Rajawali Emas 25
Rajawali Emas Karya Kho Ping Hoo Bagian 25
Kong Bu merenggut lepas tangannya, melotot.
"Gila kau! Jangan main-main, ya? Siapa suka perempuan galak seperti setan itu?"
"Galak-galak tetapi manis, seperti setan tapi menarik hati, bukan begitu? Ah, Koko, aku tidak boleh kau bohongi, ya? Biarlah aku berjanji, kelak kalau kau benar-benar mau menolongku sehingga ikatanku dengan pemuda Kun-Lun-Pai itu dapat dibatalkan, aku akan membalas budimu. Aku akan menjadi perantara, akan kubujuk Ayah agar supaya pergi mengajukan pinangan ke Hoa-San!"
"Hush, jangan ngaco!"
Kong Bu mendelik dan membentak-bentak, akan tetapi ia sendiri merasa aneh mengapa jantungnya jadi berdebar begini macam? "Bi-moi, aku heran sekali kenapa kau dapat melihat kedatanganku di kuil dengan... ehm, gadis Hoa-San-Pai itu? Kulihat tadi yang berada di kuil hanyalah seorang pemuda Hoa-San-Pai yang bijaksana dan halus budi, seorang pemuda lemah akan tetapi bicaranya menusuk perasaan benar, tepat dan bijaksana. Katanya dia adalah paman dari gadis Hoa-San-Pai itu."
"Ah, kau maksudkan Hong-Ko?"
"Eh, Hong-Ko siapa? Kau kenal dia?"
Cui Bi tersenyum.
"Seorang kutu buku, tapi dia itu putera tunggal Ketua Hoa-San-Pai, pandai ilmu surat tidak pandai ilmu silat. Memang dia orang luar biasa.Tentu saja aku kenal dia, malah berhari-hari aku melakukan perjalanan bersama dia."
"Hee...?"
"Jangan memandang seperti itu. Ih, pikiranmu agaknya penuh dengan dugaan yang bukan-bukan dan fitnah-fitnah keji. Sampai sekarang dia menganggap aku sebagai Laote (adik laki-laki)."
Cui Bi tertawa geli dan Kong Bu juga tertawa.
"Sudahlah, mari kita cepat-cepat ke Thai-San, Bu-Ko. Kalau bersamamu aku berani pulang. Akan tetapi karena Ayah hendak merayakan pendirian perkumpuian Thai-San-Pai, lebih baik kita melihat-lihat di kaki Gunung Thai-San dan menyelidiki kalau-kalau ada orang jahat hendak datang mengacau. Kau tahu, sudah terlalu banyak Ayah membasmi golongan-golongan jahat sehingga dapat diduga bahwa akan banyak musuh datang mengacau dan berusaha menggagalkan pendirian Thai-San-Pai. Sudah menjadi kewajiban kita untuk membantu Ayah."
Kong Bu hanya mengangguk-angguk dan berangkatlah dua orang kakak beradik ini. Mereka sengaja menguji kepandaian masing-masing dan berlari cepat. Alangkah kagum hati mereka karena dalam kemahiran ilmu lari cepat ini mereka berimbang. Cui Bi menang ringan tubuhnya dan menang gesit gerakannya, namun ia kalah napas melawan kakak tirinya itu.
"Apa kau bilang, Li Eng? Jadi pemuda gagah tadi sakit hati terhadap Hoa-San-Pai? Mengapa demikian?"
Tanya Kun Hong.
"Dia cucu Song-Bun-Kwi dan Song-Bun-Kwi agaknya benci sekali kepada Hoa-San-Pai karena... Hmmm, apakah kau belum mendengar tentang... Enci (Kakak Perempuan) tirimu, Paman Hong?"
"Enci tiri. Mana aku mempunyai Enci tiri? Ayah dan Ibu tak pernah bercerita tentang itu!"
Sebetulnya Li Eng juga takkan berani lancang bercerita, akan tetapi keterangan Kun Hong ini malah membangkitkan keinginan hatinya untuk menyampaikan rahasia itu. Ia sendiri merasa heran mengapa orang tidak menceritakan hal Kwa Hong kepada pamannya ini.
"Paman Hong, dahulu sebelum Ayahmu menikah dengan ibumu yang menjadi Sumoi sendiri dari Ayahmu, Ayahmu telah mempunyai seorang anak perempuan bernama Kwa Hong. Nah, Bibi Kwa Hong inilah yang menimbulkan permusuhan hebat di mana-mana, karena sepak terjangnya yang... hemm, malah orang tuaku sendiripun mendendam sakit hati kepada Bibi Kwa Hong yang betul-betul seperti iblis wanita itu."
"Li Eng, yang betul kau bicara. Kalau memang betul dia itu kakak tiriku berarti dia itu masih bibimu. Bagaimana kau bisa bicara tentang bibimu sendiri?"
"Ah, ternyata kau tidak tahu apa-apa, Paman Hong. Nah kau dengarlah aku bercerita, tapi jangan tersinggung, ya? Aku hanya menceritakan apa yang kudengar dari Ayah dan Ibu. Ingatkah dahulu ketika kau bercerita kepada aku dan Enci Hui Cu tentang Burung Rajawali Emas dan kami bertanya kepadamu tentang dia, Siluman betina? Nah, yang kami maksud dahulu itu bukan lain adalah Kwa Hong, encimu itulah!"
(Lanjut ke Jilid 24)
Rajawali Emas (Seri ke 02 - Serial Raja Pedang)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 24
"Hemm, kau benar-benar kurang ajar. Kalau benar aku mempunyai kakak perempuan berarti dia bibimu."
"Memang betul, akan tetapi bibi macam bagaimana. Kau dengarlah!"
Li Eng lalu menceritakan tentang Kwa Hong, betapa wanita ini karena jebakan musuh, mengadakan hubungan dengan Tan Beng San dan betapa wanita ini lalu berubah seperti Siluman, naik Burung Rajawali Emas dan mengacau ke mana-mana. Malah Kwa Hong hampir membunuh Ayah Bunda Li Eng, mengusirnya dan menduduki Hoa-San-Pai sebagai ketua. Ia menceritakan pula mengapa Song-Bun-Kwi mendendam, yaitu dalam hubungannya dengan puterinya, Kwee Bi Goat yang menjadi nyonya Tan Beng San kemudian meninggal dunia karena berduka.
"Dia jahat sekali, Paman Hong. Dia seperti iblis betina, naik Burung Rajawali menyebar maut di mana-mana. Entah bagaimana, menurut Ayah dan Ibu, kepandaiannya hebat sekali sampai-sampai Sucouw Lian Bu Tojin, guru Ayahmu, juga tewas di tangannya. Dia telah menyakitkan hati Isteri Paman Tan Beng San sehingga tak kuat menahan dan tewas setelah melahirkan... heeiii! Tentu dia orangnya!"
Tiba-tiba Li Eng meloncat berdiri dan termenung.
"Dia siapa? Apa maksudmu?"
Tanya Kun Hong. Li Eng menepuk-nepuk pahanya.
"Siapa lagi kalau bukan dia! Pemuda itu, cucu Song-Bun-Kwi, si keparat itu, siapa lagi kalau bukan putera Kwee Bi Goat, putera Paman Tan Beng San."
"Apa?? Pemuda gagah perkasa tadi putera Paman Tan Beng San yang lahir dari Bibi Kwee Bi Goat itu?"
Kun Hong tertarik sekali akan cerita tadi dan diam-diam ia merasa menyesal bukan main bahwa semua hal yang sekarang menimbulkan permusuhan hebat itu adalah gara-gara kakak perempuannya, Kwa Hong. Tahulah ia sekarang mengapa Ayahnya begitu keras kepadanya, melarang dia berlatih ilmu silat. Kiranya di sini letak rahasianya. Ayahnya sudah kapok, tidak ingin melihat anaknya rusak lagi karena kepandaian silat! Wajahnya menjadi muram.
"Ah, nasib Ayah yang buruk... ah, ingin aku bertemu dengan Enci Kwa Hong, ingin kunasihatkan kepadanya agar minta ampun kepada Ayah, kepada semua orang yang pernah disakiti hatinya."
"Hemmm, aku sangsi apakah dia akan mau... haiii, di sana ada orang bertempur?"
Li Eng menunjuk ke depan dan ketika Kun Hong memandang, benar saja ia melihat seorang pemuda dengan hebatnya bertempur dikeroyok oleh dua orang lawannya. Cepat ia mengikuti Li Eng yang sudah lari lebih dulu ke tempat pertempuran itu.
"Enci Hui Cu...!"
Di lain saat Li Eng sudah berpelukan dengan Hui Cu.
"Eng-moi...! Paman Hong...!"
Saking girangnya, Hui Cu menangis dalam rangkulan Li Eng. Sama sekali tak pernah disangkanya bahwa dua orang itu berada dalam keadaan selamat, malah dapat bertemu dengannya di situ. Mereka tak dapat bicara banyak karena perhatian mereka kembaii tertuju kepada pertempuran hebat yang masih berlangsung. Hebat sekali pemuda itu, akan tetapi kedua orang pengeroyoknyapun luar biasa, yaitu seorang nenek tua sekali dan seorang wanita tua yang masih berwajah cantik. Siapakah mereka ini? Pemuda itu bukan lain adalah Sin Lee, adapun pengeroyokannya adalah Hek-Hwa Kui-Bo dan Kim-Thouw Thian-Li!
"Adik Eng... lekas, kau bantulah dia..."
Kata Hui Cu kepada Li Eng.
"Aku... aku sendiri terluka..."
Kun Hong yang tadinya bengong karena menyaksikan sesuatu yang membuat ia terheran-heran yaitu gerakan pemuda gagah yang dikeroyok itu. Ilmu silat pemuda itu! Bukankah gerakan kaki itu mirip benar dengan Kim-Tiauw-Kun? Kaki yang meloncat-loncat itu, kedua lengan yang dikembangkan seperti sayap Burung. Ah, biarpun menyimpang dari aselinya, namun tak salah lagi, pemuda itu tentu pernah mempelajari Kim-Tiauw-Kun. Inilah yang membuat ia bengong dan membuat ia lengah, tidak melihat bahwa Hui Cu telah terluka. Sekarang mendengar ucapan ini, cepat ia memandang dan berseru,
"Ah, Hui Cu. Kau terluka dengan senjata beracun!"
Cepat ia memegang tangan kiri gadis itu dan menariknya dekat, tanpa ragu-ragu lagi ia merobek lengan baju bagian atas dan benar saja, di balik lengan baju yang sudah sedikit robek dan berdarah itu tampak kulit pangkal lengan dekat pundak hitam membengkak! Li Eng mengeluarkan seruan tertahan, namun ia segera bertanya,
"Enci, ia siapakah dan kenapa harus dibantu?"
"Lekas... dua orang itu, Hek-Hwa Kui-Bo dan Kim-Thouw Thian-Li, amat jahat dan lihai. Tolong bantulah dia... dia itu... eh, dia penolongku."
Tak usah diperintah dua kali, mendengar bahwa pemuda gagah itu adalah penolong Hui Cu, apalagi mendengar bahwa nenek buruk rupa saking tuanya itu adalah Hek-Hwa Kui-Bo dan wanita tua yang cantik itu Kim-Thouw Thian-Li, Li Eng cepat mencabut pedang dan menyerbu ke dalam kalangan pertempuran sambil berseru,
"Bagus sekali! Hek-Hwa Kui-Bo dan Kim-Thouw Thian-Li, sudah lama aku mendengar nama kalian yang busuk, lihat, aku Kui Li Eng dari Hoa-San-Pai datang menagih hutang-hutangmu kepada Hoa-San-Pai!"
Memang gadis ini sudah mendengar dari Ayah Bundanya tentang kejahatan dua orang tokoh ini, terutama tentang perbuatan Kim-Thouw Thian-Li yang dulu banyak berbuat jahat terhadap Hoa-San-Pai (baca cerita Raja Pedang). Hek-Hwa Kui-Bo dan muridnya kaget sekali melihat serbuan seorang gadis cantik yang mengaku sebagai murid Hoa-San-Pai itu. Tadinya mendengar suara Li Eng, mereka tidak pandang sebelah mata, karena apa sih kepandaian seorang anak murid Hoa-San-Pai yang masih begitu muda? Akan tetapi begitu pedang di tangan Li Eng berkelebat, mereka menjadi terkejut sekali. Menghadapi pemuda ini saja, biarpun mereka berhasil mendesak dengan keroyokan mereka, namun tidak mudah untuk merobohkannya. Apalagi sekarang muncul seorang gadis yang demikian ganas ilmu pedangnya.
"Kau bereskan anak iblis ini, biar kubunuh gadis liar ini!"
Kata Hek-Hwa Kui-Bo kepada muridnya. Ia percaya bahwa Kim-Thouw Thian-Li akan dapat menahan Si Pemuda sedangkan ia akan cepat-cepat membunuh gadis itu sebelum dua orang muda yang lain itu dapat membantu. Akan tetapi, bicara memang mudah. Kepandaian Sin Lee hebat sekali dan kini menghadapi Kim-Thouw Thian-Li seorang diri saja, segera keadaan berubah hebat. Kalau tadi Sin Lee terdesak, hal itu tidaklah amat mengherankan karena Hek-Hwa Kui-Bo adalah seorang tokoh yang memiliki kepandaian tinggi, setingkat dengan tokoh-tokoh besar seperti Song-Bun-Kwi dan yang lain-lain, apalagi nenek ini mengandalkan ilmu pedangnya yang sakti, yaitu Im-Sin Kiam-Hoat.
Lebih-lebih karena nenek ini dibantu oleh muridnya yang hampir sama lihainya, Kim-Thouw Thian-Li ketua dari Ngo-Lian-Kauw. Betapapun lihainya Sin Lee, ia terdesak hebat juga oleh dua orang pengeroyoknya itu. Kim-Thouw Thian-Li hebat permainan goloknya yang dibantu sehelai selampai merah yang mengandung racun. Gurunya, Hek-Hwa Kui-Bo juga menggunakan dua senjata, yaitu sebatang pedang dan sehelai saputangan beraneka warna yang lebih jahat lagi racunnya. Juga Hek-Hwa Kui-Bo kecele kalau tadi ia memandang rendah gadis muda belia yang cantik murid Hoa-San-Pai ini. Sejak dahulu Hek-Hwa Kui-Bo memandang rendah kepada Hoa-San-Pai, sama sekali ia tidak tahu bahwa telah terjadi perubahan besar di Hoa-San-Pai. Hoa-San-Pai sekarang jauh bedanya dengan Hoa-San-Pai dua puluh tahun yang lalu.
Setelah Kui Lok dan Isterinya, Thio Bwee, dua orang anak murid Hoa-San-Pai ini mewarisi ilmu silat Hoa-San-Pai aseli dari Lian Ti Tojin, yang sekarang diwarisi pula oleh Kui Li Eng, hebatlah ilmu silat Hoa-San-Pai itu. Baru sekarang Hek-Hwa Kui-Bo mendapat kenyataan bahwa sama sekali salah memandang rendah golongan lain. Begitu ia mulai serang-menyerang dengan Li Eng, nenek itu kaget dan terpaksa segera mengeluarkan ilmu pedangnya yang ampuh, Im-Sin Kiam-Hoat dibantu permainan saputangan aneka warna yang mengeluarkan bau yang memuakkan. Li Eng harus mengerahkan seluruh kepandaiannya dan menjaga diri dari pengaruh racun itu dengan hawa murni. Beberapa kali selama perjalanannya bertemu dengan orang-orang sakti membuat Li Eng berhati-hati kali ini. Sementara itu, setelah memeriksa sebentar, Kun Hong berkata,
"Hui Cu, jahat benar orang yang melepas Hwa-Tok-Ciam (Jarum Racun Bunga) ini. Jarum yang halus itu masih berada di lenganmu. Kau diamlah, kendurkan semua urat dilengan kananmu!"
Hui Cu memandang pamannya dengan keheranan, akan tetapi mentaati permintaan ini. Kun Hong lalu menggunakan jari telunjuknya menotok beberapa jalan darah dipundak dan siku dan seketika gadis itu merasa lengannya lumpuh!
"Diam saja, sakit sedikit, hendak kuambil keluar jarum itu,"
Kata Kun Hong dan pemuda ini segera memijit-mijit lengan yang luka itu. Tak lama kemudian tersembullah ujung jarum dari luka itu. Hui Cu menggigit bibir menahan sakit dan sekali lagi memencet, jarum itu keluar dari luka, jarum yang amat lembut, sebesar ujung rambut.
"Nah, sekarang tidak berbahaya lagi, tunggu kita kelak mencari obat untuk menyembuhkannya sama sekali. Biar kukeluarkan sebagian darah yang teracun."
Ia mengurut lengan itu dari atas ke bawah dan dari luka itu keluarlah darah menghitam. Setelah itu ia membebaskan totokannya.
"Aih, Paman Hong. Tidak kusangka... kau begini pandai..."
Hui Cu berkata, penuh kekaguman.
"Pandai apa? Hanya sedikit ilmu pengobatan yang kuketahui dari membaca kitab-kitab Yok-Mo. Lihat, Li Eng dan penolongmu itu masih bertempur hebat."
Keduanya lalu memandang ke arah pertempuran. Ternyata Sin Lee kini dapat mendesak Kim-Thouw Thian-Li dengan hebatnya. Pedang pemuda ini amat kuat dan aneh gerakannya dan sekali lagi Kun Hong tertegun karena ia mengenal ilmu pedang ini yang mengandung inti Ilmu Silat Kim-Tiaw-Kun. Akan tetapi sifatnya sudah berubah, ganas dan merupakan tangan maut mengintai korban.
"Ah, ganas... ganas..."
Katanya penuh kekuatiran.
Ia makin terheran-heran ketika mengenal bahwa inti sari Ilmu Silat Kim-Tiauw-Kun yang dimainkan pemuda itu bercampuran dengan ilmu pedang Hoa-San-Pai sehingga merupakan ilmu silat kombinasi yang tidak menyerupai Hoa-San Kiam-Hoat maupun Kim-Tiauw-Kun lagi. Desakan-desakan Sin Lee terhadap Kim-Thouw Thian-Li makin hebat. Wanita itu benar-benar merasa kewalahan menghadapi serangan-serangan yang banyak memakai gerak-gerak tipu ini. Mulailah ia ketakutan ketika pundaknya tercium ujung pedang lawannya. Hebat serangan Sin Lee. Mula-mula pedangnya menyambar ke arah pusar, ketika Kim-Thouw Thian-Li menangkis sambil mengebutkan sabuk merah ke arah muka Sin Lee,
Pemuda ini mengibaskan tangan kiri menangkis dengan hawa pukulannya, melanjutkan dengan tusukan pedang yang diputar-putar di depan muka wanita itu. Kim-Thouw Thian-Li menjadi silau matanya dan cepat-cepat menarik pedang untuk menangkis lagi. Siapa kira, serangan ini hanya pancingan belaka agar ia mengangkat pedangnya karena tahu-tahu pemuda itu mengirim pukulan keras ke arah ulu hati, menggunakan tangan kiri yang diputar-putar lebih dulu. Kim-Thouw Thian-Li mengeluarkan jeritan kaget karena hawa pukulan tangan kiri dari pemuda itu mendatangkan angin dingin yang luar biasa, membuat tubuhnya menggigil dan lemas. Cepat-cepat wanita itu mengerahkan Lweekangnya sambil membanting tubuh ke kanan untuk menghindarkan diri dari pukulan dahsyat itu, namun ujung pedang Sin Lee sudah menyambar datang memenggal leher!
"Celaka!"
Kim-Thouw Thian-Li menggerakkan kepalanya menjauh, namun pundaknya masih saja tercium ujung pedang, bajunya robek berikut kulit pundak dan sedikit dagingnya. Mulailah ia menjadi gentar apalagi ketika Sin Lee terus menerus mendesaknya dengan serangan pedang yang gencar diselingi pukulannya yang dahsyat itu. Kun Hong yang menyaksikan pukulan dengan tangan lebih dulu diputar-putar ini, menjadi bingung. Di dalam Kim-Tiauw-Kun tidak ada pukulan macam itu. Memang, ilmu pukulan ini adalah ilmu dari kaum sesat, yang hanya dipergunakan oleh golongan hitam. Inilah ilmu pukulan Jing-Tok-Ciang (Pukulan Racun Hijau) yang Sin Lee warisi dari ibunya dan di lain pihak Kwa Hong ibunya itu dahulu menerimanya dari Koai Atong.
Dahsyat sekali Jing-Tok-Ciang ini karena baru angin pukulannya saja sudah mengandung hawa luar biasa yang dapat mematikan lawan. Dengan marah sekali Kim-Thouw Thian-Li mengebutkan sabuk merahnya sambil berseru nyaring. Debu kemerahan menyambar ke arah Sin Lee. Inilah racun berbahaya yang keluar dari dalam sabuk itu, yang dipergunakan Ketua Ngo-Lian-Kauw hanya kalau menghadapi lawan tangguh. Debu merah ini berbau harum sekali, begitu harumnya sampai dapat merampas ingatan dan semangat orang! Namun sudah banyak Sin Lee mendengar tentang Ketua Ngo-Lian-Kauw ini dari ibunya, dan sudah tahu pula ia apa artinya debu merah ini. Ia tidak berani memandang rendah, terdengar ia melengking tinggi dan tubuhnya meloncat ke atas dengan kedua tangan dikembangkan.
Hebatnya dari udara ia bisa melakukan gerakan menerjang ke depan bawah sambil memutar dari kiri sehingga tidak bertemu dengan awan debu merah. Pedangnya dikerjakan cepat dan tangan kirinya juga diputar-putar, siap melakukan pukulan. Kim-Thouw Thian-Li berhasil menangkis pedang Sin Lee, namun sebuah pukulan Jing-Tok-Ciang yang tak tersangka-sangka datangnya, mengenai pundak kirinya. Perlahan saja pukulan itu namun ketika jari-jari tangan pemuda itu menyentuh pundaknya, wanita ini memekik keras dan terhuyung-huyung lalu roboh! Dengan sekuat tenaga ia menghimpun hawa Im-Sin-Kang di tubuhnya untuk melawan pukulan yang membuat seluruh isi dadanya dan pada saat itu Sin Lee sudah tidak mau memberi hati lagi, menerjang dengan pedang diputar lalu ditusukkan seperti lagak seekor Burung mematuk mangsanya.
"Heee, jangan bunuh orang...!"
Kun Hong sudah sampai di situ dan menyelinap di antara sinar pedang Sin Lee, Hui Cu kaget sekali dan hendak menarik tangan pamannya ketika ia melihat pamannya dengan gerakan tidak karuan dan kacau menubruk Sin Lee, akan tetapi secara aneh sambarannya meleset dan tubuh Kun Hong terus menyerbu ke depan. Hui Cu hampir menjerit karena kuatir kalau-kalau pamannya itu yang tidak pandai silat terkena senjata Sin Lee. Akan tetapi ia melihat Sin Lee mencelat mundur sambil berseru,
"kau?"
Kuatir kalau-kalau Sin Lee akan menyerang Kun Hong, Hui Cu segera lari menghampiri dan berkata,
"Jangan... dia adalah pamanku."
Sin Lee tertegun. Tadi ia terpaksa harus menarik kembali pedangnya dan mencelat ke belakang karena pemuda aneh itu yang menyelinap masuk telah memasang dua jari tangannya memapaki tangannya yang memegang pedang sehingga kalau ia meneruskan tusukannya kepada Kim-Thouw Thian-Li, sudah tentu pergelangan tangannya akan tertotok dan pedangnya akan terlepas. Heran ia bagaimana paman dari Hui Cu dapat mengenal kelemahan pergerakannya tadi? Dan sama sekali ia tidak pernah mengira bahwa "Paman"
Ini masih seorang muda sebaya dia!
"Dia... dia pamanmu yang bernama Kun Hong itu?"
Tanyanya memandang ke arah Kun Hong yang menghampiri Kim-Thouw Thian-Li yang sudah duduk bersila mengerahkan Lweekang untuk melawan hawa dingin yang menyerang isi dadanya.
"Ya, maklumlah dia... dia paling anti bunuh membunuh, karena itu maka tadi mencegah kau membunuh Kim-Thouw Thian-Li..."
"Kau... tidak apa-apa?"
Tanya Sin Lee memandang penuh perhatian.
"Tidak, Paman Hong sudah mengobatiku, tak kusangka dia pandai. Saudara Tiauw, kau tolong bantulah adik Li Eng melawan Hek-Hwa Kui-Bo."
Pada saat itu pertempuran antara Li Eng dan Hek-Hwa Kui-Bo masih berjalan seru sekali. Akan tetapi betapapun lihainya Li Eng, menghadapi tokoh sakti ini ia terdesak juga apalagi pedang nenek itu menyambar-nyambar ganas dengan ilmu pedangnya Thai-Yang. Mendengar permintaan Hui Cu, Sin Lee segera melompat dan menerjang nenek itu dengan pedangnya.
"Iblis tua, kau mampuslah!"
Pedangnya menyambar-nyambar seperti kilat dan Hek-Hwa Kwi-bo terpaksa mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk menghadapi pengeroyokan dua orang muda yang berkepandaian tinggi itu.
Li Eng diam-diam merasa lega bahwa ia mendapat bantuan seorang yang begini kuat. Diam-diam ia membandingkan pemuda ini dengan cucu Song-Bun-Kwi. Ada persamaan wajah dan bentuk badan antara kedua pemuda ini, hanya cucu Song-Bun-Kwi itu lebih kekar dan lebih tampan dalam pandangannya. Juga dalam ilmu kepandaian, keduanya sama-sama hebat. Kun Hong menghampiri Kim-Thouw Thian-Li yang duduk bersila. Wajah wanita itu muram, mengandung cahaya kehijauan yang aneh. Kun Hong tahu bahwa wanita ini telah terluka berat, luka dalam yang mengandung hawa pukulan beracun. Ia pernah bertemu dengan Ketua Ngo-Lian-Kauw ini dan ia dapat menduga bahwa orang ini bukanlah orang baik-baik, akan tetapi hatinya yang penuh welas asih membuat ia berkasihan melihat orang itu terluka dan bermaksud untuk mengobatinya.
"Kauwcu, kau terluka hebat"
Dan tanpa ragu-ragu ia memegang pergelangan tangan kiri wanita tua itu. Beberapa detik ia memeriksa keadaan orang melalui ketukan jalan darahnya, dan ia kaget sekali.
"Kauwcu, kau terkena racun hawa pukulan yang mengandung daya Imkang. Jangan kerahkan tenaga keluar, jangan pula melawan dari dalam. Aku akan berusaha menolongmu."
Setelah berkata demikian, Kun Hong menotok ke bagian pundak dan mengurut bagian punggung. Kim-Thouw Thian-Li membuka matanya, kaget bukan main melihat bahwa orang yang bicara hendak menolongnya adalah orang Hoa-San-Pai yang pernah datang ke tempatnya kemudian dibawa pergi Song-Bun-Kwi. Orang ini terang pihak musuh, mana ia percaya hendak mengobatinya? Tentu hendak menipunya dan hendak mencelakainya. Ia cepat mengangkat tangan mengirim pukulan keras.
"Eh, jangan kerahkan tenaga, berbahaya"
Kun Hong berseru namun terlambat, tubuhnya mencelat dan bergulingan sampai beberapa meter jauhnya! "Paman Hong... kau... kau tidak apa- apa?"
Hui Cu mendekati, melupakan lukanya sendiri dan ia terheran-heran melihat pamannya ini merangkak bangun, sama sekali tidak terluka, hanya keningnya yang bertumbukan dengan batu ketika ia terlempar tadi agak benjol setengah telur besarnya. Pemuda ini menggeleng kepala dan memandang ke arah Kim-Thouw Thian-Li, lalu menarik napas panjang.
"Kehendak Thian tak dapat diubah... dia seperti membunuh diri..."
Hui Cu tidak mengerti dan menengok ke arah Ketua Ngo-Lian-Kauw dan... ternyata wanita itu telah rebah telentang dengan wajah kehijauan. Ketika ia mendekati, ternyata bahwa Kim-Thouw Thian-Li telah tewas! Diam-diam Hui Cu girang sekali, karena ia benci wanita Ketua Ngo-Lian-Kauw yang terkenal jahat dan yang dahulu sudah banyak membikin susah orang-orang tua di Hoa-San-Pai. Hek-Hwa Kui-Bo benar-benar hebat sekali. Nenek ini usianya sudah amat tua, mukanya sudah penuh keriput dan matanya cekung seperti mata tengkorak. Dilihat begitu saja, ia merupakan seorang nenek yang sudah mendekati lubang kubur.
Namun dalam pertempuran dia benar-benar seperti iblis betina, tenaga Lweekangnya masih mengatasi kedua orang muda yang mengeroyoknya itu, juga ilmu pedangnya yang berdasarkan ilmu sakti Thai-Yang bercampur dengan ratusan macam gerakan ilmu silat yang dimilikinya, membuat dua orang pengeroyoknya itu harus mengerahkan seluruh kepandaian untuk menekannya. Kali ini nenek ini benar-benar menghadapi lawan berat. Sin Lee adalah putera Kwa Hong yang sudah mewarisi kepandaian ibunya yang luar biasa, kepandaian campuran antara ilmu silat Hoa-San-Pai, Ilmu Silat Jing-Tok-Ciang ditambah lagi ilmu silat yang dipelajari oleh Kwa Hong dari Rajawali Emas. Adapun Kui Li Eng memiliki ilmu siiat Hoa-San-Pai yang aseli, yang tadinya merupakan rahasia bagi Hoa-San-Pai sendiri sebelum Ayah Bundanya bertemu dengan Lian Ti Tojin.
Ilmu Pedang Hoa-San Kiam-Hoat yang aseli ini berlipat kali lebih lihai dari ilmu pedang Hoa-San-Pai yang dimiliki oleh tokoh-tokoh Hoa-San-Pai lainnya. Perlahan tapi tentu, Hek-Hwa Kui-Bo mulai terdesak. Dua buah pedang di tangan dua orang muda itu benar-benar membuat ia sebentar-sebentar memekik marah dan heran. Akan tetapi ketika nenek ini melihat bahwa muridnya yang terkasih itu tewas sebagai akibat pukulan pemuda yang sekarang mengeroyoknya, ia menjadi marah sekali dan juga kuatir. Sambil memekik keras, sabuknya dikebut-kebutkan dan mengepullah debu yang bermacam-macam warnanya dan diantara debu ini berkelebatan sinar-sinar yang menyembunyikan jarum-jarum lembut yang mengandung racun sama hebatnya dengan racun debu beraneka warna itu! Inilah penyerangan hebat luar biasa yang jarang dapat dihindarkan oleh lawan yang bagaimana tangguh pun.
"Awas...!!"
Teriakan ini sekaligus keluar berbareng dari mulut Li Eng dan Sin Lee dan berbareng pula seperti mendengar komando, dua orang muda ini membanting tubuh ke belakang, berjungkir-balik dan menggelundung pergi seperti binatang trenggiling turun gunung. Kiranya keduanya sudah mendengar dari orang tua masing-masing tentang kelihaian Hek-Hwa Kui-Bo dan tentang senjata rahasia yang amat ampuh dari nenek iblis ini,
Yaitu debu beracun yang disebut Ngo-Hwa Tok-San (Bubukan Racun Lima Kembang) dan jarum-jarum beracun Ngo-Hwa Tok-Ciam. Karena inilah maka mereka berdua tidak berani menyambut atau menangkis, melainkan membuang diri dengan cara pengelakan yang paling tepat untuk menghindarkan diri dari serangan debu dan jarum-jarum itu. Biarpun begitu, kedua orang muda ini merasa angin berseliweran di atas punggung mereka, hanya beberapa sentimeter saja jauhnya, tanda bahwa jarum-jarum beracun itu hampir saja mengenai tubuh mereka. Setelah menggelundung jauh, keduanya berloncatan bangun dengan keringat dingin mengucur. Hampir saja mereka menjadi korban. Keduanya cepat memutar tubuh untuk menghadapi nenek yang ganas itu, akan tetapi nenek itu sudah tidak kelihatan lagi.
Kiranya ketika melihat dua orang pengeroyoknya bergulingan tadi, Hek-Hwa Kui-Bo yang tahu betul bahwa melanjutkan pertempuran melawan dua orang muda itu merupakan bahaya sedangkan muridnya sudah tewas, cepat ia melompat, menyambar jenazah Kim-Thouw Thian-Li dan membawanya lari secepat terbang dari tempat itu. Kun Hong dan Hui Cu yang melihat ini, hanya dapat memandang saja. Bagi Hui Cu yang maklum akan tingkat kepandaiannya, tak berani ia menghalangi, adapun Kun Hong memang tidak mau menghalangi, malah ia bersyukur bahwa jenazah Ketua Ngo-Lian-Kauw itu ada yang membawa pergi dan mengurusnya. Hui Cu dengan muka gembira memperkenalkan Sin Lee kepada Li Eng dan Kun Hong, Li Eng yang berwatak lincah gembira itu menjura dan berkata,
"Tiauw-Enghiong benar-benar gagah perkasa dan lihai sekali, membuat aku kagum sekali. Apalagi karena Tiauw-Enghiong telah menolong Enci Hui Cu dari tangan Song-Bun-Kwi, benar-benar merupakan budi yang takkah pernah dilupa oleh... Enci Hui Cu."
Setelah berkata demikian ini, dengan sinar mata yang nakal sekali Li Eng mengerling kepada Hui Cu yang menjadi merah dadu warna pipinya.
"Menyesal sekali bahwa dahulu itu aku tidak sempat pula menolongmu dari tangan kakek itu, Nona, karena kakek itu memang lihai sekali. Terpaksa aku hanya dapat mengajak Nona Hui Cu pergi,"
Jawab Sin Lee yang tadi merasa tersindir mengapa dahulu itu yang ditolongnya hanya Hui Cu seorang. Sementara itu, Kun Hong memandang kepada Sin Lee dengan mata tajam penuh selidik.
Ia mengenal ilmu silat pemuda ini dan karena otaknya yang cerdik ia lalu membuat rangkaian dan dugaan. Gurunya, Bu-Beng-Cu sudah lama meninggal dunia dan kiranya sampai matipun guru besar itu tidak pernah menerima murid, buktinya ilmunya ditinggalkan dalam bentuk kitab. Kalau ada orang lain mampu mewarisi Kim-Tiauw-Kun, tentulah melalui Burung Rajawali Emas itu. Dan Kim-Tiauw-Kun yang dimainkan pemuda ini kacau-balau dan tercampur dengan ilmu-ilmu silat lain, malah ada pula ilmu silat Hoa-San-Pai di dalamnya. Satu-satunya orang selain dia, yang ada hubungannya dengan Rajawali Emas, seperti yang ia dengar dari dua orang murid keponakannya, hanyalah Kwa Hong, kakak perempuannya lain ibu itu. Jadi pemuda ini... kiranya takkan terlalu ngawur kalau ia menduga bahwa pemuda ini tentulah anak dari Kwa Hong!
"Saudara Sin Lee she Tiauw, bukan? Bagus, she yang bagus akan tetapi juga jarang ada. Membikin aku teringat akan Burung Rajawali raksasa. Eh, Saudara Tiauw Sin Lee, pernahkah kau melihat seekor Burung Rajawali Emas raksasa yang memakai kalung mutiara?"
Berubah wajah Sin Lee. Jantungnya berdebar keras. Tadi ketika diperkenalkan, ia mendengar bahwa orang muda yang halus gerak-gerik dan tutur sapanya ini bernama Kwa Kun Hong putera Ketua Hoa-San-Pai. Ini saja sudah membuat ia berdebar-debar karena Kwa Kun Hong yang berdiri di depannya ini adalah adik ibunya! Adik lain ibu, jadi adik tirinya, Kwa Kun Hong ini adalah paman tirinya sendiri.
Akan tetapi tentu saja ia tidak berani memperkenalkan diri dengan sesungguhnya. Ia adalah anak Kwa Kun Hong dan kepergiannya ke Thai-San mempunyai maksud menyeret Tan Beng San ke hadapan ibunya. Orang-orang muda ini sedang menuju ke Thai-San, agaknya mempunyai hubungan baik dan erat sekali dengan Ketua Thai-San-Pai. Kalau ia mengaku dan menceritakan maksudnya, sudah tentu akan terjadi hal-hal tidak enak sekali. Oleh karena itu ia tetap memalsukan shenya. Siapa kira di sini ia bertemu dengan paman tirinya, yang entah dengan cara bagaimana, agaknya mengetahui rahasianya! Bagaimana paman tirinya ini tahu tentang Kim-Tiauw? Sudah tentu saja ia mengenal Rajawali Emas yang berkalung mutiara. Siapa tidak mengenal kalau kalung yang berada dileher Burung itu adalah dia sendiri yang memasangnya?
Mendengar ini, baik Hui Cu maupun Li Eng menjadi kaget dan heran, lalu memandang kepada Sin Lee. Terutama sekali Li Eng. Sebagai seorang gadis yang cerdik sekali, ia dapat menghubung-hubungkan sesuatu.
"Kalau pernah melihat Kim-Tiauw berkalung mutiara tentu pernah melihat... dia!"
Ia memandang tajam. Hui Cu mendengar ini mengeluarkan seruan tertahan. Betulkah dugaan Li Eng bahwa pemuda penolongnya dan yang sekaligus perampas hatinya ini ada hubungan dengan... dia yang dimaksudkan tentu Kwa Hong? Adapun Sin Lee ketika mendengar ucapan Kun Hong dan kemudian Li Eng, melihat pula pandang mata Hui Cu dan yang lain-lain, berubah air mukanya. Tidak mengakui tentang Kim-Tiauw bukanlah hal yang sukar baginya, akan tetapi bagaimana ia bisa tidak mengakui tentang ibunya sendiri? Ia menjadi gugup dan gelisah karena rahasianya hampir terbongkar.
"Aku... aku... ah, tidak tahu siapa yang kalian maksudkan... setelah Nona Hui Cu bertemu dengan kalian, biarlah aku pergi!"
Setelah berkata demikian, tubuhnya berkelebat dan ia sudah melompat jauh sekali.
"Saudara Sin Lee...!"
Tak terasa lagi Hui Cu berseru memanggil dan lari mengejar, namun ia segera menahan kakinya dan mukanya berubah merah ketika teringat bahwa sikapnya ini benar-benar telah membuka perasaan hatinya, sedangkan di situ terdapat Kun Hong dan Li Eng! Dari jauh, lapat-lapat terdengar suara pemuda yang telah menjatuhkan hatinya itu,
"Nona Thio Hui Cu, selamat tinggal, kelak kita pasti akan saling bertemu kembali..."
"Engci Hui Cu, jangan kuatir, aku yakin kau akan bertemu lagi dengan dia. Hemm, dia baik sekali kepadamu, Cu-Cici."
Li Eng lalu tertawa dan Hui Cu menjadi makin merah mukanya.
Rajawali Emas Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Adik Eng, jangan kau main-main!"
"Siapa main-main, memang dia... eh, hebat sekali, bukan begitukah pendapatmu?"
"Kau... nakal...!"
Hui Cu maju dan mengulur tangan hendak mencubit pipi Li Eng yang menggodanya. Li Eng mengelak dan menjerit-jerit.
"Eh... eh, jangan... uhh, kenapa marah-marah? Lihat, tuh dia datang kembali!"
Seketika Hui Cu berhenti dan menengok ke arah perginya pemuda tadi. Ketika tidak melihat siapa-siapa, ia menjadi makin jengah, maklum bahwa sekali lagi ia digoda oleh adik misan yang nakal itu.
"Sudahlah, jangan bergurau saja Kita harus bersyukur bahwa akhirnya kita bertiga dapat berkumpul kembali dengan selamat."
Sambil melanjutkan perjalanan, tiga orang muda ini lalu saling menuturkan pengalaman mereka masing-masing.
Puncak Thai-San yang tinggi menjadi tempat tinggai Raja Pedang Tan Beng San dan Isterinya Cia Li Cu. Seperti telah kita ketahui dalam permulaan cerita Rajawali Emas, Tan Beng San setelah mengalami banyak sekali derita hidup, dipermainkan oleh asmara yang membuatnya banyak mengalami pahit getir penghidupan, akhirnya berjodoh dengan Li Cu dan hidup sebagai Suami Isteri yang penuh kebahagiaan di Thai-San ini. Tentu saja, sebagai sepasang pendekar yang berjiwa gagah, mereka tidak dapat terus menerus menyembunyikan diri di tempat sunyi ini. Kadang-kadang mereka bersama-sama atau Tan Beng San seorang diri, turun gunung untuk melaksanakan tugas sebagai pendekar pembasmi kejahatan dan penegak kebenaran dan keadilan, sehingga nama sepasang pendekar itu makin terkenal di seluruh dunia.
Tan Beng San adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, pewaris dari ilmu Silat Im-Yang Sin-Hoat adapun Isterinya Li Cu, adalah puteri tunggal dari Bu-Tek Kiam-Ong Cia Hui Gan. Sudahlah tentu saja sepasang Suami Isteri ini mempunyai cita-cita untuk memperkembangkan kepandaian mereka, membentuk sebuah Partai persilatan di Thai-San yang akan menyebar-luaskan ilmu dari mereka dan dijadikan modal untuk membantu usaha pembasmian kejahatan di dunia ini. Cita-cita inilah yang membuat mereka akhirnya bersepakat untuk mendirikan Partai persilatan Thai-San-Pai. Mereka memilih orang-orang atau lebih tepat anak-anak yang berbakat diambil dari dusun-dusun dan dipilih anak-anak yang telantar untuk dididik dan dijadikan murid. Kebahagiaan hidup mereka meningkat ketika setahun kemudian terlahir seorang anak perempuan yang mereka beri nama Tan Cui Bi.
Tentu saja anak kesayangannya ini mendapat gemblengan dari kedua orang tuanya sehingga setelah berusia tujuh belas tahun, Cui Bi menjadi seorang gadis yang selain cantik jelita, juga berkepandaian tinggi. Namun, sebagai anak tunggal, Cui Bi amat manja. Darah Ayah Bundanya, darah ksatria, mengalir dalam tubuhnya dan anak ini semenjak berusia lima belas tahun tak dapat ditahan lagi oleh kedua orang tuanya, kadang-kadang melakukan perantauan seorang diri dan melakukan perbuatan-perbuatan gagah berani yang menggemparkan dunia kang-ouw. Dan dalam setiap perjalanan ia selalu berpakaian sebagai laki-laki, hal ini adalah nasehat dari Ayahnya yang maklum bahwa betapapun tingginya kepandaian puterinya, namun dalam pakaian laki-laki ia akan dapat melakukan perjalanan lebih leluasa, daripada sebagai seorang gadis cantik dan muda.
Semestinya Tan Beng San dan Isterinya akan merasa amat bahagia setelah mereka mendapatkan murid-murid yang cukup banyak untuk dapat dijadikan anggauta Partai Thai-San-Pai yang akan mereka resmikan pendiriannya. Akan tetapi, sebagaimana lajimnya kehidupan manusia di dunia ini, selalu tidak sempurna, tidak ada kebahagiaan sempurna selama manusia masih hidup, ada saja gangguan. Hal yang amat menggelisahkan hati kedua orang ini adalah sikap Cui Bi dalam hal perjodohan. Telah banyak sekali datang pinangan-pinangan dari putera orang-orang berpangkat, putera tokoh-tokoh kenamaan di dunia kang-ouw, dari pendekar-pendekar muda yang benar-benar mengagumkan. Namun semua pinangan itu ditolak mentah-mentah oleh Cui Bi. Akhirnya datang pinangan dari Ketua Kun-Lun-Pai yang menjadi sahabat baik dari Tan Beng San sendiri.
Pembaca kiranya masih ingat kepada Bun Lim Kwi, pendekar Kun-Lun-Pai yang terjodoh dengan Thio Eng puteri tokoh Pek-Lian-Pai dan murid Tai-Lek-Sin Swi Lek Hosiang. Setelah Ketua Kun-Lun-Pai yang sudah tua meninggal dunia, Bun Lim Kwi diangkat menjadi ketua baru dari Kun-Lun-Pai Bun-Paicu ini mempunyai seorang putera tunggal dan diberi nama Bun Wan. Bun Wan seorang pemuda yang ganteng dan gagah, bertubuh tinggi besar dan berwatak jujur, ilmu silatnyapun tinggi. Ketika dalam perantauan, Tan Beng San dan Isterinya pernah singgah di Kun-Lun dan pernah melihat Bun Wan ini yang mendatangkan kesan baik dalam hati mereka. Oleh karena itulah, ketika tiba lamaran dari Kun-Lun, serta-merta Tan Beng San dan Isterinya setuju karena dalam pandangan mereka, sudah patut sekali kalau puteri mereka menjadi Isteri pemuda Bun Wan itu.
Bun Wan tampan dan gagah, keturunan orang-orang gagah, putera Ketua Kun-Lun-Pai yang besar dan terkenal, mau apalagi? Sukar kiranya mencari mantu yang melebihi Bun Wan ini. Maka, setelah bersepakat, Suami Isteri Thai-San ini menerima pinangan itu, tanpa bertanya lagi kepada Cui Bi karena gadis ini sedang merantau. Bun Lim Kwi yang datang sendiri ke Thai-San, menjadi girang dan berterima kasih, lalu kembali ke Kun-Lun-Pai setelah mendapat keterangan dari Suami Isteri Thai-San bahwa persoalan itu selanjutkan akan ditentukan hari pernikahannya sehabis peresmian pendirian Thai-San-Pai. Akan tetapi alangkah mengkal dan duka hati Suami Isteri ini ketika Cui Bi datang dan diberi tahu tentang ikatan jodoh ini gadis itu marah-marah, malah pada malam harinya lari pergi dari Thai-San tanpa memberitahukan Ayah Bundanya.
"Hemmm, anak itu terlalu manja!"
Beng San membanting kaki dan mendongkol sekali.
"Kali ini ia mau tidak mau harus menurut kehendak kita! Aku akan menyusul dan mencarinya."
Li Cu memegang tangan Suaminya.
"Jangan, terburu nafsu. Ingatlah bahwa Cui Bi baru berusia tujuh belas, mungkin perkawinan merupakan hal asing yang menakutkan hatinya. Tak perlu disusul dan dipaksa, jangan-jangan ia akan makin keras kepala dan nekat menolak. Tunggulah, aku yakin dia akan pulang menjelang pendirian Thai-San-Pai dan perlahan-lahan nanti kita bujuk. Serahkan saja kepadaku untuk membujuknya."
Beng San mengerutkan keningnya.
"Ah, kau selalu memanjakan dia, maka sekarang dia begitu keras kepala, selalu hendak membantah kehendak orang tua."
"Suamiku, bagaimana takkan begitu jadinya kalau Bi-ji itu merasa bahwa dia adalah anak tunggal, kesayangan kita? aku bersalah,"
Ia menundukkan mukanya.
"Aku terlalu memanjakan dia. Tapi... tapi kiraku kalau adiknya ini sudah terlahir, dia takkan begitu manja lagi..."
Li Cu meraba perutnya yang sudah mengandung empat bulan lebih itu. Beng San berubah mukanya, cepat ia memegang kedua tangan Isterinya dan dibawanya ke muka, diciuminya.
"Ah, maafkan aku... Li Cu, kau tahu, aku tidak menyalahkan kau, bukan begitu maksudku... ah, aku hanya terlalu bingung dan gelisah memikirkan Cui Bi. Kita sudah menerima pinangan dari Kun-Lun-Pai, bagaimana kalau dia berkeras menolaknya?"
Li Cu menarik kedua tangannya, memandang kepada Suaminya dengan penuh cinta kasih.
"Kau selalu baik sekali. Percayalah, aku akan membujuk Bi-ji (Anak Bi)."
Suami Isteri ini mengatur persiapan perayaan yang dilakukan oleh para anggauta Thai-San-Pai. Murid Thai-San-Pai ada tiga puluh orang lebih jumlahnya dan mereka ini rata-rata sudah berusia tiga puluh tahun lebih. Malah mereka yang sudah berumah tangga dan tinggal di luar, sekarang pada datang untuk membantu. Ramai dan gembira keadaan di puncak Thai-San ini dan di sana-sini, selain mengatur hiasan-hiasan, juga dibangun pondok-pondok darurat untuk para tamu yang diduga akan membajiri Thai-San-Pai.
Para murid ini telah menerima pelajaran ilmu silat yang tinggi juga, yaitu Ilmu Silat Thai-San Kun-Hoat yang diciptakan oleh Tan Beng San dengan jalan menggabung ilmu silatnya dan ilmu silat Isterinya yang mengutamakan keindahan, kecepatan dan cara yang praktis untuk merobohkan lawan tanpa membunuhnya, sesuai dengan jiwa Beng San yang tidak suka membunuh orang. Telah dituturkan di bagian depan cerita ini bahwa Beng San dan Isterinya melanjutkan usaha Cia Hui Gan, yaitu membuat jalan rahasia yang menuju ke puncak tempat tinggal mereka. Hanya mereka berdua, anak mereka, dan para murid saja yang tahu akan jalan rahasia yang amat sulit ini, Dilihat dari jauh, agaknya tidak mungkin mendatangi puncak di mana terdapat tempat tinggal mereka atau yang menjadi pusat dari Thai-San-Pai, karena puncak itu dikurung jurang-jurang yang amat terjal dan tak mungkin dilalui manusia, kecuali kalau manusia itu dapat terbang seperti Burung.
Bahkan anak murid yang belum tamat, tidak diberi tahu tentang jalan rahasia ini dan karenanya mereka tak dapat meninggalkan puncak sebelum pelajaran mereka tamat. Karena adanya jalan rahasia inilah maka musuh-musuh besar Suami Isteri itu, di antaranya Song-Bun-Kwi, tidak berdaya menyerbu Thai-San-Pai. Jalan rahasia ini dapat dirubah-rubah sehingga andaikata seorang musuh berhasil mendapatkan rahasia pada hari itu, pada lain harinya pengetahuannya itu akan sia-sia belaka karena setelah dirubah, rahasia itu jauh berlainan dengan yang sudah-sudah. Untuk menjaga rahasia gunungnya, Beng San sengaja hendak meengadakan perayaan pendirian Thai-San-Pai itu di bawah puncak, sehingga ia tidak usah mendatangkan para tamu ke puncak dan karenanya tidak perlu ia membuka rahasia itu.
Para anak murid Thai-San-Pai sudah siap siaga di bawah puncak. Sebelum hari ditetapkan tiba, kurang seminggu anak murid sudah siap menyambut para tamu, mewakili ketua mereka. Beng San sendiri tidak mau turun dari puncak sebelum hari yang ditentukan tiba. Ia dan Isterinya menanti datangnya para anak murid yang bertempat tinggal jauh, juga menanti datangnya puteri mereka, Tan Cui Bi. Para tamu mulai mendatangi dan sibuklah anak murid Thai-San-Pai menyambut, mereka. Yang mewakili Beng San mengadakan penyambutan dan menyampaikan maaf ketuanya karena sibuk sehingga baru akan muncul pada hari yang telah ditetapkan, adalah Oei Sun, murid tertua, seorang laki-laki bertubuh tinggi kurus berusia empat puluh tahun. Macam-macam sikap para tamu ketika menerima penyambutan yang hanya dilakukan oleh murid tertua Thai-San-Pai ini.
Mereka ini kesemuanya amat menghormat dan mengagumi Raja Pedang Tan Beng San, namun apakah artinya murid Thai-San-Pai yang baru saja berdiri ini? Ada yang menerima penyambutan dengan hormat, ada yang berterima kasih dan berdiam diri saja, akan tetapi ada pula yang bersungut-sungut, menganggap bahwa Ketua Thai-San-Pai tidak memandang mata kepada mereka. Namun, karena sungkan mendatangkan keributan, mereka ini menerima saja dan mendiami tempat masing-masing, yaitu bangunan-bangunan darurat yang sudah disediakan untuk mereka. Seorang di antara para tamu. Lai Tang yang berjuluk Cakar Naga, seorang guru silat dari Kota Raja yang bertubuh tinggi besar seperti raksasa dan berwatak kasar pongah, ketika mendapat sambutan ini segera berkata sambil berjalan ke arah pondok yang ditunjuk baginya,
"Hemm, hemm, Thai-San-Pai Ciangbunjin (Ketua) sedang sibuk dan tidak ada kesempatan menyambut kedatanganku? membikin kakiku terasa berat saja menaiki Thai-San."
Semua tamu mendengar ini melihat dan beberapa orang di antaranya berseru kagum ketika melihat betapa jejak kaki guru silat tinggi besar ini memperlihatkan bekas sedalam sepuluh sentimeter lebih dalam tanah yang keras itu! Demonstrasi yang diperlihatkan Lai Tang itu menunjukkan bahwa tenaga Lweekangnya cukup hebat, agaknya sengaja ia perlihatkan untuk mengejek bahwa seorang anak murid Thai-San-Pai yang tidak ada nama itu tidak cukup berharga untuk menyambut seorang tamu yang berkepandaian selihai dia! terdengar Oei Sun tertawa ramah, lalu berkata,
"Maaf, maaf, Lai-Kauwsu (Guru Silat Lai), Suhu telah memesan agar supaya menyampaikan maafnya dan memesan supaya Siauwte melayani semua tamu dengan hormat. Biarlah Siauwte yang meringankan kalau Kauwsu merasa berat kaki."
Setelah berkata demikian, dengan tenang ia berjalan pula melangkah dekat jejak kaki guru silat itu dan... bekas kaki yang amblas sepuluh senti meter itu segera lenyap karena tanahnya sudah rata kembali! Semua tamu kembali berseru memuji dan guru silat Lai itu menengok, melihat apa yang dilakukan Oei Sun. Mukanya menjadi merah dan ia segera membalikkan tubuh mengangkat tangan memberi hormat kepada Oei Sun.
"Panglima yang pandai mempunyai perajurit yang hebat pula! Sahabat, dengan kepandaian seperti yang kau miliki, tentu saja aku sudah merasa cukup terhormat mendapat penyambutanmu!"
Setelah berkata demikian, Lai Tang berjalan menuju ke pondoknya sambil tertawa. Senang hati Oei Sun karena biarpun pongah dan kasar, kiranya guru silat she Lai itu cukup jujur dan terbuka hatinya, Di kaki puncak itu telah dibuat tanah datar yang amat luas dan di tengah dibangun teratak tinggi, setinggi dua meter dengan bentuk persegi empat berukuran lima meter. Di ujung teratak yang lantainya terbuat dari papan tebal dan tiang-tiangnya di bawah dari balok besar-besar ini dipasangi meja sembahyang.
Teratak tanpa atap inilah yang akan menjadi tempat dilakukan upacara pendirian Thai-San-Pai dan sengaja dibuat dalam bentuk seperti biasa orang membuat panggung Lui-Tai di mana orang akan dapat bermain silat cukup leluasa. Bukanlah hal aneh kalau setiap pertemuan di antara para jago silat atau dalam Partai-Partai persilatan, dibuat teratak semacam ini untuk memberi kesempatan orang bermain silat atau bertanding kepandaian silat. Banyak juga tamu-tamu yang datang, sampai tidak kurang dari lima puluh orang yang mendapat istirahat di pondok-pondok darurat di kaki puncak. Akan tetapi rombongan-rombongan besar dari Partai-Partai terkenal seperti dari Kun-Lun-Pai, Bu-Tong-Pai, Siauw-Lim-Pai dan lain-lain, adalah Partai-Partai yang dipimpin oleh orang-orang terkenal.
Mereka ini tahu diri dan tidak suka mendesak-desak, maka sebelum tiba hari yang ditentukan, mereka tidak mau naik ke kaki puncak, melainkan berhenti di lereng-lereng dan mencari tempat peristirahatan didalam hutan-hutan yang indah pemandangannya dan sejuk hawanya. Juga tokoh-tokoh besar perorangan belum ada yang muncul ke kaki puncak karena orang-orang seperti mereka inipun tentu saja bersikap "jual mahal"
Dan tidak muncul sebelum Ketua Thai-San-Pai keluar dari sarangnya. Pendeknya, biarpun yang kelihatan berkumpul di kaki puncak hanya ada lima puluh orang, namun di lereng-lereng Thai-San telah datang banyak orang yang masih menyembunyikan diri di tempat peristirahatan masing-masing, di dalam hutan-hutan yang banyak terdapat di seluruh permukaan Pegunungan Thai-San itu.
Selama menanti datangnya hari penentuan itu, mereka yang datang ke Thai-San, baik yang sudah diterima oleh murid kepala maupun yang masih berdiam menanti di hutan-hutan, setiap hari berjalan-jalan menikmati pemandangan alam yang bukan main indahnya. Mereka yang dalang dari gunung-gunung lain, membandingkan pemandangan di situ dengan tamasya alam di tempat masing-masing. Mereka memuji akan keindahan Thai-San dan diam-diam menyatakan kagum kepada Raja Pedang Tan Beng San yang pandai memilih tempat untuk dijadikan pusat perkumpulannya, ada yang memuji nasib baik Raja Pedang itu karena telah menjadi mantu Bu-Tek Kiam-Ong Cia Hui Gan yang dahulu merajai daerah pegunungan ini. Banyak di antara tamu yang merasa penasaran melihat bahwa tempat upacara dan pertemuan tidak diadakan di puncak, melainkan di kaki puncak.
"Hemmm, Ketua Thai-San-Pai benar-benar tidak memandang kepada kita!"
Beberapa orang di antara mereka berkata.
"Apakah puncak tempat tinggal mereka itu terlalu bersih sehingga takut dikotori kaki kita?"
Ada pula yang mengomel,
"Kabarnya jalan rahasia Thai-San-Pai benar-benar amat hebat dan yang paling sulit dipecahkan di antara tempat-tempat rahasia di dunia ini. Aku ingin mendapat kesempatan ini untuk melihatnya. Siapa tahu, Ketua Thai-San-Pai begini pelit tidak mau memperlihatkan puncak. Apakah ia takut kalau kita akan mencuri barang-barang yang berharga?"
Macam-macam pendapat orang, pada pokoknya banyak yang merasa penasaran. Malah perasaan ini mendatangkan kejadian bermacam-macam, dan ada yang hebat pula akibatnya, Beberapa kelompok malah berusaha untuk mencari sendiri jalan rahasia, bermaksud untuk mendaki puncak dan mencari jalannya.
Akan tetapi akibatnya, mereka ini berkeliaran di hutan-hutan, sesat tidak karuan dan selama dua hari baru dapat keluar dari hutan-hutan yang sulit dilalui, dengan tubuh lemas dan perut lapar, malah ada yang hampir mati dikeroyok ular atau binatang lain! Lebih celaka lagi, ada yang pergi seorang diri, diam-diam mempergunakan kepandaian menawan seorang anak murid Thai-San-Pai, menyeretnya ke dalam hutan dan memaksanya untuk mengaku dan membuka rahasia jalan ke puncak. Orang ini terlalu memandang rendah anak murid Thai-San-Pai. Biarpun murid yang ia lawan itu tidak sanggup melawannya karena kalah tinggi tingkat kepandaiannya, namun setiap orang murid Thai-San-Pai adalah orang pilihan yang mempunyai kesetiaan luar biasa.
Murid Thai-San-Pai itu tidak mau membuka rahasia pertanyaannya, biarpun ia disiksa oleh Si Penawannya, malah kemudian sampai tewas dan ditinggalkan mayatnya begitu saja di dalam hutan itu. Si Penawan ternyata gagal mendapatkan rahasia Thai-San-Pai dan dengan hati kecut ia meninggalkan orang tawanannya yang telah menjadi mayat, takut kalau-kalau akan ketahuan rahasianya. Dengan wajah biasa dan sikap tenang orang ini kembali di antara para tamu. Ributlah para anak murid Thai-San-Pai ketika mereka mendapatkan seorang saudaranya tewas di dalam hutan. Namun mereka tidak memperlihatkan kegugupannya. Dengan tenang Oei Sun yang mendengar tentang ini, menyuruh seorang murid melapor kepada Suhunya yang membawa mayat saudara seperguruannya itu naik ke puncak pula untuk diperiksa ketua mereka.
Kejadian ini berlangsung tanpa banyak menimbulkan keributan, namun tentu saja berita ini tersiar luar di antara para tamu sehingga mereka ini diam-diam menjadi tegang karena menduga bahwa tentu akan terjadi pertandingan hebat antara Thai-San-Pai dengan orang-orang yang memusuhinya, di antaranya, orang-orang, yang telah membunuh anak murid Thai-San-Pai itu! Lima hari sebelum bulan pertama, yaitu hari pendirian Thai-San-Pai, datanglah Tan Cui Bi bersama Tan Kong Bu ke tempat penyambutan. Tentu saja para anak buah murid Thai-San-Pai menyambut kedatangan Cui Bi dengan gembira, Akan tetapi Oei Sun memandang Sumoinya (adik perempuan seperguruan) ini dengan mata diliputi kemuraman, lalu menarik tangan Sumoinya masuk ke dalam pondok. Sambil tertawa ia memberi tanda kepada Kong Bu untuk ikut pula ke dalam. Ketika Oei San melihat ini, keningnya berkerut, akan tetapi Cui Bi berkata,
"Oei-Suheng, dia ini bukan orang luar. Dia... hemm, belum waktunya kau mengetahui hal ini. Aku dan Kong Bu-Koko ini tidak akan segera naik menemui Ayah Ibu, karena kami berdua hendak menanti datangnya tiga orang murid Hoa-San-Pai. Aku sendiri yang harus menyambut mereka dan setelah mereka mendapat pondokan yang baik, barulah aku akan menghadap Ayah Ibu. Eh, Suheng, kenapa kau kelihatan tak senang dan gelisah? Apakah yang terjadi?"
Biarpun Cui Bi merupakan adik seperguruan namun tentu saja Oei Sun menganggap gadis muda ini seperti atasannya karena gadis ini adalah puteri gurunya dan ia maklum bahwa dalam hal kepandaian, ia tidak ada setengahnya Sumoinya yang nakal ini.
"Sumoi, aku merasa kecewa bahwa kau sama sekali tidak muncul lebih siang untuk membantu keperluan kita. Kau tahu, baru saja kemarin terjadi hal yang menggemaskan."
Lalu murid tertua ini bercerita tentang tewasnya seorang murid Thai-San-Pai secara aneh itu.
"Ternyata di antara para tamu terdapat musuh-musuh curang dari Suhu sehingga mereka itu melakukan pembunuhan sebelum Suhu sendiri turun dari puncak. Bukankah ini amat menggemaskan?"
Kata Oei Sun sambil membanting-banting kaki.
"Thai-San-Pai belum diresmikan pendiriannya saja sudah harus menelan penghinaan ini. Hemm, ingin aku mengetahui siapa yang melakukan perbuatan ini dan ingin aku berhadapan dengan dia!"
Tentu saja Cui Bi juga marah mendengar ini.
"Benar-benar jahat dan curang sekali! Kalau memang mau mencari perkara dengan kita, kenapa tidak terang-terangan saja? Hemm, coba dia berani memperkenalkan diri, takkan mau sudah aku kalau belum kupenggal batang lehernya. Suheng, biarlah sambil menanti datangnya teman-teman dari Hoa-San-Pai, aku akan memasang mata. Kurasa, orang yang membunuh itu tentu telah menculik saudara kita itu untuk dipaksa memberi tahu tentang rahasia jalan ke puncak. Apakah di tubuh Suheng itu terdapat tanda luka-luka berat?"
Oei Sun memandang kagum. Memang harus ia akui bahwa Sumoinya ini biarpun masih muda, namun memiliki kecerdikan luar biasa.
"Kau betul, Sumoi. Memang begitulah agaknya, namun derita yang diderita oleh Sute itu hebat, seperti ditusuki benda panas, tentu sebelum meninggal dia menderita sekali."
Cui Bi lalu minta disediakan sebuah pondok yang berada menjauh dan tersembunyi karena ia hendak melakukan pengintaian selama menanti kedatangan Kun Hong dan Li Eng. Juga Ia mengharapkan kedatangan Hui Cu yang sampai sekarang belum ia ketahui bagaimana nasibnya itu. Sebentar saja kedukaan akan kematian seorang Suhengnya telah tak berbekas pula. Di dalam pondok ia menggoda kakak tirinya.
"Bu-Ko, hatimu tentu berdebar-debar, bukan?"
"Apa maksudmu? Kenapa kita harus menanti di sini? Bukankah lebih baik terus saja, ke puncak menemui... Ayah?"
Kaku juga pemuda ini menyebut Ayah yang selamanya tak pernah ia lihat itu.
"Hish, benarkah kau begitu terburu-buru? Ataukah kau diam-diam ingin segera melihat kedatangan... dia?"
"Bi-moi, kau selalu menggodaku tentang Nona Kui Li Eng itu. Hmmm, tahukah kau apa yang akan terjadi kalau aku dan dia bertemu? Kami berdua sudah saling menantang, kalau sekali bertemu akan mengadu pedang!"
Pendekar Kelana Karya Kho Ping Hoo Lembah Selaksa Bunga Karya Kho Ping Hoo Harta Karun Jenghis Khan Karya Kho Ping Hoo