Ceritasilat Novel Online

Pendekar Mata Keranjang 11


Pendekar Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Bagian 11



Siauw Lan masih menangis, hanya mengangguk dan bibirnya bergerak perlahan.

   "Terima kasih, Hay-ko."

   Hay Hay mengambil buntalan pakaiannya, membuang selimut dan bajunya yang sudah robek-robek, kemudian dia pun tidak lagi menyembunyikan kepandaiannya dan sekali berkelebat, seperti yang dilakukan Bi Lian tadi, dia sudah lenyap pula dari situ. Untuk kedua kalinya, para penduduk dusun itu melongo dan menggeleng-geleng kepala, merasa malu akan kebodohan mereka sendiri. Mereka telah menuduh yang bukan-bukan terhadap pemuda itu, padahal pemuda itu demikian lihainya sehingga kalau dikehendaki, tentu pemuda itu berbalik akan mampu merobohkan mereka semua satu demi satu! Mereka lalu kembali ke dusun, mengambil dan mengurus jenazah A-kiu, sedangkan Siauw Lan terus diantar dan dihibur oleh A-liong sehingga ia pun merasa terhibur dan tidak lagi mempunyai niat untuk membunuh diri mencuci aib.

   Pagi-pagi sekali Hay Hay sudah keluar dari daerah dusun dan pegunungan itu. Dia menuju ke barat karena dia sedang melakukan perjalanan untuk mencari keluarga Pek yang dulu tinggal di Tibet. Semenjak dia menjadi murid See-thian Lama dan Ciu-sian Sin-kai, keadaan dirinya membuat dia seringkali termenung dan termangu-mangu. Dua orang gurunya yang sakti itu pun tidak dapat menentukan dia anak siapa! Sejak bayi dia merasa menjadi putera suami isteri Siangkoan Leng dan Ma Kim Li, yang tidak tahunya adalah sepasang suami isteri iblis yang berjuluk Lam-hai Siang-mo. Dan ternyata suami isteri itu bukan orang tuanya, melainkan telah menculiknya dari rumah keluarga Pek. Kalau saja keluarga Pek mempunyai anak yang lumrah, tentu mudah sekali memastikan bahwa dia adalah anak keluarga Pek yang diculik oleh Lam-hai Siang-mo. Akan tetapi, dua orang gurunya yang sakti dan bijaksana memastikan bahwa dia bukan putera keluarga Pek,

   Karena sudah dipastikan oleh para Dalai Lama bahwa putera keluarga Pek adalah seorang Sin-tong (anak ajaib) yang mempunyai tanda merah di punggungnya! Sedangkan dia tidak mempunyai tanda merah itu! Jelas, menurut kedua orang gurunya, dia bukan putera keluarga Pek! Satu-satunya petunjuk tentang keadaan dirinya hanya bisa diharapkan datang dari keluarga Pek. Mereka tentu tahu siapa dia, siapa orang tuanya dan mengapa dia ketika bayi dapat berada di tangan keluarga Pek sehingga diculik oleh Lam-hai Siang-mo. Inilah sebabnya maka Hay Hay kini menuju ke barat untuk mencari keluarga Pek dan menyelidiki tentang asal-usul dirinya yang sebenarnya. Akan tetapi dia tidak tergesa-gesa dan melaksanakan keinginannya menemui keluarga Pek sambil lalu saja, yang terpenting baginya adalah menikmati perjalanan yang amat jauh itu.

   Dia pernah melakukan perjalanan jauh seperti ini, akan tetapi dari barat ke timur, yaitu beberapa tahun yang lalu, ketika dia berusia kurang lebih tiga pelas tahun dan meninggalkan See-thian Lama untuk mengikuti gurunya yang baru, Ciu-sian Sin-kai menuju ke Pulau Hiu di lautan Pohai. Kalau dulu dia datang dari barat menuju ke timur, sekarang sebaliknya, dia datang dari pantai Pohai menuju ke barat, ke Tibet! Dengan santai Hay Hay melakukan perjalanan dan sebelum dia menuruni bukit terakhir, dia berhenti lebih dulu dan membalikkan tubuhnya menghadap ke timur, untuk menikmati keindahan matahari terbit. Bola merah yang besar itu perlahan-lahan tersembul dan naik ke atas. Hay Hay tidak berani terlalu lama memandang bola api itu, walaupun sinarnya belum terlalu menyilaukan, namun dia tahu bahwa hal itu tidak baik bagi matanya.

   Yang dinikmati adalah keindahan cahaya merah itu memandikan segalanya yang berada di permukaan bumi, dan cahaya merah kuning biru yang mewarnai awan-awan yang membentuk berbagai macam corak, demikian kaya dengan bentuk sehingga kita dapat membentuk awan-awan itu menjadi bentuk apa saja menurut khayal kita yang paling ajaib. Setelah puas menikmati keindahan alam di waktu pagi, Hay Hay membalikkan tubuhnya lagi dan hendak menuruni lereng bukit terakhir. Akan tetapi tiba-tiba dia tertegun karena tak jauh di depannya, hanya belasan meter jauhnya, telah berdiri tegak seorang wanita yang bukan lain adalah gadis galak semalam! Namun hanya sebentar dia tertegun. Dia tidak kehilangan keluwesannya dan segera tersenyum ramah dan melangkah maju menghampiri lalu menjura.

   "Selamat pagi, Nona yang gagah perkasa! Sungguh pagi yang amat cerah dan indah, bukan?"

   Akan tetapi gadis jelita dan manis itu cemberut. Aneh, pikir Hay Hay, kenapa gadis ini cemberut dapat nampak demikian manisnya? Apanya yang membuatnya demikian manis? Segalanya memang indah bentuknya, dan wajah itu ayu akan tetapi apanya yang paling menonjol? Dia menyelidiki keadaan gadis itu dengan penuh perhatian!

   "Aku tidak tanya dan tidak peduli pagi ini cerah indah atau muram buruk! Aku berada di sini sengaja menantimu dan bicara denganmu!"

   "Ahai, lebih baik lagi kalau begitu! Ah, kalau saja aku tahu Nona menantiku di sini, tentu tadi aku akan bersicepat dan tidak membiarkan diri terpesona oleh kecantikan alam di waktu pagi."

   Dengan ucapan itu dia seolah-olah hendak memuji bahwa keindahan gadis itu tidak kalah oleh keindahan alam pagi.

   "Suatu kehormatan yang teramat besar bagiku. Tidak tahu Nona hendak menyampaikan berita bahagia apakah kepada diriku yang miskin ini?"

   Sejenak Bi Lian, gadis itu, tertegun juga. Betapa indahnya kata-kata yang dikeluarkan oleh pemuda ini, sambil tersenyum, wajahnya berseri, sepasang matanya yang tajam itu memandang lembut. Akan tetapi ia teringat bahwa pemuda ini adalah seorang perayu wanita, seorang laki-laki mata keranjang, maka ia memasang muka cemberut lagi. Lebih cemberut daripada tadi. Akan tetapi lebih manis, pikir Hay Hay.

   "Tak usah merayu dengan kata-kata indah! Aku menantimu untuk mengajakmu membuat perhitungan dan melunasi hutang-pihutang antara kita!"

   Diam-diam Hay Hay terkejut dan juga heran. Dia maklum yang dimaksudkan dengan hutang-pihutang tentulah urusan perselisihan di antara mereka. Akan tetapi seingatnya, tidak ada lagi urusan di antara mereka. Bukankah dalam urusan ruangan di kuil tua dia sudah mengalah dan pergi, kemudian perkelahian semalam itu terjadi hanya karena salah paham dan salah duga terhadap dirinya? Dia anggap sudah habis dan selesai, kenapa nona ini bicara tentang penyelesaian hutang-pihutang? Akan tetapi wajahnya tetap berseri dan dia memasang muka gembira.

   "Wah, menarik sekali!"

   Hay Hay menurunkan buntalan pakaiannya dan duduk di atas batu dl tepi jalan kecil itu, seperti orang yang ingin sekali mendengarkan sebuah cerita yang menarik.

   "Berapakah hutangku kepadamu dan bagaimana aku harus membayarnya, Nona? Aku seorang perantau miskin.."

   "Bukan engkau yang masih ada hutang, akan tetapi aku yang hutang kepadamu."

   "Aih, semakin menarik dan menyenangkan saja. Akan tetapi sungguh mati aku sudah lupa lagi kapan Nona berhutang kepadaku dan berapa jumlahnya?"

   "Pertama-tama aku mengusirmu dari kuil dan ke dua, aku telah menuduhmu melakukan perbuatan terkutuk yang tidak kau lakukan. Nah, aku telah hutang dua kali kepadamu dan aku ingin melunasinya sekarang!"

   "Ehhh...?"

   Sekali ini senyumnya menghilang dari wajah Hay Hay karena memang dia heran sekali.

   "Lalu bagaimana engkau akan melunasi hutang-hutang itu, Nona?"

   Gadis itu memperlihatkan kedua lengannya yang diulur dengan jari-jari tangan terkepal.

   "Dengan ini! Bagaimana lagi orang-orang seperti kita menyelesaikan perhitungan kecuali dengan mengadu ilmu silat? Majulah dan bersiaplah, kita harus bertanding untuk membereskan perhitungan!"

   "Wah-wah-wah!"

   Hay Hay mengangkat kedua tangannya ke atas kepala dan menggeleng-geleng kepala.

   "Kalau seperti itu pembayarannya, sudahlah, jangan kau bayar saja hutang-hutangmu, Nona! Aku sudah rela dan biarlah hutang-hutangmu itu kuanggap lunas saja!"

   "Apa!"

   Gadis itu memandang dengan mata mendelik.

   "Engkau mau menghina aku rupanya! Kau anggap aku tidak mampu melunasi hutang-hutangku?"

   "Eh, bukan begitu! Tapi...., wah kenapa pembayarannya harus seperti itu? Aku tidak merasa menghutangkan, aku tidak menaruh dendam sakit hati, dan aku tidak mengharapkan pembayaran. Sudahlah, hutang-hutangmu sudah lunas dan kita jangan membuat hutang-hutang lagi, Nona."

   Hay Hay lalu mengambil buntalan pakaiannya, akan tetapi tiba-tiba dia meloncat dengan elakan yang amat cepat karena pada saat itu ada angin Pukulan yang panas dan kuat sekali menyambar ke arahnya, dibarengi bentakan nona itu.

   "Heiiiitttt.."!"

   "Brakkk...!"

   Batu yang tadi diduduki Hay Hay pecah berantakan ujungnya terkena Pukulan tangan gadis yang lihai itu. Debu mengepul dan Hay Hay terbelalak. Gadis itu memukul sungguh-sungguh! Kalau dia tidak cepat mengelak dan kena Pukulan seampuh itu tentu dia akan celaka, mungkin tewas atau paling tidak terluka parah. Sungguh seorang gadis yang cantik jelita, manis, lihai akan tetapi ganas bukan main!

   "Eh-eh, tahan dulu, Nona! Bagaimana sih engkau ini? Engkau merasa bersalah dan berhutang kepadaku, kenapa membayarnya bahkan dengan penambahan hutang yang lebih besar lagi? Bagaimana kalau sampai aku kena Pukulanmu dan mati?"

   "Berarti aku tidak hutang lagi kepadamu. Tidak ada orang berhutang kepada orang yang sudah mati."

   Kalau saja nona itu tidak bicara sambil merengut, tentu Hay Hay akan menganggapnya main-main atau kelakar.

   "Lalu bagaimana kalau sampai aku tidak dapat kau kalahkan?"

   Hay Hay menyelidik.

   "Kalau aku yang mati, berarti hutangku juga lunas. Tidak ada orang mati mempunyai hutang kepada siapapun juga!"

   Wah, pikir Hay Hay. Gadis ini bicara serius, akan tetapi ucapannya sungguh bocengli (tidak pantas)! Mana ada orang merasa bersalah dianggap hutang dan pembayarannya harus saling membunuh? Diam-diam dia memandang penuh perhatian. Seorang gadis yang benar-benar amat cantik, dan usianya tentu tidak berselisih banyak dengan usianya sendiri.

   "Kau aneh, Nona."

   "Sudahlah, aku tidak ingin mendengar pendapatmu tentang diriku. Hayo bersiap, kita lanjutkan penyelesaian hutang-pihutang ini!"

   Bi Lian sudah siap lagi untuk melakukan penyerangan. Kuda-kudanya amat indah akan tetapi aneh, kaki kanan berdiri tegak lurus di atas jari-jari kaki-kaki kiri ditekuk seperti kaki burung, tangan kanan diacungkan tinggi ke atas kepala, tangan kiri menyembah di dada, leher dimiringkan dan napas ditahan! Agaknya gadis itu sudah siap untuk melancarkan Pukulan maut yang aneh lagi!

   "Nanti dulu... Nanti dulu, Nona."

   Hay Hay berkata cepat-cepat mendahului agar nona itu tidak keburu menyerang.

   "Ada apa lagi? Cerewet benar engkau!"

   Nona itu mengomel.

   "Sebelum aku kau pukul mati, aku berhak untuk tahu siapa yang hutang kepadaku dan membayarnya dengan Pukulan maut. Atau, menurut engkau, aturannya tidak boleh memperkenalkan nama dan sembunyi-sembunyi saja?"

   "Huh!"

   Bi Lian mendengus melalui hidungnya.

   "Siapa sembunyi? Kau kira aku takut mempertanggungjawabkan? Namaku adalah Cu Bi Lian.."

   "Nama yang amat indah dan cantik, seperti pemiliknya.."

   "Aku tidak butuh pujianmu!"

   "Aku tidak memuji, melainkan terus terang saja. Engkau sungguh cantik jelita, memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi, dan memiliki nama yang indah. Bi Lian (Teratai Cantik), sungguh nama yang hebat. Sayang sekali..."

   "Apa sayang?"

   Bi Lian cepat memotong dan diam-diam Hay Hay tersenyum di dalam hatinya. Bagaimanapun juga, gadis ini tetap seorang wanita yang wajar dan ingin sekali mendengar pujian, pantang mendengarkan celaan, maka cepat-cepat gadis itu bertanya ketika dia berkata sayang. Hay Hay cukup cerdik untuk tidak mengucapkan celaannya. Di dalam hatinya dia berkata sayang bahwa gadis yang cantik dan lihai itu berperangai ganas dan kejam, akan tetapi mulutnya tidak mengatakan demikian. Belum pernah dia mencela seorang wanita, baginya wanita hanya pantas dipuji, tidak layak dicela!

   "Sayang kalau aku mati olehmu, aku tidak lagi dapat menikmati kecantikanmu, dan engkau tidak lagi ada yang memuji."

   "Sudahlah, jangan cerewet. Siap menghadapi seranganku!"

   Kata Bi Lian dan Hay Hay melihat betapa wajah ltu tidak beringas lagi seperti tadi, melainkan menjadi manis karena ada senyum puas membayang di bibir yang merah membasah itu.

   "Nanti dulu, nanti dulu! Aku sudah mengenal namamu, akan tetapi engkau belum mengenal namaku, Nona Cu Bi Lian yang cantik."

   "Namamu... Kakak Hay, aku sudah tahu! Engkau perayu dan mata keranjang, gila perempuan. Itu saja! Nah, sambutlah ini!"

   Dan ia pun sudah menerjang lagi dengan hebatnya tanpa memberi kesempatan kepada Hay Hay untuk banyak cakap lagi!

   "Haiiiittt...!"

   Serangan itu demikian ganas sehingga untuk menghindarkan diri, Hay Hay menjatuhkan diri di atas tanah dan bergulingan menjauh, melompat berdiri lagi.

   "Nanti dulu, kurasa engkau telah berbohong kepadaku, Nona!"

   Bi Lian yang sudah siap mengirim serangan susulan, mengerutkan alisnya dan matanya mengeluarkan sinar berapi.

   "Apa? Kau bilang aku berbohong kepadamu? Untuk tuduhan itu saja engkau harus membayar nyawa!"

   "Hutang lagi! Wah, engkau berbakat menjadi tukang kredit, Nona."

   "Apa tukang kredit?"

   "Itu, orang yang melepas uang dengan bunga, hutang-pihutang! Aku mengatakan bohong tentang namamu. Kau pernah mengaku bahwa engkau Dewi, sekarang engkau mengaku bernama Cu Bi Lian, nama seorang gadis, seorang manusia biasa. Nah, mana yang benar?"

   Hay Hay memang sengaja Cari-Cari urusan saja sebagai bahan untuk dibicarakan agar nona itu tidak menyerangnya. Dia khawatir juga melihat betapa serangan nona itu semakin lama semakin ganas dan berbahaya.

   "Siapa berbohong! Namaku memang Cu Bi Lian dan julukanku Thiat-sim Sian-li! "

   "Dewi Berhati Besi? Wah-wah-wah, ini namanya langit bertemu bumi!"

   "Apa lagi itu? Mana mungkin langit bertemu bumi!"

   Hay Hay tersenyum, senang telah dapat memancing nona itu bercakap-cakap.

   "Memang tidak mungkin, sama tidak mungkinnya dengan julukanmu, Nona. Dengar baik-baik, seorang Sian-li (Dewi) sudah pasti mempunyai hati yang lembut, penuh belas kasihan, penuh cinta kasih terhadap sesamanya. Sebaliknya, yang pantas memiliki hati besi hanyalah iblis-iblis dan setan-setan, yang kejam, ganas dan suka membunuh orang tanpa salah. Dewi-dewi biasanya berwajah cantik-cantik, lemah lembut dan bijaksana, sedangkan iblis dan setan bertampang buruk, berwatak kasar dan keras. Nah, jelas bahwa tidak mungkin ada dewi berhati besi, bukan?"

   "Peduli apa kau dengan keadaanku? Aku boleh berhati besi, berhati baja, berhati batu, atau berhati apa saja, sesukaku. Tidak ada sangkut-pautnya dengan engkau!"

   "Memang, seribu prosen hakmu sendiri untuk memakai hati dari apa, Cu-lihiap (Pendekar Wanita Cu). Nah, pantas sekali sebutan Cu-lihiap untukmu, bukan? Memang engkau jauh lebih pantas menjadi seorang pendekar wanita daripada..."

   "Daripada apa?"

   Cepat Bi Lian mendesak karena Hay Hay berhenti bicara. Pemuda ini kembali mengelak, berjaga-jaga agar jangan sampai menyinggung hati gadis itu dengan celaan.

   "Engkau adalah seorang pendekar wanita. Nah, menjadi pendekar wanita lebih baik daripada jika seandainya engkau menjadi tokoh sesat yang jahat sekali, bukan?"

   Kini Bi Lian agaknya sadar bahwa sejak tadi ia tidak diberi kesempatan untuk menyerang, bahkan terseret ke dalam serangkaian percakapan dengan pemuda ini! Marahlah gadis ini dan ia membentak.

   "Cukup sudah! Cerewet benar kau! Bersiaplah karena aku segera akan menyerangmu untuk menyelesaikan perhitungan!"

   Hay Hay merasa kecewa bahwa dia tidak berhasil melembutkan hati yang keras itu. Pantas julukannya Dewi Berhati Besi, pikirnya. Akan tetapi dia masih mencoba juga.

   "Nanti dulu, Lihiap. Apakah aku tidak dapat membayar lunas... eh, siapa yang berhutang tadi? Engkau atau aku? Tidak peduli siapa yang berhutang dan siapa yang membayar, apakah tidak ada cara lain untuk melunasi hutang? Apakah aku sudah begini tidak berguna sehingga engkau hendak membunuhku? Ingat baik-baik, Nona cantik dan gagah perkasa. Mungkin orang macam aku ini masih ada juga gunanya selain untuk dijadikan pembayar hutang dan dibunuh."

   Tentu saja Hay Hay mengeluarkan kata-kata ini hanya sekedar memperpanjang waktu dan mengalihkan perhatian gadis itu dari kehendaknya yang ingin menyerangnya maka tentu saja dia tidak mengharapkan tanggapan yang serius. Bahkan ucapannya itu seperti kelakar saja. Maka tentu saja terheran-heran ketika gadis itu menanggapinya dengan serius! Sepasang mata itu memandang penuh selidik. Dan kini suaranya tidak seketus tadi, melainkan penuh harap.

   "Kalau engkau dapat membantuku dengan keterangan yang berguna, mungkin aku akan menganggap lunas perhitungan antara kita tanpa mengajakmu bertanding."

   Wajah Hay Hay yang tadinya terkejut dan heran itu berubah girang sekali. Dengan senyum ramah dia cepat bertanya.

   "Keterangan apakah itu, Lihiap? Tentu aku akan suka sekali membantumu kalau memang aku dapat."

   "Aku mencari dua pasang suami isteri, mudah-mudahan engkau mengenal mereka dan tahu di mana mereka berada."

   "Siapakah mereka, Nona?"

   "Mereka adalah Lam-hai Siang-mo dan suami isteri Guha Iblis Pantai Selatan."

   Tentu saja Hay Hay merasa terkejut bukan main dan biarpun dia memiliki batin yang cukup kuat dan tidak mudah terkejut, sekali ini kekagetan itu nampak pada pandang matanya yang melebar.

   "Kau kenal mereka? Di mana mereka? Aku mencari-cari mereka!"

   Tentu saja Hay Hay mengenal dua pasang suami isteri itu! Lam-hai Siang-mo adalah Siangkoan Leng dan Ma Kim yang pernah dipanggilnya ayah dan ibu selama bertahun-tahun, sejak dia masih bayi! Dan suami isteri Guha Iblis Pantai Selatan adalah suami isteri yang hendak merampasnya dari tangan orang-orang yang tadinya dianggap sebagai ayah ibunya itu.

   "Kenapa engkau mencari dua pasang suami isteri itu?"

   "Aku hendak membunuh mereka!"

   Kembali Hay Hay terkejut, akan tetapi diam-diam hatinya girang juga. Jawaban gadis itu menunjukkan bahwa ia bermusuhan dengan dua pasang suami isteri yang terkenal amat kejam dan jahat itu. Dan hal ini berarti bahwa gadis ini ternyata bukan dari golongan sesat!

   "Nona Cu Bi Lian yang baik, mengapa engkau hendak membunuh dua pasang suami isteri itu?"

   "Cerewet benar kau!"

   Gadis itu membentak dengan mata melotot.

   "Katakan saja, engkau mengenal mereka atau tidak? Tak perlu engkau mencampuri urusanku dan jangan kau membohong!"

   Hay Hay mengangguk.

   "Aku kenal mereka, mengenal dengan baik sekali."

   Katanya terus terang dengan sikap tenang. Mendengar ini, Bi Lian menjadi girang sekali dan wajahnya nampak berseri, membuat Hay Hay bengong saking kagum dan melihat wajah yang demikian cantik dan manisnya.

   "Wah, bukan main...!"

   Dia mengeluarkan pujian tanpa disadarinya lagi, matanya menatap wajah yang berseri itu penuh kagum. Bagaimana dia tidak akan kagum melihat betapa kedua pipi itu, tepat di bagian tulang menonjol di bawah kedua mata kini nampak kemerahan, mata itu bersinar-sinar bening, mulut yang bibirnya merah membasah itu tersenyum simpul.

   "Apanya yang bukan main?"

   Bi Lian membentak, mengerutkan alisnya karena pandang mata pemuda itu demikian tajam dan ia pun mengenal bayangan kagum mata laki-laki seperti yang sering ia lihat kalau ia bertemu dengan kaum pria.

   "Wajahmu itu, hemmm... cantik bukan main, Nona."

   Kata pula Hay Hay terus terang. Sepasang mata itu terbelalak. Bermacam perasaan mengaduk di hati Bi Lian. Girang, bangga, akan tetapi juga marah dan kemarahanlah yang paling besar. Harus ia akui bahwa banyak ia menerima pujian kaum pria, baik melalui pandang mata atau pun melalui kata-kata, akan tetapi selalu laki-laki yang memujinya itu mempunyai pandang mata yang kurang ajar dan penuh nafsu, dan pujiannya merupakan rayuan. Akan tetapi, pemuda ini, yang dalam pertemuan pertama sudah memujinya, memandang dengan kekaguman yang terbuka, yang tidak menyembunyikan pandang mata kurang ajar, dan yang begitu terus terang dan jujur sehingga membuat dia tersipu.

   "Simpan rayuanmu, manusia mata keranjang. Atau, sekali lagi aku akan menampar mukamu. Jangan pringas-pringis seperti monyet! Hayo katakan, di mana mereka?"

   Hay Hay masih terpesona. Perubahan wajah gadis itu, dari keadaan berseri girang menjadi marah-marah, bahkan menambah kemanisannya. Bentakan itu membuat dia sadar dan dia pun menjawab bingung,

   "Mereka siapa?"

   "Keparat, jangan kau mempermainkan aku!"

   Bi Lian membentak, taangannya membuat gerakan seperti hendak menampar.

   "Tentu saja dua pasang suami isteri itu! Sudah lama aku mencari mereka. Di mana mereka?"

   Hay Hay menggeleng kepalanya,

   "Aku tidak tahu."

   "Bohong!"

   Bi Lian membentak, kecewa dan marah sekali.

   
Pendekar Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Engkau pembohong besar!"

   Hay Hay kini mengerutkan alisnya dan memandang tajam. Sukar baginya untuk marah kepada seorang gadis secantik ini, akan tetapi sudah dua kali dalam waktu sehari saja dia dimaki sebagai pembohong oleh gadis ini. Pertama ketika dia menyangkal tuduhan pemerkosa dan pembunuh malam tadi, gadis itu pun memakinya pembohong sehingga dia dikeroyok banyak orang. Dan sekarang dia dimaki pembohong lagi, untuk kedua kalinya.

   "Nona Cu Bi Lian, engkau sungguh keterlaluan memandang rendah dan memaki orang. Kalau sikapmu seperti itu, andaikata aku tahu juga di mana adanya dua pasang suami isteri itu, agaknya aku akan merasa enggan untuk memberi tahu kepadamu."

   "Hemm, Kau kira aku tidak akan dapat memaksamu rnembuka mulut kalau engkau tahu di mana mereka berada?"

   Panas juga rasa perut Hay Hay mendengar kecongkakan gadis itu. Dia tahu bahwa gadis itu lihai, akan tetapi bukan karena takut kalau dia selalu bersikap mengalah, melainkan berat rasa hatinya kalau harus bermusuhan dengan wanita cantik. Jauh lebih baik, lebih enak dan menyenangkan untuk bersahabat dengan mereka daripada memusuhi mereka! Akan tetapi sikap Bi Lian yang terlalu memandang rendah, membuat dia merasa mendongkol juga. Selain itu, di tempat yang sunyi ini, di mana tidak terdapat orang lain yang menjadi saksi, apa salahnya kalau dia menguji kemampuan gadis ini? Dia ingin sekali tahu sampai di mana kehebatan gadis bernama Cu Bi Lian ini sehingga ia bersikap demikian angkuh.

   "Aha, aku juga ingin sekali melihat bagaimana engkau akan dapat memaksaku."

   "Dengan ini!"

   Dan Bi Lian sudah menerjang dengan Pukulan yang amat hebat, kedua telapak tangannya mengeluarkan uap yang panas dan gerakannya cepat bukan main sampai sukar diikuti pandang mata, tahu-tahu tangan kanannya sudah mencengkeram ke arah muka Hay Hay sedangkan tangan kiri dengan jari terbuka telah menotok ke arah ulu hati. Sungguh merupakan serangan dahsyat yang amat kejam dan ganas sekali!

   "Eiiihhh..!"

   Hay Hay cepat meloncat ke belakang, mengelak dengan cepat sambil siap untuk melindungi tubuhnya. Dan memang hal ini penting sekali karena lengan tangan kiri yang menotok ulu hati itu ternyata dapat mengejarnya, mulur sampai panjang dan terus saja melanjutkan totokannya dengan cepat bukan main.

   "Dukkk!"

   Terpaksa Hay Hay menangkis dengan mengerahkan tenaganya sehingga tangan kiri yang menotoknya itu terpental. Bi Lian menjadi marah.

   "Mampuslah!"

   Ia membentak dan kini ia sudah menyerang lagi, kakinya menendang dengan tendangan berantai sampai tujuh kali, dengan kaki kanan dan kiri, sementara itu, di antara tendangan-tendangan yang bertubi-tubi itu, kedua tangannya masih membantu kaki dengan serangan tamparan-tamparan jarak jauh yang amat ganas dan kuat sehingga angin Pukulan itu saja yang mengandung hawa panas sudah akan dapat merobohkan lawan yang kurang kuat. Betapapun cepat dan kuat gerakan Bi Lian dalam serangan-serangannya, namun yang dihadapinya sekali ini adalah seorang murid terkasih dari dua orang di antara Pat Sian (Delapan Dewa)! Tingkat kepandaian dua orang gurunya itu jauh melampaui tingkat kepandaian dua orang guru Bi Lian, yaitu dua orang di antara Empat Setan,

   Maka tentu saja tidak rnengherankan kalau tingkat kepandaian Hay Hay juga lebih tinggi dibandingkan tingkat Bi Lian. Dia terkejut juga melihat kehebatan serangan-serangan gadis itu, namun dia tidak gugup. Dengan Ilmu Jiauw-pouw-poan-soan, yaitu langkah ajaib yang membuat tubuhnya berputar-putaran namun selalu dapat menghindarkan diri dari serangan lawan, dia berhasil membuat semua tendangan dan Pukulan tangan Bi Lian mengenai angin kosong belaka. Dari See-thian Lama dia telah mewarisi ginkang istimewa, yang membuat tubuhnya dapat bergerak lebih cepat dari gerakan Bi Lian. Sampai belasan jurus gadis itu menyerang secara bertubi-tubi dan karena tidak satu pun serangannya mengenai sasaran, bahkan menyentuh baju pemuda itu pun tidak, Bi Lian menjadi semakin penasaran dan marah.

   "Keparat, balaslah kalau engkau memang memiliki kepandaian!"

   Semakin Hay Hay mengalah, ia merasa semakin dipandang rendah dan dipermainkan.

   "Baik, terimalah ini!"

   Hay Hay mulai membalas dengan tamparan ke arah pundak Bi Lian. Tamparan yang nampaknya perlahan saja. Akan tetapi Bi Lian tidak berani memandang rendah karena ia pun maklum bahwa pemuda ini, biarpun ugal-ugalan dan berlagak tolol, ternyata memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Ia pun cepat mengelak dan membalas dengan tusukan tangan miring ke arah lambung. Akan tetapi, Hay Hay membalikkan tangan yang menampar ke bawah, secara tak tersangka-sangka tangannya yang seperti kepala ular itu telah menyambar ke bawah dan dia berhasil menangkap pergelangan tangan gadis itu.

   "He-heh..!"

   Dia tertawa akan tetapi hanya sebentar karena bukan main kagetnya ketika tangan kedua dari gadis itu tahu-tahu telah menyambar ke arah mukanya, dengan telunjuk dan jari tengah menusuk ke arah mata!

   "Eeiiiittt... Aku belum mau menjadi buta!"

   Katanya, terpaksa melepaskan tangkapan tangannya dan meloncat ke belakang. Bi Lian melihat betapa pergelangan tangannya yang dipegang tadi terdapat tanda bekas jari tangan dan ia pun menjadi marah bukan main. Tiba-tiba dari mulutnya keluar suara melengking tinggi yang menggetarkan jantung Hay Hay. Pemuda ini terkejut bukan main ketika merasa betapa jantungnya terguncang dan tubuhnya menggigil mendengar suara melengking ini. Tahulah dia bahwa gadis itu mempergunakan semacam ho-kang (ilmu khikang yang dilancarkan melalui suara) yang amat kuat.

   Ilmu seperti ini hanya dapat dilakukan oleh orang yang memiliki sin-kang dan khikang yang amat kuat, seperti binatang harimau dan singa yang mampu melumpuhkan lawan hanya dengan gerengannya saja!. Maka dia pun cepat menahan napas mengerahkan sin-kangnya, lalu dia pun tertawa bergelak-gelak. Dari suara ketawanya ini keluar gelombang suara yang kuat, menahan gelombang suara lengkingan yang dikeluarkan Bi Lian. Pada saat itu, Bi Lian, tanpa menghentikan lengkingannya, sudah menerjang lagi, kini Pukulannya yang dilakukan dari kanan kiri, menampar-nampar ke arah kepala sampai ke pinggang, diselingi tendangan-tendangan maut yang amat cepat. Melihat ini, Hay Hay juga cepat mengeluarkan langkah ajaibnya, mengelak dan membalas serangan Bi Lian. Ketika tangan kanan Bi Lian yang menyambar pelipisnya dapat dielakkan,

   Otomatis tangannya menotok ke arah leher gadis itu sambil tangan kirinya menangkis datangnya tendangan. Tangkisan tendangan itu membuat tubuh Bi Lian terguling dan Hay Hay merasa terkejut dan menyesal sekali. Tak disangkanya bahwa tangkisannya itu mempergunakan tenaga terlampau kuat sehingga dia membuat gadis itu terpelanting. Dia cepat membungkuk untuk membantu gadis itu bangun kembali, akan tetapi tiba-tiba kaki kiri gadis itu menyambar dari bawah dalam posisi terpelanting tadi. Hay Hay terkejut. Baru tahulah dia bahwa gadis itu bukan terpelanting sungguh-sungguh, melainkan hanya pancingan saja. Tendangan yang demikian cepatnya menyambar selagi tubuhnya membungkuk untuk menolong, maka tak sempat lagi ditangkis atau dielakkan. Segera dia mengerahkan sinkang ke arah pinggangnya yang disambar tendangan itu.

   "Bukkk...!"

   Dan tubuh Hay Hay terlempar sampai tiga meter, jatuh bergulingan, namun dia tidak terluka. Gadis itu seperti menendang sebuah bola karet saja yang terisi angin! Semua gerakan kedua orang tadi amat cepat tak dapat diikuti oleh pandangan mata orang biasa, dan mereka pun bergerak hanya mengandalkan kecepatan yang melebihi perhitungan pikiran. Gerakan yang sudah mendarah daging dan semuanya serba otomatis, baik menyerang, menangkis atau mengelak. Kepekaan syaraf yang memegang peran. Gerakan reflex yang merupakan reaksi daripada semua otot dan syaraf di dalam tubuh dan seringkali di luar kecepatan perhitungan pikiran.

   "Heh-heh-heh!"

   Hay Hay bangkit dan mengebut-ngebut pakaiannya yang terkena debu.

   "Terima kasih, tendanganmu lumayan, lunak membuat pegal-pegal di pinggangku lenyap seketika."

   Hay Hay hanya bergurau, akan tetapi Bi Lian menjadi semakin marah karena ia menganggap pemuda itu mengejeknya.

   "Singgg...!"

   Tiba-tiba tangan gadis itu sudah memegang sebatang pedang! Hay Hay terkejut. Gadis itu tidak kelihatan membawa pedang, akan tetapi kini tahu-tahu memegang sebatang pedang yang berkilauan saking tajamnya, seperti main sulap saja. Dia dapat menduga bahwa tentu pedang di tangan gadis itu sebatang pedang tipis yang dapat digulung, terbuat dari baja yang amat baik dan pedang seperti itu amat berbahaya dan tajam.

   "Aihhh, nanti dulu, Nona Cu Bi Lian. Kenapa engkau mengeluarkan senjata? Apakah untuk urusan kecil ini saja engkau benar-benar bermaksud untuk membunuh aku? Kita baru saja berkenalan, tidak ada hal-hal yang pantas dijadikan alasan bagimu untuk membunuhku."

   "Tak perlu banyak cakap lagi. Keluarkan senjatamu dan mari kita lanjutkan perkelahian ini.

   Kita berdua bukan anak-anak kecil lagi, sama-sama memiliki ilmu silat, dan mari kita bertanding untuk menentukan siapa yang lebih unggul!"

   Kata Bi Lian, masih merasa penasaran sekali karena dalam perkelahian tadi, biarpun ia belum kalah, namun jauh untuk dapat dibilang ia menang. Dan sikap pemuda itu yang agaknya memandang ringan dan mengejeknya, sungguh membuat hatinya panas sekali. Tendangan tadi dikatakan lunak dan hanya dapat mengusir pegal-pegal! Sebetulnya Hay Hay masih ingin untuk menguji kehebatan gadis itu bermain pedang. Namun, melihat betapa sepasang mata yang indah itu mencorong penuh dengan kemarahan, dia tahu bahwa dia tidak boleh mendesak terlalu jauh, karena salah-salah hal ini hanya akan menumbuhkan kebencian dalam hati gadis itu terhadap dirinya. Dan dibenci oleh gadis sejelita itu, wah, dia merasa keberatan sekali.

   "Nona yang baik.."

   "Sudah, tak perlu lagi merayu. Aku bukan Nona yang baik!"

   Bi Lian memotong. Hay Hay mengembangkan kedua lengan, mengangkat pundak.

   "Habis, apakah aku harus menyebut Nona yang jelek! Padahal engkau sama sekali tidak jelek, sama sekali tidak jahat. Nona yang baik, apakah engkau tidak merasa malu untuk menjilat ludah sendiri yang sudah dikeluarkan?"

   Bi Lian mengerutkan alisnya.

   "Apa? Jangan bicara yang bukan-bukan engkau!"

   "Nona tadi sudah mengatakan bahwa kalau aku dapat memberi keterangan tentang dua pasang suami isteri, maka Nona tidak akan mengajakku bertanding lagi. Dan aku sudah memberi keterangan bahwa aku mengenal mereka. Kenapa Nona hendak mengingkari janji sendiri? Bukankah itu berarti menjilat kembali ludah sendiri yang sudah dikeluarkan?"

   "Tidak ada yang menjilat ludah, tidak ada yang melanggar janji! Engkau hanya mengatakan kenal saja, akan tetapi tidak tahu mereka tinggal di mana. Keterangan macam apa itu? Tidak ada harganya sekeping pun!"

   Hay Hay mengangguk-angguk.

   "Kalau aku mengetahui di mana biasanya mereka itu tinggal, apakah Nona sudah menganggap lunas perhitungan antara kita dan tidak akan memaksaku bertanding lagi?"

   Timbul harapan di hati Bi Lian. Memang ia ingin sekali menghajar laki-laki yang membuatnya jengkel itu. Akan tetapi kini ia pun sudah tahu bahwa Hay Hay lihai sekali, agaknya tidak akan mudah baginya untuk dapat menangkan pemuda itu. Ia tidak takut menghadapinya, bahkan merasa penasaran dan ingin sekali mengalahkannya, akan tetapi ia lebih membutuhkan keterangan tentang dua pasang suami isteri yang menjadi musuh besarnya itu. Sudah lama sekali ia mencari tanpa hasil dan kini ia bertemu dengan orang yang mengenal mereka dan tahu di mana biasanya mereka tinggal. Kalau ia hanya menurutkan kemarahan hatinya dan kehilangan kesempatan baik ini untuk mengetahui tempat tinggal musuh-musuhnya, sungguh ia rugi sekali.

   "Baik, kuberi kesempatan sekali lagi. Katakan di mana mereka berada dan aku akan segera pergi meninggalkanmu, tidak rnemaksamu untuk bertanding."

   Katanya, akan tetapi ia masih memegang pedangnya.

   "Kalau engkau merayu dan membohong sekali lagi, pedangku tentu akan memenggal batang lehermu!"

   Hay Hay memanjangkan lehernya dan menggunakan kedua tangan mengulur lehernya sambil menjulurkan lidah, kelihatan merasa ngeri.

   "Wah, kalau sampai putus, bagaimana menyambungnya kembali? Nah, dengarlah baik-baik, Nona. Lam-hai Siang-mo adalah suami isteri yang bernama Siangkoan Leng dan Ma Kim Li. Mereka dulu tinggal di kota Nan-king sebagai pedagang obat. Mungkin Nona dapat mencari mereka di Nan-king atau di daerah pantai selatan, karena sesuai dengan julukan mereka, tentu suka berkeliaran di pantai laut selatan. Ada pun suami isteri Guha Iblis Pantai Selatan, bernama Kwee Siong dan isterinya Tong Ci Ki. Mereka pun merupakan tokoh-tokoh pantai selatan, tentu tidak akan sukar menemukan dua pasang suami isteri itu."

   Girang rasa hati Bi Lian mendengar keterangan ini. Biarpun belum ada kepastian di mana tempat tinggal dua pasang suami isteri itu, setidaknya ia telah memperoleh pegangan dan dapat mencari jejak mereka.

   "Keteranganmu cukup dan hari ini kau kubebaskan. Akan tetapi kalau sampai keteranganmu ini bohong, lain hari aku akan mencarimu dan akan membuat perhitungan sampai lunas!"

   Setelah berkata demikian, gadis itu meloncat dan berlari dengan cepat sekali sehingga sebentar saja lenyap dari pandang mata Hay Hay.

   "Uhhhhh...!"

   Hay Hay menarik napas lega. Seorang gadis yang bukan main! Dia merasa semakin kagum.

   Cu Bi Lian itu bukan saja cantik jelita dan manis, akan tetapi juga memiliki ilmu kepandaian yang tinggi sekali. Sayang, ilmu silatnya memiliki sifat yang ganas, liar dan kejam, banyak gerakan-gerakan yang curang dan hanya dimiliki oleh orang-orang dari golongan sesat. Sayang dia tidak dapat mengetahui keadaan gadis itu lebih banyak, murid siapa, anak siapa dan dari golongan mana. Biarpun melihat wataknya yang ganas dan keras, juga ilmu silatnya menunjukkan bahwa gadis itu agaknya mempelajari ilmu silat tinggi dari kaum sesat, namun kenyataan bahwa gadis itu memusuhi dua pasang suami isteri iblis, melegakan hati Hay Hay. Memusuhi golongan sesat hanya berarti bahwa gadis itu sendiri bukan dari golongan sesat! Mudah-mudahan demikian, pikirnya sambil menarik napas panjang, teringat akan keganasan gadis itu yang hendak membunuhnya!

   "Han Siong, kini tibalah saatnya engkau harus pergi meninggalkan kuil ini dan memenuhi harapan yang selama ini terkandung di dalam hati kami. Tentu engkau mengerti akan isi hati kami dan tahu apa yang kami harapkan darimu, muridku."

   Han Siong menundukkan mukanya dan mengangguk. Pemuda ini berlutut di depan suhu dan subonya. Siangkoan Ci Kang, laki-laki tinggi tegap yang gagah perkasa dan lengan kirinya buntung sebatas siku, kini telah berusia empat puluh tahun. Usia yang belum tua benar, namun wajahnya yang tampan dan dingin itu penuh dengan garis-garis keprihatinan. Pendekar ini sejak muda memang bernasib buruk, karena sebagai putera seorang datuk sesat yang amat kejam, dia memiliki watak gagah perkasa dan seringkali bertentangan dengan mendiang ayahnya.

   Kemudian pemuda ini pun gagal dalam cintanya, dan biarpun akhirnya dia bertemu dengan Toan Hui Cu yang senasib sehingga keduanya saling tertarik dan saling jatuh cinta, namun penderitaan hidupnya tidaklah berakhir. Bahkan, bersama Toan Hui Cu yang telah menjadi isterinya tanpa pernikahan, dia harus menjalani hukuman dua puluh tahun! Bukan hanya itu, puteri mereka satu-satunya,yang mereka titipkan kepada keluarga Cu di dusun, telah lenyap diculik orang! Mereka berdua tidak berdaya, tidak mampu melakukan pencarian karena mereka belum selesai menjalani hukuman. Kini dia duduk bersila, berdampingan dengan Toan Hui Cu yang kini usianya sudah tiga puluh sembilan tahun. Wanita ini pun nampak dingin dan mukanya agak pucat, pembawaannya anggun dan angkuh.

   "Teecu (murid) mengerti apa yang diharapkan Suhu dan Subo. Teecu akan segera pergi mencari adik Siangkoan Bi Lian."

   Jawab Han Siong dengan tegas karena memang dia ingin memegang janjinya, ingin membalas kebaikan suhu dan subonya dengan mencari puteri mereka sampai dapat.

   "Teecu hanya akan kembali ke sini menghadap Suhu dan Subo kalau teecu sudah berhasil menemukan Adik Bi Lian, dah tidak akan kembali kalau belum berhasil."

   "Han Siong, engkau tentu tahu bahwa aku akan menanti kembalimu siang malam dengan hati yang penuh harapan."

   Toan Hui Cu bicara, suaranya penuh dengan keharuan walaupun wajahnya tetap dingin.

   "Carilah anakku sampai dapat, dan engkau hati-hatilah, muridku. Engkau sudah sering kami ceritakan tentang tokoh-tokoh di dunia persilatan dan ketahuilah bahwa selain mereka yang kami kenal dan sudah kami ceritakan kepadamu, masih banyak lagi orang pandai di dunia ini."

   "Teecu akan selalu mengingat nasihat Subo dan Suhu."

   Jawab Han Siong.

   "Kami tahu bahwa tidak akan mudah mencari Bi Lian, karena tidak ada jejak ditinggalkan anak itu. Akan tetapi mengingat bahwa lenyapnya bersamaan dengan keributan yang terjadi di dusun, kabarnya ada manusia-manusia iblis yang berkelahi di sana, maka carilah ia diantara tokoh-tokoh dan kaum sesat.."

   Siangkoan Ci Kang menambahkan.

   "Selain itu, Han Siong, ada satu hal yang penting lagi yang telah kami ambil menjadi keputusan hati kami berdua. Kami hanya mengharapkan bahwa engkau tidak akan menolak apa yang menjadi keinginan hati kami ini."

   Gurunya itu berhenti dan agaknya merasa sukar untuk melanjutkan kata-katanya. Ketika Han Siong menengadah dan memandang mereka, dia melihat suhu dan subonya saling pandang dengan khawatir .

   "Han Siong, selama ini engkau sudah seperti anak kami sendiri, bukan? Maka, kurasa engkau tidak akan menolak keinginan kami..."

   Kata pula subonya, akan tetapi wanita itu juga tidak melanjutkan kata-katanya.

   "Suhu dan Subo, apakah yang menjadi keinginan hati Ji-wi? Katakanlah, teecu pasti akan memenuhi keinginan Suhu dan Subo yang telah melimpahkan budi selama ini terhadap diri teecu. Katakanlah, Suhu."

   Siangkoan Ci Kang menarik napas panjang, lalu berkata,

   "Hukuman kami masih tinggal dua tahun lagi, Han Siong. Setelah itu baru kami akan meninggalkan kuil ini dan pergi sendiri mencari anak kami. Kami telah mengambil keputusan untuk... menjodohkan Bi Lian denganmu, Han Siong. Karena itu, dalam waktu dua tahun, sebelum kami meninggalkan kuil, kami harap engkau suka datang untuk melaporkan hasil penyelidikanmu mengenai puteri kami."

   Bukan main kagetnya hati Han Siong mendengar ucapan kedua gurunya itu. Dia dijodohkan dengan puteri gurunya? Melihat pun belum pernah puteri gurunya itu! Di lubuk hatinya timbul perasaan menentang karena dia sama sekali tidak pernah berpikir tentang perjodohan. Akan tetapi bagaimana mungkin dia akan menolak keinginan hati suhu dan subonya? Dia hanya menundukkan mukanya dan sampai lama tidak mampu menjawab. Melihat keraguan muridnya ini, suami isteri yang sakti itu saling pandang kemudian Toan Hui Cu mengerutkan alisnya bertanya.

   "Bagaimana, Han Siong. Maukah engkau menerima keinginan kami untuk menjadi calon jodoh anak kami Bi Lian?"

   Melihat isterinya mendesak, Siangkoan Ci Kang cepat menyambung.

   "Han Siong, kami tahu bahwa perjodohan adalah satu di antara peristiwa yang ditentukan oleh Thian (Tuhan). Seperti kami katakan tadi, kami berdua melihat betapa baiknya kalau Bi Lian berjodoh denganmu, dan hal itu merupakan keinginan hati kami saja. Akan tetapi keputusannya kelak, terserah kepada kehendak Thian. Engkau perlu mengetahui saja bahwa kami ingin sekali menjodohkan Bi Lan denganmu, kami sama sekali tidak memaksa dan biarlah kita bicarakan lagi urusan perjodohan ini kalau engkau atau kami sudah berhasil menemukan kembali Bi Lian."

   Lega rasa hati Han Siong mendengar ucapan suhunya itu. Dia tidak ingin mengecewakan hati kedua orang gurunya dengan penolakan. Akan tetapi bagaimana mungkin dia, menerima begitu saja uluran tangan untuk berjodoh, tanpa lebih dulu melihat bagaimana keadaan orang yang akan dijadikan jodohnya, dan tanpa bertanya pula kepada pihak keluarganya? Ucapan suhunya membuat hatinya terasa lega dan cepat-cepat dia memberi hormat dan berkata.

   "Suhu dan Subo, teecu selalu mentaati semua perintah Suhu dan Subo. Teecu rasa yang paling penting sekarang ini adalah lebih dulu menemukan Adik Bi Lian."

   Suami isteri itu kembali saling pandang dan keduanya merasa lega juga. Bagaimanapun, murid mereka itu tidak menolak.

   Mereka lalu mempergunakan waktu semalam itu untuk memberi nasihat-nasihat kepada Han Siong, juga menceritakan kepada murid mereka itu tentang keadaan di dunia kang-ouw, tentang banyaknya orang pandai yang berwatak palsu, curang dan jahat sekali. Juga mereka menceritakan tentang para pendekar yang gagah perkasa yang pernah mereka kenal. Pada keesokan harinya, barulah Han Siong meninggalkan kamar di mana suhu dan subonya menjalani hukuman kurungan mereka. Malam tadi, untuk pertemuan dengan murid mereka, Toan Hui Cu meninggalkan kamarnya dan mereka bertiga berkumpul di dalam kamar Siangkoan Ci Kang, tanpa diketahui siapapun juga. Ketika murid mereka hendak pergi, Siangkoan Ci Kang menyerahkan sebatang pedang kepadanya sambil berkata dengan suara halus.

   "Muridku, kau terimalah pedang ini dari kami. Pedang ini adalah Kwan-im-kiam (Pedang Kwan Im), cocok sekali untuk ilmu silat pedang Kwan-im Kiam-sut yang sudah kami ajarkan kepadamu. Pedang ini tadinya kami simpan untuk Bi Lian, dan sekarang kami serahkan kepadamu sebagai bekal untuk melindungi dirimu sendiri dari orang-orang jahat. Selain itu, juga untuk peringatan bagimu bahwa Suhu dan Subomu telah menyerahkan puteri mereka kepadamu..."

   Sampai di sini Siangkoan Ci Kang terhenti dan dia memandang terharu. Han Siong menerima pedang itu, pedang yang ringan dan pendek, lalu menyimpannya di dalam buntalan pakaiannya.

   Dia meninggalkan kamar renungan dosa atau kamar penebus dosa itu, diikuti pandang mata suhu dan subonya yang merasa kehilangan karena selama delapan tahun ini mereka menggembleng Han Siong seperti anak sendiri. Sejak Han Siong masih seorang anak laki-laki sampai kini menjadi seorang pemuda dewasa berusia dua puluh tahun! Pada keesokan harinya, Han Siong menghadap Ceng Hok Hwesio, ketua kuil itu yang kini telah menjadi seorang kakek yang tua sekali. Dengan usianya yang tujuh puluh tiga tahun, Ceng Hok Hwesio masih nampak gagah, tinggi besar bermuka hitam dan wataknya masih keras berdisiplin. Ketika Han Siong menghadap padanya untuk berpamit, hwesio ini mengangguk-angguk. Selama ini, Han Siong tinggal di kuil sebagai seorang kacung, namun karena pemuda ini titipan dari paman gurunya, Pek Khun, maka pemuda itu diperlakukan dengan sikap yang baik.

   "Omitohud, betapa cepatnya waktu berlalu, Han Siong."

   Kata Ceng Hok Hwesio ketika pemuda itu berlutut menghadapnya dan mengatakan bahwa hari itu juga dia hendak pergi meninggalkan kuil.

   "Telah tiga belas tahun teecu berdiam di kuil ini dan telah menerima banyak kebaikan dari Suhu dan para Suhu di kuil ini. Teecu menghaturkan banyak terima kasih dan apabila selama ini teecu melakukan kesalahan-kesalahan, sudilah kiranya Suhu memberi maaf kepada teecu."

   "Siancai... Pinceng merasa bangga padamu, Han Siong. Walaupun engkau tidak menjadi hwesio, namun engkau telah mempelajari banyak tentang agama kita, mau memperhatikan tentang kebudayaan, filsafat dan pengertian tentang kehidupan. Dan walaupun engkau bukan murid Siauw-lim-pai, namun di sini engkau telah memperoleh ilmu silat yang pinceng tahu amat tinggi. Mudah-mudahan saja engkau pandai-pandai membawa diri di dalam dunia ramai dan tidak mengecewakan bahwa engkau telah pernah tinggal menggembleng diri di sini selama tiga belas tahun."

   "Semua nasehat Suhu akan teecu perhatikan baik-baik."

   "Ada satu hal penting yang perlu kau ketahui, Han Siong. Tahukah engkau di mana adanya keluargamu?"

   Han Siong menggelengkan kepalanya.

   "Justeru teecu ingin bertanya kepada Suhu di mana teecu dapat bertemu dengan kakek buyut Pek Khun yang dulu membawa teecu ke kuil ini."

   Hwesio tua itu menarik napas panjang.

   "Aihhh pinceng sendiri tidak tahu di mana Pek Khun Susiok berada. Mungkin dia kembali ke Kun-lun-san. Akan tetapi menurut apa yang dipesannya kepada pinceng ketika dia menitipkan engkau di sini, setelah engkau dewasa, engkau diharuskan mencari keluargamu, yaitu keluarga Pek. Ayahmu adalah cucu Susiok Pek Khun. Ayahmu bernama Pek Kong, putera Ketua Pek-sim-pang yang berasal dari daerah Kong-goan di Propinsi Secuan. Nah, Engkau carilah keluargamu di sana, Han Siong."

   Setelah menerima banyak petunjuk dari Ceng Hok Hwesio, berangkatlah Han Siong meninggalkan kuil itu. Tentu saja telah terjadi perubahan besar selama tiga belas tahun ini atas dirinya. Ketika dia datang bersama kakek buyutnya, dia hanya seorang anak laki-laki berusia tujuh tahun yang belum tahu apa-apa, hanya memiliki dasar-dasar ilmu silat yang diajarkan oleh kakek buyutnya. Kini, dia telah menjadi seorang pemuda dewasa. Bukan saja luas pengetahuannya karena dia tekun mempelajari sastera dari kitab-kitab yang banyak terdapat di kuil itu.

   Akan tetapi juga dia telah digembleng secara tekun selama delapan tahun ini oleh suami isteri sakti Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu. Selain telah melatih diri dengan tiga belas jurus Pek-sim-kun yang merupakan inti dari ilmu silat perkumpulan Pek-sim-pang, juga dia telah digembleng oleh Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu yang memiliki bermacam-macam ilmu silat. Juga ilmu yang baru didapatkan oleh dua orang itu, yaitu ilmu Kwan-im Kiam-sut dan Kwan-im Sin-kun telah dipelajarinya dengan baik sekali. Selain semua ilmu silat itu, juga dari subonya, Toan Hui Cu, Han Siong telah pula mempelajari ilmu Hoat-sut atau sihir yang mempergunakan kekuatan hitam untuk menundukkan
(Lanjut ke Jilid 11)
Pendekar Mata Keranjang (Seri ke 09 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 11
lawan! Hal ini tidaklah aneh karena Toan Hui Cu adalah puteri dari Raja dan Ratu Iblis yang selain tinggi sekali ilmu silatnya, juga merupakan datuk-datuk sesat.

   Han Siong melakukan perjalanan cepat, menuju ke Secuan karena dia akan mencari keluarganya lebih dahulu sambil mendengarkan kalau-kalau ada jejak Bi Lian. Musim salju telah tiba dan di mana-mana hawanya dingin bukan main. Pohon-pohon yang sudah kehilangan daun-daunnya di musim rontok, kini dihias salju seperti kapas putih bersih, membuat pohon-pohon itu nampak seperti hiasan-hiasan yang indah. Han Siong berjalan seorang diri melalui jalan yang tertutup salju. Hujan salju baru saja berhenti dan biarpun cuaca nampak sudah terang, namun dinginnya bukan kepalang. Han Siong mengenakan jubah yang cukup tebal, dan ini pun harus dibantu dengan pengerahan sinkang yang membuat tubuhnya terasa hangat.

   Nampak uap putih agak tebal keluar dari hldung dan mulutnya setiap kali dia menghembuskan napas. Pemuda ini telah menjadi seorang laki-laki dewasa yang tampan. Wajahnya yang berbentuk bulat itu memiliki kulit muka yang putih dan kedua pipinya membayangkan warna kemerahan yang sehat. Demikian pula bibirnya nampak merah tanda sehat. Alisnya lebat dan hitam, sepasang matanya yang agak sipit itu bersinar terang dan tajam lembut. Tubuhnya sedang dan tegap, kaki tangannya juga padat dan nampak kuat karena sejak kecil Han Siong melakukan segala macam pekerjaan yang kasar di dalam kuil, seperti menebang pohon, membelah kayu dan memikul air. Gerak-geriknya halus dan wajah itu anggun dan kemerahan bersinar dari pandang mata dan gerak bibirnya.

   Han Siong adalah seorang pemuda yang sederhana. Pakaian yang menempel di tubuhnya adalah pakaian yang diterimanya dari pemberian Ceng Hok Hwesio, terbuat dari kain kasar berwarna putih dan kuning. Jubah tebal itu terbuat dari kapas, akan tetapi juga kasar, seperti yang dipakai oleh para hwesio kuil itu di musim salju. Buntalan pakaiannya hanya terisi beberapa potong pakaian dan juga pedang Kwan-im-kiam pemberian gurunya, dan sedikit uang perak yang berada di dalam buntalannya adalah pemberian Toan Hui Cu. Hari telah menjelang senja ketika dia tiba di puncak bukit itu. Sebuah bukit gundul yang hanya ditumbuhi pohon-pohon yang kini sudah menjadi hiasan putih dari salju. Tempat itu nampak lengang dan dinginnya bukan kepalang. Han Siong memandang ke bawah, ke arah timur. Di lereng itu terdapat sebuah dusun, pikirnya girang.

   Di musim salju begini, dia harus mendapatkan rumah penduduk atau setidaknya guha atau tempat yang terlindung untuk melewatkan malam. Tidak seperti di musim lain, di mana dia dapat saja melewatkan malam di bawah pohon sambil membuat api unggun. Tersesat di tempat yang tidak terlindung dalam musim dingin seperti ini, amatlah berbahaya. Orang dapat mati kedinginan. Ketika Han Siong hendak menuruni bukit itu dengan cepat agar tidak sampai kemalaman tiba di dusun di lereng itu, tiba-tiba dia mendengar suara orang tertawa-tawa. Suara ketawa itu parau dan aneh, juga menyeramkan. Di tempat sunyi seperti itu, di mana hawa dingin membuat orang menggigil, bagaimana tiba-tiba saja terdengar suara orang tertawa-tawa? Han Siong merasa tertarik dan cepat dia menghampiri tempat dari mana datangnya suara itu, yaitu dari balik sebuah batu gunung.

   Ketika dia tiba di balik batu besar itu, Han Siong berdiri tertegun, bahkan matanya terbelalak memandang ke depan. Penglihatan di depan memang sungguh luar biasa sekali. Seorang kakek sukar ditaksir berapa usianya, berkepala gundul, berperut gendut sekali, sehingga tubuhnya nampak serba bulat, sedang membuat sebuah boneka salju! Hebatnya kakek yang tertawa-tawa itu bertelanjang dada, hanya memakai celana panjang saja, disambung sepatu rumput. Dalam hawa sedingin itu bertelanjang badan atas, sungguh merupakan hal yang luar biasa sekali. Apalagi masih sempat tertawa-tawa dah bermain-main seorang diri membuat boneka salju, tertawa dan membentuk boneka besar itu, sebesar dirinya, bahkan boneka itu pun menyerupai dirinya, seorang kakek gundul dengan perut gendut bukan main!

   Biarpun Han Siong belum memiliki banyak pengalaman di dunia persilatan, namun melihat keadaan kakek gendut itu, dia dapat menduga bahwa tentu dia bertemu dengan seorang kakek yang sakti. Baru keadaannya setengah telanjang di antara salju itu saja sudah membuktikan akan kesaktiannya. Tanpa memiliki sin-kang yang luar biasa kuatnya, tidak mungkin orang dapat bertahan bermain-main dengan salju dengan tubuh atas telanjang. Dan masih dapat tertawa-tawa pula! Maka dia pun bermaksud untuk meninggalkan kakek itu, tidak ingin perjalanannya menuju ke dusun di bawah itu terganggu dan terlambat. Dia sudah memutar tubuh untuk pergi ketika terdengar suara dari belakangnya, suara yang parau dan nyaring.

   "Heiii! "Enak saja kau. Berhenti!"

   Tentu saja Han Siong terkejut mendengar teguran yang tidak ramah, bahkan agak kasar ini. Dia tidak mau mencari urusan, maka dia pun membalik, memandang dengan wajah ramah penuh hormat.

   "Maaf, saya tidak ingin mengganggu keasyikan Locianpwe."

   Kata Han Siong, menyebut Locianpwe (Orang Tua Perkasa) dan bersikap hormat karena dia yakin bahwa kakek itu seorang sakti. Sejenak kakek itu memandang penuh perhatian dan Han Siong melihat betapa sinar mata yang mencorong itu seolah-olah mendatangkan rasa hangat ketika menyoroti tubuhnya. Diam-diam ia bergidik.

   "Orang muda, engkau datang melihat pekerjaanku tanpa diundang, maka kini engkau tidak boleh pergi begitu saja tanpa perkenanku!"

   Han Siong terkejut, akan tetapi menahan sabar. Dia melihat kakek itu kini sudah melanjutkan pekerjaannya membuat boneka besar dari salju itu, agaknya sudah lupa kepadanya karena tidak mempedulikannya sama sekali. Han Siong berdiri saja menonton, tidak tahu harus berbuat apa, akan tetapi merasa lebih aman untuk tutup mulut untuk sementara ini. Jelas bahwa kakek ini berwatak kasar dan aneh, dan siapa tahu dia akan mendapat kesukaran kalau dia memaksa diri pergi meninggalkan kakek itu.

   Maka dia berdiri menonton, merasa betapa kedua kakinya hampir beku karena hawa dingin dari tanah berlapis salju itu seperti menembus sepatunya dan meresap masuk ke dalam kedua kaki melalui telapak kakinya. Terpaksa dia mengerahkan sin-kangnya ke arah kedua kaki, memaksa hawa dingin itu turun kembali dan karena pengerahan sinkang ini, maka uap putih mengepul tebal dari kepalanya. Ada setengah jam Han Siong berdiri menonton. Dia pikir kalau kakek itu sudah selesai membuat boneka salju, tentu dia diperbolehkan pergi. Akan tetapi kakek itu masih terus memperbaiki boneka yang sudah selesai itu dan dia merasa betapa cuaca mulai agak gelap. Dia khawatir tidak akan dapat masuk ke dusun itu dalam waktu yang tepat, yaitu sebelum malam tiba.

   "Locianpwe, maafkan saya. Saya harus pergi sekarang, khawatir kalau sampai kemalaman sebelum tiba di dusun bawah itu."

   "Kemalaman atau tidak bukan urusanku. Engkau sudah datang dan melihat, sekarang katakan bagaimana dengan hasil seni ciptaanku ini, miripkah dengan aku, baguskah?"

   

Siluman Gua Tengkorak Eps 2 Pendekar Sadis Eps 39 Harta Karun Jenghis Khan Eps 4

Cari Blog Ini