Jago Pedang Tak Bernama 2
Jago Pedang Tak Bernama Karya Kho Ping Hoo Bagian 2
"Saudar Sim, aturan ini tak mungkin dilaksanakan. Bukannya aku yang endah tidak menghargai penghormatan yang kauberikan ini, bahkan aku merasa sangat berterima kasih atas perhatian Sim hiante kepada anakku yang bodoh. Tapi pa hendak dikata, anakku sekarang telah bertunangan dengan orang lain."
"Tidak menurut aturan!" cela Sim Tek Hin.
"Bukankah lopek telah menerapkan sendiri bahwa calon mantu harus pemenang sayembara? Nah biarkan aku melawan dan mencoba kepandaian Thio Bun itu, lihat siapa yang lebih unggul."
"Hal ini menyesal sekali tak mungkin diadakan," bantah Lim San.
"Lim twako, kau sejak dulu ingin mempunyai mantu seorang yang lumayan ilmu silatnya. Masakan kini ingin mengambil mantu seorang yang terhadap anakku saja tidak berani melawan?"
"Biarlah siauwte melawannya!" tiba-tiba Thio Bun yang sejak tadi diam saja di sudut membuka suara dan berdiri.
"Tidak!" bantah Lim San yang tahu bahwa orang she Thio calon mantunya itu bukan tandingan Sim Tek Hin.
"Kuakui bahwa calon mantuku itu biarpun semangatnya besar, namun kepandaiannya belum cukup untuk melawan Sim hiante. Biarlah kucarikan wakilnya."
"Siapa wakilnya? si Bu Beng siauwcut?" tiba-tiba si Huncwe Maut Song Leng Ho berdiri dan mengepulkan asap dari mulut dan hidungnya. Lim San menengok kesana kemari, tapi ternyata penolong yang ditunggu-tunggu itu belum tampak mata hidungnya. Terpaksa ia berkata,
"Aku sendirilah wakilnya, untuk menolong anak dan calon mantu."
"Ho ho! Bagus kalau begitu. Akupun akan meniru contohmu, orang she Lim biarlah aku mewakili anakku." Kata Sim Boan Lip sambil berdiri menantang. Lim San merasa tidak ada jalan keluar lagi, maka ia segera berkata.
"Terserah padamu, marilah kita pergi ke ruang silat." Beramai-ramai mereka menuju ke ruang main silat yang berada di samping rumah. Tiba-tiba tampak Lim Giok Lan muncul dengan pakaian ringkas membawa pedang.
"Ayah, biarkan anakmu bertempur mati-matian melawan pengacau-pengacau ini!" katanya penuh semangat. Ayahnya kagum melihat keberanian puterinya, tapi ia memberi tanda supaya anaknya mendur. Juga Lim Seng yang kelihatan membawa-bawa pedang ia perintahkan berdiri di pinggiran saja. Lim San meloncat ke tengah-tegah ruangan itu dan berkata,
"Silakan memberi petunjuk kepadaku. Sim Enghiong." Sim Boan Lip segera melepas baju luarnya dan meloncat menghadapi lawannya.
"Mari, marilah, kita coba-coba tua sama tua." Dan ia membuka bhesinya dari ilmu silat San coa ciang yang lihai. Pada saat itu entah dari mana datangnya, tiba-tiba tampak berkelebat bayangan orang dan Bu Beng Kiam Hiap tahu-tahu berdiri di antara kedua jago tua itu sambil tersenyum tenang.
"Lim San Lo-Enghiong, siauwte masih belum tinggalkan kota ini dan sampai sekarangpun siauwte masih menjadi wakilmu dalam permainan yang menggembirakan ini. biarlah siauwte menambah pengertian dari para Lo-Enghiong ini. Diam-diam hati Lim San yang tadinya tegangdan cemas menjadi gembira kembali karena ia percaya akan kepandaian anak muda itu yang sesungguhnya masih jauh diatas kepandaiannya sendiri. Maka sambil menjuru berterima kasih ia mundur ke pinggiran.
"Inilah bangsat itu, ayah!" teriak Sim Tek Hin dari pinggir.
"Oo, kau kah biang keladinya?" Bu Beng menyindir sambil memandang pemuda she Sim itu dengan tajam.
"Dan kau kah Bu Beng Kiam Hiap? Bagus, bagus! Aku sudah mendengar kehebatanmu dari puteraku. Memang kami datang ini sebenarnya ingin sekali merasakan kelihaianmu!"
"Lo-Enghiong. Kita belum pernah bertemu muka, juga belum pernah bentrok dalam hal apa saja. Tapi mengapa Lo-Enghiong jauh-jauh datang mencari siauwte yang muda ini?" Tanya Bu Beng.
"Jangan berlagak bodoh! Bukanlah kau telah menghina anakku?"
"Sama sekali tidak, Lo-Enghiong. Sudah lazim jika di dalam pertandingan di panggung luitai kalau tidak menang tentu kalah." Sim Boan Lip salah sangka. Ia kira anak muda itu takut padanya, maka ia menjadi besar hati.
"Orang muda, jangan kwawatir. Aku hanya ingin lihat dari siapakah kau memperoleh ilmu silat dengan melihat gerakanmu sejurus dua jurus saja," katanya.
"Kalau begitu selakan Lo-Enghiong menyaksikannya," kata Bu Beng yang lalu memasang bhesi dengan berdiri di tumitnya lalu menggeser tubuhnya maju, tapi anhnya kedua lengannya tertempel di pinggang rapat-rapat, sama sekali tidak memukul seperti lakunya orang bersilat. Kemudian ia menggeser ke kiri dan kedua lengannya dibuka seakan-akan terbang. Beberapa kali ia bergerak lalu kembali berdiri lempeng ditempat semula sambil tersenyum.
"Nah, Lo-Enghiong. Siauwte telah bergerak empat jurus. Tentu sekarang Lo-Enghiong telah tahu ilmu silat apakah yang pernah siauwte pelajari," katanya. Wajah Sim Boan Lip menjadi merah. Ia merasa dipermainkan orang, karena seumur hidupnya belum pernah ia lihat gerakan tipu selat seperti itu. Bahkan empat orang kawannya sama sekali tidak tahu ilmu silat apakah yang tadi diperlihatkan oleh anak muda itu. Dengan marah ditahan Sim Boan Lip berkata,
"Bagus! Tapi dapatkah ilmu silat macam ini dapat bertempur?"
"Tentu dapat, Lo-Enghiong."
"Nah, coba tangkis seranganku dengan ilmu silatmu itu," kata orang tua itu sambil maju menyerang dengan ilmu gerakan Ular Gunung Menyambar, semacam ilmu dari San coa ciang yang lihai. Tangan kanannya mengarah ulu hati lawan tapi sampai di tengah jalan tangan kanan itu ditarik kembali lalu disusul oleh tangan kiri memukul iga! Bu Beng berseru "Aya" sambil dengan gerakan lincah tapi lucu berkelit menghindari pukulan itu.
"Hebat sekali pukulanmu, Sim Lo-Enghiong!" katanya masih tersenyum. Sim Pangcu menjadi marah sekali. Kembali ia menyerang dengan sengit sampai empat jurus, tapi semuanya dapat dikelit oleh Bu Beng.
"Balaslah menyerang!" teriaknya gemas.
"Sabarlah, Lo-Enghiong. Siauwte terdesak oleh seranganmu. Baiklah sekarang siauwte menyerang!" kata-kata ini ditutup oleh serangan tangan kiri kearah leher, bukan memukul tapi membabat dengan tangan miring. Belum juga ditangkis lawan, tangan itu mengubah gerakan, kini menyodok kearah perut, dan sebelum ditangkis lalu berubah pula terkepal memukul dada! Aneh dan cepat gerakan ini, tapi biarpun kalah dulu, Sim Pangcu ingin mencoba tenaga orang, maka ia kerahkan tenaga di lengan kanan dan menangkis pukulan itu "Plak" dan Sim Pangcu merasa tangan kanannya tergetar keras. Sedangkan lengan pemuda itu tidak apa-apa dan terus menghantam dadanya perlahan. Untung pemuda itu hanya menepuk saja, tapi cukup membuat ia merasa dadanya pedas sekali. Sim Pangcu terkejut dan meloncat mundur dua tindak.
"Ilmu silatmu baik sekali, anak muda. Marilah kita coba-coba main senjata," tantangnya sambil menghunus pedang. Sebetulnya Bu Beng merasa kuat untuk menghadapi lawan ini dengan bertangan kosong, tapi ia tidak mau menghina lawannya yang tua dan ternama itu, maka iapun ulurkan tangan di belakang leher, dan tahu-tahu sebilah pedang tipis sekali berada dalam tangannya! Pedang itu pendek dan tipis hingga ketika disembunyikan di punggung tidak kelihatan dari luar.
"Silakan Lo-Enghiong," katanya dengan masih tersenyum. Melihat pedang lawan yang pendek itu, hati Sim Pangcu menjadi besar. Masakan ilmu pedangnya yang terkenal itu akan kalah oleh seorang pemuda berpedang pendek. Ia segera menyerang dengan hebat sekali, mengeluarkan tipu-tipu paling berbahaya dari ilmu pedang San coa kiam.
Pedangnya berputar cepat menutupi seluruh tubuhnya sampai menimbulkan angin dingin bersiutan dan mata pedang merupakan bundaran putih berkeredepan. Tapi Bu Beng berdiri saja tidak bergerak, seakan-akan menonton pertunjukan pedang yang hebat itu. Hanya kalau sewaktu-waktu sinar pedang lawan menyambar ke arahnya, ia gerakkan pedangnya sekali untuk menangkis.! Tapi, biarpun Bu Beng hanya menangkis dengan gerakan sembarangan saja, Sim Pangcu kaget sekali, karena tiap kali pedangnya terbentur pedang pendek lawan, pedang itu terpental dan mengeluarkan bunyi nyaring serta titik-titik bunga api! Melihat gerakan Bu Beng yang seakan-akan hanya main-main saja dan sedikitpun tidak pandang mata terhadap ilmu pedangnya, Sim Boan Lip marah sekali. Gerakan-gerakannya dirobah menjadi rangsekan hebat, tiap gerakan merupakan serangan-serangan maut.
Kala tadi ia berlaku hati-hati dan tiap kali menyerang selalu disertai gerakan menjaga diri karena tahu akan kelihaian lawan, kini aia nekad dan pusatkan gerakannya kepada serangan belaka. Bu Beng juga tak dapat tinggal diam menghadapi serangan-serangan hebat dan berbahaya itu. Ia mulai menggerakkan kaki dan tubuhnya berkelebat kesana kemari untuk menangkis dan menghindarkan pedang lawan. Pada suatu saat, setelah menyerang lebih dari tiga puluh jurus, Sim Pangcu gerakan tipu Ular Luka Mengamuk. Ia menusukkan pedangnya kea rah tenggorokan Bu Beng dan ketika Bu Beng berkelit, ujung pedangnya mengikuti gerakan pemuda itu dan terus mengejar dengan sabetan-sabetan panjang dari kiri ke kanan bolak balik dan dari atas menggeser makin ke bawah.
Pendeknya, serangan nekad yang dilakukan beruntun dengan sabetan-sabetan mebabi buta! Bagi orang lain jika menghadapi serangan ini tentu akan menjadi repot dan gugup, karena pedang itu seakan-akan menjadi berpuluh-puluh yang menyerang dengan keluarkan suara bersiutan. Tapi Bu Beng yang berkepandaian tinggi dapat berlaku tenang. Untuk menghadapi serangan ini, jalan satu-satunya baginya ialah gunakan kecepatan yang melebihi kecepatan lawan. Maka tiba-tiba pedang pendeknya berputar cepat sekali hingga tubuhnya lenyap tertutup sinar pedang. Sim Pangcukehilangan tubuh lawannya karena yang diserangnya seakan-akan sembunyi di balik ratusan pedang hingga tiap tusukan pedangnya seakan-akan ada tiga pedang pendek lawan yang menangkisnya.
Ia menjadi pening dan tiba-tiba saja lengannya yang memegang pedang kena tertendang oleh Bu Beng dan pedangnya terlempar keatas, kemudian ketika turun disampok oleh pedang pendek Bu Beng. Senjata itu kena tersampok gagangnya lalu berputar dan mencelat ke atas lagi. Demikian keras sampokan itu hingga pedang Sim Pangcu melayang cepat dan menancap di kayu usuk yang melinang dibawah genteng. Sim Pangcu menjadi kaget sekali. Sedikitpun ia tak mengerti betapa cara Bu Beng menggunakan kakinya untuk menendang. Pedangnya tadi berputar cepat sekali, namun kaki pemuda itu dapat mendahului putaran pedang untuk menendang pergelangan lengannya. Ia loncat mundur dengan wajah pucat. Bu Beng tahan gerakannya dan berdiri mengangkat kedua tangan dengan sikap merendah.
"Lo-Enghiong telah mengalah terhadapku," katanya. Sebelum Sim Pangcu dapat membuka mulut, tiba tiba Song Leng Ho si Huncwe Maut telah loncat dengan gerakan ringan sekali kehadapan Bu Beng. Ia isap Huncwenya dan mengepulkan asap yang hitam kebiru-biruan kearah muka Bu Beng. Pemuda itu mencium bau yang harum dan amis, maka segera ia tutup jalan pernapasannya karena ia maklum bahwa asap itu bukan lah asap sembarangan, tapi asap yang emngandung racun melemahkan.!
"Ha ha, ha!" si Huncwe Maut bergelak tertawa, "Bu Beng Kiam Hiap yang gagah perkasa ternyata takut asap Huncweku." Bu Beng tersenyum manis, tapi sinar matanya tajam menatap orang jumawa itu.
"Pernah kudengar tentang Huncwe maut itu. Sungguh beruntung hari ini aku yang muda dapat berjumpa dan merasai kelihaiannya Huncwe itu." Kata-kata ini biarpun halus tapi mengandung tantangan. Song Leng Ho tiba-tiba menghentikan tawanya dan bekata kasar.
"Anak muda, pantas saja kau berani kurang ajar. Ternyata kau mempunyai kepandaian berarti juga. Tapi, jangan kau kira bahwa kau sudah berdiri di puncak tertinggi hingga tiada orang yang lebih tinggi darimu. Sekarang, berhadapan dengan aku si orang tua pemadatan kau harus berani berlaku sembarangan. Hayo katakana siapa gurumu agar aku dapat memandang muka gurumu dan tidak menurunkan tangan jahat kepadamu."
"Song Lo-Enghiong. Bukanlah aku yang muda berlaku kurang ajar kepada kau orang tua. Tapi sebaliknya, kaulah orang tua yang tidak mengalah terhadap yang muda. Telah berkali-kali kukatakan bahwa aku adalah seorang muda biasa, bahkan nama saja aku tak punya. Kini kau tanyakan guruku, siapakah guruku itu? Kalau toh ada guruku, nama beliau itu takkan kuobral dan kugunakan untuk mencari nama."
"Hm, hm!" Song Leng Ho mengeluarkan suara dari hidung sambil keluarkan asap Huncwe dari hidungnya merupakan dua gulungan bagaikan ular melingkar-lingkar ke atas.
"Aku selamanya pandang muka orang-orang kang ouw. Tapi karena disini terdapat banyak hohan menjadi saksi, biarlah aku yang tua memberi ajar adat padamu. Hendaknya para Lo-Enghiong menjadi saksi agar kelak guru anak muda ini tidak menyalahkan padaku, karena dia sendirilah yang tidak mau memberitahukan nama gurunya. Nah, Bu Beng siauwcut bersiaplah, lohan ingin sekali coba kepandaianmu."
"Silakan, aku ingin sekali merasai panasnya Huncwemu." Jawab Bu Beng dengan berani. Song Leng Ho si Huncwe Maut ini sebenarnya adalah seorang ahli cabang Bu Tong San. Cabang Bu tong terkenal dengan ilmu pedangnya yang lihai, tapi orang she Song ini memilih senjata berupa Huncwe itu. Walaupun Huncwe itu kecil kurus hingga cocok sekali dengan tubuhnya yang kurus kering,
Namun untuk puluhan tahun lamanya senjata itu telah merobohkan entah berapa banyak jagoan di kalangan kang ouw dan jarang sekali menemukan tandingannya. Huncwe yang terbuat dari logam hitam kehijau-hijauan dan menjadi mengkilap karena panas api dan sari tembakau itu dapat digunakan untuk menotok jalan darah. Selain itu, tembakau yang dinyalakan di Huncwe itu bukanlah tembakau sembarangan, tapi tembakau istimewa buatannya sendiri dari daun-daun disertai ramuan obat yang asapnya merupakan senjata luar biasa, karena asap yang hitam kehijau-hijauan itu ternyata adalah berbahaya sekali, mengeluarkan bau harum dan amis dan kalau tersedot lawan dapat melemahkan semangat dan tenaga! Namun orang she Song itu sendiri tidak terganggu oleh asap beracun itu, karena ia telah lebih dulu makan obat penawarnya.
Setelah mendengar jawaban Bu Beng, si Huncwe Maut segera pasang kuda-kuda, kedua kaki berdiri rapat, ujung kaki kiri berjongkok dan menindih ujung kaki kanan, tubuhnya agak membongkok, tangan kiri dengan jari-jari tegang ditaruh miring di depan dada, sedangkan tangan kanan memegang kepala Huncwe yang masih tertancap di mulut. Sementara itu, asap masih mengepul-ngepul dari ujung mulut dan lubang hidungnya. Sikap dan gerakannya aksi sekali hingga membuat mereka yang melihatnya menjadi kagum. Agaknya hal ini diketahui pula olehnya, karena ia menggerak-gerakkan kedua biji matanya yang kecil untuk melirik kesana kemari dan memandang ke arah Bu Beng dengan mulut mengandung ejekan. Bu Beng mendongkol juaga melihat lagak lawan, maka ia tidak sungkan sungkan lagi. Setelah berkata,
"Maafkan aku bergerak terlebih dahulu," ia memajukan kaki menyerang dengan tangan kiri, sedangkan pedang pendek di tangan kanannya masih disembunyikan di belakang lengan. Si Huncwe Maut mencabut Huncwenya dan dengan berseru.
"Haya!" ia berkelit ke samping sambil gerakkan kaki. Gerakannya memang lemas sekali, tubuhnya melengkok-lengkok bagaikan tubuh seorang perempuan. Bu Beng maklum bahwa si kurus itu sengaja berlagak atau sengaja hendak memanaskan hatinya. Tiba-tiba ia ingat bahwa si Huncwe maut adalah seorang ahli totok, maka kalau ia sampai tak dapat menahan perasaannya dan menjadi marah karena diejek itu, berbahaya sekali menghadapi lawan tangguh ini. karena itu, tiba-tiba ia mundur dua langkah an berdiri biasa dengan tubuh tegak, sedangkan kedua matanya menatap lawan bagaikan orang yang sedang nonton sesuatu yang lucu.
"Hei, ayo serang, anakku!" lawannya mengejek, tapi Bu Beng tiba-tiba tertawa geli.
"Ah, aku lebih senang menonton seorang badut yang berlagak," jawabnya.
"Sungguh gerakanmu lucu dan menarik. Biarlah kalau sudah main nanti aku ikut memberi hadiah beberapa potong uang perak." Song Leng Ho marah sekali dan tidak dapat menerima hinaan ini. kulit mukanya menjadi merah dan ia hentikan gerakan-gerakannya yang lemah gemulai.
"Baiklah kau sendiri yang cari mampus," katanya, lalu ia menyerang maju dengan hebat. Huncwenya diayun cepat mengarah leher Bu Beng. Kini Bu Beng lah yang mempermainkannya. Anak muda itu berkelit ke kiri dan menyampok Huncwe itu dengan pedang pendeknya. Ia mendapat kenyataan bahwa tenaganya masih tidak kalah oleh lawannya, karena dalam bentrokan itu ia dapat mengukur tenaga lawan.
Sebaliknya bentrokan itu membuat Song Leng Ho sadar bahwa lawannya yang masih muda itu, selain bertenaga kuat, juga memiliki senjata pusaka, karena tidak sembarangan senjata dapat menahan Huncwenya yang terbuat dari baja hitam. Maka ia tidak berani pandang ringan lawannya dan berkelahi dengan hai-hati. Tapi setelah bergebrak lima enam jurus tahulah Bu Beng bahwa si kurus ini hanya lagaknya saja yang hebat. Tentang kepandaian, hanya sedikit lebih tinggi dari Sim Pangcu, maka ia tidak merasa khawatir dan gunakan kelincahan gerakannya mempermainkan lawan itu sambil berkelit gesit kesana kemari. Karena ternyata sekian banyak serangan serangannya hanya mengenai angin , Song Leng Ho merasa penasaran dan gemas sekali.
Tiba-tiba ia menyerang dengan totokan kearah jalan darah di rusuk kanan Bu Beng dan satu serangan itu dibarengi dengan tendangan maut kearah tubuh lawan! Dua gerakan dalam serangan maut ini masih ditambah lagi dengan semburan asap hitam penuh racun kearah muka Bu Beng. Ini sungguh merupakan serangan hebat dan nekat. Melihat serangan kejam dan yang semata-mata dilakukan oleh orang yang menghendaki jiwanya, Bu Beng menjadi marah. Ia berseru keras dan menggunakan tenaga dalamnya meniup kearah asap yang menyambar mukanya hingga asap itu buyar dan terbang kembali. Terhadap serangan Huncwe dan tendangan Bu Beng berlaku lebih keras lagi. Ia gunakan pedang pendeknya menyampok dengan sepenuh tenaga sehingga terdengar suara keras. Dan Huncwe itu terlepas dari tangan si Huncwe Maut yang merasa tangannya pedas dan panas,
Terlempar jauh dan jatuh ke atas lantai mengeluarkan suara berkerontangan, dan Bu Beng miringkan tubuh menghindarkan tendangan, berbareng majukan tangan kiri menghantam dada lawan, Song Leng Ho berteriak ngeri dan tubuhnya terpental ke belakang lalu jatuh berdebukan dengan mata terbalik dan dari mulut mengeluarkan darah.! Hut Bong Hwesio, Pok Thian Beng dan Lui Im yang sejak tadi melihat jalannya pertempuran dengan penuh rasa tegang, ketika melihat Song Leng Ho menggunakan tipu serangan maut tadi telah merasa menyesal dan terkejut sekali, tapi mereka tak sempat mencegah. Kini melihat betapa si Huncwe Maut itu terluka hebat, mereka cemas sekali. Bu Beng juga merasa menyesal karena ia telah memberi pukulan demikian hebat. Segera ia meloncat mendekati tubuh Song Leng Ho yang terbujur di atas tanah.
Ketika ia sedang membungkuk, tiba-tiba dari belakangnya menyambar angin dingin. Ia tahu bahwa ada orang yang menyerangnya dari belakang, tapi tanpa menoleh, ia angkat tangan kiri menyampok. Segera tangannya beradu dengan tangan Hut Bong Hwesio yang sebenarnya salah menyangka ia hendak mencelakakan Song Leng Ho dan turun tangan menceah. Ketika kedua tangan beradu, Hut Bong Hwesio terhuyung ke belakang tiga tindak. Hwesio itu meramkan mata dan mengatur napas, dan mukanya menjadi merah karena malu ketika melihat betapa pemuda itu menggunakan jari telunjuknya menotok jalan darah Hui hing ciat untuk menyembuhkan luka dalam Song Leng Ho yang terpukul olehnya tadi. Setelah selesai menolong jiwa Song Leng Ho, Bu Beng berdiri memandang penyerangnya tadi. Hut Bong Hwesio rangkapkan kedua tangan lalu menghela napas.
"Ah, sungguh tak tersangka pemuda ini telah memiliki tenaga dan kepandaian sempurna. Pinceng mengaku kalah, harap Bu Beng Taihiap maafkan kesembronoan pinceng tadi." Kemudian sambil menjuru kepada Sim Pangcu, Hwesio itu berkata,
"Sim Pangcu, pinceng mohon diri, karena pinceng tak dapat membantu. Maafkanlah." Tanpa menanti jawab, Hwesio itu segera tinggalkan tempat itu dengan tindakan cepat. Lim San yang melihat semua itu, segera maju dan menjuru kepada Sim Pangcu.
"Saudara Sim, aku mohon kau suka habiskan saja pertunjukan-pertunjukan ini. marilah masuk dan minum arak bersama agar hubungan kita baik kembali seperti sedia kala. Janganlah hendaknya soal salah paham kecil ini dijadikan dasar perkelahian yang membahayakan jiwa." Sim Boan Lip tersenyum lemah.
"Kau benar, saudara Lim. Memang seharusnya kami mengalah karena kau mempunyai pelindung yang demikian gagahnya." Ia berkata penuh sindiran tajam.
"Mengalah?" seru Sim Tek Hin sambil bertindak maju.
"Tidak! biar bagaimana juga orang tua she Lim harus pegang teguh janjinya. Kalau ayah dan para LoCianpwe tidak mau membelaku, sepantasnya aku menuntut balas atas penghinaan yang dijatuhkan kepada Song LoCianpwe! Song LoCianpwe adalah tamu kita, pembela dan kawan kita, kini setelah ia dihina oleh Bu Beng siauwcut itu, haruskah kalian tinggal peluk tangan belaka? Apakah ini boleh diartikan bahwa ayah dan jiwi Cianpwe jerih dan takut padanya?" sambil berkata begitu Sim Tek Hin memandang tajam kepada ayahnya dan kepada Pok Thian Beng si Tangan Besi, lalu mengerling kepada Lui Im si Golok Setan. Panas juga hati Pok Thian Beng mendengar sindiran Sim Tek Hin ini. maka dengan langkah lebar ia menghampiri Bu Beng yang memandang semua itu dengan berdiri sambil berpeluk tangan.
"Anak muda, telah kulihat bahwa kau memiliki kepandaian tinggi dan tenaga besar. Berilah ketika padaku utnuk mencobanya." Bu Beng menjuru dengan hormat.
"Maaf, Lo-Enghiong. Bolehkah saya mengetahui nama dan gelaran Lo-Enghiong yang mulia?" Melihat sikap dan kesopanan anak muda itu, hati Pok Thian Beng telah mulai menyesal mengapa ia mudah saja dibakar oleh Sim Tek Hin. Tapi karena sudah terlanjur, ia menjawab juga.
"Aku adalah Pok Thian Beng."
"Ah, jadi Lo-Enghiong adalah si Tangan Besi? Sungguh beruntung saya yang bodoh dapat berjumpa dengan Lo-Enghiong yang telah lama kukagumi." Jawab Bu Beng. Tapi Pok Thian Beng yang jujur tidak jadi sombong bahwa anak muda itu telah mendengar nama besarnya, bahkan ia khawatir kalau-kalau nama besar itu sebentar lagi akan hancur oleh anak muda yang agaknya baru saja muncul dalam kalangan kang ouw hingga namapun tidak punya!
"Anak muda, kita tak pernah bermusuhan maka marilah kita main-main sebentar, sekadar belajar kenal," katanya demikian dan Sim Tek Hin yang mendengar percakapan saling merendah ini menjadi tidak puas.
"Pok Lo-Enghiong. Apakah perlunya kita menonjolkan kepandaian? Saya sudah cukup percaya akan kelihaianmu dan haruskah perkenalan ini dikotori oleh adu tenaga? Bantah Bu Beng.
"Hm, hm, Bu Beng Kiam Hiap. Agaknya kau jerih terhadap Pok Cianpwe, ha ha!" Sim Tek Hin mengejeknya.
"Hayo, Bu Beng Taihiap, layanilah aku barang dua tiga jurus. Kalau tidak, maka tentu kau atau aku akan dianggap pengecut." Pok Thian Beng mendsak, hingga apa boleh buat Bu Beng siap melayaninya. Tapi karena ia maklum akan ketulusan Pok Thian Beng dan tahu bahwa orang itu hanya menjadi kurban kelicikan keluarga Sim, ia tidak hendak mencelakakan atau membikin malu kepadanya.
"Awas pukulan," Pok Thian Beng berseru sambil maju menyerang dalam tipu Hong tan tiam cie atau burung Hong pentang sayap langsung memukul kea rah iga Bu Beng.
Anak muda itu berkelit dengan gesit, tapi segera datang pula serangan dari si Tangan Besi dengan gerakan Hek houw to sim atau Macan hitam menyambar hati. Bu Beng adlah seorang pemuda yang penuh keinginan meluaskan pengalaman, maka tidak akan puas hatinya kalau belum mencoba sesuatu yang telah didengarnya. Telah lama ia mendengar akan kehebatan lengan tangan Pok Thian Beng yang dijuluki si Tangan besi, maka kini melihat tangan kanan lawan menyambar kearah ulu hatinya, ia segera kumpulkan tenga mengepul tangan dan gunakan tangannya itu memukul kedepan dan memapaki datangnya pukulan lawan. Si Tangan Besi terkejut melihat kecerobohan lawan yang msih muda ini. ia tidak mau membikin anak muda itu celaka dan ia yakin bahwa jika mereka beradu tangan, pasti anak muda itu sedikitnya akan terpatah lengnnya.
Tapi, karena untuk menarik kembali kepalannya sudah tak sempat lagi, maka ia hanya dapat mengurangi tanaganya dan hanya gunakan setengah saja. Dua kepalan tangan bertemu dan "DUK!" kedua-duanya merasa betapa sebuah tangan besar bertemu dengan tangan masing-masing. Karena si Tangan Besi hanya gunakan setengah tenaganya dan berbareng itu Bu Beng sendiri yang sangat percaya akan tenaga sendiri juga kurangi tenaga pukulannya, maka si Tangan Besi lah yang kalah tenaga dan terhuyung-huyung mundur sampai lima tindak, sedangkan Bu Beng hanya mundur dua tindak. Pok Thian Beng memandang kagum dan penasaran. Ia si Tangan Besi yang terkenal dan jarang terlawan kekuatannya kini terpukul mundur oleh anak muda ini? ia menyesal mengapa tadi tidak kerahkan semua tenaganya!
Dan masih menganggap bahwa kekalahannya itu karena ia tadi hanya menggunakan setengah tenaga. Maka ia merangsek kembali karena belum puas. Bu Beng tidak mau dianggap tidak pandang sebelah mata kepada musuh yang dihormati itu, maka iapun balas menyerang.ketika Bu Beng dengan pukulan Kim liong tam jiauw atau Naga mas mengulur kuku memukul kearah lambung, tibalah giliran si Tangan Besi untuk mengukur tenaga lawan. Ia kerahkan seluruh tenaganya untuk menangkis. Kembali dua telapak tangan beradu, kini lebih hebat karena Pok Thian Beng gunakan semua tenaga sedangkan Bu Beng juga pusatkan tenaganya di lengan. Akibat tumbukan tenaga itu, Pok Thian Beng rasakan lengannya kesemutan dan Bu Beng juga rasakan kulit tangannya panas. Anak muda itu segera barengi meloncat mundur sambil berkata.
"Pok Lo-Enghiong sungguh tidak percuma bergelar Tangan Besi. Siauwte mengaku kalah." Katanya sambil memberi hormat. Pok Thian Beng makin kagum melihat kesopanan pemuda itu. Ia tertawa dengan gembira.
"Ha ha. Tidak kecewa aku datang kesini dan dapat mengagumi orang muda seperti kau. Tidak malu aku mengaku bahwa kalau kau mau, mudah saja bagimu untuk menjatuhkan aku. Kalau aku mempunyai tangan besi, maka kau mempunyai tangan baja, Bu Beng Kiam Hiap!" kemudian kepada Sim Boan Lip dan Sim Tek Hin ia menjuru.
"Terima kasih atas undangan jiwi. Tapi aku yang bodoh dan tidak berguna ternyata tak dapat membantu apa-apa. Terserah kepadamu, jiwi, tapi menurut pendapatku yang bodoh, lebih baik persolan kecil ini dihabiskan saja."
"Ah, Pok Cianpwe mengapa merendahkan nama kita sendiri? Terang sekali Pok Cianpwe berlaku mengalah terhadap pemuda sombongini, tapi mengapa berkata demikian. Pula Lui Im losuhu juga berada disini apakah orang tidak pandang mata kepadanya," berkata Sim Tek Hin. Mendengar teguran ini, Pok Thian Beng memandangmarah.
"Hm, bagus, Sim hiante. Jadi undanganmu kepada kamidulu itu hanya untuk mengadu kami dengan orang-orang lain? Jadi hanya untuk memperalat kami. Terimakasih dan sampai jumpa pula." Sambil berkata begitu, Pok Thian Beng balikkan tubuh hendak meninggalkan empat ini. tapi sekali loncat, Lui Im telah berada di sebelahnya dan pegang lengannya.
"Eh, Pok twako, jangan pergi dulu. tunggu aku ajar kenal dulu dengan Bu Beng Kiam Hiap." Si Tangan Besi memandang dan tersenyum lalu duduj di atas sebuah bangku dengan sikap tidak perduli kepada orang she Sim itu. Lui Im yang bertubuh pendek kecil itu segera mendekati Bu Beng.
"Bu Beng Kiam Hiap, kau sebagai seorang hohan tentu suka berlaku adil. Kami semua datang kesini dan sudah belajar kenal dengan kelihaianmu, hanya aku seorang yangbelum . maka janganlah bikin aku penasaran dan berilah sedikit pengajaran padaku." Bu Beng memberi hormat,
"Mana aku yang muda berani memberi pengajaran? Sebaliknya, siauwte masih mengharapkan petunjuk-petunjuk darimu." Lui Im cabut golok dari punggungnya dan kelebat-kelebatkan itu beberapa kali. Melihat ini, Bu Beng terkejut.
"Bukankah Lo-Enghiong ini Pangcu dari Cung lim pang yang bernama Lui Im Lo-Enghiong?" tanyanya. Lui Im terkejut juga. Bagaimana pemuda yang tak dikenalnya ini dapat mengenlnya?
"Eh, Dari mana kau tahu nama dan kedudukanku, anak muda?" Bu Beng memberi hormat.
"Maaf, karena siauwte tadi tidak tahu berhadapan dengan siapa. Tidak tahunya berhadapan dengan seorang sahabat baik dari suhengku."
"Siapa suhengmu itu?"
"Suhengku ialah Kim Kong Tianglo dari Liong san." Lui Im menggerakkan tangan kanannya dan tiba-tiba goloknya menancap diatas tanah dan gagangnya bergerak-gerak menggetar.
"Kim Kong Tianglo? Kau... sutenya? Aneh. Sungguh aneh! Kemudian ia berdiri termangu-mangu karena sesungguhnya ia pernah mendengar dari Kim Kong Tianglo sendiri bahwa pendeta tua itu mempunyai seorang sute yang gagah, tapi masakan sute itu semuda ini? Bu Beng mengerti bahwa orang itu ragu-ragu, maka tiba-tiba ia mendapat pikiran untuk menklukkan orang ini tanpa mengadu kepandaian. Ia berkata "Maaf" dan secepat kilat ia loncat menyambar dan tahu-tahu golok yan tertncap di tanah itu telah dicongkel dengn ujung kaki hingga terlempar keatas yang lalu diterima dengan tangan. Kemudian ia mulai bersilat sambil berkata.
"Sebagai sahabat suhengku, tentu Lo-Enghiong kenal permainan ini," lalu diputar-putarnya golok itu dan ia mainkan ilmu golok dari Kim Liong Pai. Golok itu berubah menjadi sinar putih yang lebar dan yang menyelimuti tubuh anak muda itu. Lui Im berdiri ternganga dan tak disengaja mulutnya berkata memuji.
"Bagus, bagus." Setelah Bu Beng berhenti bersilat dan menancapkan kembali golok di tempat tadi, Lui Im menghampirinya dan menepuk-nepuk pundaknya dengan mesra.
"Tidak salah, tidak salah! Kau tentu sute dari Kim Kong, bahkan permainan golokmu lebih hebat dari padanya. Sungguh hebat. Sungguh beruntung kita belum bergebrak, kalau sudah ah tentu aku akan celaka. Ha ha ha!" kemudian ia berpaling kepada Pok Thian Beng yang masih duduk.
"Saudara Pok, matamu sungguh awas dan mengenal barang baik. Kau benar, kita berdua tak usah mencampuri persoalan tetek bengek ini. saudara Sim, pandanglah muka kami berdua dan habiskan saja pertempuran ini. mari, saudara Pok, sudah waktunya bagi kita untuk pergi." Kedua jagoan tua itu, setelah menjuru kearah Bu Beng dengan kata-kata.
"Sampai bertemu lagi," lalu berjalan cepat tinggalkan tempat itu. Melihat bahwa ia sendiri berikut keempat kawannya yang diandalkan itu satu demi satu dibikin takluk oleh Bu Beng. Sim Pangcu menjadi malu sekali. Ia menjuru kearah Lim San yang sejak tadi melihat pertunjukan-pertunjukan itu dengan penuh kekaguman, sambil berkata,
"Saudara Lim, biarlah kali ini aku mengaku kalah." Lim San balas menjuru.
"Sim Pangcu, kau tidak kalah dariku, maka sudahi sajalah urusan ini dan anggap saja bahwa kita tiada jodoh untuk berbesan. Biarlah kita menjadi sahabat baik." Sim Pangcu menggoyang-goyang kepala.
"Bagaimana juga aku sekawan telah dijatuhkan orang, dan aku harus berusaha mencuci bersih noda memalukan ini." Tiba-tiba Bu Beng meloncat kedepannya dan berkata keras dengan suara penuh ejekan.
"Ha ha, Sim Pangcu ternyata bersikap seperti anak kecil. Kalau sikapmu seperti ini, mana pantas kau menjadi seorang Pangcu? Ketahuilah, kau adalah seorang pengecut besar kalai urusan hari ini kau taruh dendam kepada Lim San Lo-Enghiong. Kau hanya tujukan kepada orang yang kiranya tak dapat melawanmu agar kau dapat paksakan nafsu jahatmu. Kalau kau memang seorang gagah, lenyapkan semua urusanmu dengan Lim San Lo-Enghiong. Jika dalam hatimu masih ada dendam mak dendam itu tidak seharusnya ditujukan kepadanya, tapi seharusnya kepadaku, karena akulah orangnya yang telah menjatuhkan kalian."
"Bu Beng! Jangan kau sombing," teriak Sim Pangcu sambil kertak giginya karena marah dan gemas.
"Siapa yang taruh hati dendam kepada Lim Enghiong? Puteraku ditampik adalah soal kecil. Masih banyak gadis lain di dunia ini. dendam hatiku memang ditujukan padamu. Maka ingatlah pada suatu hari aku pasti akan mencarimu dan menagih hutang!" sehabis berkata demikian, Sim Pangcu segera mengambil langkah lebar dengan diikuti Sim Tek Hin yang berjalan dengan tunduk.
Lim San maklum bahwa ucapan sombong yang dikeluarkan oleh Bu Beng itu memang disengaja untuk memindahkan rasa dendam di hati Pangcu itu dari Lim San kepada Bu Beng. Maka makin bertambahlah rasa terima kasihnya kepada pemda itu. Namun Bu Beng tak memberi kesempatan kepda orang untuk menyatakan terima kasih, karena setelah menjuru ia ccepat berkelebat dan bayangannya tak tampak lagi. Lim San sekeluarga hanya dapat menarik napas dalam dan geleng-geleng kepala. Bu Beng secepat terbang kembali ke pondok diatas bukit dan setelah membungkus barang-barangnya yang tak berapa banyak itu di dalam sebuah kain kuning, ia meninggalkan tempat itu dengan bungkusan terikat di punggung untuk melanjutkan perjalanannya merantau setelah berdiam di tempat sunyi itu hampir sebulan lamanya.
Disepanjang jalan tak habis-habisnya Bu Beng melakukan kewajibannya sebagai seorang pendekar, menolong yang lemah tertindas dan membasmi yang kuat sewenang-wenang. Tak heran nama Bu Beng Kiam Hiap makin terkenal, ditakuti lawan diindahkan kawan. Pada suatu hari, pagi-pagi sekali Bu Beng telah berjalan kaki seorang diri dalam sebuah hutan di kaki bukit Lun ma san. Di kaki bukit Lun ma san terdapat beberapa kampung kecil dengan penduduk terdiri dari kaum petani. Tapi karena bukit itu mengandung tanah kapur, pertanian disitu tidak dapat subur. Maka disamping bertani, penduduk disitu menambah enghasilan dengan menjual hasil hutan dan kapur yang memang banyak terdapat disitu. Di beberapa hutan terdapat kayu besi yang hitam membaja dan banyak isukai oleh orang "orang kota untuk membuat bangunan karena kayu itu kerasnya bagaikan besi saja.
Ketika enak berjalan, tiba-tiba Bu Beng mendengar sura kanak-kanak yang tertawa-tawa dengan riangnya. Suara tawa anak-anak yang wajar ini membuat Bu Beng sadar dari lamunannya, karena sesungguhnya semenjak tadi Bu Beng melamun walaupun kedua kakinya berjalan maju. Ia merasa seakan-akan suara tawa riang dan bening itu merupakan cahaya dan membuatnya gembira sekali. Dengan cepat ia menuju kearah datangnya suara itu. Ternyata olehnya bahwa yang tertawa-tawa gembira adalah dua orang anak laki-laki dan perempuan berusia kurang lebih enam tahun. Mereka sambil tertawa mengejar seekor kelinci yang lari kesana kemari dengan gesitnya. Tapi kedua anak itu lebih gesit, seorang mencegat disana, seorang pula mencegat disini,
Hingga akhirnya binatang berbulu putih itu kelelahan dan hanya mendekam di tengah-tengah sambil terengah engah dan tubuhnya menggil seakan-akan kedinginan. Sepasang telinganya yang panjang bergerak-gerak kebawah keatas dengan lucunya. Bu Beng heran dan kagum melihat gerakan kedua anak itu. Jelas baginya bahwa kedua anak itu mempunyai gerakan yang terlatih dan pasti mereka adalah murid-murid seorang ahli silat yang pandai. Tiba-tiba anak perempuan itu meloncat dan tangannya menyambat. Sambil tertawa girang ia melihatbetapa kelinci itu bergerak-gerak hendak meloloskan diri, tapi percuma karena tangan kecil yang memegang kedua telinganya itu kuat sekali hingga ia hanya dapat menggerak-gerakkan kedua kakinya yang tergantung dan kaki depannya bergerak-gerak seakan-akan orang main silat.
"Cin Lan, lepaskan ia, kasihan. Telinganya tentu sakit kau gantung demikian rupa," tegur anak laki-laki itu.
"Mengapa kasihan? Tampaknya lucu!" jawab anak yang perempuan, "Biar kubawa pulang, kuberikan pada twaci agar dimasak. Hm, alangkah sedapnya nanti."
"Jangan, Cin Lan. Kasihan dia. Aku tak suka daging kelinci. Lihat itu matanya seperti matamu. Sebentar lagi ia menangis." Digoda demikian, si gadis kecil melempar kelinci itu ke tengah gerombolan pohon kecil. Binatang itu segera lari cepat dan menghilang dibawah rumput alang-alang. Anak perempuan itu dengan muka merah menghadapi kakaknya.
"Kau ini bisanya menggoda saja. Awas nanti kuberitahukan Cici agar kau dijewer sampai merah biru telingamu."
"Sudahlah jangan marah. Lebih baik kita berlatih karena kalau Cici datang melihat kita belum latihan, barangkali telinga kita berdua akan dijewer sampai putus. Kau tahu, bagaimana halusnya tangan Cici, kalau sudah menjewer telinga ampun sakitnya bukan main."
"Baiklah, Han ko tapi kau jangan nakal lagi. Mari kita latih pelajaran kemarin. Gerakan jurus keempat masih terasa sukar bagiku."
Semenjak tadi Bu Beng mengintai dari belakang pohon dengan hati gembira. Ia suka sekali kepada kedua anak kecil yang mungil itu. Yang laki-laki cakap berwajah tampan, daun telinganya lebar dan matanya bersinar, tapi bibir dan pandangan matanya memperlihatkan kesabaran dan kebijaksanaan. Terang bahwa kelak anak ini akan menjadi seorang yang mulia dan bijaksana. Anak perempuan yang dipanggil Cin Lan itupun mungil sekali. Wajahnya cantik jelita dengan mata yang lebar, jika ketawa nampak dua lekuk manis di kanan kiri mulutnya. Tapi menurut pandangan Bu Beng, pandangan mata anak perempuan itu ketika marah tampak kejam dan jahat, sungguhpun setelah tertawa lenyaplah sifat itu dan terganti sifat yang halus menyenangkan.
Kini setelah melihat kedua anak itu bertanding main silat terkejutlah Bu Beng. Karena ternyata kedua anak itu mainkan tipu-tipu gerakan dari Kim Liong Pai! Murid siapakah kedua anak ini? Demikian Bu Beng tak habis terheran-heran. Kalau murid dari cabangnya yang mengajar kedua anak itu, mengapa gerakannya demikian kacau? Tipu-tipu gerakan ini walaupun banyak mengambil dari Kim Liong Pai, tapi harus diakui ada bedanya, atau beda dalam variasinya. Karena heran dan ingin sekali tahu, Bu Beng menghampiri mereka. Dua anak itu berhenti main silat dan memandang Bu Beng dengan curiga. Pakaian Bu Beng memang dapat mencurigakan hati kanak-kanak, karena pakaian warna kuning itu sudah bertambal sana sini bahkan di bagian pundak kiri robek belum ditambal hingga nampak kulit pundaknya yang putih dengan tulang pundak menonjol.
"Anak baik, siapakah guru kalian? bagus sekali permainanmu," Tanya Bu Beng ramah. Tapi anak perempuan itu segera mundur dan berbisik kepada kakaknya.
"Han ko, hati-hati, ini tentui sebangsa penjahat seperti yang diceritakan Cici." Bu Beng tertawa geli mendengar ini.
"Eh aku bukan penjahat. Aku suka sekali melihat permainan silatmu tadi. Tapi ada beberapa bagian yang kaku dan salah. Tadi ketika kau mainkan tipu naga mas memburu mustika kaki kirimu salah duduknya, seharusnya agak ditarik serong ke kiri," katanya kepada anak perempuan itu. Kemudian ia berkata kepada anak laki-laki yang memandangnya dengan mata tajam.
"Dan kau, Siauw ko ketika kau menangkis dengan Naga Mas Sabetkan Ekor tadi, tangan kirimu yang menganggur seharusnya dikerjakan untuk balas menyerang dengan tipu Naga Mas Leletkan Lidah karena kedudukan lawanmu kosong bagian pinggang kanan."
"Eh, orang kuarang ajar!" tiba-tiba gadis kecil itu mendamprat, "Kau lancing sekali berani mencela ilmu silat kami yang diturunkan oleh Cici!" Bu Beng ketawa gembira melihat kelincahan dan kegalakan nona cilik itu.
"Oh, jadi kalian diberi pelajaran oleh Cici kalian sendiri?."
"Apa kau berani bilang bahwa twaci kami salah pula dalam memberi pelajaran?" Tanya anak laki-laki itu penasaran.
"Memang salah. Kalau Cicimu yang mengajar, maka ia juga salah."
"Hm, sobong bener kau! twaci mendapat pelajaran dari supek, apakah kalau begitu supek juga slah?" Tanya anak perempuan itu. Bu Beng mengangguk sambil tersenyum.
"kalau memang begini cara mengajarnya, supekmu itu juga salah!"
"Kurang ajar!" gadis kecil itu berteriak marah dan dengan cepat ia layangkan kepalannya yang kecil memukul perut Bu Beng. Bu Beng tertawa gelid an timbul kegembiraannya.
"Baik, baik mari berlatih agar dapat kemajuan." Ia berkelit sambil berkata, "Nah, ini kelitan Naga Mas Putar tubuh." Anak laki-laki ketika melihat adiknya menyerang segera ikut membantu dan sebentar kemudian Bu Beng sikeroyok oleh kedua anak itu. Bu Beng sambil berkelit dengan mulut tersenyum gembira selalu memberi petunjuk. Ia sebutkan kesalahan-kesalahan gerakan anak-anak itu dan sebutkan nama gerakannya sendiri sambil mengelak atau menangkis perlahan. Ternyata kedua anak itu bersemangat besar karena biarpun sudah merasa lelah, namun masih saja mendesak. Disamping menyerang, merekapun perhatikan petunjuk-petunjuk dari Bu Beng dan dasar otak mereka berdua cerdik merekan seakan-akan terbuka mata mereka dan dapat menangkap kesalahan-kesalahan sendiri. Tiba-tiba terdengar seruan nyaring.
"He, orang kasar Dari mana berani mengganggu kedua adikku?"
Mendengar seruan ini Bu Beng meloncat mundur dua kali dan memandang. Ia tertegun dan untuk sejenak seakan-akan napasnya berhenti. Bu Beng bukanlah seorang pemuda yang mudah saja terpesona oleh paras cantik. Tapi ketika matanya memandang gadis berpakaian putih yang berdiri dihadapannya sambil bertolak pinggang dan matanya bercahaya tajam dan marah itu, ia rasakan semangatnya melayang-layang. Wajah dan potongan tubuh gadis itu menarik hatinya benar dan diam-diam ia bandingkan gadis itu dengan gadis yang selalu memenuhi alam mimpinya. Karena sudah berusia lebih dari dua puluh lima tahun, sebagai seorang pemuda yang sehat, sering kali Bu Beng mengenangkan dan mimpikan seorang gadis yang sesuai dan cocok dengan selera hatinya. Dan gadis ini mememnuhi segala-galanya.
Jago Pedang Tak Bernama Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Gadis itu berusia paling banyak sembilan belas tahun, tubuhnya ramping padat, sepasang matanya merupakan bintang bercahaya indah, hidungnya mancung mulutnya kecil dengan bibir bagaikan gendewa terpentang dan berwarna merah, rambutnya terurai ke belakang dan diikat dengan kain putih, sebagian rambut terurai kejidat menambah kemanisannya. Baju dan celana putih dari kain kasar dan sepatu putih pula menutupi tubuhnya. Sungguhpun ia berdandan sederhana sekali namun kesederhanaannya ini bahkan menonjolkan kejelitaan yang asli. Karena orang yang ditegurnyaa dari tadi bengong saja sambil memandang bagikan patung hidup, gadis itu merasa malu dan wajahnya menjadi merah. Ia marah sekali melihat kekurang ajaran orang.
"He, bangsat! ada apa kau pandang orang saja dan tak menjawab kata-kataku. Apakah kesalahan kedua adikku ini hingga kau seorang dewasa sampai mengajak mereka berkelahi? Pengecut besar, tidak malu berkelahi dengan anak-anak kecil." Bu Beng makin kagum, karena setelah marah, ternyata wajah itu makin cantik saja. Tapi kata-kata yang pedas itu membuatnya sadar. Segera ia rangkapkan tangan memberi hormat.
"Siocia, maafkan aku seorang perantauan yang tak tahu adapt. Harap jangan salah sangka, kedua adikmu tadi bukan sedang berkelahi dengan aku, tapi kami bertiga hanya sedang main-main dan berlatih saja." Gadis itu memandang adik perempuannya.
"Cin Lan, benarkan kalian tidak berkelahi tadi!" Dengan keringat di sekujur badan dan napas masih terengah-engah, Cin Lan menjebikan bibir kearah Bu Beng dan berkata.
"Siapa yang main-main? Coba Cici lihat, apakah aku kelihatan seperti orang main-main? Keringatku sampai membasahi semua pakaian, dan lihat Han ko itu, ia masih terengah-engah kelelahan! kalau Cici tidak keburu datang memisah, sekarang kami berdua tentu telah dapat menggebuk mampus padanya!"
"Huh!" gadis itu menegur, tapi mau tak mau ia terpaksa bersenyum mendengar kejumawaan adiknya itu.
"Sungguh bukan maksudku mengajak mereka berkelahi nona. Coba kau Tanya Siauw ko ini benar-benarkah kami tadi berkelahi?" Anak laki-laki itu memandang Cicinya dengan matanya yang jujur dan berkata ragu-ragu.
"Aku sendiri tidak tahu, tapi dia ini memberi petunjuk-petunjuk dan membetulkan kesalahan-kesalahan gerakan kami."
"Membetulkan kesalahan gerakanmu?" Cicinya bertanya heran.
"Ya, Ci, bahkan kau sendiri juga dicelanya, juga supek dikatakannya salah mengajar!" kata nona cilik yang nakal itu.
"Apa katamu?" gadis itu memandang marah kepada Bu Beng.
"Ah, bukan begitu maksudku, nona..." membela Bu Beng.
"Jangan banyak cakap. Kalau kau ada kepandaian dan dapat mencela ilmu silatku, cobalah kau terima dan sambut seranganku ini!" Bu Beng hendak membantah, tapi gadis baju putih itu tak memberi kesempatan padanya untuk bicara, langsung maju menyerang secepat kilat.
Pukulannya selain cepat juga berat dan antep sekali hingga Bu Beng buru-buru berkelit. Dalam gerakan-gerakan pertama gadisitu gunakan ilmu silat Kim Liong Pai hingga ia makin heran. Ternyata gadis itu walaupun gerakannya gesit dan tenaganya besar, juga membuat kesalahan-kesalahan dalam gerakannya atau mungkin juga, ilmu silat Kim Liong Pai telah tercampu aduk dengan ilmu silat lain yang tidak kalah lihainya. Menghadapi ilmu silat cabang sendiri, Bu Beng dengan mudah sekali dapat memunahkan setiap serangan. Gadis itu menjadi penasaran dan segera merobah gerakannya. Kini ia menyerang dengan lebih cepat dan tahulah kini Bu Beng bahwa sebenarnya gadis itu mahir sekali ilmu silat Bie jin kun yang gerakan-gerakannya lemas tapi mengandung tenaga dalam yang berbahaya.
Mungkin gadis ini baru sedikit mempelajari ilmu silat Kim Liong Pai dan kepandaian aslinya ialah Bie jin kun itu. Karena dalam hal ilmu silat Bu Beng sudah digembleng oleh gurunya dan ia mempelajari pula segala macam ilmu silat, maka menghadapi serangan-serangan inipun ia hanya tersenyum sambil berkelit dengan gesitnya. Tak pernah ia menangkis atau balas menyerang, seakan-akan hatinya tidak tega melukai gadis itu. Diam-diam ia gembira karena iapun ingin sekali menjajal kepandaian gadis itu. Kini ia mendapat kenyaraan bahwa gadis itu memiliki ilmu silat yang lumayan juga. Gadis baju putih itu ketika menyerang berpuluh jurus tapi belum juga dapat menyentuh ujung baju Bu Beng, dan mendengar sorakan-sorakan adik-adiknya yang memang gemar menonton orang bersilat, dengan dibarengi teriakan-teriakan,
"Pukul, Ci! Robohkan ia! ah, meleset lagi! Sayang, tidak kena lagi, Ci! Hayo pukul roboh!" maka ia menjadi marah dan gemas bukan main. Dengan seruan keras ia cabut sepasang pedangnya yang terselip di punggung dan gunakan siang kiam itu menyerang hebat.!
"Tahan pedangmu, nona. Aku tidak ingin berkelahi," mencegah Bu Beng.
"Hm, kalau dengan kanak-kanak berani ya? Kalau benar-benar laki-laki keluarkan senjatamu." Bu Beng buka kedua lengannya sambil angkat pundak.
"Aku tidak ingin berkelahi nona."
"Jangan banyak cakap. Kalau kau tidak mau melayaniku maka kau akan kuanggap laki-laki pengecut." Bu Beng tersenyum.
"Kau memaksa nona. Apa boleh buat aku bukan pengecut. Majulah!" gadis itu segera buka serangannya dengan gerakan Burung Kepinis Menyambar Ikan. Pedang kanannya menusuk kearah tenggorokan Bu Beng sedangkan pedang kiri terputar mengancam untuk membingungkan lawan. Tapi Bu Beng ganda tertawa saja, dan loncat berkelit. Gadis itu merangsek maju dengan hati panas, dan Bu Beng terpaksa gunakan ilmu ginkangnya yang hebat untuk melayaninya dengan tangan kosong.
Pemuda itu mengandalkan keringan tubuh dan kegesitan gerakannya untuk meloloskan diri dari bayangan pedang. Sebenarnya permainan siang kiam gadis itu hebat dan telengas sekali. Kalau bukan Bu Beng, jangankan bertangan kosong biar bersenjatapun, tidak sembrangan orang dapat menangkan gadis itu. Tapi kali ini ia bertemu dengan Bu Beng Kiam Hiap yang tingkatnya masih jauh diatasnya, maka dengan mudah saja ia dipermainkan. Pada saat itu dari jauh datang berlari seorang wanita tua yang membawa tongkat. Tindakan kakinya ringan dan larinya cepat sekali hingga diam-diam Bu Beng terkejut. Ia melihat orang tua itu duduk diatas sebuah akar pohon di dekat mereka dan diam saja menonton perkelahian itu. Gadis yang menyerangnya dengan sengit itu agaknya tak melihat kedatangan orang tua itu karena gerakannya memang ringan sekali.
Tapi kedua anak kecil itu ketika melihat perempuan tua bertongkat tahu-tahu duduk disitu segera lari menghampiri dan memeluknya. Hati Bu Beng bimbang juga. Ternyata perempuan tua yang berkepandaian tinggi itu masih keluarga mereka. Ah, ia harus menyimpan tenaga untuk menghadapinya jika hal itu terjadi nanti. Pada saat ia berpikir demikian, tiba-tiba gadis baju putih itu menggerakkan kedua pedangnya menusuk dada dengan tipu Wanita Cantik Tawarkan Arak. Sepasang pedangnya yang meluncur ke dada Bu Beng, sebuah ditusukkan dan yang satu lagi dibacokkan kebawah.! Menghadapi serangan ini, Bu Beng berlaku cepat. Tubuhnya berkelit kesamping dan sekali menggerakkan tangan kearah pergelangan gadis itu, sekejap kemudian pedang kanan gadis itu pindah tangan.!
(Lanjut ke Jilid 03)
Jago Pedang Tak Bernama (Serial 01 - Jago Pedang Tak Bernama)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 03
"Bagus, bagus!" terdengan wanita tua itu memuji. Tapi gadis itu menjadi penasaran sekali. Dengan nekat ia gunakan sebilah pedangnya untuk menyerang kembali. Bu Beng menggunakan pedang yang dirampasnya untuk menangkis dengan main mundur. Tiba-tiba sebuah sinar hitam menyela diantara mereka dengan membawa angin keras dibarengi bentakan orang.
"Cin Eng, mundurlah. Seharusnya kau tahu diri dan tidak berlaku nekat!" mendengar bentakan ini, gadis itu berloncat mundur dan berdiri dengan tunduk dan wajah merah. Melihat keadaannya itu, timbul rasa iba di hati Bu Beng, maka segera ia maju menghampiri dan memberi hormat, lalu sambil mengangsurkan pedang yang dirampasnya kepada pemiliknya, ia berkata halus,
"Nona, maafkan aku yang rendah telah berlaku kurang ajar. Terimalah pedangmu kembali, nona." Cin Eng mengangkat kepala memandangnya, tapi ia tertunduk kembali dengan muka merah dan mulut cemberut.
"Ha, ha!" wanita tua itu tertawa terkekeh-kekeh.
"Cin Eng, orang telah berlaku mengalah dan baik kepadamu, hayo terima kembali pedangmu!" dan gadis itu kembali mentaati perintah itu dan terima kembali pedangnya dari tangan Bu Beng tanpa berani memandang pemuda itu.
"Anak muda, kau gagah juga dan kepandaianmu lumayan. Majulah dancoba kau tahan tongkatku yang lapuk ini." Bu Beng menjuru hormat.
"Aku yang muda mana berani berlaku tidak sopan."
"Hm, jangan sungkan-sungkan, anak muda. Dengan mudah kau dapat mengalahkan puteriku. Maka, mau tak mau kau harus melayani aku yang tua ini beberapa jurus. Aku hanya ingin mengukur dalamnya kepandaianmu, jangan kau takut. Aku takkan berlaku kejam padamu." Panas juga hati Bu Beng karena terang sekali orang memandang ringan kepadanya, bahkan ia disangka takut! Maka ia majukan kaki selangkah dan setelah berkata,
"Maaf," ia cabut pedang pendeknya yang disembunyikan di belakang punggung dalam bajunya. Pedang pendek ini bukanlah pedang sembarangan. Ia dapat merampasnya dari seorang kepala perampok kenamaan setelah mengadu jiwa mati-matian. Pedang ini disebut Hwee hong kiam dan tajamnya luar biasa serta terbuat daripada logam yang jarang terdapat dank eras melebihi baja tulen. Kalau tidak terpakasa, jarang sekali Bu Beng keluarkan senjata ini. tapi kali ini ia tahu bahwa wanita tua ini bukanlah orang sembarangan dan bahwa tongkatnya itu tentu lihai sekali.
"Ha, bagus! Nah sambutlah tongkatku!" wanita tua itu tak sungkan lagi maju menyerang. Tongkatnya yang berwarna hitam menyambar berat mendatangkan angin dingin. Bu Beng gunakan pedangnya menangkis dan merasa betapa berat tenaga dalam wanita tua itu. Namun wanita itupun diam-diam terkejut karena anak muda itu ternyata bertenaga tidak lebih bawah darinya. Wanita itu gunakan tipu-tipu ilmu toya Siauw lim si yang hebat dicampur dengan gerakan ilmu golok Kun lun. Biarpun ia mempunyai ilmu silat yang hebat sekali dan pengalamannya yang berpuluh tahun itu mebuat gerakannya tetap dan kuat, namun baru bergebrak beberapa jurus saja ia merasa heran dan kaget. Karena ilmu pedang Bu Beng sangat membingungkannya.
Bu Beng keluarkan tipu-tipu Kim Liong Pai yang sudah dikombinasikan sedemikian rupa dengan tipu-tipu Hoa San Pai hingga merupakan gerakan-gerakan tersendiri yang sangat lihai dan tak terduga datangnya! Tak heran bahwa sebentar saja perempuan itu terdesak dan hanya dapat menangkis saja. Pada suatu desakan, Bu Beng menggunkan pedang pndeknya menusuk dada lawan. Tusukan ini cepat sekali, tapi biarpun terdesak, nenek itu masih dapat memutar tongkatnya menangkis pedang yang ujungnya sudah hampir mengenai kulitnya itu. Tak tersangka-sangka Bu Beng cepat sekali merobah arah pedangnya ke kiri dan membabat lengan lawan! Nenek itu menjerit kaget dan menggunakan jaln satu-satunya yang masih mungkin ia lakukan, yakni melepaskan tongkat dan menggelinding pergi sejauh dua tombak lebih. Bu Beng rangkapkan kedua tangan.
"Maaf, maaf." Nenek itu berdiri cepat dengan muka pucat. Ia belum bebas sama sekali dari rasa terkejut. Tiba-tiba wajahnya berubah girang dan dengan terkekeh-kekeh ia jemput tongkatnya lalu menghampiri Bu Beng.
"Anak muda, kau sungguh gagah perkasa. Ketahuilah, aku adalah Hun Gwat Go yang disebut orang si Tongkat Terbang. Tapi sekarang aku sudah tua hingga tak pandai memainkan tongkat lagi, buktinya dengan begitu saja aku terpaksa melepaskan tongkatku. Hi, hi hi!" Bu Beng tak senang mendengar suara tertawa terkekeh-kekeh ini, tapi karena orang berkata dengan ramah, ia terpaksa tersenyum juga.
"Dan ini adalah Cin Eng, anakku. Kedua anak kecil itu Cin Land an Cin Hai. Dan kau sendiri siapakah anak muda?"
"Saya bernama Bu Beng." Kedua anak kecil itu tertawa mendengar nama Tak Benama ini dan nenek sendiri memandang heran. Tapi karena Bu Beng memandangnya dengan wajah bersungguh-sungguh dan sinar matanya menyambar tajam, ia tak berani bertanya lagi.
"Bu Beng Taihiap, kami persilakan mampir dipondok kami," katanya kemudian, "Perkenalan ini harus kita pererat. Sudah lama aku ingin berjumpa dengan seorang hohan di jaman ini. dan kebetulan ini hari berjumpa dengan kau yang pantas sekali kami hormati." Sebenarnya Bu Beng tidak suka mampir, tapi demi melihat kearah Cin Eng yang menggunakan mata burung hongnya memandang dengan tajam padanya, ia menyanggupi dan beramai-ramai mereka menuju ke rumah nenek itu yang berada di sebelah kampung tak jauh dari situ. Ketika mereka memasuki sebuah rumah pondok besar tapi yang keadaanya miskin, si nenek berkata kedalam rumah.
"Tianglo silakan keluar, ini ada tamu agung datang!" Bu Beng memandang ke pintu tengah dengan tajam dan waspada. Ia tetap belum percaya kepada nenek aneh ini dan siap menghadapi lain lawan. Tapi ketika tampak tubuh seorang pendeta yang tinggi kurus keluar dari pintu itu, ia segera meloncat menghampiri dan memberi hormat.
"Suheng!" katanya heran dan gembira.
"Eh, eh, kau sute? Pantas saja ada orang yang dengan mudah dapat mengetahui kesalahan-kesalahan Cin Lan dan Cin Han, tak tahu kaulah orangnya!"
"Bagaimana suheng dapat tahu?" Kim Kong Tianglo tertawa lebar.
"Kau sangka aku tidak tahu juga bagaimana kau berhasil membuat Hun toanio lepaskan tongkatnya?" Karena semua pendengarnya merasa heran, Kim Kong Tianglo bercerita bahwa tadi karena khawatir akan keselamatan tuan rumahnya yang lama tidak kembali, ia menyusul ke hutan dan sembunyi sambil menonton pertempuran-pertempuran itu. Hun Gwat Go tertawa dengan suara terkekeh-kekeh yang tak disuka oleh Bu Beng itu, lalu berkata.
"Ha, ha, kukira siapa, tidak tahunya orang sendiri. Jadi Bu Beng Taihiap ini sutemu sendiri? Ah, aku makin tidak penasaran telah jatuh dalam tangannya." Kemudian nenek yang aneh itu setelah perinthkan Cin Eng keluarkan areak, meninggalkan kedua saudara seperguruan itu di ruang tamu. Setelah berada berdua saja. Bu Beng melampiaskan rasa kangennya dan memeluk suhengnya. Ia memang menganggap suhengnya ini sebagai kakak sendiri. Mereka berbicara asyik sekali dan saling menuturkan pengalaman semenjak berpisah. Kemudian Bu Beng bertanya mengapa Kim Kong Tianglo dapat tinggal di rumah nenek itu.
Kim Kong Tianglo menarik napas dalam dan menuturkan pengalamannya dan keadaaan yang aneh itu. Menurut cerita Kim Kong Tianglo, nenek itu bernama Hun Gwat Go berasal dari Kilam. Sebelum kawin, ia adalah seorang puteri seorang bajak laut yang terkenal kejam. Agaknya adat ayahnya menurun, karena Hun Gwat Go juga beradat jelek sekali, tapi ia sangat cantik hingga menarik banyak rasa cinta pemuda. Diantaranya terdapat seorang pendkar yang menjalankan tugas menolong sesamanya dengan cara menjadi pencuri budiman. Ia bernama Liu Pa San. Rumah hartawan-hartawan kikir dan pembesar-pembesar jahat ia santroni dan banyak harta haram ia curi untuk kemudian dibagi-bagikan kepada petani miskin. Karena ia berkepandaian tinggi dan cakap juga, maka pilihan Gwat Go jatuh padanya.
Sebenarnya ketika kawin dengan Gwat Go, Lui Pa San telah menjadi duda dengan seorang perempuan, karena belum lama istrinya meninggal dunia karena sakit. Anak perempuannya itu ialah Cin Eng yang tadi dikagumi oleh Bu Beng. Dengan Gwat Go. Liu Pa San setelah kawin puluhan tahun, barulah mempunyai anak, seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan, yakni Cin Han dan Cin Lan. Cin Eng mendapat didikan ilmu silat dari ayahnya, dan biarpun adatnya buruk, namun Gwat Go tidak merupakan seorang ibu tiri yang kejam. Ia sayang Cin Eng seperti anak sendiri, hanya adatnya yang kasar dank eras membuat gadis itu takut padanya. Bahkan ibu tiri inipun mendidik Cin Eng mempunyai kepandaian yang lihai juga. Kim Kong Tianglo kenal baik dengan Liu Pa San. Beberapa bulan yang lalu, ketika Kim Kong Tianglo sedang merantau di kota Hiebun,
Pada suatu malam ia mendengar suara rebut-ribut diatas genteng tikoan di kota itu. Ia segera loncat keatas dan melihat betapa Liu Pa San dikeroyok beberapa orang jagoan yang sengaja diundang oleh tikoan itu untuk menjaga harta bendanya. Ternyata diantara jagoan-jagoan terdapat Ngo Houw atau lima hariamau dari Tiang-San yang terkenal kosen. Ketika Kim Kong Tianglo tiba di tempat pertempuran. Liu Pa San telah terluka hebat tapi masih melakukan perlawanan dengan gigih. Kim Kong Tianglo berhasil menologn dan membawanya pergi. Tapi malam hari itu juga Liu Pa San si maling budiman menghembuskan napas terakhir dihadapan Kim Kong Tianglo. Hwesio ini terharu sekali karena ia tahu benar akan sepak terjang dan kebaikan hati maling perkasa itu. Sebelum mati, Liu Pa San meninggalkan permohonan kepadanya untuk mendidik ilmu silat kepada anak-anaknya.