Pedang Ular Merah 7
Pedang Ular Merah Karya Kho Ping Hoo Bagian 7
"Baiklah, akan tetapi kalau sampai kesakitan jangan menyalahkan kepadaku."
"Tentu saja tidak " jawab Tiong Kiat sambil mengulurkan tangannya.
"Nah, kau remaslah yang keras!"
Ma kauwsu lalu menjabat tangan pemuda ini dan mulai memencet dengan sedikit tenaga.
"Jangan ragu-ragu, Ma-twako, yang keraslah!" kata Tiong Kiat ketika merasa betapa pencetan itu tidak bertenaga sama sekali.
Ma kauwsu menjadi penasaran dan kini ia mulai mengerahkan tenaga Thiat se-ciang, akan tetapi tetap saja pemuda itu tidak kelihatan menderita sakit, bahkan kembali menyuruh ia mempergunakan tenaganya! la lalu mengerahkan seluruh tenaganya dan memeras sekuatnya dan tiba-tiba ia terkejut sekali. Tangan yang halus itu tiba-tiba menjadi licin dan lemas sekali seperti kapas! Terkejutlah hatinya karena ia maklum bahwa pemuda ini ternyata adalah seorang ahli lweekeh yang memiliki Iweekang yang tinggi. Ini tentulah ilmu jui-kut kang (ilmu melepaskan tulang dan melemaskan tubuh) yang lihai.
Cepat ia mengendorkan remasannya karena takut kalau-kalau tenaga Thiat se ciang akan terbentur kembali dan melukai tangannya sendiri. Akan tetapi terlambat! Tiba-tiba Tiong Kiat mengeluarkan serangan dengan tenaga Iweekeng dan sekarang dialah yang meremas tangan guru silat yang kasar dan besar itu.
Terdengar Ma kauwsu menjerit kesakitan seperti kerbau disembelih. Tangan kanannya terasa panas, sakit dan kaku. Ketika Tiong Kiat melepaskan tangannya, tangan Ma kauwsu menjadi merah dan bengkak!
"Masih belum mengenal orang?" Tiong Kiat membentak dan kini ia berdiri bertolak pinggang dengan sikap yang gagah sekali.
Ma kauwsu dan keenam orang kawan-kawannya berdiri terbelalak saking heran dan terkejutnya. Terutama sekali Ma kauwsu, Cin-kauwsu dan Kwee kauwsu menjadi terheran-heran. Melihat betapa mereka masih terheran-heran dan agaknya menduga-duga siapa dia, timbul kesombongan Tiong Kiat. Dicabutnya pedangnya dan berkatalah dia,
"Masih belum juga mengenal pedang ini? Ataukah harus kalian rasakan dulu ketajamannya?" Melihat sinar merah dan bentuk pedang itu pucatlah muka ketiga orang kepala penjaga ini.
"Ang coa kiam......." bisik Ma kauwsu dan serta merta dia dan kedua orang adiknya menjatuhkan diri berlutut di depan Tiong Kiat! Empat orang anak buah mereka juga menjadi terkejut dan cepat berlutut.
"Maafkan kami yang tidak melihat Gunung Thai-san menjulang tinggi di depan mata taihiap, ampunkaan kekurangajaran kami kepada taihiap karena kami tidak mengenal taihiap."
"Sudah, tak perlu banyak peradatan ini." kata Tiong Kiat sambil menyarungkan pedangnya kembali.
"Ma-twako, kau boleh ambil uang itu untuk membeli obat tanganmu dan ingat kalau aku berada di sini. jaga jangan memperbolehkan orang lain masuk. Mengerti?"
"Baik, taihiap, baik!" jawab tujuh orang penjaga yang sudah ditundukkan itu.
Pada saat itu pintu terbuka dari dalam dan seorang wanita tua yang pakaiannya masih mewah sekali keluar. Nenek ini memandang kepada Tiong Kiat dengan penuh perhatian dan keningnya berkerut ketika ia melihat betapa para penjaganya berdiri di hadapan Tiong Kiat dengan kepala tunduk dan sikap menghormat sekali.
"Siapakah kongcu yang tampan ini?" tanya wanita itu yang bukan lain adalah Cia-ma sendiri.
"Kongcu ini adalah Ang........"
Akan tetapi kata-kata Ma kauwsu ini diputuskan oleh jawaban Tiong Kiat yang cepat mengerling tajam kepadanya. Pemuda ini menjura kepada Cia ma dan berkata.
"Aku adalah seorang pelancong bernama Tiong Kiat, she Sim. Tadi ketika aku berperahu, aku mendengar suara nyaring yang amat merdu dan kemudian melihat tiga orang bidadari ada diatas. Hatiku tergoncang dan ingin sekali aku belajar kenal dengan mereka, atau lebih tepat lagi, dengan yang berbaju hijau."
Wanita itu tersenyum.
"Ahh, kongcu maksudkan Li Lan? Masuklah, Sim kongcu. Kebetulan sekali belum ada tamu dan tentu Li Lan anakku akan suka berkenalan dengan kongcu yang tampan!" Mereka berdua masuk ke dalam dan pintu ditutup lagi.
"Kongcu ingin bertemu dengan Li Lan, bunga cantik di daerah Ini? Ah, kongcu beruntung sekali mendapat kesempatan ini, karena biarpun kongcu akan menjelajah di seluruh Propinsi Hopak, takkan mungkin kongcu bertemu dengan gadis secantik Li Lan! Akan tetapi, apakah yang kongcu kehendaki? Melihat dia menari? Mendengarkan dia bernyanyi? Ataukah kongcu ingin minum arak bersama dia sambil mendengarkan dia mainkan kim? Yang pertama dapat dilaksanakan dengan pembayaran lima belas tail, yang kedua dua puluh lima tail dan yang ketiga lima puluh tail. Yang mana kongcu kehendaki?"
Sambil tersenyum Tiong Kiat merogoh saku bajunya sebelah dalam. Ia mengeluarkan uang dan menaruh uang itu di atas meja, di depan Cia ma. Nenek itu membelalakkan matanya dan tiada habisnya ia menatap tumpukan uang di atas meja itu. Bukan lima belas tali perak, atau lima puluh tail perak, akan tetapi lima potong uang emas yang harganya lebih dari tiga ratus tail perak yang bertumpuk di atas meja, berkilauan cahayanya membuat silau pandangan mata nenek yang mata duitan ini.
"Ambillah uang itu, Cia ma. Akan tetapi dengar keinginanku. Aku ingin semua bidadari yang berada di dalam rumah kapal ini menghiburku dengan tari-tarian dan nyanyian! Dan Li Lan menemaniku minum arak dan berada di sini. Hanya aku seorang yang mendapat hiburan, tidak boleh ada orang lain. Mengerti?
Nenek ini mengangguk-anggukkan kepalanya seperti seekor ayam yang makan padi.
"Baik. baik, kongcu. Malam ini hanya kongcu seorang yang akan mendapat hiburan di sini. Tiada orang lain!" Nenek itu lalu berlari-lari ke dalam setelah menyaur uang itu dari meja.
Terdengar ia berteriak-teriak memanggil semua anaknya dan sebentar saja ruangan itu penuh dengan gadis-gadis yang jumlahnya semua ada empat belas orang! Akan tetapi Tiong Kiat tidak memperdulikan mereka semua, karena pandangan matanya hanya tertuju kepada seorang, yakni gadis berbaju hijau, Li Lan yang mirip sekali dengan Eng Eng! Li Lan telah diberi tahu oleh Cia-ma betapa royal dan kayanya pemuda itu dan ketika ia menyaksikan dengan mata bintangnya betapa tampan dan gagah pemuda yang hendak berkenalan dengannya, senyumnya melebar dan sinar matanya gembira.
"Selamat datang, kongcu. Sungguh merupakan kehormatan dan kebanggaan besar bagiku telah mendapat perhatian kongcu yang budiman." Suara ini terdengar merdu bagaikan musik yang-kim dan pada saat Tiong Kiat baru sadar bahwa gadis ini bukan gadis yang dulu ditolongnya di dalam rimba. Akan tetapi ia menjadi girang juga, karena Li Lan memiliki wajah serupa dengan gadis yang ditolongnya itu, bahkan tidak kalah cantiknya dan malah jauh lebih manis dan menarik.
Tanpa malu-malu lagi karena memang sudah biasa, Tiong Kiat melangkah maju dan memegang tangan Li Lan yang halus. Tercium olehnya bau harum semerbak dari rambut gadis itu yang membuat hatinya menjadi makin mabok.
Cia-ma sibuk memberi perintah agar hidangan yang lezat dikeluarkan, arak yang paling baik berikut daging yang paling empuk. Kemudian para gadis itu lalu mengambil alat musik dan sebentar saja ruangan itu berobah menjadi tempat pesta yang meriah. Ada yang menari, bernyanyi dan Tiong Kiat makan-minum ditemani oleh Li Lan yang makin lama makin menarik hatinya.
Demikianlah, pemuda yang tersesat ini dilayani seperti seorang raja muda di tempat itu. Belum pernah ada tamu yang demikian dihormati seperti Tiong Kiat dan hal ini tidak aneh, Cia-ma puas hatinya karena mendapatkan uang sekian banyaknya, adapun gadis gadis itu gembira sekali dapat melayani seorang pemuda yang tampan dan gagah, berbeda dengan para pembesar, tua-tua bangka yang sesungguhnya menyebalkan hati mereka! Para penjaga, Ma kauwsu dan kawannya, patuh sekali terhadap perintah Tiong Kiat. Mereka tidak memperkenankan siapa saja memasuki rumah kapal itu, biarpun yang hendak masuk itu hartawan atau pembesar yang sudah menjadi langganan tetap.
"Menyesal sekali," kata Ma kauwsu terhadap mereka.
"malam hari ini tidak menerima tamu, karena tempat ini telah diborong oleh seorang pelancong."
Biarpun hati mereka kecewa namun mereka tidak berani membantah dan pulanglah mereka dengan hati mengkal. Siapakah orangnya yang begitu kurang ajar berani memborong tempat itu? Akhirnya bukan mereka saja yang mendongkol dan gelisah. Juga Cia ma menjadi sibuk sekali pikirannya ketika mendapat kenyataan bahwa pemuda itu lama sekali tidak mau keluar lagi dari rumah kapal! Sudah tiga malam Tiong Kiat berada di tempat itu, dan pemuda ini masih saja belum mempunyai keinginan meninggalkan Li Lan! Akan tetapi bagaimana Cia-ma berani mengusirnya? Pemuda itu royal sekali, tiap hari mengeluarkan uang emas dan lebih-lebih lagi gelisahnya hati Cia-ma ketika mendengar dari para penjaganya bahwa pemuda itu bukan lain adalah Ang-coa-kiam yang telah tersohor namanya!
Sebaliknya, Li Lan dan kawan-kawannya sama sekali tidak merasa kecewa. Mereka bahkan senang sekali melayani pemuda yang selain tampan dan gagah, juga royal sekali membagi-bagi hadiah itu. Li Lan nampaknya suka sekali dan tak dapat berpisah dari Tiong Kiat, demikian pula pemuda itu telah tergila-gila kepada Li Lan. Bukan karena kecantikan Li Lan atau pandainya mengambil hati, akan tetapi terutama sekali karena wajah Li Lan hampir sama dengan wajah Eng Eng, gadis yang dulu ditolongnya dan yang diam-diam dicintainya itu.
Betapapun juga akhirnya persediaan uang di dalam saku baju Tiong Kiat menjadi habis.
"Cia Ma," katanya.
"aku akan pergi sebentar mengambil buntalanku yang di hotel dan sebentar lagi aku akan kembali. Jangan perbolehkan lain orang masuk kesini," katanya. Malam itu ia keluar bukan hanya untuk mengambil pakaiannya di hotel, akan tetapi juga untuk mengambil banyak uang emas dari peti uang seorang hartawan!
Sementara itu, sebelum pemuda itu kembali, Cia-ma lalu mengadakan perundingan dengan Li Lan dan kawan-kawannya.
"Celaka!" kata nenek ini dengan wajah gelisah.
"Kalau Sim kongcu terus-menerus memborong tempat ini, kita akan celaka."
"Mengapa begitu, Cia-ma?" bantah Li Lan."Bukankah Sim kongcu amat royal dan memberi hadiah kepada kita? Kita tidak boleh membantah kehendaknya, lagi pula, apa yang dapat kita lakukan terhadap seorang gagah seperti Ang coa-kiam?"
"Anak bodoh!" nenek itu mencelanya.
"Betapapun juga. dia akhirnya akan bosan dan pergi. Dan nama kita rusak di pandangan mata semua pembesar! Penolakan para pembesar yang hendak mengunjungi kalian, berarti penghinaan dan tentu saja mereka merasa sakit hati kepada kita. Kalau tidak ada perlindungan dari pada mereka, apakah daya kita? Celaka!"
"Sudahlah Cia-ma, tak perlu kita mencari penyakit dan permusuhan terhadap Ang-coa kiam. Bahkan aku hendak mempergunakan tenaganya untuk membasmi musuh-musuhku."
"Jangan, Li Lan! Jangan kau menimbulkan gara-gara, nanti kita celaka semua."
Akan tetapi gadis cantik itu hanya mainkan bibirnya, tersenyum manis. Menjelang tengah malam datanglah Tiong Kiat dengan membawa uang sekantong besar! Mulailah lagi pesta pora yang amat meriah. Para penjaga juga ikut kebagian rejeki karena Tiong Kiat membagi - bagi hadiah bagaikan orang membuang pasir belaka.
Pada keesokan harinya, gegerlah kota I-kang karena seorang hartawan besar telah kecurian uang banyak sekali dan pada dinding kamar terlukis pedang Ang coa-kiam! Sebentar saja hal ini terdengar oleh para penjaga rumah kapal, akan tetapi apakah yang dapat mereka perbuat? Mereka hanya saling lirik dan tersenyum girang karena dalam diri Tiong Kiat, mereka mendapatkan seorang pemimpin yang selain royal, juga amat boleh diandalkan!
Juga Cia.ma dan anak anaknya mendengar akan pencurian yang dilakukan oleh Ang-coa. Kiam Sim Tiong Kiat ini, akan tetapi tak seorangpun di antara mereka yang berani bertanya. Cia-ma hanya menarik napas berulang-ulang dan berkata seorang diri,
"Celaka, celaka! Rumahku kemasukan harimau ganas dan aku tak berdaya sama sekali untuk mengusirnya!"
Sementara itu, di dalam kamarnya, sambil menangis Li Lan menuturkan kepada Tiong Kiat,
"Telah dua tahun aku mendendam sakit hati yang amat besar dan sekarang Thian Yang Maha Kuasa telah mempertemukan aku dengan kongcu, sungguh satu kebahagiaan besar. Aku percaya dengan penuh keyakinan bahwa kalau memang betul kongcu mencinta kepadaku yang hina dina dan rendah ini, pasti jahanam-jahanam busuk she Lui itu dapat dibasmi!"
"Apakah kau masih meragukan cintaku manis?" kata Tiong Kiat sambil memeluk Li Lan.
"Katakanlah siapa yang pernah menimbulkan sakit hati kepadamu kalau perlu akan kuhajar adat kepada mereka."
"Hanya menghajar adat? Kau harus bunuh mereka, kongcu. Ya, mereka itu jahanam yang menjerumuskan diriku ke dalam jurang kehinaan ini, mereka itu harus dibunuh!" Muka yang manis itu menjadi kemerahan dan matanya yang bening dan indah itu bersinar-sinar.
"Kau makin cantik saja kalau marah, Li Lan. Apakah yang telah diperbuat oleh orang-orang she Lui kepadamu maka kau ingin aku membunuh mereka?" Biarpun pemuda ini membicarakan soal pembunuhan dengan lidah ringan, namun di dalam hatinya ia terkejut juga. karena sesungguhnya, di dalam kesesatannya, belum pernah ia membunuh orang begitu saja secara kejam. Tentu saja ia pernah membunuh rombongan perampok dan orang jahat akan tetapi apabila ia melakukan percurian atau gangguan, tak pernah ia membunuh orang.
Dengan gaya manja dan memikat hati Li Lan lalu menuturkan pengalamannya.
"Kongcu, kau adalah seorang mulia dan gagah. Kalau tidak kepadamu, kepada siapa lagi aku dapat mengharapkan pertolongan? Dahulu aku bekerja sebagai pelayan di rumah keluarga Lui yang kaya raya. Hidupku penuh kebahagiaan sungguhpun pekerjaanku hanya sebagai pelayan belaka. Akan tetapi malapetaka menimpa diriku ketika majikanku yang muda dan tua, yakni Lui wangwe dan puteranya, Lui kongcu, secara kurang ajar dan kejam sekali telah mempermainkan aku yang lemah dan tak berdaya! Aku berada di dalam gedung mereka sebagai budak belian, aku yatim-piatu dan berada di dalam kekuasaan mereka. Apakah dayaku? Kemudian setelah rahasia kedua orang jahanam itu terbuka, mereka menjadi malu dan menyingkirkan diriku dengan menjualku kepada Cia ma."
Adapun Tiong Kiat yang mendengar penuturan ini, menjadi marah dan juga tersinggung hatinya. Ia marah karena kejahatan keluarga Lui ayah dan anak itu dan merasa tersinggung karena ia teringat kepada gadis yang ditolongnya di dalam rimba raya itu.
"Kongcu, telah lama dendam ini terkandung dalam hatiku. Pada saat itu juga, ingin sekali aku membunuh diri, akan tetapi aku teringat bahwa aku akan menjadi setan penasaran kalau belum dapat membalas kejahatan mereka. Aku bersumpah hendak membalas dendam dulu sebelum mati dan sekarang setelah aku bertemu dengan kau, kongcu, tidak ada keinginan mati pada hatiku. Aku ingin selama hidupku berada di sampingmu, akan tetapi kebahagiaanku takkan lengkap apabila sakit hati ini tidak terbalas. Kongcu yang tersayang, kalau saja kau suka menolongku membalaskan sakit hati ini, aku Li Lan akan menghambakan diriku kepadamu sampai selama hidupku."
Menghadapi bujuk dan cumbu rayu gadis cantik ini, lumerlah hati Tiong Kiat. Tanpa pikir panjang lagi ia menyanggupi permintaan kekasihnya ini dan pada malam hari itu, ia keluar dengan pedang Ang Coa Kiam di tangan! Dan pada keesokan harinya gegerlah kembali kota I-kiang ketika orang mengetahui bahwa hartawan Lui dan puteranya telah terbunuh mati di dalam kamarnya! Hartawan Lui terkenal sebagai seorang hartawan yang dermawan dan jujur, maka peristiwa ini tentu saja menggemparkan sekali.
Apa lagi ketika di tembok korban-korban itu terdapat lukisan pedang Ang coa-kiam! Sungguh Tiong Kiat telah menjadi mata gelap dan sombong sekali. Biarpun ia masih berada di kota l-kiang dengan berani mati ia mengakui dengan lukisan itu bahwa pembunuhan itu dialah yang melakukannya. Kegemparan ini sampai juga ke telinga orang-orang gagah di dunia kang-ouw dan marahlah mereka yang mendengar akan hal ini. Kalau sampai sebegitu lama orang-orang kang ouw tidak bertindak memusuhi Tiong Kiat adalah karena mereka itu masih memandang nama besar Ang coa kiam pedang pusaka dari Kim liong pai.
Semenjak puluhan tahun yang lalu, Kim-liong-pai, terkenal sebagai cabang persilatan yang terpandang tinggi. Nama Bu Beng Sianjin sebagai pendiri cabang ini amat disegani dan dihormati, juga anak-anak murid Kim-liong pai terutama sekali Lui Thian Sianjin amat terkenal sebagai tokoh kang ouw yang gagah perkasa dan budiman. Oleh karena ini nama Ang coa-kiam yang menjadi jai-hwa-cat dan pencuri masih diragu-ragukan oleh para tokoh kang-ouw.
Akan tetapi sepak terjang Ang coa kiam Sim Tiong Kiat akhir-akhir ini benar-benar menggemparkan sekali, terutama sekali setelah pembunuhan Lui wangwe ayah dan anak. Yang paling marah adalah seorang gagah yang tinggal di kota I-Kiang, karena ia berada terdekat dengan peristiwa itu terjadi. Orang gagah ini bernama Lo Ban Tek yang berjuluk Thiat gu (Kerbau besi). Dia adalah seorang gagah perkasa, murid dari Kun.lun pai yang menyembunyikan diri di kota ini dan bekerja sebagai seorang pandai besi, pembuat tombak dan golok. Ia telah mendengar tentang pencurian uang seorang hartawan yang dilakukan oleh penjahat yang melukiskan pedang Ang coa kiam ditembok, akan tetapi masih bersabar dan tidak mau mencampuri urusan itu. la menganggap urusan pencurian itu soal kecil saja, karena untuk meributkan pencurian yang terjadi dalam rumah seorang hartawan?
Mungkin benar-benar anak murid Kim liong-pai itu sedang lewat dan kehabisan bekal lalu mengambil uang hartawan itu, hal ini sudah biasa terjadi dan tidak sangat hebat. Akan tetapi, ia mendengar bahwa seorang pemuda tampan yang mengaku sebagai Ang coa-kiam Sim Tiong Kiat telah beberapa hari lamanya berdiam di rumah kapal dan kemungkinan pula terlibat dalam pembunuhan atas hartawan Lui dan putranya. Kaget dan marahlah Lo Ban Tek mendengar ini. Ia kenal hartawan Li sebagai seorang yang baik hati dan dermawan, maka hal ini merupakan urusan aneh yang mau tak mau menarik perhatiannya dan membuat ia menjadi penasaran sekali. Ang coa kiam atau bukan, murid Kim liong pai atau bukan, kalau sudah melakukan pembunuhan terhadap seorang dermawan seperti Lui wangwe, harus ia selidiki dan harus turun tangan.
Demikianlah, pada pagi berikutnya, setelah berdandan mengenakan pakaian ringkas, sambil membawa senjatanya yang istimewa, yakni sebuah ruyung yang disebut Cho-kut-pian (Ruyung Tulang Ular), ia pergi ke rumah kapal. Tubuhnya yang tegap karena setiap hari dilatih memalu besi dan langkahnya yang lebar membuat semua orang memandangnya dengan heran dan tertarik. Tidak biasanya Thiat-gu Lo Ban Tek keluar dengan membawa ruyung yang mengerikan itu. Orang itu memang pendiam dan jarang sekali bicara, kini ia berjalan dengan muka merah dan mata bersinar-sinar, sehingga orang-orang menduga tentu akan terjadi sesuatu yang menggemparkan. Dari jauh mereka mengikuti orang gagah ini dan makin tertariklah hati mereka ketika melihat seorang gagah ini langsung menuju ke rumah kapal!
Apakah si pendiam ini mau berpelesir? Tak mungkin, pikir mereka. Selama tinggal bertahun-tahun di I-kiang, Thiat gu Lo Ban Tek hanya hidup menyendiri, tiada anak istri dan tidak berkawan atau berpelesir. Setiap hari kerjanya hanya membuat golok dan tombak dijualnya dengan harga rendah, tidak memperdulikan apakah ia rugi atau untung dalam pekerjaan itu Dan sekarang, orang ini pergi menuju ke rumah kapal. Tentu saja hal ini merupakan kejadian yang menarik hati.
Pada saat itu, seperti biasa, para penjaga duduk di meja luar sambil main ma ciok. Juga tiga orang kepala penjaga, Ma kauwsu, Cin kauwsu dan Kwee kauwsu, duduk di situ sambil mengobrol. Mereka sedang membicarakan tentang pembunuhan atas diri Lui-wangwe dan betapa pun juga, mereka menjadi gelisah dan kuatir sekali. Tiba-tiba seorang tinggi besar yang berwajah garang berdiri agak jauh di luar pekarangan rumah kapal dan terdengar suaranya yang mengguntur.
"Orang-orang rendah dan kotor! Suruh Ang coa kiam keluar, aku hendak bicara dengan dia! Ma-kauwsu dan kedua orang adiknya segera mengenal orang ini sebagai pandai besi Lo Ban Tek. Telah beberapa kali ketiga orang guru silat ini memesan senjata kepadanya, dan dalam perkenalan mereka, belum pernah pandai besi ini menyatakan bahwa ia mengerti ilmu silat. Dan kini ia berdiri di situ menantang Ang coa kiam Sim Tiong Kiat sambil memegang sebuah ruyung yang aneh bentuknya!
"Eh, saudara Lo, kau kenapakah? Kalau ada keperluan, datanglah ke sini. Kita boleh mengobrol, mengapa berteriak-teriak di tengah jalan!" Ma kauwsu menegur sambil bangkit dari tempat duduknya.
"Tidak usah banyak bicara!" Lo Ban Tek membentak dengan marah.
"Siapa sudi .... (tidak terbaca jelas nih..) Hayo kalian anjing-anjing penjaga beritahu kepada Ang Coa kiam dan minta dia keluar. Kalau tidak, aku akan menyeretnya sendiri keluar!"
Bukan main marahnya Ma kauwsu dan ketidak orang adiknya. Mereka bertiga merupakan jagoan-jagoan yang disegani dan ditakuti di kota I-Kiang. Para hartawan dan bangsawan pun tidak berani bicara kasar terhadap mereka. Sekarang ada seorang pandai besi biasa berani memaki dan menyebut mereka anjing-anjing penjaga, tentu saja mereka merasa panas dalam perut!
"Pandai besi hinadina she Lo! Apakah otakmu sudah menjadi miring? Ataukah kau sudah bosan hidup" bentak Ma kauwsu yang segera melompat keluar menghampiri pandai besi itu, diikuti oleh dua orang adiknya.
"Kalian ini kecoa-kecoa busuk yang makan uang kotor, janganlah ikut campur!" teriak Lo Ban Tek makin marah.
"Panggil saja jai-hwa cat she Sim itu keluar dan kalian pergilah jauh-jauh jangan sampai terkena senjata yang tak bermata!" Akan tetapi mana tiga orang jagoan ini takut menghadapi seorang pandai besi yang kasar? Terutama sekali Kwee kauwsu yang amat memandang rendah pandai besi itu. Tanpa menggunakan senjata, Kwee kauwsu lalu melompat maju dan mengirim pukulan ke arah dada Lo Ban Tek sambil berseru,"Pergilah orang gila!"
Pukulan ini adalah gerak tipu Go-houw pok it (Macan Lapar Tubruk Makanan) dan dilakukan dengan tenaga gwakang yang sedikitnya mengandung kekuatan dua ratus kati! Kwee kauwsu berpikir bahwa jangankan menangkis dengan tangan, biarpun dengan ruyung aneh itu, tetap saja pandai besi ini akan jatuh terpelanting oleh pukulannya yang berat itu.
Akan tetapi, terdengar pandai besi itu mengeluarkan suara ejekan dalam tenggorokan dan begitu kepalan tangan lawan menyambar secepat kilat ia miringkan tubuh ke kiri, agak merendah, dan jari jari tangan kirinya menyodok ke arah lambung lawan.
"Ngek! Kwee kauwsu merasa seakan-akan ususnya dipotong, ia sampai berjingkrak ke atas saking sakitnya dan begitu tubuhnya meninggi karena menahan sakit, kaki kiri Lo Ban Tek diayun tepat mengenai pantatnya.
"Blek!" tubuh Kwee kauwsu tertendang ke atas bagaikan sebuah bal karet terapung oleh tendangan anak kecil. Setelah berputar beberapa kali, tubuh itu jatuh kembali ke atas tanah dengan pantat di bawah. Suara jatuhnya menimbulkan suara keras dan guru silat itu duduk seakan-akan tubuh belakangnya telah berakar. Hanya mukanya saja meringis-ringis bagaikan monyet mencium kotoran, tertawa tidak menangispun bukan! Bukan main sakitnya pantat yang beradu keras dengan tanah kering itu. Tentu saja kejadian ini amat mengagetkan Ma kauwsu dan Cin kauwsu, karena sama sekali berada di luar dugaan mereka.
Cin kauwsu lalu menghampiri adiknya membetot tangannya sehingga Kwee kauwsu dapat berdiri lagi. Kemudian mereka bertiga lalu mencabut golok masing-masing dan tanpa mengeluarkan kata-kata lagi ketiganya menyerbu! Gerakan Ma kauwsu dan Cin-kauwsu amat ganas dan cepat, hanya Kwee kauwsu saja yang masih agak terpincang-pincang dan merasa seakan-akan di tubuh belakangnya digantungi beban yang berat sekali.
"Bangsat rendah, apakah kalian bertiga benar benar bosan hidup?" bentak Lo Ban Tek.
"Apakah kalian bertiga benar benar hendak melindungi dan membantu seorang penjahat besar yang mengacau di kota sendiri? Mundurlah, aku Thiat-gu Lo Ban Tek tidak mencari permusuhan dengan kalian! Kalian bukan lawanku. Lihat!" Sambil berkata demikian, Si Kerbau Besi ini lalu menghampiri sebuah batu besar yang banyak terdapat di pinggir sungai dan sekali ia mengayun coa kut-pian di tangannya, batu itu telah kena dihantam sehingga menerbitkan suara keras dan menimbulkan bunga api berpijar. Ketika tiga orang guru silat itu memandang, ternyata bahwa batu besar itu telah kena dipukul pecah!
Bukan main terkejut hati mereka. Bagaimana batu sebesar itu dapat dipukul pecah hanya dengan sekali pukulan, menggunakan sebatang ruyung pula? Mereka bertiga, biarpun diberi palu atau kampak yang beratnya seratus kati, belum tentu dapat memecahkan batu itu dengan seratus kali pukul! Oleh karena kaget dan kagum, mereka hanya berdiri tertegun, sama sekali tidak berani maju. Apalagi mereka juga terpengaruh oleh kata kata pandai besi itu. Kalau mereka tetap membela Ang coa kiam, tentu mereka akan dimusuhi oleh orang.orang seluruh kota, apalagi akan menghadapi pembesar-pembesar, ah berat juga! Pada saat itu terdengar seruan nyaring dari dalam rumah kapal.
"Anjing kelaparan dari manakah berani mengacau dan menantangku?" Baru habis ucapan itu dikeluarkan, orangnya telah berkelebat keluar dan Tiong Kiat sudah berdiri dihadapan Thiat gu Lo Ban Tek dengan pedang Ang-coa-kiam di tangan! Berdebar juga hati Lo Ban Tek menyaksikan ginkang yang luar biasa dari pemuda tampan ini. la memandang dengan penuh perhatian. Ternyata bahwa pemuda ini amat cakap, gagah dan tampan, berpakaian serba biru yang indah sekali. Juga pedang di tangan pemuda ini benar-benar Ang-coa.kiam, pedang pusaka Kim liong pai, karena Lo Ban Tek pernah mendengar penuturan tokoh Kun lun-pai tentang pusaka ini.
"Anak muda, kau sungguh berani mati sekali mempergunakan nama Ang coa-kiam dan Kim Liong pai untuk melakukan kejahatan. Apakah kau tidak takut akan hukuman yang bisa dijatuhkan oleh Lui Thian Sianjin kepadamu? Aku tidak percaya bahwa kau adalah anak murid Kim Iiong pai dan dari manakah kau dapat mencuri Ang coa kiam itu?"
Sim Tiong Kiat tersenyum mengejek.
"Bukan salahku kalau matamu kurang awas! Aku Sim Tiong Kiat, adalah murid dari Lui Thian Sianjin yang paling pandai dan akulah yang mewakili Kim liong-pai. Bukankah Ang coa-kiam di tanganku ini menjadi bukti terkuat?"
"Aku tetap tidak bisa percaya. Seorang murid Kim liong-pai, apalagi yagg sudah dipercayai untuk memegang Ang coa-kiam, harus mempergunakan pokiam (pedang pusaka) dan kepandaian untuk menjadi seorang pendekar, menolong orang-orang lemah dan menindas kejahatan, sesuai dengan pesanan mendiang Bu Beng Sianjin, sucouw dari Kim-liong-pai. Akan tetapi kau ini, perbuatan terkutuk apa saja yang telah kaulakukan?"
Tertegun juga hati Tiong Kiat mendengar betapa orang kasar ini agaknya mengenal baik gurunya dan keadaan Kim Iiong-pai, maka sebelum ia menggerakkan pedangnya, ia bertanya,
"Siapakah kau, hai, manusia kasar yang bosan hidup? Siapa kau yang berpura-pura mengerti tentang keadaan Kim-liong.pai?"
"Mengapa aku tidak mengerti keadaan Kim Liong pai? Aku adalah murid Kim kong Tianglo di Kun lun san dan namaku adalah Lo Ban Tek! Kuulangi lagi, orang she Sim, Jangan kau sembarangan memalsukan nama Kim-liong-pai."
Di dalam hatinya, Tiong Kiat terkejut juga mendengar bahwa orang kasar ini adalah murid dari Kim Kong Tianglo, karena sesungguhnya orang tua ini memang benar benar seorang tokoh Kun Iun-pai dan menjadi sahabat baik dari Lui Thian sianjin. Bahkan sudah beberapa kali ini bertemu dengan tokoh Kun lun.pai itu ketika Kim Kong Tianglo mengunjungi suhunya di Liong-san. Maka ia menahan kesabarannya dan tidak hendak mencelakakan murid Kim Kong Tianglo ini.
"Saudara Lo, kalau begitu kita bukanlah orang luar! Aku kenal baik dengan suhumu. Dengarlah, jangan kau menduga yang bukan-bukan. Perbuatanku yang manakah yang tidak menyenangkan hatimu?"
Lo Ban Tek tersenyum mengejek.
"Tempat yang kau pilih untuk tinggal ini saja sudah dapat mencemarkan nama baikmu."
"Apa?" Tiong Kiat mencela marah,
"Lo Ban Tek, biarpun guru kita menjadi sahabat baik, akan tetapi kau belum berhak untuk menegurku dalam hal ini. Kita adalah orang-orang lelaki, untuk mencari hiburan dan pelesiran apakah salahnya? Apakah perbuatan ini merugikanmu? Atau merugikan orang Iain? Saudara Lo, kalau kau merasa irihati, marilah ikut aku, kuperkenalkan dengan bidadari bidadari rumah kapal. Tak perlu urusan macam ini menimbulkan bentrokan diantara kita.
"Cih! Aku bukanlah orang macam itu! Aku tidak meributkan urusan cabul! Aku datang hendak bertanya kepadamu mengapa kau membunuh Lui-wangwe dan puteranya? Apakah hal ini kau anggap satu perbuatan baik dan patut pula!"
"lebih dari patut dan baik pula?" jawab Tiong Kiat dengan sikap menantang.
"Anjing tua dan muda she Lui itu memang sudah sepatutnya dibunuh! Mereka telah berlaku kurang ajar dan merusak kehidupan seorang gadis yakni nona Li Lan yang kini terpaksa menjadi seorang yang melakukan pekerjaan ini! Apakah orang-orang semacam ini tidak boleh di bunuh? "
"Dari siapakah kau mendengar akan obrolan itu? Tentu dari mulut perempuan busuk itu bukan? Ha, ha, ha? Orang she Sim, ternyata kau benar-benar tidak tahu mana yang baik mana yang busuk! Ketahuilah bahwa kalau ada dendam diantara perempuan kotor itu dengan keluarga Lui, maka dendam ini timbul karena kejahatan si perempuan yang kau bela mati-matian itu! Memang, dulu dia adalah seorang pelayan dari keluarga Lui. Kemudian dia bermain gila dengan Lui kongcu, bahkan berani bermain gila dengan pelayan-pelayan laki-laki yang ada di rumah itu! Lui wangwe menjadi marah dan mengusirnya, bahkan ketika diusir, ia diberi uang secukupnya, dibebaskan dan diperbolehkan pergi ke mana juga atau menikah dengan siapapun juga. Hal ini bagi orang yang tinggal di kota I-kiang, siapakah yang tidak tahu? Dan kau percaya bahwa dia dipermainkan oleh Lui wangwe? Ha, ha, benar-benar kau telah mabok oleh kecantikan palsu, mabok oleh bedak tebal dan gincu merah!"
"Bangsat, tutup mulutmu! Tiong Kiat yang terkejut dan malu itu menjadi marah sekali.
"Orang she Sim, kau memang patut dilenyapkan dari permukaan bumi ini. Biarlah aku Lo Ban Tek mewakili suhumu memberi hukuman kepadamu!"
Sambil berkata demikian Lo Ban Tek menangkis serangan Tiong Kiat dengan ruyungnya. Melihat betapa orang kasar itu berani menangkis pedangnya, Tiong Kiat menjadi girang karena mengira bahwa ruyung itu tentu akan putus. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika dua senjata itu beradu keras, ruyung itu sama sekali tidak terbabat putus, bahkan dari benturan tadi ia dapat mengetahui bahwa tenaga Iawannya ini benar-benar besar dan tidak boleh dipandang ringan! Maka ia lalu berseru keras dan begitu ia mainkan ilmu pedang Ang coa.kiamsut yang hebat, pedangnya bergerak cepat, merupakan gelombang sinar pedang yang luar biasa sekali.
Lo Ban Tek terkejut dan kini ia tidak ragu ragu lagi bahwa pemuda ini memang benar murid Kim liong pai yang pandai.
"Hm, kau benar-benar murid Kim liong-pai! Kalau kau bukan murid Kim liong-pai, masih tidak apa, kau hanya seorang bangsat kecil saja. Akan tetapi seorang murid Kim-liong pai dapat tersesat begini rupa, ah aku harus mengadu jiwa dengan kau." iapun mainkan ruyungnya dengan ilmu silat Kun. lun-pai yang lihai. Gerakan ruyungnya cepat dan kuat, dapat mengimbangi gerakan pedang lawannya.
Hebat sekali jalannya pertandingan ini, sehingga tiga orang guru silat Ma, Cin dan Kwee berdiri bagaikan patung dan menonton dengan bengong! Kepandaian Ang Coa kiam Sim Tiong Kiat sudah dapat mereka duga tingginya, akan tetapi yang membikin mereka terheran-heran adalah kepandaian tukang besi itu! Siapa kira bahwa di I-kiang terdapat seorang pendekar yang demikian tinggi ilmu silatnya yang selama ini mereka kenal sebagai Lo Ban Tek pandai besi yang sederhana dan kasar belaka! Maka malulah ketiga orang itu, karena kalau ilmu kepandaian mereka yang mereka sombongkan itu dibandingkan dengan kepandaian dua orang ini mereka boleh dibilang masih anak-anak!
Thiat gu Lo Ban Tek bertempur dengan penuh semangat dan gerakannya nekad sekali. Akan tetapi Tiong Kiat masih merasa ragu-ragu dan bertempur hanya untuk membela diri saja. Pemuda ini masih merasa sungkan untuk merobohkan murid Kun-lun-pai ini, ia gentar juga menghadapi akibat-akibatnya. Kalau sampai ia menanam bibit permusuhan dengan Kun lun pai, hidupnya takkan tenteram lagi!
Akan tetapi mau tidak mau ia terpaksa harus mengerahkan kepandaiannya, karena Lo Ban Tek menyerangnya bagaikan seekor harimau mengamuk. Ruyung Coa kut-pian itu tidak boleh dipandang ringan. Selain digerakkan dengan ilmu silat istimewa, juga tenaga orang she Lo ini besar sekali sehingga sekali saja kena terpukul ruyung ini berarti bahaya maut bagi Tiong Kiat!
Setelah bertempur lima puluh jurus lebih, tiba-tiba Lo Ban Tek melakukan serangan yang luar biasa sengitnya. Ruyungnya menyambar dan menyerampang lambung Tiong Kiat. Ketika pemuda ini menangkis ruyung itu tiba-tiba menyambar ke arah kedua kakinya sehingga Tiong Kiat terkejut sekali. Cepat pemuda ini mempergunakan ginkangnya yang tinggi untuk melompat ke atas sehingga tubuhnya mumbul dengan indahnya. Akan tetapi kembali Lo Ban Tek melangkah maju dan kini ia memukulkan ruyungnya dengan gerak tipu Dewa Awan Menangkap Bintang. Serangan ini dilakukan ketika tubuh Tiong Kiat masih terapung di udara, maka hebat dan berbahayanya dapat dibayangkan sendiri!
Namun kini Tiong Kiat juga sudah menjadi panas kepalanya. Ia tidak bisa mengalah terus dan harus memperlihatkan kepandaiannya. Biarpun ia masih berada di udara, namun kedudukan tubuhnya masih dalam kuda-kuda yang sempurna. Melihat ruyung menyambar, ia segera menggerakkan pedangnya menangkis dan cepat kaki kirinya membarengi mengirim tendangan ke arah pergelangan tangan Lo Ban Tek.
Lo Ban Tek merasa tangannya menjadi kaku dan sakit sekali karena tendangan yang secepat kilat dan tidak disangkanya itu, tidak dapat dielakkan. la buru-buru menarik kembali senjatanya, akan tetapi pada saat itu, Tiong Kiat sudah turun ke atas tanah dan ujung pedangnya menyambar merupakan cahaya merah menuju tenggorokan Lo Ban Tek! Orang she Lo ini berseru ngeri karena merasa bahwa nyawanya tentu takkan tertolong lagi. Akan tetapi tiba-tiba ia merasa sakit pada pundak kirinya yang tertusuk pedang dan ternyata bahwa Tiong Kiat pada saat yang tepat telah mengubah gerakan pedangnya sehingga tidak menusuk tenggorokan lawan, akan tetapi mencong dan melukai pundaknya!
"Lo Ban Tek, mengingat bahwa kau masih ada hubungan persahabatan dengan aku, maka memandang muka suhumu, aku ampunkan nyawamu! Lebih baik kita sudahi pertempuran ini!"
Akan tetapi kalau pemuda itu mengira bahwa Lo Ban Tek tentu akan menjadi gentar dan kapok, ia keliru besar. Orang she Lo ini bahkan menjadi makin marah. Dengan mata mendelik ia membentak,
"Jahanam durhaka! Kaukira aku orang she Lo takut mati? Lebih baik aku mati dalam usahaku melenyapkan iblis macam engkau dari muka bumi, daripada hidup melihat engkau melakukan kejahatan tanpa terhukum!" Setelah berkata demikian, kembali ruyungnya menyambar dan kali ini dengan serangan nekad tanpa memperhitungkan penjagaan diri lagi! Tiong Kiat terkejut sekali. Sama sekali tak diduganya bahwa orang ini akan menjadi demikian nekad, terpaksa ia menangkis dengan pedangnya dan membalas dengan keras.
Pedangnya meluncur ke depan dan tak dapat dicegah lagi menancap di dada Lo Ban Tek. Si Kerbau Besi ini tidak mengelak sedikitpun juga, ruyungnya masih dipegang kencang ketika tubuhnya terguling dan darah mengucur dari dadanya. Ia menghembuskan napas terakhir dengan ruyung masih di tangan kanan dan muka masih mendelik memandang kepada Tiong Kiat!
Pemuda ini bergidik dan ia merasa menyesal sekali. Diambilnya saputangan dan ditutupkannya saputangan itu di atas muka Lo Ban Tek, menghela napas berulang-ulang. Ia telah membunuh dengan terpaksa dan bagaimana baiknya sekarang? Orang orang Kun-lun-pai tentu akan memusuhinya, biarpun ia tidak takut, akan tetapi hal itu hanya akan membuat hidupnya menjadi tidak tenteram. Rasa menyesal dan kecewa ini membuat mukanya menjadi merah, dadanya terasa sakit. la marah sekali, marah kepada Lo Ban Tek yang memaksa dia melakukan pembunuhan, marah kepada dirinya sendiri dam kepada semua orang.
"Kionghi taihiap, kionghi! ilmu silatmu hebat sekali!" tiba-tiba ia mendengar pujian dan pemberian selamat yang membuat sadar dari lamunannya. Ketika ia menengok, ia melihat tiga orang guru silat itu telah menghampirinya dan memberi selamat sambil menyeringai mencari muka. Ia merasa sebal sekali. Kedua kakinya cepat bergerak bergantian dan tubuh tiga orang guru silat terlempar jauh. Mereka mengaduh-aduh dengan perasaan sakit, takut dan kaget.
Kemarahan Tiong Kiat memuncak. Ia menganggap rumah kapal dan sekalian isinya adalah tempat sial, yang membuat ia melakukan pembunuhan pada anak murid Kun-lun-pai. Apalagi kalau ia teringat akan ucapan Lo Ban Tek yang masih berdengung di telinganya, bahwa sesungguhnya keluarga Lui-wangwe yang dibunuhnya itu tidak berdosa. Bahwa sebaliknya Li Lan yang bersalah dan yang menghasut kepadanya. Kemarahannya makin memuncak lagi. Ia berlari memasuki rumah kapal itu. Pintu ditendangnya sampai jebol. Sebuah tihang yang berada di depannya dibabat dengan pedang Ang coa kiam sehingga putus dan genteng bagian atasnya roboh ke dalam air.
Cia-ma berlari lari keluar, akan tetapi begitu tiba di depan pemuda itu Tiong Kiat menjambak rambutnya dan sekali ia menggerakkan tangan, tubuh nenek itu terlempar keluar jendela dan.... byur! tubuh itu jatuh ke dalam air sungai Yang ce, diiringi pekik mengerikan dari nenek itu.
Bagaikan seorang gila, Tiong Kiat merusak dan menghancurkan perabot rumah yang baik-baik, dan tiap kali ia bertemu dengan seorang gadis dalam rumah itu, tangannya bergerak menjambak rambut dan melemparkan gadis itu ke dalam air melalui jendela! Sebentar saja habislah semua orang dilempar-lemparkan ke dalam air, sehingga sibuklah orang-orang di bawah untuk menolong "bidadari-bidadari" itu keluar dari air. Mereka kini tidak kelihatan sebagai bidadari-bidadari kahyangan lagi, akan tetapi sebaliknya sebagai seorang setan air yang mengerikan. Rambut basah awut-awutan, riap-riapan menutupi muka yang tidak berbedak lagi, muka yang kini tampak pucat, kebiru-biruan bibir dan sekitar matanya, muka yang cowong dengan kulit muka yang kasar karena setiap hari dimakan bedak!
Orang terakhir yang dijumpai oleh Tiong Kiat di rumah itu adalab Li Lan. Gadis ini berdiri dengan wajah pucat, akan tetapi tidak takut sama sekali. la sengaja melepaskan rambutnya yang kini bergantungan di sekitar leher dan pundaknya. Bajunya Iepas-lepas sehingga nampak leher dan pundak yang putih halus. Gadis ini tahu betul bahwa Tiong Kiat amat mengagumi rambutnya yang panjang, halus dan harum, maka siasat terakhir untuk menggunakan kecantikannya ini ia lakukan.
"Perempuan hina! Jadi kau telah menipuku, ya! Aku telah tertipu sehingga membunuh orang-orang yang tidak berdosa!"
Pedang Ular Merah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bagimu tidak berdosa kongcu, akan tetapi bagiku mereka berdosa besar. Kalau Lui wangwe tidak mengusirku, keadaanku takkan menjadi begini!" jawab gadis itu dengan suara memilukan.
"Kau telah membohong! Kaukatakan mereka mengganggumu, tidak tahunya kaulah yang mengganggu ketenteraman rumah tangga mereka! Kau perempuan cabul, perempuan rendah. Kubunuh kau!"
"Bunuhlah, kongcu, bunuhlah. Kalau orang satu-satunya seperti engkau yang kucinta sepenuh jiwaku telah membenciku, untuk apakah aku lebih lama hidup di dunia ini?" Ia menjatuhkan diri berlutut sambil menangis.
"Bunuhlah""
Tiong Kiat mengangkat pedangnya, akan tetapi melihat keadaan Li Lan, lemaslah tangannya dan pedang itu bahkan disarungkannya kembali. Ia lalu maju dan menjambak rambut Li Lan, dipaksanya berdiri akan tetapi tidak dilemparkan keluar seperti orang-orang lain, bahkan lalu dipondongnya dan di bawanya lari! Ia berlari cepat sekali keluar dari rumah kapal itu, ditonton oleh semua orang yang sama sekali tidak berani bergerak!
Gegerlah kota I-kiang karena peristiwa ini. Pembesar pembesar datang membawa tentara akan tetapi penjahat muda itu telah lari jauh dan orang tidak tahu kemana perginya.
Masih baik nasib Ma kauwsu, Cin kauwsu dan Kwee kauwsu. Karena mereka bertiga tadi ditendang oleh Ang coa kiam Sim Tiong Kiat sampai terguling-guling, maka mereka tidak dianggap kawan penjahat muda itu dan dibebaskan oleh para pembesar! Kalau saja mereka tidak ditendang oleh Tiong Kiat tentu mereka akan ditangkap dengan dakwaan kawan-kawan dari Ang-coa kiam!
Tiong Kiat melarikan diri sambil menggendong Li Lan. la pergi secepatnya dari I-kiang dan ia menuju ke utara, Li Lan menangis terisak-isak dalam pondongannya. Gadis itu tiada hentinya menyesali nasib dirinya.
Peribahasa kuno menyatakan bahwa kalau hendak menguji kesetiaan sejati, lihatlah sikap seorang dalam keadaan sengsara. Banyak sahabat-sahabat yang tadinya menyanjung-nyanjung kita akan memalingkan muka dan berpura-pura tidak kenal lagi apabila keadaan kita menjadi sengsara. Demikian pula dengan cinta kasih. Dapat diukur apabila sepasang merpati berada dalam keadaan sengsara dan jauh dari kesenangan. Cinta kasih tidak mengenal keadaan, tidak mengenal kesengsaraan, tetap murni bagaikan emas, biarpun terjatuh di dalam lumpur kotor, tetap cemerlang dan mengkilap!
Akan tetapi cinta kasih gadis macam Li Lan beda lagi. Dahulu ia memang mencinta Tiong Kiat sepenuh jiwa raganya, karena Tiong Kiat adalah seorang pemuda yang tampan dan gagah. Terutama sekali karena pemuda ini dapat memberi hadiah barang berharga apa saja yang dikehendakinya. Akan tetapi sekarang semua benda itu ditinggalkan, dan bahkan kini mereka melakukan perantauan tanpa tujuan, berjalan jauh dengan keadaan miskin dan sengsara sekali. Dalam keadaan macam ini lunturlah semua rasa cinta dari hati Li Lan.
la mulai cemberut dan mengomel panjang pendek. Berkeluh-kesah menyesali nasibnya. Setiap hari ia menangis sambil memijati kakinya yang terasa pegal dan lelah sekali. Tadinya Tiong Kiat merasa kasihan juga, akan tetapi beberapa hari kemudian, ia menjadi mendongkol. Pemuda mata keranjang macam dia mempunyai sifat pembosan. Kini Li Lan tidak pernah berhias, tidak pernah memakai minyak kembang dan pakaiannyapun tidak karuan. Kalau tadinya sedikit-sedikit cacat dapat ditutup oleh hiasan bedak dan gincu, kini terbuka sama sekali.
Manusia manakah yang tidak bercacad? Memang dalam keadaan biasa, cacad pada kulit muka dapat ditutup dan diperindah dengan alat-alat kecantikan, akan tetapi dalam keadaan seperti itu, cacad itu menjadi terbuka dan nampak nyata! Setelah kini melihat Li Lan tidak berhias, alangkah kecewanya hati Tiong Kiat. Kecewa bahwa ia telah membawa gadis ini! Ternyata jauh sekali apabila dibandingkan dengan gadis yang dulu ditolongnya di rimba raya. Bahkan kalau diperhatikan betul, masih cantik Kui Hwa sumoinya itu dari pada gadis pesolek ini. Kecantikan Kui Hwa adalah sewajarnya, karena semenjak kecil gadis ini tidak pernah bersolek, adapun kecantikan Li Lan selalu dibantu oleh bedak dan gincu dan minyak wangi!
Mulailah Tiong Kiat marah-marah dan memaki Li Lan yang dianggapnya merupakan beban baginya! Dan mulailah Li Lan menangis terisak-isak menyesali perbuatannya yang dimulai semenjak berada di rumah keluarga Lui menjadi pelayan! Kalau saja ia dahuIu tidak melakukan perbuatan sesat, mungkin keluarga yang budiman itu telah mengawinkan dengan seorang pemuda yang baik dan ia telah menjadi seorang istri dan ibu yang bahagia!
Pada suatu hari di dalam hutan, ketika Li Lan menyatakan telah lelah sekali dan hendak beristirahat, kembali Tiong Kiat membentak-bentaknya. Li Lan menjatuhkan diri di bawah pohon dan menangis tersedu-sedu. Dahulu Tiong Kiat akan memondongnya, akan tetapi sekarang, menyatakan lelah saja dibentak-bentak. Di dalam hutan yang sunyi itu hanya terdengar suara tangisan Li Lan dan bentakan bentakan Tiong Kiat.
"Perempuan tak tahu diri, perempuan pembawa celaka! Kalau tidak karena kau, aku tak usah lari-lari seperti ini. Kalau kau tidak ikut aku akan dapat melakukan perjalanan lebih cepat lagi."
"Sim kongcu" " kata Li Lan sambil megap-megap karena menahan tangisnya,
"kalau aku menjadi beban... . kenapa tidak kau bunuh saja...? Bunuhlah aku kongcu .. .agar aku terhindar dari siksaan lahir dan batin ini ...."
"Kalau kau laki laki, sudah dari kemarin kubunuh! Aku seorang laki-laki sejati, tidak sudi membunuh perempuan macam kau!"
"Ah, dunia sudah kacau balau!" tiba-tiba terdengar suara halus dan tahu-tahu seorang wanita tua yang bertongkat panjang berbentuk kepala naga telah berdiri tak jauh dari mereka.
"Dahulu laki laki selalu bersikap lemah lembut terhadap wanita, akan tetapi anak-anak muda sekarang demikian kasar dan kejamnya!"
Tiong Kiat terkejut. Ia memandang deegan perhatian, akan tetapi tidak mengenal siapa adanya nenek yang berambut putih ini.
"Nenek tua, mengapa kau mencampuri urusan orang lain? Kalau kau kasihan kepada wanita celaka ini, bawalah dia pergi. Aku tidak butuh lagi padanya!"
Ketika Li Lan melihat nenek itu, ia segera berlari terhuyung menghampirinya dan berlutut di hadapan nenek itu sambil menangis!
"Suthai"Tolonglah aku, bawalah aku... aku tak tahan lagi hidup menderita begini"!"
"Kasihan kau anak yang tersesat jauh......" nenek itu berkata sambil mengelus-elus kepala Li Lan.
"Baiklah kau membersihkan diri dan batin di dalam kuilku."
Mendengar ucapan ini, Tiong Kiat tertawa girang.
"Bagus, bagus! Nenek tua kau telah berjasa padaku. Memang perempuan ini perlu dibersihkan! Ha, ha, ha!"
"Orang muda, kau tidak lebih bersih dari pada wanita ini! Kalau kau tidak kembali ke jalan benar, kaupun akan menderita bencana besar!" Sepasang mata nenek itu memandangnya dengan tajam sekali sehingga ketika pandang mata mereka bertemu, terkejutlah Tiong Kiat. Seperti bukan mata manusia, pikirnya dengan seram. Untuk menenteramkan hatinya, pemuda ini mencabut pedangnya dan berkata tertawa-tawa sambil menggerak-gerakkan pedang itu.
"Ha, ha, ha! Dengan pedang dan tenaga di tangan, siapa akan dapat menggangguku?"
Tiba-tiba berobahlah wajah nenek itu ketika melihat pedang di tangan Tiong Kiat.
"Ang coa-kiam...!" serunya dan tiba-tiba tubuhnya berkelebat. Tiong Kiat terkejut sekali melihat gerakan tubuh nenek ini, karena tahu-tahu nenek ini telah berada di hadapannya.
"Bagus, jadi kaukah orangnya yang mengotorkan Ang-coa-kiam, pedang pusaka dari kim liong pai?"
"Siapakah kau yang mengenal pedangku?" tanya Tiong Kiat dengan wajah pucat.
"Orang durhaka! Pat-Jiu Toanio sudah berada di hadapanmu, kau masih tidak mengenalnya?"
Begitu mendengar nama ini, Tiong Kiat tidak membuang-buang waktu lagi dan cepat sekali pedangnya menusuk dada nenek itu! Ia sudah mendengar nama nenek ini. Karenanya tahu bahwa Pat-jiu toanio adalah sahabat baik dari para tokoh Kun lun pai dan juga sahabat baik suhunya di Liong san, ia mengira bahwa nenek ini tentu akan membunuhnya. Oleh karena itu ia lalu mendahuluinya dan mengirim tusukan maut!
Tiong Kiat sama sekali tidak pernah mengira bahwa ilmu kepandaian nenek ini luar biasa tingginya bahkan setingkat lebih tinggi dari pada kepandaian Lui Thian Sianjin sendiri! Melihat berkelebatnya sinar pedang yang kemerahan, nenek ini lalu menggerakkan tongkatnya dan sekali tangkis saja pedang Ang coa-kiam hampir saja terlepas dari pegangan Tiong Kiat! Pemuda ini cepat melompat mundur, kemudian dengan marah sekali ia lalu menyerang lagi. Kembali pedangnya ditangkis hampir terlepas dari pegangan. Aneh sekali nenek itu nampaknya tidak bergerak dari tempatnya berdiri dan tongkatnya hanya digerakkan perlahan dan lambat, namun setiap serangannya dapat ditangkis sekaligus! Gentarlah hati Tiong Kiat menghadapi nenek yang sakti ini. Dengan muka merah karena malu dan marah, pemuda ini tanpa mengeluarkan sepatah katapun lalu melompat jauh dan pergi dari hutan itu.
Pat jiu Toanio tidak mengejarnya, hanya menarik napas panjang dan berkata.
"Sayang, sayang ..! Dia seorang murid yang baik sekali, sayang imannya lemah, sungguh merupakan periok yang indah akan tetapi terbuat daripada bahan yang lemah dan lapuk." la lalu menghampiri Li Lan yang masih berlutut di atas tanah.
"Coba kauceritakan segala pengalamanmu dengan pemuda itu. Mukamu yang cantik penuh bayangan gelap, dosamu yang besar hanya dapat kau bersihkan dengan pencucian diri menjadi seorang pendeta."
Sambil terisak-isak Li Lan lalu menceritakan tentang pengalamannya, tidak ada yang disembunyikan, bahkan ia menceritakan pula tentang dosa-dosanya, betapa ia telah membujuk dan menghasut Tiong Kiat untuk membunuh keluarga Lui. Pat-jiu Toanio mendengarkan penuturan ini dengan kening berkerut. Setelah gadis itu selesai menuturkan semua pengalamannya, ia menggeleng-gelengkan kepala dan berkata.
"Menurut patut, kau harus dihukum seberat-beratnya. Hukuman lahir masih terlampau ringan bagimu, akan tetapi melihat bahwa kau telah menerima hukuman batin, aku akan menerimamu. Marilah kau ikut aku ke kuilku di kaki Gunung Fu-nin di mana kau boleh menjadi nikouw (pendeta perempuan) bersama murid muridku."
Demikianlah, Li Lan ikut dengan nenek sakti itu dan beberapa bulan kemudian ia telah berada di dalam kuil Thian-hok si di dusun Tiang seng-an, di kaki gunung Fu niu. Ia mencukur rambutnya yang indah itu menjadi seorang nikouw gundul yang tekun mempelajari ilmu kebatinan dan tekun pula bersembahyang untuk mencuci dosa-dosanya!
Tadinya hal ini dilakukan oleh Li Lan hanya karena ia tidak melihat jalan lain untuk memperbaiki keadaannya. Akan tetapi sungguh sama sekali tak pernah disangkanya, setelah ia melakukan ibadah dan mempelajari ilmu kebatinan, ia menemukan kebahagiaan jauh lebih besar daripada segala kesenangan duniawi yang dinikmatinya di rumab kapal Cia ma! Makin tekunlah ia belajar sehingga menyenangkan hati Pat jiu Toanio, bahkan sedikit demi sedikit, nenek sakti itu memberi pelajaran ilmu silat kepadanya.
Di lereng gunung Ta-pie san, seorang pemuda tampak duduk di atas sebuah batu besar. Dia adalah Sim Tiong Han yang mengikuti jejak dan mencari adiknya, telah tiba di Wuhan dan dari sana terus ke timur dan mendaki bukit Ta pie san. Wajahnya yang tampan itu tampak berduka, keningnya berkerut. Berkali-kali ia menarik napas panjang, tampak kekesalan hati yang mendidih dihatinya.
Pemandangan alam yang demikian indahnya terbentang luas di hadapannya hampir tak terlihat oleh pemuda itu. Pikirannya melayang jauh tak dapat dikendalikannya, seakan-akan melayang-layang naik mega putih yang bergerak pelahan di angkasa raya. Sungguh tidak kebetulan bagi Tiong Han, karena dengan cepatnya perjalanan yang ditempuhnya dan karena ia tidak tahu bahwa Tiong Kiat agak lama bertempat tinggal di kota I-Kiang, maka Tiong Han telah mendahului adiknya. Oleh karena ini, ia tidak mendengar tentang perbuatan-perbuatan Tiong Kiat di I-Kiang yang menggemparkan itu.
Sudah berapa hari Tiong Han berada di lereng Bukit Ta pie-san ini. la merasa gelisah, kecewa dan juga berduka. Kemanakah ia harus mencari Tiong Kiat? Hatinya sedih bukan kepalang kalau ia teringat kepada adiknya itu. Sesungguhnya ia amat mencinta Tiong Kiat, tidak saja sebagai cinta seorang kakak kepada adiknya bahkan lebih dari itu! Semenjak kecilnya Tiong Kiat selalu bersandar kepadanya dan ia telah merasa seakan-akan menjadi pelindung dan pembela adiknya, sebagai pengganti ayah mereka.
Pada hari itu Tiong Han duduk di atas batu semenjak siang tadi. Ia tidak merasa bahwa keadaan disekelilingnya telah mulai gelap. la seakan-akan sedang berada di dunia lain, atau pada jaman lain, yakni ketika ia masih kecil. Teringatlah ia akan semua pengalamannya di puncak Liong-san yang pemandangannya hampir sama dengan Ta pie-san ini. Ia teringat akan segala permainan dan kesenangan yang diIakukan bersama dengan Tiong Kiat. lngatan inilah yang membuatnya Iupa akan waktu. Memang dahulu pada waktu senja hari sampai malam, di waktu terang bulan mereka berdua seringkali mengadakan permainan di lereng Gunung Liong-san.
Mereka berdua suka sekali bermain-main perang-perangan saling intai dan berlaku sebagai pahlawan-pahlawan atau panglima panglima pemimpin barisan. Adakalanya Tiong Han mengambil kedudukan sebagai panglima tuan rumah yang terserang sedangkan Tiong Kiat sebagai panglima musuh yang datang menyerbu. Atau sebaliknya. Bukan main gembiranya kalau mereka bermain-main seperti itu. Mereka seakan-akan menjadi pahIawan besar. Sampai malam mereka bermain perang-perangan, intai mengintai di balik batu-batu karang dan semak-semak.
Lui Thian Sianjin, suhu mereka, pernah menceritakan bahwa ayah mereka adalah seorang pahlawan dan patriot bangsa yang gugur dalam pemberontakan menggulingkan pemerintahan yang korup. Oleh cerita yang singkat dan tidak jelas inilah maka Tiong Han dan Tiong Kiat suka sekali bermain perang-perangan, menjadi pahlawan seperti ayah mereka! Pada saat itu, Tiong Han tenggelam dalam kenangannya. Bertitik air matanya kalau ia mengingat betapa hubungan mesra itu kini telah rusak. Adiknya yang dicinta sepenuh hatinya itu kini entah berada dimana dan ia mendapat tugas mencarinya, merampas pedang Ang coa-kiam, bahkan kalau perlu membunuhnya!
Ia merasa bahwa kini ia akan dapat mengimbangi kepandaian Tiong Kiat, karena setiap hari tiada hentinya ia memperdalam kepandaian ilmu pedang Ang coa-kiamsut dari kitab yang dibawanya. Ia telah hampir dapat menguasai seluruh isi kitab itu dan ilmu pedangnya maju dengan pesatnya. Ketika ia teringat betapa ia dan adiknya pada saat bermain perang-perangan itu menyanyikan sajak yang mereka dengar dari suhu mereka bernyanyi dan yang kemudian mereka robah sendiri. Tiong Han lalu bangun berdiri dari batu yang didudukinya.