Pedang Ular Merah 4
Pedang Ular Merah Karya Kho Ping Hoo Bagian 4
Bayangan ini adalah seorang pemuda yang berwajah tampan sekali. Pakaiannya berwarna biru muda dengan leher dan pinggir lengan baju warna putih, ikat kepala berwarna merah. Karena pakaiannya itu terbuat dari pada sutera halus, maka ia nampaknya makin cakap dan mewah. Di pinggangnya tergantung gagang pedang yang berukir gambar liong yang indah sekali.
Ketika pemuda ini melihat berkelebatnya tubuh seorang tosu yang putus lengan kirinya, ia hendak mengejar, akan tetapi tiba-tiba ia melihat Eng Eng yang menggeletak di atas rumput seperti majat. Ia menahan kakinya dan matanya teibelulak kagum memandang ke arah wajah yang jelita dan tubuh yang ramping mengulurkan hati itu. Ia menghampiri lalu berlutut di dekat tubuh gadis itu. Ketika melihat muka yang pucat dan pakaian Eng Eng di bagian dada remuk dan robek, ia menjadi terkejut sekali. Tanpa ragu-ragu lalu diangkatnya tubuh itu dan dibawanya ke dalam hutan itu, di mana terdapat sebuah bangunan bobrok bekas sebuah kuil tua. Ia memondong tubuh gadis itu ke dalam kuil dan meletakkan di atas lantai yang bersih Tempat ini memang menjadi tempat tinggalnya sementara ia berada ditempat itu.
"Ah, kasihan." bisiknya perlahan,
"pukulan Pek-lek ciang! Sungguh jahat sekali"
Kemudian dengan jati-jari tangan gemetar, pemuda itu lalu merobek baju Eng Eng untuk memeriksa luka akibat pukulan Pek-lek- ciang yang lihai. Kulit tubuh gadis itu hanya nampak merah saja, akan tetapi pemuda ini cukup maklum bahwa gadis yang mempunyai wajah seperti bidadari dan potongan tubuh luar biasa indahnya ini telah menderita pukulan dan terluka di sebelah dalam! Ia memeriksa dada gadis itu dan tak lama kemudian terlihat ia berkelebat keluar dari kuil bobrok itu dan masuk ke dalam hutan. Ia mencari-cari dan setelah matahari sudah condong ke barat, nampak ia kembali ke kuil membawa banyak sekali daun-daun obat.
Ternyata Eng Eng masih belum siuman dari pingsannya, dan pemuda itu dengan cekatan sekali lalu memeras daun-daun itu dengan kedua tangannya, memberi minum perasan daun obat itu kepada Eng Eng dengan paksa, Lalu ampas daun itu ditempelkannya ke atas dada Eng Eng yang nampak merah. Kemudian ia lalu mengurut dan menotok jalan darah di pundak dan punggung gadis itu. Semua ini dilakukan dengan tangan gemetar, dada berdebar dan kadang-kadang la meramkan kedua matanya, tidak tahan ia melihat keindahan tubuh yang nampak di depan matanya!
Iblis adalah menggoda atau pembujuk hati manusia dan dia akan selalu akan muncul dan menggoda manusia apabila manusia itu sedang berada di tempat sunyi, berada seorang diri dan terutama sekali apabila manusia itu sedang menghadapi atau melihat sesuatu yang merangsang atau menarik hatinya. Oleh karena tahu akan sifat sifat iblis penganjur segala kejahatan dunia ini Nabi LOCU pernah bersabda demikian :
"Jangan memperlihatkan sesuatu yang merangsang dan menimbulkan nafsu, agar manusia tidak tergoda hatinyal"
Dan juga Nabi KHONG Cu pernah bersabda: "Berhati-hatilah apabila kau sedang berada seorang diri"
Memang, tepat sekali wejangan-wejangan ini bagi manusia untuk ingat bahwa pikiran-pikiran dan nafsu-nafsu timbul waktu berada seorang diri dan menghadapi sesuatu yang neutmbulkan nafsu. Amatlah berbahaya bujukan iblis pada saat-saat seperti itu. Apalagi kalau orang ysng terbujuk itu tidak memiliki iman yang kuat, dan kesadarannya akan baik dan buruk sudah menyuram. Nafsu yang dibangkitkan oleh iblis akan sedemikian kuatnya sehingga ia tidak memperdulikan lagi akan segala pelanggaran, tidak perduli akan prikemenusiaan, dan ia akan menjadi buta dan lupa daratan karena di- pengaruhi oleh nafsu.
Pemuda baju biru itupun demikian. Setelah ia berhasil mengobati Eng Eng, melihat wajah yang cantik jelita itu, melihat bagian tubuh yang menggiurkan hatinya, ia tidak dapat menahan bujukan iblis. Ia lupa segala telinganya penuh oleh pendengaran suara iblis yang terdengar merdu sekali, bagaikan telinga seorang pemabok mendengar musik. Matanya seakan-akan tidak sewajarnya lagi, bagaikan mata seorang yang sedang kelaparan melihat roti atau lebih tepat lagi, seperti mata seekor anjing kurus melihat tulang. Harus dikasihani nasib Eng Eng. Dalam keadaan pingsan dan terluka ia bertemu dengan seorang "penolong" yang ternyata merupakan seorang pemuda yang lemah iman, seorang yang telah lupa akan asal mulanya yang suci murni.
Menjelang tengah malam, Eng Eng siuman dari pingsannya. Ia terkejut sekali ketika melihat bahwa ia berada dalam pelukan seorang laki-laki! Tempat itu diterangi oleh api unggun yang bernyala dari setumpuk kayu kering sehingga ia hanya melihat samar-samar wajah seorang laki laki muda yang amat tampan, seorang pemuda yang berkulit muka putih, bermata tajam, berbibir merah dan berpakaian biru muda! Kemudian gadis ini roboh pingsan lagi, tidak kuat menahan pukulan hatin yang luar biasa, malapetaka yang datang kepadanya, yang lebih mengerikan dan pada maut sendiri!
Perguruan silat Kim-liong-pai terletak di puncak Gunung Liong-san dan nama Kim-liong-pai sudah amat terkenal di dunia persilatan sebagai cabang ilmu silat yang luar biasa. Dulu ketika ketua Kim-liong-pai masih berada di tangan seseorang yang luar biasa yang berjuluk Hu beng Siansu, cabang persilatan ini boleh dibilang menjagoi seluruh kangouw, tidak kalah terkenalnya dengan cabang cabang ilmu silat lain seperti Kun-lun-pai atau Go-bi pai yang besar.
Semenjak Bu Beng Siansu lenyap dari permukaan bumi, tak seorangpun mengetahui di mana adanya kakek sakti itu yang telah mencuci tangan dan tidak mau mencampuri urusan dunia, maka Kim-liong pai jatuh ke tangan anak muridnya.
Pada waktu cerita ini terjadi, Kim-liong-pai dipimpin oleh cucu murid Bu Beng Siansu yang hidup sebagai seorang tosu (Pendeta Agama To) dan sudah berjuluk Lui Thian Sianjin pada waktu mudanya Lui Thian Sianjin mempunyai belasan orang anak murid. Akan tetapi ketika beberapa orang di antara murid-muridnya itu melakukan pelanggaran dan penyelewengan, ia menjadi marah dan putus asa. Dibubarkannyaiah murid muridnya itu dan masih baik bahwa mereka itu mempelajari ilmu pedang Kim liong-pai yang disebut Ang-coa-kiamsut (Ilmu Pedang Ular Merah) sebanyak enam puluh bagian saja!
Ang-coa-kiamsut adalah ilmu pedang warisan dari Bu Bng Siansu, dan ilmu pedang ini terkenal sebagai raja ilmu pedang di seluruh dunia kangouw. Tidak mudah untuk mempelajari ilmu pedang ini, oleh karena gerakannya amat sulit dan perkembangannya amat luas pula untuk dapat mainkan Ang-coa-kiamsut orang harus lebih dulu memiliki ginkang dan lweekang tingkat tinggi. Bahkan Lui Thian Sianjin sendiri hanya dapat mewarisi delapan puluh bagian dari Bu Beng Siansu sucouw (guru besar) Kim-hong-pai ia mendapat tinggalan kitab ilmu pedang itu, namun tetap saja ia tidak dapat mewarisi seluruhnya.
Setelah bertahun tahun tiduk mau menerima murid, ketika berusia lima puluh tahun lebih, diam-diam Lui Thian Sianjin merasa gelisah sendiri. Dari suhunya, ia dulu pernah mendapat pesan bahwa sebelum mati ia harus dapat mewariskan Ang coa kiamsut kepada seorang murid yang benar-benar baik. Akhirnya ia mulai mercari murid lagi dan kini ia memilih dengan amat hati-hati. Akhirnya ia menemukan sepasang anak kembar yang baru berusia lima tahun, dari keluarga Sim yang telah tewas semua karena pemberontakan.
Kedua anak itu adalah anak laki-laki, bernama Sim Tiong Han dan Sim Tiong Kiat, ia mengambil kedua orang anak yang dilihatnya berbakat baik ini, lalu melatihnya ilmu silat. Selain kedua orang anak kembar ini, Lui Thian Sianjin juga mengambil seorang murid perempuan yang bernama Can Kui Hwa. Usianya ini sebaya dengan Sim Tiong Kiat, dan juga memiliki bakat yang luar biasa. Can Kui Hwa adalah anak dari seorang murid Kim-liong-pai juga yang bernama Can Kong dan yang kini menjadi guru silat di kota Sam koan. Empat belas tahun kemudian, ketiga orang anak ini telah menjadi dewasa. Kalau orang tidak mempunyai perhubungan dekat dengan sepasang pemula kembar itu, akan amat sukarlah baginya untuk membedakan. Keduanya sama benar, baik wajah maupun bentuk badan. Sama tampan, bermuka putih dengan mata tajam dan bibir merah, alis mata tebal dan pantang.
Ada sedikit tanda pada Tiong Kiat yang menjadi tanda pengenal, yakni sebuah tahi lalat kecil hitam di atas dagunya, tepat di bawah bibir. Juga watak kedua orang ini jauh berbeda. Tiong Iian yang lebih tua beberapa jam dari adiknya berwatak pendiam dan lemah lembut. Sebaliknya, Tiong Kiat jenaka, gembira, juga nakal sekali. Semenjak kecilnya, seringkali Tiong Kiat menggoda kakaknya, akan tetapi Tiong Han yang amat mencinta adiknya selalu mengalah.
Namun, di dalam pelajaran ilmu silat Tiong Kiat lebih maju daripada kakaknya. Memang anak ini luar biasa sekali bakatnya dalam hal ilmu silat. Harus diakui bahwa kecerdikannya tidak melebihi Tiong Han, namun agaknya ia berdarah ahli silat, karena gerakannya demikian lemas dan cepat. Ini pula yang membuat Lui Thian Sianjin amat sayang kepadanya, sungguhpun seringkali kakek ini termenung dan mengerutkan keningnya, karena ia masih meragukan watak daripada Tiong Kiat. Tidak seperti Tiong Han, kakek ini sudah menaruh kepercayaan sepenuhnya.
Juga Kui Hwa memiliki bakat yang amat baik, sungguhpun ia tidak dapat mengimbangi bakat Tiong Han, apalagi kalau dibandingkan dengan Tiong Kiat, ia kalah jauh. Setelah dewasa ia menjidi seorang gadis yang cantik manis. Sikapnya gembira dan jenaka seperti Tiong Kiat, sehingga kedua anak ini menjadi sahabat baik. Perhubungan gadis ini terhadap Tiong Kiat jauh lebih erat apabila dibanding, kan dengan hubungannya terhadap Tiong Han.
Setelah mendapat gemblengan ilmu ailat selama empat belas tahun, kepandaian ilmu silat dan ilmu pedang ketiga orang murid itu mencapai tingkat tinggi. Lebih-lebih Tiong Kiat, ia telah mewarisi ilmu pedang Ang coa kiamsut sampai tujuh puluh bagian lebih, sedangkan Kui Hwa hanya memiliki lima puluh bagian, sedangkan Tiong Han sendiri paling banyak hanya mewarisi enam puluh bagian. Di dalam latihan nampak sekali perbedaan itu, baik Tiong Han maupun Kui Hwa tidak dapat mengimbangi permainan pedang Tiong Kiat yang luar biasa.
Tentu saja suhu mereka menjadi girang sekali, merasa bahwa ia telah cukup mewariskan ilmu pedang itu dan karenanya Kim-liong- pai tak usah dikhawatirkan lagi akan tinggal nama saja! Akan tetapi, kadang-kadang ia merasa gelisah dan berdebar dadanya kalau ia melihat Tiong Kiat, karena bagaimanakah kelak kalau ternyata ia salah pilih. Siapa yang akan dapat memasang kendali pada hidungnya atau dengan lain kata-kata siapa yang akan dapat menundukkannya?
Dan apa yang dikuatirkan oleh kakek ini terbukti. Setelah dewasa dan ingin agar supaya ilmu pedang Ang coa.kiamsut tidak sampai terpecah-pecah, Lui Thian Sianjin mengusulkan agar supaya Tiong Han dijodohkan dengan Kui Hwa! Pemuda itu karena sudah tiada ayah bunda lagi, hanya menyerahkan nasibnya kepada suhunya yang amat dihormatinya, adapun ayah Kui Hwa, yakni Can Kong beserta isterinya, juga tidak keberatan.
Akan tetapi, beberapa bulan kemudian, terjadilah peristiwa yang amat menggemparkan itu! Peristiwa yang amat menyedihkan hati Lui Thian Sianjin, menghancurkan hati Tiong Han, dan memarahkan hati Can Kong . Dengan cara yang tidak tahu malu sekali, Tiong Kiat telah melarikan diri bersama dengan sumoinya, yakni Kui Hwa! Dan yang lebih hebat lagi, adalah kedua orang muda ini telah "menyikat" pedang mustika yang menjadi barang pusaka di Kim liong-pai, yakni pedang Ang-coa-kiam (Pedang Ular Merah) warisan dari Bu Beng Siansu, guru besar dari Kim-liong-pai.
Lui Thian Sianjin ketika membaca surat yang ditinggalkan oleh Tiong Kiat yang menyatakan bahwa ia dan sumoinya telah bosan tinggal di gunung itu dan ingin merantau bersama serta membawa pedang pusaka dengan menyatakan bahwa ia sebagai murid terpandai berhak untuk memiliki pedang itu, kakek ini duduk bagaikan patung, mukanya pucat dan napasnya memburu! Yang lebih hebat lagi adalah sedikit "embel-embel" dalam surat itu bahwa tak perlu orang mencari mereka, karena mereka sudah saling mencintai Tiong Han cepat membujuk suhunya agar suka bersabar dan menenangkan pikiran.
"Sudahlah, suhu, harap jangan banyak berduka dan marah. Adikku itu masih amat muda dan masih hijau sehingga ia mudah dikuasai oleh nafsu. Ampunkanlah dia suhu." Pemuda ini berkata dengan mata basah.
Tosu itu memandang kepada Tiong Han dengan mata heran hampir ia tidak percaya akan pendengarannya.
"Apa...?" Katanya dengan suara parau.
"Kau... kau yang dihina dan diperlakukan seperti itu, kau masih minta ampun untuknya........?"
Tiong Han menundukkan mukanya.
"Dia adalah adikku suhu, oraag satu-satunya di dunia harus teecu cinta, sayang, dan bela."
"Dan.. tunanganmu...? Ah, Tiong Han benar-benar kau lebih berhasil menguasai hati dan perasaan dari pada aku yang sudah tua bangka. Tidak sakitkah hatimu karena tunanganmu dibawa pergi oleh adikmu sendiri?"
Tiong Han menggelengkan kepalanya dan walaupun mukanya berobah pucat la menjawab dengan tenang,
"Tidak, suhu. Hal ini tidak mengherankan teecu."
Kakek itu berdiri dari duduknya.
"Apa katamu .,? Jadi kau sudah tahu akan hal busuk dan memalukan itu? Dan kau diam saja tidak memberitahukan kepadaku?"
Tiong Han melihat suhunya menjadi marah, lalu menjatuhkan diri dan berlutut.
"Suhu, ampunkan adik Tiong Kiat. Sesungguhnya ........ sudah sebulan yang lalu teecu tanpa disengaja melihat perhubungan erat antara Tiong Kiat dan sumoi. Dan ... dan ... agaknya karena teeecu telah mengetahui akan hubungan rahasia mereka itulah yang membuat meteka pagi hari ini melarikan diri. Hanya satu hal yang teecu sayangkan, mengapa Tiong Kiat begitu sembrono membawa pergi pedang pusaka Ang-coa.kiam."
Lui Thian Sianjin membanting-banting kakinya.
"Gila ... Gila..! Mengapa aku seperti buta mataku? Semenjak dahulu aku sudah ragu-ragu dan menaruh hati curiga terhadap watak adikmu! Sekarang.. ah, Tiong Han, hanya kaulah yang dapat menolongku. Hanya kau satu-satunya orang yang akan dapat membelaku dan membuat aku dapat meninggalkan dunia ini dengan rela."
"Apakah maksud ucapan suhu ini?"
"Bersumpahlah, muridku, bersumpahlah dengan saksi bumi dan langit! Bersumpahlah bahwa kau akan menjunjung tinggi nama Kim-liong-pai, akan berlaku sebagai seorang pendekar gagah yang menjunjung tinggi kebajikan, prikemanusiaan dan membela keadilan."
"Teecu bersumpah untuk melakukan semua nasihat suhu itu."
"Dengarlah kau harus bersumpah untuk memenuhi dua macam tugas berat yang harus Kau lakukan, baik sewaktu aku masih hidup maupun sesudah aku mati."
"Teecu bersedia untuk bersumpah, harap suhu beritahukan apakah adanya dua macam tugas itu."
"Pertama, kau harus berusaha dan mencari atau merampas kenbali sampai dapat pedang Angcoa-kiam dari tangan Tiong Kiat dan membawa pedang itu ke mana juga kau pergi, menjaga dengan seluruh kehormatan."
"Bagaimana teecu dapat melakukan hal ini, suhu? Suhu maklum sendiri bahwa ilmu kepandaian Tiong Kiat masih lebih tinggi dari pada teecu, apalagi karena sekarang ia telah memiliki pedang Ang coa . kiam. Bagaimana teecu dapat memenuhi tugas ini dan merampas pedang pusaka Ang-coa kiam"
"Bersumpah lah dulu bahwa kau mau melakukan hal itu!" kata Lui Thian Sianjin tidak sabar.
"Hal kekalahanmu terhadap dia mudah dibicarakan kemudian."
"Baiklah, suhu, teecu bersumpah bahwa tecu akan mencari dan merampas pedang Ang-coa-kiam sampai dapat. Teecu takkan berhenti berusaha sebelum pedang itu dapat terampas oleh teecu"
"Bagus, itu sumpah pertama, kau harus mendapatkan kembali pedang itu agar nama Kim-liong-pai jangan sampai ternoda karena orang telah menyalah gunakan pedang pusaka itu. Dan sumpah kedua, kau harus mencari dan membunuh Sim Tiong Kiat!"
Pucatlah muka Tiong Han mendengar permintaan suhunya ini. Ia memandang kepada suhunya dengan mata terbelalak dan tak dapat menjawab, hanya menggeleng-gelengkan kepalanya saja.
"Tiong Han! Ucapkanlah sumpahmu!"
"Ti..dak, ,suhu ..teecu tak dapat melakukan hal ini! Teecu tidak sanggup "
Setelah berkata demikian Tiong Han lalu menjatuhkan mukanya di atas tanah dan meratap serta mintakan ampun untuk adiknya. Sungguh harus dikasihani pemuda yang berhati penuh kasih sayang terhadap adik kembarnya ini. Air matanya membasahi seluruh mukanya dan karena ia membentur-benturkan jidatnya di atas tanah, maka mukanya kini menjadi kotor.
"Tiong Han!" suhunya membentak marah.
"Kalau aku tidak sudah tua dan kekurangan tenaga, pasti aku sendiri yang akan kurun gunung dan mereiri murid murtad itu untuk kubunuh sendiril Akan tetapi, di Kim-lioog-pai kini tinggal kaulah ahli waris satu-satunya yang kiranya kuat dan dapat melakukan tugas ini!"
Sampai beberapa lama tidak terdengar pemuda itu berkata kata, hanya ia menangis terisak-isak seperti seorang anak kecil. Ia tak kiasa membuka mulut, bagaimanakah la dapat membunuh Tiong Kiat? Bagaimana ia dapat bertega hati membunuh adiknya yang dikasihi nya sepenuh hati dan jiwanya? Tiong Kiat merupakan sebagian dari pada tubuhnya sebagian daripada nyawanya.
"Ampun, suhu........ ampunkanlah teecu dan ampunkan adikku Teecu tidak sanggup, tidak sampai hati melakukan tugas ini dan apakah dosa Tiong Kiat maka harus dibunuh? Terhadap Kim-liong pai, kesalahannya hanya mencuri pedang pusaka, tidak cukupkah kalau teecu bersumpah mengambil kembali pedang itu? Ampunkanlah dia suhu!"
"Tiong Han, kau terlalu lemah! Kau bilang Tiong Kiat tidak begitu besar salahnya terhadap Kim liong-pai? Soal pedang bukanlah soal terutama, akan tetapi yang paling hebat adalah perbuatannya yang melanggar adat, melanggar kesopanan, melanggar prikemanusiaan melanggar prikebajikan. Dia sudah berani membawa lari tunangan kakaknya apakah kau mau bilang bahwa manusia macam itu tidak seharusnya dibunuh?"
"Suhu, beribu ampun apabila pendapat tecu lain dengan pendapat suhu. Bukan sekali-kali teecu membutakan mata dan membela adik sendiri tanpa alasan. Memang sesungguhnya pembuatan Tiong Kiat yang melarikan sumoi itu amat tidak sopan dan kurang ajar. Akan tetapi, siapakah yang tak terluka hatinya oleh perbuatan ini? Siapakah yang terhina dan siapa pula yang dirugikan? Kalau ada orapg yang seharusnya merasa sakit hati, maka orang itu hanya teeculah. Akan tetapi, suhu, teecu tidak merasa sakit hati kepadanya teecu tidak merasa terhina, bahkan teecu dengan rela hati mengalah, biar sumoi menjadi jodoh Tiong Kiat, sudab cukup cocok dan pantas! Biarlah, hitung-hitung teecu mencarikan jodoh untuk adik teecu, apa salahnya? Bukankah dengan demikian tidak ada urutan sakit hati lagi, tidak ada keharusan hukuman mati terhadap Tiong Kiat?" Pemuda itu berbicara dengan bernafsu sekali, nafsu yang terdorong oleh rasa sayangnya terhadap Tiong Kiat dan dalam kesungguhan membela adiknya itu.
Pertapa itu mengelus elus jenggotnya dan menarik napas panjang berkali-kali. la duduk termenung dan pandangan matanya melayang jauh.
"Kalau begitu, terpaksa aku harus memaksa tulang belulangku yang sudah reyot dan lapuk ini untuk turun gunung dan bekerja sendiri. Ah... tidak kusangka akan menjadi demikian nasibku..... . Tiga orang murid tersayang kugembleng dan kulatih selama.... belasan tahun.. bersusah payah....... tanpa....mengharapkan pembalasan sedikit jugapun .... dua orang dari pada mereka menikam hatiku dan melarikan diri, siap merusak nama baikku, nama baik Kim-liong-pai. Sekarang kau pula tidak bersedia membelaku, ah Su-couw tentu akan menerima rohku dengan teguran hebatl" Kakek ini lalu menundukkan mukanya dan untuk menyembunyikan sesuatu dari pandangan mata Tiong Han, akan tetapi pemuda itu sudah melihat bahwa suhunya telah mengalirkan dua titik air mata. Suatu hal yang amat langka terjadi, karena ia maklum betapa suhunya ini pantang mengalirkan air mata.
"Suhu..." kata Tiong Han terharu.
"Teecu sama sekali bukan tidak mau membela suhu, karena suhu tentu sudah maklum dan cukup mengerti bahwa teecu bahkan bersedia membela suhu dengan taruhan nyawa sekalipun! Hanya yang membuat tecu ragu ragu, sndah patutkah Tiong Kiat dibunuh, karena kesalahannya terhadap teecu yang sudah lama teocu maafkan itu?"
"Sudahlah, sudahlah.. mana kau ada... hati untuk mengganggu adikmu yang tercinta walaupun ia amat jahat dan menyeleweng? Kalau ia sampai mencemarkan nama Kim-liong-pai, kaupun tidak akan terbawa bawa tentu saja kau lebih berat kepada adikmu daripada kepadaku ataupun kepala Kim-liong- pai. Sudahlah ......
"
Bukan main perihnya rasa hati Tiong Han mendengar sindiran suhunya ini. Ia lalu memberi hormat lagi, kemudian ia berdiri dan berkata,
"Suhu, teecu bermohon diri. Tecu hendak mencari Tiong Kiat dan hendak minta kembali pedang pusaka Ang-cong-klam, juga tecu hendak mencegah segala kejahatan atau penyelewengannya, kalau perlu dengan nyawa teecu!" Setelah berkata demikian Tiong Han lalu menggerakkan tubuh hendak berlari turun.
"Tiong Han, tunggul" tiba-tiba suhunya membentak dm ketika pemuda itu memutar tubuhnya, Lui Thian Sianjin melemparkan sesuatu kepadanya. Tiong Hin cepat menyambut benda itu dan ternyata bahwa yang diberikan kepadanya adalah sebuah kitab yang terbungkus dengan sutera putih.
"Pedang Ang coa-kiam telah berada di tangan Tiong Kiat. Satu-satunya benda yang dapat melawan pedang itu hanyalah kitab ini. Pelajarilah baik-baik dan dengan adanya kitab itu di tanganmu, maka kedudukanmu dalam Kim liong-pai masih lebih tinggi dari pada pemegang pedang Ang coa kiam. Menurut peraturan di Kim.liong-pai, seperti kau juga sudah mengetahuinya, sebagaimana yang dipesankan dahulu oleh mendiang sucouw kita, semua murid Kim-liong-pai harus tunduk dan taat kepada pemegang dua buah pusaka Kim-liong-pai, pertama-tama sekali kepada pemegang dari kitab ilmu pedang Ang-coa-kiam-coan-si sebagai pemimpin tertinggi, dan kedua kepada pemegang pedang Ang.coa kiam sebagai pemimpin kedua. Tiong Kiat juga tahu akan peraturan ini dan kalau dia hendak mempergunakan haknya sebagai pemegang pedang Ang-coa kiam, maka menurut aturan, la masih harus tunduk dan taat kepada pemegang kitab Ang-coa-kiam-coan-si . Nah, kau pergilah."
Adapun Can Kong, ayah dari Can Kui Hwa, ketika mendengar berita tentang puterinya yang melarikan diri sama Sim Tiong Kiat menjadi marah sekali. Tanpa dapat dicegah lagi oleh isterinya yang menangis dan meratap lalu membawa pedangnya keluar dari rumah untuk mencari anaknya dan Tiong Kiat.
"Terkutuk!" makinya dengan muka merah "Aku harus mencarl dan membunuh sepasang anjing itu!" Ayah ini merasa malu sekali malu terhadap suhunya, malu terhadap calon mantunya, dan malu kepada diri sendiri. Bagaimana puteri tunggalnya bisa melakukan perbuatan yang rendah itu? Dan kemarahannya terhadap Tiong Kiat memuncak.
Dua bayangan yang cepat sekali gerakannya berlari bagaikan dua ekor burung garuda melayang turun dari Gunung Liong-san. Kalau dilihat dail jauh, mereka ini nampak bagaikan dua ekor burung saja dan bagaikan dua titik yang makin lama makin membesar. Akan tetapi setelah kedua sosok bayangan ini datang dekat, ternyata mereka adalah sepasang orang muda dan elok sekali, sepasang pemuda dan pemudi yang amat sedap dilihat karena mereka ini benar-benar tampan dan cantik.
Pemuda itu adalah Sim Tiong Kiat, pemuda yang berusia dua puluh tahun yang amat tampan. Tubuhnya sedang, dadanya bidang, mukanya yang bundar dengan dagu tajam itu berkulit putih bersih kemerah-merahan bagaikan muka seorang wanita. Sepasang matanya berkilat-kilat dan bersinar tajam sekali, dengan gerakan yang liar dan tiada hentinya bergerak.
Alisnya tebal dan panjang menghitam, nampak makin jelas pada wajahnya yang putih bagaikan dicat. Hidungrya mancung dan bibirnya merah den berbentuk indah. Benar benar seorang pemuda yang amat cakap dan tampan. Hanya tarikan mulut dan dagunya saja yang membayangkan kegagahan dan ketinggian hati, sikap mukanya selalu memandang rendah dan mengejek orarg lain yang dipandangnya. Pakaiannya berwarna biru dengan ikat kepala dan pinggir leher berwarna merah menambah kegagahannya. Sarung pedang yang Indah sekali tergantung di pinggang kirinya. Inilah Sim Tong kiat, murid dari Kim-liong-pai yang melarikan diri itu, dan pedang ynng tergantung di pinggangnya itu sdalnh pedang Ang-coa-kiam, pedang pusaka Kim liong-pai yang dicuri dan dibawanya pergi.
Dara yang berjalan di sebelah kirinya cantik sekali. Wajahnya manis dan potongan tubuhnya langsing dan penuh hampir mendekati sebutan montok. Ikat kepalanya biru, pakaiannya merah, agak kehitaman. Di atas telinga kanannya terhias oleh bunga bungaan dari sutera yang indah. Bibirnya selalu tersenyum manis dan sepasang matanya kocak, kalau mengerling nampak nyata kegenitannya, kegenitan yang tidak menjemukan, bahkan yang merupakan senjata istimewa dari pada kecantikannya, karena sukarlah bagi seorang pria untuk bertahan menghadapi serangan kerling semanis itu. Gadis itu bukan lain adalah sumoi (adik seperguruan) dari Sim Tiong Kiat yang bernama Can Kui Hui, puteri tunggal dari Can Kong.
Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, biarpun oleh suhu dan ayahnya ia di tunangkan dengan Tiong Han namun di dalam hatinya, Kui Hwa, tidak menyetujui pertunangan ini, karena semenjak kecil ia telah tertarik kepada Tiong Kiat. Setelah menjadi dewasa rasa suka ini berobah menjadi cinta kasih yarg mendalam. Watak Tiong Kiat yang gembira dan jenaka, cocok sekali dengan wataknya, tidak seperti Tiong Han yang pendiam dan bersikap sungguh-sungguh. Apalagi dari fihak Tiong Kiat ada jawaban maka kakak beradik seperguruan ini saling jatuh cinta dan makin lama hubungan mereka makin erat.
Sungguh amat disayangkan bahwa gadis y"ng cantik itu memiliki sifat genit, dan demikian pula Tiong Kiat mempunyai watak yang mata keranjang. Hubungan mereka yang amat erat pergaulan mereka yang bebas lepas di atas puncak Liong san, kesempatan-kesempatan yang terbuka dan watak mereka yang romantis merupakan kekuatan yang maha besar mendobrak daya tahan iman mereka yang muda. Ditambah lagi oleh kata-kata manis dari Tiong Kiat yang agaknya berbakat pula untuk mencumbu rayu wanita, maka jatuhlah hati Kui Hwa. Mereka lupa daratan, tak acuh kepada bisikan-bisikan dan teguran hati nurani sendiri dan akhirnya merela melakukan hubungan yang melanggar batas-batas kesopanan dan kesusilaan!
Sesungguhnya mereka tidak ada niat sama sekali untuk lari minggat dari puncak gunung itu. Sungguhpun Kui Hwa amat mencintai Tiong Kiat, namun ia tidak berani membantah kehendak suhu dan ayahnya dalam hal ikatan jodohnya dengan Tiong Han. Akan tetapi, ketika pada malam hari itu tanpa disangka sangka Tiong Han melihat mereka berdua sedang berkasih-kasihan, keduanya menjadi malu dan gelisah sekali. Memang Tiong Han segera pergi dan berlaku biasa pura-pura tidak melihat mereka, namun mereka tetap saja takut kalau-kalau Tiong Han akan melaporkan hal itu kepada Lui Thian Sianjin atau kepada Can Kong.
Demikianlah mereka lalu mengambil keputusan untuk minggat saja, Untuk menjaga agar kelak tidak menghadapi kemurkaan Lui Thian Sianjin dan juga karena memang suka kepada pedang pusuka Ang coa kiam, Tiong Kiat lalu mencuri pedang itu, bahkan secara kurang ajar dan berani sekali meninggalkan surat untuk suhunya, mengakui terus terang bahwa dia mengambil pedang pusaka dan bahwa ia dan sumoinya akan pergi karena telah saling menyinta.
"Suheng, bagaimana kalau twa-suheng (kakak seperguruan tertua) mengejar kita?" Kata Kui Hwa sambil memegang tangan Tiong Kait dengan sikap manja ketika mereka berjalan berdampingan di dalam sebuah hutan di kaki Gunung Liong san.
"Hwa moi, mengapa kau takut? Han-ko tidak akan mengejar kita, karena tidak tahukah kau bahwa dia sebenarnya juga tidak menaruh rasa cinta kepadamu, kalau bukan demikian mengapa dia tidak menegur kita ketika dia melihat perhubungan kita? Pula kalau sampai dia mengejar juga apa sih yang harus ditakuti? Menghadapi kau saja belum temu dia akan menang, apalagi terhadap aku. Dan masih ada pokiam (pedang mustika) ini"
"Takut sih tidak, koko (kanda). Akan tetapi......" Kui Hwa menahan langkahnya dan hendak menundukkan mukanya yang bersemu merah.
Tiong Kiat juga berhenti dan juga memegang tangan kekasihnya itu "Akan tetapi apa.. moi... moi?"
"Kalau twa-suheng datang, aku.... aku merasa malu. Bukankah aku sudah dipertunangkan dengan dia?. Aku .... .... aku malu,"
Tiong Kiat merenggutkan tangannya dari tangan Kui Hwa dan keningnya berkerut,
"Kau menyesal? Kalau kau masih menyayangkan pertunanganmu dengan dia kau boleh kembali"
Terbelalak mata Kui Hwa ketika ia memandang wajah pemuda itu. Kemudian melangkah maju dan memeluk kekasihnya sambil menjatuhkan jidat pada dada Tiong Kiat.
"Tega benar kau berkata begitu kepadaku, koko. Mengapakah kau tidak percaya kepadaku? Masih belum cukupkah pengorbananku? Aku memutuskan pertunangan yang telah dijadikan oleh suhu dan ayah, telah meninggalkan suhu dan meningalkan ayah untuk ikut padamu, telah dengan rela menyerahkan jiwa raga kepadamu, kini tega benar kau mengeluarkan kata-kata seperti itu"
Tiong Kiat mengelus-elus kepala Kui Hwa dan membelai rambutnya dengan sentuhan mesra,
"Hwa moi, kita sudah bersumpah sehidup semati, dengan disaksikan oleh bulan dan bintang kita telah menjadi suami isteri, mengapa kau masih mau memperdulikan orang lain? Biarkan Han-ko datang mengejar kalau ia berani. Kau jangan ikut-ikut, aku sendiri yang akan menghadapinya"
Kui Hwa mempererat pelukanrya dan bisiknya,
"Kekasihku.. aku tak dapat mencintai orang lain, dan aku hanya menyerahkan nasib hidupku kepadamu. Aku akan turut kepadamu, ke mana juapun kau pergi! Aku bersedia hidup sengsara asal saja berada di sampingmu. Hanya satu hal ...jangan sekali-kali kau menyia-nyiakan cintaku, koko jangan sekali-kali kau bermain gila dengan wanita lain. Kalau terjadi hal seperti itu, akan kubunuh wanita itu dan aku akan meninggalkanmu!"
Tiong Kiat tersenyum dan berkata jenaka,
"Bagiku di atas dunia ini hanya ada seorang wanita, yakni engkaulah. Bagaimana aku dapat bermain dengan wanita lain? Wanita mana yang dapat menyamaimu? Wanita mana yang mempunyai mata seindah ini, bibir semanis ini, dan rambut sehalus ini?" Sambil berkata demikian ia membelai mata, bibir dan rambut gadis itu.
"Tidak, aku akan tetap setia padamu seperti juga setiamu kepadaku, Hwa-moil"
Akan tetapi di dalam Hatinya, Tiong Kiat mentertawakan sumoinya ini, sungguhpun ia berdebar juga mendengar ancaman yang diucapkan Kui Hwa, karena ia maklum bahwa gadis ini tentu akan membuktikan ancamannya itu.
Karena buaian cumbu rayu dan kasih sayang, sepasang orang muda ini melakukan perjalanan dengan amat gembira. Mereka tidak memperdulikan lagi akan bahaya yang mungkin datang dari kejaran Tiong Han maupun suhu mereka. Kui Hwa amat percaya kepada kekasihnya, karena dara inipun maklum akan kelihaian Tiong Kiat. Misalnya suhu mereka mengejar, dengan kekuatan mereka, agaknya guru mereka sendiripun takkan dapat mengganggu kebahagiaan mereka.
Akan tetapi beberapa belas hari kemudian, ketika sepasang orang muda ini akan pesiar di sebuah telaga, mengaso di pinggir telaga melihat orang-orang berpesta di atas perahu alangkah terkejutnya hati mereka ketika tiba- tiba Can Kong berdiri di hadapan mereka dengan pedang terhunus di tangan kanan.
"Ayah...!" Kui Hwa berseru dengan wajah pucat dan gadis itu menghampiri ayahnya hendak berlutut, akan tetapi Can Kong menggerakkan pedangnya dan membacokkan pedang itu ke arah leher Kui Hwa! Biatpun kepandaian Kui Hwa lebih tinggi dari pada ayahnya, namun bacokan yang dilakukan oleh ayahnya dan diserangkan kepadanya yang sedang berlutut itu, agaknya tak dapat dielakkan lagi!
"Traang........!" terdengar suara keras dan pedang di tangan Can Kong tinggal gagangnya saja. Ternyata bahwa pedangnya yang mengancam nyawa puterinya sendiri itu tehh kena ditangkis oleh Tiong Kiat yang mempergunakan pedang Ang-coa kiam. Dapat dibayangkan betapa tajam dan ampuhnya pedang Ang-coa-kiam. Baru saja terbentur sekali, pedang di tangan Can Kong telah dibabat putus!
"Anjing.. anjing rendah tak tahu bermalu l" Can Kong berseru dengan nafas terengah-engah.
"Kalian harus mampus." kemudian dengan nekad Can Kong lalu menubruk Kui Hwa untuk mencekik lehernya.
"Ayah...! Ampunkan anakmu, ayah..."
Kui Hwa mengeluh tanpa berani melawan, akan tetapi kembali Tiong Kiat yang menolongnya Sebuah sampokan lengan kanan pemuda ini membuat tubuh Can Kong terpental dan terhuyung-huyung mundur ke belakang hampir jatuh! Memang, kepandaian Can Kong masih kalah jauh kalah dibandingkan dengan kepandaian Tiong Kiat, baik ilmu pedang, maupun tenaga lweekangnya.
"Suheng," kata Tiong Kiat yang menyebut "kakak seperguruan" karena memang Can Kong juga murid dari Lui Thian Sianjin,
"tidak ada harimau makan anaknya, apalagi manusia!"
"Anjing she Sim!" Can Kong marah sekali sehingga sepasang matanya seakan-akan mengeluarkan cahaya api dan mulutnya mengeluarkan buih.
"Kau telah melakukan perbuatan rendah melarikan anak gadis orang, masih dapat memberi nasihat kepadaku? Saat ini kalau bukan kau, tentu aku yang akan mampus!" Setelah berkata demikian, Can Kong kembali menyerang, dan kali ini ia menyerang Tiong Kiat dengan sepenuh tenaga!
"Ayah...!" Kui Hwa menjerit dan hanya dapat menangis. Ayahnya sudah nekad benar dan menyerang secara bertubi-tubi dan mata gelap.
Tiong Kiat telah menyimpan kembali pedangnya dan sesungguhnya ia tidak berani untuk membalas serangannya orang tua yang nekad itu. Akan tetapi, karena Can Kong menyerang dengan mati-matian, ia menjadi repot juga.
"Can suheng, mengapa kau berlaku seperti anak kecil. Biarkan kami berdua pergi. Aku masih menghormatimu sebagai seorang subeng dan kalau boleh, sebagai orang tua sendiri, akan tetapi kesabaran ada batasnya " kata Tiong Kiat sambil menangkis sebuah pukulan dengan tenaga sepenuhnya sehingga Can Kong merasa betapa lengannya sakit sekali dan kembali tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang.
"Bangsat rendah! Binatang tak bermalu!" Can Kong memaki lagi tanpa memperdulikan rasa sakit pada lengannya, ia menyerbu kembali dengan ilmu pukulan Kim-liong pai yang berbahaya bagi lawannya.
"Kau mencari penyakit sendiri" kata Tiong Kiat dengan marah karena ia anggap orang tua ini amat keterlaluan.
"Koko, jangan...!" Kui Hwa berseru akan tetapi terlambat. Tiong Kiat telah membalas serangan lawannya dan ketika tubuhnya bergerak cepat, sebuah tendangannya yang lihai telah mengenai lambung Can Kong dengan hebatnya. Tubuh Can Kong terlempar jauh dan roboh ke dalam air telaga!
"Ayah..." Kui Hwa menjerit dan menolong ayahnya, akan tetapi pada saat itu, diantara perahu-perahu yang bergerak ke sana ke mari di atas telaga, meluncur cepat sebuah perahu kecil yang ditumpangi oleh seorang hwesio gemuk, sekali ia mengulurkan tangannya tubuh Can Kong yang hampir tenggelam itu telah berpindah ke dalam perahu.
"Siapa pemuda itu, siapa pula gadis itu dan siapa kau" tanya pendeta Buddha ini kepada Can Kong yang napasnya sudah empas-empis.
Can Kong membuka matanya dan ketika ia melihat hwesio gemuk itu ia tersenyum pahit. Ia mengenal hwesio ini yane bukan lain adalah seorang tokoh kang-ouw yang cukup terkenal, la bernama Cin Kun Hosiang, tokoh dari Bu-tong-pai, hwesio perantau yang menjadi pendekar besar penolong rakyat sehingga namanya amat terkenal, baik di kalangan rakyat maupun di dunia kang-ouw.
"Cin suhu, celakalah... hancur nama ....baikku oleh anjing-anjing tak bermalu itu. Perempuan itu adalah puteri tunggalku, sedangkan pemuda itu adalah suteku sendiri. Mereka.. mereka minggay....... dan......."
Orang tua itu tak dapat melanjutkan kata-katanya karena ia menjadi lemas dan pingsan karena luka pada lambungnya yang hebat akibat tendangan Tiong Kiat.
Bukan main marahnya Cin Kun Hosiang mendengar keterangan ini. Dengan tangan kiri memondong tubuh Can Kong. Ia lalu melompat ke pantai, mengagumkan sekali gerakannya ini karena tubuhnya yang gendut itu seakan- akan amat ringan. Ketika berhadapan dengan Tiong Kiat yang memandang dengan sikap dingin dan Kui Hwa yang masih mengucurkan air mata, hwesio itu lalu menurunkan tubuh Can Kong yang masih pingsan itu di atas tanah. Kui Hwa hendak menubruk ayahnya, akan tetapi hwesio itu mengebutkan ujung lengan bajunya ke arah gadis itu sambil berkata,
"Jangan mengotori ayahmu dengan tanganmu yang bernoda"
Kui Hwa terkejut sekali karena ujung lengan baju itu mengeluarkan hawa pukulan yang amat kuat. Akan tetapi dengan lincahnya ia dapat mengelak dan memandang kepada hwesio itu dengan marah.
"Kepala gundul. Siapakah kau maka berani sekali kau berkata demikian kepadaku?" bentaknya. Hwesio itu tertawa bergelak.
Pedang Ular Merah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Pinceng Cin Kun Hosiang paling benci kepada orang orang jahat, akan tetapi lebih benci lagi kepada seorang anak durbaka. Kau adalah seorang anak perempuan yang mendurhaka terhadap orang tua, seorang anak gadis tak bermalu yang menodai nama keluarga! Percuma saja kau dilahirkan di atas dunia, lebih baik sekarang juga kau meninggalkan dunia agar nama baik ayahmu tidak sampai menjadi buah tutur orang"
"Keparat" bentak Kui Hwa.
"Aku pernah mendengar nama Cin Kun Hosiang sebagai tokoh Bu-tong-pai yang tersohor, akan tetapi ternyata kau hanya seorang kepala gundul yang berpura-pura alim dan orang yang lancang yang suka mencampuri urusan rumah tangga orang lain. Kau kira aku takut kepadamu?" Kui Hwa menjadi marah sekali oleh karena ucapan itu didengar oleh orang-orang yang kini mulai berkumpul menonton mereka. Ia merasa dihina dan dibikin malu sekali, maka setelah mencabut pedangnya ia lalu menyerang hwesio gemuk itu.
Cin Kun Hosiang ketika melihat datangnya serangan yang cukup hebat mi, diam-diam menjadi terkejut. Ia maklum akan kehebatan ilmu pedang Kim-liong-pai akan tetapi ia pernah melihat Can Kong bermain silat dengan pedang dan karena tingkat Can Kong masih rendah, maka hwesio ini merasa sanggup untuk menghadapinya, Kini melihat gerakan Kui Hwa, selain terkejut iapun merasa heran bagaimana gadis ini memiliki ilmu pedang yang jauh lebih hebat dari pada ilmu pedang ayahnya! Akan tetapi ia tidak tempat banyak berpikir dan cepat pula ia mencabut senjatanya, yakni sebatang tongkat pendek yang tadinya terselip di pinggangnya.
Pertempuran hebat terjadi di pantai telaga itu antara Cin Kun Hosiang dan Kui Hwa. Kalau dibandingkan antara kedua orang yang sedang bertempur ini, maka kepandaian mereka boleh dibilang berimbang kuatnya. Hwesio gemuk itu lebih menang dalam hal tenaga lweekang dan pengalaman, akan tetapi Kui Hwa menang jauh dalam kecepatan dan kehebatan gerakan pedangnya. Pedangnya melupakan seekor burung elang yang menyerang dan menyambar-nyambar dan semua penjuru, sedangkan tongkat di tangan Cin Kun Hosiang merupakan seekor induk ayam yang melindungi anak anaknya dari serangan elang itu. Gerakannya tidak cepat dan amat tenang, akan tetapi sekali digerakkan, cukup untuk membikiu pedang Kui Hwa terpental kembali.
Betapapun juga, karena kalah lihai ilmu silatnya, hwesio gendut itu terdesak hebat oleh Kui Hwa, sungguhpun takkan mudah bagi Kui Hwa untuk merobohkan lawannya. Diam-diam Cin Kun Hosiang merasa kaget sekali. Jarang sekali hwesio ini bertemu dengan lawan yang sedemikian tangguhnya. Banyak sudah ia mengalami pertempuran menghadapi penjahat-penjahat oan perampok-perampok, akan tetapi selalu ia memperoleh kemenangan. Jarang ada orang yang sanggup menghadapi tongkatnya yang digerakkan dengan tenaga lweekangnya yang sudah tinggi. Akan tetapi siapa kira bahwa kini menghadapi puteri Can Kong seorang dara jelita yang masih muda sekali, ia sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk membalas serangan gadis ini.
Cin Kun Hosiang menjadi kekhi (gemas) juga. Pada saat pedang Kui Hwa menyambar dari atas, ia cepat menangkis dengan tongkatnya, dan membarengi dengan serangan pukulan tangan kirinya ke arah dada gadis itu! Inilah serangan dari ilmu pukulan Lwee-khi-ciang- hoat yang luar biasa hebatnya, karena pukulan ini dilakukan dengan pengerahan tenaga khi-kang. pukulan ini tidak perlu mengenai tubuh, hawa pukulannya saja cukup mengalahkan lawan. Yang paling hebat adalah pukulan ini takkan terasa oleh lawan dan tidak melukai tubuh luar, namun menyerang dan melukai tubuh bagian dalam.
Untung bagi Kui Hwa selama itu, Tiong Kiat memandang pertempuran dengan penuh perhatian. Ketika ia melihat betapa Kui Hwa dapat mendesak lawannya dan meyakinkan bahwa kekasihnya itu pasti akan dapat mengalahkan Cin Kun Hosiang, ia merasa lega dan tidak mau turun tangan membantu. Akan tetapi ketika melihat gerakan pukulan hwesio itu, ia menjadi terkejut sekali."Awas pukulan Lwee-khi!" teriaknya memperingatkan Kui Hwa dan berbareng ia mengirim pukulan dengan tenaga khikangnya ke arah hwesio itu. Cin Kun Hosiang terkejut ketika merasa angin pukulan yang luar biasa kuatnya menyambar dari samping.
Ia terpaksa menarik kembali pukulannya itu dan mencoba menjejak, akan tetapi Kui Hwa yang merasa marah sekali kepada lawannya, tidak memberi hati dan ketika pedangnya meluncur ke depan biarpun Cin Kun Hosiang mencoba untuk mengelak, tetap saja ujung pedang itu menancap ke pundaknya sebelah kanan. Ketika Kui Hwa mencabut pedangnya, Cin Kun Hoaiang terhuyung ke belakang, kemudian roboh mandi darah dalam keadaan pingsan.
Tiong Kiat memegang tangan kekasihnya, menariknya sambil berkata,
"Hayo kita pergi, moi moi" Kui Hwa beberapa kali menengok ke arah ayahnya, akan tetapi ia hanya terisak sedih dan mengikuti kekasihnya yang berlari cepat.
Setelah jauh dari tempat itu, Kui Hwa berhenti berlari, menjatuhkan diri di atas rumput dan menangis tersedu-sedu. Tiong Kiat menghampirinya, lalu memeluknya.
"Koko mengapa kau melukai ayah? Bagaimana kalau kalau ia mati? Ah, kau yang membunuhnya"
Tiong Kiat mnmegang kedua pundak Kui Hwa dan memaksa gadis itu memandangnya.
"Kui Hwa, pikirlah baik-baik. Dalam keadaan seperti itu, kau hanya tinggal memilih, ayahmu atau aku! Dia telah menyerangku mati- matian, dan kaupun tahu bahwa tadinya aku selalu mengalah. Akan tetapi, kalau aku terus mengalah, bukan dia yang roboh pasti aku yang roboh, pasti akulah yang telah dirobohkannya. Kalau aku yang terluka, apakah ayahmu akan mau melepaskan aku begitu saja tanpa membunuhku lebih dulu?"
Mendengar ucapan ini, Kui Hwa menundukkan mukanya sambil terisak-isak menahan kepedihan.
"Aku aku menyesal sekali, koko....... Bagaimanakah nasioku menjadi begini? Aku bermusuh dengan ayah sendiri......."
Tiong Kiat menghiburnya, menggunakan tangannya untuk menghapus air mata kekasihnya yang mengalir turun di sepanjang pipinya, lalu mendekap kepalanya.
"Jangan takut, moi-moi. Bukankah ada aku yang akan selalu melindungimu? Tidak apalah kalau ayahmu membencimu, bukankah sudah ada aku seorang yang akan mencinta dan membelamu selama hidupku?"
Terhibur juga hati Kui Hwa mendengar ucapan yang penuh cinta kasih ini.
"Koko, betul-betulkah kau akan tetap mencintaiku selama hidupmu? Tidak akan tertarik oleh gadis lain yang lebih cantik dari pada aku?" bisiknya manja.
"Aku bersumpah, moi-moi. Bukankah sudah berkali-kali aku menyatakan bahwa aku mencintamu dengan segenap nyawaku?" kata Tiong Kiat kepada Kui Hwa yang merem melek terayun oleh bujuk rayu yang dikeluarkan dengan suara halus dan yang cukup kuat untuk merobohkan hati seoiang gadis ini. Demikianlah amat berbahaya kalau seorang gadis hanya membuka telinga untuk mendengarkan bujuk rayu seorang pemuda, tanpa membuka kewaspadaan hatinya dan kewaspadaan matanya untuk dapat melihat apakah yang tersembunyi di balik senyum manis, dan apa yang terdengar di balik cumbu rayu itu. Sekali ia telah terjebak dan masuk perangkap sukarlah baginya untuk keluar kembali.
"Koko, sekali lagi aku mohon kepadamu, janganlah kau melupakan aku, jangan meninggalkan aku, dan jangan pula kau bermain gila dengar wanita lain. Aku takkan kuat menahannya dan aku lebih baik mati dari pada harus berpisah dengan kau, dari pada harus melihat engkau berkasih-kasihan dengan wanita lain. Akan kubunuh wanita itu!"
"Jangan khawatir, kekasihku, tidak ada wanita yang lebih cantik, lebih manis dan lebih setia dari padamu!"
Terhiburlah hati Kui Hwa dan anak ini telah melupakan lagi ayahnya yang ditinggalkan dalam keadaan terluka parah. Tidak teringat lagi ia apakah ayahnya akan mati akibat tendangan kekasihnya itu, ataukah masih hidupi Bahkan Kui Hwa tidak perduli lagi akan nama Cin Kun Hoaiang yang sudah ia lukai. Pada hal kalau pikirannya sadar, ia akan mengeluarkan keringat dingin kalau teringat betapa telah melukai seorang pendekar yang sudah tersohor namanya, seorang gagah yang dicintai oleh orang-orang kang-ouw, yang mempunyai banyak sekali kawan-kawan yang tentu saja takkan tinggal diam. Mereka lalu melanjutkan perjalanan, merantau tanpa arah tujuan tetap. Di mana saja mereka mendengar ada tempat yang bagus dan menyenangkan, mereka lalu mendatangi tempat itu. Keadaan mereka tiada ubahnya seperti sepasang pengantin baru yang melakukan perjalanan berbulan madu.
Akan tetapi, tepat sebagaimana yang di ajarkan oleh para cerdik pandai dan para bijaksana di jaman dahulu, bahwa segala sesuatu mengenai tindakan dalam hidup, harus dilakukan dengan hati suci, bersih dari pada Lima Sifat yang dipergunakan sebagai garis dan batas hidup. Lima Sifat itu adalah Jin, Gie, Lee, Ti, Sin. Demikianlah dengan hubungan antara Tiong Kiat dan Kui Hwa. Kedua orang muda ini melakukan hubungan hanya karena dorongan nafsu semata, nafsu yang membikin buta mata batin mereka, yang melumpuhkan keteguhan iman mereka. Dan semua penyelewengan ini terjadi karena tidak adanya Lee, karena tidak adanya peraturan. Mereka telah melanggar Lee, melanggar peraturan yang diajarkan oleh para bijaksana. Hubungan mereka setelah dewasa melampaui kesopanan dan sama sekali melanggar peraturan kesopanan dan kesusilaan.
Akibatnya mereka terkena bujukan iblis, dan kemudian mereka bahkan meninggalkan suhu dan orang tua, minggat dan melakukan pelanggaran peraturan yang kedua. Ketiga kalinya mereka hidup seperti suami isteri di luar pernikahan yang sah, dan hal ini lebih-lebih melakukan pelanggaran peraturan yang amat buruk. Semenjak jaman dahulu, orang orang di negeri Tiongkok selalu berpegang teguh kepada peraturan, terutama sekali dalam hal hubungan antara laki-laki dan wanita, dan bagaimana bukti kebaikannya? Bagi seorang rakyat Tiongkok, pernikahannya hanya terjadi satu kali selama mereka hidup. Jarang sekali, hampir tidak ada, terjadi perceraian-perceraian, dan suami isteri hidup rukun sampai di hari tua.
Setelah melakukan perjalanan beberapa bulan saja, mulai lunturlah "cinta kasih" yang didengungkan oleh mulut Tiong Kiat terhadap Kui Hwa. Biarpun kini pemuda itu sama sekali tidak menyatakan kelunturan cinta kasihnya dalam kata kata, namun pandangan mata dan sikapnya membuat Kui Hwa amat gelisah. Gadis ini benar-benar mencinta Tiong Kiat, bahkan telah membuktikan cintanya itu dengan memberatkan pemuda itu dari pada ayahnya. Berkali-kali mulai timbul percecokan dan perbantahan diantara mereka karena soal kecil saja dan hati Kui Hwa makin lama makin gelisah dan sedih. Ia membujuk-bujuk kekasihnya itu untuk menghentikan perantauan mereka dan tinggal di dalam sebuah kota, mencari rumah dan hidup berumah tangga sebagaimana yang diidam-idamkan oleh semua gadis di dunia ini. Akan tetapi Tiong Kiat selalu menyatakan tidak setuju.
"Aku tidak betah tinggal di rumah. Kalau kau merasa lelah ikut aku merantau, marilah kita mencari rumah dan kau beristirahat di situ. biar aku melanjutkan perantauan seorang diri."
Semenjak mendapat jawaban ini, Kui Hwa tidak berani lagi bicara tentang menghentikan perantauan mereka. Ia juga tidak membantah ketika melihat Tiong Kiat mendatangi rumah gedung orang-orang hartawan untuk mencuri emas dan perak guna dipakai membiayai perjalanan mereka. Beberapa bulan kemudian, mereka tiba di sebuah dusun di luar kota Heng-yang. Baru saja mereka berjalan mematuki pagar dusun, tiba-tiba terdengar jeritan-jeritan dan mereka melihat dua orang wanita sedang berlari ketakutan, dikejar oleh seorang laki-laki tua yang membawa golok yang diangkatnya tinggi-tinggi. Dua orang wanita itu adalah orang-orang dusun, akan tetapi yang seorang biarpun berpakaian sederhana seperti pakaian orang dusun, ternyata masih muda dan amat cantiknya. Adapun wanita kedua sudah setengah tua, berlari sambil menggandeng dan menarik lengan gadis cantik manis itu.
Melihat bahaya maut mengancam kedua orang wanita itu, Tiong Kiat dan Kui Hwa segera turun tangan. Kui Hwa melompat ke dekat kedua orang wanita itu untuk melindungi mereka, adapun Tiong Kiat cepat menyerbu laki-laki bergolok itu. Akan tetapi, alangkah herannya ketika sekali saja mengulur tangan, golok itu dengan mudah telah dapat dirampasnya.
Ternyata laki laki itu seorang dusun yang lemah dan sama sekali tidak pantas menjadi orang jahat yang mengganggu dan mengancam wanita! la menyangka bahwa mungkin orang ini berotak miring, maka bentaknya,"Orang gila darimana berlaku kurang ajar kepada orang perempuan?"
Akan tetapi orang laki-laki yang usianya sudah empat puluh tahun lebih itu, menjadi marah dan menegur Tiong Kiat dengan mata merah,
"Orang muda, kau perduli apakah dengan urusan rumah tangga orang lain? Mereka adalah istri dan anakku, aku hendak membunuh mereka kemudian membunuh diri sendiri, ada hubungan apakah dengan engkau?"
Tiong Kiat tersenyum jenaka.
"Kakek lucu, kau ingin mati mengapa mengajak orang lain? Bila kau memaksa anak istri untuk ikut sertamu mati, sungguh pengecut!"
Kakek itu makin marah,"mengapa kau bilang aku pengecut!"
"Itu karena kau takut hidup, takut menghadapi kesukaran, maka kuanggap kau pengecut! Sudah terang bahwa anak istrimu tidak sudi mati, akan tetapi kau hendak memaksa mereka. Dengan perbuatan ini, kembali kau pengecut, jadi dua kali pengecut!" Mendengar ucapan ini, tiba-tiba wajah yang tadinya marah itu menjadi muram dan laki-laki itu menjatuhkan diri duduk di atas tanah dan menangis! Kedua orang wanita yang dikejar-kejar tadi lalu berlari menghampiri dan bertangis-tangisanlah ketiga orang itu! Tentu saja Tiong Kiat dan Kui Hwa hanya bisa saling pandang dengan heran dan geli hatinya.
"Eh, ah, bagaimana pula ini?" Kui Hwa kini maju bertanya.
"Seperti anak keciI saja kalian ini. Tadi berkejar-kejaran sekarang bertangis-tangisan! Kesusahan apakah yang mengganggu kalian? Beritahukan kepada kami, pasti kami akan dapat membantu kalian."
Ketiga orang itu mengangkat muka memandang kepada dua orang muda itu dan setelah kini melihat dari dekat, diam diam Tiong Kiat mengerling kagum ke arah gadis dusun yang benar benar cantik sekali itu! Karena menangis sepasang pipi gadis itu menjadi kemerah-merahan dan bibirnya demikian menarik dan indah sehingga diam-diam Tiong Kiat menelan ludah!
"Kami adalah orang orang yang tertimpa kemalangan hebat," kata kakek itu.
"Loan Li puteri kami yang hanya seorang ini telah terlihat oleh Hek pa cu (Macan Tutul Hitam) dan telah dipinang! Kami tidak melihat jalan keluar, maka kupikir lebih baik kami binasa daripada anak kami menjadi korban Hek pa cu!
"Hm, siapakah Hek pa cu itu? Orang macam apakah dia?" tanya Tiong Kiat sambil memandang gadis yang bernama Loan Li itu.
Kini kakek itu yang memandang heran.
"jiwi tentu datang dari tempat jauh maka belum pernah mendengar nama Hek pa cu Tong Sun! Dia telah dikenal baik olen seluruh penduduk di sekitar daerah Heng-yang. Dialah pemimpin dari gerombolan Sorban Merah yang terkenal!"
"Kalau begitu mengapa pula kau menolak pinangannya? Bukankah ia seorang ternama seperti katamu tadi? Terima saja pinangannya, habis perkara!" kata Kui Hwa.
"Tidak ...... tidak sudi....... lebih baik mati!" gadis cantik berkata dan wajahnya berobah pucat, sambiI menggoyang-goyangkan kedua tangan ia menyatakan tidak setuju.
"Nah, itulah yang menggelisahkan hatiku. Anakku tidak mau menjadi bini muda Hek pa cu dan penolakan ini berarti kematian yang mengerikan bagi kami bertiga. Dari pada mati disiksa oleh kaki tangan Hek pacu lebih baik aku sendiri yang menjadi algojo atas nyawa kami bertiga."
"Hm, orang macam apakah Hek pa cu ini sehingga ia demikian berkuasa?" kata Tiong Kiat.
"Empek, jangan kau takut, kebetulan sekali aku adalah seorang ahli menangkap se-....
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
(ketikan tidak bisa terbaca karena terlalu gelap)
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
"Kami keluarga Gu, namaku Gu Seng, bertempat tinggal di dusun ini. Banyak terima kasih karena taihiap dan lihiap sudi menolong kami. Akan tetapi, Hek.pa cu adalah seorang yang kejam dan tangguh sekali, adapun kaki tangannya amat banyak jumlahnya. Bagaimanakah jiwi dapat menghadapinya?"
"Tak usah kuatir lopek " kata Kui Hwa,
"biarpun seandainya terdapat seratus orang Hek pa-cu kami berdua sanggup untuk mencabuti kumis dan ekor mereka!"
Dengan girang tiga orang itu berlutut menghaturkan terima kasih, kemudian mereka lalu kembali ke rumah mereka dan menanti dengan hati berdebar-debar.
"Hwa moi, agaknya Hek-pa-cu ini amat jahat dan berpengaruh. Lebih baik kita mendatangi sarangnya dan membasminya sama sekali agar daerah ini terhindar dari pada kejahatannya. Biarlah gadis itu dibawa ke sarang mereka dan diam-diam kita mengikutinya, Setelah tiba di sarang mereka, barulah kita turun tangan, menolong gadis itu dan sekalian menghancurkan sarang mereka. Bagaimana pendapatmu?"