Pendekar Kelana 16
Pendekar Kelana Karya Kho Ping Hoo Bagian 16
"Baiklah, Toa Ok. Aku mengaku kalah dan seperti yang sudah kujanjikan, aku bersama semua anggauta Kwi-jiauw-pang mengangkatmu sebagai pimpinan. Akan tetapi aku minta agar dapat menjadi saudara kalian dan di sebut Sam Ok (Jahat Ketiga). Bagaimana?"
Toa Ok dan Ji Ok saling pandang dan mereka berpikir. Mendapatkan pembantu seperti Ang I Sianjin amat menguntungkan, apalagi beserta seratus orang lebih anggauta Kwi-jiauw-pang yang boleh diandalkan. Sebaliknya kalau mereka menolak, tentu pernyataan taluk dari Ang I Sianjin hanya pada lahirnya saja, dan orang itu hanya akan menjadi musuh dalam selimut yang berbahaya.
"Baiklah, Sam-ok!"
Kata Toa Ok. Ji Ok tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha, bagus sekali! Kami senang sekali mempunyai saudara ketiga, dan sekarang kita harus merayakan peristiwa ini, Sam Ok!"
Diam-diam Ang I Sianjin juga merasa girang.
Dia tahu bahwa banyak orang yang memiliki kepandaian tinggi sedang berlumba untuk memperebutkan Pek-lui-kiam. Tadinya dia mengandalkan anak buahnya yang banyak. Akan tetapi ternyata anak buahnya yang banyak itu tidak mampu melindunginya dari Toa Ok dan Ji Ok. Kini, dengan bergabung menjadi satu, mereka bertiga merupakan kekuatan yang dapat menentang siapapun juga, di tambah lagi dengan anak buahnya. Bagaimanapun juga, kekalahannya dan kehilangan pedang pusaka itu tidakmembuatnya kehilangan muka karena dia bahkan kini menjadi Sam Ok, kedudukan yang lebih besar daripada ketua Kwi-jiauw-pang. Dengan julukan Sam Ok, berarti dia terangkat menjadi anggauta dari persaudaraan yang dikenal sebagai datuk barat! Ang I Sianjin atau Sam Ok berpaling memandang anak buahnya dan dia berkata dengan lantang.
"Kalian semua tentu telah melihat dan mendengar! Mulai saat ini, kalian memanggil Toa Ok dengan Toa-pangcu (Ketua Pertama), Ji Ok dengan Ji-pangcu (Ketua Kedua) dan aku Sam Ok dengan Sam-pangcu (Ketua Ketiga). Mengertikah kalian semua? Kalian sekarang dipimpin oleh tiga orang ketua sehingga kedudukan kita semakin kuat!"
Para anak buah itu sudah melihat sendiri kehebatan ilmu kepandaian dua orang datuk itu, maka dengan serentak mereka menjawab dengan sorakan gembira. Sam Ok lalu memerintahkan anak buahnya untuk mengadakan pesta merayakan peristiwa itu dan mereka makan minum dengan penuh kegembiraan.
Gadis yang mendaki Kwi-liong-san dari barat itu amat cantik dan gagah. Mukanya bulat telur, hidungnya kecil mancung, bibirnya merah membasah, dan setitik tahi lalat menghias dagunya, menambah kemanisan wajahnya. Tubuhnya ramping padat dan langkahnya gemulai namun tetap. Gadis itu masih muda, paling banyak sembilan belas tahun usianya. Rambutnya yang hitam dan panjang lebat itu digelung ke atas, dihias dengan tusuk konde perak berbentuk teratai. Setelah agak lama memandang ke arah puncak Kwi-liong-san, tanpa ragu lagi mulailah ia mendaki bukit itu. Melihat seorang gadis muda melakukan perjalanan seorang diri di tempat sunyi dan berbahaya itu, mudah di duga ia tentulah seorang gadis kangouw yang memiliki ilmu silat tinggi. Hal ini diperkuat lagi dengan adanya sebatang pedang yang tergantung dipunggungnya.
Memang ia bukan gadis biasa yang lemah. Sama sekali bukan. Ia adalah seorang gadis yang memiliki ilmu silat yang tangguh sekali. Ia adalah Pek Bwe Hwa yang telah kita kenal. Gadis perkasa ini pernah berjumpa bahkan bertanding melawan Si Kong ketika ia menjadi tamu ketua Hek I Kaipang. Setelah bertanding mereka saling mengenal dan bersahabat. Akan tetapi Si Kong segera pergi sehingga Bwe Hwa tidak sempat mengenalnya lebih baik. Gadis itu meninggalkan kota Ci-bun dan melanjutkan perjalanannya mencari dan ikut memperebutkan pedang pusaka Pek-lui-kiam seperti yang dipesan Ayahnya. Pek Bwe Hwa adalah puteri dan anak tunggal dari pendekar besar Pek Han Sing. Ibunya adalah Siangkoan Bi Lian yang pernah menggemparkan dunia persilatan pula.
Ia mewarisi ilmu-ilmu dari Ayah dan ibunya, bahkan tahi lalat di dagunya itu persis ibunya. Bwe Hwa memiliki kekerasan dan keberanian hati seperti ibunya, namun memiliki ketenangan seperti Ayahnya. Dalam usianya yang sembilan belas tahun itu, ia telah mahir ilmu silat Pek-sim-pang yang dimainkan dengan tongkat, ilmu Kwan Im Kiam-sut dan Kwan Im Sin-kum, ilmu pedang dan ilmu silat tangan kosong yang lemah lembut namun menyembunyikan daya serang yang amat kuat, Kim-ke Sin-kun (Silat Sakti Ayam Emas), dan selain semua ilmu silat yang tinggi-tinggi itu, ia masih mempelajari ilmu sihir dari Ayahnya! tidak mengherankan kalau Ayah bundanya merelakan ia pergi merantau, ikut memperebutkan Pek-lui-kiam karena mereka yakin Bwe Hwa cukup kuat untuk menjaga diri sendiri.
Biarpun masih muda, namun Bwe Hwa memiliki kebijaksanaan seperti Ayahnya. Juga nama besar Ayahnya amat menolongnya ketika ia mencari keterangan tentang pedang pusaka Pek-lui-kiam. Akhirnya ia mendapat keterangan tentang pedang pusaka itu berada di tangan Ang I Sianjin, ketua Kwi-jiauw-pang yang amat terkenal. Bwe Hwa mendapat pesan dari Ayah ibunya bahwa kalau pedang pusaka itu terjatuh ke tangan penjahat, ia harus berusaha untuk merampasnya, akan tetapi kalau terjatuh ke tangan seorang pendekar budiman, ia bahkan harus membela pendekar itu kalau diganggu orang jahat. Kini ia mendengar betapa Kwi-jiauw-pang merupakan sebuah perkumpulan orang-orang kejam dan jahat yang sudah sangat terkenal mempunyai pengaruh besar sekali terhadap dunia kangouw di sekitar daerah Kwi-liong-san.
Karena itulah maka Bwe Hwa pada pagi hari itu telah tiba dikaki gunung Kwi-liong-san. Matahari telah naik tinggi, namun sinarnya masih belum dapat menembus kegelapan hutan yang dimasuki Bwe Hwa itu. Di dalam hutan itu, cuaca masih remang-remang dan sinar matahari hanya dapat menyusup masuk melalui celah-celah daun pohon. Namun pemandangan itu sungguh indah. Sinar-sinar matahari itu membentuk garis-garis keputihan karena disambut hawa lembab yang keluar dari tanah yang selalu terlindung pohon-pohon itu. Bwe Hwa melangkah terus. Pagi-pagi tadi ia sudah berhenti di sebuah dusun dan sarapan di sebuah kedai bubur yang sederhana. Penjaga kedai itu terbelalak ketika mendengar bahwa gadis itu hendak mendaki Kwi-liong-san.
"Maaf, nona. Nona hendak mendaki Kwi-liong-san, mempunyai keperluan apakah?"
Tanya kakek penjual bubur itu. Bwe Hwa tersenyum.
"Aku mendaki gunung untuk pesiar, paman."
Orang itu memandang penuh kekhawatiran.
"Ah, nona keliru memilih tempat untuk pesiar! Kwi-liong-san bukan tempat untuk pesiar, nona. Disana menanti bahaya-bahaya maut bagi siapa saja yang berani memasuki hutan-hutan di bukit itu."
"Bahaya apakah, paman?"
Tanya Bwe Hwa, pura-pura tidak tahu padahal ia sudah mendengar bahwa bukit itu menjadi sarang perkumpulan Kwi-jiauw-pang yang tersohor jahat.
"Apakah nona belum mendengar? Gunung itu mempunyai hutan-hutan yang liar, penuh dengan binatang-binatang buas yang berbahaya sekali!"
Bwe Hwa tersenyum lagi.
"Aku tidak takut kepada binatang buas, paman. Aku mempunyai pedang untuk mengusir kalau ada yang berani menggangguku."
"Akan tetapi... ah, apakah nona belum mendengar?"
Orang itu memandang ke kanan kiri, agaknya takut kalau-kalau ada yang mendengar ucapannya.
"Gunung itu sudah menjadi sarang setan dan iblis! Siapa yang berani mendaki bukit itu, tentu tidak akan dapat turun kembali. Karena itu, kunasihatkan, pilihlah tempat lain untuk pesiar, nona."
Bwe Hwa melangkah maju dengan tenang. Sama sekali hatinya tidak menjadi jerih mendengar keterangan pemilik kedai bubur itu. Ia dapat menduga bahwa yang dimaksudkan setan dan iblis oleh penjual bubur itu, tentu anak buah Kwi-jiauw-pang. Tiba-tiba ia mendengar suara berkeresekan dari arah kiri. Disana terdapat semak-semak belukar yang lebat. Ia menjadi waspada karena hidungnya mencium bau yang mencolok hidung. Bau yang keras dan apak. Kemudian ia mendengar gerengan halus namun menggetarkan jantung. Bwe Hwa berhenti melangkah dan menghadapi semak belukar itu. Ia merasa yakin bahwa di dalam semak-semak itu tentu bersembunyi seekor binatang buas. Ia sudah siap siaga menghadapi binatang buas apapun. Kemudian muncullah binatang itu. Mula-mula hanya kepalanya yang nongol keluar. Kepala seekor harimau yang besar! Mata harimau itu mencorong dan gerengannya makin lama semakin kuat, menggetarkan jantung.
Namun Bwe Hwa menghadapi harimau itu dengan tenang dan siap. Harimau itu keluar dari dalam semak-semak dan melihat perutnya yang kempis, Bwe Hwa dapat menduga bahwa binatang itu sedang kelaparan. Dan seekor harimay yang lapar merupakan binatang yang amat buas dan berbahaya, berani menyerang apa saja yang kiranya dapat dijadikan mangsanya. Perlahan-lahan harimau itu melangkah, menghampiri Bwe Hwa. Setelah jarak antara harimau dan gadis itu tinggal empat meter lagi, harimau itu berhenti dan kembali mengaum dengan dahsyatnya, lalu dia mendekam, nampak otot-ototnya menggeletar. Kemudian, dengan tiba-tiba sekali dia meloncat ke depan dan lompatan kedua kalinya dilakukan dengan kuat sehingga tubuhnya melambung ke atas dan menyerang Bwe Hwa dengan terkaman kedua kaki depan yang kuat.
Bwe Hwa yang sejak tadi bersikap tenang dan waspada, cepat mengelak dan menyusup di bawah perut harimau itu. Tubrukan itu luput dan harimau itu mengaum lagi sambil membalikkan tubuhnya dengan cepat. Agaknya kegagalannya dengan serangan tadi membuat dia marah sekali. Bwe Hwa sudah mencabut pedangnya. Ia tidak boleh main-main dengan harimau itu karena binatang itu amat buas dan cepat kuat. Binatang itu mengaum lagi dan kini menyerang dengan terkaman rendah, kedua kaki depan mencengkeram dan moncongnya sudah siap untuk menggigit apabila korbannya dapat dicengkeram dengan kedua kaki depannya. Bwe Hwa sudah siap. Ketika harimau itu menerkamnya, ia cepat menggeser kaki ke kiri dan pedangnya membalik dan membacok ke arah kedua kaki itu.
"Crokk!!"
Kedua kaki depan itu terbacok putus dan harimau itu terbanting ke atas tanah, menggereng-gereng dan berusaha bangkit akan tetapi selalu terpelanting roboh lagi.
Darah bercucuran dari kedua kaki depan yang buntung itu. Melihat harimau itu menggereng-gereng kesakitan dan tubuhnya bergulingan tak mampu bangkit, timbul perasaan iba di hati Bwe Hwa. bagaimanapun juga harimau itu tidak jahat. Dia menyerang siapa saja yang dapat dijadikan mangsanya, untuk mencegahnya dari mati kelaparan. Tidak pantas kalau ia menyiksanya. Diapun tidak akan dapat bertahan hidup dengan kedua kaki depat putus, tentu tidak dapat menangkap mangsa lagi dan akan mati kelaparan. Setelah mempertimbangkan, Bwe Hwa melompat ke depan, pedangnya terayun dan harimau itupun rebah dan tidak dapat bergerak lagi. Leher harimau yang kokoh itu terbabat pedang pusaka Kwan-im-kiam dan hampir putus! Tiba-tiba terdengar orang bertepuk tangan memuji, disusul kata-katanya kagum,
"Wah, hebat sekali!"
Bwe Hwa cepat membalikkan tubuhnya dan ia melihat seorang pemuda tampan berdiri tak jauh darinya. Pemuda itu berpakaian serba putih, rambutnya diikat dengan pita kuning dan diikat pinggangnya yang merah itu terselip sebatang suling perak. Pemuda itu nampak tampan dan terutama bersih sekali sehingga tidak sesuai dengan keadaan sekelilingnya.
Baju putih itu sama sekali tidak ternoda, seolah baru saja dia mengenakannya. Usia pemuda itu sekitar dua puluh lima tahun, gerak-geriknya lembut dan senyumnya memikat. Bwe Hwa hanya memandang dengan sinar mata tajam penuh selidik. Ia belum pernah melihat pemuda ini dan hatinya bertanya-tanya siapakah pemuda yang pesolek dan tampan ini dan apa maksudnya muncul dalam hutan di kaki gunung Kwi-liong-san ini. Pemuda itu pun seakan terpesona. Dia melihat seorang gadis yang cantik jelita seperti dewi dari langit, akan tetapi selain cantik jelita juga gagah perkasa, berani melawan seekor harimau besar yang kelaparan, bahkan membunuhnya. Akhirnya pemuda itu menyadari bahwa kemuncullannya tentu mengejutkan dan mencurigakan gadis itu, maka dia pun tersenym dan menjura memberi hormat.
"Maafkan aku, nona. Tadi ketika aku sedang berjalan dalam hutan ini, tiba-tiba aku dikejutkan oleh auman suara harimau yang marah. Aku terkejut dan cepat menuju ke sini, dan aku masih sempat melihat nona memenggal leher harimau itu. Sungguh aku merasa kagum sekali kepadamu, nona. Akan tetapi yang mengherankan hatiu, harimau itu telah buntung kedua kaki depannya dan tidak mungkin dapat menyerangmu lagi. Kenapa engkau membunuhnya, Nona?"
Bwe Hwa merasa tidak senang ditegur oleh pria yang sama sekali tidak dikenalnya, akan tetapi karena pemuda ini bersikap sopan dan ucapannya juga teratur dan sopan, ia merasa tidak enak kalau tidak menjawab.
"Justeru karena kedua kaki depannya putus aku membunuhnya untuk menghentikan derita siksaan sampai dia mati kelaparan."
Pemuda itu mengangkat kedua tangan depan dada dengan sikap hormat dan kagum.
"Bukan main! Nona seorang pendekar wanita yang berilmu tinggi, juga amat bijaksana. Memang, apa yang nona lakukan itu tepat sekali, membuktikan akan kemuliaan hati nona. Nona, secara kebetulan sekali kami bertemu di sini, karena itu sudah sepatutnya kalau kami saling berkenalan, tentu saja kalau nona tidak merasa terlalu tinggi dan mulia untuk mengenalku, seorang yang bodoh dan tidak berarti. Namaku adalah Coa Leng Kun, nona."
Kita pernah berkenalan dengan pemuda ini. Dia adalah pemuda yang pernah beberapa kali membantu Tang Hui Lan bahkan sudah berkenalan dengan Tang Hui Lan. Pemuda itu adalah Coa Leng Kun. Pemuda ini sudah yatim piatu dan dia mewarisi ilmu silat dari mendiang Hek Tok Siansu. Ketika Hek Tok Siansu tewas di tangan Hay Hay, dia telah menurunkan ilmu-ilmunya kepada seorang murid yang bernama Giam Tit.
Giam Tit inilah yang mengajarkan semua ilmunya kepada Coa Leng Kun. Ketika Giam Tit yang menjadi seorang perampok tunggal terluka parah oleh keroyokan beberapa orang pendekar Bu-tong-pai, sebelum meninggal dunia dia berpesan kepada muridnya untuk membalaskan kematian kakek gurunya. Dia sendiri tidak dapat melakukan balas dendam itu dan dia minta agar Coa Leng Kun mewakili gurunya membalaskan dendam atas kematian Hek Tok Siansu kepada Tang Hay dan keluarganya. Ketika bertemu dengan Tang Hui Lan, diam-diam Coa Leng Kun merasa girang sekali. Hui Lan adalah puteri musuh besarnya. Dia ingin mendekati gadis itu, kalau mungkin memperisterinya sehingga kelak dengan mudah dia dapat mengatur untuk membalas dendamnya dan menyeret keluarga musuh besarnya itu ke lembah kehancuran.
Akan tetapi Hui Lan meninggalkannya dan tidak mau dekat dengannya, maka diapun berusaha untuk mengejar. Akan tetapi dia kehilangan jejak gadis perkasa itu. Maka, diapun melakukan perjalanan ke Kwi-liong-san untuk menyelidiki tentang Pek-lui-kiam dan kalau mungkin merampasnya. Inilah sebabnya mengapa dia berada di hutan di kaki gunung Kwi-liong-san dan secara kebetulan dapat bertemu dengan Bwe Hwa. Bwe Hwa adalah seorang gadis yang keras hati. Kalau orang bersikap keras kepadanya, tentu dia akan menjadi marah. Akan tetapi kalau orang bersikap lembut dan hormat kepadanya, ia menjadi seorang gadis yang lembut pula. Mendengar pemuda itu memperkenalkan diri dan bersikap demikian sopan, ia merasa tidak enak kalau tidak menanggapinya. Iapun membalas penghormatan orang dan memperkenalkan dirinya.
"Aku bernama Pek Bwe Hwa,"
Katanya singkat. Coa Leng Kun mengerutkan alisnya dan memandang tajam.
"She Pek? Aku pernah mendengar akan keluarga Pek yang menjadi ketua dari perkumpulan Pek-sim-pang (Perkumpulan Hati Putih) yang berada di Kong-guan di propinsi Secuan. Entah apa hubungan nona dengan mereka?"
Bwe Hwa tersenyum. Pemuda ini agaknya mengenal dunia kangouw, karena perkumpulan Pek-sim-pang yang berada ditempat yang demikian jauhnya, dapat dia kenali.
"Ketua Pek-sim-pang adalah kakekku,"
Ia menerangkan dengan pendek.
"Ah, kalau begitu aku bersikap kurang hormat kepadamu, nona Pek!"
Coa Leng Kun kembali menjura dan memberi hormat.
"Tidak mengherankan kalau nona begini lihai dan budiman, kiranya nona adalah cucu ketua Pek-sim-pang!"
"Sudahlah, tidak perlu basa basi ini. Sebetulnya, apa yang mendorongmu datang ke Kwi-liong-san ini, saudara Coa Leng Kun? Tempat ini tidak layak untuk didatangi orang yang berpesiar."
Coa Leng Kun tersenyum.
"Tepat sekali pertanyaanmu, nona Pek. Di dalam hatiku juga ada pertanyaan seperti itu untukmu. Engkau seorang gadis, lebih aneh lagi berada di tempat liar dan berbahaya seperti ini. Akan tetapi melihat kelihaianmu, aku mengerti jawabannya."
"Hemm, coba terangkan kalau benar engkau mengerti mengapa aku datang ke tempat ini."
"Menurut dugaanku, engkau tentu datang ke tempat ini sehubungan dengan Pek-lui-kiam! Kwi-liong-san terkenal sebagai tempat yang gawat, berbahaya dan ditakuti semua orang. Akan tetapi tempat ini juga menarik karena ada desas-desus bahwa Pek-lui-kiam berada di tangan Ang I Sianjin, ketua Kwi-jiauw-pang yang berpusat di puncak bukit ini. Maka, apalagi yang menarik hatimu untuk berkunjung ke sini kalau tidak karena Pek-lui-kiam?"
Bwe Hwa tersenyum. Dia mulai tertarik kepada pemuda ini. Sikapnya halus dan sopan, akan tetapi ramah dan terbuka sehingga dara ini menilai bahwa Leng Kun tentu seorang pemuda terpelajar dan juga pandai ilmu silat yang jujur.
"Kalau dugaanmu begitu, demikian pula dugaanku. Engkau tentu datang ke sini karena Pek-lui-kiam pula,"
Katanya. Coa Leng Kun tertawa.
"Engkau cerdik dan menduga dengan tepat, nona. Akan tetapi sedikit sekali harapan bagiku untuk berhasil merebut pusaka itu kalau mengingat bahwa orang-orang pandai seperti nona juga ikut memperebutkan. Biarlah aku hanya meramaikan suasana dan ikut menonton saja."
Pemuda ini pandai merendahkan dirinya sendiri, sikap rendah hati yang baik, pikir Bwe Hwa. Timbul keinginannya untuk mengukur sampai dimana kehebatan ilmu silatnya.
"Engkau terlalu merendahkan diri, sauadar Coa. Aku yakin bahwa engkau tentu memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat. Karena itu, kuharap engkau tidak menolak untuk saling mengukur ilmu silat masing-masing."
Leng Kun melangkah mundur dan mengangkat tangan kanannya ke atas.
"Ah, mana aku berani, nona? Jangan-jangan baru satu dua jurus saja aku bernasib seperti harimau ini!"
Bwe Hwa tersenyum.
"Engkau bukan harimau yang hendak menerkam aku. Dan pula, mengukur kepandaian tidak sama dengan bertanding karena bermusuhan. Tentu saja kita tidak akan saling melukai. Akan tetapi aku ingin sekali mencoba ilmu silatmu, saudara Coa. Kalau kita sudah saling mengetahui kepandaian masing-masing, barulah kita dapat bersahabat."
"Ah, engkau bersahabat dengan aku yang tolol ini, nona? Terima kasih, dan kalau begitu pendapatmu, aku tidak berani menolak lagi. Akan tetapi harap engkau kasihani diriku dan tidak mendesak terlalu hebat."
"Keluarkan senjatamu, saudara Coa!"
Kata Bwe Hwa yang segera mencabut Kwan-im-kiam dari punggungnya dan melintangkan pedang itu di depan dadanya. Seperti yang diduga oleh Bwe Hwa, pemuda itu mencabut suling perak yang terselip di ikat pinggang merah dan begitu suling itu digerakkan, terdengar suara melengking seolah suling itu titiup dan dimainkan. Baru gerakan ini saja sudah membuat ia maklum bahwa pemuda itu memiliki tenaga Sin-kang yang kuat, maka ia menjadi semakin gembira dan kagum. Akan tetapi ia merasa khawatir kalau-kalau pedangnya akan merusak suling itu, maka iapun berkata dengan suara lembut.
"Saudara Coa, ketahuilah bahwa pedangku ini adalah sebuah pedang pusaka yang ampuh dan tajam sekali. Aku khawatir kalau sulingmu yang terbuat dari perak itu kalau bertemu dengan pedangku akan menjadi rusak."
Leng Kun tersenyum lebar.
"Jangan khawatir, nona. Sulingku ini juga merupakan pusaka yang ampuh dan terbuat dari pada baja biru yang kuat. Warna perak itu hanya merupakan selimut saja, agar nampak indah dan kalau dimainkan merdu suaranya. Jangan khawatir, sulingku tidak akan rusak."
Setelah berkata demikian, Leng Kun memasang kuda-kuda dengan suling diangkat di atas kepala dan menuding ke depan, tangan kiri miring di depan dada, kaki kiri diangkat menempel kaki kanan. Kuda-kudanya ini kokoh dan juga gagah sekali.
"Aku telah siap, nona. Mulailah!"
Bwe Hwa tidak banyak cakap lagi. Ia memang ingin sekali melihat kelihaian pemuda ini. Kalau kepandaiannya hanya rendah saja, untuk apa bersahabat dengannya?
"Lihat pedang!"
Bentaknya dan pedangnya sudah bergerak menusuk ke arah dada. Leng Kun menurunkan dan menggeser kakinya mengelak lalu sulingnya menyambar ke arah leher Bwe Hwa. Gadis ini cepat mengelak lalu membalas dengan pedangnya, membabat kaki Leng Kun. Akan tetapi dengan ringan Leng Kun meloncat ke atas, sulingnya menyambar ke bawah untuk menangkis pedang.
"Cring"
Trangg...!!"
Dua kali suling bertemu pedang dan bunga api berpijar, akan tetapi benar seperti yang dikatakan Leng Kun, suling itu tidak menjadi rusak. Mereka lalu menyerang dengan seru. Bwe Hwa sudah memainkan Kwan-im-kiamsut. Tubuhnya berkelabatan ke sana-sini menjadi bayangan yang dilindungi oleh sinar pedang yang bergulung-gulung. Akan tetapi Leng Kun memainkan sulingnya dengan hebat dan aneh pula. Nampak gulungan sinar putih berkeredapan dibarengi dengan suara melengking-lengking! Setelah bertanding selama lima puluh jurus, tahulah Bwe Hwa bahwa pemuda itu memiliki kepandaian yang cukup tinggi. Kalau mereka berkelahi benar-benar, ia akan menang, akan tetapi akan memakan waktu yang cukup lama. Setelah puas menguji ilmu silat pemuda itu, ia membentak dengan suara penuh getaran berwibawa.
"Coa Leng Kun, tak mungkin engkau mampu melawan pedangku yang berubah menjadi sepuluh batang!"
Gadis itu mengerahkan tenaga batinnya, menggunakan sihir untuk mencoba pemuda itu. Ternyata ia telah menggunakan kekuatan batinnya dan mempengaruhi pikiran pemuda itu. Coa Leng Kun terbelalak melihat betapa gadis itu kini memainkan sepuluh batang pedang yang mengepungnya dari segala penjuru! Dia melompat jauh ke belakang dan berseru,
"Nona Pek Bwe Hwa, aku mengaku kalah!"
Bwe Hwa tersenyum dan tidak menyerang lagi. Pemuda itu masih bengong keheranan.
"Nona, ilmu pedang apakah yang kau mainkan tadi? Pedangmu menjadi banyak sekali sehingga aku terkurung dan tidak mampu lagi melawan."
Bwe Hwa merasa senang. Biarpun dalam ilmu silat dia hanya menang sedikit saja dari pemuda ini, akan tetapi dengan kekuatan sihirnya dia mampu mengalahkannya dalam waktu singkat saja.
"Ah, ilmu pedangku tidak seberapa kalau dibandingkan dengan ilmu silat sulingmu yang lihai itu, saudara Coa."
"Nona engkau tidak perlu merendahkan diri, aku tahu betul bahwa aku tidak dapat menandingimu. Pula, kita telah berkenalan, bahkan telah bertanding yang berarti bahwa kita sudah menjadi sahabat. Kenapa engkau masih menyebutku saudara Coa? Terdengarnya begitu asing."
"Habis engkau juga menyebut aku nona, lalu aku harus menyebutmu apa?"
"Engkau lebih muda dariku, pantas kuesebut moi-moi (adik perempuan) dan kalau engkau tidak keberatan, aku akan senang sekali kalau kausebut twako (kakak pria). Bagaimana pendapatmu, Hwa-moi?"
Bwe Hwa sudah mengenal watak dan sikap pemuda itu yang sopan dan lembut, maka iapun tidak keberatan untuk menganggap epmud aitu sebagai sahabat atau kakaknya.
"Baiklah, Kun-ko,"
Jawabnya sederhana. Bukan main girangnya rasa hati Leng Kun.
"Kita sudah menjadi sahabat baik atau bahkan saudara, akan tetapi kita tidak saling mengenal keadaan masing-masing. Maukah engkau menceritakan siapa orang tuamu dan siapa pula gurumu, dan dimana engkau tinggal. Hwa-moi? Akan tetapi biarlah aku yang lebih dulu bercerita. Seperti telah kuperkenalkan tadi, namaku Coa Leng Kun. Aku tidak mempunyai orang tua lagi, juga guruku telah meninggal dunia. Aku hidup seorang diri, tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap dan suka berkelana. Dalam perjalananku aku mendengar tentang Pek-lui-kiam yang kabarnya berada di tangan Ang I Sianjin. Pusaka itu tadinya milik pendekar besar Tan Tiong Bu yang tinggal di Sia-lin. Akan tetapi pada suatu hari, pendekar Tan Tiong Bu di bunuh orang dan pedang pusaka Pek-lui-kiam lenyap. Menurut dugaan orang, tentu Ang I Sianjin yang membunuh pendekar itu dan mencuri pedangnya. Nah, demikianlah keadaan diriku. Tidak menarik sama sekali."
"Dari siapakah engkau mempelajari ilmu silatmu yang lihai itu? Siapakah gurumu yang telah meninggal dunia itu?"
"Tentu saja aku mempelajarinya dari guruku. Beliau adalah seorang pertapa yang tidak terkenal dan menyembunyikan diri dari dunia ramai. Bahkan namanyapun tak seorang pun mengetahuinya. Kepadaku dia hanya mengatakan bahwa dia sudah lupa akan namanya dan minta di sebut Bu-beng Lo-jin (Orang Tua Tanpa Nama). Nah, sekarang aku ingin mendengar tentang dirimu, Hwa-moi."
"Tidak ada yang aneh tentang diriku, Twako. Seperti sudah kukatakan kepadamu, namaku Pek Bwe Hwa. Guruku adalah orang tuaku sendiri dan kami tinggal di Kong-goan, propinsi Secuan, bersama kakekku yang menjadi ketua Pek-sim-pang. Aku sedang merantau untuk meluaskan pengetahuan dan menambah pengalaman di dunia kangouw. Orang tuaku yang memesan kepadaku agar aku ikut pula menyelidiki tentang Pek-lui-kiam. Akupun mendengar juga tentang kematian Tan Tiong Bu dan pembunuhnya adalah seorang kakek berpakaian merah yang tinggi kurus. Dunia kangouw segera dapat menduganya bahwa pembunuh itu adalah Ang I Sianjin ketua Kwi-jiauw-pang di bukit ini. Maka akupun datang ke sini untuk menyelidikinya."
"Dengan kepandaianmu, aku yakin bahwa engkau tentu akan berhasil merampas pedang pusaka itu, Hwa-moi."
"Aih, belum tentu, twako. Setidaknya disini ada engkau pula yang tidak kalah lihai. Kalau ada kemungkinan bahwa aku yang akan berhasil, tentu ada kemungkinan pula bahwa engkau juga akan berhasil."
"Tidak, Hwa-moi. Aku tidak akan berebut denganmu, aku bahkan akan membantumu untuk mendapatkan pedang pusaka itu!"
Bwe Hwa memandang tajam penuh selidik. Ia merasa heran dan curiga kepada Coa Leng Kun. Pemuda itu baru saja bertemu dan berkenalan dengannya, mengapa begitu baik hendak membantunya mendapatkan Pek-lui-kiam? Kebaikan yang berlebihan ini tentu mengandung niat dan pamrih. Ayahnya sudah menasihatkan kepadanya bahwa musuh yang paling berbahaya adalah orang yang bersikap terlalu baik kepadanya. Apakah pemuda ini diam-diam mengandung maksud jahat terhadap dirinya? Ia harus berhati-hati.
"Kun-ko, kenapa engkau begitu baik kepadaku?"
Leng Kun tersenyum.
"Tentu saja, Hwa-moi. Bukankah kita telah bersahabat?"
"Hemm, baru saja kita bertemu dan berkenalan."
"Akan tetapi kita telah bertanding dan mengenal keadaan masing-masing. Aku merasa seolah sudah lama sekali kita berkenalan, Hwa-moi. Aku merasa kagum sekali kepadamu, dan suka sekali. Ah, sampai lupa aku! Hwa-moi, harimau ini telah kau bunuh, akan tetapi sia-sialah kalau dibiarkan begitu saja. Pernahkah engkau merasakan daging harimau?"
"Daging harimau?"
Bwe Hwa memandang heran ketika percakapan mereka tiba-tiba saja membelok ke arah lain.
"Aku belum pernah memakannya."
"Wah, engkau harus merasakannya, Hwa-moi. Kalau pandai memasaknya, daging harimau itu lezat sekali. Biarpun kita tidak membawa alat masak, aku tahu cara yang baik untuk memanggang dagingnya. Aku membawa bumbu penyedap untuk itu."
Tanpa banyak cakap lagi Leng Kun lalu mengambil sebuah pisau belati dari pinggangnya dan dia mulai mengerat daging harimau itu, mengambil bagian pahanya. Bwe Hwa hanya menonton saja, kecurigannya sudah terlupa lagi olehnya. Ia hanya duduk di atas baju sambil melihat pemuda itu bekerja. Dengan cekatak Leng Kun menguliti potongan paha itu, kemudian mengiris dagingnya menjadi beberapa potong. Diambilnya bumbu garam, merica dan lain-lain dari buntalannya dan setelah memberi bumbu kepada daging-daging itu, lalu dibuatnya api unggun. Daging-daging paha yang menjadi beberapa potong sebesar kepalan tangan itu lalu di tusuk dengan belahan bambu yang didapatkan disekitar tempat itu dan dipanggangnyalah daging-daging itu. Bwe Hwa segera mencium bau yang amat sedap sehingga timbul seleranya. Ia kini membantu Leng Kun memanggang daging-daging itu.
"Coba cicipilah!"
Kata Leng Kun sambil memberikan sepotong bambu yang menusuk dua potong daging kepada Bwe Hwa.
"Hemm, baunya sedap!"
Kata Bwe Hwa terus terang dan setelah daging itu agak mendingin, ia menggigitnya. Ternyata memang lezat sekali,, ada rasa gurih dan manis, berbau sedap karena di bumbui. Mereka lalu makan habis semua potongan daging harimau panggang itu dan mereka minum dari bekal minuman masing-masing. Bwe Hwa membawa bekal minuman air jernih, dan Leng Kun membawa seguci arak. Setelah makan dan minum, Leng Kun berkata kepada Bwe Hwa,
"Sekarang kita lanjutkan pendakian ke sarang Kwi-jiauw-pang, Hwa-moi. Akan tetapi karena penjagaan tentu ketat, sebaiknya kalau kita berpisah. Engkau jalan dari arah kiri dan aku mendaki dari arah kanan. Kita bertemu diatas nanti. Dengan berpencar kita akan lebih mudah masuk ke sarang mereka. Setidaknya seorang diantara kita tentu berhasil."
Bwe Hwa mengangguk.
"Pendapatmu benar sekali. Perkumpulan Kwi-jiauw-pang itu kuat sekali, siapa tahu mereka memasang perangkap di jalan menuju ke atas."
"Harap engkau suka berhati-hati, Hwa-moi.
"
"Sampai nanti, Kun-ko."
Bwe Hwa lalu meloncat ke kira dan sebentar saja ia sudah lenyap dari pandangan mata Leng Kun. Pemuda ini menarik napas panjang, merasa kagum bukan main. Diapun lalu berlari ke arah kanan dengan cepatnya. Coa Leng Kun berlari dengan cepat sekali, menyusup-nyusup di antara pohon-pohon dan semak-semak belukar.
Melihat cara dia berlari tanpa ragu, mudah diduga bahwa pemuda ini tidak asing dengan daerah pegunungan itu. Dan dia mengambil jalan pintas, tidak menurut jalan setapak melainkan menerobos semak-semak. Tak lama kemudian dia sudah tiba di depan pintu gerbang perkumpulan Kui-jiaw-pang yang berdiri di tengah puncak bukit yang datar. Selosin orang anggota Kui-jiaw-pang muncul dari gardu penjagaan dan menghadang di tengah pintu gerbang. Mereka memandang heran dan penuh kecurigaan kepada pemuda tampan berpakaian putih yang tahu-tahu tiba di depan pintu gerbang. Tentu pemuda itu tidak menggunakan jalan setapak maka dapat tiba disitu tanpa mereka ketahui. Kalau melalui jalan setapak, tentu pemuda itu menemui rintangan dan jebakan yang telah mereka pasang.
"Heii, berhenti!! Siapa engkau berani datang ke sini tanpa diundang?"
Pendekar Kelana Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bentak kepala jaga dengan suara lantang. Leng Kun tersenyum dan berdiri tegak, matanya menentang pandangan mata sepuluh orang itu.
"Bagus, kalian melakukan penjagaan yang ketat dan baik. Akan tetapi aku bukanlah lawan, melainkan kawan."
Dia mengeluarkan sebuah bendera kecil dari saku bajunya. Bendera itu berdasar warna biru dan di tengahnya terdapat sulaman gambar setangkai bunga teratai putih.
"Serahkan ini kepada ketua kalian!"
Kepala jaga melihat bendera itu, berubah sikapnya. Dia menerima bendera itu, memberikan kepada seorang anak buah untuk membawa bendera itu kepada ketua mereka, dan kepada Leng Kun dia berkata ramah,
"Harap kongcu suka menunggu di dalam gardu sebentar menanti kembalinya pelapor."
Leng Kun mengangguk sambil tersenyum lalu duduk di dalam gardu penjagaan. Para penjaga tidak ada yang bicara, akan tetapi pandangan mata mereka ke arah pemuda itu memperlihatkan perasaan takut. Tak lama kemudian, pelapor itu kembali dan mengikuti Ang I Sianjin atau Sam Ok yang melangkah dengan cepat menuju gardu itu. Dia memandang kepada Leng Kun dengan tercengang. Tadinya dia
(Lanjut ke Jilid 16)
Pendekar Kelana (Seri ke 12 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 16
mengira bahwa utusan Pek-lian-pai yang memiliki bendera tanda utusan yang berkuasa penuh itu adalah seorang pendeta Pek-lian-kauw yang sudah berusia lanjut. Siapa kira bahwa utusan itu seorang pemuda tampan yang berpakaian rapi. Leng Kun bangkit berdiri dan merangkapkan kedua tangannya di depan dada ketika melihat laki-laki berjubah merah itu.
"Apakah aku berhadapan dengan Kwi-jiauw-pangcu sendiri?"
Tanya Leng Kun. Ang I Sianjin atau Sam Ok membalas penghormatan itu dan menjawab,
"Benar, aku adalah Sam Pangcu (Ketua ketiga). Mari silahkan, sicu."
Leng Kun mengikuti Sam ok memasuki pintu gerbang dan dia melihat sebuah perkampungan yang dikitari pagar tembok yang tinggi dan kokoh.
Di dalam perkampungan itu terdapat banyak rumah tembok mengelilingi sebuah rumah induk yang besar dan megah. Ke rumah besar inilah dia diajak masuk. Mereka memasuki sebuah ruangan yang luas dan Leng Kun melihat dua orang kakek lain yang duduk di atas kursi. Orang pertama bertubuh gendut, kepalanya besar dan botak, dan telinganya lebar. Orang ini menyambut kedatangannya dengan senyum lebar. Dia kelihatan penyabar dan baik hati. Adapun orang kedua bertubuh kurus pendek, rambutnya panjang tebal sampai ke pinggang, mukanya penuh rambut seperti monyet. Kalau orang pertama berpakaian serba putih, orang kedua ini berpakaian serba hitam. Usia mereka sebaya dibandingkan Ang I Sianjin. Begitu memasuki ruangan itu, Leng Kun yang tak dapat menahan keinginan tahunya, segera bertanya kepada Ang I Sianjin,
"Ang I Sianjin, aku mendapat keterangan bahwa engkau adalah ketua Kwi-jiauw-pang, akan tetapi mengapa engkau tadi mengatakan bahwa engkau adalah Sam Pangcu?"
"Sicu, jangan sebut aku Ang I Sianjin lagi. Nama julukanku kini adalah Sam Ok dan menjadi ketua nomor tiga di Kiu-jiauw-pang. Perkenalkanlah, kedua orang ini adalah Toa ok dan Ji Ok, yang menjadi Toa-pangcu dan Ji-pangcu di perkumpulan kami ini. Kami belum mengetahui siapa namamu."
"Namaku adalah Coa Leng Kun,"
Jawab pemuda itu.
"aku di utus oleh para pimpinan Pek-lian-pai untuk membantumu. Akan tetapi dengan adanya Toa-pangcu dan Ji-pangcu, kepada siapakah aku akan melakukan perundingan?"
Pemuda itu memandang dengan ragu kepada dua orang kakek itu.
"Heh-heh-heh, kami merasa senang sekali dapat bekerja sama dengan Pek-lian-kauw. Engkau dapat melakukan perundingan dengan kami bertiga disini. Akan tetapi keadaanmu sungguh membuat kami ragu dan sangsi. Mengapa utusan yang berkuasa penuh dari Pek-lian-pai hanya seorang pemuda? Sungguh sembrono para pimpinan Pek-lian-pai mengutus seorang muda untuk melaksanakan pekerjaan yang amat penting."
Kata Toa Ok.
"Selama ini, pihak Pek-lian-pai selalu mengirim utusan yang sudah tua dan matang dalam pengalaman, baru sekali ini mengirim utusan muda,"
Kata Sam Ok.
"Ini memang aneh dan mencurigakan. Akan tetapi bendera utusan itu aseli. Toa Ok, bagaimana kalau kita mengujinya lebih dulu?"
"Bagus, memang sebaiknya begitu. Coa Leng Kun, kami ragu melihat engkau yang muda menjadi utusan Pek-lian-pai. Kami hendak menguji kemampuanmu karena orang yang tidak memiliki kepandaian tidak patut untuk merundingkan urusan penting dengan kami."
Coa Leng Kun tersenyum mengejek.
"Para pimpinan Pek-lian-pai tentu tidak senang mendengar ketidak-percayaan kalian. Tentu saja aku siap untuk menghadapi pertandingan ujian dengan siapapun juga."
Mulutnya berkata demikian, akan tetapi di dalam hatinya dia terkejut mendapat kenyataan bahwa Kwi-jiauw-pang kini dipimpin oleh tiga ketua dan yang dua orang adalah Toa Ok dan Ji Ok. Dia sudah mendengar akan nama besar dua orang datuk sesat dari barat itu. Akan tetapi dia bersikap tenang. Ang I Sianjin atau Sam Ok sudah lama menjalin hubungan dengan pihak Pek-lian-kauw, bahkan dia dan mereka telah bersekutu untuk mencoba lagi melakukan permberontakan terhadap kerajaan Beng yang kini di pimpin oleh Kaisar Wan Li.
Pek-lian-pai ingin melakukan gerakan pemberontakan lagi setelah berkali-kali usahanya gagal berkat kepandaian dua orang menteri, yaitu Menteri Yang Ting Hoo dan Menteri Cang Ku Ceng. Akan tetapi sekarang kedua orang menteri arif bijaksana dan pandai itu telah tidak ada, telah meninggal dunia, maka pihak Pek-lian-pai menjadi berani untuk bergerak. Mereka mengumpulkan perkumpulan-perkumpulan sesat untuk ditarik menjadi sekutu mereka dan diantara perkumpulan sesat itu adalah Kwi-jiauw-pang. Ang I Sianjin yang kini menjadi Sam Ok terkejut mendengar bahwa Toa Ok dan Ji Ok akan menguji kepandaian Coa Leng Kun. Dia sudah tahu akan kehebatan ilmu kedua orang datuk itu. Akan tidak enaklah dia terhadap Pek-lian-pai kalau sampai utusan mereka dikalahkan dan dilukai. Maka, dia segera bangkit berdiri dan berkata,
"Harap Toa Ok dan Ji Ok tidak perlu turun tangan sendiri menguji kepandaian utusan Pek-lian-pai ini. Aku sendiri yang akan mengujinya."
Toa Ok dan Jik Ok mengangguk-angguk. Mereka berduapun tekah mendengar bahwa Pek-lian-pai adalah perkumpulan besar yang amat kuat, dipimpin oleh banyak orang pandai. Mereka tidak ingin bermusuhan dengan Pek-lian-pai, dan mereka pun tahu bahwa tingkat kepandaian Sam Ok tidak banyak selisihnya dengan tingkat kepandaian mereka. Kalau Sam Ok yang menguji, mereka berduapun sudah dapat menilai ketangguhan pemuda itu. Sam Ok sudah melangkah ke tengah ruangan yang luas itu, dan dia berkata,
"Coa-sicu, aku sudah siap untuk menguji kepandaianmu!"
Diam-diam leng Kun merasa lega hatinya. Diapun belum pernah melihat tingkat kepandaian ketua Kwi-jiauw-pang ini, akan tetapi dia menduga bahwa tingkat kepandaiannya tentu berada di bawah tingkat Toa Ok dan Ji Ok. Hal ini dapat diduga karena di perkumpulan itu dia hanya menjadi Sam Pangcu (Ketua ke Tiga), sedangkan dua orang datuk besar itu menjadi ketua pertama dan kedua.
"Baiklah, Sam Pangcu. Sebagai utusan Pek-lian-pai yang di percaya penuh aku akan membuktikan bahwa aku cukup pantas untuk berunding dengan kalian."
Leng Kun melangkah maju ke depan Sam Ok. Melihat Sam Ok tidak menggunakan senjata, diapun tidak mencabut sulingnya dan memasang kuda-kuda dengan tangan kosong. Ang I Sianjin memang tidak bermaksud terlalu mendesak tamunya ini karena dia merasa khawatir kalau-kalau pihak Pek-lian-pai menjadi marah dan mengirim pasukan untuk menyerbu dan membalas dendam. Karena itulah dia mengajak bertanding dengan tangan kosong saja. Andaikata dia menang, dia tidak akan memukul terlalu kuat sehingga tidak melukai pemuda itu.
"Cao-sicu, aku sudah siap. Mulailah!"
Kata Sam Ok.
"Aku adalah tamu dan akulah yang akan diuji, maka engkau yang sepantasnya menyerang dulu, Sam Ok!"
Kata Leng Kun dengan sikap tenang dan penuh kepercayaan kepada diri sendiri.
"Bagus! Lihat seranganku!"
Sam Ok membentak dan diapun sudah maju menyerang dengan cepat dan kuat sekali. Biarpun dia menjadi ketua Kwi-jiauw-pang dia tidak memakai sambungan tangan berupa cakar setan seperti semua anak buahnya, akan tetapi cengkeraman jari-jari tangannya tidak kalah hebatnya dibandingkan dengan cakar setan. Dia menggunakan kedua tangan yang membentuk cakar untuk menyerang dada dan perut Leng Kun. Melihat serangan yang dahsyat ini Leng Kun mengelak mundur selangkah, kemudian dia balas menyerang tak kalah dahsyatnya. Serangannya datang bergelombang bertubi-tubi karena yang menyerang adalah kedua tangan dan kedua kakinya, bergantian dan susul-menyusul melakukan pukulan dan tendangan. Pemuda itu telah mengeluarkan ilmu silatnya yang ampuh, yaitu Ilmu Silat Gelombang Samudera!
"Haiitt...!"
Sam Ok meloncat ke belakang dan ketika pemuda itu mendesaknya, diapun mengerahkan sinkang untuk menangkis.
"Dukkk...!"
Pertemuan kedua lengan itu membuat Sam Ok terdorong mundur tiga langkah, akan tetapi Leng Kun juga mundur empat langkah. Hal ini berarti bahwa dalam hal tenaga dalam, Leng Kun kalah kuat. Akan tetapi pemuda itu hendak menutupi kekurangannya dalam hal tenaga itu dengan kelebihan ginkangnya. Dia bergerak cepat sekali dan kini tubuhnya berpusing seghingga menjadi bayangan berputar-putar yang menghampiri lawan. Itulah Ilmu Silat Angin Taufan yang membuat lawan menjadi bingung menghadapinya. Demikian pula dengan Sam Ok. Menghadapi serangan yang dilakukan dengan tubuh berpusing itu, dia menjadi bingung dan gugup sehingga dia terpaksa mundur terdesak hebat. Pada saat itu, Toa Ok berseru,
"Hentikan pertandingan!"
Legalah hati Sam Ok. Dia harus mengakui bahwa menghadapi ilmu silat yang berpusing itu, dia menjadi bingung dan tidak tahu harus bagaimana menghadapi lawan dan kalau dilanjutkan besar kemungkinan dia akan kalah. Mendengar bentakan Toa Ok, dia meloncat jauh ke belakang dan Leng Kun juga menghentikan gerakannya.
"Cukup sudah Coa Leng Kun. Akan tetapi engkau tadi menggunakan ilmu silat Gelombang Samudera dan Angin Taufan. Setahu kami, kedua ilmu itu adalah ilmu Hek Tok Siansu almarhum. Bagaimana engkau yang menjadi utusan Pek-lian-pai tidak menggunakan ilmu silat dari Pek-lian-pai melainkan ilmu-ilmu silat mendiang Hek Tok Siansu?"
Leng Kun maklum bahwa Toa Ok dan Ji Ok adalah dua orang datuk besar dari barat yang luas pengetahuannya sehingga dapat mengenal kedua ilmu silatnya tadi. Maka, diapun berterus terang.
"Mendiang Hek Tok Siansu adalah kakek guruku!"
Mendengar jawaban ini, Toa Ok dan Ji Ok saling pandang dan wajah mereka berseri-seri.
"Bagus sekali! Dahulu, Hek Tok Siansu bekerja sama dengan Pek-lian-pai dan sekarang cucunya melanjutkan kerja sama itu sehingga diangkat menjadi utusan yang penting. Silakan duduk, Coa-sicu!"
Kata Toa Ok dan nada suaranya lebih ramah.
"Kami mengucapkan selamat datang, Coa-sicu. Berita apakah yang kaubawa?"
"Pimpinan Pek-lian-pai mengutus aku datang ke sini untuk membantu Kwi-jiauw-pang yang akan kedatangan banyak orang pandai yang ingin merampas pedang pusaka Pek-lui-kiam. Kami tidak mengetahui bahwa sekarang Kwi-jiauw-pang memiliki dua orang ketua baru sehingga keadaannya lebih kuat lagi. Untuk itu, aku sebagai utusan Pek-lian-pai mengucapkan selamat kepada para ketua baru."
Tiga orang ketua itu tersenyum lebar dan Toa Ok berkata lantang,
"Jangan khawatir, Cao-sicu. Kami telah tahu akan hal itu dan kami telah siap siaga. Siapapun yang datang hendak merampas pedang pusaka, tentu tidak akan mampu keluar lagi dari daerah Kwi-liong-san. Apalagi engkau datang membantu sehingga keadaan kita lebih kuat lagi."
"Ketika hendak mendaki bukit ini, aku memisahkan diri dari seorang gadis yang berilmu tinggi. Ia tidak boleh dipandang ringan karena ia adalah cucu dari ketua Pek-sim-pang!"
Tiga orang ketua itu saling pandang dan Toa Ok berseru, dalam suaranya terkandung kekhawatiran.
"Cucu ketua Pek-sim-pang? Siapa namanya, sicu?"
"Namanya Pek Bwe Hwa."
"Ah, tidak salah lagi. Ia memang keturunan keluaraga Pek, dan mengingat bahwa ketua Pek-sim-pang hanya mempunyai seorang putera yang amat terkenal sebagai seorang pendekar yang sakti, maka tak salah lagi, gadis itu tentu puteri Pek Han Siong!"
Kata Toa Ok sambil mengerutkan alisnya.
"Ayah gadis itu, Pek Han Siong, akan merupakan lawan yang tangguh. Akan tetapi kita tidak perlu khawatir, dengan kepandaian kita semua, biar Pek Han Siong sekalipun tidak perlu kita takuti."
Coa Leng Kun mengerutkan alisnya.
"Kalau begitu, daripada menghadapi gadis itu sebagai lawan, lebih baik kalau ia ditarik menjadi sahabat atau sekutu kita."
Tiga pasang mata menatap wajah Leng Kun dengan penuh pertanyaan dan Ji Ok berseru,
"Aneh! Mana mungkin puteri Pek Han Siong kita ajak kerja sama? Kalau ia datang, tentu ia menginginkan pedang pusaka itu!"
"Benar apa yang dikatakan Ji Ok, Coa-sicu. Bagaimana mungkin gadis itu mau bekerja sama dengan kita? Sejak dahulu, Ayah gadis itu menentang pemberontakan terhadap kerajaan, bahkan dia menjadi musuh besar Pek-lian-pai. Bagaimana mungkin kini kita mengajak puterinya untuk bekerja sama?"
Tanya Sam Ok.
"Harap sam-wi pangcu (Ketiga Ketua) tidak menjadi bingung. Ketika menuju ke Kwi-liong-san, aku bertemu dan berkenalan dengan Pek Bwe Hwa, bahkan kini menjadi sahabat. Tentu saja dara itu tidak tahu bahwa aku adalah utusan Pek-lian-pai. Ia mengira aku seorang di antara mereka yang ingin merampas pedang Pek-lui-kiam. Bahkan kami bersepakat untuk bekerja sama dalam hal ini, dan aku akan membantunya. Nah, kalau aku sekarang mengawaninya naik ke sini dan memperkenalkan ia kepada sam-wi, tentu ia akan merasa senang sekali. Tentu saja sam-wi harus menjanjikan kepadanya untuk menyerahkan pedang pusaka itu."
"Ahhh...!"
Tiga orang ketua itu berseru kaget.
"Harap tenang, sam-wi pangcu. Kita harus menggunakan akal, yaitu menyerahkan pedang pusaka tiruan atau palsu. Dan kalau pedang pusaka berada di tangannya, tentu orang-orang yang ingin memperebutkan pedang pusaka itu akan memusuhinya. Nah, pada saat itulah kita turun tangan membantunya sehingga kita akan dapat membasmi orang-orang itu."
Tiga orang ketua itu mengangguk-angguk dan saling pandang.
"Akan tetapi kita harus merahasiakan bahwa aku adalah utusan Pek-lian-pai, karena kalau ia mengetahui hal ini, tentu sikapnya kepadaku akan berubah dan ia akan menganggap aku sebagai musuh. Ketika berkenalan dengannya, aku mengaku sebagai seorang perantau yang ingin pula memperebutkan pedang pusaka Pek-lui-kiam. Sam-wi hanya bersikap baik kepadanya dan segalanya aku yang akan mengaturnya agar ia percaya."
"Baiklah, Coa-sicu. Kami menyerahkan kepadamu untuk mengurus pendekar wanita itu."
Akhirnya Toa Ok menyatakan setuju karena kalau benar pendekar wanita puteri pendekar Pek Han Siong itu dapat ditarik untuk bekerja sama, kedudukan mereka tentu lebih kuat.
"Akan tetapi, agaknya engkau membenci wanita itu. Ada urusan apakah antara engkau dengannya?"
Leng Kun menghela napas panjang lalu berkata,
"Di dunia ini hanya ada dua keluarga yang paling kubenci karena merekalah yang menyebabkan kakek guruku Hek Tok Siansu tewas penasaran. Kedua keluarga itu adalah keluarga Tang Hay, dan keluarga Pek Han Siong. Terutama keluarga Tang Hay karena di tangan dialah kakekku itu tewas."
Tiga orang kepala perkumpulan Kwi-jiauw-pang itu saling pandang dan Toa Ok berseru,
"Ah, musuh-musuhmu adalah musuh kami juga, dan juga musuh besar Pek-lian-pai karena mereka berdua itulah yang paling banyak menentang Pek-lian-pai dalam pemberontakan mereka. Akan tetapi harus diakui bahwa mereka berdua itu memiliki kepandaian yang hebat."
Leng Kun mengerutkan alisnya.
"Aku tidak takut, dan sekarang kebetulan sekali puteri keluarga Pek berada di sini."
"Kenapa ia tidak kita bunuh saja karena ia adalah puteri musuh besarmu, sicu?"
Tanya Sam Ok.
"Ahh, pembalasan seperti itu terlampau lunak, Sam Pangcu. Juga kita tidak memetik keuntungan apapun. Aku mempunyai rencana yang lebih hebat daripada itu. Selain itu kita dapat mempergunakan tenaganya untuk membantu kita menghadapi mereka yang hendak merebut pedang pusaka Pek-lui-kiam, aku juga ingin menjatuhkan hatinya. Kalau sampai aku dapat mempermainkannya sebagai isteriku, ini berarti aku telah melakukan balas dendam yang memuaskan sekali karena seluruh keluarganya akan merasa menyesal sekali. Dan akhirnya, sebagai suaminya, aku mempunyai kesempatan lebih banyak untuk membasmi keluarga Pek!"
Toa Ok dan Ji Ok tertawa bergelak.
"Bagus! Kiranya engkau yang masih muda ini mempunyai kecerdikan yang tinggi. Kami suka sekali mendengar siasatmu itu, sicu. Baiklah, laksanakan siasatmu itu dan kami semua akan berpura-pura baik terhadap gadis itu."
Kata Toa Ok.
"Sekarang aku minta agar sam-wi pangcu mengirim seregu anak buah Kwi-jiauw-pang untuk menghadang gadis itu di lereng. Nanti aku akan muncul dan melerai mereka."
"Akan tetapi, jalan menuju ke puncak sudah kami beri perangkap dan juga kami menyebar racun sehingga siapapun yang hendak mendaki puncak ini akan menghadapi bahaya maut! Kami juga sudah memasang para anggauta untuk menjadi baris pendam, menyerang siapa saja yang mendaki puncak. Tentu saja jalan yang kau lalui itu tidak kami pasangi jebakan karena jalan itu dipakai oleh kita semua sebagai jalan rahasia."
"Gadis itu lihai dan cerdik sekali, tentu ia akan dapat menghindarkan diri dari jebakan dan racun. Biar aku turun dan menyambutnya! Akan tetapi aku minta belasan orang anak buah Kwi-jiauw-pang untuk mengeroyoknya."
Leng Kun lalu memimpin lima belas orang anak buah Kwi-jiauw-pang, menuruni puncak itu. Dia berpesan kepada lima belas orang itu agar nanti mengeroyok Pek Bwe Hwa, akan tetapi segera mundur kalau dia muncul melerai perkelahian mereka.
Akan tetapi dia berpesan pula kepada mereka agar mereka jangan sampai melukai gadis itu, dan berhati-hati karena gadis itu lihai sekali. Para anggauta Kwi-jiauw-pang yang sudah mengetahui bahwa pemuda itu seorang utusan Pek-lian-pai dan diterima dengan hormat oleh tiga orang ketua mereka, menaati pesan Leng Kun. Pek Bwe Hwa melakukan pendakian dengan hati-hati sekali. Ia dapat menduga bahwa Kwi-jiauw-pang tentu telah melakukan penjagaan dengan hati-hati dan tidak aneh kalau di jalan setapak menuju puncak itu dipasangi jebakan-jebakan yang berbahaya. Ia menggunakan semua kewaspadaannya untuk menyelidiki jalan setapak itu sebelum kakinya melangkah. Ia mematahkan sebuah ranting pohon yang cukup panjang dan dengan kayu ini ia mencoba jalan di depannya.
Ketika ia melihat di depannya sepetak rumput menutupi jalan, ia lalu menggunakan rantingnya untuk memeriksa. Ia menusukkan ujung rantingnya ke dalam rumput yang tebal itu dan seperti yang di khawatirkannya, tongkatnya masuk dalam sekali dan merasa betapa di bawah selimut rumput itu, dibawahnya kosong dan merupakan lubang. Ia lalu mengambil sepotong batu besar dan melemparkannya kepada timbunan rumput itu dan batu itu terus masuk ke dalam lubang yang tersembunyi dibawah rumput. Maklum bahwa didepannya terdapat jebakan lubang besar tertutup rumput, ia lalu mencari jalan memutar dan meraba-raba dengan tongkatnya. Ia melangkah terus dengan berani. Walaupun terdapat banyak perangkap, ia tidak takut dan melanjutkan perjalananya dengan penuh kewaspadaan.
Diam-diam ia mengkhawatirkan nasib Leng Kun. Pemuda itu tentu menghadapi banyak perangkap pula. Akan tetapi ia menenangkan hatinya. Leng Kun adalah seorang pemuda yang tinggi ilmunya. Tentu dia dapat menjaga diri sendiri dengan baik. Ketika ia menghindari jalan yang tertutup semak belukar penuh duri, tiba-tiba saja dari dalam semak belukar itu menyambar belasan batang anak panah ke arah tubuhnya. Bwe Hwa sudah siap siaga. Bagaikan seekor burung walet saja, tubuhnya sudah meloncat ke atas sehingga anak panah itu lewat di bawah kakinya dan menyambar masuk ke dalam semak-semak. Bwe Hwa turun dengan hati-hati dan setelah memeriksa dengan teliti, tahulah ia bahwa tadi ia telah menginjak sepotong kayu yang menarik sehelai tali yang dihubungkan dengan alat melepas anak panah itu dan yang berada di dalam semak belukar.
Berbahaya sekali, pikirnya. Akan tetapi ia tidak merasa takut dan melangkah terus dengan lebih berhati-hati, melihat dulu sebelum ia melangkah. Ketika jalan setapak yang diikutinya itu sampai di sebuah selokan ke kanan, tiba-tiba berlompatan belasan orang laki-laki dari balik pohon-pohon dan semak-semak. Lima belas orang laki-laki telah berdiri didepannya dan mereka semua memakai cakar setan pada kedua tangan. Sikap mereka bengis dan menyeramkan. Bwe Hwa dapat menduga bahwa belasan itu tentu anak buah Kwi-jiauw-pang, maka iapun siap untuk menhadapi pengeroyokan mereka. Ia bersikap tenang saja dan memandang kepada mereka dengan mata bersinar tajam. Pemimpin regu anak buah Kwi-jiauw-pang itu lalu membentak dengan suara lantang,
"Engkau siapakah berani memasuki wilayah kami tanpa ijin, nona? Lebih baik engkau menyerah untuk kami tangkap dan kami hadapkan kepada pimpinan kami, daripada kami harus menggunakan kekerasan untuk menangkapmu."
Dengan sikap tenang dan gagah Bwe Hwa menjawab,
"Aku tidak sudi menyerah dan kalau kalian hendak menangkapku dengan kekerasan, silakan. Hendak kulihat bagaimana caranya kalian menggunakan kekerasan!"
Pemimpin regu memberi aba-aba dan lima belas orang itu mengurung Bwe Hwa seperti belasan ekor srigala mengepung seekor domba. Akan tetapi setelah mereka bergerak, yang mereka kepung itu bukanlah seekor domba, melainkan seekor harimau betina dan tangguh sekali.
Ketika mereka menyerbu untuk menangkap gadis itu, Bwe Hwa menyambut dengan tamparan dan tendangan. Dalam segebrakan saja empat orang pengeroyok sudah terpelanting oleh tamparan dan tendangan yang dilakukan dengan amat cepatnya. belasan oran itu telah mendengar dari Leng Kun betapa lihainya gadis yang akan mereka hadapi. Akan tetapi ketika tadi melihat Bwe Hwa sebagai seorang gadis cantik jelita dan halus gerak-geriknya, mereka tidak percaya dan mengira akan dapat menangkap gadis itu dengan mudah. Karena memandang rendah ini, maka dengan mudah empat orang dibuat roboh oleh Bwe Hwa. Barulah mereka terkejut dan tahu bahwa gadis itu benar-benar lihai. Maka legalah hati mereka ketika Leng Kun muncul dan meloncat dekat Bwe Hwa sambil berseru,
Jodoh Si Mata Keranjang Eps 21 Pendekar Mata Keranjang Eps 47 Kumbang Penghisap Kembang Eps 5