Pendekar Mata Keranjang 16
Pendekar Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Bagian 16
"Harap Cu-wi memaafkan saya. sekarang setelah saya mendengar dari Cu-wi tentang rahalsia diri saya, maka saya mohon pamit. Terima kasih atas pertolongan yang diberikan oleh Locianpwe Pek Khun kepada mendiang Ibu saya dan kepada saya sendiri karena kalau tidak ditolong, tentu saya sudah mati bersama Ibu dan... tidak akan mendengar kenyataan yang amat pahit ini. Dan maafkanlah bahwa saya telah membikin repot keluarga Pek yang budiman."
Hati tiga orang itu merasa kasihan, bahkan Pek Eng memandang dengan terharu, walaupun di dalam hatinya ia pun memandang rendah. Anak seorang jai-hwa-cat yang lahir dari hubungan perkosaan!
"Jangan berkata demikian... Tang-taihiap"
Kata Pek Ki Bu.
"Bagaimanapun juga, keluarga kami berhutang budi kepadamu dan pernah melakukan kesalahan kepada dirimu ketika engkau masih bayi. Engkau telah menyelamatkan Pek Han Siong dari pengejaran orang, dan kami bahkan telah menggantikan tempatnya dengan engkau sehingga engkau menjadi perebutan orang-orang kang-ouw. Maafkanlah kami."
"Tidak, tidak.. Dan harap Locianpwe jangan menyebut Taihiap (Pendekar Besar) kepada saya. Saya hanya... hanya anak jai-hwa-cat..."
Hay Hay memberi hormat lagi dan hendak pergi ketika pada saat itu seorang pelayan masuk ke ruangan dan melaporkan bahwa ada tamu-tamu dari Cin-an, yaitu keluarga Song, datang berkunjung. Mendengar ini, wajah Pek Ki Bu dan Pek Kong berseri-seri.
"Aih, kiranya mereka yang datang! Tang-taihiap, kuharap engkau tidak tergesa-gesa pergi karena kami masih ingin berbincang-bincang denganmu mengenai masa lampau. Marilah kami perkenalkan dengan tamu-tamu terhormat, yaitu keluarga Song yang gagah perkasa dari Cin-an, keluarga para pimpinan Kang-jiu-pang (Perkumpulan Tangan Baja) yang amat terkenal sebagai pejuang-pejuang dan pendekar-pendekar yang budiman."
Hay Hay yang baru saja menemukan dirinya dan masih berada dalam keadaan nelangsa, sebenarnya ingin sekali pergi. Akan tetapi karena pihak tuan rumah meminta dengan sangat, dan dia pun tertarik mendengar datangnya keluarga pendekar yang terkenal dan ingin melihat mereka, dia pun menerima tanpa banyak cakap dan bersama rombongan tuan rumah dia pun ikut keluar menyambut tamu. Rombongan tamu itu terdiri dari tiga orang. Orang pertama adalah seorang laki-laki berusia kurang lebih lima puluh tahun, jangkung kurus dan muka keras dan mata membayangkan kejujuran dan kekuatan. Orang ini adalah ketua perkumpulan Kang-jiu-pang dan bernama Song Un Tek.
Orang ke dua adalah adiknya yang berusia empat puluh lima tahun yang bertubuh pendek gendut seperti bola dan yang memiliki muka bulat yang selalu tersenyum mengejek. Orang ini bernama Song Un Sui, tidak kalah terkenalnya dibandingkan kakaknya yang menjadi pangcu dari Kang-jiu-pang karena ilmu silatnya yang tinggi dan jiwanya yang patriotik. Hanya sedikit sayang bahwa si gendut Song Un Sui ini agak tinggi hati, terlalu mengandalkan kepandaian sendiri dan suka memandang rendah orang lain. Adapun orang ke tiga merupakan seorang pemuda berusia dua puluh dua tahun yang bertubuh tinggi besar, gagah sekali nampaknya dengan pakaian seperti seorang pendekar dan di pinggangnya tergantung sebatang pedang, yang berada dalam sarung pedang terukir indah dan terhias ronce merah di bagian gagangnya.
Pemuda ini adalah putera Ketua Kang-jiu-pang bernama Song Bu Hok, dan dia telah digembleng oleh ayahnya dan pamannya, mewarisi ilmu kepandaian mereka dan juga jiwa kepahlawanan mereka. Akan tetapi, Bu Hok ini pun agaknya mewarisi ketinggian hati pamannya, hal ini nampak pada pandangan matanya dan tarikan dagunya yang gagah. Perkumpulan Kang-jiu-pang belum tua benar umurnya. Didirikan oleh mendiang ayah dari kedua orang pimpinan Kang-jiu-pang itu, yaitu Song Pak Lun, seorang bekas perwira tinggi di Pao-teng yang berjiwa pahlawan. Karena merasa tidak setuju dengan sepak terjang Kaisar Ceng Tek, yaitu kaisar yang lalu sebelum Kaisar Cia Ceng yang sekarang, karena Kaisar Ceng Tek terlalu percaya kepada para pembesar Thaikam (Orang Kebiri) sehingga kekuasaan hampir dicengkeram oleh para thaikam, maka Song Pak Lun lalu mendirikan perkumpulan Kang-jiu-pang.
Perkumpulan ini terdiri dari orang-orang gagah yang menentang kekuasaan para thaikam demi menyelamatkan rakyat daripada penekanan dan penindasan, dan berpusat di dekat kota Cin-an di Lembah Sungai Huang-ho. Setelah Kakek Song Pak Lun meninggal dunia, Kang-jiu-pang diketuai oleh puteranya, yaitu Song Un Tek yang dibantu oleh adiknya, Song Un Sui itu. Dua orang kakak beradik inilah yang menjadi pimpinan Kang-jiu-pang, akan tetapi karena kini tidak terdapat lagi thaikam yang ditentang seperti ketika jaman ayah mereka, setelah thaikam yang lalim ditangkap dan dihukum, maka perkumpulan itu lebih menyerupai perkumpulan orang gagah. Murid-murid Kang-jiu-pang, seperti para murid perkumpulan orang gagah lainnya, bertindak seperti para pendekar yang menentang dunia hitam atau kaum sesat di dunia kang-ouw.
Nama Kang-jiu-pang menjulang tinggi karena sepak terjang anak buahnya yang rata-rata merupakan pendekar yang gagah perkasa. Telah lama terjalin persahabatan antara pimpinan Kang-jiu-pang dan pimpinan Pek-sim-pang, maka dapat dibayangkan betapa gembira pihak Pek-sim-pang menerima kunjungan para sahabat mereka itu. Karena sudah menjadi sahabat yang akrab dan lama, maka Souw Bwee dan Pek Eng tidak ketinggalan menyambut para tamu, walaupun tamu itu hanya tiga orang laki-laki belaka. Pek Eng juga sudah mengenal Song Bu Hok, bahkan sudah berteman dengan pemuda tinggi besar itu. Ketika pihak tuan rumah yang diikuti oleh Hay Hay keluar dari dalam, tiga orang tamu yang tadinya duduk di ruangan tunggu itu bangkit berdiri dan memberi hormat.
"Aihh, angin apakah yang membawa Sam-wi melayang-layang ke sini dari Cin-an?"
Kata Pek Kong dengan gemblra.
"Kami harap Pangcu sekeluarga dalam sehat dan Kang-jiu-pang menjadi semakin besar dan jaya."
Kata pula Pek Ki Bu dengan wajah gembira. Dia pun telah menjadi sahabat Song Pak Lun ketika kakek itu masih hidup dan menjadi Ketua Kang-jiu-pang.
"Kami baik-baik saja, terima kasih dan mudah-mudahan Pek-sim-pang semakin maju dan para keluarga Pek juga dalam sehat bahagia."
Jawab Song Un Tek dan Song Un Sui dengan ramah. Akan tetapi Song Bu Hok yang tadinya memandang kepada Pek Eng dengan wajah berseri, kini mengerutkan alisnya melihat munculnya seorang pemuda tampan yang tak dikenalnya di belakang gadis itu. Dia menatap tajam dan lupa untuk memberi salam.
"Bu Hok, kenapa engkau diam saja?"
Ayahnya menegur dan menoleh, kemudian dia pun melihat ke arah yang dipandang puteranya dan dia melihat pula pemuda di belakang Pek Eng itu.
"Pek-locianpwe dan Paman Pek Kong, terimalah hormat saya. Bibi, terimalah hormat saya."
Kata Bu Hok. Akan tetapi kini Song Un Tek yang menatap tajam ke arah Hay Hay, lalu berseru.
"Aha! Kalau tidak keliru dugaanku, pemuda yang gagah ini tentu putera kalian, Pek Han Siong alias Sin-tong itu yang sudah pulang! Benarkah?"
Mendengar seruan ayahnya, pandang mata yang tadinya keruh dan penuh curiga dari Bu Hok segera terganti cerah dan berseri.
"Aih, Eng-moi, inikah kakakmu yang amat terkenal sebagai Sin-tong?"
Tanyanya kepada Pek Eng.
"Jangan sembarang sangka, Song-toako!"
Kata Pek Eng cemberut. Tak senang hatinya mendengar sangkaan orang bahwa ia adalah adik Hay Hay, pemuda mata keranjang keturunan jai-hwa-cat itu!
"Kalian salah sangka."
Pek Kong menerangkan dengan ramah.
"Pemuda ini adalah seorang tarnu kami yang baru saja datang, namanya adalah... Tang Hay. Mari silakan duduk di dalam."
Berbondong-bondong mereka memasuki rumah dan tak lama kemudian mereka sudah duduk di ruangan dalam yang luas. Hay Hay yang juga dipersilakan duduk, mengambil tempat duduk di sudut, agak jauh dari rombongan tamu dan tuan rumah yang sedang bercakap-cakap dengan meriah dan gembiranya itu. Bahkan dia melihat betapa Pek Eng bercakap-cakap dengan ramah pula bersama pemuda tinggi besar yang gagah itu. Akan tetapi dia melihat pula pemuda tinggi besar itu berkali-kali melempar kerling ke arahnya, dengan sinar mata yang tidak ramah, akan tetapi dia pura-pura tidak melihatnya.
"Song-pangcu, bagaimana kabarnya di kota raja? Engkau baru saja datang dari sana, dekat kota raja, tentu banyak mendengar tentang keadaan di sana. Jangan-jangan kalian ini datang membawa kabar buruk yang akan membangkitkan kembali Kang-jiu-pang menjadi pejuang-pejuang yang gagah dan mengobarkan perang!"
Kata Pek Kong.
"Ah, untung tidak demikian, Pek-pangcu. Keadaan kota raja kini tenteram saja semenjak Kaisar Cia
(Lanjut ke Jilid 15)
Pendekar Mata Keranjang (Seri ke 09 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 15
Ceng memegang tahta kerajaan. Semua ini berkat kebijaksanaan dua orang Tiong-sin (Menteri Setia) di istana.."
"Kau maksudkan dua orang Menteri Yang Ting Hoo dan Cang Ku Ceng?"
Pek Ki Bu menyela.
"Benar sekali, Paman."
Kata Song Un Tek. Kakek Pek Ki Bu menarik napas panjang.
"Benar kata para cerdik pandai di jaman dahulu bahwa kalau negara merupakan sebatang pohon besar, maka kaisar dan para pejabat tinggi yang membantunya merupakan batang dan akar-akarnya. Kalau batang dan akar-akarnya sehat dan subur, maka semua cabang, ranting, daun dan bunga serta buahnya tentu akan sehat dan subur pula. Sebaliknya, kalau kaisar dan para pembesar yang membantunya busuk, tentu negara akan menjadi rapuh dan kehidupan rakyat menjadi sengsara."
"Benar sekali, Paman."
Kata pula ketua Kang-jiu-pang.
"Memang besar sekali jasa dua orang menteri bijaksana itu, sehingga para Kan-sin (Menteri Durna) menjadi keder dan kehilangan pengaruh, bahkan banyak yang mengundurkan diri. Mudah-mudahan saja Sribaginda Kaisar Cia Ceng ini akan dapat membuat Kerajaan Beng menjadi benar-benar Beng (Terang) dan rakyat dapat hidup sejahtera."
"Sayang sekali bahwa para pimpinan itu tidak seperti akar dan batang pohon yang hanya bekerja demi kehidupan pohon seutuhnya, juga kepentingan daun-daunnya, cabang ranting kembang dan buahnya. Para pimpinan itu biasanya hanya memikirkan kepentingan dan kesenangan diri sendiri belaka. Di waktu perjuangan, mereka membujuk rakyat, menggandeng rakyat untuk memperoleh kekuatan, dengan segala macam slogan dan kata-kata indah patriotik, akan tetapi setelah berhasil memperoleh kemenangan dan mereka itu berkuasa, mereka lupa sama sekali kepada rakyat jelata. Mereka lupa bahwa tanpa dukungan rakyat, tanpa bantuan rakyat, mereka tidak mungkin dapat memperoleh kemenangan dan memperoleh kedudukan mereka yang sekarang."
Kata Kakek Pek Ki Bu. Song Un Tek, ketua Kang-jiu-pang tersenyum lebar dan mengangguk-angguk.
"Kiranya hal itu tidak mengherankan, Paman, karena bagaimanapun juga, para pimpinan itu hanyalah manusia-manusia biasa dan manusia memang lemah, mudah mabok kekuasaan. Akan tetapi, ada pula pemimpin yang benar-benar memperhatikan kepentingan rakyat jelata, ada yang agak memperhatikan, dan ada pula yang sama sekali tidak. Yang sama sekali tidak memperhatikan ini, yang hanya mengejar kesenangan pribadi berlandaskan kekuasaan yang didapatnya dengan bantuan rakyat, adalah pembesar lalim dan orang seperti itu pasti lambat laun akan digilas oleh roda perputaran dunia yang adil."
Kedua pimpinan perkumpulan orang-orang gagah itu bercakap-cakap tentang perjuangan, tentang kepahlawanan, didengarkan oleh Hay Hay yang dlam-diam merasa kagum kepada mereka. Dia sendiri tidak tertarik oleh urusan itu, namun dia dapat merasakan bahwa kedua pihak yang sedang bercakap-cakap itu memang orang-orang gagah perkasa yang patut dihormati. Kalau dia teringat betapa orang-orang muda seperti Pek Eng dan Song Bu Hok ini adalah keturunan orang-orang tua yang gagah perkasa dan terhormat, sedangkan dia sendiri adalah anak seorang jai-hwa-cat, hatinya terasa seperti ditusuk-tusuk dan dia pun menundukkan mukanya, merasa betapa dirinya rendah dan hina. Akan tetapi hanya sebentar saja dia berhal demikian. Wataknya yang periang dan tidak pernah mau terbenam di dalam perasaannya, membuat wajahnya menjadi cerah.
"Song-pangcu, selain ingin bertemu karena rindu, agaknya Pangcu mempunyai urusan penting yang dibawa dari rumah. Benarkah dugaanku itu dan kalau memang ada urusan penting, harap segera disampaikan kepada kami."
Pek Kong berkata kepada temannya. Song Un Tek tertawa dan mengangguk-angguk, mengelus jenggotnya yang pendek dan lebat.
"Tidak salah dugaanmu, Pek-pangcu. Aku teringat akan permufakatan kita pada awal perkenalan kita dahulu dan ingin sekali menegaskan kepada keluarga Pek. Akan tetapi karena yang akan dibicarakan ini urusan orang-orang tua, dapatkah kita bicara sendiri?"
Dia mengerling ke arah Pek Eng dan Hay Hay. Pek Kong dan isterinya tersenyum, kemudian Pek Kong berkata kepada puterinya,
"Eng-ji, kau ajaklah Song Bu Hok dan Tang Hay berjalan-jalan di taman bunga. Biar kami orang-orang tua bicara sendiri dan kalian orang-orang muda bersenang-senang di taman."
Sebetulnya Pek Eng ingin mendengarkan terus percakapan mereka, maka hatinya merasa kecewa dan tidak senang mendengar perintah ayahnya. Akan tetapi ia juga tidak berani membantah, maka ia memandang dengan alis berkerut dan merasa malas untuk bangkit berdiri.
"Eng-moi, marilah!"
Tiba-tiba Song Bu Hok yang bangkit lebih dulu dan berkata dengan wajah berseri.
"Mari kita pergi ke taman, aku ingin sekali melihat betapa hebatnya kemajuan ilmu silatmu sejak dua tahun yang lalu."
Ajakan ini membuat Pek Eng bangkit berdiri dan timbul kegembiraannya. Memang gadis ini paling suka kalau bicara tentang ilmu silat, apalagi untuk saling menguji kepandaian. Dua tahun yang lalu pernah ayahnya mengajak ia merantau dan singgah di perkampungan Kang-jiu-pang di mana ia berkenalan dengan Song Bu Hok, bahkan berkesempatan untuk saling menguji kepandaian masing-masing. Akan tetapi pada waktu itu, usianya baru empat belas tahun lebih sedangkan Song Bu Hok sudah berusia dua puluh tahun sehingga tentu saja ia masih kalah matang dalam latihan. Kini, ia telah lebih matang dan ia ingin sekali melihat apakah kini ia dapat mengatasi kepandaian putea Ketua Kang-jiu-pang itu.
"Mari...!"
Katanya sambil bangkit berdiri dan melangkah pergi bersama putera Ketua Kang-jiu-pang itu.
"Eng-ji, ajak dia!"
Kata Ibunya sambil menunjuk ke arah Hay Hay yang masih duduk karena tidak diajak pergi. Barulah Pek Eng teringat akan tetapi alisnya berkerut ketika ia menoleh kepada Hay Hay.
"Mari ikut dengan kami."
Ajakya, suaranya agak kaku. Akan tetapi Hay Hay tersenyum ramah. Dia bangkit berdiri dan berkata.
"Terima kasih, Nona, engkau baik sekali!"
Melihat sikap dan mendengar ucapan ini, Bu Hok mengerutkan alisnya dan memandang tajam. Pemuda itu tampan dan pandai menarik hati, pikirnya, dan dia merasa adanya seorang saingan yang berbahaya. Dari mana sih munculnya pemuda ini, pikirnya. Ayah dan pamannya mengajaknya berkunjung ke sini untuk mengajukan pinangan terhadap Pek Eng, untuk menjadi jodohnya, seperti pernah disetujui bersama oleh kedua orang tua mereka ketika mereka masih kecil.
Dia sendiri memang telah tergila-gila dan amat tertarik sejak dua tahun yang lalu dia, bermain dengan Pek Eng yang ketika itu baru berusia empat belas tahun lebih namun sudah amat lincah menarik. Kini, dua tahun kemudian, ternyata Pek Engtelah menjadi seorang gadis dewasa yang lebih memikat lagi. Manis bukan main sehingga begitu tadi melihatnya, langsung saja Bu Hok yang memang sudah tertarik sekali itu menjadi jatuh cinta! Akan tetapi di situ terdapat seorang pemuda yang sikapnya demikian manis terhadap Pek Eng! Bu Hok bersikap acuh saja terhadap Hay Hay ketika dia berjalan di samping Pek Eng menuju ke taman di belakang rumah besar keluarga Pek. Hay Hay berjalan di belakang mereka, tersenyum-senyum dan ingin sekali tahu apa yang akan dilakukan dua orang itu terhadap dirinya yang agaknya tidak diinginkan kehadirannya.
Dari belakang, dia melihat betapa pinggul Pek Eng yang padat itu menari-nari ketika gadis itu berjalan dengan lenggang yang santai dan lemah gemulai. Pinggangnya yang ceking seperti pinggang lebah kemit itu seperti mau jatuh ke kanan kiri, kedua kaki ketika melangkah itu merapat sehingga lututnya saling bersentuhan. Sungguh seorang dara yang mulai mekar dewasa dengan tubuh yang menggiurkan! Mereka memasuki taman dan ternyata di tengah-tengah taman itu terdapat sebuah taman rumput yang cukup luas dan tempat ini memang biasa dipergunakan Pek Eng untuk berlatih ilmu silat. Enak sekali berolah raga di taman itu, di atas petak rumput dikelilingi bunga-bunga yang indah dan pohon-pohon yang menimbulkan hawa segar. Apalagi berolah raga di waktu pagi-pagi sekali, amat sejuk dan menyegarkan tubuh.
"Eng-moi, aku percaya bahwa engkau sekarang tentu telah memperoleh kemajuan pesat dalam ilmu silatmu. Maukah engkau memainkan ilmu silat keluargamu agar aku dapat mengaguminya?"
Kata Bu Hok. Kalau saja di situ tidak ada Hay Hay, tentu Pek Eng akan suka sekali memamerkan ilmu silat keluarganya. Akan tetapi di situ terdapat Hay Hay dan ia tahu betapa lihainya pemuda ini, jauh lebih lihai dari dirinya, bahkan lebih lihai dari ayahnya dan kakeknya. Bagaimana mungkin ia dapat memamerkan ilmu silatnya di depan seorang yang lihai seperti Tang Hay itu? Ia tentu hanya akan menjadi buah tertawaan saja. Maka sambil melirik ke arah Hay Hay yang berdiri di tepi petak rumput itu, agak menjauh dari mereka, ia pun menggeleng kepala.
"Tidak, Song-toako. Aku sedang lelah sekali karena baru saja tadi di sini datang tiga orang pendeta Lama yang mengacau. Kami semua turun tangan berkelahi dan aku lelah sekali."
"Ahhhh..!"
Bu Hok berseru kaget.
"Tiga orang pendeta Lama membikin kacau di sini? Mana mereka itu sekarang? Biar kuhajar mereka dengan pedangku!"
Katanya dengan sikap angkuh seolah-olah dengan mudah dia akan mampu membasmi mereka yang berani mengacau keluarga gadis itu.
"Mereka sudah pergi. Belum ada satu jam mereka pergi dan engkau bersama Ayah dan pamanmu datang."
"Akan tetapi mengapa ada pendeta-pendeta mengacau? Apakah mereka itu masih terus mendesak dan mencari Kakak kandungmu yang disebut Sin-tong itu?"
Pemuda ini memang sudah mendengar tentang peristiwa yang menimpa keluarga Pek dengan lahirnya kakak Pek Eng yang dianggap Sin-tong dan diminta oleh para pendeta Lama di Tibet. Gadis itu mengangguk.
"Mereka masih terus mencari kakakku yang belum juga pulang. Ah, sudahlah, Toako. Sekarang aku lelah sekali dan kuharap engkau tidak pelit untuk memperlihatkan ilmumu. Tentu Ilmu Silat Tangan Baja darimu kini sudah maju pesat dan engkau tentu sudah menjadi lihai sekali."
Bu Hok adalah seorang yang amat mengagulkan kepandaiannya sendiri. Harus diakui bahwa dia telah mewarisi ilmu kepandaian ayahnya dan pamannya, dan dia dapat dikatakan murid terpandai di Kang-jiu-pang dan tingkatnya hanyalah sedikit di bawah tingkat ayahnya dan pamannya!
"Ilmu silat tangan kosong dari Kang-jiu-pang telah kukuasai semua, Eng-moi, dan latihanku telah matang dan mencapai puncaknya. Kiranya hanya Ayah dan Paman saja yang dapat mengimbangi aku. Akan tetapi itu masih belum dapat dinamakan maju pesat. Dengan bantuan Ayah dan Paman, aku telah dapat merangkai semacam ilmu pedang yang bersumber dari gerakan Ilmu Silat Tangan Baja, dan karena itu, kuberi nama Ilmu Pedang Tangan Baja (Kang-jiu-kiam). Ilmu pedang ini sedang kulatih terus dan kuperbaiki dengan petunjuk-petunjuk Ayah dan Paman, dan aku baru akan puas kalau dapat menciptakan ilmu pedang itu sebagai ilmu pedang terkuat di dunia persilatan."
Pek Eng memandang kagum. Pemuda Kang-jiu-pang ini memang selalu mengagumkan hatinya, seorang pemuda yang gagah dan selalu bersikap ramah dan manis kepadanya sebagai seorang sahabat baik atau seorang kakak yang bersikap melindungi.
Akan tetapi kini kekagumannya terhadap Bu Hok ternoda oleh kenyataan bahwa kiranya tidak mungkin Bu Hok lebih pandai dari pemuda anak jai-hwa-cat yang berdiri di sudut petak rumput itu! Hay Hay seperti merusak semua kegembiraannya, membuat segalanya meniadi tawar. Akan tetapi juga kini sikap Bu Hok dan sikap Hay Hay membuat Pek Eng melihat kenyataan lain yang menggugah hatinya. Dia telah melihat sendiri kelihaian Hay Hay yang mampu mengusir tiga orang pendeta Lama yang berilmu tinggi tadi, akan tetapi sikap Hay Hay demikian merendah, bahkan kelihatan seperti seorang pemuda lemah dan tolol, sedikit pun tidak menonjolkan kepandaiannya. SebaliKnya, kini dalam pandang matanya, Bu Hok kelihatan terlalu mengagulkan dirinya! Maka, timbullah keinginan hatinya untuk mengadu kedua orang pemuda ini!
"Song-toako, perlihatkanlah ilmu silatmu agar aku dan... Saudara Tang Hay di sana itu dapat mengaguminya."
Bu Hok menoleh ke arah Hay Hay, agaknya baru sekarang dia teringat bahwa Hay Hay berada di situ bersama mereka.
"Baik, aku akan berdemonstrasi untukmu, Eng-moi. Akan tetapi apakah dia itu akan dapat menilai dan menghargai ilmu silatku? Seorang laki-laki yang tidak pandai ilmu silat adalah seperti seekor harimau yang kehilangan taring dan kukunya, tidak ada harganya lagi."
"Aih, Song-toako, jangan pandang rendah kepada dia itu. Ilmu silatnya lihai sekali dan kita berdua bukanlah tandingannya!"
Pek Eng berkata sungguh-sungguh akan tetapi juga bermaksud membakar hati Bu Hok. Mendengar ucapan ini, Bu Hok memandang kepada Hay Hay dengan sinar mata tajam penuh selidik, alisnya berkerut dan hatinya sama sekali tidak percaya. Dia lalu menghampiri Hay Hay dan dengan sikap hormat namun angkuh dia bertanya.
"Saudara Tang Hay, benarkah engkau lihai sekali dalam ilmu silat?"
Hay Hay sejak tadi tersenyum saja dan kini menghadapi pertanyaan putera Ketua Kang-jiu-pang, dia tersenyum makin lebar. Dari sikap pemuda itu, dia tahu bahwa pemuda tinggi besar itu agaknya tertarik atau bahkan jatuh cinta kepada Pek Eng dan dalam gerak-gerik dan kata-katanya, juga pandang mata dan ucapannya, jelas bahwa pemuda tinggi besar itu sedang berusaha untuk memamerkan diri dan memancing kekaguman dari gadis itu. Hal ini dianggapnya wajar dan dia tidak merasa heran kalau pemuda itu agak angkuh dan sombong nampaknya, memang demikian sikap orang yang ingin menonjolkan diri untuk menarik perhatian seorang gadis.
"Ah, tidak, Song-kongcu (Tuan Muda Song), aku hanya mempelajari sedikit saja gerakan untuk membela diri."
Katanya merendah karena dia tidak ingin mengurangi nilai pribadi yang sedang dipupuk oleh pemuda Kang-jiu-pang itu. Akan tetapi Song Bu Hok masih belum merasa puas. Gadis tadi mengatakan bahwa ia berdua dengan dirinya tidak akan mampu menandingi pemuda yang senyum-senyum tolol ini!
"Saudara Tang, engkau dari perguruan manakah?"
Tanyanya pula, agak lega bahwa setidaknya pemuda tni menyebut "kongcu! kepadanya, tanda bahwa pemuda ini menghormat dan menghargainya, dan tahu bahwa derajatnya lebih tinggi daripada pemuda itu. Kembali Hay Hay menjawab sambil tersenyum,
"Ah, aku hanya belajar begitu saja, tidak dari perguruan mana pun."
Tentu saja Bu Hok tidak percaya. Kalau bukan dari perguruan yang terkenal, tak mungkin Pek Eng memujinya, dan lebih tidak mungkin lagi pemuda ini dapat berkenalan dengan keluarga Pek dan agaknya diterima oleh keluarga itu dengan baik dan hormat.
"Kalau begitu, bagaimana engkau dapat berada di sini sebagai tamu keluarga Pek yang terhormat?"
Dia menuntut, dan matanya memandang penuh selidik, alisnya berkerut dan wajahnya membayangkan ketidaksenangan dan keraguan. Diam-diam Hay Hay merasa mendongkol juga. Pemuda ini boleh saja tidak menganggapnya sederajat, boleh saja tidak memperhatikannya, akan tetapi kenapa Pek Eng juga mengacuhkannya? Bukankah gadis itu tadi sudah mendengar semua penuturan tentang dirinya? Hemm, agaknya gadis ini merasa malu untuk menerimanya sebagai seorang sahabat dan tamu.
"Begini, Song-kongcu. Keluarga Pek sudah sedemikian baik dan ramahnya terhadap diriku sehingga ketika untuk pertama kali tadi aku tiba di sini, aku disambut rangkulan dan ciuman, tidakkah begitu, Nona Pek Eng?"
Tiba-tiba wajah Pek Eng menjadi merah sekali.
"Ihhh...!"
Ia mengeluarkan seruan kaget akan tetapi tidak dapat menjawab, hanya memandang wajah Hay Hay dengan muka merah dan mata terbelalak.
"Eng-moi, apa. artinya itu? Kalau dia bermaksud menghina..."
Bu Hok mengepal tinjunya, sinar matanya mengandung ancaman.
"Dia datang tiba-tiba dan kami sekeluarga menyangka bahwa dia kakakku Pek Han Siong, karena itu aku dan Ibu yang mengira dia kakakku, menyambutnya dengan gembira dan... dan menciumnya. Dia tidak berhak untuk mengingat-ingat hal itu dan membicarakannya!"
Pek Eng berterus terang dan memandang kepada Hay Hay dengan marah.
"Aku tidak mengingat-ingat, akan tetapi peristiwa itu takkan terlupakan selama hidupku, Nona."
"Dasar engkau laki-laki.. mata keranjang!"
Pek Eng berseru marah.
"Buah takkan jatuh terlalu jauh dari pohonnya!"
Dengan ucapan ini Pek Eng mengingatkan bahwa Hay Hay tidak akan banyak berbeda dengan ayahnya yang jai-hwa-cat itu. Mendengar ini, wajah Hay Hay menjadi merah dan matanya yang tadinya bersinar-sinar kini menjadi sayu dan muram, akan tetapi dia tidak berkata apa-apa. Sebaliknya, mendengar seruan gadis itu, Bu Hok tertarik dan dia segera mendesak.
"Eng-moi, dia putera siapakah?"
Dia mengharapkan keterangan gadis itu dan menduga bahwa tentu pemuda itu putera seorang datuk sesat. Akan tetapi Pek Eng sudah merasa menyesal bahwa ia telah mengumbar kemarahannya. Ia menggeleng kepala dan menjawab dengan sikap acuh.
"Sudahlah, tak perlu mengurus keadaan orang lain, Toako. Perlihatkanlah ilmu silatmu dan dia sebagai tamu kami boleh saja kalau mau menonton."
Bu Hok tidak mendesak, akan tetapi merasa penasaran bahwa pemuda itu telah disambut oleh Pek Eng dengan ciuman! Dia membayangkan betapa mesranya mereka itu saling berciuman, dan makin dibayangkan, makin panaslah hatinya, panas oleh cemburu dan iri!
"Saudara Tang Hay, mendengar bahwa Saudara lihai sekali, marilah kita main-main sebentar untuk menggembirakan Nona rumah kita. Bagaimana?"
"Ah, tidak, Song-kongcu, aku... aku tidak bisa..."
"Hemm, kenapa pura-pura? Kalau hanya untuk sekedar pi-bu (pertandingan silat) secara persahabatan, apa salahnya?"
Pek Eng berkata.
"Tidak, aku tidak berani main-main dengan Song-kongcu. Silakan Kongcu bersilat sendiri, biar aku menonton saja untuk menambah pengetahuanku."
Song Bu Hok membusungkan dadanya, merasa bangga. Orang ini tidak berani! Dia tersenyum mengejek, mengangguk dan berkata kepada Pek Eng.
"Kalau dia tidak berani, aku pun tidak perlu memaksanya. Lihat aku akan bermain pedang, Eng-moi, dan coba engkau menilainya, apakah permainan pedangku cukup baik."
Berkata demikian, pemuda itu menggerakkan tangannya dan nampaklah sinar terang berkelebat ketika pedang itu telah tercabut dari sarungnya. Sebatang pedang yang bagus, berkilauan saking tajamnya, terbuat dari baja yang pilihan.
Pendekar Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Song Bu Hok memang bertubuh gagah dan kini dia beraksi dengan pedangnya, memasang kuda-kuda dengan kedua kaki terpentang lebar, pedangnya menunjuk ke atas di depan dahinya, tangan kiri menyembah di dada, memang hebat sekali. Tiba-tiba dia mengeluarkan seruan nyaring dan pedangnya berkelebat, lalu nampaklah gulungan sinar terang berkelebatan ketika pedangnya digerakkan dengan cepat dan kuat. Diam-diam Hay Hay memperhatikan gerakan pemuda itu. Memang indah dan cukup cepat dan kuat, namun gerakan pemuda itu masih belum masak dan tenaga yang dikandung gerakan itu pun tidak cukup kokoh. Hal ini nampak jelas olehnya, akan tetapi harus diakui bahwa pemuda itu memang gagah sekali dan kalau saja tidak angkuh dan mau belajar dengan tekun, tentu ilmu pedangnya itu akan menjadi ilmu yang ampuh.
Karena ingin memamerkan kepandaiannya, Bu Hok bersilat dengan cepat, setiap kali menusuk atau membabat, dibarengi bentakannya yang nyaring. Kemudian dia mengeluarkdn suara melengking dan pedangnya berubah menjadi sinar bergulung-gulung yang mendekati sebuah pohon di taman itu. Pohon yang tingginya seorang akan tetapi daunnya lebat. Gulungan sinar pedang itu kini menyambar di sekeliling pohon, cepat sekali dan tubuh Bu Hok sendiri tertutup sinar pedang, hanya nampak kedua kakinya berloncatan mengitari pohon kembang itu. Nampaklah daun pohon itu berhamburan dan ketika akhirnya dia menghentikan gerakannya dan berdiri tegak dengan pedang di belakang lengan, pohon itu telah berubah. Kini daun-daun yang tumbuh pada pohon itu terbabat rata dan seperti dicukur bulat dan rapi!
"Kiam-hoat (ilmu pedang) yang bagus!"
Hay Hay memuji, sekedar untuk mengisi kekosongan. Akan tetapi Pek Eng mengerutkan alisnya. Hatinya tidak senang. Pohon bunga itu merupakan satu di antara pohon kesayangannya dan pada waktu itu sudah dekat masanya pohon itu berbunga. Kini dibabat oleh pedang Bu Hok. Alangkah lancangnya orang ini, pikirnya. Kenapa menggunakan pohon itu sebagai sasaran tanpa lebih dulu minta perkenan pemiliknya? Maka, mendengar pujian yang keluar dari mulut Hay Hay, untuk melampiaskan kedongkolan hatinya terhadap Bu Hok yang merusak pohonnya, ia pun berkata ditujukan kepada Hay Hay.
"Ah, tidak perlu pura-pura memuji!"
Kemudian dia menoleh kepada Bu Hok.
"Song-toako, dia memuji dengan mulutnya akan tetapi hatinya tentu mengejek karena aku tahu benar bahwa betapa pun indah dan kuatnya ilmu pedangmu, kalau dipakai melawan dia, tidak ada artiya sama sekali!"
"Nona Pek Eng..!"
Hay Hay berseru kaget. Wajah Song Bu Hok berubah merah saking marahnya dan dengan langkah lebar dia menghampiri Hay Hay.
"Kalau begitu, Saudara Tang, mari beri aku sedikit pelajaran dan hadapilah ilmu pedangku yang jelek!"
"Tidak, Song-kongcu, aku..."
"Apakah harus kukatakan bahwa engkau adalah seorang pengecut yang tidak berani terang-terangan menyatakan dengan mulut, melainkan melontarkan celaan dalam hati saja? Benarkah engkau seorang pengecut?"
"Song Bu Hok..!"
Hay Hay menjadi marah.
"Engkau tidak layak memaki aku sebagai pengecut!"
"Kalau bukan pengecut, hayo hadapi pedangku!"
Teriak Song Bu Hok marah sekali mendengar betapa tadi Pek Eng memuji-muji Hay Hay dan mencelanya.
"Aku tidak ingin berkelahi, sungguhpun aku tidak takut menghadapi pedangmu sama sekali!"
Kata Hay Hay. Ucapan ini merupakan minyak yang menambah berkobarnya api dalam dada Bu Hok. Ucapan bahwa Hay Hay tidak takut menghadapi ilmu pedangnya dianggap sebagai tantangan.
"Kalau begitu, sambutlah pedangku!"
Song Bu Hok berteriak dan teriakan ini diikuti serangannya. Dengan pedangnya dia menusuk ke arah dada, tusukannya cepat dan kuat. Hay Hay mengelak dengan mudah.
"Song-toako, aku berani bertaruh bahwa sampai seratus jurus sekalipun engkau takkan mungkin dapat mengenai tubuhnya dengan pedangmu!"
Ucapan Pek Eng ini bukan sekedar memanaskan hati, rnelainkan karena ia sudah melihat tadi betapa dengan langkah-langkah ajaib, pemuda itu mampu mengelak dari semua serangan pendeta-pendeta Lama yang jauh lebih lihai daripada Bu Hok! Akan tetapi, teriakan ini membuat hati Bu Hok menjadi semakin panas dan penasaran.
"Hendak kulihat sampai di mana hebatnya pengecut ini!"
Bentaknya marah dan dia memperhebat serangannya. Tadinya Hay Hay ingin rneloncat keluar dan tidak melayani putera Ketua Kang-jiu-pang itu, akan tetapi mendengar betapa dia dimaki pengecut lagi, hatinya menjadi panas juga. Pemuda ini terlalu tinggi hati dan perlu diberi pelajaran, pikirnya, maka dia pun lalu menggerakkan kedua kakinya, rnenggunakan langkah-langkah ajaib untuk menghindarkan diri dari serangkaian serangan yang bertubi-tubi itu.
Dengan mudah saja dia mengelak dan berloncatan ke sana-sini, menggeser kaki ke kanan kiri, depan dan belakang, akan tetapi senjata pedang di tangan Bu Hok sama sekali tak pernah dapat menyentuh tubuhnya! Ketika Bu Hok menyerang dengan cepat sehingga pedangnya nampak berubah menjadi gulungan sinar, tubuh Hay Hay juga menyelinap di antara gulungan sinar itu dan selalu saja serangan Bu Hok mengenai angin kosong! Bu Hok yang berwatak keras dan angkuh itu tidak menyadari kebenaran kata-kata Pek Eng tadi tentang kelihaian Hay Hay. Dia tidak sadar bahwa ilmu kepandaian lawan itu jauh lebih tinggi daripada tingkatnya, bahkan dia merasa penasaran sekali. Diperhebat serangannya sampai akhirnya dia terengah-engah dan tubuhnya basah oleh keringat, sedangkan Hay Hay masih enak-enak saja melangkah dan menggeser kaki ke sana-sini.
"Bu Hok, apa yang kau lakukan itu? Hentikan!"
Tiba-tiba terdengar bentakan suara Song Un Tek. Kiranya Song Un Tek dan adiknya, Song Un Sui, bersama pihak tuan rumah, telah keluar dari rumah memasuki taman dan melihat betapa puteranya menyerang Hay Hay kalang kabut dengan pedangnya,
Ketua Kang-jiu-pang itu terkejut dan cepat membentak menyuruh puteranya menghentikan serangan. Namun Bu Hok yang sudah mabok karena penasaran dan marah, masih mengirim beberapa tusukan dan sabetan pedang. Hay Hay menggunakan jari tangannya menyentil ke arah pedang di dekat gagang. Terdengar suara nyaring dan Bu Hok merasa betapa tangan kanan yang memegang pedang seperti lumpuh. Hampir saja dia melepaskan pedangnya yang tergetar hebat. Dia tidak melihat apa yang terjadi, tidak tahu bahwa pedangnya telah disentil jari tangan lawan. Akan tetapi Hay Hay melompat keluar petak rumput, menjura ke arah Song Bu Hok dan meraba baju di bagian dadanya yang terobek, agaknya terkena ujung pedang. Akan tetapi hanya robek saja dan kulitnya tidak terluka.
"Kian-hoatmu hebat, Song-kongcu, aku mengaku kalah."
Kalau tadinya dia terkejut dan heran, kini Song Bu Hok membusungkan dadanya. Bagaimanapun juga, pedangnya mampu merobek baju di bagian dada lawan, bahkan Tang Hay mengakui keunggulannya! Dia menoleh kepada Pek Eng dan berkata.
"Eng-moi, biarpun dia boleh juga, akan tetapi tidak dapat menghindarkan kehebatan pedangku."
Berkata demikian, dia hendak menyarungkan pedangnya kembali, akan tetapi tiba-tiba terdengar suara berdetak dan pedangnya patah dekat gagangnya, dan jatuh keluar dari sarung.
"Eehhhhh..!"
Song Bu Hok memandang gagang pedang yang masih dipegangnya dengan mata terbelalak dan muka pucat, lalu memandang kepada pedang yang sudah buntung dan kini menggeletak di dekat kakinya.
"Pedang... pusakaku?"
Melihat betapa pedang pusaka itu patah, sekali loncat Song Un Sui yang berperut gendut itu telah berada di dekat keponakannya. Mengagumkan sekali gerakan Si Gendut ini karena melihat perutnya yang gendut dan tubuhnya yang gemuk bulat, agaknya tak mungkin dia dapat bergerak seringan dan secepat itu. Dia sudah membungkuk dan mengambil pedang yang buntung, lalu memeriksa bagian dekat gagang yang patah. Nampak jelas betapa pedang itu memang patah, agaknya terpukul benda yang amat kuat, lebih kuat daripada pedang itu sendiri. Padahal dia tahu benar bahwa pedang itu bukan pedang murahan, melainkan sebuah pedang pusaka terbuat dari baja pilihan. Dia tadi juga melihat keponakannya menyerang pemuda sederhana yang bertangan kosong itu, bagaimana kini tahu-tahu pedang itu dapat menjadi patah? Tadi ketika bercakap-cakap bersama kakaknya dan pihak tuan rumah di sebelah dalam,
Selain pembicaraan mengenai kematangan ikatan jodoh antara Song Bu Hok dan Pek Eng, juga pihak tuan rumah menceritakan tentang kedatangan tiga orang pendeta Lama yang mengungkit kembali persoalan Sin-tong, juga menceritakan bahwa pemuda bernama Tang Hay itu muncul membantu keluarga Pek dan bahwa pemuda itu memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi, Song Un Sui ini memiliki watak yang tinggi hati dan mengagulkan kepandaian sendiri, watak yang di tiru oleh keponakannya. Biarpun kini dia melihat bahwa pedang keponakannya patah dan menduga bahwa tentu pemuda she Tang itu yang mematahkan, dia menjadi marah. Dia tidak mau melihat kenyataan bahwa patahnya pedang itu membuktikan kebenaran cerita keluarga Pek bahwa pemuda she Tang itu benar-benar memiliki ilmu kepandaian yang hebat.
"Bocah she Tang, berani engkau mematahkan pedang pusaka keponakanku?"
Bentaknya dan sikapnya ini terdorong pula oleh pengetahuan bahwa pemuda itu bukan keluarga dari Pek-sim-pang, bukan murid dan bukan keluarga, hanya tamu, maka dia pun berani menentangnya.
"Aku hanya membela diri.."
Hay Hay menjawab.
"Bocah sombong, engkau hendak memamerkan kepandaian dengan menghina kami? sambutlah seranganku!"
Si Gendut itu kini sudah menerjang ke depan dengan Pukulan tangan terbuka ke arah dada Hay Hay. Melihat serangan yang hebat, dengan tenaga yang lebih kuat daripada tenaga Bu Hok tadi, Hay Hay cepat mengelak. Lawannya mendesaknya dengan serangan bertubi-tubi, namun Hay Hay segera mainkan langkah-langkah ajaib dan dengan mudah menghindarkan diri dari semua serangan. Melihat pamannya sudah maju menyerang, tanpa berkata apa-apa lagi Bu Hok yang merasa penasaran juga meloncat dan membantu pamannya menyerang Hay Hay.
Namun, Hay Hay masih terus mengelak, dengan Jiauw-pouw-poan-soan dan serangan kedua orang itu selalu mengenai tempat kosong. Secara aneh tubuhnya selalu dapat menghindar, dan nampaknya dia hanya bergerak dengan tenang dan lembat saja! Keluarga Pek merasa bingung sekali melihat perkelahian ini, Mereka menjadi serba salah. Mau melerai, Pek Kong khawatir kalau dia disangka memihak Hay Hay, tidak dilerai, dia khawatir sekali karena dia maklum bahwa tiga orang Kang-jiu-pang ini pun tidak akan menang melawan Hay Hay yang bukan saja memiliki ilmu silat tinggi, akan tetapi juga pandai ilmu sihir. Para murid Pek-sim-pang yang tertarik oleh keributan itu dan sudah berkumpul nonton di situ, diam-diam berpihak kepada Hay Hay yang mereka kagumi, pemuda yang tadi sudah mengusir musuh-musuh mereka, yaitu para pendeta Lama. Apalagi para murid muda dari Pek-sim-pang.
Mereka mendengar bahwa kunjungan keluarga Song itu untuk meminang Pek Eng, maka timbullah rasa iri hati, apalagi melihat sikap Song Bu Hok yang tinggi hati, mereka merasa tidak senang. Kini mereka nonton perkelahian dan mengharap, agar Hay Hay mau menghajar keluarga Song itu! Akan tetapi Hay Hay juga merasa serba salah. Dia tidak mau membikin malu keluarga Song yang menjadi tamu terhormat dan sahabat baik keluarga Pek. Kalau tadi dia sengaja mematahkan pedang dengan sentilan jarinya adalah karena dia mendongkol melihat sikap sombong Bu Hok dan ingin memberi pelajaran kepadanya. Tak disangkanya bahwa perbuatannya itu menimbulkan kemarahan laki-laki perut gendut yang menjadi paman Bu Hok. Kini dia memainkan Jiauw-pouw-poan-soan untuk menghindarkan diri dari serangan dua orang lawannya.
Melihat tingkat kepandaian dua orang penyerangnya ini, dia merasa yakin bahwa biarpun dia menghadapi mereka tanpa membalas, mereka tidak akan mampu memukulnya. Maka dia pun hanya mengelak ke sana-sini dengan gerakan lincah dan indah, tidak seperti ketika dia menghadapi para pendeta Lama di mana dia membuat gerakan kaku dan lucu untuk mempermainkan mereka. Diam-dlam kini dla merasa menyesal mengapa tadi dia menuruti emosi hatinya dan mematahkan pedang Bu Hok. Sementara itu, Ketua Pek-sim-pang, yaitu Pek Kong dan Pek Ki Bu kini dapat mengikuti dengan baik gerakan Hay Hay yang tidak dibuat-buat dan diam-diam mereka terkejut sekali ketika mengenal bahwa langkah-langkah ajaib yang dimainkan Hay Hay itu mirip dengan langkah-langkah ajaib Jiauw-pouw-poan-soan yang pernah mereka lihat,
Ilmu kesaktian yang dimiliki oleh seorang tokoh besar di Tibet! Song Un Tek, Ketua Kang-jiu-pang tidak tinggi hati seperti adiknya dan puteranya. Dia tadi sudah mendengar betapa Hay Hay merupakan seorang tamu terhormat dari keluarga Pek, bahkan pemuda itu telah membantu keluarga Pek mengusir para pendeta Lama yang datang mengacau. Biarpun patahnya pedang puteranya merupakan hal yang memalukan, namun dia harus mendengar dulu perkaranya, apa yang telah terjadi antara dua orang muda itu sebelum turun tangan seperti adiknya. Maka dia pun lalu melangkah maju dan berseru kepada adiknya dan puteranya untuk menghentikan serangan mereka.
"Tidak baik urusan kecil dibikin besar."
Katanya setelah adiknya dan anaknya mundur mendengar perintah Song Un Tek.
"Kalau ada urusan, sebaiknya dibicarakan dengan baik. Bu Hok, apa yang telah terjadi? Kenapa tadi engkau berkelahi dengan Saudara Tang Hay?"
Bu Hok adalah seorang pemuda yang tinggi hati dan mengagulkan diri sendiri, akan tetapi dia juga seorang pemuda yang gagah dan jujur. Mendengar pertanyaan ayahnya, mukanya berubah merah. Tak perlu dia berbohong, dan di situ terdapat pula Pek Eng yang tadi menjadi saksi.
"Aku hanya ingin mencoba kepandaiannya, Ayah."
Katanya. Song Un Tek mengerutkan alisnya dan menegur adiknya.
"Su-te, engkau mendengar sendiri. Keponakanmu itu mencari gara-gara dengan mencoba kepandaian Saudara Tang, kenapa engkau tanpa penyelidikan lebih dulu sudah lancang turun tangan menyerang orang yang tidak bersalah?"
Song Un Sui menundukkan mukanya, tak disangkanya bahwa keponakannya itu hanya menguji kepandaian saja.
"Aku melihat pedang itu patah, maka..."
"Nah, lain kali harap suka bersabar."
Tegur kakaknya, kemudian dia memandang lagi kepada puteranya.
"Bu Hok, sungguh sikapmu itu memalukan. Engkau menguji kepandaian orang secara bersahabat, hal itu biasa saja. Akan tetapi engkau menggunakan pedang, menyerang Saudara Tang yang bertangan kosong. Apakah perbuatan itu patut? Masih untung bagimu bahwa pedangmu yang dipatahkan, bukan kaki, tangan atau lehermu. Hayo kau sadari kesalahanmu dan minta maaf."
Dengan muka merah Bu Hok lalu menghadapi Hay Hay dan menjura. Suaranya terdengar lantang dan jujur ketika dia berkata,
"Saudara Tang Hay, harap kau suka memaafkan kebodohanku tadi."
Song Un Sui juga buru-buru berkata,
"Dan aku pun minta maaf atas kecerobohanku, Saudara Tang."
"Aku sendiri mintakan maaf atas kelancangan mereka, Saudara Tang yang gagah perkasa,"
Kata Ketua Kang-jiu-pang. Melihat sikap dan mendengar ucapan tiga orang ini, Hay Hay merasa kagum bukan main dan sekaligus perasaannya terhadap mereka menjadi lain. Dengan cepat dia pun menjura dan memberi hormat kepada mereka.
"Harap Sam-wi tidak berkata demikian! Sayalah yang mohon maaf, dan sikap Sam-wi ini membuktikan bahwa Kang-jiu-pang dipimpin oleh keluarga yang amat gagah perkasa, patut menjadi tauladan orang-orang yang mengaku dirinya gagah! Saya merasa kagum sekali!"
Tentu saja dengan adanya kata-kata ini, lenyap semua sikap bermusuhan tadi, bahkan diam-diam Song Bu Hok kagum sekali kepada Hay Hay. Dia mendekat dan memegang lengan Hay Hay dengan sikap yang bersahabat dan akrab.
"Saudara Tang Hay, sungguh aku kagum bukan main. Ilmu kepandaianmu memang hebat, dan sekarang aku tidak merasa ragu atau heran lagi untuk mempercaya kebenaran keterangan Eng-moi tadi bahwa engkau memiliki kepandaian yang jauh lebih tinggi daripada kami."
"Ah, jangan memuji terlalu tinggi, Song-kongcu..."
"Sudahlah, siapa mau disebut kongcu? Namaku Song Bu Hok, sebut saja namaku, dan aku menyebut namamu. Bukankah kita sudah menjadi sahabat? Malah sahabat akrab, karena sudah saling beradu lengan memuji ilmu. Bagaimana, Hay Hay? Maukah engkau menjadi sahabatku?"
Bukan main girang rasa hati Hay Hay. Tak disangkanya bahwa pemuda yang tadi kelihatan demikian sombong itu ternyata adalah seorang laki-laki yang jujur dan gagah perkasa, seorang sahabat yang menyenangkan.
"Baiklah, Bu Hok."
Melihat kerukunan itu semua orang menjadi girang dan tiba-tiba Pek Ki Bu berkata kepada Hay Hay,
"Tang-taihiap."
"Ya Tuhan.. Pek-locianpwe, harap jangan menyebut Taihiap (Pendekar Besar) kepada saya! Pek-locianpwe, bukankah saya pernah berada di antara keluarga Pek ketika masih bayi? Apakah Cu-wi (Anda Sekalian) tidak sudi menerima saya sebagai Hay Hay saja, tanpa sebutan sungkan-sungkan seperti itu?"
Pek Ki Bu, Pek Kong dan Souw Bwee saling pandang, kemudian Pek Ki Bu tertawa.
"Ha-ha-ha, baiklah, Hay Hay. Bagaimanapun juga engkau sebaya dengan cucuku dan engkau pun pantas menjadi cucuku. Nah, sekarang aku ingin bertanya. Bukankah engkau tadi memainkan ilmu langkah ajaib ketika engkau menghindarkan serangan, dan kalau aku tidak salah ilmu itu adalah ilmu sakti Jiauw-pouw-poan-soan?"
Hay Hay terkejut dan cepat memberi hormat.
"Pek-locianpwe sungguh bermata tajam sekali. Memang benar, saya tadi mainkan Jiauw-pouw-poan-soan."
"Kalau begitu, apakah hubunganmu dengan See-thian Lama? Bukankah ilmu itu miliknya?"
"See-thian Lama adalah guru saya."
"Ahhhh..!"
Seruan ini keluar dari mulut Pek Ki Bu, Pek Kong, dan Souw Bwee.
"Ha-ha-ha, pantas saja engkau begini lihai, kiranya murid dari seorang di antara Delapan Dewa itu! Ketahuilah bahwa kami sekeluarga Pek menjunjung tinggi dan menghormat See-thian Lama sebagai seorang suci yang selain sakti, juga bijaksana. Ketika keluarga kami diserbu para pendeta Lama di Tibet, Locianpwe See-thian Lama itulah yang melerai dan melindungi kami, bahkan beliau pula yang menganjurkan kepada kami untuk meninggalkan daerah Tibet dan pindah ke sini. Ah, kiranya engkau muridnya..."
"Sungguh merupakan kenyataan yang amat menggembirakan. Hay Hay, engkau tidak boleh pergi dulu. Engkau harus tinggal di sini beberapa hari lamanya. Kami ingin mendengar segala ceritamu tentang pengalamanmu dahulu, tentang See-thian Lama dan lain-lain."
Kata pula Pek Kong sambil memegang pundak Hay Hay. Melihat keramahan semua orang terhadap dirinya, Hay Hay yang baru saja mengalami guncangan batin dan tekanan yang membuatnya menderita duka di dalam hatinya, kini menjadi terharu dan dia hanya mengangguk-angguk sambil mengucapkan terima kasih.
"Mari kita semua masuk dan bicara di dalam. Kalian orang-orang muda juga masuk karena kami hendak membicarakan urusan penting."
Kata Pek Kong sambil menggandeng tangan Hay Hay. Setelah mereka duduk menghadapi meja di ruangan besar itu, Pek Kong lalu berkata,
"Karena kami sekeluarga menganggap Hay Hay bukan orang luar, maka biarlah dia ikut mendengarkan urusan keluarga yang akan kita bicarakan. Setujukah engkau, Song-pangcu?"
Song Un Tek yang juga merasa kagum kepada Hay Hay, mengangguk dan tertawa.
"Apa yang kita bicarakan bukan suatu rahasia, melainkan berita yang menggembirakan, makin banyak yang ikut mendengarkan, semakin baik."
"Pertama-tama, kutujukan ini kepadamu, Eng-ji. Tahukah engkau berapa usiamu sekarang?"
Ditanya usianya, Pek Eng memandang ayahnya dengan mata terbelalak, akan tetapi mukanya berubah merah.
"Apa-apaan sih Ayah ini menanyakan usia didepan orang banyak? Pula, tanpa bertanya pun Ayah dan Ibu tentu tahu berapa usiaku."
Katanya manja. Ibunya menolong puterinya yang berada dalam keadaan malu itu.
"Usianya sudah hampir tujuh belas tahun, kurang dua bulan lagi."
"Aku dan Ibumu sudah sejak dahulu sama-sama setuju dengan keluarga Song untuk menjodohkan engkau dengan Bu Hok, dan hari ini mereka datang untuk meminang secara resmi.."
"Ayah...!"
Tiba-tiba Pek Eng bangkit berdiri dan lari menuju ke kamarnya. Ayahnya tertawa dan memandang kepada tiga orang tamunya yang nampak bingung melihat sikap Pek Eng itu.
"Anakku itu memang manja dan pemalu, ia tentu lari ke kamarnya karena malu, akan tetapi aku yakin bahwa ia setuju pula. Bukankah sikapnya selama ini terhadap Bu Hok menunjukkan bahwa ia tidak akan keberatan? Eng-ji pasti setuju, harap Sam-wi tidak merasa ragu dan khawatir."
"Biarlah aku yang akan bicara dengan Eng-ji."
Kata Souw Bwee yang kemudian meninggalkan ruangan itu menyusul puterinya ke kamar Pek Eng.
"Ha-ha-ha, pinangan itu sudah kami terima, sudah pula kami sampaikan ke pada anak kami. Marilah kita minum arak untuk keselamatan kedua orang anak kita, Song-pangcu!"
Kata Pek Kong. Mereka mengangkat cawan dan melihat betapa Hay Hay diam saja, Pek Ki Bu lalu berkata kepadanya.
"Hay Hay, engkau pun kami ajak minum arak untuk memberi selamat kepada Bu Hok dan Pek Eng dalam pertunangan mereka hari ini."
Hay Hay mengangkat cawannya dan pada saat itu, Pek Kong bertanya,
"Hay Hay, bagaimana pendapatmu dengan pasangan ini, antara Bu Hok dan adikmu Pek Eng?"
Sambil memegang cawan araknya, Hay Hay berkata dengan sejujurnya.
"Pasangan yang amat serasi, Bu Hok seorang pemuda yang gagah perkasa sedangkan Adik Eng adalah seorang gadis yang cantik dan lihai pula, Pek-pangcu."
"Hushh, jangan sebut pangcu kepadaku. Engkau seperti keponakanku sendiri, sebut saja Paman padaku."
"Baik, Paman. Nah, selamat untuk sepasang orang muda yang hari ini bertunangan!"
Katanya sambil meneguk arak dari cawannya, diikuti oleh semua orang. Malam itu pihak tuan rumah mengadakan pesta. Mereka semua, kecuali Pek Eng, makan minum dengan gembira di satu meja besar. Pek Eng tidak mau keluar walaupun sudah dibujuk ibunya,
"Ia tentu malu, maklumlah ia tidak punya saudara yang pernah menikah. Pengalaman dilamar orang tentu amat menegangkan hatinya dan membuatnya merasa canggung dan malu."
Katanya sebagai permintaan maaf kepada para tamunya. Dua orang pangcu itu makan minum dengan gembira sekali. Betapa mereka tidak akan gembira. Sejak belasan tahun mereka sudah menjadi sahabat baik, keduanya merasa cocok dan sepaham, sepihak pejuang dan pendekar, pihak lain juga pendekar yang terkenal, dan kedua orang anak mereka memang merupakan seorang pemuda dari seorang gadis pilihan. Kalau kini mereka berbesan, tentu saja hati mereka merasa puas sekali.
"Tentang penentuan hari pernikahan, biarlah kelak aku akan memberi kabar kepadamu, Song-pangcu."
Kata Pek Kong.
"Bagaimanapun juga, hati kami tidak akan merasa tenteram dan puas kalau putera kami, Pek Han Siong, belum pulang. Dia harus menyaksikan adiknya menikah dan harus memberi persetujuan bahwa adiknya akan menikah lebih dahulu."
Song Un Tek dapat mengerti alasan ini dan dia pun tidak merasa keberatan. Mereka makan minum dan mengobrol sampai jauh malam sebelum akhirnya para tamu itu dipersilakan mengaso di dalam kamar masing-masing yang sudah dipersiapkan. Hay Hay juga dipersilakan masuk ke kamarnya yang berada di ujung belakang, karena kamar-kamar besar di dalam diperuntukkan tamu-tamu agung keluarga Song itu!
Di dalam kedudukannya sebagai Ketua Cin-ling-pai, dia dibantu oleh putera tunggalnya yang bernama Cia Hui Song, seorang pendekar yang usianya kurang lebih tiga puluh delapan tahun, lihai karena selain telah mewarisi kepandaian ayah dan mendiang ibunya, juga dia pernah digembleng oleh mendiang Siangkiang Lojin atau San-sian, seorang di antara Delapan Dewa, dan menerima ilmu-ilmu tinggi dalam hal sinkang dan ginkang. Sejak belasan tahun yang lalu, Cia Hui Song ini menikah dengan Ceng Sui Cin, seorang wanita perkasa pula, pendekar wanita gemblengan karena ia adalah puteri dari Pendekar Sadis Ceng Thian Sin yang tinggal di Pulau Teratai Merah di lautan selatan.
Ibunya juga seorang pendekar yang lihai bukan main, bernama Toan Kim Hong. Ceng Sui Cin selain menerima ilmu-ilmu dari ayah ibunya, juga ia menerima gemblengan dalam hal ginkang oleh Wu-yi Lo-jin, seorang di antara Delapan Dewa pula. Maka, dapat dibayangkan betapa lihainya Ceng Sui Cin, bahkan lebih lihai dari suaminya! Cia Hui Song dan Ceng SuI Cin mempunyai seorang anak gadis yang telah berusia lima belas tahun bernama Cia Kui Hong. Kui Hong merupakan seorang anak perempuan yang sehat dan mungil sejak kecilnya, juga memiliki kecerdasan dan bakat yang baik sekali dalam ilmu silat sehingga ketika ia berusia lima belas tahun, ia telah mewarisi ilmu kepandaian dari ayah dan ibunya. Wataknya juga sama dengan watak Ibu dan ayahnya. Ia manis, galak dan berandalan, akan tetapi jenaka dan lincah, juga berjiwa pendekar yang gagah perkasa.
Melihat keadaan keluarga Cia ini, orang lain tentu membayangkan bahwa mereka merupakan keluarga yang berbahagia. Kedudukan mereka sebagai keluarga pimpinan perkumpulan yang terpandang dan terhormat, juga mereka tidak kekurangan, merupakan keluarga yang sehat dan selalu gembira nampaknya. Akan tetapi sesungguhnya tidaklah demikian. Sejak bertahun-tahun yang lalu, Ketua Cin-ling-pai, Cia Kong Liang, dengan berterang menyatakan harapannya sendiri sudah terlepas darinya. Tentu saja pendapat yang menjadi tradisi seperti ini merupakan suatu pendapat yang seluruhnya berdasarkan kepentingan si aku, dalam hal ini kepentingan si orang tua sendiri. Dan pendapat yang berdasarkan kepentingan diri sendiri selalu mendatangkan tindakan-tindakan yang jahat.
Demikian pula dengan tradisi tentang anak laki-laki ini, menimbulkan banyak tindakan yang sesat di kalangan orang-orang tua. Banyak yang menganggap keluarga mereka sial kalau mempunyai anak perempuan, bahkan bukan merupakan dongeng belaka kalau ada keluarga yang anaknya, terlahir perempuan melulu, tanpa ada yang laki-laki, memperlakukan anak-anak mereka dengan kejam, bahkan ada yang membunuh anak yang ke sekian dan terlahir perempuan, atau menjual anak iTu kepada keluarga lain untuk dijadikan budak, selir, atau bahkan pelacur! Sungguh menyedihkan akibat dari suatu kebiasaan yang turun-temurun dilakukan orang tanpa mempergunakan pertimbangan kebijaksanaan lagi.
"Hui Song, sekarang di depan isterimu aku minta ketegasan dan keputusanmu. Bagaimana dengan permintaanku agar engkau menikah lagi?"
Mendengar ini Sui Cin terkejut bukan main. Suaminya belum pernah menceritakan tentang keinginan hati ayah mertuanya itu, dan mendengar betapa kini orang tua itu minta kepada suaminya agar menikah lagi, tiba-tiba mukanya menjadi pucat, lalu berubah merah sekali.
Pendekar Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Asmara Berdarah Eps 29 Asmara Berdarah Eps 9 Harta Karun Jenghis Khan Eps 3