Jaka Lola 6
Jaka Lola Karya Kho Ping Hoo Bagian 6
Kalau saja Bun-Goanswe bukan seorang tua yang sudah matang pengalamannya, berwatak adil dan pandai menyembunyikan perasaan, tentu dia sudah melompat untuk menerjang murid bekas musuhnya ini. la menekan perasaannya dan mengangguk-angguk.
"Kenapa kau membunuh putera Lurah Bhong dan membuntungi lengan banyak orang?"
Tanyanya, sikapnya tetap tenang akan tetapi suaranya sekarang tidak sehalus tadi, terdengar agak ketus sehingga Bun Hui yang mengenal watak Ayahnya, mengangkat muka memandang. Siu Bi mengedikkan kepalanya, mengangkat kedua pundak, gerakan yang membayangkan bahwa ia tidak peduli.
"Harap,kau orang tua suka tanya saja kepada para petani ini bagaimana duduknya perkara sebenarnya. Kalau benar seperti yang kudengar dari Paman tani bahwa kau seorang pembesar yang adil, tentu kau akan menghukum Lurah brengsek ini, kalau tidak, akulah yang akan turun tangan memberi hajaran kepadanya!"
Siu Bi mengerling kepada Lurah Bhong dengan pandang mata jijik. Merah muka Bun-Goanswe. Seorang bocah bicara seperti itu di depan banyak orang, benar-benar hal ini amat merendahkannya. Akan tetapi dia bertanya,
"Dengan cara apa kau hendak menghajarnya?"
Siu Bu menepuk gagang pedangnya.
"Dengan ini!, Mungkin akan kulepaskan kedua daun telinganya yang terlalu lebar itu."
Menggigil tubuh Lurah Bhong mendengar ini, bahkan kedua telinganya bergerak-gerak seperti telinga kelinci saking ngeri hatiriya. Bun Hui yang otomatis, melirik ke arah telinga Lurah itu, menahan geli hatinya. Bun-Goanswe lalu bertanya kepada para petani. Mereka ini serta-merta, sambil berlutut dan menempelkan jidat pada lantai, menceritakan penderitaan mereka sedusun, tentang perbuatan sewenang-wenang dari Bhong-Kongcu dan para kaki tangannya, tentang perampasan wanita, perampasan sawah ladang, pemerasan dan tentang upah yang tidak cukup mereka makan sendiri. Kemarahan Bun-Goanswe membuat mukanya makin merah lagi. Ada seorang Lurah macam ini di dalam wilayah yang dikuasakan kepadanya, benar-benar amat memalukan!
"Hemmm, urusan ini harus kuselidiki sendiri di Pau-Ling. Kalau betul Lurah ini sewenang-wenang, akan kuhukum dan kuganti. Sebaliknya, pembunuhan dan penganiayaan berat sampai membuntungi lengan dua puluh orang, bukanlah hal kecil seakan-akan di sini tidak ada hukum yang berlaku lagi. Perkara ini diputuskan besok setetah aku meninjau ke sana. Nona, kau harus ditahan semalam ini, serahkan pedangmu kepadaku. Tidak ada tahanan yang boleh membawa Pedang atau senjata lain."
Siu Bi merah mukanya, hendak marah. Akan tetapi Bun Hui melangkah maju dan berkata halus,
"Harap Nona suka mengindahkan peraturan dan hukum di sini, percayalah bahwa Ayah akan memberi keadilan yang seadil-adilnya. Melawan akan menjerumuskan Nona ke dalam urusan yang lebih besar lagi. Pedang itu hanya ditunda di sini, tidak akan hilang. Besok kalau urusan selesai, Nona tentu akan menerimanya kembali."
Karena sikap Bun Hui ramah dan halus sopan, Siu Bi mengalah. la pikir, tidak ada gunanya mengamuk di sini. la melihat jenderal mata satu itu amat berwibawa, juga tampaknya gagah perkasa, demikian pula pemuda ini. Dan di situ tampak barisan pengawal yang bersenjata lengkap, sungguh tak boleh dipandang ringan. Melawan seorang pembesar tinggi sama dengan memberontak, pengetahuan ini sedikit banyak ia dapatkan dari Ayah dan mendiang Kakek Gurunya.
"Boleh, andaikata tidak dikembalikan, apakah aku tidak akan dapat mengambilnya kembali?"
Katanya sambil meloloskan Pedang berikut sarung pedangnya. Pedang Cui-Beng Kiam ia letakkan di atas meja depan Bun-Goanswe yang memandangnya penuh selidik. Bun-Goanswe memerintah orang-orangnya untuk menggiring Bhong Ciat dan enam orang petani ke dalam kamar tahanan, kemudian setelah semua orang itu dibawa pergi, dia berkata kepada puteranya,
"Bawa Nona ini ke kamar tahanan di belakang, suruh jaga, jangan boleh dia bermain gila sebelum urusan ini selesai."
Mendongkol juga hati Siu Bi mendengar ini,
"Orang tua, kuharap saja besok urusan ini sudah harus selesai. Aku tidak punya banyak waktu untuk tinggal sini, apalagi menjadi orang tahanan. Aku mempunyai urusan penting di Liong-Thouw-San!"
Mendengar ini makin terkejutlah Bun-Goanswe. Liong-Thouw-San adalah tempat tinggal Pendekar Buta, sahabat dan penolongnya. Mau apa murid Hek Lojin ini pergi ke Liong-Thouw-San?
"Hemmnm, ke Liong-Thouw-San, ada urusan apakah? Atau, kau tidak berani mengatakan kepadaku karena di sana hendak melakukan sesuatu yang jahat?"
Ternyata jenderal ini mempergunakan akal seperti yang digunakan puteranya, memancing dengan menggunakan ketinggian hati gadis itu!
"Mengapa tidak berani? Apa yang hendak kulakukan di sana, siapapun di dunia ini tidak bisa melarangku! Aku akan... membuntungi lengan beberapa orang di sana!"
Gadis itu memandang Bun-Goanswe dengan pandang mata berkata.
"Kau mau apa!"
Bun-Goanswe tercengang.
"Lengan siapa yang hendak kau buntungi lagi? Agaknya kau mempunyai penyakit ingin membuntungi lengan orang!"
Serunya, akan tetapi tanpa dijawab dia sudah dapat menduga. Lengan siapa lagi kalau bukan lengan Pendekar Buta yang akan dibuntungi gadis itu? la sudah mendengar tentang pertempuran hebat antara Pendekar Buta dan musuh-musuhnya, dan betapa lengan Hek Lojin buntung dalam pertandingan itu oleh Pendekar Buta. Mengingat betapa gadis yang masih hijau ini mengancam hendak membuntungi lengan Pendekar Buta, tak dapat ditahan lagi Bun-Goanswe tertawa bergelak.
"Ha... ha... ha, kau hendak membuntungi lengannya dengan Pedang ini?"
La mencabut Pedang itu dan tiba-tiba dia terbelalak. Pedang itu adalah Pedang yang mempunyai sinar hitam dan mengandung hawa dingin yang jahat. Diam-diam dia bergidik dan memasukkan kembali Pedang itu ke dalam sarungnya.
"Hui-ji (anak Hui), antarkan ia ke dalam tahanan besar."
"Mari, Nona,"
Ajak Bun Hui yang mukanya berubah pucat. Pemuda ini tadi juga kaget sekali mendengar maksud gadis ini pergi ke Liong-Thouw-San untuk membuntungi lengan orang. la telah mendengar dari Ayahnya tentang Pendekar Buta, Pendekar besar yang menjadi sahabat dah penolong Ayahnya, orang yang paling dihormati Ayahnya di dunia ini.
Dan gadis ini hendak pergi ke sana membuntungi lengan Pendekar itu! la mengerti kehendak Ayahnya, gadis ini berbahaya dan merupakan musuh besar Pendekar Buta, harus ditahan di dalam kamar tahanan besar, yaitu kamar tahanan di belakang yang paling kuat, berpintu besi dengan jeruji baja yang amat kuat, cukup kuat untuk mengeram seekor harimau yang liar sekalipun! Bun Hui berduka. la amat tertarik kepada gadis ini, ingin dia melihat gadis ini menjadi sahabat baik, melihat gadis ini berbahagia. Siapa duga, keadaan menghendaki lain. Gadis ini harus dikeram dalam kamar tahanan, dan justru dia yang harus melakukannya. la sedih, akan tetapi tanpa bicara sesuatu dia mengantarkan Siu Bi ke belakang. Gadis itu pun tanpa banyak cakap mengikuti, mengagumi gedung besar yang menjadi kantor dan rumah tinggal Jenderal Bun.
"Silakan masuk, Nona. Jangan khawatir, Ayah adalah seorang yang adil. Nona akan diperlakukan dengan baik,""
Katanya, akan tetapi suaranya agak gemetar karena dia tidak percaya kepada omongannya sendiri. Begitu Siu Bi masuk, pintu ditutup dan dikunci dari luar oleh Bun Hui Siut Bi kaget dan marah.
"Kenapa harus dikurung seperti binatang liar? Tempat apa ini?"
Teriaknya. Bun Hui menjawab sambil menunduk.
"Nona, aku menyesal sekali. Akan tetapi, kau... kau..."
Bun Hui tidak melanjutkan kata-katanya, melainkan segera lari pergi dari situ, wajahnya pucat, nafasnya terengah dan dia langsung lari ke kamarnya untuk menenteramkan hatinya yang tidak karuan rasanya. Siu Bi membanting-banting kedua kakinya. Didorongnya daun pintu, akan tetapi daun pintu yang dicat seperti daun pintu kayu itu ternyata terbuat dari besi yang amat kuat. la memeriksa ruangan tahanan itu, cukup luas, akan tetapi di kanan kiri tembok tebal di sebelah belakang terbuka dan dihalangi jeruji baja yang besar dan Kokoh kuat.
Tak mungkin dia dapat merusak pintu atau jeruji untuk membebaskan diri hanya mengandalkan tenaganya saja. Namun Siu Bi masih penasaran. la mengerahkan tenaga Hek-In-Kang, lalu menghantamkan kedua tangan ke arah jeruji. Terdengar suara berdengung keras dan bergema, seluruh kamar tahanan itu tergetar, namun jeruji tidak menjadi patah. la mencoba pula untuk menarik jeruji agar lebar lubangnya supaya ia dapat lolos keluar, namun sia-sia. jeruji baja itu amat kuat dan tenaga Gwakang (tenaga luar) yang ia miliki tidak cukup besar. Tenaga Lweekang (tenaga dalam) memang tiada artinya lagi kalau menghadapi benda mati yang tak dapat bergerak seperti pintu dan jeruji yang terpasang mati di tempat itu. Siu Bi membanting-banting kedua kakinya, berjalan hilir-mudik seperti seekor harimau liar yang baru saja dimasukkan kerangkeng.
Biarpun besok ia akan dibebaskan, ia merasa terhina dengan dimasukkan dalam kamar tahanan seperti kerangkeng binatang ini. Sore hari itu, hanya beberapa jam kemudian, seorang pengawal datang dan mengulurkan sebuah baki terisi mangkok nasi dan masakan, juga minuman yang cukup mahal. Namun hampir saja pengawal itu remuk lengannya kalau saja dia tak cepat-cepat menariknya keluar karena Siu Bi sambil memaki telah menerkam tangan itu untuk dipatahkan! Siu Bi marah sekali, memaki-maki sambil menyambar baki dan isinya. Mangkok dan sumpit beterbangan menyambar keluar dari sela-sela jeruji, menyerang pengawal itu yang lari tunggang-langgang! Siu Bi makin jengkel kalau mengingat betapa dia menyerahkan pedangnya kepada Jenderal Bun. Andaikata Pedang Cui-Beng Kiam berada di tangannya, tentu dia dapat membabat putus jeruji-jeruji ini.
Malam tiba dan Siu Bi menjadi agak tenang. la akhirnya berpendapat bahwa semua kemarahannya itu tiada gunanya sama sekali. Tubuhnya menjadi letih, pikirannya bingung dan... perutnya lapar! Mengapa ia tidak menerima sabar saja sampai besok. Kalau ia sudah bebas dan mendapatkan pedangnya kembali, mudah saja baginya untuk mengumbar nafsu amarah. Sedikitnya ia akan memaki-maki jenderal dan puteranya itu sebelum ia melanjutkan perjalanannya. Pikiran ini membuat ia tenang. Dibaringkannya tubuhnya yang amat lelah itu di atas sebuah dipan kayu yang berada di ujung kamar tahanan. Lebih baik mengaso dan memulihkan tenaga, siapa tahu besok ia harus menggunakan banyak tenaga, pikirnya. la lalu bangkit dan duduk bersila, berSamadhi mengumpulkan tenaga dan mengatur pernafasan.
"Nona... maafkan aku..."
Sejak tadi memang agak sukar bagi Siu Bi untuk dapat berSamadhi dengan tenang. Perutnya amat terganggu, berkeruyuk terus! la membuka mata dan menoleh. Biarpun tahanan itu buruk, sedikitnya di waktu malam tidak gelap, mendapat sinar lampu besar yang dipasang di luar. Bun Hui berdiri di luar jeruji, membawa sebuah baki terisi makanan dan minuman.
"Mau apa kau?"
Bentak Siu Bi timbul kembali kemarahannya.
"Nona, maafkan kalau tadi pelayan yang mengantar makanan kurang sopan. Sekarang aku sendiri yang mengantar makanan dan minuman, harap Nona sudi menerima. Tak baik membiarkan perut kosong. Silakan, Nona."
Dengan kedua tangannya Bun Hui mengulurkan dan memasukkan baki itu ke dalam kamar tahanan melalui sela-sela jeruji yang cukup lebar untuk dimasuki baki yang kecil panjang itu. Sejenak timbul niat di hati Siu Bi untuk membikin celaka pemuda putera Jenderal Bun ini dengan menangkap dan mematahkan kedua lengannya. Akan tetapi segera niat ini diurungkan ketika dia memandang wajah yang ramah, tampan dan kelihatan agak bersedih ini.
"Ayahmu menahanku dalam kerangkeng, mengapa kau pura-pura berbaik hati kepadaku? Jangan kira kau akan dapat menyuapku hanya dengan makanan dan minuman. Apa artinya kau mengantar sendiri ini? Hayo katakan, kalau hendak menyuap, lebih baik aku mati kelaparan!"
"Ah, kau terlalu berprasangka yang bukan-bukan dan yang buruk terhadap diriku, Nona. Di antara kita tidak ada permusuhan, mengapa kami akan mencelakakanmu? Hanya karena persoalan itu baru beres besok, terpaksa Ayah menahanmu, juga Lurah Bhong dan para saksi. Harap Nona suka memaafkan aku dan suka bersabar untuk semalam ini."
"Hemmmm, begitukah? Muak aku akan segala aturan dan hukum ini!"
Kata Siu Bi, akan tetapi suaranya tidak seketus tadi. Bun Hui girang hatinya, lalu berkata,
"Silakan makan, Nona, aku tidak akan mengganggumu lagi."
Dan pemuda itu segera pergi dari situ. Andaikata pemuda itu tetap berada di tempat itu, agaknya Su Bi takkan sudi menyentuh makanan dan minuman itu. Akan tetapi sekarang, ditinggalkan seorang diri, matanya mulai melirik baki dan melihat masakan mengepulkan uap yang sedap dan gurih, perutnya makin menggeliat-geliat. Setelah celingukan ke kanan kiri dan yakin bahwa di situ tidak ada orang yang melihatnya, mulailah Siu Bi makan. Setelah kenyang, ia sengaja melemparkan baki dan semua isinya keluar jeruji sehingga pecahlah mangkok-mangkok itu, isinya, yaitu sisa yang ia makan, tumpah tidak karuan. Dengan begitu, takkan ada yang tahu apakah tadi ia makan dan minum isi baki ataukah tidak! Suara berisik ini diikuti datangnya Bun Hui.
"Kenapa...! kenapa kau buang makanan dan minuman itu, Nona?"
"Ih, siapa sudi?"
Siu Bi tidak melanjutkan kata-katanya dan diam-diam ia mengusap pinggir mulutnya dengan lengan baju.
"Nona, maafkan aku. Aku sengaja datang untuk bicara sedikit denganmu."
"Mau bicara, bicaralah, mengapa banyak cerewet?"
Siu Bi sengaja bersikap galak. Pemuda itu makin
(Lanjut ke Jilid 06)
Jaka Lola (Seri ke 04 - Serial Raja Pedang)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 06
bingung dibuatnya, tampak maju mundur untuk mengeluarkan isi hatinya.
"Nona Siu Bi, aku tidak tahu mengapa kau berniat mengacau ke Liong-Thouw-San. Akan tetapi, ketahuilah bahwa yang tinggal di sana adalah Pendekar besar Kwa Kun Hong yang terkenal dengan julukan Pendekar Buta. Beliau seorang Pendekar besar yang menjagoi dunia persilatan, tidak hanya terkenal karena kesaktiannya, juga karena kegagahan dan pribudinya. Oleh karena itu Nona, kuharap dengan sangat, apa pun juga alasan, kau batalkan niatmu itu. Siu Bi melotot.
"Apa? Apa pedulimu? Apamukah Pendekar Buta?"
"Bukan apa-apa, hanya dia satu-satunya manusia yang paling dihormati Ayah!
"Wah, celaka! Aku masuk perangkap musuh! He, orang she Bun, kalau memang kau dan Ayahmu orang-orang gagah, kalau memang mau membela Pendekar Buta, hayo lepaskan aku, kembalikan pedangku dan kita bertempur secara orang-orang gagah. Mengapa menggunakan akal curang untuk menahanku di sini?"
"Wah, harap Nona bersabar dan jangan salah sangka. Maksudku hanya untuk menolongmu keluar dari kesulitan, Nona. Aku tidak akan mencampuri urusanmu dengan siapapun juga, sungguhpun sedih hatiku melihat kau memusuhi Pendekar Buta di Liong-Thouw-San. Maksudku, kalau saja besok kau suka berkata kepada Ayah bahwa kau membatalkan niatmu memusuhi Pendekar Buta di Liong-Thouw-San, tentu kau akan mudah dibebaskan. Setelah bebas, terserah kepadamu. Ini hanya untuk menolongmu, Nona..."
"Ihhh, apa maksudmu dengan pertolonganmu ini? Hayo bilang, orang she Bun, jangan bersembunyi di balik kata-kata manis. Kenapa kau begini ngotot hendak menolongku?"
Wajah pemuda itu merah seluruhnya. Sukar sekali menjawab pertanyaan yang merupakan penyerangan tiba-tiba ini.
"Kenapa? Ah... kenapa, ya? Aku sendiri tidak tahu pasti, Nona... hanya agaknya... aku tidak suka melihat kau mendapatkan kesukaran. Aku kagum kepadamu, Nona... aku... aku ingin menjadi sahabatmu. Nah, itulah! Aku ingin menjadi sahabat baikmu karena aku kagum dan suka padamu."
Kini Siu Bi yang tiba-tiba menjadi merah sekali wajahnya. Celaka, pikirnya. Pemuda ini benar-benar tak tahu malu, terang-terangan bilang suka dan kagum dan ingin menjadi sahabat baik! Sekarang dia yang kebingungan dan tidak segera dapat membuka mulut.
"Sejak aku melihat kau menolong petani-petani miskin, dengan gagah kau melawan tukang-tukang pukul jahat di Pau-Ling itu, aku amat kagum dan tertarik kepadamu, Nona. Aku tahu, juga Ayah tentu yakin bahwa dalam urusan ini kau tidak bersalah malah kau berjasa bagi perikemanusiaan, bagi kebenaran dan keadilan, kau menolong yang tergencet, menghajar yang menindas. Akan tetapi, hukum tetap hukum yang harus dilaksanakan dengan tertib. Kalau Ayah mengambil keputusan begitu saja tanpa mengadili terus membenarkan kau, apakah akan kata orang? Terhadap urusan di Pau-Ling itu, aku tidak khawatir sama sekali. Akan tetapi urusan kedua ini... ah, kau tidak tahu, Nona. Ayah pasti akan mencegah maksud hatimu itu, bukan hanya karena menjadi sahabat baik, melainkan masih ada ikatan keluarga. Ketahuilah bahwa isteri Pendekar Buta adalah enci angkat dari Ibuku. Nah, kau tahu betapa tidak bijaksananya kau mengaku akan hal itu di depan Ayah!"
"Ah, begitukah? Jadi kau masih keponakan isteri musuh besarku? Wah, celaka, aku terjebak. Tentu kau mengajakku ke sini untuk menipuku... ah, mengapa aku begitu bodoh?"
"Nona, harap jangan bicara begitu. Urusan itu baru kami ketahui setelah kau berada di sini dan mengaku di depan Ayah. Aku... aku tidak memandang kau sebagai musuh, sebaliknya dari itu. Aku bersedia menolongmu, Nona. Aku akan membujuk Ayah untuk membebaskanmu, asal saja kau suka berjanji kepada Ayah bahwa kau takkan memusuhi Pendekar Buta..."
"Aku mau memusuhi siapapun juga, apa pedulinya dengan kau?"
"Nona..."
Suara Bun Hui penuh penyesalan, akan tetapi ia tidak melanjutkan kata-katanya karena pada saat itu berkelebat bayangan orang dan seorang wanita setengah tua yang cantik telah berdiri di sebelah Bun Hui.
"Ibu... kau di sini...?"
Bun Hui bertanya gagap.
"Hui-ji (anak Hui), aku mendengar dari Ayahmu bahwa seorang gadis yang liar mengancam hendak menyerbu Liong-Thouw-San dan membuntungi lengan Kun Hong dan enci Hui Kauw? Mana dia? Apakah ini?"
Telunjuk yang runcing menuding ke arah Siu Bi yang memandang dengan bengong. Wanita itu luar biasa cantiknya, suaranya nyaring, matanya bersinar-sinar, pakaiannya amat indah namun tidak mengurangi gerakannya yang gesit tanda bahwa nyonya ini memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Siu Bi kagum. Alangkah jauh bedanya dengan Ibunya sendiri. Ibunya wanita lemah.
"Betul, Ibu. Aku... aku sedang membujuknya supaya maksud hatinya itu tidak dilanjutkan,"
Kata Bun Hui sambil menundukkan muka, khawatir kalau-kalau Ibunya akan dapat membaca isi hatinya. Wanita itu adalah Giam Hui Siang. Seperti telah diceritakan di bagian depan, wanita ini adalah puteri dari Ching-Toanio, ilmu kepandaiannya tinggi dan di waktu mudanya ia sendiri merupakan seorang gadis yang selain cantik dan lihai, juga amat ganas, malah pernah bentrok dengan Cici angkatnya dan Kwa Kun Hong (baca Pendekar Buta). Kini ia melangkah maju dan, memandang Siu Bi penuh perhatian.
"Kau anak siapa? Kenapa hendak memusuhi Pendekar Buta dan isterinya?"
La bertanya memandang tajam. Ditanya tentang orang Tuanya, hati Siu Bi menjadi panas dan jengkel. la bukan anak The Sun yang semenjak kecil ia anggap seperti Ayah sendiri. Semenjak rahasia bahwa ia bukan anak The Sun ia ketahui dari ucapan Hek Lojin dan ia tidak mau mengaku The Sun sebagai Ayahnya lagi. la sendiri tidak tahu siapakah orang Tuanya, atau lebih tepat lagi, siapa Ayahnya. la tidak pernah meragu bahwa ia bukan anak Ibunya. Mudah saja diketahui akan hal ini. Wajahnya serupa benar dengan wajah Ibunya. Akan tetapi Ayahnya? la tidak tahu! Karena pertanyaan itu membuatnya mendongkol, ia menjawab seenaknya.
"Sudah kukatakan bahwa orang tuaku tak perlu disebut-sebut di sini. Aku memusuhi Pendekar Buta karena aku benci kepadanya, karena ia memang musuhku. Habis perkara."
Giam Hui Siang tercengang mendengar jawaban dan melihat sifat berandalan ini. Teringat ia akan masa mudanya. Dia dahulu juga seperti nona ini, penuh keberanian, penuh kepercayaan akan kepandaian sendiri. Apakah nona ini selihai dia? Mungkinkah dapat mengalahkan Pendekar Buta dan Cicinya yang amat lihai itu?
Diam-diam ia mengharapkan akan ada orang yang dapat mengalahkan Pendekar Buta, kalau perlu dapat membuntungi lengannya dan lengan Hui Kauw! Diam-diam nyonya ini masih merasa mendendam dan benci kepada Pendekar Buta dan isterinya. Hal ini ada sebabnya. Pertama karena ketika ia masih muda, dua orang itu pernah menjadi musuhnya. Kedua kalinya, karena suaminya, Bun Wan, menjadi buta sebelah matanya karena Pendekar Buta pula. Sungguhpun suaminya itu membutakan sebelah mata sendiri karena malu dan menyesal atas perbuatannya sendiri yang menyangka buruk kepada Pendekar Buta, namun secara tidak langsung, suaminya buta karena Pendekar Buta (baca cerita Pendekar Buta)! Inilah sebabnya terselip rasa dendam di sudut hati kecil nyonya ini. Akan tetapi, dara remaja yang masih setengah kanak-kanak ini, mana mungkin dapat melawan Kun Hong?
