Ceritasilat Novel Online

Pendekar Buta 9


Pendekar Buta Karya Kho Ping Hoo Bagian 9



"Uuuhhh, panas..."

   Nona itu merintih.

   "Tidak apa, Nona. Hawa panas itu kau perlukan untuk mendorong peredaran darah di tubuhmu sehingga engkau akan menjadi sembuh benar-benar."

   Hui Kauw membuka matanya, kaget melihat betapa tubuhnya bagian atas tak berbaju, apalagi melihat Kun Hong berdiri di situ dengan kepala tunduk. Ia cepat bangun dan menyambar bajunya yang berada di dekatnya, terus digunakan untuk menutupi tubuhnya.

   "Bagaimana ini... apa yang terjadi... kau kenapa berada di sini...?"

   Pertanyaan yang terputus-putus ini diajukan dengan suara gemetar. Kun Hong dapat menangkap perasaan sedih, malu dan terhina dalam suara itu, maka dia membungkuk dengan hormat, berkata,

   "Kau menderita luka-luka, aku berusaha mengobatimu, disaksikan oleh keluargamu, Nona. Sekarang kau sudah selamat, perkenankan aku keluar dari tempat ini."

   Tanpa menanti jawaban, dengan cepat Kun Hong lalu melangkah ke arah pintu, membuka daun pintu dan keluar dari situ. Ka Chong Hoatsu sendiri menyambutnya.

   "Bagaimana Kwa-Sicu, berhasilkan usahamu?"

   "Dengan berkah Thian ia dapat pulih kembali kesehatannya,"

   Jawab Kun Hong sederhana. Ching Toa-Nio lalu berlari memasuki kamar dan Kun Hong masih mendengar suaranya,

   "Aduh, kasihan anakku..."

   Kun Hong mengerutkan kening. Suara Ching Toa-Nio ini adalah suara palsu. Hemm, akan berbuat apa lagikah wanita majikan pulau ini yang sama jahat dan palsunya dengan ular-ular hijaunya yang berbisa? Bukan urusanku, pikirnya, aku harus segera pergi dari tempat ini.

   "Ki-moi, hayo kita pergi..."

   Tidak ada jawaban.

   "Di mana nona Loan Ki?"

   Tanyanya kepada Ka Chong Hoatsu. Hwesio tua itu tertawa.

   "Semua orang termasuk sahabatmu itu berkumpul di ruangan sembahyang. Mari, Kwa-Sicu, karena pada saat ini kau pun menjadi seorang tamu terhormat, kau pun dipersilahkan ikut berpesta sambil ikut merayakan pelepasan perkabungan keluarga Ching Toa-Nio."

   "Pesta apa? Sembahyangan apa?"

   Kun Hong tak mengerti.

   "Suaminya meninggal tiga setengah tahun yang lalu dan hari ini kebetulan diadakan sembahyangan lalu diadakan sedikit pesta untuk merayakan pelepasan perkabungan Ibu dan kedua anak."

   "Maaf, Lo-Suhu, aku... aku akan pergi saja. Tolong kau panggilkan nona Tan Loan Ki..."

   "Ha-ha-ha, Kwa-Sicu, apakah kau seorang yang sudah banyak merantau di dunia kangouw, tidak mau mengindahkan peraturan? Kau dianggap tamu terhormat, keluarga Ching Toa-Nio ingin menyampaikan terima kasih, dan di sini sedang dilakukan upacara sembahyangan pula. Masa kau akan pergi begitu saja?"

   Kun Hong menarik napas panjang. Memang betul juga ucapan Hwesio itu. Apalagi Loan Ki agaknya sudah berbaik dengan orang-orang itu, maka dia terpaksa mengangguk lemah.

   "Baiklah, setelah sembahyang aku akan mengajak Loan Ki segera pergi. Tak usah berpesta, makanan dan arak yang dicuri Loan Ki dari sini sudah cukup mengakibatkan heboh!"

   Hwesio itu tertawa lalu berjalan, sengaja memberatkan kakinya agar mudah diikuti oleh Kun Hong yang perjalan di belakangnya sambil meraba jalan dengan tongkatnya. Kiranya tidak jauh dari situ mereka sudah tiba di tempat yang dimaksudkan. Sebuah bangunan yang agak besar dan telinga Kun Hong menangkap suara banyak sekali orang di situ, banyak suara wanita dan agaknya orang-orang pada sIbuk bekerja, mungkin mengatur meja sembahyangan karena dia mendengar suara mangkuk-mangkuk ditaruh di atas meja dan tercium bau lilin besar dinyalakan di samping dupa harum memenuhi ruangan itu. Dia segera duduk di atas sebuah kursi yang sudah disediakan untuknya.

   Karena tempat itu ramai dengar suara orang, dia tidak dapat tahu apakah Loan Ki berada di situ ataukah tidak, untuk bertanya dia merasa kurang enak. Tentu saja dia tidak dapat melihat betapa di sudut ruangan itu Loan Ki duduk menyendiri dengan muka pucat dan sepasang mata gadis itu memandang ke arahnya dengan melotot penuh kemarahan! Dugaannya memang benar. Di tempat itu selain orang-orang kosen yang telah disebutkan tadi berkumpul, makan minum sambil tertawa-tawa di ruangan itu bagian tengah, juga di situ terdapat belasan orang pelayan wanita berpakaian serba indah sedang mengatur meja sembahyangan yang besar dan megah. Dua batang lilin naga berwarna merah dinyalakan di atas meja sembahyangan yang dihias seperti meja sembahyangan pengantin saja! Kemudian terdengar suara Ka Chong Hoatsu berkata kepadanya,

   "Kwa-Sicu, silakan kau melakukan sembahyang untuk menghormat abu jenazah mendiang suami Ching Toa-Nio."

   Pendeta itu menyerahkan beberapa batang hio (dupa batang) kepada Kun Hong. Pemuda buta ini bingung, akan tetapi merasa tidak enak untuk menolak. Penghormatan kepada abu jenazah merupakan syarat kesopanan yang tak mungkin ditolak. Dia menurut saja ketika dituntun ke depan meja sembahyang.

   "Bersembahyang di depan abu jenazah seorang yang tinggi tingkatnya, harus berlutut,"

   Ka Chong Hoatsu berbisik dan Kun Hong yang pada dasarnya berwatak sopan dan suka merendahkan diri, kali ini juga tidak membantah, lalu berlutut, menyelipkan tongkat di pinggang dan memegangi batang-batang hio itu di antara tangannya.

   Pada saat itu dia mendengar suara banyak kaki secara halus melangkah datang. Di sana sini terdengar suara wanita tertawa tertahan, kemudian dia mendengar suara orang berlutut di samping kirinya. Lalu kagetlah dia ketika dia mencium bau harum yang sudah amat dikenalnya, keharuman yang sama benar dengan ganda yang diciumnya ketika dia mengobati Hui Kauw di dalam kamar tadi. Tak dapat diragukan lagi, Hui Kauw tentu orangnya yang sekarang berlutut di sebelah kirinya! Apa artinya ini? Kenapa ia harus bersembahyang di depan abu jenazah itu berdampingan dengan Hui Kauw? Dia ragu-ragu dan menahan diri, tidak segera bersembahyang. Pada saat itu, di antara suara hiruk-pikuk para pelayan, ia mendengar suara Loan Ki, penuh ejekan, penuh kebencian.

   "Hah, yang laki buta, yang perempuan bermuka hitam. Belum pernah selama hidupku melihat sepasang pengantin begini buruk!"

   Kun Hong kaget setengah mati, tangan kirinya bergerak meraba dan... dia mendapat kenyataan bahwa Hui Kauw memakai pakaian pengantin, dengan muka berkerudung!

   "Apa artinya ini?"

   Dia berseru dan bangkit berdiri membuang hionya ke samping. Tiba-tiba sebuah tangan yang kuat menekan pundaknya, jari-jari tangan yang amat kuat itu mencengkeram jalan darahnya di pundak yang mengancam, karena begitu diremas dia akan menjadi lumpuh! Lalu terdengar bisikan suara Ka Chong Hoatsu,

   "Orang she Kwa, jangan menolak! Kau telah mencemarkan nama baik nona Giam Hui Kauw, kau malah telah mengobatinya sampai sembuh. Untuk membalas budimu, dan untuk membersihkan namanya, kau sudah dipilih menjadi suami yang sah. Nona Hui Kauw sendiri sudah setuju. Bagaimana kau dapat menolaknya?"

   Muka Kun Hong sebentar merah sebentar pucat. Dia tidak mengerti bagaimana urusan berbalik menjadi begini. Dia memang suka kepada Hui Kauw, suka dan menaruh simpati besar, juga amat berkasihan menghadapi nasib buruk nona bersuara Bidadari ini. Baru suaranya saja sudah mampu merampas rasa kasih sayangnya. Akan tetapi tentu saja dia tidak mau dijodohkan secara begini, secara paksa dan tiba-tiba. Juga, di lubuk hatinya tidak ada sedikit pun niat untuk menikah dengan wanita lain setelah dia kehilangan Cui Bi. Seorang buta seperti dia mana mampu mendatangkan kebahagiaan kepada seorang isteri?

   "Tidak... tidak...! Aku bukan boneka yang boleh kalian permainkan begitu saja! Aku seorang manusia!"

   Bantahnya, tidak perduli betapa tekanan pada pundaknya makin menghebat yang berarti Hwesio itu memperhebat pula ancamannya.

   "Orang she Kwa, kau tidak boleh menolak! Tidak ada pilihan lain bagimu, menerima dan menjadi mantu Ching Toa-Nio untuk membersihkan nama baik nona Hui Kauw yang kau cemarkan kemudian membantu semua usaha kita bersama, atau kau harus mati sekarang juga!"

   Kemudian dengan suara lebih perlahan di dekat telinga Kun Hong.

   "Bocah tolol, tak usah kau berpura-pura. Kau mencinta ia, bukan? Nah, apalagi soalnya?"

   "Tidak! Sekali lagi tidak. Tak sudi aku dijadikan begini...!"

   Kun Hong berteriak lagi dengan marah sekali, seluruh urat di tubuhnya sudah menegang untuk melakukan perlawanan. Akan tetapi terpaksa dia menahan kemarahannya karena ancaman pada jalan darah di pundaknya itu benar-benar berbahaya sekali. Tiba-tiba Hui Kauw yang berlutut di sampingnya itu terisak-isak menangis, lalu terdengar gadis itu menjerit tinggi satu kali, disusul kata-kata yang memilukan,

   "Ya Tuhan... apa dosaku sehingga kalian menghina aku begini rupa?"

   Setelah itu, cepat laksana kilat gadis ini menerjang ke kanan menyerang Ka Chong Hoatsu dengan pedangnya yang tadi ia sembunyikan di balik pakaian pengantin yang longgar. Kini kerudung kepalanya sudah dibuka dan wajahnya yang berkulit hitam itu jelas nampak agak pucat dan basah air mata. Serangan ini hebat bukan main karena Hui Kauw mempergunakan jurus daripada ilmu pedangnya yang ia rahasiakan.

   Ka Chong Hoatsu adalah seorang tokoh besar yang amat lihai, namun dia terkesiap juga menghadapi serangan luar biasa ini, yang bagaikan halilintar menyambar ke arah dadanya. Terpaksa dia melepaskan cengkeramannya pada pundak Kun Hong dan berjungkir balik ke belakang sambil mengibaskan ujung lengan bajunya yang panjang. Hampir terpental lepas pedang di tangan Hui Kauw ketika dikebut oleh ujung lengan baju ini, Akan tetapi Hui Kauw tidak menyerang terus, melainkan terisak-isak dan meloncat jauh, berlari sambil menangis lenyap dalam gerombolan pohon di hutan. Dari jauh masih terdengar suara tangisnya yang kian menghilang. Kun Hong bersyukur sekali. Dia maklum bahwa gadis itu tadi menyerang Ka Chong Hoatsu dengan maksud menolongnya terlepas daripada cengkeraman yang membuat dia tidak berdaya. Pada saat itu terdengar Loan Ki berseru.

   "Bagus, Hong-Ko. Jangan takut, aku bantu kau!"

   Dan gadis ini pun sudah meloncat ke tengah ruangan itu, di depan meja sembahyang, berdiri tegak dengan pedang di tangan di sebelah Kun Hong! Kembali Kun Hong melengak heran. Bagaimana sih gadis lincah ini? Sebentar membantunya, sebentar mencelakainya, kadang-kadang membelanya, ada kalanya mengkhianatinya. Tadi baru saja mencemooh dan dengan ucapan mengandung suara menghina telah mengejeknya, tetapi sekarang suaranya berbeda sekali ketika menyebut "Hong-Ko"

   Dan sekarang malah siap membantunya. Dia benar-benar bingung, apalagi mengingat perbuatan Hui Kauw tadi. Kenapa gadis yang sudah dapat dia kenal watak perangainya yang halus dan murni itu mau saja disuruh bersembahyang sebagai pengantin dengannya,

   Kemudian kenapa pula gadis itu menangis sedih dan malah menerjang Ka Chong Hoatsu untuk menolongnya, setelah itu malah melarikan diri? Benar-benar dia tidak mengerti akan sikap gadis-gadis ini. Akan tetapi dia juga merasa khawatir sekali. Dia maklum betapa lihainya orang-orang di pulau ini dan kepandaian Loan Ki masih jauh daripada cukup untuk menghadapi mereka. Dia sendiri pun belum tentu akan dapat menangkan mereka yang lihai-lihai itu, apalagi Ka Chong Hoatsu si Hwesio tua yang tadi mencengkeram pundaknya. Andaikata Hui Kauw tidak lari dan mau membantunya, gadis bersuara Bidadari itu memiliki kepandaian hebat dan boleh diandalkan. Tadi saja dengan sekali gebrakan, sejurus serangan gadis itu telah mampu memaksa Ka Chong Hoatsu melepaskan cengkeramannya.

   "Orang muda, kau benar-benar sombong. Orang telah memperlakukan kau dengan baik, sungguhpun kau telah menimbulkan kerIbutan. Kau dimaafkan, malah kelakuanmu yang merusak dan mencemarkan nama baik seorang gadis telah dimaafkan, sebaliknya daripada dihukum, kau malah diangkat menjadi mantu. Akan tetapi dengan sombong kau menolak, ini bukan saja merupakan penghinaan terhadap nyonya rumah, akan tetapi juga kau telah menghancurkan perasaan seorang gadis dan kau telah menghina Pinceng (aku) pula yang bertindak sebagai perantara! Dosamu bertumpuk dan sekarang Pinceng takkan sudi lagi memandang kebutaan matamu atau wajah mendiang gurumu, Yok-Mo."

   Kun Hong melangkah maju, sengaja agar Loan Ki berada di belakangnya untuk menjaga kalau Hwesio yang lihai itu mengirim serangan, jangan sampai Loan Ki menjadi korban. Kemudian dia tersenyum sinis dan menegur,

   "Lo-Suhu, kalau aku tidak salah menduga, kau adalah seorang Hwesio, pemeluk Agama Buddha yang luhur dan mulia. Lo-Suhu, lupakah kau akan ajaran-ajaran suci dalam kitab-kitab Buddha? Lupakah kau akan ayat-ayat dalam kitab misalnya Dhammapada yang mengingatkan manusia sewaktu hidup akan segala maksiat yang akan merugikan diri sendiri?"

   Sampai di sini Kun Hong lalu mendongak dan suaranya yang nyaring itu melagukan nyanyian yang merupakan doa dari kitab Agama Buddha.

   "Dia yang dapat menahan kemarahan, seperti seorang menahan kaburnya kereta, dialah patut disebut seorang kusir sejati. Kalahkan amarah dengan kasih, tundukkan kejahatan dengan kebajikan, kerakusan dengan kerelaan, dan kebohongan dengan kebenaran."

   Sampai di sini Ka Chong Hoatsu sudah tertawa bergelak sehingga Kun Hong menghentikan nyanyiannya.

   "Ha-ha-ha-ha, bocah buta masih ingusan, kau berani mengajar Pinceng tentang ayat kitab Dhammapada? Ha-ha-ha, seperti orang mengajar ikan tentang renang!"

   "Kalau perlu boleh saja, Lo-Suhu, Sungguhpun ikan pandai berenang, kadang-kadang dia akan tersesat dan tertarik oleh kemilaunya kotoran-kotoran di permukaan air sehingga tanpa disadari ikan itu akan berenang menentang arus dan menemui kehancurannya."

   "Huh, bocah she Kwa. Agaknya kau mengandalkan kepandaianmu untuk bersikap sombong dan kurang ajar di depan Pinceng. Hemm, bocah buta, Yok-Mo sendiri yang kau sebut sebagai gurumu masih tidak berani memandang rendah kepada Pinceng. Majulah dan coba perlihatkan kepandaianmu!"

   Akan tetapi Kun Hong tidak bergerak.

   "Lo-Suhu, aku tidak ingin berkelahi dengan siapa pun juga..."

   "Ha, kau jerih kepada Ka Chong Ho-atsu?"

   Hwesio itu mengejek.

   "Aku pun tidak jerih atau takut kepada siapa pun juga."

   "Kalau begitu majulah, hayo perlihatkan kepandaianmu!"

   "Lo-Suhu, aku tidak ingin berkelahi, hanya ingin supaya aku dan nona ini diperbolehkan pergi dengan aman. Kami tidak bermaksud mengganggu kalian penghuni pulau ini..."

   "Tai-Su, mengapa berdebat dengan setan kurang ajar itu? Tolong kau tangkap dia untukku, biar puas aku memberi hukuman kepadanya!"

   Kata Ching Toa-Nio dengan suara gemas.

   (lanjut ke Jilid 09)

   Pendekar Buta (Seri ke 03 - Serial Raja Pedang)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 09

   "Bocah Kwa, lihat tongkat!"

   Bentak Ka Chong Hoatsu dan Kun Hong cepat mendorong Loan Ki ke belakang agak jauh karena dia mendengar sambaran angin yang dahsyat sekali menyambar ke arahnya.

   Bukan main hebatnya serangan ini dan Kun Hong memusatkan pikiran dan perasaannya, mengumpulkan hawa murni dan tenaga dalam di tubuhnya. Dia tahu bahwa angin dahsyat itu menyembunyikan tongkat yang menyambar ke arah pinggangnya. Sengaja dia memperlambat gerakannya dan begitu tongkat itu sudah menyambar dekat, dengan pengerahan Ginkang (ilmu meringankan tubuh) dia meloncat ke atas. Tongkat itu mendesing di bawah kakinya, tak lebih dari sepuluh senti jaraknya, namun angin pukulan tongkat itu telah membuat Kun Hong seperti didorong dari bawah sehingga tubuhnya mumbul lagi belasan senti tingginya. Dia makin kagum dan maklum bahwa kali ini dia menghadapi seorang lawan yang luar biasa tangguhnya,

   Malah mungkin tidak kalah lihai kalau dibandingkan dengan lawan yang paling ampuh yang pernah dihadapinya, yaitu tiga tahun yang lalu di puncak Thai-San, si tua bangka Pak-Thian Lo-Cu, guru dari Si Tangan Maut Bouw Si Ma, orang Mancu yang sekarang hadir di sini. Kekaguman tidak hanya berada di fihak Kun Hong. Juga Ka Chong Hoatsu kagum bukan main. Cara pemuda buta itu menghadapi serangannya tadi benar-benar di luar dugaannya, dan cara ini sekaligus membingungkannya karena sama sekali bukan ilmu silat seperti yang pernah dia lihat dimainkan oleh Bu Beng Cu. Memang, Kun Hong tadi tidak menggunakan Kim-Tiauw-Kun dalam menghadapi penyerangan ini, melainkan mempergunakan sebuah jurus pertahanan dari Ilmu Silat Im-Yang Kun-Hoat yang dia terima dari Si Raja Pedang Tan Beng San. Jurus tadi lewat cepat sekali seperti menyambarnya halilintar.

   Kini Kun Hong sudah berdiri tegak, kaki kanan ditekuk dengan ujung berdiri dan tumit menempel di kaki kiri, tangan kanan yang memegang tongkat ditaruh di depan dada dan tongkatnya tegak lurus ke atas menempel ujung hidung, tangan kiri dengan jari-jari terbuka lurus ke depan seperti menunjuk, seluruh tubuh tak bergerak, semua urat dalam tubuh menegap segenap perhatian dicurahkan ke depan dan sekelilingnya dalam sikap menjaga diri. Ka Chong Hoatsu juga memasang kuda-kuda, akan tetapi dia meragu, tidak segera menjatuhkan serangannya. Betapapun juga, dia masih sungkan untuk menyerang secara sungguh-sungguh. Dia adalah seorang yang memiliki kedudukan besar dan dipandang tinggi di Utara, sejajar dengan Pak-Thian Lo-Cu, hanya kalau Pak-Thian Lo-Cu menganut aliran Agama To adalah dia merupakan wakil dari golongan Buddha.

   Sudah jauh dia merantau, bahkan belasan tahun dia berada di India. Semenjak pulang dari India, dia makin dipandang dan merupakan orang yang paling berkuasa di samping kepala suku di antara bangsanya, yaitu Bangsa Mongol yang sudah kalah perang dan kehilangan kedudukan itu. Malah dia merupakan orang yang dipilih untuk mendidik Pangeran Souw Bu Lai yang dipandang menjadi seorang bangsawan yang mempunyai harapan untuk merampas kembali Kerajaan yang hilang. Kedudukannya demikian besar dan tinggi, masa sekarang dia harus menggunakan kepandaiannya untuk bertempur sungguh-sungguh melawan seorang pemuda yang usianya dua puluh lima tahun paling banyak, yang buta kedua matanya lagi?

   Inilah yang membuat Ka Chong Hoatsu ragu-ragu karena dalam pertempuran ini, kalau dia menang takkan berarti apa-apa akan tetapi kalau sampai kalah namanya akan hancur luluh sekaligus! Dan dia pun maklum bahwa pemuda buta ini benar-benar memiliki simpanan rahasia ilmu yang tak boleh dipandang ringan. Kedua jagoan ini sudah saling berhadapan memasang kuda-kuda, seperti dua buah patung tak bergerak sama sekali. Ka Chong Hoatsu biarpun sudah tua namun tubuhnya tinggi besar dan kuda-kudanya gagah, kedua kaki terpentang, tubuh agak direndahkan, tongkat yang panjang dan berat itu melintang di depan dada, kedudukannya membayangkan tenaga yang dahsyat sekali. Kun Hong sebaliknya tenang, namun kokoh kuat seperti batu karang menghadapi serbuan ombak samudera.

   "Bun-Taihiap dari Kun-Lun-Pai yang terhormat telah tiba untuk bertemu dengan Toa-Nio...!!"

   Terdengar seruan wanita penjaga dari jauh. Belum lenyap gema suara itu, berkelebat bayangan putih dan bagaikan sehelai daun kering tertiup angin, melayanglah turun seorang pemuda yang berwajah tampan dan gagah sekali, berpakaian serba putih dan di punggungnya tergantung sebatang pedang yang tertutup sarung pedang terukir indah. Begitu tiba di situ pemuda ini melihat keadaan Ka Chong Hoatsu, memandang heran lalu mengerling ke arah Kun Hong yang buta.

   "Ah, kiranya Ka Chong Hoatsu sedang memberi pelajaran, sungguh kebetulan kedatanganku!"

   Kata pemuda itu. Ka Chong Hoatsu sudah dari tadi membatalkan serangannya, lalu dia mengetukkan tongkatnya di atas tanah dan tertawa bergelak.

   "Sungguh tak tahu malu Pinceng yang sudah tua bangka mau melayani seorang bocah buta, menjadikan buah tertawaan Bun-Sicu dari Kun-Lun-Pai saja. Ha-ha-ha!"

   Akan tetapi pemuda baju putih itu tidak memperhatikan Ka Chong Hoatsu karena pada saat itu dia sedang memandang ke arah Kun Hong dengan bengong, malah dia segera melangkah mendekati dan mengamat-amati wajah Kun Hong dengan pandang mata penuh selidik. Suaranya berubah ketika dia bertanya.

   "Ka Chong Hoatsu, mau apakah dia datang ke sini dan mengapa hendak bertempur melawanmu?"

   Ka Chong Hoatsu tertawa lagi. Dia pernah beberapa kali datang ke Kun-Lun-San dan dia mengenal pemuda Kun-Lun yang lihai ini, yang selalu bersikap terbuka dan bersahaja terhadapnya, tidak menjilat-jilat akan tetapi amat jujur.

   "Ha-ha, Bun-Sicu, sebetulnya Pinceng malu karena harus turun tangan terhadap seorang bocah buta. Tapi dia ini memang menjemukan, bermain gila dengan nona Hui Kauw..."

   Pemuda baju putih itu mengeluarkan suara mendengus penuh, ejekan.

   "Hemm, kiranya setelah kedua matamu buta, Kwa Kung Hong masih sama saja merupakan seorang pemuda hidung belang yang suka merayu dan menundukkan hati wanita. Lucu sekali! Kwa Kun Hong, apakah kau tidak kenal padaku?"

   Tentu saja Kun Hong mengenalnya. Biarpun dahulu belum mendapat kesempatan untuk berkenalan secara mendalam, namun mana bisa dia melupakan pemuda putera Ketua Kun-Lun-Pai yang dahulu menjadi tunangan dari kekasihnya, Tan Cui Bi (baca Rajawali Emas)? Dia tahu bahwa pemuda ini adalah Bun Wan, putera dari Ketua Kun-Lun-Pai yang biarpun dahulu terus pulang dengan marah bersama Ayahnya dari puncak Thai-San, dan tidak menjadi saksi atas peristiwa mengerikan yang mengakibatkan kematian Cui Bi dan kebutaan matanya (baca Rajawali Emas), namun agaknya pemuda ini sudah mendengar tentang kebutaannya. Dia menjura dengan hormat, mengangkat kedua tangan yang memegang gagang tongkat ke depan dada.

   "Tentu saja aku ingat dan mengenal suara Bun-Enghiong dari Kun-Lun-Pai. Tapi sayang sekali semenjak bertahun-tahun ini pandanganmu masih sesempit dahulu, terutama dalam menilai watak seseorang. Sayang..."

   Kembali Bun Wan, pemuda itu mendengus mencemooh atas ucapan ini. Kemudian dia menoleh ke arah Ching Toa-Nio dan berkata,

   "Toa-Nio, karena aku telah datang di sini, kuharap Toa-Nio suka mengampuni dia dan membebaskannya. Harap Toa-Nio ketahui bahwa antara Ayahnya dan Ayahku ada hubungan persahabatan di waktu muda, oleh karena itu amatlah tidak enak kalau dia ini menerima hukuman di mana aku hadir. Tentu Ayah akan menegurku."

   Ching Toa-Nio menggerutu,

   "Dia ini terlalu kurang ajar, terlalu menghina kami, mana bisa aku memberi ampun?"

   Akan tetapi Ka Chong Hoatsu segera berkata,

   "Ching Toa-Nio, biarlah, melihat muka Bun-Sicu yang terhormat, biarlah kita mengampuninya dan membiarkan si buta ini pergi dari pulau. Apalagi mengingat akan nama besar Ciang-Bunjin dari Kun-Lun-Pai, Ayah Bun-Sicu yang kita hormati."

   Melihat kesempatan baik ini, Loan Ki segera menggandeng tangan Kun Hong dan berkata,

   "Hayo, Hong-Ko, kita pergi dari tempat terkutuk ini!"

   Ia lalu menarik tangan Kun Hong dari situ sambil menjebirkan Bibir dan melerok ke sana ke mari kepada orang-orang yang berada di situ!

   "He-he, bocah nakal. Kau tidak boleh pergi! Masih ada urusan yang akan Pinceng bicarakan denganmu sebagai wakil Ayahmu, urusan penting sekali. Si buta ini boleh pergi sekarang juga, tapi kau tidak. Kembalilah!"

   Kata Ka Chong Hoat-su. Mendengar ini Ching Toa-Nio tersenyum dan tahulah ia sekarang mengapa Hwesio yang menjadi tamu agung dan orang andalannya ini tadi membiarkan Kun Hong dibebaskan. Kiranya Hwesio itu bermaksud supaya si buta itu mencari jalan ke luar dari pulau itu seorang diri dan hal ini terang tak mungkin dan akhirnya tentu akan membuat pemuda buta itu terjeblos ke dalam perangkap-perangkap rahasia dan takkan terlepas daripada hukuman dan pembalasannya juga!

   "Betul, Nona. Kau tidak boleh pergi dulu setelah menjadi tamu kami. Kami hendak mengadakan hubungan dengan Ayahmu melalui kau!"

   Katanya. Loan Ki memutar otaknya. Ia maklum bahwa jumlah lawan yang banyak ini amat sukar dilawan, biar oleh Kun Hong sekali pun. Ia melepaskan tangan Kun Hong dan berjalan dengan langkah lebar ke dekat Ka Chong Hoatsu, langsung ia menegur,

   "Hwesio tua, kau benar-benar mau mempermainkan aku seorang bocah perempuan? Aku tidak suka berada di sini, dekat kalian ini, dan aku mau pergi sekarang juga. Kalau nonamu ini mau pergi, siapa yang sanggup melarang? Aku berani bertaruh, kalau aku sungguh-sungguh menghendaki pergi, tongkatmu yang panjang dan tiada gunanya ini takkan mampu menghalangiku, Hwesio tua!"

   Ka Chong Hoatsu tertawa, juga orang-orang yang berada di situ tertawa mengejek mendengar kata-kata itu. Sebaliknya Kun Hong diam-diam mengeluh. Benar-benar Loan Ki adalah seorang bocah yang tidak genah (normal) pikirnya, tidak mengerti tingginya langit dalamnya lautan. Sudah jelas bahwa tingkat kepandaiannya masih kepalang tanggung, matang tidak mentah pun tidak, dibandingkan dengan kepandaian Ka Chong Hoatsu masih tertinggal jauh sekali. Bagaimana sekarang berani mengucapkan tantangan yang begitu menggelikan? Seperti katak dalam tempurung!

   "Ha-ha-ha-ha, Pinceng kagum akan ketabahannmu, Nona cilik. Betulkan tongkat Pinceng yang butut ini tidak akan mampu menghalangi kau pergi?"

   "Tentu saja tidak mampu. Berani aku bertaruh! Kau boleh jadi lebih kuat dan lebih matang ilmu silatmu dibandingkan dengan aku karena kau sudah tua, akan tetapi aku menang muda dan aku lebih cepat daripadamu. Kalau aku lari cepat, mana kau mampu mengejarku?"

   Kembali ucapan ini menggelikan dan Ka Chong Hoatsu juga tertawa bergelak. Dia merasa malu untuk berdebat dengan seorang bocah, apalagi dalam soal kepandaian silat, maka biarpun hatinya mendongkol, dirinya tertawa dan diam-diam ingin mengalahkan bocah ini biar kapok dan tidak membuka mulut besar.

   "Tentu saja, Pinceng sudah tua mana dapat lari cepat? Akan tetapi, agaknya kau ini seorang bocah perempuan cilik, juga tidak akan dapat melangkah lebar seperti Pinceng, ha-ha-ha!"

   "Eh, Hwesio tua, jangan pandang rendah padaku, ya? Berani kau bertaruh dengan aku berlomba lari cepat? Mana kau berani. Huh, kau hanya berani menghina bocah perempuan mengandalkan kepandaian dan usia tua. Hayo, kalau kau berani berlomba lari cepat, biar kita bertaruh. Kalau kau kalah, kau dan semua orang ini tidak boleh menghalangi aku pergi dari pulau ini, kalau aku yang kalah, terserah kepadamu. Berani tidak?"

   Sekali lagi Kun Hong mengeluh. Kenapa Loan Ki begitu goblok? Kalau tadi tak usah banyak cakap, tetap berada di dekatnya, tentu dia kan dapat melindungi nona cilik nakal itu. Sekarang nona itu malah, mencari penyakit sendiri. Mana mungkin menang berlomba lari cepat melawan Hwesio yang sakti itu?

   "Ha-ha-ha, kau lucu sekali, Nona cilik. Masa orang tua diajak balap lari. Tapi biarlah, kalau tidak dituruti kehendakmu, khawatir kau akan rewel dan ngambek, bisa gagal maksud Pinceng menghubungi Ayahmu. Ha-ha-ha!"

   "Bagus, kau lihat bunga Bwee yang tumbuh di sana itu?"

   Ka Chong Hoatsu mengangguk sambil tersenyum. Pohon bunga Bwee itu tumbuh di sebelah kiri bangunan, kurang lebih dua ratus meter jaraknya dari situ. Bagi kakek ini, beberapa belas kali lompatan saja di sudah akan sampai di sana!

   "Nah, kita berlomba lari cepat sampai di tempat itu. Siapa yang dapat memegang bunga Bwee itu lebih dulu, dia menang. Setuju?"

   "Ha-ha-ha setuju, setuju!"

   Jawab Hwesio tua.

   "Nah, kau bersiaplah, Hwesio. Aku akan menghitung sampai tiga, sebelum hitungan sampai tiga kau tidak boleh mulai lari. Jangan curang!"

   "Ha-ha-ha, boleh... boleh..."

   Jawab Ka Chong Hoatsu, gembira juga menyaksikan permainan kanak-kanak ini. Akan tetapi Loan Ki tidak segera menghitung, melainkan berdiri sambil mengerutkan keningnya yang bagus.

   "Hayo lekas mulai!"

   Tegur Ka Chong Hoatsu. Loan Ki menggeleng kepalanya.

   
Pendekar Buta Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Percuma... aku masih belum percaya benar kepadamu, jangan-jangan setelah kalah kau masih curang dan menjilati janji sendiri. Kau benar-benar berjanji akan membebaskan kami berdua tanpa mengganggu pula kalau kalah balapan lari denganku?"

   Ka Chong Hoatsu memandang dengan mata melotot besar.

   "Bocah kurang ajar, Pinceng Ka Chong Hoatsu mana sudi menjilat ludah sendiri? Hayo mulai!"

   "Orang gagah lebih baik mati daripada menjilat ludah sendiri tidak menepati janji. He, Ka Chong Hoatsu, kau berjanji akan membebaskan kami dan membiarkan kami pergi dari pulau ini kalau kau kalah balapan lari dengan aku?"

   "Pinceng berjanji, gadis liar!"

   Loan Ki tersenyum, manis sekali.

   "Dan kau berjanji takkan berlaku curang dalam balapan lari ini, tidak akan mulai lari sebelum aku menghitung sampai tiga?"

   "Setan cilik, siapa sudi bermain curang? Tak usah bermain curang, lebih baik Pinceng takkan lari selamanya kalau kalah cepat lariku daripada larimu. Hayo mulai!"

   "Betulkah itu? Hi-hik, coba kita lihat dan saksikan bersama."

   Gadis ini memasang kuda-kuda, siap untuk balapan lari, seperti orang hendak merangkak, berdiri dengan kaki dan tangan di atas tanah, tubuh belakangnya sengaja ditonjolkan ke atas sehingga ia nampak lucu sekali.

   "Ha-ha-ha, kau seperti seekor kuda betina tanpa ekor!"

   Ka Chong Hoatsu tertawa geli. Loan Ki tidak perduli, malah bicara dengan nyaring kepada semua orang yang berada di situ,

   "Kalian semua mendengar janji Hwesio tua bangka ini! Sebelum aku menghitung sampai tiga, dia tidak boleh mulai lari!"

   Kemudian ia mulai menghitung dengan suara lantang,

   "Satu..."

   Suasana menjadi tegang dan sunyi karena biarpun semua orang yakin bahwa gadis itu akan kalah, namun menyaksikan sikap bersungguh-sungguh dari Loan Ki, mereka menduga-duga dengan ilmu apakah gadis ini akan menghadapi kecepatan Ka Chong Hoatsu. Juga Hwesio itu yang tadinya menganggap ringan dan sudah merasa yakin akan menang, melihat sikap ini dan mendengar suara aba-aba, menjadi tegang juga dan tanpa disadarinya dia sendiri pun telah siap memasang kuda-kuda untuk segera "Tancap gas"

   Kalau hitungan itu sudah sampai tiga.

   "Dua..."

   Urat-urat di tubuh Ka Chong Hoatsu makin menegang, tumitnya sudah diangkat untuk segera melompat. Akan tetapi hitungan "Tiga"

   Tidak keluar-keluar dari mulut Loan Ki, malah sekarang gadis itu berdiri dan berjalan cepat ke depan tanpa melanjutkan hitungannya. Semua orang terheran, juga Ka Chong Hoatsu yang mengira gadis itu tentu akan mengatur sesuatu maka berjalan ke depan ke arah bunga Bwee itu. Akan tetapi setelah berada dekat sekali, kurang lebih dua meter dari pohon bunga Bwee itu, tiba-tiba Loan Ki berteriak nyaring sekali,

   "Tiga...!!"

   Dan ia pun berlari maju memegang kembang itu sambil tertawa-tawa dan bersorak-sorak "Aku menang...! Hi-hik Hwesio tua, kau kalah!"

   Ka Chong Hoatsu melengak. Tentu saja tadi dia tidak sudi lari, karena kalau lari pun tak mungkin dapat menangkan Loan Ki yang sudah berada di dekat pohon itu, tinggal mengulur tangan saja. Dari heran dia menjadi marah sekali.

   "Gadis liar! Kau curang! Mana ada aturan begitu?"

   Bentaknya. Loan Ki meloncat dengan gerakan ringan cepat sekali, tahu-tahu ia sudah berada di depan Ka Chong Hoatsu, menudingkan telunjuknya dengan marah.

   "Ka Chong Hoatsu, kau seorang Hwesio tua, seorang yang namanya sudah terkenal di seluruh kolong langit, apakah hari ini kau hendak menjilat ludah sendiri dan berlaku curang? Ingat baik-baik bagaimana janji kita tadi. Bukankah kau sudah setuju dan berjanji takkan lari sebelum aku menghitung sampai tiga? Perjanjian menunggu sampai hitungan ke tiga ini tadi hanya dikenakan kepadamu, tidak kepadaku. Siapa yang berjanji bahwa aku juga harus menanti sampai hitungan ke tiga? Aku tidak melanggar janji siapa-siapa, aku tidak curang, dan kau sudah kalah, kalah mutlak. Coba katakan apa kau berani melanggar janjimu sendiri?"

   Ka Chong Hoatsu terkesima, tak dapat bicara untuk beberapa lama. Kemudian dia membanting-banting tongkatnya sehingga tanah yang bercampur batu di depannya menjadi bolong-bolong seperti agar-agar ditusuki biting saja.

   "Bocah liar, kau memang menang, akan tetapi bukan menang karena kecepatan berlari, melainkan menang karena akal bulus!"

   Loan Ki tersenyum manis dan menjura sampai dahinya hampir menyentuh tanah.

   "Terima kasih, Ka Chong Hoatsu Hwesio tua yang manis! Kau telah menyatakan sendiri sekarang bahwa aku menang. Nah, memang aku menang dalam balapan ini dan karenanya juga aku menang dalam taruhan, bukan? Soal menang menggunakan akal bulus atau akal udang, itu sih tidak diadakan larangan dalam perjanjian tadi. Nah, selamat tinggal, Hoatsu."

   Dengan langkah manja gadis ini lalu berjalan menghampiri Kun Hong. Tiba-tiba ia mendengar angin berdesir di belakangnya. Cepat ia menengok dan membalikkan tubuh, siap menanti penyerangan gelap. Akan tetapi tidak ada apa-apa dan ia melihat Ka Chong Hoatsu berdiri sambil tertawa bergelak. Ia memandang ke kanan kiri, semua orang yang berada di situ tertawa belaka. Loan Ki mengangkat kedua pundaknya dan membalikkan tubuh lagi terus berjalan menghampiri Kun Hong, menggandeng lengan pemuda buta itu dan berbisik,

   "Mari kita pergi, Hong-Ko."

   Ditariknya pemuda itu.

   "Ki-moi, kau tadi dipermainkan Ka Chong Hoatsu, buntalanmu di punggung apakah masih ada?"

   Bisik Kun Hong. Loan Ki terkejut, cepat meraba punggung dan... ternyata Mahkota kuno yang berada di buntalan itu telah lenyap! Ia cepat membalikkan tubuhnya memandang. Eh, kiranya Mahkota itu kini sudah berada di tangan kiri Ka Chong Hoatsu yang masih tertawa-tawa.

   "Hwesio tua, kau curi benda itu dari buntalanku, Ya?"

   Loan Ki membentak sambil melotot. Ka Chong Hoatsu makin gembira tertawa.

   "Ha-ha-ha, Pinceng takkan melanggar janji nona cilik, tapi perlu membuktikan bahwa Pinceng jauh lebih cepat daripadamu, sehingga benda ini kuambil tanpa kau dapat tahu atau merasa. Ke dua kalinya, benda ini kami tahan di sini sebagai undangan kepada Ayahmu."

   "Bagus! Ayah pasti akan datang untuk merampasnya dari tanganmu, Hwesio sombong!"

   Setelah berkata demikian, Loan Ki memperlihatkan muka marah dan menarik Kun Hong pergi dari situ, menuju ke pantai yang kini sudah ia ketahui jalannya. Setelah pergi jauh dan tidak terdengar lagi suara mereka di belakang, Loan Ki berkata lirih,

   "Hayaaaa, sungguh berbahaya! Baiknya aku mendapat akal dan bisa menang berlomba lari"

   "Kau memang cerdik, nakal dan... aneh..."

   Kata Kun Hong.

   "Kalau tidak menggunakan kecerdikan, mana bisa kita ke luar dari tempat ini? He, Hong-Ko, kau sudah kenal pemuda baju putih yang gagah tadi? Wah, dia kelihatan lihai sekali, ya? Dan dia telah menolongmu."

   Kun Hong tersenyum. Terbayang dalam benaknya wajah Bun Wan yang memang gagah, dan terbayang pula wajah Cui Bi, maka bangkitlah perasaan bangga dan terharu, juga sedih. Cui Bi sudah mempunyai tunangan segagah Bun Wan, kenapa memberatkan dia? Padahal wajah dan bentuk tubuh Bun Wan benar-benar dapat menjatuhkan hati setiap orang wanita, dan buktinya Loan Ki gadis lincah yang berhati angkuh ini sekali berjumpa terus memuji-muji.

   "Dia putera tunggal Ketua Kun-Lun-Pai, tentu saja gagah dan lihai."

   Hening sejenak. Kun Hong heran, merasa betapa gadis di sebelahnya yang menggandeng tangannya ini agaknya berpikir dan menimbang-nimbang, entah apa yang dipikirkannya.

   "Tapi aku tidak suka kepadanya, Hong-Ko,"

   Katanya tiba-tiba.

   "Heee? Apa maksudmu? Kenapa tidak suka?"

   Tanya Kun Hong heran karena pertanyaan yang tiba-tiba itu memang tak diduganya sama sekali, tadi memuji sekarang tidak suka. Bagaimana ini?

   "Aku malah benci padanya! Dia tadi datang-datang memakimu sebagai seorang pemuda hidung belang yang suka merayu hati wanita. Sungguhpun pernyataan itu memang betul!"

   "Eh, kau juga menganggap aku begitu? Tidak betul itu..."

   "Sudahlah, kau memang hidung belang! Jangan bantah lagi. Kulihat tadi gadis cantik jelita puteri Ching Toa-Nio main mata dengan orang she Bun dari Kun-Lun-pai itu. Hemmm, memang cantik jelita sekali Hui Siang itu, Hong-Ko, cantik seperti Bidadari. Heran aku mengapa kau tidak jatuh hati kepadanya, sebaliknya malah tergila-gila kepada Hui Kauw yang buruk rupa."

   Kun Hong menarik napas panjang.

   "Aku tidak tergila-gila kepada siapa pun juga, Ki-moi... kau tidak tahu..."

   Tiba-tiba Loan Ki berhenti melangkah dan Kun Hong juga terkejut ketika mendengar suara mendesis-desis, dan mencium bau yang amis. Ular! Banyak sekali ular menggeleser datang dari empat penjuru dan sebentar saja mereka terkurung ular yang amat banyak.

   "Heeeiii, Ka Chong Hoatsu, tua bangka bau! Apakah kau begini tak tahu malu untuk melanggar janjimu sendiri?"

   Loan Ki berteriak nyaring ke arah belakang. Tidak terdengar jawaban dari belakang, akan tetapi dari depan sana terdengar lapat-lapat suara wanita tertawa disusul kata-kata mengejek,

   "Ular-ular bukan manusia, tidak termasuk dalam perjanjian. Yang ingin meninggalkan Ching-Coa-To harus dapat melalui barisan ular hijau."

   Biarpun hanya lapat-lapat, jelas bahwa itu adalah suara Hui Siang gadis cantik jelita yang galak itu.

   "Hui Siang budak genit!"

   Loan Ki berteriak marah.

   "Kau kira kami tidak mampu membubarkan barisan anak-anakmu yang sial ini?"

   Kun Hong sudah siap dengan tongkatnya untuk menghajar setiap ular yang berani mendekat. Akan tetapi Loan Ki menggandeng tangannya diajak maju terus.

   "Hati-hati,"

   Bisik Kun Hong.

   "Siapkan senjatamu. Wah, sayang sekali Mahkota kuno itu dirampas oleh Ka Chong Hoatsu."

   Loan Ki mengikik tertawa.

   "Kau kira aku begitu bodoh? Hayo maju terus, Hong-Ko, jangan takut ular-ular itu. Mainan kanak-kanak!"

   Ia menyombong dan menarik tangan Kun Hong untuk maju terus. Kun Hong merasa heran dan kaget ketika mendengar betapa barisan ular itu menyimpang di kala mereka lewat, seakan-akan binatang-binatang itu takut kepada mereka.

   "Eh, bagaimana ini... Ki-moi, kenapa ular-ular itu..."

   Tiba-tiba dia tersenyum.

   "Ha, kau benar-benar bocah nakal dan cerdik. Tentu mutiara-mutiara mustika itu kau ambil dari Mahkota."

   "Hussh, diam saja, Hong-Ko. Kau biarpun buta memang cerdik. Mari kita maju terus, itu pantai sudah tampak dari sini."

   Dari jauh Loan Ki melihat bayangan Hui Siang berkelebat cepat disusul suara kecewa nona cantik itu yang agaknya terheran-heran dan kecewa melihat mereka berdua ternyata dapat lolos dari kurungan barisan ular secara mudah. Sementara itu, Kun Hong dan Loan Ki sudah tiba di pinggir telaga. Di situ tidak ada perahu, akan tetapi Loan Ki cerdik tidak menjadi bingung. Dengan pedangnya ia menebang pohon besar dua batang, mengikat dua batang pohon menjadi satu dijadikan rakit atau perahu. Dengan kepandaian dan tenaga mereka mudah saja mereka akan menggunakan perahu istimewa ini dan mendayungnya ke pantai seberang. Sebentar saja mereka telah menurunkan perahu ke dalam air, Kun Hong duduk di depan sedangkan gadis itu di belakang. Keduanya sudah memegang sebuah dayung terbuat daripada cabang pohon yang besar dan kuat.

   "Ahooi...! Orang-orang Ching-Coa-To...!"

   Loan Ki mengeluarkan suaranya sebelum perahu itu didayung ke tengah.

   "Aku sudah menerima penyambutan di Ching-Coa-To, kalau kalian memang ada nyali, lain waktu kunanti kunjungan balasan kalian di Pek-Tiok-Lim pantai Pohai."

   Namun tidak ada jawaban. Loan Ki mendayung perahunya ke tengah menuju ke pantai yang tampak di seberang sana. Ia tersenyum-senyum dan kelihatan gembira sekali. Ditepuknya pundak Kun Hong.

   "He, Hong-Ko, kenapa kau diam saja? Hayo nyanyi lagi seperti ketika kita berangkat."

   Melihat betapa Kun Hong tersenyum pahit, gadis itu mengerutkan keningnya dan mengejek,

   "Aha, agaknya hatimu tertinggal di pulau itu, ya? Waah, memang kasihan Hui Kauw, dia amat mencintamu, Hong-Ko!"

   Ucapan ini mendebarkan jantung Kun Hong.

   "Ki-moi, kau terlalu mudah menuduh orang. Siapa sudi mencinta seorang tak bermata? Ki-moi, bagaimana kau bisa bilang begitu?"

   "Eh, siapa bohong? Kalau ia tidak mencintamu, tak mungkin ia sudi menjalani upacara pernikahan denganmu"

   Kun Hong makin tertarik, karena memang hal yang amat aneh baginya itu sangat membingungkan.

   "Loan Ki moi-moi yang baik, kalau kau tahu akan persoalan itu, kau ceritakanlah kepadaku. Sampai sekarang aku benar-benar masih bingung sekali, tidak mengerti mengapa tiba-tiba mereka hendak mengawinkan aku dan mengapa pula ia tadinya suka melakukan upacara itu."

   Loan Ki tertawa.

   "Semua gara-gara Ka Chong Hoatsu itulah. Karena tadinya aku dianggap oleh mereka "Orang sendiri"

   Maka aku boleh mendengarkan semua perundingan mereka, hi-hik. Setelah kau menyembuhkan Hui Kauw, Ibunya itu mendatangi Hui Kauw dan membujuknya supaya suka menikah denganmu. Ibunya, si Toa-Nio yang jahat itu mengatakan kepada Hui Kauw bahwa kau juga sudah setuju menjadi suaminya, bahwa pernikahan itu sudah seharusnya karena perhubungan kau dengan Hui Kauw sudah menjadi buah Bibir para pelayan dan kalau sampai bocor ke luar tentu akan mencemarkan nama Hui Kauw. Pula bahwa kau sudah menyembuhkan luka-lukanya dengan cara yang sebetulnya tak boleh dilakukan orang lain, yaitu menelanjangi tubuh bagian atas. Akhirnya Hui Kauw setuju. Biarpun ia tidak bilang apa-apa, buktinya ia tidak menolak ketika dirias seperti pengantin. Hi-hik aku geli dan juga muak melihat semua itu. Benar-benar tak tahu malu!"

   Kun Hong mengerutkan keningnya. Dia merasa amat berkasihan kepada Hui Kauw si nona bersuara Bidadari itu. Kini dia dapat menerka apa yang telah terjadi, dapat menyelami perasaan nona itu dan dapat menduga betapa hancur hatinya. Sebelumnya dia sudah mendengar percakapan antara Hui Kauw dengan Ibunya yang hendak memaksa anaknya itu berjodoh dengan Pangeran Mongol dan hal ini ditolak tegas oleh Hui Kauw. Lalu terjadi kehebohan fitnah ketika dia muncul, disusul dengan terluka dan hampir tewasnya nona itu dan akhirnya pengobatan yang dia lakukan. Agaknya karena keadaan amat terdesak Hui Kauw menerima saja keputusan dijodohkan dengan dia, ataukah di sana lain dasar? Cinta kasih?

   Tak mungkin! Mungkinkah kalau seorang gadis Bidadari seperti Hui Kauw sampi jatuh cinta kepada seorang buta macam dia? Tak mungkin, bantah hatinya. Betapapun juga, karena dia tidak menyangka akan hal-hal ini sebelumnya, ketika mengetahui bahwa dia sedang melakukan sembahyangan pengantin, dia telah menolaknya. Tentu saja, dia dapat membayangkan ini dengan hati perih, tentu saja Hui Kauw amat tersinggung, bahkan terhina oleh penolakannya itu. Gadis itu menjalani upacara hanya karena terhasut, dibohongi mengira bahwa dia pun sudah setuju. Siapa tahu gadis itu mendengar betapa dia menolaknya. Seorang gadis ditolak oleh mempelai pria! Alangkah hebat penderitaan batin gadis itu. Dapatkah gadis itu memaafkannya? Mungkinkah ada maaf untuk penghinaan sehebat itu?

   "Tak mungkin!"

   Kini jawaban hati Kun Hong disertai suara Bibirnya yang bergerak.

   "Apa yang tak mungkin, Hong-Ko?"

   Loan Ki bertanya. Kun Hong kaget dan baru sadar bahwa dia terlalu dalam tenggelam dalam lamunannya.

   "Tidak apa-apa, Ki-moi. Aku hanya merasa heran akan sikapmu ketika berada di pulau. Ketika aku menghadapi mereka kenapa kau malah merobohkan aku dengan totokan? Mengapa kau menyerangku secara menggelap? Bukankah perbuatan itu aneh sekali, Ki-moi?"

   Gadis itu cemberut.

   "Aneh apa? Habis melihat kau mati-matian melindungi dan membela Hui Kauw, siapa orangnya tidak menjadi dongkol hatinya!"

   Kun Hong makin heran. Mungkinkah gadis lincah ini timbul rasa cemburu dan iri hati terhadap Hui Kauw? Heran, tanpa adanya cinta mana bisa timbul cemburu dan iri hati? Apakah gadis ini... cinta kepadanya? Kun Hong menggeleng kepala keras-keras. Tak mungkin lagi ini!

   "Ki-moi, kau benar-benar orang aneh. Mula-mula kau menotokku roboh, di lain detik kau malah membelaku ketika Ching Toa-Nio hendak menghabisi nyawaku, kemudian kau bersekutu dengan mereka, membiarkan aku dijadikan bahan permainan dan disuruh sembahyang. Kau diam saja malah mentertawakan."

   "Tentu saja. Biar mendongkol aku belum ingin melihat kau mampus. Tapi kau... kau kembali membela Hui Kauw mati-matian. Kau mencinta Hui Kauw seperti juga kau cinta Lauw Swat-ji si gadis genit puteri Hui-Houw-Pangcu itu dan seperti kau cinta si janda muda. Cih, orang mata keranjang macammu mana patut dibantu?"

   "Hemmm, lidahmu tajam sekali, adik Loan Ki. Akan tetapi kenapa kau tadi kembali membantu aku secara tiba-tiba dan mengajakku ke luar dari pulau itu?"

   Suara Loan Ki terdengar kaku membayangkan kemengkalan hatinya,

   "Habis, kau tidak suka menikah dengan Hui Kauw, masa yang begini saja kau tanya?"

   Makin heranlah Kun Hong. Mendengar ini semua, jawabannya hanya satu, yaitu bahwa gadis ini cinta kepadanya. Akan tetapi sikapnya sama sekali bukan seperti orang mencinta.

   "Kau melongo seperti orang bingung. Benar-benar bodoh sekali. Masa yang begini saja tidak mengerti, Hong-Ko? Kalau kau tergila-gila kepada seorang gadis masa aku harus berbaik kepadamu? Tidak sudi!"

   "Ki-moi..."

   Suara Kun Hong agak gemetar karena dia amat khawatir kalau-kalau dugaannya betul, bahwa gadis ini cinta kepadanya.

   "Tentang hal itu... andaikata aku tergila-gila kepada seorang gadis lain, ada sangkutan apakah dengan dirimu?"

   "Sangkutan apa? Tentu saja aku tidak ada sangkut paut apa-apa! Akan tetapi, di depanku kau tidak semestinya tergila-gila kepada lain gadis, hemmm... pendeknya aku tidak suka, dan habis perkara!"

   Kun Hong makin tidak mengerti. Gadis aneh. Akan tetapi lega juga dia karena didengar dari ucapan ini, agaknya dugaannya tidak betul, bahwa gadis ini tak mungkin jatuh cinta kepadanya.

   "Sudah sampaikah ke tepi daratan, Ki-moi?"

   Perahu batang pohon itu berhenti, menabrak karang.

   "Sudah, mari kita melompat!"

   Dengan menggandeng tangan Kun Hong, Loan Ki mengajak pemuda itu melompat ke depan dan benar saja, mereka telah tiba di daratan. Tapi begitu mendarat, serta merta Loan Ki menangis tersedu-sedu sambil mendeprok di atas tanah, menutupi mukanya dengan saputangan, Kun Hong heran dan kaget sekali,

   "Eh... kenapa kau menangis?"

   Sampai lama Loan Ki tak dapat menjawab karena isak tangisnya membuat ia tak dapat berkata-kata. Kun Hong terpaksa berlutut di depannya dan berkali kali mengajukan pertanyaan dengan hati cemas.

   "Kau kenapakah? Sakitkah kau?"

   Dipegangnya nadi lengan gadis itu, ternyata tidak ada gangguan kesehatannya.

   "Kau tidak apa-apa, kenapa menangis?"

   "Tidak apa-apa katamu? Enak saja kau bicara. Dasar kau tidak punya liangsim (prIbudi), melihat orang terhina serendah-rendahnya malah pura-pura tidak tahu dan masih bertanya-tanya segala!"

   "Terhina? Kau? Oleh siapa dan bagaimana?"

   Kun Hong benar-benar bingung. Tiba-tiba gadis itu meloncat bangun dan membanting-banting kaki, menangis lagi. Kun Hong juga bangun, menggeleng-geleng kepala dan makin bingung. Benar-benar dia tidak mengerti dan tidak dapat menduga apa yang menyebabkan gadis ini berhal seperti itu.

   "Ki-moi, aku mengaku bodoh, kau katakanlah, siapa yang menghinamu dan dengan cara bagaimana aku benar-benar tidak mengerti!"

   Pendekar Buta Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Berkali-kali aku dikalahkan orang di pulau Ching-Coa-To, aku tidak berdaya, bukankah itu berarti penghinaan-penghinaan yang paling rendah? Kau masih pura-pura bertanya lagi?"

   Ia membentak marah. Kun Hong tersenyum,

   "Ah, itukah yang kau anggap penghinaan? Ki-moi, kalah atau menang dalam pertempuran merupakan hal yang lumrah di dunia persilatan, kenapa kau merasa terhina? Biar kalah dalam pertempuran asalkan tidak salah. Orang yang berada di pihak benar boleh kalah bertempur namun di dalam batin senantiasa merasa menang."

   "Enak saja! Aku puteri tunggal dari Pek-Tiok-Lim, selama hidupku tak pernah kalah dalam pertempuran. Sekarang di pulau terkutuk itu berkali-kali dikalahkan orang, sedangkan kau seorang buta saja tak pernah kalah. Bukankah ini memalukan sekali? Ah, celaka... celaka..."

   Dan ia menangis lagi dengan amat sedihnya. Kun Hong merasa kasihan. Dia akan berpisah dengan gadis ini dan kalau dia tinggalkan dalam keadaan begitu, kecewa dan berduka, sungguh dia tidak tega.

   "Ki-moi, mari kuajari kau beberapa langkah yang akan membikin kau tidak mudah dikalahkan orang lagi."

   Seketika suara tangis gadis itu berhenti seperti seekor jangkerik terpijak. Malah suaranya mengandung kegembiraan besar,

   "Benarkah, Hong-Ko? Kau hendak memberi pelajaran ilmu pukulan kepadaku?"

   "Bukan ilmu pukulan, melainkan ilmu langkah rahasia. Kau lihat dan perhatikan baik-baik, semua ada dua puluh empat langkah rahasia. Lihat dan ingat baik-baik, aku mulai!"

   Kun Hong lalu memasang kuda-kuda dan mulailah dia menjalankan langkah-langkah rahasia berdasarkan Kim-Tiauw-Kun (Ilmu Silat Rajawali Emas). Melihat betapa Kun Hong melangkah dengan aneh, terhuyung-huyung, membongkok kadang-kadang jinjit (berdiri di atas ujung kaki), Loan Ki merasa kecewa. Agaknya tarikan nafasnya tidak terlepas dari pendengaran Kun Hong yang tertawa sambil berkata,

   "Ki-moi, jangan kau pandang rendah ilmu langkah ini, kau cabutlah pedangmu dan kau boleh mencoba untuk menyerangku. Dengan langkah-langkah ini semua seranganmu akan gagal."

   Dasar seorang gadis jujur, tanpa bai-sengki (sungkan) lagi Loan Ki mencabut pedangnya dan menyerang kalang-kabut. Akan tetapi ia merasa seperti menyerang bayangan saja. Kilatan pedangnya yang seakan-akan sudah akan mengenai Kun Hong sampai ia menjadi kaget sendiri, ternyata hanya lewat di samping tubuh pemuda itu yang terus melangkah dengan cara aneh. Lewat tiga puluh jurus ia berhenti menyerang dan menyimpan pedangnya.

   "Wah, Hong-Ko, hebat ilmu langkah itu. Mari kupelajari baik-baik. Kau melangkahlah, jangan cepat-cepat!"

   Katanya gembira sekali. Maka belajarlah gadis itu dengan tekun dan penuh perhatian. Dasar ia berbakat baik dan memang sudah memiliki dasar-dasar yang kuat, setelah berlatih beberapa hari lamanya ia sudah hafal dan dapat melangkah dengan cukup baik. Saking girangnya gadis ini menari-nari lalu memeluk Kun Hong!

   "Hong-Ko, terima kasih. Ilmu langkah ini apa namanya, Hong-Ko?"

   Kun Hong bingung. Ketika dia mempelajari ilmu langkah ini, dia sendiri tidak tahu namanya. Pikirannya bekerja, lalu dengan cerdik dia berkata,

   "Inilah Ilmu Langkah Hui-Thian Jip-Te (Terbang ke Langit Amblas ke Bumi) sebanyak dua puluh empat langkah. Dengan ilmu ini setelah kau latih dengan sempurna, tidak mudah kau dirobohkan orang."

   Dengan cerdik Kun Hong mengatakan "Dirobohkan orang"

   Karena tentu saja dengan ilmu itu masih mungkin gadis yang lincah ini dikalahkan orang, namun untuk dirobohkan, kiranya tidaklah mudah. Loan Ki masih kegirangan, menari-nari dan melatih ilmu langkah yang baru ia pelajari itu. Memang pada dasarnya ia gesit dan lincah, tentu saja kini mendapatkan ilmu langkah yang ajaib itu, ia bagaikan seekor anak kijang tumbuh sayap! Saking asyiknya melatih diri, Loan Ki sampai tidak memperhatikan atau menengok lagi kepada Kun Hong.

   "Nah, selamat berpisah, Ki-moi. Semoga Thian selalu memberkahimu dan terutama sekali, menuntunmu ke jalan benar."

   Baru kaget hati Loan Ki ketika mendengar kata-kata ini. Ia berhenti dan menoleh.

   "Kau... hendak ke mana, Hong-Ko?"

   Kun Hong tersenyum,

   "Tiada pertemuan tanpa akhir di dunia ini, Ki-moi. Kita harus berpisah melanjutkan perjalanan masing-masing. Kau pulanglah ke rumah orang tuamu yang tentu sudah mengharap-harap pulangmu sedangkan aku... aku akan pergi ke mana saja nasib membawaku."

   "Ih, jangan begitu, Hong-Ko. Mari kau ikut saja dengan aku ke Pek-Tiok-Lim, Ayah tentu senang bertemu denganmu."

   Kun Hong menggeleng kepala.

   "Terima kasih, Ki-moi. Biarlah lain kali kalau kebetulan aku lewat di sana, aku akan singgah menyampaikan hormatku kepada orang tuamu. Sekarang belum waktunya. Nah, selamat tinggal, adikku. Jangan lupa, jangan kau terlalu mudah membunuh orang. Kepandaian memang untuk menjaga diri dan membela kebenaran dan keadilan, akan tetapi sekali-sekali bukan untuk mendahului Tuhan, mencabut nyawa orang. Selamat tinggal."

   Kun Hong melangkah sambil meraba-raba dengan tongkatnya.

   "Hong-Ko...!"

   Akan tetapi Kun Hong tidak mau banyak rewel lagi. Dia tahu bahwa kalau dia melayani gadis ini, sukar baginya untuk dapat berpisah, maka dengan nekat Kun Hong lalu menggunakan kepandaiannya berlari seperti terbang cepatnya sehingga sebentar saja lenyap dari pandangan mata Loan Ki yang berdiri bengong ketika tak dapat mengejar, kemudian mengusap-usap kedua matanya. Kun Hong tidak berani terlalu lama berlari cepat seperti itu. Dia telah berlaku nekat untuk cepat-cepat meninggalkan Loan Ki.

   Kalau nasibnya sedang sial, mudah saja dia terjeblos ke dalam lubang atau terguling ke selokan ketika berlari cepat seperti itu tanpa dapat mengetahui apa yang berada di depannya. Setidaknya kepalanya bisa benjol terbentur sesuatu yang keras tanpa dapat dia elakkan. Baiknya dia ternyata mujur karena kebetulan sekali dia berlari cepat di atas tanah yang rata. Segera dia memperlambat larinya ketika tidak mendengar suara Loan Ki mengejar dan pada detik selanjutnya dia hanya berjalan biasa, meraba-raba dengan tongkatnya dan menggerutu seorang diri. Dia marah kepada diri sendiri mengapa sekarang hatinya berhal lain daripada biasanya. Biasanya, semua pengalaman dan peristiwa yang menimpa kepadanya, setelah lalu takkan dia kenangkan lagi, malah sebagian besar terlupa sudah.

   Akan tetapi mengapa sekarang benaknya penuh dengan kenangan di pulau Ular Hijau dan pendengarannya masih penuh suara yang halus seperti suara Bidadari? Kenapa dia tidak dapat melupakan Hui Kauw? Banyak pertanyaan mengaduk-aduk pikirannya. Kemana Hui Kauw sekarang? Bagaimana keadaannya? Mengapa gadis Bidadari itu agaknya amat dibenci Ibunya dan adiknya? Kenapa pula beberapa kali Loan Ki menyebut nona bersuara Bidadari itu sebagai "nona muka buruk"

   

Pendekar Sakti Karya Kho Ping Hoo Memburu Iblis Karya Sriwidjono Kemelut Kerajaan Mancu Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini