Kisah Si Pedang Terbang 4
Kisah Si Pedang Terbang Karya Kho Ping Hoo Bagian 4
Dia sudah mendapat keterangan jelas dari ayahnya mengenai lima orang tokoh ini dan setelah kini mereka berada di pekarangan, wajah mereka disinari lampu-lampu gantung di depan kelenteng, dia dapat mengenal mereka satu demi satu.
Orang pertama dari Lima Naga Sakti itu adalah Ang-sin"liong (Naga Sakti Merah) Yu Kiat, seorang laki-laki berusia empatpuluh lima tahun, bertubuh tinggi tegap dan berwajah tampan, sikapnya tinggi hati dan pakaiannya serba merah. Di pinggangnya terselip sebatang goiok yang punggungnya seperti gergaji.
Orang ke dua bernama Tiat-sin-liong (Naga Sakti Besi) Lai Cin, yang berusia sekitar empatpuluh tahun, tubuhnya tinggi kurus dengan muka pucat. Nanpaknya saja orang ini berpenyakitan dan Iemah, akan tetapi sesuai dengan julukannya, dia adalah seorang manusia besi alias kebal tubuhnya, keras seperti besi. Dia memegang sebatang konce (tombak cagak) yang beronce biru.
Orang ketiga seurang wanita bernama Hwi-sin-liong (Naga Sakti Terbang) Mo Hwa, berusia tigapuluh tahun, cantik dan anggun, dengan sikap yang angkuh galak, pandang matanya dingin, tubuhnya ramping dan di punggungnya nampak siang"kiam (sepasang pedang). Sesuai dengan julukannya, wanita ini memiliki ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang hebat sehingga ia dijuluki Naga Sakti Terbang.
Orang ke empat bernama Lam-hai Sin-liong Kwa Him, berusia duapuluh tujuh tahun, tubuhnya tinggi besar dan mukanya merah, gagah sekali. Sesuai dengan julukannya Lam-hai Sin-liong (Naga Sakti Laut Seiatan) dia memang memiliki keahlian dalam air seperti seekor naga laut, dan di samping keahlian dalam air, juga Kwa Kim ini terkenal memiliki tenaga gajah.
Orang ke lima adalah adik dari Kwa Him ini, seorang gadis berusia dua puluh tiga tahun yang bernama Bi-sin-liong (Naga Sakti Cantik) Kwa Lian. Wajahnya cantik manis, terutama sekali mata dan mulutnya yang nampak menantang dan genit, tubuhnya ramping sekali dengan pinggang yang kecil dan pinggul besar. Sebatang pedang nampak di punggungnya, dengan ronce merah.
Akan tetapi melihat mereka, apa lagi orang ke tiga, ke empat dan ke lima, Seng Gun mengerutkan alisnya. Orang"orang seperti itu dikatakan amat lihai oleh ayahnya? Dia tidak percaya! Terutama sekali orang termuda, Bi-sin-liong Kwa Lian. Gadis cantik yang nampak lembut itu bagaimana mungkin dapat memiliki ilmu kepandaian tinggi? Timbul keinginan hatinya untuk menguji Dia lalu turun dari ruangan depan, ke pekarangan menghampiri lima orang yang berdiri bagaikan patung itu.
Seng Gun mengangkat kedua tangan depan dada memberi hormat. Pemuda remaja yang berpakaian sutera putih ini memang tampan dan pandai membawa diri sehingga sikapnya yang menghormat itu menyenangkan. Akan tetapi lima orang itu tidak bergerak.
"Kalau boleh saya mengetahui, si apakah ngo-wi (anda berlima) dan ada keperluan apakah datang ke kelenteng ini?"
Tanya Seng Gun dengan sikap menjajagi.
Bin-sin-liong Kwa Li an adalah seorang gadis cantik yang memiliki satu kelemahan, yaitu dia mudah terpikat oleh pria yang halus dan tampan. Kini, melihat Seng Gun, biarpun pemuda itu masih remaja, paling banyak enambelas tahun usianya, seketika ia terpikat. Pemuda itu memang tampan menarik. Mendengar pertanyaan Seng Gun, Kwa Lian lalu melangkah maju, mewakili empat orang rekannya tanpa minta persetujuan lagi dan ia memandang kepada Seng Gun sambil tersenyum manis dan pandang matanya mengerling tajam.
"Kami Bu-tek Ngo Sin-liong, memenuhi undangan Kwi-jiauw Lo-mo. Siapakah engkau, adik tampan? Kalau Kwi-jiauw Lo"mo berada di kelenteng, tolong panggil dia keluar menemui kami. Dan engkau sendiri siapakah?"
"Kwi-jiauw Lo-mo Tong Lui adalah ayahku dan namaku Tong Seng Gun. Aku memang ditugaskan ayah untuk menyambut Bu-tek Ngo Sin-liong akan tetapi melihat ngo-wi, aku menjadi ragu apakah benar aku berhadapan dengan Bu"tek Ngo Sin-liong. Apa lagi melihat engkau, enci, yang masih begini muda, cantik dan kelihatan lemah. Pada hal, menurut yang kudengar, Lima Naga Sakti adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian hebat."
Kalau empat orang yang lain mengerutkan alis mereka memandang kepada Seng Gun dengan tak senang, sebaliknya Bi-sin-liong Kwa Lian terkekeh genit.
"Hi-hi-hik, katakan saja engkau menguji kami, adik tampan! Baiklah, sebagai putera Kwi-jiauw Lo-mo, tentu engkaupun bukan anak sembarangan. Nah, untuk meyakinkan hatimu bahwa nama kami bukan hanya nama kosong belaka, majulah dan kalau daIam sepuluh jurus sulingmu dapat menyentuhku dan aku masih belum dapat menundukkanmu, biar aku berganti julukan saja, hi-hik!"
Kini Seng Gun yang merasa mukanya panas karena penasaran. Memang dia pernah terdesak oleh murid mendiang Kong Hwi Hosiang, akan tetapi dengan seorang diri saja dia mampu merobohkan tigapuluhan orang! Bagaimana mungkin hanya sepuluh-jurus saja dia akan kalah oleh gadis yang usianya hanya beberapa tahun lebih tua darinya itu? "Baik, enci Kalau dalam sepuluh jurus engkau dapat menundukkan aku, nanti di dalam aku akan memberi hormat dan menyuguhkan tiga cawan arak kepadamu. Akan tetapi bagaimana kalau aku mampu bertahan sampai sepuluh jurus?"
Kembali wanita itu terkekeh dan kini senyumnya yang melebar membuat deretan giginya yang terpelihara rapi dan putih bersih nampak manis sekali.
"Kalau engkau mampu bertahan sampai sepuluh jurus, aku mengaku kalah dan aku akan memberi ciuman tiga kali padamu!"
Wajah Seng Gun berubah kemerahan akan tetapi hatinya girang bukan main. Dicium wanita biasa, betapapun cantiknya ia, masih belum ada artinya, akan tetapi dicium Bi-sin-liong Kwa Lian? Sungguh merupakan kebanggaan tersendiri! '
"Baik, aku akan mulai, enci!"
Katanya sambil mencabut suling perak dari sabuknya.
"Bagus, aku sudah siap!"
Kata pu la Kwa Lian gembira. Seng Gun yang tentu saja ingin mendapat kan kemenangan segera menyerang dengan sulingnya. Suling itu menjadi sinar putih kemilauan yang menyambar diiringi suara ngaung yang nyaring, dan sudah meluncur ke arah leher wa Lian untuk menotok jalan darah.
"Bagus!"
Kata Kwa Lian, dan dengan gerakan ringan sekali, ia mengelak.
Seng Gun tidak melanjutkan serangannya. Dia teringat bahwa taruhannya adalah bahwa dia harus mampu bertahan sampai sepuluh jurus, maka sikap paling menguntungkan baginya adalah sikap berjaga d'iri dan mencurahkan seluruh daya untuk mencegah agar dia tidak sampai dikalahkan dalam sepuluh jurus. Satu jurus telah lewat dan dia tidak mau menyia-nyiakan jurus-jurus selebihnya untuk menyerang karena dengan menyerang, penjagaan dirinya tentu kurang kuat.
Setiap kali menyerang, tentu ada bagian tubuhnya yang terbuka dan pertahanannya lemah. Maka, kini dia hanya memutar suling menjadi gulungan sinar perak dan dia/tidak melakukan serangan!
Melihat ini, Kwa Lian tertawa.
"Heh-heh-heh, engkau adik yang tampan dan cerdik. Lihat, encimu mulai menyerang!"
Mulailah wanita itu menyerang, dengan cengkeram dan totokan, sambil menghitung jurus-jurusnya. Gerakannya aneh namun indah, dan bau harum yang keluar dari kedua tangannya kalau ia menyerang, membuat Seng Gun merasa agak pening.
Dia terkejut dan mengerahkan sinkang karena maklum bahwa bau harum itu bukan sembarang bau, melainkan racun atau hawa beracun! Diapun mengelak dan menggerakkan suling untuk me nangkis kelebatan tangan yang mencengkeram atau menotok. Sampai hitungan ke delapan, dia mampu bertahan dan hatinya sudah merasa qirang bukan main.
Dia akan mendapal hadiah tiga kali ciuman, dan ada rasa bangga bahwa dia telah dapat membuat orang ke lima dari Bu-tek Ngo Sin-liong kalah bertaruh!
"
Awas, jurus, ke sembilan! "
Terdengar suara Kwa Lian dan kedua tangannya melakukan totokan dari kanan kiri!.
Melihat ini, Seng Gun menggerakkan sulingnya untuk menyambut tangan kiri gadis itu dengan totokan pada telapak tangan, sedangkan tangan kirinya siap menangkis totokan lawan dengan tangan kanan. Tiba-tiba wanita itu mengeluarkan suara terkekeh, kepalanya bergerak dan tiba-tiba nampak sinar hitam menyambar dari atas kepalanya.
Itulah rambutnya yang hitam dan panjang, yang merupakan senjata ampuh wanita itu di samping pedangnya. Rambut itu, sekali ia meng"gerakkan' kepala dengan sentakan tertentu, telah terlepas dari sanggulnya dan rambut yang hitam panjang itu kini menyambar ke arah Seng Gun, terpecah menjadi dua gumpal dan tahu-tahu dua gumpal rambut itu telah melibat kedua pergelangan tangan Seng Gun! Demikian kuat libatannya sehingga pemuda remaja itu merasa kedua lengannya lumpuh.
"Nan, dalam sembilan jurus aku telah mengalahkanmu, adik tampan!"
Ka-ta Kwa Lian. Seng Gun mengerahkan tenaga, berusaha melepaskan kedua tangannya yang terlibat rambut, namun gagal. Muka wanita itu demikian dekat dengan muka mereka sehingga dia dapat merasakan hembusan napas dari hidung wanita itu ke mukanya, akan tetapi dia sudah gagal untuk mendapatkan ciuman kemenangan. Dia menghela napas kecewa.
"Baiklah, aku mengaku kalah dan aku akan memberi hormat kepadamu dengan cawan arak,"
Katanya lemas.
"Hi-hik, engkau tampan dan cerdik, sudah sepatutnya kuberi hadiah ciuman, biarpun hanya satu kali,"
Kata Kwa Lian dan tanpa melepaskan libatan rambutnya. ia menggunakan kedua tangan merangkul leher pemuda itu, menariknya dan di lain saat, mulutnya telah mencium mulut Seng Gun.
Pemuda ini, hampir pingsan rasanya ketika merasakan betapa bibir yang lunak dan lembut, hangat dan penuh gairah itu menghisap bibirnya. Setelah Kwa Lian melepaskan ciumannya, Seng Gun terengah dan mukanya menjadi merah sekali.
Bi-sin-liong Kwa Lian melepaskan libatan rambutnya sambil tertawa. Sementara itu, Ang-sin-liong Yu Kiat, orang "tertua yang menjadi pemimpin Bu-tek Ngo-sin- liong, segera berseru dengan suara berwibawa ke arah kelenteng.
"Kwi-jiauw Lo-mo, apakah engkau tidak cepat keluar menyambut kami?"
Dari dalam kelenteng segera terdengar suara tawa dan jawaban Kwi-ji-auw Lo-mo segera terdengar.
"Aha, maaf kan kami, Bu-tek Ngo-sin-liong! Kami sudah menyuruh puteraku menyambut, agaknya dia yang masih muda suka bermain"main. Maafkan kami!"
Tiga orang datuk itu berjalan keluar dengan kedua tangan terangkap di depan dada, menyambut dengan gembira.
"Hi-hik, Lo-mo!.Puteramu ini menyenangkan juga!"
Kata Kwa Lian kepada Kwi-jiauw Lo-mo.
Datuk yang gendut seperti katak itu tertawa.
"Ha-ha-ha-ha, tentu saja. Anak siapa? Akan tetapi usianya baru enam belas tahun. Nona Kwa, maka. kuharap engkau jangan menyeret dia!"
Kedua nya tertawa, dan Kwa Lian menjawab dengan suara mengejek.
"Hemm, aku bukan wanita yang suka memperkosa seperti engkau! Dan kalau saja puteramu ini seperti engkau, seperti seekor katak, aku tidak akan mengatakan dia menyenangkan,"
Kembali mereka tertawa-tawa.
Melihat sikap orang-orang itu, diam-diam Seng Gun merasa heran. Kiranya lima orang tamu itu tidak banyak bedanya dalam hal sikap dibandingkan ayahnya dan kedua orang susioknya. Pada hal, bukankah mereka itu tokoh-tokoh besar dari Hoat-kauw? Dan sepanjang pengetahuannya, Hoat-kauw adalah suatu aliran yang menjaga keras peraturan!
Menjaga keras tegaknya hukum dan keadilan! Tadinya dia sudah khawatir mendengar ayahnya dan dua orang susioknya yang menjadi kepercayaan dan utusan orang-orang Mongol, hendak menga dakan hubungan dan kerjasama dengan Hoat-kauw. Dia khawatir kalau-kalau ayahnya tidak akan cocok dengan orang-orang yang kabarnya menegakkan hukum dan keadilan dengan kekerasan.
Siapa kira, sikap mereka itu ugal-ugalan dan tidak mengenal peraturan seperti juga sikap ayahnya, susioknya dan segolongan mereka.
Tentu saja seorang pemuda berusia enambelas tahun seperti Seng Gun, apa lagi yang sejak kecil hidup di tengah lingkungan orang-orang sesat, tidak dapat menangkap keadaan yang nampaknya bertentangan itu.
Dia tahu bahwa seperti juga semua aliran dan ajaran kebatinan, bahkan ajaran agama, merupakan ajaran yang baik, menjadi penuntun bagi manusia agar hidup bermanfaat bagi kemanusiaan, bagi dunia, agar hidup sebagai orang yang selalu membela kebenaran, keadilan dan menumbuhkan cinta kasih di antara manusia.
Tidak ada ajaran agama atau aliran kebatinan yang mengajarkan orang untuk berbuat jahat dan kejam. Namun, ajaran tetap merupakan ajaran, sesuatu yang mati. Yang hidup dan yang menen tukan adalah manusianya, penganut ajaran itu. Baik dan buruknya bukan terletak di da lam ajaran itu, melainkan di dalam pelaksanaannya dalam kehidupan, di dalam langkah hidup dan perbuatan nya.
Betapa pun suci teorinya, kalau prakteknya kotor, maka perbuatan atau praktek itu hanya akan menodai dan mengotori teorinya. Betapa banyaknya terjadi pertentangan agama, pertentangan aliran. Sesungguhnya, bukan ajaran-ajaran itu yang bertentangan, karena tidak ada ajaran yang menganjurkan manusia saling bertentangan, melainkan ulah si manusia sendirilah yang memperten tangkannya. Ajaran aliran dan keagamaan diada kan untuk manusia di dunia tanpa pilih bulu.
Kalau ajaran itu sudah dimonopoli, menjadi milikku, milik golongan atau kelompokku, milik bangsaku, maka timbullah pertentangan antara milikku dan milikmu, agamaku dan agamamu.Apa pun diperebutkan oleh kita manusia ini. Kebenaran diperebutkan, bahkan Tuhan diperebutkan!.
Aliran Hoat-kauw mempunyai ajaran agar manusia menaati hukum dan keadilan. Akan tetapi, bagaimana kenyataannya? Manusia tetap manusia dengan segala macam nafsu daya rendah yang menguasai dirinya.
Kenyataannya, seperti yang dilihat Seng Gun, hukum itu hanya berlaku bagi mereka yang kalah, mereka yang berada di bawah. Mereka itulah yang harus menaati hukum. Bagi yang menang dan yang berkuasa? Merekalah hukum! Merekalah pembuataan penggaris hukum! Merekalah yang benar dan apapun yang mereka lakukan adalah adil dan benar. Mereka adalah penegak hukum, yaitu menegakkan hukum agar ditaati bawahan.
Merekalah lambang hukum, kebenaran dan keadilan. Yang salah adalah orang lain, terutama orang bawahan. Sesungguhnya, kalau kita mau melihat keadaan sebagaimana adanya, hukum rimbalah yang berlaku di mana-mana. Yang kuat dia menang, yang menang dia berkuasa, yang berkuasa dia benar dan baik! Tentu saja hukum rimba ini diselubungi berbagai macam peraturan yang nampak nya beradab dan baik sehingga tidak nampak lagi.
Karena yang kuasa selalu benar, maka di dunia ini manusia saling berlumba memperebutkan kekuasaan. Dalam keluarga, di antara teman, dalam masyarakat, dalam perkumpulan, dalam pemerintahan. Di mana saja orang memperebutkan kekuasaan karena kekuasaan sumber kesenangan.' kekuasaan memungkinkan orang memperoleh apapun yang dikehendaki nya.
Kini empat 'orang pihak tuan rumah dan l ima orang tamu mereka i tu duduk menghadapi meja dan menikmati jamuan makan yang dibuat oleh orang-orang dusun yang dipaksa menjadi pembantu di kelenteng itu.
Kwi-jiauw Lo-mo menyatakan keinginan kepala suku Mongol untuk mengajak Hoat-kauw bersekutu agar mereka dapat bersama-sama menguasai seluruh negara.
"Menurut Ku-ma-khan, kepala suku Mongol, sekaranglah waktunya yang tepat untuk menguasai Kerajaan Tang yang semakin lemah. Orang-orang Mongol sudah menghimpun kekuatan dan siap untuk melakukan penyerbuan ketimur dan selatan. Dan melihat bahwa Hoat-kauw merupakan perkumpulan yang besar dan mempunyai banyak orang pandai, maka Ku-ma khan mengulurkan tangan mengajak bekerja sama. Kalau kelak berhasil, maka Ho at-kauw yang akan menjadi satu-satu aliran agama yang harus dipejuk oleh seluruh rakyat."
Ang-sin-liong Yu Kiat minum arak dari cawannya dan tersenyum lebar.
"Ha ha agaknya kepala suku Mongol seorang yang bijaksana dan pandai. Mungkin beliau teringat betapa ratusan tahun yang lalu, aliran Hoat-kauw kami yang berhasil memperkuat Kerajaan Cin dan menguasai seluruh wllayah negeri. Memang, hanya dengan memegang teguh ajaran aliran kamilah maka suatu pemerintahan akan berhasil!"
Ucapan terakhir ini bernada sombong.
Kwi-jiauw Lo-mo tidak mau kalah.
"Akan tetapi, sobat. Hanya mengandalkan peraturan ketat saja, tanpa adanya kekuatan pasukan, juga tidak akan mampu menghasilkan kekuasaan. Oleh karena itulah, kepala suku kami mengajak Hoat ka uw bergabung, agar dengan kekuatan pasukan Mongol, ditambah lagi penyebaran aliran Hoat-kauw, maka perjuangan akan berhasil.
Ang-sin-liong mengangguk-angguk.
"Pendapatmu memang benar, Lo-mo. Akan tetapi, untuk mencapai hasil yang baik, merupakan jalan panjang dan tidak mudah. Kami mendengar bahwa bukan hanya bangsa Mongol yang melakukan gerakan untuk merampas kekuasaan, akan tetapi juga banyak suku bangsa lain, terutama sekali suku bangsa Tibet dengan para Lama Jubah Merah.
Dan kami kira, kita harus membagi tugas kalau hendak bekerja sama. Kami akan mencoba untuk mengalahkan aliran-aliran yang ada, sedangkan pihak Mongol berusaha untuk menalukkan suku-suku bangsa yang melakukan gerakan. Kalau kita kedua pihak su dah dapat menguasai suku-suku bangsa yang memberontak, menghimpun pula aliran-aliran di bawah satu bendera, yaitu bendera Hoat-kauw, barulah kita mempunyai kekuatan untuk bertindak."
"Tepat sekaii,"
Kata Hek-bin Mo-ong sambil tersenyum lebar.
"Kita memang harus membagi tugas.
"Akan tetapi, menghadapi orang-orang Tibet kita harus 'bersatu padu karena mereka itu merupakan gerakan gabungan antara pasukan Tibet yang dipimpin pula oleh para pendeta Lama yang hendak menyebar agama mereka."
"Memang sebaiknya demikian. Bangsa Tibet cukup kuat. Bukan saja mereka mempunyai banyak pendeta Lama yang sakti, akan tetapi juga suku bangsa Yi an Miao termasuk suku yang tunduk kepada mereka dan menjadi sekutu mereka."
"Hemm, untuk menghadapi pasukan mereka, kami tidak akan gentar,"
Kata Kwi-jiauw Lo-mo.
"Bangsa Mongol juga mempunyai banyak kawan dari suku-suku bangsa yang berada di utara, seperti suku Mancu, Hui dan peranakan Han dengan kedua suku itu. Seperti juga kami bertiga ini.
"Aku sendiri peranakan Mongol, Hek-bin Mo-ong peranakan Mancu, dan Pek-bin Mo-ong peranakan Hui."
Demikianlah, delapan orang itu bercakap-cakap dan membagi siasat dan memutuskan bahwa kelenteng di Bukit Ayam Emas itu mereka jadikan tempat pertemuan. Ketika Kwi"jiauw Lo-mo mengusulkan agar Hoat-kauw mengambil alih kelenteng itu dan membuka cabang di situ agar tempat itu terjaga, Bu-tek Ngo sin-liong setuju. Memang tempat itu in dah sekali, juga cukup sepi dan jauh dari kota besar.
"Baik, kami akan mengirim anak buah ke sini dan sementara menjaga tempat ini agar tidak lagi dikunjungi orang dusun,"
Kata Ang-sin-liong Yu Ki-at.
Ketika perundingan itu berlangsung, Seng Gun hanya mendengarkan saja, tidak pernah mencampuri. Akan tetapi ada suatu rahasia yang hanya diketahui dia dan tiga orang datuk besar itu saja, rahasia besar tentang dirinya dan tentang cita-cita Kwi-jiauw Lo mo. Sepuluh tahun yang lalu, atau lebih sedikit, dia berusia enam tahun dia dilarikan dari istana kerajaan di Tiang-an ketika di istana terjadi perebutan kekuasaan secara besar-besaran dengan terbunuhnya Kaisar An Lu Shan karena keracunan.
Seng Gun sebetulnya bermarga An, karena dia adalah putera An Lu Shan, dan ibunya adalah puteri Kwi-jiauw Lo-mo Tong Lui. Melihat betapa puteri dan cucunya terancam oleh perebutan kekuasaan, Kwi-jiauw Lo"mo menggunakan kepandaiannya untuk menyelamatkan mereka keluar dari istana.
Akan tetapi, puterinya tidak mau, bahkan saking sedihnya karena kematian suaminya, sebagai seorang selir tercinta yang sebagai peranakan Mongol dahulu banyak membantu pemberontakan An Lu Shan sehingga berhasil, puterinya itu, Tong Kiauw Ni., membunuh diri Terpaksa Kwi-jiauw Lo-mo hanya melarikan cucunya saja, dan semenjak itu, untuk menjaga agar tidak ada yang mengenal Seng Gun sebagai putera Kaisar An Lu Shan, dia mengakui Seng Gun sebagai puteranya sendiri dan mengganti marga An di depan nama Seng Gun menjadi marganya sendiri, yaitu Tong. Biarpun ketika itu usianya baru enam tahun, Seng Gun mengerti akan semua peristiwa yang ter jadi dan menyadari bahwa demi keselamatan dirinya, dia harus mengakui kakek luarnya itu sebagai ayahnya.
Perundingan yang dilakukan tiga orang datuk dengan para pimpinan atau tokoh Hoat-kauw itu diikuti dengan penuh perhatian oleh Seng Gun, akan tetapi dia tidak mencampurinya sama sekali, hanya menjadi pendengar saja. Akan tetapi dia tahu benar bahwa kakeknya yang kini diakuinya sebagai ayahnya itu sedang mengatur suatu rencana untuk dirinya! Ya, dia tahu benar bahwa Kwi-jiauw Lo-mo berusaha keras untuk mengembalikan dia ke tempatnya semula, yaitu di istana kota raja, kalau mungkin sebagai kaisar baru! Sebagai penerus kekuasaan An Lu Shan yang telah hancur dan diambil alih oleh Sia Su Beng.
Han Lin merasa seperti melayang di angkasa! Awan berarak di sekeliling nya seperti asap putih yang tebal. Tubuhnya terasa ringan sekali dan setiap ada angin berhembus, tubuhnya hanyut dalam aliran angin itu. Dan dia mendengar percakapan antara dua suara yang tidak nampak orangnya, suara yang kecil dan suara yang parau besar. Begitu jauh bedanya antara kedua suara itu sehingga tanpa melihat si pembicara sekalipun. Han Lin dapat membayangkan bahwa sepantasnya pemilik suara kecil itu seorang yang kurus dan pemilik suara besar seorang yang tinggi gemuk.
Suara kecil bertanya.
"Tahukah engkau dengan sesungguhnya bahwa segala sesuatu adalah sama saja?"
Suara besar menjawab dengan pertanyaan pula.
"Bagaimana saya bisa tahu?"
"Tahukah engkau apa yang engkau tidak tahu?"
"Bagaimana saya bisa tahu?"
"Kalau begitu tidak ada seorangpun tahu?"
"Bagaimana saya bisa tahu?"
Terdengar pula suara besar, lalu suara Itu melanjutkan.
"Bagaimana juga, akan saya coba menerangkan padamu. Bagaimana dapat diketahui bahwa yang saya katakan tahu itu sesungguhnya tidak tahu, dan apa yang saya katakan tidak tahu itu sebetulnya tahu? Mungkin yang dikatakan salah itu benar dan yang dikatakan benar itu salah. Seorang manusia yang tidur di tempat basah akan jatuh sakit dan mati.
Akan tetapi bagaimana dengan seekor belut? Dan hidup di atas puncak pohon adalah berbahaya dan menegangkan syaraf. Akan tetapi bagaimana dengan seekor monyet? Di antara manusia, belut dan monyet itu, tempat tinggal siapakah yang lebih benar dan tepat? Manusia makan daging, rusa makan rumput, burung makan ulat, kucing makan tikus.
Dari mereka semua itu, selera manakah yang lebih benar dan tepat? Monyet jantan bergaul dengan monyet betina, rusa jantan dengan rusa betina, belut dengan ikan, sedangkan manusia pria mengagumi Dewi Mo Ciang dan Dewi Li Ci, pada hal melihat kedua wanita ini, ikan-ikan bersembunyi menyelam dan burung-burung ketakutan terbang, kijang lari ketakutan pula.
Lalu siapakah dapat mengatakan yang manakah ukuran kecantikan"
Itu? Saya kira, pelajaran tentang kemanusiaan dan keadilan dan lorong"lorong dari benar dan salah demikian kacau balau sehingga tidak mungkin diselami dan diketahui."
"Kalau begitu, Manusia Sempurna tidak tahu akan baik dan buruk?"
"Manusia Sempurna adalah mahluk suci. Bahkan andaikata lautan mendidih, dia tidak akan merasa kepanasan. Apa bila sungai-sungai membeku, dia tidak akan merasa kedinginan. Apa bila gunung-gunung dibelah halilintar, dan lautan-lautan diamuk badai, dia tidak akan gemetar ketakutan. Maka, dia seolah mendaki awan-awan di langit, menggembala matahari dan bulan di depannya, dan melewati batas-batas dari keberadaan duniawi. Mati' dan hidup tidak lagi menguasai dia. Sama sekali dia ti dak lagi memperdulikan untung atau rugi."
Mendengar percakapan antara dua suara kecil dan besar itu, Han Lin tersenyum dan diapun berkata.
"Percakapan antara Yeh Cia dan Wang Yi, pelajaran bagi Mahaguru Juang"ce!"
Sebagai jawaban ucapannya itu, terdengar suara tawa yang aneh.
"Heh-heh-heh-ha-ha-hihihik!! "
Seolah yang tertawa ada beberapa orang. Suara tawa itu seperti menyentakkan Han Lin ke dalam kesadaran. Seperti orang baru bangun tidur, dia menggosok kedua mata, membuka mata dan bangkit duduk. Dia masih berada di depar gundukan makam Liu Ma, cuaca gelap dan hanya remang-remang diterangi bintang di langit.
Han Lin segera teringat segalanya dan diapun memutar tubuh dan nampak gundukan tanah kuburan ibu angkatnya, Liu Ma. Dan teringatlah dia akan peristiwa di kelenteng, betapa tiga orang hwesio telah terbunuh, dan ibu angkatnya juga tewas membunuh diri ke dalam jurang ini karena melihat dia terjerumus ke dalam jurang.
Teringat akan ini, Han Lin men-jatuhkan diri tiarap di depan gundukan tanah itu dan menangis lagi, menangisi"
Kematian. Liu Ma yang telah mengorbankan nyawanya karena amat menyayangnya. Kini terkenang semua kebaikan hati Liu Ma yang menyayangnya seperti anak sendiri.
Tiba-tiba terdengar suara tawa aneh tadi, disusul kata-kata yang lembut.
"Betapa indahnya sangkar emas penuh makanan, burung akan tetap berusaha meloloskan diri. Setelah burung terbang bebas, lepas dari sangkarnya, pantaskah ditangisi?"
Han Lin menghentikan tangisnya, merangkak bangun dan membalikkan tubuh Dia tadi tidak mimpi! Suara kecil berlawanan dengan suara besar, suara tawa aneh itu, tanya"jawab seperti dua orang memainkan ajaran Juang-ce, semua itu bukan mimpi!
Dan dia meiihat seorang kakek berdiri di depannya! Cuaca memang remang-remang, akan tetapi entah bagaimana, dia dapat melihat wajah itu dengan jelas sekali. Apakah wajah itu mengandung cahaya sehingga demikian jelas? Dia tidak tahu. Wajah seorang kakek yang tubuhnya sedang tingginya namun agak kurus.
Wajah itu nampak putih kemerahan, matanya seperti sepasang bintang, rambutnya, kumis dan jenggotnya, seperti benang sutera putih. Pakaiannya dari kain kasar berwar na putih kekuningan, namun bersih. Sepatunya dari kulit kayu, merupakan pelindung telapak kaki saja. Sukar menaksir usianya, bisa saja sudah tua sekali lebih dari seratus tahun, akan tetapi wajah dan terutama matanya seperti masih amat muda. Ketuaannya itu diperkuat dengan adanya sebatang tongkat bambu yang dipegangnya, seolah menjadi penopang tubuhnya.
"Heh-heh-heh, engkau mengenal ajaran Mahaguru Juang"ce, bagus memang, akan tetapi alangkah lebih bagusnya ka lau engkau tidak hafal akan semua ajaran mahaguru yang manapun juga."
Kisah Si Pedang Terbang Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tentu saja ucapan yang berlawanan ini membuat Han Lin mengerutkan alisnya. Dia sudah duduk bersila menghadap gurunya, seperti kalau dia menghadap mendiang Kong Hwi Hosiang di kelenteng.
"Maafkan saya, lo-cian-pwe. Saya kira pendapat lo-cian"pwe tadi membingungkan dan berlawanan. Lo-cian-pwe mengatakan bagus bahwa saya mengenal ajaran Juang-ce, lalu menambahkan akan lebih bagus kalau' saya tidak mengenal semua ajaran."
Kembali kakek itu tertawa, kini suara tawanya lembut sekali.
"Memang sebaiknya kalau mengenal semua ajaran para bijaksana itu dengan membaca kitabnya, namun hanya sekedar mengenal saja untuk menambah pengertian. Namun, semua ujar-ujar dan nasihat yang ribuan banyaknya itu tidak ada manfaatnya kalau hahya dihafal saja."
"Maaf, lo-cian-pwe. Bukankah ajaran-ajaran itu baik sekali untuk pedoman kita hidup di dunia ini? Ajaran-ajaran itu dapat menuntun kita melalui jalan kebenaran dalam hidup, membuat kita mengetahui mana yang baik dan mana yang tidak, mana yang benar dan mana yang salah."
"Ha-ha-ha, di situlah letak kesalahannya, anak yang baik. Kalau orang menjalani hidup ini disesuaikan dengan ajaran"ajaran itu, melakukan perbuatan yang sesuai dengan petunjuk ajaran, maka kebaikan yang dilakukan dengan kesadaran bahwa itu adalah kebaikan bukanlah kebaikan lagi namanya! Perbuatan seperti itu palsu, anakku, karena perbuatan seperti itu hanya merupakan suatu cara untuk mencapai sesuatu, bukan merupakan suatu keadaan yang wajar, yang dengan sendirinya sudah merupakan suatu keadaan tanpa membutuhkan cara untuk mencapainya lagi."
Han Lin menjadi pening tujuh keliling! "Wah, saya tidak mengerti, locianpwe. Apa artinya semua itu? Mohon penjelasan."
"Sudah jelas, anak baik. Perbuat an baik yang dilakukan dengan pamrih meraih sesuatu hasil dari perbuatan itu, adalah perbuatan palsu, hanya merupakan suatu cara mendapatkan sesuatu. Perbuatan apapun itu, dinilai baik ataupun buruk, kalau dilakukan karena digerakkan pamrih memperoleh hasil sesuatu, adalah palsu! Munafik, topeng kebaikan untuk mendapatkan keuntungan, sama seperti harimau bertopeng domba, tidak lebih baik dari pada harimau tanpa topeng. Dan ajaran-ajaran kebaikan itu seringkali menjadi topeng domba bagi harimau-harimau yang berkeliaran."
"Wah, saya menjadi semakin bingung. Kalau perbuatan baik menurut ajaran dianggap palsu, lalu yang baik itu bagaimana, locianpwe?"
Han Lin mengejar dengan hati penasaran. Alangkah bedanya pendapat kakek aneh ini di bandingkan ajaran yang dia terima dari Kong Hwi Hosiang yang selalu mengajarkan bahwa hidup haruslah melalui jalan kebenaran, memupuk kebaikan dan menjauhi perbuatan jahat. Dan kakek ini mengatakan bahwa perbuatan baik menurut ajaran adalah palsu dan sama saja dengan perbuatan jahat. Bagaimana ini?
"Kebaikan dan kejahatan itu sama saja, hanya penilaian, seperti siang dan malam, kanan dan kiri, benar dan tidak benar dan selanjutnya, dan selama kita dikuasai oleh im-yang (positif negatif) ini, maka biduk kehidupan tak kan pernah merasakan ketenangan, dipermainkan ombak kanan kiri."
"Tapi, apa yang narus kita laku ke dalam kehidupan ini, locianpwe?"
"Lakukan apa saja yang harus kau lakukanl Yang dinamakan kebenaran, kebajikan dan sebagainya, sesungguhnya merupakan suatu keadaan batin, tidak dinilai dari kata dan perbuatannya. Selama batin masih dicengkeram nafsu, maka daya-daya rendah yang menjadi dasar setiap kata dan perbuatan, karenanya palsu.
"
"Lalu sikap apa yanq harus kita ambil dalam hidup?"
"Lihatlah bulan, bintang, matahari, awan dan seluruh alam ini. Mereka semua bergerak, mereka semua bekerja, dan memang demikianlah keharusan dan keadaan mereka. Tidak baik tidak buruk, tidak benar tidak salah, dan itu adalah karena mereka itu wajar. Bunga mawar berduri dan harum, itulah kewajaran. Bunga anggrek indah dan tidak harum, itulah kewajaran. Wajar itulah indah, wajar itulah kenyataan, wajar itulah To (Jalan, atau Kekuasaan Mutlak). Seyogianya kita menjadi manusia wajar."
"Akan tetapi, dari mana timbulnya rangsangan kejahatan yang membuat manusia melakukan perbuatan kejam dan jahat?"
"Nafsu daya rendah yang mendorong manusia melakukan perbuatan merugikan sesamanya. Nafsu selalu mendorong, ingin ini, ingin itu, berpamrih demi pemuasan diri, demi kesenangan, karena itu, perbuatan yang didorongnya selalu berpamrih. Dan pamrih tetap pamrih, bisa berpakaian bersih dan indah atau berpakaian butut kotor, tetap pamrih dan selama ada pamrih, setiap perbuatan adalah palsu. Sudahlah, Han Lin, kelak engkau akan mengerti sendiri kalau engkau mulai saat ini suka menjadi temanku."
Han Lin terbelalak.
"Bagaimana lo-cian-pwe dapat mengetahui nama saya?"
"Ha-ha, apa artinya nama? Karena engkau bernama, maka aku mengetahu-nya."
"Maksud lo-cian-pwe, mulai sekarang saya menjadi murid lo-cian-pwe?"
"Bukan murid, melainkan teman, sahabat. Tidak ada guru manusia lain dalam kehidupan ini, mengenai soal kehidupan karena kita sendiri masing-masing adalah gurunya, juga muridnya. Bimbingan utama datang dari dalam diri sendiri, To (Kekuasaan Tuhan) telah berada dalam diri setiap orang manusia dan Dialah yang menjadi Pembimbing. Tentu saja kalau engkau ingin mempelajari ilmu jasmaniah yang dikuasai, engkau dapat belajar dariku."
Mendengar ini, langsung saja Han Lin menjatuhkan diri berlutut di depan kaki kakek itu.
"Suhu yang mulia, mulai malam ini, teecu (murid) Han Lin akan menaati semua petunjuk suhu!"
Kakek itu mengelus jenggotnya yang putih halus dan tertawa gembira.
"Ha-ha-ha,: bukan kehendakku engkau menjadi muridku, Han Lin, bukan kehendakku, melainkan sudah digariskan dari semula!"
Kakek itu menengadah memandang langit, seolah hendak mencari rahasia kejadian itu di antara bintang di langit.
"Suhu, kalau boleh teecu mengeta hui, suhu siapakah?"
"Heh-heh, tidak tahukah engkau? Aku juga seorang manusia seperti engkau, hanya bedanya, aku lebih lama berada di dunia ini dibandingkan engkau."
Han Lin tertegun. Jawaban itu memang tentu saja benar, namun begitu sederhana, seperti percakapan antara kanak"kanak saja.
"Maksud teecu, suhu. Siapakah nama suhu yang mulia?"
"Hemm, apakah artinya nama? Nama tidak sama dengan yang dinamakan. Sebutan bulan bukanlah bendanya, sebutan Han Lin bukanlah orangnya."
Han Lin sudah banyak membaca. kitab-kitab kuno, maka ucapan ini tidak membuatnya heran.
"Teecu mengerti, suhu. Akan tetapi, tanpa adanya nama atau sebutan, tentu tidak ada percakapan, tidak ada hubungan antar manusia. Maksud teecu,.sebutan teecu dengan kata "suhu"
Juga merupakan nama, bukan? Nah, maksud teecu, nama suhu, bukan sebutannya, siapakah?"
"Ha-ha, kalau hendak menyebutku, sebut saja Lo-jin (Orang tua), karena memang aku seorang yang sudah tua!"
Diapun tertawa-tawa seperti merasa geli mendengar ucapannya sendiri.
"Ingat suhu. Nama Lo-jin itupun dapat menjadi nama, dan Lo-jin bukanlah orangnya!"
Kini guru dan murid itu tertawa-tawa geli dan sungguh aneh sekali kalau ada orang lain melihatnya. Seorang pemuda remaja dan seorang kakek, di tengah malam penuh bintang didasar jurang depan gundukan tanah kuburan baru, tertawa"tawa seperti digelitik perutnya!
"Sudahlah, hayo ikut aku. Pegang ujung tongkatku,"
Kata kakek itu sambil menyodorkan tongkat bambunya. Han Lin memegang ujung tongkat bambu itu dan kakek itu lalu bergerak melangkah. Dan terjadilah sesuatu yang "membuat Han Lin terbelalak dan tengkuknya terasa dingin. Dia merasa seperti dalam mimpi ketika dia setengah tertarik ketika memegangi ujung tongkat, mengikuti kakek itu mendaki jurang yang amat curam, tebing yang berlawanan dengan tebing di mana dia terjatuh.
Menurut nalar, agaknya tidak mungkin mendaki tebing secara itu, apa lagi dalam malam yang remang-remang. Akan tetapi Han Lin merasa seperti seekor cecak saja, atau lebih tepat lagi dia terbetot dan terseret naik oleh tongkat bambu itu.
Dia merasa ngeri dan memejamkan kedua matanya, menurut saja diseret ke atas, kedua kakinyapun asal melangkah saja, akan tetapi dia memegangi ujung tongkat dengan pengerahan seluruh tenaganya karena sekali tongkat itu terlepas dari tangannya, tentu dia akan meluncur ke bawah dan tidak akan ada yang mampu menyelamatkannya.
Akhirnya mereka tiba di atas tebing. akan tetapi kakek itu masih terus saja monariknya. Demikian kuatnya tenaga yang tersalur melalui tongkat bambu itu sehing ga Han Lin merasa seolah-olah tubuhnya diterbangkan.
Cuaca kadang gelap, kadang terang, namun mereka meiuncur terus. Han Lin merasa seperti dalam mimpi dan kembali dia memejamkan mata, menyerah saja penuh keyakinan bahwa kakek itu bukan manusia biasa, bahkan mungkin pula bukan manusia! Ataukah ka kek itu petugas menjemputnya meninggalkan dunia ini? Apakah dia sudah mati?
Langit di ufuk timur mulai terbakar oleh cahaya kemerahan. Sinar cerah sang matahari mulai mengusir kegelapan walaupun mataharinya sendiri beium nampak.
Seluruh permukaan bumi agaknya menyambut kemunculan Sang Surya ini dengan penuh kegembiraan. Bayang-bayang hitam kegelapan mulai memudar, terganti cahaya yang.mulai menghidupkan segala sesuatu. Pohon-pohon dan semua tumbuh-tumbuhan sampai rumput, seolah baru bangkit dari tidur lelap diselimuti kegelapan malam. Burung-burung berkicau riang, ayam hutan berkokok bangga.
Kabut pagi mulai menyingkir perlahan dihembus semilir angin, dihalau cahaya matahari pagi. Embun bergantungan pada pucuk daun dan rumput, di bibir bunga-bunga, nampak tak rela melepaskan pegangan terakhir sebelum akhirnya terle pas dan terhempas ke tanah pula. Segala sesuatu nampak segar gemilang.
Han Lin duduk bersila. Baru saja kakek itu menghentikan gerakannya dan melihat kakek itu duduk bersila di atas batu datar halus diapun ikut duduk di atas rumput kering. Mereka kini berada di puncak sebuah bukit yang sepi sekali, di tengah perbukitan yang amat luas. Dia tidak berani mengganggu karena kakek itu duduk bersila dengan ke dua mata terpejam dan pernapasannya seperti orang yang sedang tidur.
Melihat kakek itu beristirahat, Han Lin tidak berani mengganggu dan diapun memperhatikan kakek aneh itu. Melihat wajah kakek itu, dia teringat kepada mendiang Kong Hwi Hosiang yang mempunyai wajah seperti wajah anak kecil. Wajah kakek inipun segar kemerahan dan tidak terhias keriput walaupun tubuhnya tidak gemuk seperti Kong Hwi Hosiang. Tubuh kakek ini tegap dan kurus. Rambut, kumis dan jenggotnya putih seperti benang sutera putih.
Karena baru saja dia nyaris tewas, juga telah terpukul, kemudian semalam suntuk mengikuti kakek itu melakukan perjalanan seperti terbang, Han Lin merasa seluruh tubuhnya sakit-sakit dan lelah sekali, maka diapun mencontoh kakek di depannya dan memejamkan mata, beristirahat.
Ketukan tongkat pada batu membangunkan Han Lin dan ternyata hari telah menjelang siang.
Matahari telah naik tinggi dan kakek itu memandang kepadanya dengan senyum aneh. Senyum itu seperti sinar matahari pagi yang menghidupkan, hangat dan menimbulkan gairah hidup, penuh kepasrahan, kesabaran, kewajaran.
"Suhu!"
Kata Han Lin dan diapun mengubah kedudukan kakinya yang tadi bersila kini berlutut.
"Han Lin, duduklah bersila seperti tadi dan sekarang ceritakan segalanya tentang dirimu,"
Terdengar kakek yang hanya dikenalnya dengan' sebutan Lo-jin (Orang tua) itu berkata dengan lembut.
Suaranya bagaikan desir angin bermain-main di antara daun pohon dan ujung rumput.
Han Lin menaati perintah gurunya dan kembali duduk bersila, lalu berkata,
"Teecu kira suhu sudah pasti telah mengetahui hal mengenai diri teecu. Perlukah lagi teecu menceritakannya sendiri?"
Suara tawa kakek itu mempunyai daya tular yang kuat sehingga Han Lin juga ikut tertawa. Tawa maupun tangis merupakan suara aseli dari semua manusia di dunia ini.
Biarpun bahasa antara bangsa berbeda, namun tawa dan tangis semua bangsa tidak ada bedanya ka rena suara tawa dan tangis itu mengandung seluruh perasaan, maka mudah sekali menular kepada orang lain. Demikian pula tawa kakek itu yang wajar, tidak di buat-buat, tidak pula mengandung sesuatu yang lain, seperti tawa seorang bayi yang mendatangkan rasa gembira da lam hati setiap orang.yang mendengarnya, maka Han Lin tidak dapat menahan diri untuk. tidak ikut tersenyum lebar.
"Ha-ha-ha-heh-heh, Han Lin. orang yang mengaku tahu adalah orang yang tidak tahu! Ceritakanlah semuanya sejak engkau kecil sampai sekarang ini."
Tiba-tiba Han Lin menyadari. Kakek ini jelas bukan manusia biasa. Kalau tanpa diberitahu kakek ini sudah mengetahui namanya, tentu telah mengetahu segala tentang dirinya. Kenapa masih bertanya dan menginginkan dia bercerita? Tentu untuk mengujinya, menguji kejujurannya! Maka, tanpa ragu-ragu lagi diapun bercerita tentang dirinya, semenjak dia hidup sebagai seorang "pangeran"
Kecil, putera Sia Su Beng dan Yang Kui Bi sampai terjadinya penyerbuan pasukan Tang yang memasuki kota raja dan kedua orang tuanya ikut bertempur.
Betapa dia diungsikan oleh Liu Ma yang kemudian dianggap sebagai ibunya. Betapa dia menjadi murid Kong Hwi Hosiang di kelenteng dekat puncak Bukit Ayam Emas itu dan tentang munculnya tiga orang datuk sesat bersama seorang pemuda, dan betapa Kong Hwi Hwi Hosiang, Cun Hwesio dan Kun Hwesio terbunuh oleh para datuk sesat itu. Kemudian tentang ibunya yang melempar diri ke dalam jurang menyusul dirinya yang terpukul dan terjungkal ke dalam jurang itu.
"Agaknya Tuhan belum menghendaki mati, suhu, maka teecu berhasil menangkap cabang pohon dan tidak terbantingke dasar jurang. Akan tetapi ibu Liu Ma ia tewas dan teecu kubur jenazahnya di dasar jurang itu."
Kakek itu mengangguk-angguk.
"Belum kauceritakan tentang keadaan tubuh mu. Pukulan yang membuatmu terjungkal ke jurang itu adalah pukulan yang mengandung hawa beracun, akan tetapi engkau tidak keracunan. Nah, bagaimana hal itu dapat terjadi?"
"Ah, maafkan teecu, suhu. Teecu sampai lupa,"
Kata Han Lin, pada hal dia sengaja melewatkan bagian itu untuk melihat apakah kakek itu mengetahui akan keadaan tubuhnya yang telah menjadi kebal terhadap racun itu. Dengan tersipu karena ternyata kakek itu mengetahui segalanya,.diapun menceritakan dengan jelas akan peristiwa pertemuannya dengan Hek-bin Mo-ong dan Pek-bin Mo-ong yang pertama kalinya, ketika dia terkena pukulan dari depan dan belakang oleh kedua orang datuk itu, ditambah lagi gigitan ular senduk kepala putih yang membuat tubuhnya dimasuki tiga macam racun sekaligus.
"Menurut keterangan mendiang suhu Kong hwi Hosiang, akibat tiga racun itu, tubuh teecu menjadi kebal terhadap racun."
Demikian dia mengakhiri ceritanya dan kakek itupun mengangguk-angguk senang.
Demikianlah, mulai hari itu, Han Lin menjadi murid kakek yang hanya dikenal sebagai Lo-jin. Dan ternyata kemudian oleh pemuda remaja ini bahwa kakek itu adalah seorang manusia yang amat sederhana, juga aneh sekali. Kadang hanya cukup hidup sehari dengan beberapa helai daun dan seteguk air saja, kadang tidak ada entah ke mana sampai beberapa hari, lalu muncul kembali. Akan tetapi dia menganggap. semua itu wajar karena memang demikianlah ke adaan Lo-jin. Dan dia mulai menerima gemblengan dari kakek aneh itu.
Namun, Lo-jin mengatakan bahwa semua ilmu yang diajarkannya itu adalah ilmu untuk mempertahankan keselamatan jasmani, dan ilmu-ilmu itu adalah ilmu untuk dipergunakan selagi hidup di dunia ini dan kelak ilmu-ilmu itu akan musna bersama raga.
Karena itu. dia tidak boleh terikat kepada ilmu-ilmu itu, dan untuk dapat membebaskan diri dari segala sesuatu, dia harus memiliki dasar yang satu, yaitu kewajaran yang berarti penyerahan! Menyerah sebagai dasar semua ikhtiar hidup, menyerah secara mutlak kepada Sang Maha Pencipta, seperti halnya bumi, matahari, bulan, bintang dan segala mahluk di alam ini yang tidak dikuasai nafsu daya rendah dan hidup selaras dengan To (Kekuasaan Tuhan).
Dara itu berusia delapanbelas tahun. Cantik jelita bagaikan setangkai bunga mawar rimba.
Mukanya berbentuk bulat telur dan kulit mukanya halus putih kemerahan.
Wajah yang bentuknya indah itu dihias rambut bagaikan mahkotanya, rambut yang halus lebat dan hitam mengkilat, digelung ke atas, di ikat dengan,pita sutera kuning dan dihias tusuk sanggul dari batu kemala. Sepasang matanya lebar dan sinarnya tajam.
Hidungnya mancung dengan cuping hidung tipis yang dapat berkembang kempis dengan lucunya. Mulutnya penuh gairah hidup dan selalu tersenyum bersama matanya, senyum yang amat manis, apa lagi kalau lesung pipit di kedua pipinya nampak.
Tubuhnya padat dan ramping, dan di balik kelembutannya sebagai seorang dara remaja, terkandung suatu kekuatan yang hebat, yang dapat nampak pada lekukan di dagu dan tubuh yang tegak dan dada yang membusung. Gerak geriknya lincah, matanya memandang penuh gairah dan kejenakaan.
la berdiri di bawah sebatang pohon, pungggungnya hanya terpisah seperempat meter saja dari batang pohon dan ia berdiri tegak, dengan mata dan mulut tersenyum ke arah wanita yang berdiri dalam jarak sekitar limapuluh kaki. Dan di atas ubun-ubun kepalanya, di depan sanggulnya, terletak sebutir buah apel merah.
Mei Li! kaulepas saja sanggulmu yang tinggi itu agar jangan sampai ada yang terbabat Hui-kiam (pedang terbang)!"
Kata wanita yang berada di depannya dalam jarak limapuluh kaki itu. Wanita itu berusia kurang lebih tigapuluh sembilan tahun walaupun nampak jauh lebih muda, pakaiannya sutera serba hitam, wajahnya juga cantik dan mirip sekali dengan wajah gadis itu, tubuhnya masih padat ramping dengan pinggang kecil dan pinggul besar.
Wanita cantik ini nampak gagah perkasa dan di balik kecantikannya dan kelembutannya sebagai seorang wanita tersembunyi sifat gagah yang mudah dilihat dari sinar matanya yang tajam mencorong. Ia memang bukan wanita sambarangan. Ia adalah seorang pendekar wanita yang pernah menggegerkan dunia persilatan karena sepak terjangnya yang menggiriskan lawan mengagumkan kawan.
Namanya Can Kim Hong dan ia ibu kandung gadis jelita itu yang bernama Yang Mei Li. Can Kim Hong ini isteri Yang Cin Han, putera bangsawan tinggi yang pernah menjadi perdana menteri, yaitu mendiang Yang Kok Tiong, Seperti isterinya, Yang Cin Han juga seorang pendekar yang tangguh karena dia adalah murid dari Sin-tung Kai-ong (Raja Pengemis Tongkat Sakti), seorang datuk dunia persilatan yang terkenal. Namun, isterinya, Can Kim Hong, lebih hebat lagi karena isterinya ini murid Hek-liong (Naga Hitam) Kwan Bhok Cu seorang pendekar sakti yang aneh, yang telah merangkai ilmu pedang yang amat hebat, yaitu ilmu pedang Hek-liong Hui-kiam (Pedang Terbang Naga Hitam).
Dapat dibayangkan betapa bahagianya Yang Mei Li, gadis berusia delapanbelas tahun yang suka belajar ilmu silat itu karena ia langsung dibimbing oleh ayah ibu nya yang keduanya memiliki ilmu kepardaian silat yang tinggi. Dan pada sore hari itu, mereka melakukan latihan ilmu silat dan ibunya memberi petunjuk dan contoh cara menggunakan ilmu hui"kiam (pedang terbang).
Mendengar ucapan ibunya, Mei Li lalu melepas sanggulnya membiarkan rambutnya yang hitam lebat itu terurai lepas, panjang sampai ke pinggulnya. Kini buah apel itu terletak di atas rambut yang padat menutup ubun-ubun kepalanya.
"Jangan bergoyang!"
Terdengar nyonya cantik itu berseru dan ia menggerakkan tangan kanannya. Sebatang pedang kecil yang berada di tangannya meluncur bagaikan anak panah cepatnya, berubah bentuknya menjadi sinar kilat menyambar ke atas kepala Mei Li.
"Singgg.... cappp!!"
Pedang kecil itu meluncur dan tepat sekali membabat putus buah itu pada tengah-tengah dan pedangnya menancap di batang pohon. Apel terpotong menjadi dua, bagian atasnya terlempar jatuh dan bagian bawahnya masih berada di atas kepala Mei Li!
Mei Li menggerakkan kepala sehingga potongan apel itu terlempar jatuh pula dari atas kepalanya dan iapun bertepuk tangan memuji.
"Hebat, ibu memang hebat!"
Serunya gembira.
Can Kim Hong tersenyum dan kedua pipinya kemerahan.
"Aih, anak nakal, engkau hendak menggoda ibumu? Apa sih hebatnya memotong buah apel itu dengan hui-kiam (pedang terbang)? Aku yakin engkaupun akan mampu melakukannya. Aku tadi hanya memberi contoh bagaimana untuk bersikap agar tanganmu mantap dan tidak ragu sedikitpun."
"Aih, ibu! Mana aku berani menggoda ibu? biarpun mungkin saja aku dapat melakukan seperti yang ibu lakukan tadi, akan tetapi dipaksa bagaimanapun juga, aku tidak akan berani menyambit apel dengan hui-kiam kalau apel itu di taruh di atas kepala ibu. Hih, meleset sedikit saja ke bawah.....
"
Dara itu memejamkan kedua matanya dan menggerak gerakkan kedua pundaknya seperti orang yang merasa kengerian.
"Hemm, karena itulah maka aku sengaja memberi contoh padamu tadi, Mei Li. Ilmu mempergunakan hui-kiam bukan hanya tergantung kepada kemahiran tangan saja, melainkan terutama sekali keteguhan hati. Kalau hatimu seteguh baja, bidikanmu takkan meleset serambutpun dan jari-jari tanganmu akan mantap dan tidak tergetar sedikitpun juga."
Gadis manis itu menjulurkan lidah, ujung lidah yang merah itu mengintai dari sepasang bibirnya dan iapun menjawab,
"Aku tahu, ibu memiliki ketabahan hati seteguh baja! Ayah juga sering menceritakan kepadaku dan memuji-muji ibu. Mungkin aku yang telah berlatih dengan tekun memiliki kemahiran itu, akan tetapi keteguhan hati tak dapat dilatih, ibu. Betapapun keras hati ku, bagaimana mungkin aku berani membidik apel di atas kepala ibu? Sekarang tolong ibu lemparkan sebuah apel ke atas, aku akan mencoba denqan jurus Siang-liong-jio-cu (Sepasang Naga Berebut Mestika) dengan sepasang pedangku."
Can Kim Hong tersenyum, lalu mengambil sebuah apel dari dalam keranjang yang memang dipersiapkan untuk latihan, kemudian ia melempar buah itu ke atas.
Mei Li dengan gerakan cepat sekali sudah mencabut keluar sepasang pedang yang bentuknya indah dan merupakan sepasang pedang pendek yang berkilauan saking tajamnya, dan pedang-pedang itu diberi tali sutera merah yang cukup panjang dan digulung dan dibelitkan di ujung gagang pedang. Sekali gadis itu mengeluarkan bentakan halus dan menggerakkan sepasang pedangnya, maka nampak dua sinar menyambar ke atas menyerang apel tadi dan meluncur dengan menyilang membabat buah apel.
Buah apel itu terpotong menjadi empat oleh sepasang pedang, dan potongannya berjatuhan di atas tanah sedangkan sepasang pedang itu meluncur kembali ke arah kedua tangan Mei Li ketika ia menarik tali sutera itu. Dan cepat sekali, begitu sepasang pedang telah berada di kedua tangannya, sukar diikuti pandang mata saking cepatnya sepasang pedang itu telah kembali ke dalam sarungnya, hampir berbareng saatnya dengan jatuhnya empat potong apel itu.
"Cukup bagus!"
Puji ibunya, 'Sekarang coba perl ihatkan siang-hui-kiam sut (Ilmu Sepasang Pedang Terbang) yang telah digabung dengan Sian-li Ki-am-sut (Ilmu Pedang Dewi). Berlatihlah yang sungguh-sungguh, karena aku akan menyerangmu dengan apel-apel ini, dan aku akan menyerang dengan sungguh-sungguh!"
Mei Li segera mencabut sepasang pedangnya dan kini ia bersilat dengan sepasang pedang. Gerakannya indah seperti seorang dewi menari-nari dan itulah Sian-li Kiam-sut yang ia pelajari dari ayahnya, akan tetapi kadang-kadang pedangnya menyambar lepas dari tangan untuk cepat berputar dan terbang kembali ke tangannya. itulah Siang-hui Kiam-sut.
Dengan bantuan ayah dan ibunya, Mei Li berhasil menggabungkan kedua ilmu pedang yang ia pelajari dari ayah ibunya.
Can Kim Hong mengeluarkan bentakan-bentakan nyaring dan ibu ini menyerang puterinva dengan lemparan apel-apel dari dalam keranjang.
Sambitan Can Kim Hong bukan sambitan biasa, melainkan sambitan seorang ahli silat tingkat tinggi yang memiliki tenaga sinkang kuat, maka tentu saja buah-buah apel itu menyambar-nyambar seperti peluru meriam!
Namun, sepasang pedang yang digerakkan dengan indahnya itu kini bergerak cepat sehingga lenyaplah bentuk sepasang pedang itu, berubah menjadi dua sinar yang bergulung-gulung membentuk perisai sinar dan semua buah apel yang menyambar tentu runtuh terbelah oleh sinar pedang yang amat tajam! Dalam waktu beberapa menit saja, puluhan buah apel itu habis terpotong-potong dan berserakan di atas tanah.
Can Kim Hong mengeluarkan suara melengking dan ibu inipun kini menerjang maju dengan sepasang pedangnya sendiri, menyerang Mei Li dengan gerakan cepat. Dan terjadilah latihan pertandingan yang amat seru dan kalau ada orang lain kebetulan menjadi penonton, tentu dia akan merasa tegang dan mengira bahwa kedua orang wanita itu benar"benar sedang berkelahi mati-matian! Me mang ibu dan anak itu berlatih dengan sungguh-sungguh, mengerahkan tenaga dan kecepatan. Hal ini berani mereka lakukan karena keduanya sudah menguasai benar ilmu sepasang pedang terbang itu.
"Awas pedang!"
Tiba-tiba Mei Li berseru dan pedangnya yang kiri meluncur cepat dan ke arah leher ibunya, bagaikan anak panah terlepas dari. busurnya. Can Kim Hong berusaha keras. untuk mengalahkan puterinya dalam latihan ini, maka iapun menggunakan sepasang pedangnya untuk menggunting atau menjepit pedang yang terbang menyerang nya itu dengan kedua pedangnya yang bergerak cepat..Akan tetapi, begitu pedang kiri itu terjepit di antara sepasang pedang ibunya, Mei Li sudah membentak lagi dan pedang kanannya kini meluncur ke arah kaki ibunya.
Kisah Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Sepasang Naga Penakluk Iblis Karya Kho Ping Hoo Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo