Pedang Ular Merah 6
Pedang Ular Merah Karya Kho Ping Hoo Bagian 6
Ketika rombongan piauwsu itu tiba Lai Siong Te menyambut dengan gembira karena mendengar bahwa rombongan itu tidak menemui kesulitan sesuatu di dalam perjalanan. Sebagai seorang ketua yang pandai, ia lalu memerintahkan para pelayan untuk menyediakan minuman dan hidangan sebagai hiburan kepada para pegawainya.
Pada saat-saat orang-orang itu sedang makan minum tiba tiba datang seorang piauwsu yang menghadap Lai Siong Te dengan muka pucat dan memberi laporan,
"Celaka, Lai piauwsu, di perempatan sebelah selatan itu ada seorang laki-laki dan seorang wanita yang memaki-maki dan menantang semua piauwsu dari Gin-houw piauwkiok!"
Mendengar ucapan ini, marahlah para piauwsu muda yang berada di situ. Tanpa menanti jawaban kepala piauwsu itu, dua orang piauwsu muda telah lari sambil mencabut pedang mereka! Benar saja di tengah jalan perempatan, tak jauh dari rumah piauwkiok itu, tampak seorang laki-laki tinggi kurus dengan seorang wanita muda yang cantik sekali berdiri sambil memaki-maki.
"Manakah tikus-tikus dari Gin-houw piauwkiok? Biar mereka maju ke sini hendak kuhitung berapa helai kumisnya!"
Seorang di antara piauwsu muda ini adalah seorang muda yang tadi telah tertarik oleh kecentilan Kim Bwe dan telah bertukar pandang dan senyum dengan nyonya muda itu, maka ia lalu main ke depan bersama kawannya dan membentak.
"Manusia kurang ajar dari manakah yang berani datang menghina nama piauwkiok kami? Siapakah namamu dan mengapa kau datang-datang ngaco belo seperti orang gila?"
Melihat piauwsu muda yang tadi telah berani bermain mata dengan Kim Bwe, Ban Hwa Yong marah sekali.
"Ha. ha, ha, begini sajakah macamnya tikus-tikus dari Gin houw-piauwkiok? Tidak tahunya hanya tikus selokan yang kotor, pemakan kecoa dan kotoran!"
Bukan main marahnya kedua orang piauwsu muda itu mendengar hinaan ini. Biarpun yang ditanya belum memberitahukan namanya namun kekurangajarannya membuat keduanya tak sabar lagi. Serentak mereka maju menyerang dengan pedang di tangan. Akan tetapi, dengan bertangan kosong Ban Hwa Yong maju menyambut serangan mereka dan baru lima jurus saja, ia berhasil merampas pedang seorang di antaranya dan begitu pedang rampasan ini digerakkan, robohlah kedua orang piauwsu muda itu dengan luka pada lengan dan pundak!
Ban Hwa Yong tertawa bergelak dan hendak maju membunuh kedua orang ini. Akan tetapi pada saat itu terdengar bentakan keras,
"Penjahat kejam jangan main gila di sini!"
Ban Hwa Yong tidak memperdulikan bentakan ini, pedangnya terus hendak membacok leher kedua piauwsu muda yang telah dilukainya itu, akan tetapi tiba-tiba berkelebat sinar putih yang menyilaukan, menangkis pedangnya.
"Traang!" terdengar suara keras tahu-tahu pedang itu telah terbabat putus! Ban Hwa Yong terkejut dan marah sekali. Ia cepat memutar tubuhnya dan ternyata bahwa yang membabat putus pedangnya itu tadi adalah seorang tua yang bersikap tenang.
"Hm jadi inikah orang she Lai yang menjadi pemimpin dari Gin houw piauwkiok? Kau berani membikin putus pedang rampasan di tangan Ban Hwa Yorg bagus sekali!"
Sementara itu, Lai Siong Te biarpun berhasil membuat putus pedang tadi, namun ia merasa tangannya tergetar, maka ia tadi menjadi terkejut juga. Kini mendengar nama orang tinggi kurus yang berhidung bengkok ini, makin terkejutlah dia. Ia telah mendengar nama Thian te Sam- kui dan tahu bahwa tiga orang iblis itu amat lihai, maka sering kali ia memberi nasihat kepada anak buahnya agar supaya menjauhi tiga iblis itu, Tidak tahunya sekarang orang termuda dari pada tiga iblis itu datang sendiri mencari perkara! la cepat menjura dan berkata,
"Maaf, maaf, tidak tahunya kami berhadapan dengan Ban taihiap yang terkenal gagah perkasa! Setelah sekarang aku mengetahui dengan siapakah aku berhadapan aku harap sudilah kiranya taihiap memberi maaf kepada murid-muridku yang telah berlaku kurang ajar. SiIakan taihiap datang ke rumah kami yang buruk untuk menerima penghormatan kami dan beristirahat!"
Ucapan ini amat merendah dan sesungguhnya telah membuat hati Ban Hwa Yong menjadi dingin. Penjahat ini mempunyai hati yang suka sekali mendapat pujian orang. Melihat sikap merendah dari piauwsu tua itu, dia melihat betapa semua orang memandangnya dengan takut-takut dan penuh hormat, ia sudah menjadi bangga sekali sehingga ia tertawa terbahak-bahak.
"Bagus, bagus, Lai-piauwsu. Baiknya kau masih mengenal orang dan dapat membedakan mana ulat mana naga! Kalau tidak, aku khawatir Gin houw-piauwkiok akan tinggal namanya saja hari ini!"
Biarpun Lai Siong Te merasa mendongkol sekali mendengar kesombongan ini, namun ia menekan perasaan marahnya dan hanya tersenyum saja. Agaknya semua akan berjalan beres dan damai kalau saja Kim Bwe tidak bertindak. Nyonya muda ini merasa kecewa sekali. Ia sengaja hendak mengadu-dombakan kedua orang ini agar supaya Ban Hwa Yong dikalahkan dan ia dapat terlepas dari pada orang yang dibencinya itu.
Maka ketika ia melihat betapa Lai Siong Te memperlihatkan sikap lemah dan mengalah dan Ban Hwa Yong sudah reda marahnya, ia cepat melangkah maju, memungut pedang seorang piauwsu yan tadi dirobohkan oleh Ban Hwa Yong, kemudian berkata dengan nyaring,
"Lai-lo enghiong, lupakah kau kepadaku? Aku adalah isteri dari Ouw Teng Sin dari Pek eng-piauwkiok! Seluruh keluarga Pek-eng piauwkiok telah terbunuh mati oleh jahanam terkutuk ini, maka tolonglah kau membantuku membalas dendam kepada jahanam ini " Sambil berkata demikian Kim Bwe menggerakkan pedang itu menusuk dada Ban Hwa Yong!
Jai-hwa cat (penjahat cabul) ini terkejut, heran dan marah bukan main. Ia mengelak sambil melompat ke belakang dan tahu-tahu ia telah mencabut sepasang kaitannya, senjatanya yang amat diandalkan dan memang amat berbahaya itu. Lai Siong Te dan murid-muridnya ketika mendengar ucapan nyonya muda itu, terkejut sekali dan serentak mereka lalu maju sambil mengeluarkan senjata masing-masing.
Namun mereka kalah cepat oleh Ban Hwa Yong, karena dengan gerakan yang amat hebat, la mendesak maju dan tiba tiba terdengar pekik mengerikan dari mulut Kim Bwe ketika sepasang kaitan baja di tangan penjahat cabul itu telah mengenai tubuhnya. Kaitan di tangan kanan menancap dan mengait lehernya. sedangkan kaitan kiri menembus Iambungnya! Ketika Ban Hwa Yong menarik kembali senjatanya tubuh Kim Bwe terkulai dan roboh tak bernafas lagi.
"Ha. ha, ha, perempuan hina! Kau mencoba mengkhianati Ban Hwa Yong? Dasar kau mencari mampus!" Setelah berkata demikian, ia mengangkat kaitannya untuk menangkis pedang Lai Siong Te yang sudah maju menyerangnya dengan marah sekali.
"Ban Hwa Yong, kau benar-benar berhati kejam sekali! Hari ini aku Lai Siong Te pasti mengadu jiwa denganmu!"
"Tua bangka! Tak usah kau mengejek, aku memang sudah mengambil keputusan untuk menjadikan Gin houw-piauwkiok seperti Pek-eng piauwkiok yang sudah musnah! Bersiaplah kalian untuk mampus di tangan Ban Hwa Yong yang perkasa!" Kaitannya bergerak cepat dan masih baik bagi Lai Siong Te bahwa ia memegang sebuah pedang pusaka, karena kalau tidak, tentu ia takkan dapat bertahan lama menghadapi penjahat yang lihai itu.
Ketika melihat ketua dan guru mereka terdesak hebat oleh Ban Hwa Yong, para piauwsu yang lain serentak lalu maju mengeroyok sehingga sebentar saja Ban Hwa Yong setelah dikeroyok oleh tujuh orang piauwsu termasuk Lai Siong Te! Akan tetapi penjahat Itu tak merasa gentar, bahkan sambil tertawa-tawa ia menghadapi para pengeroyoknya dengan gagah sekali.
Dan pada saat itulah Sim Tiong Han pemuda tokoh Kim liong-pai itu datang dan akhirnya berhasil mengusir Ban Hwa Yong! Setelah mendengar penuturan tuan rumah, Tiong Han menarik napas panjang dan berkata agak menyesal,
"Sayang sekali aku tidak tahu akan hal ini sebelumnya, kalau aku tahu, pasti aku takkan membiarkan penjahat kejam itu melarikan diri! Akan tetapi biarlah akan kuingat dia dan kalau sampai aku dapat bertemu lagi dengan dia pasti akan kubereskan jahanam itu!"
Ketika Lai Siong Te mendengar bahwa pemuda yang bernama Sim Tiong Han ini adalah murid dari Kim liong pai, ia cepat-cepat menyatakan hormatnya dan berkata,
"Tidak heran bahwa ilmu silatmu sedemikian hebat, Sim-taihiap! Tidak tahunya kau adalah murid dari Kim-liong-pai! Hanya sayang sekali kau tidak membawa pedang Ang coa-kiam, pedang pusaka dari Kim Iiong pai itu. Kalau kau membawa pedang itu, tak usah kau memperkenalkan diri, pasti mataku yang tua akan mengenalmu, karena aku pernah melihat dan menyaksikan kelihaian pedang Ang coa. kiam ketika aku masih muda dulu."
Tiong Han menghela napas.
"Itulah sebabnya mengapa aku turun gunung. Lai piauwsu. Pedang pusaka kami telah lenyap dicuri orang! Maka tolonglah kau mendengar dan melihat kalau kalau ada orang yang membawa bawa pedang itu beri kabarlah kepadaku! Aku akan mencari ke utara."
"Tentu saja, taihiap, kami akan membantumu. Dan untuk sementara sebelum kau dapat menemukan kembali Ang coa.kiam kau pakailah pedangku Hui-liong-kiam ini! Aku persembahkan kepadamu dengan hati rela, karena kau lebih pantas menggunakan pedang ini taihiap."
Tiong Han memandang kepada pedang yang diletakkan di atas meja di depannya itu,
"Pedarg baik." katanya.
"Tidak mudah mendapatkan pedang pusaka seperti ini, Lai piauwsu. Mengapa kau memberikannya kepadaku? Sungguh aku merasa sukar untuk dapat menerimanya."
Lai Siong Te tertawa bergelak,
"Memang demikianlah sifat seorang gagah, dia tidak ingin memiIiki barang orang lain betapapun indah dan berharga barang itu! Aku hargai sikapmu ini taihiap. Akan tetapi, pedang ini kuberikan dengan rela hati. Dengan setulusnya aku memberikan pedang ini kepadamu, karena untuk apakah orang tua seperti aku memiliki pedang ini? Seperti seekor domba memakai tanduk kerbau saja! Dan pula, dengan memberikan pedang ini kepadamu berarti bahwa aku tidak melanggar janjiku kepada pemberi pedang ini!"
Tertarik hati Tiong Han mendengar ucapan ini.
"Siapakah pemilik pedang ini dan mengapa diberikan kepadamu, Lai piauwsu?"
Piauwsu itumenarik napas panjang.
"Seorang gagah, seorang wanita yang luar biasa."
Kemudian Lai Siong Te menuturkan kepada pemuda itu tentang riwayat pedang yang tajam dan keramat itu. Kurang lebih sepuluh tahun yang lalu, Lai Siong Te sudah menjadi seorang piauwsu di daerah Santung. Namanya sudah cukup terkenal sebagai seorang piauwsu yang jujur dan baik, yang menjaga barang kiriman dengan sungguh-sungguh, bahkan yang berani yang bertanggung jawab dan mempertaruhkan nyawanya untuk melindungi barang yang dipercayakan kepadanya untuk dikirim.
Pada waktu itu di sepanjang lembah sungai kuning. Sebelah selatan kota Cin-an, terkenal sebagai tempat yang amat berbahaya dan jarang sekali ada yang berani melalui jalan ini. Telah beberapa lamanya tempat itu menjadi daerah yang ditakuti karena munculnya seorang perampok tunggal yang berjuluk Sin-kiam-koai-jin (Manusia Aneh Berpedang Sakti). Bahkan Lai piauwsu sendiri tidak berani melalui tempat ini dan selalu mengantarkan barang-barang berharga dengan jalan memutar. Telah banyak sekali orang-orang gagah mencoba untuk mengusir perampok ini, akan tetapi akibatnya mereka itu roboh seorang demi seorang di tangan Sin-kiam-koai-jin yang kosen.
Pada suatu hari seorang bangsawan tinggi memanggil Lai piauwsu dan ketika piauwsu ini datang menghadap bangsawan itu berkata kepadanya,
"Lai piauwsu, aku mempunyai sebuah benda yang harus diantarkan ke kuil Thian hok-si di dusun Tiang sen an di kaki Gunung Fu-niu. Akan tetapi, benda itu harus sudah sampai di kuil itu dalam waktu lima belas hari. Sanggupkah kau mengantarkan benda itu ke tempat tersebut dalam waktu kurang dari lima belas hari? Kalau kau berhasil membawa benda itu sampai di tempatnya dengan selamat dan tidak terlambat, berapa saja biayanya akan kubayar, bahkan akan kuberi hadiah besar kepadamu. Akan tetapi awas, kalau benda itu sampai hilang kau akan ditangkap dan dihadapkan ke depan pengadilan, karena benda itu amat berharga!"
Lai Siong Te terkejut mendengar bahwa ia diharuskan membawa benda ke tempat itu dalam waktu sedemikian cepatnya, akan tetapi sebagai seorang yang telah banyak makan asam garam dunia ia dapat menetapkan perasaannya dan bertanya,
"Benda berharga apakah yang hendak taijin kirim?"
"Jadi kau sanggup!" Pembesar ini berkata,
"Lai piauwsu, hal ini bukan perkara kecil dan ketahuilah bahwa hanya kepada kau seorang aku menaruh harapanku, kalau kau tidak sanggup, terpaksa aku harus melarang kau membuka piauwkiok di kota ini, karena apakah artinya bagi kotaku mempunyai seorang piauwsu yang tidak sanggup membawa benda itu ke tempat yang sudah ditentukan? Ketahuilah bahwa benda itu adalah sebuah patung Buddha yang amat berharga dan suci dan harus segera diantar ke kuil tersebut, karena lima belas hari lagi kuil itu selesai dibangun dan hendak dibuka. Patung itu perlu sekali berada di sana sebagai pengesahan pembukaan kuil itu, dan aku telah berhutang budi kepada kuil itu sebelum diperbaiki. Ketika anakku sakit, aku berkaul di kuil itu bahwa aku akan memperbaikinya dan menaruhkan sebuah patung Buddha dari kota raja apabila anakku sembuh. Sekarang anakku sembuh, maka aku harus membayar kaul itu. Nah, sekarang kau tahu persoalannya dan Sanggupkah kau?"
