Ceritasilat Novel Online

Rajawali Emas 26


Rajawali Emas Karya Kho Ping Hoo Bagian 26



Akan tetapi Cui Bi tidak heran malah tertawa manis.

   "Tentu saja, maksud dia itu hendak menjatuhkan hatimu, bukan pedangmu. Padahal, tanpa usaha itupun kau sudah jatuh. Bukan begitu?"

   Kong Bu benar-benar merasa bohwat (tak berdaya) menghadapi adik tirinya yang nakal ini.

   "Sudahlah... sudahlah, Moi-moi. Siapa tidak tahu, bahwa kaulah yang rindu kepada... kutu buku itu?"

   Seketika wajah Cui Bi berubah, matanya membelalak. Seakan-akan hal ini merupakan hal baru baginya, atau sesuatu yang baru saja teringat olehnya. Hatinya berdebar keras, membuat wajahnya seketika menjadi merah sekali. Ia seorang gadis yang jujur, tak suka berpura-pura, apalagi terhadap kakak tirinya yang baginya sudah dianggap sebagai kakak kandungnya sendiri itu. Ia menunduk, termenung, tak dapat berkata-kata lagi, seakan-akan lupa bahwa kakak tirinya berada di situ. Melihat adiknya tiba-tiba menunduk dan termenung itu, Kong Bu kuatir kalau ia membuat adiknya tak senang. Ia menyentuh pundaknya dan berkata,

   "Kau kenapa? Aku hanya main-main, jangan marah. Kau tukang menggoda orang, kalau digoda sedikit saja, lalu ngambek!"

   Akan tetapi ketika adiknya itu mengangkat muka memandangnya, hati Kong Bu tertegun. Adiknya ini tidak ngambek, tidak marah, kelihatan terharu dan bingung!

   "Bu-Ko, apakah kau pikir betul-betul aku rindu kepadanya?"

   "Lho, mengapa urusan begitu kau bertanya kepadaku? Habis, kau sendiri bagaimana?"

   "Aku... aku tidak tahu, Bu-Ko, aku tidak tahu. Hanya terus terang saja, aku memang... Ingin sekali melihatnya. Lucunya ia mengira aku seorang laki-laki. Ah, Bu-Ko, aku meragu. Apa yang harus kulakukan?"

   Kong Bu terharu. Adik tirinya ini benar-benar seorang yang berhati polos, terhadap dia tidak mau menyimpan rahasia apa-apa, begitu jujur dan menaruh kepercayaan yang besar sekali. Hal ini membuatnya terharu dan makin mendalam rasa sayangnya kepada adik tiri ini. Aku harus membelanya, aku harus melindunginya, aku ingin melihat dia berbahagia, adikku sayang ini, pikirnya.

   "Bu-Ko, kau lihat orang she Kwa itu orang bagaimana?"

   Tanya pula Cui Bi dengan mendadak.

   "Hemm, mana aku tahu? Hanya sebentar aku bertemu dengan dia. Dia memang orang aneh, semuda itu kata-katanya mengandung filsafat-filsafat tinggi. Kau... kau yang sudah cukup lama melakukan perjalanan bersama dia tentu kau lebih mengenal sifat-sifat. Tapi dia itu... kutu buku yang lemah, seperti kau katakan sendiri. Apakah sifat ini sesuai dengan kau... seorang gadis yang memiliki kepandaian tinggi dan jiwa gagah perkasa?"

   Cui Bi menggeleng kepalanya berkali-kali.

   "Entahlah... entahlah... dia aneh, Koko. Ah, aku bingung..."

   Kedatangan dua orang itu tidak menarik perhatian para tamu. Siapa memperhatikan dua orang muda yang bersahaja itu? Hanya dua orang pemuda yang ganteng, tidak ada apa-apanya yang aneh. Tentu saja tidak ada di antara mereka yang tahu bahwa seorang di antara dua pemuda itu adalah puteri dari Ketua Thai-San-Pai dan tidak ada yang tahu pula bahwa pemuda yang seorang lagi adalah cucu yang tergembleng dari Kakek Song-Bun-Kwi! Alangkah girangnya hati Cui Bi, dan diam-diam juga hati Kong Bu, ketika pada keesokan harinya tiba tiga orang muda yang bukan lain adalah Kun Hong, Li Eng, dan Hui Cu di kaki puncak itu! Lebih besar kegirangan Cui Bi karena melihat bahwa Hui Cu juga sudah berada dengan pemuda itu dalam keadaan selamat. Berlari-larian ia menyambut kedatangan tiga orang itu, diikuti oleh Kong Bu yang agak meragu berjalan di belakangnya.

   "Adik Cui Bi...!"

   Kun Hong berseru dan tanpa ragu-ragu lagi memegang kedua tangan sahabat ini.

   "Alangkah girangku melihat kau di sini! Ah, adik yang nakal, kenapa tempo hari kau pergi begitu saja tanpa pamit? Aku... aku ingin memperkenalkan kau dengan keponakan-keponakanku. Ini dia Li Eng yang seringkali kuceritakan kepadamu, dan ini Hui Cu. Anak-anak, inilah pemuda aneh murid Thai-San-Pai yang seringkali kuceritakan kepada kalian. Dia hebat!"

   Diam-diam Cui Bi yang mukanya menjadi merah sekali itu bertukar pandang dengan Kong Bu yang juga sudah sampai di situ.

   "Eh, kau juga di sini? Bersama-sama Bi-Laote?"

   Kun Hong menegur kaget dan heran melihat Kong Bu berada pula di situ dengan sahabatnya itu. Namun yang ditegur hanya mengerling kepada Li Eng yang sebaliknya memandang kepadanya dengan mata merah! Panas rasa dada Li Eng. Tentu saja panas melihat pemuda yang dibencinya itu berada bersama Cui Bi! Hemm, dia tak sebodoh pamannya. Akan tetapi terpaksa ia menahan panas hatinya itu karena Cui Bi sudah merangkapkan kedua tangan memberi hormat kepadanya dan kepada Hui Cu.

   "Syukur kalian sudah datang!"

   Seru Cui Bi gembira.

   "Aku sudah menyediakan sebuah pondok besar untuk kalian. Mari, mari silakan ke pondok beristirahat sambil bercakap-cakap. Hong-Ko kita masih banyak waktu, masih empat hari lagi hari yang ditentukan. Kalian bisa beristirahat sambil menikmati keindahan tempat kami."

   Ia lalu menggandeng tangan Kun Hong ke pondok besar yang agaknya menyendiri letaknya, berdekatan dengan pondok Cui Bi sendiri. Memang dia sengaja memilih dua pondok berjajar yang agak terpisah jauh dari pondok para tamu itu untuk sahabat-sahabatnya dari Hoa-San-Pai. Ketika melihat bahwa pondok itu tidak mempunyai kamar-kamar terpisah. Kun Hong menjadi agak bingung.

   "Ah, mengapa pondok ini tanpa kamar? Habis, bagaimaha kita bisa bermalam di sini? Ia memandang kepada dua orang keponakannya. Li Eng tertawa, lalu berkata,

   "Mengapa bingung? Aku dan Enci Hui Cu tentu saja tidur sepondok dengan dia! Hayo, Saudara Cui Bi, kita mengobrol di pondok yang satunya."

   Tanpa ragu-ragu lagi Li Eng menggandeng tangan Cui Bi, ditariknya memasuki pondok kedua diikuti oleh Hui Cu yang tersenyum-senyum. Kun Hong melongo, kemudian membentak,

   "Eng-ji, apa kau gila...??"

   Akan tetapi alangkah herannya ketika ia melihat Cui Bi tidak menjadi marah atau malu, malah tertawa-tawa dan merangkul Li Eng, juga Hui Cu lalu mendekat dan merangkul sehingga tiga orang itu, Cui Bi di tengah-tengah, dirangkul oleh dua orang gadis keponakannya, memasuki pondok sambil tertawa-tawa!

   "Gila... mereka gila semua... atau aku yang gila...?"

   Kun Hong berkata seorang diri dengan mata tetap terbelalak. Diam-diam Kong Bu memperhatikan pemuda Hoa-San-Pai itu dan ia menjadi geli hatinya. Pemuda Hoa-San-Pai ini benar-benar tidak berpura-pura dan memang tidak pernah mengira bahwa Cui Bi adalah seorang wanita. Ia tidak terlalu menyalahkannya karena dia sendiri juga tadinya tertipu oleh adik tirinya yang nakal itu. Agaknya dua orang gadis Hoa-San-Pai itu, karena sama-sama wanita, begitu bertemu sudah dapat mengenal keadaan sesungguhnya dari Cui Bi.

   "Saudara Kwa Kun Hong bukan mereka yang gila, juga kau tidak gila, hanya kau itu telah tertipu. Adik Cui Bi bukanlah seorang pria, melainkan seorang gadis, puteri tunggal Ketua Thai-San-Pai."

   "Ohhh..."

   Kun Hong makin melongo, kemudian mukanya tiba-tiba berubah merah sekali karena ia teringat betapa tadi dalam pertemuan itu ia begitu girang dan, memegang kedua tangan "Pemuda"

   Itu begitu mesra. Kalau ia tahu ia seorang gadis! Kalau tahu mau apa? Ia pernah ditempiling, pernah dihina dimaki. Tapi, mengapa gadis itu mau melakukan perjalanan bersama dia? Mau membelanya? Ah, apa artinya semua ini? Kong Bu tertawa dan menepuk-nepuk Kun Hong.

   "Tak usah heran, aku sendiripun pernah tertipu olehnya. Sudahlah, kau kelihatan lelah sekali, kau mengasolah, malam ini aku mempunyai tugas penting, tak usah kau menunggu aku. Nanti akan ada anak murid Thai-San-Pai yang mengantar hidangan untukmu."

   Sebelum Kun Hong sempat bicara, pemuda itu telah meninggalkannya, keluar dari pondok, Kun Hong tidak berani mencegah karena ia belum mengenal betul pemuda cucu Song-Bun-Kwi itu. Otaknya diputar, dan banyak hal menimbulkan keheranan dan kebingungannya. Banyak hal hendak ia tanyakan kepada pemuda itu, namun pemuda itu telah meninggalkannya dan betul-betul ia merasa lelah setelah melakukan perjalanan jauh itu. Benar saja, menjelang malam, seorang anak murid Thai-San-Pai yang gagah dengan sikap hormat sekali mengantarkan hidangan sederhana.

   Anak murid ini pendiam sekali dan penuh hormat sehingga Kun Hong merasa tidak enak bahwa sebagai seorang tamu ia banyak bertanya-tanya, apalagi mengenai diri putera Ketua Thai-San-Pai. Ia makan seorang diri, lalu merebahkan diri di atas pembaringan kayu yang berada di dalam pondok. Mengapa Hui Cu atau Li Eng tidak muncul? Apakah mereka juga lelah? Ah, aku harus mencari mereka. Tidak enak sekali rasa hatinya. Kalau ia teringat akan pengalamannya dengan Cui Bi yang disangkanya seorang pria

   (Lanjut ke Jilid 25)

   Rajawali Emas (Seri ke 02 - Serial Raja Pedang)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 25

   itu, ia merasa amat malu. Bagaimana ia akan berani berhadapan dengan Paman Tan Beng San? Ke mana ia harus menaruh mukanya kalau nanti bertemu dengan Cui Bi? Malam itu terang bulan, akan tetapi banyak awan hitam di angkasa raya yang sebentar-sebentar menutupi bulan. Kun Kong keluar dari pondoknya.

   Memang pondok ini agak jauh dari pondok-pondok lain yang penuh tamu. Pondok-pondok lain itu tidak kelihatan dalam kegelapan malam, hanya sinar api penerangan yang berkelap-kelip nampak dari jauh. Siapa tahu kalau-kalau dua orang keponakannya itu berada di luar pondok mereka, pikirnya dan ia berjalan hati-hati menghampiri pondok yang hanya terpisah beberapa puluh meter itu dari pondoknya. Sunyi di pondok itu, malah api penerangannya juga sudah padam. Agaknya tiga orang itu sudah tidur. Kun Hong menghampiri hati-hati sekali dan ketika bulan menyinarkan cahayanya menembus awan tipis, hatinya girang melihat bayangan seorang gadis duduk di belakang pondok, di atas sebuah batu besar. Tak salah lagi, itulah Hui Cu, seorang diri melamun! Hui Cu duduk membelakanginya dan dengan hati-hati tapi cepat Kun Hong menghampirinya.

   "Ssttt, Hui Cu, kau belum tidur?"

   Bisiknya menghampiri. Hui Cu diam saja, seakan-akan tidak mendengarnya.

   "Cu-ji (Anak Cu), celaka sekali..."

   Kun Hong kini mendekat dan berdiri di belakang gadis itu.

   "Kita harus lekas-lekas pergi meninggalkan tempat ini! Ah, celaka, tak mungkin aku dapat menghadap Paman Tan Beng San setelah semua kejadian ini. Tak dapat aku berhadapan dengan... dia. Ah, siapa tahu, kiranya ia seorang gadis..."

   Terdengar Hui Cu tertawa perlahan, ditahan-tahan, tubuhnya bergerak sedikit akan tetapi mukanya tidak kelihatan jelas karena bulan tertutup awan hitam,

   "Hui Cu, kau malah mentertawakan aku? Kau tidak tahu, betapa memalukan dan tak patut kelakuanku terhadap dia. Aku maki dia pemuda pesolek, aku menyatakan banci, aku marah dan dia agaknya benci kepadaku, dia menampar pipiku, memaki aku pemuda sombong. Ah, kau tidak tahu, Hui Cu, aku tidak ada muka untuk bertemu dengannya. Lekas kau beritahukan Li Eng, bangunkan perlahan-lahan dan kita pergi meninggalkan tempat ini. Kalau kau dan Li Eng tidak mau, terpaksa aku sendiri akan pergi, aku tidak berani bertemu dengan dia dan orang tuanya."

   Hui Cu sudah turun dari batu dan berdiri di depannya. Melihat keponakannya ini diam saja, Kun Hong memegang kedua tangannya diguncang-guncang dan ia berkata penuh permintaan,

   "Hui Cu, jangan anggap hal ini sebagai main-main. Aku benar-benar malu, kenapa kau acuh tak acuh? Lekas masuk ke pondok dan beri tahu Li Eng, malam ini juga aku akan pergi."

   Perlahan-lahan awan hitam tertiup angin meninggalkan bulan sehingga perlahan-lahan sinar bulan menerangi tempat itu.

   "Hui Cu, kenapa kau diam saja? Kenapa... aihhhh, kau ini siapa... ahhh...,"

   Kun Hong terbelalak dan mulutnya ternganga memandang wajah gadis yang disangkanya Hui Cu itu. Wajah yang seperti bulan purnama itu sendiri, gilang-gemilang dengan sepasang mata bening bersinar-sinar, hidungnya kecil mancung di atas sepasang bibir yang setengah tersenyum mengejek, yang manis sekali, yang pernah membuat ia kehilangan rasa bencinya... wajah seorang gadis cantik jelita melebihi bidadari kahyangan, wajah... Cui Bi!

   "Aduh, celaka... aduh... aku tolol... ah..."

   Kun Hong gagap-gugup akan tetapi lupa bahwa sejak tadi ia masih memegangi kedua tangan gadis itu!

   "Hong-Ko..."

   Suara merdu yang sudah amat dikenalnya, terlalu dikenalnya, suara yang dahulupun ketika gadis ini disangkanya pria, sering mendatangkan rasa nikmat dan nyaman di hatinya.

   "Hong-Ko, kenalkah kau padaku?"

   "Hemm, eh, tentu saja, kau... eh, kau Bi-Laote (adik laki-laki Bi)."

   Cui Bi tertawa, suara ketawanya perlahan, ditahan-tahan menyatakan bahwa ia merasa geli sekali.

   "Bi-Laote...?"

   Ia mengulang, matanya bersinar-sinar, wajahnya berseri tertimpa cahaya bulan keemasan. Bibirnya tersenyum lebar sehingga tampak gigi putih berkilau sebentar.

   "Eh... Oh... bagaimana aku ini...? Kau... Nona Tan..."

   Kemudian Kun Hong yang hendak mengangkat tangan memberi hormat baru sadar bahwa sejak tadi ia memegangi kedua tangan orang! "Maaf... maaf sebanyak-banyaknya..."

   Ia cepat melepaskan pegangannya dan menjura sambil membungkuk-bungkuk.

   "maafkan aku, Nona."

   "Hong-Ko, apa-apaan kau ini? mendadak sontak menyebut nona-nonaan segala? Kalau begitu lebih baik kau seterusnya menyebut aku Laote (adik laki-laki)!"

   Suara Cui Bi terdengar merajuk dan manja. Juga sikap ini amat dikenal oleh Kun Hong dan suara inilah yang dahulu membuat ia memaki Cui Bi sebagai anak manja, anak pesolek!

   "Maaf... habis, bagaimana...?"

   "Kau lebih tua daripada aku. Kalau aku laki-laki, kau memanggil Laote, kalau perempuan, masa kau tidak tahu Harus memanggil apa? Kau menyebut Ayahku paman, bukankah aku ini adik perempuanmu adik misanmu?"

   "Oh, ya... ya, baiklah Siauw-moi (Adik Perempuan Cilik)."

   "He, aku sudah berusia tujuh belas kau masih menyebut Siauw-moi? Apakah kau anggap aku ini masih bocah?"

   "Bi-moi-moi..."

   Kun Hong membetulkan kesalahannya. Cui Bi nampak puas, lalu tiba-tiba ia menyambar tangan Kun Hong, dipegangnya seperti tadi Kun Hong memegang tangannya, seperti dulu sebagai "Cui Bi pria"

   Ia memegang tangan sahabatnya.

   "Hong-Ko, marahkah kau kepadaku? Aku sudah menipumu."

   "Tidak, tidak... kenapa mesti marah? Aku yang tolol."

   "Tidak senangkah hatimu mendapat kenyataan bahwa, sahabat baikmu itu ternyata adalah seorang wanita?"

   "Tentu, senang... senang sekali, eh, aku..."

   Bingung Kun Hong teringat akan semua ucapannya tadi.

   "Kau... apa? Kau datang ini hendak ke manakah? Hendak mencari Enci Hui Cu? Atau Li Eng?"

   Cui Bi melihat kebingungan pemuda itu sengaja menggoda.

   "Tidak. Aku... aku tadi hendak... eh, mencari tempat buang air..."

   Mendengar jawaban yang tak tersangka-sangka ini Cui Bi menahan gelak tawanya, membuat Kun Hong makin bingung.

   "Aiih, perutmu sakit, Hong-Ko? Di sana itu, di belakang kelompok pohon kate itu, ada sebatang anak sungai, di sana kau bisa buang air. Hendak ke sanakah?"

   "Ah, tidak... maksudku, eh, tidak jadi sakit Aku... aduh, Bi-moi, mengapa kau menggodaku? Bukankah kau sudah mendengar semua tadi? Aku malu, lebih-lebih sekarang aku malu sekali, Moi-moi..."

   Cui Bi mempererat genggaman tangannya.

   "Hong-Ko, mengapa malu? Akulah yang seharusnya malu kepadamu, karena aku yang banyak berbuat tak baik terhadapmu."

   "Tidak, tidak! Akulah yang bodoh, yang buta, bagaimana aku berani kurang ajar terhadap puteri Paman Tan Beng San?"

   "Aku sudah pernah menampar pipimu. Hong-Ko, kau sudah berjanji takkan melaporkan hal itu kepada Ayahku, tapi aku masih merasa salah kepadamu. Kau boleh menampar aku sekarang sebagai pembalasan."

   "Wah, mana bisa? Malah aku akan girang kalau kau mau mengulang tamparanmu itu, untuk semua ucapanku yang kurang patut."

   Cui Bi melepaskan pegangannya, berkata lembut,

   "Hong-Ko duduklah."

   Kun Hong dengan kikuk duduk di atas batu, gadis itu duduk didepannya. Mereka saling pandang di antara cahaya bulan yang kadang-kadang terang kadang-kadang gelap. Kun Hong merasa seakan-akan kerongkongannya tersumbat, hatinya berdebar tidak karuan dan ia tidak tahu harus berkata apa. Kikuk sekali rasanya setelah berhadapan dengan sahabat baiknya yang ternyata seorang gadis itu.

   "Hong-Ko, sore tadi kau menyatakan amat girang bertemu denganku, Apakah kau sekarang juga masih merasa girang?"

   "Aku girang sekali."

   "Hong-Ko, kau... sukakah kau kepadaku?"

   Bukan main gadis ini, pikir Kun Hong. Pertanyaan yang seperti todongan pedang tajam di depan ulu hatinya. Gadis yang jujur dan terbuka hatinya. Ia menggigit bibir lalu menekan debaran jantungnya dan menjawab, suaranya bersungguh-sungguh,

   "Bi-moi, aku suka kepadamu, aku suka sekali kepadamu. Entah mengapa, dahulu ketika kau menampar pipiku dan merampas pedangku, aku benci sekali kepadamu. Aku benci dan selalu mendongkol kepadamu, setelah itu aku terheran sendiri mengetahui bahwa kebencian dan kemarahanku kepadamu itu bukan karena pribadimu, melainkan karena aku merasa bahwa kau tidak suka kepadaku! Aku tak senang karena kau tidak suka kepadaku, begitu perkiraanku dahulu. Setelah kita saling jumpa kembali, dan kau... kelihatan suka kepadaku, tidak membenciku, malah membelaku, aku... ah, sejak itu lenyap semua kebencianku kepadamu, menjadi suka sekali. Ketika kau pergi, ah... memalukan sekali, aku merasa rindu, ingin bertemu, ingin berdekatan. Kuanggap kau sebagai sahabat yang luar biasa, entah mengapa, rasa sayang memenuhi hatiku. Setelah sekarang ternyata kau seorang wanita, ah... tak tahu aku, aku bingung, Moi-moi."

   Bulan bersembunyi di balik awan sehingga Kun Hong tidak melihat betapa mata gadis itu menjadi basah air mata, tapi mulut gadis itu tersenyum bahagia.

   "Hong-Ko, katakanlah terus terang, apakah kau sekarang, setelah melihat bahwa sahabatmu ini seorang wanita, masih sayang kepadaku?"

   "Itu... itu... ah, mana aku berani begitu kurang ajar, Moi-moi? Mana aku berani menyatakan hal demikian kurang ajar? Kau puteri Paman Tan Beng San, kau berkepandaian tinggi, kau cantik jelita, sedangkan aku..."

   "Kau seorang pemuda luar biasa, Hong-Ko, Belum pernah selama hidupku aku bertemu dengan seorang seperti kau. Kau hebat, kau mengagumkan hatiku dan aku... aku amat suka kepadamu, Hong-Ko Sayang..."

   "Sayang... apakah, Moi-moi?"

   "Hong-Ko, benar-benarkah kau tidak mengerti ilmu silat? Enci Hui Cu dan Enci Li Eng bercerita banyak tentang kau, katanya kau mengerti banyak teori ilmu silat, tapi tidak pernah melatihnya. Betulkah?"

   "Hemm, agaknya betul begitu."

   "Kalau begitu, mudah saja kau berlatih silat. Kau berbakat baik sekali, aku yakin, kalau kau sudah berlatih, aku sendiripun takkan mampu melawanmu!"

   Cui Bi nampak gembira sekali.

   "Sstttt...!"

   Tiba-tiba Kun Hong berdiri dan menoleh, Cui Bi juga menoleh dan masih dapat melihat bayangan orang berkelebat cepat sekali, menghilang di dalam gelap.

   "Ada orang..."

   Kata Cui Bi, terheran-heran mengapa ia kalah dulu oleh Kun Hong melihat orang itu tadi. Kun Hong juga sadar bahwa tanpa terasa ia telah memperlihatkan kelihaian matanya, maka cepat-cepat ia berkata,

   "Aku kebetulan menengok dan melihat bayangannya. Adik Cui Bi, lebih baik kita berpisah, biarlah besok masih banyak waktu bercakap-cakap. Tak baik orang melihat kita bicara berdua di sini."

   Cui Bi mengangguk.

   "Dan... Hong-Ko, apakah kau masih bersikeras hendak pergi meninggalkan aku?"

   "Tidak, tidak nanti!"

   Kata Kun Hong.

   "Selamanya?"

   Desak Cui Bi. Makin berdebar hati Kun Hong, apalagi melihat gadis itu berdiri amat dekat. Tanpa serasa lagi ia memegang kedua tangan gadis itu, ditekannya erat-erat untuk beberapa detik sambil berkata,

   "Selamanya tidak akan kutinggalkan kau..."

   
Rajawali Emas Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Lalu dilepaskannya pegangan tangannya dan gadis itu berdiri memasuki pondoknya, meninggalkan suara keluhan panjang, setengah tertawa setengah menangis. Untuk beberapa menit Kun Hong berdiri mematung di tempat itu, lalu perlahan berjalan pulang ke pondoknya dengan wajah berseri-seri. Wajahnya berubah dan menjadi merah ketika ia memasuki pondok, ia melihat Kong Bu sudah berbaring di atas dipan sambil memandang kepadanya dengan tersenyum,

   "Kau sudah pulang...?"

   Tanyanya untuk menyembunyikan kegugupannya. Kong Bu tersenyum lebar,

   "Sudah dari tadi. Aku menantimu, ke manakah kau pergi, Saudara Kun Hong?"

   "Aku... aku pergi buang air ke anak sungai di sana..."

   "Oh, begitukah?"

   Kun Hong tidak mau banyak bicara lagi dan segera merebahkan diri di atas dipan yang lain, lalu pura-pura tidur. Padahal sampai jauh tengah malam ia tidak dapat tidur, wajah yang cantik itu terbayang-bayang terus di depan matanya. Lewat tengah malam barulah dapat tidur.

   "Pagi-pagi sekali Kun Hong terbangun karena mendengar suara orang di luar pondok. Ketika ia bangkit duduk, ia tidak melihat lagi Kong Bu, maka ia segera memburu keluar. Tersipu-sipu pemuda ini ketika melihat Cui Bi sudah berada di luar dengan pakaian pria. Ia tidak jadi keluar dan berhenti di belakang daun pintu. Ia mendengar Cui Bi berkata,

   "Kalau kau tidak melayaninya dan mengalahkannya, ia akan selalu memandang rendah kepadamu, Bu-Ko."

   "Aih, kau ini ada-ada saja. Bagaimana kalau terlihat oleh seorang tamu?"

   "Tidak mungkin,"

   Jawab Cui Bi.

   "Aku yang akan membawa kalian ke tempat rahasia. Kau ikutlah."

   Kong Bu mengomel dan agaknya ragu-ragu, akan tetapi mereka lalu berjalan meninggalkan pondok.

   Kun Hong tertarik sekali, lalu diam-diam ia mengintai dan setelah dua orang itu pergi jauh, ia cepat menyelinap keluar dan mengikuti dari belakang. Udara amat dingin dan masih agak gelap, memudahkan ia mengikuti mereka itu. Dua orang itu berhenti sebentar di depan pondok ke dua di mana Li Eng dan Hui Cu telah menanti, kemudian empat orang muda itu berjalan cepat ke arah utara, menjauhi kelompok pondok para tamu. Kun Hong makin terheran-heran dan diam-diam ia terus mengikuti mereka. Ia melihat Cui Bi memimpin perjalanan, memasuki hutan. Heran betul ia melihat cara gadis itu membawa teman-temannya pergi. Pertama-tama masuk hutan baru lewat seratus meter itu membelok ke kanan dan... keluar lagi dari hutan, lalu masuk lagi dan keluar lagi dari sebelah kiri.

   Kun Hong amat cerdik. Ia tadi sudah curiga ketika Cui Bi bicara tentang tempat rahasia, maka diam-diam ia menaruh perhatian dan selalu mengikuti jejak mereka. Karena perhatiannya itu maka ia mendapat kenyataan bahwa gadis itu selalu berbelok setelah melewati sembilan buah pohon besar. Setelah keluar masuk hutan sembilan kali, tibalah mereka di tempat terbuka, sebuah padang rumput yang luas. Cui Bi dan teman-temannya berhenti. Kun Hong juga berhenti tak jauh dari situ bersembunyi dalam segerombol pohon kembang, ia berjongkok dan mengintai. Ia melihat Cui Bi membuat guratan diatas tanah, guratan yang merupakan garis kurung selebar sepuluh meter. Hebat gadis ini. Dengan jari telunjuk ia menggurat dan rumput di atas tanah seperti dicabuti, tampak nyata garis lingkaran itu seperti dipacul saja!

   "Nah, kalian sudah berjanji kalau bertemu kembali akan mengadu kepandaian. Keduanya penasaran dan hal ini harus dilakukan untuk menentukan siapa di antara kalian yang lebih pandai. Aku tidak suka melihat kalian saling mendendam dan penasaran. Sekarang bertandinglah, lapangan luas tidak ada yang mengganggu. Siapa yang pedangnya jatuh terlempar atau badannya terdesak dari lingkaran ini dianggap kalah. Setuju?"

   Tanpa menjawab Li Eng mengangguk dan mencabut pedangnya, dilintangkan di depan dada dan memandang tajam kepada Kong Bu.

   Pemuda ini mula-mula nampak ragu-ragu, lalu dengan sikap "Apa boleh buat"

   Dari menggeleng-geleng kepala serta menarik napas panjang, mencabut keluar pula pedangnya dan memasang kuda-kuda. Kun Hong terheran-heran dan mendongkol. Mengapa Cui Bi seakan-akan hendak mengadu keponakannya itu dengan Kong Bu? Semua ini adalah gara-gara Cui Bi. Di dalam pondok, gadis ini menggoda Li Eng yang dikatakannya menyukai Kong Bu. Li Eng menyangkal, malah menyatakan ia akan menantang pemuda itu yang dijawab oleh Cui Bi dengan memanaskan hati katanya Li Eng takkan menang. Demikianlah, dengan perantaraan Cui Bi lalu diajukan tantangan pertandingan ini.

   Kun Hong tidak tahu akan kecerdikan Cui Bi yang bermata tajam itu. Gadis ini sudah dapat menduga bahwa kakak tirinya dan Li Eng ini saling mencinta, akan tetapi Keduanya berkeras kepala menyangkal. Maka jalan satu-satunya untuk "saling menemukan"

   Mereka hanyalah memancing mereka bertanding! Dua orang muda itu sudah mulai menggerakkan pedang masing-masing dan terjadilah pertandingan pedang yang bukan main hebat dan serunya. Bayangan keduanya lenyap ditelan sinar pedang masing-masing dan sebentar kemudian terdengar angin bersuitan diseling suara nyaring kalau pedang itu bertemu mengeluarkan suara berdenting disusul muncratnya bunga api. Tadinya Kun Hong hendak melompat keluar untuk mencegah, akan tetapi maksud hatinya ini ia batalkan, ia melihat sesuatu yang aneh dalam pertandingan itu.

   Ia memasang mata dan memperhatikan. Tak salah lagi, dua orang muda yang tampaknya bertempur mati-matian itu sebetulnya saling mengalah dan tidak rnenyerang dengan sungguh-sungguh! Li Eng menang cepat, kalau mau mempergunakan kecepatannya, kiranya ia akan dapat melakukan serangan maut yang akan membahayakan keselamatan Kong Bu. Sebaliknya, dengan ilmu pedangnya yang ganas, yaitu Yang-Sin Kiam-Sut, pemuda ini sebetulnya menang setingkat. Dengan geli hatinya Kun Hong melihat betapa setiap kali Kong Bu melancarkan serangan ganas dan ujung pedangnya sudah mengancam lawan, tiba-tiba pedangnya itu menyeleweng ke samping, tidak melanjutkan serangan. Kalau hanya terjadi sekali dua kali saja hal ini kiranya tidak akan kentara, akan tetapi karena terlalu sering, jelas bahwa hal itu ia sengaja karena ia tidak mau melukai lawannya!

   Demikian pula di pihak Li Eng. Kecepatan pedangnya pada saat ditangkis lawan, demikian hebat sehingga kalau ia mau, menurut penglihatan Kun Hong yang tajam, pedang itu dapat dilanjutkan untuk terus menusuk lawan, namun kerap kali Li Eng hanya menarik pedang yang tertangkis, sama sekali tidak mau mencelakai lawan. Dua ratus jurus telah lewat dan agaknya sikap mengalah itu diketahui juga oleh keduanya, buktinya muka mereka menjadi merah akan tetapi sinar mata mereka berseri. Ketika Kun Hong melirik ke arah Cui Bi, gadis inipun tertawa-tawa, hanya Hui Cu yang tidak setinggi itu tingkatnya, memandang penuh kekuatiran dan tentu saja berdoa untuk kemenangan Li Eng! Kong Bu mulai mundur teratur dan Li Eng dengan gembira mendesaknya.

   Memang maksud keduanya sama sekali tidak mau melukai lawan yang mereka "Benci,"

   Melainkan hendak mencari dengan mendesak lawan mundur dari lingkaran atau memukul jatuh pedangnya. Terdesaknya Kong Bu ini bukanlah pura-pura lagi, karena memang saking terus-menerus mengalah dan memang kalah dalam kegesitan, akhirnya Kong Bu yang terdesak. Hui Cu berseri mukanya akan tetapi Cui Bi mengerutkan kening. Ia maklum bahwa kakak tirinya sebetulnya tidak kalah, kalau sampai keluar dari lingkaran, bukankah akan memalukan dia juga? Ia mengepal tangan menggigit bibir dan pada saat itu Kong Bu sudah tinggal selangkah lagi keluar dari lingkaran. Li Eng gembira, mendesak dengan tusukan digetarkan yang mengancam leher terus ke pusar lawan. Kali ini mau tidak mau Kong Bu harus melompat keluar lingkaran!

   "Tranggg!"

   Kong Bu benar-benar keluar lingkaran, akan tetapi pedangnya secepat kilat menangkis dari atas ke bawah sambil mengerahkan tenaga sehingga pedang itu terlepas dari cekalan tangan Li Eng. Kong Bu cepat mengambil pedang dan mengembalikan kepada Li Eng sambil berkata,

   "Aku menyerah kalah, aku keluar dari lingkaran. Hebat benar ilmu pedangmu, Nona."

   Merah wajah Li Eng namun wajahnya berseri. Ia menerima pedang dan menjura berkata,

   "Bukan, akulah yang kalah. Pedangku terpukul jatuh."

   Cui Bi bertepuk-tepuk tangan dan menari-nari.

   "Hi-hi-hi, bagus... bagus! Kalian sudah saling mengalah, hi-hi, bagus! Lenyaplah benci, muncullah perasaan suci!"

   "Idihhh... kau... ceriwis...!"

   Li Eng melompat dan mencubit bibir Cui Bi, namun sekali mengelak serangan ini luput. Li Eng lalu lari meninggalkan tempat itu.

   "Eng-moi, tunggu...!"

   Hui Cu yang kuatir kalau-kalau adiknya itu marah-marah lalu mengejar.

   "Heeiii, kalian jangan pergi, nanti tersesat jalan. Tidak mudah jalan pulang!"

   Cui Bi berseru, akan tetapi dua orang gadis Hoa-San-Pai itu tidak mempedulikan seruannya dan terus berlari, Li Eng lebih dulu, dikejar Hui Cu.

   "Biarlah, anak-anak nakal itu tidak kapok kalau belum kebingungan dan tersesat di sini. Hemm, biar mereka melihat kelihaian jalan rahasia Thai-San-Pai!"

   Kata Cui Bi.

   "Jangan kuatir,"

   Katanya kepada Kong Bu.

   "nanti mereka akan kucari."

   Setelah berkata demikian, Cui Bi menghampiri Kong Bu, menggandeng tangan pemuda itu diajak duduk di bawah pohon yang besar, agak jauh dari tempat sembunyi Kun Hong. Pemuda ini sekarang hanya dapat memandang dari jauh akan tetapi tidak dapat mendengarkan apa yang mereka bicarakan. Ia hanya melihat mereka bercakap-cakap, kadang-kadang Cui Bi tertawa, kadang-kadang menggelengkan kepala dan kelihatan berduka. Apakah yang dipercakapkan oleh dua orang muda itu?

   "Hi-hik Bu-Koko, sekarang apakah kau mau menyangkal lagi? Jelas kau mengalah dan tidak tega melukai Enci Li Eng, itu hanya berarti bahwa kau sama sekali tidak membencinya, sebaliknya kau... mencintanya. Nah, coba kalau berani menyangkal sekarang!"

   Kata Cui Bi sambil tertawa-tawa menggoda. Kong Bu menarik napas panjang.

   "Sudahlah, aku mengaku. Memang dia itu amat menarik hatiku, aku... aku kagum kepadanya."

   "Katakanlah cinta, masa hanya kagum?"

   Desak Cui Bi.

   "Kau anak nakal! Ya, baiklah, aku cinta kepadanya. Akan tetapi, jangan kau kira aku tidak tahu bahwa kaupun mencinta... kutu buku itu! Hayo, coba kalau kau berani menyangkal setelah pertemuan kalian malam tadi."

   Berubah merah wajah Cui Bi ketika dengan mata membelalak ia memandang kakak tirinya.

   "Heee...?? Jadi bayangan itu... kau kah itu?"

   Tiba-tiba Cui Bi menutupi muka dengan kedua tangan dan terdengar ia menangis terisak-isak. Kong Bu kaget dan memegang tangan adik tirinya itu,

   "Eh, Bi-moi, kenapa kau menangis? Maafkan, aku tidak sengaja hendak menyakiti hatimu, maafkan godaanku tadi."

   Sambil menangis tersedu-sedu Cui Bi menggeleng-geleng kepala,

   "Tidak... kau tidak menggodaku... Bu-Ko, memang aku... aku cinta kepadanya... tapi, ah, bagaimana takkan hancur hatiku karena aku dipaksa berjodoh dengan orang lain...?"

   Saking sedih dan hancur hatinya Cui Bi menjatuhkan diri, menubruk Kong Bu dan menangis di atas dada kakak tirinya itu. Ayah dan ibunya hendak memaksa dia berjodoh dengan lain orang, sekarang hanya ada kakak tirinya inilah yang menjadi satu-satunya orang yang kiranya dapat ia sambati, dapat ia mintai tolong.

   "Tenanglah, Moi-moi, tenanglah... nanti didepan Ayah, aku pasti akan bilang untukmu..."

   Kong Bu dengan terharu mengusap-usap rambut kepala adiknya dan membiarkan gadis itu menangis dan menyembunyikan muka di atas dadanya. Di tempat persembunyiannya, Kun Hong yang hanya dapat melihat adegan ini dari jauh tanpa dapat mendengar pembicaraan itu, seketika menjadi pucat dan seluruh tubuhnya gemetar, kepalanya terasa berputar matanya berkunang. Hampir ia tidak dapat mempercayai adegan yang dilihatnya. Dua orang itu, berpeluk-pelukan. Ah, jahat benar cucu Song-Bun-Kwi, sejahat kakeknya.

   Dan keji benar Cui Bi, setelah malam tadi demikian mesra sikapnya. Hemm, gadis keji ini hendak mempermainkannya rupanya. Hati Kun Hong sakit sekali. Belum pernah selama hidupnya ia merasa sakit hati seperti ini. Kedua matanya yang berapi-api meneteskan dua butir air mata. Kong Bu, kau keparat...! Sudah jelas bahwa kau berusaha menarik hati Li Eng, jelas dalam pertandingan tadi kalian saling mengalah. Malah Cui Bi mengucapkan kata-kata menyindir tentang perasaan Kong Bu dan Li Eng. Tapi sekarang... ah, kalian dua orang berhati binatang. Tak bermalu! Hampir Kun Hong tak kuat menahan hatinya, hampir ia melompat dan menerjang mereka dengan kata-kata pedas. Akan tetapi ia menahan hatinya ketika melihat dua orang itu bangkit berdiri, berjalan bergandengan tangan sampai dekat tempat ia bersembunyi.

   "Bu-Ko, biarlah sekarang kususul Enci Li Eng dan Enci Hui Cu. Akan kubawa kalian semua menghadap Ayah."

   Kong Bu hanya mengangguk dan Cui Bi lalu lari dari tempat itu, lenyap di antara pohon-pohon. Kun Hong yang sudah tak dapat menahan hatinya lagi, melompat keluar. Kong Bu memandang kaget,

   "Eh, Saudara Kun Hong, kau di sini?"

   Kekagetan Kong Bu bukan hanya karena munculnya Kun Hong yang tak disangka-sangkanya itu, akan tetapi terutama sekali melihat pemuda "kutu buku"

   Ini beringas mukanya, matanya berapi-api dan memegang sebatang pedang yang sinarnya kemerahan. Bengis sekali kelihatannya pemuda yang biasanya sopan santun dan lemah-lembut ini, wajahnya tersinar cahaya matahari pagi yang mulai menerobos di antara celah-celah daun pohon.

   "Kong Bu, cabut pedangmu!"

   Tiba-tiba Kun Hong berkata, suaranya menggeledek tidak seperti biasa. Kong Bu makin kaget dan heran.

   "Eh, apa maksudmu, Saudara Kun Hong?"

   Tanyanya bingung.

   "Jangan berpura-pura. Aku sudah melihat semua perbuatanmu yang tak senonoh dengan... Nona Tan Cui Bi. Kau... kau manusia rendah! Kau memikat hati Li Eng dengan kepandaianmu, kau memperlihatkan sikap mengalah dalam pertandingan sehingga ia jatuh dan mengira bahwa kau cinta kepadanya. Kiranya kau hanya mempermainkannya, diam-diam kau main gila dengan Nona Cui Bi! Hemm, Kong Bu, aku seorang penyabar, akan tetapi kali ini kita harus mengadu nyawa! Bersiaplah!"

   Melihat ini, melihat sikap menantang dari Kun Hong, melihat pula cara Kun Hong memegang pedang seperti orang memegang pisau dapur, tiba-tiba Kong Bu tak dapat menahan gelak tawanya yang bergema di sekitar tempat itu.

   "Keparat, tak usah mentertawakan! Kalau memang jantan, cabut pedangmu!"

   Makin panas hati Kun Hong,

   "Tak dapat aku membiarkan kau merusak hati Li Eng!"

   "Ha-ha-ha, Saudara Kun Hong. Hebat benar kau! Aku kagum melihat keberanianmu. Akan tetapi mengapa kau kira aku merusak hati Nona Li Eng? Katakan saja aku merusak hatimu, kau anggap aku merampas Cui Bi darimu! Ha, ha, apa kau kira aku tidak tahu akan pertemuanmu dengan Cui Bi malam tadi? Kau mencinta Cui Bi dan sekarang kau cemburu kepadaku."

   Wajah Kun Hong menjadi merah sekali.

   "Hemm, apalagi kalau sudah tahu akan hal itu, berarti makin jahatnya hatimu dan rendahnya Bi-moi."

   "Tak boleh kau memaki Cui Bi!"

   "Aku tidak memaki, kenyataan yang amat rendah membuktikan."

   "Eh, Kun Hong, kau makin menghina. Kau kira aku takut kepadamu?"

   Kong Bu mencabut pula pedangnya.

   "Mari, mari... kalau kau ingin main-main denganku, boleh!"

   "Majulah, tak usah banyak cakap!"

   Kun Hong menantang. Melihat betapa pemuda Hoa-San-Pai itu memegang pedang dengan ujung pedang terseret, di atas tanah, Kong Bu makin geli dan ia menggertak,

   "Awas pedang!"

   Cepat seperti kilat menyambar pedangnya menusuk ke arah dada Kun Hong. Akan tetapi secepat itu pula ia menarik kembali pedangnya ketika melihat betapa Kun Hong sama sekali tidak melakukan gerakan untuk menangkis maupun mengelak.

   "Eh, benar-benarkah kau hendak mengadu pedang denganku?"

   "Siapa mau main-main denganmu?"

   Jawab Kun Hong.

   "Kenapa kau tidak menangkis atau mengelak?"

   "Hemmm, pedangmu belum menyentuh bajuku, kau sudah ribut-ribut? Hayo seranglah, kalau kau memang laki-laki!"

   Kong Bu kembali menggerakkan pedangnya, kali ini membacok ke arah leher lawannya itu. Ketika pedangnya tinggal beberapa sentimeter lagi dari leher Kun Hong dan kali ini juga Kun Hong tidak menangkis maupun mengelak, Kong Bu terkejut sekali dan cepat merubah arah pedang sehingga membabat atas kepala Kun Hong. Kun Hong tersenyum. Tentu saja ia sudah siap sedia dan ia dapat mengikuti gerakan pedang itu dengan baik sekali sehingga tak perlu ia menangkis atau mengelak sebelum benar-benar ia terancam.

   "Mengapa tidak jadi menyerang? Apakah kau takut?"

   Ejeknya. Kong Bu benar-benar kagum sekali. Belum pernah ia menemui seorang yang begini besar keberaniannya, menanti datangnya pedang dengan mata tidak berkedip sedikit pun.

   "Hebat! Kau benar-benar gagah berani, Saudara Kun Hong. Biarlah tak perlu aku menggodamu lebih lama lagi."

   Kong Bu menyimpan pedangnya.

   "Ketahuilah, kau yang gagah dan cerdik ini, kali ini kau seakan-akan buta karena cinta kasih mengeruhkan hati dan pikiranmu sehingga kau tidak melihat kenyataan bahwa apa yang kau lihat antara aku dan Cui Bi itu bukanlah hal yang perlu kau ributkan. Ketahuilah, dia dan aku adalah saudara tiri, kami sama-sama anak Ayah Tan Beng San, dia lahir dari Ibu Cia Li Cu dan aku dari Ibu Kwee Bi Goat. Kau tahu apa yang kami bicarakan tadi? Dia menangis karena cintanya kepadamu!"

   Lemas seluruh sendi tulang di tubuh Kun Hong. Cepat-cepat ia menyimpan pedangnya dan memegang lengan Kong Bu yang kuat,

   "Ah, Saudaraku, aku benar-benar buta! Aku layak kau maki, layak kau pukul. Hemm, orang macam aku ini mana ada harga untuk mencintanya?"

   Kong Bu tertawa gembira.

   "Sudahlah, Saudara Kun Hong, tak perlu kau merendahkan diri. Salah mengerti ini sudah dapat dilenyapkan, bagus sekali. Tentang adikku Cui Bi, tak usah kau kuatir, dia betul-betul mencintamu. Hanya aku masih sangsi apakah cintamu kepadanya betul-betul sebesar perasaannya terhadapmu."

   "Saudara Kong Bu,"

   Kata Kun Hong bernafsu.

   "Biarlah bumi dan langit menjadi saksi, dan dengarlah sumpahku bahwa aku mencinta Bi-moi sepenuh jiwaku, aku rela berkorban nyawa untuknya!"

   "Bagus! Aku menjadi saksi!"

   "Jangan mau menang sendiri, Saudara Kong Bu. Sikapmu terhadap keponakanku Li Eng juga tidak berterus terang. Dahulu kau mengalah dan membiarkan dirimu ditawan, lalu tadi kau sengaja berlaku mengalah dalam pertandingan. Apa artinya? Seorang laki-laki tidak akan ragu-ragu untuk menyatakan perasaannya secara jujur."

   Merah muka Kong Bu, akan tetapi sambil tersenyum ia mengangkat dada berkata,

   "Kau telah memberi contoh. Akupun bersumpah bahwa aku betul-betul mencinta Nona Kui Li Eng dengan sepenuh jiwaku."

   Tiba-tiba terdengar orang bertepuk tangan tertawa,

   "Bagus, bagus... telah kudengar sumpah dua orang. Awas, aku menjadi saksi utama!"

   Muncullah Hui Cu dari balik sebatang pohon dan gadis ini dengan wajah berseri-seri berkata sambil menoleh ke belakang.

   "Adik Eng, Adik Cui Bi, keluarlah, mengapa malu-malu kucing bersembunyi saja?"

   Dengan muka merah dan ditundukkan, dua orang gadis itu membiarkan mereka tertarik keluar oleh Hui Cu. Kun Hong dan Kong Bu kaget dan tentu saja menjadi malu sekali, wajah mereka merah sampai ke telinga. Kiranya tempat rahasia itu hebat sekali sehingga di tempat ini ada tiga orang gadis muncul tanpa mereka ketahui sama sekali! Tentu mereka bertiga tadi sudah melihat dan mendengar segala-galanya. Terdengar Li Eng berkata malu-malu kepada Cui Bi sambil merangkul gadis berpakaian pria itu,

   "Adik Bi, maafkanlah aku..."

   Apakah yang terjadi? Seperti telah kita ketahui, Cui Bi pergi menyusul Hui Cu dan Li Eng. Karena jalan rahasia itu memang sulit sekali, akhirnya Li Eng tersesat, malah Hui Cu yang mengejarnya juga tersasar sehingga dua orang gadis ini terpisah, makin lama makin jauh. Cui Bi yang mengenal jalan rahasia itu mengejar Li Eng dan... tanpa disadari oleh Li Eng sendiri, sebetulnya Li Eng telah mengambil jalan memutar kembali ke tempat semula. Karena inilah maka tadi ia sempat menyaksikan, seperti juga Kun Hong, adegan mesra antara Cui Bi dan Kong Bu. Begitu melihat Cui Bi hendak mencari, Li Eng sengaja menunggu dan segera memaki setelah melihat Cui Bi muncul di depannya,

   "Bagus, kau perempuan tak tahu malu! Kau mendorong-dorongku kepada Kong Bu, kau sendiri menyatakan cintamu kepada Paman Hong, tapi apa yang kau lakukan tadi? Benar-benar tak tahu malu!"

   Tentu saja Cui Bi kaget sekali, akan tetapi ia segera dapat menduga apa yang menjadi sebabnya, maka ia tersenyum manis.

   "Enci Li Eng, kemarahanmu ini malah menggirangkan hatiku, tanda bahwa rasa cemburu di hatimu ini membuktikan betapa besar cinta kasihmu kepada kakak tiriku Kong Bu."

   "Kakak tiri? Apa maksudmu?"

   "Dia putera Ayah, dari Ibu Kwee Bi Goat, tentu saja kakak tiriku. Nah, apa kau masih cemburu?"

   Bukan main menyesal dan malunya hati Li Eng maka ia hanya bengong saja dan tidak membantah ketika Cui Bi menarik tangannya untuk menyusul Hui Cu dan setelah bertemu, mereka bertiga kembali ke tempat tadi melalui jalan rahasia yang amat dekat sehingga mereka sempat menyaksikan keributan antara Kun Hong dan Kong Bu, sempat pula mendengar sumpah cinta kasih mereka. Kini tibalah giliran Hui Cu untuk menggoda mereka dan menyatakan kegembiraannya. Di dalam pertemuan yang serba menggembirakan ini, Kun Hong agak gelisah melihat betapa wajah kekasihnya itu muram seperti matahari tertutup awan. Akan tetapi tentu saja ia tidak berani untuk bertanya. Di lain pihak, Cui Bi yang masih amat sungkan dan likat, segera berkata,

   "Sekarang tiba waktunya kita naik ke puncak menghadap Ayah. Hati-hati, jalan rahasia ini amat sulit, dan aku kuatir kalau-kalau perjalanan kita ada yang mengikuti. Kong Bu-Koko, aku menjadi petunjuk jalan di depan dan biarlah kau jalan paling belakang sambil meneliti kalau-kalau ada musuh yang mengikuti perjalanan kita ke puncak."

   "Adik Bi, apakah kau melihat sesuatu yang mencurigakan?"

   Tanya Kong Bu.

   "Agaknya selama ini ada orang memata-matai kita. Malam itu..."

   Rajawali Emas Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Cui Bi melirik ke arah Kun Hong yang juga teringat akan bayangan semalam.

   "Apakah itu bayanganmu Bu-Koko?"

   Kong Bu menggeleng kepala, wajahnya serius.

   "Aku hanya melihat dari jauh dari belakang pondok, mana bisa kau melihat bayanganku?" "Hemm, agaknya orang lain. Mari jangan membuang waktu."

   Kata Cui Bi yang segera memimpin perjalanan itu dengan hati-hati dan perlahan. Jalan rahasia itu memang amat sukar. Kalau bukan oranq Thai-San-Pai, takkan mungkin dapat mencarinya. Jalan yang luas dihindari, akan tetapi gerombolan pohon yang amat lebat malah dimasuki, semua ini memakai perhitungan, dan sebagai tanda-tanda hanyalah pohon-pohon yang tumbuh malang melintang tidak teratur di sekitar puncak.

   Cui Bi membawa mereka menyusup di antara dua batang pohon yang berdampingan sehingga mereka hanya dapat bergerak maju dengan tubuh miring, menyeberangi tetumbuhan penuh duri dan akhirnya mereka terhalang oleh sebuah rawa yang lebarnya tidak kurang dari lima puluh meter. Di atas rawa ini dipasangi jembatan bambu melintang, terdiri dari dua batang bambu disambung-sambung tanpa pegangan. Jembatan itu kecil dan kalau dilalui orang tentu membutuhkan ilmu meringankan tubuh yang tinggi. Pendeknya, orang biasa takkan mampu melewati jembatan yang cukup panjang ini. Akan tetapi, para muda itu terheran-heran melihat Cui Bi tidak mengajak menyeberangi rawa melalui jembatan itu, melainkan langsung turun ke dalam rawa!

   "Eh, ada jembatan mengapa menyeberang rawa yang airnya begitu kotor, dan siapa tahu kalau membuat kita tenggelam?"

   Teriak Li Eng yang berjalan di belakang Cui Bi. Cui Bi berhenti, menoleh dan tertawa.

   "Di antara seratus orang, tentu tak ada seorangpun yang tidak mengira bahwa perjalanan selanjutnya tentu melalui jembatan yang sukar ini. Akan tetapi ini hanya perangkap bagi musuh yang mencoba-coba memasuki jalan rahasia ini. Siapa yang menyeberang melalui bambu ini, akan tersesat jauh dan akan menghadapi bahaya yang hebat di sebelah sana. Sekarang ikutilah saja bekas jejak kakiku, jangan terpeleset!"

   Dengan perlahan agar dapat diikuti dengan seksama oleh kawan-kawannya, Cui Bi lalu melangkahkan kaki ke dalam rawa dan... kiranya di dekat permukaan air rawa yang hitam itu dipasangi patok-patok tertentu yang cukup lebar untuk injakan kaki,

   Patok-patok ini dipasang sedemikian rupa sehingga hanya mereka yang hafal saja yang akan dapat mencarinya. Cui Bi melangkah, ke kanan sembilan langkah, memutar ke kiri sembilan langkah, lurus sembilan langkah lalu membelok lagi ke kanan dan kemudian melalui bawah jembatan bambu itu, sama sekali tidak menyeberang, melainkan menyusur sepanjang rawa itu memanjang ke kiri. Dilihat dari jauh, lima orang muda itu seakan-akan berjalan di atas air rawa! Sama sekali bukan seberang di sana jembatan itu berakhir yang dituju oleh Cui Bi, melainkan membelok dan lenyap di tikungan yang penuh dengan tetumbuhan liar. Setelah melangkah sebanyak sembilan puluh sembilan langkah, sampailah mereka di seberang sana dan meloncat ke daratan yang indah, penuh kembang dan rumput hijau.

   "Kita berhenti di sini, di sebelah sana ada terowongan yang menuju ke puncak. Biarlah aku sendiri yang akan, naik melaporkan kepada Ayah, biasanya Ayah kalau hendak menemui para murid tentu keluar dari terowongan. Tak sembarang orang diperbolehkan melalui terowongan. Nah, kalian tunggu sebentar, aku segera kembali bersama Ayah."

   Lin Eng, Hui Cu, Kun Hong dan Kong Bu terpaksa menanti di situ sungguhpun Kong Bu dan Li Eng yang keras hati itu tidak sabar dan tidak puas mengapa diadakan peraturan seperti ini. Mereka tentu saja tidak tahu betapa dahulu Beng San mempunyai banyak sekali musuh-musuh lihai yang selalu berusaha menyerbu tempat tinggalnya untuk membalas dendam sehingga terpaksa pendekar ini untuk menjaga keselamatan keluarganya, membuat tempat yang penuh rahasia ini. Baru saja Cui Bi lenyap di sebuah tikungan, tiba-tiba Kun Hong yang kebetulan menengok ke belakang berseru,

   "Ada orang datang!"

   Semua orang menengok dan cepat meloncat berdiri dari tempat duduk mereka di atas tanah. Benar saja, sesosok bayangan dengan gerakan yang gesit dan ringan sekali berloncatan dari patok ke patok, persis seperti yang mereka lakukan dengan hati-hati dan perlahan tadi.

   "Wah, dia tadi tentu mengikuti kita dan diam-diam memperhatikan jalan rahasia menyeberangi rawa!"

   Kata Li Eng sambil siap untuk menghadapi lawan. Empat orang muda ini maklum bahwa yang datang adalah seorang yang memiliki ilmu meringankan tubuh hebat sekali. Kong Bu melompat ke dekat rawa.

   "Dia lihai, biarlah aku menghadapinya!"

   Dengan kata-kata demikian ia hendak mencegah kekasihnya itu berhadapan dengan lawan yang demikian lihainya. Orang yang berloncatan itu tiba-tiba terhenti agaknya ragu-ragu melihat bahwa orang-orang yang diikutinya itu ternyata berhenti dan telah melihatnya. Akan tetapi agaknya ia sudah merasa kepalang dan kini malah meloncat-loncat lagi dengan cekatan dan lebih cepat dari tadi. Kedua lengannya berkembang ke kanan kiri, pakaian di tubuhnya berkibar, dipandang dari jauh seperti seekor Burung besar. Kun Hong hampir berseru kaget karena ia mengenal bahwa langkah-langkah dan gerakan itu mirip betul dengan langkah ajaib dari Kim-Tiauw-Kun.

   "Dia bukan musuh...!"

   Tiba-tiba Hui Cu berseru.

   "Dia... dia Saudara Tiauw...!"

   Memang benar dugaan gadis ini yang tak pernah dapat melupakan pemuda penolongnya itu sehingga dari jauh saja ia telah mengenalnya. Bayangan yang datang berlompatan seperti terbang itu bukan lain adalah Sin Lee! Akan tetapi Kong Bu yang tidak mengenal tidak terpengaruh oleh seruan ini. Ia membiarkan Sin Lee melakukan loncatan terakhir dan berada di darat, lalu ia memapaki dan berkata, suaranya ketus,

   "Siapa kau dan apa maksudmu mengikuti kami?"

   Sin Lee adalah seorang pemuda yang berwatak kasar, juga jujur dan tidak pernah merasa takut terhadap siapapun juga. Ia dapat merasai ketusnya suara pemuda tampan yang menyambutnya, maka ia menjawab sama ketusnya,

   "Tidak ada sangkut pautnya dengan dirimu sobat, perlu apa kau banyak bertanya?"

   Lalu ia menoleh ke arah Hui Cu, mengangkat tangan memberi hormat pula kepada Kun Hong sambil berkata,

   "Maafkan aku, sengaja aku menyusul karena aku ingin sekali bertemu dengan Ketua Thai-San-Pai."

   Di sini sudah tidak ada Cui Bi dan tiga orang muda Hoa-San-Pai itu termasuk tamu, tentu saja mereka tidak berhak melarang orang lain hendak bertemu dengan Ketua Thai-San-Pai. Apalagi Kun Hong dan dua orang keponakannya itu seperti orang terkesima melihat betapa dua orang muda yang sama gagah sama tampan itu benar mirip satu kepada yang lain! Akan tetapi, Kong Bu yang merasa bahwa sebagai putera Ketua Thai-San-Pai iapun berhak melindungi kehormatan Thai-San-Pai, segera membentak,

   "Kau datang memata-matai kami. Kau mengikuti kami dengan diam-diam, perbuatanmu ini saja sudah cukup menyakinkan bahwa kau tentulah seorang jahat! Hayo mengaku kau siapa dan apa maksud kedatanganmu?"

   "Saudara Kong Bu, dia bukan orang jahat!"

   Serta merta Hui Cu membela, suaranya mengandung kemarahan.

   "Dialah yang menolong aku ketika kakekmu menculikku!"

   Karena panas mendengar penolongnya dimaki, Hui Cu tak dapat mengendalikan hatinya dan sengaja ia mencela kakek Kong Bu. Hal ini tentu saja membuat Kong Bu makin tak senang kepada pendatang ini. Hemm, kiranya inilah orangnya yang oleh kakeknya dianggap lihai dan yang ternyata berhasil merampas Hui Cu dari tangan kakeknya. Ia memandang tajam, sinar matanya berapi-api. Adapun Sin Lee ketika mendengar pembelaan Hui Cu, diam-diam merasa puas sekali, kemudian ia bertanya, suaranya mengandung ejekan,

   "Sobat, kau bersikap seolah-olah kau Raja tempat ini. Apa hubunganmu dengan Ketua Thai-San-Pai dan betulkah kata-kata Nona Hui Cu bahwa kau cucu iblis tua Song-Bun-Kwi?"

   Kong Bu memandang dengan mata melotot,

   "Keparat, tutup mulutmu yang kotor! Song-Bun-Kwi memang kakekku Ketua Thai-San-Pai Ayahku, kau mau apa?"

   "Bagus! Kiranya kau si keparat, keturunan para pembunuh Ayahku! Hemm, setelah kita bertemu di tempat ini, jangan harap kau lepas dari tanganku!"

   Sin Lee mencabut pedangnya dan memandang penuh kebencian.

   "Ho-ho, manusia sombong, bukan aku yang akan roboh, melainkan kau yang akan menggeletak tak bernyawa di depan kakiku! Hayo, kalau kau memang jantan katakan siapa namamu dan tentang kematian Ayahmu, memang entah sudah berapa ratus manusia jahat tewas di tangan Ayah dan kakekku, agaknya termasuk Ayahmu itulah!"

   Kong Bu mengejek dan mencabut pula pedangnya. Sin Lee menggerakkan pedangnya menerjang sambil berkata,

   "Ibuku Kwa Hong dan Ayahku terbunuh oleh kakekmu. Mampuslah kau!"

   Terjangan ini hebat sekali, seperti seekor Burung menyerbu. Akan tetapi Kong Bu waspada, pemuda ini sudah mengerti bahwa ia menghadapi lawan yang tidak boleh dipandang ringan. Cepat ia mengeluarkan suara melengking dan pedangnya menangkis, tubuhnya menggeliat dan tiba-tiba ia sudah balas menyerang tidak kalah cepatnya.

   Namun, serangan yang biasanya sukar dihindarkan oleh lawan ini ternyata dengan mudah dielakkan oleh Sin Lee yang menggeser kakinya secara aneh. Segera dua orang muda ini bertanding dengan hebat sekali. Pedang di tangan mereka bersuitan, mengeluarkan angin yang kadang-kadang panas kadang-kadang dingin, mata pedang menyambar-nyambar mencari mangsa dan di antara mereka terdengar lengking-lengking saling sahut, suara yang menggetarkan jantung karena suara ini dikeluarkan dengan pengerahan tenaga dalam. Melihat "kekasihnya"

   Bertempur, Li Eng sudah mencabut pedangnya, siap untuk maju membantu, akan tetapi Hui Cu menyentuh lengannya dan ketika Li-Eng menengok, ia terheran melihat bahwa Hui Cu menangis!

   "Adik Eng..., jangan... jangan serang dia... dia itu penolongku..."

   Li Eng bingung sekali.

   "Tapi... tapi... pertandingan ini begini hebat, salah seorang tentu akan celaka..."

   Katanya penuh kekuatiran, tentu saja kuatir kalau-kalau Kong Bu yang terluka. Sementara itu, Kun Hong amat tertarik, terheran-heran melihat gerakan pedang dan gerakan kaki yang dimainkan Sin Lee. Itulah Kim-Tiauw-Kun, pikirnya. Kim-Tiauw-Kun yang tidak sempurna dan tidak lengkap namun dilengkapi dengan ilmu silat lain yang aneh. Melihat cara dua orang pemuda itu bertanding, Kun Hong maklum bahwa dengan pedangnya ia sanggup memisahkan mereka, sanggup melerai akan tetapi karena ia melihat bahwa keduanya setingkat dan seimbang kepandaiannya, ia tidak terburu-buru melerai. Ia ingin melihat lebih lama lagi ilmu silat yang dimainkan oleh Sin Lee.

   "Kalian tak usah kuatir, mereka takkan celaka, keduanya sama tangguh, kita nonton saja,"

   Katanya.

   Li Eng mengerutkan kening, juga Hui Cu. Entah mengapa, ada sesuatu perasaan yang membuat mereka saling menjauhi! Memang keduanya terpisah oleh perasaan yang saling bertentangan, yang seorang memihak Kong Bu yang seorang lagi memihak Sin Lee. Biarpun mereka berdua merasa sungkan untuk membantu namun diam-diam mereka sudah mengambil keputusan, terutama Li Eng, bahwa kalau sampai orang yang dicintai terluka, tentu dia akan menyerbu dan menuntut balas. Pertandingan itu benar-benar seru sekali. Ketika di antara permainan pedangnya Sin Lee kelihatan memutar-mutar tangan kiri, diam-diam Kun Hong menjadi gelisah dan otomatis ia mengambil beberapa buah batu kecil siap untuk disambitkan ke arah pergelangan tangan kiri Sin Lee andaikata ia melihat Kong Bu terancam bahaya.

   Ia sudah mengenal kehebatan pukulan tangan kiri dengan tangan diputar-putar ini. Pernah ia melihat Sin Lee merobohkan Kim-Tiauw Thian-li dengan pukulan macam ini yang mengakibatkan luka dalam yang hebat dan mengandung hawa beracun. Benar saja, setelah memutar-mutar tangan kiri beberapa kali, Sin Lee lalu mengeluarkan seruan dan mendorongkan tangan kiri itu ke depan. Kun Hong sudah menegang urat tangannya, akan tetapi ia menjadi lega ketika melihat Kong Bu mengeluarkan seruan keras sekali, tangan kirinya juga mendorong ke depan dengan jari tangan terbuka. Dua hawa pukulan yang sama hebatnya bertemu dan... akibatnya keduanya terjengkang ke belakang!

   "Ah... kau tidak apa-apa...?"

   Li Eng memburu Kong Bu sedangkan Hui Cu memburu Sin Lee, juga bertanya,

   

Siluman Gua Tengkorak Karya Kho Ping Hoo Pendekar Super Sakti Karya Kho Ping Hoo Pendekar Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini