Jaka Lola 13
Jaka Lola Karya Kho Ping Hoo Bagian 13
"Bagus!"
Swan Bu berseru gembira, bukan karena mendapat bantuan melainkan karena mendapat kenyataan bahwa gadis yang tadi membuat hatinya berdenyut aneh ketika dia melihatnya di depan losmen itu kiranya bukanlah orang lain! "Mari kita basmi kawanan penjahat ini"
Akan tetapi pada saat itu Siu Bi sudah melompat dengan gerakan gesit sekali, pedangnya mendahuluinya merupakan sinar kehitaman. Dengan Pedang melintang di depan dada Siu Bi menghadapi Lee Si, sejenak pandang matanya menjelajahi gadis Min-San itu dari atas sampai ke bawah, lalu terdengar dia membentak,
"Kau tidak suka akan keroyokan, aku pun membenci keroyokan. Hayo sekarang kita sama-sama muda, sama-samYo Wanita, tanpa keroyokan, kita mengadu kepandaian!"
Lee Si tadi sudah melihat sikap Siu Bi dan biarpun ia dapat menduga bahwa gadis ini berbeda dengan orang-orang yang lain, namun tetap saja merupakan musuh dan tentu bukan seorang gadis baik-baik. Akan tetapi karena ia tidak mempunyai permusuhan dengan Siu Bi, juga bahwa ia hanya mau bertending untuk membantu Swan Bu yang dikeroyok, maka, ia merasa ragu-ragu untuk melayani gadis cantik yang pedangnya bersinar hitam itu.
"Perempuan liar, di antara kita tidak ada permusuhan, perlu apa aku melayani kau?"
Dimaki perempuan liar, tentu saja Siu Bi seketika menjadi naik darah!
"Kau yang liar, kau yang buas, kau ganas! Siapa saja yang menjadi sahabat atau keluarga dia itu adalah musuhku. Sambut pedangku!"
Dengan gerakan yang amat lincah dan kuat Siu Bi sudah menerjang maju, didahului gulungan sinar hitam pedangnya. Tentu saja Lee Si juga cepat mengangkat pedangnya menangkis dan beberapa menit kemudian kedua orang gadis yang sama lincahnya ini sudah lenyap bayangannya, terbungkus oleh gulungan sinar Pedang hitam dan kuning yang saling libat, saling dorong dah saling tekan. Selain menegangkan, juga amat indah dipandang pertandingan antara kedua orang dara remaja yang sama gesitnya ini. Akan tetapi Lee Si segera menjadi kaget sekali ketika beberapa kali tangan kiri Siu Bi melancarkan pukulan Hek-In-Kang yang amat kuat sehingga Lee Si menjadi sibuk mengelak karena maklum bahwa pukulan itu adalah semacam pukulan jarak jauh yang amat berbahaya.
Tahulah ia bahwa lawannya ini memiliki kepandaian yang tinggi lagi jahat maka ia berlaku sangat hati-hati mainkan bagian-bagian Hoa-San Kiam-Sut untuk mempertahankan diri serta bagian Yang-sin Kiam-Sut untuk balas menyerang. Sayangnya bahwa penggabungan-penggabungan kedua ilmu Pedang itu belum sempurna benar sehingga untuk melayani Cui-Beng Kiam-Sut dan Hek-In-Kang yang memang luar biasa itu ia merasa terdesak hebat. Memang boleh diakui bahwa ilmu silat yang dipelajari Lee Si merupakan ilmu silat golongan bersih, karena itu dasarnya lebih kuat dan sifatnya tidaklah liar seperti ilmu silat yang dimiliki Siu Bi. Akan tetapi oleh karena memang tingkat kepandaian Hek Lojin jauh lebih tinggi daripada tingkat kepandaian Tan Kong Bu dan isterinya, maka tentu saja tingkat Siu Bi juga lebih tinggi daripada tingkat Lee Si.
Kalau saja Siu Bi tidak memiliki Ilmu Hek-In-Kang dan hanya mengandalkan Cui-Beng Kiam-Sut, agaknya Lee Si masih sanggup mempertahankan diri. Akan tetapi sekarang Siu Bi mendesaknya dengan Hek-In-Kang yang membuat ia sibuk sekali, harus melompat ke sana ke mari mengelak dari sambaran uap hitam itu, ditambah lagi harus menghadapi sinar Pedang hitam yang mengurung dirinya dan menutup semua jalan keluar! Sementara itu, pertempuran antara Swan Bu dan para pengeroyoknya juga berjalan amat seru. Kini tidak ada anak buah Ang-Hwa-Pai yang berani maju, mereka hanya berjaga-jaga saja karena setiap kali ada yang maju, baru segebrakan saja tentu roboh mandi darah disambar sinar Pedang putih di tangan Swan Bu. Akan tetapi, biarpun pengeroyoknya hanya tiga orang, namun ketiganya adalah ahli-ahli silat kelas tinggi yang memiliki ilmu kepandaian hebat.
Swan Bu memang mewarisi kesaktian Ayah Bundanya, akan tetapi dia kurang pengalaman bertempur. Andaikata Ayahnya berada di situ, tanpa turun tangan membantunya, hanya dengan nasihat-nasihat saja sudah pasti dia akan dapat menangkan pertandingan ini. Karena kekurangan pengalaman inilah dia kekurangan taktik sehingga kurang dapat menangkap dengan cepat kelemahan-kelemahan lawan, dan terlampau hati-hati menjaga diri sehingga biarpun pertahanannya rapat sekali, namun daya serangannya kurang kuat dan kurang berhasil. Apalagi ketika dengan sudut matanya dia dapat melihat betapa Lee Si telah terdesak hebat oleh sinar hitam Pedang Siu Bi, hatinya menjadi gelisah sekali. Pada saat itu terdengar suara ketawa aneh dan muncullah dua orang Kakek, yang seorang tinggi jangkung yang seorang lagi pendek.
"Heh-heh-heh, sudah ada pesta keramaian di sini!"
Kata si jangkung dengan suaranya yarig aneh dan asing.
"Suheng!!"
Ang-Hwa Nio-Nio berseru girang sekali ketika mengenal Kakek tinggi jangkung itu, yang bukan lain orang adalah Maharsi Pendeta dari Barat. Adapun si pendek itu. adalah Bo Wi Sianjin!
"Bantulah kami menangkap dua bocah setan ini!."
"Heh-heh-heh, Sianjin. Ini Sumoi (Adik Seperguruan). Kau tangkaplah yang betina, biar aku tangkap yang jantan!"
Setelah berkata demikian, Maharsi melangkah panjang ke dalam pertempuran, tangannya mencengkeram dan kagetlah Swan Bu ketika tiba-tiba ada angin keras menyambar dari atas dan tahu-tahu lengan yang panjang itu mengancamnya. Cepat pedangnya dikibaskan ke atas untuk membuat buntung lengan itu.
"Wah, boleh juga!"
Maharsi memuji. Perlu diketahui bahwa Ilmu Silat Pai-San-Jiu dari Pendeta Barat yang tinggi ini, seperti juga Ilmu Katak Sakti dari Bo Wi Sianjin, merupakan ilmu pukulan sakti yang mengandung Sinkang tingkat tinggi sehingga pukulan-pukulan dari kedua ilmu silat ini tidak perlu menyentuh tubuh lawan, dari jauh saja sudah cukup kuat untuk merobohkan lawan yang biasa. Akan tetapi pemuda itu bukan saja tidak terpengaruh banyak oleh sambaran hawa pukulannya, malah masih dapat membabat dengan pedangnya yang cukup berbahaya. Karena inilah Maharsi memuji. Akan tetapi sambil menarik kembali lengannya, Pendeta jangkung ini sudah mengirim serangan bertubi-tubi, susul-menyusul dan angin pukulannya menderu-deru seperti angin taufan mengamuk.
Swan Bu benar-benar kaget sekali. Maklumlah dia bahwa si jangkung ini benar-benar amat berbahaya. Apalagi pada saat itu, Ang-Hwa Nio-Nio, Ouwyang Lam dan Ang-Mo-Ko masih terus menerjangnya dengan sengit, maka pemuda Liong-Thouw-San ini benar-benar berada dalam keadaan yang amat berbahaya. Adapun Lee Si yang menghadapi Siu Bi dan terdesak hebat, tiba-tiba melihat munculnya seorang Kakek pendek yang serta merta menggerakkan tangan menyelonong maju dan menerjang... Siu Bi dengan pukulan-pukulan dan dorongan-dorongan kuat, dibarengi suara ketawanya terbahak-bahak. Kakek ini adalah Bo Wi Sianjin yang memandang rendah lawan karenanya dia tidak menggunakan Pukulan Katak Sakti, melainkan mendesak dengan pukulan-pukulan Jarak jauh biasa. Akan tetapi dia salah kira dan bukan menyerang Lee Si, malah menerjang Siu Bi.
"Eh-eh-eh, Lo-Cianpwe, bukan dia musuh kita. Yang seorang lagi...!"
Seru Ouwyang Lam kaget sambil melompat mendekati meninggalkan Swan Bu yang kini sudah terdesak hebat itu.
"Hah? Yang mana?"
Bo Wi Sianjin menghentikan serangannya, tertegun dan bingung. Sementara itu, Siu Bi marah sekali. la tadi sedang mendesak Lee Si, sama sekali tidak membutuhkan bantuan karena ia berada di pihak unggul, maka majunya Kakek itu baginya merupakan gangguan yang menjengkelkan.
"Aku tidak butuh bantuan! Mundur!!""
Serunya dan pedangnya dikerjakan lebih hebat. Lee Si yang maklum bahwa dirinya tak dapat tertolong lagi kalau ada orang lain maju mengeroyok, menjadi gugup dan sebuah pukulan Hek-In-Kang dari Siu Bi tak dapat ia hindarkan, mengenai pundaknya dan ia terhuyung-huyung. Kesempatan baik ini dipergunakan oleh Siu Bi untuk menyapu kaki Lee Si sehingga gadis ini roboh dan sebuah totokan membuatnya lemas tak dapat bergerak lagi. Swan Bu yang sudah terdesak hebat, melihat robohnya Lee Si, menjadi marah sekali.
"Keparat, lepaskan dia!"
La membentak, tubuhnya bagaikan kilat menyambar ke arah Lee Si untuk menolong gadis itu. Akan tetapi tiba-tiba dari kanan menyambar tongkat bambu Ang-Mo-Ko menotok lambung. la cepat menangkis dan melanjutkan gerakannya menolong Lee Si, namun angin menyambar dari kiri dan Swan Bu merasa seakan-akan tubuhnya terdorong oleh tenaga yang amat dahsyat. la terlempar dan sebelum dia sempat bergerak, dua buah lengan panjang Maharsi yang tadi memukulnya telah mencengkeram pundaknya dan menotok jalan darah di punggungnya, membuat dia tak berdaya lagi. Sepasang orang muda itu telah tertawan oleh musuh-musuh besarnya.
"Siapakah dia ini?"
Maharsi bertanya kepada sumoinya sambil menuding ke arah Swan Bu yang sudah rebah miring di atas tanah. Mau tak mau Pendeta dari Barat itu kagum bukan main karena semuda itu Swan Bu telah memiliki kepandaian yang hebat.
"Suheng,"
Kata Ang-Hwa Nio-Nio dengan muka berseri.
"Kebetulan sekali kau datang dan kebetulan memang, karena bocah ini bukan lain adalah putera Pendekar Buta. Ular menghampiri penggebuk, bukan?"
"Sudah jelas anak musuh besar, tidak dibunuh tunggu apa lagi?"
Ouwyang Lam yang merasa iri melihat ketampanan dan kegagahan pemuda itu, jauh melebihi dirinya, cepat mengangkat pedangnya menusuk ke arah dada Swan Bu. Pemuda ini maklum bahwa nyawanya berada di ujung Pedang lawan, namun karena dia tak dapat menggerakkan kaki tangannya, Swan Bu hanya dapat memandang dengan mata tidak berkedip sedikit pun juga. Orang-orang lain yang berada di situ hanya memandangnya sambil tertawa, karena pemuda Liong-Thouw-San ini memang anak musuh besar, berarti musuh pula, apalagi sudah mengacaukan usaha mereka di Kong-Goan, tidak dibunuh mau diapakan lagi?
"Cringgg...!?"
Ouwyang Lam kaget dan melompat mundur. Pedangnya yang hampir menancap di dada Swan Bu telah terbentur Pedang lain yang telah menangkisnya sehingga muncrat bunga api saking kerasnya benturan itu. Ketika semua orang memandang, kiranya yang menangkis itu adalah Siu Bi!
"Eh, kau lagi? Bi-moi, terus terang saja, kau sebetulnya berpihak siapa? Ketika di Ching-Coa-To kami hendak membunuh puteri Raja Pedang, kau pun menghalangi maksud kami!"
Kata Ouwyang Lam, penasaran. Sepasang mata yang tajam bening itu, berkilat,
"Aku berpihak kepada diriku sendiri. Bocah ini adalah anak Pendekar Buta, berarti musuh besarku. Aku sudah bersumpah hendak membuntungi lengan Pendekar Buta, isterinya dan anaknya, membuntungi lengannya hidup-hidup! Kalau dia dibunuh, apa artinya membuntungi lengannya lagi?"
"Tapi... tapi bukan kau yang merobohkan dia, kau tidak berhak. Kami yang merobohkan dan menawannya, maka kami yang berhak melakukan apa saja terhadap dirinya!"
"Siapa saja yang membunuhnya berarti hendak menghalang-halangi aku untuk balas dendam dan melaksanakan sumpahku. Tentang siapa merobohkan, memang betul kalian yang merobohkan, akan tetapi perempuan ini aku yang merobohkan. Sekarang aku ingin menukarkan dia dengan anak Pendekar Buta ini. Ouwyang-Twako, kau boleh ambil dia, biarkan aku membuntungi lengan anak Pendekar Buta tanpa membunuhnya?"
Ouwyang Lam menengok ke arah Lee Si yang menggeletak telentang. Dalam keadaan tertotok dan telentang di atas tanah itu dengan pakaian kusut, gadis cantik ini kelihatan menarik sekali, menggairahkan hati Ouwyang Lam yang memang berwatak mata keranjang. Segera mengilar dia ketika pandang matanya menjelajahi tubuh Lee Si dan sambil menyeringai dia berkata,
"Aku... aku boleh... memiliki dia...?"
Pada saat itu, Bo Wi Sianjin berkata,
"Eh, Maharsi, bukankah gadis ini Cucu Raja Pedang yang pernah kita kejar?"
Maharsi memandang.
"Aha, betul! Betul dia! Wah, Bhok-Lo-Suhu tentu akan girang sekali. Sumoi, benar-benar kita telah mendapatkan tawanan penting. Seorang putera Pendekar Buta, yang seorang lagi Cucu Raja Pedang. Baiknya kita jangan bunuh mereka, jadikan tangkapan untuk memaksa musuh-musuh besar itu menyerah!"
"Bagus, itu betul sekali!"
Seru Bo Wi Sianjin karena baik dia maupun Maharsi sebetulnya masih merasa jerih untuk bertanding melawan Pendekar Buta dan Raja Pedang yang terkenal sakti.
"Suheng, kau tadi menyebut nama Bhok-Lo-Suhu? Siapakah yang kau maksudkan?"
Maharsi tertawa Ha... ha... hah-he...heh.
"Siapa lagi kalau bukan Bhok Hwesio itu tokoh besar yang sakti dari Siauw-Lim-Pai? Dia pun sudah siap untuk membasmi Pendekar Buta dan Raja Pedang dan dia datang bersama kami ke Kong-Goan, akan tetapi tentu saja tidak mau ke sini. Kuharap kau suka mengunjunginya di kelenteng sebelah Timur kota, Sumoi."
Girang sekali hati Ang-Hwa Nio-Nio, apalagi setelah ia diperkenalkan dengan Bo Wi Sianjin sebagai Sute dari Ka Chong Hoatsu yang menaruh dendam kepada Raja Pedang. Dengan begini banyaknya orang pandai di pihaknya, tentu akan terlaksana idam-idaman hatinya, yaitu menebus kematian dua orang adiknya. Pada saat itu, dengan tergesa-gesa seorang anggota Ang-Hwa-Pai berlari menghampiri Ang-Hwa Nio-Nio dan melapor,
"Pangcu, seorang yang bernama Tan Kong Bu, kabarnya Ketua Min-San-Pai, mencari Tan Lee Si yang katanya adalah puterinya, sedang menuju ke sini!"
Ang-Hwa Nio-Nio membelalakkan kedua matanya, lalu tertawa mengikik.
"Wah-wah, benar-benar malam baik sekali sekarang. Seorang demi seorang anggota keluarga mereka berdatangan sehingga memudahkan kita untuk membasminya. Suheng, aku mempunyai rencana yang bagus sekali. Lam-ji (anak Lam), kau bawa dua orang tawanan kita itu ke dalam kuil, tapi jangan ganggu mereka!"
Perintahnya kepada Ouwyang Lam. Pemuda ini mengangguk tersenyum, lalu membungkuk, memondong tubuh Lee Si dan menyeret tubuh Swan Bu dengan menjambak rambutnya.
"Twako, serahkan anak Pendekar Buta itu kepadaku!"
Siu Bi melompat maju.
"Aku harus melaksanakan sumpah pembalasanku!"
"Ihhh, Siu Bi. Apakah kau sudah tergila-gila melihat pemuda yang tampan dan gagah itu? Hi...hi...hik!"
Bukan main marahnya hati Siu Bi mendengar ejekan Ang-Hwa Nio-Nio ini. Mukanya seketika menjadi merah sekali matanya berapi-api, tangannya yang memegang Pedang gemetaran.
"Bibi Kui Ciauw! Aku bukan seperti engkau"
Ang-Hwa Nio-Nio juga marah.
"Siu Bi kuperingatkan kau! Kami tidak butuh bantuanmu. Kalau kau mau bekerja sama dengan kami untuk menghadapi Pendekar Buta silahkan tinggal bersama kami akan tetapi harus menurut apa yang kami rencanakan. Kalau tidak mau, kami tidak akan menahanmu."
"Nio-Nio... Bi-moi... sudahlah, di antara kita sendiri mengapa mesti ribut-ribut?"
Ouwyang Lam cepat melerai dengan suara halus, kemudian dia melanjutkan pekerjaannya, memondong Lee Si dan menyeret tubuh Swan Bu dibawa masuk ke dalam kuil. Siu Bi merengut hatinya mendongkol sekali. Akan tetapi apa yang dapat ia lakukan? Ia maklum bahwa untuk melawan pun ia akan kalah. Maka tanpa berkata sesuatu ia lalu berjalan pergi dari depan Ang-Hwa Nio-Nio, menahan isak tangis saking gemasnya.
"Siapakah dia?"
Maharsi bertanya.
"Ah, dia...? Cucu Hek Lojin, juga musuh Pendekar Buta."
"Hek Lojin? Pantas dia begitu liar, kiranya Cucu iblis itu!"
Kata Bo Wi Sianjin, mengangguk-angguk. Mereka lalu memasuki kuil dan Ang-Hwa Nio-Nio memberi perintah kepada anak buahnya untuk mengatur rencananya yang dianggap amat baik. Apakah yang direncanakan oleh Ketua Ang-Hwa-Pai ini? Kebenciannya terhadap Pendekar Buta dan Raja Pedang membuat nyonya tua ini pandai mencari cara yang paling keji untuk melampiaskan dendamnya.
Marilah kita ikuti bersama apa yang direncanakan. Seperti telah dilaporkan oleh seorang anak buah Ang-Hwa-Pai tadi, di kota Kong-Goan malam hari itu kedatangan seorang laki-laki setengah tua yang bertubuh tinggi besar dan tegap, sikapnya gagah bicaranya kasar keras dan nyaring sekali. Orang ini bukan lain adalah Tan Kong Bu yang sudah meninggalkan puncak Min-San untuk mencari puterinya yang diam-diam meninggalkan puncak, seperti telah kita ketahui, semenjak datangnya murid kepala Raja Pedang, yaitu Su Ki Han telah terjadi Perubahan hebat di Min san. Lee Si, puteri tunggal itu telah meninggalkan puncak tanpa memberi tahu dan Su Ki Han sendiri yang merasa tidak enak, segera berpamit turun gunung untuk berusaha mengejar Lee Si. Seperginya Su Ki Han, Kong Bu merasa tidak enak dan menyatakan kepada isterinya untuk pergi mengejar puteri mereka itu.
"Tentu saja ia tidak boleh dibandingkan dengan adikku Cui Sian,"
Demikian kata Pendekar itu.
"Kepandaian Lee Si memang sudah cukup untuk menjaga diri, akan tetapi ia masih hijau dan tidak tahu akan bahayanya dunia kang-ouw. Sedikitnya la harus mendengarkan dulu dan kita tentang kejahatan di dunia kang-oyw sehingga ia dapat menjaga diri. Tinggal kau pilih, kau atau aku yang pergi mengejar?"
Demikianlah, Tan Kong Bu lalu turun dari puncak, mencari puterinya.
Sebagai seorang tokoh kang-ouw yang ulung, akhirnya Kong Bu berhasil mengikuti jejak puterinya dan menuju ke Kong-Goan, hanya selisih setengah hari saja dengan puterinya. la mendengar tentang keributan yang terjadi di rumah Lo-Ciangkun, maka dia mempunyai dugaan bahwa agaknya Lee Si terlibat dalam hal ini. la mencari sampai ke losmen di mana Lee Si bermalam, dengan cara kasar dan keras dia mengancam pengurus losmen yang biar mati pun tidak akan mampu memberi keterangan ke mana perginya gadis itu yang pergi melalui genteng dan tidak terlihat oleh siapapun juga. Kong Bu berputar-putar di kota Kong-Goan sampai jauh malam, namun dia tidak dapat menemukan jejak Lee Si dan tidak ada yang dapat memberi keterangan ke mana perginya gadis itu. Dalam keadaan gelisah Kong Bu berlari-lari keluar masuk lorong gelap dan keadaan kota Kong-Goan sudah sepi.
Tiba-tiba dia cepat menghindar ke kiri. Hampir saja dia bertubrukan dengan seorang laki-laki kecil kurus yang juga berlari-lari seperti dia dan mereka bertemu di sebuah tikungan jalan kecil. Laki-laki itu kelihatan gugup sekali, tanpa bicara sesuatu terus melarikan diri dengan cepat. Kong Bu merasa curiga. Jelas bahwa orang itu memiliki kepandaian silat yang lumayan melebihi orang biasa, larinya cepat dan gerakannya gesit. Dengan beberapa lompatan jauh akhirnya Kong Bu dapat menyusul dan mengejar orang itu. Si kecil kurus yang berkumis panjang itu kaget setengah mati ketika tiba-tiba ada bayangan berkelebat dan tahu-tahu di depannya telah berdiri seorang laki-laki tinggi besar, apalagi ketika dia mengenalnya sebagai laki-laki yang hampir bertubrukan dengannya tadi. Tanpa banyak cakap lagi dia membalikkan tubuh dan lari lagi, akan tetapi dia mengeluh ketika pundaknya tiba-tiba dipegang tangan yang memiliki jari-jari tangan sekuat cepitan baja.
"Kau siapa dan ada apa malam-malam begini kau berlari-lari seperti pencuri? Hayo mengaku terus terang, kalau tidak, tulang-tulang pundakmu akan kuhancurkan!"
Bentak Kong Bu yang sedang gelisah sehingga menjadi pemarah itu.
"Ampun, Ho-Han (Orang Gagah)... ampunkan saya. Saya... Ciu Ti bukan pencuri... saya... saya sedang bingung dan hendak mencari pertolongan. Ada... ada penjahat menyeret seorang gadis cantik ke dalam kuil di mana saya biasanya bermalam... maaf, saya tiada keluarga tiada tempat tinggal... saya... saya berusaha menolong nona cantik itu, tapi... saya kalah. Penjahat muda itu terlampau kuat, agaknya dia... dia seorang Jai-Hwa-Cat (penjahat pemetik bunga)..."
Kong Bu tertarik hatinya.
"Di mana dia? Betulkah dia penjahat pemetik bunga?"
"Mungkin, saya... saya tidak jelas. Hanya ketika dia merobohkan saya tadi, dia... dia mengaku bahwa dia she Kwa... dan mengusir saya pergi, gadis itu pingsan, di pinggangnya tergantung pedang... eh, Pedang kuning seperti emas..."
Cengkeraman pada pundak itu mengeras dan si kecil kurus menyeringai kesakitan,
"Bagaimana kau bisa tahu Pedang yang tergantung itu Pedang kuning?"
"Aduh... lepaskan pundak saya... aduh, mana saya bisa tahu kalau Jai-Hwa-Cat itu tidak mempergunakannya untuk melawan saya? Pedang ampuh sekali, golok saya patah begitu beradu..."
Kong Bu tidak sabar lagi, segera menyeret tangan orang itu.
"Hayo cepat, antarkan aku ke sana Cepat... kubanting mampus kau, hayo cepat" Orang itu mengeluh dan setengah diseret karena betapapun dia mengerahkan tenaga dan ilmu lari cepatnya, agaknya masih kurang cepat saja sehingga dia seperti diseret dan kedua kakinya tidak menginjak bumi lagi karena tubuhnya seperti menggantung kepada lengan Kong Bu yang kuat.
"Di sinikah tempatnya?"
Tanya Kong Bu.
"Betul... di dalam... di ruangan belakang, aku... aku takut, harap kau suka masuk sendiri, Ho-Han..."
Kong Bu mendorong orang itu sampai terjengkang, kemudian dia melompat naik ke atas genteng kuil tua itu. Hati jago tua ini berdebar tidak karuan. Di manapun dia berada dan siapapun gadis yang menjadi korban Jai-Hwa-Cat, kalau dia mendengar pasti dia akan turun tangan membasmi si penjahat. Akan tetapi sekarang lain lagi halnya. la sedang mencari puterinya yang dia tahu berada di kota itu, akan tetapi yang lenyap tak meninggalkan bekas, sedangkan buntalan pakaiannya masih di kamar losmen.
Dan gadis yang pingsan menjadi korban Jai-Hwa-Cat itu berpedang kuning. Oei-kong-kiam! Mana lagi ada Pedang kuning selain Oei-kong-kiam, Pedang yang dibawa Lee Si? Inilah yang membuat jantungnya berdebar tidak karuan, bahkan kedua kakinya agak menggigil dan hampir dia terpeleset ketika dia melompat ke atas genteng yang gelap itu. Dari atas genteng dia melihat api penerangan di sebelah belakang kuil. Cepat dia melompat dengan hati-hati ke bagian belakang, di atas tempat yang diterangi lampu di sebelah bawah. Dengan hati-hati dia membongkar genteng lalu mengintai ke bawah. la memandang dengan mata melotot, lalu menggosok-gosok kedua matanya, memandang lagi, otot-otot pada lehernya menegang, wajahnya tiba-tiba pucat sekali, lalu terdengar giginya berkerot-kerot.
"Bedebah! Keparat biadab...! Kubunuh kau... kubunuh...!"
Teriakan ini mula-mula hanya terdengar seperti gerengan harimau marah, kemudian melengking tinggi dan nyaring sekali.
Apakah yang dilihat jago Min-San ini? Pemandangan di dalam ruangan di bawah itu benar-benar membuat darahnya mendidih, matanya tiba-tiba gelap dan dadanya serasa meledak. Mereka berbaring di atas lantai, dua orang itu, seorang pemuda tampan dan seorang gadis cantik jelita. Siapa lagi kalau bukan Lee Si, puterinya? Betapa tidak akan hancur hatinya melihat puterinya itu rebah terlentang, entah bagaimana keadaannya karena tubuhnya tertutup selimut sebatas leher, akan tetapi yang jelas puterinya itu menangis terisak-isak dan kelihatan lemah sekali. Tentu dalam keadaan tertotok jalan darahnya, pikirnya dengan hati hancur. Dan laki-laki tampan itu mukanya seperti perempuan, terlalu tampan. Patut menjadi muka seorang Kongcu hidung belang atau seorang penjahat Jai-Hwa-Cat yang lihai! Dan yang lebih memanaskan hatinya, laki-laki tampan itu rebah miring menghadapi Lee Si, tubuh bagian atas telanjang.
"Ayaaahhh...!"
Terdengar Lee Si menjerit, suaranya lemah sekali, bercampur isak.
"Keparat... jahanam...! Kubunuh engkau, kukeluarkan isi perutmu, kuminum darahmu...!"
Kong Bu berteriak lagi, kini diseling suara melengking tinggi yang menggetarkan kuil itu, seperti bukan suara manusia lagi. Akan tetapi selagi dia hendak membongkar genteng dan menerobos ke bawah tiba-tiba beberapa batang lilin yang menyala di ruangan itu padam, membuat keadaan menjadi gelap pekat. Betapapun marahnya hati Kong Bu, dia seorang jagoan kang-ouw yang sudah ulung, tentu saja dia tidak mau secara membuta melompat ke dalam ruangan yang gelap gulita dan tidak dikenalnya itu.
"Paman Kong Bu... dengarlah... saya Kwa Swan Bu... putera Ayah Kwa Kun Hong di Liong-Thouw-San..., Paman..."
Teringat Kong Bu akan penuturan si kurus tadi bahwa Jai-Hwa-Cat itu she Kwa. Darahnya makin bergolak.
(Lanjut ke Jilid 13)
Jaka Lola (Seri ke 04 - Serial Raja Pedang)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 13
"Tak peduli kau anak setan dari mana, hayo keluar! Hayo kau lawan aku mengadu nyawa. Penghinaan ini baru lunas bila ditebus dengan darah dan nyawa! Keluar!! kurobek dadamu, kukeluarkan jantungmu!"
Tiba-tiba dari dalam gelap di sebelah bawah terdengar desir angin yang amat halus.
Kong Bu cepat miringkan tubuh dan Pedang yang sudah dicabutnya itu menangkis beberapa batang jarum halus yang menyambar ke arahnya dari bawah sebelah kiri. Itulah jarum rahasia dan mendengar bunyinya yang halus berdesir dapat diketahui bahwa penyambitnya tentu memiliki Lweekang yang amat kuat. Kong Bu cepat melompat ke bawah, sambil memutar pedangnya, melayang ke arah dari mana datangnya jarum-jarum tadi. Akan tetapi baru saja kedua kakinya menginjak tanah, dari arah kanannya menyambar angin pukulan yang amat kuat dan dahsyat. Kong Bu cepat menggeser kaki memasang kuda-kuda yang amat rendah sambil menyampok dengan lengan kirinya dan mengerahkan Sinkang di tubuhnya. Akan tetapi hampir saja dia terguling karena ternyata bahwa sambaran angin pukulan itu kuat bukan main. Ia kaget sekali, akan tetapi tidak heran.
Kalau bangsat itu betul putera Pendekar Buta Kwa Kun Hong tentu saja memiliki kepandaian yang amat tinggi. Makin panas hatinya! Bagaimanakah putera Kun Hong bisa melakukan perbuatan yang begini biadab? Kong Bu adalah putera Raja Pedang yang menerima gemblengan ilmu silat dari Kakeknya yaitu mendiang Song-Bun-Kwi Kwee Lun. Tentu saja dia mewarisi kepandaian tinggi dan dia tidak gentar meski menghadapi lawan yang bagain ana sakti pun. Apalagi sekarang dia sedang niarah dan nekat karena ingin membela kehormatan puterinya. Akan tetapi ketika ia memutar pedangnya sambil mengeluarkan suara melengking-lengking tinggi untuk menerjang lawannya yang mengirim pukulan dari tempat gelap, di situ tidak tampak lagi ada orang. Makin kagetlah dia. Terang bahwa lawannya tadi selain memiliki tenaga kuat, juga memiliki kegesitan yang luar biasa.
"Jai-Hwa-Cat biadab! Kalau memang jantan, hayo Kau tandingi aku secara laki-laki. Aku Tan Kong Bu Ketua Min-San pai, sebelum dapat mengeluarkan isi perutmu, takkan berhenti berusaha. Kau atau aku yang mati untuk mencuci noda ini!"
Pekiknya sambil membacokkan pedangnya pada sebuah tiang kuil. Tiang! itu terbabat putus dan genteng di atasnya banyak yang rontok karena penahan genteng menjadi miring.
"Hayo keluar! Jangan sembunyi kau, pengecut, jahanam keparat, manusia biadab! Biarpun kau anak Kwa Kun Hong atau putera malaikat sekalipun, jangan harap bisa terlepas dari tanganku!"
Akan tetapi ketika dia hendak menyerbu ke dalam ruangan belakang itu, tiba-tiba ada sambaran angin pukulan jarak jauh lagi, kini dari arah belakangnya. Cepat dia menggeser kaki, memutar-mutar tubuh sehingga pukulan itu meleset. la melihat bayangan orang berkelebat di belakangnya, cepat dia mengejar. Bayangan itu gesit sekali dan melompat-lompat ke arah pagar ternbok yang mengelilingi kuil, lalu menerobos keluar.
"Keparat, hendak lari ke mana kau?"
Kong Bu mengejar, pedangnya diputar dan siap untuk melancarkan serangan maut. Di depan kuil yang agak gelap bayangan itu berhenti dan Kong Bu cepat menghujani serangan-serangan dengan pedangnya. Akan tetapi ternyata bayangan itu luar biasa cepat gerakannya, biarpun bertangan kosong, namun selalu dapat mengelak dari sambaran pedangnya. Keadaan yang gelap membuat Kong Bu tidak dapat mengenal wajah orang ini, namun dia dapat melihat bayangan seorang pemuda yang tampan. Belum sepuluh jurus dia menyerang, pemuda itu melompat dan menghilang di dalam gelap.
"Jai-Hwa-Cat, jangan lari kau!"
Seru Kong Bu sambil mengejar. Akan tetapi bayangan itu lenyap. Setelah mengejar agak jauh, Kong Bu teringat akan puterinya.
Cepat dia membalik dan lari ke arah kuil kembali, kini dengan nekat dia menerobos masuk ke dalam kuil sambil menjaga diri dengan pedang, langsung dia menuju ke ruangan belakang. Sekali tendang, pintu ruangan belakang yang memang sudah reyot itu runtuh berantakan. la menerjang ke dalam. Gelap! Dengan kakinya dia meraba-raba, akan tetapi ternyata ruangan itu kosong melompong. Baik pemuda Jai-Hwa-Cat tadi maupun puterinya, telah lenyap. Kong Bu mencari ke seluruh ruangan kuil kuno, akan tetapi tidak menemukan seorang pun. Ia memaki-maki, memanggil-manggil nama anaknya, berteriak-teriak menantang. Sia-sia belaka. Bukan main kecewa dan menyesalnya. la telah ditipu oleh pemuda Jai-Hwa-Cat tadi. Terang bahwa tadi dia sengaja dipancing ke luar, kemudian Jai-Hwa-Cat itu tentu telah kembali ke gedung membawa lari Lee Si yang tidak berdaya melawan.
"Keparat jahanam! Kau anak Kwa Kun Hong! Awas kau! Kwa Kun Kong, si buta, keparat, kau harus mempertanggung-jawabkan kebiadaban puteramu. Awas kau! Sambil memaki-maki dan menyumpah-nyumpah, Kong Bu lalu lari seperti orang gila, keluar dari kuil itu. Tujuan hatinya hanya satu, ke Liong-Thouw-San, menuntut kepada Kun Hong agar supaya puteranya diserahkan kepadanya, untuk disodet perutnya agar terbebas penghinaan yang hebat ini!.
"Wah, baik sekali hasilnya. Sumoi, kau benar-benar amat cerdik dan licin sekali. Ha... ha... ha, antara keturunan Raja Pedang dan keturunan Pendekar Buta sudah terdapat bentrokan yang agaknya hanya dapat diredakan dengan darah dan nyawa. Bagus sekali, Sumoi!"
Jaka Lola Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Maharsi tertawa memuji-muji sumoinya setelah pada keesokan harinya pagi-pagi mereka berkumpul di sebuah hutan tak jauh dari kuil di kota Kong-Goan itu. Mereka berkumpul di situ, lengkap seperti kemarin, kecuali Siu Bi. Gadis ini tidak tampak mata hidungnya.
"Ah, Suheng. Kalau tidak sedemikian besar dendamku terhadap mereka, agaknya takkan terpikirkan akal seperti itu olehku. Ketika kau dan Ouwyang Lam memancing Tan Kong Bu menjauhi kuil, sengaja kubebaskan puterinya. Tentu saja gadis itu malu sekali dan tidak ada muka berjumpa dengan Ayahnya. Hi...hi...hik, betapapun dia akan membela diri, siapa percaya bahwa dia tidak tercemar oleh putera Pendekar Buta?"
"Tapi di mana adanya Kwa Swan Bu, dan mana pula adik Siu Bi?"
Tanya Ouwyang Lam.
"Huh, gadis tiada guna itu! Tadinya Swan Bu kusingkirkan dalam keadaan tertotok, tapi kemudian lenyap, tentu dibawa pergi Siu Bi. Gadis tak tahu malu itu kalau tidak tergila-gila kepada pemuda tampan itu, entah mau apa dia...!"
Diam-diam Ang-Hwa Nio-Nio merasa iri hati dan cemburu kepada Siu Bi karena agaknya kekasihnya, Ouwyang Lam, tergila-gila kepada gadis Go-Bi-San itu, maka kesempatan ini ia pergunakan untuk memaki-maki dan memburukkan nama Siu Bi. Adapun Ouwyang Lam diam-diam kecewa sekali karena si jelita Lee Si yang diincar-incar dan hendak dijadikan korbannya telah dibebaskan. Ini belum apa-apa yang menjengkelkan hatinya adalah perginya Siu Bi! la mengomel,
"Ah, Nio-Nio terlalu curiga. Terang bahwa adik Siu Bi membawa pergi Kwa Swan Bu untuk melampiaskan dendamnya. Kita lihat saja, tak lama lagi kita akan mendengar bahwa putera Pendekar Buta kehilangan sebelah lengannya."
"Kalau tidak sudah menjadi bangkai!" "Kata pula Ang-Hwa Nio-Nio.
"Orang gila dari Min-San itu mengejar-ngejarnya. Aha, alangkah ramainya nanti di Liong-Thouw-San. Tentu Raja Pedang akan terseret-seret pula. Dan selagi mereka saling cekcok memperebutkan kebenaran, kita serbu mereka. Suheng, dan Sianjin, mari kita mengunjungi Bhok Lo-Suhu!"
Biarpun hatinya mendongkol, Ouwyang Lam tidak dapat bicara apa-apa lagi, hanya di dalam hatinya ia mengharapkan kembalinya Siu Bi menggabung kepada rombongan mereka yang makin kuat ini. la percaya bahwa lambat-laun dia pasti akan dapat berhasil memikat hati gadis yang mengguncangkan jantungnya itu. Dugaan Ang-Hwa Nio-Nio memang tepat. Ketika terjadi tipu muslihat yang dilakukan oleh Ang-Hwa Nio-Nio, Siu Bi melihat dengan jelas. Akan tetapi ia tidak ambil pusing, hanya mulutnya tersenyum menghina. la muak dengan cara-cara yang dikerjakan oleh Ang-Hwa Nio-Nio. Akan tetapi ia selalu mencari kesempatan untuk memuaskan nafsu hatinya sendiri, yaitu membalas kepada Kwa Swan Bu putera Pendekar Buta. Urusan orang lain ia tidak peduli, yang penting ia harus melaksanakan tugas dan sumpahnya.
Ketika orang yang dinanti-nanti, yaitu yang katanya adalah putera Raja Pedang, Ketua Min-San-Pai bernama Tan Kong Bu Ayah Lee Si yang tertawan itu datang, ia kagum juga. Bukan main sepak terjang laki-laki tinggi besar itu. Mengingatkan ia akan Kakeknya, Hek Lojin. Akan tetapi ketika ia melihat laki-laki itu dipancing menjauhi kuil dan melihat Ang-Hwa Nio-Nio menyeret Swan Bu keluar dan meninggalkannya di belakang kuil untuk membebaskan Lee Si, diam-diam ia menyelinap dan mengempit tubuh Swan Bu, terus dibawa lari cepat sekuatnya meninggalkan tempat itu. Yang lain-lain ia tidak peduli, yang penting baginya hanyalah Kwa Swan Bu, putera Pendekar Buta, musuh besarnya! Siu Bi maklum bahwa Ang-Hwa Nio-Nio dan teman-temannya adalah orang-orang yang amat sakti, bukan lawannya dan ia akan terpaksa menyerahkan Swan Bu kembali malah ia sendiri mungkin tak bebas dari hukuman apabila mereka dapat menyusulnya.
Oleh karena inilah maka gadis itu terus lari secepatnya, menyusup-nyusup ke dalam hutan dan tidak pernah berhenti sampai malam berganti pagi. Akhirnya ia tldak kuat lari lagi dan di dalam sebuah hutan keci ia berhenti, terengah-engah lalu melempar tubuh Swan Bu ke atas tanah. la berdiri mengatur nafas, menyusut keringat di leher dan jidatnya dengan saputangan, memandang sekilas ke arah pemuda yang terbanting ke atas tanah itu. la melihat pemuda itu bergerak perlahan, menggerak-gerakkan lengan dan kaki, agaknya sudah terbebas dari totokan, lalu mencoba untuk bangun dan duduk. Siu Bi kaget sekali, teringat betapa lihainya pemuda ini dan kalau sudah pulih tenaganya, tentu sukar baginya untuk mengalahkannya. Cepat ia menerjang maju, tangannya bergerak dan Swan Bu yang tahu bahwa dia diserang, tak dapat menangkis atau mengelak, karena jalan darahnya belum pulih seluruhnya.
Kembali dia roboh dan tak berkutik karena jalan darahnya yang membuat dia lemas telah ditotok oleh gadis galak itu. Setelah merasa yakin bahwa lawannya takkan mampu bergerak, Siu Bi yang merasa kedua kakinya berdenyut-denyut linu dan lelah sekali, menjatuhkan diri duduk di atas tanah berumput, melanjutkan usahanya menghapus keringatnya. Kemudian ia mengebut-ngebut saputangan dipakai mengipasi lehernya sambil menatap wajah di depan kakinya itu. Wajah seorang pemuda yang amat tampan dan gagah, alis yang hitam tebal berbentuk golok, sepasang mata yang penuh ketabahan. Kebetulan sekali Swan Bu juga memandang kepadanya. Dua pasang mata bertemu pandang, penuh amarah, saling serang dan akhirnya Siu Bi yang menunduk lebih dulu.
"Perlu apa kau melarikan diriku ke sini"
Tanya Swan Bu, suaranya tenang akan tetapi agak ketus.
"Perlu apa lagi? Membuntungi lengan kirimu untuk membalas sakit hati mendiang Kakekku!"
Swan Bu terdiam, memutar otak. Namun dia tidak melihat jalan keluar untuk menolong dirinya. Gadis ini wataknya keras dan aneh, liar dan ganas.
Betapapun juga, kalau gadis ini tidak menculiknya ke sini mungkin jiwanya terancam bahaya. Bahaya yang mengerikan. la bukan takut mati, akan tetapi mati di tangan Paman Tan Kong Bu dengan tuduhan melakukan tindakan maksiat, berzina dengan Lee Si, sungguh merupakan kematian yang amat pahit dan penasaran. Betapapun juga, jika direnungkan benar-benar, gadis liar ini sudah menolongnya, menolong kehormatannya, karena biarpun dia akan dibuntungi lengan kirinya, namun dia tidak mati dan selama dia masih hidup dia akan dapat membersihkan namanya, akan dapat membuktikan kepada Pamannya, Tan Kong Bu, bahwa dia sama sekali tidaklah berbuat zina dengan puteri Pamannya itu. Juga, biarpun lengannya tinggal sebuah, dia masih akan mendapat kesempatan membalas kepada Ang-Hwa Nio-Nio dan kawan-kawannya yang telah membuat fitnah keji terhadap dirinya dan Lee Si itu.
"Huh, wajahmu pucat! Kau takut, ya? Ngeri mengingat lengan kirimu akan buntung? Ya, akan kubuntungi lengan kirimu, biar tahu rasa, biar kau merasakan bagaimana sengsaranya Kakekku setelah lengan kirinya dibuntungi Ayahmu. Dan setelah kau, Ayah dan Ibumu akan menerima gilirannya!"
"Hemmm, kau ini bocah bermulut besar, sombong dan tak tahu malu. Membuntungi lenganku saja kalau tidak secara pengecut, tidak akan becus kau lakukan. Macam kau hendak membuntungi lengan Ayah Ibuku? Hah, cacing tanah pun akan terbahak geli mendengar kata-katamu tadi!"
Tadinya Siu Bi mengira bahwa Swan Bu merasa ngeri dan ketakutan. Hatinya sudah merasa girang karena ia mendapat kesempatan untuk mengejek. Kiranya sekarang malah ucapan pemuda itu bagaikan api membakar dadanya, membuat ia melompat bangun, berdiri dengan mata mendelik, muka berwarna merah padam, hidungnya kembang-kempis.
"Nah, marahlah! Hayo, keluarkan kegagahanmu, marah sekuatmu kemudian coba kau bebaskan aku kalau berani. Kalau aku bebas, boleh Kau coba untuk membuntungi lenganku, hendak kulihat kau becus atau tidak. Hemmm, biar kau memegang Pedang setan hitam itu, aku bertangan kosong saja menghadapimu bukan lenganku yang buntung, melainkan... hemmm hidungmu yang kembang-kempis itu yang akan kucabut copot dari mukamu!"
Dapat dibayangkan betapa memuncak kemarahan Siu Bi mendengar ejekan yang dianggapnya penghinaan hebat ini. la membanting-banting kakinya dan hampir menangis ketika pedangnya berkelebatan di depan muka Swan Bu dan tangannya menuding-nuding, Bibirnya komat-kamit meneriakkan maki-makian yang tidak keluar dari mulut.
"Kau... kau setan, kau... kau... manusia sombong. Hihhh, lehermu yang akan kubuntungi, bukan lenganmu. Dengar? Lehermu akan kupenggal dengan Pedang ini!"
Namun Swan Bu adalah putera tung-gal Kwa Kun Hong, seorang yang biarpun masih muda namun memiliki dasar satria yang tidak takut mati. Selain ini dia pun keras hati dan tidak sudi tunduk jika merasa dirinya benar. Mendengar ancaman dan melihat Pedang berkelebatan di dekat lehernya itu, dia malah tertawa, tertawa nyaring.
"He?!"
Siu Bi menahan gerakan pedangnya dan memandang heran. Memang sama sekali ia tidak mengira, orang yang sudah hampir dipenggal lehernya dapat tertawa segembira itu! "Wah, kau sudah miring otak, ya? Kau sudah menjadi gila saking takut, ya?"
"Perempuan liar, kau lah yang gila. Kau boleh mengeluarkan seribu ancaman, seperti kebiasaan setan-setan dan iblis, akan tetapi seorang gagah tidak takut mati. Aku paling ngeri kalau menjadi pengecut, lebih baik mati daripada menjadi pengecut macam kau ini. Berani menjual lagak hanya kepada orang yang sudah tidak mampu melawan. Huh, beri aku kesempatan untuk melawanmu, baru kau tahu rasa, baru akan terbuka matamu bahwa kau harus belajar lima puluh tahun lagi sampai menjadi nenek-nenek kempot keriput baru boleh menandingi aku! Mau bunuh, hayo bunuhlah. Sabetkan pedangmu dengan tanganmu yang curang itu ke leherku, siapa takut?"
Siu Bi tertegun. Kali ini bukan karena marahnya melainkan karena heran dan kagumnya. Belum pernah selama hidupnya ia melihat orang begini tabah, begini tenang dan penuh keberanian menghadapi kematian. Hampir ia tidak dapat percaya. Mungkin hanya aksi belaka, pikirnya. Kalau sudah diberi rasa sakit, tentu akan menguik-nguik minta ampun seperti anjing dipecuti.
"Kau betul tidak takut mampus? Nah, rasakan ini!"
Pedangnya digerakkan, perlahan-lahan ke arah leher Swan Bu sambil menatap tajam wajah tampan itu. la melihat betapa wajah itu tetap tenang, sepasang mata tajam itu memandang penuh tantangan, berkedip pun tidak, sampai ujung pedangnya menggores kulit pundak yang telanjang itu dan kulit pecah darah merah mengucur. Namun wajah itu tetap tenang, Bibir itu tetap dalam senyum mengejek dan mata menantang, berkedip pun tidak! Bukan main!
"Hayo, kenapa berhenti? Bukan aku yang takut mampus, kau lah yang takut melanjutkan perbuatanmu yang curang dan pengecut!"
Pucat wajah Siu Bi mendengar ini.
"Setan kau!"
Pedangnya kembali diangkat dan kini agak cepat menyambar.
"Crattt!"
Pedang itu menancap pada pundak beberapa senti meter saja dalamnya karena segera ditahannya, ketika dicabut, darah mengucur banyak. Tapi tetap saja wajah Swan Bu tidak berubah, matanya tidak berkedip, senyumnya makin mengejek.
"Nah, kembali kau tidak berani. Melawanku dengan Pedang sedang aku bertangan kosong pun tidak berani. Huh, kau pengecut kepalang tanggung!"
Siu Bi menggigit Bibirnya.
"Sombong! kau kira aku tidak tahu akan akal bulusmu? Kau sengaja memanas-manasi hatiku, sengaja membakarku agar aku menjadi panas hati dan membebaskanmu. Huh, siapa yang tidak tahu bahwa kau lihai dan kalau dibanding aku takkan menang? Tapi jangan kira aku sebodoh itu, aku tidak dapat kau pancing! Padahal kalau betul-betul kau bertangan kosong melawan aku bersenjata pedang, dalam belasan jurus saja kau pasti akan roboh. Kau sengaja membuka mulut besar, kalau sudah kubebaskan dari totokan, kau tentu melarikan diri dan aku tidak dapat mengejarmu, sampai kau mendapatkan senjata dan melawanku. Bukankah begitu akalmu, Bulus?"
Diam-diam Swan Bu mengeluh. Cerdik betul bocah ini. Tidak ada gunanya menipu gadis seperti ini. Akan tetapi memang ucapannya tadi bukan semata-mata hendak mengejek dan memancing agar dibebaskan, melainkan betul-betul keluar dari perasaannya yang penasaran dan marah.
"Bocah tak perlu menjual lagak. Kau pintar atau goblok bukan urusanku, yang terang kau pengecut. Aku seorang laki-laki sejati, Ayahku Pendekar Buta terkenal di kolong jagat sebagai seorang Pendekar besar. Menyelamatkan diri dengan jalan menipu, apalagi menipu seorang bocah masih ingusan macam engkau, bukanlah perbuatan orang gagah. Kau mau melihat bukti bahwa aku dapat mengalahkan engkau yang berpedang dengan tangan kosong? Bebaskan aku, akan kubuktikan. Aku tidak akan lari, kalau sudah membuktikan omonganku, boleh Kau tawan aku lagi, aku takkan melawan."
"Huh, siapa percaya omonganmu?"
Siu Bi mencibirkan Bibirnya yang merah dan Swan Bu mengerutkan alisnya. Terlalu cantik manis dara liar ini kalau sudah mencibir seperti itu.
"Percaya atau tidak terserah, aku pun tidak akan memaksa kau percaya. Akan tetapi yang jelas, kau berani melawan aku bertangan kosong?"
Siu Bi duduk termenung, tanpa ia sadari jari-jari tangan kirinya bergerak-gerak dan ujungnya memukul-mukul pahanya sendiri. la penasaran sekali. la tahu bahwa ilmu Pedang pemuda ini hebat sekali, tadi malam ia sudah menyaksikannya. Akan tetapi kalau bertangan kosong melawan ia berpedang? Ah, tidak mungkin ia akan kalah! Pula, kalau membuntungi lengannya dalam keadaan tertotok seperti ini, benar-benar sukar baginya untuk melakukannya. Lebih baik bebaskan dia dan tantang berkelahi, dalam kesempatan itu ia akan membuntungi lengannya. Dengan begitu barulah perbuatan gagah.
"Kau tidak akan lari?"
"Kata-kata lari tidak terdapat dalam kamus hatiku."
"Berani sumpah?"
Hampir Swan Bu tertawa. Gadis ini aneh, liar, akan tetapi juga lucu.
"Ucapan yang keluar dari mulut orang gagah dengan sendirinya sudah merupakan sumpah yang lebih berharga daripada nyawa."
"Baik, kau kubebaskan dan kau lawanlah pedangku dengan tangan kosong. Kalau kau melarikan diri, tidak apa, aku akan menganggap kau seorang yang paling curang dan pengecut di seluruh permukaan bumi ini."
Sebelum pemuda itu sempat menjawab yang menyakitkan hati, Siu Bi sudah menerjang maju, tangan kirinya menotok dan terbebaslah Swan Bu.
Pemuda ini bergerak dan bangkit berdiri, kaki tangannya kesemutan dan masih kaku-kaku. la menggerak-gerakkan lengan dan kakinya sampai jalan darahnya pulih kembali sambil mengatur nafas mengerahkan Sinkang. Terasa hawa panas mengelilingi seluruh bagian tubuhnya dan beberapa detik kemudian dia sudah segar kembali. Inilah cara memulihkan jalan darah dan tenaga warisan ajaran Ayahnya. la melirik ke arah pundaknya di mana terdapat guratan dan tikaman pedang. Lukanya tidak berbahaya, akan tetapi terasa perih dan darahnya cukup banyak. Swan Bu menggerakkan jari tangan menekan pinggir luka, darahnya berhenti dan dia menghadapi Siu Bi dengan senyum mengejek tak pernah meninggalkan Bibirnya.
"Kalau kau betul jantan, lawanlah pedangku. Awas pedang!"
Siu Bi segera menerjang dengan kecepatan kilat. la sudah maklum bahwa putera Pendekar Buta ini benar-benar lihai, maka begitu menerjang ia sudah menggunakan jurus yang berbahaya sambil membarengi dengan pukulan Hek-In-Kang dari tangan kirinya. Biarpun baru segebrakan saja Swan Bu pernah melawan Siu Bi, namun dia tahu bahwa gadis itu selain memiliki ilmu Pedang yang aneh dan amat ganas, juga tangan kirinya mengandung hawa pukulan yang keji, hawa pukulan beracun yang mengeluarkan uap hitam.
Oleh karena inilah maka serta merta dia menggunakan ilmu langkah ajaib Kim-Tiauw-kun dan mainkan jurus-jurus Im-Yang Sin-Hoat yang sukar dicari tandingnya itu. Tubuhnya bergerak aneh, kadang-kadang terhuyung, kadang-kadang jongkok, berdiri miring, membungkuk dan berloncatan, seperti bukan orang main silat. Melihat gerakan ini, hampir saja Siu Bi tak dapat menahan seruan heran dari mulutnya. la mengenal gerakan ini. Pernah ia dibikin tidak berdaya oleh gerakan-gerakan seperti ini, yang dimainkan oleh Yo Wan! Malah ia pernah, sebelum berpisah dari Yo Wan secara menyedihkan, minta supaya Yo Wan mengajarkan ilmu langkah ajaib itu karena dengan ilmu langkah itu saja ia pernah dibikin tidak berdaya. Dan sekarang, pemuda ini menggunakan ilmu langkah itu! Saking kaget dan herannya, penyerangannya berhenti.
"He, kenapa berhenti? Kau takut?"
Swan Bu mengejek.
"Takut hidungmu! Aku hanya heran... apa engkau kenal orang yang bernama Yo Wan Si Jaka Lola?"
Swan Bu tertegun. Gadis aneh, ada-ada saja pertanyaannya dan aneh-aneh tak terduga-duga pula.
"Yo Wan? Tentu saja kenal, dia itu Suhengku, murid Ayahku. Mau apa kau sebut-sebut dia?"
Mampus kau! Hampir saja di depan Swan Bu ia mengeluarkan ucapan ini, dan betapa herannya Swan Bu ketika melihat tiba-tiba gadis itu menampar kepalanya sendiri
"Eh,apa kau gila?"
Siu Bi tidak mendengar pertanyaan ini, pikirannya berputaran tujuh keliling. Siapa kira siapa duga, Yo Wan itu malah murid Pendekar Buta! Dan ia sudah mengajak Yo Wan bersekongkol membantunya melawan Pendekar Buta. Anehnya, mengapa Yo Wan mau saja? Dan pemuda yatim piatu itu baru marah dan meninggalkannya setelah mengetahui bahwa ia adalah puteri tiri The Sun yang katanya membunuh Ibunya. Wah, wah, kalau Yo Wan itu murid Pendekar Buta, celaka dua belas. Sampai mati pun mana mungkin ia menang melawan Pendekar Buta? Tapi, ia sudah menantang pemuda ini, harus dapat memenangkannya, kalau tidak, lagi-lagi ia akan menderita malu.
"Bagaimana kau mengenal Suhengku itu? Di mana dia?"
"Aku tidak kenal dia! Kau makanlah pedangku ini!"
Siu Bi menerjang lagi, kini gerakannya lebih dahsyat lagi karena ia telah mengeluarkan jurus yang paling lihai setelah maklum bahwa pemuda ini adalah adik seperguruan Yo Wan dan karenanya tentu memiliki ilmu yang sakti seperti Yo Wan pula sehingga ia khawatir kalau-kalau ia akan kalah, biarpun hanya dilawan dengan tangan kosong.
Swan Bu cepat mengelak dan di lain saat mereka telah bertempur lagi dengan seru. Sebentar saja puluhan jurus telah lewat dan sama sekali Siu Bi belum dapat mendesak lawannya, sungguhpun bagi Swan Bu juga tidak mudah untuk mengalahkan gadis yang gesit dan memiliki ilmu kepandaian tinggi dan luar biasa itu. Kalau saja dia berpedang, agaknya tidak akan begitu sukar baginya untuk menundukkan Siu Bi. Dengan ilmu Pedang Im-Yang Sin-Kiam, kiranya dia akan dapat mengalahkannya. Betapapun juga, kekerasan hatinya tidak mengijinkan Swan Bu untuk mengalah terhadap gadis liar yang hendak membuntungi lengannya ini. Pada saat pertempuran sedang berjalan seru, tiba-tiba terdengar teriakan orang,
"Ini dia! Mari bantu nona The! Serang dan bunuh dia!!"
Jarum-jarum halus menyambar ke arah Swan Bu ketika tiga orang yang baru muncul ini menggerakkan tangan mereka, kemudian menyusul serangan senjata halus itu mereka menerjang maju dengan golok, menyerang Swan Bu dengan hebat.
Mereka ini bukan lain adalah tiga orang anggota Ang-Hwa-Pai yang tentu saja tidak tahu akan tipu muslihat Ang-Hwa Nio-Nio karena hal itu memang dirahasiakan sehingga setahu mereka hanya bahwa pemuda putera Pendekar Buta yang tertawan itu telah berhasil lolos. Kini melihat pemuda itu bertanding melawan Siu Bi, tentu saja mereka segera membantu karena mereka maklum bahwa nona The Siu Bi adalah "Keponakan"
Ketua mereka. Pada saat mereka menyerang dengan jarum-jarum halus itu, Siu Bi sedang mengurung Swan Bu dengan sinar Pedang dan pukulan Hek-In-Kang. Swan Bu sibuk menghadapi serangan dahsyat ini, maka alangkah kagetnya ketika dia merasa adanya sambaran angin halus dari sebelah belakang.
Cepat dia menggunakan tangan kirinya menyampok sambil mengerahkan Sinkang sehingga angin pukulannya menyambar ke belakang. Namun, di antara jarum-jarum halus yang dapat dia sampok runtuh itu terdapat sebatang yang menyelinap dan menancap pada pundak kanannya. Swan Bu merasa pundaknya kaku dan gatal-gatal, maka tahulah dia bahwa dia telah menjadi korban senjata rahasia halus yang beracun! Namun dengan nekat dia lalu melawan, cepat menghindar dari sambaran tiga batang golok dan pada saat tubuhnya miring itu kakinya melayang dan seorang pengeroyok roboh dengan tulang iga patah! Sementara itu, Siu Bi juga marah sekali melihat munculnya tiga orang Ang-Hwa-Pai yang tanpa diminta telah lancang turun tangan membantunya. Ia berseru keras,
"Cacing busuk, siapa butuh bantuan kalian? Mundur!"
Akan tetapi dua orang Ang-Hwa-Pai ketika melihat seorang teman mereka roboh, mana mau mundur. Yang memerintah mereka kali ini bukanlah seorang pemimpin Ang-Hwa-Pai, tentu saja mereka tidak peduli dan terus menerjang Swan Bu dengan hebat.
"Trang-trang...!!"
Golok di tangan mereka terpental dan sebelum mereka dapat mengelak, mereka telah roboh dengan pangkal lengan dan paha pecah kulit dan dagingnya dimakan Pedang Siu Bi! Mereka begitu kaget sehingga mudah roboh karena sama sekali tidak pernah mengira bahwa mereka akan diserang oleh gadis itu.
"Lancang!"
Dia memaki lagi dan kini pedangnya bergulung-gulung menyambar ke arah Swan Bu yang cepat menjatuhkan diri ke samping, lalu bergulingan menyelamatkan diri.
Ketika Siu Bi mendesak, pemuda ini sudah berhasil melompat berdiri dan kembali mereka bertanding hebat. Adapun tiga orang Ang-Hwa-Pai itu, setelah dapat merangkak bangun, segera pergi dari situ terpincang-pincang. Dua orang yang terluka Pedang Siu Bi, dengan susah payah dan sedapat mungkin menggotong temannya yang masih pingsan karena tendangan Swan Bu mematahkan sedikitnya dua buah tulang iganya. Mereka bergegas pergi untuk mencari bala bantuan. Kini perlawanan Swan Bu tidak segesit tadi. Pemuda ini tentu saja tidak sudi memperlihatkan kelemahan, tidak sudi mengaku bahwa dia telah terluka oleh jarum beracun. la melakukan perlawanan sedapat mungkin biarpun kini lengan kanannya setengah lumpuh. Diam-diam Siu Bi amat kagum. Benar-benar hebat pemuda ini dan seperti yang ia khawatirkan, sama sekali ia tidak mampu merobohkannya.
Padahal pemuda ini bertangan kosong dan ia memegang Cui-Beng Kiam dan malah menggunakan Hek-In-Kang. Bukan main! Di dalam hatinya, Siu Bi merasa sayang sekali mengapa pemuda sehebat ini ditakdirkan menjadi putera musuh besar Kakeknya yang harus ia buntungi lengannya. Kalau saja tidak demikian halnya, alangkah akan senangnya mempunyai seorang sahabat seperti dia ini, sebagai pengganti Yo Wan yang sekarang sudah memusuhinya karena perbuatan Ayah tirinya. Siu Bi diam-diam merasa menyesal bukan main. Mau rasanya ia menangis, apalagi ditambah kejengkelan hatinya bahwa begitu lama ia masih juga belum berhasil mengalahkan dan membuntungi lengan Swan Bu. Akan tetapi tiba-tiba Swan Bu mengeluh, terhuyung-huyung ke belakang lalu jatuh terduduk.
Siu Bi menahan pedangnya, kaget dan terheran-heran. Terang bahwa bukan dia yang merobohkan pemuda itu. Baru saja pemuda itu menangkis pukulannya yang dilakukan dengan pengerahan tenaga Hek-In-Kang di tangan kiri. Swan Bu tak dapat mengelak dan terpaksa menangkis dengan tangan kanan. Dalam pertemuan tenaga ini, Siu Bi merasa betapa lengan kirinya tergetar hebat. Makin kagum ia karena jarang ada orang dapat menangkis tenaga Hek-In-Kang sedemikian rupa sampai dia tergetar ke belakang. Dan sehabis menangkis itulah, ketika ia menerjang lagi dengan pedangnya, Swan Bu mengelak lalu terhuyung-huyung ke belakang dan jatuh terduduk, meringis menahan sakit sambil menekan pundak kanannya. Siu Bi melangkah maju, memandang penuh perhatian. Dilihatnya kulit pundak kanan yang putih itu ternoda bintik merah membengkak.
"Kau terluka Ang-Tok-Ciam (Jarum Racun Merah)!"
Serunya di luar kesadarannya. Swan Bu mengangguk lesu.
"Tiga orang tadi..."
"Kalau tidak segera dikeluarkan, kau akan mati..."
"Lebih baik begitu, jadi kau tidak usah bersusah-payah lagi..."
Siu Bi maju lagi dan berlutut.
"Tidak boleh mati! Kalau mati aku takkan dapat melaksanakan sumpahku. Jangan bergerak, biar kukeluarkan jarum itu!"
Siu Bi memegang pedangnya dekat ujung, lalu dengan hati-hati ia merobek kulit di pundak itu,
Swan Bu menggigit Bibir menahan sakit, jantungnya berdebar ketika dia melihat wajah Siu Bi hanya beberapa senti saja jauhnya dari pipi kanannya. Jelas dia melihat kulit muka yang putih halus, dengan rambut hitam dari sinom rambut kacau terurai di jidat dan melingkar indah di depan telinga. Melihat Bibir yang basah itu bergerak dan saling himpit dalam ketekunan usaha membedah dan mengeluarkan jarum dari pundaknya, hidung yang kecil mancung itu menyedot dan mengeluarkan nafas panas halus yang membelai leher dan pipinya, mata seperti bintang itu tanpa berkedip menuntun jari-jari tangan halus bekerja. Ahhh, wajah seperti ini pantasnya dimiliki dewi kahyangan, bukan iblis betina yang kejam. Akhirnya Siu Bi berhasil menjepit keluar jarum halus itu dari dalam pundak Swan Bu. Dibuangnya jarum itu sambil berkata,
Lembah Selaksa Bunga Karya Kho Ping Hoo Pendekar Lembah Naga Karya Kho Ping Hoo Pendekar Sadis Karya Kho Ping Hoo