Jaka Lola 16
Jaka Lola Karya Kho Ping Hoo Bagian 16
Jawab si nenek.
"Aih...aih...aih... yang begitu mana patut disebut Pendekar? Pengecut besar dia..."
Kata Kakek berpakaian merah. Akan tetapi Kakek ini terpaksa menghentikan kata-katanya dan cepat dia melempar diri ke kiri sambil menggerakkan tongkatnya menangkis ketika sesosok sinar cemerlang menyambarnya. Sinar itu adalah sinar Pedang di tangan Kong Bu yang sudah menerjangnya dengan kecepatan kilat menyambar.
"Swiiinggg...!"
Sinar Pedang menyambar, merupakan gulungan sinar putih yang mendatangkan angin tajam!
"Hayaaaaa...!"
Kakek berpakaian merah berseru kaget dan cepat membanting tubuh ke kiri, berjungkir balik dan tongkatnya sudah diputar melindungi tubuhnya. Di lain detik Kong Bu sudah berdiri dengan kaki terpentang lebar, Pedang melintang di depan dada, mata memandang tiga orang itu dengan sinar bernyala-nyala.
"Siapakah kalian dan apa maksud kalian menghina orang lewat tanpa sebab?"
Nenek itu tertawa mengejek.
"Hi...hi...hik, kau bilang tanpa sebab? Apakah kau hendak menyangkal betapa puterimu di kuil tua di Kong-Goan tidur di samping putera Pendekar Buta yang telanjang...? Hi...hi...hik, dan kau tidak berani..."
Nenek itu menghentikan tawanya karena Kong Bu sudah melangkah maju setindak, mukanya beringas, Pedang di tangannya tergetar.
"Bagaimana kau bisa tahu? Ah... tahulah aku sekarang. Agaknya kalian inilah manusia-manusianya yang sengaja mengatur itu... ah, betapa bodohku! Dan kau..."
La menuding muka Kakek berpakaian merah dengan pedangnya.
"Kau Ang-Mo-Ko. Ya, ingat aku sekarang, kau bekas pengawal Kaisar muda. He, Ang-Mo-Ko, apa kehendakmu menghadang dan menghinaku? Dan dua orangj ini siapa?"
Nenek itu melangkah maju, pedangnya sudah tercabut dan berada di tangannya, Pedang yang mengeluarkan sinar keemasan.
"Kau putera Raja Pedang kan? Hi...hi...hik, Raja Pedang dan Pendekar Buta musuh-musuh kami, keluarga mereka pun musuh kami. Memang kami yang mengatur di kuil tua di Kong-Goan. Hi...hi...hik, Tan Kong Bu, kau mau mengenal kami? Aku Ang-hwa Nio-nip, Kui Ciauw..."
"Ah, kau sisa dari Ang Hwa Sam Ci-moi? Bagus, kiranya musuh besar!"
Bentak Kong Bu.
"Dan sahabatku ini adalah Bo Wi Sianjin, Sute dari mendiang Ka Chong Hoatsu..."
"Hemmm, semua adalah musuh-musuh besar Ayah. Pantas, pantas... heee, Ang-Hwa Nio-Nio, apa yang telah kalian lakukan terhadap anakku? Kalau memang kalian mendendam, mengapa tidak langsung menghadapi Ayah atau aku, tua lawan tua. Kenapa mesti mengganggu bocah? Tak tahu malu engkau!"
Ang-Hwa Nio-Nio tertawa terkekeh.
"Kami tawan anakmu dan anak Pendekar Buta, kami menotok mereka dan menjajarkan di dalam kuil, memancing kau masuk. Ihhh, kiranya kau begitu goblok, tidak dapat membunuh putera Pendekar Buta, ataukah... kau tidak berani?"
"Keparat"
Kong Bu tak dapat menahan kemarahannya lagi. Pedangnya Sudah berkelebat menyambar dengan sebuah tusukan kilat ke arah dada Ang-Hwa Nio-Nio. Serangan ini hebat sekali, didorong oleh tenaga Yangkang yang luar biasa, tak mungkin dapat dielakkan lagi saking cepatnya. Kalau bukan Ang-Hwa Nio-Nio yang diserang, tentu telah tembus dadanya oleh pedang. Akan tetapi wanita tua ini bukan orang lemah dan ia pun maklum bahwa mengelak berarti menghadapi bahaya maut. Maka sambil menjatuhkan diri ke kanan, pedangnya bergerak menangkis, berubah menjadi sinar keemasan.
"Tranggggg...!"
Tangan Kong Bu tergetar dan dia cepat-cepat menarik kembali pedangnya. Diam-diam dia mengakui kelihaian Nenek ini, akan tetapi yang membuat dia lebih bingung dan kaget adalah ketika dia melihat Pedang bersinar keemasan di tangan si nenek. IA mengenal Pedang ini, serupa benar dengan Pedang isteri Pendekar Buta yang baru beberapa pekan ini dihadapinya. Ketika bertanding dengan Hui Kauw, nyonya itu pun menggunakan Pedang ini. Apakah Pedang mereka memang kembar?
"Iblis, Pedang siapa kau pakai?"
Kong Bu membentak dan melanjutkan serangannya. Akan tetapi pedangnya bertemu dengan tongkat panjang dan kiranya Ang-Mo-Ko sudah maju pula mengeroyok.
"Hi...hi...hik, mau tahu? Pedang nyonya Pendekar Buta ini, dan sebentar lagi Pedang ini yang akan mengambil nyawamu!"
Kong Bu seorang yang jujur, akan tetapi dia bukanlah orang bodoh pertemuannya dengan tiga orang ini sudah cukup baginya untuk membuka matanya, untuk memecahkan rahasia itu. Tahulah dia sekarang bahwa peristiwa antara Swan Bu dan Lee Si adalah peristiwa buatan mereka ini, musuh-musuh besar Ayahnya dan musuh-musuh Pendekar Buta pula. Me.reka sengaja memancing kemarahannya agar dia bermusuhan dengan Pendekar Buta. Agaknya melihat bahwa ia belum dapat membunuh Swan Bu, mereka tidak sabar dan kini mereka hendak turun tangan sendiri, membunuhnya dan kembali mereka hendak menjalankan siasat mengadu domba, yaitu hendak membunuhnya menggunakan Pedang isteri Pendekar Buta yang entah bagaimana bisa terjatuh ke tangan Ang-Hwa Nio-Nio.
"Jangan kira gampang!!"
La membentak dan segera Ketua Min-San-Pai ini mainkan pedangnya dengan Ilmu Pedang Yang-Sin Kiam-Hoat yang ampuh. Pedangnya lenyap bentuknya, berubah menjadi gulungan sinar putih yang panjang dan lebar melibatlibat dan melayang-layang seperti seekor naga di angkasa yang mengamuk dan bermain-main di antara awan putih.
"Kok-kok-kok?"
Bo Wi Sianjin si Kakek gendut pendek sudah berjongkok dan melancarkan pukulan Katak Saktinya.
Pada saat itu baru saja Kong Bu menangkis Pedang Ang-Hwa Nio-Nio dan melompat ke kanan menghindarkan diri dari tongkat Ang-Mo-Ko yang menyapu pinggangnya. Kagetlah dia ketika tiba-tiba mendengar suara aneh itu dari belakang dan tiba-tiba menyambar angin pukulan yang amat dahsyat. Melihat sikap dan kedudukan Kakek itu aneh sekali, Kong Bu tidak berani menghadapinya dengan kekerasan, melainkan mengelak sambil berjongkok. Angin pukulan menyambar lewat di atas kepalanya dan alangkah kagetnya ketika kain pembungkus kepalanya hancur berkeping-keping. Baru diserernpet hawa pukulan itu saja sudah demikian hebat akibatnya, dapat dibayangkan betapa akibatnya kalau pukulan aneh itu tepat mengenai perutnya! Maklumlah Pendekar ini bahwa di antara tiga orang lawannya, Kakek pendek yang bertangan kosong inilah yang paling berbahaya.
Karena itu, Kong Bu segera mengubah siasat. la sengaja bergerak dan melayang cepat, sengaja dia menjauhkan diri dari Bo Wi Sianjin, atau dia sengaja mengambil posisi sedemikian rupa agar Kakek pendek itu selalu terhalang oleh Ang-Mo-Ko atau Ang-Hwa Nio-Nio sehingga tidak berani melancarkan pukulan jarak jauh yang mujijat tadi karena jika demikian, tentu ada bahayanya memukul kawan sendiri. Setelah dalann pertempuran seperempat jam lamanya belum juga mereka dapat merobohkan Kong Bu, Ang-Hwa Nio-Nio menjadi marah dan penasaran sekali. Nenek ini mengeluarkan pekik nyaring, tubuhnya meloneat bagaikan seekor burung walet, pedangnya diputar menerjang Kong Bu dari atas, dan tangan kirinya mengirim pukulan Ang-Tok-ciyng yang tak kalah berbahayanya.
"Cring-cring-cring...!"
Tiga kali Pedang Kong Bu menangkis serangan beruntun itu.
Serangan Ang-Hwa Nio-Nio memang aneh dan hebat. Begitu pedangnya tertangkis, Pedang itu terpental bukan ke belakang, melainkan menyeleweng dan terus menjadi gerak serangan susulan yang makin lama makin hebat. Terpaksa Kong Bu mainkan Yang-Sin Kiam-Hoat bagian pertahanan setelah melihat betapa tiga kali tangkisannya tidak membuyarkan rangkaian serangan lawan. Kini pedangnya diputar seperti payung dan jangankan baru serangan Pedang Ang-Hwa Nio-Nio, biarpun hujan deras menyiramnya, tak setetes pun air akan dapat mengenai bajunya. Pukulan Ang-Hwa Nio-Nio dengan tangan kiri, tak berani Kong Bu menerimanya langsung. la dapat melihat betapa tangan Nenek itu menjadi merah, tanda bahwa pukulan itu mengandung hawa beracun yang jahat. la hanya menggeser kaki miringkan tubuh sambil menangkis dari samping.
Sebagai ahli Yang-Sin Kiam-Hoat, tentu saja Kong Bu memiliki tenaga Yangkang istimewa kuatnya, maka benturan ini membuat Nenek tadi terhuyung-huyung dan serangannya otomatis gagal. Ang-Mo-Ko menanti kesempatari baik. Selagi kedua Pedang tadi berkelebatan beradu cepat, dia tidak berani sembrono dengan tongkatnya, karena selain hal ini dapat mengacaukan permainan Pedang Ang-Hwa Nio-Nio, juga salah-salah tong, katnya akan kena benturan Pedang kawannya. Kini melihat betapa libatan sinar-sinar Pedang itu sudah teriepas dan Kong Bu juga terhuyung ke kanan oleh benturan tenaga tadi, cepat laksana kilat tongkatnya menyelonong maju, digetarkan sehingga ujungnya berubah menjadi belasan batang yang kesemuanya menyerang dengan totokan-totokan maut ke arah bagian tubuh yang berbahaya.
Hebat memang ilmu tongkat Ang-Mo-Ko. Bagian tubuh yang berbahaya dimulai dari ubun-ubun kepala terus ke bawah dalam jarak sejengkal tangan, yaitu dari ubun-ubun ke mata, telinga, tenggorokan, pundak, ulu hati, pusar dan seterusnya. Anehnya, ujung tongkat yai g hanya satu ini, setelah dia getarkan sedemikian kuatnya, seakan-akan berubah menjadi belasan batang dan menyerang semua bagian berbahaya itu sambil mengeluarkan suara mendengung-dengung! Melihat penyerangan yang luar biasa ganasnya ini Kong Bu mengeluarkan suara melengking tinggi dari kerongkongannya. Inilah pengerahan Sinkang yang istimewa, disertai suara melengking, sebuah ilmu kesaktian yang dia warisi dari mendiang Kakeknya, Song-Bun-Kwi Kwee Lun Si Iblis Berkabung!
Bunyi lengking tinggi ini selain menambah daya pemusatan Sinkang, juga mengandung tenaga yang menggetarkan jantung lawan. Sambil melengking-lengking Kong Bu menggerakkan pedangnya yang menerobos di antara bayangan ujung tongkat. Terdengar suara keras ketika tongkat di tangan Ang-Mo-Ko patah-patah menjadi lima potong dan disusul pekik mengerikan karena tanpa dapat dielakkan lagi oleh Ang Moko, Pedang di tangan Kong Bu sudah menancap tenggorokannya sampai tembus dan sekali Kong Bu merenggut ke kanan, leher itu hampir putus! Tubuh Ang-Mo-Ko roboh miring, kepala yang lehernya hampir putus tertindih paha, darah menyembur-nyembur dan kaki tangan berkelojotan, kaku kejang seakan-akan tubuh yang rusak lehernya oleh Pedang itu masih tak tega berpisahan dengan nyawa!
"Keparat, terimalah pukulanku!"
Terdengar bentakan dari belakang Kong Bu disusul suara "Kok-kok-kok!"
Seperti tadi. Kong Bu maklum bahwa Kakek pendek itu sekarang mendapat kesempatan melancarkan pukulannya yang aneh dan mujijat.
Cepat dia memutar tubuhnya, berusaha mengelak sambil mengerahkan Sinkang di kedua lengannya, mendorong ke depan untuk menahan gelombang serangan tenaga yang tidak tampak. Nampak pukulan Katak Sakti dari Bo Wi Sianjin ini bukan main hebat dan kuatnya. Kong Bu merasa betapa tubuhnya seperti ditembus angin taufan yang tak tertahankan, dorongannya membalik dan tubuhnya melayang seperti layang-layang putus talinya! Pada saat itu, Pedang Ang-Hwa Nio-Nio meluncur dan membabat pinggangnya. Baiknya Kong Bu adalah seorang jagoan yang sudah matang kepandaiannya, maka biarpun tubuhnya melayang di udara, dia cepat dapat menguasai dirinya lagi sehingga melihat sinar Pedang berkelebat mengancam pinggang, dia masih dapat menggerakkan pedangnya sekuat tenaga menangkis.
"Tranggggg...!!"
Tubuh Kong Bu melompat sambil berjungkir-balik, membuat salto sampai tiga kali sebelum kedua kakinya menginjak bumi. Akan tetapi kagetlah dia ketika melihat bahwa pedangnya telah patah di dekat gagangnya. Dengan hati geram dia membanting gagang pedang, lalu melolos sarung Pedang yang dipegang di tangan kanannya, juga melepaskan ikat pinggang yang terbuat dari sutera kuning. Biarpun tidak sehebat pedangnya yang patah, namun dengan sarung Pedang dan ikat pinggang di tangan, Kong Bu masih merupakan lawan yang amat tangguh!
Kembali Ang-Hwa Nio-Nio menyerang, kali ini Nenek itu memperlihatkan Ginkangnya. Sekali kedua kakinya menjejak tanah, tubuhnya melayang seperti terbang ke arah Kong Bu, pedangnya diputar-putar di depannya, berubah menjadi segulung sinar Bundar, diiringi suara seruannya yang nyaring, Kong Bu maklum akan keampuhan Pedang di tangan Nenek itu, Pedang yang mengeluarkan sinar keemasan. la maklum pula bahwa kalau dia menangkis dengan sarung pedang, tentu senjatanya ini akan terbabat putus, maka dia lalu membentak keras, ikat pinggangnya di tangan kiri bergerak seperti seekor ular nienyambar, ujungnya menyambut Pedang lawan dengan maksud melibat Pedang atau lengan yang memegang pedang. Namun Ang-Hwa Nio-Nio juga bukan seorang ahli silat sembarangan. Tak mau ia mengadu pedangnya dengan benda lemas itu.
la menarik pedangnya, turun ke atas tanah lalu mengubah serangannya, menusuk dan membabat bertubi-tubi, tidak memberi kesempatan lagi kepada lawannya. Kong Bu melengking keras ketika dari belakang terdengar suara "Kok-kok-kok,"
Pukulan mujijat dari Bo Wi Sianjin. Terpaksa dia menghindar ke kiri, akan tetapi di sini dia disambut oleh tusukan Pedang yang dapat ditangkisnya dari samping dengan sarung pedang. Ikat pinggangnya dikelebatkan ke belakang menyerang kaki Bo Wi Sianjim Serangan ini kelihatannya sepele, akan tetapi kiranya akan celakalah Kakek pendek itu kalau kakinya sarnpai kena terlibat ikat pinggang! Bo Wi Sianjin tertawa mengejek, sambil melompat tinggi, kemudian turuni dan melancarkan pukulan Katak Sakti lagi yang juga dapat dielakkan oleh Kong Bu, walau dengan susah payah.
"Heh...heh...heh, ada apa ini ribut-ribut? terdengar suara yang kaku dan ganjil, suara orang asing. Kong Bu melirik dan melihat seorang Kakek asing berkulit hitam, tinggi besar bersorban, telinganya memakai anting-anting, jalan mendatangi bersama seorang Hwesio yeng juga tinggi besar akan tetapi sudah tua sekali, Hwesio yang pakaiannya sederhana dan bajunya dibuka lebar di bagian dada. Mereka itu bukan lain adalah Maharsi dan Bhok Hwesio
"Ji-wi Lo-Suhu mengapa baru datang? Ang-Mo-Ko tewas oleh keparat ini"
Teriak Ang-Hwa Nio-Nio, setengah menyesal akan tetapi juga girang.
"Dia mampus pun salahnya sendiri, karena kepandaiannya masih rendah,"
Jawab Maharsi seenaknya.
"Inikah jago Min-San putera Raja Pedang? Heh...heh...heh, ingin kucuba!"
Kong Bu kaget sekali. la masih sibuk menghadapi desakan Pedang Ang-Hwa Nio-Nio dan pukulan mujijat Bo Wi Sianjin. Sekarang tiba-tiba Pendeta India yang tinggi itu berjalan miring-miring mendekatinya, lengan tangannya bergerak dan lengan itu seperti mulur, tahu-tahu sudah dekat dengan kepalanya, didahului angin pukulan yang tak kalah mujijatnya oleh angin pukulan Katak Sakti Bo Wi Sianjin. Kong Bu cepat menjatuhkan diri di atas tanah dan bergulingan. Hanya dengan cara ini dia tadi dapat terbebas dari bahaya maut. Saking marahnya, Kong Bu mengeluarkan lengking tinggi bersambung-sambung, melompat bangun dan mengamuk. Namun pihak lawan terlalu banyak dan terlalu tangguh. Pada suatu saat dia berhasil menghindar dari pukulan Katak Sakti Bo Wi Sianjin, akan tetapi tidak dapat mengelak dari pukulan Pai-San-Jiu dari Maharsi.
Punggungnya kena dorongan dahsyat ini, dia terbanting roboh, nafasnya sesak dan setengah pingsan. Pada saat itulah Ang-Hwa Nio-Nio melompat dekat dan menusukkan Kim-Seng-Kiam ke dadanya. Pedang ini amblas sampai setengahnya lebih, tepat menghunjam dada kiri dan menembus jantung sehingga jagoan sakti Pendekar Min-San ini tewas di saat itu juga tanpa dapat mengeluh lagi. Dan demikianlah, seperti telah dituturkan di bagian depan, Tan Cui Sian dan Kwa Swan Bu dari jauh mendengar lengking tinggi dari Kong Bu, akan tetapi ketika mereka tiba di tempat itu, hanya melihat mayat Tan Kong Bu dengan Pedang Kim-Seng-Kiam menancap di dadanya. Melihat Pedang ini yang diakui sebagai Pedang Ibunya oleh Swan Bu, Cui Sian marah bukan main. la dapat menduga bahwa kakaknya yang berdarah panas dan berwatak keras itu tentu tewas di tangan isteri Pendekar Buta.
la pun maklum bahwa tentu kakaknya itu marah-marah kepada Pendekar Buta Suami isteri, menuduh Swan Bu melakukan perbuatan hina terhadap Lee Si, dan mungkin Suami isteri itu pun merasa marah karena puteranya dimaki-maki sehingga timbul percekcokan. Akan tetapi, kalau sampai membunuh kakaknya, ini keterlaluan namanya dan ia tidak akan menerima begitu saja! Jangankan Cui Sian, sedangkan Swan Bu sendiri diam-diam juga menduga demikian. Mana bisa lain orang yang membunuh Kong Bu kalau Pedang Kim-Seng-Kiam menancap di dadanya. Pedang itu tak mungkin terlepas dari tangan Ibunya! Swan Bu gelisah sekali, bingung dan berduka. Akan tetapi ada satu kenyataan yang menghibur hatinya, yakni bahwa Pedang itu masih tertancap di dada Kong Bu dan ditinggalkan begitu saja.
Mungkinkah kalau memang Ibunya yang membunuh Kong Bu, Ibunya meninggalkan Pedang itu tertancap di dada lawannya? Apakah karena mendengar kedatangannya bersama Cui Sian tadi, Ibunya lalu tergesa-gesa pergi sehingga tak sempat mencabut pedangnya? Ah, sukar dipercaya kemungkinan ini. Apa sukarnya mencabut Pedang apalagi bagi Ibunya! Agaknya lebih patut kalau ada orang yang SENGAJA meninggalkan Pedang itu di dada Kong Bu. Dan siapapun orangnya, tak mungkin orang itu Ibunya! Jadi, tentu ada orang lain yang kembali melakukan fitnah untuk kali ini memburukkan nama Ibunya. Akan tetapi bagaimana orang itu dapat menggunakan Pedang Kim-Seng-Kiam? Swan Bu berjalan terhuyung-huyung, kesehatannya masih belum pulih seluruhnya, kini hatinya terhimpit perasaan yang tidak karuan, jiwanya tertekan oleh peristiwa-peristiwa yang hebat. la berjalan perlahan memandangi Pedang Ibunya di tangan.
"Ah, Kim-Seng-Kiam... kalau saja kau bisa bicara... tentu kau akan dapat bercerita banyak..."
Keluhnya.
"Swan Bu...!"
Pemuda itu tersentak kaget. Suara itu! Cepat dia membalikkan tubuh dan sejenak wajahnya yang tampan dan pucat itu berseri. Dilihatnya gadis yang selama ini mengaduk-aduk hatinya, yang mendatangkan derita, bahagia, kecewa dan harapan di hatinya, Siu Bi, berdiri hanya beberapa meter jauhnya di depannya! Gadis itu mukanya pucat, rambutnya awut-awutan, pakaiannya kusut, sinar matanya sayu dan pipi yang masih berbekas air mata itu kini kembali digenangi air mata yang mengalir turun.
"Siu Bi..."
Swan Bu berbisik, tak sengaja melirik ke arah lengan kirinya yang buntung dan ujungnya dibalut. Lirikan ke arah lengan buntung inilah yang agaknya memecahkan bendungan yang menahan gelora di hati Siu Bi yang ditahan-tahan. Gadis ini menjerit, lalu lari maju, menjatuhkan diri berlutut di depan Swan Bu, memeluk kedua kaki pemuda itu dan menangis tersedu-sedu.
"Swan Bu... Swan Bu... kau ampunkan aku... Swan Bu... ampunilah aku..."
Tak kuat hati Swan Bu menahan air matanya yang turun bertitik-titik ketika dia menunduk memandang kepala Siu Bi yang kusut rambutnya. Kedua kakinya terasa lemas dan dia pun berlutut pula.
"Siu Bi, selalu aku memaafkanmu..."
Mereka berpandangan melalui air mata, kemudian bagaikan besi tertarik semberani, keduanya berangkulan, bertangisan dan berpelukan. Dengan air mata mereka saling membasahi muka masing-masing dalam ciuman-ciuman yang digerakkan oleh hati penuh kasih sayang, penuh iba dan haru. Setelah gelora hati mereka mereda, Siu Bi menyembunyikan mukanya ke dada Swan Bu dan mereka terhenyak duduk di atas tanah, tak bergerak, seluruh tubuh lemas, tenaga habis oleh letupan gelora hati tadi, terasa nikmat penuh damai di hati. Dengan tangan kanannya Swan Bu membelai dan mengelus-elus rambut hitam yang awut-awutan itu.
"Siu Bi aku selamanya mengampunkan engkau, karena aku cinta kepadamu Siu Bi, karena aku tahu apa yang mendorongmu melakukan semua itu..."
Bisik Swan Bu. Siu Bi mengangkat mukanya dari atas dada Swan Bu dan memandang. Kedua muka itu berpandangan, dekat sekali, masih basah oleh air mata.
"Swan Bu aku... aku tidak turut dalam tipu muslihat busuk itu... aku bukan sekutu Ang-Hwa Nio-Nio..."
Swan Bu mendekap muka yang kelihatan begitu pucat dan penuh kekhawatiran itu.
"Siu Bi jiwaku... tidak, aku tidak percaya itu, kau bukanlah jahat seperti mereka..."
Siu Bi menarik nafas panjang, hatinya lega dan ia kembali membaringkan kepalanya di atas dada Swan Bu, sepasang matanya dimeramkan.
"Aku memang jahat, Swan Bu, tapi... tapi... untuk menyenangkan hatimu, hati seorang yang kucinta dengan seluruh jiwa ragaku, aku... aku mau belajar baik! kau bimbinglah aku Swan Bu, ajarilah aku bagaimana bisa menjadi orang baik..."
Swan Bu tersenyum.
"Kau adalah orang baik, Siu Bi..."
"Tidak, aku tak tahu harus berbuat apa kalau terpisah dari padamu, Swan Bu. Jangan kita berpisah lagi, aku... aku takut hidup sendiri. Aku ikut denganmu..."
Tiba-tiba ia memegang lengan yang buntung itu, memandangnya dan kembali ia menangis tersedu-sedu, menciumi ujung lengan yang dibalut.
"Ahhh... aku tak dapat mengganti lenganmu, Swan Bu... biarlah kuganti dengan seluruh tubuhku, dengan nyawaku... aku... aku selamanya akan mendampingimu, melayanimu..."
Dengan mesra Swan Bu memeluk dan menciuminya, kemudian pemuda ini teringat akan sesuatu dan menarik nafas panjang.
"Tak mungkin..."
Katanya lirih dengan nada sedih. Siu Bi tampak kaget,
"Apa katamu? Apa yang tak mungkin?"
"Siu Bi, kau tahu bahwa aku mencintamu, dan takkan ada kebahagiaan yang lebih besar daripada selalu berada di sampingmu selama hidupku. Akan tetapi agaknya hal ini hanya lamunan kosong... karena... apa pun yang terjadi, apalagi setelah Paman Kong Bu tewas... agaknya jalan satu-satunya bagiku hanya... mengawini Lee Si."
"Apa...?"
Siu Bi merenggutkan dirinya dan memandang dengan mata terbelalak. Swan Bu menunduk sedih, tidak tahan menatap pandang mata yang penuh keperihan hati itu. Menarik nafas panjang lagi lalu berkata,
"Siu Bi, kau sendiri mengerti betapa tipu muslihat dan fitnah yang dilakukan oleh Ang-Hwa Nio-Nio menimbulkar kejadian yang amat hebat. Ayah Lee Si, yaitu Paman Kong Bu, marah sekali dan tentu saja marah kepadaku dan kepada orang tuaku. Dan tadi... aku mendapatkan Paman Kong Bu telah tewas, terbunuh orang di dalam hutan. Peristiwa di Kong-Goan ini akan merusak nama Lee Si untuk selamanya, kecuali kalau... kalau aku... mengawininya. Hanya itu jalan satu-satunya, dan demi menjaga kerukunan kedua keluarga, demi mencuci bersih nama Lee Si yang tidak berdosa, agaknya... agaknya... jalan itulah satu-satunya..."
"Swan Bu... tapi kau... kau cinta padaku kan?"
"Aku cinta padamu, Siu Bi."
Siu Bi menubruk dan memeluknya lagi.
"Cukup bagiku. Kau boleh mengawininya, kalau itu kau anggap penting. Bagiku, asal kau cinta padaku, asal aku boleh menebus dosaku kepadamu dengan jiwa ragaku, asal..."
Tiba-tiba Siu Bi bangun, juga Swan Bu bangkit berdiri. Keduanya sudah mencabut Pedang dan memandang ke arah seorang pemuda yang jalan mendatangi, pemuda yang bukan lain adalah Ouwyang Lam! Ouwyang Lam memandang sambil tersenyum kepada Siu Bi, kemudian dia memandang Swan Bu, ke arah lengannya yang buntung, dan tertawalah dia,
"Ha... ha... ha, Bi Moi-moi, agaknya kau sudah berhasil dalam usahamu membalas dendam. Ha... ha... ha, kalau anjing buntung ekornya hanya kelihatan tidak pantas, tapi kalau manusia buntung tangannya, benar-benar canggung sekali! Eh, Kwa Swan Bu, Ayahmu buta dan kau anaknya buntung, cocok sekali. Tolong tanya, dengan tangan kirimu buntung, kalau kau ada keperluan di belakang, apakah kau menggunakan tangan kananmu pula? Ha... Ha... ha... ha...ha!"
Sampai pucat sekali muka Swan Bu mendengar penghinaan ini, akan tetapi kemarahannya ini amat merugikan, karena kepalanya menjadi pening sekali dan tubuhnya yang sudah lemas itu malah gemetar karenanya.
"Tutup mulutmu yang kotor!"
Siu Bi membentak sambil melompat ke depan menghadapi Ouwyang Lam. Pemuda Ching-Coa-To ini terkejut sekali, memandang dengan mata terbelalak.
"Eh...eh... eh, Moi-moi...
"Aku bukan Moi-moimu! Cih, tak tahu malu! Ouwyang Lam manusia rendah, ketahuilah bahwa dibandingkan dengan Swan Bu, kau hanya patut menjadi sepatunya! Maka tak boleh kau menghinanya dan lekas pergi dari sini kalau tidak ingin mampus di tanganku!"
Saking heran dan bingungnya, Ouwyang Lam hanya berdiri melongo. Mukanya yang berkulit putih menjadi merah sekali, mulutnya yang biasanya pandai bicara, sukar mengeluarkan kata-kata saking kaget dan herannya.
"Siu Bi... apa artinya ini...?"
"Artinya, tutup mulutmu yang busuk dan lekas enyah kau dari sini!"
Ouwyang Lam mulai marah. la memang tergila-gila kepada gadis cantik ini, tergila-gila akan kecantikannya sesuai dengan wataknya yang mata keranjang, akan tetapi kalau gadis ini mulai menghinanya, tentu saja timbul kebenciannya.
"Tapi... kenapa kau membelanya?, Bukankah kau membuntungi lengan..."
"Bukan urusanmu! Lekas pergi!"
Ouwyang Lam adalah seorang yang terlalu mengandalkan kepandaian sendiri, tentu saja timbul kemarahannya dan dia mengangkat dadanya yang bidang. Biarpun tubuhnya agak pendek, tapi dadanya bidang dan tegap.
"Siu Bi, aku menantang Swan Bu, jangan turut campur! Ataukah putera Pendekar Buta ini sekarang telah menjadi seorang pengecut nomor satu di dunia sehingga dia menyembunyikan diri di belakang pantat wanita?"
"Ouwyang Lam keparat, kotor mulutmu..."
Siu Bi menggerakkan pedangnya.
"Siu Bi, tunggu dulu!"
Suara Swan Bu ini menahan Siu Bi yang menarik pedangnya kembali dan menoleh kepada kekasihnya itu.
"Siu Bi, aku bukan pengecut dan biarpun tidak kau bantu, aku masih takkan mundur menghadapi tantangan siapapun juga!"
La melangkah maju menghadapi Ouwyang Lam lalu tersenyum mengejek.
"Ouwyang Lam, setelah melihat keadaanku terluka, kau berani membuka mulut besar, ya? Hmmm, kau benar-benar gagah sekarang. Majulah!"
Ouwyang Lam tertawa mengejek. Pemuda ini memang cerdik sekali Sekilas pandang dia maklum bahwa lengan Swan Bu yang baru saja buntung membuat pemuda itu lemah dan menderita, maka tentu saja dia berani menantang dan sengaja dia membangkitkan kemarahan Swan Bu agar lawannya ini melarang Siu Bi membantunya. Sekarang dengan Pedang terhunus, Ouwyang Lam menyerbu, menggeser kaki dengan langkah-langkah pendek seperti harimau kelaparan, pedangnya dimainkan dengan Ilmu Pedang Hui-Seng-Kiam yang lihai, mulutnya berseru,
"Lihat serangan!"
Swan Bu bersikap tenang sekali bahwa keadaannya sebetulnya tidak membenarkan untuk melayani pertandingan, apalagi menghadapi lawan berat, akan tetapi, sebagai seorang berjiwa Pendekar, lebih baik menantang maut daripada mandah dicap pengecut! Melihat gerakan Pedang Ouwyang Lam menyambar ganas dan mengeluarkan suara bersuitan, dia mengerahkan tenaga Sinkang sekuatnya, menanti sampai Pedang lawan mendekat, lalu tiba-tiba dia menghantamkan Pedang Ibunya menangkis dengan harapan akan dapat mematahkan Pedang lawan dalam segebrakan. Ouwyang Lam terkejut, tak sempat menarik kembali pedangnya, terpaksa dia mengerahkan tenaga pula dan membiarkan pedangnya bertemu dengan Pedang Swan Bu yang bersinar keemasan.
"Cringgg...!"
Bunga api memancar ke arah muka kedua orang muda itu sehingga mereka menjadi silau. Ouwyang Lam merasa betapa tangannya tergetar hebat, akan tetapi Swan Bu yang tenaganya lemah karena lukanya, juga terhuyung mundur. Kagetlah dia melihat betapa Pedang pendek pemuda tampan itu tidak patah, malah kini Ouwyang Lam sudah menerjang lagi dengan ganas, sepasang matanya kemerahan, mulutnya yang menyeringai mengeluarkan suara mendesis, wajahnya diliputi bayangan
(Lanjut ke Jilid 16)
Jaka Lola (Seri ke 04 - Serial Raja Pedang)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 16
Jaka Lola Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kejam dan buas. Swan Bu harus berloncatan ke sana-sini sambil memutar pedangnya menangkis, akan tetapi makin lama pandang matanya makin kabur, kepalanya pening dan lengan kirinya yang terluka terasa panas dan nyeri.
"Sraaattttt...!"
Pundak kanan Swan Bu tergores ujung pedang! Baiknya dia masih sempat menggulingkan diri sehingga Pedang di tangan Ouwyang Lam tidak membabat buntung pundak kanannya itu. Dengan gerakan terlatih Swan Bu bergulingan, mengelak dari bacokan-bacokan Pedang Ouwyarig Lam yang tidak mau memberi kesempatan lagi. Tiga kali bacokan pedangnya mengenai tanah dan sebelum dia sempat menyerang lagi, tubuh yang bergulingan cepat itu telah meloncat berdiri lalu Swan Bu sudah siap dan memutar Pedang melindungi tubuhnya. Akan tetapi melihat betapa keningnya berkerut-kerut, keringat membasahi mukanya yang pucat, jelas bahwa pemuda itu menderita sekali, malah matanya beberapa kali dimeramkan.
"Ha... ha... ha, Swan Bu. Lebih baik kau membuang pedangmu dan menyerah kalah, aku sudah puas. Takkan kubunuh engkau asal mengaku kalah, Ha... ha... ha!"
Memang pandai sekali Ouwyang Lam. Melihat lawannya sudah payah, dia sudah mendahului dengan ejekan ini untuk memancing kemarahan.
"Tidak sudi!"
Jawab Swan Bu, tepat seperti yang diharapkan Ouwyang Lam.
"Lebih baik mati daripada menyerah. Ouwyang Lam manusia sombong, jangan kira kau akan dapat mengalahkan aku. Majulah!"
"Swan Bu...! Mundurlah dan biarkan aku memberi hajaran kepada anjing busuk ini!"
Siu Bi berseru, Pedang di tangannya sudah gatal-gatal hendak menerjang Ouwyang Lam. Hatinya sudah gelisah tadi melihat pundak kekasihnya tergores Pedang sehingga kini mengucurkan darah membasahi bajunya. Tentu saja ia tidak mau turun tangan sebelum Swan Bu mundur, karena betapapun juga, di lubuk hati Siu Bi tersimpan sifat gagah dan ia merasa malu kalau harus mengeroyok, apalagi ia maklum bahwa tingkat ilmu kepandaian Swan Bu amatlah tinggi, jauh lebih tinggi daripada tingkat kepandaian Ouwyang Lam atau dia sendiri.
"Tidak, Siu Bi, aku masih kuat menghadapi kesombongannya!"
Kata Swan Bu. Ucapan Swan Bu ini tidak bohong, juga bukan bual belaka. Sebagai putera tunggal Pendekar Buta yang sakti, tentu saja dia mewarisi ilmu kepandaian yang luar biasa sekali.
Sekarang kepalanya sudah pening, pandang matanya kabur dan tubuhnya lemas seakan-akan tidak bertenaga lagi, akan tetapi kepandaiannya masih ada. Maklum bahwa dia tidak akan dapat menghadapi lawan dengan tenaga, Swan Bu segera mengubah gerakannya, kini tahu-tahu dia telah terhuyung-huyung, jongkok berdiri, berloncatan dan kadang-kadang seperti orang menari, kadang-kadang seperti orang mabuk. Sama sekali dia tidak perlu mempergunakan tenaga dalam ilmu langkah ajaib ini, akan tetapi hasilnya, semua serangan Ouwyang Lam mengenai angin kosong! Makin cepat, Ouwyang Lam yang penasaran dan marah ini menghujankan serangannya, makin aneh gerakan Swan Bu, kadang-kadang ada kalanya dia merebahkan diri sehingga Siu Bi hampir menjerit ketika Ouwyang Lam menubruk tubuh yang rebah itu dengan tikaman maut.
Akan tetapi di lain detik tubuh yang rebah itu sudah bergulingan dan berdiri lagi, enak-enakan menari aneh. Andaikata Swan Bu tidak demikian lelah dan lemahnya, satu dua kali balasan serangannya tentu akan merobohkan Ouwyang Lam. Akan tetapi Swan Bu sudah terlalu lemah sehingga dia hanya mampu menghindarkan diri dari serangan lawan tanpa mampu membalasnya. Karena tenaganya makin lemah, gerakannya mulai kurang gesit dan dia mulai terdesak. Empat penjuru angin telah dikuasai oleh sinar Pedang Ouwyang Lam, tidak ada jalan lari lagi bagi Swan Bu kecuali menggunakan ilmu langkah ajaibnya untuk menghindar dari setiap tusukan atau bacokan, akan tetapi serangan hanya serambut saja selisihnya! Siu Bi mulai kecut hatinya, gelisah bukan main dan ia sudah mengambil keputusan untuk nekat menerjarg maju ketika tiba-tiba tampak berkelebat bayangan orang.
"Keparat, mundur kau!"
Bayangan itu berseru keras.
"Cringgg...! Crakkk!"
Siu Bi menjerit ketika melihat betapa bayangan itu dalam menangkis Pedang Ouwyang Lam, telah kalah tenaga, pedangnya terlepas dan Pedang Ouwyang Lam membacok dadanya! Siu Bi mengenal orang itu yang bukan lain adalah The Sun!
Dengan jerit tertahan Siu Bi menerjang maju karena Swan Bu juga sudah terhuyung-huyung kelelahan, pedangnya berkelebat mengirim tusukan dibarengi tangan kirinya mengirim pukulan Hek-In-Kang! Bukan main hebatnya serangan Siu Bi yang dilakukan dengan penuh kemarahan ini. la mempergunakan jurus-jurus lihai dari Cui-Beng Kiam-hoat dan pukulan Hek-In-Kang dengan tangan kirinya mengeluarkan uap hitam. Ouwyang Lam yang tertawa-tawa bergelak-gelak karena girangnya dan sombongnya itu mana mampu menghadapi serangan yang tak diduga-duganya ini? la terkejut sekali dan berusaha menangkis, namun terlambat. Pukulan Hek-In-Kang telah membuat dadanya serasa meledak dan sebelum dia tahu apa yang terjadi, Pedang Cui-Beng Kiam telah dua kali memasuki lambung dan dadanya, membuat dia terkulai dan roboh tak bernyawa lagi.
"Ayah...!"
Siu Bi menubruk The Sun yang terengah-engah, dengan tangan kanannya meraba luka di dadanya yang mengeluarkan banyak darah. The Sun yang duduk itu tersenyum lebar, matanya bersinar-sinar, wajahnya yang pucat berseri penuh bahagia.
"Ah, anakku... anakku... Siu Bi, kau menyebut apa tadi...?"
Dada Siu Bi penuh keharuan. Orang tua ini, yang baru-baru ini amat dibencinya, telah kehilangan lengan untuknya, sekarang menghadapi maut juga untuknya. Orang ini menolong Swan Bu, berarti menolongnya juga. Seketika lenyap semua bencinya, terganti kasih sayang yang dahulu, kasih sayang seorang anak perempuan yang dimanja Ayahnya.
"Ayah...!"
Siu Bi merangkul dan menangis. The Sun berdongak ke atas, pipinya basah air mata.
"Terima kasih, atas pengampunMu, bahwa di saat terakhir ini harapan hambaMu masih terkabul. Siu Bi anakku...!"
The Sun mendekap kepala gadis itu dan mencium dahinya, rambutnya, penuh kebahagiaan.
"Siu Bi, dengar baik-baik. Orang ini banyak kawannya, mereka tentu akan datang. Kau pergilah bersama Swan Bu. Aku tahu, dia putera Pendekar Buta, bukan? Ah, Siu Bi, harapanku terakhir, semoga kau dapat hidup bahagia bersama dia. Ya, ya... sejak kau kecil, kutimang-timang engkau agar kelak menjadi isteri seorang Pendekar keturunan Raja Pedang atau Pendekar Buta. Ha... ha... ha, pengharapanku terkabul kiranya. Pergilah, bawa dia pergi, dia terluka parah... biar aku di sini menghadang teman-temannya yang hendak mengejar."
Setelah berkata demikian, dengan sikap gagah The Sun bangkit berdiri, memungut pedangnya yang tadi terlempar dan berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar. Siu Bi menengok, melihat Swan Bu dengan nafas memburu berdiri bersandar pohon,
"Tapi Ayah, kau,... kau terluka hebat..."
The Sun menggerakkan lengannya yang buntung, menyayat hati Siu Bi penglihatan ini.
"Aku sudah tua, aku penuh dosa, jangan renggut kenikmatan pengorbanan dan penebusan dosa ini, anakku. Kau berhak hidup bahagia, berhak hidup bersih dari dosa-dosaku. Penjahat-penjahat itu dahulu bekas teman-temanku, biarlah sekarang kutebus dengan darahku, melawan mereka untuk membersihkan engkau dari kekotoran ini. Kau pergilah, jaga baik-baik Ibumu, dan... dan... jangan lepaskan Swan Bu... itu harapanku..."
Ucapan terakhir ini dilakukan dengan suara terisak.
"Ayah... selamat tinggal..."
Kata Siu Bi karena tidak melihat jalan lain. la maklum juga bahwa kedatangan Ouwyang Lam tentu disusul yang lain. Kalau Ang-Hwa Nio-Nio, Maharsi, Bo Wi Sianjin, apalagi Bhok Hwesio sampai muncul di situ, tentu dia, Swan Bu, dan Ayahnya akan tewas semua secara konyol. la dapat menduga pula bahwa luka Ayahnya amat berat, maka Ayahnya menjadi nekat, berkorban untuknya. Dengan air mata bercucuran ia menghampiri Swan Bu, digandengnya lengan kanan pemuda itu dan ditariknya.
"Mari kita berangkat, Swan Bu."
"Sebentar, anakku..."
The Sun dengan langkah lebar menghampiri mereka, memandang dengan penuh keharuan, tiba-tiba merangkul Swan Bu dan mencium dahi pemuda itu, merangkul Siu Bi dan mencium dahi gadis ini, lalu melepaskan mereka.
"Pergilah, lekas... pergilah, selamat berbahagia!"
La masih berdiri dengan air mata bercucuran memandang ke arah lenyapnya dua orang muda itu ketika muncul Ang-Hwa Nio-Nio yang berlari-lari ke tempat itu. Terdengarlah Nenek itu menjerit lalu menubruk jenazah Ouwyang Lam dan menangis tersedu-sedu. Akan tetapi hanya sebentar saja karena ia segera meloncat bangun dan berdiri menghadapi The Sun yang sudah membalikkan tubuh karena sadar dari lamunan sedih oleh tangis dan jerit tadi. Ang-Hwa Nio-Nio hampir gila oleh marah dan sedihnya melihat murid atau kekasihnya telah tewas. Dengan mata mendelik ia memandang kepada Siu bi dan berteriak penuh kemarahan,
"Katakan, siapa yang membunuhnya? Dan kau ini siapa?"
The Sun yang sudah dapat menguasai keharuan hatinya, kini tersenyum duka.
"Kui-Toanio (Nyonya Kui), agaknya kau lupa lagi kepadaku. Dua puluh tahun yang lalu, aku dan Guruku Hek Lojin bukankah menjadi kawan seperjuangan dengan Ang Hwa Sam Ci-moi?"
Nenek itu memandang heran ke arah lengan yang buntung, akan tetapi ia teringat sekarang.
"Aaahhhhh, kau The Sun... eh, gadis itu, Siu Bi... dia puterimu?"
Sebelum The Sun menjawab, Nenek itu yang teringat lagi akan mayat pemuda kekasihnya, cepat bertanya, suaranya berubah tidak semanis tadi.
"The Sun, siapakah yang membunuh Ouwyang Lam? Siapa"
Setelah sekarang Siu Bi dan Swan Bu pergi, baru The Sun merasa betapa dadanya sakit bukan main, juga lengannya yang buntung. Rasa nyeri menusuk-nusuk sampai ke tulang sumsum dan ke jantung, membuat matanya berkunang-kunang, kepalanya pening dan tubuhnya menggigil. Akan tetapi dia menggigit Bibirnya, mengerahkan seluruh daya tahan yang ada di tubuhnya untuk melawan rasa nyeri ini agar dia dapat menghadapi Ang-Hwa Nio-Nio.
"Dia ini hendak mengganggu anakku dan... mantuku, karena itu aku turun tangan membunuhnya!"
Ang-Hwa Nio-Nio kelihatan kaget dan heran, akan tetapi kemarahannya memuncak mengalahkan perasaan-perasaan lain. la mundur tiga langkah, mengeluarkan jerit aneh setengah menangis setengah tertawa, kemudian menubruk ke depan melakukan penyerangan dahsyat, pedangnya menubruk perut, tangan kirinya melancarkan pukulan Ang-Tok-Ciang! The Sun adalah seorang jago kawakan yang tentu saja sudah maklum betapa lihainya Nenek ini. Apalagi dia dalam keadaan terluka hebat, lengan buntung dan dada tergores pedang.
Andaikata dia dalam keadaan sehat dan segar bugar sekalipun, dia maklum bahwa Nenek ini bukanlah lawannya yang seimbang. Mendiang Gurunya, Hek Lojin, kiranya baru merupakan lawan setanding. Maka dia bukan tidak tahu bahwa pertempuran ini akan diakhiri dengan kekalahannya. Namun dia tidak takut, tidak gentar. Apalagi karena sudah tercapai apa yang dia idam-idamkan, yaitu menarik Siu Bi kembali kepadanya, sebagai anaknya. la terlalu cinta kepada anak itu yang semenjak kecil dia anggap anak sendiri. Ketika Siu Bi pergi, dia sudah mengalami penderitaan batin yang lebih hebat daripada penderitaan apa pun juga, lebih hebat daripada kematian. Bahkan sebelum dia bertemu dengan Siu Bi, hanya tubuhnya yang masih hidup untuk menghadapi segala kepalsuan hidup, sedangkan batinnya sudah hampir mati.
Baru setelah Siu Bi menyebutnya Ayah, mengaku Ayah kepadanya, jiwanya segar kembali dan The Sun merasai kebahagian dan kenikmatan yang tiada bandingnya di dunia. la puas, dia lega, dan dia bahagia sehingga menghadapi bahaya maut di tangan Ang-Hwa Nio-Nio disambutnya dengan senyum! Betapapun juga, darah jagoan tidak membiarkan dia mati konyol begitu saja. la seorang ahli silat yang berkepandaian tinggi, biarpun tingkatnya tidak setinggi tingkat Ang hwa Nio-Nio, namun dia harus memperlihatkan bahwa selama puluhan tahun belajar ilmu silat tidaklah sia-sia. la harus melawan mati-matian. Tangan kanannya yang memegang Pedang bergerak melindungi tubuh dan dia menggeser kakinya ke belakang terus ke kiri, membabatkan pedangnya ke tengah-tengah gulungan sinar Pedang di tangan Ang-Hwa Nio-Nio.
"Trang-trang-tranggg..."
Mereka berdua terpental mundur, masing-masing tiga langkah. Hal ini aneh. Sebetulnya dalam hal kepandaian maupun tenaga dalam, The Sun kalah jauh oleh Ang-Hwa Nio-Nio. Apalagi dia dalam keadaan terluka dan tubuhnya sudah lemah sekali.
Akan tetapi, mengapa tiga kali pedangnya dapat menangkis Pedang lawan dan dia dapat mengimbangi tenaga Ang-Hwa Nio-Nio? Bukan lain karena rasa bahagia dan ketabahan yang luar biasa, yang membuat The Sun tidak peduli lagi akan mati atau hidup, perasaan ini mendatangkan tenaga mujijat kepadanya. Memang, di dalam tubuh manusia ini tersimpan tenaga mujijat yang rahasianya tak diketahui oleh si manusia sendiri. Kadang-kadang saja, di luar kesadarannya, teriaga ini menonjolkan diri, membuat orang dapat melakukan hal yang takkan mungkin dilakukannya dalam keadaan normal. Rasa takut yang berlebih-lebihan, rasa marah yang melewati batas, rasa duka maupun gembira yang mendalam, kadang-kadang dapat menarik tenaga mujijat dalam diri ini sehingga timbul dan memungkinkan orang melakukan hal yang luar biasa, di atas kemampuannya yang normal.
Demikian pula agaknya dengan The Sun pada saat itu. Secara aneh sekali, perasaan bahagia yang amat mendalam membuat dia tidak gentar menghadapi apa pun juga, mati atau hidup baginya sama saja, pokoknya dia sudah diterima sebagai Ayah oleh Siu Bi dan inilah idam-idaman hatinya. Perasaan inilah yang membangkitkan tenaga mujijat sehingga dia mampu menangkis sambaran Pedang Ang-Hwa Nio-Nio sambil mengelak dari pukulan Ang-Tok-Ciang. Akan tetapi, ka-rena memang kalah tingkat dan pula ta-ngan kirinya tak dapat dia pergunakan lagi sehingga keseimbangan tubuhnya dalam bersilat juga terganggu, maka ketika Ang-Hwa Nio-Nio terus mendesaknya dengan kemarahan meluap-luap, The Sun hanya mampu mempertahankan dirinya saja.
"Singgg!!"
Pedang Ang-Hwa Nio-Nio menyambar, hampir saja mengenai kepala The Sun kalau saja dia tidak cepat-cepat membanting dirinya ke belakang dan terhuyung. Pada saat itu, Ang-Hwa Nio-Nio sudah menyusulkan pukulan Ang-Tok-Ciang. Dalam keadaan terhuyung-huyung ini, tentu saja The Sun tidak mampu lagi. mengelak.
"Uhhh...!"
Dadanya serasa ditumbuk palu godam, tergetar seluruh isi dadanya dan tubuhnya terlempar sampai tiga meter lebih. The Sun roboh dan muntahkan darah segar dari mulutnya. Pada saat itu Ang-Hwa Nio-Nio sambil terkekeh-kekeh mengerikan sudah melompat datang dengan Pedang terangkat. Namun The Sun sama sekali tidak gentar, juga tidak mau menyerah. Dalam keadaan setengah rebah ini, dia masih mampu mengangkat pedangnya menangkis bacokan Pedang lawan.
"Trangg...!"
Pedang di tangan The Sun patah menjadi dua, ujungnya menancap di dadanya sendiri dan gagangnya mencelat entah kemana. The Sun menggulingkan tubuhnya ke depan dan tangan kanannya dikepal melancarkan pukulan sambil menendang. Hebat serangan ini, dan tidak terduga-duga lagi. Siapa bisa menduga orang yang sudah terluka seperti itu masih dapat melakukan serangan begini dahsyat?
"Ihhh...!"
Ang-Hwa Nio-Nio berteriak kaget dan marah karena biarpun ia dapat menghindar, namun ujung kaki The Sun menyambar pipinya, dekat hidung. la mencium bau sepatu yang sangat tidak enak dan ini dianggap merupakan penghinaan yang melewati takaran.
"Keparat, mampus kau!"
Bentaknya, pedangnya membacok lagi sekuat tenaga.
"Crakkk!"
Lengan kanan The Sun yang menangkis bacokan ini seketika terbabat buntung! Darah muncrat seperti air pancuran. Akan tetapi The Sun masih melompat bangun, kedua kakinya bergerak seperti kitiran angin melakukan tendangan berantai.
"Wah, gila...!"
Ang-hwa Nio-Nio merasa serem juga. The Sun sudah penuh darah, juga pakaiannya ternoda darah yang mancur dari lengannya, akan tetapi tendangannya masih amat berbahaya. Dengan marah dan penasaran Ang-Hwa Nio-Nio mengayun pedangnya memapaki kaki yang menendang.
"Crokkk!"
Kaki kanan The Sun putus sebatas lutut dan tubuhnya terguling. Namun hebatnya, tidak satu kali pun jagoan ini mengeluarkan suara keluhan. la rebah dengan mata melotot memandang Ang-hwa Nio-Nio, mulutnya tersenyum penuh ejekan.
"Setan kau!"
Ang-Hwa Nio-Nio menubruk maju dan pedangnya dikerjakan seperti seorang penebang pohon mainkan kapaknya. Terdengar suara "Crak-crok-crak-crok"
Dan dalam waktu beberapa detik saja tubuh The Sun tercacah hancur! Mengerikan sekali! Ang-Hwa Nio-Nio mengangkat mayat Ouwyang Lam dan dibawanya lari pergi. Terdengar lengking tangisnya sepanjang jalan. Mayat The Sun yang sudah tidak karuan lagi bentuknya itu menggeletak di atas tanah di dalam hutan. Sunyi sekali di situ. Tidak ada suara apa-apa kecuali suara burung hutan yang bersembunyi mengintai di atas pohon. Yang bergerak hanya binatang-binatang hutan yang bersembunyi di dalam gerumbulan, menanti saat untuk menikmati hidangan daging dan darah yang disia-siakan itu. Kematian seorang manusia yang amat mengerikan, juga menyedihkan.
Patut dikasihani manusia seperti The Sun itu, sungguhpun kematiannya itu tidaklah mengherankan apabila kita mengingat dan menilai perbuatan-perbuatannya di waktu dia masih muda. Telah ditumpuknya dosa, dan sekarang agaknya dia harus menebusnya. Sayang, amat terlambat dia insyaf. Di Waktu muda dahulu, kedudukan, kekuasaan, kekuatan, dan harta benda membuat dia tekebur. Membuanya sewenang-wenang, seakan-akan tidak ada kekuasaan di dunia ini yang dapat melawannya, yang dapat mengadili perbuatan-perbuatannya. la lupa pada waktu itu bahwa di atas segala kekuasaan yang tampak di dunia ini, masih ADA kekuasan tertinggi, kekuasaan Tuhan yang tak terlawan, yang maha adil dan yang takkan membiarkan kejahatan lewat tanpa hukuman.
Setiap perbuatan merupakan sebab dan setiap sebab mempunyai akibat. Nasib di tangan Tuhan? Betul, karena Tuhanlah yang mengatur lancarnya akibat-akibat ini seadil-adilnya maka Maha Adilkah DIA. Nasib di tangan manusia sendiri? Juga betul, karena sesungguhnya, si manusia itu sendirilah yang menjadi sebab dari akibat yang disebut kemudian sebagai nasib! Perbuatan baik tentu berakibat baik, sebaliknya perbuatan busuk pasti berakibat buruk, maka baik buruknya akibat atau nasib sesungguhnya adalah di tangan si manusia itu sendiri. Jangan terlalu keras ketawa gembira mereka yang berbuat kejahatan tapi belum menerima hukuman dari Tuhan, karena yakinlah, bahwa akibat perbuatanmu pasti tiba! Tuhan Maha Adil! Kuil tua di kota Kong-Goan makin sunyi keadaannya.
Semenjak kuil tua itu dijadikan semacam markas oleh Ang-Hwa Nio-Nio dan sekutunya, penduduk menganggap tempat itu sebagai tempat terlarang, tempat yang seram dan berbahaya sehingga kuil ini seakan-akan terasing. Apalagi di waktu malam, tidak ada orang berani lewat dekat kuit ini. Malah banyak penduduk Kong-Goan yang menganggap kuil itu sebagai tempat yang angker, sebagai rumah setan! Hal ini tidaklah aneh kalau mereka pernah melihat berkelebatnya bayangan yang dapat "Menghilang"
Dan kadang-kadang dapat "Terbang"
Ke atas genteng, sering pula melihat cahaya berkelebatan di atas kuil. Akan tetapi pada malam hari itu, dua sosok bayangan orang dengan langkah perlahan dan tenang menghampiri kuil tua ini, tanpa ragu-ragu memasuki pekarangan kuil yang gelap. Mereka ini bukan lain adalah Suami isteri sakti dari Liong-Thouw-San, Pendekar Buta dan isterinya!
"Sunyi sekali, agaknya kosong,"
Kata Hui Kauw setelah meneliti keadaan sekeliling tempat itu dengan pandang matanya.
"Memang kosong,"
Kata Kun Hong yang juga meneliti keadaan dengan pendengarannya, akan tetapi mungkin nanti atau besok mereka akan kembali. Tempat ini belum lama ditinggalkan orang, hawa manusia masih bergantung tebal di ruangan ini."
Setelah melakukah pemeriksaan dan yakin bahwa kuil tua itu tidak ada penghuninya, Kun Hong dan Hui Kauw lalu duduk bersila di ruangan belakang yang lantainya bersih. Mereka melewatkan malam di tempat itu, sambil menanti dan bersikap waspada.
Di tempat inilah Kong Bu melihat putera mereka yang didakwa melakukan perbuatan jahat terhadap Lee Si, puteri Pendekar Min-San itu. Dengan demikian berarti bahwa putera mereka itu kena fitnah di tempat ini, dan dengan hati penuh kekhawatiran mereka menduga-duga apakah yang telah terjadi di sini dan siapa gerangan yang melakukan perbuatan curang mengadu domba itu. Akan tetapi malam itu tak terjadi apa-apa. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali terdengar langkah-langkah kaki di luar kuil tua. Kun Hong dan isterinya tentu saja mendengar suara ini dan mereka sudah siap sedia mengnadapi segala kemungkinan. Mereka bangkit berdiri dan tanpa kata-kata keduanya seperti sudah bermufakat, berjalan perlahan keluar menuju ke ruangan depan untuk menyambut datangnya musuh. Setelah mereka tiba di luar, Hui Kauw melihat seorang gadis cantik dan gagah berdiri dengan tegak dan pandang mata marah.
"Siapakah dia?"
Bisik Kun Hong kepada isterinya. Hui Kauw memandang penuh selidik, mengingat-ingat di mana dan bilamana ia pernah melihat wajah cantik yang serasa amat dikenalnya ini. Gadis itu balas memandang kepadanya, penuh selidik pula. Dua orang wanita ini saling pandang, agaknya masing-masing menanti ditegur terlebih dulu. Melihat betapa sikap gadis itu seakan-akan menahan kemarahan besar, Hui Kauw mengalah dan menegur lebih dulu,
"Nona, siapa kau dan siapa yang Kau cari di tempat ini?"
Hui Kauw bertanya hati-hati karena ia belum tahu apakah gadis ini termasuk sekutu pihak"
Lawan ataukah bukan.
"Kalian ini bukanlah Pendekar Buta dan isterinya?"
Gadis itu balas bertanya. Hui Kauw dapat menduga bahwa gadis ini pada dasarnya memiliki suara yang halus dan sopan, akan tetapi karena sedang marah maka terdengar ketus.
"Kalau betul demikian, kenapa?"
Balas bertanya, sabar dan tersenyum.
"Sudah kuduga,"
Gadis itu berkata perlahan seperti diri sendiri.
"Sepasang Suami isteri yang sakti, berilmu tinggi dan menganggap di dunia ini mereka yang paling pandai..."
"Eh, kau siapakah dan apa sebabnya bicara begitu?"
Kun Hong bertanya, keningnya berkerut karena pendengarannya tadi menangkap keperihan hati yang sakit dan penuh dendam. Namun gadis itu tidak menjawab, melainkan bertanya lagi kepada Hui Kauw sambil memandang tajam,
"Bibi yang gagah perkasa, bolehkah aku bertanya di mana kau menyimpan pedangmu Kim-Seng-Kiam?"
Berubah wajah Hui Kauw dan Kun Hong mendengar ini. Bangkit kemarahan di hati Hui Kauw. Pedangnya lenyap dicuri orang, pencurinya hanya tampak bayangannya saja yang betubuh ramping dan tak seorang pun tahu akan kejadian itu. Gadis ini bertubuh ramping dan tahu akan pedangnya yang hilang. Tentu gadis ini yang mencurinya, atau setidaknya tahu akan pencurian Pedang itu. Mudah saja menduganya, seperti dua kali dua empat!
"Eh, bocah nakal! Kiranya kau yang mencuri pedangku? Hayo katakan, di mana sekarang kau sembunyikan pedangku itu dan apa sebabnya kau mencurinya?"
La melangkah maju dua tindak menghadapi gadis itu. Kun Hong tetap berdiri, telinganya mengitari segala gerakan dan suara.
"Hemmm, tidak kukira, isteri Pendekar Buta yang sakti itu pandai pula berpura-pura. Siapa berani dan dapat mencuri Pedang dari tangan isteri Pendekar Buta? Lebih baik berterus terang, Pedang itu tertinggal di atas dada Ketua Min-San-Pai. Kalian mengandalkan kepandaian sendiri membunuh Tan Kong Bu dengan Pedang Kim-Seng-Kiam, apakah sekarang masih berpura-pura lagi?"
Kun Hong menahan seruannya, kerut-merut di antara kedua matanya yang buta menjadi makln dalam.
"Kong Bu terbunuh dengan Kim-Seng-Kiam? Ah..., kau siapakah, Nona? Dan apakah yang kau kehendaki setelah kau menceritakan itu kepada kami?"
"Lebih dulu kalian mengakulah bahwa kalian yang membunuh Tan Kong Bu. Orang yang berani mempertanggung-jawabkan perbuatannya barulah orang gagah, dan hanya kepada orang gagah aku mau memperkenalkan diri. Kalau kalian menyangkal padahal Pedang Kim-Seng-Kiam menancap di dadanya, berarti kalian biarpun terkenal sakti ternyata hanyalah pengecut dan aku tidak sudi banyak bicara lagi, karena pedangku yang akan mewakili aku bicara!"
Hui Kauw tidak dapat menahan sabarnya lagi. la melangkah maju lagi beberapa tindak sehingga kini ia berhadapan dengan gadis itu. Sepasang matanya yang bening memandang tajam seakan-akan berkilat, alisnya saling berdekatan, urat lehernya menegang.
"Bocah lancang! Besar mulutmu! Kami tidak pernah mengagulkan diri sebagai orang-orang sakti dan gagah, akan tetapi kami juga tidak sudi dimaki pengecut! Pedang Kim-Seng-Kiam memang pedangku, mau tahu namaku ataukah sudah mengenalku? Aku Kwee Hui Kauw. Pedangku itu beberapa hari yang lalu lenyap dicuri orang. Hal ini tidak ada yang tahu, kecuali aku, suamiku, dan si pencuri. Sekarang kau muncul dan bicara tentang ini, siapa lagi orangnya kalau bukan kau yang mencuri pedangku? Dan sekarang setelah kau menggunakan Pedang itu untuk membunuh Kong Bu, kau datang ke sini menuduh kami? Keparat, kiranya kau ini biang keladi semua urusan!"
Setelah berkata demikian Hui Kauw menerjang ke depan, menyerang gadis itu. Gadis itu bukan lain adalah Tan Cui Sian. Melihat datangnya serangan, ia cepat mengelak dan meloncat ke kiri.
"Singgg!!"
Pedang Liong-Cu-Kiam telah dicabutnya. Pedang ini mengeluarkan sinar berkilat yang menyilaukan mata sehingga Hui Kauw yang dapat mengenal Pedang pusaka yang ampuh, ragu-ragu untuk menyerang lagi dengan tangan kosong, apalagi tadi ia melihat betapa gerakan gadis itu amat ringan dan gesit.
"Huh, ganas!"
Bentak Cui Sian.
"Tak kusangka Pendekar Buta dan isterinya hanya begini! Mengandalkan diri dan kepandaian sendiri untuk menjagoi dan membunuh orang. Aku tahu, tentu Tan Kong Bu ketika bertemu dengan kalian telah menuduh bahwa putera kalian menghina puterinya sehingga terjadi percekcokan dan pertempuran. Akan tetapi kalau kalian membunuhnya, hal ini keterlaluan sekali dan aku tidak akan mendiamkannya begitu saja. Hayo, Pendekar Buta, majulah! Kwee Hui Kauw, karena pedangmu sudah kau tinggalkan menancap di dada Tan Kong Bu, kau boleh mencari lain senjata menghadapiku!"
Bukan main heran dan kagetnya hati Pendekar Buta dan isterinya mendengar ucapan ini. Bagaimana gadis ini tahu akan urusan Kwa Swan Bu dan Lee Si? Dan tahu pula bahwa Kong Bu telah bentrok dengan mereka berdua? Siapakah gadis ini? Perlu diketahui bahwa Hui Kauw belum pernah bertemu dengan Cui Sian, dan Kun Hong pun tak pernah bertemu semenjak Cui Sian berusia lima tahun. Ketika Swan Bu dalam usia belasan tahun pergi ke Thai-San, dia ditemani Kakeknya, Kwa Tin Siong.
Pendekar Kelana Karya Kho Ping Hoo Sepasang Naga Penakluk Iblis Karya Kho Ping Hoo Dendam Sembilan Iblis Tua Karya Kho Ping Hoo