Ceritasilat Novel Online

Jaka Lola 11


Jaka Lola Karya Kho Ping Hoo Bagian 11



Demikianlah, setelah bertapa menyiksa diri selama dua puluh tahun, pada suatu malam para Hwesio di Siauw-Lim-Pai kehilangan Hwesio tua yang dianggap hampir berhasil dalam tapanya itu. Tak seorang pun di antara para tokoh Siauw-Lim-Si itu menduga bahwa kepergian Bhok Hwesio kali ini adalah untuk mencari musuh-musuhnya yang dianggapnya membuat dia menderita selama dua puluh tahun untuk membalas dendam! Dan secara kebetulan sekali dia melihat Maharsi dan Bo Wi Sianjin yang sudah dia kenal namanya. Girang hatinya mendengar bahwa mereka berdua itu pun mempunyai tujuan yang sama, maka dia lalu muncul sambil menangkap dan melemparkan tubuh gadis yang dia ketahui sejak tadi mengintai. Sengaja dia menggunakan tenaga sakti dalam lemparan itu untuk "Menguji"

   Kelihaian dua orang tokoh Utara dan Barat yang akan menjadi teman seperjuangan menghadapi musuh-musuh besarnya yang sakti, yaitu Pendekar Buta, Raja Pedang dan teman-teman mereka.

   Maharsi dan Bo Wi Sianjin yang selama dua puluh tahun bersembunyi di tempat pertapaan masing-masing dan sudah lama tidak turun gunung, tidak mengenal Hwesio tua renta yang tinggi besar dan bermuka pucat seperti mayat itu. Sekilas pandang saja ketika mereka tadi memandang wajah pucat tak berdarah itu, mereka sebagai orang-orang sakti maklum bahwa Hwesio tua itu benar-benar telah menguasai ilmu mujijat yang disebut I-kiong-hoan-hiat (Memindahkan Jalan Darah)! Hanya orang yang Sinkang atau hawa sakti dalam tubuhnya sudah dapat diatur secara sempurnalah yang akan dapat menguasai ilmu "Hoan-hiat"

   Ini yang berarti bahwa Hwesio itu sudah mencapai titik yang sukar diukur tingginya.

   Sekarang melihat tubuh seorang gadis muda melayang ke arah mereka, tahulah kedua orang itu bahwa Hwesio tua ini hendak menguji kesaktian. Mereka tidak mengenal Lee Si dan biarpun jelas bahwa gadis itu mengintai, namun mereka tidak tahu apakah gadis ini musuh atau bukan. Namun karena gadis itu sudah dilontarkan ke arah mereka, Maharsi mengeluarkan suara melengking tinggi, sambil mendorongkan kedua lengannya ke depan, ke arah tubuh Lee Si sambil mengerahkan Sinkang dengan tenaga lembut. Demikianpun Bo Wi Sianjin mengeluarkan suara "Kok-kok"

   Sambil mendorongkan lengannya, juga dengan tenaga lembut karena dia pun seperti Maharsi, tidak mau melukai atau mencelakakan gadis yang tak dikenalnya.

   Untung bagi Lee Si bahwa ia berlaku hati-hati dan cerdik, tadi tidak menggunakan Ginkang untuk melarikan diri, karena ternyata Bhok Hwesio hanya sementara saja melepaskannya. Begitu kedua orang Kakek itu menyambut, Bhok Hwesio sudah menggerakkan lengan lagi ke arah tubuh yang melayang itu. Lee Si merasa betapa tenaga yang hebat sekali dan panas datang menyambar dan menyangga punggungnya dari belakang. Pada saat itu, dari depan datang menyambar dua tenaga gabungan dari Kakek jangkung dan Kakek pendek. Gabungan tenaga ini bertemu dengan tenaga Bhok Hwesio sehingga tubuh Lee Si yang tergencet di tengah-tengah di antara dua tenaga sakti yang saling bertentangan berhenti di tengah udara seakan-akan tertahan oleh tenaga mujijat dan tidak dapat jatuh ke bawah. Memang hal ini sebetulnya amat tidak masuk di akal tampaknya, karena menyalahi hukum alam.

   Namun, harus diakui bahwa di dalam tubuh manusia terdapat banyak sekali rahasia-rahasia yang belum dapat dimengerti oleh manusia sendiri, dan sudah banyak yang mengakui bahwa terdapat tenaga-tenaga mujijat yang masih merupakan rahasia dalam diri manusia. Di antaranya adalah Sinkang (hawa sakti) yang selalu terdapat dalam diri setiap orang manusia. Hanya sebagian besar orang belum sadar akan hal ini dan karena tidak mengenalnya maka tidak kuasa pula mempergunakannya. Sebagai puteri suami-isteri Pendekar yang berilmu tinggi, sungguhpun tingkatnya belum setinggi itu, namun Lee Si sudah maklum apa yang terjadi dengan dirinya. Ia dijadikan alat untuk mengukur tenaga Sinkang, andaikata diambil perumpamaan, ia merupakan sebatang tongkat yang dijadikan alat untuk main dorong-dorongan mengadu tenaga otot.

   Hanya dalam hal ini, bukan tenaga otot yang dipertandingkan, melainkan tenaga Sinkang yang merupakan dorongan-dorongan dari jarak jauh! Lee Si tidak begitu bodoh untuk mencoba-coba mengerahkan Sinkangnya sendiri dalam arena pertandingan ini, karena hal ini akan membahayakan nyawanya. Kecuali kalau ia memiliki tenaga yang mengatasi tenaga tiga orang itu, atau setidaknya mengimbangi. la sengaja mengendurkan seluruh tenaga dan sedikit pun tidak melawan, namun dengan penuh perhatian ia merasakan getaran-getaran hawa sakti yang saling mendorong melalui tubuhnya itu. Segera ia dapat menduga bahwa di antara tiga orang Kakek itu, si Hwesio tinggi besar inilah yang paling hebat tenaganya, juga tenaga Sinkang Hwesio ini yang mencengkeramnya.

   Akan tetapi dibandingkan dengan tenaga si jangkung dan si pendek digabung menjadi satu, ternyata Hwesio tua itu masih kalah kuat sedikit. Inilah yang perlu diselidiki oleh Lee Si dalam waktu singkat. Tentu saja ia tidak sudi menjadi "Alat"

   Mengukur Sinkang seperti itu, karena kalau dibiarkan saja, akibatnya amatlah buruk. Kalau hanya berakibat tenaga Sinkangnya sendiri melemah saja masih belum apa-apa, akan tetapi kalau ada kurang hati-hati sedikit saja dari ketiga orang itu, ia bisa menderita luka parah di sebelah dalam tubuhnya. Lee Si sudah tahu apa yang harus ia lakukan. Setelah mengukur tenaga yang bertanding, tiba-tiba ia mengeluarkan jeritan keras sekali sambil mengerahkan Sinkang di tubuhnya, membantu atau lebih tepat "Menunggangi"

   Tenaga gabungan Si Jangkung dan Si Pendek "terus ia mendorong hawa Hwesio tinggi besar yang mencengkeramnya.

   Benar saja perhitungannya, Bhok Hwesio yang sudah merasa lelah dan tahu bahwa kalau dilanjutkan adu Sinkang ini dengan dikeroyok dua, dia akan kalah, tiba-tiba menjadi terkejut karena pihak lawan menjadi makin kuat. Terpaksa dia mendengus dan menurunkan kedua lengannya. Begitu terlepas dari gencetan dari kedua pihak, tubuh Lee Si terlempar ke bawah. Namun gadis cerdik ini sudah menggunakan Ginkangnya dan melompat dengan selamat ke atas tanah. Sedikit pun ia tidak terpengaruh atau menjadi gugup biarpun baru saja ia terbebas dari ancaman bahaya maut. la malah segera menggunakan kesempatan untuk mengadu mereka demi keselamatannya sendiri, karena kalau tiga orang itu bersatu memusuhinya, terang ia akan celaka.

   "Hemmm, Hwesio sudah tua renta, mestinya berlaku alim dan budiman terhadap orang muda, kiranya sebaliknya, datang-datang kau menghina. Terang bahwa kau sengaja hendak menyombongkan kepandaianmu kepada aku orang muda dan selain itu kau pun memandang rendah kepada dua orang Lo-Cianpwe (Orang Tua Gagah) ini. Hemmm, Hwesio tua renta, betapapun kau menyombongkan kepandaian, kenyataannya dalam adu tenaga tadi kau telah kalah!"

   Bhok Hwesio tercengang, demikian pula Maharsi dan Bo Wi Sianjin. Ucapan terakhir dari gadis itu membuktikan bahwa Lee Si bukan orang sembarangan dan malah mengerti akan adu Sinkang tadi serta dapat mengetahui pula siapa kalah siapa menang! Perhitungan Lee Si memang tepat. Ucapannya membuat kedua telinga Bhok Hwesio menjadi merah sehingga kelihatannya aneh sekali, muka demikian pucat tapi kedua telinga merah seperti dicat!

   "Siapa kalah? Biar Maharsi dari Barat dan Bo Wi Sianjin dari Utara terkenal lihai, dikeroyok dua sekalipun Pinceng tidak akan kalah! Bocah liar, kau lancang mulut!"

   Bhok Hwesio menggoyang-goyang lengan bajunya. Akan tetapi Lee Si yang cerdik tidak bergerak dari tempatnya.

   "Kalau menyerang dan merobohkan aku orang yang patut jadi Cucu buyutmu, apa sih gagahnya? Tapi mengalahkan kedua orang Lo-Cianpwe yang sakti ini? Huh, omong sih gampang! Kalau kau menangkan mereka tak usah kau bunuh aku akan menggorok leherku sendiri di depanmu!"

   Di "Bakar"

   Seperti itu, Bhok Hwesio tersinggung keangkuhannya. la tersenyum lebar menghampiri Maharsi dan Bo Wi Sianjin, mementang kedua lengannya dan berkata,

   "Hayo kalian layani aku beberapa jurus, baru tahu bahwa Pinceng (Aku) lebih unggul daripada kalian!"

   Setelah berkata demikian, Hwesio tua tinggi besar ini sudah menggerakkan kedua lengan bajunya yang menup angin pukulan seperti taufan.

   Maharsi dan Bo Wi Sianjin terkejut, akan tetapi sebagai orang-orang sakti yang berkedudukan tinggi, tentu saja mereka tidak sudi dihina oleh Hwesio yang tak mereka kenal ini. Cepat mereka bersiap, Maharsi menangkis, dengan gerakan lengan dari atas ke bawah sedangkan Bo Wi Sianjin sudah berjongkok dan dari mulutnya keluar suara kok-kok-kok seperti katak buduk. Di lain saat, tiga orang sakti ini suah bertempur dengan gerakan lambat namun setiap gerakan mengandung Sinkang dan Lweekang yang dapat membunuh lawan dari jarak jauh! Inilah yang diharapkan oleh Lee Si. Jalan satu-satunya bagi keselamatan dirinya adalah mengadu tiga orang sakti itu agar ia dapat menggunakan kesempatan itu untuk melarikan diri. Maka begitu tiga brang itu saling gempur dengan gerakan lambat namun mengandung tenaga dahsyat, Lee Si segera menyelinap ke belakang batang pohon dan siap hendak melarikan diri.

   "Hendak lari ke rnana kau, bocah liar?"

   Suara ini adalah suara Bhok Hwesio dan tiba-tiba hawa pukulan yang dahsyat menyambar ke arah Lee Si Gadis ini terkejut bukan main, cepat mengelak sambil melompat dan...

   "Brakkk!"

   Pohon di sebelahnya tadi patah dan tumbang! Lee Si menjadi pucat. Bukan main hebatnya Hwesio tua itu yang dalam keadaan dikeroyok dua oleh Maharsi dan Bo Wi Sianjin, masih tetap dapat melihatnya dan mengetahui niatnya melarikan diri, bahkan dari jarak jauh dapat mengirim serangan yang demikian dahsyatnya.

   "Huh, kau kira dapat lari dari Bhok Hwesio?"

   Hwesio tinggi besar itu dengan sebelah tangannya menahan serangan Maharsi dan Bo Wi Sianjin, sedangkan tangan kirinya kembali melancarkan pukulan-pukulan jarak jauh yang membuat Lee Si melompat ke sana kemari dengan cepat.

   "Ah, kiranya Bhok-Taisuhu (Guru Besar) dari Siauw-Lim-Pai? Maaf... maaf..."

   Bo Wi Sianjin melompat mundur. Juga Maharsi yang sudah mendengar nama ini menghentikan serangannya. Lee Si kaget dan gelisah. Celaka, pikirnya. Tiga orang itu sudah saling mengenal dan agaknya tidak akan bermusuhan lagi, dan hal ini berarti ia akan celaka! Menggunakan kesempatan terakhir selagi Bhok Hwesio terpaksa membalas penghormatan dua orang itu, ia cepat melompat dan mengerahkan Ginkangnya.

   Akan tetapi tiba-tiba ada sambaran angin dari belakang. Lee Si secepat kilat membanting diri ke kiri sambil mencabut Pedang dengan tangan kanan dan merogoh Gin-Ciam (Jarum Perak) dengan tangan kiri. Sambil membalik dengan gerakan Lee-Hi Ta-Teng (Ikan Lele Meloncat) ia menggerakkan tangan kirinya, menyerang dengan jarum perak ke arah bayangan Bhok Hwesio yang sudah melangkah lebar mengejarnya. Dalam keadaan terpojok, Lee Si lenyap rasa takutnya dan siap untuk melawan dengan gagah berani sebagaimana sikap seorang Pendekar sejati. Penyerangan Lee Si dengan jarum-jarum perak itu bukanlah hal yang boleh dipandang ringan. Ilmunya melepas jarum perak adalah ilmu senjata rahasia yang ia pelajari dari Ibunya dan boleh dibilang ia telah mahir dengan Ilmu Pek-Po Coan-Yang (Timpuk Tepat Sejauh Seratus Kaki).

   Serangannya tadi sebetulnya lebih bersifat menjaga diri, sambil membalik melepaskan segenggam jarum sebanyak belasan batang untuk mencegah desakan lawan. Biarpun jarum-jarum itu hanya disambitkan dengan sekali gerakan, namun benda-benda halus itu meluncur dalam keadaan terpisah dan langsung menerjang ke arah bagian-bagian berbahaya di perut, dada, leher, dan mata. Serangan ini masih disusul oleh terjangan Lee Si sendiri yang telah memutar pedangnya melakukan serangan. Ternyata gadis muda yang cerdik ini, yang tahu bahwa tak mungkin ia akan dapat membebaskan diri kalau hanya lari dari Hwesio kosen itu, telah menggunakan taktik menyerang lebih dulu untuk mencari kedudukan baik sehingga dapat mengurangi besarnya bahaya menghadapi lawan yang lebih tangguh.

   "Eh, kau anak Hoa-San-Pai?"

   Bhok Hwesio berseru ketika lengan bajunya dikibaskan menyampok runtuh semua jarum perak dan cepat ia menggerakkan tubuh ke belakang karena melihat bahwa sinar Pedang gadis muda itu tak boleh dipandang ringan.

   "Kalau sudah tahu, masih berani menghinaku?"

   Lee Si menjawab dan kembali tangannya yang sudah menggenggam jarum perak bergerak menyambitkan jarum. Kini karena berhadapan dan dapat mencurahkan perhatian, Lee Si memperlihatkan kepandaiannya, yaitu ia telah melepas jarum-jarum peraknya dengan gerakan Boan-Thian Ho-I (Hujan Bunga di Langit), gerakan yang tidak saja amat indah, akan tetapi juga hasilnya luar biasa sekali karena jarum-jarum itu tersebar mekar seperti payung, atau seperti hujan mengurung tubuh Bhok Hwesio. Hebatnya, jarum-jarum itu kini mengarah jalan-jalan darah yang amat penting.

   "Ho... hoh... hoh, siapa takut Hoa-San-Pai?"

   Bhok Hwesio berseru, tubuhnya tiba-tiba rebah bergulingan dan di lain saat dia telah melompat berdiri sambil menggerakkan kedua tangannya. Benda-benda hijau meluncur ke depan, menangkis jarum-jarum itu sehingga di lain saat rumput dan daun hijau yang tertancap jarum perak runtuh ke atas tanah.

