Ceritasilat Novel Online

Antara Dendam Dan Asmara 25


Antara Dendam Dan Asmara Karya Kho Ping Hoo Bagian 25



"Buk-bukk!!"

   Tubuh dua orang penyerangnya itu terpelanting! Pada saat itu, teman-teman Si Pekerja dan teman-teman tukang pukul menjadi marah. Mereka bergerak hendak menangkap Cin Cin, akan tetapi tiba-tiba Yeliu Chu Cai lari menghampiri dan menggandeng tangan anak perempuan itu, langsung dia ajak naik ke tumpukan peti yang terdapat di depan gedung. Dengan berdiri di tumpukan peti, dua orang anak itu dapat tampak jelas, bahkan para penonton yang agak jauh pun dapat melihat mereka berdua. Setelah berdiri di atas peti, sambil menggandeng tangan Cin Cin, Yeliu Chu Cai berkata dengan suaranya yang halus akan tetapi mengandung wibawa.

   "Ciang Wangwe dan para saudara pekerja! Harap dengarkan baik-baik. Kalian adalah dua pihak yang sepatutnya bekerja sama mencari nafkah untuk menyejahterakan kehidupan kedua pihak. Kalau ada masalah timbul, bicarakan dengan baik dan mencari pemecahannya yang menguntungkan kedua pihak. Berkelahi tidak membereskan masalah, malah mengeruhkan. Bersabarlah kalian!"

   Akan tetapi Ciang Wangwe yang sudah marah sekali karena menganggap para pekerja itu keterlaluan, hendak memeras dan merampoknya, menudingkan telunjuknya ke arah mereka dan berseru memerintahkan kepada para pengawalnya.

   "Bunuh perampok-perampok itu!"

   Para pekerja juga sudah marah. Walau pun tadinya mereka ada yang mengenal Cin Cin dan mulai mendengarkan ucapan Chu Cai, akan tetapi melihat Ciang Wangwe mengerahkan anak buahnya untuk menyerang, mereka pun berteriak marah dan siap melawan.

   "Jangan berkelahi!"

   Yeliu Chu Cal berteriak.

   "Heil! Kalian tuli? Pamanku bilang jangan berkelahi!"

   Cin Cin berteriak-teriak marah. Akan tetapi kedua kelompok itu sudah saling serang dengan marah. Pada saat itu sesosok bayangan hijau berkelebat ke tengah pertempuran. Terdengar mereka yang berkelahi berseru kesakitan dan ternyata mereka yang berada paling depan, lima orang pekerja dan lima orang pengawal Ciang Wangwe, sudah terpelanting roboh dan mengaduh-aduh terkena tamparan dan tendangan Nyonya Song Han Bun atau Can Pek Giok yang datang sebagai bayangan hijau tadi! Tentu saja semua orang merasa terkejut, apalagi ketika mereka mengenal siapa wanita yang sekali bergerak telah merobohkan sepuluh orang itu!

   "Can Li-hiap (Pendekar Wanita Can)!"

   Mereka berseru. Biarpun Pek Giok telah menjadi isteri Han Bun, namun mereka sudah mengenalnya sejak masih gadis sebagai seorang pendekar wanita di Sung-Kian.

   "Hayo, siapa lagi yang ingin berkelahi?"

   Can Pek Giok menantang sambil menoleh ke arah kedua pihak yang bersengketa. Karena pemimpin pekerja dan seorang pengawal yang tidak mengenal keluarga pendekar itu telah dirobohkan, maka kini tidak ada yang berani membantah. Melihat Pek Giok, Hartawan Ciang lalu berkata,

   "Can Li-hiap, tolonglah saya. Mereka itulah yang bersalah, para pekerja itu hendak memeras dan merampok saya!"

   "Tidak ada yang bersalah atau benar!"

   Yeliu Chu Cai berkata lantang.

   "Kalau mau bicara tentang siapa yang bersalah, maka kedua pihak bersalah. Jalan kekerasan yang kalian tempuh itu sudah salah!"

   Kini Cin Cin yang menjadi besar hati melihat munculnya Ibunya, berdiri di dekat Yeliu Chu Cai dan berseru dengan suaranya yang bening dan lantang.

   "Hayo kalian semua, kedua pihak duduk di atas tanah dengan tertib dan dengarkan kata-kata pamanku ini yang akan memecahkan persoalan kalian dengan adil tanpa menggunakan kekerasan. Hayo duduk semua, atau Ibuku akan memaksa kalian duduk!"

   Mendengar ini, semua orang benar-benar mentaati dan mereka duduk di atas tanah dengan tertib. Ciang Wangwe menghela napas panjang dan dia pun terpaksa duduk di atas bangku depan pintu gudang dan ikut mendengarkan. Melihat ulah puterinya, Pek Giok tersenyum dan ia kini ikut mendengarkan apa yang akan dikatakan Yeliu Chu Cai kepada kedua pihak yang berkelahi itu. Pemuda remaja itu berdiri di atas tumpukan peti, penampilannya begitu sederhana dan lembut, namun wajahnya yang membayangkan keramahan dan kebijaksanaan itu menarik perhatian semua orang. Yeliu Chu Cai menghadapi para pekerja yang bergerombol duduk di sebelah kiri.

   "Saudara-saudara para pekerja, kita semua tahu bahwa kalian menuntut perbaikan penghasilan agar mencukupi kebuTUHAN hidup kalian sekeluarga. Tuntutan itu sudah sewajarnya dan baik-balk saja, akan tetapi cara yang kalian pergunakan untuk menuntut dengan kekerasan itulah yang tidak benar. Apalagi kalau kalian hendak memaksa membawa beras milik Ciang Wangwe, tentu kalian akan dituduh perampok jahat dan kalian akan ditentang pemerintah, juga akan ditentang para pendekar."

   "Akan tetapi kami sudah mengajukan tuntutan secara baik-baik dan semua tuntutan kami ditolak oleh Hartawan Ciang, bahkan kami dipecat tanpa alasan dan tanpa kesalahan!"

   Teriak seorang pekerja.

   "Sekarang harap Ciang Wangwe suka mendengarkan dan memikirkan dengan mendalam karena hal ini menyangkut kepentingan bersama. Tentu engkau tidak menghendaki kalau para pekerjamu memberontak dan menuntut kenaikan upah dengan kekerasan."

   "Mereka tidak mengenal budi, tidak tahu diri!"

   Hartawan Ciang berseru.

   "Mereka memang bekerja padaku, mengeluarkan tenaga. Akan tetapi untuk itu aku telah membayar mereka sesuai dengan pekerjaan mereka. Mereka tidak pernah mengenal puas, selalu minta naik gaji, minta diberi waktu istirahat, minta diberi makan siang dan segala macam! Apakah dikira kami tidak mampu mencari pekerja-pekerja baru?"

   "Ciang Wangwe, biar engkau seratus kali mengganti pekerja baru, akhirnya mereka yang baru itu pun akan menuntut perbaikan kesejahteraan yang sama! Coba renungkan sejenak, Ciang Wangwe. Tanpa adanya para pekerja, apakah engkau dapat memperoleh keuntungan? Tanpa mereka, dapatkah engkau seorang diri mengangkuti hasil bumi daganganmu itu? Jelaslah bahwa mereka yang membantumu memperoleh keuntungan, maka sesungguhnya karena keuntungan itu juga hasil keringat mereka, para pekerja itu berhak atas sebagian keuntungan itu. Ciang Wangwe, bukan hanya tenaga mereka yang harus kau hargai dan kau beri imbalan, akan tetapi juga rejeki mereka."

   "Hamm, rejeki mereka? Apa maksudmu, orang muda?"

   Tanya Hartawan Ciang penasaran.

   "Ciang Wangwe, sesungguhnya bukan hanya tenaga dan pikiran yang mereka berikan kepadamu. Setiap orang menerima berkah rejeki dari TUHAN. Akan tetapi karena para pekerja itu bekerja untukmu, maka betapa pun besar rejeki mereka yang dianugerahkan-Nya kepada mereka, tetap saja semua rejeki itu engkau yang menerimanya melalui keuntungan perusahaanmu. Nah, kalau segalanya itu mereka berikan kepadamu, waktu, tenaga, pikiran, juga rejeki, tidakkah sudah sepantasnya kalau engkau membalas mereka dengan imbalan uang untuk mencukupi kebuTUHAN hidup keluarga mereka?"

   Mendengar ucapan yang mereka anggap membela mereka itu, para pekerja bersorak dan berteriak-teriak.

   "Benar sekali! Kami menuntut keadilan! Hartawan Ciang jangan mau enaknya sendiri!"

   Demikian mereka berteriak dan bersorak. Yeliu Chu Cai mengangkat kedua tangannya tinggi ke atas memberi isarat agar mereka berhenti bersorak dan berteriak. Setelah mereka berhenti membuat gaduh, Yeliu Chu Cai berkata,

   "Seperti kukatakan tadi, tidak ada yang salah dan tidak ada yang benar. Kalau kalian kedua pihak menggunakan kekerasan, maka kedua pihak bersalah! Sesungguhnya tidak ada bedanya di antara Hartawan Ciang dan para pekerja. Hartawan Ciang tidak dapat berdagang tanpa bantuan para pekerja, sebaliknya para pekerja juga tidak dapat bekerja tanpa adanya pemilik modal seperti Hartawan Ciang. Karena itu, pemilik modal dan pemilik tenaga haruslah bekerja sama! Kedua pihak merupakan partner, merupakan pasangan dan dengan kerja sama kedua pihak yang baik, maka dapat dihasilkan keuntungan yang dapat menyejahterakan kehidupan si pekerja dengan keluarganya dan dapat membuat perusahaan menjadi tambah maju dan bertambah besar. Kedua pihak haruslah tahu benar akan kewajiban masing-masing. Pemilik modal harus membagi keuntungan perusahaannya kepada pekerja sehingga mereka dapat hidup sejahtera bersama keluarganya, dan sebaliknya kalau hidupnya sejahtera dan kebuTUHAN hidupnya terjamin, si pekerja pasti akan bekerja dengan penuh semangat dan juga dengan jujur dan setia. Dengan demikian perusahaan akan berjalan lancar dan akhirnya akan mendatangkan keuntungan yang lebih besar. Kalau perusahaan semakin maju dan untungnya bertambah besar, berarti si majikan dapat memberi bagian keuntungan atau upah lebih besar lagi. Bukankah hal itu menguntungkan kedua pihak? Coba bandingkan dengan keadaan yang sebaliknya. Kalau majikan dan pekerja tidak dapat bekerja sama sebagai partner, majikan merasa rugi kalau membayar upah tinggi, si pekerja juga bekerja tanpa semangat karena penghasilannya tidak mencukupi kebuTUHAN keluarganya. Karena terpaksa, maka si pekerja kehilangan kejujuran dan kesetiaannya kepada majikan yang dia anggap pelit dan mau untung sendiri. Bahkan ada yang mata gelap lalu mencuri isi gudang. Bukankah kalau terjadi hal seperti itu, keduanya akan menderita rugi dan kehancuran?"

   Sepi sekali setelah Yeliu Chu Cai berhenti bicara. Agaknya ucapannya itu mendatangkan kesan mendalam sekali datam hati kedua pihak. Mereka seolah baru menyadari bahwa hubungan antara majikan dan pekerjanya selama ini seperti orang-orang yang saling curiga, saling benci dan bermusuhan. Kini mereka saling pandang. Semua pekerja memandang ke arah Ciang Wangwe yang masih duduk termenung di atas bangku, lalu Hartawan Ciang itu menyapukan pandangan matanya ke arah para pekerja yang duduk di atas tanah. Tiba-tiba Cin Cin yang berdiri di dekat pamannya, berseru nyaring.

   "Bagus! Bagus! ini pamanku Yeliu Chu Cai telah bicara dan menemukan jalan keluar yang baik untuk mengakhiri sengketa ini! Mulai sekarang, kami harap Ciang Wangwe dapat memperhatikan kebuTUHAN para pekerjanya dan para pekerja juga mau bekerja giat, jujur dan setia. Kalau tidak menurut, maka aku akan menganjurkan semua penduduk Sung-Kian untuk tidak menyebut Hartawan Ciang, melainkan Si Pelit Ciang dan kalau para pekerja tidak bersemangat, jujur, dan setia, mereka bukan lagi pekerja yang baik, melainkan gerombolan pengacau atau perampok!"

   Melihat ulah dan mendengar apa yang diucapkan Yeliu Chu Cai dan Cin Cin, Pek Giok tersenyum dan merasa bangga, juga amat kagum kepada adik misannya itu. Maka dengan gerakan lompatan yang indah sekali ia melayang ke atas tumpukan peti di sebelah Yeliu Chu Cai dan Cin Cinn lalu berseru dengan suara nyaring,

   "Kalian semua dengar baik-baik! Apa yang dikatakan adik misanku Yeliu Chu Cai tadi adalah benar. Karena itu, kami harap pihak majikan dan pihak pekerja agar dapat melaksanakan dengan iktikad baik sehingga kedua pihak dapat menikmati hasilnya. Kalau ada pihak yang tidak mau melaksanakan kerja sama yang baik itu dan tetap menggunakan kekerasan terpaksa kami akan menentangnya!"

   Mendengar ucapan pendekar wanita yang amat dikenal dan disegani di Sung-Kian itu, semua pihak merasa gentar dan Hartawan Ciang segera berkata

   "Mulai hari ini kami akan memenuhi tuntutan kenaikan upah dan waktu istirahat dan makan siang dengan harapan agar para pekerja juga mengimbangi dengan bekerja penuh semangat, jujur dan setia. Biarlah Lihiap Can Pek Giok menjadi saksinya!"

   Ucapan Hartawan Ciang ini disambut sorak sorai para pekerja dan terdengar suara Pek Giok melengking mengatasi gemuruh sorak sorai mereka.

   "Aku belum mendengar kesanggupan dan janji para pekerja!"

   Segera atas pimpinan seorang pekerja tertua, tiga puluh orang pekerja itu serentak berseru.

   "Kami berjanji akan bekerja penuh semangat, jujur dan setia!"

   Terjadilah perdamaian antara Hartawan Ciang dan para pekerjanya dalam suasana gembira karena kedua pihak mengharapkan akan mendapat perbaikan dalam hubungan yang baru itu. Beberapa hari kemudian, dengan menggunakan kereta, Bun Cui Lian atau Nyonya Can bersama Yeliu Chu Cai, ditemani Song Han Bun, Can Pek Giok dan Song Bwee Cin, berangkat menuju kotaraja Yen-Cing dari Kerajaan Cin.

   "Jangan, Cin Cin. Berbahaya sekali kalau kita berkunjung ke sana!"

   Yeliu Chu Cai mencela ketika Cin Cin mengajak dia mendaki bukit itu. Mereka berdua berada di Yen-Cing dan tentu saja pertemuan antara Bun Cui Lian dengan Ibu kandung dan adik kandungnya, yaitu Ibu dari Yeliu Chu Cai, amat mengharukan, juga menggembirakan. Terutama sekali bagi Bun Cui Lan atau Nyonya Can Ibu Cin Cin, pertemuan dengan Ibunya yang sakit-sakitan, dan adiknya, sungguh merupakan kebahagiaan besar sekali. Apalagi mendengar bahwa sudah lama Ibu kandungnya memaafkannya yang kawin lari dengan mendiang suaminya, Can Gi Sun. Setelah melepaskan rindu selama dua hari, pada hari ke Cin Cin minta kepada Yeliu Chu Cai agar menemaninya berjalan-jalan melihat keadaan Kotaraja Yen-Cing. Tentu saja Yeliu Chu Cai senang menjadi penunjuk jalan dan dia membawa Cin Cin keliling kota. Setelah matahari condong ke barat dan sudah mengelilingi bagian kota yang ramai, Cin Cin mengajak Yeliu Chu Cai keluar dari pintu gerbang utara di mana terdapat daerah pegunungan yang berjajar dan berlapis.

   "Paman Yeliu, dulu engkau menceritakan bahwa Pek-Bin Giam-Lo kini bertapa di sebuah bukit. Bukit yang manakah yang menjadi pertapaannya?"

   "Itu, yang terdekat,"

   Yeliu Chu Cai menunjuk.

   "Mari kita ke sana, Paman."

   "Eh, mau apa ke sana?"

   "Aku mau melihat dari dekat."

   Yeliu Chu Cai tidak dapat menolak dan mereka menghampiri bukit itu. Akan tetapi setelah tiba di kaki bukit, Cin Cin mengajaknya mendaki ke puncak. Tentu saja Yeliu Chu Cai terkejut dan menolak.

   "Jangan, Cin Cin, berbahaya sekali kalau kita mendaki puncak!"

   Cegahnya. Akan tetapi Cin Cin memiliki kekerasan hati. Kalau ia menghendaki sesuatu, sukarlah untuk mencegahnya.

   "Aku hanya ingin melihat-lihat keadaan di puncak, Paman. Kalau engkau takut, biarlah engkau menunggu di sini dan aku akan mendaki sendiri."

   Melihat anak perempuan itu nekat bahkan sudah mulai mendaki bukit melalui jalan kecil, Yeliu Chu Cai yang tak berdaya menggeleng-gelengkan kepalanya dan terpaksa dia pun mengikuti Cin Cin mendaki ke atas. Bukit itu tidak berapa tinggi. Tak lama kemudian mereka sudah tiba di puncak yang datar dan tidak berapa luas. Di situ terdapat sebuah bangunan kecil mungil dan indah. Jalan menuju ke bawah hanyalah yang dilalui Cin Cinn dan Yeliu Chu Cai karena puncak itu dikelilingi tebing yang curam. Setelah tiba di puncak, Cin Cinn mengelilingi pondok itu dan memperhatikan keadaan sekelilingnya, maklum bahwa tempat yang pemandangannya dari atas amat indah itu sangat berbahaya. Agaknya tidak mungkin menuruni puncak melalui jalan lain kecuali melalui jalan kecil yang ia lalui tadi. Tebing-tebing yang mengelilingi puncak sangat curam. Yeliu Chu Cai merasa heran melihat Cin Cin agaknya senang berada di situ. Dia hanya mengikuti saja gadis cilik yang kini berada di bagian belakang pondok di mana tebingnya paling curam. Bahkan Cin Cin berdiri di tepi tebing, menjenguk ke bawah sehingga Yeliu Chu Cai merasa ngeri karena sekali terpeleset ke bawah, kiranya tidak mungkin dapat terbebas dari maut. Tiba-tiba terdengar orang berseru,

   "Hei, siapa kalian? Kalian tidak boleh berada di sini!"

   Cin Cin dan Yeliu Chu Cai memutar badan dan mereka melihat dua orang wanita setengah tua dan seorang laki-laki setengah tua berpakaian sebagai pelayan telah berdiri di depan pintu belakang pondok itu. Yang menegur tadi adalah pelayan laki-laki itu. Yeliu Chu Cai yang merasa rikuh sekali karena merasa telah melanggar peraturan, cepat menjura dan berkata dengan sikap hormat.

   "Harap maafkan kami. Kami hanya ingin menikmati pemandangan dari puncak bukit ini."

   "Tidak boleh,"

   Kata pelayan pria itu.

   "Ini tempat larangan bagi umum, siapa pun tidak boleh berada di puncak ini kecuali mendapat ijin!"

   "Aih, galak amat!"

   Tiba-tiba Cin Cin berseru.

   "Memangnya pondok ini tempat tinggal Kaisar?"

   "Cin Cin...!"

   Yeliu Chu Cai menegur halus.

   "Biarlah, Paman. Lihat, di daerah Ini terus ke utara terdapat ribuan bukit, apakah bukit-bukit itu ada yang memiliki? Siapa pun boleh mendaki dan menikmati pemandangan dari puncak bukit. Kenapa kita dilarang? Siapa hendak melarang?"

   Pelayan pria itu mengerutkan alisnya dan menghampiri Cin Cin lalu berkata,

   "Nona, engkau masih kanak-kanak, harap kalau bicara yang betul. Aku menyayangkan kalau sampai Tuan Besar mendengar lalu marah, engkau pasti akan celaka. Pergilah, Nona, pergilah sebelum terlambat!"

   Agaknya Cin Cin memang hendak mencari perkara. Diperingatkan demikian, ia malah menantang.

   "Siapa takut kepada Tuan Besarmu? Panggil dia keluar, hendak kulihat apakah dia berani melarang aku berada di puncak bukit ini!"

   Pelayan itu terkejut dan cepat berbisik dengan maksud agar anak perempuan itu menjadi takut dan segera pergi.

   "Hushh, Nona. Pondok ini milik Tuan Besar Pek-Bin Giam-Lo!"

   "Raja Maut Muka Putih? Jangankan Raja Maut, biar Raja Setan aku tidak takut!"

   Cin Cin sengaja menantang. Yeliu Chu Cai menjadi khawatir juga.

   "Cin Cin...!"

   Dia menegur. Pelayan pria itu pun terkejut bukan main. Karena khawatir bahwa Pek-Bin Giam-Lo akan marah, dia menjadi kehilangan kesabarannya. Dia menghampiri Cin Cin dan berkata dengan suara membentak.

   "Anak nakal! Cepat pergi dari sini. Cepat...!!"

   Karena jengkel melihat ulah Cin Cin, dia memegang pergelangan tangan anak perempuan itu dan menariknya, hendak memaksanya pergi dari situ. Akan tetapi sekali memutar lengannya, pelayan itu terpelanting dan kaki Cin Cin menendang sehingga tubuh pelayan itu terpental dan bergulingan.

   "Engkau yang harus pergi!"

   Cin Cin membentak marah.

   "Panggil Setan Tua Muka Putih ke sini!"

   Pelayan itu terkejut sekali, juga ketakutan. Dia lalu bangkit, berlari memasuki pintu belakang diikuti oleh dua orang pelayan wanita yang juga ketakutan. Tiba-tiba dari pintu belakang itu menyambar angin yang membuat tanaman di situ terayun-ayun, kemudian muncul seorang Kakek yang penampilannya menyeramkan. Kakek itu tinggi dan kurus sekali, mukanya hanya tengkorak terbungkus kulit putih, kepalanya memakai sorban dan tangan kanannya memegang sebuah tongkat ular kobra. Dia bukan lain adalah Pek-Bin Giam-Lo dan kini dia sudah tua sekali, hampir sembilan puluh tahun usianya.

   "Hemm, di mana bocah-bocah kurang ajar itu?"

   Tanyanya dan di ambang pintu belakang, kepala pelayan pria tadi muncul dan dia berseru.

   "Itu mereka di sana, Taiya, di depanmu...!"

   Pek-Bin Giam-Lo menatap ke depan akan tetapi agaknya dia tidak melihat Cin Cin dan Yeliu Chu Cai. Pemuda itu berbisik kepada Cin Cin.

   "Dia itu Pek-Bin Giam-Lo..."

   "Engkau menyingkirlah yang jauh, Paman. Aku akan mempermainkan dia!"

   "Jangan, Cin Cin, mari kita lari!"

   "Jangan khawatir, Paman. Lihat, dia agaknya telah buta."

   Benar saja, biarpun Pek-Bin Giam-Lo menghadap ke arah mereka, dia tetap menengok ke kanan kiri seperti orang mencari-cari.

   "Hei, Pek-Bin Giam-Lo, matamu sudah buta, ya? Itulah hukuman dosa-dosamu yang bertumpuk-tumpukl"

   Teriak Cin Cin dan anak yang cerdik itu sudah cepat melompat meninggalkan tempat ia berdiri tadi.

   Benar saja, begitu telinganya mendengar ucapan anak itu tangannya yang memegang tongkat ular kobra bergerak dan terdengar suara berdesing ketika dua sinar hitam meluncur dari mulut ular kobra kering, menyambar ke arah di mana tadi Cin Cin berdiri. Anak itu tersenyum, padahal bagi anak lain tentu akan merasa ngeri karena kalau ia tidak memperhitungkan lebih dulu dan tidak cepat menyingkir, kiranya mustahil ia akan mampu menghindarkan diri dari ancaman maut dua paku beracun yang menyerangnya tadi. Akan tetapi Cin Cin adalah puteri sepasang pendekar sakti. Selain telah menerima gemblengan ilmu silat, ia pun memiliki kecerdikan yang lebih dari anak-anak biasa. Ia mulai mempermainkan Pek-Bin Giam-Lo.

   "Hei, Pek-Bin Giam-Lo..."

   Ia cepat meloncat ke kiri dan kembali ada sinar hitam menyambar,

   "Tua bangka yang sudah mau mampus! Jangan curang, kalau berani..."

   Ia melompat lagi ke kanan dan kembali ada dua sinar hitam menyambar.

   "Kalau berani, hayo lawan aku, bukan menggunakan senjata rahasia secara curang!"

   Tentu saja sebagai seorang datuk besar yang tinggi ilmunya, Pek-Bin Giam-Lo merasa tersinggung dan juga malu. Apalagi yang menantang dan menghina itu, mendengar suaranya, hanya seorang kanak-kanak, perempuan lagi!

   "Bocah setan, hayo katakan siapa engkau dan mengapa engkau mengacau di sini?"

   Cin Cin menjawab dan setiap empat atau lima buah kata ia segera berpindah tempat beberapa langkah jauhnya. Akan tetapi agaknya Pek-Bin Giam-Lo menyadari bahwa beberapa kali serangannya tadi dapat dihindarkan anak itu. Diam-diam dia merasa heran bagaimana seorang anak kecil mampu mengelak dari serangan-serangannya tadi. Padahal biarpun dia tidak dapat melihat jelas, pendengarannya masih baik dan dari pendengarannya, dia dapat menyerang anak itu dengan tepat dan cepat. Orang dewasa sekalipun, kalau bukan yang memiliki kesaktian tinggi, kiranya akan sukar untuk dapat terhindar dari serangan paku-paku hitamnya yang beracun.

   "Mau tahu aku siapa?"

   Kata Cin Cin sambil berloncatan ke sana sini untuk menjaga diri.

   "Aku adalah cucu Malaikat Pencabut Nyawa yang mendapat tugas untuk mencabut nyawamu karena dosa-dosamu terutama engkau telah membunuh Can-Kauwsu dan Song-Kauwsu di kota Sung-Kian!"

   Pek-Bin Giam-Lo terkejut dan mengerutkan alisnya. Mendengar ini, biarpun yang bicara hanya anak kecil, dia tidak berani main-main.

   "Apa hubunganmu dengan Song Han Bun dan Can Pek Giok?"

   Tanyanya, agak gentar mengingat dua orang musuh besarnya yang dia tahu amat tangguh itu. Apalagi sekarang setelah dia semakin tua, tidak sekuat dulu dan penglihatannya telah rabun, bahkan hampir buta.

   "Hi-hik, mereka adalah Ayah dan Ibuku! Akan tetapi tidak perlu mereka yang turun tangan, cukup aku, Song Bwee Cin, akan menandingimu asalkan engkau tidak curang. Hayo maju kalau engkau berani, Kakek tua bangkal"

   Tentu saja Pek-Bin Giam-Lo marah sekali. Kemarahan yang sebetulnya muncul karena perasaan takut. Bagaimanapun juga, dia gentar mengingat bahwa mungkin sekali dua orang musuh besarnya itu, Song Han Bun dan Can Pek Giok, pada saat itu berada pula di situ.

   "Biar kuantar engkau menyusul dua orang Kakekmu lebih dulu!"

   Bentaknya dan sambil memutar tongkat ular kobra sehingga tampak sinar hitam bergulung-gulung dan mengeluarkan suara berdengung mengerikan, Pek-Bin Giam-Lo menerjang ke arah dari mana suara anak itu terdengar. Akan tetapi tentu saja Cin Cin sudah berada jauh dari situ. Anak itu mengejek dengan suara nyaring sambil terus menuju ke tebing di belakang pondok.

   "Wah, luput, Pek-Bin Giam-Lo! Lihat, kedua Kongkong (Kakek) telah menanti untuk menyeretmu ke tempat hukuman. Aku di sini, tua bangka buta! Hayo kejar aku kalau berani!"

   Cin Cin mengejek sambil berloncatan ke sana sini. Pek-Bin Giam-Lo semakin marah dan penasaran. Dia tidak mau mengeluarkan kata-kata lagi karena merasa kalah bicara.

   Dia hanya menggunakan pendengarannya untuk mengetahui di mana anak itu. Dia merasa penasaran sekali karena begitu mendengar suara anak itu, dia langsung menyerang dengan tongkatnya, akan tetapi serangannya selalu mengenai udara kosong belaka. Entah bagaimana caranya anak itu dapat mengelak sedemikian cepatnya. Sementara itu, dari tempat yang aman, Yeliu Chu Cai menonton dengan alis berkerut dan jantung berdebar penuh Ketegangan dan kekhawatiran. Dia merasa menyesal sekali telah mengajak Cin Cin ke puncak bukit tempat tinggal Pek-Bin Giam-Lo. Anak itu terlalu berani dan nekat! Kini Pek-Bin Giam-Lo sudah muncul dan marah besar. Apa yang harus dipertanggung-jawabkan kepada Ayah-Ibu Cin Cin kalau sampai anak itu terbunuh oleh Pek-Bin Giam-Lo? Dia sendiri tidak mampu mencegah atau menolong.

   "Cin Cin, larilah!"

   Dia tak dapat menahan kekhawatirannya dan berteriak. mendengar teriakan ini, Pek-Bin Giam-Lo memutar tubuh menghadap ke arah di mana pemuda itu berada. Akan tetapi karena menurut suara tadi jaraknya masih terlalu jauh, Pek-Bin Giam-Lo masih belum melakukan serangan melainkan melangkah menghampiri Yeliu Chu Cai dan menggunakan tongkatnya untuk meraba-raba tanah di depannya seperti kelakuan orang buta. Melihat ini, Cin Cin merasa khawatir sekali. ia memberi isarat dengan tangannya agar Yeliu Chu Cai berjongkok bersembunyi di balik batu besar itu. Tiba-tiba Pek-Bin Giam-Lo menggerakkan kakinya, tubuhnya melayang ke depan, tongkatnya menghantam ke arah pemuda itu. Akan tetapi Yeliu Chu Cai sudah berjongkok mentaati isarat dari Cin Cin tadi.

   "Blarrr...!!" Batu besar itu pecah berantakan di bagian yang terkena pukulan. Akan tetapi Yeliu Chu Cai yang sudah berlindung di belakang batu, tidak terluka, hanya terkejut sehingga tidak berani bergerak. Cin Cin mengambil beberapa buah batu sebesar kepalan tangannya dan menyambitkan batu-batu itu ke arah kepala dan tubuh belakang Pek-Bin Giam-Lo! Akan tetapi, pendengaran Kakek itu masih peka sekali. Dia memutar tubuh dan memutar tongkatnya. Semua batu itu dapat tertangkis dan kini dengan langkah lebar ia menghampiri Cin Cin!

   "Kakek bau! Beraninya hanya kepada batu yang tidak bersalah kau hancurkan. Hayo lawan aku kalau engkau memang ada keberanian!"

   Cin Cin menantang dengan suara merendahkan sekali, akan tetapi sambil cepat berloncatan menghindar waiaupun Kakek itu tidak atau belum menyerangnya. Pek-Bin Giam-Lo terus menghampiri maju, tongkatnya meraba-raba tanah. Cin Cin terus mundur sampai akhirnya ia berhenti karena kedua kakinya sudah tiba di tepi tebing yang amat curam! Melihat ini, Yeliu Chu Cai memandang dengan wajah pucat! Agaknya Cin Cin tidak akan dapat menghindarkan diri lagi! Akan tetapi anak perempuan itu agaknya memang sudah nekat. la yang tadi sudah mengumpulkan batu kini menyambitkan batu-batu itu secara bertubi-tubi sambil tiada hentinya memaki-maki.

   
Antara Dendam Dan Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Kakek tua bangka bau buruk! Mampuslah kau! Hayo pukul aku dengan tongkat bututmu itu kalau engkau mampu dan berani! Akan kuhancurkan mukamu yang buruk itu!!"

   Sekali ini, Cin Cin tidak berpindah tempat dan suaranya ia buat lantang sehingga Kakek itu dengan pendengarannya tahu betul di mana ia berada. Pek-Bin Giam-Lo sudah marah sekali, tongkatnya diputar dan semua batu dapat ditangkisnya sambil terus melangkah maju. Setelah cukup dekat, dia berseru nyaring,

   "Anak setan, mampuslah!!"

   Dia melompat, tongkatnya menyambar dari kanan ke kiri ke arah tubuh Cin Cin seperti halilintar menyambar. Tubuh Pek-Bin Giam-Lo melambung dan berkelebat ke depan, tongkatnya menjadi sinar hitam menyambar dan agaknya tak mungkin lagi Cin Cin dapat menghindarkan diri dari serangan maut yang dilakukan penuh nafsu amarah yang berkobar itu! Melihat ini, Yeliu Chu Cai menjerit.

   ''Awas, Cin Cin...!!"

   Muka pemuda itu pucat sekali, sepasang matanya terbelalak penuh kengerian ketika dia melihat tiba-tiba tubuh Cin Cin terjengkang atau melompat ke belakang, ke bawah tebing! Juga tubuh Pek-Bin Giam-Lo yang melompat dan menyerang tadi kini melewati tepi tebing dan dengan sendirinya tubuh Kakek itu pun terjatuh ke bawah tebing yang tak tampak dasarnya saking curamnya! Yeliu Chu Cai menjadi panik, tubuhnya menggigil ketika dia mendengar jeritan memanjang dari bawah tebing.

   "Cin Cin...!!"

   Tanpa peduli akan ancaman bahaya apa pun dia lari ke tepi tebing, menjenguk ke bawah dan... wajah Cin Cin muncul dari tepi tebing sambil menyeringai lucu! Anak perempuan itu ternyata bukan jatuh ke bawah tebing melainkan bergantung kepada akar pohon yang menonjoi di bawah permukaan tebing! Dan semua ini memang sudah direncanakan otak Cin Cin yang cerdik. Ketika tadi ia memeriksa tebing dan melihat-lihat, ia melihat adanya akar yang menonjol ini. Ia pikir, kalau ia mampu memancing Pek-Bin Giam-Lo menyerangnya di tepi tebing dan membuatnya marah sehingga lengah, ia akan dapat menyelamatkan diri dengan menjatuhkan diri dari tepi tebing dan mungkin ia akan dapat menjebak Pek-Bin Giam-Lo yang setengah buta itu sehingga terjerumus ke bawah tebing. Dan ternyata usahanya berhasil baik sekali! Setelah ia melompat dan berdiri di tepi tebing, Yeliu Chu Cai dan Cin Cin menjenguk ke bawah tebing dan mereka melihat tubuh Pek-Bin Giam-Lo masih terus jatuh ke bawah, menghantam dinding tebing, terus meluncur dan bergulingan.

   "Hemm, dia pasti tewas..."

   Kata Ye-liu Chu Cai ngeri lalu menghela napas panjang. Akan tetapi wajah Cin Cin berseri gembIra.

   "Heh-heh, Paman Yeliu Chu Cal! Aku dapat membayangkan betapa gembiranya Kakek Song dan Kakek Can melihat betapa cucunya mampu membalaskan dendam kematian mereka kepada pembunuh mereka, si jahat Pek-Bin Giam-Lo!"

   Yeliu Chu Cai bergidik.

   "Cin Cin, ini merupakan pembunuhan..."

   Cin Cin mengerutkan alisnya dan menatap wajah Yeliu Chu Cai dengan kepala dimiringkan.

   "Paman yang baik, apakah engkau akan lebih senang kalau tadi aku yang dipukul jatuh ke bawah tebing oleh Pek-Bin Giam-Lo?"

   Yeliu Chu Cai membelalakkan kedua matanya.

   "Ah, tentu saja tidak, Cin Cin! Bagaimana engkau bisa menyangka aku sekejam itu?"

   "Akan tetapi engkau keliru kalau mengatakan kematian Pek-Bin Giam-Lo karena pembunuhan. Engkau melihat sendiri tadi bahwa aku hanya membela dan melindungi diriku sendiri. Dia terjatuh ketika luput menyerangku. Bukan aku yang membunuhnya."

   Yeliu Chu Cai diam saja tidak membantah, namun di dalam hatinya dia dapat menduga dengan hati kagum bahwa semua itu telah diperhitungkan oleh Cin Cin. Betapa cerdik dan terutama sekali betapa beraninya! Gadis cilik itu benar-benar nekat sekali. Sedikit saja meleset perhitungannya, taruhannya adalah nyawanya! Karena khawatir bahwa kematian Pek-Bin Giam-Lo itu akan berekor panjang, maka Yeliu Chu Cai segera mengajak Cin Cin pulang. Anak itu pun tidak membantah karena ia segera ingin bertemu Ayah-Ibunya untuk membanggakan keberhasilannya membalas dendam kematian kedua orang Kakeknya dengan menyebabkan kematian Pek-Bin Giam-Lo! Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Song Han Bun dan Can Pek Giok ketika dengan wajah gembira Cin Cin bercerita.

   "Ayah, Ibu, sekarang Kakek Song dan Kakek Can dapat tenang berada di alam baka karena Pek-Bin Giam-Lo telah tewas!"

   "Apa? Pek-Bin Giam-Lo tewas?"

   Tanya Pek Giok.

   "Tewas bagaimana? Apa maksudmu, Cin? Bagaimana engkau bisa tahu bahwa dia telah tewas?"

   Tanya pula Han Bun.

   "Tentu saja aku tahu, Ayah, karena akulah yang menyebabkan kematiannya!"

   "Heee, jangan main-main, Cin Cin!"

   Bentak Han Bun, tentu saja tidak percaya dan marah karena mengira Cin Cin bicara sembarangan dan bohong.

   "Eh, Ayah tidak percaya kepadaku? Kapan aku pernah bohong, Ayah? Aku dan Paman Yeliu Chu Cai pergi mendaki bukit di mana Pek-Bin Giam-Lo tinggal. Pek-Bin Giam-Lo muncul dan dia menyerangku, Ayah. Aku pancing dia sampai ke tepi tebing dan ketika dia mengamuk dan menyerangku, aku turun dari tepi tebing bergantung pada akar pohon dan dia... he-he, dia luput menyerangku lalu melayang turun ke bawah tebing yang amat curam. Pasti tubuhnya sudah hancur lebur!"

   "Cin Cin, jangan membohongi Ayah dan Ibumu! Mana mungkin begitu mudahnya Pek-Bin Giam-Lo tewas?"

   Kata Pek Giok, tentu saja tidak percaya karena ia tahu benar akan kesaktian Pek-Bin Giam-Lo sedangkan puterinya yang baru berusia tujuh tahun itu mampu berbuat apa? Sebelum Cin Cin menjawab Han Bun segera bertanya kepada Yeliu Chu Cai.

   "Adik Yeliu Chu Cai, benarkah apa yang diceritakan Cin Cin tadi bahwa Pek-Bin Giam-Lo tewas karena terjerumus ke dalam tebing curam?"

   "Memang benar, Cihu (Kakak Ipar). Pek-Bin Giam-Lo tewas terjerumus ke dalam tebing yang amat curam. Kami tidak melihat dia tewas, hanya terjatuh ke tebing yang demikian curamnya, tidak mungkin seorang manusia dapat tinggal hidup."

   "Akan tetapi mana mungkin?"

   Kata Pek Giok, sukar untuk percaya bahwa puterinya yang menjadi penyebab tewasnya musuh besar yang amat sakti itu.

   "Sesungguhnya tidak begitu aneh, Piauw-ci (Kakak Misan). Saya lihat Pek-Bin Giam-Lo sudah hampir buta. Dia tidak dapat melihat kami dan dia menyerang Cin Cin dengan ngawur. Adik Cin Cin dengan cerdik terus berlompatan menghindar dan lari ke tebing sambil mengejek sehingga Pek-Bin Giam-Lo yang tak dapat melihat menjadi semakin marah dan mengamuk. Karena marah dan tidak dapat melihat, mungkin dia lupa bahwa dia telah berada dekat tebing. Ketika dia menyerang sambil melompat, Adik Cin Cin melompat ke bawah tepi tebing dan bergantung kepada akar pohon. Pek-Bin Giam-Lo terlalu jauh melompat dan terjerumus ke bawah tebing. Demikianlah apa yang terjadi."

   Kini baru Han Bun dan Pek Giok percaya. Mereka diam-diam bangga sekali kepada puteri mereka, akan tetapi juga khawatir.

   "Cin Cin, apakah ada yang melihat kejadian itu?"

   Tanya Han Bun kepada puterinya.

   "Yang mengetahui adalah seorang pelayan laki-laki setengah tua dan dua orang pelayan wanita setengah tua. Akan tetapi aku sudah hajar pelayan laki-laki itu sehingga dia tidak akan berani berbuat apa-apa, Ayah,"

   Kata Cin Cin.

   "Hemm, kita harus cepat pergi meninggalkan Ibukota ini."

   Han Bun berkata kepada isterinya.

   "Para pelayan itu sudah pasti akan mengadu kepada Pangeran Leng Sui dan mereka tentu akan mengerahkan pasukan untuk mencari Cin Cin."

   Pek Giok tanggap akan maksud suaminya, maka ia cepat menemui Ibunya, Nyonya Can yang berada di ruangan dalam dan dengan singkat menceritakan akan kematian Pek-Bin Giam-Lo yang disebabkan oleh ulah Cin Cin. Mendengar ini, Nyonya Can menangis.

   "Ah, siapa sangka..., cucuku perempuan yang masih kanak-kanak yang dapat membalaskan kematian suamiku..."

   Katanya dan ia lalu terpaksa pamit kepada Ibunya yang sudah sembuh dan adiknya, juga adik iparnya, Yeliu Coan. Yeliu Coan dan isterinya, juga Nyonya Janda Tua Can Nenek Pek Giok, memaklumi keadaan, maka mereka terpaksa melepaskan kepergian para tamu mereka. Bergegas Song Han Bun, Can Pek Giok, dan Cin Cin meninggalkan Kotaraja Yen-Cing untuk kembali ke selatan, menyeberangi Sungai Yang-Ce menuju ke Hang-Chouw.

   Perjalanan ini amat jauh, akan tetapi karena suami-isteri itu merupakan pasangan pendekar sakti, segala halangan dan rintangan para gerombolan jahat dapat mereka atasi. Kalau ada gerombolan perampok berani menghadang, hal itu berarti hancurnya gerombolan itu, diobrak-abrik oleh suami-isteri itu. Juga Cin Cin memperoleh pengalaman yang amat hebat dan baik sehingga hal itu menambah kecerdikannya, juga keberaniannya. Di tepi See-Ouw (Telaga Barat) di luar kota Hang-Chouw pada pagi hari itu sudah ramai dengan para pengunjung. Musim semi membuat banyak pelancong datang berpesiar ke telaga yang indah itu yang pada musim semi menjadi bertambah indah karena tanam-tanaman di sekeliling telaga tumbuh dengan subur dan banyak bunga mekar beraneka macam dan warna.

   Akan tetapi agak jauh dari tepi sebelah timur telaga itu, di lapangan rumput yang sunyi pada saat itu tampak berkelebat dua bayangan. Mula-mula bayangan biru berkelebat dan seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun berhenti di lapangan rumput itu dan memutar tubuh menanti bayangan putih yang sejak tadi melakukan pengejaran. Tak lama kemudian bayangan putih itu tiba di situ dan ternyata ia seorang wanita berusia sekitar empat puluh delapan tahun. Keduanya berdiri berhadapan dalam jarak sekitar tiga tombak, saling pandang dan seolah saling menyelidiki. Laki-laki itu biarpun usianya sudah lima puluh tahun, namun tampak masih gagah dan tampan. Pakaiannya berwarna biru dan potongannya ringkas seperti yang biasa dipakai para perantau atau tokoh persilatan.

   Apalagi di punggungnya tampak gagang pedang yang terukir kepala naga. Juga sarung pedangnya terukir seekor naga. Wajahnya yang tampan dan gagah itu tampak lebih muda daripada usianya. Jenggot dan kumisnya yang pendek juga masih hitam. Adapun wanita itu juga tampak jauh lebih muda daripada usianya. Pantasnya ia baru berusia tiga puluhan tahun. Pakaiannya dari sutera serba putih dengan garis kecil biru di tepinya. Di punggungnya juga tergantung sebatang pedang dan di ikat pinggangnya terselip sebatang kebutan berbulu merah. Wajahnya bulat dan kulitnya putih mulus, rambutnya panjang dan hitam digelung ke atas dan dihias tusuk sanggul berbentuk burung Hong kecil dari emas dengan sepasang mata batu intan biru. Sejenak kedua orang itu saling pandang. Pandang mata pria itu mengandung kekaguman, akan tetapi pandang mata wanita yang cantik itu mengandung kebencian!

   "Ah, kiranya engkau yang mengejarku dari Kotaraja sampai di sini, Eng-moi (Adik Eng),"

   Kata laki-laki itu sambil tersenyum.

   "Tidak perlu menyebut-nyebut Eng-moi kepadaku! Bagimu aku adalah Pek I Sianli (Dewi Baju Putih) dan bagiku engkau adalah Thian-Te Kiam-Sian (Dewa Pedang Langit Bumi) dan kita adalah musuh bebuyutan!"

   "Aih, Pek I Sianli, kenapakah engkau selalu mencariku dan menantangku? Sudah lima kali selama hampir tiga puluh tahun kita saling bertanding. Apakah itu masih belum cukup bagimu?"

   "Baru cukup kalau seorang dari kita sudah menggeletak di atas tanah tanpa nyawa, Thian-Te Kiam-Sian!"

   Jawab wanita itu dengan ketus dan tangan kanannya meraba pundak, tangan kirinya meraba kebutan di pinggang. Di lain saat kedua tangannya sudah memegang sebatang pedang yang mengkilap tajam dan kebutan bulu merah.

   "Aih, Pek I Sianli, mengapa engkau begini berkeras hendak mengadu nyawa denganku? Lupakah engkau betapa tiga puluh tahun yang lalu kita saling mencinta?"

   "Tutup mulutmu! Cinta yang putih bersih itu telah kau nodai dengan lumpur ketidak-setiaan dan hanya darah seorang dari kita saja yang akan dapat membersihkannya! Cabut pedangmu, Thian-Te Kiam-Sian!"

   "Sadarlah, Pek I Sianli, peristiwa itu sudah terjadi tiga puluh tahun yang lalu! Dalam keadaan mabok aku lupa diri sehingga terpaksa aku harus bertanggung jawab dan menikahi gadis itu. Engkau datang hendak membunuhku dan isteriku melindungi aku sehingga ialah yang termakan pedangmu dan tewas. Namun aku tidak mendendam kepadamu. Hal itu saja sudah membuktikan bahwa aku tetap mencintamu."

   "Cukup! Engkau membuat aku membunuh wanita yang tidak berdosa itu karena ia menjadi perisaimu. Engkaulah yang berdosa dan kalau belum dapat membunuhmu, aku akan tetap selalu dikejar dosa. Bersiaplah!"

   "Nanti dulu, Pek I Sianli. Ketika pertama kali engkau menantangku, terpaksa kulayani. Aku berhasil mengalahkanmu akan tetapi sejak itu engkau selalu memperdalam ilmumu lalu mencari aku, menantangku kembali. Sampai lima kali engkau memperdalam ilmu dan menantangku. Lima kali pula aku terpaksa mengalahkanmu dan setiap kali aku pun terpaksa memperdalam ilmuku untuk mengimbangimu. Apa engkau tidak bosan'?"

   "Sudah kukatakan tadi, aku baru merasa cukup dan bosan kalau seorang dari kita, mudah-mudahan engkau, sudah menggeletak tak bernyawa di depan kakiku. Cabut pedangmu, hendak kulihat apakah engkau masih pantas berjuluk Dewa Pedang!"

   Tidak seperti pada tahun-tahun yang lalu, selama lima kali ditantang wanita itu untuk bertanding, Thian-Te Kiam-Sian menyambut dengan gembira karena dia memang selalu sudah siap siaga dan memperdalam ilmu pedangnya yang pada waktu itu sulit dicari bandingnya. Thian-Te Kiam-Sian bernama Su Kong Pin, tadinya merupakan seorang tokoh dari partai Bu-Tong-Pai, akan tetapi saking sukanya bersilat pedang, dia mempelajari ilmu pedang dari semua aliran. Hal ini dilarang di Bu-Tong-Pai sehingga dia dianggap murtad dan keluar dari Bu-Tong-Pai. Bahkan di waktu dia berusia dua puluh tahun, dia saling jatuh cinta dengan Thio Eng yang kini berjuluk Pek I Sianli.

   Akan tetapi saking kegilaan memperdalam ilmu pedang, dia belum mau menikah dan dalam perantauannya mencari ilmu pedang yang lebih tinggi, dia bertemu dengan gadis lain dan dalam keadaan mabok dia berhubungan dengan gadis itu sehingga terpaksa harus dinikahinya. Mendengar bahwa kekasihnya tidak setia dan menikah dengan gadis lain, Thio Eng marah dan mencari Su Kong Pin. Ia bermaksud membunuh kekasihnya itu, akan tetapi ketika ia menyerang pria itu dengan pedangnya, isteri Su Kong Pin menubruk dan menghadang sehingga isteri itulah yang terkena tusukan pedang dan tewas. Nah, sejak itu Thio Eng mendendam kepada bekas kekasihnya. Ia belajar ilmu silat yang lebih tinggi dan setelah merasa cukup, ia mencari bekas kekasihnya untuk ditantang bertanding pedang. Lima kali ia bertanding dan selalu kalah.

   Sekarang, Thian-Te Kiam-Sian, Su Kong Pin yang merasa ragu. Semenjak terakhir kali dia mengalahkan Thio Eng, dia tidak memperdalam ilmu pedangnya. Kini dia melihat Thio Eng atau Pek Sian! selain memegang pedang di tangan kanan juga memegang sebuah kebutan di tangan kiri, diam-diam dia merasa khawatir. Dia dapat menduga bahwa tentu ilmu silat wanita itu sudah meningkat tinggi dan dia sendiri masih tetap seperti pada pertandingan terakhir beberapa tahun yang lalu. Mungkin kali ini dia akan kalah dan itu berarti kematian karena Pek I Sianli pasti tidak akan membiarkan dia hidup untuk menebus sakit hatinya. Dengan malas-malasan dia lalu mencabut pedang dari punggungnya. Sekali lagi dia memandang ke arah telaga dan melihat beberapa buah perahu meluncur tak jauh dari tepi itu.

   "Thian-Te Kiam-Sian, bersiaplah dan sambut seranganku ini!"

   Seru Pek I Sianli yang sudah menerjang maju dengan gerakan yang selain cepat juga mengandung tenaga sakti yang kuat!

   "Tranggg...!!"

   Bunga api berpi jar ketika dua pedang bertemu dan Thian-Te Kiam-Sian merasa betapa tangannya tergetar ini membuktikan bahwa benar saja, sinkang dari wanita itu jauh lebih kuat daripada ketika bertanding dengannya beberapa tahun yang lalu.

   Dan pada saat kedua pedang bertemu dan terpental, sinar merah menyambar ke arah kepala Thian-Te Kiam-Sian. Cepat pendekar ini bergerak ke belakang untuk menghindarkan diri dari serangan kebutan merah yang amat berbahaya itu. Maklum bahwa kini tingkat kepandaian bekas kekasihnya itu sudah mencapai tingkat yang tinggi, Thian-Te Kiam-Sian Su Kong Pin bergerak dengan hati-hati sekali dan mengerahkan seluruh tenaga, mengeluarkan jurus-jurus sakti terampuh dari ilmu pedangnya. Pek I Sianli menggerakkan pedang dan kebutan dengan dahsyat dan ternyata wanita itu kini memang lihai bukan main sehingga terjadi pertandingan yang amat seru dan mati-matian.

   Tubuh mereka lenyap menjadi bayangan yang bergerak dan berkelebatan terbungkus gulungan sinar dua pedang yang saling serang, diseling sinar merah kebutan yang mengeroyok sinar pedang Pek-Liong-Kiam (Pedang Naga Putih) yang menjadi sinar putih. Seratus jurus lewat tanpa ada yang terdesak. Keduanya saling serang dan keadaan mereka seimbang. Diam-diam Su Kong Pin terkejut dan kagum bukan main. Pedangnya yang bersinar putih ini selama dua puluh tahun lebih belum pernah bertemu tanding yang setimpal, dan baru sekarang dia benar-benar menemukan lawan yang amat tangguh dan sukar dikalahkan. Memang dia sendiri tidak pernah terdesak, namun sekali ini dia tahu benar bahwa biarpun Pek I Sianli tidak akan mudah mengalahkannya, namun dia sendiri juga belum yakin akan dapat mengalahkan wanita itu.

   "Sing-sing-wuuuttt...!!"

   Pedang di tangan Pek I Sianli menyerang bertubi-tubi diseling sambaran kebutan merah yang tidak kalah hebatnya. Tubuh Thian-Te Kiam-Sian melayang ke atas untuk menghindarkan diri. Ketika tubuhnya berada di atas dan kebetulan dia melihat ke arah telaga, dia terkejut melihat sebuah perahu kecil cat merah tertabrak sebuah perahu besar dan dua orang anak bersama seorang laki-laki setengah tua terlempar ketika perahu kecil itu diterjang dan pecah! Karena tubuhnya berada di udara, Thian-Te Kiam-Sian Su Kong Pin membuat pok-sai (salto) di udara lalu melompat jauh kemudian lari meninggalkan Pek I Sianli menuju ke tepi telaga.

   (Lanjut ke Jilid 25)

   Antara Dendam & Asmara (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 25

   "Pengecut, jangan lari!"

   Pek I Sianli Thio Eng mengejar dengan marah dan heran karena ia tidak melihat lawannya terdesak mengapa kini melarikan diri.

   "Eng-moi, aku harus menolong anak-anak itu lebih dulu!"

   Su Kong Pin berseru dan mempercepat larinya. Thio Eng juga mempercepat larinya.

   Ketika melihat Su Kong Pin melompat ke air telaga dan berenang dengan cepat ke arah perahu merah yang pecah dan mulai tenggelarn, Thio Eng juga menyimpan senjatanya dan ikut terjun ke air. Ternyata yang berada di perahu kecil merah itu adalah dua orang anak laki-laki dan perempuan yang ditemani seorang pelayan laki-laki setengah tua. Mereka berdua, Kakak-beradik yang masih berdarah Bangsawan karena mereka adalah cucu-cucu dari mendiang Pangeran Liang Tek Ong yang tewas terbunuh orang beberapa tahun yang lalu. Pangeran Liang Tek Ong hanya mempunyai seorang putera yang bernama Liang Sun. Biarpun Ayahnya masih keluarga Kaisar, namun Liang Sun tidak suka menjadi pejabat, terutama sekali karena adanya Perdana Menteri Chin Kui dan dia pun curiga bahwa Ayahnya tewas terbunuh itu pun tentu didalangi oleh Perdana Menteri Chin Kui.

   Karena mendiang Pangeran Liang Tek Ong terkenal sebagai seorang pejabat yang paling berani menentang kebijaksanaan-kebijaksanaan yang diambil oleh Perdana Menteri yang dia anggap tidak adil. Karena itu, Liang Sun tidak memegang pangkat dan menjadi penduduk biasa yang berdagang rempa-rempa. Liang Sun yang menikah dengan seorang gadis biasa, bukan Bangsawan, mempunyai dua orang anak. Pertama anak laki-laki yang kini telah berusia tiga belas tahun, sedangkan anak kedua berusia sepuluh tahun lebih. Anak laki-laki itu bernama Liang Sin Cu, adapun adiknya bernama Liang Hong Cu. Pada hari itu, Liang Sin Cu dan Liang Hong Cu minta kepada Ayah-Ibu mereka agar diperbolehkan bermain-main di See-Ouw (Telaga Barat) yang memang menjadi pusat pesiar penduduk Hang-Chouw dan sekitarnya.

   Liang Sun memperbolehkannya dan menyuruh seorang pelayan setengah tua untuk menemani kedua orang anak-nya. Demikianlah, dua orang anak itu ditemani pelayan menyewa sebuah perahu kecil cat merah dan perahu didayung si pelayan berputar-putar di telaga. Mereka merasa gembira bukan main karena memang jarang mereka diperbolehkan bermain-main di luar rumah. Bagaimanapun juga, setelah Ayahnya tewas terbunuh, Liang Sun bersikap waspada dan hati-hati, jangan sampai dia sekeluarga ikut dimusuhi orang yang jahat. Akan tetapi ketika perahu mereka berada bagian setelah timur telaga itu, di bagian yang sunyi, tiba-tiba ada sebuah perahu besar meluncur dengan cepat dan menabrak perahu kecil itu. Demikian hebatnya tabrakan itu sehingga perahu kecil itu pecah terpotong dua dan tentu saja penumpangnya,

   Yaitu Liang Sin Cu, Liang Hong Cu, dan pelayan mereka yang mendayung perahu, terlempar keluar dan terjatuh ke dalam air telaga yang di bagian itu airnya amat dalam! Celakanya baik si pelayan maupun dua orang anak itu sama sekali tidak pandai berenang! Tentu saja mereka gelagapan. Untung pada saat mereka meronta dan hampir teriggelam, datang pertolongan. Thian-Te Kiam-Sian Su Kong Pin yang terjun lebih dulu telah dapat merangku! Liang Sin Cu. Kemudian Pek I Sianli Thio Eng yang terjun di belakangnya berhasil menyelamatkan Liang Hong Cu. Ketika keduanya berenang ke pinggir, tiba-tiba Su Kong Pin dan Thio Eng mendengar desir angin menyambar dari perahu besar. Mereka adalah dua orang yang memiliki ilmu tinggi, maka mereka segera dapat mengetahui bahwa ada bahaya mengancam.

   Mereka melihat beberapa batang anak panah menyambar ke arah mereka. Dua orang itu menjadi marah sekali, tangan kiri mengempit anak yang ternyata telah pingsan, tangan kanan menangkap dua batang anak panah dan menyampok runtuh sebatang yang lain, kemudian keduanya, seperti berlumba, menyambitkan anak panah yang ditangkap itu ke arah dua orang di atas perahu yang memegang gendewa. Terdengar teriakan dan dua orang pemanah yang berada di atas perahu besar itu terkulai roboh, yang seorang lehernya ditembusi anak panah, yang kedua pelipisnya ditembusi anak panah lain! Su Kong Pin melihat betapa ada anak panah yang mengenai tubuh pelayan setengah tua yang dengan susah payah mencoba untuk berenang sebisanya. Dia tewas seketika dan mayatnya terapung di permukaan air, setengah tenggelam.

   "Eng-moi, cepat menyingkir, berbahaya!"

   Su Kong Pin berseru dan keduanya cepat berenang ke pinggir, kemudian dengan cepat mereka melarikan diri menjauhi telaga. Dari atas perahu besar diturunkan dua perahu kecil dan delapan orang segera mendayung perahu kecil ke tepi. Mereka berpakaian seperti perwira-perwira dan mereka mencoba melakukan pengejaran. Akan tetapi agaknya mereka juga merasa jerih menyaksikan kelihaian laki-laki clan wanita yang menolong dua orang anak tadi, maka mereka tidak mengejar jauh, lalu kembali ke perahu besar. Di dalam perahu, para perwira memberi laporan kepada seorang panglima tua berjenggot panjang putih, bahwa mereka gagal mengejar dua orang tadi.

   "Sudahlah, bagaimanapun juga, aku dapat menduga siapa wanita berpakaian serba putih itu. Kalau aku tidak salah, ia adalah Pek I Sianli!"

   Kata Panglima itu. Panglima itu bernama Gu Mo Ki, berusia sekitar lima puluh tahun, jenggotnya panjang berwarna putih.

   Dia merupakan seorang panglima kepercayaan Perdana Menteri Chin Kui, bahkan menjadi tangan kanannya dan Gu-Ciangkun (Panglima Gu) ini terkenal sebagai seorang ahli pedang yang amat lihai. Pada hari itu, Gu Mo Ki berpesiar dengan perahu besar dan ketika seorang perajurit anak buahnya melihat perahu kecil yang ditumpangi Liang Hong Cu dan Liang Sin Cu bersama seorang pendayung perahu, perajurit itu lalu melapor kepada Gu-Ciangkun bahwa dua orang anak itu adalah putera Liang Sun atau cucu mendiang Pangeran Liang Tek Ong! Mendengar ini, berkerut alis tebal Gu-Ciangkun dan timbul niatnya untuk membinasakan dua orang cucu mendiang Pangeran Liang Tek Ong. Dua orang anak itu tidak urung kelak akan mendatangkan banyak urusan dan ancaman, mengingat bahwa dialah yang dulu mendapat tugas rahasia dari Perdana Menteri Chin Kui untuk membunuh Pangeran Liang Tek Ong!

   Demikianlah, dia memerintahkan anak buahnya untuk menabrak perahu kecil itu sehingga pecah dan tenggelam, dan mempersiapkan beberapa orang pemanah untuk membunuh dua orang anak itu kalau sekiranya belum tewas. Akan tetapi, tanpa diduganya sama sekali, muncul Thian-Te Kiam-Sian Su Kong Pin dan Pek I Sianli Thio Eng yang menyelamatkan dua orang anak itu dan para pemanahnya hanya dapat membunuh si tukang dayung perahu. Pengejaran yang dilakukan anak buah Gu-Ciangkun terhadap sepasang pendekar itu gagal, akan tetapi Gu Mo Ki sudah mengenal seorang di antara para penolong anak itu, yaitu Pek I Sianli yang dia kenal dari pakaiannya yang serba putih. Dengan matinya si tukang dayung, maka tidak ada lagi saksi yang melihat penyerangan terhadap dua orang cucu dari mendiang Pangeran Liang Tek Ong.

   Berkat ilmu kepandaian mereka yang tinggi, Su Kong Pin dan Thio Eng dapat menyelamatkan dua orang anak itu dan membawa mereka ke sebuah bukit yang agak jauh dari Telaga Barat. Di puncak bukit yang sunyi, Su Kong Pin dan Thio Eng berhenti dan menurunkan dua orang anak itu. Su Kong Pin yang menolong Liang Sin Cu memandang anak laki-laki berusia tiga belas tahun itu dengan penuh perhatian dan dia merasa kagum dan suka karena bocah itu selain tampan, juga membayangkan wibawa darah Bangsawan, juga sinar matanya tajam penuh keberanian.

   Sementara itu, Thio Eng juga kagum melihat anak perempuan yang ditolongnya. Anak perempuan itu Liang Hong Cu, berusia sekitar sebelas tahun yang tampak memiliki kelincahan dan keberanian, sudah tampak cantik jelita dan sinar matanya cemerlang penuh wibawa. Liang Sin Cu dan Liang Hong Cu adalah cucu Pangeran, tentu saja mereka mengenal tata susila. Mereka maklum bahwa tanpa pertolongan dua orang ini, mereka tentu telah tewas. Maka didahului oleh Sin Cu, mereka berdua lalu menjatuhkan diri berlutut di depan dua orang itu dan Liang Sin Cu berkata dengan penuh hormat.

   "Kami berdua Kakak-beradik mengucapkan terima kasih kepada Paman dan Bibi yang sudah menyelamatkan kami dari usaha pembunuhan orang jahat."

   Laki-laki dan wanita perkasa itu saling pandang. Anehnya, pada saat itu semua permusuhan dan persaingan di antara mereka seperti telah mereka lupakan. Mereka merasa tertarik dan kagum sekali kepada dua orang anak kecil itu yang bukan saja sama sekali tidak memperlihatkan rasa takut walaupun baru saja lolos dari maut, dan kini ternyata mereka memiliki kesusilaan tinggi, bukan seperti anak biasa dan bahkan ada sifat-sifat keBangsawanan yang anggun pada wajah dan sikap mereka.

   "Hemm, sebetulnya siapakah kalian ini dan mengapa pula mereka yang berada di perahu besar itu berusaha membunuh kalian berdua?"

   Tanya Pek I Sianli Thio Eng. Karena yang bertanya itu Thio Eng, maka Hong Cu mendahului kakaknya menjawab dengan sikapnya yang lincah.

   "Bibi yang baik, aku bernama Liang Hong Cu dan dia ini Kakak kandungku bernama Liang Sin Cu. Ayah kami adalah Liang Sun, dan Kakek kami adalah mendiang Pangeran Liang Tek Ong..."

   "Moi-moi (Adik perempuan)...!"

   Tiba-tiba Sin Cu menegur adiknya. Ayah mereka, Liang Sun selalu memperingatkan mereka agar jangan memberitahukan siapa pun bahwa mereka adalah cucu mendiang Pangeran Liang Tek Ong.

   "Aih, Koko (Kakak laki-laki), kenapa? Mereka ini bukan orang jahat, bukan musuh, bahkan mereka adalah penolong dan penyelamat kita. Tidak ada salahnya mengaku siapa kita sebenarnya."

   Mendengar bantahan adiknya, Sin Cu tidak dapat berkata apa-apa lagi. Sementara itu, Thian-Te Kiam-Sian Su Kong Pin dan Pek I Sianli Thio Eng terkejut ketika mendengar pengakuan Hong Cu. Tentu saja mereka sudah mendengar akan mendiang Pangeran Liang Tek Ong yang terkenal setia dan patriotik, bahkan dapat dikenal sebagai satu-satunya pejabat dan Bangsawan tinggi yang berani menentang Perdana Menteri Chin Kui dan mempertahankan kebenaran, kebijaksanaan, dan keadilan. Akan tetapi Pangeran yang dikagumi semua pendekar itu tewas terbunuh orang tanpa ada yang mengetahui siapa pembunuhnya, walaupun sebagian besar orang berani menduga bahwa dalang pembunuhan itu sudah pasti Perdana Menteri Chin Kui. Timbul perasaan tertarik dan kasihan di dalam hati Su Kong Pin dan Thio Eng terhadap Kakak-beradik itu. Lalu tiba-tiba Su Kong Pin mendapat pikiran yang balk sekali.

   

Pendekar Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Gelang Kemala Karya Kho Ping Hoo Asmara Si Pedang Tumpul Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini