Pendekar Buta 13
Pendekar Buta Karya Kho Ping Hoo Bagian 13
"Tua bangka she Kwee, kau benar-benar iblis yang tidak aturan. Kalau hendak mencari Thai-Lek-Sin yang tidak berada di sini, atau hendak menantang aku mengadu kepandaian, kenapa mesti pakai membunuh-bunuhi orang-orangku yang tidak tahu apa-apa? Apakah ini perbuatan orang gagah?"
"Ha-ha, Tan Beng Kui bocah sombong. Kalau mereka tidak mengeroyok aku si tua bangka, apakah mereka itu bisa mampus sendiri? Hayo lekas keluarkan ilmu pedangmu, ha-ha-ha, sudah lama benar aku merindukan Ilmu Pedang Sian-Li Kiam-Sut, ilmu pedang yang berhasil dipakai oleh murid untuk membunuh gurunya sendiri itu, ha-ha-ha!"
Ucapan Song-Bun-Kwi ini benar-benar menusuk ulu hati Beng Kui. Seperti diceritakan dalam cerita Rajawali Emas, Sin-Kiam-Eng Tan Beng Kui ini dahulu adalah murid kepala dari Raja Pedang Cia Hui Gan dan raja pedang ini tewas karena pengeroyokan beberapa orang tokoh tinggi, di antaranya juga Song-Bun-Kwi Kwee Lun sendiri dan hebatnya, murid kepala itu juga ikut mengeroyok gurunya! Seketika wajah Beng Kui menjadi pucat dan dengan mata berapi dia membentak,
"Song-Bun-Kwi iblis laknat! Kaulah seorang pengeroyok guruku itu dan biarlah sekarang aku menebus dosa terhadap guru dengan membalaskan sakit hatinya kepadamu."
Sinar berkilauan menyambar dan tahu-tahu pedang di tangan Sin-Kiam-Eng Tan Beng Kui telah menyerbu ke arah Song-Bun-Kwi. Kaget juga iblis tua ini menyaksikan kehebatan ilmu pedang lawan. Dalam beberapa tahun ini agaknya Tan Beng Kui tidak menganggur saja, akan tetapi memperdalam ilmu pedangnya sehingga makin cepat dan kuat, mengandung hawa serangan yang dahsyat. Song-Bun-Kwi cepat mengibaskan ujung lengan bajunya menangkis sinar pedang yang demikian cepat mengancam dadanya.
"Brettt!"
Ujung lengan baju itu terbabat putus, akan tetapi Sin-Kiam-Eng sendiri terhuyung mundur dua langkah.
Dari keadaan ini saja dapatlah dibayangkan betapa hebatnya dua orang yang kini sedang berhadapan ini. Keduanya adalah jago-jago tua yang tak boleh dipandang ringan. Kaget hati Song-Bun-Kwi, akan tetapi segera dia kegirangan sekali karena biarpun dia tidak bertemu dengan Thai-Lek-Sin, kiranya jago pedang ini cukup tangguh untuk dia ajak berlatih. Memang bagi seorang bangkotan seperti Song-Bun-Kwi, bertempur hanya merupakan latihan belaka dan luka atau tewas dalam latihan ini bukanlah apa-apa baginya, lumrah! Terbabat putus ujung lengan bajunya, Song-Bun-Kwi malah tertawa bergelak. Tahu-tahu sebatang pedang telah berada di tangannya dan segera terjadilah pertandingan yang hebat.
Ilmu pedang yang dimainkan oleh Tan Beng Kui adalah ilmu pedang keturunan yang bersumber pada Ilmu Pedang Im-Yang Sin-Kiam pula, yaitu ilmu Pedang Sian-Li Kiam-Sut (ilmu Pedang Bidadari). Akan tetapi karena ilmu pedang ini dahulunya khusus diciptakan untuk pemain wanita, maka oleh Beng Kui telah diubah dan ditambah sedemikian rupa sehingga ketika dia yang mainkan, ilmu pedang ini dari sebuah ilmu pedang seperti tari-tarian yang amat indah, berubah menjadi sebuah ilmu pedang yang sifatnya ganas dan sukar diikuti perubahan dan perkembangannya. Pedangnya berubah menjadi segulung sinar pedang yang pecah ke sana ke mari seperti bunga api, akan tetapi bagaikan bunga api, setiap pecahan atau letupan bunga api merupakan penyerangan ujung pedang yang akan dapat merobohkan lawan karena yang diserang selalu bagian-bagian tubuh yang lemah.
Apalagi kini menghadapi seorang tokoh besar seperti Song-Bun-Kwi, tentu saja Sin-Kiam-Eng Tan Beng Kui tidak berani main-main dan sengaja dia mengerahkan seluruh tenaganya dan mengeluarkan seluruh ilmu simpanannya. Di lain fihak, Song-Bun-Kwi bukan seorang jagoan baru. Siapa yang tidak mengenai Si Setan Berkabung ini? Namanya dahulu menggegerkan kolong langit, dikenal semua jagoan sejagat. Selain ilmu kepandaiannya bermacam-macam dan hebat-hebat, juga akhir-akhir ini dia menemukan, kitab yang mengandung inti pelajaran Yang-Sin-Kiam sehingga kalau dia boleh diumpamakan seekor singa, dengan didapatkannya ilmu Yang-Sin-Kiam ini dia seakan-akan mendapat sepasang sayap menjadi singa bersayap! Demikian hebat kepandaian kakek ini sehingga jarang sekali orang di dunia persilatan melihat dia bertempur mempergunakan pedangnya.
Biasanya, hanya dengan mempergunakan senjata berupa sepasang ujung lengan bajunya saja, sukarlah lawan mengalahkan kakek sakti ini. Akan tetapi, menghadapi Ilmu Pedang Sian-Li Kiam-Sut yang dimainkan Tan Beng Kui sekarang ini, tak mungkin kakek sakti hanya melawan dengan kedua ujung lengan bajunya. Sin-Kiam-Eng terlampau kuat untuk itu, dan Sian-Li Kiam-Sut adalah ilmu pedang pilihan di seluruh muka bumi ini, masih merupakan pemecahan dari ilmu sakti Im-Yang Sin-Kiam, karenanya tidak boleh dibuat main-main. Inilah sebabnya mengapa kali ini terpaksa Song-Bun-Kwi mengeluarkan pedangnya dan segera pula mainkan Yang-Sin Kiam-Sut untuk menghadapi ilmu pedang lawan. Sesungguhnya, Ilmu Pedang Sian-Li Kiam-Sut masih sesumber dengan Ilmu Pedang Yang-Sin Kiam-Sut.
Keduanya bersumber dari inti sari Ilmu Im-Yang Sin-Hoat yang ratusan tahun yang lalu dimiliki oleh Pendekar Sakti Bu Pun Su. Hanya saja Sian-Li Kiam-Sut adalah ciptaan menurut sumber itu dari Pendekar Wanita Ang I Niocu (baca cerita Pendekar Bodoh), sedangkan Yang-Sin Kiam-Sut langsung datang dari Pendekar Sakti Bu Pun Su. Sayangnya, Yang-Sin Kiam-Sut merupakan ilmu pedang tidak lengkap, karena lengkapnya adalah Im-Yang Sin-Kiam yang merupakan ilmu pedang gabungan dari Im-Sin-Kiam dan Yang-Sin-Kiam, yang berdasarkan dua macam tenaga dalam tubuh, yaitu tenaga halus dan tenaga kasar, hawa dingin dan hawa panas. Ilmu pedang Im-Yang Sin-Kiam ini seperti diketahui, hanya dimiliki sekarang oleh Ketua Thai-San-Pai, yaitu Tan Beng San, dan malah sudah diturunkan oleh pendekar ini kepada Kwa Kun Hong setelah pemuda ini menjadi buta kedua matanya (baca Rajawali Emas).
Karena sesumber inilah agaknya, maka pertandingan yang terjadi antara Sin-Kiam-Eng Tan Beng Kui dan Song-Bun-Kwi Kwee Lun hebat luar biasa. Memang harus diakui bahwa menurut pertimbangan umum, tingkat kakek ini lebih tinggi daripada tingkat Tan Beng Kui. Namun selama beberapa tahun menyembunyikan diri setelah kalah oleh adik kandungnya sendiri, Tan Beng San, (baca Rajawali Emas), Tan Beng Kui tidak tinggal diam dan memperdalam ilmu kepandaiannya sehingga sekarang dalam menghadapi Song-Bun-Kwi, dia tidak kalah jauh dalam hal tenaga Lweekang. Hanya dia masih kalah dalam pengalaman dan keuletan karena kakek iblis ini diumpamakan daging adalah daging gerotan yang tidak akan menjadi empuk biar digodog selama tiga tahun juga! Jurus demi jurus dikeluarkan oleh kedua orang jago kawakan itu, namun setiap jurus serangan selalu dapat dipunahkan oleh jurus pertahanan lawan,
Mula-mula Beng Kui berusaha mendobrak pertahanan lawan dengan mengandalkan tenaganya, mempergunakan kekerasan untuk mencapai kemenangan. Pikirnya bahwa dia yang lebih muda tentu lebih bertenaga. Namun melesetlah perkiraannya karena kakek itu benar-benar makin tua makin kuat tenaganya, atau setidaknya tak pernah tenaganya berkurang sehingga ketika pedang mereka bertemu, keduanya tergetar, bunga api berpijar menyambar ke sana-sini, dan telapak tangan mereka terasa sakit-sakit. Cepat mereka memeriksa pedang masing-masing dan barulah mereka menjadi lega dan saling menyerang kembali setelah mendapat kenyataan bahwa pedang mereka tidak rusak karena benturan hebat itu. Setelah beberapa kali tenaga besarnya membentur karang, Beng Kui tidak lagi mau mempergunakan kekerasan.
Dia mulai main halus mengandalkan kelincahan dan keindahan Sian-Li Kiam-Sut sambil mencari kesempatan dan lowongan. Namun, hebat pertahanan Song-Bun-Kwi dengan Yang-Sin Kiam-Sut, malah kakek ini dapat balas menyerang tak kalah hebatnya. Setelah lewat lima ratus jurus, terasalah bagi Beng Kui bahwa betapa pun juga, dia takkan dapat menangkan kakek sakti ini. Dia berseru keras dan tiba-tiba pedangnya berubah menjadi segulung sinar yang memusat dan terbang lurus menyerang ke arah dada lawan. Hebat sekali penyerangan ini yang merupakan jurus inti dari Sian-Li Kiam-Sut. Seakan-akan semua kehebatan dari ilmu pedang itu, semua kelincahan dan kekuatan, dipusatkan dalam gerakan ini dan pedang didorong oleh tenaga dan semangat sepenuhnya, maka dapat dibayangkan betapa hebatnya!
"Bagus!"
Song-Bun-Kwi mau tak mau memuji lawannya karena memang jurus penyerangan ini hebat bukan main, hawa pedang mendahului dan terasa amat dingin menusuk tulang sedangkan matanya sampai silau oleh sinar pedang lawan. Untuk menyelamatkan dirinya, dia memutar pedangnya melindungi dada. Namun betapa kagetnya ketika gulungan sinar itu masih mampu menerobos perisai yang tercipta oleh pemutaran pedang itu, tahu-tahu hampir saja mencium dadanya. Cepat bagaikan kilat Song-Bun-Kwi membuang diri ke belakang sambil berseru keras dan mengibaskan lengan baju kiri,
"Brettttt!"
Lagi-lagi ujung lengan bajunya terbabat buntung, akan tetapi dia selamat dan mukanya berubah merah saking marahnya. Tiba-tiba dia mengeluarkan lengking tinggi seperti orang menangis dan tahu-tahu tangan kirinya sudah mengeluarkan senjata jimatnya yang puluhan tahun tak pernah dikeluarkan, yaitu sebatang suling. Inilah "Suling tangis"
Yang dahulu setiap kali terdengar suaranya membuat penjahat-penjahat seperti setan jatuh bangun dan iblis tunggang langgang. Kini Song-Bun-Kwi mengamuk seperti iblis sendiri.
Pedang dan sulingnya menyambar-nyambar merupakan dua gulungan sinar yang kadang-kadang berkumpul menjadi satu menyelubungi Beng Kui dari segala penjuru. Makin lama makin hebat dan dahsyat penyerangannya dan makin lemah pertahanan Tan Beng Kui yang merasa terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa suling di tangan kiri kakek itu tidak kalah hebatnya dengan pedang yang berada di tangan kanan. Dia merasa seakan-akan dikeroyok oleh dua orang lawan. Seorang Song-Bun-Kwi masih mampu dia hadapi, tapi dua orang Song-Bun-Kwi...? Terlalu banyak dan terlalu kuat baginya. Dia mengeluh dan maklum bahwa terhadap seorang lawan seperti kakek ini tidak ada ampun, tidak ada mundur, yang ada hanya menang atau mati. Tiba-tiba berkelebat bayangan yang amat ringan gerak-geriknya, disusul bentakan yang nyaring merdu,
"Berhenti dulu! Tangan senjata!"
Tahu-tahu di situ sudah muncul seorang gadis muda dengan pedang di tangan, seorang gadis yang cantik manis, lincah, tabah. Bukan lain adalah Loan Ki dara lincah ini. Akan tetapi terhadap bentakan seorang dara muda seperti Loan Ki ini, mana Song-Bun-Kwi mau perduli? Tentu saja Tan Beng Kui tidak dapat menahan senjata sefihak, karena hal ini berarti dia akan celaka. Kalau kakek itu tidak menghendaki berhenti, bagaimana dia bisa menghentikan pertempuran mati-matian itu? Memang dia ingin sekali menghentikan pertandingan, karena dia merasa lelah setelah bertanding selama lima ratus jurus lebih!
"Ihh, Kakek Song-Bun-Kwi ternyata namanya saja yang besar. Orangnya sih begitu-begitu saja, malah curang dan pengecut! Kalau tidak begitu masa menggunakan kesempatan menghina orang lain? Agaknya kalau berhenti sebentar saja, khawatir kalah. Hi-hi-hik, inikah tokoh nomor satu dari Barat?"
Tan Beng Kui terkejut, juga para anak buahnya yang mendengar ucapan ini. Alangkah nekatnya Loan Ki, berani menghina seperti itu terhadap seorang iblis seperti Song-Bun-Kwi. Tentu saja kakek itu sendiri pun mendengar semua ucapan Loan Ki, tiba-tiba dia mengeluarkan suara gerengan seperti harimau, tubuhnya melayang cepat sekali ke arah Loan Ki. Gadis itu kaget, menggerakkan pedangnya, tapi tahu-tahu pedangnya terpental jauh dan kakek itu sudah berdiri di depannya sambil menodong batang lehernya dengan pedang!
"Bocah bermulut busuk!"
Song-Bun-Kwi memaki.
"Apa kau bilang tadi?"
Beng Kui pucat mukanya, merasa takkan mampu melindungi puterinya yang ditodong sedemikian rupa oleh kakek yang lihai ini. Dia hanya bisa berteriak,
"Song-Bun-Kwi, jangan layani bocah. Lepaskan anakku dan hayo kita lanjutkan pertempuran serIbu jurus lagi!"
Ucapan ini benar saja membuat Song-Bun-Kwi meragu dan menurunkan pedang yang tadi ujungnya menodong leher Loan Ki.
"Anakmu terlalu lancang mulut..."
Dia mengomel. Loan Ki mencebirkan Bibirnya yang kecil merah.
"Biarlah Ayah, biar saja dia ini mendengarkan ucapanku lebih dulu. Setelah mendengarkan ucapanku, baru aku tantang dia bertempur sampai sepuluh rIbu jurus. Eh, tua bangka, kau berani tidak?"
"Setan cilik! Tidak berani padamu lebih baik mampus!"
"Nah, kalau begitu mampuslah, karena kau tidak berani mendengarkan kata-kataku. Berani tidak mendengarkan kata-kataku?"
Song-Bun-Kwi membanting-banting kakinya, tangannya gatal-gatal untuk sekali menggaplok menghancurkan kepala cantik yang memanaskan hatinya ini.
"Buka bacotmu, lekas kau mau bilang apa jangan banyak tingkah!"
Loan Ki tersenyum dan memainkan matanya yang jeli, mengerling ke arah Teng Cun Le yang menjadi tidak enak hatinya ketika mengenal gadis yang mempunyai mutiara-mutiara hiasan Mahkota kuno itu.
"Kakek Song-Bun-Kwi, seorang tokoh tua macam kau ini mana pantas menurunkan tangan kepada seorang bocah seperti aku? Nah, dengarlah omonganku. Kalau kau tidak menjawab dengan semestinya, mulai saat ini aku yang masih kanak-kanak akan menganggap bahwa semua nama besarnya kosong melompong belaka, bahwa mungkin kau Song-Bun-Kwi palsu karena yang tulen bukan macam begini tingkahnya..."
"Cukup, lekas bicara! Setan!"
Song-Bun-Kwi membentak. Loan Ki meleletkan lidahnya.
"Waduh galaknya, kalau begitu kau agaknya yang tulen, bukan pengecut, bukan iblis curang. Kakek Song-Bun-Kwi, kau katanya seorang pendekar gagah segala jaman, kenapa hari ini melakukan perbuatan begini memalukan, menyerbu tempat tinggal Ayahku, membunuhi orang-orang kami tanpa alasan? Memusuhi orang tanpa alasan hanya perbuatan manusia rendah dan sepanjang pendengaranku, Song-Bun-Kwi si iblis tua sama sekali bukanlah orang rendah! Nah, jawab, kenapa kau melakukan semua ini, memusuhi Ayahku tanpa sebab?"
Dengan cemberut Song-Bun-Kwi terpaksa menjawab karena kalau dia tidak menjawab, sama saja artinya dengan mengakui bahwa dia seorang pengecut, curang dan manusia rendah! Dia boleh jadi lihai sekali dalam ilmu silat, namun dalam hal silat kata-kata mana dia becus melawan Loan Ki si dara lincah yang amat cerdik dan nakal ini?
"Bocah setan jangan coba bicara pokrol-pokrolan terhadap aku. Aku datang ke sini hendak mencari si tua bangka Thai-Lek-Sin, tetapi orang-orangmu tidak tahu aturan mengeroyokku. Mereka mampus karena tidak ada kepandaian, kenapa salahkan aku? Ayahmu merupakan lawan yang lumayan, kenapa selagi kami berdua enak-enak saling gebuk untuk menentukan siapa lebih kuat, kau datang-datang mengacau? Heh, Tan Beng Kui, apa kau tidak bisa jewer telinga anakmu yang cerewet ini? Jewer dan usir ia, mari kita bertempur terus!"
Akan tetapi Loan Ki mana mau habis sampai di situ saja? Anak ini terlalu cerdik hingga ia tahu betul bahwa kalau pertandingan dilanjutkan, Ayahnya tentu akan celaka. Sebelum Ayahnya yang juga gemar bertanding itu terbujuk oleh lawan ia mendahului dengan suara nyaring,
"Kakek tua kau benar-benar pandai mencari alasan! Selama hidupku belum pernah aku melihat tua bangka berjuluk Thai-Lek-Sin di tempat Ayah ini, sekarang kau menyebut namanya untuk alasan perbuatanmu mengacau di sini! Huh, siapa sudi kau akali? Benar-benar tak kusangka bahwa jagoan tua tenar Song-Bun-Kwi ternyata hanya seorang tukang bohong belaka!"
"Bocah sembarangan menuduh yang bukan-bukan! Aku tidak menggunakan alasan kosong. Dia orang she Teng ini yang bilang bahwa aku akan dapat menemukan Thai-Lek-Sin di sini. Betul tidak, orang she Teng?"
Bentaknya sambil menoleh ke arah Teng Cun Le yang menjadi pucat dan kedua kakinya menggigil. Akan tetapi terpaksa dia menjawab dengan kepalanya mengangguk-angguk dan Bibirnya berkata lirih.
"Aku mendengar di luaran begitu... eh... Thai-Lek-Sin sering ke sini..."
Tiba-tiba Loan Ki tertawa nyaring dan menudingkan telunjuknya kepada Teng Cun Le, lalu berkata kepada Song-Bun-Kwi,
"Wah, kakek tua goblok Song-Bun-Kwi, kau kena dipedayai orang! Nanti dulu aku hendak bertanya, pernahkah kau mendengar adanya anjing-anjing penjilat? Nah, manusia ini adalah seekor di antara anjing-anjing penjilat. Dia orang dari Kota Raja, mudah diduga. Dia selalu mengikuti aku karena tertarik akan mutiara Ya-Beng-Cu yang kubawa. Dan dia telah menggunakan kau orang tua goblok untuk menyerbu ke sini karena dia sendiri mana mampu? He-he, Song-Bun-Kwi kakek bodoh, kau diperalat anjing ini masih tidak tahu."
Teng Cun Le bukanlah seorang bodoh. Dia tadinya kaget setengah mati mendengar semua kata-kata Loan Ki dan diam-diam dia mengeluh. Gadis ini benar-benar pandai bicara dan kakek yang sudah setengah pikun itu kalau sampai kena diakali oleh gadis ini, dialah yang akan celaka. Cepat dia bicara,
"Lo-Cianpwe, harap Lo-Cianpwe jangan mendengarkan ocehan gadis ini. Terang ia berusaha menolong Ayahnya yang tadi hampir kalah oleh Lo-Cianpwe dan sengaja hendak mengadu domba kita, Lo-Cianpwe, mari kita gempur orang-orang ini, Lo-Cianpwe lanjutkan menghajar Sin-Kiam-Eng dan serahkanlah gadis itu kepada saya, saya sanggup menghajar kekurang ajarannya."
Sambil berkata demikian, Teng Cun Le menggerakkan goloknya hendak menyerang Loan Ki.
"Tunggu dulu dan dengar kata-kataku sampai habis!"
Loan Ki menjerit.
"Kalau tidak mau mendengarkan, itu tandanya kau sengaja memperalat Song-Bun-Kwi!"
Terpaksa Teng Cun Le menahan goloknya karena kalau dia teruskan khawatir kalau-kalau kakek itu kena diakali omongan pancingan ini.
"He, orang she Teng. Kau seorang laki-laki, hayo jawab betul tidak kau telah mengikuti aku beberapa hari yang lalu dan bahwa kau mengincar tiga butir mutiaraku atau... mungkin juga kau ingin mengetahui tentang sebuah Mahkota? Jawab!"
Teng Cun Le tak dapat mundur lagi, terutama karena dia lihat Song-Bun-Kwi amat memperhatikan percakapan itu.
"Memang betul. Kau telah membawa tiga butir mutiara yang tadinya menghias Mahkota yang dicuri dari Istana Kaisar. Sudah semestinya kau mengembalikan Mahkota itu kepadaku untuk kubawa kembali ke Kota Raja!"
"Bagus, manusia she Teng! Kau hendak merampas Mahkota dari kami? Apa kau berani melawan Ayah dan aku?"
Tantangnya. Tentu saja Teng Cun Le menjadi sIbuk sekali. Tak disangkanya gadis itu akan memutar-mutar omongan sedemikian rupa sehingga dia selalu terdesak. Akan tetapi dia pun bukan bodoh, maka dia segera menjawab berani.
"Tentu saja berani karena Kwee-Lo-Cianpwe tentu akan membantuku menghadapi Ayahmu yang memang patut menjadi lawannya."
"Uhu-hu, sekarang mengertikah kau, kakek Song-Bun-Kwi? Kau dengar sendiri bahwa dia ini adalah seekor anjing penjilat Kaisar dan kau telah dibodohinya, diperalat olehnya. Agar kau mau diperalat dan mau menyerbu ke sini, dia membohongimu dengan pernyataan bahwa Thai-Lek-Sin berada di sini. Padahal tua bangka Thai-Lek-Sin itu melihat pun aku belum pernah. Nah, tidak benarkah aku kalau aku bilang bahwa Song-Bun-Kwi si jago kawakan itu ternyata sekarang mudah saja dikempongi oleh seekor anjing penjiiat Kaisar? Hi-hik!"
Dengan gaya nakal sekali Loan Ki menyambung hidungnya yang kecil mancung itu dengan jari-jari tangannya untuk mengejek Song-Bun-Kwi. Song-Bun-Kwi menjadi merah mukanya. Racun yang disebar oleh Loan Ki melalui kata-katanya tadi telah mengenai hatinya. Dia seorang tokoh besar dari dunia bagian Barat, dapat dengan mudah dikempongi oleh seorang anjing penjilat Kaisar dan diperalat di luar kesadarannya. Benar-benar memalukan sekali. Dia menoleh dengan mata melotot kepada Teng Cun Le sambil memaki,
"Kau berani membawa aku untuk bantu menjadi perampok? Setan alas!"
"Tidak... Lo-Cianpwe... tidak...!"
Akan tetapi tangan Song-Bun-Kwi sudah bergerak. Teng Cun Le dalam takutnya nekas menangkis dengan goloknya, tapi akibatnya golok itu patah-patah dan tubuhnya melayang sampai sejauh lima meter lebih dan dia tak dapat bangun kembali karena dadanya sudah remuk tulang-tulangnya!
Hebat kejadian ini, namun Loan Ki memandang dengan senyum simpul saja sedangkan Tan Beng Kui yang memang wataknya angkuh tidak mau memandang siapa pun juga, sejak tadi hanya berdiri tegak dengan pedang siap di tangan dan diam-diam dia mengatur napas dan memulihkan tenaga di dalam tubuhnya, siap menghadapi pertempuran lagi kalau perlu. Setelah membunuh orang yang mempermainkannya dengan sekali gempur, kakek itu menoleh kepada Loan Ki, sepasang matanya memancarkan ancaman menyeramkan. Bulu tengkuk dara lincah itu meremang, akan tetapi dengan memberanikan hati ia tersenyum-senyum seakan-akan kejadian mengerikan itu "Bukan apa-apa"
Baginya. Beginilah sikap seorang cabang atas, pikirnya, dan ia tidak mau kalah dalam berlagak. Pandang matanya kepada kakek itu seolah-olah menyuarakan tantangan
"Kau mau apa?"
"Bocah, jangan kau ketawa-tawa dulu. Memang bangsat she Teng itu telah menipuku maka layak mampus. Akan tetapi kau pun telah mempermainkan aku, jangan kira aku takut untuk memberi hajaran kepadamu di depan Ayahmu!"
Gadis itu tertawa mengejek.
"Kakek Song-Bun-Kwi, kau terlalu sombong. Agaknya kau tidak mau melihat tingginya langit dalamnya lautan. Ayah adalah seorang gagah yang tidak mau begitu saja menanam permusuhan, kau tahu? Ayah sudah mendengar bahwa kau adalah seorang tokoh besar kawakan, maka tadi Ayah telah menjaga muka dan namamu, kau tahu? Kalau Ayah mau sungguh-sungguh melawanmu, dengan mudah dia akan dapat merobohkanmu, kau tahu?"
"Loan Ki! Omongan apa yang kau keluarkan ini?"
Ayahnya menegur marah karena merasa betapa gadisnya benar-benar keterlaluan kali ini. Masa seorang tokoh seperti Song-Bun-Kwi mau di "Kecapi"
Seperti itu? Benar saja, Song-Bun-Kwi tak dapat menguasai kemarahan hatinya lagi. Sambil menggerak-gerakkan pedang dan sulingnya, dia berkaok-kaok,
"Siluman! Setan! Iblis jejadian, neraka jahanan! Hayo kalian Ayah dan anak maju bersama, biar kalian buktikan macam apa adanya Song-Bun-Kwi Kwee Lun!"
Muka kakek itu merah sekali, kedua matanya melotot, alisnya yang sudah putih itu bergerak-gerak terangkat tinggi. Marah betul-betul dia.
"Song-Bun-Kwi, jangan kira aku Sin-Kiam-Eng takut kepadamu. Hayoh!"
Beng Kui menantang sambil melintangkan pedangnya di depan dada. Dalam pertempuran tadi dia pun belum kalah, memang dia agak kehabisan tenaga karena kalah ulet, akan tetapi setelah beristirahat tadi, tenaganya pulih kembali dan dia merasa sanggup menghadapi kakek yang sakti itu. Dia maklum bahwa memang Sukar mencapai kemenangan, namun keangkuhannya melarang dia mengalah terhadap si kakek.
"Bagus! Mari bertanding sampai seorang di antara kita menggeletak!"
Song-Bun-Kwi tertawa bergelak.
"Kita laki-laki sejati mana sudi cerewet seperti perempuan tukang celoteh?"
Dia mengejek Loan Ki dan membalikkan tubuh untuk menghampiri Tan Beng Kui. Akan tetapi tiba-tiba bayangan gadis itu berkelebat dan tahu-tahu sudah berada di depannya, sampai kaget Song-Bun-Kwi menyaksikan kegesitan gadis ini.
"Kakek tua bangka pikun Song-Bun-Kwi! Kau benar-benar tak bermalu! Takut melawan aku kau mau meninggalkan aku begitu saja dan menantang Ayah. Huh, tak tahu diri. Ayah tadi mengalah kau masih tidak tahu? Kau tidak cukup pandai, tidak berharga menjadi lawan Ayahku. Siapa orangnya yang sudah bisa mengalahkan aku, barulah cukup berharga untuk bertanding sungguh-sungguh melawan Ayah. Song-Bun-Kwi, beranikah kau melawan aku?"
"Loan Ki...!"
Mau tidak mau Beng Kui menegur puterinya. Memang dia merasa bangga menyaksikan keberanian dan ketabahan Loan Ki, akan tetapi mendengar gadisnya itu menantang Song-Bun-Kwi, benar-benar keterlaluan! Apanya yang akan dibuat menang? Dia sendiri setengah mampus melawannya, masa sekarang Loan Ki hendak melawan kakek itu? Huh, biar dikeroyok sepuluh orang Loan Ki juga masih bukan lawan Song-Bun-Kwi! Anaknya yang baru tiga hari pulang dari perantauannya ini memang benar-benar bersikap aneh, sama anehnya seperti ketika kemarin dia menegur karena gadis itu duduk termenung seperti orang kehilangan semangat!
"Biarlah, Ayah, aku tanggung kakek yang sudah dekat lubang kubur ini takkan mampu mengalahkan aku. Hei, dengar tidak kau Song-Bun-Kwi kakek tua renta? Atau barangkali kau sudah agak tuli? Perlu kuulangi kembalikah? Aku menantangmu, beranikah kau melawan aku?"
Memang amat pandai Loan Ki bersilat lidah. Kali ini ia benar-benar berhasil memancing Song-Bun-Kwi sehingga kakek ini menjadi marah bukan main. Siapa orangnya takkan mendongkol dan marah sekali, seorang kakek tokoh besar seperti dia ditantang mentah-mentah oleh seorang bocah perempuan? Dengan gemas dia menyimpan kedua senjatanya dan membentak.
"Bocah neraka! Kau patut menjadi cucuku berani menantang seorang tua seperti aku? Apa kau sudah bosan hidup? Kalau aku tidak dapat membantingmu dalam sepuluh jurus, biar aku orang tua mengaku kalah!"
Song-Bun-Kwi siap menubruk gadis yang memanaskan hatinya itu.
"Heee, nanti dulu!"
Loan Ki menyetop dengan isyarat tangannya.
"Kenapa kau menyimpan pedangmu? Kalau dalam sepuluh jurus kau tak mampu mengalahkan aku, tentu kau kelak memakai alasan bahwa kau bertangan kosong. Tak mau aku! Hayo kakek tua renta, kau boleh gunakan pedangmu dan aku akan menandingimu, bukan sepuluh jurus melainkan tiga puluh jurus. Tiga puluh jurus, kau dengar?"
"Iblis cilik, mulutmu benar jahat!"
Song-Bun-Kwi membentak.
"Tapi kau yang menyebut diri tokoh besar dari Barat, awas jangan kau menjilat ludahmu sendiri, ya? Kalau kau tidak bisa menangkan aku dalam tiga puluh jurus, kau harus pergi dari sini jangan mengganggu kami lagi. Ayah tidak mau bermusuh denganmu. Kalau tangan dan kepalamu merasa gatal-gatal ingin menerima gebukan, kau pergilah saja ke Ching-Coa-To, nah, di sana banyak setan-setan bangkotan yang sama kwalitetnya denganmu. Tapi kau tentu tidak berani ya, memasuki Ching-Coa-To. Huh, mana kau berani?"
"Cukup, jangan pentang mulut lagi, lihat seranganku!"
Song-Bun-Kwi berseru dan mulai menyerang dengan tangan kosong. Dia pikir sekali bergerak tentu akan berhasil menangkap gadis ini. Biarpun membunuh bagi Song-Bun-Kwi bukan apa-apa, namun dia tidak sudi membunuh seorang dara cilik seperti Loan Ki. Niatnya hendak menangkap gadis itu dan membantingnya di depan Tan Beng Kui sampai kelenger (pingsan) agar tidak banyak mengoceh lagi sehingga dia dapat melanjutkan pertandingannya melawan Sin-Kiam-Eng.
Maka begitu menyerang dia mencengkeram dengan tangan kiri ke arah pundak sedangkan tangan kanannya mendahului membuat gertakan memukul ke arah pusar. Pukulan ini mendatangkan angin dan tentu akan membuat gadis yang masih pelonco itu kebingungan sehingga memudahkan tangan kirinya mencengkeram pundak. Agaknya kalau penyerangan kakek sakti ini terjadi beberapa hari yang lalu saja, kiranya akan berhasil. Akan tetapi dia tidak tahu bahwa gadis lincah ini beberapa hari yang lalu telah mewarisi ilmu mujijat dari Kwa Kun Hong, yaitu yang diberi nama dua puluh empat langkah Hui-Thian Jip-Te (Terbang ke Langit Ambles ke Bumi). Maka melihat datangnya serangan yang hebat ini, tubuh Loan Ki terhuyung-huyung ke belakang seperti orang kena pukul.
Tan Beng Kui kaget sekali dan siap melompat untuk melindungi anaknya, akan tetapi dia heran mendengar seruan aneh kakek Song-Bun-Kwi karena ternyata bahwa kedua pukulannya itu mengenai angin belaka! Dalam terhuyung ini ternyata gadis itu sudah berhasil menghindarkan diri secara aneh sekali. Kembali kakek Song-Bun-Kwi menerjang maju, kali ini malah sekaligus dia mengembangkan kedua lengannya hendak menerkam pinggang yang ramping itu untuk diangkat dan dibanting. Tapi aneh bin ajaib. Gadis yang masih terhuyung-huyung itu malah melangkah maju memapakinya dan pada saat kedua lengannya hampir berhasil menyingkap pinggang, tahu-tahu tubuh gadis itu miring seperti akan jatuh dan... sekali lagi berhasil lolos!
"Kakek tua bangka, sudah dua jurus. Hi-hik!"
Kata Loan Ki yang ternyata sudah melangkah ke kiri dan... berjongkok.
Kemarahan Song-Bun-Kwi menjadi-jadi. Dia mengira bahwa gadis itu menggunakan kegesitannya dan sekarang mengejek. Mana ada orang berkelahi memasang kuda-kuda dengan berjongkok? Dia tidak mengerti bahwa memang sebetulnya begitulah kedudukan sebuah langkah dari Hui-Thian Jip-Te yang dipelajari Loan Ki dari Kwa Kun Hong. Ilmu langkah ini bukan lain adalah sebagian dari ilmu langkah ajaib dari Kim-Tiauw-Kun, maka tidak dikenal oleh Song-Bun-Kwi. Sambil mengeluarkan bentakan hebat dia
(lanjut ke Jilid 13)
Pendekar Buta (Seri ke 03 - Serial Raja Pedang)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 13
menyerang Loan Ki yang masih berjongkok seperti orang mau buang air itu, kedua tangannya kini bergerak menyambak rambut. Dengan tubuh masih berjongkok, kedua kaki Loan Ki main dengan gesitnya, sett-sett-sett dan... kembali Song-Bun-Kwi yang menerjangnya hanya dapat menjambak bau harum dari rambut hitam panjang itu.
"Jurus ke tiga, Kakek!"
Loan Ki mengejek sambil tersenyum dan kini ia sudah berdiri dengan tubuh membelakangi Song-Bun-Kwi, kaki kanan diangkat dengan tumit menempel paha kaki kiri, leher menoleh ke belakang dan berkedip-kediplah matanya kepada kakek itu, kedua tangannya dikembangkan, persis seperti seekor Burung kuntul hendak terbang.
Tan Beng Kui kaget dan heran setengah mati melihat kejadian yang berlangsung di depan matanya. Dia sendirilah yang menjadi guru anaknya ini dan dia tahu betul bahwa tak pernah dia mengajari gerakan-gerakan menggila seperti yang dilakukan anaknya sekarang ini. Mana bisa dia mengajari kalau dia sendiri tidak mengenal dan tidak tahu akan gerakan-gerakan gila itu? Siapakah yang main gila ini, Loan Ki ataukah Song-Bun-Kwi? Dia tidak percaya bahwa dengan gerakan-gerakan gila itu anaknya dapat menghindarkan serangan kakek itu sampai tiga kali dan sudah tentu si kakek yang main gila, pura-pura tidak dapat mengenai tubuh Loan Ki. Kalau memang main gila, apa kehendaknya? Ah, jangan-jangan kakek itu sengaja berbuat demikian sambil menanti sampai sepuluh jurus atau tiga puluh jurus, kemudian merobohkan Loan Ki untuk membuat malu.
"Loan Ki, jangan kurang ajar! Kuda-kuda jurus apa itu pakai angkat-angkat sebelah kaki segala?"
Tan Beng Kui membentak keras dengan maksud supaya Song-Bun-Kwi mengerti bahwa bukanlah dia yang mengajari gadisnya menggila seperti itu, karena betapapun juga malulah hatinya menyaksikan aksi anak gadisnya yang dianggapnya kosong melompong ini.
"Ayah, memang jurus ini harus mengangkat sebelah kaki. Habis, apa yang dapat kulakukan untuk merubahnya? Kalau kedua kakiku yang kuangkat, tentu aku akan jatuh."
Terang bahwa ucapan ini hanya kelakar saja untuk lebih memanaskan hati Song-Bun-Kwi.
"Ini namanya Burung bangau tidur, tapi sebetulnya tidak tidur, melainkan sedang memancing katak tua di belakangnya."
Song-Bun-Kwi menggereng seperti seekor biruang dan kini dia betul-betul menyerang Loan Ki, tidak seperti tadi lagi. Tadi dia hanya hendak menangkap dan membantingnya kelenger di depan Tan Beng Kui, akan tetapi sekarang dia menyerang untuk merobohkannya dengan pukulan berbahaya. Dia menyerang dari belakang dengan amat hebat dan merasa yakin bahwa kali ini dia akan berhasil merobohkan Loan Ki.
"Ki-ji (anak Ki), awas...!"
Tan Beng Kui terpaksa berseru saking kaget dan khawatirnya menyaksikan penyerangan dahsyat itu.
"Tak usah khawatir, Ayah!"
Gadis itu masih sempat membuka mulut, padahal ia kaget setengah mati dan cepat-cepat ia mengeluarkan ilmu langkah mujijat seperti yang ia pelajari dari Kun Hong. Hebat penyerangan Song-Bun-Kwi sehingga Loan Ki masih merasa angin pukulan menyerempet pundaknya, membuat kulit pundak di bawah pakaian itu terasa panas. Ia sampai mengeluarkan keringat dingin, namun dasar ia nakal, masih saja ia mengejek setelah pukulan itu gagal,
"Sudah empat jurus!"
Pendekar Buta Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sekarang Song-Bun-Kwi tidak mau sungkan-sungkan lagi.
Dia menerjang terus dan mengirim pukulan bertubi-tubi, malah dia mengisi pukulan-pukulannya dengan Lweekangnya yang dahsyat sehingga rambut dan pakaian Loan Ki berkibar-kibar seperti diserang angin besar. Loan Ki juga tidak berani main gila lagi. Ia cukup maklum akan kesaktian kakek ini, maka ia mengerahkan seluruh perhatiannya untuk menjalankan langkah-langkah Hui-Thian Jip-Te guna menyelamatkan dirinya. Tan Ben Kui melongo sampai mulutnya terbuka lebar dan lupa ditutupnya kembali. Hebat terjangan-terjangan Song-Bun-Kwi yang kini benar-benar berusaha sekuat tenaga untuk merobohkan Loan Ki, akan tetapi lebih hebat pula gerakan-gerakan Loan Ki yang tetap aneh seperti orang mabuk atau orang menari-nari menggila namun satu kalipun juga pukulan-pukulan kakek itu tak pernah menyinggung kulitnya!
"He, kakek Song-Bun-Kwi! Sudah empat puluh jurus lebih kau menyerangku dan tak mampu merobohkan, apakah kau tidak mau berhenti juga? Seorang kakek tua bangka mengejar-ngejar seorang gadis cilik, mau apa sih? Cih, tak tahu malu benar!"
Seketika Song-Bun-Kwi menghentikan penyerangannya. Matanya mendelik saking marahnya. Dia tahu bahwa gadis ini tak mampu menyerang kembali karena agaknya hanya memiliki ilmu mengelak yang luar biasa sekali itu. Diam-diam dia kagum bukan main dan teringatlah dia kepada Kwa Kun Hong. Dahulu Kun Hong juga membikin heran semua orang di Thai-San dengan ilmunya mengelak yang ajaib. Apakah sama dengan ilmu yang dipergunakan gadis ini? Tetapi dia malu untuk bertanya. Sambil bersungut-sungut dia membentak.
"Aku kalah janji, siapa kejar-kejar iblis cilik macammu? Tan Beng Kui, biarlah kali ini aku mengaku kalah bertaruh karena diakali anakmu si setan neraka. Tetapi lain kali aku akan mencari kesempatan, untuk melanjutkan pertandingan kita sampai puas tanpa diganggu setan ini!"
Dia lalu mengibaskan lengan bajunya yang buntung dan melangkah pergi dari tempat itu.
"Hee, Song-Bun-Kwi kakek tukang pukul! Kalau gatal-gatal kepalamu minta dijotosi orang, pergilah ke Ching-Coa-To, tentu kau akan berubah matang biru dan bengkak-bengkak sampai puas!"
Teriak Loan Ki.
Song-Bun-Kwi tidak menoleh tidak menjawab, akan tetapi diam-diam dia mencatat nama tempat ini. Ada apa sih di Ching-Coa-To, pikirnya. Agaknya gadis itu hendak memamerkan kehebatan orang-orang tertentu di pulau itu. Hemm, pikirnya sambil memperlebar langkahnya. Kalau aku tidak bisa mengobrak-abrik Ching-Coa-To, bocah itu tentu makin memandang rendah kepadaku. Kalau yang tinggal di sana itu orang-orang yang ia andalkan, biar kuhancurkan tempat itu, baru ia tahu rasa dan mengenal kehebatanku. Dengan pikiran ini kakek itu lalu melanjutkan perjalanannya sambil berlari cepat dan mulai mencari keterangan tentang letaknya Ching-Coa-To.
Sudah terlalu lama kita tinggalkan Kwa Kun Hong, pendekar kita yang buta itu. Seperti telah dituturkan dalam bagian depan, setelah pertemuannya dengan Tan Hok dan mendengar keterangan-keterangan tentang kepahlawanan, bangkit semangat Kun Hong. Dia ingin sekali berdarma bakti terhadap nusa bangsa. Ingin sekali menyumbangkan tenaganya untuk tanah air. Dia tahu betapa penting arti Mahkota kuno yang menyimpan rahasia besar itu dan alangkah akan baiknya kalau dia dapat merampas kembali benda itu dan memberikannya kepada Tan Hok. Akan tetapi apa dayanya. Dia seorang buta, bagaimana mungkin dapat pergi seorang diri ke pulau itu? Selain pulau itu penuh dengan rahasia-rahasia, yang amat berbahaya, ular-ular yang berbisa, juga di sana terdapat orang-orang yang amat lihai.
Kun Hong duduk termenung di dalam Kuil rusak itu sepeninggal Tan Hok, menyesali keadaannya yang buta, bingung tak tahu apa yang harus dia lakukan mengenai niatnya hendak merampas kembali Mahkota. Baru pertama kali ini semenjak dia buta, dia merasa menyesal bukan main. Teringat dia akan Cui Bi dan berkali-kali dia menarik napas panjang sambil di dalam hati menyebut nama kekasihnya yang telah tiada. Siapapun juga yang melihat keadaan Kun Hong di saat itu tentu akan merasa kasihan. Seorang pemuda buta yang pakaiannya kotor dan kumal, rambutnya juga awut-awutan karena pembungkusnya tidak rapi lagi, sepatunya penuh lumpur dan sudah bolong-bolong pula, duduk bersandar di dalam sebuah Kuil rusak yang juga kumal dan kotor seperti dirinya, menarik napas berkali-kali kelihatan susah sekali. Dia merupakan seorang jembel muda buta yang amat miskin.
Padahal bukanlah demikian sifat Kun Hong. Dia amat benci akan keadaan yang kotor dan biarpun pakaiannya sederhana, biasanya amat bersih. Kali ini karena kerIbutan dan pengalamannya di Pulau Ching-Coa-To, maka pakaiannya menjadi seperti itu dan dia belum mendapat kesempatan untuk mencari pengganti pakaiannya. Agaknya pada saat itu memang ada orang yang menaruh kasihan kepadanya, buktinya orang itu sejak tadi berdiri memandangi wajah orang buta yang duduk menarik napas panjang berkali-kali sambil menunduk itu. Orang ini menggeleng kepala dan mendesislah elahan napasnya. Elahan napas yang halus panjang namun cukup bagi Kun Hong untuk mengetahui bahwa ada orang yang secara diam-diam mengintainya. Tanpa bangkit dari tempat duduknya di lantai yang kotor itu, dia menoleh dan menegur lirih,
"Sahabat di luar kalau ada keperluan dengan aku si buta, masuklah saja."
Pendengaran Kun Hong yang tajam menangkap bunyi napas tertahan, lalu sambaran angin meliuk masuk melalui jendela dan sepasang kaki yang amat ringan gerakannya turun di atas lantai dalam ruangan itu, di depannya. Dia kaget karena dapat menduga bahwa yang datang ini adalah seorang yang berkepandaian tinggi, akan tetapi segera jantungnya berdebar tidak karuan ketika alat penggandanya bekerja. Lubang hidungnya kembang-kempis dan dia melompat bangun.
"Nona Hui Kauw...!"
Kedua kakinya gemetar ketika dia berdiri dengan tubuh agak membungkuk memberi hormat. Orang yang baru masuk itu memang Hui Kauw adanya. Tentu saja Hui Kauw kaget dan heran bagaimana pemuda buta ini dapat mengenalnya sebelum ia membuka suara. Akan tetapi ia tidak perduli akan hal ini dan suaranya yang halus merdu itu terdengar penuh sesal,
"Kwa Kun Hong, aku datang untuk perhitungan. Mari ke luar dan pedang kita yang akan menentukan yang harus mati menebus hinaan."
Perih rasa hati Kun Hong. Dia menunduk, dahinya berkerut dan dia berkata,
"Aku tahu, Nona tanpa kusadari, aku telah melukai hati dan perasaanmu, aku telah menimpakan hinaan besar kepada dirimu. Aku tak hendak menyangkal lagi. Kau maafkanlah aku, Nona."
Hui Kauw memandang tajam.
"Apa maksudmu? Kau... kau... tahukah kau apa yang menyakitkan hatiku?"
Dengan kepala masih tunduk Kun Hong menjawab, suaranya lirih dan lambat, satu-satu seakan-akan amat sukar keluar dari lubuk hatinya,
"Aku tahu, Nona, atau setidak-tidaknya aku dapat menduga. Karena bujukan dan tipuan, kau mau menjalani upacara sembahyangan perkawinan dengan aku, mengira bahwa akupun sudah tahu dan sudah setuju akan hal itu. Kemudian, di depan banyak orang, aku seakan-akan menolakmu. Inilah hinaan yang tiada taranya, yang paling besar yang dapat menimpa diri seorang gadis seperti Nona."
Tiba-tiba Hui Kauw menjatuhkan diri berlutut di atas lantai, pedangnya berkerontangan jatuh dan ia menangis terisak-isak. Sedih sekali tangis ini dan Kun Hong maklum betapa perasaan gadis itu amat sakit, dendam dan penuh rasa malu, tertahan-tahan di dalam dada bagaikan api dalam sekam. Inilah berbahaya sekali bagi kesehatan, dan jalan terbaik untuk memberi jalan keluar adalah melalui tangis dan air mata. Karena itu, biarpun dia amat terharu dan berduka mendengar tangis ini, dia diam saja tak bergerak, hanya perlahan dia duduk bersila dan tunduk mendengarkan dengan kerut merut di antara kedua matanya yang buta.
Lama nona itu menangis. Sengaja derita dan sakit hati yang ia tahan selama bertahun-tahun di dalam dadanya, sekarang bagaikan gunung berapi meletus dan hawa panas dapat mengalir keluar melalui tangisnya itu. Tiada hentinya air matanya bercucuran, terisak-isak dan sesenggukan sampai napasnya terasa sesak. Akhirnya reda juga desakan hawa dari dada melalui tangisnya ini, dadanya terasa ringan kosong, dan seluruh tubuhnya menjadi lelah sekali. Tangisnya terhenti, tinggal isak kecil-kecil dan jarang. Ia mengangkat muka memandang laki-laki yang duduk bersila dengan tubuh diam tak bergerak bagaikan patung, muka dengan mata meram itu kelihatan kerut merut amat menyedihkan.
"Siapa orangnya dapat menahan semua ini?"
Ia berkata lirih seperti kepada diri sendiri, suaranya sudah tenang tapi masih terputus-putus menahan isak.
"Perbuatanmu yang kau lakukan tanpa maksud menyakiti hatiku itu hanya merupakan pukulan terakhir yang mematikan kesabaranku dan membangkitkan perlawanan dalam hatiku. Tadinya aku sudah putus asa. Ibu memaksa aku supaya menikah dengan pangeran Mongol yang kubenci itu. Kemudian muncul engkau yang mengakibatkan serangkaian peristiwa di pulau. Hampir aku mati disiksa Ibu, kau melupakan keselamatan sendiri membela dan melindungi aku. Malah akhirnya kau pula yang memulihkan kesehatanku. Setelah apa yang terjadi di dalam kamar ketika kau mengobatiku, aku tak dapat menolak ketika Ibu membujukku menikah denganmu. Kata Ibu kaupun sudah setuju, dan semua ini dilakukan demi menjaga baik namaku dan nama keluarga Ibu. Tiada pilihan lain bagiku. Daripada menjadi isteri pangeran Mongol yang kubenci, dan pula... kau amat baik kepadaku, dan seorang pendekar sejati... maka aku pun menurut. Siapa tahu..."
Kembali gadis itu menangis.
"Aku sudah dapat menduga semua itu, Nona. Memang terlalu sekali Ibumu, anak sendiri dibujuk dan ditipu, dibantu oleh orang-orang seperti Ka Chong Hoatsu. Benar-benar aneh sekali. Kenapa pula Ibumu mau mengambil aku sebagai... eh, sebagai mantu, padahal aku seorang buta tiada guna dan malah mendatangkan kerIbutan di pulaunya?"
"Kau pandai, ilmu silatmu tinggi dan luar biasa. Ibu dapat mempergunakan tenaga dan kepandaianmu..."
"Hemmm, benar-benar jahat, demi kepentingan diri sendiri sampai hati mengorbankan anaknya. Nona, aku tidak percaya seorang Ibu sejahat itu dapat mempunyai anak seperti kau."
Hening sejenak, kemudian terdengar suara nona itu lirih,
"Memang dia bukan Ibu kandungku..."
Ia menahan isak lalu melanjutkan,
"Biarpun kau orang luar, kau adalah penolongku dan kuanggap orang sendiri, biarlah rahasia ini kubuka padamu. Dahulu ketika aku masih kecil, Ibu menculikku dari rumah Ayah bundaku yang aseli dan semenjak itu aku dijadikan anaknya. Ia amat kasih dan sayang kepadaku... sampai Hui Siang terlahir. Memang mereka itu baik kepadaku, tapi kadang-kadang... ah, entah mengapa, aku tersiksa batin... tak perlu kuceritakan sejelasnya, Sampai kau muncul dan... penolakanmu itu merupakan pukulan terakhir. Aku tak kuat lagi, lalu aku lari. Aku hendak mencari orang tuaku, menurut penuturan seorang pelayan tua, orang tuaku seorang Hartawan di Kota Raja, she Kwee!"
"Baik sekali niatmu itu, Nona, kuharap saja kau akan dapat bertemu dan berkumpul kembali dengan orang tuamu,"
Kata Kun Hong sejujurnya, suaranya mengandung iba.
"Tapi ada ganjalan di hatiku..."
Gadis itu melanjutkan, suaranya gemetar.
"ganjalan terhadap kau. Aku merasa sangat terhina oleh penolakanmu... betapa tidak... karena itu, menurutkan nafsu hati dan kemarahan, aku sengaja menantimu, untuk membuat perhitungan. Maksudku, lebih baik seorang diantara kita tewas... takkan menjadi kenangan yang memalukan lagi..."
Kun Hong bangkit berdiri, wajahnya membayangkan kedukaan.
"Kau keliru, Nona. Kita berdua menjadi korban fitnah. Kau sekarang tahu, bahwa sama sekali tiada niat di hatiku untuk menghinamu, juga kau tidak pernah menghinaku. Kita hanya menjadi korban. Akan tetapi kalau kau memang merasa terhina olehku, nah, kau tancapkan pedangmu itu di dadaku, aku Kwa Kun Hong sanggup menerima kematian di tanganmu!"
"Tidak... tidak... sekarang aku sudah insyaf. Kau sama sekali bukan menghina atau mempermainkan, melainkan karena... kau memang... ah, siapa sih yang akan tertarik hatinya... inilah yang meragukan hatiku, Ayah Ibu sendiri andaikata melihat, belum tentu sudi mengakui..."
"Apa maksudmu, Nona?"
Tanya Kun Hong kaget mendengar betapa suara yang halus itu menggetar-getar penuh kesedihan.
"Tidak apa-apa. Nah, selamat tinggal saudara Kwa Kun Hong, aku hendak pergi mencari orang tuaku di Kota Raja."
Terdengar gadis, itu menggeser kaki hendak ke luar dari Kuil itu. Mendengar disebutnya "Kota Raja"
Ini, teringatlah Kun Kong akan Mahkota kuno, maka cepat sekali dia berseru memanggil,
"Nona Hui Kauw, tunggu dulu...!"
Gadis itu serentak berhenti dan cepat sekali sudah kembali ke depan Kun Hong, seakan-akan memang ia mengharapkan pemuda buta itu memanggilnya kembali.
"Ada apakah?"
Tanya Hui Kauw, suaranya penuh harapan aneh.
"Nona, aku ingin mohon sesuatu darimu, mohon bantuanmu, sekiranya kau tidak akan keberatan."
"Tentu saja tidak keberatan! Beberapa kali kau telah menolong dan menyelamatkan nyawaku daripada maut, tentu saja aku siap sedia membantumu!"
Tak enak hati Kun Hong ketika nona itu menyebut-nyebut tentang pertolongannya, Cepat-Cepat dia berkata untuk menghabisi hal itu,
"Aku hanya ingin kau memberi petunjuk kepadaku, menjadi penunjuk jalan ke Ching-Coa-To, Nona."
Hui Kauw kaget dan memandang dengan mata melebar,
"Apa? Kau minta aku mengantarkan kau kembali ke pulau?"
Lalu menghapus kebimbangannya dengan pertanyaan.
"Kun Hong, apa kehendakmu hendak kembali ke sana?"
Berdebar hati Kun Hong mendengar betapa nona itu memanggil namanya begitu saja seakan-akan seorang sahabat lama yang sudah biasa saling menyebut nama tanpa banyak peraturan lagi.
"Aku harus kembali ke sana untuk mengambil Mahkota yang dirampas mereka dari tangan Loan Ki,"
Katanya dengan suara biasa.
"Tapi Mahkota kuno itu dirampas oleh Ka Chong Hoatsu! Dia lihai sekali, belum yang lain-lain. Biarpun aku suka membantumu, agaknya kita berdua takkan menangkan mereka, mana bisa mengambil kembali Mahkota?"
Kemudian gadis menyambung cepat-cepat.
"Jangan salah duga bahwa aku takut, sama sekali tidak, aku suka membantumu. Akan tetapi, aku hanya mengkhawatirkan bahwa usahamu tidak akan berhasil dan malah kau akan tertimpa malapetaka."
Kun Hong menjura, penuh rasa terima kasih.
"Biarpun menghadapi bahaya, akan kutempuh karena hal ini penting sekali, lebih penting daripada nyawaku."
Ucapan ini keluar begitu saja sebagai gema dari ucapan Tan Hok.
"Aku tidak berani mengharapkan tenagamu untuk melawan mereka, Nona. Dan andaikata aku dapat pergi ke sana sendiri, sudah tentu aku pun tidak berani minta bantuanmu karena aku maklum betapa berat memintamu kembali ke tempat yang telah menimpakan banyak kesengsaraan padamu itu. Akan tetapi apa dayaku, aku seorang buta, tak mungkin dapat masuk ke pulau itu tanpa bantuanmu."
Dia berhenti sebentar, tersenyum-senyum dan memukul-mukulkan tongkatnya di atas lantai di depannya.
"Sebelum sampai di sana mungkin aku sudah terjungkal ke dalam selokan!"
Akan tetapi kelakar ini diterima oleh Hui Kauw dengan alis berkerut, sama sekali tidak lucu baginya.
"Marilah, Kun Hong, mari kuantarkan kau ke Pulau Ching-Coa-To!"
Katanya dan seketika hati Kun Hong berdebar tidak karuan ketika tangannya dipegang oleh gadis itu dan ditarik keluar dari Kuil. Telapak tangan yang halus itu seakan-akan menyalurkan getaran yang membuat jantungnya meloncat-loncat seperti katak kepanasan. Segera dia menekan perasaannya dan diam-diam dia memaki-maki diri sendiri.
"Kau betul mata keranjang, hidung belang seperti yang dikatakan Loan Ki padamu! Gadis ini dengan hati jujur dan bersih menuntun tanganmu karena mengingat kebutaanmu, kenapa hatimu jadi geger tidak karuan?"
Tidaklah aneh apabila dengan bantuan Hui Kauw, Kun Hong dengan mudah dapat memasuki Pulau Ching-Coa-To. Hui Kauw dikenal oleh para anak buah dan penjaga sebagai puteri Ching Toa-Nio. Memang mereka sudah mendengar desas-desus tentang kerIbutan yang terjadi antara nona ini dengan Ibunya, akan tetapi tetap saja mereka tidak berani memperlihatkan sikap berbeda terhadap Hui Kauw. Apalagi mereka tahu betul betapa lihai nona ini, bahkan selain lihai, juga nona ini merupakan satu-satunya orang Ching-Coa-To yang disegani oleh semua anak buah karena sikapnya yang selalu baik, sabar, dan suka menolong. Seperti bumi dan langit bedanya antara nona ini dengan Ibu dan saudaranya yang kejam dan mudah saja membunuhi anak buah yang bersalah.
Hui Kauw mudah mendapatkan perahu dan bersama Kun Hong ia mendayung perahu itu cepat-cepat ke darat. Ia tidak memperdulikan pandang mata para anak buah Ibunya yang terheran-heran melihat ia datang bersama Kun Hong, orang buta yang tadinya dianggap musuh yang datang mengacau Ching-Coa-To. Akan tetapi keheranan inipun hanya sebentar saja. Para anak buah Ching-Coa-To sudah terlalu sering menyaksikan keanehan-keanehan di antara para tamu pulau itu, keanehan orang-orang kangouw sehingga kejadian kali ini di pulau juga tidak begitu mereka perdulikan. Setelah menyeberangi telaga dan tiba di pulau, Hui Kauw mengajak Kun Hong mendarat. Tegang juga hati Kun Hong ketika kakinya sudah menginjak daratan pulau itu dan hidungnya segera mencium bau aneka bunga.
"Apakah kita tiba di taman...?"
Tanyanya perlahan.
""Betul, tempat ini terbaik untuk mendarat dan dari sini mudah kita pergi menyelidiki tentang benda itu."
"Hui Kauw,"
Kun Hong memegang tangan gadis itu tanpa ragu-ragu lagi karena dia merasa amat berterima kasih dan pula sikap gadis itu yang ramah dan sewajarnya membuat dia tidak menjadi sungkan dan malu lagi.
"Kau tunggulah saja di sini, jangan sampai ada yang melihatmu. Biar aku sendiri yang akan mencari Ka Chong Hoatsu dan terang-terangan minta kembali Mahkota itu. Kalau sudah berhasil, baru aku minta bantuanmu lagi untuk mengajak aku menyeberangi telaga."
Mau tidak mau Hui Kauw tersenyum kali ini dan menarik tangannya.
"Kun Hong, kau benar-benar berlaku sungkan kepadaku. Jangan kau kira bahwa aku demikian pengecut, membiarkan kau sendiri menghadapi mereka yang lihai. Tidak, Kun Hong. Aku sudah sanggup dan hanya ada dua pilihan bagiku. Berhasil merampas kembali Mahkota dan dengan selamat bersamamu meninggalkan pulau ini atau kita gagal dan mati bersama di sini."
Terharu hati Kun Hong. Dia menjura sampai dalam dan berkata lirih,
"Kau baik sekali, kau benar-benar Bidadari lahir batin. Aku berterima kasih kepadamu..."
"Husshhh, diam, ada orang-orang datang"
Hui Kauw cepat menarik tangan Kun Hong diajak menyusup ke dalam gerombolan pohon kembang. Tentu saja Kun Hong dapat mendengar pula suara orang, hanya tadi karena dia terharu, maka dia kurang perhatian dan kalah dulu oleh nona itu yang selain mendengar juga dapat melihat.
Yang datang adalah dua orang, mereka berjalan perlahan sambil bercakap-cakap. Setelah jarak antara mereka dengan tempat persembunyian Kun Hong tinggal sepuluh meter kurang lebih, Kun Hong mengenal suara mereka yang bukan lain adalah Hui Siang dan Bun Wan putera Ketua Kun-Lun-Pai. Tadinya dia sama sekali tidak merasa heran karena dia memang sudah tahu bahwa putera Kun-Lun-Pai itu menjadi tamu di Ching-Coa-To. Akan tetapi setelah dia mendengar percakapan dua orang muda yang kini berhenti dan duduk di atas rumput tebal tak jauh dari situ, dia kaget dan tiba-tiba mukanya menjadi merah. Dia merasa segan dan sungkan sekali terpaksa harus mencuri dengar percakapan antara dua orang muda yang agaknya sedang bercumbu berkasih mesra! Terdengar suara Hui Siang yang merdu merayu, suaranya penuh kemanjaan dan mengandung kegenitan.
"Kanda Bun Wan, kau sudah tahu dan tentu sudah yakin akan cintaku yang Suci murni terhadapmu. Akan tetapi, sebaliknya... mana bisa aku tahu akan isi hatimu? Mana bisa aku yakin bahwa cintamu kepadaku pun sama sucinya? Kanda Bun Wan, kalau sekarang kau tinggalkan pulau ini... ah, bagaimana kalau kau tidak akan kembali kepadaku?"
Kun Hong mendengar ini merasa bulu tengkuknya meremang dan dia sudah bergerak hendak pergi diam-diam dari tempat itu, menjauhi mereka dan tidak sudi mencuri dengar percakapan semacam itu. Akan tetapi tiba-tiba tangannya dipegang oleh tangan Hui Kauw yang mencengkeram erat-erat, diguncang-guncang sedikit seperti memberi isyarat agar dia jangan bergerak.
Kun Hong merasa heran sekali mengapa tangan nona itu dingin dan gemetar. Tentu saja dia tidak tahu betapa dengan muka pucat gadis ini melihat betapa adiknya itu membujuk rayu, memeluk-meluk dengan sikap yang tidak tahu malu. Tiba-tiba Kun Hong merasa dadanya sakit. Teringatlah dia ketika dahulu mencuri dengar percakapan antara Hui Kauw dan Ibu angkatnya. Ching Toa-Nio pernah memakinya tergila-gila kepada Bun Wan! Hemm, apakah sekarang Hui Kauw menjadi cemburu dan iri hati melihat pemuda Kun-Lun yang digilainya itu bercumbu rayu dengan Hui Siang? Aneh sekali, pikiran ini yang menimbulkan rasa perih di hatinya, sekaligus membuat dia mengambil keputusan untuk mendengarkan terus dan melihat Hui Kauw tersiksa karena cemburu dan iri! Memang aneh sekali watak orang muda kalau sudah terbius asmara!
Dara Baju Merah Karya Kho Ping Hoo Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo