Pendekar Tanpa Bayangan 15
Pendekar Tanpa Bayangan Karya Kho Ping Hoo Bagian 15
Ceng Ceng menggeleng kepala.
"Tidak, biarlah karma buruk yang akan menimpa dirimu kelak sebagai balasan kejahatanmu, datang melalui orang lain. Sekarang biarkan aku pergi, harap jangan mengepung aku."
"Eeiit, nanti dulu, Nona Liu Ceng Ceng," Kim Bayan lalu memberi isyarat kepada anak buahnya untuk mundur menjauhinya. Setelah para perajurit menjauh, Panglima Kim Bayan berkata lirih.
"Nona Liu Ceng Ceng, sebetulnya menurut hukumnya, kami harus menangkap engkau juga sebagai puteri orang yang dituduh pemberontak. Akan tetapi aku tidak tega untuk mengganggu seorang gadis muda seperti engkau yang ternyata amat bijaksana dan tidak mendendam karena kematian orang tuamu. Karena itu, kami memaafkanmu dengan satu syarat ringan saja."
"Hemm, syarat apa?"
"Ringan saja, engkau tentu menyimpan peta harta karun yang dulu disembunyikan Ayahmu."
Ceng Ceng mengerutkan alisnya. Ayahnya telah menyerahkan peta itu kepadanya dengan pesan agar peta itu tidak terjatuh ke tangan pemerintah Mongol, dan ia harus mencari harta karun itu untuk disumbangkan kepada para patriot bangsa yang berjuang untuk menentang penjajah Mongol. Kewajibannya adalah menjaga peta itu dan mempertahankannya dengan taruhan nyawa!
"Peta harta karun milik siapakah itu yang engkau maksudkan?"
"Peta harta karun peninggalan Thaikam Bong dari Kerajaan Sung. Ayahmu meninggalkannya kepadamu, bukan? Nah, serahkan peta itu kepadaku dan engkau akan bebas."
"Kalau harta karun itu peninggalan Kerajaan Sung, mengapa engkau memintanya? Engkau tidak berhak!"
"Hemm, Nona yang baik, sebagai puteri bekas panglima engkau tentu pernah mendengar aturan ini, yaitu semua milik kerajaan yang kalah perang menjadi hak milik kerajaan yang memenangkan perang itu. Nah, Kerajaan Sung kalah dan sudah jatuh oleh Kerajaan Goan yang menang, maka semua harta peninggalannya, termasuk harta karun itu, menjadi hak milik Kerajaan Goan (Mongol). Sebagai panglima besar Mongol aku berhak memiliki peta itu. Hayo cepat serahkan peta itu kepadaku kalau engkau ingin terbebas dari tuntutan dan hukuman."
"Ciang-kun, pada saat ini, peta tidak berada di tanganku," kata Ceng Ceng tegas.
Sejak kecil ia mendapat pendidikan ayah ibunya, di antaranya agar ia tidak bicara bohong. Kini ia bicara dengan suara tegas karena ia sama sekali tidak berbohong. Peta itu memang ada padanya, akan tetapi saat itu memang tidak berada di tangannya!
Panglima Kim Bayan menatap wajah gadis itu penuh perhatian. Melihat sikap gadis itu yang demikian tenang dan ketika bicara suaranya juga tegas, dia percaya dan menduga bahwa tentu gadis itu sebelumnya telah menyembunyikan peta itu di suatu tempat. Gadis setenang ini pasti memiliki hati yang teguh. Kalau dia memaksanya, sedikit sekali kemungkinannya ia akan mengaku di mana peta itu atau menyerahkannya kepadanya.
Tiba-tiba timbul gagasan yang dianggapnya amat baik dan menguntungkan. Memaksa dan membunuh gadis ini sekalipun tidak ada untungnya. Lebih baik dia membujuknya agar Ceng Ceng mau menjadi selirnya. Kim Bayan bukan seorang yang mata keranjang, akan tetapi kalau dia dapat mengambil Ceng Ceng menjadi selir, ada dua keuntungan baginya. Pertama, gadis ini memang cantik jelita dan tentu akan menyenangkan kalau dapat menjadi selirnya, kedua, kalau gadis ini sudah menjadi isterinya, tentu peta harta karun itu akan diberikan kepadanya!
"Nona Liu Ceng Ceng, sebetulnya menurut peraturan pemerintah, sebagai puteri pemberontak, aku harus menangkap atau bahkan membunuhmu. Akan tetapi aku merasa kasihan kepadamu melihat engkau hidup sebatang kara. Maka, marilah engkau ikut aku dan tinggal di rumahku sebagai isteriku. Engkau akan hidup bahagia, aman dan dihormati."
Ceng Ceng mengerutkan keningnya.
"Tidak, Kim-ciangkun, aku tidak mau menjadi isterimu. Sudahlah, tidak ada perlunya kita bicara lagi. Aku pergi!"
"Hemm, Liu Ceng Ceng, engkau tidak tahu diri, tidak mengenal budi kebaikan orang. Engkau menolak untuk menjadi keluargaku, berarti engkau menentangku! Dan menentang aku sama dengan memberontak!" Kim Bayan lalu memberi isyarat kepada pasukannya dan mereka segera berlarian datang mengepung Ceng Ceng.
"Tangkap gadis ini, jangan dibunuh!" perintahnya.
Para perajurit segera berebutan hendak meringkus gadis cantik itu. Akan tetapi begitu gadis itu bergerak, mereka semua terkejut karena gadis itu lenyap dan yang tampak hanya bayangan putih berkelebatan cepat bukan main. Semua terkaman mereka luput, bahkan begitu Ceng Ceng menggerakkan kaki tangannya, beberapa orang perajurit terpelanting roboh.
Melihat ini, Panglima Kim Bayan terkejut juga. Tak disangkanya gadis yang tampaknya demikian lemah lembut itu dapat bergerak sedemikian cepatnya. Tahulah dia bahwa gadis itu memiliki gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang tinggi. Dia sendiri lalu terjun dan menggerakkan tangan yang membentuk cakar untuk mencengkeram pundak Ceng Ceng, sambil membentak nyaring. Panglima ini selain lihai ilmu silatnya, juga pandai ilmu gulat. Kalau cengkeramannya itu mengenai pundak Ceng Ceng, jangan harap gadis itu akan mampu lolos.
"Haaiiiihhh......!" Ceng Ceng berseru dan tubuhnya berkelebat ke depan mengelak sambil merobohkan dua orang perajurit di depannya, lalu cepat memutar tubuh menghadapi Kim Bayan yang tadi menyerang dari belakang namun luput. Panglima Kim yang penasaran kini menubruk gadis itu bagaikan seekor biruang menubruk kambing. Dengan tubuh lentur sekali dan gerakan luar biasa cepatnya, Ceng Ceng mengelak ke kiri dan kaki kanannya mencuat, menendang ke arah perut Panglima Kim!
Panglima itu terkejut, tidak menyangka bahwa serangannya yang dahsyat tadi pun bukan saja dapat dielakkan, melainkan gadis itu bahkan menyambut dengan tendangan yang cukup kuat!
"Plakk!" Tangannya menangkis sambil berusaha untuk menangkap pergelangan kaki gadis itu. Akan tetapi tiba-tiba tubuh gadis itu mencelat ke atas dan dengan tubuh diputar kakinya yang kiri menyambar ke arah kepala Kim Bayan.
Panglima itu berseru kaget karena hampir saja mukanya kena disambar kaki Ceng Ceng. Dia membuang diri ke belakang dan terhindar dari tendangan yang dilakukan dengan tubuh di udara dan tubuh berputar itu, akan tetapi dia terhuyung ke belakang. Wajah panglima itu menjadi merah karena malu dan marah.
"Pergunakan senjata! Kalau perlu kita lukai gadis ini akan tetapi jangan dibunuh!" teriaknya kepada para perajurit.
Kini hasrat untuk mempersunting gadis itu lenyap dari pikiran Panglima Kim. Yang ada hanya keinginan mendapatkan peta dan kalau dia sudah berhasil meringkus Ceng Ceng, terluka atau tidak, dia akan menggunakan paksaan, kalau perlu dengan penyiksaan!
Karena sudah merasa jerih terhadap gadis itu, para perajurit begitu mendengar perintah komandan mereka, segera mencabut golok dan mengepung Ceng Ceng dengan wajah buas.
Ceng Ceng maklum akan bahaya yang mengancam. Untuk melarikan diri, tidak ada kesempatan karena selain banyak perajurit mengepungnya, juga Panglima Kim yang lihai itu sudah mencabut goloknya yang besar dan berat. Cepat ia melompat dan menyambar sebatang kayu ranting sebesar lengannya dan menggunakan ranting itu sebagai senjata untuk membela diri.
Kini para perajurit mulai menyerang dengan golok mereka. Ceng Ceng menyambut dengan ranting di tangannya. Gadis itu berkelebatan dan selain menangkis dan mengelak dari hujan senjata lawan, ia pun membalas dan setiap kali rantingnya berkelebat, tentu ada seorang pengeroyok terpelanting jatuh. Akan tetapi ia tidak mau membunuh dan yang dirobohkan itu hanya menderita luka yang tidak berbahaya.
Melihat ketangguhan Ceng Ceng, Kim Bayan ikut pula menyerang dan gerakan golok panglima itu dahsyat sekali sehingga Ceng Ceng harus mengeluarkan semua kecepatan dan kepandaiannya untuk melindungi dirinya. Andaikata tidak dikeroyok, kiranya Ceng Cerg mampu mengimbangi Panglima Kim Bayan. Akan tetapi karena dikeroyok banyak perajurit, ia pun mulai kerepotan.
Andaikata para pengeroyok itu bermaksud membunuhnya, kiranya Ceng Ceng tidak akan dapat bertahan lama. Akan tetapi para perajurit itu, juga Panglima Kim Bayan sendiri, menjaga serangan mereka agar jangan sampai membunuh gadis itu dan inilah yang memungkinkan Ceng Ceng untuk dapat bertahan. Namun gadis ini maklum bahwa tidak ada jalan baginya untuk melarikan diri dan kalau pertempuran itu dilanjutkan, akhirnya ia akan terluka dan tertawan juga.
Pada saat yang gawat bagi Ceng Ceng yang sudah terdesak itu, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring.
"Tak tahu malu! Laki-laki pengecut mengandalkan jumlah banyak mengeroyok seorang gadis!"
Tampak bayangan berkelebat dan seorang pemuda yang tampan sekali telah menerjang memasuki kepungan. Hebat sekali gerakan pemuda itu. Dia memegang sebatang pedang dan ketika dia bergerak, sinar hijau menyambar-nyambar dan sebentar saja empat orang perajurit pengeroyok sudah roboh dan tewas!
Pemuda berpedang hijau itu segera menyerang Panglima Kim Bayan dan gerakan pedangnya mendatangkan angin yang kuat. Kim Bayan terkejut bukan main. Dia mengerahkan tenaga dan menggunakan goloknya untuk menangkis pedang sinar hijau itu.
"Tranggg......!" Bunga api berpijar dan berhamburan ketika dua senjata itu bertemu dan Kim Bayan merasa betapa tangannya yang memegang gagang golok tergetar hebat! Dia terkejut bukan main karena maklum bahwa tingkat kepandaian pemuda yang baru datang ini tidak kalah lihainya dibandingkan tingkat kepandaian Ceng Ceng! Dia memutar goloknya dan berseru memberi aba-aba.
"Bunuh pemuda ini!" Setelah memberi aba-aba, Panglima Kim kembali menyerang dengan mengerahkan seluruh tenaganya. Dia membacokkan goloknya sambung-menyambung dan bertubi-tubi, akan tetapi pemuda itu selalu dapat menangkis dengan pedangnya yang bersinar hijau.
Sementara itu, Ceng Ceng yang kini hanya menghadapi pengeroyokan para perajurit, dapat membela diri dengan baik, bahkan merobohkan beberapa orang dengan totokan rantingnya.
Setelah menangkis serangan golok Panglima Kim beberapa kali, pemuda itu membalas dengan serangan yang dahsyat. Pedangnya berubah menjadi segulungan sinar hijau menerjang bagaikan gelombang ke arah Panglima Kim. Panglima Mongol ini memutar golok menangkis dan berseru minta bantuan anak buahnya. Empat orang perajurit menyerang pemuda itu dari belakang membantu komandan mereka. Akan tetapi pemuda itu mengeluarkan teriakan melengking, pedangnya menyambar-nyambar dan empat orang perajurit itu roboh mandi darah dan tewas seketika!
Melihat ini, Panglima Kim Bayan terbelalak dan merasa gentar juga. Biarpun dia mampu menandingi pemuda itu, namun dia pasti berada dalam bahaya karena pemuda itu sungguh tangguh dan gerakan pedangnya selain dahsyat juga liar dan aneh. Dia berseru lagi dan lebih banyak perajurit mengeroyok pemuda itu.
Ternyata pasukan pembantu datang ke tanah kuburan itu dan jumlah mereka semua tidak kurang dari limapuluh orang! Pemuda mengamuk sambil mencari Panglima Kim Bayan, akan tetapi panglima itu telah lenyap karena melihat kehebatan pemuda itu dan ketangguhan Ceng Ceng, diam-diam dia telah melarikan diri!
Ceng Ceng yang dikeroyok banyak perajurit, seperti biasa ia tidak mau membunuh, hanya merobohkan mereka dengan totokan ranting, tamparan tangan kiri atau tendangan kakinya. Ketika ia melihat betapa pemuda yang menolongnya itu mengamuk bagaikan seekor naga, membunuh banyak perajurit, ia merasa ngeri. Dengan gin-kangnya yang tinggi ia meloncat dan keluar dari kepungan, mendekati pemuda yang sedang mengamuk lalu berkata.
"Sobat, tidak perlu membunuh banyak orang. Mari kita pergi sebelum lebih banyak perajurit datang!"
Pemuda itu agaknya maklum bahwa kalau makin banyak perajurit datang, ratusan orang mungkin ribuan, dia sendiri tentu akan celaka. Tidak mungkin mereka berdua melawan ribuan orang perajurit yang mengeroyok.
"Baik, kita pergi!" katanya dan dia lalu mengamuk untuk membuka jalan. Terjangannya demikian hebat sehingga para perajurit mundur ketakutan karena siapa yang berani maju tentu roboh. Pemuda itu melihat bayangan Ceng Ceng berkelebat ringan dan cepat bukan main. Dia kagum dan melompat lalu mengejar.
Ceng Ceng sudah berlari meninggalkan tanah kuburan dengan cepat sekali. Pemuda itu mengejar dan mengerahkan gin-kangnya untuk menyusul. Akan tetapi alangkah heran dan kagumnya ketika melihat kenyataan bahwa biarpun dia sudah mengerahkan seluruh tenaganya, tetap saja gadis berpakaian putih itu selalu berada di depannya dalam jarak sekitar lima tombak dan tak pernah lebih dekat! Tahulah dia bahwa dalam hal gin-kang gadis itu benar-benar istimewa dan dia tidak mampu menandinginya!
Setelah mereka tiba jauh dari kota Nan-king, barulah Ceng Ceng berhenti dalam sebuah hutan. Ia berhenti dan membalikkan tubuhnya, tersenyum menyambut pemuda penolongnya.
Pemuda itu pun berhenti di depan Ceng Ceng. Sejenak mereka saling berpandangan dan Ceng Ceng tersenyum manis. Lalu ia merangkap kedua tangan depan dada sebagai penghormatan.
Setelah mengamati wajah dan gerak-gerik pemuda tampan itu, tahulah Ceng Ceng bahwa ia berhadapan dengan seorang gadis yang menyamar pria. Akan tetapi ia tidak mau membuka rahasia orang. Biarlah gadis itu sendiri yang mengaku. Siapa tahu gadis itu memiliki rahasia pribadi mengapa ia menyamar sebagai seorang pemuda.
"Sobat, banyak terima kasih atas pertolonganmu tadi. Kalau engkau tidak keburu datang membantu, agaknya mustahil bagiku untuk dapat meloloskan diri dari pengepungan mereka."
Dugaan Ceng Ceng memang tepat. Pemuda itu adalah seorang gadis yang menyamar. Ia adalah Tan Li Hong yang kita ketahui telah meninggalkan Coa-to (Pulau Ular) untuk pergi merantau untuk menentang Kim Bayan yang telah menangkap ayah ibunya dan yang agaknya memusuhi partai-partai persilatan besar yang dianggap sebagai kekuatan yang menentang pemerintah Kerajaan Mongol. Juga ia ingin membalaskan sakit hati ayah bundanya yang hampir tewas ketika berada dalam tahanan karena disiksa.
Tadinya secara kebetulan ia melihat gadis yang dikepung pasukan di tanah kuburan itu dan ia mengintai, mendengarkan percakapan mereka. Ia sudah marah sekali ketika mengetahui bahwa Panglima Mongol itu adalah Kim Bayan, orang yang menyiksa ayah ibunya, yang ia anggap sebagai musuh besarnya. Akan tetapi ia merasa kecewa sekali mendengar betapa gadis itu, yang orang tuanya dibunuh Kim Bayan, tidak ingin membalas dendam. Walaupun akhirnya ia membantu setelah melihat Ceng Ceng terdesak dalam kepungan, namun ia pun merasa tidak senang melihat sikap Ceng Ceng yang dianggapnya lemah.
Tadi ketika mengintai, ia tidak mendengar jelas siapa gadis yang dikepung pasukan Mongol itu. Ia merasa semakin penasaran ketika melihat bahwa gadis itu cukup lihai dan melihat pula betapa gadis itu tidak mau membunuh para pengeroyoknya, hanya merobohkan mereka tanpa membunuh atau melukai berat, seperti yang ia lakukan. Kini, setelah berhadapan, ia tidak tahan untuk tidak melampiaskan rasa penasarannya.
"Huh, tidak perlu merendahkan diri. Kulihat engkau memiliki ilmu silat yang cukup tinggi, bahkan gin-kangmu hebat. Sayang seorang gadis selihai engkau ternyata hanya seorang pengecut dan seorang anak put-hauw (tidak berbakti)!" Li Hong berkata demikian sambil menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka Ceng Ceng dan matanya yang jernih itu mengeluarkan sinar mencorong marah.
Ceng Ceng memandang heran, namun tetap tersenyum. Ia tahu bahwa ia berhadapan dengan seorang gadis yang cantik, memiliki ilmu silat yang tinggi, akan tetapi berwatak liar dan ganas. Tadipun gadis itu mengamuk dan membunuh banyak perajurit, padahal gadis ini tidak mempunyai urusan pribadi dengan pasukan Mongol dan ia hanya datang membantu atau menolongnya. Kini gadis itu memakinya dengan marah, membuat ia merasa heran akan tetapi juga merasa geli, seperti melihat seorang anak kecil yang ngambek!
"Kalau boleh aku bertanya, mengapa engkau menganggap aku pengecut dan tidak berbakti kepada orang tuaku?"
"Sudah jelas masih bertanya lagi! Panglima Kim Bayan itu telah membunuh ayah ibumu. patutnya engkau membalas dendam dan membunuhnya, apalagi engkau tentu tahu bahwa dia itu seorang panglima yang jahat dan kejam. Akan tetapi engkau tidak mau membalas dendam seperti yang kudengar dari percakapanmu dengan dia tadi. Bukankah itu berarti engkau takut dan pengecut, dan juga tidak berbakti kepada orang tuamu? Apalagi aku melihat engkau tidak mau membunuh seorang pun perajurit yang mengeroyokmu. Huh, sebal aku melihatmu!"
Ceng Ceng tetap tersenyum.
"Terserah engkau mau anggap aku bagaimana. Akan tetapi ketahuilah bahwa kalau aku tidak mau membalas dendam kematian orang tuaku, hal itu justeru karena aku menaati nasihat orang tuaku. Dan aku memang tidak mau membunuh orang karena pekerjaanku bukan untuk membunuh orang melainkan untuk menyembuhkan orang."
Li Hong mengerutkan alisnya. Ucapan Ceng Ceng bahwa gadis itu pekerjaannya menyembuhkan orang, membuat ia teringat akan cerita yang didengar dari gurunya, yaitu Ban-tok Niocu. Ia mengamati lagi gadis itu dan melihat pakaian Ceng Ceng yang serba putih, ia makin curiga bahwa mungkin gadis ini yang diceritakan oleh Ban-tok Niocu.
"Hemm, siapakah namamu?"
"Namaku Liu Ceng Ceng."
Li Hong membelalakkan matanya. Biarpun tadi ia sudah menduga, kini ia terkejut juga mendengar pengakuan gadis itu. Satu di antara niatnya mengembara adalah untuk mencari gadis yang bernama Liu Ceng Ceng!
"Ah, jadi dugaanku benar, engkau gadis yang pandai mengobati itu? Engkau yang telah menyembuhkan dan melenyapkan cacat di wajah Ban-tok Kui-bo?"
Ceng Ceng tersenyum.
"Sekarang ia tidak mau lagi disebut Kui-bo (Biang Iblis). Julukannya menjadi Ban-tok Niocu. Dan engkau, kalau aku tidak salah duga, pasti muridnya, gadis yang telah melukai Goat-liang Sanjin dan membunuh Susiok Im Yang Yok-sian. Benarkah dugaanku?"
Li Hong terkejut.
"Engkau....... tahu bahwa aku seorang wanita?"
"Tentu saja. Engkau lupa bahwa aku seorang murid tabib pandai yang tentu mengenal baik ciri-ciri seorang wanita walaupun engkau menutupinya dengan pakaian laki-laki."
"Ceng Ceng...... kebetulan sekali, aku memang hendak mencarimu!" katanya.
"Mencari aku? Apakah hendak kau lukai atau kau bunuh seperti Susiok?"
Li Hong memandang dengan muka berubah merah.
"Ceng Ceng, jangan menyindir! Aku merasa menyesal sekali telah menyerang dan melukai ketua Hoa-san-pai dan terpaksa membunuh Im Yang Yok-sian. Aku melakukannya karena aku menaati perintah guruku yang mengharuskan aku membunuh Goat-liang Sanjin dan aku hanya berhasil melukainya. Akan tetapi ketika aku mendengar bahwa mereka hendak minta tolong Im Yang Yok-sian untuk mengobatinya, aku khawatir kalau ketua Hoa-san-pai dapat disembuhkan. Berarti tugasku itu gagal. Maka terpaksa aku bunuh Im Yang Yok-sian untuk menghalanginya menyembuhkan Goat-liang Sanjin."
"Aku sudah mendengar semua itu dari gurumu, hanya yang belum kuketahui adalah namamu karena belum disebut oleh Ban-tok Niocu."
"Ceng Ceng, namaku adalah Tan Li Hong dan aku mencarimu untuk menyatakan penyesalanku telah membunuh paman gurumu Im Yang Yok-sian dan minta maaf. Aku juga hendak menghadap ketua Hoa-san-pai untuk menyatakan permintaan maaf."
"Li Hong, engkau tidak perlu minta maaf kepadaku atau kepada orang lain. Engkau hanya dapat minta ampun kepada Thian (Tuhan) dengan bukti perbuatan, yaitu engkau bertaubat dan tidak mengulangi lagi perbuatanmu yang lalu, yang engkau anggap keliru dan engkau sesali itu. Minta ampun kepada Tuhan hanya dengan kata-kata dalam doa saja tidak ada gunanya apabila tidak dibuktikan dengan pertaubatan yang sungguh, yaitu tidak mengulang lagi kesalahan yang lalu."
"Ceng Ceng, guruku telah menceritakan tentang dirimu sebagai seorang gadis muda yarg bijaksana. Bicaramu seperti pendeta saja! Berapa sih usiamu?" Li Hong bertanya setelah tertegun mendengar ucapan yang keluar dari mulut Ceng Ceng.
Ceng Ceng tersenyum manis dan menatap wajah Li Hong dengan muka berseri.
"Kukira tidak berselisih jauh dengan usiamu, Li Hong. Aku berusia sembilanbelas tahun."
"Aih, sebaya dengan aku! Akan tetapi engkau amat baik, biasa menolong dan menyembuhkan orang sakit, sedangkan aku, aku biasa membunuh orang yang kuanggap bersalah!"
"Tidak begitu, Li Hong. Segala sesuatu di dunia ini wajar-wajar saja. Baru muncul istilah baik buruk apabila orang memandangnya dengan penilaian, lalu muncul pendapat baik atau buruk itu."
"Apa maksudmu, Ceng Ceng? Bukankah yang baik itu baik dan yang jahat itu jahat? Aku tidak mengerti maksudmu ketika engkau mengatakan bahwa segala sesuatu itu wajar, tidak baik dan tidak buruk. Cobalah beri contoh."
"Misalnya turun hujan, bagaimana pendapatmu. Baik atau burukkah itu?"
Li Hong berpikir sejenak.
"Hemm, bagiku tidak baik tidak buruk."
"Itulah, karena engkau tidak merasakan, karena saat ini tidak ada air hujan menimpa dirimu. Akan tetapi begitu air hujan menimpa diri orang, lalu orang menilainya. Kalau dia merasa diuntungkan oleh hujan, maka dia mengatakan hujan itu baik. Sebaliknya kalau dia merasa dirugikan oleh hujan, dia tentu akan mengatakan bahwa hujan itu buruk! Padahal, seperti kaukatakan tadi, hujan ya hujan, wajar saja, tidak baik tidak buruk. Baik buruk itu merupakan suatu pendapat hasil penilaian, dan penilaian ini sudah pasti bersumber dari ke-akuan, kalau aku disenangkan baik, kalau aku disusahkan buruk."
"Hemm, habis bagaimana kita harus menghadapi suatu perkara yang menimpa kita? Misalnya datang hujan?"
"Tidak perlu menilai, kita menghadapi sebagai suatu kewajaran dan ini mendatangkan kebijaksanaan dalam hati akal pikiran kita untuk bertindak, berbuat dan berikhtiar bagaimana memanfaatkan air hujan itu."
"Akan tetapi bagaimana kalau mengenai diri seorang manusia? Tentu ada manusia jahat dan manusia baik, bukan?" Li Hong mengejar karena ia belum mengerti benar.
"Sama saja, Li Hong. Baik buruknya seorang manusia pun ditentukan oleh penilaian yang bersumber dari ke-akuan. Contohnya begini. Andaikata seluruh manusia di dunia ini berpendapat bahwa aku ini orang yang paling baik di dunia, akan tetapi aku memusuhimu, memusuhi keluargamu, merugikanmu, apakah engkau dapat mengatakan bahwa aku ini baik seperti pendapat semua manusia lain?"
Li Hong menggelengkan kepalanya.
"Tidak mungkin aku berpendapat bahwa engkau baik kalau engkau memusuhi aku, Ceng Ceng."
"Sekarang sebaliknya. Andaikata, manusia berpendapat bahwa aku ini orang yang paling jahat di dunia, akan tetapi aku bersikap baik kepadamu dan keluargamu, menguntungkanmu, mengasihimu, apakah engkau dapat mengatakan bahwa aku ini orang jahat seperti pendapat semua orang itu?"
"Hemm, tentu engkau kuanggap baik, Ceng Ceng."
"Nah, jelaslah bahwa pendapat berdasarkan penilaian itu tidak mutlak benar. Apa yang baik bagi kita belum tentu baik bagi orang lain, apa yang jahat bagi kita pun belum tentu jahat bagi orang lain. Karena sumber penilaian datang dari aku, maka penilaian yang menjadi pendapat itu selalu berubah. Yang hari ini dianggap jahat karena merugikan besok mungkin dianggap baik karena menguntungkan dan sebaliknya."
"Hemm, membingungkan. Aku tadi mendengar bahwa orang tuamu dibunuh oleh Panglima Kim Bayan yang jahat. Mengapa engkau tidak membalas dendam? Apakah sikap itu baik?"
"Wajar saja, Li Hong. Kim Bayan menanam pohon kejahatan, pasti dia akan makan buah pohon itu, pasti perbuatannya akan dihukum, dan biarlah hukuman itu jatuh kepadanya bukan melalui perbuatanku."
"Huh, apakah bukan karena takut?"
"Sama sekali tidak. Kalau aku sekarang mendendam dan membalas kematian ayah ibuku dan aku membunuh Kim Bayan, apakah engkau mengira hal itu selesai? Sama sekali tidak, bahkan rantai Karma itu akan makin panjang. Kim Bayan membunuh ayah ibuku pasti merupakan akibat dari suatu sebab. Kalau aku misalnya dapat membunuh Kim Bayan, pasti akan ada keluarganya yang mendendam kepadaku dan berusaha membunuhku. Kalau dilanjutkan, dendam mendendam ini tidak akan ada habisnya, mengikat keturunan atau keluarga kita. Aku tidak mau terikat dendam bunuh membunuh seperti itu karena hal itu merupakan suatu kebodohan. Aku percaya dan yakin bahwa Tuhan Maha Kuasa dan Maha Adil, pasti akan memberi ganjaran setimpal kepada manusia sesuai dengan perbuatan kita."
"Ih, Ceng Ceng, mengapa engkau tidak menjadi pendeta wanita saja?" kata Li Hong cemberut.
Dengan ramah Ceng Ceng tersenyum.
"Li Hong, untuk menyadari tentang hakikat hidup orang tidak perlu menjadi pendeta!"
"Ah, sudahlah, Ceng Ceng! Aku tetap akan mencari dan membunuh jahanam Kim Bayan itu, bukan hanya untuk membalas kekejamannya terhadap ayah ibuku, juga untuk membalas kematian orang tuamu dan mencegah dia berbuat jahat lebih lanjut. Nah, selamat tinggal, Ceng Ceng."
"Selamat berpisah, Li Hong."
Li Hong berlari cepat meninggalkan Ceng Ceng yang mengikutinya dengan pandang mata, lalu ia tersenyum dan menggelengkan kepalanya. Gadis yang lihai, liar dan galak, akan tetapi ia dapat merasakan bahwa di balik kekasaran dan keganasannya itu tersimpan hati yang baik dan yang selalu menentang kejahatan dan membela kebenaran dan keadilan. Tidak mengherankan kalau Li Hong memiliki watak keras, galak dan ganas karena ia adalah murid Ban-tok Niocu yang dulu berjuluk Ban-tok Kui-bo! Ia pun lalu meninggalkan hutan itu.
Ketika ia teringat akan ayah ibunya, wajahnya yang cantik dan lembut itu menjadi sayu dan sepasang matanya kembali basah air mata. Bagaimanapun juga, Ceng Ceng adalah seorang manusia biasa, seorang wanita pula yang berperasaan amat peka. Kini ia merasa betapa hidupnya sebatang kara, tiada sanak keluarga, yatim piatu dan rumah pun tidak punya karena rumah orang tuanya telah disita pemerintah Kerajaan Goan.
Ia teringat akan surat ayahnya. Diambilnya surat itu dan diperiksanya selembar peta. Setelah mempelajari sejenak peta berupa gambar itu, ia mengambil kesimpulan bahwa tempat disembunyikannya harta karun itu tidak jauh dari kota raja Peking. Gambar Naga dan Burung Hong yang berada di tengah merupakan simbol dari kaisar, maka pasti yang dimaksudkan gambar itu adalah kota raja! Agaknya tempat harta karun itu berada di sebelah selatan Peking, menurut petunjuk peta itu belasan mil di sebelah selatan kota raja. Maka ia pun melanjutkan perjalanannya dengan santai menuju Peking.
Pouw Cun Giok memasuki kota Cin-yang. Semenjak berpisah dari Ceng Ceng setelah bersama gadis itu berkunjung ke Pulau Ular di mana Ceng Ceng menyembuhkan bekas luka codet di wajah Ban-tok Niocu sehingga ia memperoleh obat penawar luka beracun yang diderita Goat-liang Sanjin ketua Hoa-san-pai, kemudian Ceng Ceng mengobati ketua Hoa-san-pai, pemuda itu merantau.
Dia pergi ke mana saja hati dan kakinya membawanya, tanpa tujuan tertentu. Akan tetapi di sepanjang jalan, baik di desa maupun di kota, Cun Giok selalu menentang kejahatan dan membela kebenaran dan keadilan.
Pemuda ini memang seorang pendekar yang amat lihai. Terutama sekali ginkangnya yang luar biasa sehingga kalau dia sudah bergerak ketika menghadapi pertempuran, tubuhnya berkekebatan sukar diikuti pandang mata seolah dia pandai menghilang saja. Akan tetapi, Pouw Cun Giok bukan seorang yang kejam. Dia selalu menghadapi orang jahat dengan niat menghajarnya sampai orang itu jera dan mau bertaubat. Bahkan seringkali dia memberi uang kepada mereka yang mencuri dan melakukan kejahatan karena keadaannya yang amat miskin.
Akan tetapi terhadap mereka yang suka menindas rakyat, yang mengandalkan kekuatan maupun kedudukan atau harta benda, dia memberi hajaran keras walaupun jarang sekali dia mau membunuh. Semua perbuatan gagah perkasa ini membuat nama julukannya sebagai Bu Eng Cu (Si Tanpa Bayangan) menjadi semakin terkenal. Banyak gerombolan penjahat dapat dia tundukkan tanpa menggunakan kekerasan. Baru mendengar nama julukannya saja, banyak penjahat yang menaluk.
Ketika tiba di kota Cin-yang, Cun Giok kehabisan uang. Seperti biasa, walau dia membutuhkan uang untuk bekal biaya perjalanannya, dia lalu mencari hartawan pelit atau pembesar yang korup untuk mencuri sebagian hartanya. Kalau dia mendapatkan lebih banyak daripada yang dia butuhkan, dia lalu membagi-bagikan uang itu kepada orang-orang miskin secara sembunyi-sembunyi, yaitu dengan melempar-lemparkan uang ke dalam rumah melalui atap di waktu malam hari.
Seperti biasa, begitu memasuki kota Cin-yang, Cun Giok segera menyelidiki dan mencari keterangan kepada penduduk di mana tinggalnya seorang pembesar yang korup dan jahat. Dia mendapat keterangan bahwa kepala daerah kota Cin-yang bernama Yo-thaijin (Pembesar Yo) dan dialah seorang yang bijaksana dan adil. Di antara para pejabat yang oleh penduduk dianggap korup dan sombong, juga kaya karena suka memeras, adalah kepala Pengadilan kota Cin-yang bernama Kui Hok atau panggilannya Kui-Thai-jin. Cun Giok memilih pejabat pengadilan she Kui itu sebagai sasarannya.
Malam itu udara cerah mendapat penerangan sinar bulan yang ditemani beberapa buah bintang yang sinarnya suram karena kalah oleh sinar bulan tiga perempat. Ketika malam semakin larut, hampir tengah malam, kota Cin-yang mulai sepi. Toko-toko sudah sejak tadi ditutup, juga pintu dan jendela rumah-rumah penduduk sudah ditutup. Hanya jarang orang yang lewat di jalan umum yang lengang dan mereka itu adalah orang-orang muda yang suka bergadang, pulang dengan sempoyongan karena mabok.
Sesosok bayangan berkelebat cepat sekali. Apalagi bagi mereka yang dalam keadaan mabok keluyuran di jalan pada malam hari itu, andaikata seorang yang sadar sekalipun berada di sana, akan sukarlah bagi mereka untuk dapat menduga bahwa ada bayangan orang berkelebat saking cepatnya bayangan itu bergerak. Bayangan itu adalah Cun Giok yang keluar dan berlari cepat dari rumah penginapan di mana dia tinggal, menuju ke tempat sasarannya, yaitu rumah gedung milik Kepala Pengadilan Kui Hok.
Gedung itu besar dan megah, dengan perabotan rumah yang mewah. Memang sesungguhnya tidak masuk akal kalau seorang pembesar seperti Kui Hok yang menjadi kepala pengadilan memiliki rumah semewah itu. Biarpur, gajinya lebih besar dari para pejabat rendahan, namun kalau diperhitungkan, biar dia menerima gaji seumur hidupnya, masih belum cukup untuk membeli perabot rumah itu saja, apalagi membeli rumahnya. Bahkan gaji yang diterima sebagai seorang pejabat, tidak akan mencukupi untuk biaya rumah tangganya setiap bulan karena Kui Hok memiliki tujuh orang selir dan sepuluh orang anak yang berusia limabelas tahun ke bawah.
Hanya seorang puteranya yang sudah dewasa, yaitu Kui Con yang dulu pernah dihajar oleh Ceng Ceng. Belum lagi jumlah pelayan yang tidak kurang dari sepuluh orang karena setiap orang selir mempunyai seorang pelayan. Pendeknya, amat tidak mungkin kalau hanya dengan gaji sebesar yang diterimanya setiap bulan, Kui Hok dapat hidup semewah itu seperti layaknya seorang hartawan besar.
Akan tetapi pada waktu penjajah Mongol berkuasa, hampir tidak ada pamong praja (pejabat) yang tidak hidup berkelebihan. Dari Kaisar sampai pejabat golongan rendah, semua hidup jauh melampaui besarnya gaji yang diterimanya setiap bulan. Korupsi merajalela sehingga mencari pejabat yang jujur dan tidak korup tidak lebih mudah daripada mencari sebatang jarum dalam tumpukan jerami: Semua pejabat hidup mewah seperti Kepala Pengadilan Kui Hok yang selain gedung dengan segala isinya yang serba mewah itu masih memiliki tanah persawahan yang sukar dihitung saking banyaknya dan luasnya, di samping ternak kuda, kerbau, dan lain-lain.
Gedung pembesar Kui Hok ini pun terjaga ketat. Semenjak Ceng Ceng menghajar putera pembesar itu yang bernama Kui Con, gedung itu dijaga ketat oleh belasan orang perajurit pengawal secara bergiliran. Malam itu, duabelas perajurit melakukan penjagaan, di sekeliling rumah gedung Pembesar Kui Hok. Mereka melakukan pemeriksaan, meronda sekeliling gedung setiap jam dengan penuh kewaspadaan. Namun, tidak sukar bagi Cun Giok untuk berkelebat melewati mereka dan berada di pekarangan gedung tanpa terlihat oleh mereka.
Dia sama sekali tidak tahu bahwa sebelum dia tiba di pekarangan itu, sudah ada orang lain yang lebih dulu datang dan orang itu masih bersembunyi di balik semak-semak. Saking cepatnya gerakan Cun Giok, orang itu pun tadinya tidak tahu. Setelah Cun Giok berhenti bergerak dan berdiri di pekarangan, di balik sebatang pohon dan mengintai ke arah gedung, barulah orang itu tahu akan kehadiran Cun Giok dan dia merasa terkejut dan heran menyaksikan gerakan Cun Giok yang demikian cepatnya.
Setelah merasa yakin bahwa di atas atap gedung itu tidak ada penjaganya, juga pekarangan samping itu ke gedung tidak tampak penjaga, Cun Giok berhenti sebentar dan menunggu. Dua orang petugas jaga datang meronda sambil membawa lentera, lewat di dekat gedung. Begitu mereka sudah memutari gedung, Cun Giok cepat berkelebat mendekati gedung dan tak lama kemudian dia sudah berada di atas atap!
Orang yang tadi melihatnya, tetap berada di tempat persembunyiannya dan mengintai. Orang ini bukan lain adalah Tan Li Hong, gadis perkasa murid Ban-tok Niocu yang menyamar sebagai seorang pemuda. Seperti yang biasa ia lakukan apabila sedang melakukan perjalanan merantau dan kehabisan uang bekal, ia tentu mengambil uang dari rumah para hartawan. Akan tetapi, ia agak berubah.
Kalau dulu ia mencuri uang dari siapa saja, sekarang ia mulai pilih-pilih. Sebelum melakukan pencurian ia menyelidiki lebih dulu karena ia sekarang hanya mau mencuri uang dari hartawan atau bangsawan yang jahat.
Ada hartawan yang jahat, yaitu hartawan yang pelit dan kerjanya hanya menumpuk kekayaan tanpa mempedulikan caranya, kalau perlu dengan menyogok pejabat untuk dapat bekerja sama, atau memeras tenaga rakyat yang membanting tulang untuk bekerja ikut memutar roda perusahaan si kaya itu tanpa mempedulikan penghasilan pekerja itu yang selalu kekurangan. Ada bangsawan yang jahat, yaitu bangsawan yang korup dan mengandalkan kedudukannya untuk menindas siapa saja yang tidak taat kepadanya, dan memaksakan kehendaknya. Nah, dua macam orang inilah yang sekarang ia curi sebagian hartanya.
Pendekar Tanpa Bayangan Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ketika tiba di Cin-yang, ia pun menyelidiki dan mendengar akan kejahatan Pembesar Kui Hok, malam itu ia pun datang ke situ dengan niat untuk mencuri uang. Akan tetapi melihat pemuda yang baru tiba itu, ia terkejut dan tidak berani sembarangan bertindak. Ia tidak tahu siapa pemuda yang memiliki gin-kang amat tinggi itu. Kalau pemuda itu ternyata bekerja untuk Pembesar Kui Hok, maka ia akan menghadapi lawan tangguh dan jika ia dikeroyok, ia akan berada dalam bahaya.
Kalau hanya untuk mendapatkan sambungan uang bekalnya yang sudah habis, tidak perlu ia harus mempertaruhkan nyawa. Maka, ia menunggu dan tetap bersembunyi di balik semak-semak, sambil mengikuti gerak gerik pemuda yang kini sudah berada di atas atap itu.
Setelah berada di atas atap, Cun Giok mulai mengamati dari atas, kemudian melompat turun dan tiba di sebuah taman kecil yang berada di ruangan terbuka sebelah dalam. Indah sekali taman ini, walaupun hanya kecil namun teratur rapi, ada kolam kecil dengan bunga teratai dan ikan emas. Keadaan dalam gedung besar itu sunyi dan agaknya tidak terdapat penjaga di sebelah dalam dan semua penghuninya telah tidur.
Setelah memilih kamar terbesar, Cun Giok membongkar jendela kamar itu tanpa menimbulkan suara dia melompat masuk. Sebuah lampu meja kecil bernyala dan sinarnya yang remang-remang membuat Cun Giok dapat memeriksa isi kamar yang cukup luas itu. Di balik kelambu tampak bayangan dua orang gadis remaja sedang tidur nyenyak. Setelah merasa yakin dua orang gadis remaja itu tidur pulas, Cun Giok mulai mencari-cari, akan tetapi tidak menemukan uang yang dicarinya.
Memang ada beberapa buah perhiasan emas di atas meja rias, akan tetapi dia tidak suka mengambilnya. Perhiasan itu pasti milik dua orang gadis remaja itu dan kalau dia mengambil, tentu dua orang itu akan merasa kecewa dan berduka. Dia tidak tega melakukan ini, apalagi perhiasan harus dijual dulu sebelum dapat dia pergunakan untuk biaya perjalanan.
Melihat seorang wanita setengah tua yang tidur melingkar di sudut, dia dapat menduga dari pakaian wanita itu bahwa ia tentu seorang pelayan yang melayani dua orang gadis itu. Cepat dia menghampiri dan menotok jalan darah wanita itu yang membuat ia terbangun akan tetapi tidak mampu bersuara atau bergerak. Tubuhnya lemas dan kaki tangannya seperti lumpuh. Ia terbelalak memandang pemuda yang telah berdiri di dekatnya itu.
"Jangan takut," Cun Giok berbisik dekat telinganya.
"Aku tidak akan mengganggumu, akan tetapi tunjukkan di mana kamar tidur Pembesar Kui!" Setelah berkata demikian, Cun Giok membuka totokannya sambil mendekap mulut wanita itu agar jangan berteriak. Setelah totokan itu dibuka, dengan ketakutan pelayan itu bicara dengan suara berbisik pula.
"Kamar Tuan Besar berada...... di sebelah kiri...... daun pintu dan jendelanya dicat merah......" Tiba-tiba wanita itu berhenti bicara karena ia sudah ditotok kembali oleh Cun Giok yang cepat keluar dari kamar itu.
Setelah mencari sebentar dia menemukan kamar yang lebih besar lagi dengan daun pintu dan jendela bercat merah. Dia membuka jendela dan melompat masuk, menutupkan kembali daun jendela dan memeriksa keadaan dalam kamar. Dilihatnya seorang laki-laki berusia limapuluh tahun bertubuh tinggi kurus sedang tidur mendengkur. Di ranjang kedua tampak dua orang wanita juga tidur pulas. Tentu dua orang itu selir-selir pembesar itu, pikir Cun Giok. Akan tetapi dia tidak mempedulikan mereka dan melihat sebuah almari di sudut, dia segera menghampiri dan membongkar pintu almari.
Dia tertegun melihat kantung-kantung berisi uang emas dan perak memenuhi almari! Bukan main! Tentu pejabat ini amat kaya raya dan jelas semua uang ini tidak didapatkannya dari gajinya sebagai pejabat. Dia bukan pedagang, dari mana bisa mendapatkan keuntungan yang begini besar?
Cun Giok mengambil sebuah kantong emas, cepat keluar dari kamar itu. Dari taman kecil dalam gedung itu dia melompat ke atas atap. Akan tetapi karena tergesa-gesa dan keadaan di situ agak gelap, Cun Giok menyenggol sebuah pot bunga sehingga bagian atas pot itu terjatuh menimbulkan suara yang cukup berisik.
Dari atas atap, Cun Giok melompat turun ke pekarangan dari mana dia tadi naik dan baru saja kakinya menyentuh tanah, terdengar bentakan-bentakan banyak orang.
"Tangkap penjahat!!"
Ternyata ketika dia menyenggol pot bunga tadi telah menarik perhatian Kui Con, putera Pembesar Kui Hok. Kui Con, pemuda berusia duapuluh satu tahun yang juga memiliki ilmu silat lumayan, segera berlari keluar dari kamarnya dan memberi perintah kepada semua perajurit untuk melakukan pengejaran. Dia dapat menduga bahwa penjahat yang memasuki gedung ayahnya itu tentu turun ke pekarangan samping, tempat yang paling baik bagi orang yang hendak melarikan diri. Maka begitu Cun Giok melompat turun, Kui Con dan duabelas orang perajurit itu mengepung dan mengeroyoknya tanpa banyak cakap lagi. Mereka menggunakan golok untuk menyerang Cun Giok.
Pemuda ini terkejut karena tidak mengira akan diketahui orang dan dikeroyok, akan tetapi dia tidak merasa gentar. Dengan mengandalkan gin-kang yang istimewa, dia dapat mengelak dan menghindarkan diri dari semua serangan. Dia mengambil keputusan untuk meloloskan dan melarikan diri mengandalkan ilmunya meringankan tubuh. Akan tetapi sebelum dia melompat untuk melarikan diri, tiba-tiba tampak bayangan orang berkelebat begitu orang itu mencabut dan menggerakkan pedangnya, tampak sinar hijau bergulung-gulung dan teriakan-teriakan kesakitan. Dalam segebrakan saja dua orang pengeroyok telah roboh mandi darah!
Melihat ada seorang pemuda membantunya dan pemuda itu ternyata amat ganas, Cun Giok terkejut. Apalagi ketika ada tiga orang pengeroyok roboh lagi dan dia tahu bahwa mereka yang roboh itu terluka parah dan kemungkinan besar tewas.
"Jangan bunuh orang!" teriaknya dan dia pun cepat menggunakan gin-kang melompat jauh keluar dari kepungan dan melarikan diri keluar dari pagar tembok gedung itu.
Pemuda itu tentu saja Tan Li Hong adanya. Dia merasa heran mengapa orang yang ditolongnya malah melarang dia membunuh para pengeroyok dan orang itu lalu melarikan diri dengan gerakan yang luar biasa cepatnya. Tentu saja dia merasa penasaran, apalagi ketika ia melihat tangan Cun Giok membawa sekantung kain merah yang tampaknya berat.
Dari pengalamannya Li Hong dapat menduga bahwa kantung itu tentu berisi uang emas. Ia sendiri mengunjungi gedung Pembesar Kui Hok untuk mencuri uang dan kini ternyata ada orang yang mendahuluinya! Karena merasa penasaran, ia pun melompat dan mengejar pemuda yang melarikan diri keluar dari pagar tembok gedung itu.
Terjadilah kejar-kejaran di bawah sinar bulan dan kalau ada orang melihat mereka, tentu akan merasa heran dan mungkin ketakutan mengira bahwa yang berkelebatan itu adalah hantu-hantu yang berkeliaran di waktu malam terang bulan. Gerakan mereka amat cepatnya sehingga yang tampak hanya bayangan berkelebat.
Cun Giok maklum bahwa pemuda yang menolongnya tadi melakukan pengejaran, maka dia sengaja memperlambat larinya dan menjaga jarak agar dia tidak meninggalkan pengejarnya itu. Biarpun dia tidak mengenal pemuda itu, namun pemuda itu telah membantunya tadi, maka sudah sepatutnya kalau dia berkenalan dengannya. Setelah jauh meninggalkan kota Cin-yang dan tiba di sebuah lapangan terbuka yang cukup terang oleh sinar bulan, Cun Giok berhenti berlari dan menghadapi pengejarnya itu.
Li Hong yang melakukan pengejaran menjadi semakin penasaran. Tadi ia telah mengerahkan seluruh tenaganya menggunakan ilmu berlari cepat untuk mengejar, namun tetap saja ia tertinggal di belakang dalam jarak yang tidak pernah berubah, tidak semakin dekat atau semakin jauh! Wataknya yang keras dan tidak mau kalah itu membuat ia penasaran dan akhirnya ia marah sekali melihat orang yang dikejarnya itu berhenti dan berdiri menghadapinya seolah mengejeknya karena pemuda itu tersenyum!
Setelah mereka saling berhadapan, keduanya saling pandang dan Cun Giok merasa kagum melihat betapa pemuda yang membantunya itu masih amat muda, tampaknya masih remaja dan wajahnya tampan sekali. Akan tetapi pemuda itu telah memiliki ilmu pedang yang demikian lihainya, hanya yang membuat dia penasaran adalah melihat betapa tadi pemuda itu memainkan pedangnya yang bersinar hijau demikian ganasnya. Tanpa memberi ampun, pedangnya telah merobohkan dan menewaskan banyak orang, padahal pemuda itu tidak terlibat permusuhan langsung dengan para pengeroyok dan hanya membantunya. Seorang pemuda yang masih muda, amat tampan dan lihai sekali, akan tetapi juga ganas bukan main.
Cun Giok mengangkat kedua tangan depan dada dan berkata dengan ramah.
"Sobat yang baik, terima kasih, engkau telah membantu aku menyelamatkan diri dari kepungan para perajurit tadi." Dia memandang dan bertemu dengan sepasang mata yang mencorong seperti bintang.
"Kalau boleh aku mengetahui, siapakah engkau dan di mana tempat tinggalmu?"
Wajah yang tampan itu tampak tak senang, alisnya berkerut dan mulut itu cemberut.
"Kalau engkau merasa sudah kubantu, sepatutnya engkau yang lebih dulu memperkenalkan nama!" katanya ketus.
Cun Giok tersenyum. Pemuda ini selain ganas, juga galak bukan main. Akan tetapi perbuatannya menolong tadi berlawanan dengan sikapnya yang galak.
"Baiklah, sobat. Namaku Pouw Cun Giok, seorang perantau yang tidak mempunyai tempat tinggal tetap, ayah ibuku telah tiada, hidup sebatang kara, guruku yang juga kakek guruku adalah Pak-kong Lojin, bertapa di Ta-pie-san. Nah, sudah lengkap, bukan? Sekarang bagaimana dengan engkau?"
Li Hong tetap cemberut.
"Belum lengkap, engkau belum mengatakan pekerjaanmu. Akan tetapi aku sudah tahu. Kantung itu pasti berisi emas yang kau curi dari rumah Pembesar Kui tadi. Engkau seorang pencuri!"
Cun Giok tersenyum lagi dan menggelengkan kepalanya.
"Bukan, aku bukan pencuri walaupun tadi aku memang benar mencuri sedikit harta Pembesar Kui."
"Hemm, tidak malu! Bilang bukan pencuri akan tetapi mengaku mencuri!"
"Aku tidak berbohong, sobat. Seorang pencuri adalah orang yang pekerjaannya mencuri. Aku bukan pencuri karena pekerjaanku bukan mencuri. Kalau aku mengambil harta pembesar yang korup, hal itu kulakukan hanya kalau aku kehabisan bekal dan sisa harta itu kubagikan kepada mereka yang miskin."
"Hemm...... sama......" Li Hong hendak mengatakan bahwa Cun Giok sama dengan ia yang juga melakukan hal serupa.
"Sama apa, sobat?"
"Sama saja! Engkau mencuri maka cepat serahkan kantung itu kepadaku!"
"Eh? Mengapa harus diserahkan kepadamu? Apakah engkau masih kerabat atau anak buah Pembesar Kui?"
"Ngawur! Siapa sudi menjadi kerabat pembesar korup jahat macam dia? Pendeknya, berikan kantung itu kepadaku atau aku akan menggunakan kekerasan mengambilnya darimu!"
"Wah, kalau begitu, jika kau sebut aku pencuri, maka engkau adalah perampok! Lebih jahat lagi karena pencuri mengambil milik orang dengan sembunyi, sebaliknya perampok mengambil milik orang dengan kekerasan! Akan tetapi karena maling dan perampok masih sekeluarga, baiklah kita bagi uang ini secara kekeluargaan. Engkau akan kuberi setengah dan yang setengahnya untuk aku. Adil, bukan?"
"Tidak adil!" kata Li Hong dengan sikap menantang.
"Kita bertanding, kalau engkau dapat menangkan aku, biarlah aku menerima bagian setengahnya dari isi kantung itu. Akan tetapi kalau engkau kalah, engkau harus menyerahkannya semua kepadaku. Itu baru adil!"
Cun Giok mengerutkan alisnya, akan tetapi mulutnya tersenyum geli. Pemuda remaja ini masih seperti seorang anak-anak yang nakal dan licik. Mau enaknya sendiri saja. Akan tetapi rasanya percuma berdebatan dengan pemuda remaja nakal ini, maka dia mengangguk.
"Baiklah kalau engkau menghendaki begitu. Mari kita saling uji ilmu silat kita," kata Cun Giok dengan tenang dan dia lalu melepaskan buntalan pakaiannya dan kantung uang itu, diletakkannya di bawah rumpun yang tumbuh di padang rumput itu. Dia lalu menghadapi Li Hong dengan sikap tenang dan mulut tersenyum.
Sikap ramah ini disalah-artikan oleh Li Hong. Ia menganggap pemuda itu menantang dan memandang rendah padanya, senyumnya dianggap mentertawakannya! Maka dengan gerakan sigap dan marah, ia menanggalkan pula buntalan pakaiannya dari punggung, lalu menghadapi Cun Giok.
"Nah, aku sudah siap, mulai dan seranglah!" ia membentak.
Cun Giok menggelengkan kepalanya.
"Tidak, engkau yang menantang, maka engkaulah yang mulai."
"Sambut ini, haiiiitttt......!" Li Hong menerjang dengan serangan dahsyat. Ia menggunakan jurus Tok-liong-ta-bu (Naga Beracun Menerobos Kabut), tangan kirinya membentuk cakar mencengkeram ke arah muka Cun Giok dan ini merupakan gerakan pancingan karena serangan intinya merupakan pukulan ke arah ulu hati lawan! Serangan ini dahsyat karena dilakukan dengan pengerahan sin-kang. Agaknya Li Hong ingin memperoleh kemenangan dengan cepat maka begitu menyerang ia menggunakan jurus yang berbahaya.
Akan tetapi ia terkejut sekali ketika tiba-tiba lawannya lenyap dari depannya sehingga serangan pertamanya itu gagal sama sekali. Dengan cepat ia memutar tubuhnya karena mendengar ada gerakan di belakangnya. Ketika memutar tubuh, Li Hong menggunakan jurus Tok-liong-pai-bwe (Naga Beracun Sabetkan Ekor). Tubuh yang membalik itu didahului kaki kanan mencuat dan menendang ke arah perut lawan, disusul dua tangan membentuk cakar yang siap untuk menyusulkan serangan.
Akan tetapi kembali Cun Giok mengelak dengan kecepatan yang membuat tubuhnya seolah menghilang. Li Hong semakin penasaran dan ia terus menyerang dengan ilmu silat Hek-tok Tong-sim-ciang (Tangan Racun Hitam Getarkan Jantung). Kedua tangannya menyambar-nyambar dan mengeluarkan bunyi berciutan dan ada semacam uap hitam mengepul di sekitar kedua tangannya.
Cun Giok berseru kaget karena dia mengenal ilmu pukulan yang mengandung hawa beracun. Dia maklum bahwa sekali terkena pukulan seperti itu, dia akan menderita luka beracun parah. Maka dia cepat menambah gin-kangnya dan bersilat Ngo-heng-kun yang memiliki gerakan berubah-ubah dan karena ginkangnya tinggi maka gerakannya cepat sekali, sesuai dengan julukannya Si Tanpa Bayangan!
Karena jauh menang dalam hal kecepatan gerakan, maka Cun Giok dapat menghindarkan semua serangan lawan dengan baik, dan setelah lewat belasan jurus, dia menepuk punggung Li Hong lalu melompat menjauhi lawan.
"Sobat, kita hanya menguji ilmu silat, mengapa engkau begini tega menyerang untuk membunuh aku?" Cun Giok menegur.
Wajah Li Hong berubah merah. Bagaimanapun iuga, ia harus mengaku kalah, karena kalau pemuda itu tadi berniat buruk, tentu punggungnya bukan sekedar ditepuk, melainkan ditotok atau bahkan dipukul yang dapat mengakibatkan kematian. Perasaan malu karena jelas ia dikalahkan itu akhirnya membuat ia marah.
"Srattt!" Pedang bersinar hijau dicabutnya dan sambil melintangkan pedang di depan dada ia berkata.
"Pouw Cun Giok! Aku memang kalah bertanding tangan kosong denganmu, akan tetapi coba, apakah engkau mampu menandingi pedangku!"
"Sobat, di antara kita tidak ada permusuhan apa pun, mengapa kita harus bertanding, apalagi menggunakan senjata? Apakah engkau ingin membunuhku? Kalau benar engkau begitu membenciku dan ingin membunuhku, jelaskan dulu mengapa engkau demikian membenciku. Apa kesalahanku kepadamu?"
"Siapa membencimu? Siapa ingin membunuhmu? Kita bertanding untuk menentukan siapa menang siapa kalah, siapa berhak memiliki kantung uang itu!"
"Sudahlah, biar aku mengaku kalah!" kata Cun Giok karena tentu saja dia tidak ingin melayani pemuda yang aneh dan liar ini, apalagi pemuda itu tadi sudah menolongnya.
"Kalau engkau mengaku kalah, engkau harus menyerahkan semua uang dalam kantung itu sesuai perjanjian!"
Cun Giok mendongkol juga. Pemuda remaja ini sungguh keterlaluan, berwatak nakal dan licik sekali, ataukah memang tidak tahu malu? Sudah jelas dia mengalah, akan tetapi dia tidak tahu diri dan hendak minta semua uang dalam kantung yang tadi diambilnya dari kamar Pembesar Kui! Dia sendiri sungguh kehabisan bekal dan dia malas untuk mencuri lagi karena sesungguhnya kalau tidak terpaksa, dia pun malu kepada diri sendiri harus mencuri, sungguhpun yang diambilnya itu uang pejabat yang korup.
"Sobat yang baik, marilah kita bersahabat dan berbaikan. Biar kita bagi dua uang ini sebagai tanda persahabatan kita."
"Ah, mana bisa begitu? Kalau aku menerima setengahnya, berarti aku kalah darimu sesuai dengan perjanjian tadi. Padahal aku belum kalah, buktinya engkau tidak berani melayani aku bertanding pedang! Kalau engkau mengaku kalah, harus kauberikan semua uang itu!"
Cun Giok merasa semakin penasaran dan mendongkol. Anak ini perlu diberi pelajaran, pikirnya, agar tidak berwatak congkak, sombong, keras dan liar seperti itu. Dia lalu menghunus pedangnya perlahan-lahan sambil menghela napas dan berkata.
"Baiklah, kalau itu yang kau kehendaki. Mari kita bermain-main pedang sebentar."
Li Hong memang memiliki watak yang sukar untuk mengalah. Ia kasar, keras dan ugal-ugalan, akan tetapi sesungguhnya sama sekali tidak sombong. Ia hanya ingin menonjol dan diakui kehebatannya, sukar untuk menerima kekalahan karena memang nyatanya jarang ia mengalami kekalahan dalam perkelahian. Melihat Cun Giok mencabut pedang yang bersinar emas berkilauan itu, ia tak mampu menahan diri dan berseru kagum.
"Pokiam (pedang pusaka) yang hebat......!"
Cun Giok berkata.
"Pedangmu juga hebat, sayang mengandung racun yang ganas!"
"Hemm, ingin kulihat apakah pedang sinar emas di tanganmu mampu menandingi pedangku!" kata Li Hong lalu disambutnya dengan bentakan nyaring.
"Sambut pedangku, syaaaaattt......!!"
Sinar hijau menyambar dan Cun Ciok cepat mengelak. Kembali dia mengandalkan gin-kangnya untuk menghindarkan diri dari serangan Li Hong. Dia memang tidak ingin melukai pemuda itu maka sampai belasan jurus Li Hong menyerangnya, dia hanya mengelak saja dan tidak pernah membalas. Setelah serangannya yang bertubi-tubi itu tidak pernah berhasil, Li Hong menjadi semakin penasaran dan ia mempercepat gerakan pedangnya sehingga yang tampak hanya sinar hijau bergulung-gulung dan menyambar-nyambar.
Saking dahsyatnya Li Hong menyerang, Cun Giok tidak bisa lagi hanya mengandalkan pengelakan karena hal itu lama-lama dapat membahayakan dirinya. Dia tahu bahwa sekali saja terkena sabetan pedang sinar hijau yang beracun itu, dia akan celaka. Mulailah dia menggerakkan pedangnya untuk menangkis.
"Tranggg......!" Bunga api berpijar menyilaukan mata ketika dua pedang pusaka bertemu dan Li Hong merasa betapa tangannya yang memegang pedang tergetar hebat. Diam-diam ia terkejut dan harus mengakui bahwa "maling" itu bukanlah maling biasa, melainkan orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Ia kalah dalam gin-kang (ilmu meringankan tubuh), juga kalah dalam sin-kang (tenaga sakti). Akan tetapi dasar orang yang tidak pernah mau mengaku kalah, Li Hong bahkan menyerang lebih nekat lagi!
Cun Giok merasa serba salah. Kalau pemuda remaja ini tidak dia kalahkan, dia sendiri yang terancam bahaya. Memang pemuda remaja yang angkuh dan nekat ini perlu diberi pelajaran, akan tetapi dia harus mengakui bahwa tidak mudah mengalahkan pemuda itu tanpa melukainya. Dia mulai mengerahkan ginkangnya lagi, berkelebatan dan berputaran sehingga Li Hong merasa pening.
Li Hong merasa penasaran dan marah. Ia memegang pedang Ban-tok-kiam (Pedang Selaksa Racun) yang ampuh dan telah mengerahkan seluruh tenaga dan ilmu pedangnya. Namun ia sama sekali tidak mampu mendesak lawannya. Bahkan setiap kali pedangnya bertemu pedang lawan yang bersinar keemasan, ia selalu merasa tangannya tergetar hebat.
Naga Beracun Eps 31 Naga Beracun Eps 31 Naga Beracun Eps 5