"Lihat senjata!"
Tiba-tiba Giam Hui Siang berseru nyaring, tangannya bergerak dan sinar hijau menyambar ke arah Siu Bi, melalui sela-sela jeruji baja. Itulah belasan batang jarum Ching-Tok-Ciam (Jarum Racun Hijau), senjata rahasia maut dari Ching-Coa-To yang amat ditakuti lawan karena selain halus dan amat cepat menyambarnya, juga racunnya amat ampuh. Lebih hebat lagi, serangan ini masih ia susul dengan pukulan jarak jauh oleh sepasang lengannya yang didorongkan ke depan!
"Ibu...!"
Bun Hui terkejut bukan main, namun tidak sempat mencegah karena gerakan Ibunya itu sama sekali tidak pernah diduga sebelumnya.
la maklum akan kehebatan serangan Ibunya ini, maka dengan muka pucat ia memandang kepada Siu Bi. Siu Bi juga terkejut menghadapi Serangan mendadak itu. Akan tetapi karena sejak tadi ia sudah mengambil sikap bermusuhan, tentu saja ia waspada dan tidak kehilangan akal. la mengerahkan Hek-In-Kang dan menggerakkan kedua lengannya menyampok sambil mendoyongkan tubuh ke kiri, kemudian ia susul dengan dorongan ke muka yang mengandung tenaga Hek-In-Kang yang amat kuat. Giam Hui Siang dan Bun Hui hanya melihat uap menghitam bergulung dari kedua lengan Siu Bi dan di lain saat tubuh Hui Siang sudah terhuyung-huyung ke belakang. Hampir saja nyonya ini roboh terjengkang kalau saja ia tidak lekas-lekas melompat dan berjungkir balik. Wajahnya menjadi pucat, akan tetapi mulutnya tersenyum.
"Hebat...! Kau cukup lihai untuk menghadapi dia! Hui-ji, hayo kita pulang."
Bun Hui menghadapi Siu Bi, suaranya terdengar sedih,
"Nona, harap Kau suka maafkan Ibuku yang sebetulnya hanya hendak mencoba kepandaianmu."
"Hemmm...!"
Siu Bi mendengus, masih belum hilang kagetnya. Nyonya itu benar-benar ganas dan galak, juga lihai sekali. Jarum-jarum yang lewat di dekat tubuhnya tadi mengandung hawa panas yang luar biasa, juga pukulan jarak jauh tadi amat kuat. Baiknya ia memiliki Hek-In-Kang, kalau tidak, tentu ia akan menjadi korban jarum atau pukulan Sinkang. Setelah Ibu dan anak itu pergi, Siu Bi kembali duduk di atas pembaringan di sudut, berusaha untuk istirahat mengumpulkan tenaga. la dapat duduk tenang, kemudian menjelang tengah malam yang sunyi, tiba-tiba ia berjungkir balik, kepala di bawah, kaki yang tetap bersila itu di atas, untuk melatih Lweekang menurut ajaran Hek Lojin. Belum ada setengah jam ia berlatih, terdengar suara orang perlahan,
"Selagi kesempatan lari terbuka, mengapa membiarkan diri terkurung?"
Cepat sekali gerakan Siu Bi, tahu-tahu tubuhnya sudah meluncur ke dekat jeruji. Di luar jeruji berdiri seorang laki-laki yang mengeluarkan seruan kagum akan gerakannya yang memang luar biasa tadi. Laki-laki ini berdiri tegak, bersedekap dan memandang kepadanya dengan alis berkerut. Sukar menduga apa yang berada dalam pikiran laki-laki ini. Siu Bi memandang tajam, memperhatikan dan siap untuk memaki atau menyerang melalui sela-sela jeruji.
Akan tetapi ia mendapat kenyataan bahwa laki-laki itu bukanlah seorang penjaga atau pengawal, pakaiannya serba putih sederhana, rambutnya digelung ke atas dan dibungkus kain putih. Muka yang membayangkan ketenangan luar biasa dengan sepasang mata yang sayu, membayangkan kematangan jiwa dan penderitaan lahir batin. Orang ini bukan lain adalah Si Jaka Lola, Yo Wan. Seperti kita ketahui, Yo Wan melihat bagaimana gadis yang luar biasa dan mengagumkan hatinya itu merobohkan para tukang pukul, kemudian ikut dengan pemuda yang memimpin barisan. la tidak turun tangan menolong karena ingin ia melihat apa yang hendak dilakukan oleh pemuda itu, dan apa pula yang akan dilakukan oleh gadis itu untuk menolong diri sendiri. Alangkah herannya ketika ia mendapat kenyataan bahwa gadis itu membiarkan dirinya ditahan.
Malam tadi dia diam-diam memasuki bagian belakang gedung ini dan ia sempat melihat betapa Ibu pemuda itu menyerang dengan jarum hijau dan pukulan Sinkang. la kaget sekali, akan tetapi kembali ia dibuat kagum oleh kepandaian Siu Bi. la tidak sempat mendengar percakapan mereka tentang niat Siu Bi membuntungi lengan Pendekar Buta, karena kedatangannya tepat pada saat Giam Hui Siang melakukan penyerangan tadi. la benar-benar merasa heran akan sikap tiga orang itu. Lebih-lebih lagi rasa herannya mengapa gadis ini membiarkan dirinya dijebloskan kamar tahanan, maka ketika menyaksikan sampai jauh malam betapa gadis itu tidak berusaha melarikan diri, melainkan berlatih Lweekang secara aneh, dia tidak dapat menahan keheranannya dan muncul sambil mengucapkan kata-kata tadi.
Mengapa ia terlambat muncul? Yo Wan tadi ketika berhasil memasuki gedung, diam-diam menculik seorang penjaga tanpa ada yang mengetahuinya. la melompati tembok dan membawa lari penjaga itu ke luar kota, lalu memaksanya bercerita tentang gadis itu. Si penjaga ketakutan setengah mati karena ia tidak dapat melihat siapa penculiknya dan baru dilepaskan ketika berada di tempat yang gelap dan sunyi di luar kota, di bawah pohon yang besar. la hanya merasa tubuhnya tak mampu berkutik dan seakan-akan dibawa terbang. Saking takutnya, mengira bahwa ia diculik iblis tubuhnya menggigil dan tak berani ia membantah. Dengan suara gemetar ia menceritakan betapa Bun-Goanswe menahan gadis itu karena urusan ini akan diselidiki ke Pau-Ling pada esok hari oleh Goanswe sendiri, dan besok baru akan diberi keputusannya.
Juga ia menceritakan betapa gadis itu tidak membantah, malah menyerahkan pedangnya. Demikianlah, dengan penuh keheranan Yo Wan lalu kembali ke dalam gedung setelah menotok penjaga itu dan meninggalkan di tempat sunyi. la tahu bahwa penjaga itu tak mungkin akan dapat melepaskan diri sebelum besok pagi. la tidak langsung mencari tempat gadis itu ditahan melainkan mencuri masuk secara diam-diam ke dalam kamar Bun-Goanswe dan dengan kepandaiannya yang luar biasa ia berhasil mencuri Pedang Siu Bi yang disimpan di dalam kamar itu! Setelah menyimpan Pedang di balik jubahnya, baru ia mencari tempat tahanan di belakang dan tepat kedatangannya pada saat Hui Siang menyerang Siu Bi. Siu Bi kini berdiri dekat jeruji. Mereka saling pandang dan gadis itu berdebar jantungnya karena merasa serem melihat laki-laki itu berdiri seperti patung di luar kamar tahanan.
"Kau siapa? Apa maksud ucapanmu tadi?"
Akhirnya ia menegur, sambil menatap wajah yang tampan dan agak pucat, tubuhnya yang kurus sehingga tulang pundaknya tampak menjendul di balik bajunya yang sederhana.
"Maksud ucapanku tadi sudah jelas, Nona. Selagi ada kesempatan untuk lari, mengapa membiarkan dirimu terkurung di sini."
Siu Bi merasa heran. Apa kehendak orang ini dan siapa dia? Apa yang diucapkan orang ini memang menjadi suara hatinya. Memang ingin ia melarikan diri, tidak sudi ditahan seperti binatang buas. Akan tetapi bagaimana ia dapat melarikan diri kalau ia tidak kuat membongkar daun pintu dan jeruji baja? Bahkan pedangnya pun ditahan, bagaimana ia suka pergi tanpa mendapatkan pedangnya kembali? Akan tetapi untuk menjawab seperti ini, tentu saja ia tidak sudi. Hal itu hanya akan merendahkan dirinya sendiri, mengakui kebodohan dan kelemahannya. Maka ia menjawab dengan suara ketus,
"Kau peduli apa? Aku harus tunduk kepada hukum, aku bukan manusia liar yang tidak mengenal hukum."
Laki-laki muda itu tertawa, hanya sebentar saja. Akan tetapi dalam waktu beberapa detik itu, selagi tertawa, laki-laki itu dalam pandang mata Siu Bi kelihatan tampan dan lenyap semua kekeruhan pada mukanya. Akan tetapi hanya sebentar saja, senyum dan tawa itu melenyap, kembali wajah itu tampak suram muram.
"Hukum, kau bilang? Nona, aku lebih banyak mengalami hal-hal mengenai hukum. Semua pembesar bicara tentang hukum, bersembunyi di belakang hukum, dan tahukah kau apa arti hukum sebenarnya? Hukum hanya menjadi alat penyelamat mereka belaka, bahkan alat penindas mereka yang lebih lemah! Hukum dapat mereka putar balik, dapat ditekuk-tekuk ke arah yang menguntungkan dan memenangkan mereka. Kau akan kecewa kalau kau mempercayakan keselamatanmu kepada hukum, Nona. Karena itu, pokok terpenting, kau tidak bersalah dalam suatu persoalan. Perbuatanmu membela para petani miskin yang tertindas itu adalah perbuatan orang gagah, sama sekali tidak seharusnya dihukum atau ditahan."
Di dalam hatinya, Siu Bi setuju seribu persen. Akan tetapi bagaimana ia dapat menyatakan setuju kemudian menyatakan bahwa ia tidak mampu keluar?
"Eh, kau ini siapakah, berlagak pandai dan membelaku? Hemmm, lagaknya saja hendak menolong. Apa sih yang dapat kau lakukan untuk menolongku? Pula, aku pun tidak membutuhkan pertolonganmu, dan andaikata kau mau menolong, mengapa pula kau yang sama sekali tidak kukenal ini hendak menolongku? Apakah bukan maksudmu untuk mencari muka belaka?"
Yo Wan tersenyum kecut. la kagum menyaksikan sepak terjang gadis ini, juga senang menyaksikan ketabahan dan kelincahannya, akan tetapi watak gadis ini amat sombong. Yo Wan sudah mencapai tingkat tinggi, baik dalam ilmu silat maupun ilmu batin, berkat gemblengan selama sepuluh tahun di puncak Pegunungan Himalaya. Maka ia tidak menjadi marah oleh sikap kasar dan ketus dari gadis itu. Dengan tenang ia lalu mengeluarkan Pedang Cui-Beng Kiam dari balik jubahnya, menaruh Pedang itu di atas lantai, kemudian ia menggunakan kedua tangannya memegang jeruji baja, mengerahkan sedikit Sinkang dan... jeruji-jeruji itu melengkung, membuka lubang yang cukup lebar untuk dilalui tubuh orang!
"Aku datang sekedar memenuhi kewajiban membantu yang benar, tak perlu bicara tentang pertolongan. Tentang kau mau ke luar atau tidak, adalah menjadi hakmu untuk menentukan, Nona. Pedangmu ini tadi kuambil dari kamar Bun-Goanswe. Tidak baik seorang gagah berjauhan dari senjatanya. Selamat tinggal."
Siu Bi bengong terlongong. la berdiri seperti patung memandang bayangan laki-laki itu yang berjalan perlahan, meninggalkannya dan menghilang di dalam gelap. Setelah bayangan orang itu tidak tampak, baru ia sadar. Kerangkeng terbuka, pedangnya di situ, mau tunggu apa lagi? Cepat ia menyelinap ke luar di antara dua jeruji yang sudah melengkung, disambarnya Pedang Cui-Beng Kiam dan di lain saat ia sudah melompat ke atas genteng, memandang ke sana ke mari. Namun sunyi di atas gedung itu, tidak tampak bayangan laki-laki tadi. Hatinya bimbang. Apakah ia akan pergi melarikan diri sekarang juga ke luar kota. Memang sesungguhnya lebih baik dan lebih aman begitu.
Akan tetapi, setelah Jenderal Bun itu melakukan hal yang tak patut terhadapnya, mengurungnya dalam kerangkeng seperti binatang, kemudian nyonya jenderal itu tanpa sebab menyerangnya dengan jarum dan pukulan, masa ia harus pergi begitu saja seperti orang lari ketakutan? Tidak, tidak ada penghinaan yang tidak dibalas. Sebelum ia pergi meninggalkan kelihaiannya dan memberi sedikit hajaran kepada Jenderal Bun dan isterinya yang galak. Tentu saja Bun Hui tidak termasuk dalam daftarnya untuk diberi hukuman karena pemuda itu bersikap baik sekali kepadanya. Pikiran ini mendorong Siu Bi membatalkan niatnya untuk melarikan diri. la lalu bergerak-gerak seperti seekor kucing ringannya, meloncati genteng di atas gedung itu menuju ke bangunan besar, kemudian ia mengintai untuk mencari di mana adanya kamar Jenderal Bun dan isterinya, mendekam dan mendengarkan. la mendengar suara Jenderal Bun dan isterinya.
"Masa tengah malam begini hendak pergi? Urusan bagaimana pentingnya pun, kan dapat diurus besok pagi?"
Terdengar suara nyonya Jenderal Bun, suara yang merdu dan halus.
"Harus sekarang kuselesaikan. Selain menyelidiki ke Pau-Ling, aku juga harus cepat menyuruh seorang pengawal yang tangkas untuk mengabarkan kepada Kwa Kun Hong di Liong-Thouw-San tentang ancaman gadis liar itu."
Suara yang berat dari Jenderal Bun ini mendebarkan hati Siu Bi yang mendengarkan terus.
"Ah, tentang urusan itu, apa sangkut-pautnya dengan kita? Kalau dia mempunyai dendam pribadi dengan Kun Hong, biarlah ia menyelesaikannya sendiri. Urusan pribadi orang lain, bagaimana kita dapat ikut campur?"
Isterinya mencela.
Jaka Lola Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Orang lain? Kurasa Kwa Kun Hong dengan keluarganya tidaklah dapat dikata orang lain!"
Bun-Goanswe berseru keras, suaranya mengandung penasaran.
"Bukankah isterinya adalah Cicimu (Kakakmu)?"
"Enci Hui Kauw hanyalah saudara pungut."
Hening sejenak, lalu terdengar suara jenderal itu penuh penyesalan.
"Hui Siang, isteriku, harap kau jangan merusak perasaan hatiku dengan sikapmu seperti ini terhadap mereka. Aku tahu bahwa kau masih menaruh dendam akan urusan lama, bukankah itu merupakan sifat kanak-kanak? Kita bukan kanak-kanak lagi. Perbuatanmu tadi mendatangi kamar tahanan dan menyerang gadis itu, juga merupakan sisa dari sifat waktu mudamu. Ah, Hui Siang, aku dapat menduga isi hatimu, setelah kau menguji, gadis itu dan mendapat kenyataan bahwa dia cukup lihai, kau ingin sekali melihat dia itu mengacau Liong-Thouw-San. Begitukah?"
Nyonya itu berseru kaget.
"Kau... kau mengintai...?"
Kemudian disusul suaranya menantang.
"Betul, aku... aku memang masih benci kepada Kun Hong dan enci Hui Kauw!"
Disusul isak tangis tertahan dan tarikan nafas panjang Jenderal itu,
"Hui Siang, mengapa kau masih juga belum dapat memadamkan api dendam terhadap mereka? Lupakah kau bahwa Kun Hong adalah penolong kita? Dia seorang Pendekar besar yang telah terkenal kegagahan dan budi pekertinya. Dia merupakan penolong kita!"
Isak tangis itu makin keras.
"Aku... aku pun tidak bisa lupa... bahwa kau... kau membutakan mata kananmu karena dia...?"
Bun-Goanswe tertawa.
"Ha... ha... ha, itukah yang membuat dendammu tak dapat hilang? Tak usah dipusingkan, isteriku. Kebutaan sebelah mataku dapat membuka kebutaan mata hatiku, bukankah itu baik sekali?"
"Lalu, apa yang hendak kau lakukan terhadap gadis itu?"
"Aku akan membujuknya agar supaya ia membatalkan niatnya mengacau tempat tinggal Kun Hong. Kalau ia bersikeras, apa boleh buat, aku akan memasukkannya ke dalam tahanan sampai ia bertobat."
"Jenderal busuk, kau benar-benar hendak mempergunakan hukum untuk mencari kebenaran dan kemenangan sendiri. Aku, Cui-Beng Kwan-Im, mana sudi kau perlakukan demikian?"
Sesosok bayangan melayang turun dari jendela dan sinar Pedang hitam menerjang Bun-Goanswe, Jenderal ini kaget sekali, cepat dia menghunus pedangnya dan menangkis. Adapun Hui Siang, isteri jenderal itu, kaget dan khawatir, untuk sejenak hanya dapat memandang dengan kaget. Akan tetapi, beberapa menit kemudian nyonya ini sudah mendapatkan pedangnya lalu menyerbu dan mengeroyok Siu Bi. Dara ini tidak menjadi gentar, malah berseru keras dan segera pedangnya berubah menjadi gulungan sinar kehitaman, diseling pukulan-pukulannya yang mengandung tenaga Hek-In-Kang! Memang hebat gadis ini, ilmunya tinggi nyalinya sebesar nyali harimau, akan tetapi dia terlalu memandang rendah orang lain.
Terjangannya yang dahsyat dan ganas memang membuat Suami isteri itu kaget dan terdesak mundur. Akan tetapi, jenderal itu adalah Bun Wan putera tunggal Ketua Kun-Lun-Pai, tentu saja ilmu kepandaiannya juga hebat. Dan isterinya adalah puteri dari Ching-Toanio yang memiliki ilmu silat segolongan dengan Siu Bi, yaitu goiongan hitam. Biarpun tingkat ilmu silat kedua orang Suami isteri ini tidak sedahsyat ilmu silat Siu Bi warisan dari Kakek sakti Hek Lojin, namun gadis itu kalah ulet dan kalah pengalaman sehingga terjangan-terjangannya biarpun mendesak dan mengejutkan, namun belum mampu merobohkan mereka. Pada saat itu, Bun Hui datang berlari-lari dengan muka pucat. Cepat pemuda yang juga lihai ini memutar pedangnya menahan Pedang Cui-Beng Kiam, lalu berkata, suaranya menggetarkan penuh perasaan,
"Nona...! Kenapa kau tidak memegang janji, malah melarikan diri dan menyerbu ke sini? Ah... Nona, mengapa kau menyerang Ayah Bundaku? Mengapa kau lakukan hal ini... Kau, yang kupandang gagah perkasa..."
Getaran suara yang terkandung dalam ucapan Bun Hui ini tidak menyembunyikan perasaannya. Jelas terdengar dan terasa, baik oleh Siu Bi maupun oleh Ayah Bunda pemuda itu, bahwa Bun Hui menaruh hati cinta kepada gadis ini!
"Hui-ji, mundur kau!"
Bentak Jenderal Bun.
"Hui-ji, kenapa kau merengek-rengek kepada bocah ini?"
Seru pula Ibunya penuh teguran dan Suami isteri itu sudah menerjang Siu Bi dengan hebat.
Terpaksa Siu Bi mundur tiga langkah karena terjangan kedua orang itu dalam serangan balasan bukanlah main-main. Namun dengan Hek-In-Kang, ia dapat mengusir mundur lagi kedua orang pengeroyoknya. Ternyata Hek-In-Kang amat ampuh, hawanya saja cukup membuat kedua orang Suami isteri tokoh persilatan yang berkepandaian tinggi itu tergetar mundur dan tidak berani terlalu mendekat. Mendengar suara ribut-ribut ini, beberapa orang pengawal menerjang masuk dan melihat betapa Jenderal Bun dan isterinya bertempur melawan gadis tahanan yang entah bagaimana kini telah berada di situ, mereka cepat mencabut senjata masing-masing dan siap. Sementara itu, dengan hati hancur saking menyesal dan kecewanya, Bun Hui menggunakan pedangnya membantu Ayah Bundanya sambil berkata lirih,
"Betapapun berat bagiku, aku harus memihak Ayah Bundaku, Nona."
"Cih, cerewet amat. Mau keroyok, keroyoklah. Hayo semua orang di sini boleh masuk mengeroyokku. Aku Cui-Beng Kwan-Im tidak gentar seujung rambutpun!"
Bukan main marahnya Bun-Goanswe.
"Hayo tangkap dia! Jangan bunuh, tangkap kataku. Mana akal kalian? Masa tidak mampu menangkap hidup-hidup seorang bocah nakal?"
Belasan orang pengawal yang cukup tinggi kepandaiannya datang, mereka membawa tali-tali yang besar dan kuat. Dengan senjata ini mereka mengurung Siu Bi dari segala penjuru, kemudian mereka mengayunkan tambang itu ke arah kaki untuk merobohkan Siu Bi. Gadis ini kaget sekali karena Suami isteri yang kosen itu, dibantu puteranya yang tak boleh dipandang ringan, membuat ia cukup repot menjaga diri. Sekarang ada tambang-tambang yang menyambar dari segala jurusan melibat dan menjegal kedua kaki. la terpaksa berlonoatan untuk menyelamatkan diri, menendang sana-sini sambil tetap melayani tiga orang lawannya.
Akan tetapi, mana mungkin gadis yang kurang pengalaman bertempur ini memecah perhatiannya menghadapi serangan yang sekian banyaknya. Tiga batang Pedang dengan dahsyat mengurungnya dan mengancamnya dari atas, ini saja sudah membutuhkan pemusatan perhatian karena tiga batang Pedang itu digerakkan oleh tangan-tangan ahli. Belasan jurus ia masih dapat bertahan, akan tetapi karena kebingungannya, akhirnya kakinya terlibat tambang dan tak dapat ia pertahankan lagi, kakinya kena dijegal dan ia terguling dengan Pedang masih di tangan. Pada saat itu, selagi Bun-Goanswe dan para pengawalnya siap menubruk dan menangkap Siu Bi, mendadak mereka kelabakan karena lampu penerangan tiba-tiba menjadi padam. Perubahan serentak antara keadaan terang benderang menjadi gelap hitam ini benar-benar membingungkan mereka.
"Pasang lampu...! Lekas pasang lampu...!"
Bentak Bun-Goanswe. Tak seorang pun berani menubruk ke depan untuk meringkus Siu Bi. Mereka cukup maklum akan kelihaian nona itu yang masih memegang pedang. Di dalam keadaan gelap itu, mana ada yang berani mempertaruhkan nyawa? Setelah suasana gelap yang hiruk-pikuk ini diakhiri dengan penerangan lampu, keributan lain timbul ketika mereka melihat bahwa gadis yang tadinya terguling miring itu sudah tiada di tempatnya lagi. Gadis itu lenyap seperti ditelan bumi, tidak meninggalkan bekas, Bun-Goanswe cepat memerintah para pengawalnya melakukan pengejaran. Dia sendiri menjatuhkan diri di atas kursi, penasaran, malu dan marah. Hui Siang dan Bun Hui saling pandang.
"Wah, dia dapat melarikan diri!"
Kata Hui Siang, diam-diam girang karena sesungguhnya la ingin sekali mendengar gadis itu menyerbu rumah tangga Kun Hong apalagi setelah sekarang ia yakin benar akan kelihaian gadis itu.
"Siapa bilang lari?"
Jawab jenderal itu marah.
"Terang ada orang sakti yang menolong dan membawanya lari. Siapa yang memadamkan lampu serentak seperti itu tadi? Tentu bukan gadis itu. Dan cara ia meloloskan diri, sama sekali"
Tidak terdengar olehku."
"Mudah-mudahan ia tidak membikin ribut lagi..."
Bun Hui menggumam seorang diri.
"He, kau Hui-ji. Sikapmu tadi sungguh memalukan! Apa maksudmu? Apakah kau sudah tergila-gila kepada gadis liar itu?"
Bentakan Ayahnya ini membuat Bun Hui merah mukanya dan ia tergagap mencari jawaban,
"Aku... aku... tidak begitu, Ayah. Aku hanya... kagum akan sepak terjangnya dan aku... aku kasihan...
"Hemmm, menilai seseorang, apalagi wanita, jangan sekali-kali dari kecantikan wajah atau kepandaiannya. Akan tetapi wataknya! Gadis itu wataknya keranjingan, seperti iblis betina. Hui-ji, besok kau berangkat pagi-pagi ke Liong-Thouw-San, menemui Pamanmu Kwa Kun Hong dan berikan sepucuk suratku. Urusan ini terlampau penting untuk kuserahkan kepada seorang pengawal, maka harus kau sendiri yang membawanya ke Liong-Thouw-San."
"Baik, Ayah."
Diam-diam pemuda ini menjadi girang juga, karena memang sudah amat lama ia ingin bertemu dengan orang yang selalu disebut-sebut Ayahnya dengan penuh penghormatan, yaitu Kwa Kun Hong Si Pendekar Buta.
Siu Bi mencoba tenaganya untuk meronta dan melepaskan diri, akan tetapi sia-sia. Orang itu memanggulnya dengan menekan tengkuk dan punggung, di mana pusat tenaganya ditekan dan menjadi hilang kekuatannya. la merasa dibawa lari cepat sekali dan angin dingin membuat ia mengantuk sekali. Akhirnya, saking lelahnya bertempur tadi dan semalam tidak tidur sedikit pun juga, ia tertidur di atas pundak orang yang memanggulnya itu. Ketika Siu Bi sadar dari tidurnya, sedetik ia tertegun, hendak mengulet (menggeliat) tidak dapat, tubuhnya serasa kesemutan dan pipi kanannya yang berada di atas panas. Kiranya matahari sudah menyorot agak tinggi juga. Segera ia teringat. la masih berada di atas pundak orang, masih dipanggul! Sejak lewat tengah malam sampai sekarang, lewat pagi! Dan ia tertidur di dalam pondongan orang! Dan selama itu ia masih belum tahu siapa orang yang menculiknya ini, yang membawanya lari dari dalam gedung Jenderal Bun selagi ia roboh dalam keroyokan para pengawal.
"Hemmm, perawan apa ini? Dipondong orang sejak malam, enak-enak tidur mendengkur. Malas dan manja, ihhh, benar-benar celaka..."
Orang yang memanggulnya itu terdengar bersungut-sungut. Kemarahan memenuhi kepala Siu Bi.
"Siapa mendengkur? Aku tidak pernah mendengkur kalau tidur. Hayo lepasKan kau laki-laki kurang ajar!"
"He? Kau sudah bangun? Nah, turunlah!"
Dengan gerakan tiba-tiba orang itu melepaskan pondongan sambil mendorong sedikit sehingga Siu Bi terlempar dan jatuh berdiri di depannya dalam jarak dua meter. Dapat dibayangkan betapa kaget, heran, dan marahnya ketika melihat bahwa orang yang memanggulnya tadi adalah laki-laki muda sederhana berpakaian putih yang semalam mengunjunginya di dalam kerangkengnya!
"Heeeiiiii! Kenapa kau memondongku? Aku bukan anak kecil!"
Siu Bi membanting kaki dengan gemas. Yo Wan, orang itu, tersenyum kecil. Matahari pagi serasa lebih gemilang cahayanya menghadapi seorang dara lincah nakal ini.
"Kau masih kanak-kanak,"
Katanya tenang.
"Siapa bilang? Aku bukan anak Kecil, aku bukan kanak-kanak lagi!"
Siu Bi bersitegang. Disebut kanak-kanak baginya sama dengan penghinaan. Masa dia yang sudah mempunyai julukan Cui-Beng Kwan-Im sekarang di "Cap"
Kanak-kanak? "Aku Cui-Beng Kwan-Im, aku seorang dewasa. Jangan kau main-main!"
"Bagiku kau masih kanak-kanak,"
Kata pula Yo Wan, memalingkan muka seperti seorang yang tidak acuh. Padahal pemuda ini memalingkan muka karena merasa "Silau"
Akan kecantikan wajah Siu Bi. Kebetulan sekali cahaya matahari yang menerobos melalui celah-celah daun pohon, menyoroti muka dan rambut itu, sehingga wajah gadis itu gemilang dan rambutnya membayangkan warna indah, benar-benar seperti Dewi Kwan Im turun melalui sinar matahari pagi. Yo Wan memalingkan muka agar jangan melihat keindahan di depannya ini, yang membuat isi dadanya tergetar.
"Wah, kau ini Kakek-kakek, ya? aksinya!"
Siu Bi membentak gemas.
"Aku jauh lebih tua dari padamu."
Suara Yo Wan perlahan, seperti berkata kepada diri sendiri. Memang ini suara hatinya yang membantah gelora di dalam dada, untuk memadamkan api aneh yang mulai menyala dengan peringatan bahwa dia jauh lebih tua daripada gadis remaja yang berdiri di depannya dengan sikap menantang itu.
"Hanya beberapa tahun lebih tua. Hemmm, lagakmu seperti Kakek-kakek berusia lima puluh tahun saja. Kurasa kau belum ada tiga puluh."
"Dua puluh enam tahun umurku, dan kau ini paling banyak lima belas..."
"Siapa bilang? Ngawur! Sudah tujuh belas lebih, hampir delapan belas aku "
"Ya itulah, masih kanak-kanak kataku."
"Setan kau. Delapan belas tahun kau anggap kanak-kanak? Kau baru umur dua puluh enam tahun sudah berlagak tua bangka. Biarlah kusebut kau Lopek (Paman Tua) kalau begitu. Heh, Lopek yang sudah pikun, kenapa kau tadi memondongku? Siapa yang beri ijin kepadamu?"
Yo Wan panas perutnya. Masa ia disebut Lopek? Ngenyek (ngece) benar bocah ini. la mengebut-ngebutkan ujung lengan bajunya pada lehernya, seakan-akan kepanasan, memang ada rasa panas, tapi bukan di kulit melainkan di hati. Lalu ia memilih akar yang bersih, akar pohon besar yang menonjol keluar dari tanah. Didudukinya akar itu tanpa menjawab pertanyaan Siu Bi.
"He, Lopek Apakah kau sudah terlalu tua sehingga telingamu sudah setengah tuli?"
Bentak Siu Bi dengan suara nyaring.
"Kau anak kecil jangan kurang ajar terhadap orang tua. Duduklah, anakku, duduk yang baik dan Kakekmu akan mendongeng, kalau kau mendengarkan baik-baik, nanti kuberi mainan."
Siu Bi meloncat-loncat marah.
"Nak-nak-nak? Aku bukan anakmu, aku bukan Cucumu. Jangan sebut nak, aku bukan anak kecil "
La menjerit-jerit, kedua pipinya merah padam, kemarahannya melewati takaran. Yo Wan bersungut-sungut,
"Kalau kau bukan anak kecil, aku pun bukan Kakek-kakek yang sudah tua renta, kenapa kau sebut aku Lopek?"
"Kau yang mulai dulu"
"Siapa mulai? Kau yang mulai,"
Jawab Yo Wan mulai mendongkol hatinya.
"Kau yang mulai."
"Kau."
"Kau! Kau! Kau! Nah, aku bilang seribu kali, kau yang mulai, mau apa?,"
Siu Bi menantang. Yo Wan mengeluh, lalu menarik nafas panjang, menggeleng-gelengkan kepalanya. Benar-benar dara lincah nakal ini telah menyeretnya kembali ke alam kanak-kanak dan berhasil mengaduk isi dada dan isi perutnya menjadi panas. Sepuluh tahun ia bertapa di Himalaya menguasai tujuh macam perasaan, sekarang perasaannya diawut-awut oleh gadis remaja ini.
"Dibebaskan dari bahaya, dipondong sampai setengah malam suntuk, tahu-tahu upahnya hanya diajak bertengkar. Di dunia ini mana ada aturan bo cengli tidak benar macam ini?"
Ia mengomel panjang pendek.
"Siapa suruh kau mondong aku? Siapa? Aku tidak sudi kau pondong, tahu?"
"Tidak sudi masa bodoh, pokoknya aku gudah memondongmu sampai setengah malam, tangan dan pundakku sampai njarem (pegel) rasanya. Siu Bi makin marah, kedua tangannya dikepal,
"Aku tidak sudi, tidak sudi, tidak sudi! Hayo jawab, kenapa kau memondongku? Kalau kau tidak jawab, jangan menyesal kalau aku marah dan menghajarmu. Aku Cui-Beng Kwan-Im, ingat?"
"Kenapa aku memondongmu? Habis kalau tidak dipondong, apa minta digendong? Atau harus kuseret? Kau dikepung, berada dalam bahaya maut, tapi masih membuka mulut besar. Tak tahu diri benar!"
"Biar aku dikepung, biar dicengkeram maut, apa pedulimu? Aku tidak sudi pertolonganmu, mengapa kau tolongaku?"
"Aku pun tidak bermaksud menolongmu. Aku hanya tidak senang melihat seorang gadis dikeroyok oleh para pengawal jenderal itu, maka aku berusaha menggagalkan pengeroyokan mereka dah membawamu pergi."
Siu Bi seakan-akan tidak mendengarkan omongan Yo Wan, ia termenung lalu berkata penuh penyesalan,
"Celaka betul, karena kau membawaku pergi, pedangku hilang! Ah, Cui-Beng Kiam itu tentu ketinggalan di tempat pertempuran dan..."
Siu Bi menghentikan kata-katanya karena melihat sinar kehitaman ketika Pedang itu dicabut oleh Yo Wan dari balik jubahnya. Tanpa berkata sesuatu Yo Wan memberikan Pedang kepada Siu Bi yang cepat menyambarnya.
"Juga kebetulan aku melihat Pedang ini terlepas dari tanganmu, aku tidak ingin pengawal-pengawal itu merampasnya, maka kubawa sekalian. Nah, kiranya cukup obrolan kita yang amat menyenangkan hati ini. Aku tak pernah tolong kau dan kau tak pernah ada urusan denganku. Kita sama-sama bebas, tidak ada urusan apa-apa. Selamat tinggal."
Yo Wan berdiri, lalu berjalan perlahan meninggalkan Siu Bi. Seperti malam tadi, Siu Bi memandang dengan mata tak berkedip, ketika bayangan Yo Wan hampir lenyap di sebuah tikungan, ia teringat sesuatu dan cepat melompat mengejar sambil berseru,
"Heee, berhenti dulu!!"
Yo Wan berhenti dan membalikkan tubuh perlahan. Dilihatnya gadis itu berloncatan sambil membawa pedang. Hemm, jangan-jangan gadis itu akan menyerangnya, siapa dapat menduga isi hati gadis liar dan buas seperti itu?
"Ada apa lagi? Hendak menghajarku?"
Tanyanya. Siu Bi menggelengkan kepala, tapi mulutnya masih cemberut.
"Tergantung dari jawabanmu,"
Katanya, lalu disambungnya cepat-cepat.
"Aku tidak pernah mendengkur kalau tidur. Kau tadi bilang aku mendengkur, kau bohong! Aku tidak pernah mendengkur, memalukan sekali!"
Hampir Yo Wan terbahak ketawa. Benar-benar gadis yang liar dan aneh. Masa menyusulnya hanya akan bicara tentang itu?
"Tidak mendengkur, hanya... ngo"
Rok..."
"Bohong! Kau berani sumpah? Aku tak pernah ngorok, mendengkur pun tidak."
"Ngorok pun mana kau bisa tahu? Kan kau sedang tidur? Yang tahu hanya orang lain tentu."
"Tidak, tidak! Aku tidak ngorok, hayo katakan, aku tidak pernah ngorok!"
Siu Bi hampir menangis ketika membanting-banting kaki di depan Yo Wan. la marah dan malu sekali, kedua matanya sudah merah, air matanya sudah hampir runtuh. la bukan seorang gadis cengeng, jauh dari itu, menangis sebetulnya merupakan pantangan baginya, hatinya keras, nyalinya besar, tak pernah ia mengenal takut. Akan tetapi dikatakan ngorok dalam tidur, benar-benar merupakan hal yang menyakitkan hati, memalukan dan menjengkelkan. Kasihan juga hati Yo Wan melihat keadaan gadis ini.
"Ya sudahlah, tidak ngorok ya sudah. Agaknya karena terlampau lelah bertanding dan terlalu enak kau pulas, nafasmu menjadi berat seperti orang mengorok. Tidurmu memang enak sekali sampai aku tidak tega untuk membangunkan dan terpaksa memondongmu terus sampai kau bangun."
Memang watak Siu Bi aneh. Mana bisa tidak aneh watak gadis ini yang semenjak kecil hidup dekat Hek Lojin, manusia aneh yang terkenal di seluruh dunia kang-ouw? Kini ia memandang kepada Yo Wan dengan sinar mata berseri, melalui selapis air mata yang tidak jadi tumpah.
"Kau baik sekali..."
Yo Wan tertegun. Alangkah bedanya dengan tadi. Kini ia benar-benar melihat seorang Dewi Kwan Im di depannya, seorang dewi yang cantik jelita, bersuara lembut dan bersinar mata mesra.
"Ahhh... sama sekali tidak baik, biasa saja,"
Katanya.
"Aku melihat kau menolong para petani miskin, tentu saja aku tidak suka melihat kau celaka di tangan para pengawal."
Hening sejenak, dan agaknya Yo Wan lupa sudah bahwa baru saja dia mengucapkan selamat tinggal. Juga Siu Bi seperti orang termenung, tidak memandang Yo Wan, melainkan memandang ke tempat jauh di sebelah kiri. Tiba-tiba ia menengok, agak berdongak untuk mencari mata Yo Wan dengan pandangannya,
"Kau... lapar...?"
Jaka Lola Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Yo Wan melongo beberapa detik.
"Lapar? Tentu saja..."
Jawabnya otomatis, karena memang perutnya terasa perih minta diisi. Wajah Siu Bi berseri gembira.
"Kau tunggu di sini sebentar, kutangkap kelinci gemuk di sana itu!"
Tubuhnya berkelebat cepat sekali dan di lain saat ia telah menguber-uber seekor kelinci putih yang gemuk. Yo Wan kembali tertegun, kemudian ia tersenyum geli dan menggaruk-garuk belakang telinganya yang tidak gatal. Lalu ia mengumpulkan daun dan ranting kering dan duduk di atas sebuah batu, menunggu. Siu Bi datang sambil berloncatan dan menari-nari kegirangan. Seekor kelinci gemuk sekali meronta-ronta di bawah pegangannya. Siu Bi memegang kedua telinga itu.
"Lihat, wah gemuk sekali! Masih muda lagi!"
Teriaknya sambil tertawa-tawa. Wajah Yo Wan berseri dan untuk sejenak lenyaplah kemuraman wajahnya.
"Hemmmm, tentu lezat sekali dagingnya. Biar kubuatkan api."
La lalu membuat api dan matanya melirik ke arah gadis itu yang dengan cekatan sekali menyembelih kelinci dengan pedangnya, lalu mengulitinya dengan cepat. Sambil bekerja, Siu Bi bersenandung dan Yo Wan beberapa kali melirik ke arah gadis ini. Seorang gadis yang benar-benar aneh, pikirnya. Watak yang luar biasa dan sukar diselami.
"Lihat nih, gajihnya sampai tebal? Hemmm..."
Makin lapar perutku,"
Kata Siu Bi sambil mengangkat daging kelinci tinggi-tinggi.
"Lekas panggang, tak kuat lagi aku."
Yo Wan berkata, menelan air ludah sendiri beberapa kali."
Seperti seorang anak kecil, sambil tertawa-tawa gembira Siu Bi lalu menusuk daging kelinci dengan bambu dan memanggangnya. Bau yang sedap gurih memenuhi udara, menambah rasa lapar di perut. Selama mengerjakan itu, Siu Bi tidak bicara, hanya beberapa kali melirik ke arah Yo Wan, akan tetapi kalau pemuda itu membalas pandangnya, ia mengalihkan kerling sambil tersenyum. Biarpun mulutnya tidak berkata sesuatu, namun di dalam hatinya Siu Bi tiada hentinya berkata-kata. Pikirannya diputar terus. Pemuda ini baik, pikirnya. Tidak kurang ajar, biarpun kelihatan agak tolol. Terang bahwa dia itu lihai sekali, sudah berkali-kali dibuktikan biarpun tidak berterang. Dapat memasuki rumah gedung Jenderal Bun tanpa diketahui, seperti setan saja, dapat membebaskannya dari kerangkeng, kemudian ia harus mengakui bahwa ketika ia roboh terjegal kakinya oleh tambang-tambang itu, keadaannya memang amat berbahaya.
Pendekar Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Kisah Si Pedang Kilat Karya Kho Ping Hoo Pedang Sinar Emas Karya Kho Ping Hoo