Harta Karun Jenghis Khan 4
Harta Karun Jenghis Khan Karya Kho Ping Hoo Bagian 4
"Tidak salah lagi mereka berdua itu tentu ada hubungannya dengan urusan ini,"
Demikian kata Thian Sin setelah mereka tiba di kamar hotel mereka.
"Akupun berpendapat demikian. Dan gadis itu she Bouw, sungguh kebetulan sekali sama dengan she dari kepala penjahat besar di kota raja yang pernah kita dengar dari Liong-kut-pian Ban Lok itu."
"Kau maksudkan Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng?"
Kim Hong mengangguk.
"Sikapnya amat mencurigakan dan... dan... ia selalu memperhatikan engkau, dan kelihatan selalu hendak memikat..."
"Eh, kau cemburu?"
Tentu saja Thian Sin sudah dapat mengetahui sejak tadi betapa In Bwee selalu memikatnya dan betapa Kim Hong melihat hal ini dengan cemburu yang disembunyikan.
"Siapa cemburu? Sastrawan itupun ganteng dan menarik sekali!"
Jawab Kim Hong. Thian Sin maklum bahwa kekasihnya itu sengaja menyebut nama Kok Siang untuk membalasnya.
"Pemuda itupun patut diperhatikan, dia tidak kalah menarik dan mencurigakan dari pada In Bwee. Karena itu, aku ingin agar engkau mencari dan menyelidikinya."
"Dan engkau sendiri akan menyelidiki In Bwee?"
"Tepat! Kita membagi tugas dan kurasa dari mereka itulah kita akan mengetahui tentang rahasia peta yang hilang."
"Hemm, tugas yang manis dan menyenangkan bagimu, ya?"
"Kim Hong, keadaan kita sama saja."
"Maksudmu?"
"Aku bisa tertarik kepada In Bwee yang manis, akan tetapi engkaupun bisa tertarik kepada Kok Siang yang ganteng. Bukan engkau saja yang bisa cemburu, akupun bisa."
"Jadi..."
"Nah, kita uji diri dan batin sendiri. Sedikit main-main, apa salahnya? Dan yang terpenting, kita bukan mengejar asmara, melainkan mengejar rahasia peta. Ingat!"
Thian Sin tersenyum. Kim Hong membalas pandang mata itu, tersenyum pula. Keduanya mengerti lalu saling rangkul dan keduanya roboh di atas pembaringan sambil tertawa-tawa dan segera mereka tenggelam dalam kemesraan dan pencurahan kasih sayang mereka satu sama lain. Gadis yang sedang membaca kitab seorang diri di pondak mungil tengah taman bunga itu sungguh nampak cantik manis di bawah sinar lampu merah. Dan pondok yang terbuka jendelanya itu dipenuhi oleh keharuman bunga-bunga mawar yang sedang mekar dan juga bunga-bunga lain yang memenuhi taman. Tidak ada seorangpun pelayan menemani Bouw In Bwee.
Memang In Bwee ingin bersendirian membaca kitab dan ia mengusir semua pelayan dari pondok di taman bunga keluarganya yang kaya raya. Bulan di luar pondok cemerlang karena memang malam itu menjelang bulan purnama yang akan muncul dua malam lagi. Bulan sudah nampak bundar dan cerah. Tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu di dalam pondok itu sudah berdiri seorang laki-laki setengah tua yang bertubuh tinggi besar dan hermuka hitam. Sekali pria itu mengebutkan lengan bajunya, lampu yang terletak agak jauh, terietak di atas meja, padam! Ini membuktikan betapa hebatnya tenaga sin-kang dari pria itu. Keadaan dalam pondok menjadi gelap remang-remang karena kini hanya mendapatkan penerangan sedikit sinar bulan. Akan tetapi In Bwee tidak nampak terkejut. Memang ia sudah menanti sejak tadi. Ia hanya bangkit berdiri, menoleh ke arah pria itu.
"Paman..."
Katanya lirih sebagai sambutan.
"In Bwee, bagaimana hasilnya?"
"Aku sudah berhasil menghubungi mereka, paman. Akan tetapi aku harus bertindak hati-hati sekali. Mereka berdua memiliki ilmu yang amat tinggi, dan mengingat bahwa pemuda itu adalah Pendekar Sadis, hatiku sungguh tidak tenang sekali."
"Hemm, sudah kukatakan bahwa engkau tidak perlu mengandalkan ilmu silatmu. Untuk menghadapinya dalam hal itu, serahkan kepadaku kelak. Yang penting, engkau harus dapat memikatnya, menarik perhatiannya sehingga dia dapat menceritakan dengan terus terang tentang kunci emas itu. Bagaimana hasilnya malam kemarin itu?"
"Sudah kuatur dengan bantuan Hai-pa-cu seperti yang paman kehendaki. Akan tetapi sungguh sial, ada yang campur tangan dan sama sekali di luar rencana kita. Muncul seorang sastrawan muda dari Thian-cin bernama Bu Kok Siang yang memiliki kepandaian tinggi juga. Melihat gerakannya ketika dia mengalahkan Hai-pa-cu, tentu kepandaiannya lebih tinggi daripada tingkatku."
"Hemm... jadi engkau gagal karena ulah sastrawan jail itu?"
"Gagal sama sekali sih tidak. Aku berhasil berkenalan dengan mereka, juga dengan sastrawan itu tentu saja, dan aku sudah menjadi kenalan mereka, malah sudah kuundang dia untuk datang ke sini..."
"Bagus, kau atur saja dan jangan engkau main-main, In Bwee. Kalau berhasil, selain engkau akan mewarisi ilmu-ilmu simpananku, juga engkau akan memperoleh sebagian dari harta pusaka Jenghis Khan itu. Akan tetapi kalau engkau menolak dan mengkhianatiku, awas kau, aku tidak akan mengampunimu lagi. Ayah bundamu akan mendengar semuanya!"
"Paman..."
Gadis itu terisak.
"Jangan khawatir, aku tidak akan sekejam itu, engkau adalah keponakanku sendiri. Akan tetapi engkau harus mentaati perintahku, hanya sekali ini. Mengerti?"
"Baik, paman."
"Nah, aku pergi. Lakukan secepat mungkin dan harus berhasil!"
Tiba-tiba orang tinggi besar itu berkelebat dan lenyap dari situ seperti setan saja. In Bwee menyalakan lampu dengan jari-jari tangan gemetar. Wajahnya masih agak pucat dan jantungnya berdebar tegang. Setelah lampu menyala, barulah hatinya tenang, akan tetapi pikirannya mengenang keadaan dirinya dan tidak dapat ditahan lagi gadis itupun menangis sambil meletakkan kepala di atas kedua lengannya di atas meja. Entah berapa lamanya ia terhanyut dalam kedukaan ini ia tidak ingat lagi.
"Nona In Bwee... kenapa kau menangis...?"
In Bwee terkejut sekali dan sekali tubuhnya bergerak, ia sudah meloncat keluar dari kamar pondok itu dan ia berhadapan dengan seorang pemuda yang tadi berdiri di luar jendela, pemuda yang bersikap tenang dan bukan lain adalah Bu Kok Siang!
"Ah, engkau..."
In Bwee berkata dengan hati lega ketika melihat siapa orangnya yang menegurnya tadi. Akan tetapi segera ia teringat akan kedatangan orang pertama tadi, maka sambil berusaha menatap wajah di bawah sinar bulan yang sayu itu, ia bertanya.
"Sudah lamakah engkau tiba di sini?"
Kok Siang mengangguk.
"Lama juga, aku tadi berlindung di balik rumpun bunga di sana."
"Ahh...! Jadi... jadi kau tadi melihat...?"
Pemuda itu mengangguk.
"Ahh...!"
In Bwee menjadi terkejut sekali dan menggunakan kedua tangan untuk menutupi mukanya. Sentuhan tangan pemuda pada pundaknya itu halus sekali, sama sekali tidak mengandung kekurang ajaran dan suara itu tergetar penuh perasaan.
"In Bwee... nona... tenangkanlah hatimu. Aku tidak sengaja melihat semua itu tadi, tapi... percayalah aku tidak akan mengatakannya kepada siapapun juga. Aku bersumpah! Dan kau jangan khawatir, aku... aku siap untuk melindungimu terhadap ancaman apapun juga, dengan taruhan nyawaku!"
Gadis itu menurunkan kedua tangannya dan sampai lama ia memandang wajah pemuda itu, memandang dengan penuh keheranan dan keraguan. Kemudian ia berkata.
"Mari kita bicara di dalam. Di sini bisa terlihat orang lain."
Tanpa berkata-kata, In Bwee memasuki pondok itu diikuti oleh Kok Siang. Kemudian, setelah menutupkan daun jendela, In Bwee bersikap agak tenang dan mencoba untuk menahan getaran suaranya yang masih terguncang.
"Bu-kongcu... eh, saudara Kok Siang, kau duduklah."
Mereka duduk berhadapan dan kembali di bawah penerangan lampu kini morcka saling pandang dan sinar mata mereka bertaut sampai lama sekali. Gadis itu lalu menunduk dan menarik napas panjang.
"Jawab pertanyaan-pertanyaanku. Pertama, mengapa malam-malam begini engkau datang ke sini, bukan berkunjung sebagai tamu melainkan datang seperti ini, seperti pencuri melalui taman?"
Pertanyaan itu tidak mengandung kemarahan, akan tetapi tatapan mata itu demikian tajam seolah-olah gadis itu hendak menjenguk isi hati pemuda itu. Kok Siang yang biasanya berjenaka itu, sekarang nampak serius.
"Entahlah... aku tidak dapat tidur... siang tadi ingin mengunjungimu akan tetapi selalu teringat akan perbedaan keadaan antara kita, membuat aku ragu-ragu. Tapi malam ini... aku begitu gelisah, ingin sekali bertemu denganmu, atau setidaknya melihatmu, atau paling tidak melihat rumahmu dan... di sinilah aku. Ketika lewat di rumahmu, aku semakin ingin melihatmu, maka dengan lancang aku meloncati tembok dan ke taman ini dan sungguh kebetulan sekali aku melihatmu dan tadi..."
"Cukup. Kini pertanyaan ke dua. Apakah kau tadi mengenal orang itu?"
Pemuda itu menggeleng.
"Terlalu gelap untuk dapat melihatnya dan gerakannya demikian cepat, seperti setan menghilang saja. Akan tetapi dia itu pamanmu, bukan?"
Kedua tangan gadis itu mencengkeram lengan pemuda itu, bukan serangan, melainkan cengkeraman karena terkejut.
"Kau... kau tahu...?"
Kok Siang menggeleng kepala.
"Aku tadi lapat-lapat mendengar engkau menyebut dia paman, dan... aku... aku tidak sengaja mendengar ancamannya yang terakhir tadi, yaitu kata-kata ini : Nah, aku pergi, lakukan secepat mungkin dan harus berhasil."
"Ahhh...!"
Entah apa artinya keluhan ini, mungkin juga lega karena pemuda itu tidak mengetahui semuanya, atau juga khawatir. Kok Siang tidak dapat menyelami hati gadis ini. Akan tetapi In Bwee melepaskan cengkeraman tangannya, lalu duduk kembali.
"Sekarang, jawablah sejujurnya, ah, jangan sembunyikan rahasia, jawablah sejujurnya... mengapa engkau bersikap seperti ini kepadaku? Mengapa engkau tadi mengatakan bahwa engkau hendak melindungi aku terhadap ancaman apapun juga, dengan taruhan nyawamu?"
Sekali ini, dengan terang-terangan In Bwee memandang wajah pemuda itu, sinar matanya seperti hendak menembus dan mengetahui isi hati pemuda itu. Berdebar rasa jantung Kok Siang. Beberapa kali dia menelan ludah sebelum menjawab, lalu diapun berkata, suaranya lirih dan tergetar penuh perasaan,
"Demi Tuhan, aku bersumpah bahwa apa yang hendak kukatakan ini adalah sejujurnya. Nona... eh, Bwee-moi, terus terang saja, selama hidupku belum pernah aku jatuh cinta. Akan tetapi sejak aku bertemu denganmu di restoran itu, melihat sikapmu menghadapi penjahat, aku sudah jatuh hati kepadamu dan aku sudah mengambil keputusan bahwa engkaulah satu-satunya wanita yang kuingin agar menjadi jodohku. Akan tetapi... mendengar bahwa engkau adalah puteri seorang hartawan besar, timbul keraguanku karena aku tidak ingin dinamakan pengejar harta dan hendak mengawini hartamu. Aku... aku cinta padamu, Bwee-moi. Nah, terus terang saja kukatakan ini, dari pada kusimpan-simpan menjadi racun hatiku. Dan melihat engkau menangis begitu sedih tadi... aku merasa bahwa akulah orangnya yang harus melindungimu dengan taruhan nyawaku."
"Ah, tidak... tidak...!"
Dan tiba-tiba In Bwee menutupi mukanya dan menangis lagi!
"Bwee-moi, jangan salah sangka. Aku sungguh tidak menginginkan hartamu. Aku sendiri bukan orang yang terlalu miskin, walaupun tidak sekaya ayahmu. Akan tetapi aku mempunyai cinta dan biarpun baru satu kali kita saling berjumpa, akan tetapi aku sudah yakin bahwa aku cinta padamu dan... aku bersedia menjadi jodohmu walaupun engkau tidak membawa harta secuwilpun."
Akan tetapi ucapan itu bahkan membuat In Bwee menangis semakin sedih.
"Bwee-moi, maafkan aku... ampunkanlah kalau aku menyinggung perasaanmu..."
In Bwee menggeleng kepala.
"Biarkan aku menangis... biarkan aku menangis..."
Dan iapun mengguguk. Kok Siang diam saja hanya memandang dengan hati terharu dan ia tahu bahwa gadis itu bukan tersinggung melainkan berduka dan agaknya baru sekarang memperoleh kesempatan untuk menumpahkan semua kedukaan hatinya melalui air matanya. Setelah tangisnya mereda, akhirnya gadis itu mengangkat muka dan memandang kepada pemuda itu dengan wajah pucat dan mata merah. Sampai lama ia memandang, kemudian berkata lirih,
"Aku percaya... sudah kurasakan kemarin malam akan tetapi, aku... aku sungguh tidak berharga untuk menjadi isterimu atau isteri siapapun juga."
Kembali ia menangis. Kok Siang terkejut dan cepat memegang tangan yang tergetar itu.
"Ah, moi-moi... kenapa engkau bicara seperti itu? Engkau seribu kali lebih berharga dari pada aku!"
"Engkau tidak mengerti... ah, baiklah, dengarkan akan kuceritakan padamu. Duduklah yang tenang, dan dengarkan ceritaku. Tiga tahun yang lalu terjadinya malapetaka itu...! kau tahu, sejak kecil aku berlatih silat, dibimbing oleh pamanku yang amat tinggi ilmu silatnya. Aku berlatih dengan beberapa orang murid pamanku. Setelah aku dewasa, tiga tahun yang lalu, aku berusia delapan belas tahun... dan keadaan pamanku itu, biarpun dia lihai... ah, dia bukan orang baik-baik... dia bergaul dengan orang-orang jahat, bahkan menjadi pemimpin mereka... demikian pula murid-muridnya... ah, aku terpikat oleh seorang suhengku... sampai... sampai pada suatu hari, dalam kemabokanku karena kami minum arak, agaknya disengaja oleh suhengku itu, aku... aku menyerahkan diriku padanya..."
Gadis itu menundukkan mukanya yang menjadi merah sekali. Kemudian ia mengepal tinjunya dan mengangkat muka.
"Nah, sudah kau dengar baik-baik? Apakah engkau masih berani mengaku cinta padaku?"
Pengakuan itu bagaikan halilintar menyambar kepala pemuda itu. Dia menjadi nanar dan mukanya pucat, matanya menjadi sayu dan merenung kosong. Akan tetapi, dia segera menggoyang kepalanya dan juga mengepal tinju.
"Bwee-moi, aku cinta padamu sekarang! Yang kucinta adalah engkau sekarang ini, bukan engkau dahulu-dahulu dan bukan pula keperawananmu! Nah, sudah dengarkah engkau?"
Ucapan yang keras itu mengejutkan In Bwee, juga mengherankannya.
"Tapi... tapi..."
"Lanjutkan ceritamu!"
"Aku merasa menyesal sekali dengan peristiwa itu dan aku... aku lalu membunuh suhengku itu! Aku tahu bahwa dia sengaja memikat dan melolohku dengan arak keras, dan aku tahu bahwa aku sama sekali tidak cinta padanya dan bahwa diapun hanya mau mempermainkan aku. Paman, yaitu suhu kami, tahu akan hal itu. Dia membantuku, merahasiakan hal itu. Kalau dia memberitahu kepada ayah, tentu ayah akan marah sekali dan mungkin aku akan diusir, tidak akan menjadi ahli warisnya karena ayahku tidak suka anak perempuan. Nah, paman membantuku, menyimpan rahasia itu akan tetapi sebaliknya aku harus membantunya."
"Membantunya? Membantu apa?"
"Macam-macam, pokoknya yang mendatangkan uang. Bahkan sering aku disuruh mencuri barang-barang berharga milik ayah dan ibu untuknya, dan aku disuruh pula melakukan kejahatan bersama murid-murid dan anak buahnya..."
"Ahhh!"
"Aku terpaksa... aku takut kalau sampai ayah ibu tahu bahwa aku sudah bukan gadis lagi... aku bahkan terus menerus menolak kalau mau dikawinkan... ah, betapa aku telah menderita hebat... bukan hanya karena keadaanku, akan tetapi juga karena penekanan paman..."
Gadis itu menangis lagi dan kini tanpa ragu-ragu lagi pemuda itu maju dan memegang tangannya.
"Bwee-moi, pandanglah aku. Nah, percayakah engkau bahwa aku cinta padamu? Mencinta dengan murni dan tulus, bukan hanya mencinta keperawananmu atau harta bendamu?"
Mereka saling pandang dan gadis itu mengangguk.
"Kalau engkau percaya dan engkau dapat membalas atau menerima cintaku, dengarkan baik-baik. Engkau telah bertindak keliru. Semestinya, engkau berterus terang kepada ayah bundamu dan menghadapi segala akibatnya. Dengan membiarkan dirimu diperalat oleh orang lain, berarti engkau semakin dalam terperosok. Sekarang, kau ceritakanlah kesemuanya kepadaku..."
"Tidak... aku tidak berani... engkau tidak tahu betapa lihainya pamanku."
Gadis itu berkata dengan muka pucat dan mata liar memandang ke kanan kiri.
"Engkau pergilah, Siang-ko, pergilah dulu... biarkan aku berpikir dengan matang... kedatanganmu terlalu tiba-tiba. Besok... besok atau lusa kita bertemu lagi, di sini... malam-malam begini... sekarang kau pergilah..."
Kok Siang menghela napas, tidak berani memaksa.
"Baiklah, akan tetapi ingatlah selalu bahwa di dunia ini ada Bu Kok Siang yang akan melindungimu dengan taruhan nyawa, yang akan tetap mencintamu dan tidak memperdulikan riwayatmu yang sudah lalu. Nah, selamat tinggal, sampai jumpa besok atau lusa malam."
"Baik, Siang-ko... kalau engkan melihat lampu merah di pondok ini, jendelanya terbuka, berarti aku menantimu di sini..."
Pemuda itu mengangguk, menggenggam kedua tangan itu, kemudian meloncat keluar dan lenyap dalam kegelapan malam. In Bwee memandang ke arah lenyapnya pemuda itu dengan mata sayu, kemudian termenung-menung dan akhirnya iapun menangis lagi sendirian, menahan isaknya agar tidak menimbulkan suara. Peristiwa yang baru saja terjadi itu terlalu hebat baginya. Dan ia sama sekali tidak tahu bahwa ada bayangan yang mendekatinya, kemudian terdengar suara orang di balik jendela.
"Hemm, engkau diam-diam telah mempunyai pacar, ya? Baik, selesaikan tugasmu sampai berhasil dan engkau akan menikah dengan pacarmu itu, aku yang akan membujuk orang tuamu agar setuju. Akan tetapi kalau engkau mengkhianatiku, pacarmu itu akan kubunuh dan rahasiamu akan kuumumkan tidak hanya kepada ayah bundamu, akan tetapi kepada semua orang!"
"Paman...!"
In Bwee berseru kaget sekali akan tetapi bayangan itu telah berkelebat lenyap dan In Bwee hanya dapat merenung dengan muka pucat. Kemunculan guru atau pamannya yang lihai itu seketika membuyarkan harapan dan khayalnya yang timbul bersama munculnya pemuda sastrawan itu. Sedikit harapan itu bagaikan awan tipis tersapu badai.
"Bu-kongcu...! Tunggu sebentar...!"
Bu Kok Siang yang sedang berjalan seorang diri di pagi hari itu, tentu saja mendengar teriakan suara wanita ini dan diapun cepat berhenti melangkah dan menoleh. Wajahnya segera berseri dan bibirnya tersenyum ketika dia melihat siapakah wanita yang memanggilnya itu. Kiranya yang memanggiinya itu adalah wanita cantik yang telah dikenalnya di dalam rumah makan, yang bernama Toan Kim Hong! Setelah wanita itu tiba di depannya, Kok Siang cepat mengangkat kedua tangan memberi hormat sambil berkata,
"Ah, kukira siapa, tidak tahunya nona Toan. Dan harap jangan menyebutku kongcu (tuan muda), membuat aku menjadi malu saja."
"Selamat pagi, Bu... twako! Biar kusebut twako, biarpun mungkin aku lebih tua. Engkau tahu, wanita selalu ingin dianggap lebih muda."
Kata Kim Hong tersenyum. Kok Siang tertawa.
"Dan memang nampaknya engkau jauh lebih muda dari pada aku, nona. Sepagi ini engkau hendak ke manakah? Dan mengapa nona sendirian saja? Mana saudara Ceng Thian Sin yang gagah perkasa itu?"
"Dia thiggal di kamarnya di hotel. Aku memang sengaja keluar hendak mencarimu."
Pemuda itu mengangkat kedua alisnya dan memandang heran.
"Lihiap... eh, nona mencari aku? Ya nasib mujur! Sungguh beruntung sekali. Ada keperluan apakah gerangan...?"
Kim Hong tertawa, manis sekali.
"Kita sudah saling berkenalan, apakah kalau tidak ada urusan penting tidak boleh mencari dan mengunjungi? Tadi aku lewat di hotelmu dan engkau tidak ada, lalu kulihat engkau berjalan sendirian, seperti orang tergesa-gesa, maka kupanggil. Apakah aku mengganggumu? Kalau begitu biarlah aku pulang lagi saja."
"Eh, eh... nanti dulu. Tentu saja aku girang dapat bertemu denganmu, nona. Akupun belum sempat mengunjungi rumah penginapan kalian, dan kebetulan berjumpa di sini. Nah, ke mana kita pergi sekarang untuk merayakan pertemuan ini?"
"Aku ingin bercakap-cakap denganmu, Bu-twako."
"Kalau begitu, mari kita pergi ke taman umum di tepi sungai, di sana indah dan sepi. Tidak enak bercakap-cakap di tepi jalan seperti ini."
Mereka lalu berjalan bersama menuju ke taman yang luas itu. Kota raja terkenal dengan taman-tamannya yang indah, akan tetapi hanya beberapa buah saja yang terbuka untuk umum, di antaranya taman di tepi sungai yang dikunjungi oleh dua orang muda itu Banyak mata yang bertemu dengan mereka di jalan memandang pasangan ini dengan kagum karena memang pasangan ini cocok sekali.
Yang wanita cantik jelita, yang pria juga tampan dan ganteng. Dan keduanya tidak merasa canggung berjalan bersama, seolah-olah memang mereka telah menjadi sababat baik sejak dahulu. Di sepanjang perjalanan menuju ke taman bunga itu, Kim Hong mendapat kenyataan bahwa pemuda itu sudah hafal akan keadaan kota raja dan menunjukkan tempat-tempat penting kepadanya, seperti seorang penunjuk jalan yang pandai dan ramah. Pagi itu di taman tepi sungai masih sepi. Hanya ada beberapa orang saja yang mengunjungi dan berjalan-jalan di dalam taman, dan mereka itu tentulah pendatang-pendatang dari luar kota. Ada pula yang pesiar naik perahu di tepi sungai. Kim Hong dan Kok Sang memilih tempat duduk di tepi kolam ikan emas, di atas sebuah bangku panjang di mana mereka duduk berdampingan.
"Nah, sekarang kita berada di tempat sepi, berdua saja. Apakah yang hendak kau katakan kepadaku, nona?"
"Bu-twako, bukan aku yang hendak mengatakan sesuatu, akan tetapi engkaulah yang sebaiknya mengatakan dengan terus terang kepadaku tentang dirimu..."
Kata Kim Hong sambil menatap wajah tampan itu dengan tajam dan penuh selidik. Pemuda itu mengerutkan alisnya.
"Maksudmu?"
Kim Hong memutar tubuhnya, sepenuhnya menghadapi pemuda itu dan pandang matanya mencorong, mengejutkan hati pemuda itu.
Harta Karun Jenghis Khan Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bu-twako, kiranya tidak perlu lagi engkau bersandiwara. Kemunculanmu di restoran itu tentu bukan hal yang kebetulan saja. Engkau membawa suatu rahasia dan engkau tentu telah mengenal kami, setidaknya engkau mengetahui sesuatu tentang kami. Benarkah itu?"
Hening sejenak. Pemuda itu masih mengerutkan alisnya dan kini pandang matanya juga serius, berkilat dan penuh semangat, tidak lagi disembunyikan di balik kejenakaan dan kegembiraannya.
"Bagaimana engkau dapat menduga seperti itu, nona? Adakah sesuatu yang mencurigakan dalam tindak tandukku selama ini?"
Dia memancing karena masih meragukan ucapan Kim Hong tadi yang dianggapnya hanya duga-dugaan belaka. Kim Hong tersenyum, senyum yang mengandung ejekan.
"Kau kira kami begitu bodoh? Engkau seorang yang memiliki ilmu silat yang tinggi, akan tetapi engkau bersikap bodoh dan berkelakar. Kemudian, dengan sengaja engkau melemparkan Hai-pa-cu Can Hoa yang kau robohkan di restoran itu kepada kami. Ya, kami tahu bahwa dengan sengaja engkau melemparnya kepada kami, dan tentu saja ini berarti bahwa engkau ingin menguji kami dan berarti pula bahwa engkau telah tahu atau menduga sesuatu tentang kami. Nah, kuminta engkau bicara blak-blakan saja, kecuali kalau engkau hendak menganggap kami sebagai musuh."
Sejenak pemuda itu memandang kagum, lalu menarik napas panjang.
"Aihh, sungguh aku telah berlaku ceroboh sekali, tidak tahu menghadapi gunung Thai-san yang menjulang tinggi, tidak tahu bahwa nona amatlah cerdas dan pandai. Tentu sikapku itu telah memancing tertawa dalam hati kalian. Maafkanlah. Terus terang saja aku mengetahui ketika kalian menghadapi Siang-to Ngo-houw, dan biarpun aku tidak mendengar sendiri percakapan antara kalian dengan mereka, akan tetapi aku dapat menduga mengapa kalian dicari oleh mereka itu. Tentu karena urusan... peta rahasia dan kunci emas, bukan?"
Kim Hong tidak terkejut, melainkan tersenyum. Memang ia dan Thian Sin sudah menduga bahwa pemuda ini tentu ada kaitannya dengan urusan itu.
"Bagus, kiranya engkaupun tersangkut. Tidak tahu engkau berdiri di pihak manakah?"
Katanya sambil melirik tajam. Kok Siang menggelengkan kepala.
"Tidak berdiri di pihak manapun, melainkan di pihakku sendiri. Aku hendak menyelidiki siapa yang telah membunuh pamanku."
"Pamanmu?"
"Ya, Louw siucai adalah pamanku."
"Ahhh...!"
"Engkau tentu pernah mendengarnya."
Kim Hong mengangguk.
"Sastrawan yang telah membantu keluarga Ciang menterjemahkan peta kuno itu?"
"Benar, dia itu pamanku. Paman membantu mereka menterjemahkan peta kuno dan beberapa hari kemudian dia terbunuh. Tentu pembunuhnya menghendaki agar dia tidak membocorkan rahasia tentang peta itu."
"Hemm, mungkin saja Su Tong Hak, paman Ciang Kim Su yang kurasa bukan orang baik-baik itu."
Kata Kim Hong.
"Akupun tadinya menduga demikian. Akan tetapi aku ingin tahu secara pasti agar tidak salah tangan. Aku harus membalas kematian pamanku itu. Dia amat mencintaku dan dia seperti ayahku sendiri. Aku sudah tidak mempunyai ayah bunda dan paman Louw itu kakak dari mendiang ibuku, merupakan pengganti orang tua bagiku. Dan dia dibunuh orang tanpa dosa!"
Pemuda itu mengerutkan alis dan mengepal tinju. Kim Hong merasa kasihan.
"Jangan khawatir, Bu-twako, aku... kami akan membantumu. Kamipun sedang menyelidiki mereka, yaitu mereka yang merampas peta kuno itu. Kami adalah utusan dari petani Ciang Gun atau mendiang petani itu karena diapun dibunuh orang. Kami sedang menyelidiki perkara ini. Menurut keterangan Su Tong Hak, Ciang Kim Su juga lenyap. Kami merasa curiga. Tentu ada permainan kotor dalam urusan ini dan diapun bilang bahwa peta yang mereka bagi dua itu, yang berada di tangannya, juga dicuri orang. Kami sedang menyelidiki, di tangan siapa gerangan peta itu."
"Hemm, dan kunci emas itu berada di tangan kalian, bukan? Aku sudah tahu bahwa rahasia itu meliputi peta dan kunci emas."
"Ya, dan kami hendak menggunakan kunci emas itu untuk menjadi umpan memancing datangnya ikan yang menguasai peta."
"Dan lihat, kurasa ada ikan-ikan yang datang!"
Tiba-tiba pemuda itu berkata sambil melirik ke arah kiri. Kim Hong juga melirik ke kiri dan memang benar ada sekelompok orang, sepuluh orang jumlahnya, mendatangi taman itu dan mereka itu nampaknya bukan seperti pelancong biasa.
"Hemm, agaknya benar, mereka tentu anak buah yang dikirim ke sini."
Kata Kim Hong.
"Jangan khawatir, aku akan membereskan mereka kalau mereka berani mengganggumu!"
Kok Siang berkata sambil bangkit berdiri. Akan tetapi Kim Hong memegang lengannya dan menariknya duduk kembali.
"Jangan, Bu-toako. Kalau mereka bergerak, tentu mereka itu bermaksud untuk menyerangku, menangkap atau merampas kunci. Mereka datang untuk aku, sama sekali tidak ada hubungannya dengan engkau. kau duduk sajalah dan biar aku menghajar mereka."
Ketika sepuluh orang itu tiba di situ, Kim Hong masih saling berpegang tangan dengan Kok Siang dengan maksud mencegah pemuda ini menghadapi orang-orang yang kelihatan kasar dan kuat-kuat itu. Seorang di antara mereka, yang rambutnya riap-riapan dan matanya agak juling, yang nampaknya sebagai pemimpin sepuluh orang itu, tertawa. Perutnya yang gendut itu bergoyang-goyang.
"Ha-ha-ha-ha, kiranya si manis ini mempunyai pacar di mana-mana, sering berganti pacar! Kawan-kawan, sekali ini kita tidak boleh gagal. Tangkap si manis ini dan bunuh saja pacar barunya!"
Kim Hong adalah seorang wanita yang pernah menyamar sebagai Lam-sin selama beberapa tahun, hal ini berarti bahwa ia pernah berkecimpung di dunia sesat, kaum penjahat, maka ucapan itu sesungguhnya tidak aneh atau asing baginya. Ia sudah terbiasa mendengar kata-kata kasar. Ucapan kasar tidak akan memarahkannya, akan tetapi tuduhan bahwa ia berganti-ganti pacar, bahwa Kok Siang adalah pacarnya yang baru, membuat kedua pipinya berobah merah. Hanya biasanya, Kim Hong tidak pernah memperlihatkan perasaan hatinya. Tidak ada seorangpun di dunia ini, kecuali Thian Sin tentunya, yang dapat menduga isi hatinya. Maka, biarpun pada saat itu ia sedang marah, namun wajahnya tetap berseri dan senyumnya bertambah manis.
Sepuluh orang itu telah mengepung bangku di mana Kim Hong dan Kok Siang tadi duduk dan dari gerakan kaki mereka tahulah Kim Hong bahwa biarpun orang-orang ini nampak kasar, namun mereka adalah ahli-ahli silat pilihan! Terutama sekali si mata juling itu ternyata memiliki kepandaian yang tinggi, dengan gerakan yang begitu ringan tanda bahwa gin-kangnya sudah mencapai tingkat yang tinggi. Maka diam-diam iapun terkejut sekali. Melihat gerakan si mata juling ini, agaknya akan merupakan lawan yang berat dan amat berbahaya bagi Kok Siang, maka iapun mengambil keputusan untuk menandingi sendiri pemimpin gerombolan ini. Maka, sebelum gerombolan itu menyerbu dan membahayakan Kok Siang, ia sudah melangkah maju mendekati pemimpin gerombolan itu sambil menudingkan telunjuknya ke arah hidung orang.
"Eh, mata juling gendut yang bermulut busuk! Kalau engkau dan anjing-anjingmu ini mampu menangkapku, biar aku berjanji akan memberi ciuman sepuluh kali kepadamu!"
Mendengar ucapan ini, si mata juling dan teman-temannya tertawa.
"Ha-ha-ha, nona manis, sungguhkah itu? Memberi ciuman dengan suka rela? Ha-ha-ha!"
"Tentu saja, aku tidak pernah berbohong!"
Jawab Kim Hong dan mendengar ini, Kok Siang mengerutkan alisnya. Kenapa wanita cantik dan gagah perkasa ini melayani segala macam orang kasar seperti mereka? Akal Kim Hong ini berhasil. Tadinya, kepala gerombolan yang sudah mendengar betapa pemuda sastrawan itu pernah mengalahkan Hai-pa-cu, bermaksud untuk lebih dulu mengeroyok dan membunuh si pemuda, baru kemudian, menawan gadis itu seperti yang telah diperintahkan kepadanya. Akan tetapi, mendengar ucapan Kim Hong dan melihat betapa manisnya gadis itu tersenyum kepadanya, dengan janji yang demikiain mesra, diapun tak mampu menahan gejolak hatinya lagi. Bagaimanapun juga, dia percaya kepada kepandaiannya sendiri dan kepada kekuaten anak buahnya yang sebenarnya adalah beberapa orang sutenya dan murid-muridnya.
"Ha-ha-ha, bagus sekali! Nona manis, engkau agaknya belum pernah mendengar nama Tiat-ciang Lui Cai Ko, maka berani menantangku. Bersiaplah untuk menciumku sepuasnya, ha-ha-ha!"
Setelah tertawa bergelak, dia memberi isyarat kepada dua orang sutenya untuk membantunya, sedangkan kepada tujuh orang muridnya dia berkata tegas.
"Bunuh kutu buku itu!"
Tujuh orang kasar itu adalah murid-murid pilihan dari Tiat-ciang Lui Cai Ko. Mendengar perintah suhu mereka, tujuh orang ini lalu mencabut pedang masing-masing dan dengan gerakan gagah mereka melintangkan pedang di depan dada, lalu memasang kuda-kuda yang nampak kokoh kuat. Kuda-kuda mereka bermacam-macam, ada yang memasang kuda-kuda dengan kedudukan kaki Jao-pian-se, Tu-li-se, Kung-se biasa atau Su-se, dengan kedudukan pedang yang bermacam-macam pula. Ada yang dilintangkan di depan dada, ada yang diangkat ke atas kepala, ada yang menuding ke bumi dan ada yang menjulang ke langit. Akan tetapi, rata-rata mereka itu memiliki kuda-kuda yang indah dan kuat, tanda bahwa mereka telah memiliki ilmu pedang yang bukan sembarangan. Melihat ini, diam-diam Kok Siang terkejut juga.
Dia pernah mendengar nama Tiat-ciang (Tangan Besi) Lui Cai Ko itu, seorang begal atau perampok tunggal yang pernah membuat nama besar di sebelah utara kota raja. Maka dia amat mengkhawatirkan keadaan Kim Hong dan karena dia dapat melihat dari gerakan para pengepungnya yang tujuh orang itu bahwa mereka adalah orang-orang yang merupakan lawan tangguh, maka Kok Siang tidak berani bersikap ceroboh. Diapun cepat mengeluarkan sepasang senjatanya, yaitu Im-yang Siang-pit (Sepasang Tangkai Pena Im Yang), yang kiri terbuat dari pada perak dan yang kanan terbuat dari pada emas. Dan sepasang pit ini memang benar-benar dapat dipergunakan untuk menulis di samping untuk senjata. Melihat betapa pemuda itu mengeluarkan senjata sepasang pit itu, tiba-tiba seorang di antara para pengepung itu berseru,
"Kiranya engkau adalah Im-yang Siang-pit Bu Siucai!"
Memang sebenarnya, nama pemuda sastrawan itu banyak dikenal di dunia kang-ouw. Yang membuat dia terkenal, pertama adalah gurunya dan ke dua adalah sepasang senjatanya itulah. Gurunya adalah datuk kaum sesat di utara, yaitu Pak-san-kui, biarpun pemuda ini tidak menerima datuk itu sebagai guru langsung.
Pak-san-kui tertarik melihat bakat pemuda ini dan menurunkan beberapa macam ilmunya yang tinggi, sedangkan Bu Kok Siang juga hanya tertarik akan ilmu silat yang tinggi dari datuk itu, akan tetapi dia tidak suka melihat cara hidup gurunya sehingga setelah menerima pelajaran ilmu-ilmu yang tinggi, terutama ilmu Im-yang Siang-pit itu, diapun melepaskan diri dan tidak pernah mau berdekatan atau mencampuri urusan suhunya yang terkenal sebagai seorang datuk sesat. Dan di dunia kang-ouw, pemuda yang telah mempunyai titel siucai ini, yang menerima ilmu silat tinggi dari seorang datuk sesat, menggunakan senjatanya untuk menentang kejahatan itu sendiri. Maka nama julukannya adalah sepasang senjatanya itu yang lebih dikenal orang dari pada wajahnya. Kalau dia tidak mengeluarkan senjatanya itu, jarang ada yang mengenal mukanya.
"Hemm, bagus kalian mengenal senjataku. Lui Cat Ko adalah seorang perampok tunggal yang jahat, maka anak buahnya tentulah bukan manusia baik-baik!"
Kata Kok Siang sambil memasang kuda-kuda dan mengangkat pit emas di atas kepala, menunjuk ke langit, sedangkan pit perak dipegang ke bawah, menuding bumi. Inilah kuda-kuda yang dinamakannya Seng-thian Jip-te (Naik ke langit, Masuk ke tanah), pembukaan dari pada ilmu silat Im-yang Siang-pit. Tujuh orang murid utama dari Tiat-ciang Lui Cai Ko itu menjadi marah mendengar ucapan ini dan dengan dahsyat merekapun mulai menerjang dengan pedang mereka. Setiap gerakan mereka cukup dahsyat karena memang Tiat-ciang Lui Cat Ko, selain terkenal memiliki sepasang tangan yang kuat dan keras seperti besi sehingga dia berjuluk Tiat-ciang, juga merupakan seorang ahli silat pedang yang tangguh.
Melihat datangnya serangan yang bertubi-tubi itu, yang membawa kilatan sinar pedang yang bergulung-gulung dan menyambar-nyambar ganas, Kok Siang cepat menggerakkan tubuhnya dan sekarang pemuda sastrawan ini baru memperlihatkan kepandaiannya. Gerakannya cepat bukan main dan ternyata sepasang senjatanya itu mengandung tenaga yang berlawanan. Sepasang senjatanya diputar melindungi tubuhnya dan setiap kali pedang lawan bertemu dengan kim-pit (Pit emas) maka terdengar suara nyaring dan pedang itu tentu terpental keras, sebaliknya kalau bertemu dengan ghi-pit (Pit perak) tidak terdengar suara, akan tetapi tenaga si pemegang pedang seperti lenyap, seolah-olah pedang mereka bertemu benda lunak atau seperti membacok atau menusuk air saja. Selain melindungi tubuhnya,
Juga sepasang pit itu mengirim serangan balasan berupa totokan-totokan ke arah jalan darah yang tidak kalah dahsyatnya, Membuat tujuh orang itu berputaran saling melindungi teman sendiri. Terjadilah pertandingan keroyokan yang amat seru, namun sedikit juga pemuda sastrawan yang dikeroyok tujuh itu tidak nampak kewalahan! Di lain pihak, Kim Hong yang dihadapi oleh Tiat-ciang Lui Cai Ko dan dua orang sutenya itu, menarik napas lega. Kalau si juling ini yang diduganya paling lihai telah menghadapinya dan tidak ikut mengeroyok, ia tidak begitu mengkhawatirkan keadaan pemuda itu. Apa lagi setelah ia melihat cara Kok Siang memutar sepasang pitnya, membuat ia merasa yakin bahwa pemuda itu akan dapat mengatasi para pengeroyoknya, walaupun tujuh orang pengeroyok itu tidak boleh dipandang ringan. Setelah ia tidak lagi mengkhawatirkan pemuda keponakan mendiang Louw-siucai itu,
Kim Hong dengan tersenyum tenang menghadapi tiga orang calon lawannya. Tidak seperti tujuh orang yang bertugas membunuh Kok Siang, si juling bersama dua orang sutenya itu tidak mengeluarkan senjata. Mereka bertugas untuk menawan nona ini hidup-hidup, dan hal inipun diketahui baik-baik oleh Kim Hong. Para penjahat itu tidak membutuhkan dirinya, melainkan kunci emas, maka tentu saja mereka tidak akan membunuhnya sebelum mereka menemukan kunci emas itu! Tiat-ciang Lui Cai Ko juga sudah mondengar bahwa nona ini pandai ilmu silat dan biarpun dia tidak merasa takut, akan tetapi diapun tidak berani memandang rendah. Maka diapun lalu menubruk ke depan sambil menampar dengan tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya sudah mencengkeram ke arah pundak nona itu.
Tamparan tangan kirinya itu antep sekali dan agaknya jagoan ini memang telah mengerahkan tenaga dan mempergunakan tenaga sakti Tiat-ciang-kang (Tenaga Tangan Besi) untuk menggertak. Telapak tangan orang she Lui ini nampak hitam kehijauan. Belasan tahun dia melatih kedua tangannya itu, setiap hari menggunakan telapak tangan untuk memukuli bubuk besi dan pada malam harinya merendam kedua tangan itu ke dalam adonan bubuk besi dengan racun yang membuat tangan itu selain kuat, juga beracun dan amat berbahaya bagi lawan. Demikian kuat dan kerasnya telapak tangan Lui Cai Ko ini sehingga kedua telapak tangannya tidak hanya mampu memukul hancur batu karang seperti sepasang palu besi yang kuat, akan tetapi juga mampu menangkis senjata tajam tanpa khawatir terluka! Itulah sebabnya maka dia terkenal dengan julukan Tiat-ciang (Si Tangan Besi).
"Wuuuttt...! Plakk!"
Kim Hong mengelak dengan mudah dan membiarkan tamparan itu lewat, kemudian ketika cengkeraman tangan kanan itu sudah mendekati pundaknya, tangan kirinya menyambar dari bawah, bukan menangkis melainkan menampar dengan tangannya ke arah sambungan siku tangan kanan itu. Biarpun tamparan itu tidak dilakukan dengan sepenuh tenaga, namun sambungan siku bagian bawah yang seperti hanya diusap itu, tiba-tiba terasa nyeri dan lengan kanan itu seperti menjadi lumpuh seketika!
Tentu saja Lui Cai Ko tidak dapat melanjutkan cengkeramannya, bahkan mengeluarkan seruan kaget dan cepat melompat ke belakang dengan mata terbelalak. Tak disangkanya bahwa wanita itu sedemikian hebatnya, dalam segebrakan saja membuat lengan kanannya terasa lumpuh! Hanya orang yang berilmu sangat tinggi sajalah yang begitu tenangnya menghadapi cengkeraman mautnya, bukan mengelak atau menangkis untuk menghadapinya, melainkan mendahului menyerang siku sehingga lengan itu menjadi lumpuh dan tentu saja serangan cengkeraman itupun gagal. Kim Hong hanya berdiri tenang sambil tersenyum. Ia maklum akan kelihaian Tiat-ciang Lui Cai Ko ini, akan tetapi tentu saja ia tidak merasa gentar, yakin benar akan kelebihannya dibandingkan dengan tiga orang pengeroyoknya.
Dua orang sute dari Si Tangan Besi segera menyerang dari kanan kiri, bukan menyerang untuk merobohkan, melainkan untuk membuat nona itu tidak berdaya dan dapat ditawan. Merekapun, seperti suheng mereka, mendapat perintah untuk menawan si nona cantik ini. Namun, Kim Hong dapat menghindarkan diri dari tubrukan kanan kiri itu dengan langkah-langkah ajaibnya. Dengan seenaknya saja kedua kakinya bergeser, melangkah mundur maju dan tubrukan-tubrukan mereka itu semua hanya mengenai tempat kosong saja walaupun tadinya nampak seolah-olah akan berhasil. Kok Siang juga mengamuk dan sepasang pit-nya menyambar-nyambar seperti sepasang naga. Lewat tiga puluh jurus saja, dua orang di antara para pengeroyoknya telah roboh tertotok sehingga lima orang sisa pengeroyoknya menjadi agak gentar.
Di lain pihak, Kim Hong mempermainkan tiga orang pengeroyoknya dengan langkah-langkah ajaibnya yang membuat Tiat-ciang Lui Cai Ko dan dua orang sutenya kewalahan dan juga semakin penasaran. Mereka menubruk dan mencoba untuk menangkap, akan tetapi jangankan orangnya, ujung baju gadis itupun tak pernah dapat tersentuh oleh tangan mereka. Hal ini membuat mereka menjadi penasaran dan marah sehingga kini mereka tidak hanya menubruk dan mencoba untuk menangkap saja, melainkan juga mulai menyerang dengan sungguh-sungguh untuk morobohkan nona yang amat lincah itu. Betapapun juga, makin ganas mereka bergerak, makin cepat pula nona itu mengelak, sehingga pandang mata mereka seperti kabur dan kadang-kadang mereka tidak tahu ke mana nona itu mengelak atau bergerak.
"Duk-duk-duk-dukk...!"
Empat kali Lui Cai Ko terpaksa menangkis sambil mundur terdesak hebat. Padahal, sejak menampar sikunya tadi, baru sekaranglah Kim Hong membalas serangan tiga orang lawannya yang bertubi-tubi sampai tigapuluh jurus itu! Dan sekali membalas, Kim Hong telah mendesak Si Tangan Besi dengan empat kali tamparan berturut-turut. Setiap tamparan mengandung tenaga sin-kang yang membuat tubuh si gendut yang rambutnya riap-riapan itu terhuyung-huyung. Melihat ini dua orang sutenya cepat menubruk dari kanan kiri membantu, akan tetapi Kim Hong menanti sampai keduanya menyerang dekat, lalu tiba-tiba tubuhnya meloncat ke atas dan kedua kakinya terpentang ke kanan kiri. Itulah tendangan yang istimewa sekali, yang sekaligus menghantam dada kedua orang yang menyerang dari kanan kiri itu, mendahului serangan mereka dengan tangan yang belum sampai!
"Dess! Desss!"
Tubuh dua orang itu terlempar ke kanan kiri dan mereka menyeringai karena dada mereka terasa sesak dan napas mereka seperti berhenti. Sambil memegangi dada mereka bangkit dan mata mereka menjadi merah. Juga Lui Cai Ko marah sekali. Tak disangkanya bahwa dia, jagoan yang terkenal, dibantu oleh dua orang sutenya, bukan hanya tidak mampu menawan gadis ini,
Bahkan mereka bertiga sudah mengalami malu karena terpukul dan tertendang oleh gadis itu. Akan tetapi, ada kekuasaan yang lebih tinggi dari pada Lui Cai Ko yang membuat dia masih ingat akan perintah yang diberikan kepadanya. Dia tidak berani melanggar perintah itu hanya karena perasaan pribadi yang marah dan penasaran. Dia tidak berani mempergunakan senjata untuk menyerang, tidak berani melukai apa lagi membunuh wanita ini karena hal itu berarti melawan perintah dan dia merasa ngeri untuk mempertanggungjawabkan hal itu. Maka, biarpun dia merasa marah dan mendongkol sekali, terpaksa dia lalu membuka mulut dan terdengarlah suara suitan panjang dan nyaring keluar dari mulut si gendut ini. Kim Hong terkejut dan menduga-duga apa maksud tanda rahasia itu. Memanggil kawan? Dia tentu merasa kewalahan dan memanggil kawannya, pikir Kim Hong.
Mungkinkah sekarang ia memperoleh kesempatan untuk berhadapan dengan kepala penjahat yang mendalangi ini semua dan yang menguasai peta? Jantungnya berdebar tegang dan iapun menanti saja. Ia mengerling ke arah Kok Siang dan melihat bahwa lawan pemuda itu kini tinggal empat orang lagi karena yang tiga telah roboh oleh pena sastrawan yang lihai itu, dan empat orang itupun kini mundur sambil mengepung setelah mendengar guru mereka mengeluarkan suara bersuit tadi. Tak lama kemudlan muncullah banyak orang mengepung tempat itu dan Kim Hong benar-benar merasa heran dan terkejut melihat bahwa yang mengepung tempat itu adalah pasukan pemerintah! Yang memimpin pasukan itu adalah seorang perwira yang berpakaian indah dan gagah, berusia empat puluh lima tahun dan bertubuh tinggi besar. Cepat Kim Hong meloncat mendekati Kok Siang yang juga memandang dengan heran.
"Berhenti semua dan lepas senjata!"
Bentak perwira itu dengan suara yang agaknya sudah terbiasa mengeluarkan aba-aba atau perintah yang harus ditaati.
"Yang berani bergerak dianggap pemberontak dan akan dihukum! Kalian telah menimbulkan perkelahian dan kekacauan di tempat umum, semua harus menyerah dan ikut bersama kami ke kantor untuk dibawa ke pengadilan!"
Kim Hong dan Kok Siang saling pandang, tiba-tiba Kok Siang berbisik halus sekali sehingga hanya gadis itulah yang mungkin dapat mendengarnya,
"Aku tahu di mana peta yang aseli."
Kim Hong terkejut. Otaknya bekerja dengan cepat. Ia tidak meragukan kebenaran omongan pemuda ini dan tentu karena melihat bahaya maka pemuda sastrawan ini membuka rahasia itu, atau karena sudah percaya penuh kepadanya. Bagaimana pemuda ini dapat mengetahui di mana adanya peta yang aseli? Kalau begitu, yang kini menguasai peta tentu hanya menguasai peta palsu!
Bagaimana mungkin terjadi demikian? Bukankah Ciang Kim Su dan pamannya, Su Tong Hak, telah membagi dua peta itu dan peta yang dibawa Ciang Kim Su itu adalah peta yang aseli? Apa yang sesungguhnya telah terjadi? Pikirannya yang cerdas segera mencari sebab-sebab dan dugaan-dugaan. Tentu ada hubungannya dengan mendiang Louw siucai! Di antara mereka yang pertama kali mengetahui akan rahasia peta itu, adalah Louw Siucai. Bahkan dialah orang pertama yang sudah dapat mengetahui akan isi peta sesungguhnya, karena dialah yang menterjemahkannya! Akan tetapi, bagaimana siucai itu dapat menguasai peta aselinya? Apa yang telah terjadi? Ia tidak sempat untuk bertanya, karena di situ terdapat banyak orang dan pasukan itu telah mengepung ketat. Ketika ia melihat pasukan mengepungnya, timbul kemarahan di dalam hatinya. Akan tetapi Kok Siang bersikap lain.
"Ciangkun, kami berdua tidak bersalah. Kami berdua sedang duduk bercakap-cakap di sini lalu gerombolan ini datang menyerang kami, agaknya mereka hendak merampok kami!"
Katanya membela diri.
"Bohong! Mana buktinya kami merampok?"
Lui Cai Ko membentak marah.
"Cukup, tidak perlu cekcok!"
Perwira itu menegur.
"Tidak perduli siapa di antara kalian yang bersalah. Yang sudah jelas, kalian berkelahi di sini dan hal ini berarti mendatangkan kekacauan. Kalian semua
(Lanjut ke Jilid 05)
Harta Karun Jenghis Khan (Seri ke 06 "
Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 05
harus menyerah untuk kami bawa ke pengadilan!"
Kim Hong mengerutkan alisnya hendak membantah, akan tetapi Kok Siang lalu berkata, sikapnya halus menunjukkan bahwa dia adalah seorang yang terpelajar.
"Baik, ciangkun. Kami percaya bahwa pengadilan tentu akan menyelidiki dan memberi keputusan yang seadil-adilnya. Mari, adik Hong, kita ikut ke kantor pengadilan."
Kim Hong cukup cerdik untuk mengerti mengapa pemuda itu bersikap mengalah. Kok Siang adalah penduduk Thian-cin yang sudah dikenal, maka baginya amatlah berbahaya kalau sampai dia dianggap melawan pasukan dan pemberontak.
Berbeda dengan Kim Hong yang tidak dikenal, apa lagi mengingat bahwa tempat tinggal wanita ini juga jarang ada yang mengetahuinya. Untuk membiarkan Kok Siang ditangkap sendiri dan ia melarikan diri, Kim Hong merasa tidak tega. Apa lagi setelah ia tahu bahwa pemuda itu tahu di mana peta yang aseli, maka pemuda itu menjadi amat penting baginya. Ia harus melindungi pemuda ini, jangan sampai peta yang aseli terjatuh pula ke tangan penjahat. Maka iapun mengangguk dan menyetujui. Sepuluh orang gerombolan itu bersama Kim Hong dan Kok Siang lalu digiring oleh pasukan menuju ke kantor kejaksaan. Sepuluh orang itu langsung dimasukkan ke dalam kamar tahanan besar, sedangkan Kim Hong dan Kok Siang dibawa ke bagian belakang di mana terdapat beberapa buah kamar tahanan.
"Kalian harus menunggu dulu di dalam kamar tahanan ini sambil menanti datangnya pembesar yang akan membuka sidang pengadilan."
Kata perwira itu sambil membuka daun pintu kamar tahanan. Tentu saja Kim Hong merasa marah dan mengerutkan alisnya.
"Kami bukan penjahat, kenapa mesti dijebloskan dalam kamar tahanan?"
Akan tetapi, kembali Kok Siang yang berkata dengan sikap tenang dan suara halus.
"Kalau memang demikian peraturannya, kita tidak perlu membantah. Pula, kita sama sekali tidak bersalah, takut apa? Biarlah kita menunggu di sini."
Dan pemuda itupun lalu memasuki kamar tahanan. Melihat sikap pemuda ini, terpaksa Kim Hong mengalah dan sambil cemberut dan mukanya merah saking marahnya, iapun terpaksa ikut masuk. Pintu kamar sel yang terbuat dari pada besi itu lalu dikunci dari luar. Perwira itu bersama pasukannya masih berjaga di situ dan melihat wajah perwira itu yang kelihatan girang sekali, diam-diam Kim Hong merasa tidak enak. Ia merasa seperti seekor harimau yang dijebak ke dalam kerangkeng. Akan tetapi ia sama sekali tidak merasa khawatir. Bagaimanapun juga, ia terjatuh ke tangan petugas pemerintah, bukan tangan penjahat.
Dan kalau ia mengbendaki, apa sih sukarnya untuk membongkar pintu kamar itu dan meloloskan dirinya? Pikiran ini membuatnya menjadi tenang, akan tetapi karena perwira dan para anak buahnya masih berada di luar kamar, ia tidak dapat bicara dengan leluasa kepada Kok Siang Sesungguhnya, ingin sekali ia mengajukan banyak pertanyaan mengenai peta itu dan rahasianya. Karena hal itu tidak mungkin dilakukan pada saat itu, Kin Hong lalu duduk bersila di tengah ruangan yang tidak berapa luas itu untuk mengumpulkan tenaga dan menenangkan hatinya yang diliputi rasa penasaran dan kemarahan itu. Sedangkan Kok Siang sendiri juga duduk di sudut ruangan itu dengan tenang-tenang saja. Urusan perkelahian adalah urusan kecil dan para pembesar pengadilan tentu akan lebih percaya kepada keterangannya dari pada keterangan orang macam Lui Cai Ko yang kasar.
Setidaknya, dia lebih pandai bicara, lebih sopan dan sebagai seorang terpelajar, tentu dia akan memperoleh perhatian dan penghormatan dari para petugas pengadilan. Tak dapat disangkal lagi bahwa Bu Kok Siang adalah seorang pemuda pilihan, pandai dalam ilmu silat, juga ahli sastera dan memiliki pengetahuan yang cukup luas. Akan tetapi, bagaimanapun juga, dia masih muda dan belum mengenal benar akan kepalsuan manusia seperti keadaan yang sesungguhnya. Kebenaran dan keadilan selalu menjadi lemah dan goyah di mana terdapat kekuasaan yang jauh lebih kuat, yaitu ketamakan akan uang! Uang berarti kesenangan. Di manapun di bagian dunia ini, manusia benar-benar telah dicengkeram dan dikuasai oleh uang atau lebih luas lagi, dikuasai oleh keinginan untuk memperoleh kesenangan.
Dan kesenangan ini, harus diakui, hanya bisa dicapai kalau orang mempunyai uang. Untuk memperoleh uang sebagai sarana utama hidup senang ini, orang tidak segan-segan melakukan apa saja! Dari yang paling licin sampai yang paling keji dan kejam. Orang tidak segan-segan untuk berpura-pura, untuk merendahkan diri sedemikian rupa, untuk menipu, untuk menyiksa kalau perlu membunuh, menjadi penjahat-penjahat, wanita menjual diri menjadi pelacur, pendeknya segala kemaksiatan itu terdorong oleh keinginan memperoleh uang sebanyaknya. Uang membuat apa saja dapat terjadi, yang nampaknya tidak mungkin sekalipun! Kok Siang tidak atau belum sadar bahwa karena kekuasaan uang, dia akan menghadapi hal-hal yang nampaknya tidak mungkin.
Dia tidak pernah menduga bahwa seorang pembesar tinggi bisa saja melakukan hal-hal yang lebih rendah dari pada pencuri atau perampok, karena kehausan akan uang. Kedudukan disalah-gunakan, kekuasaan menjadi alat untuk mencari uang sebanyaknya, martabat terlupa, hati nurani tiada bisikan murni lagi, prikemanusiaan menipis, semua ini terjadi apabila manusia telah dikuasai oleh pengejaran kesenangan melalui pengumpulan uang. Halal atau tidak sudah tidak diperhitungkan lagi. Dan hal ini kemudian menjadi suatu kebiasaan dan kalau sudah menjadi kebiasaan, ahlak makin menipis sehingga keburukannya tidak terasa atau teringat lagi. Orang yang untuk pertama kali melakukan pencurian, tentu akan merasa adanya penyesalan dalam hatinya, penyesalan yang datang kerena kesadaran bahwa apa yang dilakukannya itu adalah tidak baik atau tidak benar.
Akan tetapi kalau dia sudah terbiasa dengan perbuatan mencuri, maka penyesalan itu akan makin menipis dan akhirnya lenyap sama sekali. Demikian pula dengan segala macam kemaksiatan lainnya. Bu Kok Siang masih tebal kepercayaannya akan kebenaran dan keadilan. Dia tidak tahu bahwa pengaruh kesenangan melalui penumpukan uang sudah menjalar sampai ke manapun, sampai ke dalam kantor-kantor para pembesar, bahkan sampai ke istana. Dan kantor kejaksaan itupun tidak terluput, kantor pengadilanpun digerayangi oleh setan ini sehingga yang namanya keadilanpun dikemudikan oleh uang! Selagi kedua orang muda itu tenggelam ke dalam keheningan masing-masing, tiba-tiba terdengar suara keras dan lantai dalam kamar tahanan itupun terbuka ke bawah!
Hal ini terjadi sedemikian cepat dan tiba-tiba sehingga mengejutkan Kim Hong dan Kok Siang karena mendadak tubuh mereka kehilangan tempat berpijak dan terjeblos ke bawah. Akan tetapi, mereka adalah dua orang yang terlatih baik dan telah menguasai ilmu silat sehingga gerakan ilmu itu telah mendarah daging dalam tubuh mereka. Terutama sekali Kim Hong yang memiliki gin-kang tinggi. Begitu tubuhnya terjeblos ke bawah, ia mengeluarkan teriakan nyaring dan tubuh yang sudah meluncur ke bawah itu tiba-tiba membuat gerakan dengan kaki yang mengenjot atau menendang ke bawah, kedua tangannya bergerak seperti sayap dan tubuhnya sudah mencelat lagi ke atas! Kok Siang juga berhasil melompat ke atas, akan tetapi gin-kangnya tidak sehebat Kim Hong sehingga kembali tubuhnya meluncur ke bawah karena dia tidak dapat berpegang kepada sesuatu.
Berbeda dengan Kim Hong yang mampu membuat gerakan menyamping sehingga tubuhnya yang mencelat ke atas itu dapat meluncur ke arah pintu besi. Ia mengerahkan tenaga sin-kangnya dan sambil meluncur ke arah pintu, ia menggerakkan kaki tangannya untuk menerjang pintu dan membobolkannya. Akan tetapi ia melihat seorang kakek berusia lima puluh tahun lebih, bertubuh hitam tinggi besar, tiba-tiba muncul di luar daun pintu berjeruji itu dan kakek itupun mendorongkan kedua tangannya menyambut terjangan Kim Hong. Dari dorongan kedua tangan ini menyambar hawa pukulan dahsyat sekali yang amat mengejutkan pendekar wanita itu. Ia mengenal tenaga yang amat kuat, maka Kim Hong lalu mengerahkan seluruh tenaganya pula.
"Brakkk...!"
Pintu besi yang kokoh kuat itu tidak dapat menahan himpitan dua tenaga raksasa dari dalam dan luar kamar, pecah dan patah-patah berantakan. Akan tetapi, tubuh Kim Hong yang tertahan oleh tenaga kakek itupun terdorong ke belakang dan tentu saja kini meluncur ke bawah tanpa dapat dicegah pula. Sebaliknya, kakek itu sendiripun terdorong mundur sampai empat langkah. Agaknya dia kaget bukan main, mengeluarkan seruan aneh, mukanya pucat dan matanya terbelalak. Dia tidak mengira bahwa gadis muda itu sedemikian lihainya. Sementara itu, tubuh Kim Hong yang meluncur ke bawah itu tiba-tiba diterima oleh sepasang lengan yang kuat. Karena di tempat itu amat gelap, maka Kim Hong tidak dapat melihat siapa yang menerimanya dengan pondongan kedua lengan itu, akan tetapi ia merasa jantungnya berdebar dan mukanya terasa panas ketika mendengar suara yang dikenalnya,
"Hong-moi, engkau tidak apa-apa?"
Kiranya yang menerima tubuhnya itu adalah Kok Siang! Tentu saja ia merasa malu dan cepat meloncat turun.
"Aku tidak apa-apa, dan engkau?"
"Untung bahwa lantai yang menjadi dasar tempat ini lunak sehingga aku tidak sampai terluka. Ketika aku melihat tubuh meluncur dari atas, aku khawatir dan menangkapmu. Maafkan aku, adik Hong."
Betapa sopan pemuda ini, pikir Kim Hong. Ia mengerti bahwa pemuda itu sama sekali tidak mempunyai bayangan pikiran kotor ketika menerima tubuhnya. Dan sekarang, melihat ia tidak apa-apa dan sesungguhnya tidak perlu ditangkap dalam pondongan, pemuda itu minta maaf. Bagaimana mungkin ia bisa marah terhadap pemuda seperti ini?
Pendekar Sadis Eps 39 Pendekar Sadis Eps 4 Pendekar Lembah Naga Eps 45