Kasih Diantara Remaja 18
Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo Bagian 18
"Banyak orang gagah dapat ia bujuk dan ikut pula memberontak, ikut lari ke utara," demikianlah Pangeran Yong Tee melanjutkan ceritanya. "Yang tidak mau ikut, banyak yang dibunuh, di antaranya Thio-ciangkun yang setia kepada kerajaan kami. Juga orang-orang yang ternama di kalangan kang-ouw banyak yang ikut terbujuk oleh Pangeran Galdan, malah di antaranya Hoa Hoa Cinjin ikut pula memberontak." Pangeran itu lagi-lagi menarik napas pagjang, nampaknya berduka sekali. "Yang lebih hebat lagi, puteri angkatnya, nona Hoa-ji....., ikut pula ke utara........"
Han Sin mengerutkan kening. "Perduli apa dengan Hoa Hoa Cinjin? Dia manusia busuk!"
Akan tetapi Bi Eng yang lebih tajam pendengarannya dan lebih halus perasaannya, memotong,
"Sin-ko, yang disedihi Pangeran Yong bukanlah Hoa Hoa Cinjin, akan tetapi nona Hoa-ji itulah!"
Pangeran Yong Tee menarik napas panjang. "Adik Bi Eng, memang tepat sekali ucapannya itu. Terus terang saja, aku...... aku sejak lama........ jatuh cinta kepada nona Hoa-ji, biarpun belum kulihat mukanya....... aku bodoh dan edan sekali, aku tergila-gila kepada seorang gadis yang selalu bersembunyi di balik kedoknya......"
Tadinya ia menunduk, sekarang ia mengangkat muka dan berkata, "Demikianlah, gi-te. Aku sudah membuka rahasia hatiku yang tidak diketahui siapapun juga, bahkan ibukupun belum tahu akan rahasia hatiku ini. Aku putus asa...... aku sedih dan bingung sekali........"
Aneh dalam pandangan Bi Eng, tiba-tiba wajah Han Sin berseri, malah ia seperti melihat senyum kegembiraan membayang di balik bibir dan pandang mata kakaknya. la mengenal benar setiap tarikan muka, setiap sinar mata atau senyum kakaknya ini. Heran benar, mengapa kakaknya demikian gembira dan bahagia mendengar penuturan Pangeran Yong Tee?
Tentu saja nona ini tidak tahu apa yang terjadi di dalam hati Han Sin. Memang tepat dugaannya, Han Sin merasa gembira dan berbahagia karena setan cemburu sekaligus terbang lenyap dari lubuk hatinya ketika Pangeran Yong Tee secara terus terang mengakui cintanya terhadap nona Hoa-ji, gadis bertopeng itu. Kalau demikian, berarti pangeran yang tampan menarik ini tidak mencintai Bi Eng, hanya menyayangnya sebagai adik angkat belaka! Maka lembutlah kata-katanya ketika ia bicara kepada pangeran itu,
"Pangeran, setelah mendengar ceritamu dan mengingat akan kebaikanmu yang dulu-dulu kepada aku dan adikku, biarlah aku sanggupi untuk mencari kekasihmu itu di utara. Akan kususul nona Hoa-ji, kulindungi dia dari pada bahaya, dan kalau mungkin akan kubawa dia pulang ke kota rajamu. Akan tetapi dengan syarat bahwa aku tidak mau mencampuri urusan pertempuran dan peperangan antara Bangsa Mancu dan Bangsa Mongol, karena itu bukan urusanku."
Bukan main girang hati Yong Tee. Dia tadiny" sudah putus asa, karena setelah kekasihnya itu berdiri di pihak musuh, tiada harapan pula baginya untuk melanjutkan cinta kasihnya. Nona itu tentu akan terancam bahaya. Untuk minta tolong orang lain, ia tentu saja harus membuka rahasia hatinya dan hal ini ia tidak inginkan. Satu-satunya harapan baginya hanyalah pertolongan Han Sin yang ia ketahui kegagahannya.
Ia menjura. "Gi-te, aku terharu, girang dan juga kecewa mendengar kesanggupanmu. Tentu saja aku terharu dan girang karena ternyata kau masih sudi menolongku dan terima kasih sebelumnya kuhaturkan. Akan tetapi aku kecewa karena ternyata kau sudah tidak mau mengakuiku sebagai saudara angkatmu lagi......"
"Hal itu sudah lewat, pangeran Harap jangan diulang lagi. Apakah kau mau memperingatkan aku bahwa kau mengusulkan pengangkatan saudara karena hendak menarikku ke pihak Mancu, pihak penjajah tanah airku? Tidak! Sebagai manusia secara perorangan kita memang saudara, namun sebagai bangsa, kita berlawan karena bangsamu menjajah bangsaku. Nah, selamat berpisah, pangeran. Aku dan adikku baru akan turun gunung beberapa hari lagi setelah selesai latihan-latihan kami. Mudah-mudahan saja akan dapat berhasil usahaku mencari nona Hoa-ji dan mengantarkannya kepadamu."
Menyaksikan kekerasan hati Han Sin, pangeran itu terpaksa pergi meninggalkan puncak itu dengan muka muram. Setelah tamu itu pergi tidak kelihatan lagi, Bi Eng mengomel, "Sin-ko, kau benar-benar terlalu. Dahulu aku di istananya mendapat perlakuan baik sekali. Sekarang dia datang, secawan air teh saja kita tidak keluarkan untuknya."
"Bi Eng, rumah ini adalah peninggalan ayah....." Ia ragu-ragu dan menelan kembali kata-kata "kita" di belakang kata-kata "ayah". "Aku tidak ingin melihat arwah ayahku marah menyaksikan anaknya menjamu seorang pangeran penjajah."
Bi Eng tak berani membantah lagi. Gadis inipun memang mempunyai watak keras dan patriotik, maka biarpun ia merasa menyesal bahwa mereka terpaksa memperlakukan Pangeran Mancu itu seperti seorang musuh, namun iapun tak dapat menyalahkan sikap Han Sin. Selain ini, hatinya sudah penuh kegembiraan bahwa beberapa hari lagi Han Sin akan mengajak dia turun gunung! Pergi ke dunia ramai, bertemu orang-orang, mencari Siauw-ong!
"Sin-ko, kapan kita berangkat?" Dia sudah lupa akan hal-hal tadi, dan kini wajahnya berseri-seri.
Han Sin juga tersenyum melihat kegembiraan ini. "Kau harus berlatih dulu, setelah sempurna tiga jurus Thian-po Cinkeng itu, baru kita turun gunung."
Otomatis Bi Eng segera berlatih lagi, tanpa mengenal lelah dan bosan, dan Han Sin membantu adiknya. Memang Han Sin ingin supaya sebelum turun gunung Bi Eng sudah memiliki tiga jurus pukulan ajaib ini sebagai bekal, karena hanya setelah tiga jurus ini dapat dimainkan dengan sempurna, Bi Eng akan dapat melindungi dirinya sendiri dengan baik.
Memang betul bahwa Bi Eng takkan mungkin terancam bahaya selama berada di sisinya, akan tetapi siapa tahu keadaan di dunia ramai? Banyak sekali manusia jahat dan besar kemungkinan sewaktu-waktu dia sendiri takkan sempat melindungi keselamatan Bi Eng sehingga gadis ini harus memiliki jurus-jurus lihai yang akan menyelamatkan dirinya sendiri.
Tiga hari kemudian. Malam terang bulan yang amat indah di puncak Min-san. Bi Eng masih berlatih silat di taman. Akhirnya Han Sin menyuruh ia berhenti.
"Hawa makin dingin, Eng-moi. Kau berhentilah, besok dilanjutkan lagi. Kau sudah maju banyak. Kalau begini terus, dua tiga hari lagi kita bisa turun gunung."
Bukan main girangnya hati Bi Eng. Ia mengaso duduk di atas bangku. Setelah berhenti bersilat, baru terasa olehnya betapa dinginnya. Ia lelah dan hawa dingin membuat ia mengantuk.
"Aku pergi tidur lebih dulu, Sin-ko. Besok bangun pagi-pagi dan berlatih lagi."
Han Sin mengangguk dan tersenyum. Sampai lama ia memandang ke arah adiknya yang berjalan memasuki pondok mereka, tubuh langsing dengan rambut mengkilap tertimpa cahaya bulan. Bukan main, pikirnya. Dan dia bukan adik kandungku, bukan apa-apaku...... eh, bukan apa-apa? Tidak, malah segala-segalanya! Bi Eng milik satu-satunya di dunia ini. Tanpa Bi Eng hidupnya akan hampa. Han Sin termenung....
Bagaimana ia harus membuka semua rahasia itu? Apa yang akan dilakukan Bi Eng bila gadis itu tahu akan rahasia ini? Tak boleh, bantahnya. Tak boleh aku membuka rahasia ini sebelum tahu betul siapa sebenarnya adik kandungnya yang sejati, sebelum ia tahu betul apa yang telah terjadi di saat kedua orang tuanya terbunuh. Siapa pembunuh mereka dan penukaran-penukaran aneh apa yang terjadi atas diri bayi perempuan, adik kandungnya!
Tidak adanya Bi Eng di taman itu membuat ia serasa sunyi sekali. Aneh, pikirnya. Padahal Bi Eng berada di pondok itu, tidak jauh dari situ. Begitu saja ia sudah merasa kesepian. Apa lagi kalau Bi Eng pergi jauh meninggalkannya. Bagaimana rasanya? Tak berani ia membayangkannya.
Perlahan pemuda ini berdiri meninggalkan taman memasuki pondok, ke dalam kamarnya sendiri. Agak jauh dari kamar Bi Eng. Rumah itu cukup besar, banyak kamarnya dan ia sengaja memakai kamar yang berjauhan dengan kamar Bi Eng. Tergoda oleh asmara, Han Sin takut akan dirinya sendiri!
Han Sin tak dapat tidur. Sudah lama tiap malam sukar ia meramkan matanya. Pikirannya selalu melayang, tentu saja penuh bayangan Bi Eng yang kadang-kadang membuat ia berduka, kadang-kadang membuat ia tersenyum-senyum dalam tidurnya.
Lampu belum dipadamkannya. Tiba-tiba seluruh panca inderanya tegang. Ada suara dari jendelanya. Orang jahatkah? Ataukah Pangeran Yong Tee.........? Hatinya berdebar. Bagaimanapun juga, pangeran itu adalah Pangeran Mancu. Siapa tahu kalau-kalau kedatangannya tiga hari yang lalu hanya sebagai penyelidikan dan kini datang kaki tangannya yang hendak berlaku jahat? Diam-diam ia tersenyum mengejek. Dia tidak takut. Biarlah penjahat itu masuk!
TANPA bangun dari ranjangnya, Han Sin melirik ke arah jendela. la kagum juga karena tanpa mengeluarkan suara berisik, jendela itu dibuka orang dari luar. Agaknya dengan tenaga dorongan yang disertai lweekang cukup tinggi. Tiba-tiba ia membelalakkan matanya.
Sebuah lengan, terbungkus lengan baju sampai di bawah siku, kelihatan. Lengan tangan yang halus putih kulitnya, runcing mungil jari-jari tangannya, lengan tangan wanita! Tiba-tiba tangan itu lenyap dan daun jendela terbuka lebar, lalu disusul berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu di dalam kamarnya telah berdiri seorang wanita!
Wanita yang amat aneh, pakaiannya sederhana dengan potongan yang asing baginya. Pakaian itu membungkus tubuh dengan ketat, memperlihatkan bentuk tubuh yang amat indah. Tubuh seorang gadis muda, seperti Bi Eng. Akan tetapi muka dan kepala tertutup kain pembungkus yang terbuat dari pada sutera tebal, yang membungkus semua tubuh bagian atas, dari kepala, muka dan leher! Hanya di bagian matanya saja tidak tertutup kain kepala itu, memperlihatkan sepasang mata yang luar biasa, bening seperti mata burung hong. Kini sepasang mata itu menyambar ke arahnya.
Han Sin serentak bangkit dan duduk. la maklum bahwa wanita ini, siapapun juga dia, bukanlah orang sembarangan. Di pinggangnya tergantung sebatang pedang, di sebelah kiri tergantung sebuah kantong dan tampak gagang-gagang hui-to (golok terbang) tersembul dari kantong. Di punggungnya tergantung sebuah gendewa berikut beberapa batang anak panah! Lengkap benar persenjataannya, seperti panglima wanita hendak maju perang!
Dua pasang mata bertemu. Han Sin terheran-heran dan bingung karena tidak tahu harus berkata apa. Wanita ini memandang dengan tajam, seolah-olah pandang mata itu hendak menembus dada Han Sin. Kemudian terdengar suaranya, halus merdu tapi ketus. Kain penutup kepala dan muka di bagian bibirnya bergerak-gerak,
"Kau yang bernama Cia Han Sin putera Cia Sun?"
Han Sin tersenyum, lalu berdiri dan menjura. Lagi-lagi seorang pengenal mendiang ayahnya, pikirnya. Kalau bukan bekas kawan ayahnya tentulah musuh baru baginya.
"Betul, aku bernama Cia Han Sin dan mendiang ayahku Cia Sun. Kau siapakah dan apa keperluanmu datang malam-malam? Bicaramu seperti seorang Bangsa Hui....." Tiba-tiba Han Sin teringat akan Balita, Puteri Hui yang katanya menjadi musuh ayahnya, "Ada hubungan apa kau dengan Balita?"
"Sraaattt!" Wanita itu mencabut pedangnya yang gemerlapan di bawah sinar lampu. Han Sin tetap tenang, malah kini ia duduk kembali ke atas pembaringannya.
"Cia Han Sin, sebelum kau mati di tanganku, ketahuilah lebih dahulu agar rohmu tidak penasaran. Aku bernama Tilana, aku puteri dari wanita yang kau sebut namanya tadi. Balita adalah ibuku dan kedatanganku ini bukan lain hendak membalaskan dendam ibuku, hendak mengambil nyawamu."
Han Sin tersenyum. "Kau dan aku tak pernah saling bertemu, tidak pernah ada permusuhan apa-apa, kenapa kau datang-datang hendak membunuhku? Urusan lama antara ibumu dan ayahku sudah habis karena ayah sudah meninggal dunia, kenapa kau dan aku harus pula ikut-ikut melanjutkan permusuhan?"
Kemudian Han Sin teringat akan pesanan uwak Lui tentang orang yang bernama Balita itu, maka ia sengaja memancing, "Pula, urusan hebat apa sih. yang membuat ibumu itu masih terus mendendam terhadap ayahku yang sudah meninggal?"
Melihat sikap tenang-tenang saja dari pemuda yang gagah dan tampan di depannya itu, gadis berkerudung menjadi tercengang juga. Mana ada orang mau dibunuh bersikap tenang-tenang dan enak-enakan seperti ini, malah mengajaknya mengobrol?
"Ayahmu telah menghina ibuku! Karena aku tidak dapat membalas kepada ayahmu, aku akan bunuh kau sebagai puteranya! Ayahnya tukang menghina wanita anaknyapun takkan banyak bedanya!" Suara wanita ini benar-benar halus merdu, biarpun ketus sekali, namun harus diakui oleh Han Sin bahwa suaranya amat merdu dan bicaranya dengan dialek Hui itu amat enak didengar, lucu pula.
"Aiihh...... aiihh....., kau menuduh sembarangan saja. Baik ayah maupun aku bukanlah sembarang laki-laki yang suka menghina wanita. Kau ini seorang wanita yang begini cantik jelita, kenapa berhati kejam, hendak membunuh orang? Sayang..........."
"Setan! Mulutmu saja sudah kurang ajar!"
"Lhoh! Kenapa kurang ajar?"
"Kau bilang aku cantik segala........."
"Eh, eh! Apakah memuji kecantikan berarti kurang ajar?"
"Melihat mukakupun belum, bagaimana kau bisa bilang cantik segala? Apa lagi kalau bukan karena kau hendak kurang ajar?"
"Waduh, waduh...... galak amat kau! Mudah saja menduga bahwa kau cantik jelita. Seorang gadis dengan bentuk tubuh seperti kau, dengan suara halus merdu, dengan sepasang mata seperti itu, bisa lain tentulah cantik jelita. Biarlah kita bertaruh. Kau buka kerudungmu itu, Kalau kau betul-betul cantik jelita, berarti kau kalah dan sudahlah, kau boleh pergi dari sini dengan damai, tak perlu kita bermusuhan. Sebaliknya, kalau dugaanku keliru, kalau kau bermuka buruk, biar aku menghaturkan maaf kepadamu dan boleh kaupukul mukaku tiga kali!"
"Keparat! Setan!!" Wanita itu memaki, sepasang matanya berkilat-kilat. "Siapa juga, terutama kalau dia laki-laki, yang berani membuka kerudungku, aku akan membunuhnya sampai tujuh kali!"
Mau tak mau Han Sin bergidik mendengar ini. Ucapan itu bukan main-main, apa lagi sepasang mata itu menyatakan betapa ucapan ini keluar dari hati, bukan gertak sambal belaka.
"Hemm, nona Tilana. Lebih baik kau pulang saja kepada ibumu dan katakan bahwa aku akan menghabisi permusuhan lama, asal saja bukan ibumu yang membunuh ayah bundaku. Aku masih harus menyelidiki akan hal ini."
"Manusia sombong, jangan banyak cakap. Keluarkan senjatamu!"
"Bukan aku yang ingin berkelahi, kau yang ingin berkelahi yang selalu membawa-bawa senjata memasuki kamar orang, dan......."
"Setan!" Tilana, gadis berkerudung itu lalu menubruk sambil berseru, "Lihat pedang!"
Han Sin dengan mudah dan tenang mengelak. la melihat betapa gerakan gadis ini bukan main cepat dan kuatnya, bahkan setingkat lebih kuat dan lebih cepat dari pada Bi Eng sendiri! Diam-diam ia merasa kagum dan merasa sayang kalau gadis selihai ini sampai tersesat. Ia tidak tega melukainya. Ayahnya dulu pernah bentrok dengan Balita, puteri Bangsa Hui. Sekarang adalah kewajibannya untuk menghabiskan permusuhan itu dan sekali-kali ia tidak boleh melukai gadis puteri Balita ini.
Tilana menjadi penasaran sekali. Di daerahnya, selain ibunya sendiri yang sudah hampir setingkat dengannya, tak ada orang lain mampu menghadapi serangan-serangan pedangnya. Akan tetapi pemuda ini, pemuda yang terlalu lemah lembut, terlalu tampan, terlalu pandai bicara manis, yang tersenyum-senyum dan terlalu tenang ini, dengan tangan kosong menghadapi serangan-serangannya dan selalu dapat mengelak.
"Kau lihai....... kau galak.......!" Han Sin sengaja menggoda. Pemuda ini pada hakekatnya memang berwatak romantis, maka kini menghadapi gadis galak, otomatis timbullah watak nakalnya yang hendak menggodanya tanpa disertai maksud-maksud tidak sopan.
Ia sekarang malah duduk di atas bangku, membelakangi gadis itu dan tangannya merayap ke meja mencari kuweh kering yang lalu dimakannya. Sama sekali ia tidak memperdulikan gadis itu yang hendak menyerangnya dari belakang.
Tilana gemas sekali. "Mampus kau kali ini!" bentaknya sambil menusukkan pedangnya dari belakang. Agak gemetar tangannya ketika melihat pemuda itu sama sekali tidak mengelak. Ujung pedangnya hampir menyentuh punggung dan........ eh, tahu-tahu pemuda itu sudah "melayang" ke atas meja tanpa menggerakkan, kaki tangannya. Tahu-tahu seperti dipindahkan oleh tangan tak terlihat, tubuhnya sudah berpindah, sudah duduk di atas meja. Sebelah tangannya masih memegangi kuweh kering yang digigitnya.
Tilana menggigit bibir. Bagaikan kilat pedangnya menyerampang, membabat pinggang pemuda itu. Seperti tadi, tubuh pemuda itu hilang dan tahu-tahu sudah berada di atas pembaringan, kini rebah terlentang dengan mata dimeramkan!
Tilana menjadi pucat. Belum pernah ia menyaksikan hal seperti ini. Setankah pemuda ini? Dalam kemarahannya, gadis ini yang menganggap gendewanya menjadi perintang, melepaskan gendewa dan anak panah, melemparkannya di atas meja. Kemudian sambil mencekal gagang pedang erat-erat, ia menubruk maju dan menikam.
"Capppp.......!" Pedangnya menusuk kasur sampai tembus! Sebelum hilang kagetnya, gadis ini merasa tubuhnya lemas dan tanpa dapat dicegah lagi ia terguling ke atas pembaringan yang sudah kosong, jatuh terlentang. la melihat pemuda itu sambil tersenyum sudah berdiri di pinggir pembaringan dan tangan kanan pemuda itu bergerak ke arah mukanya. Tilana menjadi kaget setengah mati, tak terasa pula menjerit lirih penuh ketakutan,
"Jangan..... jangan ohh...... jangan.......!"
Han Sin menjadi gemas sekali. Dia dikira orang macam apakah? Gadis ini benar-benar keterlaluan, menyangka yang bukan-bukan kepadanya. "Bodoh! Kau sangka aku orang macam apa? Aku hanya akan membuka kerudungmu, hendak kulihat macam apa muka orang yang galak dan suka salah sangka.....!" Tangannya bergerak dan sekali renggut saja terbukalah kerudung yang menutupi muka gadis itu.
Han Sin ternganga, berdiri seperti patung. Bukan main cantiknya muka gadis ini, jauh melampui semua dugaannya. Mata yang tadi sudah nampak indah seperti mata burung hong itu kini nampak lebih hebat lagi. Hidung yang mancung, bibir yang..... ah, bukan main cantik dan manisnya.
Kulit muka yang sering kali tertutup itu halus sekali. Rambutnya panjang menutupi kedua telinga yang terhias anting-anting besar dari emas murni. Hanya sebentar ia melihat muka luar biasa cantiknya itu karena gadis itu segera bangun, duduk di atas pembaringan dan menutupi muka dengan kedua tangannya, menangis terisak-isak sedih sekali......!
Han Sin termangu-mangu. "Ah....... kau maafkan aku, nona....... maafkan aku sebesar-besarnya. Kalau perlu, kaugamparlah mukaku. Aku...... aku bukan bermaksud jahat, sungguh mati aku hanya ingin melihat muka orang yang datang hendak membunuhku......"
Mata yang indah menarik itu kelihatan ketika kedua tangan diturunkan. Mata yang penuh air mata, tapi malah nampak makin indah seakan-akan terhias butiran-butiran mutiara, kini memandang kepadanya dengan sinarnya yang sukar ia gambarkan.
"Kau....... kau betul-betul tidak...... tidak bermaksud menghinaku.....? Kau.... kau tidak bermaksud menghina.......?" Tilana bertanya, suaranya gemetar, malah tanpa disadarinya ucapan ini dilakukan setengahnya dalam Bahasa Hui. Baiknya Han Sin sudah, mempelajari bahasa ini, maka untuk menyenangkan hati gadis Hui itu, iapun menjawab ke dalam Bahasa Hui sambil tersenyum,
"Tentu saja tidak. Aku bukanlah laki-laki yang suka menghina kaum wanita....."
Terbelalak mata indah itu yang masih berlinang air mata, bibir yang mungil itu terbuka sedikit. "Kau.... kau bisa berbahasa Hui.......?"
Han Sin mengangguk sambil tersenyum. "Pernah aku mempelajarinya......."
Aneh sekali, gadis itu kini memandangnya penuh selidik, dari atas ke bawah, lalu ke atas lagi sampai berkali-kali, kemudian berhenti pada mata Han Sin. Dua pasang mata bertemu pandang. Han Sin terheran-heran karena melihat pandang mata itu kini menjadi aneh, penuh kemesraan yang membuat ia bergidik.
Tiba-tiba, ia benar-benar merasa bulu tengkuknya berdiri ketika gadis itu dengan sedu-sedan menubruknya, memeluknya. Ketika dengan bingung ia mencium bau semerbak harum yang amat aneh dari rambut gadis itu, barulah Han Sin tersadar dan cepat-cepat ia menolak pundak gadis itu perlahan-lahan. Tilana lalu menjatuhkan diri berlutut, memeluk kedua kaki Han Sin, bahkan lalu mencium ujung kaki pemuda itu!
"No...... nona......, nona Tilana...." Sukar sekali Han Sin mengeluarkan suara seakan-akan lehernya tercekik sesuatu. "Apa....... apa artinya ini.......?"
Tilana mengangkat mukanya dalam keadaan berlutut ia memandang ke atas dengan muka berseri dan mata penuh cinta kasih!
"Kanda....... kanda Cia Han Sin...... artinya...... artinya bahwa aku menyerahkan jiwa ragaku kepadamu..... aku isterimu yang bodoh, yang buruk tapi yang setia kepadamu........!"
Kalau pada saat itu ada kilat menyambar kepalanya, belum tentu Han Sin akan menjadi begitu kaget seperti setelah mendengar kata-kata ini. la mencelat ke tengah kamarnya tanpa disadarinya. Kemudian ia menekan batinnya yang berdebar-debar tidak karuan, memaksa diri berlaku tenang. Agaknya gadis cantik berotak miring yang memasuki kamarnya ini. Han Sin memasang muka keren, lalu bersedakap sambil berkata,
"Nona Tilana, jangan kau main-main di sini. Kuanggap kata-katamu tadi main-main belaka. Sudahlah, kuminta kau keluar dari sini dan jangan mengganggu aku lagi!"
Heran sekali. Tiba-tiba Tilana menjadi pucat bagaikan mayat. Gadis ini berdiri dengan tubuh limbung. Seperti orang bingung ia mencabut pedang dari kasur dan memasangnya lagi di pinggang dengan tangan menggigil. Kemudian, barulah ia berdiri menghadapi pemuda itu dengan muka masih pucat. Betapa kuat ia berusaha menenteramkan hatinya, tetap saja ia masih bergemetar dan mukanya masih pucat.
"Kanda Cia...... kau tadi bilang apa......? Aku...... aku tidak begitu jelas........ mendengar......"
Han Sin makin bingung. Mungkinkah gadis cantik jelita seperti bidadari aneh ini benar-benar gila?
"Nona Tilana, aku bilang bahwa sudah cukup permainan ini. Harap kau suka tinggalkan aku. Keluarlah dan jangan menggangguku lagi."
Beberapa kali mulut yang bergerak-gerak itu tak mengeluarkan kata-kata, akhirnya keluar juga setelah dipaksa, "Tapi.... tapi... kanda.... aku isterimu...."
"Gila........!" Han Sin menendang bangku sampai benda itu terlempar membentur dinding dan bergulingan. "Siapa bilang kau..... kau...... isteriku........?"
"Kanda Cia Han Sin, bukankah tadi kau..... kau tidak bermaksud menghinaku?"
"Memang. Kuulangi lagi, aku tidak dan sama sekali takkan mau menghinamu?" jawab Han Sin.
"Kalau begitu, kenapa kau tidak mau mengakui aku sebagai isterimu? Kau....... kau sudah membuka kerudung mukaku! Dan aku sudah bersumpah bahwa kalau ada laki-laki membuka kerudung mukaku, hanya ada dua jalan bagiku. Hidup menjadi isterinya atau mati bersama dengan laki-laki itu! Tadi kau telah membuka kerudung mukaku. Kalau tadi kau menjawab bahwa kau sengaja menghinaku, tentu akan kubunuh kau lalu kubunuh diriku sendiri. Akan tetapi kau..... kau tidak menghinaku dan aku......." Mukanya menjadi merah sekali, "aku suka dan rela menjadi isterimu......"
Kagetlah Han Sin. Baru ia tahu sekarang dan diam-diam ia menyumpahi diri sendiri. "Celaka......!" Tak terasa pula ia berseru. "Tapi...... tapi, nona Tilana. Aku membuka kerudungmu hanya karena ingin mengenal rupa orang yang hendak membunuhku tadi. Sama sekali bukan...... bukan karena itu...... eh, tentang suami isteri itu.... aku tidak dapat menerima. Maaf..... maafkan aku, tak mungkin kita menjadi suami isteri."
Wajah yang merah tadi menjadi pucat lagi. Tiba-tiba Tilana menyambar gendewa dan anak panahnya, lalu memasang tiga batang anak panah pada gendewanya. Dengan mata berkilat dan tangan tetap ia menodong dada Han Sin dengan anak-anak panah itu.
"Cia Han Sin! Kalau begitu berarti kau menghinaku. Bagiku tiada pilihan lagi. Kita menjadi suami isteri dan aku rela melayanimu dengan setia sampai aku mati atau.... kubunuh engkau kemudian kubunuh diriku sendiri." Kemudian disambungnya cepat-cepat, "Atau.... karena kau jauh lebih pandai dariku..... kalau aku gagal membunuhmu, biarlah aku mati di tanganmu.......!"
Han Sin adalah seorang berjiwa satria, seorang laki-laki sejati. Biarpun dalam perbuatannya merenggutkan kain penutup muka Tilana tadi seujung rambutpun tidak ada maksud hatinya untuk berbuat sesuatu yang jahat, sama sekali tidak bermaksud menghina, akan tetapi setelah melihat bahwa akibatnya begini hebat, ia dengan secara jantan hendak menghadapi segala akibatnya.
Pernah ia membaca tentang kebiasaan aneh seperti ini, yaitu yang biasa dilakukan oleh kaum bangsawan atau keluarga kerajaan Bangsa Hui. Kebiasaan aneh pada kaum wanitanya. Kalau ia ingat bahwa Tilana adalah Puteri Balita, Puteri Hui yang amat aneh dan terkenal itu, tak perlu diherankan lagi sumpah gadis ini yang sudah diceritakannya tadi. Dengan tenang ia lalu memangku kedua lengan di depan dada, duduk bersandar pada meja dan berkata,
"Kalau begitu, Tilana, kau boleh bunuh aku! Aku takkan lari dari tanggung jawabku. Tanpa kusengaja aku sudah membuka kerudung mukamu, telah melanggar pantangan yang menjadi sumpahmu. Bagainanapun juga tak mungkin aku menjadi suamimu, dan kalau kau berkeras hendak membunuhku....... nah, silakan kaubunuhlah......!"
Kedua tangan yang tadinya tetap dan sudah menarik tali gendewa itu, kini menggigil. Mata yang tadinya berapi-api, kini mulai membasah dan tak lama kemudian air mata bercucuran keluar mengalir di sepanjang pipi.
Kedua tangan makin lemas dan berdetaklah gendewa itu terjatuh di atas lantai! Tak dapat ia membunuh pemuda ini. Pemuda gagah perkasa, tampan dan halus, sopan dan luhur pribudinya, sampai-sampai mau mengorbankan nyawa sendiri demi menjaga kehormatan seorang gadis! Bagaimana dia bisa membunuh seorang satria seperti ini? Tilana makin menggigil tubuhnya, lalu dengan lemas ia jatuh berlutut, menangis sedih sekali.
"Tidak...... tidak...... tak dapat aku membunuhmu..... kanda Han Sin..... kau orang termulia bagiku......, lebih baik aku saja yang mati....." Cepat Tilana mencabut pedangnya dan benda tajam itu diayunkannya ke leher sendiri.
"Plakk! Traaanggg......!" Pedang terlepas dari pegangan Tilana dan jatuh berdering di atas lantai.
"Tilana, kau seorang gagah, masih muda. Mengapa mengambil keputusan pendek dan nekat hanya karena urusan kecil saja?" Han Sin yang menangkis pedang tadi menghibur. "Di dunia ini masih banyak sekali pria yang gagah perkasa dan yang tentu akan bersedia menjadi suamimu......"
Tilana menggeleng kepala. "Kaukira aku orang serendah itu, mudah sekali menukar hati bermain cinta? Laki-laki di dunia ini hanya kau seorang bagiku. Menjadi isterimu atau menjadi isteri maut, satu di antara dua!" Tilana memungut pedangnya lagi dan menusuk dadanya. Kembali Han Sin mencegah pembunuhan diri ini, dan mencoba untuk menghiburnya. Makin dihibur, Tilana menjadi makin sedih dan nekat.
Pada saat itu, tiba-tiba muncul Bi Eng! Gadis ini tadi sudah tertidur, akan tetapi kaget mendengar suara ribut-ribut di kamar Han Sin. Cepat ia membetulkan pakaiannya, membawa pedang lalu berloncatan cepat ke kamar kakaknya. Begitu ia membuka pintu kamar, ia berdiri termangu, terbelalak matanya dan mulutnya celangap!
"Sin-ko....! Apa.... apa artinya ini....? Siapa dia?" Dengan kagum sekali Bi Eng memandang kepada Tilana yang berdiri dengan muka pucat setelah untuk kedua kalinya pedangnya ditangkis oleh Han Sin, iapun memandang ke arah Bi Eng.
Han Sin mendapat kesempatan baik untuk mencegah Tilana bunuh diri, maka cepat-cepat ia memperkenalkan, "Nona Tilana, dia ini adalah adikku, Bi Eng. Eng-moi, nona Tilana ini puteri Jin-cam-khoa (Algojo Manusia) Balita, puteri Hui yang sudah kita kenal namanya itu. Dia datang hendak membunuhku atas perintah ibunya, tapi.... tapi....."
Pada saat itu, Tilana mempergunakan kesempatan ini untuk melempar diri ke arah tembok, hendak membenturkan kepalanya kepada dinding yang keras supaya kepalanya pecah! Bi Eng melihat ini menjerit, lalu meloncat dan memeluk tubuh Tilana. Saking kuatnya gerakan Tilana, dua orang gadis itu roboh terguling!
"Eh, cici yang baik. Kenapa kau hendak berlaku nekat?" tanya Bi Eng yang masih memeluknya. Bau semerbak harum membuat Bi Eng makin kagum. Belum pernah selama hidupnya, biar di kota raja sekalipun, ia melihat seorang gadis secantik ini. Cantik jelita luar biasa sekali, dan keharuman yang semerbak itupun amat aneh dan menggairahkan.
Karena yang memeluknya juga seorang wanita yang agaknya menaruh kasihan kepadanya, baru Tilana dapat menumpahkan kesedihannya. Ia menangis terisak-isak dalam pelukan Bi Eng yang saking terharunya ikut pula menangis!
"Cici yang baik, kau kenapakah? Kenapa begini sedih? Ceritakanlah kepadaku, dan aku berjanji akan membantumu....." kata Bi Eng menghibur, tidak melihat betapa Han Sin berdiri dengan bingung di sudut kamar.
"Adik Bi Eng..... lebih baik aku mati saja.... tak kuat aku menerima penghinaan sebegini besar...." kata Tilana terengah-engah di antara isaknya.
Bi Eng membelalakkan matanya, lalu mengerling tajam ke arah kakaknya yang berdiri menundukkan muka di sudut kamar. "Siapakah yang menghinamu, enci Tilana?"
"Siapa lagi kalau bukan kakakmu itu.... kanda Han Sin telah menghinaku, menolak untuk menjadi suamiku..... dan menolak pula untuk membunuhku, ada jalan lain apa lagi kecuali aku membunuh diri untuk mencuci penghinaan ini?"
Bi Eng bingung, sebentar memandang kepada Tilana, sebentar kepada Han Sin. "Sin-ko, bagaimanakah ini? Apa sih yang telah terjadi di antara kalian.......?"
Berdebar tidak karuan hati Han Sin. Memang ia menghadapi urusan yang ruwet sekali. Akhirnya ia bercerita dengan suara perlahan penuh penyesalan, "Dia datang hendak membunuhku atas perintah ibunya yang menaruh dendam kepada ayah. Tanpa kusengaja.... eh, yaitu maksudku tanpa maksud-maksud jahat kurenggut kerudung yang menutupi mukanya karena aku hendak melihat muka orang yang datang hendak membunuhku. Nah, aku hanya berbuat begitu dan...... eh, dia itu menuntut bahwa aku harus menjadi suaminya, kalau tidak mau, dia akan bunuh diri. Tentu saja aku keberatan!"
Bi Eng terheran. Lalu menoleh kepada Tilana. "Betulkah itu, cici?"
Tilana mengangguk malu.
"Kenapa kau bersikap begitu aneh? Tentu ada sebab-sebabnya......." tanya Bi Eng.
Tilana menarik napas panjang dan berusaha keras menahan isaknya. Setelah reda tangisnya, ia menjawab, "Adik Bi Eng, coba saja kaupertimbangkan. Aku adalah seorang gadis suci, semenjak kecil belum pernah ada orang melihat mukaku kecuali ibuku sendiri. Aku selalu berkerudung dan di depan ibu aku sudah disumpah bahwa aku tak akan membiarkan orang, apa lagi pria, membuka kerudung mukaku. Kalau hal itu terjadi, yaitu kalau ada seorang laki-laki membuka kerudungku, hanya ada dua jalan bagiku, pertama menjadi isterinya, ke dua membunuh laki-laki itu kemudian membunuh diri sendiri untuk menebus dosa. Dia..... kakakmu itu........ mengingkari sumpahku, tak mau menjadi suamiku. Membunuhnya aku tak sanggup. Diapun tidak mau membunuhku. Tidak ada jalan lain bagiku. Kalau aku tidak bisa menjadi isterinya, biarlah aku menjadi isteri maut....." Kembali Tilana menangis sedih.
Bi Eng tertarik sekali dan terpukul hatinya. la merasa terharu. Diam-diam ia memuji gadis ini sebagai seorang gadis yang memegang teguh kesucian dan kehormatannya. Sekali lagi ia memandang Tilana. Tak ada cacadnya sama sekali. Potongan tubuh yang indah menarik, kulit yang putih mulus, wajah yang seperti bidadari, suaranya halus merdu, kepandaiannya hebat pula. Di dunia ini, mana ada wanita yang lebih patut menjadi jodoh kakaknya? Mana ada yang lebih patut menjadi kakak iparnya? Sekali melihat ia sudah suka kepada Tilana.
Inilah jodoh terbaik untuk kakaknya. Memang agaknya melihat gelagat, kakaknya itu harus lekas-lekas kawin! Sikapnya akhir-akhir ini terhadap dirinya, seperti tiga hari yang lalu. Kadang-kadang ia sendiri mempunyai perasaan yang aneh terhadap kakaknya itu. Sikap yang terdorong oleh perasaan yang luar biasa sekali, yang membuat ia ingin selalu berdekatan dengan Han Sin.
Aneh! Memalukan! Sering kali ia merasa takut terhadap diri sendiri, takut terhadap Han Sin, kakaknya! Kenapa tiga hari yang lalu dia mendekapku seperti itu? Kenapa hatinya sendiri berdebar tidak karuan kalau kakaknya menyentuhnya? Padahal dahulu tidak demikian? Memang, lebih baik Han Sin lekas menikah dan gadis ini cocok sekali menjadi jodohnya! Dalam beberapa detik saja Bi Eng sudah mengambil keputusan, kakaknya harus berjodoh dengan Tilana!
"Sin-ko, biasanya..... biasanya kau suka menolong orang. Kenapa kau sekarang tidak mau menolong cici Tilana yang patut dikasihani ini?"
Han Sin menjadi pucat dan ia memandang kepada Bi Eng dengan mata terbelalak, seolah-olah pada saat itu Bi Eng sudah berubah menjadi setan yang menakutkan!
"Bi Eng.....! Kau..... kau bilang apa.....??" tanyanya gagap, tidak percaya kepada telinga sendiri.
"Sin-ko, kurasa sudah sepatutnya kau menolong cici Tilana. Sudah sepatutnya kau memenuhi isi sumpahnya......"
"Bi Eng! Kau gila?? Aku bersedia menolong siapa saja, akan tetapi menolong.... macam itu... kawin?? Tak mungkin!"
Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sin-ko! Apa salahnya kalau kau menikah dengan cici Tilana? Usiamu sudah dua puluh, bahkan lebih barangkali. Sudah sepatutnya kalau kawin. Pula, pernahkah kau melihat seorang gadis yang lebih baik dari pada Tilana, lebih baik dalam segala halnya? Dia seorang gadis cantik jelita, gagah perkasa, dan setia pula. Kau harus menerimanya....."
Bi Eng tak dapat melanjutkan kata-katanya karena Han Sin dengan muka pucat sudah melompat keluar dan lari dari rumahnya. Hatinya menjerit-jerit. "Bi Eng...., Bi Eng...., mana bisa dia atau siapapun juga melebihi engkau sendiri....??"
Tilana mengeluh dan hendak mengambil pedangnya. Akan tetapi Bi Eng yang maklum akan kenekatannya malah berbisik.
"Cici, jangan kau putus asa. Siapa yang lemah harus cerdik. Percayalah, aku tidak setuju dengan pendirian kakakku, aku akan suka sekali kalau kau menjadi isterinya. Aku akan membantumu, cici Tilana, biar aku akan membujuknya."
Tilana menggeleng kepala dan wajahnya yang cantik itu nampak sedih sekali. "Kau baik sekali, Bi Eng. Akan tetapi akan sia-sia belaka. Dia tidak suka kepadaku dan aku...... hanya ada satu jalan bagiku untuk mencuci penghinaan ini, yaitu dengan kematian......"
"Jangan, cici Tilana. Jangan putus asa. Kakakku itu, mana bisa dia tidak suka kepadamu? Mana ada laki-laki yang tidak akan suka kepadamu? Mungkin dia itu malu-malu. Ah, biarlah aku akan membujuknya perlahan-lahan. Kau bersabarlah dan kau tinggallah dulu di sini bersama kami."
TIBA-TIBA awan gelap yang menyelimuti muka cantik itu lenyap dan kini sepasang matanya yang tajam memandang Bi Eng penuh pengharapan. "Apakah benar-benar kau suka mempunyai kakak ipar seperti aku? Benar-benarkah kau hendak membantuku sehingga ikatan jodoh antara aku dan kakakmu dapat terjadi?"
Bi Eng merangkulnya. "Tentu saja! Kau cocok sekali dengan Sin-ko. Kalian akan merupakan pasangan yang amat mengagumkan dan setimpal!"
Wajah Tilana menjadi merah. "Adikku yang baik, kalau benar-benar ucapanmu itu keluar dari hatimu, aku mempunyai jalan....., tapi....... aku takut kau akan keberatan........"
"Jalan bagaimana? Katakanlah." Tilana mengeluarkan sebuah bungkusan kecil dari dalam bajunya. Mukanya menjadi makin merah ketika ia berbisik, "Ibuku seorang ahli dan banyak tahu tentang obat dan racun. Bungkusan ini, sedikit obat bubuk kalau sampai dapat terminum oleh kakakmu,....... hemm....... kurasa akan dapat membantu terlaksananya maksud kita......."
Bi Eng menerima bungkusan itu, membukanya dan melihat sedikit obat bubuk warna putih yang berbau wangi aneh. la tidak mengerti, termenung sebentar lalu bertanya, "Membantu bagaimana cici Tilana? Dan apa khasiatnya obat ini? Apakah tidak berbahaya bagi Sin-ko?"
Ditanya demikian jujur oleh Bi Eng, Tilana menjadi makin malu.
"Kalau minum itu, dia....... kakakmu itu...... dia akan mabok dan suka kepadaku......"
Bi Eng melengak, tidak percaya. Masa ada obat seaneh itu khasiatnya? la mengerutkan keningnya. "Apakah ini bukan racun? Bagaimana kalau kakak nanti menjadi sakit setelah minum obat ini?"
Pertanyaan ini hanya merupakan pancingan belaka, karena Bi Eng sudah mendengar dari cerita Han Sin bahwa kakaknya itu pernah minum darah ular Pek-hiat-sin-coa (Ular Sakti Darah Putih) dan racun ular itu sepenuhnya mengalir di dalam tubuh Han Sin sehingga tidak ada racun yang akan dapat mematikan kakaknya itu. Tentu saja ia tidak takut kalau-kalau kakaknya akan celaka minum racun.
"Jangan kau kuatir, adikku. Apa kau kira akupun suka melihat kanda Han Sin celaka? Aku....... aku cinta kepadanya, Bi Eng, mungkin lebih besar daripada cinta kasihmu kepadanya."
Bi Eng tersenyum girang, lalu ia mengajak Tilana ke kamarnya untuk tidur. Pada keesokan harinya Han Sin melihat Tilana bersama Bi Eng di kamar adiknya ini, ia hanya mengerutkan keningnya, akan tetapi diam-diam ia merasa girang bahwa Tilana tidak jadi membunuh diri. Dia amat merasa jengah kalau teringat akan peristiwa malam tadi, maka ia sama sekali tidak berani memandang gadis itu, malah bertanyapun tidak.
"Sin-ko, aku berhasil menghibur cici Tilana. Kau tentu tidak keberatan kalau dia tinggal di sini satu dua hari menemaniku, bukan?"
Tanpa melirik ke arah Tilana yang pagi itu kelihatan amat segar, Han Sin mengangguk. "Sesukamulah," lalu pemuda ini keluar lagi dari dalam rumah.
"Eh, Sin-ko. Kau mau ke mana?"
"Pergi mencari buah lengkeng. Kulihat banyak yang masak di dekat jurang itu."
"Jangan lupa tangkapkan seekor kelinci yang gemuk. Aku dan cici Tilana hendak masak daging kelinci!"
Han Sin mengangguk. "Baiklah." la merasa heran. Apa yang tersembunyi di balik kepala yang bagus dari Bi Eng itu? Daging kelinci adalah kesukaannya dan mengapa justru pada saat Tilana berada di situ Bi Eng hendak memasak kelinci?
Tak sampai hati ia mengecewakan Bi Eng. Tak lama kemudian ia sudah kembali membawa sekeranjang buah lengkeng dan seekor kelinci yang gemuk dan muda. Bi Eng menerima kelinci itu dengan senyum manis sekali.
"Kakakku yang baik, kau benar-benar menyenangkan! Kau tunggulah, cici Tilana akan mengajarku memasak daging kelinci cara orang Hui. Kau tentu akan menikmatinya nanti!" Sambil memegang kelinci pada dua buah telinganya, gadis ini tertawa-tawa dan berlari-lari ke dapur. Han Sin memandang, menarik napas panjang lalu melemparkan keranjang lengkeng ke pojok ruangan, menjatuhkan diri di atas kursi dan termenung.
Di dalam hutan tadi, ketika mencari kelinci dan lengkeng, ia sudah melamun terus tentang..... kawin! Gara-gara Tilanalah ini. Berkumandang di telinganya ucapan Bi Eng. "....... usiamu sudah dua puluh, bahkan lebih barangkali sudah sepatutnya kalau kawin....."
"Bi Eng..... Bi Eng......" hatinya berbisik perih, "bagaimana kau bisa membujukku supaya kawin dengan gadis lain? Jangankan baru seorang gadis cantik seperti Tilana, biar kauturunkan dewi dari kahyangan sekalipun, aku tetap akan memilih engkau seorang....."
Tentu saja pemuda ini sama sekali tak pernah menyangka betapa "adiknya" itu bersama Tilana telah merencanakan sesuatu yang amat berbahaya, sesuatu yang tak dimengerti oleh Bi Eng, yang hanya menginginkan kakaknya itu mendapatkan isteri yang cantik jelita seperti Tilana, dan terutama sekali karena "kakaknya" itu akhir-akhir ini bersikap aneh terhadapnya dan juga karena hatinya sendiri makin lama makin aneh!
Pesta itu dilakukan pada sore hari. Tersenyum girang juga Han Sin ketika ia dihadapkan hidangan yang berbau nikmat, mengebul di atas meja. Ternyata seekor kelinci tadi telah menjadi empat macam masakan yang melihatnya saja sudah membangkitkan seleranya. Apa lagi mencium baunya yang demikian gurih dan enak. Malah ada minuman yang seperti anggur pula.
"Eh, ini apa, Eng-moi?". Han Sin mencium minuman itu. "Dari mana kau memperoleh arak?"
Bi Eng tersenyum. "Bukan arak, Sin-ko, melainkan perasan buah, hasil pekerjaan cici Tilana. Semua inipun masakannya. Hebat, ya?"
Han Sin mengangguk-angguk sambil melirik ke arah Tilana yang menundukkan mukanya yang merah sekali, tidak berani gadis itu memandang kepadanya. Diam-diam ia menaruh hati kasihan kepada gadis Hui itu, senang juga hatinya melihat Bi Eng ternyata dapat menarik gadis itu sebagai sahabat.
Mereka lalu makan minum dan Bi Eng melayani kakaknya, bahkan secara halus tidak kentara gadis ini seakan-akan sengaja membujuk kakaknya supaya banyak makan dan minum dan selalu memuji-muji Tilana tentang kecantikannya, tentang kepandaiannya. Tentu saja, dengan lihai sekali Bi Eng telah menaruh obat bubuk ke dalam cawan minuman Han Sin. Berdebar juga ia ketika melihat Han Sin minum anggurnya, akan tetapi hatinya lega karena kakaknya tidak apa-apa, malah memuji perasan buah itu,
"Enak sekali.....!" Kemudian Han Sin memandang kepada pembuat minuman itu. Kebetulan Tilana juga mengangkat muka memandangnya. Dua pasang mata bertemu untuk kesekian kalinya. Muka Tilana berseri-seri dalam pandangan mata Han Sin, muka itu luar biasa indah jelitanya. Mata yang bening itu setengah berkatup, bersembunyi dan mengintai dari balik bulu mata yang lentik panjang, seperti pandang mata orang mengantuk, hidung yang kecil mancung itu agak kembang-kempis seperti orang mau tertawa atau menangis, bibir yang mungil tersenyum-senyum malu.
"Cantik sekali......!" Kata-kata ini keluar dari mulutnya Han Sin seperti bukan atas kehendaknya sendiri, begitu saja terloncat. Telinganya sendiri yang mendengar ini membuatnya amat kaget, namun melihat Tilana tersenyum memperlihatkan deretan gigi yang seperti mutiara, senang juga hati Han Sin.
Pemuda ini sudah terpengaruh obat yang benar-benar amat mukjijat, membuat ia merasa dirinya ringan dan enak, senang sekali. Pengaruh obat membuat pikirannya tertutup uap kemabokan dan menonjolkan perasaan panca inderanya. Mulutnya menikmati masakan dan minuman buatan Tilana, matanya menikmati kecantikan Tilana dan sekaligus timbul kasih sayang kepada gadis Hui itu.
Bi Eng yang juga mendengar pujian Han Sin "cantik sekali!" tadi, tersenyum penuh arti kepada Tilana, lalu berdiri dan mengundurkan diri dari situ sambil berkata, "Aku akan mencuci mangkok piring dulu."
Han Sin sudah mabok betul-betul, tidak sadar lagi apa yang diperbuatnya. Tilana, di lain fihak, yang sudah jatuh hati kepada Han Sin, yang sudah melanggar sumpah sendiri bahwa dia harus menjadi isteri Han Sin atau mati, mempergunakan kesempatan ini untuk mencuri hati pria pilihannya itu.
Ketika bangun berdiri, Han Sin terhuyung-huyung dan kiranya ia akan jatuh kalau saja tidak cepat-cepat digandeng lengannya oleh Tilana. la tertawa-tawa kecil, memandang muka gadis di sebelahnya itu dengan kepala bergoyang goyang. "Kau cantik..... he-he, Tilana, kau cantik dan baik......."
Tilana hanya tersenyum. "Kanda Han Sin, kau mengasolah......", Dan digandengnya pemuda itu memasuki kamarnya.
Semalam suntuk Bi Eng tak dapat tidur di dalam kamarnya. Hatinya tidak karuan rasanya. la sendiri tidak tahu apakah malam itu ia merasa marah, sedih kecewa ataukah merasa girang, bahagia dan puas! Ia sendiri tidak mengerti mengapa hatinya begini risau dan tak karuan.
Ia menghendaki agar kakaknya memilih Tilana sebagai isteri. Malah tidak segan-segan ia membantu Tilana mempergunakan obat bubuk yang mukjizat sekali, sampai-sampai kakaknya itu menjadi mabok dan lupa diri. Ia merasa amat suka dan kasihan kepada Tilana dan ia merasa bahwa memang gadis itu cocok sekali kalau menjadi isteri kakaknya. Akan tetapi...... entah bagaimana, ia sekarang merasa hatinya kosong......!
Tiba-tiba ia kaget mendengar suara ribut-ribut di dalam kamar kakaknya. Hari telah menjelang pagi. Cepat Bi Eng meloncat keluar dari kamarnya, berlari menuju kamar kakaknya. Dan alangkah kagetnya ia mendengar kakaknya memaki maki! Hal yang belum pernah dilakukan kakaknya seumur hidupnya.
"Perempuan rendah, perempuan hina! Jahanam tak tahu malu, kenapa kau berada di kamarku? Kenapa kau..... ah, setan, kubunuh engkau!"
Terdengar gedebag-gedebug dan badan terjatuh. Agaknya Tilana sudah dipukuli Han Sin! Bi Eng menjadi pucat sekali dan ia makin mendekati kamar. Terdengar Tilana menangis.
"Kanda Han Sin..... bunuhlah..... aku akan bahagia sekali kalau mati di tangan..... suamiku......"
"Suami......? siluman betina! Kau mempergunakan akal busuk, kau siluman jahat. Kemarin kau hendak membunuh diri, nah.... lekaslah kau bunuh diri. Aku tak sudi mengotori tangan membunuh seekor siluman....." terdengar Han Sin memaki-maki lagi dan suara pemuda itu terdengar keras dan marah sekali.
Bukan main marahnya hatinya Bi Eng mendengar ini. Keterlaluan sekali kakaknya menghina orang. Sekali melompat ia sudah mendorong pintu kamar dan memasuki kamar itu. Ia melihat Tilana menangis sambil berlutut di atas lantai, rambutnya kusut terurai, keadaannya amat mengenaskan. Pipinya bengkak dan bibirnya yang indah itu berdarah, agaknya ia telah ditampari Han Sin. Pemuda itu kelihatan berdiri di depan Tilana dengan mata berapi dan muka merah.
"Sin-ko, kau kejam!" bentak Bi Eng. "Kau tidak menghargai cinta kasih orang, kau malah menghina dan memukul! Laki laki macam apa bersikap demikian?" Gadis ini marah sekali, dadanya membusung, kepala dikedikkan dan matanya berapi api menatap wajah Han Sin, kakak yang biasanya amat ia takuti dan taati itu.
"Bi Eng....." Bagaikan diloloskan semua urat dari tubuh Han Sin ketika ia melihat gadis ini muncul. "Dia.... dia itu....., perempuan tak bermalu......"
"Kaulah laki-laki tak bermalu! Berani berbuat tak berani bertanggung jawab!" Bi Eng memotong.
Tilana yang amat merasa terhina, dengan hati hancur melihat dan mendengar ini semua. Kemudian terdengar ia menjerit lirih, tubuhnya berkelebat dan ia sudah meloncat lalu lari meninggalkan rumah itu, meninggalkan puncak Min-san, lenyap di dalam kabut kegelapan pagi.
"Sin-ko! Kau telah merusak hatinya, kau telah menghancurkan perasaannya. Kenapa kau begitu kejam?"
"Tidak...., tidak, Eng-moi. Dialah yang mencelakai aku, dia..... dialah yang merusak dan menghancurkan hati dan perasaanku....."
"Kenapa? Dia cinta kepadamu, dia menganggap dirinya sebagai isterimu. Sin-ko, kau harus mengawini dia!"
"Tidak mungkin! Tak mungkin aku bisa mengawininya, Eng-moi......"
"Sin-ko, bagaimana kau bisa bilang begitu? Kau seorang laki-laki, harus berani bertanggung jawab. Kau dan dia sudah sekamar..... bagaimana kau bisa mengingkari hal ini?"
"Eng-moi......" wajah Han Sin pucat sekali, tanda bahwa ia amat menderita batinnya, "kau tidak tahu....... dia menggunakan akal siluman! Aku tidak sadar apa yang telah kulakukan........ aku seperti mabok, mungkin aku telah gila....."
"Apapun juga alasannya, kau harus mengawini dia, Sin-ko. Apa kau mau disebut pengrusak kehormatan? Apakah kau mau dianggap penjahat keji pengganggu wanita? Tilana seorang gadis terhormat, cantik dan pandai. Setelah ia sudi merendahkan diri sedemikian rupa, demi cinta kasihnya kepadamu, Sin-ko...... apakah kau begitu tega?"
"Eng-moi......, kau tidak tahu....... Bi Eng membanting kakinya dengan gemas. Gadis ini marah dan mendongkol bahwa rencananya telah gagal, usaha pertolongannya kepada Tilana dan usahanya untuk menjodohkan kakaknya gagal sama sekali. "Aku tahu! Aku tahu segala-galanya! Tilana telah menceritakan kesemuanya kepadaku! Cocok dengan cerita uwak Lui dahulu. Puteri Hui, Balita, telah jatuh cinta kepada mendiang ayah, dan ayah menyia-nyiakannya pula. Balita sakit hati, sampai tua tidak dapat melupakan dendamnya. Sekarang menyuruh puterinya datang membalas dendam kepadamu, kepada keturunan ayah....."
"Keji!" Han Sin mencela.
"Siapa bilang keji?" Bi Eng dalam marahnya tanpa disadari membela Balita.
"Aku lebih tahu watak wanita. Memang sakit hati sekali kalau cinta ditolak. Sekarang, usaha Tilana membalaskan dendam ibunya gagal, malah kau membuka kerudung mukanya yang menjadi sumpahnya. Dia harus kawin dengan laki-laki yang membuka kerudungnya, atau...... mati. Kau tidak mau membunuhnya, Tilana mengira kaupun sayang kepadanya. Sekarang, setelah apa yang terjadi malam tadi..... kau...... kau menghina, mengeluarkan makian kotor, memukulnya pula. Sin-ko.... kalau kau tidak mau mencari dia, lalu mengawini dia, aku..... aku tak mau mengaku kau sebagai kakakku lagi!" Bi Eng lalu menangis.
Pucat wajah Han Sin mendengar ini. Aduh, Bi Eng..... Bi Eng...... keluh hatinya. Kau tidak tahu..... kau tidak mengerti segalanya. Kau tidak tahu bahwa cinta kasihku hanya untukmu seorang. Dan sekarang kau malah mendorong-dorongku, membujuk-bujukku mengawini orang lain. Tanpa disadari dua titik air mata meloncat keluar di atas kedua pipinya. Cepat Han Sin mengusapnya dan berkata,
"Bi Eng, sudahlah. Jangan kau berduka dan marah. Agaknya sudah tiba saatnya kita turun gunung. Mari kita tinggalkan tempat ini, aku harus memenuhi permintaan yang telah kusanggupi dari Pangeran Yong Tee........."
Bi Eng mengangkat mukanya. Tentu pernyataan ini akan amat menggirangkan hatinya kalau saja ia tidak begitu marah dan kecewa. "Dan kita juga mencari cici Tilana?" desaknya.
Sambil menarik napas panjang Han Sin mengangguk. "Baiklah, kita akan mencari dia karena..... karena dia harus mengakui segala yang telah terjadi malam tadi. Harus memberi penjelasan kepadamu."
Watak Bi Eng memang aneh sekali. Seperti watak udara di musim hujan. Sebentar mendung, sebentar hujan, sebentar terang benderang. Hanya beberapa jam kemudian ia sudah bisa tertawa-tawa ketika bersama kakaknya ia menuruni Gunung Min-san, menuju ke dunia ramai.
Hanya Han Sin yang terus-menerus murung. Hatinya pepat, serasa ada batu besar berat sekali menindih jantungnya. Bagaimana bisa terjadi hal hebat sedemkian antara dia dan Tilana? Dan hal itu tidak saja disetujui oleh Bi Eng, malah agaknya gadis ini mendorong-dorongnya. Celaka dua belas! Dan dia amat mencinta Bi Eng!
Ia mencoba membayangkan lagi apa yang telah terjadi antara dia dan Tilana. Wajahnya menjadi merah sekali kalau ia membayangkannya. Kenapa dia sudah seperti gila? Kenapa dia dapat membelai-belai, mencumbu rayu Tilana gadis asing itu? Ia membayangkan lagi sikap Tilana yang amat mesra dan manis, dan kemudian, tiba-tiba Han Sin mencekal lengan tangan Bi Eng erat sekali.
"Aduhhh!" Bi Eng berteriak. "Aduh sakit lenganku, Sin-ko. Kau ini apa-apaan sih? Aneh benar kelakuanmu. Ada apakah?"
Han Sin tersadar dan melepaskan pegangannya. "Eng-moi, aku teringat sekarang........ tanda merah di dekat telinganya......, ya......., tanda merah, jelas sekali kulihat di dekat telinga......."
"Apa artinya ini? Sin-ko, kau seperti orang ngelindur!" tanya Bi Eng yang terheran-heran melihat kakaknya memandangi langit sambil merenung dan mencubit-cubit hidung sendiri.
Tiba-tiba Han Sin menatap wajah Bi Eng matanya bersinar-sinar ganjil. Untuk ke sekian kalinya Bi Eng harus menghindar dari pandang mata kakaknya. Pandang mata kakaknya luar biasa sekali, tajam seperti pisau, seakan-akan dapat menembus jantung.
"Eng-moi, tak salah lagi. Gadis itu..... yang bernama Tilana itu....... dia itulah..... anak Ang-jiu Toanio yang dulu lenyap! Pernah kuceritakan kepadamu, bukan? Sebelum meninggal dunia, Ang-jiu Toanio menceritakan kepadaku......" la menahan ceritanya, kaget karena sekarang baru ia teringat bahwa ia belum menceritakan hal itu kepada Bi Eng. Menceritakan hal itu berarti membuka rahasia bahwa Bi Eng bukanlah adik kandungnya!
Melihat sikap kakaknya yang ragu ragu, Bi Eng bertanya, "Cerita apa? Kau belum pernah bercerita kepadaku tentang pesan Ang-jiu Toanio."
"Eh...... eh......, kalau begitu aku yang lupa. Begini, Eng-moi. Ketika aku bertemu dengan Ang-jiu Toanio, sebelum dia meninggal dia pernah minta tolong kepadaku agar supaya aku mencarikan anaknya yang hilang ketika masih bayi. Anak perempuannya itu, adik Phang Yan Bu, ada tanda merah di dekat telinganya. Dan pada..... diri Tilana kulihat tanda merah itu..... yang tadinya tertutup rambutnya......"
Merah muka Bi Eng dan ia masih sempat menggoda, "Eh, eh, bagaimana kau bisa melihatnya kalau tanda itu tertutup rambutnya, Sin-ko?"
Bingung dan gugup Han Sin menerima pertanyaan ini. "Aku... eh..... aku.... hanya kebetulan saja aku melihatnya....." Mukanya menjadi merah sekali. Cepat-cepat disambungnya, "Baru sekarang aku teringat. Tak salah lagi, dialah anak Ang-jiu Toanio yang hilang. Rupanya dahulu dicuri oleh Balita dan......."
Kembali ia berhenti dan mukanya tiba tiba menjadi pucat, matanya terbelalak memandang kepada Bi Eng. Tentu saja gadis ini menjadi makin heran, malah agak takut. Jangan-jangan otak kakaknya ini menjadi tak beres.
"Kau kenapa, Sin-ko? Kenapa memandang padaku seperti itu?"
Han Sin kembali dapat menindas perasaannya. Siapa orangnya yang takkan gelisah dan kaget seperti dia ketika mendapat dugaan sekarang. Dugaan yang hampir tak salah lagi. Kalau Balita menukarkan anak Ang-jiu Toanio di rumah mendiang ayahnya di Min-san, kalau begitu..... tak salah lagi, Bi Eng yang berdiri di hadapannya sekarang ini tentu anak..... Balita! Pusing ia menghadapi kenyataan ini. Bi Eng anak Balita! Bagaimana mungkin ini? Dan di mana adanya adik kandungnya sendiri? Betulkah sudah dimakan harimau, dijadikan umpan harimau oleh pemelihara harimau?
"Bi Eng....." suaranya gemetar, "apakah..... betulkah bahwa kau tidak mempunyai tahi lalat hitam di mata kaki sebelah kiri......?"
Bi Eng melengak, kembali mukanya merah. "Sudah belasan kali sejak kita naik kembali ke Min-san kautanyakan hal yang gila itu. Aku sudah bilang tidak ada, apa kau penasaran dan hendak melihatnya?" Bi Eng membungkuk hendak membuka sepatu dan kaos kakinya. Cepat Han Sin mencegah, dadanya berdebar.
"Tak usah, Bi Eng, tak usah. Hanya..... barangkali saja kau teringat bahwa di waktu kecil dahulu, ada tanda itu di kakimu...."