Pendekar Buta 14
Pendekar Buta Karya Kho Ping Hoo Bagian 14
"Hui Siang, kau begini manis, begini cantik jelita. Mana bisa aku tidak cinta kepadamu dengan seluruh hatiku?"
Terdengar oleh Kun Hong suara Bun Wan, akan tetapi aneh baginya, dia menangkap nada suara agak mengkal.
"Ah, kanda Bun Wan, mana aku bisa percaya begitu saja? Cinta kasihku sudah aku buktikan, aku sudah menyerahkan raga dan kesucianku kepadamu. Tapi kau? Wan-Koko, kau bersumpahlah..."
Suara Bun Wan menghIbur, akan tetapi tetap saja kemengkalan yang tadi, masih tertangkap oleh pendengaran Kun Hong yang amat tajam.
"Hui Siang... yang sudah-sudah mengapa kau tonjol-tonjolkan kembali? Kau tahu benar bahwa bukan salahku semata, tapi kau... ah, kenapa kau begini cantik dan kau pula yang mendorongku dengan sikapmu? Aku cinta padamu, tak perlu bersumpah."
"Aku percaya, kau seorang laki-laki gagah, tentu takkan menjilat ludah sendiri. Tapi... kau tentu segera mengajak orang tuamu datang untuk melamarku kepada Ibu, bukan? Betul ya, Koko? Jangan terlalu lama, ya?"
"Hemm... soal itu... aku belum berani memastikan, kekasihku. Ayahku amat keras hati..."
Terdengar isak tangis tertahan.
"Kau harus dapat membujuknya, Koko... kau harus dapat... kalau kau tidak lekas datang kembali, aku akan menyusulmu ke Kun-Lun, aku tidak perduli...!"
"Baiklah... kau tenang dan sabarlah. Dan jangan menangis, sayang pipimu yang halus menjadi basah. Sekarang, buktikan bahwa kau benar-benar cinta padaku. Malam tadi kau berjanji hendak mengambil benda itu dan memberikan kepadaku. Mana?"
Suara Hui Siang tiba-tiba berubah manja ketika ia menjawab sambil memeluk leher Bun Wan,
"Koko yang nakal, kau masih tidak percaya setelah semua yang kulakukan padamu? Badan dan nyawa sudah kuserahkan, apalagi hanya benda macam ini. Sudah sejak tadi kubawa."
Kiranya gadis itu mengeluarkan sebuah benda yang bukan lain adalah Mahkota kuno itu dan diberikannya kepada Bun Wan! Pemuda itu menerimanya, memandangi dan menarik napas panjang.
"Heran, benda macam ini saja diperebutkan orang. Hui Siang, andaikata Ibumu dan orang-orang lain tidak pergi meninggalkan pulau, kiraku kau tidak akan berani mengambilkan benda ini untukku."
"Ihh, siapa bilang? Sebaliknya, mana kau berani datang dan malam-malam mencari aku? Hi-hik, agaknya kau sudah amat rindu kepadaku, ya? Dapat kulihat dari pandang matamu ketika kau datang dahulu..."
"Hemmm, sebaliknya kaupun selalu mengharapkan kedatanganku. Hayo sangkal kalau berani!"
Kedua orang itu tertawa-tawa kini, diselingi cumbu rayu yang memanaskan telinga Kun Hong dan membuatnya tidak betah tinggal di tempat persembunyiannya itu.
"Hui Siang, kalau aku sudah membawa pergi Mahkota ini dan Ibumu kembali, bagaimana kalau ia tanya tentang Mahkota ini padamu?"
Mendengar pertanyaan Bun Wan ini, seketika Kun Hong menaruh perhatian penuh. Eh, kiranya Mahkota yang dia cari-cari itukah yang tadi disebut-sebut sebagai benda oleh mereka? Baru sekarang dia tahu dan perhatiannya tertarik pula. Hui Siang yang tadi menangis sekarang tertawa-tawa genit.
"Apa sukarnya mencari jawaban itu? Aku bilang saja bahwa enci Hui Kauw yang datang dan memaksaku minta Mahkota itu. Habis perkara!"
"Enak saja kau membohong, apa Ibumu bisa percaya? Kalau hanya ia yang datang, apa kau tidak bisa melawan? Sedikitnya kepandaianmu tidak berada di sebelah bawah tingkatnya,"
Bantah Bun Wan.
"Ibumu tentu tidak percaya."
"Koko yang tampan tapi bodoh. Kalau aku bilang bahwa enci Hui Kauw datang bersama si setan buta yang membantunya, tentu Ibu percaya."
Tiba-tiba Kun Hong merasa betapa tubuh Hui Kauw menggigil, napasnya agak memburu, tanda bahwa gadis itu marah bukan main. Benar saja dugaannya, karena Hui Kauw segera meloncat keluar dari tempat sembunyinya dan membentak,
"Hui Siang apa yang kau lakukan ini? Ke mana harga dirimu sebagai seorang wanita? Kau membiarkan dirimu dipermainkan nafsu dan tiada hentinya kau hendak melakukan fitnah! Kau manusia Bun, sungguh kurang ajar berani kau melanggar susila di sini, keparat!"
Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati dua orang muda yang sedang tenggelam dalam permainan nafsu, ketika tiba-tiba Hui Kauw muncul sambil membentak marah itu. Lebih-lebih lagi Hui Siang yang merasa amat malu, kaget dan heran. Perasaan-perasaan itu berkumpul menjadi satu dan berubah menjadi kemarahan besar.
"Budak hitam, tutup mulutmu! Ibu sudah tidak mengakui lagi kau sebagai anak angkatnya, kau bukan apa-apa denganku, mau apa kau mencampuri urusanku? Hayo minggat, kau hanya mengotori pulau ini dengan telapak kakimu!"
Sambil berkata demikian Hui Siang sudah mencabut pedang dan serta menyerang bekas enci angkatnya itu dengan tusukan kilat. Hui Kauw tenang saja menghindar sambil berkata,
"Hui Siang, betapapun juga, aku masih mengingat hubungan antara kita semenjak kecil. Kau telah tersesat..."
Suaranya mengandung kedukaan besar.
"Siapa sudi nasihatmu? Tengok dirimu sendiri, berjina dengan jembel buta masih hendak mengganggu orang bercinta. Wan-Koko, kau bantu aku bunuh mampus setan betina ini!"
Kembali Hui Siang menyerang, kini lebih hebat lagi.
Dasar ia memang memiliki ilmu pedang yang ganas dan gerakan yang lincah, maka serangan ini tak boleh dipandang ringan. Hui Kauw maklum pula betapa lihainya adik angkat ini, maka sambil melompat menjauhi ia pun mencabut pedangnya. Ia tidak berlaku sungkan lagi dan segera mengeluarkan ilmu pedang simpanannya yang selama ini dirahasiakan. Kaget bukan main Hui Siang karena tiba-tiba lawannya itu menggerakkan pedang secara aneh dan membingungkan, sama sekali tak dikenalnya dan hebatnya, semua serangannya tenggelam tanpa bekas menghadapi sinar pedang Hui Kauw yang aneh itu. Malah tidak demikian saja, selewatnya sepuluh jurus segulungan sinar pedang Hui Kauw sudah menyelimuti dirinya, menghadang semua jalan keluar dan ia terkurung rapat tanpa dapat balas menyerang lagi.
Tiada habis keheranan menekan hati Hui Siang. Selama ini, biarpun ia tidak berani menyatakan bahwa kepandaiannya lebih tinggi tingkatnya daripada Hui Kauw yang pendiam dan tidak suka pamer, akan tetapi jika dibilang ia lebih rendah juga tidak mungkin, Sering kali mereka berlatih dan dalam latihan ini tak pernah ia terdesak, biarpun mereka sudah berlatih pedang sampai seratus jurus lebih. Akan tetapi mengapa baru belasan jurus saja ia sudah tidak berdaya oleh jurus-jurus yang amat aneh ini? Mungkinkah Ibu menurunkan ilmu istimewa kepadanya tanpa kuketahui? Tak mungkin, pikirnya. Malah beberapa macam ilmu warisan Ayahnya telah ia pelajari, di antaranya ilmu menguasai ular-ular, sedangkan Hui Kauw tidak suka mempelajari ilmu ini kecuali ilmu untuk menolak ular.
"Wan-Koko... kau bantulah aku...!"
Tanpa malu-malu lagi Hui Siang berseru minta tolong kepada kekasihnya. Sementara itu, Bun Wan tadi berdiri terlongong dengan muka merah padam. Sama sekali dia tidak pernah menyangka bahwa adegan antara dia dengan Hui Siang disaksikan orang. Malunya bukan main, apalagi terhadap Hui Kauw yang sudah dia ketahui wataknya yang halus dan budi pekertinya yang jauh berbeda kalau dibandingkan dengan Hui Siang atau Ibunya. Sudah beberapa kali dia datang berkunjung ke pulau ini dan diam-diam dia selalu merasa kagum kepada Hui Kauw, nona bermuka hitam itu. Siapa kira nona yang dia segani dan kagumi ini sekarang menjadi saksi akan perbuatannya bersama Hui Siang yang melanggar susila.
"Bun Wan koko, hayo kau bantu aku!"
Kembali Hui Siang berseru, kini suaranya penuh penyesalan mengapa kekasihnya itu masih saja bengong dan tidak cepat-cepat membantunya yang sudah amat terdesak oleh gelombang sinar pedang Hui Kauw yang amat aneh. Bun Wan sadar dari lamunannya dan ketika dia memandang, dia kaget menyaksikan betapa Hui Siang yang ilmu pedangnya sudah amat lihai itu tidak berdaya menghadapi gempuran-gempuran Hui Kauw. Cepat dia mencabut pedangnya dan ketika tubuhnya berkelebat ke depan, sinar pedangnya yang amat kuat itu bergulung bagaikan naga mengamuk.
"Nona Hui Kauw harap mundur!"
Bentaknya dengan suara nyaring. Dua gulungan sinar pedang bertemu dan keduanya melompat mundur tiga langkah dengan kaget. Masing-masing mengagumi getaran hebat yang keluar dari pedang lawan. Ilmu pedang Bun Wan adalah Kun-Lun Kiam-Sut yang sudah terkenal di seluruh permukaan bumi akan kehebatannya. Juga pemuda ini adalah putera tunggal Ketua Kun-Lun-Pai, tentu saja dapat diketahui betapa hebat kepandaiannya apalagi kalau diingat bahwa semenjak kecil memang pemuda ini amat suka berlatih silat dan memang dia memiliki bakat yang baik.
Tadi ketika dia menerjang maju untuk mengundurkan Hui Kauw dan menolong kekasihnya yang terdesak, dia hanya mengeluarkan jurus sederhana dengan penggunaan tenaga setengah bagian saja. Namun, kagetlah dia ketika dia merasa betapa pedangnya membentur hawa pedang yang amat ampuh dan luar biasa sehingga memaksa dia melompat mundur tiga langkah. Sebaliknya, Hui Kauw kaget dan kagum sekali ketika ia dipaksa mundur oleh sinar pedang pemuda Kun-Lun ini dalam segebrakan saja. Masing-masing berdiri dalam jarak enam tujuh langkah dan saling pandang seperti hendak mengukur keadaan dan kekuatan masing-masing. Akan tetapi Hui Siang yang sudah amat marah itu segera menerjang lagi, menyerang Hui Kauw dengan besar hati karena ia kini mengandalkan bantuan kekasihnya.
"Hui Siang, kedatanganku ini bukan untuk bertempur denganmu, juga tidak ada urusanku dengan orang Kun-Lun ini. Akan tetapi menyaksikan perbuatan kalian yang tak tahu malu, benar-benar aku prihatin. Hui Siang, kau dengarkan kata-kataku...!"
Hui Kauw coba menyabarkan adiknya dan menghindarkan diri dari beberapa tusukan.
"Tutup mulut, budak hitam. Kau harus mampus! Wan-Koko, hayo kita binasakan budak hitam kurang ajar ini!"
Hui Siang memaki sambil menerjang terus dengan terpaksa Hui Kauw mengangkat pedangnya dan kembali dua orang gadis itu bertempur hebat. Bun Wan sudah menggerakkan pedang hendak membantu, akan tetapi tiba-tiba berkesiur angin dari belakang tubuhnya.
Cepat dia membabitkan pedangnya ke belakang, membalikkan tubuh dan mengganti kedudukan kaki sekaligus melakukan tusukan ke arah belakang dengan lengan diputar. Hebat gerakan ini dan seorang lawan yang membokongnya pasti akan dapat dirobohkan dengan jurus yang hebat ini karena tidak akan menduganya. Akan tetapi, matanya hanya melihat bayangan berkelebat lenyap. Begitu cepat gerakan bayangan ini. Tahu-tahu dia merasa punggungnya dilanggar tangan. Cepat bagaikan kilat Bun Wan membalikkan tubuh dan kakinya mendahului dengan tendangan maut ke bawah pusar dan pedangnya berkelebat dari atas pundak menyambar ke arah leher. Dia merasa yakin bahwa serangannya kali ini pasti berhasil. Memang hebat bukan main gerakan pemuda Kun-Lun ini,
"Bagus...!"
Terdengar suara orang memuji dan bayangan itu melompat mundur lima langkah menghindarkan jurus dahsyat dari Bun Wan ini. Kiranya bayangan itu adalah Kun Hong yang kini berdiri dengan tongkat di tangan kanan dan... Mahkota kuno di tangan kiri, tersenyum-senyum dan matanya yang buta tak berbiji itu menggetar.
Berdetak hati Bun Wan ketika melihat siapa orangnya yang tadi diserangnya itu, apalagi ketika melihat Mahkota itu. Otomatis tangan kirinya meraba punggung di mana buntalannya tersimpan. Mahkota kuno yang dia terima dari Hui Siang tadi disimpannya di dalam buntalan pakaiannya. Tangan kirinya meraba-raba dan hatinya mengeluh. Mahkota itu sudah lenyap dan terang bahwa yang dipegang Kun Hong itulah Mahkota tadi. Wajahnya seketika menjadi pucat. Dia cukup maklum akan kesaktian Kun Hong yang pernah dia saksikan beberapa tahun yang lalu di puncak Thai-San, akan tetapi setelah orang ini menjadi buta, bagaimana agaknya malah lebih lihai daripada dahulu? Betapapun juga, Bun Wan tidak takut dan dia melangkah maju sambil membentak,
"Kwa Kun Hong! Berkali-kali kau menghinaku dan agaknya sengaja hendak menjadi perintang jalan hidupku."
Kun Hong tersenyum pahit dan menggeleng kepala sambil menarik napas.
"Saudara Bun Wan. Memang hidup ini ada kalanya aneh sekali. Agaknya jalan hidup kita sudah ditakdirkan oleh Thian selalu saling memotong. Dahulu aku bersalah padamu, tapi kesalahan yang tidak disengaja sama sekali dan untuk kesalahan itu pun aku sudah mengorbankan banyak sekali. Nyawa orang yang paling kusayang di dunia ini dan anggauta badan yang paling kusayang pula kukorbankan. Akan tetapi sekarang lain lagi, saudara Bun Wan. Aku berdiri di depanmu dan menentangmu bukan tidak sengaja malah, karena kau yang berada di jalan sesat!"
Wajah yang pucat itu menjadi merah lagi, merah padam. Ucapan ini merupakan ujung pedang yang seakan-akan menancap di ulu hatinya.
"Kwa Kun Hong, agaknya kau memang seorang laki-laki yang tidak suka melihat orang lain bahagia. Aku berbaik dengan seorang gadis cantik, ada hubungan apakah urusan ini denganmu? Apakah kau iri hati dan berusaha hendak merampas lagi seperti dulu? Ho-ho, belum tentu bisa sekarang, sahabat, karena matamu yang buta itu tidak menarik lagi dipandang!"
Kun Hong menggeleng kepala, suaranya terdengar keren,
"Bun Wan, biarpun urusanmu dengan orang-orang wanita tiada sangkut-pautnya dengan aku, akan tetapi aku mengingat akan hubungan antara orang-orang tua kita, maka sudah sepatutnya pula kalau aku menegur sikapmu yang tidak baik. Bukanlah seorang gagah kalau suka mempermainkan wanita secara rendah! Meminang dan berjodoh sudah ada aturan-aturannya sendiri dan kau maklum bahwa siapa yang melakukan hubungan di luar nikah, dia adalah manusia berwatak rendah seperti binatang! Akan tetapi, kali ini aku tidak ada waktu mengurus hal itu. Yang kumaksudkan tadi adalah mengenai Mahkota ini. Benda ini bukan milikmu, juga bukan milik penghuni Ching-Coa-To. Aku tahu siapa yang berhak memiliki Mahkota ini, oleh karena itu harus kuambil kembali."
"Kun Hong, kau terlalu menghinaku! Kembalikan Mahkota itu!"
Bentak Bun Wan sambil menerjang dengan pedangnya. Kun Hong cepat mengelak dan diam-diam dia mengagumi gerakan pedang yang hebat ini. Terpaksa diapun menggunakan tongkatnya untuk menghadapi lawan tangguh ini. Tiga belas kali berturut-turut dia menangkis sambil berkata,
"Bun Wan, aku tidak ingin bertempur denganmu, tidak ingin bermusuh denganmu. Percayalah, Mahkota ini akan kuserahkan kepada yang berhak menerima. Kau biarkan aku pergi dengan aman dari pulau ini."
Akan tetapi mana Bun Wan mau mengalah begitu saja? Dia menghendaki Mahkota itu bukan semata-mata karena ingin memilikinya atau untuk dijadikan tanda cinta kasih Hui Siang, sama sekali bukan. Ada alasan yang lebih kuat baginya untuk memiliki Mahkota itu, maka dia sekarang menjadi nekat dan melawan. Pedang di tangan Bun Wan meluncur dengan gerakan miring dari samping kiri, menjurus ke arah tubuh bagian bawah lengan atau iga kanan Kun Hong. Gerakan ini selain miring juga agak memutar sehingga sekelebatan hawa tusukannya akan terasa datang mengarah punggung, sedangkan kaki kanan Bun Wan dibanting ke depan untuk disusul tendangan kaki kiri ke arah sambungan lutut lawan.
Inilah gerak tipu dalam jurus Sin-Seng Kan-Goat (Bintang Sakti Mengejar Bulan) dari Ilmu Pedang Kun-Lun Kiam-Sut. Cepat dan kuatnya bukan kepalang! Kun Hong yang hanya mengandalkan pendengaran dan perasaannya, kaget juga akan perubahan angin tusukan pedang yang berubah-ubah itu, cepat dia menekuk lutut mendoyongkan tubuh ke belakang, mencokel dengan tongkatnya ke arah ujung pedang lawan, kemudian maklum akan gerak susulan tendangan itu, siku lengannya memapaki untuk menotok pergelangan kaki lawan dengan ujung siku. Aneh dan cepat gerakannya Kun Hong ini dan hampir saja kaki Bun Wan kena dihajar. Pemuda Kun-Lun ini mengeluarkan seruan kaget dan heran, cepat dia menahan kakinya dan menggeser kaki itu ke kanan untuk meluputkan diri dari serangan susulan lawan.
Akan tetapi ternyata Kun Hong tidak menyerangnya. Orang buta ini hanya diam tidak bergerak, siap sedia menanti penyerangan berikutnya. Bun Wan mengeluarkan bentakan nyaring, mengumpulkan seluruh tenaga dalam dan pedangnya berputaran cepat berubah menjadi gulungan sinar seperti payung, kemudian dari gulungan sinar itu menyambar cahaya tiga kali berturut-turut, sekali mengarah tenggorokan, kedua kali mengarah ulu hati dan ketiga kalinya mengarah pusar. Kiranya pemuda Kun-Lun itu dalam penasarannya telah mempergunakan jurus-jurus simpanannya. Gerakan pertama tadi adalah jurus yang disebut Kim-Mo Sam-Bu (Payung Emas Menari Tiga Kali) disusul gerakan menyerang Lian-Cu Sam-Kiam (Tiga Kali Tikaman Berantai).
"Hebat...!"
Kun Hong memuji dan terpaksa diapun mengeluarkan kepandaian simpanannya untuk menghadapi serangan yang amat dahsyat ini. Dari angin serangan saja dia maklum bahwa jangankan ujung pedang, baru angin yang datang oleh gerakan menikam ini saja mengandung bahaya besar karena mampu membolongi baju menembus kulit daging.
Dia berseru keras dan tongkat di tangannya berubah menjadi kemerahan yang bergulung-gulung dan mengeluarkan hawa dingin. Tidak terdengar suara benturan senjata, namun tahu-tahu pedang di tangan Bun Wan itu tiga kali terpental balik, malah yang ketiga kalinya hampir saja melanggar pundak pemuda itu sendiri. Hampir saja senjata makan tuan kalau Bun Wan tidak cepat-cepat melepaskan pegangannya dan membiarkan pedangnya terpukul runtuh! Dia berdiri dengan muka pucat, memandang pedangnya di atas tanah dan bergantian memandang pemuda buta yang kini berdiri tegak di depannya dengan tongkat melintang di depan dada. Dada Bun Wan serasa akan meledak. Dahulu pernah dia terhina oleh Kun Hong dalam urusan tunangannya, Cui Bi, yang "Diserobot"
Pemuda ini.
Sekarang, untuk kedua kalinya dia menerima penghinaan, malah lebih hebat lagi. Sementara itu, Hui Siang juga mati kutunya menghadapi Hui Kauw. Kalau Hui Kauw mau sudah sejak tadi ia dapat merobohkan adiknya. Akan tetapi ia tidak tega dan sekarang melihat betapa Bun Wan sudah kalah iapun berseru nyaring, terdengar suara keras dan pedang di tangan Hui Siang mencelat dan terbang entah ke mana! Gadis cantik jelita yang galak itu, seperti juga Bun Wan, telah dilucuti. Kini iapun berdiri tegak di depan Hui Kauw dengan mata mendelik penuh kebencian. Akan tetapi Hui Kauw tidak perduli kepadanya, melainkan bergerak melangkah ke depan Bun Wan. Matanya mengeluarkan sinar berapi-api yang membuat Bun Wan bergidik. Ada sesuatu dalam sikap nona muka hitam ini yang membuat dia tunduk dan bergidik.
"Orang she Bun! Tanpa sengaja aku tadi sudah mendengar semua perbuatanmu yang tak senonoh dan merusak kehormatan nama penghuni Ching-Coa-To. Ingat baik-baik ucapanku ini. Biarpun mulai sekarang aku tidak menjadi penghuni Ching-Coa-To lagi, akan tetapi kalau kelak aku mendengar bahwa kau tidak bertanggung jawab dan tidak mau menikah dengan adikku Hui Siang secara sah, aku bersumpah akan mencarimu, dan mengadu nyawa!"
"Saudara Bun Wan, ucapan nona Hui Kauw ini memang betul. Sebagai laki-laki sudah berani berbuat harus berani bertanggung jawab,"
Kata pula Kun Hong. Bun Wan tidak menjawab, hanya menarik napas panjang menekan perasaannya sedangkan Hui Siang yang mendengar betapa saudara angkat yang dibencinya itu juga si mata buta bicara untuk kepentingannya, ia hanya bisa terisak menangis.
"Kun Hong, mari kita pergi!"
Hui Kauw menyambar tangan Kun Hong dan keduanya dengan gerakan cepat laksana Burung-Burung terbang, pergi dari pulau itu menuju ke pantai. Mereka tidak bicara sesuatu, tenggelam dalam perasaan masing-masing ketika menyeberangi telaga. Baru setelah mereka berdua meloncat ke daratan, Kun Hong berkata,
"Nona..."
"Kun Hong, kuharap kau tidak menggunakan sebutan itu,"
Potong Hui Kauw cepat-cepat.
"Hui Kauw, budi pertolonganmu kali ini besar sekali artinya. Aku amat berterima kasih kepadamu dan takkan melupakan bantuan ini selamanya. Kau benar seorang yang amat berbudi dan berhati mulia."
Sampai lama Hui Kauw tidak menjawab, membuat Kun Hong heran dan menduga-duga sambil memasang telinga. Akan tetapi dia menjadi kaget ketika mendengar betapa gadis itu mengeluarkan suara keluhan lirih seperti orang mengerang atau merintih.
"Hui Kauw, kenapakah...?"
Tanyanya sambil melangkah maju.
"Apakah kau sakit? Terluka...?"
Mendengar suara yang mengandung penuh kekuatiran ini dan melihat wajah pemuda buta itu kerut merut, Hui Kauw terisak perlahan tapi lalu ditahannya.
"Memang sakit, tak terperikan nyerinya... memang terluka, perih dan seperti ditusuk-tusuk jarum beracun rasanya..."
Kun Hong seperti kena pukul, tunduk dan kerut di antara kedua matanya makin jelas. Dia menarik napas panjang, maklum apa yang dimaksud gadis itu. Yang sakit adalah perasaannya, yang terluka adalah hatinya. Dia maklum akan keadaan gadis itu. Dengan suara menggetar penuh keharuan dia berkata, mukanya tetap tunduk,
"Hui Kauw, akulah orangnya yang membuat kau menjadi begini. Dosaku bertumpuk terhadapmu, sebaliknya budimu amat besar bagiku sehingga tak mungkin aku dapat membalasnya. Kiranya tidak mungkin selama hidupku aku akan dapat membalas budimu, biarlah di penjelmaan lain kelak aku terlahir sebagai anjingmu atau kudamu..."
"Kun Hong... jangan kau bilang begitu..."
Suara Hui Kauw mengandung tangis.
"Hui Kauw, ucapanku tidak berlebihan. Tadinya kau hidup sebagai seorang nona majikan Ching-Coa-To, hidup aman tenteram dan berbahagia di pulau itu bersama Ibu dan adikmu. Setelah aku datang, terjadi malapetaka hebat menimpa dirimu. Malah paling akhir aku melakukan penghinaan, menolakmu di depan umum. Hebat sekali penghinaan ini. Dan apa balasmu? Kau malah tadi membantuku untuk mendapatkan kembali Mahkota yang amat penting ini. Dengan pengorbanan terakhir lagi, yaitu permusuhan antara kau dan Hui Siang. Aku tahu, peristiwa itu tidak memungkinkan kau kembali ke pulau lagi. Dan kau hidup sebatangkara... ah, Hui Kauw, bagaimana aku dapat balas menolongmu?"
Tiba-tiba Hui Kauw melangkah maju dan memegang kedua lengan Kun Hong. Pemuda buta ini merasa betapa tangan itu agak dingin menggigil dan mencengkeram tangannya erat-erat. Dia pun balas menggenggam sehingga dua puluh jari-jari tangan itu saling genggam, menyalurkan perasaan hati masing-masing yang menggelora.
"Kun Hong... Kun Hong... di samping perasaan iba di hatimu terhadapku, tidak adakah... rasa kasih sayang sedikit saja?"
Suara hati Kun Hong meluap melalui mulutnya tanpa dia sadari lagi.
"Demi Tuhan Yang Maha kasih, Hui Kauw, aku... aku amat sayang kepadamu, aku amat kasih kepadamu semenjak pertama kali aku mendengar suaramu..."
Hui Kauw mengeluarkan suara perlahan seperti orang merintih, lalu ia tiba-tiba merangkul leher Kun Hong dan menangis di atas dada pemuda itu. Kun Hong menepuk-nepuk pundak dan mengelus-elus rambut yang halus dan berbau harum sambil menghela napas berkali-kali.
"Terima kasih, Kun Hong. Kalau begitu... biarlah aku ikut denganmu ke mana saja kau pergi."
Sampai lama Kun Hong tak dapat menjawab. Kesadarannya kembali. Kemudian tergetar suaranya ketika berkata,
"Tidak mungkin, Hui Kauw... tidak mungkin... biarpun aku amat cinta kepadamu, tak mungkin aku melakukan itu..."
"Mengapa tidak, Kun Hong? Bukankah kita berdua sudah pernah berlutut bersama di depan meja sembahyang biarpun kau kemudian menolaknya? Kun Hong, aku... aku... menganggap bahwa aku telah menjadi... isterimu... apa pun yang terjadi... aku telah berhutang nyawa kepadamu dan aku... ah... aku cinta kepadamu, Kun Hong..."
Kun Hong merasa betapa hatinya seperti ditusuk-tusuk. Kemudian dia menggeleng keras-keras kepalanya karena terbayang dia akan wajah Cui Bi.
"Tidak, Hui Kauw, jangan begitu. Aku seorang buta, tak berharga... tak berani aku membawa kau ikut menderita. Kau mulia dan agung, kau seorang gadis cantik jelita seperti Bidadari, kau patut bersuamikan seorang pemuda yang berbudi dan gagah perkasa, menjadi isteri seorang pria yang terhormat, bukan seorang jembel buta macam aku..."
"Tidak, tidak...! Kun Hong, kau selalu merendahkan diri sendiri. Kau semulia-mulianya orang dalam pandanganku. Biarpun kau buta, hatimu tidak buta. Tentang aku... ah, alangkah indahnya kata-katamu yang memujiku seperti Bidadari. Sebenarnya aku buruk rupa, Kun Hong."
"Siapa bilang? Kau secantik-cantiknya orang, kau Bidadari!"
Pemuda itu membantah dengan suara keras. Hui Kauw mengeluarkan suara ketawa aneh, pahit dan perih, lalu ia melepaskan rangkulannya.
"Kun Hong, bagaimana kau begini yakin akan kecantikanku? Kau tak pandai melihat..."
"Cukup dengan mendengar, suaramu Hui Kauw. Kalau aku... eh, andaikata aku dapat meraba mukamu, tentu aku akan lebih yakin lagi... tapi maaf, ini hanya seandainya..."
"Nah, kau rabalah! Kau rabalah biar kau tahu betapa mukaku hitam dan buruk."
"Aku tidak berani, Hui Kauw... aku tidak berani kurang ajar kepadamu..."
Kun Hong menolak akan tetapi suaranya gemetar karena betapapun juga, amat sangat inginnya meraba muka gadis itu untuk dapat membayangkan bentuk mukanya.
"Kun Hong, aku telah dapat melihat mukamu sepuas hatiku, tapi kau... ah, kau rabalah agar kau dapat mengenalku, dapat mengenal seorang wanita yang selalu akan mengenangmu selama hidup, akan mencintaimu selama hayat dikandung badan, biar kau telah menolaknya, biar kau tidak mau menerimanya..."
Sampai di sini Hui Kauw menangis.
"Hui Kauw...! Jangan bilang begitu."
Tapi sambil menangis terisak-isak Hui Kauw menyambar kedua tangan Kun Hong, ditariknya ke arah mukanya sambil tersendat-sendat berkata,
"Rabalah... rabalah..."
Sepuluh jari tangan yang amat halus perasaannya itu meraba muka Hui Kauw yang basah air mata. Seperti dalam mimpi Kun Hong meraba dahi yang halus tertutup rambut sinom berurai ke bawah, bergerak ke bawah meraba alis yang panjang melengkung, pelupuk mata tipis dengan bulu mata panjang, sepasang pipi yang halus dengan bentuk sempurna, hidung yang kecil mancung, Bibir yang lunak, dagu meruncing, telinga, leher... lalu kembali lagi ke atas. Bibirnya bergerak-gerak mengeluarkan bisikan berkali-kali,
"Kau cantik jelita... kau cantik jelita... ah, Hui Kauw... alangkah cantik engkau..."
Kata-kata ini memperhebat tangis gadis itu yang kembali memeluknya dan menempelkan muka ke dadanya.
"Aduh, Kun Hong... selama aku hidup, baru kali ini ada orang memuji kecantikanku... semua orang mengejekku, mengatakan aku si muka hitam, si muka buruk... Kun Hong, kau kasihanilah aku, kalau betul kau mencintaku seperti aku mencintamu, kau bawalah aku, biarlah aku ikut denganmu..."
Tiba-tiba Kun Hong sadar lagi dan dia memegang pundak gadis itu, didorong menjauhinya, lalu dia berkata, suaranya tegas,
"Hui Kauw, cukup semuanya ini! Kau adalah seorang gadis perkasa, tidak seharusnya bersikap lemah. Akupun harus malu akan kelemahan hatiku sendiri. Hui Kauw, mukamu tidak apa-apa. Warna hitam itu hanya karena racun dan aku sanggup untuk mengobatimu, membuat kulit mukamu kembali putih bersih. Biarlah aku mengobatimu agar kau mendapatkan kecantikanmu kembali, agar kau dapat bertemu dengan jodoh yang terhormat, yang gagah, yang baik dan..."
"Diam!!"
Tiba-tiba Hui Kauw berteriak keras, agaknya marah sekali.
"Kun Hong, jangan kau kira aku seorang wanita macam itu! Sekali aku sudah menyerahkan hatiku kepadamu, sampai mati aku tetap bersetia. Biarpun kau tidak suka menerimaku, aku tetap menganggap diriku sudah menjadi isterimu dan selama hidupku aku takkan menikah dengan orang lain. Biarlah mukaku tetap begini karena aku tidak berniat menarik hati orang lain. Tapi, setidaknya, kau katakanlah mengapa hatimu sekeras ini. Aku dapat merasa betapa kau pun benar-benar membalas cintaku, akan tetapi mengapa kau menolakku? Mengapa? Aku bisa mati penasaran kalau kau tidak memberi tahu sebabnya."
Tak terasa lagi dua titik air mata membasahi pipi pemuda buta itu. Hui Kauw perih hatinya melihat pemuda buta ini bisa menitikkan air mata. Ingin ia memeluknya, ingin ia menghapus air mata di muka si buta itu, tapi ia tetap berdiri, menanti penjelasan.
"Hui Kauw, ketahuilah. Akupun seorang manusia yang telah menyerahkan hati kepada seseorang dan berniat tetap bersetia kepadanya, biarpun ia sudah tiada lagi di dunia. Ia... ia mati karena aku, Hui Kauw..."
Kemudian dengan suara terputus-putus saking terharu, Kun Hong menceritakan kepada gadis itu tentang Cui Bi, sekaligus tentang kebutaan matanya. Hui Kauw mendengarkan dengan mulut ternganga dan mata terbelalak, dan dari pelupuk matanya mengucurlah air mata di sepanjang kedua pipinya. Demikian terpesona dan terharu ia oleh cerita itu sehingga ia seperti tidak merasa akan membanjirnya air matanya ini dan ia tidak mengusapnya. Makin lama ia mendengarkan cerita Kun Hong, makin tak tahanlah ia dan akhirnya ia terisak-isak menangis ketika Kun Hong menceritakan peristiwa yang terjadi di puncak Thai-San-Pai.
"Aduh, Kun Hong...!"
Hui Kauw akhirnya menubruk pemuda itu dan memeluknya.
Pendekar Buta Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kasihan sekali kau... laki-laki yang berhati mulia, semulia-mulianya orang. Cinta kasihmu demikian suci murni... ah, alangkah bahagianya Cui Bi. Aku iri kepadanya, Kun Hong. Akupun mau mati serIbu kali kalau bisa mendapatkan cinta kasihmu seperti itu besarnya. Kasihan kau..."
Menghadapi gadis ini, tak dapat menahan pula Kun Hong akan jatuhnya dua titik air mata lagi di atas pipinya. Lalu dia mengerahkan kekuatan batin menekan perasaannya.
"Sudahlah, Hui Kauw. Tiada gunanya bertangis-tangisan seperti ini. Kau tahu sendiri sekarang betapa tak mungkin aku memenuhi dorongan hatiku yang mengandung kasih sayang kepadamu. Kau maafkanlah aku."
Hui Kauw melangkah mundur, mengusap air matanya. Sepasang matanya kini memandang penuh kekaguman, penuh perasaan kasih dan penuh iba.
"Kau benar, Kun Hong. Biarlah aku mengalah dan memang sudah nasib hidupku harus banyak menderita. Biarlah aku tidak mengganggumu lagi. Akan tetapi aku tetap bersumpah bahwa peristiwa di Pulau Ching-Coa-To, di mana kau dan aku sudah berlutut di depan meja sembahyang, takkan dapat terhapus dari hatiku. Sampai mati aku akan menganggap bahwa aku sudah menjadi milikmu lahir batin dan aku takkan menikah dengan orang lain. Selamat tinggal, Kun Hong, kita akan bertemu kembali kelak, kalau tidak di dunia tentu di akhirat, Di sana aku akan minta kepada Cui Bi agar ia rela membiarkan kau membagi cinta kasihmu sebagian untukku..."
Gadis itu terisak dan melompat pergi jauh meninggalkan tempat itu.
"Hui Kauw...! Biarkan aku mengobati mukamu...!"
Kun Hong berteriak memanggil. Akan tetapi Hui Kauw tidak berhenti hanya menjawab sambil lari cepat,
"Biarlah, Kun Hong. Apa gunanya bagiku...?"
Dalam kalimat terakhir ini terkandung kepatahan hati yang
(lanjut ke Jilid 14)
Pendekar Buta (Seri ke 03 - Serial Raja Pedang)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 14
membuat Kun Hong terduduk di atas tanah saking perihnya hati dan perasaannya. Sampai lama dia duduk bersila di atas tanah di pinggir telaga itu dan terbayanglah wajah Hui Kauw yang cantik jelita. Sekarang dia sudah mengenal Hui Kauw, tidak hanya mengenal suaranya, juga mengenal bentuk mukanya. Berkali-kali dia mengeluh panjang pendek, bukan main penderitaan hati yang penuh rindu dendam. Dia merasa seakan-akan semangatnya terbawa pergi oleh gadis itu. Dia berdongak dan mulutnya berkemak-kemik.
"Cui Bi... Cui Bi... bantulah aku, perkuatlah hatiku..."
Dengan bisikan-bisikan ini dia merasa mendapat kekuatan baru dan wajah Cui Bi yang riang jenaka itu perlahan-lahan mengusir bayangan Hui Kauw, memulihkan kembali ketenangan di dalam dadanya. Entah beberapa jam lamanya dia duduk seperti itu, seperti seorang pertapa di pinggir telaga. Tiba-tiba terdengar suara orang, suara yang besar dan dalam, mengandung tenaga hebat.
"Waahhhhh, mimpikah aku atau betul-betul bertemu dengan Kun Hong di sini?"
Karena tadinya dalam keadaan melamun, Kun Hong kaget dan tidak mendengar suara ini dengan segera. Akan tetapi dia merasa seperti mengenal suara ini, maka cepat dia bangun berdiri dan membalikkan tubuhnya ke arah suara itu.
"Lo-Cianpwe (orang tua gagah) siapakah?"
Tanyanya sambil membungkuk dengan hormat.
"Ha-ha-ha! Hebat sekali! Matanya buta akan tetapi begitu aku membuka suara segera tahu bahwa aku seorang tua bangka bangkotan. Ha-ha-ha!"
"Kakek Kwee...!"
Kun Hong berseru girang sekali. Song-Bun-Kwi Kwee Lun tertawa bergelak-gelak dan maju merangkul Kun Hong memeluknya.
"Kun Hong, kau sudah tak pandai melihat tapi bisa berkeliaran sampai di sini! Apa saja yang kau kerjakan di sini? Wah tongkatmu itu entah sudah berapa banyak mengirim orang ke Giam-Lo-Ong (Raja Maut)?"
Kun Hong tertawa.
"Lo-Cianpwe, mana saya berani menggunakan tongkat hadiahmu ini untuk membunuh orang? Lo-Cianpwe hendak ke manakah?"
"Ha-ha-ha, bagus kau masih menghargai pemberian seorang tua bangka. Kun Hong, tahukah kau di mana adanya Ching-Coa-To?"
Kun Hong kaget.
"Di seberang itulah Ching-Coa-To. Lo-Cianpwe apakah mempunyai urusan dengan penghuni Ching-Coa-To?"
Bingung Song-Bun-Kwi bagaimana harus menjawab pertanyaan ini. Seperti, kita ketahui, dia pergi mencari Ching-Coa-To hanya karena hatinya terkena "Dibakar"
Oleh si gadis nakal Loan Ki yang mengatakan bahwa kalau kakek itu ingin dijotosi orang sampai mukanya matang biru, harus pergi ke Ching-Coa-To. Hanya karena kata-kata Loan Ki itu saja dia nekat mencari Ching-Coa-To sampai dapat. Bagaimana dia bisa mengatakan kepada Kun Hong bahwa dia mencari Ching-Coa-To hanya karena itu? Terhadap lain orang kakek ini bersikap tidak perduli dan mau membawa kehendak sendiri, mau menang sendiri. Akan tetapi terhadap Kun Hong lain lagi sikapnya. Dia merasa kagum kepada pemuda ini dan tidak menganggap pemuda buta ini sebagai seorang muda yang dipandang rendah.
"Tidak ada urusan apa-apa, hanya aku mendengar di sana banyak orang pandai. Ingin aku menyaksikan dengan kedua mata dan kedua tanganku sendiri, ha-ha-ha!"
Kun Hong maklum akan watak kakek ini, tahu akan kesukaan kakek ini berkelahi mengadu kepandaian.
"Lo-Cianpwe terlambat. Memang banyak orang pandai di pulau itu, akan tetapi pada waktu ini mereka sudah pergi meninggalkan pulau. Saya baru saja keluar dari sana."
"Kau? Ke sana? Wah-wah, agaknya banyak pengalaman hebat yang kau alami. Sayang, aku bermalas-malasan di gunung, kalau aku ikut pergi bersamamu, sedikitnya aku akan ikut menikmati pengalaman-pengalaman itu. Apa yang kau cari di sana?"
Dengan singkat tanpa menyebut-nyebut soal Loan Ki dan Hui Kauw, Kun Hong lalu bercerita tentang Mahkota yang dirampas dari tangan Tan Hok sampai Mahkota itu terjatuh ke tangan orang-orang Ching-Coa-To dan bagaimana dia berhasil merampasnya kembali. Akhirnya dia menutup penuturannya,
"Mahkota ini biarpun benda kuno, akan tetapi amat penting, Lo-Cianpwe. Karena itu mati-matian saya merampasnya kembali dan sekarang hendak saya antarkan kepada Paman Tan Hok?"
"Di mana adanya Tan Hok?"
"Tadinya Paman Tan Hok pergi ke Thai-San-Pai untuk minta bantuan Paman Tan Beng San dalam hal merebut kembali Mahkota ini. Karena itu saya pikir, lebih baik saya susul ke Thai-San-Pai untuk menyerahkan Mahkota ini kepadanya."
"Ke Thai-San-Pai? Bagus sekali memang aku pun sudah lama kangen, hendak melancong ke Thai-San. Kebetulan sekali, akupun ingin bertemu dengan Ketua Thai-San-Pai, mantuku yang pintar itu agar dia memberi hajaran kepada anaknya yang goblok!"
Kun Hong melengak, tidak tahu apa maksud kata-kata ini.
"Bagaimana dengan keadaan saudara Kong Bu dan isterinya? Ah, mereka selamat-selamat saja, bukan?"
Kun Hong tersenyum karena teringat akan keponakannya, Kui Li Eng yang sekarang sudah menjadi nyonya Tan Kong Bu, Ingat betapa keponakannya itu lincah jenaka, nakal seperti Loan Ki!
"Itulah. Mereka itu yang menyakitkan hatiku dan hendak kuadukan kepada Beng San. Sialan betul aku mempunyai cucu goblok!"
"Eh, kenapa, Lo-Cianpwe? Apa kesalahan saudara Kong Bu dan isterinya? Kalau ada kesalahan, sayalah yang mintakan maaf dan ampun kepada Lo-Cianpwe..."
"Siapa orangnya tidak mendongkol. Di sini menanti-nanti, di sana enak-enak dan menganggap sepi saja. Masa sampai empat tahun aku mengharap-harap, belum juga mereka mempunyai anak! Coba pikir, apa ini tidak menjengkelkan?"
Mulut Kun Hong ternganga heran,
"Anak...?"
"Ya, anak! Aku sampai mimpi setiap malam memondong cucu buyut. Dasar Kong Bu tidak becus!"
Hampir saja Kun Hong tak dapat menahan ledakan tawanya. Akan tetapi dia menekan perasaannya dan tidak tertawa, maklum bahwa yang dia anggap lucu itu bagi kakek ini agaknya merupakan sebuah soal yang amat gawat. Maka dia malah menghIbur,
"Harap Lo-Cianpwe bersabar. Saya merasa yakin bahwa seorang gagah perkasa seperti Lo-Cianpwe ini, kelak pasti dikurniai cucu buyut yang banyak!"
Benar saja. Omongan ini bagaikan segelas air es untuk seorang kehausan di tengah hari. Mendinginkan perasaan. Kakek itu tertawa-tawa lagi dan berkata,
"Kun Hong, kau harus lekas-lekas kawin! Orang seperti kau ini tentu jauh lebih berharga daripada cucuku Kong Bu. Aku tanggung bahwa kau kawin setahun aku sudah akan dapat memondong anakmu yang kuanggap cucuku sendiri. Ha-ha-ha, alangkah senangnya kalau aku bisa menyaksikan anakmu dan menurunkan semua ilmuku kepadanya. Ha-ha-ha, Song-Bun-Kwi si setan bangkotan akan mati dengan mata meram!"
Merah muka Kun Hong. Dia merasa jengah, akan tetapi juga terharu sekali karena di dalam kekasarannya, kakek ini membayangkan kasih sayang yang besar dan rasa kekeluargaan yang mendalam. Dia berterima kasih sekali, akan tetapi untuk mencegah kakek ini melantur dan berkepanjangan tentang kawin, dia segera mengajak kakek itu berangkat ke Thai-San. Akan tetapi, dia tidak dapat mencegah kakek itu menggali-gali soal lama ketika berkata,
"Kun Hong, kau tidak boleh selalu mengenang Cui Bi. Yang sudah mati sudahlah. Kau masih hidup dan kau harus mencari gantinya. Seorang yang tidak berketurunan adalah orang yang paling Puthauw (Murtad) di dunia ini! Kau tirulah pamanmu Beng San. Dahulu dia sampai menjadi gila ditinggal mati anakku, akan tetapi kemudian dia toh dapat berbahagia dengan Li Cu dan punya anak lagi!"
Kun Hong berdebar keras jantungnya, akan tetapi dia diam saja tidak menjawab, hanya hatinya berdoa supaya kakek itu tidak berkepanjangan bicara tentang hal yang amat tidak enak baginya itu. Mendapat petunjuk jalan seperti Song-Bun-Kwi, tentu saja Kun Hong dapat melakukan perjalanan yang amat cepat. Di sepanjang jalan, tiada hentinya Song-Bun-Kwi mengobrol dan hanya pada pemuda inilah dia dapat mencurahkan semua isi hatinya. Beberapa hari kemudian sampailah mereka di lereng Thai-San dan keduanya merasa terheran-heran melihat kesunyian daerah sekitar puncak. Kalau jantung Kun Hong berdebar-debar karena teringat akan Cui Bi dan semua peristiwa yang terjadi di puncak ini empat tahun yang lalu, adalah Song-Bun-Kwi yang terheran-heran dan mulai merasa tidak enak hatinya.
"Kun Hong mengapa begini sunyi di sini? Biasanya tentu ada anak murid Thai-San-Pai yang hilir mudik. Mengapa Thai-San-Pai sekarang begini sepi?"
"Lo-Cianpwe, lebih baik kita langsung naik ke puncak saja, agaknya para anak murid sedang dikumpulkan di puncak oleh Paman Tan Beng San. Siapa tahu datangnya Paman Tan Hok mendatangkan perubahan di Thai-San-Pai karena menghadapi urusan penting."
"Huh, orang-orang muda itu rIbut-rIbut saja tentang urusan negara. Huh, bosan aku! Kaisar dan para pembesar Istana itu orang-orang apa sih? Mereka juga manusia biasa seperti kita! Akan tetapi mengapa untuk segelincir dua gelincir manusia seperti itu, untuk jatuh bangunnya seorang dua orang Kaisar, selalu rakyat yang laksaan banyaknya harus dijadikan korban?"
Kalau saja Kun Hong belum mendengar filsafat dari mulut Tan Hok, tentu dia akan setuju seratus prosen terhadap pendapat kakek itu. Akan tetapi sekarang, berdasarkan filsafat dari Tan Hok, dia sudah mempunyai pendapat yang lebih jelas tentang urusan negara.
Tanpa pemimpin yang menentukan hukum-hukum negara, takkan ada kehidupan tenteram, takkan ada tata-tertib karena rakyat hanya akan mengenal hukum rimba, hukumnya dunia persilatan. Bayangkan saja kalau yang berkuasa saja adalah orang macam kakek ini, yang tidak perdulian, yang aneh, kadang-kadang amat kejam, akan jadi apakah penghidupan ini? Negara harus ada pengaturnya, rakyat harus ada pemimpinnya, mencontoh keadaan alam semesta. Alam semesta inipun membutuhkan pimpinan dan penguasa yang mengatur segalanya. Bayangkan saja, tanpa adanya Tuhan Seru Sekalian Alam, tanpa adanya kekuasaan Tuhan Yang Maha kuasa, alangkah akan kacau-balaunya alam semesta ini. Mungkin bintang-bintang akan saling bertubrukan, matahari akan kehilangan panasnya, akhirnya segalanya akan hancur lebur!
Demikianlah, rakyat dan negara harus mempunyai pimpinan. Dan segala kerIbutan terjadi, segala perang saudara pecah karena masing-masing golongan, masing-masing fihak menghendaki calon pimpinan pilihan hati masing-masing. Tentu saja ini dikarenakan menurut keyakinan masing-masing, pilihan hati itu adalah orang-orang yang mereka percaya akan mampu menjadi pemimpin yang baik. Sekarang terjadi perebutan tahta Kerajaan, tentu saja bagi para pembesar itu karena mereka memperebutkan kedudukan yang akan menjamin hidup kaya raya dan terhormat. Akan tetapi bagi rakyat yang membela mereka, dasarnya hanyalah ingin memiliki pemimpin-pemimpin yang benar-benar akan dapat membawa kesejahteraan dan kebahagiaan bagi kehidupan rakyat.
Karena mempunyai dasar filsafat ini, maka Kun Hong hanya tersenyum saja mendengar ucapan Song-Bun-Kwi tadi. Dia tidak menjawab melainkan mengajak kakek itu mendaki puncak. Kalau bukan Song-Bun-Kwi yang menjadi petunjuk jalannya, Kun Hong takkan berani mengajak naik ke puncak karena dia maklum bahwa menaiki puncak Thai-San merupakan perjalanan yang jauh lebih sulit dan berbahaya daripada memasuki Pulau Ching-Coa-To! Akan tetapi, kakek itu pernah tinggal di situ dan karenanya hafal benar akan semua rahasia di puncak Thai-San. Setelah melalui jalan rahasia yang berakhir dengan sebuah terowongan, akhirnya mereka sampailah di puncak Thai-San. Mereka meloncat ke luar dari mulut terowongan yang merupakan sebuah gua rahasia dan kagetlah Kun Hong ketika dia mendengar Song-Bun-Kwi berseru keras,
"Celaka...!"
Hidung dan telinga Kun Hong meneliti penuh perhatian, namun tidak ada sesuatu yang aneh bagi penciuman dan pendengarannya. Terpaksa dia bertanya kuatir,
"Lo-Cianpwe, ada apakah??"
Kakek itu melangkah maju, terus maju, diikuti dari belakang oleh Kun Hong yang mulai merasa gelisah karena tempat ini benar-benar sunyi. Setelah tiba di puncak, kenapa Beng San dan isterinya, juga murid-murid Thai-San-Pai tidak ada yang keluar menyambut?
"Lo-Cianpwe, kenapa begini sunyi? Ada apakah? Di mana mereka, mengapa tidak ada orang menyambut kita?"
Masih saja Song-Bun-Kwi berjalan ke sana ke mari, berputaran di sekitar puncak. Kemudian dia membanting-banting kaki dan berkata,
"Celaka... agaknya belum lama ini Thai-San-Pai tertimpa malapetaka. Wah, hebat...! Kun Hong, Thai-San-Pai telah dibakar orang, dibasmi sampai ke pohon-pohonnya habis dan rusak binasa."
"Apa...???"
Kun Hong berteriak, lalu melangkah ke sana ke mari, tangan yang memegang tongkat meraba-raba tanah yang sudah rata dan tidak ada sebatang pun pohon tumbuh lagi di situ.
"Bagaimana hal ini bisa terjadi...?"
Pertanyaan ini keluar dari hatinya yang penuh kegelisahan, terdengar agak gemetar.
"Bagaimana kita bisa tahu? Tidak ada seorang pun tinggal di sini. Agaknya mereka semua sudah..."
Song-Bun-Kwi sendiri yang biasanya tidak perdulian itu, kini sikap dan bicaranya tidak bisa percaya kalau Thai-San-Pai dapat dibakar dan dibasmi orang dan semua penghuni puncak Thai-San sampai lenyap semua.
"Tidak mungkin, Lo-Cianpwe! Tak mungkin Paman Beng San beserta Bibi dan semua anak murid dapat dibasmi begitu saja! Aku tidak percaya!"
"Tuh di sana ada bayangan orang bergerak, mari kita ke sana!"
Tiba-tiba kakek itu berseru dan menarik tangan Kun Hong diajak lari menuruni puncak, lalu mendaki sebuah puncak yang lebih kecil.
Setelah tiba di situ, dia melihat bayangan orang tadi ternyata adalah seorang laki-laki yang kini sudah duduk bersila di sebuah kuburan yang puluhan jumlahnya. Kuburan-kuburan yang masih baru mengelilingi orang itu yang berpakaian putih, berambut awut-awutan seperti orang Meremang bulu tengkuk Song-Bun-Kwi melihat kuburan-kuburan ini. Bukan karena seramnya, karena dia sendiri adalah seorang iblis yang tidak takut akan sesuatu, apalagi hanya kuburan dan orang aneh itu. Akan tetapi yang membuat dia merasa seram dan ngeri adalah dugaan yang timbul ketika melihat kuburan-kuburan itu. Siapa tahu di antaranya adalah kuburan Beng San dan Li Cu!! Segera dia melompat ke depan dan sekali sambar saja sudah berhasil mencengkeram leher laki-laki itu sambil membentak dengan suara menyeramkan,
"Siapa kau dan apa yang kau lakukan di sini?"
Tubuh itu sudah dia angkat tinggi-tinggi dan siap dibantingkan ke atas batu-batu besar yang banyak terdapat di tanah kuburan itu. Akan tetapi dengan gerakan yang amat tangkas dan cekatan, orang itu menggoyang tubuh dan...
"Brettt!"
Leher bajunya robek akan tetapi dia berhasil melepaskan diri dari cengkeraman Song-Bun-Kwi! Kakek ini kaget dan kagum. Jarang ada orang, apalagi semuda itu, dapat melepaskan diri pada cengkeraman tangannya. Dia sudah siap untuk menerjang lagi karena sekaligus timbul rasa penasaran, juga kegembiraannya karena akan mendapat lawan yang lumayan. Akan tetapi tiba-tiba orang itu berseru,
"Kwee-Lo-Cianpwe...!"
Lalu dia menjatuhkan diri berlutut dan menangis menggerung-gerung. Di antara tangisnya, dia menyebut nama Kun Hong.
"Kwa-Taihiap... celaka...!"
Sukar dia bicara karena tangisnya terus menyesakkan kerongkongannya. Bukan main kagetnya hati Song-Bun-Kwi ketika mengenal bahwa orang yang mukanya pucat seperti mayat matanya cekung dan tubuhnya kurus dengan rambut awut-awutan dan pakaian putih seperti orang gila ini bukan lain adalah Su Ki Han, murid kepala Thai-San-Pai!
"Ki Han, bukankah kau ini? Apa yang terjadi? Hayo cepat ceritakan!"
Sepasang mata Song-Bun-Kwi liar memandang ke arah tanah-tanah kuburan yang masih baru itu. Adapun Kun Hong yang tiba-tiba merasa kedua kakinya lemas saking gelisahnya, lalu duduk di atas batu besar, telinganya mendengarkan penuh perhatian. Jantungnya berdebar-debar, karena kebutaannya membuat dia tidak dapat melihat sesuatu dan hal ini menambah kegelisahannya. Alangkah besar keinginan hatinya untuk dapat menyaksikan dengan mata sendiri bagaimana keadaan puncak Thai-San yang dikatakan rusak binasa dan terbasmi itu. Hampir-hampir saja tak dapat dia percaya bahwa tempat tinggal pamannya yang demikian saktinya itu dapat dihancurkan musuh.
"Ah, Kwee-Lo-Cianpwe... celaka sekali... malapetaka hebat menimpa Thai-San-Pai, dua pekan yang lalu..."
"Ki Han, bukankah kau murid kepala Thai-San-Pai? Kenapa sekarang, menangis seperti anak kecil? Huh, mana jiwa pendekarmu? Memalukan sekali. Hayo, bangun kau bicara yang betul kalau tidak mau kutendang mampus!"
Bentak Song-Bun-Kwi. Su Ki Han, murid Thai-San-Pai yang hancur luluh perasaan hatinya itu oleh kedukaan terbangun semangatnya. Dia segera bangkit berdiri, menunduk dan berkata,
"Maafkan saya, Lo-Cianpwe, maafkan kelemahan hati saya yang tak kuat menderita kedukaan ini. Siapa orangnya yang takkan hancur hatinya. Thai-San-Pai hancur binasa, Siauw-Sumoi (adik seperguruan kecil) diculik orang, Subo lenyap melakukan pengejaran, kemudian Suhu juga turun gunung mengejar, malah menyatakan bahwa Thai-San-Pai dibubarkan untuk sementara waktu. Sembilan orang Suteku tewas, sisanya sekarang tersebar tidak karuan. Kwee-Lo-Cianpwe, hati siapa takkan menjadi sedih?"
Terdengar teriakan menyeramkan keluar dari kerongkongan Kun Hong yang sudah bangkit berdiri dengan muka pucat.
"Iblis jahanam! Siapa berani melakukan hal itu terhadap Thai-San-Pai? Su Ki Han, hayo kau ceritakan sebenarnya apa yang telah terjadi!"
Suara Kun Hong menggeledek, tanda bahwa dia dalam keadaan marah besar sehingga mendatangkan rasa kaget dan heran pada Song-Bun-Kwi yang biasanya mengenal pemuda itu sebagai seorang yang amat lemah lembut dan penyabar. Sebetulnya hal ini tidaklah aneh. Kun Hong cukup maklum betapa hancur luluh hati Ibu Cui Bi ketika gadis kekasihnya itu tewas secara menyedihkan. Sekarang, setelah mempunyai seorang anak perempuan lagi sebagai pengganti Cui Bi, ternyata diculik orang, Thai-San-Pai dibasmi dan dibumi-hanguskan, anak-anak murid Thai-San-Pai banyak yang tewas. Benar-benar merupakan malapetaka yang maha hebat dan inilah yang menyakitkan hatinya.
Dengan suara tersendat-sendat saking sedihnya, Su Ki Han lalu bercerita, bagaimana orang-orang Pek-Lian-Pai dan Kong-Thong-Pai yang marah sekali datang menyerbu sehingga terjadi pertempuran yang amat tak dikehendaki Ketua Thai-San-Pai, karena maklum bahwa bentrokan antara mereka yang sehaluan itu adalah karena hasutan dan fitnah musuh rahasia. Diceritakan pula betapa kemarahan Pek-Lian-Pai dan Kong-Thong-Pai itu adalah karena kematian Tan Hok dan murid-murid Kong-Thong-Pai yang terjadi di lereng Thai-San dan yang mereka katakan dilakukan oleh anak-anak murid Thai-San-Pai. Lalu bagaimana pada saat pertempuran berlangsung, puncak Thai-San-Pai diserbu musuh yang tidak diketahui siapa. Nyonya Ketua Thai-San-Pai dengan gagah berani dapat menghalau musuh, akan tetapi tak dapat mencegah penculikan terhadap Cui Sian puterinya dan pembunuhan terhadap para pelayan. Dengan air mata bercucuran Ki Han menutup ceritanya,
"Kwee-Lo-Cianpwe... Kwa-Taihiap... alangkah hancur hati saya melihat Suhu seperti itu. Suhu mengamuk setelah Subo (Ibu Guru) pergi melarikan untuk mencari puterinya... Suhu menghancurkan segala yang ada di puncak... lalu menyatakan pembubaran Thai-San-Pai..."
"Iblis neraka!"
Song-Bun-Kwi membanting kakinya saking marah.
"Keparat Pek-Lian-Pai dan Kong-Thong-Pai! Awas kalian, Song-Bun-Kwi akan melakukan pembalasan, membasmi semua orang Kong-Thong-Pai dari muka bumi"
Tiba-tiba Su Ki Han memandang terbelalak ke depan, lalu dia menjadi pucat dan berkata,
"Kwa-Taihiap..."
Song-Bun-Kwi cepat memutar tubuh memandang ke arah Kwa Kun Hong dan dia sendiripun terbelalak. Bukan main keadaan Kun Hong di waktu itu. Berdiri tegak dengan alis mata seakan-akan berdiri, sepasang mata yang buta itu terbuka lebar memperlihatkan dalamnya yang kosong menghitam.
Mukanya berubah merah seperti terbakar, tubuhnya menggigil mengeluarkan hawa getaran, hidungnya kembang-kempis dan mulutnya terbuka berkali-kali tanpa mengeluarkan suara. Tangan kanannya memegang tongkat dan tangan kirinya bergerak-gerak perlahan dengan jari-jari terbuka tertutup seperti cakar harimau hendak mencengkeram. Tiba-tiba kedua tangannya membuat gerakan berbareng yang amat aneh, tangan kiri mencengkeram ke depan dengan gerakan melengkung dari bawah ke atas miring ke kanan, sedangkan tangan kanan yang memegang tongkat membuat gerakan membabat dari kanan ke kiri, menyerong dari atas ke bawah. Gerakan yang berlawanan dari kedua tangan itu menimbulkan suara angin bersiut keras dibarengi bentakannya yang amat hebat,
"Haaiiii!!"
Hebat akibatnya. Batu besar berwarna hitam, sejenis batu gunung yang amat keras, yang tadi dia duduki, terkena serangan ini. Batu itu sama sekali tidak bergerak dan seakan-akan tangan kiri dan tongkat tadi lewat begitu saja menembus batu, sedangkan kedua kaki Kun Hong membuat gerakan ke depan, langkah ajaib.
Ketika tubuhnya menggeser lewat meninggalkan batu itu, mendadak batu itu bergoyang dan runtuh bagian atasnya, sapat di tengah-tengah seperti agar-agar teriris pisau tajam, belah menjadi dua dan bagian atas yang terkena cengkeraman tangan kiri tadi, perlahan-lahan runtuh hancur seperti tepung! Song-Bun-Kwi memandang dengan mata terbelalak dan mulut ternganga. Dia melihat betapa dari ubun-ubun kepala Kun Hong mengepul uap putih, betapa muka yang sekarang menjadi amat menyeramkan itu mengeluarkan keringat besar-besar seperti kacang kedele, dan betapa dada pemuda buta itu melembung seperti hendak meletus. Sekali lagi Kun Hong yang meraba dengan tongkatnya mendapatkan batu besar dan diserangnya seperti tadi. Sekali serang dengan gerakan aneh tadi, batu itupun hancur lebur tanpa mengeluarkan suara! Sekarang dia melangkah lagi dan mulutnya berbisik-bisik.
"Keji... keji... manusia-manusia iblis... keji...!"
Tiba-tiba Song-Bun-Kwi melayang ke depan sambil berseru,
"Kun Hong, ingat! Kau bisa mencelakakan dirimu sendiri. Ingatlah dan tekan perasaanmu...!"
Tubuh kakek itu menyambar ke depan dengan maksud hendak memegang pundak Kun Hong dan menyadarkannya. Akan tetapi alangkah kaget dan ngeri hatinya ketika tiba-tiba Kun Hong memapakinya dengan gerakan seperti tadi, tangan kiri mencengkeram dan tongkat membabat.
Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo Pedang Ular Merah Karya Kho Ping Hoo Kemelut Kerajaan Mancu Karya Kho Ping Hoo