyedihkan sekali riwayat hidupmu. Kalau boleh aku bertanya, siapakah tunanganmu itu?"

   Darmini dengan tabah kini mengangkat muka memandang wajah Sridenta sambil menjawab,

   "Namanya Ong Cun, dia seorang Cina, anggauta rombongan yang berada di Lumajang."

   "Ahhh! Kau maksudkan rombongan Bangsa Cina yang ikut pula berperang membantu Lumajang sehingga bentrok dengan pasukan Majapahit?"

   Sridenta berseru, kaget dan heran karena pengakuan itu sama sekali tak pernah disangkanya.

   "Benar, Kakang-Mas. Akan tetapi sesungguhnya rombongan orang Cina itu hanya datang berkunjung dan kebetulan saja berada di Lumajang, bukan maksud mereka membantu Adipati Wirabumi. Karena berada disana ketika terjadi penyerbuan pasukan Majapahit, maka mereka disangka membantu Lumajang sehingga diserang pula dan terjadi bentrokan antara mereka dan pasukan Majapahit."

   Sridenta mengangguk-angguk, masih merasa heran bukan main mendengar bahwa gadis yang berada di depannya ini, gadis yang sejak bertemu pertama membuat dia jatuh cinta, pernah bertunangan dan saling mencinta dengan seorang pemuda asing, seorang Cina. Tiba-tiba timbul kekhawatiran didalam hatinya, Darmini telah mempelajari ilmu kedigdayaan, bahkan pandai memainkan sebatang pedang, tentu gadis ini akan menuntut balas! Dan mengingat betapa tunangan gadis itu yang tangguh, sampai dapat terbunuh orang, maka pembunuhnya tentulah seorang yang sakti, dan gadis ini akan terancam bahaya kalau sampai menandingi orang itu!

   "Diajeng, kuharap saja"

   Engkau akan selalu ingat akan pelajaran dari Eyang Panembahan, agar tidak menaruh hati dendam dan benci""

   "Jangan khawatir, Kakang-Mas. Pelajaran itu selalu kuingat dan kutaati, dan agaknya akupun sudah berhasil mengurus dendam kebencian dari hatiku. Akan tetapi, akan tidak adil sekali kalau kematian Ong Cun itu tidak diselidiki, kalau pembunuhnya tidak terhukum. Akan kuselidiki mengapa Ong Cun terbunuh, dan kalau ternyata dia bersalah dan pantas dibunuh, tentu aku tidak akan menuntut kepada pembunuhnya. Akan tetapi, aku merasa yakin bahwa dia tidak bersalah, dan karena itu, pembunuhnya haruslah dicari, ditemukan dan dihukum. Selain itu, akupun ingin mencari pembunuh Paman Nala..."

   "Paman Nala, siapakah itu pula, Diajeng?"

   "Ketika aku meninggalkan Lumajang untuk mencari Guru kesini, aku diantar oleh tukang kebun kami yang setia dan yang sudah menjadi tukang kebun kami sejak aku masih kecil, namanya Paman Nala. Akan tetapi ketika kami tiba di dalam hutan diluar dusun Talasan, dia terkena panah gelap dan tewas di hutan itu. Aku ketakutan dan melarikan diri meninggalkan mayatnya, karena aku tahu betul bahwa anak panah itu sebenarnya ditujukan untuk membunuhku, bukan Paman Nala."

   "Eh, bagaimana engkau bisa tahu?"

   "Pada saat itu, cuaca remang-remang dan kebetulan sekali aku membungkuk untuk mengambil bunga yang tadinya kupegang dan terjatuh ke atas tanah. Pada saat aku membungkuk itulah anak panah mengenai tubuh Paman Nala. Andaikata aku tidak kebetulan membungkuk, tentu akulah yang terkena, bukan Paman Nala. Dan pada saat itu aku mendengar suara kaki kuda menjauh. Nah, akupun harus mencari pembunuh Paman Nala yang tidak berdosa itu, kalau tidak, arwah Paman Nala akan selalu penasaran seperti juga arwah Ong Cun."

   Sridenta mengerutkan alisnya, makin khawatir karena agaknya gadis ini dikelilingi musuh-musuh yang berbahaya.

   "Dan mengingat orang bertopeng yang pernah menyerangmu di dalam guha itu... hemm, apakah kiranya ada hubungan antara orang bertopeng itu dengan pembunuhan-pembunuhan itu?"

   "Hal itu akan kuselidiki, Kakang-Mas."

   Ia tidak mau bercerita tentang perkosaan atas dirinya yang terjadi pada malam harinya ketika Ong Cun terbunuh. Ia merasa malu untuk menceritakan hal itu. Biarlah aib itu dideritanya dengan diam-diam, tak perlu menambah penderitaannya dengan menceritakannya kepada orang lain. Hanya ia sendiri dan si pemerkosa itu, yang tahu akan peristiwa jahanam itu. Akhirnya merekapun berpisah. Darmini berangkat meninggalkan Gunung Bromo setelah ia berpamit dari semua cantrik yang berada di Pertapaan Sang Panembahan Ganggamurti itu. Apalagi Sridenta yang diam-diam jatuh cinta kepada Darmini, bahkan para cantrikpun merasa kehilangan ketika gadis itu meninggalkan Pertapaan.

   Mereka merasa kehilangan dan tempat itu tiba-tiba, seolah-olah kehilangan cahaya yang biasanya menyinari tempat itu. Mereka termangu-mangu, bahkan Sridenta lalu pergi menyepi ke puncak untuk mengatasi penderitaan hatinya harus berpisah dari orang yang amat dicintanya. Cinta timbul dari pergaulan. Akan tetapi setiap pertemuan akan selalu diakhiri dengan perpisahan. Oleh karena itu, seorang bijaksana akan melihat dengan jelas bahwa ikaan hanya menimbulkan duka, karena itu, dia tidak mau mengikatkan diri dengan orang atau barang atau gagasan apapun juga selagi hidup, semua perasaan cinta dan sukanya bukan bersifat memiliki karena siapa yang memiliki dialah yang akan kehilangan! Dan ini menimbulkan duka. Semenjak padamnya perang Paregreg, lima tahun lebih yang lalu, terjadi perubahan besar di Kerajaan Majapahit.

   Kerajaan ini, yang dahulu dijaman Sang Prabu Hayam Wuruk dan Sang Patih Gajah Mada merupakan Kerajaan yang amat besar kekuasannya, bahkan sampai ke luar pulau, kini mengalami kemerosotan dan kemunduran yang amat besar. Semenjak perang saudara ini, terjadi perpecahan didalam keluarga Kerajaan, dan banyak terjadi perang saudara dan pemberontakan kecil disana-sini. Negara-negara tetangga tidak mau tunduk lagi melihat kelemahan Majapahit, bahkan Adipati-Adipati dan Raja-Raja muda juga menjadi acuh dan ingin berdaulat sendiri. Karena itu, muncullah golongan-golongan yang dipimpin oleh anggauta keluarga Kerajaan yang merasa tidak puas dan ingin memperlebar sayap dan kekuasaan masing-masing, Ada pula golongan yang pro kepada Kerajaan Majapahit dan ada pula yang anti, baik yang terang-terangan maupun secara diam-diam.

   Terutama sekali golongan yang masih kerabat dan anggauta keluarga dari mendiang Wirabumi, yang merasa masih menjadi keturunan langsung dan darah Sang Prabu Hayam Wuruk, berusaha untuk menghimpun kekuatan rahasia di antara mereka. Dengan demikian, maka keadaan di dalam negeri amatlah kacau. Dan pada waktu itu banyak orang-orang dari negeri Cina berdatangan dan menetap dipesisir utara Pulau Jawa, terutama sekali dipesisir utara Jawa Tengah dan Jawa Timur. Mereka hidup sebagai pedagang. Mungkin suatu kebetulan bahwa pada waktu itu agama Islam juga mulai berkembang dengan pesat terutama sekali di kota-kota pesisir utara itu. Para Bupati yang tadinya merupakan hulu tanah dari Majapahit, kini berbalik, dan kebanyakan dari mereka, terutama di Demak, Jepara, Lasem, Tuban, Gresik, Surabaya dan Giri, masuk agama Islam. Kekuasaan Majapahit semakin terpecah-pecah.

   Malam yang gelap dan sunyi. Sore tadi hujan deras dan semua masih basah malam itu. Pohon-pohon, jalan-jalan, genteng-genteng rumah dan hawa udara dingin sekali. Cuaca juga amat gelap karena walaupun hujan sudah berhenti namun langit masih ditutupi mendung. Memang musim hujan sedang besar-besarnya. Sesosok bayangan hitam berkelebat dari rumah ke rumah. Dia dapat bergerak leluasa karena selain malam gelap dan ia mengenakan pakaian hitam, juga dia memiliki gerakan yang amat cepat dan malam itu jarang ada orang berada diluar rumah yang yang dingin.

   Kotaraja Majapahit nampak sunyi. Masih ada kadang-kadang halilintar menggeluduk di angkasa, sekilat cahaya membakar cahaya seperti bentuk keris raksasa menghujam lalu lenyap. Bayangan itu menyelinap di antara pohon-pohon di tepi jalan, meloncat ke dalam kegelapan di belakang gedung-gedung dan akhirnya dia menghampiri sebuah rumah besar yang berdiri agak terpencil di bagian barat kota. Dia mengintai dari balik pintu gerbang ke dalam. Gelap saja di dalam. Tidak ada gerakan. Tidak ada suara. Dia lalu meloncat ke atas pintu gerbang, langsung meloncat lagi ke dalam. Ketika dia menyelinap masuk ke pendopo di bagian depan gedung itu, tiba-tiba saja nampak sinar terang dan di kanan kirinya telah berdiri seorang perajurit pengawal dengan lampu di tangan, sedangkan di depannya telah berdiri tiga orang yang bertubuh tinggi besar dan berwajah bengis.

   "Berhenti! Siapa engkau?"

   Bentak seorang di antara mereka itu, yang kumisnya sekepal sebelah dan perutnya agak gendut. Biarpun dia agak terkejut melihat betapa tiba-tiba saja dia telah diketahui orang dan terancam, namun orang yang berpakaian serba hitam dan mengenakan topeng di mukanya itu bersikap tenang saja.

   "Aku datang untuk bertemu dengan Raden Wiratama. Ini rumahnya, bukan?"

   "Siapa engkau?"

   Kembali si jenggot tebal membentak.

   "Beritahukan saja kepada Raden Wiratama bahwa aku Walet Hitam datang berkunjung."

   Kata pula orang bertopeng itu, sikapnya masih tenang.

   "Babo-babo, keparat!"

   Si kumis tebal membentak marah.

   "Enak saja engkau memerintah orang, apalagi menyuruh begitu saja Raden Wiratama keluar menemui orang macam engkau. Katakan dulu siapa engkau dan buka topengmu, baru kami akan menangkapmu dan menyeretmu di depan Raden Wiratama!"

   "Jangan bicara sembarangan, sobat,"

   Kata si Walet Hitam.

   "Aku adalah sahabat baik Raden Wiratama dan dia tentu akan gembira sekali mendengar akan kunjunganku ini. Katakan saja bahwa aku datang dan dia tentu akan keluar menyambut."

   "Sungguh manusia sombong engkau! Sejak engkau berada di luar tadi, gerak-gerikmu sudah kami awasi dan engkau tentu seorang pencuri yang kini berlagak sebagai tamu. Kalau engkau tidak mau membuka topeng memperkenalkan diri, kami akan memaksamu!"

   "Hemm, engkau akan mendapat marah dari Raden Wiratama kalau menerimaku seperti ini, sobat. Ingin kulihat bagaimana engkau dapat memaksaku!"

   Si Walet Hitam berkata, suaranya mengandung ejekan.

   "Apa susahnya memaksamu!"

   Bentak si kumis hitam dan diapun sudah menubruk dengan kedua lengan dikembangkan, jari-jari tangan membentuk cakar seperti harimau menubruk dan menerkam, mulutnya mengeluarkan gerengan seperti seekor biruang marah. Namun, dengan gerakan yang amat ringan dan lincah, Walet hitam mengelak kekiri dan secepat kilat kakinya menyentuh lutut kanan lawan. Perlahan saja, akan tetapi karena yang tersentuh ujung sepatu itu sambungan lutut kaki kanannya, seketika sikumis tebal jatuh berlutut. Dia tidak terluka dan marahnya bukan kepalang. Dicabutnya sebatang golok dari pinggangnya.

   "Jahanam, engkau sudah bosan hidup!"

   Bentaknya dan diapun menyerang dengan goloknya.

   "Hemm, engkau seperti celeng mabok!"

   Walet Hitam mengejek dan kembali dia mengelak dengan mudah. Si kumis tebal menyerang terus bertubi-tubi, namun semua serangannya hanya mengenai angin saja. Melihat keadaan ini, dua orang tinggi besar lainnya sudah pula maju menyerang, seorang memegang ruyung, dan orang ketiga memegang keris yang besar dan panjang.

   "Hemm, tak kusangka Raden Wiratama menyambutku seperti ini!"

   Walet Hitam itu mengomel dan kini gerakannya semakin cepat. Tubuhnya benar-benar seperti burung walet saja gesit dan ringannya, sukar sekali disentuh tiga orang lawan yang mengeroyoknya, menyelinap diantara sinar senjata lawan.

   "Kalian memang perlu dihajar!"

   Tiba-tiba dia berkata lembut dan tahu-tahu sikumis tebal mengaduh, goloknya terlepas dan dia meloncat mundur sambil memegangi lengan kanannya yang terasa nyeri bukan main, seolah-olah tadi bertemu dengan sepotong baja saja ketika ditangkis lawan. Juga dua orang kawannya berturut-turut mengaduh dan merekapun berloncatan ke belakang, senjata mereka telah jatuh semua ke atas lantai.

   Orang ke dua terkena tamparan pundaknya dan orang ke tiga merasa betapa jari tangannya seperti remuk bertemu dengan tamparan tangan Walet Hitam. Pada saat itu nampak sinar terang dan banyak orang keluar dari dalam, mengiringkan seorang laki-laki bertubuh jangkung kurus. Baik dari gerak-geriknya, sikapnya, pakaiannya, orang ini memiliki wibawa sehingga dia berbeda dari orang-orang lain yang menyertainya keluar, sungguhpun beberapa orang diantara mereka juga bersikap seperti bangsawan. Dikanan kiri mereka nampak pasukan pengawal, belasan orang jumlahnya, dengan senjata di tangan dan siap untuk menyerbu Walet Hitam yang berdiri tegak di pendopo itu. Ketika melihat bahwa yang menimbulkan keributan itu seorang laki-laki berperawakan sedang yang mengenakan pakaian dan topeng serba hitam, Raden Wiratama, laki-laki jangkung kurus itu tertawa bergelak.

   "Ha-ha-ha-ha, kiranya engkau yang datang Walet Hitam!"

   Katanya dengan suara mengandung kegembiraan.

   "Benar, Raden Wiratama, akulah yang datang memenuhi janjiku. Sayang bahwa kedatanganku disambut dengan golok dan keris!"

   Orang bertopeng itu mengamati keadaan tuan rumah. Masih tidak berubah, pikirnya. Raden Wiratama seorang laki-laki yang kini usianya lebih empat puluh lima tahun, tubuhnya jangkung kurus sekali sampai kedua pipinya kempot, ketika tertawa tadi mulutnya terbuka dan nampak deretan gigi yang hitam mengkilap karena biasa makan sirih, mukanya licin tanpa kumis dan kedua matanya besar sebelah namun mengeluarkan sinar aneh. Seorang yang berbahaya, pikirnya, dan melihat sikap orang-orang yang mengelilinginya, lebih berbahaya dari pada dahulu.

   "Ha-ha, itu hanya salah paham saja, sobat. Orang-orangku belum pernah melihatmu, tentu saja mereka curiga. Akan tetapi sekarang mereka sudah mengenalmu bukan? Mengenal kehebatanmu. Mari, mari silahkan masuk dan kita bicara di dalam, sobat!"

   (Lanjut ke Jilid 05)

   Kilat Pedang Membelah Cinta (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 05

   Dengan langkah gagah Walet Hitam mengikuti tuan rumah dan orang-orang lain masuk ke ruangan dalam dan ternyata mereka semua masuk ke dalam sebuah ruangan di belakang yang luas sekali. Rumah itu menunjukkan bawah penghuninya seorang bangsawan yang kaya raya. Setelah duduk menghadapi meja besar, Walet Hitam melihat bahwa Raden Wiratama ditemani oleh lima orang lain yang bersikap seperti bangsawan tadi. Raden Wiratama lau memperkenalkan Walet Hitam kepada mereka.

   "Inilah sobat kita Walet Hitam seperti yang pernah saya ceritakan kepada andika sekalian. Dia datang memenuhi janjinya. Walet Hitam, mereka ini adalah sahabat-sahabat, bahkan kerabatku, bangsawan-bangasawan dari Lumajang yang kini tinggal di daerah Majapahit."

   Kemudian katanya kepada lima orang itu,

   "Saya kira, sudah cukup percakapan kita malam ini dan maafkan bahwa saya harus mengadakan pembicaraan empat mata dengan Walet Hitam. Mungkin saja saya akan dapat mempergunakan dia, minta bantuannya, untuk mencapai niat kita yang pertama."

   Lima orang itu bangkit lalu pergi dan berpamit kepada Raden Wiratama dan juga kepada Walet Hitam yang bangkit untuk mengucapkan selamat jalan kepada mereka. Setelah lima orang itu pergi, barulah Raden Wiratama menjabat Walet Hitam dengan sikap Ramah dan akrab.

   "Wah, siang malam aku selalu menanti kemunculanmu, sobat. Siapa mengira bahwa engkau akan muncul malam ini? mengejutkan saja, akan tetapi juga menggembirakan."

   "Memang aku sengaja datang malam-malam yang sunyi begini, Raden Wiratama. Aku melihat keadaan di Majapahit begini menegangkan, dan setelah mencarimu dengan sia-sia di Lumajang, aku mendengar bahwa engkau sudah pindah ke Majapahit, maka aku menyusul ke sini. Akan tetapi, tidak berbahayakah tamu-tamu tadi melihat kedatanganku?"

   "Ha-ha-ha, jangan khawatir. Mereka adalah segolongan, bahkan sekutu kami. Dan mereka semua sudah mendengar tentang engkau yang pernah menyelamatkan Kanjeng Adipati Wirabumi lima tahun yang lalu ketika beliau melarikan diri dari Lumajang dengan perahu. Biarpun kemudia dia terbunuh oleh Raden Gajah, akan tetapi engkaulah yang telah membantunya berhasil lari keluar dari Lumajang yang sudah terkepung pasukan Majapahit waktu itu. Sudahlah, jangan khawatir tentang para tamu tadi. Lalu bagaimana dengan janjimu itu? Berhasilkah engkau mendapatkan seorang puteri untukku?"

   Walet Hitam tersenyum.

   "Agaknya sobatku ini masih belum hilang semangatnya untuk menghisap madu kembang."

   "Ha-ha-ha-ha, bahkan lebih bersemangat daripada dahulu, sobat! Akan tetapi, sudah lama aku merindukan seorang puteri dari utara yang berkulit kuning langsat, mulus dan bersih. Bagaimana, berhasilkah engkau mendapatkan seorang saja untukku?"

   "Sabar dulu, Raden. Kalau sudah kujanjikan pasti akan kupenuhi, akan tetapi bagaimana pula dengan patung emas sebagai imbalan atau penukarnya itu? Aku tetap menginginkan benda itu."

   "Ha-ha, engkau memang pedagang yang licin sekali! Patung Sang Budha dari emas itu datang dari tanah Hindu, amat sukar didapat dan amat mahal, merupakan benda pusaka keramat yang berharga sekali. Dibeli berapapun takkan kulepas, akan tetapi kalau memang puteri itu berkenan dihatiku, aku akan rela menukarnya. Bagaimanapun juga, benda itu hanyalah benda mati, tidak dapat bergerak dan hangat seperti seorang puteri, ha-ha-ha!"

   "Kalau begitu baiklah, Raden. Bergembiralah karena puteri itu sudah kudapatkan. Ia baru saja datang dari Cina bersama seorang saudaranya, seorang pemuda yang juga pandai ilmu silat seperti gadis itu sendiri. Karena itu, kita harus berhati-hati menghadapi mereka."

   "Wah, puteri itupun pandai silat? Ha-ha-ha, lebih menyenangkan lagi kalau ia bisa menjadi selirku!"

   "Engkau harus hati-hati, karena ilmu silat gadis itu amat tinggi. Aku sendiri agaknya tidak akan mudah mengalahkannya, apalagi Kakak angkatnya."

   "Wah...!"

   Raden Wiratama terkejut.

   "Kalau demikian tangguhnya, bagaimana mungkin aku mampu menaklukkannya? Apakah ia mau secara baik-baik menjadi selirku? Barangkali dengan pengaruh harta...?"

   Walet Hitam menggeleng kepala.

   "Tidak mungkin. Ia tidak mungkin dapat dipikat dengan harta. Dengar baik-baik, Raden. Ia datang jauh-jauh kesini dengan niat membalas dendam. Kakaknya yang dulu ikut rombongan Laksama The Ho telah terbunuh di Lumajang..."

   "Ah, terbunuh dalam perang, bagaimana ia hendak membalas dendam?"

   "Tidak terbunuh dalam perang. Kakaknya terbunuh oleh seseorang dan kini ia sebagai adiknya hendak mencari dan menyelidiki sampai ia dapat menemukan pembunuh itu dan membalas dendam."

   "Wah, kalau ia demikian tangguh, bagaimana aku dapat memperolehnya? Mungkinkah ia akan suka melihat aku dan mau menjadi selirku?"

   Walet Hitam menggeleng kepala.

   "Sedikit sekali kemungkinan itu. Ia masih muda, belum dua puluh tahun usianya. Kita harus menggunakan siasat, Raden. Bukankah Raden memiliki ilmu-ilmu sihir untuk menundukkan orang tanpa kekerasan? Aji pengasihan dan guna-guna? Nah, hanya dengan itulah ia dapat ditundukkan, bukan dengan kekerasan. Dan sekali ia sudah menjadi milikmu, tentu akan mudah engkau menguasainya."

   Raden Wiratama menggosok-gosok kedua telapak tangannya, nampaknya gembira sekali.

   "Jangan khawatir, aku bahkan memperdalam ilmu-ilmuku. Tapi... apakah ia cantik? Cukup berharga untuk ditukar dengan patung keramat itu?"

   "Engkau lihatlah sendiri nanti. Akan kuatur agar mereka berdua itu datang menghadapmu untuk mencari keterangan. Aku mendengar bahwa di Lumajang mereka mencari seorang bernama Ki Demang Bragolo.."

   "Ah, dia sudah naik pangkat dan pindah ke Majapahit sini."

   "Kalau begitu lebih baik lagi. Kalau mereka datang menemuimu, beritahukan alamat Ki Demang Bragolo itu kepada mereka. Usahakan agar mereka berdua itu dapat saling berpisah dan agar gadis itu dapat bermalam disini. Nah, ketika itulah engkau dapat mengerjakan... hemm, kau tahu sendiri, Raden."

   Wiratama kembali menggosok-gosok kedua tangannya dan mengangguk-angguk.

   "Akan tetapi tunggu dulu, hal itu baru aku lakukan kalau aku benar-benar suka kepadanya. Kalau tidak, semua janji penukaran ini batal."

   "Baiklah, Raden""

   "Ada lagi satu hal yang mengkhawatirkan. Andaikata aku suka kepada gadis itu dan berhasil menundukkannya, lalu bagaimana kalau saudaranya itu""

   "Dia Kakaknya""

   "Apalagi Kakaknya! Bagaimana kalau Kakaknya itu tidak setuju dan marah, dan menuntut adiknya agar kulepaskan?"

   "Sudah kuselidiki keadaan Kakaknya, Raden. Beri saja dia benda-benda kuno terbuat dari emas permata sebagai hadiah, dan andaikata dia tetap bersikeras dan tidak mau menerima, akulah yang akan menandingi dan melenyapkannya!"

   "Bagus! Engkau memang seorang sobat yang baik sekali, seorang sekutu yang boleh diandalkan. Dan seperti telah kujanjikan kepada rekan-rekanku tadi, maukah engkau membantu gerakan kami!"

   "Aku selalu siap membantu asalkan imbalannya sepadan, Raden. Akan tetapi lebih dulu ceritakan, apakah gerakan kalian itu dan tugas apa yang harus kulakukan? Aku harus mengetahui lebih dahulu keadaannya yang jelas."

   Dengan suara bisik-bisik Raden Wiratama lalu menceritakan keadaan Majapahit yang dilanda permusuhan antara saudara itu, terutama sekali pihak keluarga dan handai taulan yang setia kepada Kadipaten Lumajang yang menentang keluarga Kerajaan Majapahit. Diantara keluarga mendiang Wirabumi, ada sebagian yang tidak suka akan penggunaan kekerasan mengingat bahwa keluarga Kerajaan masih ada hubungan keluarga dengan mereka, dan mereka itu tidak setuju kepada golongan yang mempergunakan kekerasan. Oleh karena itu, golongan merekapun terpecah menjadi dua, Raden Wiratama termasuk golongan ke dua ini yang suka mempergunakan kekerasan dan dia telah menghimpun teman-teman sehaluan.

   "Kami telah mengadakan kontak dengan beberapa orang tokoh di Tumapel dan di Daha yang sehaluan dengan kami, dan kami menanti datangnya saat yang baik untuk bergerak memberontak dan menggulingkan pemerintah Kerajaan Majapahit. Akan tetapi hal itu tidak akan tergesa-gesa dilakukan dan sekarang ini merupakan tahap pertama di mana tugas kami adalah membikin kacau di sini, dan melakukan pembunuhan diam-diam terhadap anggauta kelompok pihak lawan."

   Dengan hati-hati Walet Hitam mendengarkan semua keteranan itu. Kemudian dia bertanya,

   "Raden Wiratama, apakah engkau mengenal seorang yang bernama Empu Tanding dan puteranya yang bernama Panji Sarono? Aku mendengar bahwa mereka adalah orang-orang setia kepada Kerajaan Majapahit."

   "Benar sekali! Mereka termasuk daftar hitam kami, dan mereka termasuk orang-orang yang harus disingkirkan!"

   "Kalau begitu, mengapa tidak menggunakan akal mengadu domba saja? Kalau Kakak gadis itu datang dan minta keterangan setelah berhasil kupancing, engkau tinggal mengatakan saja bahwa Empu Tanding dan Panji Sarono itu merupakan orang-orang yang patut dicurigai, Kakak gadis itu tentu akan menyerbu kesana membunuh mereka."

   "Wah, itu bagus sekali! Akan tetapi bagaimana kalau tidak berhasil dan Kakak gadis itu malah yang tewas? Empu Tanding bukanlah orang yang mudah dibunuh begitu saja, juga putera-puteranya amat tangguh."

   "Kalau Kakak gadis itu yang mati, bukankah kebetulan sekali? Gadis itu mutlak menjadi milikmu tanpa ada gangguan lagi."

   "Ha-ha-ha, benar sekali. Baik, akan kuatur begitu. Akan tetapi apa alasannya yang harus kupergunakan untuk mengadu domba?"

   "Mudah saja. Engkau harus dapat memancing mereka, sebut saja nama Ong Cun, Kakak kandung gadis itu yang terbunuh di Lumajang, katakan engkau mengenalnya dan kedatangan mereka mengingatkanmu kepada Ong Cun. Nah, tentu gadis itu akan mencari keterangan lebih lanjut karena tertarik, lalu kau katakan bahwa engkau mendengar pula akan pembunuhan itu dan kau jatuhkan kecurigaanmu kepada Empu Tanding dan puteranya. Mudah bukan?"

   "Wah, wah, engkau memang hebat! Baiklah, akan kuatur seperti itu."

   "Dan sekarang, setelah aku mendengar semua keteranganmu tentang keadaan di sini, tugas apa yang dapat kulakukan untukmu?"

   "Begini, Walet Hitam! Kami merencanakan untuk dapat membunuh Raden Gajah yang dulu membunuh Sang Adipati Wirabumi! Dan kira-kira hanya engkau yang akan mampu melakukan tugas sukar ini, dan untuk itu, jangan khawatir, kami akan memberi imbalan yang besar."

   
Kilat Pedang Membela Cinta Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Berapa besar?"

   Walet Hitam mendesak.

   "Ha-ha, sudah kukatakan engkau memang pedagang yang licin! Baiklah, sudah kami setujui bersama untuk membeli nyawa Raden Gajah seharga seratus tahil emas."

   Sepasang mata di balik kedok hitam itu bersinar-sinar. Seratus tahil emas? Bukan jumlah sedikit! Merupakan jumlah yang cukup untuk dipakai modal berdagang besar. Ditambah lagi dengan patung Buddha emas itu, dia akan menjadi orang yang kaya raya!

   "Baiklah Raden Wiratama. Akan kucoba untuk membunuh Raden Gajah."

   Dia menyanggupi.

   "Bagus, mudah-mudahan engkau berhasil. Dan puteri itu, kapan aku dapat bertemu dengannya?"

   "Akan kuatur secepat mungkin, kalau bisa dalam dua tiga hari ini. Akan tetapi jangan kaget, ia menyamar sebagai seorang pria dan engkau bersikaplah pura-pura tidak tahu, Raden. Dengan demikian akan lebih mudah untuk menjebaknya."

   Mereka lalu berbisik-bisik mengatur siasat lebih lanjut dan sampai jauh lewat tengah malam, setelah Raden Wiratama merasa puas, Walet Hitam meninggalkan ruangan itu, pergi mempergunakan kecepatan gerakannya seperti seekor burung walet terbang saja.

   "Bagaimana sekarang, Toako? Keluarga yang kita cari itu sudah pindah!"

   Kata Bi Kwi kepada Kwee Lok ketika mereka sudah kembali ke dalam pondok yang mereka sewa di Lumajang. Pondok kecil itu memiliki dua buah kamar, dan mereka masing-masing mendiami sebuah kamar. Mereka sudah pergi mengunjungi gedung keluarga Ki Demang Bragolo, akan tetapi ternyata gedung itu telah ditinggali keluarga bangsawan lain dan mereka mendapat keterangan bahwa Ki Demang Bragolo sekeluarga kini telah pindah ke Kotaraja Majapahit, sudah tiga tahun yang lalu!

   "Tidak ada jalan lain, kita harus menyusul ke Majapahit dan mencari mereka. Bukankah engkau ingin bertemu Darmini agar engkau dapat menanyakan sendiri tentang kematian Suheng?"

   "Benar, Toako. Akan tetapi Suheng tewas di Lumajang, dan tentu pembunuhnya berada di Lumajang. Sayang engkau tidak mengenal nama pemuda yang membenci Kakakku, yang pernah kau lihat di taman itu. Tentu dia tinggal di Lumajang."

   "Akan tetapi aku mengenal wajahnya dan wajah Kakek itu, kita dapat menyelidiki dan mencarinya."

   "Kalau begitu memang sebaiknya kita mencari keluarga Demang itu di Majapahit, Toako. Dari mereka engkau dapat bertanya tentang dua orang yang mencurigakan itu. Aku ingin lebih dulu berkunjung ke makam Kakakku, aku ingin menjenguk makamnya.

   "Baik, Kwi-moi. Kita pergi mengunjungi makam lalu kembali ke sini, dan besok pagi baru kita akan pergi ke Majapahit. Aku masih mempunyai beberapa urusan pribadi, mengunjungi kenalan-kenalanku yang kujumpai dahulu."

   Biarpun di dalam hatinya merasa tidak suka, akan tetapi Bi Kwi terpaksa membiarkan Kakak angkatnya itu beberapa kali pergi sendiri tanpa ia karena Kakaknya ingin menemui kenalan-kenalan dan hal itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan penyelidikannya tentang kematian Ong Cun.

   Pergilah mereka ke makam Ong Cun dan di situ Bi Kwi duduk termenung. Ia terkenang kepada Kakaknya, Kakak tunggal yang amat dicintainya, dan masih teringat olehnya betapa ia dahulu menangis ketika Kakaknya berangkat ke selatan, dan betapa Ong Cun menghiburnya dan menjanjikan akan membawakan oleh-oleh yang aneh dan indah dari negeri asing di selatan. Siapa kira, sekarang ia hanya dapat melihat gundukan tanah makam Kakaknya! Andaikata Kakaknya tidak mati, dan pulang ke Cina, memang Kakaknya akan membawa oleh-oleh yang luar biasa, yaitu seorang wanita asing yang menjadi isterinya! Ketika mereka pulang kembali ke pondok sewaan mereka, Bi Kwi berjalan di depan dan lebih dulu masuk ke dalam pondok, Kwee Lok mengikutinya dari belakang.

   "Wirr, cepp! Heiii...!"

   Bi Kwi terkejut dan cepat menengok. Ia melihat Kwee Lok meloncat ke halaman depan yang sudah mulai gelap karena senja baru saja lewat. Ia terkejut dan menduga tentu terjadi sesuatu, maka iapun mengejar ke halaman depan. Disitu ia melihat Kakak angkatnya celingukan seperti mencari-cari sesuatu.

   "Ada apakah, Toako?"

   Tanyanya, mendekati.

   "Ada orang menyambitkan pisau. Untung tidak mengenai kita dan tadi menancap di atas daun pintu. Aku mencoba mengejar bayangan yang berkelebat di sini, akan tetapi dia telah lenyap."

   Mendengar ini, Bi Kwi juga ikut mencari dengan memandang ke sana-sini, bahkan dia meloncat kesamping pondok untuk melihat kalau-kalau bayangan itu lari ke belakang pondok.

   "Sudahlah, Kwi moi. Dia tentu sudah pergi. Mari kita lihat saja pisau yang disambitkannya itu."

   Mereka kembali ke pintu depan dan benar saja.

   Di atas pintu menancap sebatang pisau yang runcing, akan tetapi ada sehelai kertas yang tertusuk pisau itu. Kiranya bukan orang menyerang mereka, melainkan mengirim surat dengan lontaran pisau! Kwee Lok mencabut pisau itu dan mengambil kertasnya. Dia sudah mempelajari bahasa daerah berikut tulisannya, bahkan selama dalam pelayaran, Bi Kwi juga belajar darinya sehingga kini gadis itupun sudah pandai bicara bahasa daerah, bahkan dapat juga ikut membaca surat itu. Kakak beradik itu tidak tergesa-gesa membaca surat, melainkan meniliti keadaan pisau dan surat di ruangan dalam, dibawah sinar lampu yang mereka nyalakan. Sebatang pisau belati yang baik, memang enak dipergunakan untuk disambitkan, dengan timbangan yang lebih berat pada mata pisau daripada gagang. Surat itu dari kertas tebal, ditulis dengan huruf yang buruk dan besar-besar, namun mudah dibaca.

   "Kalau kalian ingin tahu tentang keluarga Demang Bragolo, datanglah ke Majapahit dan menghadap Raden Wiratama. Dia mengetahui segala!

   Dari seorang sahabat."

   "Toako, sungguh aneh sekali orang ini. Engkau yang pernah berada disini lima tahun yang lalu tentu mengenalnya."

   "Bagaimana aku dapat mengenalnya, Kwi-moi? Dia bertindak demikian rahasia. Sudah kukatakan, disini terdapat banyak sekali orang sakti yang memiliki kepandaian aneh. Tentu dia seorang sakti yang hendak menolong kita.

   "Akan tetapi siapakah Raden Wiratama itu?"

   "Aku sendiripun belum pernah mengenalnya, akan tetapi dia memakai gelar bangsawan, tentu seorang bangsawan di Kotaraja. Penulis surat itu tahu bahwa kita mencari keluarga Demang Bragolo, tentu dia seorang pandai, dan agaknya dia hendak membantu kita."

   "Kalau seorang sahabat yang hendak membantu, kenapa harus bersikap seperti itu?"

   Tanya Bi Kwi meragu.

   "Perbuatannya mengirim surat ini bahkan patut dicurigai."

   "Ah, bagaimana juga, dia telah memberi petunjuk, bukan? Sudahlah, kita mengaso dan besok pagi kita berangkat ke Majapahit. Kita kunjungi Raden Wiratama itu, siapa tahu dia bisa memberi petunjuk lebih banyak, untuk kepentingan penyelidikan kita."

   Ketika mereka tiba di Kotaraja Majapahit, Bi Kwi tetap mendesak Kakaknya untuk lebih dulu menyelidiki sendiri dimana adanya Ki Demang Bragolo, sebelum memenuhi bunyi surat gelap itu. Akhirnya mereka mendapat keterangan bahwa Ki Demang Bragolo kini telah naik pangkat dan tinggal di sebuah gedung yang besar di dalam Kotaraja. Dia memperoleh kenaikan pangkat karena telah berhasil menumpas gerombolan yang mengadakan kekacauan di perbatasan Majapahit dan Lumajang.

   Berdebar rasa hati Bi Kwi penuh ketegangan ketika ia bersama Kakak angkatnya memasuki halaman gedung besar itu. Ia akan berjumpa dengan Darmini, kekasih mendiang Ong Cun, Kakak kandungnya! Akan tetapi ada pula kekhawatiran dalam hatinya. Bagaimana kalau benar dugaan Kwee Lok bahwa gadis cantik yang sedianya menjadi Kakak iparnya itu telah menikah dengan orang lain dan sudah tidak lagi tinggal di gedung itu? Setidaknya, ia akan dapat bertemu dengan Ki Demang Bragolo dan isterinya dan mungkin dari mereka ia akan mendapat beberapa keterangan tentang kematian Kakak kandungnya.

   Akan tetapi, hatinya kecewa ketika muncul beberapa orang perajurit penjaga di halaman itu dan mereka mendapat keterangan bahwa Ki Demang Bragolo sedang tidak berada di rumah!

   "Kami adalah sahabat baik keluarga beliau. Kalau Ki Demang tidak berada di rumah, kami ingin berjumpa dengan Nyi Demang dan dengan nona Darmini,"

   Kata Kwee Lok. Empat orang perajurit itu mengerutkan alis dan memandang dengan sinar mata tidak senang.

   "Hanya Ki Demang yang dapat memberi ijin orang luar bertemu dengan keluarga beliau! Apalagi kalian ini orang-orang asing, sama sekali tidak boleh masuk!"

   "Tapi"

   Tapi, lima tahun yang lalu adalah seorang sahabat baiknya dan setiap waktu boleh datang berkunjung!"

   Kwee Lok membantah.

   "Sudahlah, kalian tidak boleh masuk. Tinggalkan saja nama kalian dan kami akan melapor kalau Ki Demang sudah pulang,"kata kepala penjaga.

   "Katakan saja bahwa kami adalah Kwee Lok dan adik Ong Cun yang datang berkunjung. Besok pagi kami datang lagi."

   Terpaksa Kwee Lok dan Bi Kwi keluar dari halaman gedung itu. Mereka tidak kembali ke rumah pondok dulu, melainkan melakukan penyelidikan tentang keluarga Ki Demang Bragolo. Terkejutlah hati Kwee Lok dan Bi Kwi ketika mendengar keterangan bahwa Nyi Demang yang tua tidak lagi tinggal disitu, juga di gedung itu tidak ada gadis yang bernama Darmini. Dengan hati penasaran mereka pada keesokan harinya pagi-pagi sudah berada lagi di halaman gedung Ki Demang Bragolo. Akan tetapi apa jawaban para penjaga? Dengan tombak ditodongkan, para penjaga menolak mereka masuk.

   "Sudah kami laporkan dan Ki Demang Bragolo tidak sempat menerima kalian, katanya tidak mempunyai urusan apapun dengan kalian dan beliau sedang sibuk."

   Biarpun penasaran sekali, terpaksa Kwee Lok dan Bi Kwi keluar lagi dari halaman itu. Diam-diam Bi Kwi merasa penasaran sekali. Bagaimana mungkin Kakak kandungnya dahulu memilih seorang gadis dari keluarga yang tidak menyenangkan itu? Keluarga bangsawan yang sombong!

   "Sebaiknya kita pergi mencari Raden Wiratama seperti yang dianjurkan oleh pengirim surat gelap. Siapa tahu ada keterangan yang penting bagi kita disana."

   "Baik, Toako. Akan tetapi kalau kita tidak mendapatkan keterangan penting, malam nanti aku akan menyeludup dan memasuki gedung Ki Demang Bragolo, akan kupaksa mereka memberi keterangan kepadaku tentang Darmini. Aku harus bertemu dengan Darmini!"

   Kwee Lok hanya mengangguk, maklum akan kekerasan hati adik angkatnya itu, dan mereka lalu mulai mencari keterangan tentang Raden Wiratama. Tidak sukar menemukan alamat bangsawan ini dan mereka berdua kagum ketika mereka memasuki halaman rumah gedung yang lebih besar dan lebih megah dibandingkan gedung tempat tinggal Ki Demang Bragolo. Berbeda dari para penjaga di rumah Ki Demang, para perajurit penjaga di halaman gedung ini menyambut mereka dengan Ramah ketika memperkenalkan nama dan minta bertemu dengan Raden Wiratama. Tentu saja para perajurit ini sebelumnya sudah dipesan oleh Raden Wiratama yang mengharapkan munculnya Kakak beradik itu seperti yang dijanjikan oleh Walet Hitam kepadanya.

   "Silahkan masuk dan menunggu di ruangan tamu."

   Kata kepala jaga dengan sikap Ramah.

   "Raden Wiratama kebetulan berada di rumah dan beliau adalah seorang priyayi agung yang bijaksana dan budiman disamping kaya raya, selalu menerima segala macam tamu dengan kehormatan. Silahkan masuk."

   Tentu saja hati Kwee Lok dan Bi Kwi merasa senang dan lega mendapatkan sambutan seperti itu setelah mereka dikecewakan oleh penyambutan di halaman gedung Ki Demang Bragolo. Sekarang mereka menemukan seorang bangsawan yang baik hati dan bijaksana! Mereka diantar masuk dan menanti di ruangan tamu yang cukup lebar dan bersih Tak lama kemudian, kepala jaga muncul dan mereka dipersilahkan masuk karena Raden Wiratama menanti mereka di ruangan dalam. Kakak beradik itu mengagumi prabot-prabot rumah yang serba terukir indah terbuat dari kayu jati yang mahal, pot-pot yang kuno dan mewah. Mereka diantar ke sebuah ruangan yang luas dan indah sekali dimana terdapat meja, kursi ukiran-ukiran dan disitu telah duduk menanti seorang laki-laki berusia empat puluh lima tahun yang berpakaian mewah.

   Bi Kwi memandang penuh perhatian dan selidik. Laki-laki itu berpakaian indah dan tubuhnya jangkung kurus, pipinya kempot dan ketika tersenyum berdiri nampak giginya mengkilat hitam karena sirih kinang, mukanya licin tanpa kumis atau jenggot dan matanya yang besar sebelah itu mengeluarkan sinar mencorong yang aneh. Begitu memandang, timbul perasaan tidak enak dan tidak suka kepada laki-laki itu, terutama sinar mata laki-laki itu seolah-olah menggerayangi seluruh tubuhnya, seolah-olah menelanjangi pakaian dari tubuhnya. Diam-diam Bi Kwi bergidik, merasa ngeri terhadap orang itu. Akan tetapi Raden Wiratama yang sudah bangkit berdiri dan tersenyum itu mengulurkan tangan mengajak bersalaman dengan sikap Ramah sekali.

   "Selamat datang di rumah kami."

   Katanya sambil menyalami mereka berdua.

   "Silahkan duduk dan siapakah andika berdua? Kalau tidak salah, andika berdua tentulah Bangsa Cina, bukan?"

   "Benar,"

   Jawab Kwee Lok.

   "Kami adalah orang-orang Cina."

   "Ha-ha, banyak sudah kenalanku orang-orang Cina, pedagang-pedagang di pesisir utara."

   "Kami adalah Kakak beradik yang baru saja datang dari Tiongkok..."

   "Hebat! Baru datang akan tetapi sudah begini pandai berbahasa daerah."

   "Saya sendiri pernah datang ke sini lima tahun yang lalu dan saya mempelajari bahasa daerah, juga adik saya ini telah mempelajarinya. Nama saya Kwee Lok dan ini adalah adik saya bernama Ong Bi Kwi."

   "Saya senang sekali berkenalan dengan kalian."

   Kata Raden Wiratama sambil tiada hentinya memandang wajah Bi Kwi, juga sinar matanya menyusuri seluruh tubuh gadis berpakaian pria itu. Matanya yang berpengalaman tentang wanita itu berkilat, tanda bahwa hatinya berkenan sekali, karena dia tahu bahwa wanita muda yang berpakaian pria ini adalah seorang wanita yang selain memiliki wajah cantik jelita, kulitnya halus, juga bentuk tubuhnya padat dan ramping menggairahkan. Penyamaran itu tidak dapat menyembunyikan kecantikannya dan kini nampak seperti seorang pria yang amat tampan!

   "Bagaimana kalian dapat mengenal namaku!"

   "Kami sedang kebingungan mencari seorang kenalan lama yang pindah dari Lumajang ke Majapahit. Kami sudah menemukan rumahnya akan tetapi sukar untuk dapat bertemu dengan orangnya. Selagi kami kehilangan akal, kami menerima pemberitahuan seorang teman agar kami datang menghadap Raden Wiratama dan minta petunjuk."

   Bangsawan itu tersenyum lebar, memperlihatkan barisan gigi yang hitam mengkilap. Bi Kwi bergidik melihat gigi itu, akan tetapi karena ingin mendapatkan keterangan, iapun memandang wajah orang itu dengan penuh harap. Tahulah Raden Wiratama bahwa itu adalah akal dari Walet Hitam untuk memancing Kakak beradik itu datang kepadanya dan diam-diam dia merasa girang sekali.

   "Siapapun juga adanya sahabatmu itu, dia benar. Tidak ada orang yang tidak kukenal di Majapahit ini. Siapakah orang yang sedang kalian cari itu?"

   Sebetulnya hati Bi Kwi masih meragu untuk mengaku sejujurnya kepada seorang laki-laki yang mendatangkan perasaan tidak senang dan curiga di dalam hatinya itu, akan tetapi Kwee Lok telah menjawab,

   "Kami mencari keluarga Ki Demang Bragolo. Kami sudah menemukan rumahnya, akan tetapi para penjaganya mengatakan bahwa ia tidak mau menerima kami. Sungguh penasaran sekali! Padahal, lima tahun yang lalu, saya merupakan seorang sahabat baik keluarga itu!"

   "Ah, Ki Demang Bragolo! Saya mengenalnya dengan baik dan jangan khawatir, kalau hanya hendak bertemu dengan dia, tentu saja saya dapat membantu kalian."

   Mendengar jawaban ini, hati Bi Kwi merasa girang sekali dan berkuranglah perasaan tidak senang terhadap tuan rumah itu.

   "Sebetulnya saya ingin sekali bertemu dengan puterinya yang bernama Darmini..."

   Raden Wiratama menatap wajah Bi Kwi dan senyumnya melebar.

   "Darmini? Ah, benar, puteri tunggal keluarga Ki Demang! Sungguh kasihan sekali, ia amat menderita semenjak tunangannya terbunuh. Tunangannya itu juga seorang Bangsa Cina. Seorang yang amat baik, akan tetapi sayang, menjadi korban pembunuhan kejam sehingga gadis itu merana dan kabarnya bahkan meninggalkan rumahnya."

   Tentu saja Kwee Lok dan Bi kwi semakin tertarik. Agaknya benar isi surat orang rahasia yang menyambitkan pisau itu. Raden Wiratama ini tahu banyak akan hal yang sedang mereka selidiki.

   "Ah, ia telah pergi meninggalkan rumah? Ke manakah?"

   Bi Kwi bertanya dengan hati tertarik.

   "Hal itu tidak diketahui orang. Akan tetapi semenjak tunangannya dibunuh orang, ia telah pergi meninggalkan rumah dan sampai kini tidak ada beritanya lagi. Mungkin ia merasa sangat sakit hati terhadap pembunuh tunangannya. Ah, kalau saja ia mau mencari keterangan kepada saya, mungkin saya dapat membantunya menemukan pembunuh tunangannya itu."

   Mendengar ini, Bi Kwi bangkit dari tempat duduknya dan dengan wajah berseri ia bertanya,

   "Siapakah pembunuhnya?"

   Melihat sikap adik angkatnya yang tergesa-gesa sehingga seolah-olah mendesak tuan rumah, Kwee Lok merasa tidak enak, khawatir kalau-kalau tuan rumah tersinggung. Maka dia memberi isarat kepada Bi Kwi agar bersabar dan duduk kembali, kemudian dia menghadapi Raden Wiratama dengan sikap Ramah.

   "Maafkan kelancangan adik saya, akan tetapi ia dan saya memang ingin sekali mengetahui keterangan Raden tentang pembunuhan itu."

   Raden Wiratama yang sudah mendapat keterangan dari Walet Hitam, tentu saja tidak merasa kurang senang. Dia sudah tahu bahwa gadis yang menyamar pria ini adalah adik kandung dari tunangan Darmini yang terbunuh. Akan tetapi tentu saja dia pura-pura tidak tahu, dan sengaja memandang dengan sikap curiga.

   "Siapakah sebenarnya andika berdua ini dan mengapa ingin tahu tentang pembunuhan tunangan Darmini itu?"

   Kwee Lok menjawab,

   "Sesungguhnya, Raden, kami mencari Ki Demang Bragolo juga ada hubungannya dengan perkara pembunuhan atas diri tunangan Darmini itu. Ketahuilah bahwa saya adalah adik seperguruan dari Ong Cun, tunangan Darmini itu, dan adik Ong Bi Kwi ini adalah adik kandung Ong Cun."

   Raden Wiratama mengangguk-angguk dan berpura-pura tidak tahu bahwa yang bernama Ong Bi Kwi adalah seorang wanita, apalagi melihat bahwa dua orang tamunya itu tidak membuka rahasia penyamaran itu.

   "Ah, jadi kiranya tuan muda ini hendak mencari pembunuh Kakak kandungnya?"

   Tanyanya sambil memandang wajah Bi Kwi dengan tajam dan penuh selidik.

   "Benar,"

   Jawab Bi Kwi, kini dapat menguasai dirinya, walaupun ia merasa tegang dan kini, setelah ia melihat harapan unuk mengetahui siapa pembunuh Kakaknya, wajah tuan rumah itu tidaklah begitu menyeramkan lagi.

   "Saya ingin sekali mengetahui siapa pembunuh Kakak saya dan mengapa Kakak saya dibunuh."

   Raden Wiratama mengangguk-angguk.

   "Saya sudah mendengar tentang pembunuhan itu dan memang tidak ada saksi sehingga tidak dapat dibuktikan siapa pembunuhnya. Akan tetapi, dengan melihat keadaan dan persoalannya, saya dapat menarik kesimpulan siapa-siapa kiranya yang dapat dicurigai melakukan pembunuhan itu. Akan tetapi sebelum saya menguraikan hal itu, marilah kita makan dulu, bersama sebagai penghormatan kami terhadap tamu-tamu yang kami hormati."

   Kakak beradik itu saling pandang dan merasa tidak enak hati.

   "Ah, Raden Wiratama, kami tidak ingin merepotkanmu. Kami diterima di sini dan hendak diberi penjelasan saja sudah amat berterima kasih. Kalau Raden hendak makan dulu, silahkan, kami akan menunggu,"

   Kata Kwee Lok dan Bi Kwi mengangguk menyetujui ucapan Kakaknya itu. Akan tetapi tuan rumah mengerutkan alisnya.

   "Ah, jangan begitu! Undangan makan ini merupakan jamuan dari tuan rumah kepada tamunya, kalian tidak dapat menolak. Mari, jangan sungkan karena setelah bercakap-cakap seperti ini, di antara kita sudah ada hubungan persahabatan, bukan?"

   Tuan rumah bangkit berdiri dan kini kedua orang muda itu tidak dapat menolak lagi, merasa tidak enak hati kalau menolak dan merekapun ikut berdiri dan mengikuti tuan rumah menuju keruangan dalam, yaitu ruangan makan di mana telah tersedia makanan dan minuman di atas meja. Dua orang tamu itu lalu dipersilahkan duduk dan diajak makan minum oleh Raden Wiratama, dilayani oleh gadis-gadis pelayan yang cantik-cantik. Kakak beradik itu tidak tahu bahwa betapa ketika tuan rumah mengajak mereka minum untuk pernyataan selamat datang, ketika mereka minum, Raden Wiratama mengarahkan pandang matanya kepada Bi Kwi dan mulutnya berkemak-kemik, sepasang mata yang besar sebelah itu tiba-tiba mencorong aneh.

   Kwee Lok agaknya tidak merasakan sesuatu, akan tetapi Bi Kwi merasa ada hal aneh terjadi pada dirinya ketika ia minum. Ketika ia mengangkat muka memandang kepada tuan rumah, ia merasa betapa tuan rumah sama sekali bukan seorang yang tidak menyenangkan hatinya. Sebaliknya malah, tuan rumah kelihatan demikian baik hati, demikian Ramah, bahkan menarik! Mereka makan minum dan Kwee Lok beberapa kali memuji kebaikan hati tuan rumah yang sudah menjamu mereka dengan hidangan yang mewah. Tak lama kemudian mereka kembali duduk di ruangan tadi. Kakak beradik itu sudah siap mendengarkan keterangan Raden Wiratama. Tuan rumah agaknya maklum akan hal itu dan diapun berkata dengan suara tenang,

   "Ketika saya mendengar akan pembunuhan atas diri Ong Cun tunangan Darmini itu, sudah timbul dugaan dalam hatiku siapa yang kiranya patut dicurigai. Saya mendengar bahwa pernah ada orang yang mengajukan pinangan kepada puteri Ki Demang Bragolo, akan tetapi pinangan itu ditolak karena Darmini telah bertunangan dengan Ong Cun. Beberapa hari setelah penolakan itu lalu terjadilah pembunuhan atas diri tunangan Darmini. Tentu saja hal ini mencurigakan sekali, apa lagi kalau diingat bahwa peminang yang ditolak itu adalah orang yang memiliki kedudukan tinggi dan juga mempunyai banyak kaki tangan yang pandai, terkenal pula sebagai seorang laki-laki yang suka mengganggu wanita. Atas dasar itulah saya berpendapat bahwa besar sekali kemungkinan pembunuhnya adalah orang itu."

   "Siapakah orang itu, Raden?"

   Tanya Kwee Lok, ingin sekali tahu dan Bi Kwi yang masih merasa aneh itu tidak berkata-kata, namun juga ingin sekali mengetahui siapa orang yang dicurigai membunuh Kakaknya.

   "Dia bernama Raden Panji Sarono, putera dari Empu Tanding yang memiliki kedudukan tinggi, pernah menjadi penguasa di Lumajang setelah Lumajang ditundukkan oleh Majapahit."

   Mendengar disebutnya nama itu, Kwee Lok kelihatan tertarik sekali.

   "Raden Wiratama, apakah yang bernama Panji Sarono itu orangnya tegap, gagah dan tampan, dengan kumis tipis, sedangkan Empu Tanding itu orangnya angkuh, rambutnya putih, membawa sebatang tongkat ular hitam...?"

   Tuan rumah itu berseru,

   "Benar sekali! Jadi engkau telah mengenal mereka?"

   Kwee Lok menggeleng kepalanya.

   "Pernah saya melihat mereka satu kali di taman keluarga Ki Demang""

   "Ah, dia itu yang kau ceritakan memandang kepada Cun-Koko dengan sinar mata penuh kebencian itu, Toako?"

   Bi Kwi bertanya dan Kwee Lok mengangguk.

   "Di mana rumah mereka, Raden?"

   Kami harus segera menyelidiki ke sana!"

   Kata Kwee Lok.

   "Benar, akupun ingin segera menyelidiki mereka. Kalau benar mereka itu pembunuh Kakakku..."

   Sambung Bi Kwi sambil mengepal tinju.

   "Harap kalian bersikap tenang,"

   Kilat Pedang Membela Cinta Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Kata Raden Wiratama dan sikapnya kini berubah, masih Ramah akan tetapi juga berwibawa.

   "Tidak boleh bersikap sembrono, karena ketahuilah bahwa Empu Tanding dan putera-puteranya bukanlah orang-orang lemah dan tempat tinggal mereka terjaga dengan ketat. Kalian dapat menemui bencana kalau bersikap gegabah. Pula, kita hanya curiga saja kepada mereka dan belum ada buktinya bahwa merekalah yang membunuh Ong Cun. Lebih baik kalau kita yang juga menyelidiki dari keluarga Ki Demang Bragolo, karena tentu mereka dapat bercerita lebih jelas lagi. Besar kemungkinan dari mereka, terutama dari Darmini, kita akan dapat memperoleh keterangan yang lebih jelas."

   "Akan tetapi, kami tidak dapat menemui mereka..."

   Bantah Kwee Lok.

   "Saya dapat mengaturnya,"

   Kata Raden Wiratama.

   "Kalian berdua dengarlah baik-baik. Di antara kita terdapat suatu pertalian kepentingan. Lima tahun yang lalu, rombongan Bangsa Cina yang berada di Lumajang, secara terang-terangan atau diam-diam, telah terlibat dalam perang melawan Majapahit.

   "Kami adalah keluarga Sang Adipati Wirabumi yang tidak akan tinggal diam saja melihat kekalahan Lumajang. Ong Cun merupakan seorang di antara rombongan itu, maka kematiannya harus pula kami selidiki dan kalau perlu pelaku pembunuhan itu kami hukum. Sekarang, sebaiknya kita bekerja sama. Kamipun memusuhi keluarga Empu Tanding, yang menjadi kaki tangan Kerajaan Majapahit, orang-orang yang setia dan memusuhi keluarga Adipati Wirabumi. Sebaiknya sekarang kita menyelidiki keadaan keluarga Empu Tanding malam ini, dan saya akan mengajak saudara Ong Bi Kwi untuk pergi mengunjungi keluarga Ki Demang Bragolo.

   "Kalau saya yang datang, tentu mereka tidak akan menolaknya, karena mereka adalah kenalan baik saya."

   Kwee Lok mengerutkan alisnya, seperti orang yang tidak setuju.

   "Akan tetapi, maafkan kami, Raden Wiratama. Kami berdua mempunyai tugas pribadi sendiri untuk membalas kematian Kakak kami Ong Cun, kami tidak sempat melibatkan diri dalam urusan permusuhan antara keluarga Lumajang dan pemerintah Majapahit."

   Raden Wiratama teringat akan pesan si Walet Hitam, maka dia memandang wajah Kwee Lok dan berkata dengan nada serius,

   "Saudara Kwee Lok, bukan kami hendak melibatkan kalian berdua dengan urusan kami, melainkan kepentingan kami dengan kepentingan kalian memang berkaitan. Aku membantu kalian mencari pembunuh Ong Cun, maka sudah sepatutnya kalau kalian juga membantu kami, bukan? Dan kamipun bukan orang yang tidak tahu terima kasih! Tunggu sebentar!"

   Tuan rumah itu lalu meninggalkan dua orang tamunya, pergi ke dalam.

   "Toako, kenapa engkau berkata demikian? Aku mempunyai harapan besar untuk dapat menemukan pembunuh Cun-Koko, dengan bantuannya. Kita harus bersikap baik terhadapnya..."

   Bi Kwi tidak melanjutkan kata-katanya karena tuan rumah sudah keluar lagi membawa sebuah keris dalam warangkanya yang terukir indah. Dia menaruh keris itu di atas meja, di depan Kwee Lok.

   

Jodoh Si Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Jodoh Rajawali Karya Kho Ping Hoo Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini