Ceritasilat Novel Online

Kisah Sepasang Rajawali 12


Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo Bagian 12



"Apa kabar, sam-wi totiang? Aihh, kenapa sam-wi bau air kencing?"

   Mendengar kata-kata ini, tiga orang tosu itu kontan berteriak marah sekali karena mereka tahu bahwa dua orang pemuda inilah yang mengganggu mereka semalam dan yang telah menyamar sebagai "setan".

   Biarpun semalam mereka mendapatkan bukti betapa lihainya dua orang itu, namun begitu melihat mereka berdua hanyalah pemuda-pemuda tanggung, tiga orang tosu itu menjadi besar hati. Sampai di mana sih tingkat kepandaian orang-orang muda seperti itu? Mereka tentu saja tidak merasa gentar -sedikitpun dan sambil mengeluarkan suara teriakan seperti harimau buas, si tahi lalat sudah lebih dahulu menerjang maju dan mencengkeram dengan kedua tangan membentuk cakar ke arah kepala Kian Bu! Pemuda ini sama sekali tidak mengelak, akan tetapi setelah kedua tangan yang seperti cakar itu dekat dengan kepalanya secepatnya ia menangkis hingga sekaligus tangan kirinya menangkis dua tangan lawan yang menyeleweng ke samping, kemudian secepat kilat tangan kanannya bergerak selagi tubuh lawan masih berada di udara.

   "Plak! Crettt! Aduuhh....!"

   Tosu bertahi lalat di dagunya itu berteriak kaget dan kesakitan, lalu mencelat mundur berjungkir balik sambil mendekap hidungnya yang keluar "kecap"

   Terkena sentilan jari tangan Kian Bu. Biarpun tosu itu sudah mahir sekali menggunakan sin-kang membuat tubuhnya kebal,

   Akan tetapi kekebalannya tidak dapat melindungi hidungnya yang agak terlalu besar dan buntek itu, maka sekali kena disentil jari tangan yang kuat itu, sekaligus darahnya muncrat ke luar. Tosu kurus kering juga sudah menerjang Kian Lee. Karena tosu ini lebih berhati-hati, tidak sembrono seperti sutenya, dia menyerang dengan jurus pilihan dari Pek-lian-kauw, bahkan dia mengerahkan sin-kang yang mendorong hawa beracun menyambar ke luar dari telapak tangannya. Hampir semua tokoh Pek-lian-kauw yang sudah agak tinggi tingkatnya, semua mempelajari ilmu pukulan beracun ini, yang hanya dapat dipelajari oleh kaum Pek-lian-kauw. Ilmu pukulan ini ada yang memberi nama Pek-lian-tok-ciang (Tangan Beracun Pek-lian-kauw) dan memang amat dahsyat karena begitu tosu itu memukul dengan kedua tangan terbuka,

   Tidak saja dapat melukai lawan di sebelah dalam tubuhnya dengan hawa pukulan sin-kang itu, akan tetapi hawa beracun itu masih dapat mencelakai lawan yang dapat menahan sin-kang. Berbahayanya dari pukulan ini adalah karena hawa beracun itu tidak mengeluarkan tanda apa-apa, berbeda dengan pukulan tangan beracun lain yang dapat dikenal, yaitu dari baunya atau dari uap yang keluar dari tangan sehingga lebih mudah dijaga. Kian Lee agaknya tidak tahu akan pukulan beracun ini, maka dengan seenaknya dia menyambut dengan kedua telapak tangannya pula. Melihat ini, si tosu kurus kering dan twa-suhengnya yang belum turun tangan menjadi girang, mengira bahwa pemuda itu pasti terjungkal, karena andaikata dapat menahan tenaga sin-kang dari pukulan itu, pasti akan terkena hawa beracun.

   "Duk! Plakk!"

   Terjungkallah tubuh.... si tosu kurus kering! Kejadian ini tentu saja membuat tosu pertama menjadi kaget setengah mati karena hal yang terjadi adalah kebalikan dari apa yang disangka dan diharapkannya. Dia melihat tubuh sutenya yang roboh bergulingan menggigil kedinginan, terheran-heran mengapa sutenya bisa begitu. Akan tetapi tak ada waktu untuk memeriksa dan segera menerjang maju dengan marah sekali sambil meloloskan sabuk sutera di pinggangnya. Sabuk pendek ini memang selalu dilibatkan di pinggang dan merupakan senjatanya yang ampuh sungguhpun jarang sekali dia mempergunakannya karena biasanya, kedua tangannya saja sudah cukup untuk merobohkan seorang lawan.

   Akan tetapi sekarang, melihat betapa ji-sutenya dalam segebrakan telah remuk hidungnya dan sam-sutenya juga telah roboh dan menggigil kedinginan, dia maklum bahwa kedua orang muda itu amat hebat kepandainnya dan tanpa sungkan-sungkan lagi dia lalu meloloskan senjatanya itu. Juga si tahi lalat yang sudah hilang puyengnya karena hidungnya remuk itu, setelah menghapus darah dari mulutnya yang ternoda oleh darah yang menitik dari bekas hidung, sudah mengeluarkan senjatanya pula. Berbeda dengan suhengnya, senjata tosu ini ada dua macam, yaitu seuntai tasbeh dan setangkai kembang teratai putih yang entah diberi obat apa sudah menjadi keras seperti besi! Tadinya kedua senjata ini tersimpan di dalam saku bajunya yang lebar dan kini sudah berada di kedua tangannya.

   "Wah-wah, setelah menghadapi kesukaran baru kau ingat kepada tasbehmu dan kembang, ya? Apakah engkau hendak membaca doa dan memuja dewa dengan kembang itu?"

   Kian Bu mengejek.

   "Keparat, mampuslah kau di tanganku!"

   Si tahi lalat membentak dan tasbehnya sudah menyambar ganas ke arah dahi Kian Bu sedangkan kembang teratai itu menyambar leher. Serangan ini berbahaya sekali karena merupakan serangan palsu atau ancaman. Kelihatannya memang ganas, akan tetapi keganasan ini hanya untuk mengelabui perhatian lawan karena pada detik selanjutnya, selagi perhatian lawan tertuju untuk menghadapi dua serangan ganas itu, kakinya menyambar dan menendang ke arah anggauta kelamin yang merupakan satu di antara pusat kematian bagi seorang laki-laki!

   "Cuuuutt-wuuuttt.... wessss!"

   Namun sekali ini yang dihadapi oleh si tahi lalat adalah putera Pendekar Super Sakti! Menghadapi serangan ini, dengan amat tenangnya Kian Bu tersenyum dan memandang saja. Ketika dua senjata itu sudah datang dekat, dia hanya menggerakkan tubuhnya sedikit saja, dan pada saat kedua senjata itu ditarik secara berbareng, tahulah dia bahwa dua serangan itu hanyalah merupakan gertak sambal saja, maka dengan tenang dia menanti serangan intinya. Ketika melihat berkelebatnya kaki tosu itu menendang ke arah alat kelaminnya, Kian Bu tersenyum dan pura-pura terlambat mengelak.

   "Desss!"

   Tepat sekali kaki itu menendang bawah pusar dan Kian Bu terjengkang roboh, mukanya pucat dan matanya mendelik dan napasnya terhenti.

   "Hua-ha-ha-ha! Kiranya engkau hanya begini saja! Tidak lebih keras daripada tahu!"

   Sambil berkata demikian, si tahi lalat itu melangkah maju, mengangkat kakinya dan mengerahkan sin-kang, hendak menginjak hancur kepala Kian Bu.

   "Wuuuuttt! Plak! Tekkk.... wadouww....!"

   Tosu itu memekik, kedua senjatanya terlepas dan dia berjingkrak-jingkrak seperti anak kecil kegirangan, akan tetapi air matanya bercucuran dan mulutnya megap-megap dan mendesis-desis seperti orang kepedasan, kedua tangannya mendekap alat kelaminnya dan kaki kanannya diangkat, kaki kiri berloncat-loncatan! Apa yang terjadi? Tentu saja Kian Bu tadi menerima tendangan itu dengan sengaja! Sebagai seorang putera Pendekar Super Sakti yang telah memiliki sin-kang luar biasa sekali tingginya, pada saat kaki lawan datang, dia sudah mengerahkan sin-kangnya menyedot seluruh alat kelaminnya masuk ke rongga perut sehingga tendangan itu hanya mengenai kulitnya yang dilindungi oleh hawa sin-kang di sebelah dalam.

   Akan tetapi dia pura-pura jatuh dan semaput! Pada saat kaki tosu itu datang hendak menginjak kepalanya, dia cepat menangkap kaki itu, menariknya sehingga tubuh tosu itu merendah, kemudian dengan jari tangannya dia "menyentil"

   Alat kelamin tosu itu, mengenai sebutir di antara bola kelaminnya, dan tentu saja mendatangkan rasa nyeri yang sukar dilukiskan di sini. Hanya mereka yang pernah terpukul bola kelaminnya sajalah yang akan tahu bagaimana rasanya. Kiut-miut berdenyut-denyut terasa di seluruh tubuh, merasuk di otot-otot dan tulang sumsum, terasa oleh setiap bulu di badan, membuat kepala rasanya mot-motan dan ulu hati seperti diganjal, nyeri dan linu, pedih cekot-cekot dan segala macam rasa nyeri terkumpul menjadi satu membuat tosu itu pingsan tidak sadarpun tidak, hidup tidak matipun belum!

   Dalam keadaan seperti itu, tentu saja kedua senjatanya terlepas tanpa disadarinya lagi, bahkan dia masih berjingkrakan seperti seekor monyet diajar menari ketika Kian Bu sambil tertawa mengalungkan tasbeh di leher tosu itu dan menancapkan tangkai kembang di rambutnya! Sementara itu tosu tertua yang menyerang Kian Lee pun kecelik. Sabuknya menyambar seperti seekor ular hidup, mula-mula melayang-layang ke sana-sini untuk mengacaukan perhatian lawan. Namun, melihat betapa pemuda itu sama sekali tidak membuat gerakan mengelak, bahkan memandang gerakan sabuk itu tanpa gentar sedikitpun juga, sabuk itu melayang turun dan menotok ke arah ubun-ubun kepala Kian Lee. Kalau saja pemuda ini belum yakin akan kemampuan dan kekuatan sin-kang lawan, tentu saja dia tidak begitu gegabah berani menerima totokan ujung sabuk ke arah bagian kepala yang lemah ini. Akan tetapi perhitungannya sudah masak, dan dia menerima saja totokan itu.

   "Takkkk!"

   Ujung sabuk tepat mengenai ubun-ubun kepala pemuda itu, akan tetapi sabuk itu membalik dan hebatnya, bukan sembarangan saja membalik, melainkan mengandung kekuatan dahsyat dan sabuk itu menyerang ubun-ubun kepala tosu itu sendiri tanpa dapat ditahannya. Kaget setengah mati tosu itu dan cepat dia miringkan kepala sehingga totokan sabuk itu meleset.

   Akan tetapi dia masih penasaran. Disangkanya hal itu hanyalah kebetulan saja karena kuatnya dia menggerakkan sabuk dan kuatnya pemuda itu menahan totokannya. Biarpun dia kaget dan juga heran, namun kembali dia menggerakkan sabuknya dan sekali ini sabuknya meluncur dan menotok ke arah mata kanan Kian Lee! Secepat itu pula, tangan kirinya bergerak ke depan mencengkeram ke arah pusar. Sukar dibandingkan yang mana antara kedua serangan ini yang lebih berbahaya. Sudah jelas bahwa totokan ujung sabuk ke arah mata itu sedikitnya dapat membuat sebelah mata menjadi buta! Akan tetapi cengkeraman tangan yang amat kuat itu ke pusar, kalau sampai pusar dapat dicengkeram dan terkuak, tentu isi perut akan ambrol dan terjurai keluar semua!

   Kian Lee yang senantiasa bersikap tenang itu sedikitpun tidak menjadi gugup bahkan dengan tenangnya tanpa berkedip dia menanti sampai ujung sabuk dekat sekali dengan mukanya, lalu tiba-tiba tangannya menyampok dan mengirim kembali ujung sabuk itu ke muka lawan, sedangkan perutnya menerima cengkeraman itu, bahkan menggunakan sin-kang untuk membuat perutnya lunak seperti agar-agar sehingga tangan lawan terbenam masuk, akan tetapi setelah tangan lawan memasuki perutnya, dia mengerahkan sin-kang untuk menyedot dan tangan itu tidak dapat ditarik kembali oleh pemiliknya. Bukan main kagetnya tosu itu, dia harus membagi perhatiannya menjadi dua, sebagian untuk menarik kembali tangannya yang terjepit di perut lawan, dan kedua kalinya untuk menguasai sabuknya sendiri yang menjadi "liar"

   Dan menyerang dirinya sendiri.

   "Plakk! Krekkk!"

   Tubuh tosu itu terjengkang dan dia mengerang kesakitan karena selain pipinya terobek kulitnya oleh hantaman ujung sabuknya sendiri, juga tulang ibu jari dan kelingkingnya patah-patah terkena himpitan di dalam perut pemuda luar biasa itu!

   "Tahan semua senjata! Cu-wi piauwsu, biarkan mereka pergi semua!"

   Kian Lee berseru suaranya lantang sekali, penuh dengan kekuatan khi-kang sehingga mereka yang masih bertanding itu terkejut dan menahan senjata masing-masing. Kepala piauwsu itu yang melihat betapa tiga orang tosu itu telah dibuat tidak berdaya oleh dua orang pemuda aneh itu, tak berani membantah lalu berkata kepada sisa pengikut Pek-lian-kauw,

   "Kalian tahu sendiri kami tidak berniat untuk memusuhi Pek-lian-kauw, melainkan pimpinan kalian yang mendesak kami. Nah, pergilah dan bawa teman-temanmu!"

   Sisa pihak Pek-lian-kauw yang maklum bahwa melawanpun tiada gunanya, lalu saling tolong dan naik ke atas kuda. Tiga orang tosu yang tadinya ketika datang menggunakan ilmu lari cepat di depan rombongan kuda, kini dalam keadaan setengah pingsan dipangku oleh mereka yang masih sehat, kemudian tanpa pamit mereka lalu pergi meninggalkan tempat itu. Para piauwsu lalu menolong teman-teman mereka yang terluka sedangkan pimpinan rbmbongan itu, piauwsu berjenggot putih menjura kepada Kian Lee dan Kian Bu sambil berkata,

   "Berkat pertolongan ji-wi taihiap maka kami masih dapat selamat dan...."

   Tiba-tiba dia menghentikan kata-kata dan terbelalak ketika melihat dua orang pemuda itu saling pandang, mengangguk dan tiba-tiba saja melesat dan lenyap dari depannya! Yang terdengar dari jauh hanya suara melengking tinggi, seperti suara burung rajawali yang sedang berkejaran.

   "Bukan main....!"

   Piauwsu itu menggeleng kepala dan melongo.

   "Sepasang pemuda itu.... seperti.... sepasang rajawali sakti saja....! Sayang mereka tidak memperkenalkan diri....!"

   Memang selama hidupnya berkelana di dunia kang-ouw, belum pernah piauwsu ini menyaksikan kepandaian dua orang pemuda semuda itu, dua orang pemuda yang tingkat ilmunya tidak lumrah manusia dan ketika pergi seperti terbang, seperti sepasang rajawali sakti saja!

   Tiada habisnya mereka membicarakan kedua orang pemuda itu yang pada kemunculan pertama sudah aneh, seorang menjadi penculik dan seorang menjadi penolong, kemudian penculik dan penolong itu bekerja sama mengusir orang-orang Pek-lian-kauw secara mengherankan sekali. Tak salah lagi, tentu mereka itu bersaudara melihat wajah mereka yang mirip, dan tentu soal penculikan tadi hanya main-main saja, permainan dua orang pemuda aneh yang tidak lumrah manusia. Cerita itu menjalar cepat dari mulut ke mulut sehingga mulai hari itu, terkenallah julukan Sepasang Rajawali Sakti untuk dua orang pemuda yang sama sekali tidak terkenal di dunia kang-ouw. Bukan hanya dari pihak piauwsu itu saja yang memperluas cerita itu, juga dari pihak Pek-lian-kauw sendiri segera mengakui bahwa memang di dunia kang-ouw muncul dua orang pemuda yang aneh dan yang patut disebut Sepasang Rajawali Sakti karena ilmu kepandaian mereka yang amat tinggi!

   Tidak baik kalau terlalu lama kita meninggalkan Lu Ceng atau Ceng Ceng, dara remaja cantik jelita dan lincah jenaka yang sejak permulaan cerita ini sudah banyak mengalami hal-hal yang amat hebat itu. Seperti diceritakan di bagian depan, Ceng Ceng yang juga mempunyai nama baru setelah diangkat adik oleh puteri Bhutan, yaitu Candra Dewi, hanyut di dalam perahu tanpa kemudi bersama kakak angkatnya, Puteri Syanti Dewi yang dalam penyamarannya karena dikejar-kejar kaum pemberontak juga mempunyai nama baru, yaitu Lu Sian Cu.

   Seperti telah diceritakan, Syanti Dewi dan Ceng Ceng terlempar ke air sungai yang dalam dan deras arusnya, ketika perahu yang tanpa kemudi karena ditinggalkan tukang perahu itu menabrak perahu-perahu lain dan terguling. Syanti Dewi dapat tertolong oleh seorang laki-laki gagah perkasa yang bukan lain adalah Gak Bun Beng, akan tetapi keduanya tidak berhasil mencari Ceng Ceng dengan jalan menyusuri tepi Sungai Nu-kiang. Namun tak ditemukan jejak Ceng Ceng dan dengan hati berat terpaksa Syanti Dewi bersama penolongnya itu meninggalkan sungai itu dan menganggap bahwa Ceng Ceng tentu sudah tenggelam dan tewas. Benarkah Ceng Ceng tewas tenggelam di dasar Sungai Nu-kiang di barat itu? Kalau demikian, pengarang yakin tentu dalam waktu pendek pengarang tentu akan menerima surat-surat protes dari para pembaca!

   Tidak, Ceng Ceng tidak tewas dan pada saat Syanti Dewi dan Gak Bun Beng menyusuri tepi Sungai Nu-kiang itu, dia sudah menggeletak jauh dari tepi sungai, di dalam sebuah hutan yang amat sunyi dan liar, menggeletak pingsan dengan muka masih kebiruan, akan tetapi perutnya telah kempis tidak penuh air dan napasnya sudah berjalan dengan halus dan kuat. Krisis telah lewat dan dara itu telah selamat dari cengkeraman maut melalui air Sungai Nu-kiang. Ceng Ceng mulai siuman dan menggerak-gerakkan pelupuk mata, atau lebih tepat lagi, bola mata yang masih tertutup pelupuk itu mulai bergerak, kemudian pelupuk matanya terbuka perlahan, makin lama makin lebar sehingga matanya seperti sepasang matahari baru muncul dari permukaan laut di timur. Mendadak, mata itu terbuka serentak dengan lebar, kepalanya menoleh ke kanan kiri, lalu ke pinggir tubuhnya.

   Mengapa dia rebah terlentang di bawah pohon-pohon besar, di atas rumput kering, di dekatnya ada api unggun yang mendatangkan hawa hangat. Ketika menengok ke kanan, dia melihat seorang pemuda sedang duduk di tepi sungai kecil di dalam hutan itu, duduk membelakanginya dan memegang tangkai pancing, sedang tangan kirinya memegang sebuah paha ayam hutan yang sudah dipanggang, dan di dekatnya tampak kayu yang masih terbakar mengepulkan asap dan di antara api membara itu masih terdapat sisa ayam hutan. Ceng Ceng tidak bergerak, memandang seperti dalam mimpi. Siapa pemuda itu? Dan dia.... mengapa berada di tempat ini. Tiba-tiba dia menahan seruannya karena teringat. Bukankah dia bersama kakaknya Syanti Dewi terlempar ke dalam sungai dan hanyut? Teringat akan ini, teringat akan kakaknya yang hanyut, serentak Ceng Ceng melompat bangun.

   "Iiihhh....!"

   Dia menjerit kecil dan cepat-cepat dia merobohkan diri "mendekam"

   Lagi di atas tanah, kedua tangannya sibuk menutupkan jubah lebar yang kedodoran dan tadi terbuka ketika dia meloncat bangun. Baru sekarang dia melihat dan memperhatikan keadaan tubuhnya dan rasa malu membuat seluruh tubuhnya, mungkin saja dari akar rambut sampai akar kuku jari kaki, menjadi kemerahan.

   Siapa yang tidak akan malu setengah mati mendapat kenyataan bahwa tubuhnya hanya tertutup oleh jubah lebar itu saja, tanpa apa-apa lagi di sebelah dalamnya? Dia telah telanjang bulat-bulat betul, hanya terlindung oleh jubah itu. Di mana pakaiannya? Mengapa dia telanjang bulat? Siapa yang mencopoti pakaiannya tanpa ijin? Dan jubah ini, siapa yang menutupkan di tubuhnya? Siapa lagi kalau bukan pemuda itu, pikirnya dan matanya mulai mengeluarkan sinar berapi. Kurang ajar! Pemuda laknat, berani menelanjangi aku dan memakaikan jubah ini. Pemuda yang harus mampus! Ingin dia menjerit dan menangis, akan tetapi melihat pemuda yang duduk mancing ikan dan membelakanginya itu diam tak bergerak, dia menjadi ragu-ragu. Dia tidak boleh sembrono dan lancang, pikirnya. Bagaimana kalau bukan dia yang melakukannya?

   "Setan alas di kali eh, setan kali di alas!"

   Tiba-tiba pemuda itu mengomel dan kalau Ceng Ceng tidak sedang marah besar sekali itu tentu dia akan tertawa geli melihat pemuda itu mengangkat pancingnya dan melihat ada tahi tersangkut di mata kail itu! Agaknya tahi monyet atau binatang lain, akan tetapi bentuknya seperti kotoran manusia dan cukup menjijikkan! Dengan gerakan gemas pemuda itu menyabet-nyabetkan kailnya di air sampai kotoran itu lenyap, kemudian mengangkat mata kailnya yang sudah kehilangan umpan, mengambil lagi daging bakar, sebagian dicuwil untuk dipakai umpan, sebagian lagi dijejalkan mulutnya.

   Melihat betapa pemuda itu kembali mengambil paha ayam dan menggigitnya, timbul air liur di mulut Ceng Ceng karena baru terasa olehnya betapa lapar perutnya. Pemuda itu lalu menancapkan gagang pancingnya di tanah, lalu bangkit berdiri, membalik dan baru dia melihat Ceng Ceng agaknya! Melihat gadis itu sudah siuman, mendeprok di bawah dengan tangan sibuk menutupi tubuhnya dengan jubah kedodoran yang kancingnya banyak yang sudah rusak sehingga tidak dapat dikancingkan itu, dia tersenyum mengejek! Senyum yang bagi Ceng Ceng amat menggemaskan, senyum yang lebih tepat disebut menyeringai dan sengaja mengejek, malah matanya melirak-lirik seperti orang menggoda, tangan kiri memegang paha ayam diacungkan ke atas, dicium dengan cuping hidung kembang kempis.

   "Hemmm.... sedap dan gurihnya....!"

   Lalu dia menoleh kepada Ceng Ceng sambil berkata,
(Lanjut ke Jilid 12)
Kisah Sepasang Rajawali (Seri ke 09 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 12
"Wah, lama benar engkau tidur! Keenakan mimpi, ya? Kau membikin aku repot bukan main, yaaaa.... repot bukan main, lahir batin. Untung engkau tidak mati di sungai, dan untung aku mempunyai jubah cadangan, biarpun sudah agak tua akan tetapi cukup untuk menyelimutimu."

   Mendengar ini, kontan keras Ceng Ceng naik darah! Betapa tidak kalau kata-kata pemuda itu jelas membuktikan bahwa pemuda inilah yang telah mencopoti semua pakaiannya, kemudian mengenakan jubah itu pada tubuhnya! Sialan? Dia meloncat bangun, kedua tangan dikepal dan siap untuk menyerang, akan tetapi agak kaku karena tangan kanannya tertutup oleh tangan baju yang terlalu panjang itu dan telapak kakinya terasa nyeri dan juga geli karena kakinya telanjang dan batu-batu di tempat itu agak runcing. Akan tetapi hanya beberapa detik saja dia memasang kuda-kuda yang kaku itu karena dia melihat pemuda itu sudah menaruh telunjuknya di depan hidung sambil berkata,

   "Cih, tidak tahu malu, ya? Lihat jubah itu kedodoran!"

   Tentu saja Ceng Ceng sudah cepat menggunakan kedua tangannya untuk menutupi depan jubahnya dan dia tidak berani lagi maju menyerang karena begitu dia menyerang, tentu jubah itu akan terlepas, terbuka dan.... akan tampaklah semua bagian depan dari tubuhnya. Dia membanting-banting kakinya, akan tetapi segera menjerit dan mengaduh karena kakinya menimpa batu runcing. Ingin dia menjerit, ingin dia menangis dan dengan mata terbelalak penuh kemarahan dia memandang wajah pemuda itu. Pemuda itu lalu enak-enak duduk lagi di tepi sungai, membelakangi Ceng Ceng dan sambil melanjutkan makan ayam panggang dia mencurahkan perhatiannya kepada pancingnya, seolah-olah Ceng Ceng tidak ada di belakangnya atau bahkan seolah-olah di dunia ini tidak ada seorang manusia lain kecuali dia dan pancingnya! Ceng Ceng makin panas perutnya.

   Dia memutar otaknya dan teringat akan cerita tentang jai-hwa-cat, yaitu penjahat berkepandaian tinggi yang kerjanya hanya menculik dan memperkosa seorang gadis kemudian membunuhnya. Dia bergidik. Seorang penjahat jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga) kiranya pemuda itu! Dia terjatuh ke dalam tangan seorang penjahat keji. Diam-diam selagi pemuda itu membelakanginya, dia meraba-raba tubuhnya, memeriksa dan merasakan keadaan tubuhnya. Hatinya lega karena dia merasa yakin bahwa dia belum ternoda. Akan tetapi berapa lama lagi? Dan dia sudah ditelanjangi oleh pemuda itu, jari-jari tangan pemuda itu telah menggerayangi tubuhnya ketika menanggalkan semua pakaiannya, bahkan sepatunya, kemudian mengganti dengan jubah itu! Pemuda kurang ajar! Pemuda yang harus mampus! Makin dipikir, makin dikenang, makin panas rasa perutnya.

   Dia lalu merobek pinggiran jubah itu sehingga merupakan tali yang cukup panjang, kemudian selain menggunakan sebagian tali untuk ikat pinggang, juga dia mengikat lubang-lubang kancing jubah itu sehingga tidak ada bahaya terbuka lagi kalau kedua tangannya digerakkan. Setelah itu lalu digulungnya lengan bajunya sampai ke siku agar tidak menghalangi gerakannya karena dia sudah mengambil keputusan pasti untuk menghajar jai-hwa-cat itu! Menghajarnya sampai mati. Setelah selesai persiapannya, dia melangkah perlahan dan seluruh urat syaraf di tubuhnya menegang. Dia sudah memasang kuda-kuda dan kedua tangannya sudah terkepal di pinggang, siap untuk menerjang dan memukul. Dia harus menyerang dengan jurus apa? Bagian mana yang harus dipukulnya dan sebaiknya memukul dengan tangan terbuka atau terkepal?

   Dia mempertimbangkan, memilih-milih bagian mana yang paling "lunak"

   Dan yang paling tepat, karena dia yakin bahwa pemuda itu tentu pandai, maka dia harus dapat berhasil menyerang secara "tek-sek", yaitu satu kali "tek" (suara pukulan) hasilnya "sek" (mati), atau sekali pukul mati! Tengkuknya yang sebagian tertutup rambut yang hitam lebat dan dikuncir tebal itu? Ah, kuncir itu terlalu tebal dan ini bisa menahan pukulannya. Punggungnya? Pemuda itu memakai baju dan berlapis jubah tebal, inipun tidak menguntungkan kalau dia memukul punggung, apalagi menotok karena totokannya bisa terhalang oleh tebalnya pakaian. Kepalanya! Ya, ubun-ubun kepalanya itu. Biarpun pemuda itu rambutnya hitam dan tebal, akan tetapi kiranya rambut itu tidak cukup kuat untuk melindungi ubun-ubun yang lemah. Sekali pukul ubun-ubunnya, beres!

   Apalagi kalau dia mengerahkan sin-kangnya, menggunakan jari tangan terbuka mencengkeram, tentu jari-jari tangannya akan menancap di ubun-ubun itu. Crottt, dan otaknya akan muncrat keluar! Ceng Ceng bergidik ngeri juga. Belum pernah dia melakukan hal sekejam itu. Membayangkan otak kepala manusia berlepotan di jari tangannya, dia sudah mau muntah. Ah, ditotok saja jalan darah di lehernya. Totokannya biasanya jitu dan sekali totok tentu pemuda itu akan tak berdaya lagi, kalau sudah begitu, terserah nanti bagaimana dia akan membunuhnya. Tangannya sudah dibuka jarinya, kedua jari telunjuk dan jari tengah tangan kanan sudah menegang sedangkan tiga jari lainnya ditekuk, siap untuk melakukan totokan yang jitu selagi pemuda itu tekun memperhatikan pancingnya.

   "Apakah sebelum membunuhku, kau tidak lebih dulu menanyakan di mana kusimpan pakaianmu? Kalau aku mati dan kau tidak dapat menemukan pakaianmu, apakah kau akan melakukan perjalanan seperti itu?"

   Ucapan pemuda itu membuat dia lemas! Lemas dan jengkel. Jari tangan yang sudah menegang menjadi lemas kembali.

   "Jai-hwa-cat! Manusia cabul! Mata keranjang! Laki-laki tak tahu malu! Ceriwis dan muka tebal!"

   Pemuda itu menoleh, tersenyum lebar memperlihatkan deretan gigi yang kuat dan putih bersih, matanya bersinar-sinar, wajahnya berseri.

   "Apa lagi? Kalau masih ada, keluarkan semua, kalau perlu boleh melihat kamus mencari kata-kata makian. Tidak baik menyimpan penasaran."

   Bagaikan api disiram bensin, kemarahan Ceng Ceng makin berkobar, telunjuknya menuding.

   "Kau.... kau.... babi celeng monyet anjing kerbau! Kau manusia iblis, setan, siluman eh, apalagi.... eh, keparat jahanam! Hayo kembalikan pakaianku, kalau tidak...."

   "Kalau tidak mengapa sih?"

   "Kalau tidak.... akan kuhancurkan kepalamu, kurobek dadamu, kukeluarkan isi perutmu, kupotong lehermu, kaki dan tanganmu....!"

   "Heh-heh, memangnya aku ayam? Terlalu kejam bagi seorang dara secantik engkau!"

   Karena kata-kata dan sikap pemuda itu mengejeknya, tak dapat lagi Ceng Ceng menahan kemarahan hatinya,

   "Kembalikan pakaianku!"

   "Nanti dulu! Kalau kau minta dengan cara kurang ajar seperti itu, jangan harap aku akan mengembalikannya!"

   "Apa? Harus bagaimana aku minta?"

   "Yahhh, dengan kata-kata yang sopan dan manis, namanya saja orang minta-minta."

   "Aku bukan pengemis!"

   "Akan tetapi engkau minta sesuatu, harus yang sopan dan manis."

   "Manis hidungmu! Mampuslah!"

   Ceng Ceng sudah tak dapat lagi menahan lebih lama dan dia menyerang dengan dahsyat, menggunakan kedua tangannya memukul meskipun kakinya berjingkrak karena telanjang.

   "Hehhhh.... waaahhh.... luput!"

   "Haaaaiiitttt....!"

   Tubuh Ceng Ceng menerjang maju, kakinya menendang menyusul hantamannya mengarah dada.

   "Wuuuussss.... hampir saja tapi luput!"

   "Hyaattt....!"

   Kemarahan membuat Ceng Ceng menyerang sehebatnya, kini tangan kirinya mencengkeram ke arah mata lawan disusul tangan kanannya menyodok lambung. Pukulan yang berbahaya sekali.

   "Bagus sekali, sayang gagal....!"

   Bertubi-tubi Ceng Ceng menyerang, mengeluarkan jurus-jurus paling ampuh yang pernah dipelajarinya, terus mengejar ke manapun pemuda itu loncat mengelak, namun tak pernah serangannya berhasil.

   Gerakan pemuda itu luar biasa gesitnya, dan tiba-tiba Ceng Ceng mengaduh-aduh, lalu menghentikan serangannya dan pergi dari tempat yang penuh batu kerikil runcing itu ke tempat tadi. Kiranya pemuda itu mengelak sambil memancing gadis itu mengejarnya ke tempat yang penuh dengan batu kerikil runcing. Tentu saja kaki Ceng Ceng menjadi korban. Semenjak kecil, dara itu tidak pernah mempergunakan kakinya bertelanjang menginjak sesuatu, tentu saja telapak kakinya menjadi amat halus, kulitnya tipis dan perasa sekali. Tanpa sepatu, kakinya itu merupakan bagian tubuh yang lemah sekali. Kini dia memandang pemuda itu dengan mata terbelalak. Lagak dan kata-kata pemuda itu, caranya mengelak dan mengejeknya ketika semua serangannya gagal, mengingatkan dia akan seseorang. Melihat dara itu tidak menyerangnya lagi, pemuda itu berkata kepada diri sendiri,

   "Melihat orang mengamuk masih mending, asal jangan melihat orang menangis. Menyebalkan!"

   Tiba-tiba tubuhnya lenyap begitu saja dan Ceng Ceng melongo. Kiranya pemuda itu adalah iblis! Hanya iblis saja yang pandai menghilang seperti itu. Akan tetapi, dia belum pernah bertemu dengan iblis, dan menurut dongeng, iblis hanya muncul di waktu malam. Sekarang, masih siang begini iblis macam apa muncul dalam ujud seorang pemuda tampan?

   "Nih pakaianmu!"

   Tiba-tiba terdengar suara dari atas dan ketika Ceng Ceng memandang ke atas, kiranya pemuda itu nongkrong di atas dahan pohon dan mengeluarkan pakaiannya dari bungkusan, kemudian melemparkan pakaiannya kepadanya.

   Ceng Ceng menerima gulungan pakaiannya itu, lengkap pakaian dalam dan luar, dan sepatunya, akan tetapi pakaian petani yang dipakai menyamar, yang dipakai di luar pakaiannya sendiri, tidak ada. Dia tidak pula memperhatikan hal ini, bahkan kini pakaian itu hanya dipegangnya saja dengan kedua tangannya karena dia memandang pemuda itu yang meloncat turun dengan gerakan yang membuat dia kaget dan kagum. Pantas saja seperti menghilang, kiranya pemuda itu memiliki gerakan yang luar biasa ringan dan cepatnya. Akan tetapi, bukan itu yang membuat dia bengong dan seperti orang terpesona, melainkan buntalan yang dibawa turun oleh pemuda itu. Teringat benar bahwa dia pernah melihat buntalan itu, bahkan pernah melemparkannya ke dalam sungai. Melemparkan buntalan! Dari perahu!

   "Heiiiii....!"

   Tiba-tiba karena teringat, dia menjerit sambil menudingkan telunjuknya ke arah pemuda itu. Si pemuda sedang berjongkok memegang buntalan untuk memeriksa apakah pan-cingannya mengena, ketika ditunjuk dan tiba-tiba dara itu menjerit, dia kaget sampai terloncat.

   "Wah, kau ini gadis aneh. Apa lagi kau menjerit-jerit seperti melihat setan?"

   Dia mengomel.

   "Bukan melihat setan, melainkan melihat engkau! Engkau tukang perahu keparat itu! Benar, matamu, senyummu...."

   "Bagus dah menarik, ya?"

   "Menarik hidungmu! Hayo mengaku! Kau yang menyamar sebagai tukang perahu itu, bukan?"

   "Kalau tidak mengaku, mengapa?"

   "Mengaku atau tidak, tetap saja aku sekarang mengenalmu. Buntalan itu! Aku membuangnya ke dalam sungai dan kau meloncat mengejar dan menyelam."

   "Kau memang gadis liar dan galak!"

   "Dan kau.... kau meninggalkan perahu, membuat perahu hanyut dan terguling. Dan enciku ehhhh, enciku.... dia tentu celaka....!"

   "Hemm, semua gara-gara engkau juga! Mengapa engkau begitu jahat dan kejam, membuang buntalan orang? Sepatutnya engkau yang harus mati tenggelam, bukan kakakmu yang baik hati dan manis budi dan cantik jelita itu."

   "Tidak, engkau yang meninggalkan perahu sampai perahu hanyut!"

   Ceng Ceng membantah, marah.

   "Kalau kau tidak begitu kejam membuang buntalanku, apakah aku meninggalkan perahu? Kau saja yang tak mengenal budi orang!"

   Pemuda itu mengomel lalu mengambil sebuah topi caping lebar dari buntalan besar dan mengebut-ngebutkannya. Melihat caping itu, Ceng Ceng makin kaget dan memandang dengan matanya yang indah itu terbelalak lebar.

   "Heiii....!"

   "Ihhh!"

   Pemuda itu mencela, terperanjat.

   "Apa kau sudah gila, menjerit-jerit tidak karuan?"

   "Capingmu itu! Kau adalah orang yang dulu mengganggu ketika sang.... eh, kakakku hendak mandi!"
Pemuda itu menoleh, tersenyum mengejek dan berkata,

   "Benarkah?"

   "Ternyata kau memang kurang ajar, agaknya sejak dahulu engkau membayangi kami, ya?"

   "Kalau kau yang minta aku pergi ketika itu, aku tentu tidak sudi. Akan tetapi Sang Puteri Syanti Dewi, dia begitu cantik, begitu halus, sayang, gara-gara kenakalanmu dia sampai lenyap!"

   "Gara-gara kekurangajaranmu!"

   Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Ceng Ceng membantah.

   "Gara-gara engkau!"

   "Engkau!"

   "Hemmm, kau ini hanya seorang dayang pelayan besar lagak amat!"

   Pemuda itu mengejek. Sepasang mata yang sudah terbelalak itu mengeluarkan sinar berapi.

   "Apa katamu? Dayang pelayan? Keparat bermulut lancang dan busuk!"

   Ceng Ceng melepaskan gulungan pakaiannya dan saking marahnya dia sudah menerjang lagi dengan pengerahan tenaga sekuatnya dan mengeluarkan jurus yang paling ampuh. Akan tetapi, dengan gerakan yang aneh dan sigap, pemuda itu berhasil menangkap kedua pergelangan tangannya dan dia meronta-ronta namun tidak bisa melepaskan kedua tangannya yang terpegang. Ceng Ceng marah sekali, kakinya menendang-nendang namun selalu dapat ditangkis oleh kaki pemuda itu. Betapapun juga, memegang seorang dara yang liar seperti itu sama dengan memegang seekor harimau betina, salah-salah bisa terkena cakarnya. Maka pemuda itu berkata sungguh-sungguh,

   "Gadis liar! Kalau kau tak menghentikan kegalakanmu, terpaksa aku akan menghukummu dengan ciuman-ciuman pada mulutmu!"

   Diancam pukulan atau maut, agaknya Ceng Ceng takkan merasa takut. Akan tetapi diancam ciuman, hal yang sama sekali belum pernah dialaminya biar dalam mimpi sekalipun, meremang seluruh bulu di tubuhnya, dan otomatis dia menghentikan gerakan tubuhnya. Melihat ini, pemuda itu tertawa dan sekali mendorong, tubuh Ceng Ceng terlempar dan terbanting ke atas tanah.

   "Huh, biar kau belajar ilmu silat lagi sampai kau menjadi nenek-nenek keriput, tak mungkin engkau dapat melawanku."

   Pemuda itu mengejek dengan nada suara sombong sekali. Ceng Ceng yang terduduk di atas tanah itu tak bergerak, hati dan pikirannya terasa sakit bukan main. Pemuda ini seorang pemuda yang tampan dan berkepandaian begitu tinggi, dan kini dia dapat menduga-duga bahwa dia yang terseret arus sungai tentu telah ditolong oleh pemuda ini, tentu dalam keadaan hampir mati dan basah kuyup. Pemuda aneh ini, yang tampan dan gagah, tentu telah mengeluarkan air dari perutnya dan karena pakaiannya basah kuyup, tentu telah menanggalkan pakaian itu dan memakaikan jubahnya kepadanya, dan pakaiannya itu,

   Sampai sepatu-sepatunya, dijemur sampai kering, mungkin setelah dicuci dulu karena terkena lumpur. Dan ketika menanggalkan semua pakaiannya, pemuda itu jelas tidak melakukan sesuatu yang melanggar susila, kalau demikian halnya, tidak akan begini keadaannya. Pemuda yang aneh, tampan, gagah, kurang ajar akan tetapi juga baik sekali. Justeru kebaikan pemuda itulah yang membuat hatinya menjadi makin sakit, karena betapapun baik dan tampan dan gagahnya, pemuda itu kini ternyata tidak menghargainya, menghinanya, memandang rendah mengatakannya pelayan dan biar sampai menjadi nenak-nenek keriput takkan mampu melawannya. Dan pemuda itu sudah dua kali mengalahkannya. Dia jengkel sekali, marah sekali. Melawan dengan tenaga, tidak mampu, bahkan kalah jauh sekali.

   Melawan dengan maki-makian, ternyata pemuda itupun pandai sekali bicara, bahkan setiap kata-katanya menusuk perasaan! Dia kalah segala-galanya! Perasaan ini membuat dia terasa begitu nelangsa, teringat dia akan kakeknya, karena kalau ada kakeknya, tentu tidak ada manusia berani bersikap begini kurang ajar kepadanya. Selama hidupnya, ketika kakeknya masih ada, dia belum pernah mengalami penghinaan seperti ini. Juga kalau ada Syanti Dewi yang biarpun halus dan lemah namun amat berwibawa itu, agaknya dia ada yang membela. Sekarang, dia seorang diri dan dihina orang tanpa mampu melawan sedikitpun. Teringat akan ini, biarpun pada dasarnya Ceng Ceng bukan seorang dara yang cengeng, bahkan amat keras hati dan pantang menangis karena iba diri, kini tak dapat menahan tangisnya dan dia menundukkan muka, menutupi kedua matanya yang mengalirkan air mata.

   Siapakah pemuda tampan yang amat lihai itu? Dia ini bukan lain adalah Ang Tek Hoat! Seperti telah diceritakan di bagian depan, pemuda ini semenjak meninggalkan ibunya di puncak Bukit Angsa di lembah Huang-ho, telah banyak mengalami hal yang hebat-hebat. Selama dua tahun dia menjadi murid Sai-cu Lo-mo dan memperoleh ilmu kepandaian yang amat tinggi, kemudian petualangannya sebagai Si Jari Maut dengan menggunakan nama Gak Bun Beng untuk merusak nama musuh pembunuh ayahnya yang sudah meninggal itu dan kemudian setelah dia dikalahkan oleh Puteri Milana yang membuat dia malu dan penasaran sekali dia bertemu dengan Kong To Tek bekas tokoh Pulau Neraka yang telah mewarisi kitab-kitab peninggalan dua orang Iblis Tua dari Pulau Neraka, yaitu Cui-beng Koai-ong dan Bu-tek Siauw-jin.

   Karena Kong To Tek menderita sakit ingatan, tokoh ini yang melihat wajah Tek Hoat mirip sekali dengan Wan Keng In yang sudah meninggal, mengira bahwa dia berhadapan dengan Wan Keng In dan menyerahkan pusaka-pusaka peninggalan dua orang Iblis Tua itu kepada Tek Hoat, berikut pedang pusaka Cui-beng-kiam yang ampuh dan catatan pembuatan obat perampas ingatan yang amat luar biasa. Karena mencobakan obat perampas ingatan dan obat penawarnya kepada Kong To Tek, maka kakek ini waras kembali dan melihat dia tertipu, dia hendak membunuh Tek Hoat namun kalah dan bahkan dia yang terbunuh oleh Tek Hoat yang telah menjadi lihai sekali! Dengan hati girang Tek Hoat yang telah mewarisi ilmu kepandaian hebat, bahkan masih ada dua buah kitab peninggalan Cui-beng Koai-ong dan Bu-tek Siauw-jin yang dianggap gurunya dan yang belum dilatihnya,

   Pemuda ini lalu pergi hendak pulang ke rumah ibunya di puncak Bukit Angsa, membawa dua buah kitab dan sebatang pedang. Kini dia tidak sudi lagi menyamar dengan nama Gak Bun Beng. Dia telah menjadi seorang yang berilmu tinggi, dan dia menganggap bahwa di dunia ini tidak akan ada yang dapat melawannya, maka dia berhak menggunakan namanya sendiri dan hendak mencari nama besar dengan cara yang akan menimbulkan kegemparan di dunia! Akan tetapi betapa kecewa hatinya ketika dia tiba di puncak Bukit Angsa, dia mendapatkan rumah ibunya kosong dan ibunya tidak berada lagi di rumah itu. Bahkan melihat bekas-bekasnya, agaknya sudah lama ibunya meninggalkan rumah itu tanpa meninggalkan pesan apapun dan kepada siapapun. Tek Hoat menjadi jengkel dan marah kepada ibunya, lupa bahwa dialah yang telah melanggar janji.

   Ketika pergi dahulu, dia berjanji untuk pulang menengok ibunya setiap tahun, akan tetapi dia telah pergi hampir empat tahun lamanya dan baru ini dia pulang! Terpaksa dia meninggalkan lagi Bukit Angsa dengan tujuan mencari ibunya, dan terutama sekali mencari nama besar di dunia kang-ouw. Pertama-tama dia harus mengunjungi Bu-tong-pai dan memberi hajaran kepada para tokoh Bu-tong-pai yang telah berani menghinanya empat tahun yang lalu! Kedua, dia akan mencari Puteri Milana di kota raja dan akan menantangnya untuk menebus kekalahannya dua tahun yang lalu! Kemudian dia akan membuat geger dunia kang-ouw dan minta diakui sebagai jagoan nomor satu, lalu dia akan menantang Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman Majikan Pulau Es! Dengan cita-cita besar itu, pergilah Tek Hoat dari Bukit Angsa.

   Akan tetapi sebelum semua cita-citanya terkabul, dia bertemu dengan rombongan Pek-lian-kauw dan dalam bentrokan kecil antara dia dengan para tokoh Pek-lian-kauw, dia telah memperlihatkan kepandaiannya yang dahsyat. Para tokoh Pek-lian-kauw tertarik, lalu membujuknya dan membawa pemuda yang masih hijau ini pergi menghadap Pangeran Tua, yaitu Pangeran Liong Bin Ong di kota raja! Pertemuannya dengan Pangeran Liong Bin Ong membuat terbuka mata pemuda ini bahwa jalan satu-satunya untuk mencari kedudukan tinggi, juga membuat nama besar dan melakukan kegemparan di dunia, adalah membantu pangeran ini. Kalau sampai mereka berhasil merampas tahta kerajaan, tentu dia akan memperoleh pangkat tinggi dan siapa tahu terdapat kesempatan baginya untuk kelak merampas mahkota sendiri dan menjadi kaisar!

   Lamunan muluk-muluk ini membuat Tek Hoat untuk sementara melupakan urusan pribadinya dan mulailah dia mengabdi kepada Pangeran Tua yang mengangkatnya menjadi pengawal kepala dan menugaskannya mewakili pangeran ini mengadakan kontak dengan para pembantu pangeran di luar kota raja. Ketika Kaisar Kang Hsi melamar Puteri Syanti Dewi di Bhutan untuk diperisteri adik tirinya, Pangeran Long Khi Ong, adik tiri Pangeran Tua, diam-diam Pangeran Tua ini tidak setuju. Tentu saja dia tidak setuju karena ikatan keluarga itu akan memperkuat kedudukan kaisar atau kakak tirinya sendiri di dunia barat. Karena itulah maka diam-diam dia mengusahakan agar pernikahan itu gagal dan dia lalu mengirim sogokan dan bujukan kepada Raja Muda Tambolon pemberontak di daerah Bhutan untuk menghalangi diboyongnya Puteri Syanti Dewi di daratan besar.

   Bahkan dia mengutus para kepercayaannya yang baru, Ang Tek Hoat untuk menyelidiki ke Bhutan dan membantu usaha penggagalan pernikahan itu. Demikianlah singkatnya keadaan Ang Tek Hoat yang muncul di Bhutan sebagai seorang pemuda yang menyembunyikan mukanya di balik caping lebar ketika Puteri Syanti Dewi hendak mandi. Kemudian melihat bahwa pasukan Raja Muda Tambolon berhasil, dia diam-diam membayangi sang puteri bersama Ceng Ceng yang melarikan diri. Dia pula yang menyamar sebagai pedagang garam untuk membantu dua orang gadis pelarian itu lolos, kemudian dia menyamar sebagai tukang perahu. Semua itu dilakukan agar dia dapat mengamat-amati dua orang gadis itu, dan terutama sekali agar Puteri Syanti Dewi tidak sampai lolos dan dapat mencapai kota raja.

   Kalau saatnya tiba, dia akan "menggiring"

   Sang puteri ini dan dihaturkan kepada majikannya, kemudian terserah keputusan Pangeran Liong Bin Ong. Hanya dia harus mengakui bahwa diam-diam dia tertarik dan terpesona oleh kecantikan dan sikap halus sang puteri, sehingga diam-diam membayangkan betapa akan gembiranya kalau dia dapat menduduki pangkat tinggi, kalau mungkin kaisar, dengan seorang isteri seperti puteri Bhutan ini! Baru sekali ini Tek Hoat merasa tertarik kepada seorang wanita, dan biasanya dia memandang rendah kaum wanita. Akan tetapi, rencananya menjadi berantakan karena kenakalan Ceng Ceng yang melemparkan buntalannya ke sungai. Padahal buntalan itu berisi pedang Cui-beng-kiam! Tentu saja dia tidak mau kehilangan pedang itu dan cepat meloncat ke air sehingga perahu itu hanyut sendiri.

   Dia melakukan pengejaran sambil berenang secepatnya. Namun tetap saja tidak dapat mencegah terjadinya tabrakan sehingga perahu itu terguling. Cepat dia meloncat ke darat dan lari di sepanjang tepi sungai dan akhirnya dia melihat Ceng Ceng dalam keadaan pingsan hanyut di air. Dia segera menolong gadis itu, namun tidak berhasil menolong Puteri Syanti Dewi, sama sekali dia tidak mimpi bahwa puteri itu telah ditolong oleh seorang yang namanya akan membuat dia terkejut seperti melihat mayat hidup, yaitu Gak Bun Beng musuh besarnya, pembunuh ayahnya yang telah dianggapnya mati itu. Tek Hoat yang memiliki watak amat luar biasa, kejam, dingin, tak mengenal sedikitpun perasaan iba, penuh dendam dan penuh kebencian terhadap manusia umumnya, hanya mengejar keuntungan diri pribadi saja, betapapun juga bukanlah seorang yang mudah hanyut oleh nafsu berahi.

   Dia seorang pemuda yang kuat luar dalam, kuat pula perasaannya yang seperti membeku dingin sehingga ketika dia menolong Ceng Ceng, mengempiskan perut dara itu yang penuh air, kemudian menanggalkan pakaian Ceng Ceng karena pakaian itu basah kuyup, melihat bentuk tubuh yang sedang mekar dan menggairahkan itu, dia sama sekali tidak terangsang! Bahkan secara kasar dia menolong Ceng Ceng karena marah, menganggap gadis ini yang menghan-curkan rencananya sehingga dia terpisah dari Syanti Dewi. Kemudian setelah melihat nyawa Ceng Ceng tertolong, dia mengenakan jubahnya pada gadis itu dan menangkap ayam, memanggangnya, kemudian dia memancing ikan. Selanjutnya kita telah mengetahui apa yang terjadi. Kini, melihat Ceng Ceng menangis, Tek Hoat mengerutkan alisnya. Hatinya seperti ditusuk-tusuk atau diremas-remas.

   Memang ada keanehan pada diri Tek Hoat, keanehan yang seolah-olah tidak normal, yaitu dia tidak tahan melihat orang menangis, atau lebih tepat, melihat wanita menangis! Mungkin saja hal ini timbul dan menjadi wataknya karena di waktu dia masih kecil, sering sekali dia melihat ibunya menangis sesenggukan dan terisak-isak dengan sedihnya, bahkan hampir setiap malam dia melihat ibunya menangis seorang diri dan kalau ditanya kenapa menangis, ia hanya menggeleng kepalanya. Boleh jadi Tek Hoat merupakan pemuda keras hati dan dingin yang tiada keduanya di dunia, apalagi setelah dia mempelajari ilmu-ilmu mujijat dari dua Iblis Tua Pulau Neraka, wataknya menjadi makin tidak lumrah. Namun kesan mendalam karena tangis ibunya setiap malam itu masih melekat di hatinya sehingga kini, melihat Ceng Ceng menangis, dia seolah-olah mendengar ibunya menangis dan hatinya seperti diremas-remas!

   "Aihh, kenapa kau menangis?"

   Tanyanya sambil membalikkan tubuh, duduk menghadapi gadis itu. Ditanya dengan suara yang halus seperti itu, makin menjadi-jadi tangis Ceng Ceng, akan tetapi segera ditahannya ketika teringat bahwa yang menegurnya adalah pemuda yang memanaskan dan menjengkelkan hatinya itu. Dia mengintai dari celah-celah jari tangannya dan dengan heran dia melihat betapa pemuda itu amat pucat wajahnya, pandang matanya sayu dan amat berduka, agaknya menderita sekali melihat dia menangis!

   "Sudahlah, mengapa menangis? Aku tidak mengganggumu dan kalau tadi kau tersinggung, sudahlah kau maafkan aku dan jangan menangis...."

   Suaranya halus dan lunak, bahkan agak gemetar! Hal ini mengherankan hati Ceng Ceng sehingga otomatis tangisnya berhenti. Teringat dia akan kata-kata pemuda itu tadi ketika dia menyerangnya.

   "Melihat orang mengamuk, masih mending, asal jangan melihat orang menangis!"

   Agaknya pemuda ini memiliki "kelemahan", pikirnya. Yaitu tidak tahan melihat orang menangis! Teringat akan ini, Ceng Ceng lalu menangis lagi sesenggukan! Dan diam-diam dia mengintai dari celah-celah jari tangannya, melihat betapa pemuda itu memejamkan matanya, menggigit bibirnya dan berkata dengan lantang,

   "Harap kau jangan menangis!"

   Akan tetapi Ceng Ceng menangis terus, memaksa diri menangis sungguhpun kini tidak ada air matanya yang keluar, karena memang tangisnya tangis buatan, disembunyikan di balik kedua tangannya. Karena dia tertarik melihat sikap pemuda yang aneh itu dia lupa akan kemarahan dan kedukaannya, maka tentu saja sukar baginya untuk menangis benar-benar. Tek Hoat makin tersiksa. Suara sesenggukan itu persis suara ibunya di waktu malam.

   "Nona, kau maafkan aku dan jangan menangis. Kau lihat aku tidak melakukan sesuatu kepadamu, bukan? Kalau aku berniat buruk, betapa mudahnya aku memperkosamu ketika kau pingsan. Akan tetapi aku tidak berniat buruk...."

   "Uhuuuu.... huuhhh.... huuuu....!"

   Ceng Ceng memperhebat tangisnya dan dari celah-celah jari tangannya dia melihat betapa pemuda itupun makin hebat penderitaannya.

   "Kau.... kau.... telah menanggalkan pakaianku, engkau telah menelanjangi aku, berarti engkau telah menghinaku uh-hu-huuu....!"

   "Nanti dulu, jangan menangis, nona. Memang benar aku telah menanggalkan semua pakaianmu, kemudian mengenakan jubahku ini kepadamu. Akan tetapi kalau tidak begitu, habis bagaimana? Pakaianmu basah kuyub, engkau terancam bahaya maut dan satu-satunya cara untuk menolongmu hanya mengeluarkan air dari perutmu, kemudian mengeringkan pakaianmu. Aku melakukan itu untuk menolongmu, untuk menyelamatkan nyawamu...."

   "Uhu-hu-hu, bohong.... huuuu.... bagaimanapun juga, kau telah menghinaku dan setelah kau melihat aku telanjang, bagaimana aku tidak akan malu setengah mati? Bagaimana aku dapat bertemu pandang denganmu? Uhu-hu-huuu...."

   "Kalau begitu jangan memandang aku...."

   Ceng Ceng menangis makin hebat sampai menggerung-gerung. Dari celah-celah jari tangannya dia melihat benar betapa pemuda itu menjadi makin gelisah dan bingung, bahkan kemudian berkata,

   "Sudahlah, jangan menangis. Sekarang apa yang harus kulakukan untuk menebus dosa, asal kau jangan menangis...."

   "Kau harus berjanji.... tidak, harus bersumpah....!"

   "Baiklah, aku bersumpah. Bersumpah bagaimana?"

   "Keluarkan saputanganmu, untuk saksi sumpah."

   Tek Hoat yang ingin agar dara itu benar-benar menghentikan tangisnya, terpaksa mengeluarkan saputangannya. Sesungguhnya, pemuda ini bukanlah seorang yang begitu bodoh. Akan tetapi dia benar-benar tidak tahan mendengar dan melihat wanita menangis, dan kalau saja bukan Ceng Ceng, tentu dia sudah menggerakkan tangan membunuhnya. Dia tidak bisa melakukan itu, dia membutuhkan dara ini. Bukankah dara ini sahabat baik Puteri Syanti Dewi? Dengan perantaraan Ceng Ceng ini dia masih ada harapan untuk mendapatkan puteri itu, kalau saja puteri itu masih hidup dan dia yakin masih karena dia tidak melihat mayatnya.

   "Baik, inilah saputanganmu,"

   Katanya mengeluarkan saputangan, tidak melihat betapa Ceng Ceng menggosok-gosok keras kedua matanya sehingga menjadi makin merah dan basah air mata ketika dia menurunkan tangan menyambut saputangan itu.

   "Taruh tanganmu di saputangan ini dan bersumpahlah!"

   Kata Ceng Ceng mengulurkan saputangan di tangannya. Terpaksa Tek Hoat meletakkan tangannya di atas saputangan yang berada di telapak tangan Ceng Ceng.

   "Bersumpahlah bahwa kau tidak akan menggangguku,"

   Kata dara itu.

   "Aku bersumpah tidak akan mengganggumu."

   Tek Hoat mengulang.

   "Dan kau tidak akan memandangku."

   "Hehhh....? Habis bagaimana? Aku kan punya mata!"

   Pemuda itu membantah.

   "Kalau kau memandangku, aku akan teringat bahwa aku pernah telanjang di depan matamu dan aku akan mati karena malu."

   "Habis bagaimana? Apakah kalau bertemu denganmu aku harus memejamkan mata?"

   "Terserah, memejamkan mata atau membalik belakang atau menutupi mata dengan saputangan, pendeknya kau tidak boleh melihat aku!"

   "Baiklah...."

   Di dalam hatinya Tek Hoat memaki.

   "Bersumpahlah bahwa kau selalu akan menutupi atau memejamkan matamu kalau bertemu denganku."

   "Aku berjanji akan selalu menutupi atau memejamkan mataku kalau bertemu."

   "Dan kau akan selalu menurut kata-kataku, kau akan mengajarkan ilmu silatmu yang tinggi kepadaku, dan engkau akan mencarikan enci Syanti sampai bertemu, dan engkau akan...."

   "Wah, tidak jadi saja kalau begitu!"

   Tek Hoat berseru keras sambil menurunkan tangannya dari saputangan.

   "Masa harus bersumpah begitu banyak? Pula, tidak mungkin aku mengajarkan ilmu silat, dan tidak mungkin harus menurut segala kata-katamu."

   Melihat ini Ceng Ceng maklum bahwa dia sudah terlalu jauh dalam tuntutannya, maka cepat dia berkata,

   "Baik, kalau begitu ulangi dua sumpahmu itu saja, bersumpah bahwa kalau sampai melanggarnya, engkau akan mati muda dan saputangannya ini menjadi saksinya!"

   Karena ingin lekas beres agar dara itu tidak rewel lagi, dia berkata,

   "Akan tetapi sebagai imbalannya, kau pun harus bersumpah bahwa kau tidak akan menangis lagi!"

   "Baik, aku bersumpah takkan menangis lagi kalau kau sudah bersumpah."

   Tek Hoat menarik napas panjang, meletakkan tangannya di atas saputangan lalu berkata,

   "Aku...."

   "Sebutkan namamu!"

   "Aku.... Ang Tek Hoat, bersumpah bahwa aku tidak akan mengganggumu...."

   "Sebutkan namaku, Lu Ceng!"

   "....bahwa aku tidak akan mengganggu Lu Ceng, dan bahwa aku akan selalu menutupi atau memejamkan mata kalau bertemu dengan Lu Ceng dan kalau aku melanggar sumpah ini, biarlah aku mati muda dan saputangan ini menjadi saksi!"

   Ceng Ceng girang sekali lalu menyimpan saputangan itu di sakunya.

   "Heiii, kau mau melanggar sumpah? Hayo pejamkan mata atau, membalik! Aku mau berganti pakaian!"

   Tek Hoat yang terlupa dan membuka mata memandang tadi, cepat-cepat memejamkan mata dan memutar tubuhnya membalik, diam-diam dia mengutuk diri sendiri mengapa dia mau bersumpah seperti itu. Akan tetapi, dia sudah terlanjur bersumpah dan memang dia memerlukan gadis ini untuk dapat bertemu kembali dengan Syanti Dewi dan melaksanakan cita-citanya terhadap puteri Bhutan itu. Kalau segala itu sudah tercapai, membunuh gadis ini apa sih sukarnya? Biarlah sementara ini dia mengalah dulu.

   Pula, dia juga merasa kurang enak dan tidak aman kalau harus melanggar sum-pahnya. Siapa tahu, sumpah itu benar-benar manjur dan kalau dilanggarnya dia akan mati muda! Dia bergidik! Nanti dulu, ya! Dia masih mempunyai banyak cita-cita yang belum terlaksana. Pokok-nya hanya terletak pada saputangan itu. Kalau kelak dia membunuh gadis ini, atau setidaknya merampas kembali saputangannya, berarti sumpahnya sudah punah karena tidak ada lagi saksinya! Dengan hati gembira Ceng Ceng mengganti jubah yang kedodoran itu dengan pakaiannya sendiri, menyimpan saputangan di balik kutangnya, dan sambil berganti pakaian dia memandang punggung pemuda itu dengan tersenyum. Dia menang! Tak disadarinya lagi, dia memberes-bereskan pakaian dan rambutnya agar kelihatan patut. Dia mempersolek diri untuk pemuda itu tanpa disadarinya!

   "Aku sudah selesai!"

   Akhirnya dia berkata, ingin melihat pemuda itu memandangnya dengan kagum. Setelah mengenakan pakaiannya sendiri, tentu dia akan tampak lebih cantik! Akan tetapi pemuda itu sama sekali tidak menoleh, bahkan melanjutkan memancing ikan dan tiba-tiba mengangkat tangkai pancingnya dan seekor ikan lele yang gemuk menggelepar-gelepar. Ceng Ceng kecewa, akan tetapi segera teringat. Celaka! Pemuda itu tentu tidak akan memandangnya! Karena sumpah itu! Perlu apa dia bersolek? Wah, serba berabe kalau begini. Akan tetapi dia tahu bahwa pemuda ltu lebih repot lagi karena harus menghindarkan pandang matanya dari Ceng Ceng. Biar tahu rasa dia! Pikiran ini mengusir kekecewaannya.

   

Pendekar Super Sakti Eps 43 Pendekar Super Sakti Eps 41 Pendekar Super Sakti Eps 29

Cari Blog Ini