Lai siong Te berpikir-pikir. Untuk menuju ke dusun di kaki Gunung Fo-niu, la harus melewati lembah Sungai Kuning di mana terdapat perampok tunggal yang ditakuti orang itu. Akan tetapi ia hanya membawa sebuah patung Buddha, tentu benda itu takkan menarik perhatian seorang perampok. Untuk apakah patung bagi seorang perampok? Dan pula mungkin sekali perampok yang bernama Sin kiam- koai jin itu tentu takkan mau mengganggu benda suci seperti patung itu. Untuk mengambil jalan memutar, tidak mungkin sama sekali karena tentu akan terlewat waktu yang lima belas hari itu.
"Baiklah, taijin. Hamba sanggup melakukan perintah ini, bukan karena hamba takut diusir dari kota ini, akan tetapi mengingat bahwa tugas yang baik dan suci, maka hamba memberanikan diri untuk melakukannya.
Demikianlah, agar jangan menarik perhatian Lai Siong Te membawa patung itu dan berangkat seorang diri menuju ke barat. Patung itu kecil saja, tingginya hanya satu setengah kaki, terbuat dari pada perak bakar yang amat halus ukirannya. Dihitung dari harga bahannya, tidak amat berharga, entah kalau dipandang dari sudut seninya. Lai piauwsu membungkus patung dalam sebuah kain tebal warna kuning dan digendongnya patung itu pada pundaknya.
Untuk mempercepat waktu, ia melakukan perjalanan naik kuda dan sengaja memilih kuda yang baik dan kuat. Ia membalapkan kudanya dan mengaso untuk makan atau tidur saja dan juga kadang-kadang untuk memberi kesempatan kepada kudanya makan rumput dan beristirahat sejenak.
Jalan yang dilaluinya amat sunyi, karena sebagaimana telah dituturkan di depan, tidak ada orang yang berani melewati jalan yang menjadi daerah operasi perampok tunggal Sin kiam-koai- jin itu! Akan tetapi piauwsu itu merasa girang dan juga heran sekali karena sampai beberapa hari kemudian, ia tidak melihat tanda-tanda adanya gangguan dari Sin-kiam koai-jin. Ia mempercepat larinya kuda dan sebelas hari kemudian ia telah tiba di hutan terakhir, sudah dekat dengan dusun Tiang.seng an di kaki gunung Fu niu! Biarpun hari telah mulai senja Lai piauwsu tidak menghentikan kudanya yang sudah lelah. Hatinya berdebar girang dan ia ingin sekali lekas lekas keluar dari hutan itu.
Kalau saja la bisa sampai di dusun yang ditujunya pada sore hari itu. Alangkah mujurnya! Akan tetapi, tiba-tiba kudanya berjingkrak aneh dan ketika ia memandang, la melihat di depan kudanya berdiri seorang yang kurus dan tinggi, berpakaian sutera hitam dan mukanya ditutup pula dengan sutera hitam sampai di bawah matanya! Benar-benar merupakan iblis yang mengerikan!
Lai Siong Te menjadi pucat dan cepat ia melompat turun dari kudanya yang berjingkrak ketakutan itu. Ia lalu mengangkat tangan memberi hormat kepada orang berpakaian hitam dan berkedok hitam pula itu.
"Mohon maaf apabila siauwte mengganggu sahabat! katanya dengan sikap merendah sekali, dan sungguhpun ia dapat menduga bahwa iblis inilah tentunya yang disebut sin-kiam koai jin akan tetapi ia berpura-pura tidak tahu.
"Siauwte takut kemalaman dan hendak melanjutkan perjalanan ke dusun Tiang seng-an di luar hutan."
Tiba tiba orang berkedok itu tertawa bergelak dan suara ketawanya terdengar aneh, parau dan tinggi. Kemudian orang itu bicara dengan hidung dipencet!
"Ha. ha, ha.! Lai Siong Te, kaukira aku tidak tahu siapa kau dan apa perlumu lewat di tempat ini? Lekas kautinggalkan bungkusan patung itu, atau kautinggalkan kepalamu Boleh kau pilih!" Sambil berkata demikian, orang itu mencabut pedangnya dan silaulah mata Lai Siong Te melihat pedang yang bercahaya terang. Tak salah lagi, pikirnya dengan hati berdebar-debar, inilah dia Sin-kiam koai jin!
"Maaf" katanya,
"sungguh tajam pandangan matamu. Akan tetapi sesungguhnya siauwte tidak tahu siapakah sebenarnya orang gagah yang berdiri di hadapanku?"
Orang itu menyabet-nyabetkan pedangnya sehingga terdengar suara suitan nyaring sekali.
"Kau lihat pedang ini? Nah, terkalah siapa aku!"
"Apakah kau yang disebut Sin-kiam koai jin?"
Orang itu tertawa kembali,
"Dan kau berani lewat di sini tidak takut kepada Sin kiam koai jin? Sungguh besar nyalimu, orang she Lai!"
"Harap saja koai-hiap jangan mengganggu siauwte,"Lai piauwsu mencoba membela diri.
"Yang siauwte bawa hanyalah sebuah patung yang harus di pasang di kuil Thian-hok-si. Karena patung suci ini siauwte bawa dengan melakukan tugas yang mulia, maka siauwte tidak mengambil jalan memutar, harap saja koai hiap sudi memaafkan."
"Orang cerewet! Tak usah banyak membuka mulut, lekas kautinggalkan patung itu dan pergi dari sini " Kembali Sin-kiam-koai-jin menggerakkan pedangnya. Melihat gerakan pedang yang cepat dan berkilat itu tahulah Lai piauwsu bahwa ia bukanlah lawan orang yang tinggi ilmu silatnya itu. Akan tetapi, tentu saja ia tidak mau mengalah dan memberikan patung itu kepada Sin-kiam koai-jin.
Bagi seorang yang menghendaki kemajuan dalam pekerjaannya, syarat terutama baginya ialah menaruh rasa cinta dan hati setia kepada pekerjaan yang dipegang atau dllakukannya.Terutama bagi seorang seperti Lai Siong Te yang bekerja menjadi piauwsu.
Pekerjaannya sebagai pelindung barang barang yang diantar atau dikawalnya membuat ia harus sanggup melindungi barang barang itu dengan keras kalau perlu mempertaruhkan nyawanya. Oleh karena inilah maka ia menjadi seorang piauwsu yang ternama dan dipercaya oleh mereka yang mengirimkan barang-barang berharga. Gin-houw Piauwkiok (Perusahaan ekspedisi macan perak) amat disegani dan mendapat kepercayaan penuh oleh karena semua orang tahu bahwa bagi Lai Piauwsu, barang barang yang dilindunginya baru dapat terampas darinya apabila kepalanya telah terlepas dari tubuhnya atau nyawanya telah meninggalkan tubuhnya!
Kini dalam tugasnya mengantarkan sebuah patung Buddha ke kuil Thian-hok si, ia telah diganggu oleh Sin kiam-koai jin yang minta patung itu dengan paksa, tentu saja ia tidak mau menyerah begitu saja dan ketika penjahat berkedok itu menyerangnya ia cepat mengelak dan mencabut goloknya yang telah lama menjaga nama perusahaan ekspedisinya.
Akan tetapi ilmu pedang yang dimainkan oleh Sin-kiam koai jin itu luar biasa cepatnya dan karena pedang di tangan penjahat itupun pedang pusaka yang luar biasa, sebentar saja Lai piauwsu terdesak hebat. Piauwsu ini maklum akan ketajaman pedang lawan, maka seberapa bisa ia menghindarkan goloknya beradu dengan pedang lawan. la telah memiliki pengalaman dalam pertempuran-pertempuran besar dan dengan mengandalkan ketenangan dan kegagahan tangannya, untuk beberapa lama ia masih dapat mempertahankan diri. Akan tetapi, piauwsu ini maklum pula bahwa pertahanan ini takkan berlangsung lama. Pedang di tangan Sin-kiam koai jin sangat cepat gerakannya dan merupakan gulungan sinar pedang yang mengelilingi tubuhnya dan menjepitnya sehingga tiada jalan keluar lagi baginya.
"Sin kiam-koai hiap, kalau kau berkeras hendak menggangguku biarlah aku mengorbankan nyawaku sebagai seorang piauwsu sejati!" Lai piauwsu dengan gemas sekali dan memutar goloknya dengan sekuat tenaga dan gerakannya biarpun tidak cepat namun mengandung tenaga yang lemas dan kuat. inilah ilmu golok Lo-han to yang merupakan ilmu golok mempertahankan diri yang kuat sekali.
"Lai Siong Te manusia goblok! Kau hendak menukarkan nyawamu dengan patung? Ha ha ha, mampuslah!" Sambil berkata demikian, penjahat berkedok itu cepat menyerang dengan sebuah tusukan kilat ke arah leher Lai piauwsu, Lai Siong Te mengelak ke kiri, akan tetapi dengan gerakan cepat sekali Sin-kiam koai jin telah menyusulkan dua serangan, yakni tangan kanan yang memegang pedang menyabet ke arah leher sedangkan tangan kiri didorongkan ke depan.
Lai Siong Te menjadi terkejut sekali. Dorongan tangan kiri itu mengeluarkan angin yang memukul di bagian dalam dadanya maka cepat ia melempar diri ke kanan dan terpaksa menyabetkan goloknya untuk menangkis bacokan lawan pada lehernya.
"Traang!" Sekali saja beradu, golok di tangan Lai Siong Te telah putus menjadi dua!
"Ha, ha, ha! Lai Siong Te, kau masih tidak mau memberikan patung itu!"
"Kau boleh membunuhku, akan tetapi jangan harap akan dapat merampas patung ini!"jawab piauwsu yang gagah itu.
"Orang gila! Kalau begitu mampuslah!" Pedang yang berkilat itu menyambar, Lai Siong Te tak dapat mengelak lagi, maka piauwsu ini dengan mata dipentang lebar-lebar menanti datangnya maut. Akan tetapi, tiba-tiba nampak bayangan hitam yang panjang bagaikan seekor naga menyambar dan menangkis pedang itu. Terdengar suara keras sekali dan bunga api berpijar. Sin kiam koai jin berseru kaget dan melompat mundur. Tangkisan tadi membuat pedangnya terpental ke belakang! Lai Siong Te menengok. Ia melihat seorang wanita tua sekali berdiri dengan tongkat panjang di tangan. Tongkat dari kayu biasa yang agak kemerahan warnanya, bengkak bengkok dengan kepala berbentuk seperti naga.
Nenek tua ini rambutnya sudah putih seluruhnya, pakaiannya seperti pakaian pertapa, berwarna putih dengan garis leher hitam. Biarpun ia sudah nampak tua, dengan rambut putih dan keriput di mukanya, namun mukanya masih kemerah-merahan dan terutama sekali sepasang matanya tajam bukan main mengeluarkan pengaruh yang menakutkan.
"Siluman wanita dari manakah berani berlaku kurang ajar terhadap Sin-kiam-koai-hiap?" bentak penjahat berkedok itu dan matanya di balik kedok sutera hitam itu bersinar-sinar merah.
"Bocah she Ang, kali ini benar benar kau tersesat jauh. Bukankah suhumu sudah memberi peringatan terakhir? Pergilah dan minta ampun kepada suhumu karena kalau kau melanjutkan kesesatanmu, aku Li Bi Hong tidak akan ragu-ragu untuk mewakili gurumu melenyapkan kau dari permukaan bumi!" kata nenek tua itu dengan suara berpengaruh. Lai Siong Te melihat betapa penjahat itu menjadi terkejut dan suaranya berobah ketika tahu siapa nenek itu terdengar suara,
"Jadi kau orang tua yang disebut Pat jiu Toanio Li Bi Hong? Suhu seringkali menyebut-nyebut namamu sebagai seorang tua yang sangat bijaksana dan pendekar besar, akan tetapi,mengapa sekarang kau hanya merupakan seorang nenek tua yang jail dan suka menyampuri urusan orang lain! Pat jiu Toanio Li Bi Hong, apakah kaukira aku Ang Koan takut kepadamu? Aku mengingini patung yang dibawa oleh Lai Siong Te, apakah hubungannya hal ini dengan kau orang tua!"
Li Bi Hong tersenyum mengejek dan heranlah hati Lai piauwsu ketika melihat betapa nenek itu masih mempunyai gigi penuh dan kuat! "Ang Koan," kata nenek itu,
"suhumu sendiri, Lui-kong-jiu Keng Kin Tosu tidak berani bicara demikian kurang ajar terhadap aku yang ia anggap sebagai saudara tua. Kau sebagai murid satu-satunya telah tiga kali diberi peringatan dan banyak menyusahkan hati orang tua itu, akan tetapi kau tidak sadar bahkan makin tersesat! Sudah menjadi kewajibanku untuk memberi hajaran kepadamu, bagaimana kau anggap aku jail? Pula, tentang patung ketahuilah, hai bocah lancang! Patung itu dibawa oleh Lai piauwsu yang setia untuk diserahkan kepada kuil Thian-hok si di kaki gunung Fu niu, dan tahukah kau siapa yang berada di kuil itu? Akulah orangnya yang membangun kuil itu dan aku yang berhak menerima patung itu. Kau mau bicara apa lagi sekarang?"
Tidak saja Sin kiam Koai jin yang terkejut mendengar keterangan ini, bahkan Lai Siong Te semenjak tadi sudah tertegun. Ia sudah lama mengenaI dan mendengar nama orang-orang yang terkenal sebagai tokoh tokoh persilatan tingkat tinggi seperti Pat jiu Toanio dan Lai-kong jin, sungguhpun ia belum pernah melihat orangnya. Lebih-lebih heran dan terkejutnya bahwa patung itu ternyata harus diserahkan kepada ketua Thian Hok si yang bukan lain adalah Pat Jiu Toanio sendiri!
Akan tetapi Sin kiam Koai jin memiliki keberanian luar biasa. Ia tidak takut kepada Pat jiu Toanio dan biarpun sudah mendengar keterangan tersebut, namun ia masih merasa sayang kalau harus melepaskan patung itu, setelah tadi hampir saja patung itu dapat dirampasnya. Sambil berseru nyaring, tiba tiba dengan cara yang sangat pengecut sekali tanpa memberi peringatan lebih dulu, ia bergerak cepat dan mengirim serangan kilat ke arah nenek tua itu.
Lai piauwsu menjadi terkejut sekali, akan tetapi tidak demikian halnya dengan nenek yang diserang itu. Dengan tenang nenek itu lalu mengangkat tongkat merahnya dan sekali saja ia menggerakan tongkat dengan perlahan, pedang Sin-kiam Koai-Jin telah dapat dibentur kembali. Sebelum AngKoan dapat mengetahuinya, tongkat yang bagaikan naga hidup itu luar biasa cepatnya telah mendorongnya sehingga tepat mengenai dadanya dan membuatnya terhuyung-huyung ke belakang!
"Ang Koan, itu baru peringatan pertama. kau kembalilah ke Heng san dan minta ampun kepada suhumu!"
Akan tetapi tanpa menjawab, Ang Koan yang menjadi makin marah itu lalu menyerang lebih hebat lagi, dengan gerak tipu yang disebut membabat rumput Membunuh Ular! Serangan ini begitu lihainya, karena pedang yang berkilauan itu menyambar-nyambar dan bertubi-tubi membabat ke atas dan ke bawah, mengancam kedua kaki dan pinggang nenek itu.
"Hm, kau mengeluarkan tipu-tipu yang paling sadis untuk membunuhku? Bocah lancang jangan kau mengimpi!" Tiba-tiba tubuh nenek itu berkelebat cepat dan tubuhnya telah melompat ke atas bersandarkan tongkatnya yang tertancap di tanah sehingga pedang berkali kali membacok tongkat dan mengeluarkan suara keras. Akan tetapi sama sekali tongkat itu tidak bergeming! Bahkan, dari atas nenek itu lalu mengebutkan ujung lengan bajunya ke arah kepala Ang Koan! Hebat sekali pukulan ini karena angin pukulannya saja membuat pakaian Lai piauwsu yang berdiri jauh menjadi berkibar. Apalagi Ang Koan yang terkena pukulan langsung. Kepalanya terasa disambar petir dan untuk kedua kalinya terhuyung-huyung ke belakang.
"Nah, itu peringatan kedua kali dan yang terakhir!" kata Pat-jiu Toanio.
"Kembalilah ke Heng-san atau mati di sini, tinggal kau pilih!"
"Siluman perempuan! Siapa takut mati!" tiba-tiba Sin-kiam koai jin menyerbu lagi dengan pedangnya. Akan tetapi Pai-jiu Toanio yang sudah menurunkan kakinya di atas tanah, memegang tongkat itu pada ujungnya dan mendahului lawannya menusuk ke depan. Tongkat itu jauh lebih panjang dari pada pedang dan digerakkan dengan cepatnya maka sebelum pedang di tangan Ang Koan dapat mengenai nenek itu, lebih dulu ujung tongkat telah menotok dadanya.
"Duk! suara beradunya ujung tongkat dengan dada ini perlahan saja akan tetapi akibat hebat sekali. Sin kiam Koai- jin Ang Koan terlempar ke belakang sampai satu tombak lebih, pedangnya terlepas dari pegangan, kemudian ia roboh tak berkutik lagi. Ternyata sekali totokan saja nyawanya telah melayang meninggalkan raganya! Pat jiu Toanio Li Bi Hong menghela napas panjang dan mengomel.
"Terlalu sekali kau, Ang Koan, telah memaksaku melakukan pembunuhan! Biarlah kau terbebas dari siksa dan derita dunia!"
Nenek ini lalu berpaling kepada Lai Siong Te yang telah menjatuhkan diri berlutut di depannya.
"Lai piauwsu kau urus baik-baik jenazah Ang Koan ini. Aku telah mendengar dan menyaksikan kegagahan serta kesetiaanmu. Berikan kepadaku patung itu!"
Lai piauwsu tidak ragu-ragu lagi dan segera mengeluarkan patung kecil yang indah dan berat itu. Terbelalak matanya ketika nenek itu memutar kaki patung, karena segera terbukalah sebuah lubang rahasia di bawah patung dan keluarlah emas besar yang gemilang cahayanya.
"Ah, benda macam ini yang membuat manusia-manusia beriman lemah menjadi mata gelap!"
Lai Siong Te benar-benar tidak mengira bahwa patung itu sebenarnya menyembunyikan emas yang demikian banyaknya. Pantas saja amat berat, pikirnya dan pantas saja Sin. kiam Koai jin menghendakinya.
"Lai-piauwsu bukalah kedoknya dan ambil pedangnya itu!" nenek itu memerintah.
Ketika Lai Siong Te membuka kedok sutera yang menutup muka Ang Koan, kembali ia terkejut sekali, wajah penjahat yang tampan itu ternyata telah cacad mengerikan, yaitu hidungnya telah copot dan bolong! Ia bergidik, mengambil pedang dan kembali menghampiri Pat jiu Toanio yang dipandangnya dengan mata mengandung penuh pertanyaan.
"Dulu dia adalah anak yang baik" kata nenek itu yang maklum akan tuntutan pandang mata Lai piauwsu.
"la adalah murid tunggal dari Lui-kong jim (Tangan Dewa Geledek) Keng Kin Tosu di Heng-san. Akan tetapi setelah tamat pelajarannya, ia minggat turun gunung, melakukan segala macam kejahatan yang hebat. Keng Kin Tosu telah tiga kali memberi peringatan dan yang terakhir malah ia memotong hidung murid itu akan tetapi ternyata dia lebih suka mati dari pada menjadi orang baik-baik! Sayang sekali!" Ia memandang pedang yang berkilauan di tangannya.
"Pedang baik! Hui-liong-kiam yang ampuh" katanya pula.
"Sayang terjatuh dalam tangan seorang berhati rendah. Lai piauwsu, terimalah pedang ini sebagai tanda terima kasihku kepadamu. Kau seorang gagah dan jujur lagi setia, maka kau berhak menerima pedang ini."
"Akan tetapi, teecu tidak memiliki kepandaian tinggi, apa artinya pedang pusaka sebaik ini berada dalam tangan teecu?" Lai-piauwsu membantah dan merendahkan diri.
"Lai piauwsu, sampai di manakah tinggi rendahnya kepandaian? Sedikit kepandaian ditambah kejujuran dan kebersihan hati jauh lebih tinggi nilainya dari pada banyak kepandaian yang terbenam dalam lumpur kesombongan dan kejahatan. Terimalah Hui liong-kiam ini dan apabila kelak kau anggap tidak perlu lagi kau memegangnya, boleh kau sampaikan atau berikan kepada seorang gagah yang kau pandang patut memegangnya." Setelah berkata demikian, tubuh nenek tua itu berkelebat dan lenyap dari pandangan mata Lai Siong Te. Piauwsu ini menghela napas dengan kagum, lalu mengubur jenazah Ang Koan, kemudian membawa pedang itu kembali ke rumahnya.
"Demikianlah, Sim taihiap, aku selalu merasa tidak puas bahwa pedang yang demikian baiknya berada di dalam tanganku yang kurang pandai menggunakannya. Apalagi semenjak kecil aku lebih biasa memainkan golok dari pada pedang. Hari ini secara kebetulan aku dapat bertemu dengan kau yang muda, gagah dan bijaksana. Oleh karena itu, pedang ini kuserahkan kepadamu dengan ikhlas dan tentu takkan mendapat teguran dari Pat-jiu Toanio Li Bi Hong karena tindakanku ini sudah cukup tepat.
Akhirnya Tiong Han tak dapat menolak pemberian pedang Hui liong kiam itu, apalagi setelah ia mendengar penuturan tentang asal-usul pedang itu. Dari suhunya ia pernah mendengar nama-nama seperti Pat . jiu Toanio Li Bi Hong juga Lui kong jiu Keng Kin Tosu di Heng-san adalah sahabat baik suhunya, ia menghaturkan terima kasihnya dan sampai dua hari ia tinggal di rumah Lai piauwsu.
Kemudian ia lalu melanjutkan perjalanannya mencari adiknya untuk minta kembali pedang pusaka Ang coa-kiam. Hatinya menjadi lega setelah memiliki pedang Hui liong-kiam oleh karena ia maklum bahwa tanpa pedang pusaka di tangannya, sukarlah baginya untuk mengimbangi kelihaian Ang-coa-kiam pedang ular merah itu! Sekarang marilah kita menengok keadaan Tiong Kiat, adik kembar dari Tiong Han, pemuda berilmu tinggi yang telah tersesat ke jalan kejahatan itu.
Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan terjadi perpecahan dalam hubungan antara Tiong Kiat dan Kui Hwa, karena gadis ini merasa cemburu. Di dalam pertempuran, Tiong Kiat telah berhasil melukainya dan kemudian pemuda ini melarikan diri dari Kui Hwa. la berlari dengan cepat. Untuk beberapa lama hatinya merasa kecewa dan juga berduka harus berpisah dari Kui Hwa. Semenjak turun gunung, ia melakukan perjalanan berdua dengan sumoinya atau kecintaannya itu dan selalu bergembira. Akan tetapi kini ia harus melakukan perantauan seorang diri.
Namun, beberapa hari kemudian, timbul lagi kegembiraannya, bahkan ia kini merasa seperti seekor burung yang terbang bebas terlepas dari ikatan. Kalau dulu dengan adanya Kui Hwa disampingnya, ia selalu masih harus membatasi diri, takut-takut dan mengalah terhadap kekasihnya yang amat cemburu. Akan tetapi sekarang tanpa ada seorangpun yang akan melarangnya, nafsu jahat yang menguasai diri pemuda sesat ini makin meluap dan membuat lupa daratan. Ia boleh melakukan apa saja tanpa ada orang yang akan menghalanginya!
Tak lama kemudian, di dunia kaum hek-to (jalan gelap atau penjahat) muncullah seorang penjahat muda yang amat menggemparkan dengan perbuatan-perbuatannya yang rendah dan ganas. Penjahat muda ini selalu memperkenalkan perbuatannya dengan lukisan sebuah pedang, bukan lain pedang Ang coa kiam, karena penjahat ini memang Sim Tiong Kiat adanya. Kalangan kang ouw menjadi gempar pula setelah beberapa orang gaga yang hendak menangkapnya tidak saja gagal, bahkan menderita luka oleh pedang Ang coa-kiam.
Perbuatan apakah yang dilakukan oleh Tiong Kiat? Bukan lain adalah pengumbaran nafsu jahatnya, menjadi penjahat jai-hwa-cat (pemetik bunga) pengganggu anak bini orang dan apabila ia sedang membutuhkan uang, ia selalu mengambilnya dari peti uang hartawan hartawan. Tiap kali ia mengganggu rumah orang, selalu ia membuat gambar di atas tembok. Gambar ini dibuatnya dengan mengguratkan pedangnya dalam tembok, melukis sebatang pedang lalu menambahkan tiga buah huruf "Ang Coa Kiam" di bawah pedang itu! Di dalam kesombongan dan kesesatannya Tiong Kiat telah menggila dan tidak ragu-ragu ataupun takut-takut lagi untuk mempergunakan nama pedang pusaka yang namanya menjadi benda keramat dari Kim.liong-pai itu!
Biarpun Tiong Kiat telah bertemu dengan banyak wanita cantik namun diam-diam di sudut hatinya ia tidak dapat melupakan gadis yang dulu dijumpainya terluka di dalam hutan. Gadis yang telah ditolongnya akan tetapi yang kemudian menjadi korban nafsu jahatnya pula. la tidak dapat melupakan EngEng gadis yang belum diketahui siapa namanya dan dari mana datangnya itu. Entah bagaimana, ia selalu terbayang dan terkenang kepada gadis itu dengan hati berkasihan dan juga rindu. Baginya, tidak ada seorangpun di antara para wanita itu yang memiliki daya penarik lebih tebal dari pada gadis di hutan rimba itu.
Di dalam perantauannya, ia mengharap-harapkan untuk bertemu dengan gadis itu. Kalau ia bisa menjadi istriku dan selama hidup berada di sampingku, aku takkan perdulikan lagi lain perempuan, pikir Tiong Kiat dalam rindunya. Tanpa disadarinya pemuda ini telah jatuh hati dan mencintai Eng Eng, gadis yang telah dipatahkan hatinya, yang telah dihancurkan hidupnya, gadis yang kini sedang merantau, mencari-cari untuk membalas dendam. Ia tidak tahu betapa setiap kali duduk melamun, Eng Eng menggigit-gigit bibirnya dan bersumpah di dalam hatinya untuk menghancurkan kepala laki laki yang telah merusak hidupnya itu! Kalau saja Tiong Kiat tahu siapa Eng Eng dan apa yang kini terkandung dalam hati gadis ini, mungkin ia akan merasa takut dan ngeri!
Pada suatu hari, Tiong Kiat tiba di kota I-kiang yang terletak di pantai sungai Yang-ce di propinsi Hopak. Ketika ia memasuki kota tak seorangpun akan mengira bahwa dia adalah Ang Coa Kiam, nama julukan penjahat muda yang amat ditakuti orang itu. Tiada orang akan mengira bahwa pemuda yang tampan dan lemah lembut seperti putera bangsawan ini adalah penjahat yang suka mengganggu anak bini orang dan suka melakukan pencurian besar-besaran? Pakaiannya berwarna biru dan terbuat dari sutera mahal dan halus. Bajunya dihias dengan pinggiran berwarna kuning emas dengan sulaman yang indah sedangkan rambut di kepalanya yang hitam terbungkus dengan kain kepala yang berwarna kuning dan bersih sekali. Pedang Ang-coa kiam tersembunyi di bawah bajunya, hanya tampak ujungnya sedikit menonjol di bawah baju. la cakap sekali dalam pakaian yang mahal ini.
Dengan muka gembira dan mata berseri-seri, Tiong Kiat berjalan di sepanjang jalan raya dalam kota I-kiang. Ia sedang gembira, kantongnya penuh uang. Ia tidak butuh uang dan tidak perlu mencuri di kota ini. Ia ingin beristirahat dan menghibur diri, maka begitu masuk ke kota, ia lalu menyewa kamar dalam hotel terbesar di kota itu, kemudian bertanya kepada pelayan hotel dimana terdapat tempat pelesiran di kota itu.
Pelayan itu memandangnya sambil tertawa gembira.
Pedang Ular Merah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kongcu agaknya baru datang dan belum pernah datang ke kota ini? Kebetulan sekali kalau begitu, karena kedatangan kongcu di Kota ini tidak rugi! Di sini terdapat tempat pelesiran yang amat indah, kongcu. Dan keindahan tempat itu sudah terkenal sampai ke kota raja!"
Eh, kau bicara dalam rahasia, lopek," kata Tiong Kiat kepada pelayan setengah tua itu.
"Katakan sajalah, di mana adanya tempat itu dan apakah keindahannya?"
"Di sebelah barat dalam kota ini, kongcu. Di bagian sungai yang membelok. Di situ dijadikan tempat pelesiran yang indah sekali dan banyak orang dari luar kota datang sengaja untuk bermain perahu sambil menikmati arak I-Kiang dan mendengarkan nyanyian bidadari bidadari I-Kiang."
"Apa katamu? Bidadari-bidadari I-Kiang, siapakah mereka itu?"
Kembali senyum gembira bermain di bibir pelayan itu.
"Aah, benar-benar kongcu telah menyia-nyiakan hidup dan masa mudamu! Siapa orangnya yang belum pernah mendengar bidadari-bidadari I-Kiang? Kalau belum pernah mendengar suara nyanyian mereka, sedikitnya tentu telah mendengar akan nama mereka."
Pelayan itu lalu menuturkan dengan gerakan kaki tangan, ia merasa girang sekali dapat menuturkan semua itu kepada seorang tamu muda yang nampaknya tampan dan kaya raya karena ia mengharapkan hadiah besar. Menurut penuturan pelayan ini, ternyata bahwa di kota itu memang terdapat tempat pelesiran sebagaimana yang disebutkan tadi.
Air sungai Yang-ce masuk ke dalam kota itu dengan aliran perlahan karena banyak tikungan. Dan karena sungai itu amat lebarnya, di sepanjang pantainya dibangunlah oleh orang-orang kaya tempat-tempat peristirahatan yang indah. Banyak orang berpelesir, di atas air naik perahu-perahu yang banyak disewakan orang di tempat itu. Air yang tenang membuat tempat itu merupakan tempat sunyi untuk bersenang diri memancing ikan.
Disamping keindahan pemandangan alam di sekitar tempat ini, yang merupakan daya penarik terbesar agaknya adalah rumah kapal milik Cia-ma, seorang janda tua yang kaya. Rumah ini didirikan di atas air, yakni di pinggir sungai itu dan bentuknya seperti kapal besar. Kalau orang berada di tingkat atas dan memandang ke arah air sungai Yang-ce yang mengalir perlahan, orang akan merasa seakan-akan sedang berada di atas perahu besar.
Keindahan rumah inipun sesungguhnya tidak akan mendatangkan banyak pelancong dari luar kota, akan tetapi terutama sekali adalah "bidadari-bidadari" yang menjadi anak angkat Cia ma! Sebetulnya semenjak ditinggal mati oleh suaminya dengan peninggalan beberapa ratus tail perak, janda tua ini tidak tahu harus berbuat apa. Dia tidak mempunyai anak dan akhirnya ia lalu bekerja sebagai penghibur para pelancong. Dibelinya budak-budak belian, yakni wanita wanita muda yang cantik, diajarnya gadis gadis itu menari dan bernyanyi atau mainkan alat musik, kemudian ia dapat menarik hati dan isi saku para pelancong yang datang di tempat itu.
Sebentar saja Cia ma telah dapat mengumpulkan banyak uang, akhirnya ia dapat membangun sebuah rumah kapal di tepi sungai Yang ce. Telah banyak gadis gadis cantik datang dan pergi dari rumahnya. Datang sebagai budak belian dan kalau kebetulan gadis itu bernasib baik, maka akan datang seorang hartawan yang suka kepadanya dan menebusnya dengan bayaran tinggi untuk dijadikan bini muda.
Pada waktu itu, di antara anak-anak angkat Cia ma, yang paling terkenal adalah tiga orang gadis yang dibelinya dari selatan. Gadis ini amat cantik, pandai menulis dan bersisir, pandai menari, bernyanyi dan menabuh musik. Oleh karena itu, tidak mudahlah bagi seorang laki laki untuk dapat menghibur hati mendekati tiga bunga peliharaan Cia ma ini. Cia ma tidak sembarangan mengeluarkan tiga bunga peliharaannya ini kalau tidak dengan bayaran yang amat tinggi. Dipasangnya tarip-tarip tertentu untuk tiga orang gadis ini, terutama sekali gadis pertama yang bernama Li Lan. Untuk dapat melihat wajah cantik Li Lan dan melihatnya menari di depan mata? Keluarkan uang lima belas tail perak!
Mau mengajak Li Lan duduk di satu meja dan menemani minum arak? Keluarkan dua puluh lima tail! Menyuruh gadis ini membunyikan kim sambil bernyanyi di samping anda? Keluarkan lima puluh tail! Dan demikian seterusnya. Oleh karena itu, siapakah yang kuat membayar uang sebanyak itu untuk bersenang-senang dengan Li Lan? Hanya orang-orang yang betul-betul kaya. Dan si kaya inipun belum tentu berani, karena Li Lan telah disanjung-sanjung dan menjadi pujaan banyak pejabat dan bangsawan, Seringkali terjadi perebutan perhatian dari Li Lan oleh dua orang hartawan sehingga timbul permusuhan yang mendalam antara mereka. Dan orang-orang tolol ini tidak tahu bahwa di belakang mereka, Li Lan yang diperebutkan itu mentertawakan mereka.
"Akan tetapi, kongcu, tidak sembarang orang berani mengunjungi rumah kapal itu kecuali mereka yang mempunyai banyak emas dan perak." Pelayan hotel itu melanjutkan penuturannya. Selama ia bercerita, Tiong Kiat mendengarkan dengan hati tertarik.
"Mengapa begitu, lopek?" tanyanya.
"Bukankah tempat itu menjadi tempat hiburan umum."
Di sana Cia-ma merupakan orang yang amat berpengaruh. Selain dia mempunyai sahabat sahabat di antara pembesar, juga dia mempergunakan tenaga tiga orang jagoan yang bertugas menjaga keamanan. Banyak sudah laki-Iaki yang berani menggoda bidadari-bidadari itu padahal kantongnya kosong, telah dihajar oleh jagoan-jagoan di rumah kapal dan dilemparkan keluar dari pintu!
Makin tertarik hati pemuda itu mendengar cerita ini. Sebuah rumah pelesiran yang aneh pikirnya. Pada sore harinya ia lalu keluar dari hotel dan menuju ke tempat pelesiran di pinggir pantai sungai Yang ce itu.
Benar saja di situ ramai sekali, penuh dengan orang-orang yang hilir mudik, berpelesir dengan perahu dan ada pula yang hanya duduk di pinggir pantai. Memang hari itu begitu ramainya, karena malam nanti bulan akan keluar sepenuhnya. Betul-betul tempat wisata. Segala macam terdapat di situ dijual orang. Menara-menara yang mungil bangunan-bangunan yang indah, bahkan terdapat pula sebuah kelenteng kecil di ujung kiri! Dan yang paling menonjol serta menarik perhatian, adalah sebuah rumah berbentuk kapal. Itulah rumah kapal dari Cia ma yang diceritakan oleh pelayan tadi!
Tiong Kiat berjalan mendekati rumah kapal itu. Benar saja di depan pintu nampak sebuah meja besar di mana duduk berkeliling tujuh orang laki-laki kelihatan galak dan kuat. Ia tidak tahu yang manakah tiga orang jagoan yang menjadi kepala penjaga. Ketika ia sedang berjalan di dekat rumah kapal itu, terdengar suara tertawa merdu. la cepat menengok ke atas dan di tingkat atas nampak duduk beberapa orang gadis cantik dengan pakaian mewah sedang tertawa-tawa dan bercakap cakap. Untuk sesaat Tiong Kiat memandang ke arah mereka, akan tetapi hatinya kecewa! Penuturan pelayan tadi terlampau dilebih-lebihkan.
Lima orang gadis yang duduk di atas itu biarpun tak dapat disangkal berwajah cantik, namun tidak cukup menarik bagi Tiong Kiat. Muka mereka ditutupi bedak tebal dan pemerah bibir dan pipi bagaikan anak-anak wayang yang hendak tampiI ke depan panggung! Lenyaplah seketika keinginan hatinya tadi yang hendak mengunjungi rumah kapal itu. Ia menjadi sebal dan dibelokkan kakinya menuju ke tempat perahu-perahu yang disewakan.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
(Selanjutnya tidak bisa terbaca)
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Ia lalu menyewa sebuah perahu dan mendayung perahunya dengan gembira, akan tetapi kegembiraannya tidak berlangsung lama. Biarpun tempat itu makin ramai dikunjungi orang, namun Tiong Kiat menjadi bosan. Diantara sekian banyak wanita yang berada disitu tak seorangpun yang terlihat cantik dalam pandangan matanya dan membuat ia tidak tertarik sama sekali. Sial baginya, ternyata dalam kota ini tidak ada tempat yang indah. Dengan kecewa ia lalu mendayung perahunya ke pinggir dengan kesalnya hendak kembali ke hotel dan tidur agar besok dapat melanjutkan perjalanannya pagi-pagi.
Akan tetapi tiba-tiba gerakan tangannya yang mendayung perahu menjadi tertahan. Ia mendengar bunyi musik mengiringi suara nyanyian yang luar biasa merdunya. Ada tiga suara wanita yang bernyanyi bersama, akan tetapi biarpun tiga suara itu sama merdunya, tetap saja ada satu suara yang menggerakkan hati, lekukan suara dan gayanya berbeda dengan yang lain. Tak terasa lagi Tiong Kiat mendekatkan perahunya ke arah rumah kapal, karena dari situlah keluarnya suara nyanyian itu.
Sambil duduk di atas perahunya yang sudah menempel pada tepi sungai, Tiong Kiat duduk termenung mendengarkan nyanyian itu. Alangkah merdunya, alangkah halusnya napas yang terdengar menyelingi suara nyanyian. Tentu cantik sekali orang yang mempunyai suara merdu ini, pikirnya. Namun tetap saja ia masih merasa ragu-ragu untuk masuk ke rumah itu, takut kalau-kalau ia akan kecewa. Bagaimana kalau wajah penyanyi itu buruk dan tidak menarik seperti gadis-gadis yang tadi dilihatnya? Siapa tahu kalau-kalau yang bernyanyi ini seorang diantara mereka itu?
Suara nyanyian berhenti, akan tetapi musiknya masih terus berbunyi. Tiba-tiba Tiong Kiai melihat betapa semua mata memandang ke atas rumah kapal dan terdengar pujian penuh kekaguman, ia pun menengok dan apa yang dilihatnya membuat hatinya berdebar-debar tidak karuan. Ia melihat tiga orang gadis menjenguk dari jendela kamar rumah kapal dan melambai-lambaikan tangan kepada orang orang di bawah yang mengagumi mereka. Mereka ini nampaknya seperti puteri puteri kerajaan yang melambai kepada rakyat yang menghormat mereka, padahal mereka ini bukan lain adalah bunga-bunga hidup dari Cia ma yang mendapat sebutan tiga bidadari dari I-Kiang!
Biarpun tiga orang gadis ini benar-benar cantik jelita dan tidak penuh bedak mukanya seperti lima orang gadis lain yang dilihatnya tadi, namun Tiong Kiat tak akan menjadi terpesona kalau saja ia tidak melihat seorang di antara mereka yakni yang berdiri di tengah. Tak salah lagi, pikir Tiong Kiat, itulah gadis yang dulu dijumpainya di dalam rimba raya! Itulah gadis yang pernah ditolongnya, pernah diganggunya dan juga selama ini tak pernah Ienyap dari bayangan ingatannya!
Memang sesungguhnya gadis itu yang bukan lain adalah Li Lan, memiliki wajah yang banyak persamaannya dengan wajah Suma Eng atau Eng Eng! Hanya bedanya adalah sinar mata dan tarikan bibir mereka. Kalau sinar mata Eng Eng mengandung kegagahan dan membayangkan kekerasan hati, adalah sinar mata Li Lan mengerling-ngerling dengan genit dan memikat hati. Kalau bibir Eng Eng selalu nampak membayangkan keangkuhan hatinya, hanya indah kalau sedang tersenyum atau tertawa saja, adalah bibir Li Lan tak pernah ditinggalkan senyum menantang!
Bukan main girangnya hati Tiong Kiat ketika ia melihat gadis ini. Dengan cepat ia lalu meninggalkan perahunya, membayar tukang perahu dengan royal sekali, kemudian setelah membetulkan letak pakaiannya yang mewah dengan tindakan kaki lebar ia menghampiri rumah kapal itu.
Penjaga-penjaga pintu yang tadi duduk di situ kini telah ramai bermain maciok dan permainan ini diselingi oleh suara tertawa mereka yang riuh gembira. Dengan tindakan tenang tiong Kiat naik anak tangga dan memperhatikan mereka, hendak terus memasuki pintu. Akan tetapi tiba-tiba seorang diantara mereka melompat dan berdiri di depan pintu menghadangnya.
"Perlahan dulu, kongcu," kata-katanya cukup sopan karena penjaga ini dapat melihat pakaian orang yang mewah.
"Agaknya kongcu orang baru dan sudah menjadi peraturan kami bahwa setiap pendatang baru harus memberitahukan nama, kedudukan dan memperlihatkan isi sakunya!"
Tiong Kiat maklum bahwa untuk menundukkan manusia-manusia kasar ini tidak cukup dengan memperlihatkan uang belaka. Tanpa memperlihatkan kepandaiannya, mereka tentu akan berusaha memerasnya dan akan berani pula menghinanya. la tidak ingin kegembiraannya terganggu oleh pertentangan. Sambil tersenyum ia lalu merogoh sakunya, mengeluarkan tujuh potong uang perak yang kecil akan tetapi cukup berharga dan berkata,
"Jangan khawatir, aku bukan seorang pelit, Lihat!" Sambil berkata demikian tangan yang menggenggam tujuh potong uang itu bergerak ke arah meja. Bagaikan tujuh butir peluru perak potongan-potongan uang itu meluncur cepat dan menancap di atas meja yang keras!
Tentu saja tujuh orang penjaga itu menjadi tertegun dan untuk beberapa lama mereka menatap wajah pemuda yang tampan, kaya dan gagah ini. Akan tetapi kepala penjaga yang berkumis jarang masih belum puas. Dia adalah seorang jagoan yang ditakuti orang, biarpun tamu yang memiliki kedudukan tinggi selalu akan bersikap menghormat kepadanya dan bicara dengan manis budi. Kini melihat si pemuda asing ini datang-datang memperlihatkan kepandaian dan tenaganya, tentu saja hal ini tidak menyenangkan hatinya, sungguhpun ia tidak dapat menjadi marah karena pemuda ini telah memperlihatkan keroyalannya. Orang ini she Ma dan disebut Ma kauwsu (guru silat she Ma) karena memang dia dulunya bekerja sebagai seorang guru silat, di samping dua orang sutenya yang disebut Cin-kauwsu dan Kwee kauwsu. Tiga orang guru silat inilah yang menjadi tiga jagoan, kepala dari penjaga rumah kapal.
Ma kauwsu tersenyum dan menghampiri meja. la menggerakkan tangan kanannya sambil mengerahkan tenaga dan sekali ia menarik uang yang menancap di atas meja itu, tujuh potong perak itu telah berada dalam genggaman tangan kanannya. Ia lalu menghampiri Tiong Kiat dan berkata.
"Kongcu, pertunjukanmu bagus sekali, tetapi dihadapanku pertunjukan itu tak berarti apa-apa dan tidak cukup untuk dijadikan modal menakut-nakuti kami! Kami dapat menerima hadiahmu yang royal, akan tetapi tidak bisa menerima sikap jagoan dari siapapun juga. Lihat, apakah artinya potongan-potongan perak yang empuk ini?"
Sambil berkata demikian, ia mengerahkan tenaga dan meremas tujuh potong perak di tangannya itu dan ketika ia membuka kembali tangannya, ternyata bahwa tujuh potong perak itu telah menjadi satu merupakan segumpal perak yang tidak karuan bentuknya! Tiong Kiat tersenyum mengejek, panas juga hatinya. Akan tetapi tetap saja ia tidak mau membikin ribut karena ia ingin sekali bertemu dan bergembira dengan gadis yang disangka Eng Eng itu.
"Bagus sekali, sobat," katanya "Tenagamu kuat seperti tenaga kerbau. Akan tetapi yang kau remas adalah benda mati, kukira kalau dipergunakan untuk meremas benda hidup tidak ada gunanya sama sekali!"
"Begitu pendapatmu? Benda hidup apa kiranya?" tanya Ma kauwsu dengan hati geli karena mengira bahwa pemuda yang hanya mengerti sedikit ilmu silat ini benar benar buta tidak dapat melihat betapa ia memiliki tenaga Thlat se- ciang (Bubuk Pasir Besi)!
"Benda hidup seperti...... tanganku ini misalnya I" jawab Tiong Kiat sambil mengulurkan tangan kanannya yang berkulit halus dan putih seperti tangan wanita. Terdengar suara ketawa riuh rendah karena tujuh orang penjaga itu semua tidak tahan untuk tidak tertawa geli.
"Kongcu jangan kau main-main! kata seorang penjaga.
"Tangan Ma twako itu dapat memukul pecah kepala harimau dengan sekali pukul seperti yang dilakukan oleh Bu Siong (pendekar ternama dahulu kala) dapat meremas besi sampai hancur dan tadipun dengan sekali remas saja tujuh potong uang perak sampai menjadi segumpal apa lagi tanganmu yang halus? Ah, hati-hati kongcu, kalau tanganmu rusak bukankah para bidadari di atas akan menjadi kecewa dan marah kepada kami!"
"Betul kata kawanku itu, kongcu. Aku tidak ingin menyombong, akan tetapi janganlah menantangku untuk meremas tanganmu yang halus ini!" kata Ma-kauwsu, karena sesungguhnya iapun tidak suka mencelakakan langganan baru yang royal dan nampaknya kaya ini.
Akan tetapi sudah tetap dalam hati Tiong Kiat bahwa orang ini harus ditundukkannya. Maka sambil tersenyum la lalu mengeluarkan lima potong uang perak lagi dari sakunya.
"Ma-twako," katanya kepada Ma kauwsu sambil memandang wajah guru silat tersebut,
"Mari kita bertaruh sedikit. Biarkan kau remas sekuatnya, kalau sampai aku kesakitan, kau boleh ambil uang perak ini. Namun bila tidak, janganlah kalian membantah apa yang kuperintahkan!"
Ma kauwsu memandang kepada kawan-kawannya dan mereka menganggap bahwa pemuda yang tampan ini tentu agak miring otaknya, akan tetapi ia tetap tidak ambil pedului dan berpikir untuk memberi pelajaran kepada kongcu ini. Lumayan, lima potong perak bukan sedikit pikirnya. Dipegang sedikit saja pemuda ini tentu akan berkaok-kaok kesakitan.