   Kini Lee Si yang kaget setengah mati. Kiranya Hwesio itu luar biasa sekali kepandaiannya, sudah amat tinggi, malah lebih tinggi daripada Ibunya dalam hal menggunakan senjata rahasia. Baru saja Hwesio tua itu mendemonstrasikan kelihaiannya menggunakan senjata rahasia dengan Ilmu Cek-yap-hui-hwa, yaitu ilmu melepas senjata rahasia menggunakan bunga dan daun. Tadi dengan hanya rumput-rumput dan daun yang direnggutnya sambil bergulingan, Bhok Hwesio berhasil memukul runtuh semua jarum yang dilepas oleh Lee Si. Namun ia tidak menjadi gentar atau putus asa, cepat pedangnya sudah bergerak dengan jurus-jurus yang ia gabungkan dari kedua ilmu Pedang warisan Ayah Bundanya. Bhok Hwesio tercengang ketika dia mengelak dan mengebutkan ujung lengan bajunya.

   la mengenal baik Ilmu Pedang Hoa-San-Pai, akan tetapi yang diperlihatkan gadis ini hanya mirip-mirip Ilmu Pedang Hoa-San-Pai, bukan Ilmu Pedang Hoa-San-Pai asli, namun malah lebih hebat! Yang amat mengherankan hatinya adalah hawa pukulan yang terkandung oleh ilmu Pedang ini, karena kadang-kadang mengandung hawa Im yang menyalurkan tenaga lemas, akan tetapi di lain detik berubah menjadi hawa Yang dengan tenaga kasar. Mirip dengan ilmu kepandaian yang dimiliki musuh besarnya, yaitu Pendekar Buta dan terutama Raja Pedang yang menjadi pewaris dari Ilmu Im-Yang Sin-Hoat. Selama dua puluh tahun ini, di dalam kamar kecil yang menjadi tempat dia menderita hukuman "Penebus dosa"

   Dan sekaligus menjadi tempat dia bertapa dan menggembleng diri, memang dia khusus mencari ilmu untuk menghadapi Im-Yang Sin-Hoat.

   Maka sekarang menghadapi ilmu Pedang Lee Si yang memang mengandung penggabungan kedua hawa yang bertentangan ini, dia tidak menjadi bingung. Sepasang lengan bajunya bergerak seperti sepasang ular hidup yang mengandung dua macam tenaga pula sehingga Lee Si sebentar saja terdesak hebat! Memang kalau bicara tentang tingkat ilmu, tingkat Lee Si masih jauh di bawah tingkat Kakek ini. Bhok Hwesio usianya sudah delapan puluh tahun lebih dan selain memiliki ilmu yang amat iinggi dari Siauw-Lim-Pai, juga dia mempunyai pengalaman bertempur puluhan tahun lamanya. Hanya dua hal yang membuat Lee Si dapat bertahan sampai tiga puluh jurus lebih. Pertama, karena gadis ini memang mempunyai ilmu kepandaian asli yang bersih dan sakti, kedua karena Bhok Hwesio sendiri merasa rendah untuk merobohkan gadis yang patut menjadi Cucu buyutnya seperti dikatakan Lee Si tadi.

   Kalau dia mau mengeluarkan jurus-jurus simpanan yang mematikan, agaknya sudah sejak tadi Lee Si roboh. Namun, kini Lee Si benar-benar terdesak hebat, pedangnya tidak leluasa lagi gerakannya karena sudah terbungkus oleh gulungan sinar kedua ujung lengan baju Bhok Hwesio. Gulungan sinar itu seperti lingkaran besar yang amat kuat, yang meringkus sinar pedangnya, makin lama lingkaran itu menjadi makin kecil dan sempit. Ruang gerak Pedang Lee Si juga makin sempit. Gadis itu mulailah mengeluarkan peluh dingin. Maklum dia bahwa Hwesio ini benar-benar amat kosen dan sekarang sengaja hendak mengalahkannya dengan tekanan yang makin lama makin berat untuk memamerkan kepandaiannya ia tahu bahwa akhirnya ia takkan dapat menggerakkan pedangnya lagi kecuali untuk membacok tubuhnya sendiri!

   "Hayo kau berlutut dan minta ampun, mengaku murid siapa dan apa hubunganmu dengan Ketua Thai-San-Pai!"

   Berkali-kali Bhok Hwesio membentak karena melihat betapa ilmu Pedang gadis ini mengandung gabungan hawa Im dan Yang, dia menduga tentu ada hubungan antara gadis ini dengan musuh besarnya, Si Raja Pedang. Lee Si maklum bahwa Hwesio ini tentu bukan sahabat baik Kakeknya Si Raja Pedang, akan tetapi ia pun mengerti bahwa akhirnya ia akan mati, maka lebih baik baginya mati sebagai Cucu Raja Pedang yang berani dan tak takut mati daripada harus mengingkari Kakeknya yang merupakan seorang Pendekar sakti yang bernama besar.

   "Hwesio jahat! Tak sudi aku menyerah. Kalau mau tahu, Bu-Tek Kiam-Ong Tan Beng San Ketua Thai-San-Pai adalah Kakekku!"

   Bhok Hwesio tidak menjadi kaget karena sudah menduga akan hal ini. Akan tetapi dia girang sekali karena sedikitnya dia dapat membalas penasaran terhadap Raja Pedang kepada Cucunya.

   "Bhok-Taisuhu, kita tawan saja Cucunya!"

   Tiba-tiba Bo Wi Sianjin berteriak.

   "Betul kita jadikan Cucunya sebagai jaminan!"

   Maharsi menyambung. Akan tetapi pada saat itu berkelebat tiga bayangan orang dan terdengar seorang di antara mereka berseru,

   "Bhok-Suheng, tahan...!"

   Bhok Hwesio mengeluarkan seruan rendah seperti kerbau mendengus, akan tetapi dia mundur dan Lee Si merasa terhindar dari tekanan hebat. Wajahnya pucat, mukanya yang cantik penuh keringat, akan tetapi sepasang matanya berapi-api penuh ketabahan. Menggunakan kesempatan ini, Lee Si melompat mundur dan memandang kepada tiga orang pendatang baru yang menyelamatkannya itu dengan teliti.

   (Lanjut ke Jilid 11)

   Jaka Lola (Seri ke 04 - Serial Raja Pedang)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 11

   Orang pertama yang tadi berseru kepada Bhok Hwesio adalah seorang Pendeta pula, seorang Hwesio tua, sedikitnya tujuh puluh tahun usianya, bermuka hitam dan cacad bekas korban penyakit cacar. Biarpun mukanya bopeng dan buruk, namun sepasang mata Hwesio ini membayangkan kehalusan budi dan kesabaran seorang Pendeta yang sudah masak jiwanya. Hwesio ini membawa sebatang tongkat kuningan dan kini dia berdiri tegak menghadapi Bhok Hwesio. Keduanya saling pandang seakan-akan mengukur kekuatan masing-masing dengan pandang mata. Hwesio ini memang bukan orang sembarangan, karena dia adalah Thian Ti Losu, seorang tokoh tingkat tiga dari Siauw-Lim-Pai, masih terhitung adik seperguruan Bhok Hwesio. Adapun dua orang yang lain adalah Tosu-Tosu dari Kun-Lun-Pai dan Kong-Thong-Pai, yaitu Sung Bi Tosu tokoh tingkat tiga dari Kun-Lun-Pai dan Leng Ek Cu Tosu tingkat dua dari Kong-Thong-Pai.

   Thian Ti Losu ini adalah seorang utusan Siauw-Lim-Pai yang sengaja keluar dari pintu kuil untuk mencari Bhok Hwesio yang menghilang dari dalam kamar hukumannya. Di tengah jalan dia berjumpa dengan Leng Ek Cu, sahabat baiknya Kemudian setelah mendengar bahwa Suhengnya itu berada dalam perjalanan melalui Pegunungan Bayangkara, dia mengejar dan ditemani oleh Leng Ek Cu yang maklum betapa lihai dan berbahayanya Suheng temannya itu. Belum lama mereka memasuki daerah pegunungan ini, mereka bertemu dengan Sung Bi Tosu yang juga mereka kenal sebagai tokoh Kun-lun. Tosu ini sedang menuju ke Kun-lun-san di sebelah Barat, maka mereka lalu mengadakan perjalanan bersama? Kebetulan sekali mereka datang pada saat Lee Si berada di ambang kematian di tangan Bhok Hwesio, maka cepat-cepat Thian Ti Losu mencegahnya.

   "Thian Ti Sute, mau apa kau datang ke sini?"

   Bhok Hwesio menegur sutenya dengan pandang mata penuh selidik dan curiga.

   "Bhok-Suheng, Siauwte diutus oleh Ketua kita untuk mencari Suheng dan mengajak Suheng kembali ke Siauw-Lim-Si,"

   Jawab Thian Ti Losu dengan suara tenang. Sepasang mata Bhok Hwesio yang biasanya meram itu kini terbuka sebentar, memandang dengan sinar kemarahan, tapi lalu terpejam lagi, hanya mengintai dari balik bulu mata.

   "Sute, pulanglah dan jangan membikin kacau pikiranku. Aku tidak ada urusan apa-apa lagi dengan kau atau dengan Siauw-Lim-Si."

   "Tapi, Suheng. Siauwte hanya utusan dan Ketua kita memanggilmu pulang."

   "Cukup! Thian Seng Suheng boleh jadi Ketua Siauw-Lim-Si, akan tetapi aku bukan orang Siauw-Lim-Pai lagi. Hukuman yang dijatuhkan kepadaku sudah cukup kujalani sampai penuh. Mau apa lagi? Pergilah!"

   "Kau tahu sendiri, Bhok-Suheng, apa artinya menjadi utusan ketua. Tugas harus dilaksanakan dengan taruhan nyawa. Dan kau pun cukup maklum, lebih maklum daripada Siauwte yang lebih muda dari padamu, apa artinya tidak mentaati perintah Ketua kita, berarti penghinaan. Marilah, Suheng, kau ikut denganku kembali menghadap Ketua kita dan percayalah, kalau kau minta dirl dengan baik-baik, Suheng kita yang menjadi Ketua itu tentu akan meluluskanmu."

   "Thian Ti! Kau tonjol-tonjolkan nama Thian Seng Suheng untuk menakut-nakuti aku? Huh, jangankan baru kau atau dia sendiri, biar Thian Ki Lo-Suheng sendiri bangkit dari lubang kuburnya, aku tidak akan takut dan tidak sudi kembali ke Siauw-Lim-Si. Nah, kau mau apa lagi?"

   "Ini pengkhianatan paling hebat! Suheng, kalau ada seorang anak murid Siauw-Lim-Pai murtad dan berkhianat, setiap orang anak murid yang setia harus menentangnya. Suheng, sekali lagi, kalau mau taat dan ikut dengan aku pulang atau tidak?"

   Bhok Hwesio hanya tertawa mengejek. la maklum bahwa sutenya ini memiliki kepandaian hebat, terkenal dengan ilmu tongkat dari Siauw-Lim-Pai tingkat tinggi, juga terkenal sebagai seorang ahli Lweekang yang tenaganya hampir sama dengan tingkat yang dimiliki mendiang Thian Ki Losu sendiri. Akan tetapi dia tidak takut dan merasa yakin bahwa dia akan dapat mengalahkan sutenya ini.

   "Bhok-Taisuhu, menghadapi adik seperguruan yang cerewet, mengapa masih terlalu banyak sabar?"

   Tiba-tiba Bo Wi Sianjin berseru dari samping kiri Bhok Hwesio.

   "Kalau mau bicara tentang ketaatan, seorang adik seperguruanlah yang seharusnya taat kepada Suhengnya!"

   "Ha... ha... ha, benar-benar lucu ini. Bo Wi Sianjin dari Mongol bukanlah anak kecil, bagaimana bisa bersikap begini tak tahu malu, mencampuri urusan dalam dua orang murid Siauw-Lim-Pai?"

   Sung Bi Tosu sudah melangkah maju menghadapi Bo Wi Sianjin dan memandang tajam. Bo Wi Sianjin si Kakek pendek gendut tertawa mengejek. Kenyataan bahwa Tosu itu mengenal namanya sedangkan dia sendiri tidak mengenal Tosu itu membuktikan bahwa dia cukup dikenal oleh para tokoh kang-ouw.

   "Eh, kau ini Tosu bau dari mana berani lancang mulut? Aku bicara dengan Bhok-Taisuhu, ada sangkut-paut apa denganmu?"

   "Pinto adalah Sung Bi Tosu dari Kun-Lun-Pai. Memang Pinto tidak ada urusan denganmu, akan tetapi kau juga tidak ada urusan sama sekali untuk mencampuri persoalan saudara seperguruan Siauw-Lim-Pai."

   "Eh, keparat. Apa yang kau lakukan, bagaimana bisa ikut campur? Tosu Kun-lun selamanya sombong, apa kau kira aku takut mendengar nama Kun-lun? Heh-heh-heh, Tosu cilik, berani kau menentangku?"

   "Menentang kelaliman adalah tugas"

   Setiap orang yang menjunjung kebenaran! Kalau kau mencari perkara, Pinto tidak akan mundur setapak pun!"

   Jawab tokoh Kun-Lun-Pai dengan suara gagah. Si Kakek pendek gendut dari Mongol mengeluarkan suara ketawa yang serak.

   "Bagus, kau sudah bosan hidup!"

   Setelah berkata demikian, dia melompat maju ke depan Sung Bi Tosu, lalu memasang kuda-kuda dengan tubuh jongkok sehingga tubuh yang sudah pendek itu tampak menjadi makin pendek lagi. Dari mulutnya terdengar suara "Kok-kok-kok!"

   Dan kedua kakinya berloncatan dengan gerakan berbareng seperti katak meloncat.

   "Hemmm. Pendeta liar dari Mongol, apakah kau mau membadut di sini...?"

   Belum habis Sung Bi Tosu bicara, tiba-tiba Kakek gendut pendek itu menggerakkan kedua tangan depan dan tubuh Sung Bi Tosu terjengkang ke belakang, roboh telentang dan bergulingan. Ternyata dia telah terkena pukulan ilmu Katak Sakti yang dahsyat. Namun, sebagai seorang tokoh Kun-Lun-Pai yang lihai, begitu tadi merasai datangnya pukulan jarak jauh yang luar biasa, dia telah mengerahkan Sinkangnya, sehingga biarpun dia telah terpukul dan "Roboh terjengkang, dia tidak tewas. Orang lain yang terkena hawa pukulan sehebat itu tentu akan tewas di saat itu juga, akan tetapi tokoh Kun-Lun-Pai ini hanya terluka dan masih kuat melompat bangun dengan muka pucat dan mata merah.

   "Iblis jahat!"

   Serunya dan tubuhnya sudah melayang maju, sinar pedangnya berkelebat cepat menyambar.

   Akan tetapi sekali lagi terdengar suara "Kok-kok-kok!"

   Dan sambil mengelak dari sambaran pedang, Kakek gendut pendek itu sudah mengirim dua kali pukulannya. Pukulan pertama membuat Pedang Sung Bi Tosu terpental, pukulan kedua membuat tubuhnya terlempar sampai lima meter lebih dan Tosu Kun-Lun-Pai itu roboh tak bangun lagi karena nyawanya sudah melayang meninggalkan tubuhnya! Pucat muka Leng Ek Cu, tokoh Kong-Thong-Pai saking marahnya menyaksikan pembunuhan atas diri teman baiknya ini. Diam-diam dia juga kagum dan ngeri menyaksikan kehebatan ilmu pukulan Bo Wi Sianjin yang demikian hebat sehingga seorang tokoh Kun-Lun-Pai yang sudah tinggi tingkatnya dapat terpukul binasa hanya oleh tiga pukulan jarak jauh.

   "Keji... keji sekali..."

   Katanya sambil melangkah maju.

   "Mati hidup manusia bukanlah hal aneh, seperti angin lalu. Akan tetapi mengandalkan kepandaian untuk merenggut nyawa orang lain hanya untuk urusan tak berarti, benar-benar keji sekali. Apalagi kalau yang melakukan itu seorang yang sudah menamakan dirinya tua dan pertapa pula. Bo Wi Sianjin, untuk kekejianmu itulah Pinto terpaksa bertindak!"

   Sambil berkata demikian, Leng Ek Cu sudah mencabuf pedangnya dan bersiap menghadapi lawannya yang tangguh. Akan tetapi tiba-tiba dia cepat miringkan tubuh dan menggeser kaki kiri ke belakang sambil mengibaskan pedangnya karena tahu-tahu dari sebelah kanan menyambar hawa pukulan. Kiranya Pendeta tinggi bersorban itulah yang menggerakkan lengannya yang panjang untuk mencengkeram pundaknya tanpa berkata sesuatu.

   "Heh, siapa kau? Pendeta asing, jangan mencampuri urusan orang lain!"

   Bentak tokoh Kong-Thong-Pai itu sambil melintangkan Pedang di depan dada. Penyerangnya adalah Maharsi. Pendeta India yang jangkung ini mengeluarkan suara tertawa seperti suara burung hantu, lalu berkata dengan kata-kata yang kaku dan suara asing.

   "Sudah berani mencabut Pedang tentu berani menghadapi siapa juga, termasuk aku. Maharsi orang bodoh dari Barat."

   Setelah berkata demikian, dari kerongkongannya terdengar suara melengking tinggi yang memekakkan telinga, kedua lengannya mendorong-dorong setelah tubuhnya miring-miring dalam kedudukah kuda-kuda yang ganjil. Akan tetapi dari kedua lengannya itu menyambar hawa pukulan yang amat dahsyat. Inilah ilmu Pukulan Pai-San-Jiu! Leng Eng Cu adalah tokoh tingkat dua dari Kong-Thong-Pai, ilmu pedangnya merupakan ilmu Pedang kebanggaan partainya, cepat dan bergulung-gulung panjang, juga dia memiliki Ginkang yang membuat dia dapat bergerak cepat sekali. Tingkat kepandaiannya lebih tinggi daripada tingkat Sung Bi Tosu.

   Melihat gerakan aneh dari Pendeta asing ini, Leng Ek Cu tidak berani memandang rendah dan trdak mau menyambut langsung. la mengandalkan Ginkangnya, dengan lincah dia mengelak dan tubuhnya meliuk ke samping, terus mengirim tusukan diiringi tenaga Lweekang yang membuat Pedang itu berdesing menuju ke arah sasarannya, yaitu perut si Pendeta India! Maharsi kembali mengeluarkan lengking tinggi dan tubuhnya tanpa berubah sedikit pun juga agaknya tidak mengelak dan bersedia menerima tusukan pedang. Namun tidaklah demikian kiranya Karena sebelum Pedang itu mencium kulit perutnya lewat baju, tiba-tiba perutnya melesak ke dalam dan tangannya yang berlengan panjang itu sudah menyambar ke depan mengarah leher dan kepala iawan. Hebat memang Pendeta ini, karena begitu dia menjulurkan lengannya dan mengempiskan perutnya,

   Selain Pedang lawan tidak dapat mengenai perutnya, juga lengannya itu lebih panjang jangkauannya sehingga kalau Leng Ek Cu melanjutkan tusukannya, tentu lehernya akan patah dicengkeram dan kepalanya akan bolong-bolong! Tentu saja Leng Ek Cu tidak sudi diperlakukan demikian. Andaikata tadi Sung Bi Tosu tidak berlaku sembrono dan tidak memandang rendah lawannya seperti halnya Leng Ek Cu sekarang, belum tentu dia dapat dirobohkan sedemikian mudahnya oleh Bo Wi Sianjin yang memiliki Ilmu Katak Sakti. Leng Ek Cu amat hati-hati, dapat menduga bahwa lawannya, Pendeta asing ini, memiliki kepandaian yang luar biasa dan aneh. Karena itu dia cepat menarik pedangnya yang dikelebatkan merupakan lingkaran membabat kedua lengan lawan. Gerakan ini dia lakukan dengan pengerahan tenaga Lweekang.

   "Bagus!" Maharsi berseru gembira. Memang demikianlah wataknya. Makin tinggi tingkat kepandaian lawan, makin gembiralah hatinya untuk melayaninya. Ilmu silatnya yang aneh, sebagian besar mengandalkan tenaga Sinkang mujijat yang bercampur dengan ilmu sihir, namun harus diakui bahwa tubuhnya yang jangkung itu dapat bergerak lamas dan lincah, sungguhpun kedua kakinya jarang sekali dipindahkan dengan cara diangkat, hanya digeser-geserkan dengan menggerakkan kedua tumit. Sepasang lengannya yang panjang itu bagaikan sepasang ular hidup, tapi setiap gerakan mengandung tenaga dahsyat dari ilmu pukulan sakti Pai-San-Jiu.

   Makin lama makin cepat kedua lengan bergerak, kini kedua tangan dikembangkan jari-jarinya, sepulun buah jari itu bergerak-gerak seperti ular-ular kecil dan terbentanglah jari-jemari yang menggeliat-geliat mengaburkan pandangan mata, sepuluh batang jari itu bergerak-gerak cepat menjadi ratusan dan dari jari-jari itu menyambar hawa pukulan Pai-San-Jiu! Inilah ilmu yang hebat! Leng Ek Cu, tokoh tingkat dua dari Kong-Thong-Pai yang memiliki kiam-hoat pilihan, berusaha mengurung dirinya dengan selimut sinar pedangnya, namun dia hanya dapat bertahan sampai dua puluh lima jurus saja. Pandang matanya kabur, sinar pedangnya makin membuyar dihantam hawa pukulan yang merayap masuk antara sinar pedangnya bagaikan titik-titik air hujan. Pertahanannya makin lemah, kepalanya pusing dan tubuhnya bermandi peluh.

   Maharsi makin kuat saja, kini hawa pukulan yang dapat menyelinap di antara sambaran sinar Pedang makin membesar tenaganya, mengenai tubuh Leng Ek Cu bagaikan jarum-jarum beracun menusuk-nusuk. Pakaian Tosu Kong-Thong-Pai itu sudah bolong-bolong, kulit tubuhnya yang terkena hawa pukulan mengakibatkan titik-titik hitam dan makin lama pukulan-pukulan yang sebetulnya hanya merupakan sentilan-sentilan jari tangan yang sepuluh buah banyaknya itu makin gencar datangnya. Leng Ek Cu seorang gagah sejati, sedikit pun tidak mengeluh walau rasa nyeri pada tubuhnya hampir tak tertahankan lagi. Akhirnya dia melakukan serangan balasan yang nekat, pedangnya membacok dengan disertai tenaga sepenuhnya, tubuhnya seakan-akan dia tubrukan dengan tubuh lawan agar bacokannya tidak dapat dihindarkan Maharsi. Maharsi melengking tinggi, kedua tangannya bergerak dan dari atas dia mendahului lawan dengan pukulan Pai-san jiu sekerasnya.

   "Hukkk!"

   Demikian bunyi yang keluar dari mulut Leng Ek Cu.

   Tubuhnya sejenak berdiri tegak, seakan-akan tubuh itu kemasukan aliran listrik dari sambaran halilintar kemudian tubuh yang tegak itu menggigil, makin lama makin keras dan robohlah Leng Ek Cu dengan Pedang di tangan. Tubuhnya tetap kaku tapi sudah tak bernafas lagi! Dapat dibayangkan betapa marah dan sedihnya hati Thian Ti Losu melihat kejadian ini. Dua orang Tosu itu, tokoh Kun-Lun-Pai dan tokoh Kong-Thong-Pai, keduanya adalah orang-orang gagah yang melakukan perjalanan bersamanya. Sekarang mereka berdua tewas dalam keadaan yang amat menyedihkan, semua gara-gara urusan dia dengan Suhengnya, Bhong Hwesio yang murtad. Kalau tidak ada urusan Bhok Hwesio, kiranya tidak akan terjadi peristiwa ini dan kedua orang temannya itu tidak akan mengorbankan nyawa.

   "Bhong-Suheng, benar-benar kau telah tersesat jauh sekali,"

   Serunya dengan suara keras penuh kemarahan.

   "Kau membiarkan teman-temanmu membunuh dua orang Tosu tidak berdosa dari Kun-lun dan Kong-thong. Bhok-Suheng, kau insyaflah, jauhkan diri dari pergaulan sesat dan mari pulang bersama Siauwte, menghadap twa-Suheng Thian Seng Losu dan menebus dosa menghadap perjalanan ke alam asal!"

   Namun Bhok Hwesio yang sudah menyimpan rasa sakit hati dan juga penasaran terhadap Siauw-Lim-Pai, mana mau mendengar nasihat ini? la membuka kedua matanya dan menegur,

   "Thian Ti Losu, kau dan aku bukan saudara bukan teman bukan segolongan lagi, mengapa banyak cerewet? Mengingat akan perkenalan kita yang sudah puluhan tahun, mau aku mengampunimu dan lekas kau pergi dari sini jangan menggangguku lagi."

   "Bhok Hwesio, kau benar-benar tidak mau insyaf? Terpaksa Pinceng mentaati perintah twa-Suheng dan menjalankan peraturan Siauw-Lim-Pai yang kami junjung tinggi. Berlututlah!"

   Thian Ti losu mengangkat tangan kanan tinggi di atas kepala sedangkan tangan kirinya dengan jari-jari terbuka ditaruh miring berdiri di depan dada. Inilah pasangan kuda-kuda yang sudah biasa dilakukan oleh seorang tokoh Siauw-Lim-Pai untuk memberi hukuman kepada murid murtad. Mesti menurut aturan, murid-murid yang sudah tidak diakui lagi oleh Siauw-Lim-Pai menerima hukuman paling berat, yaitu dimusnahkan kepandaiannya sehingga ia akan menjadi seorang Pendeta cacad di dalam tubuh yang tak dapat disembuhkan lagi, membuatnya menjadi seorang yang lemah dan tidak memiliki Sinkang lagi.

   "Hu-huh-huh, siapa sudi mendengar ocehanmu?"

   Bentak Bhok Hwesio marah.

   "Bhok-Taisuhu, kenapa begini sabar? Biarlah aku mewakilimu memberi hajaran kepada si sombong ini!"

   Bo Wi Sianjin si pendek gendut membentak marah, lalu melompat maju menghadapi Thian Ti Losu, tubuhnya berjongkok dan kedua lengannya didorongkan ke depan sambil mengeluarkan bunyi "Kok-kok"

   Dari kerongkongannya.

   "Omitohud, Pendeta sesat!"

   Thian Ti Losu mengeluarkan teguran dan dia pun mendorongkan kedua lengannya ke depan. Karena si pendek itu mendorong dan bawah ke atas, untuk mengimbangi tenaganya dari arah yang berlawanan, Hwesio Siauw-lim ini mendorong dari atas ke bawah. Tampaknya perlahan saja dua pasang telapak tangan itu bertemu, akan tetapi akibatnya hebat. Tubuh Thian Ti Losu mencelat ke atas sampai kedua kakinya meninggalkan tanah setinggi setengah meter, sedangkan tubuh Bo Wi Sianjin melesak ke dalam tanah sampai sepinggang dalamnya! Ini saja sudah membuktikan bahwa Ilmu Katak Sakti yang mengandung tenaga Sinkang luar biasa itu ternyata tidak dapat melawan kekuatan si Hwesio tokoh Siauw-Lim-Pai.

   "Bi Wi Sianjin, biar Pinceng bereskan sendiri bocah ini!"

   Kata Bhok Hwesio yang menggerakkan kedua kakinya melangkah maju menghampiri sutenya. Mereka berdiri berhadapan dan saling pandang seperti dua ekor jago tua sedang mengukur kekuatan dan keberanian hati sebelum mulai bertanding. Adapun Maharsi cepat menghampiri Bo Wi Sianjin dan sekali Kakek jangkung ini menyendal tangan temannya, tokoh Mongol itu sudah "Tercabut"

   Keluar dari tanah. Wajahnya menjadi merah karena dalam segebrakan tadi saja sudah dapat dibuktikan bahwa ilmu kepandaian tokoh Siauw-Lim-Pai itu masih terlampau kuat baginya.

   Diam-diam dia harus mengakui kehebatan Siauw-Lim-Pai yang bukan kosong, terbukti dengan dua orang Hwesio ini sudah cukup menyatakan bahwa tokoh-tokoh Siauw-Lim-Pai memang hebat. Sementara itu, Bhok Hwesio dan Thian Ti Losu sudah mulai bertanding. Karena maklum betapa lihainya Hwesio murtad itu, Thian Ti Losu menyerang dengan senjata tongkatnya. Begitu bergebrak, dia telah mempergunakan ilmu tongkatnya yang amat kuat. Tongkat itu mengeluarkan bunyi mengaung-aung dan ujungnya tergetar lalu pecah menjadi banyak sekali, langsung menyerang bagian-bagian tubuh yang berbahaya. Bo Wi Sianjin dan Maharsi memandang kagum dan penuh perhatian. Sering sudah mereka menyaksikan ilmu tongkat dari Siauw-Lim-Pai yang tersohor dimainkan orang, akan tetapi baru kali ini melihat permainan tongkat demikian dahsyatnya.

   Bhok Hwesio sendiri pun maklum akan kelihaian sutenya ini, dan tentu saja sebagai tokoh Siauw-Lim-Pai, dia mengenal baik ilmu tongkat dari Siauw-lim, maka dengan tenang namun tangkas dia melayani tongkat itu dengan kedua ujung lengan bajunya. Thian Ti Losu baru merasa terkejut ketika gerakan tongkatnya menyeleweng setiap kali bertemu dengan ujung lengan baju Bhok Hwesio. Hal ini menandakan bahwa bekas Suhengnya itu luar biasa kuatnya dan dia kalah banyak dalam hal tenaga sakti. Selain ini, dia melihat gerakan Suhengnya amat aneh, biarpun dasar-dasarnya masih memakai dasar Ilmu Silat Siauw-Lim-Pai yang Kokoh kuat, namun perkembangannya berubah banyak seakan-akan jurus-jurus Siauw-Lim-Pai yang tidak asli lagi.

   
Jaka Lola Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Memang demikianlah halnya. Selama dua puluh tahun menjalani hukumannya sambil bertapa di dalam kamar, Bhok Hwesio telah menciptakan ilmu pukulan dengan kedua lengan bajunya, yang sedianya dia ciptakan untuk menghadapi musuh-musuhnya yang lihai. Ilmu pukulan ini dasarnya memang ilmu Silat Siauw-Lim-Pai yang dia pelajari semenjak kecil, tetapi perkembangannya dia ciptakan sendiri, khusus untuk melayani ilmu silat yang mengandung penggabungan hawa Im dan Yang, karena kedua orang musuh besarnya, Pendekar Buta dan Raja Pedang, adalah ahli-ahli dalam hal ilmu silat gabungan tenaga itu. Kini, menghadapi bekas sutenya dia malah mendapat kesempatan untuk sekali lagi, setelah tadi mencobanya atas diri Bo Wi Sianjin dan Maharsi, menggunakan dan mencoba ilmu ciptaannya itu. Kepandaian Bhok Hwesio memang hebat. Hawa Sinkang di dalam tubuhnya menjadi berlipat kuatnya setelah dia bertapa selama dua puluh tahun, berlatih setiap hari dengan tekun.

   Memang dasar latihan Samadhi dan peraturan bernafas dari Siauw-Lim-Pai amatlah kuatnya, berasal dari sumber yang bersih dan diperuntukkan bagi para Pendeta Buddha untuk menguatkan batin dan mencapai kesempurnaan. Dan agaknya dalam hal ini, Bhok Hwesio sudah mencapai tingkat yang amat tinggi, sungguhpun setelah sampai pada batas yang tinggi, ilmunya menjadi menyeleweng dari garis kesempurnaan karena dikotori oleh rasa dendam dan sakit hati sehingga tak dapat menembus rintangan yang dibentuk oleh nafsunya sendiri. Andaikata Bhok Hwesio tidak dikotori oleh dendam dan nafsu, kiranya dia akan dapat mencapai tingkat yang lebih tinggi daripada yang pernah dicapai oleh tokoh-tokoh Siauw-Lim-Pai karena memang pada dirinya terdapat bakat yang amat besar. Thian Ti Losu baru sadar akan kehebatan bekas Suhengnya ini setelah bertanding selama lima puluh jurus.

   la terdesak hebat dan sinar tongkatnya selalu terbentur membalik oleh hawa pukulan lawan yang kuat sekali. Mamun, bagi tokoh Siauw-Lim-Pai ini, membela kebenaran merupakan tugas hidup dan merupakan pegangan sehingga die tidak gentar menghadapi apa pun. Mati dalam membela kebenaran adalah mati bahagia. la mengerahkan tenaga dan memutar tongkatnya lebih cepat, berusaha sekuatnya untuk menghancurkan benteng hawa pukulan yang menghimpitnya itu. Dengan gerakan melingkar, tongkatnya melepaskan diri dari tekanan ujung lengan baju, lalu dari samping dia mengirim tusukan ke arah lambung. Gerakan ini boleh dikatakan nekat karena dalam menyerang, dia membiarkan dirinya tak terlindung. Jika lawannya membarengi dengan serangan balasan, biarpun tongkatnya akan mencapai sasaran dia sendiri tentu akan celaka.

   Bhok Hwesio mengeluarkan dengus mengejek. la tidak mempergunakan kesempatan itu untuk balas menyerang, melainkan cepat sekali kedua ujung lengan baju dia sentakkan ke samping dan di lain saat tongkat itu telah terlibat oleh ujung lengan baju kedua menotok ke arah lehernya. Thian Ti Losu kaget sekali, mengerahkan tenaga untuk merenggut lepas tongkatnya. Namun hasilnya sia-sia, tongkatnya seperti telah berakar dan tak dapat dicabut kembali. Sementara itu, ujung lengan baju kiri Bhok Hwesio seperti seekor ular hidup sudah meluncur dekat. Terpaksa sekali, untuk menyelamatkan dirinya, Thian Ti Losu melepaskan tongkatnya dan melempar tubuh ke belakang sambil bergulingan. la selamat dari totokan maut, tetapi tongkatnya telah dirampas lawan. Bhok Hwesio tertawa pendek, tangannya bergerak dan... tongkat itu amblas ke dalam tanah sampai tidak kelihatan lagi!

   "Thian Ti Losu, terang kau bukan lawanku. Sekali lagi, kau pergilah dan jangan menggangguku lagi, aku maafkan kekurangajaranmu untuk terakhir kali mengingat bahwa kau hanya menjalankan perintah. Nah, pergilah!"

   Akan tetapi, mana Thian Ti Losu sudi mendengarkan kata-kata ini? Melarikan diri dari tugas hanya karena takut kalah atau mati adalah perbuatan pengecut dari akan mencemarkan nama baiknya dan terutama sekali, nama besar Siauw-Lim-Pai. Mati dalam menunaikan tugas jauh lebih mulia daripada hidup sebagai pengecut yang mencemarkan nama baik Siauw-Lim-Pai.

   Dan Bhok Hwesio bekas Suhengnya, menganjurkan dia menjadi pengkhianat dan pengecut. Thian Ti Losu menengadahkan mukanya ke atas, tertawa bergelak lalu mengerahkan seluruh Lweekangnya dan di lain saat dia telah menerjang maju dengan kepala yang mengepulkan uap di depan, menubruk Bhok Hwesio. Inilah jurus mematikan yang berbahaya bagi lawan dan diri sendiri! Karena jurus seperti ini, yang menggunakan kepala untuk menghantam tubuh lawan, merupakan tantangan untuk mengadu tenaga terakhir untuk menentukan siapa harus mati dan siapa akan menang. Kalau dielakkan, hal ini akan menunjukkan kelemahan yang diserang, tanda bahwa dia tidak berani menerima tantangan adu nyawa, dan bagi seorang jagoan, apalagi seorang tokoh besar seperti Bhok Hwesio, tentu saja merupakan hal yang akan memalukan sekali.

   "Huh, kau keras kepala!"

   Ejek Bhok"

   Hwesio sambil berdiri tegak, perutnya yang gendut besar ditonjolkan ke depan. Bagaikan seekor lembu mengamuk, Thian Ti Losu menyeruduk ke depan, kepalanya diarahkan perut bekas Suhengnya.

   "Cappp!"

   Kepala Hwesio itu bertemu dengan perut Suhengnya dan menancap atau lebih tepat amblas ke dalam ketika perut itu mempergunakan tenaga menyedot. Hebatnya, tubuh Thian Ti Losu lurus seperti sebatang kayu balok. Kedua tangannya bergerak hendak memukul atau mencengkeram, namun Bhok Hwesio yang sudah siap mendahuluinya, mengetuk kedua pundaknya. Terdengar suara tulang patah dan kedua lengan Thian Ti Losu menjadi lemas seketika, tergantung di kedua pundak yang telah patah sambungan tulangnya. Bhok Hwesio meneruskan gerakan tangannya. Tiga kali dia mengetuk punggung Thian Ti Losu dan tubuh yang tegak lurus itu menjadi lemas, tanda bahwa tenaganya lenyap. Adapun kepala tokoh Siauw-Lim-Pai itu masih menancap di "Dalam"

   Perut Bhok Hwesio.

   "Nah, pergilah!"

   Seru Bhok Hwesio. Perutnya yang tadinya menyedot itu dikembungkan dan... tubuh Thian Ti Losu yang sudah lemas itu terlempar ke belakang sampai lima meter lebih jauhnya, roboh di atas tanah dalam keadaan setengah duduk. la maklum apa yang telah menimpa dirinya. Bhok Hwesio sudah melakukan tindakan yang amat kejam, bukan membunuhnya melainkan mematahkan tulang kedua pundak, tulang punggung dan menghancurkan saluran hawa sakti di punggung sehingga mulai saat itu dia tidak akan mungkin lagi mempergunakan Lweekang atau Sinkang dan menjadi seorang tapa daksa selama hidupnya!

   "Manusia keji..."

   Katanya terengah-engah menahan nyeri akan tetapi matanya masih memandang tajam.

   "Bunuh saja aku sekalian..."

   "Huh-hu-huh, Thian Ti Losu. Kau benar-benar seorang yang tak kenal budi. Aku sengaja tidak membunuhmu agar kau dapat kembali ke Siauw-Lim-Pai dan membuktikan bahwa kau seorang yang setia dan dapat menunaikan tugas sampai batas kemampuan terakhir. Dan kau masih mengomel?"

   "Lempar saja dia ke jurang!"

   Kata Bo Wi Sianjin yang masih merasa penasaran dan marah karena tadi dia terbanting masuk ke dalam tanah oleh tokoh Siauw-Lim-Pai itu.

   "Heeeiii...! Mana dia...??"

   Seruan Maharsi itu membuat Bhok Hwesio dan Bo Wi Sianjin menengok. Baru sekarang mereka teringat akan diri gadis Cucu Raja Pedang Ketua Thai-San-Pai itu.

   "Wah, dia melarikan diri. Hayo kejar, dia penting sekali harus kita tawan!"

   Seru Bhok Hwesio dan ketiga orang Kakek ini segera meloncat dan lenyap dari tempat itu mengejar Lee Si, meninggalkan Thian Ti Losu yang hanya dapat memandang dengan hati mendongkol. la ditinggal dalam keadaan cacad, bersama mayat dua orang temannya. Sung Bi Tosu tokoh Kun-Lun-Pai dan Leng Ek Cu tokoh Kong-Thong-Pai. Ke manakah perginya Lee Si? Mengapa betul dugaan Bhok Hwesio tadi. Ketika gadis ini melihat bahwa di antara para Kakek sakti itu timbul pertengkaran, ia maklum bahwa kehadirannya di situ amat berbahaya dan bahwa saat itu merupakan kesempatan baik sekali baginya.

   Diam-diam ia menyelinap pergi pada saat pertandingan pertama terjadi. Setelah menyelinap di antara pepohonan dia lalu berlari cepat sekali, sengaja mengambil jalan melalui hutan-hutan lebat. Sepuluh hari kemudian, Lee Si yang kali ini berlari menuju ke Timur tanpa disengaja, tiba di sebuah kota. Di tempat ini barulah ia mendapat kenyataan dari keterangan yang ia dapat bahwa selama ini ia telah salah jalan dan tersesat amat jauh. Kota ini adalah Kong-Goan, sebuah kota di Propinsi Secuan sebelah Utara, cukup besar dan ramai, di lembah Sungai Cia-Ling. Karena ketika tiba di kota ini hari sudah menjelang senja, setelah mendapatkan keterangan itu Lee Si lalu menyewa sebuah kamar di rumah penginapan yang kecil tapi cukup bersih. Sehabis makan, ia berjalan keluar dari kamarnya, terus ke depan rumah penginapan dengan maksud hendak keliling kota.

   Tiba-tiba ia mengangkat muka dan hatinya berdebar. Entah apa sebabnya, bertemu pandang dengan seorang pemuda yang kebetulan lewat di depannya, hatinya berdebar dan mukanya terasa panas. Lee Si bingung dan heran sendiri. Pemuda itu tampan sekali, mukanya putih dan halus seperti mukYo Wanita, alisnya hitam tebal, pakaiannya sederhana saja akan tetapi tidak menyembunyikan tubuhnya yang kuat dan tegap, gerak-geriknya jelas membayangkan "isi,"

   Yaitu bahwa orang muda ini tentu memiliki kepandaian. Agaknya yang kemasukan aliran "Stroom"

   Aneh bukan hanya Lee Si karena pemuda itu yang tadinya berjalan dengan kepala menunduk, tiba-tiba mengangkat muka memandang Lee Si, malah setelah lewat, beberapa kali dia menengok sehingga dua pasang mata bertemu dan sinarnya seakan-akan menembus jantung! Sejenak Lee Si berdiri termenung, memeras otak untuk mengingat-ingat di mana ia pernah bertemu dengan pemuda tadi dan mengapa ia menjadi tertarik seperti ini.

   Akan tetapi tetap saja ia tidak dapat ingat di mana dan bila ia pernah melihat wajah itu, wajah yang seakan-akan tidak asing baginya dan yang membuat darah di tubuhnya berdenyut lebih cepat dari biasanya. Akan tetapi setelah melihat betapa pemuda itu beberapa kali menengok memandangnya timbul kemarahan di hati Lee Si. Betapapun juga, pemuda itu kurang ajar, berani memandanginya seperti itu. Selain kurang ajar juga mencurigakan. Lee Si cepat memasuki kembali kamarnya, mengambil pedangnya dan tak lama kemudian tubuhnya sudah berkelebat di atas genteng yang mulai gelap dan langsung mengejar ke arah perginya pemuda tadi. Gerakannya cepat dan gesit sekali dan sebentar saja ia melihat pemuda itu berjalan perlahan melalui jalan kecil yang gelap, kemudian terus keluar kota sebelah Timur.

   Siapakah pemuda tampan itu? Bukan pemuda biasa. Pemuda itu adalah Kwa Swan Bu, putera tunggal Pendekar Buta Kwa Kun Hong. Telah lama sekali kita meninggalkan Pendekar Buta dan anak isterinya. Setelah Suami isteri dan putera mereka ini pindah kembali ke tempat lama, yaitu di Liong-Thouw-San, Swan Bu tidak begitu dimanja lagi seperti ketika dia berada di Hoa-San. la amat tekun berlatih ilmu kepandaian di bawah bimbingan Ayah Bundanya, terutama Ayahnya. Pada suatu hari, pagi-pagi sekali seperti biasa, Swan Bu turun dari puncak Liong-Thouw-San dan pergi ke lereng sebelah kanan di mana terdapat jembatan tambang yang menghubungkan Liong-Thouw-San dengan dunia luar. la duduk di atas batu besar dan memandang ke Timur.

   Sudah menjadi kesukaan Swan Bu untuk menanti munculnya matahari yang merah dan besar. Kadang-kadang dia memandang dengan hati penuh rindu, bukan rindu kepada matahari melainkan kepada dunia ramai. Bagi seorang pemuda seperti dia, tentu saja tinggal di puncak Liong-Thouw-San hanya dengan Ayah Bundanya, merupakan keadaan yang kadang-kadang menyiksanya, tersiksa oleh kesunyian dan rindu akan keramaian dunia. Tentu saja Kwa Kun Hong dan isterinya, Kwee Hui Kauw, maklum dan dapat merasakan kesunyian hidup putera mereka, dan maklum betapa besar hasrat hati Swan Bu untuk meninggalkan puncak dan merantau di dunia ramai. Akan tetapi, mereka selalu melarangnya dengan dalih bahwa tingkat kepandaiannya masih jauh dari cukup untuk dijadikan bekal merantau di dunia ramai karena di sana terdapat banyak sekali penjahat-penjahat yang berilmu tinggi.

   Selagi Swan Bu duduk termenung sambil menikmati bola merah besar yang mulai tampak muncul dari balik puncak sebelah Timur, tiba-tiba dia dikejutkan oleh sesosok bayangan manusia yang bergerak cepat meloncat ke sana ke mari. Jelas bahwa orang itu datang mendaki puncak itu yang memang tidak mudah dilalui. Swan Bu tetap duduk tak bergerak, memandang penuh perhatian. Dari jarak sejauh itu, dan dengan cuaca pagi yang masih remang-remang, dia tidak dapat mengenal siapa adanya orang yang datang ini. Terang bukanlah penduduk di sekitar Pegunungan Liong-Thouw-San, karena tidak ada penduduk gunung yang dapat bergerak secepat itu. Timbul kegembiraan di hati Swan Bu. Tentu seorang di antara anak murid Hoa-San-Pai! Siapa lagi kalau bukan orang Hoa-San-Pai yang datang berkunjung? Hatinya gembira karena semua anak murid Hoa-San-Pai telah dia kenal baik. Swan Bu melihat betapa orang itu meloncat ke atas jembatan tambang.

   Sebetulnya bukanlah jembatan, melainkan sehelai tambang yang direntang dari seberang jurang dan untuk melalui "jembatan"

   Ini, orang harus memiliki kepandaian dan Ginkang. Sekali saja terpeleset, mulut jurang yang menganga lebar mengerikan telah menanti di bawah untuk menelan lenyap tubuh si penyeberang yang jatuh! Swan Bu dapat melihat betapa tambang itu bergoyang sedikit ketika orang tadi meloncat di atasnya dan kini berlari melalui tambang. Bergoyangnya tambang ini saja sudah cukup dijadikan ukuran oleh Swan Bu bahwa si pendatang ini belumlah begitu sempurna Ginkangnya. Teringat dia betapa Ibunya melatih Ginkang dan tambang inilah yang dijadikan ukuran. Selama dia belum dapat berlari-lari di atas tambang tanpa menggoyangkan tambang itu sedikit pun juga, dia diharuskan terus berlatih! Tentu saja sekarang dia dapat berlari-lari di atas tambang itu tanpa menggoyangkan tambang itu sama sekali.

   Setelah orang itu datang dekat, Swan Bu terheran-heran. Orang itu adalah seorang pemuda, sebaya dengannya. Seorang pemuda yang tampan, pakaiannya indah, Pedang yang bersarung Pedang indah tergantung di pinggang, kepalanya ditutup sebuah topi lebar yang dihias sehelai bulu merak, membuat wajahnya tampak makin tampan. Yang membuat Swan Bu terheran-heran adalah bahwa dia sama sekali tidak mengenal orang ini. Orang ini bukanlah anak murid Hoa-San-Pai! la cepat berdiri dan menghadang di situ. Pemuda itu setelah melompat ke seberang setelah melalui jembatan tambang, melihat Swan Bu dan cepat dia menghampiri. Wajahnya yang tampan itu berseri dan mulutnya tersenyum. Cepat dia mengangkat kedua tangan memberi salam sambil berkata,

   "Kalau tidak salah dugaanku, saudara ini adalah Kwa Swan Bu, putera dari Paman Kwa Kun Hong, bukan?"

   Kening Swan Bu berkerut dan dia menjadi makin curiga, akan tetapi dengan hati tabah dia menjawab,

   "Dugaanmu betul. Siapakah kau dan apa maksudmu mendaki puncak Liong-Thouw-San?"

   Pemuda itu tersenyum, tidak marah oleh sikap Swan Bu yang tidak manis.

   "Aku Bun Hui dari Tai-Goan, Ayahku adalah sahabat baik Ayahmu."

   "Ayahmu siapakah? She Bun...? Apakah ada hubungannya dengan Bun Lo Sianjin Ketua Kun-Lun-Pai?"

   "Beliau adalah Kakekku!"

   Seru Bun Hui gembira.

   "Ayahku adalah Jenderal Bun Wan yang bertugas di Tai-Goan, dengan Ayahmu terhitung sahabat baik."

   Swan Bu mengangguk-angguk. Tahulah dia sekarang siapa adanya pemuda tampan berpakaian indah dan mewah tetapi sikapnya ramah dan sederhana ini. Tentu saja dia sudah banyak mendengar tentang tokoh-tokoh di dunia kang-ouw dari Ayah Bundanya, baik tokoh-tokoh yang tergolong kawan maupun yang tergolong lawan. Sudah sering kali Ayah Bundanya menyebut-nyebut nama keluarga Bun dari Kun-Lun-Pai, malah dia pun tahu bahwa Ibu dari pemuda ini masih terhitung Bibinya karena Ibu pemuda ini adalah adik angkat Ibunya sendiri. Jadi mereka berdua masih dapat disebut saudara misan. la segera menjura dan berkata,

   "Maafkan penyambutanku yang kaku karena aku tidak tahu sebelumnya. Kiranya saudara adalah putera Paman Bun Wan. Benar dugaanmu, aku adalah Kwa Swan Bu. Bolehkah aku mendengar urusan penting apa gerangan yang mendorong saudara datang ke sini jauh-jauh dari Tai-Goan? Kuharap saja tidak terjadi sesuatu yang buruk atas diri Paman berdua di Tai-Goan."

   Bun Hui tersenyum, girang hatinya mendapat kenyataan bahwa Swan Bu tidaklah sesombong tampaknya tadi.

   "Girang sekali, hatiku dapat bertemu muka denganmu, adik Swan Bu. Sudah lama aku mendengar akan dirimu dari Ayah Bundaku, dan aku tahu bahwa usia kita sebaya, hanya aku lebih tua beberapa bulan saja darimu. Jangan kau khawatir, Ayah Bundaku dalam keadaan selamat. Kedatanganku ini diutus oleh Ayah, selain untuk menyampaikan hormat kepada Ayah Bundamu, juga untuk memberi peringatan bahwa kini mulai bermunculan musuh-musuh besar yang berusaha membalas dendam."

   

Dewi Sungai Kuning Karya Kho Ping Hoo Harta Karun Kerajaan Sung Karya Kho Ping Hoo Pendekar Bodoh Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini