Durjana Dan Ksatria Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen Bagian 13
it beberapa di antara ke-18 kelompok suku bangsa
di daerah Sinkiang telah mengirim bala bantuan. Selain itu,
bahkan pasukan Lodan yang mempertahankan Lodan
sekarang juga sudah menyerbu ke luar kota.
Perang semakin sengit, bala bantuan juga sudah ikut dalam
medan perang. Di bawah cahaya api terlihat gemerlap senjata
dan kuda perang yang berlari kian kemari.
Beng Goan-ciau tahu jumlah pasukan musuh terlampau
besar, betapapun pihak sendiri ditambah dengan bala bantuan
tetap kalah kuat, apalagi daya tempur pihak sendiri kurang
pengalaman, jelas sukar menandingi pasukan Boanjing yang
terlatih. Cepat ia ambil keputusan, Ting Tiau-yong di-giring
menembus markas yang dipertahankan ketiga kompi
pengawal pada garis terakhir itu, bentaknya lantang, "Atas
perintah Taiswe, ketiga kompi lekas mundur ke belakang
gunung. Pasukan yang masih bertahan harus segera
meninggalkan medan perang. sebelum fajar tiba sedikitnya
harus meninggalkan medan perang sejauh 30 li."
Ia berteriak dengan tenaga dalam yang kuat sehingga
dapat didengar oleh ketiga komandan kompi. Pada umumnya
prajurit juga ingin mencari selamat. Demi mendengar perintah
itu, mereka kegirangan dan segera melaksanakan tugas. Meski
ada juga perwira yang merasa curiga, tapi siapa pun tidak
mau cari susah untuk tanya sang panglima
Sementara itu fajar sudah menyingsing, pertempuran di
medan laga semakin dahsyat. Sejauh mata memandang di
mana-mana arus manusia belaka yang sedang saling bunuh.
Kedua pihak sudah sukar d bedakan lagi dan tiada garis
pertahanan tertentu.
Dalam keadaan demikian, untuk memerintahkan mundur
jelas sangat sulit, namun Ting Tiau-yong yang bertengger di
atas kuda segera dapat dliihat. Pasukan musuh segera
menghujaninya desing panah, sebagian perwira Boanjing
menerjang datang untuk membela sang panglima.
Sembari merontokkan panah yang menyambar tiba, Beng
Goan-ciau memberi perintah kepada kawanan perwira yang
memburu datang agar lekas mundur membawa sisa anak
buahnya. Cuma sayang medan perang terlampau luas,
perintah itu sukar disebarluaskan dengan cepat sehingga
pertempuran sukar dihentikan.
Tiba-tiba datang satu regu dipimpin seorang perwira muda,
begitu datang lantas berteriak, "Ayah, pasukan kita tidak
kalah, mengapa di-perintahkan mundur"!"
Kiranya perwira muda ini adalah Ting Hian-bu, putra Ting
Tiau-yong. Ia merasa curiga terhadap perintah mundur
pasukan itu, maka sengaja datang tanya sang ayah.
Sebagai anak Ting Tiau-yong, dengan sendirinya Beng
Goan-ciau tidak dapat merintangi pertemuannya dengan sang
ayah, dan bila sampai berhadapan, seketika rahasianya akan
terbongkar. Namun sebelumnya Beng Goan-ciau sudah
mengambil keputusan. Begitu orang mendekat, mendadak ia
membentak dan menyuruh Nyo Yam menawannya.
Keruan pasukan Ting Hian-bu terkejut melihat
komandannya ditangkap, belum lagi mereka menyadari apa
yang terjadi sudah diterjang oleh pasukan Beng Goan-ciau
hingga kocar-kacir sehingga sebagian besar sama melarikan
diri untuk mencari selamat.
Cuaca sudah terang, perubahan yang tak terduga ini dapat
dilihat pasukan kedua pihak.
Laskar dari Cadam segera tahu duduknya perkara, berbagai
pasukan bala bantuan semua merasa bingung, tapi segera
mereka pun tahu pasukan yang dipimpin Beng Goan-ciau itu
bukan musuh mereka, segera mereka berhenti memanah.
Akan tetapi Beng Goan-ciau masih terus melarikan kudanya
berjajar dengan kuda Ting Tiau-yong, pasukan Boanjing yang
berdekatan merasa sangsi, meski timbul rasa sangsi, namun
tidak berani mendekat dan merintangi.
Tidak jauh di sana ada sebuah tanjakan yang agak tinggi, di
atas tanah ketinggian ini ada sepotong batu karang besar
yang rata dan licin serupa kaca, di atas batu karang besar itu
belasan prajurit laksar sedang dikerubut berpuluh prajurit
Boanjing. Setelah menumpas berpuluh prajurit musuh itu, Beng Goanciau
berseru dengan tertawa, "Nah, sekarang bolehlah kalian
memperlihatkan wajah asli kita!"
Begitu perintah diberikan, beratus anak buahnya lantas
melepaskan seragam pasukan Boanjing dan kembali dalam
dandanan sebagai laskar rakyat.
Ia menunggang kuda dan berada di atas batu karang besar
itu, Ting Tiau-yong diangkatnya tinggi-tinggi.
Sang surya sudah menyinari bumi raya ini dengan
cahayanya yang gemilang, hujan lebat semalam membuat
cuaca pagi ini terlebih cerah.
Beng Goan-ciau berada di tempat ketinggian sehingga
dapat dilihat jauh oleh setiap prajurit.
Kejadian ini datangnya terlampau mendadak. tanpa terasa
prajurit kedua pihak sama berhenti bertempur dan
memperhatikan apa yang terjadi lagi.
Goan-ciau putar tawanan yang dipegangnya sambil
berteriak, "Ini, lihatlah yang jelas! Panglima pasukan Boanjing
ini sekarang sudah kita tawan. Maka saya anjurkan prajurit
Boanjing lekas letakkan senjata dan menyerah. Kami tidak
akan membunuh tawanan perang. Yang tidak mau menyerah
boleh segera tinggalkan tempat ini, selaku panglima perang
laskar rakyat kujamin keselamatan kalian!"
Ular tanpa kepala tidak biss jalan, apalagi kebanyakan
prajurit dan perwira itu tidak rela menjual nyawa bagi raja
Boanjing- Demi melihat panglima sendiri tertawan musuh
siapa lagi yang mau mengadu jiwa"
Maka baru saja selesai ssruan Beng Goan-ciau, seketika
senjata bertumpuk membukit, sebagian pasukan Boanjing
segera menyerah, yang tidak mau menyerah juga boleh
meninggalkan medan perang.
Berita menggemparkan ini dalam waktu singkat tersebar ke
seluruh medan laga, hanya sebentar saja suasana perang itu
lantas berakhir.
Para kepala kelompok suku lautas mendekati Beng Goanciau
dan mengucapkan terima kasih.
"Beng-taihiap, untunglah engkau berhasil menawan
panglima musuh, kalau tidak tentu sukar diduga bagaimana
akhir dari peperangan ini," kata Lohai.
"Ini bukan jasaku," tutur Goan-ciau dengan tersenyum.
"Ayahnya yang menawan Ting Tiau-yong dan bukan aku."
Sambil bicara ia pun menuding Nyo Yam.
Lohai sudah tahu ayah Nyo Yam adalah Jago istana yang
bernama Nyo Bok, ia melengak oleh keterangan itu.
Goan ciau lantas menyambung, "Ayahnya juga merupakan
sahabatku sejak dulu sudah belasan tahun kami berpisah dan
baru saja berjumpa kembali. Cuma sayang, setelah dia berjasa
besar bagi kita, sokarang dia tidak dapat lagi merayakan
kemenangan ini dengan kita."
Lohai terharu, setelah memberi perintah anak buahnya
membersihkan medan perang, lalu bersama rombongan Beng
Goan-ciau pulang ke Lo-dan.
Di tengah jalan barulah mereka saling bercerita,
kesempatan ini baru digunakan Nyo Yam untuk tanya Liong
Leng-cu mengapa bisa sampai di sini,
Belum lagi Leng-cu menjawab, Soa Liau lantas menukas
dengan tertawa, "Nyo-siauhiap, engkau benar tidak tahu atau
berlagak tidak tahu" Dengan sendirinya dia datang kemari
untuk mencarimu."
Muka Leng-cu menjadi merah, katanya, "Cis, masakah
kudatang mencari dia."
"Haha. masih menyangkal," kata Soa Liau tertawa. "Begitu
datang engkau lantas tanya apakah Nyo-siauhiap datang
kemari atau tidak. Ketika mendapat keterangan Nyo-siauhiap
diam-diam sudah meninggalkan kota untuk menyelidiki markas
musuh, segera pula engkau menyusul berangkat sehingga aku
sendiri tidak sempat menahan dirimu. Nah, masih kau bilang
bukan lantaran Nyo-siauhiap?"
Nyo Yam sendiri kurang percaya oleh keterangan itu, ia
pikir, "Tempo hari waktu terjadi kekacauan di atas gunung dan
dia tinggal pergi tanpa pamit, kusangka dia benci padaku dan
tidak mau bertemu lagi denganku, mengapa dia bisa datang
kemari mencariku" Jangan-jangan dia datang untuk mencari
Ling-cici" Tapi lenyapnya Ling-cici terjadi sesudah dia pergi,
apakah mungkin ia putar balik lagi ke atas gunung, kalau tidak
darimana ia mendapatkan kabar ini?"
Karena tidak leluasa untuk bicara urusan pribadi di depan
orang banyak, rasa sangsinya cuman dapat ditanyakan begini
saja, "Dan dari mana kau tahu kudatang kemari?"
Sekali ini Liong Leng-cu menjawabnya langsung, "Waktu
turun gunung tempo hari kebetulan bertemu dengan
kakakmu." Nyo Yam melenggong, "Oo, engkau berjumpa dengan
kakak, mengapa aku tidak tahu"
"Sebab waktu itu engkau sudah berpisah dengan kakakmu
dan berangkat sendirian," tutur Leng-cu.
Nyo Yam tetap merasa heran, katanya, "Aneh juga engkau
dapat bertemu dengan Koko waktu itu" Memangnya ketika itu
engkau belum meninggalkan Thian-san?"
Leng-cu seperti berpikir, sejenak kemudian baru menjawab,
"Terlampau banyak kau tanya. aku pun tidak tahu cara
bagaimana harus bercerita. Biarlah nanti setelah perayaan
kemenangan usai baru kita bicara lagi."
Malamnya Lohai mengadakan pesta kemenangan, segenap
anggota laskar sama makan-minum dengan ria gembira
Dengan seudirinya Nyo Yam juga sangat gembira, tapi ia
ingat pada janji pertemuan dengan Liong Leng-cu, supaya
tidak mabuk, ia tidak berani sembarangan minum. Dan
sebelum pesta usai diam-diam ia lantas menarik pergi Liong
Leng-cu. Setiba dl luar, melihat sekitarnya tiada orang lain, dengan
suara tertahan Nyo Yam bertanya, "Leng-cu, agaknya banyak
urusan yang hendak kau bicarakan denganku, betul tidak?"
"Betul." jawab si nona. "Coba kutanya dulu padamu.
Engkau memikirkan Ling-cicimu atau tidak?"
"Oo, kiranya kaupun sudah tahu menghilangnya Ling-cici,"
tukas Nyo Yam. "Kedatanganku ke sini justru hendak mencari
dia. Tapi dia tidak pernah datang kemari. Sampai saat ini
belum lagi kuketahui dia berada di mana."
"Lantas apa yang akan kau lakukan?" tanya Leng-cu.
"Dengan sendirinya akan terus kucari dia," jawab Nyo Yam.
"Ah, tidak, harus kuantarmu pulang lebih dulu."
"Mengantarku pulang?" Leng-cu menegas, "Pulang ke
mana?" Baru dirasakan oleh Nyo Yam bahwa ucapannya itu agak
janggal, katanya dengan tertawa, "Maksudku hendak
kuantarmu ke tempat kakekmu, dia tinggal di Leng-ciu-hong di
Tai-kiat-nia, meski selama ini kamu beiam pernah ke sana,
tapi dia adalah engkongmu, jika kau pergi ke sana menemani
beliau kan sama seperti pulang ke rumah."
"Tidak, aku tidak mau," ucap Leng-cu sambil menggeleng.
"Apakah masih kau benci padanya?" tanya Nyo Yam. "Meski
dulu ia pernah berbuat salah terhadap ayah-bundamu, tapi
lantaran kejadian ini dia menyesal selama hidup dan sudah
cukup tersiksa batin. Sekarang dia adalah orang tua yang
hidup sebatang kara, masa belum dapat kau maklumi
kesusahannya" Kamu juga sudah berjanji padaku akan pulang
untuk menghibur masa akhir hidupnya."
"Aku takkan ingkar janji, aku juga akan pulang ke sana
untuk menemani dia, tapi tidak sekarang," kata Leng-cu.
"Maksudmu akan membantuku mencari Ling-cici?" tanya
Nyo Yam. "Tapi sukar dipastikan bilakah baru dapat
menemukan dia. Kakekmu sudah terlampau tua, mungkin
tidak taban lama lagi, akan lebih baik kuantarmu pulang untuk
menemani kakek, biar aku sendiri yang mencari Ling-cici."
"Ingin kupergi dulu ke suatu tempat, paling lama, cuma
sebulan segera kukembali," kata Leng-cu.
"Ke mana?" tanya Nyo Yam.
"Pek-toh-san!"
Nyo Yam terkejut, "Hah, kamu hendak menuntut balas
terhadap Pek-toh-sancu" Wah, tidak boleh jadi. Umur Pek-tohsancu
baru lima puluhan, dia takkan mati dengan cepat, boleh
kau tunggu beberapa tahun lagi."
"Aku tidak melulu ingin menuntut balas sakit hati sendiri,
juga tidak dapat menunggu beberapa tahun lagi," ujar Leng
cu. "Habis untuk apa kau pergi ke sana jika bukan untuk
menuntut balas?"
Belum lagi Leng-cu menjawab, tiba-tiba dua orang
mendekati mereka, kiranya Sindal dan Romana.
"Eh, Nyo-siauh?ap, belum lagi kuminum bersamamu," kata
Sindal. "Kebetulan pesta kemenangan ini dapat kugunakan
untuk menyuguh secawan padamu sebagai tanda terima kasih
atas pertolonganmu tempo hari. Sejak tadi kucari kalian
kiranya kalian sembunyi di sini."
"Ah, soal kecil begitu buat apa diungkit lagi," ujar Nyo Yam.
"Ayolah, bawa arak kemari, boleh kita minum satu cawan.
Tapi hanya untuk merayakan kemenangan dan jangan kau
sebut lagi tentang tanda terima kasih segala."
Sindal dan Romana lantas minum secawan bersama Nyo
Yam berdua. Dengan tertawa Romana berkata, "Tadi kulihat kalian
meninggalkan perjamuan, maka sengaja kami mencari ke sini,
janganlah kalian anggap kami mengganggu keasyikanmu."
"Ah, janganlah bercanda," ujar Nyo Yam. "Kukira
kedatangan kalian ini tentu ada urusan lain lagi."
"Ce Se-kiat itu saudara misanmu bukan?" tanya Romana.
"Kuingat waktu kau datang segera kau tanya kabar dua orang,
seorang di antaranya adalah Ce Se-kiat."
"Apakah ada beritanya?" tanya Nyo Yam cepat.
"Betul, baru saja kudengar berita tentang dia. Tadi dalam
perjamuan ada orang menyinggungnya, sayang Ce Se-kiat
tidak hadir dalam perayaan tadi, padahal dia telah banyak
membantu kesusahan kami. Kukatakan kepada kawan kawan
tadi bahwa Ce Se-kiat pergi ke Thian-san, tapi kepala suku
Rajawali bilang padaku dia telah bertemu dengan Ce Se-kiat di
tengah jalan selatan Thian-san, katanya Ce Se-kiat tidak jadi
Durjana Dan Ksatria Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ke Thian-san."
"Habis apakah dia tahu Ce Se-kiat menuju ke mana?" tanya
Nyo Yam. "Ce Se-kiat mengatakan kepada kepala suku Rajawali,
katanya hendak pergi ke Pek-toh-san, kalau tidak salah letak
Pek-toh-san di tapal batas Tibet."
Nyo Yam terkejut, "Hih, jadi dia juga . . .juga pergi ke Pektohsan?" "Adakah lesuatu yang tidak benar?" tanya Romana.
"Oo, tidak. Cuma kuingin tahu untuk apa dia pergi ke Pektohsan," kata Nyo Yam.
"Ia berangkat dengan tergesa gesa dan tidak menjelaskan
apa maksud kepergiannya itu!" tutur Romena.
Nyo Yam menjadi sangsi dia tidak enak hati. "Oya, ada juga
pesannya untukmu," kata Romana.
"Pesan apa?" tanya Nyo Yam cepat.
"Ia bilang diketahuinya nona Liong hendak datang ke
Lodan, maka kepala suku Rajawali di-minta menyampaikan
pesannya bilamana engkau juga datang kemari, maka engkau
diminta menunggu nona Liong di sini dan tidak perlu kuatir
baginya. Apa yang hendak kau lakukan juga dapat dia
kerjakan bagimu. Hanya begitu pesannya, habis itu dia lantas
berangkat dengan terburu buru.
Tak tersangka olehnya kedatangan nona Liong terlebih dulu
daripada kepala suku Rajawali dan sebelum pesannya
disampaikan, kalian sudah bertemu dulu."
Seketika pikiran Nyo Yam menjadi kusut dan termangumangu.
"Sudahlah, kami tidak mengganggu kalian lagi," kata
Romana. "Ayolah kita kembali ke sana untuk makan minum,
Sindal." Waktu ia membalik tubuh, entah sengaja atau tidak, seikat
anak kunci pada pinggangnya bergoyang dan menerbitkan
suara nyaring. Nyo Yam paham maksudnya, sebuah anak kunci hanya
untuk sebuah gembok. Si nona minta dia hanya boleh memilih
seorang teman hidup saja dan tdak boleh bercabang pikiran.
Setelah Romana pergi, dengan suara agak gemetar Nyo
Yam tanya Liong Leng-cu, "Sebab apakah kalian sama-sama
ingin pergi ke Pek-toh-san?"
Leng-cu menghela napar, katanya, "Masakah engkau belum
lagi mengerti, soalnya Ling-cici saat ini berada di sana."
Tentunya Ling Peng-ji tidak mungkin pergi ke Pek-toh-san
tanpa sebab, tidak perlu lagi diuraikan lebih banyak, dari
ucapan Leng-cu saja sudah dapat diketahuinya Ling Peng-ji
tertawan oleh Pek-toh-sancu.
Sekalipun hal itu sudah dapat diterkanya, kini diperoleh
kejelasannya dari Liong Leng-cu, mau-tak mau ia termenung
cemas. Setelah Leng-cu menceritakan apa yang di lihatnya ketika
Ling Peng-ji tertawa tempo hari, lalu ia menghiburnya,
"Kakakmu sudah pergi ke sana, sekarang Ce Se-kiat juga pergi
membantunya, kuyakin mereka pasti dapat menyelamatkan
Ling-cici."
Rada lega juga perasaan Nyo Yam. Waktu ia menengadah,
terlihat rembulan sudah jauh condong di ufuk barat, agaknya
subuh sudah hampir tiba.
"Baiklah, begitu terang tanah segera kita berangkat!" kata
Nyo Yam. Waktu mengucapkan kata "kita", ia berhenti sejenak seperti
memikirkan sesuatu, sejenak kemudian ia berkata pula, "Tapi
Iebih baik kupergi sendirian saja, dan kamu pulang dulu untuk
menemui kakek."
"Huh, apa artinya ini?" ujar Leng-cu. "Jangan kau lupa, Pektohsancu adalah musuh yang membunuh ayahku."
"Kutahu. Cuma ilmu silatmu . . . ."
"Ya. kutahu ilmu silatku selisih sangat jauh dibandingkan
dia, tapi sakit hati terbunuhnya ayah harus kubalas, biarpun
aku tidak dapat membantu apa-apa terhadap kalian juga harus
kulakukan sekuat tenagaku."
"Dengarkan dulu," kata Nyo Yam. "Bukan maksudku
merintangi maksudmu menuntut balas. Soalnya ilmu silat Pektohsancu terlampau lihai, sekali ini terjadi lagi disarangnya,
meski Koko dan aku ditambah lagi Ce Se-kiat juga mungkin
sukar dapat menumpasnya sekaligus. Tujuan utama kita
adalah menyelamatkan Ling-cici, mengenai menuntut balas,
biarlah nanti setelah kamu bertemu dengan kakek, bila kungfu
keluargamu sudah berhasil kau yakinkan dengan baik, tatkala
mana barulah kita menuntut balas, kan belum terlambat."
Leng-cu memandang Nyo Yam, ucapnya dengan senyum
tak senyum, "buat apa mesti dibagi menjadi dua kali, apakah
karena engkau tidak ingin bersamaku menemui Ling-cici?"
Karena isi hatinya tepat dikatai, muka Nyo Yam menjadi
merah. Selagi ia hendak mencari alasan untuk menjawab,
terdengar Leng-cu telah menyambung, "Jangan kuatir, aku
takkan cemburu hubunganmu dengan Ling cici. Kita bertiga
memang bernasib buruk, namun Ling-cici terlebih kasihan dari
padaku. Aku pun serupa dirimu, cuma mengharapkan dia
hidup bahagia. Dia adalah Ling-cicimu, juga Ling-ciciku, aku
cuma berharap selamanya kalian akan menganggap aku
sebagai adik perempuan kalian dan itu pun sudah cukup
bagiku." Ia bicara dengan tulus lkhlas, habis berucap kedua orang
sama berlinang air mata.
Nyo Yam memegang tangan si nona dengan erat, ucapnya,
"Adik Cu, engkau sungguh sangat baik."
Kata "baik" itu mengandung berbagai arti, soalnya banyak
yang sukar dikatakannya, terpaksa hanya dapat digunakan
satu kata "baik" untuk melukiskan rasa terima kasihnya
kepada Leng-cu.
"o(((dw)))o"
Di Pek-toh-san waktu itu Pek-toh-sancu Ubun Pok sedang
mondar mandir di kamarnya.
Sudah lebih sebulan ia pulang ke Pek-toh san, sudah lama
kungfunya pulih seperti sediakala, namun sukar memulihkan
rasa percaya kepada diri sendiri.
Ia telah berhasil meyakinkan Han-peng ciang dan Hwe-yam
to, tadinya ia mengira dengan dua macam ilmu saktinya itu
akan cukup untuk malang melintang di kolong langit ini, tapi
setelah mengalami pertempuran di Thian-san, kepercayaan
atas kemampuan sendiri itu menjadi goyah.
Hal ini bukan melulu lantarun dia dikalahkan oleh Beng Hoa,
alasan yang lebih kuat adalah karena dia menemukan seteru
mautnya, seteru maut ini bukan seseorang melainkan benda
yang anti kedua ilmu saktinya itu, atau dengan perkataan
yang lebih jelas adalah Peng pok han kong-kiam, Peng-poksintan dan Peng coan-kiam-hoat, lebih lebih ilmu pedang
yang tersebut terakhir itu.
Sebabnya Beng Hoa dapat mengalahkan dia, sckalipun
karena sebelumnya Pek-toh-sancu telah bertempur dua babak
dengan melawan tokoh Thian san, yaitu Ciong Tian dan Tong
Kah-goan, namun bila waktu itu Beng Hoa tidak menggunakan
Peng-pok-hau-kong-kiam, ia yakin dirinya pasti takkan
dikalahkan pemuda itu.
Yang lebih membuatnya gentar adalah Peng-coan-kiamhoat,
meski Ling Peng-ji juga pernah menggunakan ilmu
pedang itu ditambah Peng-pok-sin-tan dan akhirnya toh dapat
ditawan olehnya. namun setelah bertempur dua kali, daya
tempur Ling Peng-ji juga membuatnya terkejut.
Bahwa Ling Peng-ji dapat dirasakan olehnya sebagai
tekanan yang berat, dengan sendirinya berkas Peng-coanhiamhoat. Untung Beng Hoa tidak mahir Peng-coan-kiamhoat
sehingga tempo hari dia dapat kabur dengan selamat.
Bilamana ada seorang yang sama kuatnya serupa Beng Hoa
dan mahir Peng coan-kiam-hoat pula, senjata yang digunakan
juga Peng-pok-han-kong-kiam, maka sukariah dibayangkan
bagaimana akibatnya.
Sebab itulah ia sengaja menawan pulang Ling Peng-ii
dengan maksud hendak memaksa si nona membeberkan
rahasia Peng-coan-kiam-hoat, lalu akan berdaya merampas
lagi Peng-pok-han-kong-kiam.
Ia tahu pedang inti es itu sekarang berada di tangan Nyo
Yam, bilamana rahasia Peng-coan-kiam-hoat sudah
dipahaminya, ia yakin akan dapat menambal kelemahan kedua
macam ilmu saktinya, paling tedikit dapat juga diketahui cara
bagaimana menghadapi ilmu pedang itu.
Akan tetapi Ling Peng-ji seperti tahu maksudnya, meski
sudah lebih sebulan tertawan, selama itu ia rela mati daripada
memberitahukan rahasia Peng-coan-kiam-hoat.
Mendingan sekarang Ling Peng-ji sudah jatuh di tangannya,
tapi masih ada seorang nona lagi yang membuatnya gregeten
dan sekarang tidak diketahui di mana berada. Nona ini bukan
lain dari-pada Liong Leng-cu yang lebih muda daripada Ling
Peng-ji. Terhadap Liong Leng-cu, hatinya tidak rela bilamana nona
itu tidak dapat ditangkapnya, tujuannya tidak cuma membabat
rumput hingga akar-akarnya, tapi ada juga dua alasan lain.
alasan pertama adalah ingin mendapatkan harta karun
tinggalan kakek Liong Leng-cu.
Kakek Leng-cu, yaitu Tian Lam-an, adalah seorang pentolan
bajak yang pernah malang melintang di laut timur pada 40-an
tabun lalu. Ayah Leng-cu adalah anak buah Tian Lam-an,
waktu Leng-cu berusia 12, ayahnya bersama Tiau Lam-an
sama cedera ketika terjadi pertempuran dengan pasukan
pemerinteh, akhirnya mereka pun gugur.
Ia pernah dengar dari sang ayah bahwa Tian Lam-an
memiliki satu partai harta karun yang di sembnnyikan di suatu
pulau kecil yang tidak diketahui namanya. Walaupun nama
pulau kecil itu tidak diketahui, namun partai harta karun ini
tidak pernah dilupakannya.
Ia yakin rahasia tempat penyimpanan harta karun itu pasti
diketahui keturunan Tian Lam-an, besar kemungkinan ada lagi
sehelai peta rahasia tempat harta karun. Sebab itulah belaran
tahun yang lalu begitu ia mendengar putra Tian Lam-an, yaitu
Giok-liong Taicu Tian Leng-kun, tinggal sembunyi di suatu
pedusunan, segera ia datang kedusun itu untuk membunuh
Tian Leng-kun. Akibatnya meski sergapannya berhasil, namun ia sendiri
juga terluka parah. Sedang istri Tian Leng-kun sempat kabur
dengan membawa anak perempuannya dan peta rahasia harta
karun tetap tidak diperolehnya. Ia yakin peta pasti dibawa lari
juga oleh istri Tian Leng-kun. Bilamana ibunya sudah mati,
dengan sendirinya peta itu diserahkan kspada putrinya.
Alasan kedua adalah karena rasa jerinya. Meski ia berhasil
menyergap dan membinasakan Tian Leng-kun, namun ia
cukup maklum ilmu silat orang jauh di atasnya, sebabnya ia
meyakinkan Hwe-yam-to dan Han-peng-ciang justru hendak
digunakan untuk menghadapi kungfu keluarga Tian. Tapi
apakah sanggup menang, ia sendiri tidak tabu dengan pasti.
Sebab itulah setelah dikctahui sekarang kungfu Liong Lengcu
bukan tandingannya, ia ingin menawannya, serupa caranya
memperlakukan Ling Peng-ji, Leng-cu hendak dipaksanya
membeberkan rahasia ilmu silat keluarganya. Kalau tidak
menurut, bila perlu Leng-cu akan dibunuhnya.
Karena dua alasan itulah, betapapun hatinya takkan
tentram bila tidak mendapatkan Liong Leng- ji.
Namun sekarang paling ditakutinya tetap Beng Hoa adanya.
Teringat kepada pemuda ini, sungguh ia sangat gusar dan
gemas, bilamana tidak dikalahkan oleh Beng Hoa, tentu Liong
Leng-cu sudah berada dalam cengkeramannya sekarang.
Ia tahu dengan ditawannya Ling Peng-ji, lambat atau cepat
Beng Hoa pasti akan mencarinya. Sekalipun kungfunya sudah
pulih kembali, namun ia tidak yakin akan dapat mengalahkan
pemuda itu. Tengah mondsr mandir dengan bimbang, tiba-tiba seorang
anak murid masuk menyampaiktn kartu nama, jelas terbaca
nama pengunjung itu tercantum "Beng Hoa".
Meski sebelumnya ia sudah siap menghadapi kedatangan
Beng Hoa. namun tidak tersangka akan begitu cepat
datangnya pemuda itu. Keruan air mukanya berubah seketika.
"Apakah ditolak atau . . . atau diterima, mohon petunjuk
Suhu," kata muridnya dengan tergagap.
Setelah terima kartu nama itu dan berpikir sejenak, lalu
Ubun Pok berkata, "Silakan dia masuk."
Segera ia mengatur seperluuya menurut rencana. Baru
selesai teratur, terlihat Beng Hoa masuk dengan langkah lebar.
Anehnya Beng Hoa datang dengan tersenyum simpul,
wajah berseri-seri, sama sekali tidak ada tanda orang yang
datang untuk menuntut balas.
Sesuai rencana yang sudah diatur, Pek-toh-sancu duduk di
tengah, delapan anak murid andalannya berdiri dua baris di
samping. Kedelapan anak murid itu mahir menggunakan amgi atau
senjata rahasia berbisa, bila Beng Hoa melakukan sesuatu,
sekali Pek-toh-sancu memberi tanda, serentak kedelapan
murid akan bertindak serentak, hamburan senjata rahasia dari
berbagai penjuru itu pasti akan membuat Beng Hoa tak
berdaya dan sukar mengelak. Padahal senjata rahasia berbisa
itu hanya dapat ditoLong oleh obat penawar khas buatan Pektohsancu sendiri Begitulah Beng Hoa lantas menyapa dengan tergelak,
"Haha, perjumpaan sahabat lama, kenapa sungkan."
Sembari tegur sapa dengan Pek-toh-sancu ia pun
mengangguk terhadap anak murid yang menyamhut
kedatangannya. Mendadak ia tepuk pundak murid pertama
yang berdiri di sebelah kiri sambil berkata: "jangan banyak
adat, kita-kan kenalan lama!"
Kedelapan anak murid Pek-toh-san sebenarnya sama
waswas dan berjaga-jaga bilamana mendadak Beng Hoa
melancarkan serangan. Namun gerak tangan Beng Hoa itu
sungguh terlampau cepat, bukan saja anak murid itu tidak
sempat menghindar, bahkan ketujuh kawannya tidak tahu
sebelumnya akan tindakan Beng Hoa itu.
Segera ketujuh murid yang lain bermaksud
menghamburkan am-gi, tapi sebelum mendapat perintah sang
guru, serentak mereka berpaling memandang orang tua itu
dengan senjata rahasia siap di tangan.
Pada detik yang tegang itulah, terlihat murid yaug
pundaknya ditepuk Beng Hoa itu lagi tersenyum dan memberi
hormat serta berkata. "Ah, Jangan sungkan, jangan sungkan!"
Pek-toh-sancu menghela napas lega, ia pikir dengan
Durjana Dan Ksatria Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kedudukan Beng Hoa memang cuma pantas bergebrak
denganku, tidak nanti ia main sergap terhadap anak muridku.
Maka dengan tertawa ia pun menyapa, "Beng-taihiap, engkau
sendirilah yang terlampau sungkan. Engkau adalah tamu
agung. adalah pantas muridku menyambut dengan bormat."
Ternyata tepukan Beng Hoa tadi sama sskali tidak
menggunaken tenaga, tindakannya itu cuma membuat orang
terkejut saja. Melihat muridnya tidak kurang sesuatu apa pun, lega juga
hati Pek-toh-soncu, ia sangka perbuatan Beng Hoa itu
memang betul cuma semacam penghormatan terhadap tuan
rumah saja sebagai umumnya orang berjabat tangan sebagai
tanda keakraban. Karena pikiran ini, mau-tak-mau ia pun
bersikap sungkan terhadap Beng Hoa.
"Haha, saling menghormati adalah adat yang terpuji, biarlah
aku pun menyataknn sedikit rasa terima kasihku kepada para
muridmu," seru Beng Hoa sembari mendekati ketujuh murid
yang lain, ada yang diajak berjabatan tangan, ada yang diTIRAIKASIH
WEBSITE http://kangzusi.com/
tepuk tepuk pula pundaknya sembari mengucapken kata kata
bersahabat. Meski di dalam hati ketujuh murid itu memandang Beng
Hoa sebagai musuh, tapi dirasakan juga bila dapat bersahabat
dengan tokoh muda itu kan suatu kehormatan besar bagi
mereka, sebab itulah sikap ramah tamah Beng Hoa itu
diterima mereka dengan baik.
Ubun Pok tetap duduk di tempatnya, melihat sikap Beng
Hoa, yang sopan itu terhadap anak muridnya, diam-diam ia
pikir orang ternyata cukup menghormatinya, mau-tak mau
sikap permusuhannya rada berkurang, maka sebelum Beng
Hoa mendekatnya, lebih dulu ia meninggalkan tempat
duduknya untuk menyambut
Ia tidak berani berjabat tangan dengan Beng Hoa,
maklumlah, ia masih jeri kepada anak muda itu. Sebab
kedudukannya berbeda dengan anak muridnya, mungkin Beng
Hoa tidak sudi menyergap anak muridnya, tapi sangat
mungkin menggunakan alasan berjabatan tangan untuk
mengadu lwekang dengan dia. Padahal ia tidak yakin akan
mampu mengalahkau lawan, bilamana terlibat adu lwekang
tentu sukar melepaskan diri.
Bcgitulah maka ia cuma saling hormat dengan Beng Hoa
dari jauh, meski dapat juga menggunakan tenaga pukulan
jarak jauh, namun tidak nanti terlibat pertarungan dengan
lawan. Keadaan sekarang adalah Beng Hoa tclah jauh memasuki
sarang musuh, sedangkan Pek-toh-sancu sudah mengatur
rencana lebih dulu. pertama Pek-toh-sancu merasa Iwekang
sondiri tidak pasti lebih tinggi daripada Beng Hoa, pula segala
sesuatu sudah diaturnya sehingga tidak terburu-buru
bertindak lebih dulu. Sebab itulah ia cuma siap siaga saja, jika
Beng Hoa bertindak lebih dulu dengan menyerangnya dari
jauh, untuk bertahan saja ia merasa takkan kewalahan.
Begitulah, setelah kedua orang saling menghormati dari
jauh, keduanya pun merasa lega.
Ubun Pok pikir jangan-jangan orang memang datang untuk
berdamai denganku, agakaya aku-lah yang terlampau banyak
curiga. Kiranya hormat Beng Hoa tadi memang benar
penghormatan biasa, sedikit pun tidak membawa tenaga
serangan. Sebaliknya Beng Hoa juga merasa geli, pikirnya, "Untung
dia kena kugertak sehingga tidak berani melancarkan
serangan jarak jauh, kalau tidak, tentu rahasiaku akan
terbongkar."
Dengan perasaan tidak tentram Ubun Pok lantas tanya,
"Numpang tanya, ada urusan apakah Beng taihiap sudi
berkunjung kemari?"
"Haha, tidak berkelahi tidak kenal . . . aciih -aciih . . "
sembari bicara, berbareng Beng Hoa bersin beberapa kali.
Ubun Pok melenggong, dipandangnya Bong Hoa, seperti
mau omong apa apa, tapi tidak jadi.
Beng Hoa seperti merasa kikuk, katanya pula, "Ah,
barangkali aku tidak cocok dengan hawa pegunungan di sini,
rasanya aku rada masuk angin . . Aciih, aciih"
"Lwekang Beng-taihiap maha tinggi, masakah cuma hawa
saja dapat membuatmu masuk angin?" ujar Ubun Pok.
"Oya, ingin kuminta petunjuk sesuatu padamu , . aciih-aciih,
ahh, maaf, telah kutahan sebisanya, tapi rasa bersin tetap
terjadi," ucap Beng Hoa sambil menarik napas dengan lagak
menahan bersin.
"Apa barangkili kau lihat sesuatu tumbuhan di Pek toh-san
sini yang tidak terdapat di tempat lain?" tanya Ubun Pok.
"Aha, betul", seru Beng Hoa. "Memang ku lihat semacam
bunga yang khas. bunga warna emas dan berduri, kelihatan
sangat menarik. Siapa tahu belum lagi kupetik, baru tersentuk
serbuk bunga lantas hidung terasa gatal dan ingin bersin."
"Bunga itu beraroma bunga duri emas, serbuk bunganya
ada suatu keistimewaan, yaitu untuk sementara orang bisa
mendadak hidung merasa gatal dan ingin bersin, tapi ada
sementara orang tidak merasakan apa apa meski berlepotan
serbuk bunga eraas itu," tutur Ubun Pok.
Apa yang diceritakan itu adalah penyakit alergi yang kita
kenal jaman ini, ada yang peka terhadap sesuatu benda, ada
yang tidak. Ilmu kedokteran jaman ini pun belum tuntas
menyelidiki dengan jelas penyakit alergi, maka pada jaman
dahulu tentu saja dipandang sebagai gejala yang aneh.
"Wah, jika begitu, agaknya bunga ajaib itu telah penujui
diriku," ucap Beng Hoa sambil menyengir.
Diam-diam Ubun Pok membatin, "Pantas suaranya agak
berlainan daripada dulu, rupanya karena hidungnya tidak
lancar." Dengan tertawa ia lantas berkata, "Serbuk bunga itu tidak
beralangan bagi kesehatan manusia, hanya akan menimbulkan
rasa tidak enak saja, Ada obat penawar penyakit itu, bila
Beng-taihiiip percaya padaku . . . . "
"Jika aku tidak percaya padamu, masakah aku mau
berkunjung sendirian ke sini?" kate Beng Hoa.
Ubun Pok mengeluarkan sebuah tube kecil, katanya, "Boleh
kau pencet keluar sedikit salep ini, dan masukkan ke lubang
hidung, segera bersin akan hilang. Cuma hidung tidak bisa
segera lancar, harus diobati selama dua-tiga hari baru dapat
sembuh seluruhnya."
Beng Hoa mengucapkan terima kasih dan menerima tube
obat itu, di depan orang ia salepi hidung sendiri, lalu berkata,
"Ehm, rasanya memang sangat enak."
Sama sekali tak tersangka oleh Pek-toh-sancu Ubun Pok
bahwa begitu tube obat berada di tangan Beng Hoa, dengan
cara yang sukar dibayangkan sudah segera ditukarnya dengan
obat lain. Ubun Pok sendiri merasa senang, pikirnya, "Akhirnya
kamu dapat juga kukibuli."
Kiranya salep itu bukan melulu obat penawar serbuk bunga
etnas, tapi telah dicampurnya pula semacam obat racun lain.
Racun ini tidak segera bekerja, tapi bila Ubun Pok
menghamburkan semacam bubuk lagi dan Beng Hoa
mengendus bau obat bubuk itu. seketika racun itu akan
bekerja dan membuatnya pingsan.
Itulah semacam kepandaian khas cara menggunakan racun
Pek-toh-sancu yang disebut "obat reaksi sccara berantai".
Bilamana benar Beng Hoa akan bersahabat dengan dia, maka
obat bubuk kedua tidak digunakannya dan racun pertama pun
takkan bekerja.
Beng Hoa sendiri diam-diam juga merasa senang, pikirnya,
"Uutung kukenal semacam bunga duri emas sehingga dapat
kutipu dia. Kalau tidak, caraku menirukan suara Beng Hoa
akhirnya pasti akan terbongkar."
Begitulah kedua orang diam-diam telah bertarung mengadu
akal. Sesuduh ambil tempat duuuk, lalu Pek-toh-sancu tanya
pula maksud kedatangan Beng Hoa.
"Kan sudah kukatakan, aku dan Sancu dari berkelahi
menjadi kenalan baik, maka sengaja kudatang kemari untuk
monyampaikan salam," tutur Beng Hoa dengan tertawa.
"Benarkah kedatangan Beng-taihiap ingin bersahabat
denganku," Ubun Pok menegas lagi dengan ragu.
Beng Hoa berlagBk melengak, lalu menjawab dengan
serius, "Dengan sendirinya begitulah maksudku, namun
apakah berhasil atau tidak tentu saja bergantung kepada
Sancu sendiri."
"Jika benar Beng-taihiap sudi berkawan denganku, tentu
saja aku merasa sangat beruntung," kata Ubun Pok. "Hanya
saja sukar begitu untuk mempercayai kesungguhan hati Bengtaihiap."
"Oo, cara bagaimanakah baru kau mau percaya?" tanya
Beng Hoa. "Bicara terus terang, sedikit banyak antara perguruanmu
denganku kan ada sengketa," ucap Ubun Pok. "Maka kupikir
kedatangan Beng-taihiap ini mungkin bukan untuk bicara
persahabatan denganku."
"O, kiranya kau sangsi akan kebenaran ucapanku." kata
Beng Hoa tertawa.
"Ya, bilamana engkau tidak mau bicara terus terang, itu
berarti engkau tidak menganggap sahabat padaku."
"Jika kupuji keindahan pemandangan di sini dan kehebatan
kungfu Sancu, semua itu kan juga bicara sebenarnya." kata
Hong Hoa dengan tertawa.
"Cuma, kedatanganku tentu saja tidak hanya untuk bicara
pemandangan dan kungfu denganmu, memang ada dua
urusan yang sekaligus hendak kurundingkan dengan Sancu."
Ubun Pok pikir ini dia sudah mulai, jawabnya, "Jika kedua
urusan ini tidak diperoleh kesatuan pendapat, lantas Bengtaihiap
takkan menganggap sahabat lagi padaku"!"
"Itu pun bergantung betapa jarak perbedaan pendapat
kita," ujar Beng Hoa.
"Baik, coba katakan, dua urusan apa?" tanya Ubun Pok.
"Pertama, mengenai Sin-sian-wan," tutur Beng Hoa.
"Bahaya Sin-sian-wan sangat besar, diharap Sancu jangan lagi
meracik Sin-siau-wan untuk membikin susah orang."
"Rupanya Beng-taihiap cuma tahu satu dan tidak tahu dua,"
kata Ubun Pok. "Sebab Sin-man-wan kan juga dapat dijadikan
obat untuk menyembuhkan penyakit orang."
"Memang benar, namun orang yang tidak sakit bila terbiasa
minum Sin-siau-wan akan menjadikannya ketagihan. dan
sekali kecanduan akan jadilah dia orang tidak berguna, jadi
bahayanya lebih besar daripada manfaatnya."
Ubun Pok pikir urusan ini boleh juga mengalah, maka ia
berkata, "Baik, kuterima permintaanmu, selanjutnya obat yang
kubuat hanya kugunakau untuk mengobati orang sakit dan
takkan dijual kepada umum. Lalu apakah urusan yang kedua?"
"Kudengar suatu kabar bahwa seorang anak murid Thiansanpai kami, yaitu Ling Peng-ji, telah ditawan oleh Sancu,
entah betul tidak hal ini" JiKa betul, maka kumohon Sancu
sudi membebaskan dia dan akan kubawanya pulang."
Ia sengaja menyatakan "mendengar kabar", maksudnya
memberi kesempatan kepada Ubun Pok untuk menyangkal,
sebab jelas ia tahu orang takkan melepaskan Ling Peng-ji
begitu saja, maka tujuannya sekarang hanya untuk mengulur
waktu belaka. Dengan sendirinya Ubun Pok tidak tahu maksud tujuannya,
ia pikir jika orang datang berdamai. tentu juga akan menerima
syaratnya, maka
ketika bola matanya berputar, segera ia mendapat akal.
Di luar dugaan Beng Hoa. ternyuta Ubun Pok tidak
menyangkal, dengan tertawa ia menjawab, "Wah, berita Bengtaihiap
ternyata sangat tajam, memang betul Ling Peng-ji dari
perguruan mu memang berada padaku, tidak sulit bila kau
minta kulepaskan dia, cuma ..."
"Cuma apa?" tanya Beng Hoa.
"Asalkan kau suruh Ling Peng-ji menyalin suatu berkas
Peng-coan-kiam-hoat bagiku, segera dia akan kubebaskan."
Beng Hoa berlagak haran, "Mengapa kau-minta Peng-coankiamhoatnya?" "Hm, tampaknya sudah tahu kamu sengaja tanya," jengek
Ubun Pok. "Aku benar-benar tidak tahu," kata Beng Hoa sambil
membentang tangan..
"Baik, anggap kamu tidak tahu," jengek Ubun Pok. "Pendek
kata, itulah syaratku, tidak perlu kuberi penjelasan."
Selagi Beng Hoa berlagak hendak tawar menawar dan
mengulur waktu, pada saat itulah seorang anak buah Ubun
Pok lari masuk dengan napas tersengal-sengal serta berteriak
dengan suara parnu, "Wah, eei ... celaka! Ada perusuh
membobol . . . membobol penjara dan . . . dan Siau-sancu
telah dilukai!"
"Siau-sancu" yang dimaksudkan orang ini adalah
kemenaknn Ubun Pok sendiri, yaitu Ubun Lui. Padahal ilmu
silat Ubun Lui terhitung jago nomor tiga di Pek-toh-san, ia
ditugaskan mengawasi Ling Peng-ji.
Keruan Ubun Pok terkejut, seketika tak terpikir lagi olehnya
hadirnya orang luar di situ, cepat ia berteriak, "Siapa perusuh
itu"!"
Dengan megap-megap anak buahnya melapor, "Katanya
orang itu adalah Beng Hoa!"
Pelapor ini ikut menjaga Ling Peng-ji di belakang bersama
Ubun Lui, ia tidak tahu datangnya "Beng Hoa" yang sedang
bercengkerama dengan sang Sancu.
Maka tergelaklah "Beng Hoa" yang bicara tadi, teriaknya,
"Wah. maaf, yang asli sudah datang, biarlah kupamit dulu!"
Akan tetapi Ubun Pok lantas membentak, kontan sebelah
tangan menghantam sambil membentak, "Lekas hamburkan
am gi!" Siapa tahu ginkang Beng Hoa palsu ini jauh lebih hebat
daripada Beng Hoa tulen, sedikit bergeser pukulan jarak jauh
Ubun Pok itu dapat dihindarkannya, kedelapan anak muridnya
juga sukar mencegatnya.
Kedelapan anak murid itu sekaligus hendak merogoh am-gi,
tapi serentak juga melongo ketika dirasakan kantung am-gi
mereka telah kosong melompong, entah sejak kapan senjata
rahasia mereka telah hilang semua.
"Hahnhaha! Ini kukembalikan kepada kalian!" teriak Beng
Hoa gadungan dengan gelak tertawa, sekali tangan bergerak,
berhamburanlah senjata rahasia laksana hujan.
Cepat Ubun Pok menghantam dari jauh dengan tenaga
Durjana Dan Ksatria Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pukulan dahsyat untuk menyampuk jatuh hujan senjata
rahasia itu, walaupun begitu tidak urung dua anak muridnya
terluka juga. Bentak Ubun Pok dengan murka, "Kiranya kamu ini Koaihoat
Thio yang pernah menipuku itu!"
"Memang betul," Beng Hoa gadungan ini adalah samaran
Koai-hoat Thio. Ia datang ke Pek-toh-san bersama Beng Hoa,
kemudian kedua orang membagi tugas untuk bekerja.
Ubun Pok pernah ditipu dan menyerahkan surat pengakuan
dosa Ciok Jing-coan waktu Koai hoat Thio menyaru sebagai Bu
Ek, sekarang Beng Hoa gadungan ini ternyata juga sedemikian
mirip, dengan sendirinya ia lantas menduga siapa dia. Merasa
berulang dipermainkan Koai-hoat Thio, keruan gusarnya tidak
kepalang. "Hehe, surat pengakuan dosa dahulu itu kan juga hasil
perampasanmu dari orang lain," seru Koai-hoat Thio dengan
tergelak. "Kamu merampas dan aku menipu, sama sama dan
satu-satu. Hehe. rupanya baru sekarang kau tahu siapa diriku,
kan sudah kasip. Maka kuberi nasihat padamu agar lekas kau
tulis saja surat pengakuan dosa bagi dirimu sendiri."
Teriak Ubun Pok murka, "Kurang ajar" Memangnya kau kira
dapat lari cepat lantas aku tidak dapat berbuat apa-apa" Hm,
rebahlah!"
Senjata rahasia Ubun Pok sendiri juga telah dicuri oleh Koaihoat
Thio ketika ia memberikan tube salep tadi. Akan tetapi
bubuk obat yang dapat menimbulkan reaksi berantai itu
terbungkus kertas timah yang sangat tipis dan tersembunyi di
selah-selah kuku jarinya, rahasia ini tidak diketahui oleh Koaihoat
Thio. Maka pada waktu Koai-hoat Thio dikejarnya, sebelum
mendekat segera ia menjentikkan obat bubuk itu dengan
tenaga jari sakti.
Sementara itu Koai-hoat Thio sudah melompat turun ke
bawah undakan, tapi segera ia dipapak oleh dua murid Ubun
Pok. Begitu melihat Koai-hoat Thio, mereka melengak kaget
dan berteriak, "Hah, barangkali ada setan! Kenapa di sini juga
ada seorang Beng Hoa?"
Kiranya kedua orang ini adalah Sikong Ciau dan Buyung Sui
yang dulu pernah ikut Ubun Pok mencari perkara ke Thiansan,
tempo hari mereka sendiri terluka oleh pedang Beng Hoa,
bilamana tidak diobati oleh guru mereka hampir saja kungfu
mereka musnah. Sekarang pun kungfu mereka belum pulih
seluruhnya. Maka mereka serupa burung yang sudah
ketakutan bila mendengar suara jepretan pelinteng bila
melihat Beng Hoa, walau-pun disadari Beng Hoa palsu yang
mereka hadapi, tidak urung kaki pun terasa lemas.
Koai-hoat Thio memegang tube salep yang diterimanya dari
Ubun Pok tadi. dengan gerakan secepat kilat ia poles salep itu
pada lubang hidung Buyung Sui berdua. Menyusul itu dengan
cepat sekali bubuk yang dilemparkan Ubun Pok tadi pun
meledak di depan mereka, bubuk itu berubah menjadi lapisan
kabut tipis. Akibat reaksi berantai obat bubuk dengan salep pada
lubang hidung mereka, kontan Buyung Sui dan Sikong Ciau
bersuara tertahan dan jatuh pingsan.
Dangan terbahak bahak Koai-hoat Thio berkata, "Haha,
caramu memang lihai, sekali bentak lantas merobohkan orang.
Cuma sayang caramu ini hanya dapat merobohkan anak
muridmu sendiri."
Di tengah gelak tertawanya, Pek-toh-sancu telah
ditinggalkannya jauh di belakang. Terdengar suara genta
berdentang. Pek toh-sancu dan rombongannya serentak
mengejar keluar.
Tiba tiba terlihat Beng Hoa berlari di tengah kerumunan
orang banyak, tapi orang banyak itu segera lari terpencar dan
ada yang mendadak roboh terjungkal.
Kiranya rombongan orang itu mestinya hendak mengejar
dan menangkap Beng Hoa, tapi begitu berhadapan mereka
lantas tunggang langgang disengkelit roboh oleh kungfu Beng
Hoa. jadinya bukan mereka yang mengejar Beng Hoa
melainkan mereka yang dikejar anak muda itu.
Padahal Beng Hoa tidak sempat mengurus mereka lagi,
sebab ia terburu-buru ingin bergabung dengan Koai-hoat Thio
sehingga terpaksa ia harus menerjang di tengah orang banyak
yang semula bermaksud mencegatnya.
Tentu saja Koai-hoat Thio sangat girang dan terkejut pula
begitu cepat bertemu dengan Beng Hoa, cepat ia tanya. "Di
mana Ling Peng-ji?"
Ia sangka Beng Hoa sudah dapat menyelamatkan Peng ji
dan nona itu sudah pergi dulu, jika demikian halnya mereka
pun tidak perlu terlibat bertempur dengan musuh.
Tak tersangka Beng Hoa juga lagi tanya padanya, "Di mana
iblis Ubun Pok itu" Hanya bila gembong iblis ini kita tangkap
baru Peng-ji dapat diselamatkan."
Kiranya meski dia telah melukai Ubun Lui yang menjaga
Peng-ji, namun belum tahu tempat dikurungnya nona itu.
Mestinya ia hendak menawan Ubun Lui untuk memaksa
keterangannya, namun kungfu Ubun Lui tidak lemah, terpaksa
sekali gebrak ia lukai lawan dan belum sempat menawannya.
Dalam keadaan kepepet Ubun Lui meledakkan granat
berjarum dan berasap racun, namun baik jarum maupun asap
berbisa itu tidak dapat mencederai Beng Hoa, cuma
kesempatan itu pun digunakan Ubun Lui untuk kabur di balik
asap tebal. Dari seorang penjaga yang ditangkapnya Beng Hoa dapat
mengetahui Ling Peng-ji ditahan di gua bawah tanah. Gua itu
banyak alat perangkap, cara bagaimana masuk gua bawah
tanah dan membuka kamar tahaaan itu hanya diketahui Ubun
Pok dan Ubun Lui saja.
Beng Hoa tidak sempat banyak bicara dengan Koai-hoat
Thio, ia cuma mendesak Koai-hoat Thio lekas membawanya
kembali mencari Ubun Pok.
Koai-hoat Thio sendiri juga belum sempat bertutur dan
sudah terdengar suara meraung murka Ubun Pok yang
memekakkan anak telinga, lalu muncul gembong iblis itu.
"Ubun Pok," bentak Beng Hoa, "apa yang kau katakan
sendiri masa sudah lupa?"
Seperti diketahui, ketika Ubun Pok bertanding dengan Beng
Hoa di Thian-san tempo hari, ia sendiri pernah menyatakan
bilamana ia kalah, maka ia rela diperlakukan sesuka Beng Hoa.
Inilah borok yang memalukan, Ubun Pok kuatir Beng Hoa
membeberkannya di depan anak muridnya, maka dengan
muka merah ia berteriak murka, "Anak keparat, ada jalan
menuju surga tidak kau tuju, neraka tanpa pintu justru akan
kau-terobos! Biarlah hari ini boleh coba kita menentukan matihidup
lagi, apakah kamu yang mampus atau aku yang mati!"
Sembari berteriak ia terus menerjang maju, kedua tangan
menghantam sekaligus.
Beng Hoa sengaja hendak menguji kungfu sendiri, maka
kedua tangannya juga menghantam sekaligus, maka terjadilah
keras lawan keras.
Benturan keempat tangan menimbulkan suara gemuruh.
Beng Hoa tergetar mundur dua-tiga tindak, sebaliknya Ubun
Pok juga tergeliat.
Tampaknyu Ubun Pok sedikit di atas angin dalam adu
pukulan ini. Tapi harus dimaklumi, tangan kiri Ubun Pok
menggunakan Han-peng-ciang. pukulan maha dingin, dan
tangan kanan menggunakan Hwe-yam to yang maha panas.
Bilamana kedua macam ilmu sakti itu di-gunakan, seketika
pihak lawan akan merasakan siksaan panas dingin, sedangkan
Beng Hoa cuma mengandalkan lwekangnya yang murni dan
dapatlah mematahkan kedua macam ilmu sakti lawan, kalau
cuma mengadu Iwekang, biarpun dia tidak diatas Pek tohsancu
Ubun Pok pasti juga takkan dikalahkan olehnya.
Setelah saling gebrak sekali, mau-tak-mau Ubun Pok
terkejut, pikirnya, "Wah, tampaknya tempo hari seumpama
aku tidak bertanding dua babak lebih dulu mungkin juga sukar
mengalahkan dia."
Beng Hoa sendiri diam-diam juga mengeluh, pikirnya, "Hari
ini aku tidak menggunakan Peng pok-han-kong-kiam, untuk
dapat menawan dan rasanya harus memeras tenaga lebih dari
seribu jurus."
Belum habis pikir, dilihatnya Ubun Pok sudah menubruk tiba
pula. Cepat Beng Hoa melolos pedang, sekali berputar,
serentak ia menyerang ke kanan dan ke kiri, kedua macam
ilmu sakti lawan dapat ditahannya, bahkan pedang kelihatan
bergetar dan masih ada sisa tenaga untuk siap balas
menyerang. Meski Pek-toh-sancu Ubun Pok bukanlah jago pedang kelas
tinggi. tapi dia juga seorang ahli ilmu silat, begitu melihat gaya
pedang Beng Hoa segera ia tahu anak muda itu lagi mencari
kesempatan untuk menusuk hiat-to maut.
Celakanya sukar diketahuinya hiat-to mana yang akan
diincar lawan. Dalam keadaan tubuh sendiri sudah terkurung
di bawah cahaya pedang lawan, sedikit lengah saja setiap
hiat-to mana pun sanyat mungkin akan tertusuk.
Kuatir kecundang, cepat Ubun Pok bergeser dan kedua
tangan menghantam pula, dengan tenaga pukulan dahsyat
digunakannya sebagai perisai tidak berwujud.
Sekonyong- konyong terdengar orang menjerit dua kali,
kiranya dua muridnya yang berdiri agak dekat entah tergetar
oleh tenaga pukulan Ubun Pok sendiri atau dicederai oleh
hawa pedang Beng Hoa yang lihai, tahu-tahu keduanya
menggeletak terluka dalam sekejap itu.
Untung tidak terluka parah, mereka masih sanggup
menggelinding jauh ke sana untuk melepaskan diri dari tampat
bahaya. -ooo0dw0ooo- Jilid 21 Beng Hoa melancarkan serangan kilat untuk merebut posisi
yang lebih baik.
Mendadak gerak pedangnya berubah, ujung pedang serupa
diganduli sepotong timbel yang berat, ia menggores lingkaran
dengan pelahan, terjadi lingkaran besar. lingkaran kecil,
lingkaran besar membungkus lingkaran kecil, setiap lingkaran
sama membungkus bayangan tubuh Pek-toh-sancu. Maka air
muka Pek-toh-sancu Ubun Pok pun kelihatan mulai prihatin.
Kiranya Beng Hoa telah menggunakan Si-mi-Kiam-hoat
Thian-san-pai yang ampuh, inilah puncaknya ilmu pedang
yang paling lihai. Beng Hoa mengerahkan segenap tenaga
dalam ke ujung pedang, jangan sangka gerak pedangnya
cuma menuding pelahan begitu saja, kenyataannya membawa
daya tekanan yang luar biasa dahsyatnya.
Biarpun lwekang Ubun Pok sangat tinggi juga merasakan
daya tekan yang berat.
Diam diam Pek-toh-sancu Ubun Pok terkejut, baru sekarang
ia tahu biarpun tanpa memegang Peng-pok-han-kong-kiam
Juga dirinya sukar mengalahkan Beng Hoa.
Terpaksa Ubun Pok bertahan dengan hati-hati dan penuh
semangat, yang diharapkannya sekarang cukup asalkan tidak
kehilangan muka di depan anak muridnya.
Makin lama makin luas lingkaran sinar pedang Beng Hoa,
sebaliknya Ubun Pok terus menyurut mundur selangkah demi
selangkah. Walau-pun begitu masih belum ada tanda-tanda
akan kalah. Sekaligus ia keluarkan kedua ilmu saktinya, yaitu Hwe-yamto
dan Han-peng-ciang, bila tangan kiri bergerak, seketika
timbul angin dahsyat maha dingin. Kalau tangan knnan
menampar, serentak menyambar hawa maha panas yang
menyengat. Anak muridnya jangankan hendak ikut campur, untuk
berdiri saja dalam jarak dekat pun sukar bertahan.
Namun anak murid Pek-toh-san lantas mengalihkan sasaran
mereka terhadap Koai-hoat Thio, segera mareka hendak
menangkap maling sakti itu.
Dengan gesit Koai-hoat Thio mengeluarkan ginkangnya
yang tinggi untuk berputar kian ke mari di tengah orang
banyak, digodanya kawanan murid Pek-toh-san itu, sebentar
di colek muka seorang, lain saat ia jewer telinga seorang lagi.
Terkadang ia sempat menggerayangi saku lawan sehingga
benda berharga dapat dicopetnya serta dilemparkan ke lanlai.
Sebenarnya banyak kesempatan baginya untuk kabur, tapi
dia justru tidak mau lari.
Selagi Koai-hoat Thio merasa senang mempermainkan
musuh, sekonyong-konyong terasa angin mendesir, seorang
menyergapnya dari belakang sambil membentak, "Bangsat,
jangan mentang-mentang paling hebat, ini rasakan
kelihaianku!"
Terkesiap Koai-hoat Thio, tak tersangka olehnya di Pek-tohsan
ada tokoh selihai ini. Cepat ia mengegos, terdengar suara
"blang blung" dua kali, dua orang murid Pek-toh-san kontan
menggeletak menjadi korban pukulan orang itu.
Meski sempat menghindar, tidak urung punggung Koai-hoat
Thio terasa panas pedas terserempet oleh angin pukulan
orang. Kiranya penyerang itu adalah jago nomor dua Pek-toh-san.
yaitu wakil Ubun Pok yang bernama Suma Thi. Dia adik
seperguruan Ubun Pok, meski Han-peng-ciang belum
sempurna dilatihnya, namun Hwe-yam-to sudah dikuasai
dengan baik. Ginkang Koai-hoat Thio nomor satu di dunia,
kepandaiannya mencuri juga nomor satu, namun ilmu silatnya
yang sejati belum masuk hitungan kelas satu. Jika satu lawan
satu jelas dia belum lagi dapat menandingi Suma Thi. Cuma
berkat ginkangnya yang maha tinggi, meski tidak dapat
menang, paling tidak juga takkan terkalahkan.
Sambil mendesak lawan Suma Thi berseru kepada anak
murid Pek-toh-san, "Jangan gugup, pasang barisan dan
kepung musuh!"
Dalam sekejap saja kawanan murid Pek-toh-san lantas
pasang barisan, setiap tujuh orang satu kelompok dan
terbentuklah 28 Jit-sing-tin atau barisan bintang tujuh.
Dengan daya kepung Jit" sing-tin ini, tidak mudah lagi bagi
Koai-hoat Thio untuk menerjang keluar.
Karena terdesak, mendadak Koai-hoat Thio melompat
masuk ke tengah kalangan pertempuran Beng Hoa dan Pektohsancu. Suma Thi yang mendesak terlampau kencang juga
sukar mengerem dan ikut masuk ke dalam kalangan itu.
Meski jarak mereka dengan kedua tokoh besar yang sedang
bertempur itu ada dua-tiga tombak jauhnya, namun tenaga
Durjana Dan Ksatria Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pukulan yang dingin dan panas serta hawa pedang tanpa
wujud itu cukup membuat sesak napas.
Namun dengan gerakan secepat kilat Koai-hoat Thio dapat
menyelinap lewat sehingga daya tekan yang dirasakannya
tidak sehebat Suma Thi.
Panca indera Beng Hoa sangat tajam, begitu Suma Thi
memasuki kalangan pertempuran mereka segera ia membaliki
tangan kiri dan menghantam ke belakang, sedang pedang di
tangan kanan tetap menusuk Pek-toh-sancu.
Pukulan ke belakang ini hanya memakai sebagian tenaga
Beng Hoa dan sudah cukup membuat Suma Thi tergetar
mundur beberapa langkah, untung tidak sampai terbanting
roboh, namun dada pun serasa digodam dan isi perut
berputar. Keruan Suma Thi terperanjat.
Koai Hoat Thio tidak berani tinggal lama di dalam kalangan
pertempuran, cepat ia melompat keluar lagi. Tapi dia tidak
melarikan diri, cara demikian terus digunakan lagi, bila ia
terdesak oleh musuh segera ia menghindar ke dalam kalangan
pertempuran Beng Hoa dan Ubun Pok.
Tanpa terasa pertarungan Ubun Pok dan Beng Hoa sudah
berlangsuug lebih 300 jurus dan tetap belum terjadi kalah dan
menang. Tiba-tiba datang seorang murid Pek-toh-san, melihat sang
guru sedang bertempur sengit. ia tahu kedatangannya tidak
tepat waktunya, tapi urusannya cukup gawat, tidak boleh tidak
harus melapor kepada sang guru.
Ia tidak berani mendekati kalangan pertempuran, maka dari
jauh ia berseru, "Lapor Suhu, ada orang luar menerobos ke
lorong bawah tanah, kami tidak boleh masuk ke sana, meski
Toasuheng berada di dalam sana, namun bisa jadi . . . bisa
jadi..." Toa suheng yang disebutnya adalah Ubun Lui. Pek tohsancu
sudah tahu Ubun Lui terluka, tanpa diberitahu lebih
lanjut oleh murid ini juga ia tahu maksudnya.
Maklumlah, pintu jalan di bawah tanah itu hanya dapat
dibuka oleh Ubun Pok sendiri dan Ubun Lui, seharusnya orang
luar sukar mengetahui rahasia ini. Tapi sekarang tidak ada
waktu baginya untuk menanyai muridnya, ia cuma menegas,
"Musuh datang berapa banyak" Terdiri dari tokoh macam
apa?" "Musuh cuma datang seorang saja, seorang pemuda yang
tidak diketahui asal-usulnya," lapor murid tadi..
Hanya seorang pemuda saja dapat menerobos ke lorong
bawah tanah yang sangat dirahasiakannya, hal ini tentu saja
membuat Ubun Pok sangat terkejut.
Pertarungan di antara tokoh kelas tinggi mana boleh
meleng sedikit pun, mendadak Beng Hoa memainkan Tui
hong-kiam- hoat, terdengar suara "crit crit" beberapa kali,
tahu-tahu baju Pek-toh-sancu terobek tiga tempat. Bilamana
dia tidak cepat menarik kembali tangannya untuk bertahan,
mungkin ia sudah dilukai pedang Beng Hoa
Memangnya Pek-toh-saucu sedang kuatir akhirnya akan
dikalahkan oleh Beng Hoa bilamana pertempuran berlangsung
lebih lama lagi, maka berita tdak menguntungkan yang dibawa
muridnya itu justru ada baiknya untuk dia, sebab hal ini dapat
digunakan sebagai alasan untuk melepaskan diri dari serangan
Beng Hoa sehingga tidak sampai kehilangan muka di depan
anak muridnya. Bukan saja gengsinya dapat dipertahankan,
malahan keadaan yang tidak menguntungkan dapat berubah
menjadi menguntungkan.
Otak Ubun Pok dapat bekerja cepat, ia yakin pemuda yang
menerobos ke lorong bawan tanah yang merupaban tempat
rahasia itu tentu bertujuan hendak menolong Ling Peng-ji,
seumpama bukan anak murid Thian-san-pai tentu juga orang
yang berhubungan erat dengan Beng Hoa. Dan bilamana
orang ini dapat ditawannya, akan bertambahlah sandera yang
dupat digunakan untuk mengancam Beng Hoa.
Berpikir demikian, ia ambil keputusan cepat, langsung ia
putar tubuh dan lari.
"Lari ke mana"!" bentak Beng Hoa.
Pek-toh-sancu mengayun tangan ke belakang, dari kuku
jarinya terselentik seutas asap hitam, inilah asap berbisa yang
merupakan senjata pembela dirinya yang terakhir, bubuk
berbisa tersembunyi di kuku jari, begitu terselentik lantas
berubah menjadi asap.
Lwekang Beng Hoa sangat tinggi, segera ia menghantam
dari jauh, dengan angin pukulan ia buyarkan api berbisa,
walaupun terisap juga setitik asap itu juga tidak beralangan
baginya. Namun sedikit ayal itulah telah digunakan oleh Pektohsancu untuk kahur.
"Suma-sute," seru Pek-toh-sancu. "hendakya gunakan
barisan tujuh bintang itu untuk mengurung musuh. setelah
kutangksp bangsat cilik itu segera kukembali ke sini."
Sehabis memberi pesan ini, segera ia kabur pergi.
Meski pesan itu hanya untuk menjaga gengsi saja, tapi juga
bukan sama sekali tidak ada alasannya. Terhadap anak murid
yang tidak menurut perintah biasanya dia memang bertindak
keji tanpa ampun. Para muridnya takut mendapatkan
hukuman, terpaksa mereka merintangi Beng Hoa dengan matimatian,
ke-28 barisan bintang tujuh mengepung dengan rapat
dan sukar diterobos begitu saja.
Apa yang terpikir oleh Pek-toh-sancu Ubun Pok dengan
sendirinya juga terpikir oleh Beng Hoa.
Siapa pemuda yang menerjang ke lorong bawah tanah itu"
Yang terpikir oleh Ubun Pok adalah orang itu pasti sangat erat
hubungannya dengan Beng Hoa dan Ling Peng-ji andaikan
bukan anak murid Thian-san-pai.
Dan Bong Hoa malahan langsung yakin pemuda itu pasti
Nyo Yam adanya. Ia cukup kenal watak Nyo Yam yang tidak
gentar menghadapi apa pun itu. Demi Ling Peng-ji, pernah
Nyo Yam bertindak mengejutkan, tanpa peduli adat istiadat
dan tidak takut dicemooh orang, bahkan ia tidak sayang
bermusuhan dengan Tianglo perguruan sendiri dan tidak
gentar dipandang sebagai murid murtad.
Kecuali Nyo Yam, siapa pula yang rela menghadapi risiko
sebesar itu bagi Ling Peng-ji.
Setelah Bang Hoa yakin yang datang itu pasti adiknya,
dengan sendirinya ia wangat cemas sebab betapa lihai kungfu
Pek-toh-sancu sudah diketahuinya, jelas Nyo Yam bukan
tandingannya. Dari manakah Nyo Yam tahu lorong bawah tanah rahasia
itu dan dapat masuk ke sana dengan leluasa, adakah
perangkap di lorong itu, semua ini tidak diketahui Beng Hoa.
Cuma menurut tafsiran umum, biarpun Nyo Yam tahu jalan
masuk ke lorong bawah tanah itu, betapapun perangkap
rahasia di situ tidak mungkin diketahui seluruhnya.
Terkilas dalam benak Beng Hoa adegan apa yang terjadi.
terbayang Nyo Yam terkurung di bawah tanah dan akhirnya
tertawan. saat itu seakan-akan sedang disiksa oleh Ubun Pok.
Ia perlu bergerak cepat untuk menerjang keluar kepungan
dan baru sempat menyelamatkan adiknya. Akan tetapi ke 28
barisan bintang tujuh itu tetap mengerubutnya selapis demi
selapis, seketika Beng Hoa mana mampu membobol
kepungan. Sekilas lirik terlihat Koai-hoat Thio telah terkurung oleh
sebuah Jit-sing-tin, Suma Thi sedang melabraknya, sehingga
dia terdesak agak kelabakan dan cuma dapat menghindar kian
kemari dan tidak sanggup balas menyerang.
Mendadak Beng Hoa membentak, ia terjang ke tengah
kalangan, dengan tendangan berantai ia membuat dua anak
murid Pek-toh-san mencelat keluar kalangan. Dalam pada itu,
dengan cepat barisan kedua lantas membanjir tiba dan
mengurung Koai-hoat Thio, sedang Suma Thi membalik tubuh
untuk menghadapi Beng Hoa.
"Jangan temberang, biar ku . .. . " ia sangka setelah
bertempur sengit sekian lama, kekuatan Beng Hoa tentu
sudah banyak berkurang, betapa pun dirinya pasti sanggup
melayani belasan jurus, asalkan anak muda itu ditahan
sementara, segera barisan Jit-sing-tin akan membanjir tiba
untuk membantunya.
Siapa tabu baru saja ia menyebut "ku", tahu-tahu sinar
pedang berkelebat, kontan Suma Thi roboh terkapar. Belum
lanjut ucapannya tubuhnya sudah berlubang dan binasa.
Hanya tekali gebrak saja Suma Thi terbunuh, keruan anak
murid Pek-toh-san sama terkejut. Menurut aturan, ketujuh Jitsingtin lapis pertama harus mendesak maju selangkah demi
selangkah dan makin menyempitkan lingkaran kepungan.
Namun ketujuh Jit-sing-tin lapis pertama ini ditelah dibobol
oleh Beng Hoa, lapis kedua sedang mengepung Koai-hoat
Thio. setelah Suma Thi mati, dengan gugup mereka lantas
menyurut mundur sehingga kepungan terhadap Koai-hoat Thio
lantas bobol dengan sendirinya.
Sisa lima lapis Jit-sing-tin yang lain terdiri dari 35 anak
murid Pek-toh san, mereka sama tertegun menyaksikan apa
yang terjadi sehingga tidak segera bergerak.
"Haha, Thian Maha Pengasih, Beng-taihiap, biarkan
kuwakilkan engkau membereskan mereka saja!" seru Koaihoat
Thio dengan tertawa.
Sembari bergelak kedua tangannya bekerja cepat, seketika
cahaya emas gemerdep dan asap berhamburan. Rupanya tadi
ia tidak berani sembarangan menggunakaa senjata rahasia
karena Beng Hoa sedang bertempur sengit melawan Ubun
Pok, pantangan ini sekarang sudah tidak perlu dipikir lagi.
Maka Sin-sian-wan, Tok-bu-tan (granat kabut berbisa), linghingciam (sejenis jarum lembut). Tau-kut-ting (paku
penembus tulang) dan lain-lain berbagai senjata rahasia khas
Pek-toh-san yang dicopetnya tadi serentak dihamburkan.
Walaupun anak murid Pek-toh-san sendiri membawa obat
penawar racun, akan tetapi mereka terisap kabut berbisa lebih
dulu sehingga tahu-tahu mereka sama roboh pingsan.
Koai-hoat Thio mengulum obat penawar dalam mulut, tapi
ia pun tidak berani tinggal lama di situ, ketika anak murid Pektohsan sama roboh, segera ia menerjang keluar dengan
ginkang yang tinggi.
"Haha, itu namanya senjata makan tuan, sungguh bagus!"
seru Beng Hoa dengan tertawa seraya menyusul ke arah Koaihoat
Thio. Namun di depan sana masih ada rintangan, mereka harus
menelusuri sebuah jalanan sempit baru dapat mencapai
belakang gunung. Puncak gunung ini dijaga 20-30 murid Pektohsan, serentak mereka memapak Beng Hoa berdua dengan
panah dan batu.
Mendingan cuma panah dan batu, yang paling lihai adalah
alat semprot api yang mereka gunanya, api berbisa itu dapat
disemburkan sejauh belasan tombak, lidah api yang hebat itu
mengalangi Beng Hoa menerobos ke atas puncak.
Tiba-tiba Beng Hoa mendapat akal, katanya, "Paman Thio,
masih tersisa granat kabut berbisa padamu atau tidak?"
"Masih ada dua buah " sahut Koai-hoat Thio.
"Baik, berikan padaku," kata Beng Hoa pula dan menerima
kedua buah granat asap berbisa itu, segera dilemparkannya
dengan tenaga selentikan.
Granat kecil serupa peluru itu mestinya sukar mencapai
jauh, tapi karena tenaga selentikan Beng Hoa yang kuat itu
sehingga kedua biji granat itu seperti dibidikkan melalui laras
bedil dan meletus di atas kepala kawanan pengejar.
"Serang api dengan api, serang racun dengan racun, ini
namanya menerima harus memberi, bagus, bagus sekali!"
kata Koai-hoat Thio dengan tertawa.
Tengah bicara, kontan ada beberapa orang menggelinding
ke bawah, dengan sendirinya alat semprot api tidak dapat
bekerja lagi. Setelah menerobos rintangan ini, di depan tidak ada
pengalang lagi. Namun perasaan Beng Hoa yang tertekan
belum lagi lenyap.
Yang dikuatirkan adalah setelah tertunda sekian lama,
apakah masih keburu menyelamatkan Nyo Yam"
Begitulah hati Beng Hoa berdetak keras. kuatir adiknya
telah mengalami nasib malang di bawah tangan keji Pek-tohsancu.
Apalagi Nyo Yam terkurung di bawah tanah, andaikan
belum celaka juga sukar melepaskan diri dari Pek-toh-sancu.
Dan bila Nyo Yam tidak sempat membuka pintu rahasia bawah
tanah, tentu juga Bong Hoa tidak mampu masuk ke sana.
Sekarang harapan Beng Hoa hanya terletak pada Koai-hoat
Thio, sebagai copet sakti nomor satu di dunia, Koai-hoat Thio
dapat keluar masuk ke tempat mana pun seperti keluar masuk
di rumah sendiri, pintu bergembok sekukuh apa pun bukan
soal baginya. Bisa jadi ia dapat menyelami rahasia lorong di
bawah tanah, berdasarkan pengalamannya yang luas dapatlah
ia membuka pesawat buka-tutup lorong rahasia itu.
Sudah tentu, harapannya yang utama adalah scmoga Nyo
Yam tidak mengalami cedera apa-apa, namun kedua
harapannya itu rasanya tetap sangat tipis.
Sementara itu Pek-toh-sancu Ubun Pok sudah masuk ke
lorong bawah tanah. Sejak tadi Ia pun sudah bertarung
dengan pemuda pemberani itu.
Pemuda itu ternyata bukan Nyo Yam.
Anak muda ini berhasil membekuk Ubun Lui ycng
bersembunyi di lorong bawah tanah itu. Pada waktu Pek-tohsancu
masuk ke situ, ketika itu dia sedang mengancam Ubun
Lui agar membawanya pergi menolong Ling Peng-ji.
Pek-toh-sancu pernah bergebrak dengan Nyo Yam, maka
begitu melihat pemuda ini bukan Nyo Yam adanya, legalah
hatinya. Hendaknya maklum, setelah bertempur sengit melawan
Beng Hoa sekian lamanya, paling sedikit tenaganya sudah
terkuras lebih sepertiga. Ia pikir jika pendatang ini Nyo Yam
adanya, mungkin aku harus banyak membuang tenaga lagi,
asalkan dia bukan Nyo Yam, tokoh angkatan muda umumnya
siapa kiranya yang mampu melawan aku"
Jalan pikirannya ini tidaklah berlebihan atau terlalu
sombong, pemuda setangguh Nyo Yam, bahkan pemuda yang
lebih tua dari pada Nyo Yam juga jarang yang memiliki kungfu
setinggi Nyo Yam, andaikan ada juga dapat dihitung dengan
jari. Waktu itu pemuda berani itu sedang mengancam Ubun Lui,
"Ayo, ingin hidup atau mati" Jika ingin hidup lekas mengunjuk
jalan bagiku...."
Belum habis ucapannya, secepat terbang Pek-toh-sancu
Ubun Pok telah menerjang tiba dan mendadak muncul di
Durjana Dan Ksatria Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hadapannya. "Hahahaha!" Pek-toh-sancu terbahak-bahak, "Aku saja yang
menjadi penunjuk jalan bagimu, akan.. knubawa dirimu ke
pintu neraka!"
Sambil tergelak segera ia menghantam, sasarannya bukan
pemuda itu melainkan Ubun Lui malah.
Ia menggunakan ilmu pukulan secara tidak langsung, yang
dipukul udalah tubuh Ubun Lui, tapi yang terkena gentaran
tenaga pukulannya justru adalah pemuda itu.
Dengan pukulan yang dahsyat ini ia sangka andaikan
pemuda itu tidak mati juga pasti akan terluka parah, sispa
tahu hasilnya justru sama sekali diluar dugaannya.
Baru saja telapak tangannya mengenai punggung
kemenakan sendiri, terasakan suatu arus tenaga maha
dahsyat serentak mengbantam balik "Blang", Ubun Lui jatuh
ke tanah, sedangkan pemuda itu tergetar mundur beberapa
langkah, Pek-toh-sancu sendiri juga tidak sanggup berdiri
tegak dan berputar dua kali baru dapat berdiri tegak lagi.
Sungguh sama sekali di luar dugaan bahwa pemuda ini pun
menguasai ilmu menyalurkan tenaga melalui tubuh orang lain,
bahkan sanggup melawan Ubun Pok dengan sama kuat.
Yang digunakan sebagai perantara untuk mengadu tenaga
mereka adalah tubuh Ubun Lui, mestinya benda yang menjadi
perantara itu takkan cedera, namun tubuh manusia tidak
dapat di-bandingkan dengan benda mati, dengan sendirinya
Ubun Lui yang kena getahnya, meski tidak sampai binasa,
keadaannya tampak payah juga.
Pek-toh-sancu adalah orang yang berpengalaman luas,
setelah tergetar tenaga murni lawan, tentu saja ia terkejut, ia
pikir,"Agaknya inilah Liong-siang-kang dari negeri Thian-tiok,
setahuku jago Tionggoan yang menguasai Liong-siang-kang
asli hanya Toan Kiam-jing saja, mengapa pemuda ini juga
mahir menggunakan Liong-siang-kang, bahkan tidak di bawah
Toan Kiam-jing."
Segera ia membentak, "Siapa kamu ini" Ada hubungan apa
antara dirimu dengan Toan Kiang-jing" Apakah kamu diminta
datang kemari untuk mencari orang" Jika begitu hendaknya
berunding secara baik-baik denganku, mengapa sembarangan
menerobos di rumah orang" Memangnya kamu tidak tahu, di
hadapanku juga Toan Kiam-jing menghormatiku sebagai orang
tua." Tempo hari Toan Kiam-jing dilukai oleh senjata rahasia
Liong Leng-cu, kesempatan itu di-gunakan oleh Pek-toh-sancu
untuk membawa lari Ling Peng-ji dan tidak urus mati-hidup
Toan Kiam-jing, kawan yang terluka itu ditinggal lari sendirian.
Disangkanya Toan Kiam-jing masih dendam atas kejadian itu
dan sengaja mengutus saudara seperguruannya untuk datang
mencari perkara padanya.
Setelah tergetar mundur, pemuda tadi juga terkejut, ia
pikir, "Liong-siang-kang tingkat kedelapanku ternyata tidak
dapat mengalahkan dia, tampaknya hari ini terpaksa harus
bertempur mati-matian.?"
Segera ia melolos pedang, jengeknya, "Memang sudah
kuduga kamu ini pasti berkomplotan dengan si bangsat Toan
Kiam-jing, tidak perlu kamu mengaku lagi. Awas pedang!"
Begitu mengenali jurus serangan pemuda itu, kejut Pek-tohsancu
bukan kepalang.
Jalan di bawah tanah yang gelap itu gemeredep oleh
cahaya pedang yang diputar pemuda itu dan bertebaran
serupa bintang di langit.
Yang dimainkan adalah Peng-coan-kiam-hoat, meski yang
dipakai bukan Peng-pok-han-kong-kiam, hawa dingin yang
merasuk tulang dapat juga dirasakan oleh Pek-toh-sancu.
Karena sibuk melayani ilmu pedang lawan, Pak toh-sancu
tidak sempat mengurusi kemenakan sendiri yang sekarat itu.
Lebih dulu ia menghantam dangan telapak tangan kanan,
Hwe-yam-to dilancarkan sehingga membawa angin dahsyat
yang panas. "Eh, enak segar!" kata pamuda itu, gerak pedangnya sama
sekali tidak terpengaruh, tetap menyerang dengan gencar.
Cepat Pok toh-sancu menggunakan Han-peng-ciang tangan
kiri, angin mendesir membawa hawa maha dingin..
Mendadak pemuda itu bersin dan gerak pedang tampak
agak lambat. Pek-toh-sancu kegirangan, pikirnya, "Kiranya bocah ini
meski mahir Peng-coan-Kiam-hoat, tapi belum sempurna
sehingga tidak mampu menahan hawa dingin Han-peng-ciang.
Jika demikian, biarpun dia memegang Peng pok-han-kongkiam
juga tidak dapat digunakannya."
Segera ia kerahkan tenaga pukulan lagi, Hwe yam-to tidak
digunakan, tapi menghimpun tenaga pada tangan kiri dan
mengeluarkan segenap daya serang Han-peng-ciang.
Meski pemuda itu terdesak sehingga cuma sanggup
bertahan saja, namun belum kelihatan tanda tanda akan
kalah. Pek-toh-sancu menjadi tidak sabar, pikirnya, "Entah
mengapa ia tahu cara membuka pintu rahasia di sini, jika dia
dapat membukanya, bukan mustahil ada begundalnya yang
ikut ke sini. Untuk mengalahkan dia rasanya harus kuserang
hingga ratusan jurus, lantas bagaimana baiknya?"
Tiba-tiba ia mendapat akal, ia pikir kalau Han-peng ciang
sendiri dapat mengatati lawan, kenapa tidak memancingnya
ke gua es, jika lawan memang tidak dapat menahan hawa
dingin, kan tidak sulit lagi untuk menangkapnya.
Setelah ambil keputusan, Pek-toh-sancu lantas putar tubuh
dan lari. " Lari ke mana!" bentak pemuda itu.
"Hm, seharusnya kau tahu diri, kamu bukan tandinganku,
jadi tidak nanti kulari karena takut padimu," jengek Pek-tohsancu.
"Aku cuma kuatir kamu penasaran selama belum
melihat Ling Peng-ji, kan sia sia kedatanganmu dengan
menyerempet bahaya sebesar ini. maka sengaja hendak kucari
kesempatan padamu untuk bertemu dulu dengan Ling Peng-jl,
habis itu baru kukirim dirimu menghadap raja akhirat."
Pemuda itu balas mendengus, "Hmm, siapa percaya kepada
ocehanmu, memangnya kamu punya maksud baik hendak
membawaku menemui Peag-ji?"
"Sebenarnya kamu tidak dapat menandingiku, buat apa
kutipu dirimu" Jika kamu tidak herani sebaiknya jangan
mengejar kemari."
"Kenapa kutakut padamu, biarpun kau lari ke langit pun
akan kukejar ke sana," bentak si pemuda dengan murka, ia
benar-benar mengejarnyaTiba-tiba suara seorang nona berseru, "Se-kiat, jangan
tertipu olehnya. Aku terkurung di dalam gua es, tidak bisa kau
tolong diriku. Jangan sia-siakan nyawamu, lekas lari saja."
Kiranya pemuda ini bukan lain dari pada Ce Se kiat. kakak
misan Nyo Yam. Suara si nona berkumandang dari bawah tanah, terdengar
agak parau. tapi Se-kiat dapat mengenalnya sebagai suara
Ling Peng-ji. Diam-diam Se-kiat merasa geli, ia pikir Pek-toh-sancu
sengaja hendak, memancingnya ke gua es, kenapa tidak
kuturuti dia dan berbalik memperalat akalnya itu. Cuma Lengcu
tahu kepandaianku, Pek-toh-sancu memancingku ke gua es
seharusnya ia bergirang bagiku, mengapa ia malah
merintangiku" Ah, betul, mungkin ia kuatir kungfu lawan
teramat lihai, jika selisih kepandaianku dengan lawan sangat
jauh. kematianku di dalam gua es bisa tambah cepat. Padahal
apa pun kepandaianku takkan selisih jauh dengan musuh.
cuma sayang saat ini tak dapat kujelaskan kepada Ling-cici."
Ia terus mengejar dengan kencang dan ikut Pek-toh-sancu
masuk ke sebuah gua di bawah tanah. Aneh juga, begitu
memasuki gua itu, pandangannya justru bertambah terang.
Kiranya gua ini adalah batang sungal es berumur jutaan
tahun, karena perubahan pada kerak bumi, sudah lama sungai
es purba ini kehilangan daya kerjanya sehingga berubah
menjadi sungai es mati, serupa gunung api mati, sungai es
mati selamanya tidak dapat cair. Dari sungai es berubah lagi
menjadi gua es dan penuh lapisan es abadi.
Cahaya terang di dalam gua es ini hanya cahaya pantulan
dinding es. Begitu masuk koe dalam gua es, segera di-rangsang hawa
dingin yang merasuk tulang, darah pun rasanya seperti mau
beku. Mendadak Pek-toh-sancu membentak, "Jika kamu ingin
menemui Ling Peng-ji, kamu harus memusnahkan ilmu silat
sendiri lebih dulu,"
"Hm, memang sudah kuduga ucapanmu tidak dapat
dipercaya," jengek Ce Se-kiat. "Jika mampu, boleh coba kau
punahkan ilmu silatku."
"Haha, anak keparat, kau sendiri yang bilang demikian,
jangan menyesal jika kubinasakanmu," jengek Pek-toh-sancu,
berbareng tenaga pukulan Pian peng-ciang yang dahsyat terus
mendampar ke sana.
Sekali lagi terjadi di luar dugaan Pek toh-san-cu, ternyata
Ce Se-kiat tidak beku kedinginan seperti dugaannya,
sebaliknya kelihatan bersemangat malah. Peng-coan-kiamhoat
yang dimainkan juga bertambah kuat .
Sementara itu Nyo Yam dan Liong Leng-cu sedang
menempuh perjalanan cepat menuju Pek-toh-san dengan kuda
pilihan pemberian Lohai.
Mereka kuatir kuda tunggangan tidak tahan hawa maha
dingin di puncak punung, maka setiba dl lereng gunung,
mereka lantas meninggalkan kuda dan mendaki gunung
dengan berjalan kaki.
Selagi mereka mendaki ke atas, tiba-tiba terlihat seorang
pengemis perempuan, badan bungkuk, rambut semrawut,
baju compang camping dan dekil, langkahnya lemah dan
sempoyongan. Bahwa di pegunungan Pek-toh san ini bisa muncul seorang
pengemis perempuan serupa ini sungguh mengherankan,
malahan pengemis perempuan ini seperti sengaja hendak
menghindari mereka, hal ini tentu saja menimbulkan rasa
curiga mereka. Sasudah dekat, Leng-cu membentak, "Angkat kepalamu,
akan kuberi sedekah, kalau tidak tentu kau tahu sendiri
akibatnya."
Dengan gemetar pengemis perempuan itu mengangkat
kepala dan ternyata mukanya penuh noda darah.
"Hai, parempuan ini seperti pernah kulihat entah di mana?"
Leng-cu bsrsuara heran.
Nyo Yam coba mengamat amatinya sejenak, mendadak ia
membentak, "Hah, perempuan siluman she Bok, kau kira
dengan menyamar begini akan dapat mengelabui kami?"
Kiranya pengemis perempuan ini adalah gundik kesayangan
Pek-toh-sancu Ubun Pok, yaitu Pok Him-him adanya. Biasanya
Bok Him-him suka berdandan rapi dan bersolek berlebihan,
sungguh mimpi pun Nyo Yam tidak menyangka orang bisa
berubah semacam ini.
Bok Him-him menyurut mundur beberapa langkah,
mendadak ia berlutut dan memberi hormat, ratapnya, "Mohon
belas kasihan kalian, coba lihat, aku telah disiksa sedemikian
rupa oleh Pek-toh-sancu."
"Oo. jadi kamu telah diusir oleh lakimu?" tanya Nyo Yam
dengan heran. "Apa sebabnya."
Dengan air mata bercucuran Bok Him-him bertutur, "Dia ...
dia bukan suamiku, dia seorang lalim. aku dianggapnya seperti
budaknya. Pada waktu dia suka padaku, aku dipandangnya
serupa burung kenari, bila tidak disukai, aku diinjak-injaknya
seperti sampah. Sungguh aku tidak . tidak tahu . . . huk, huk .
. " Akhirnya ia menangis sedih sehingga sukar menceritakan
sebab apa ia diusir Pek-toh-sancu Ubun Pok.
Rupanya Pek-toh-sancu benci padanya karena perempuan
ini masih main gila dengan lelakl lain, bahkan mengkhianati
suami sendiri, maka Ubun Pok menyuruh orang
menangkapnya pulang dan memunahkan ilmu silatnya serta
merusak wajah-nya, habis itu baru diusir pergi, membiarkan
perempuan ini hidup atau mati sendiri.
Meski Liong Leng-cu pernah dikerjai oleh perempuan jahat
ini, tapi sekarang mau-tak-mau timbul juga rasa simpatinya
sebagai orang perempuan terhadap sesama jenisnya, segera
ia menarik bangun orang, tanyanya, "Dan selanjutnva apa
yang akan kau lakukan?"
Bok Him-him mengusap air mata, ucapnya sedih, "Aku tidak
tahu masih sanggup tahan hidup berapa hari lagi, mana
kuberani memikirkan apa yang akan kulakukan selanjutnya"
Ai, kutahu pernah berbuat salah terhadap kalian, biarpun
kalian membunuhku pun aku tidak menyesal. Yang kuharapkan
hanya supaya kalian membunuhku dengan cepat
saja." "Kami takkan membunuhmu, kami cuma menghendaki kau
suka membeantu sesuatu urusan bagi kami," kata Leng-cu.
"Urusan apa?" tanya Bok Him-him.
"Bicara terus terang, kedatangan kami ini hendak menolong
Ling Peng-ji, apakah kau tahu dia dikurung dimana?" tanya
Nyo Yam. "Yang datang hanya . . . hanya kalian berdua?" tanya Bok
Him-him dengan sangsi.
Nyo Yam tahu perempuan itu merasa takut, segera ia
acungkan Peng-pok han-kong-kiam, katanya, "Kakakku pun
segera menyusul tiba. Se-umpama kakak tidak datang, dengan
pedang ini pun kusanggup menandingi dia, daya serang
pedang ini tentu sudah kau rasakan."
Bok Him-him diam saja tanpa menanggapi, agaknya dia
masih sangsi. "Jika kau takut, aku pun tidak mau memaksa-mu," kata Nyo
Yam. "Tapi kuminta kau beritahukan padaku tempat
tahanannya, biar kami sendiri yang mencarinya."
Seketika timbul rasa dendam Bok Him-him, pikirnya,
"Bangsat tua itu menyiksaku seperti ini, biarpun mati juga
harus kubalas sakit hati ini."
Segera ia mendongak dan berkata dengan ikhlas, "Tempat
itu sukar didatangi orang luar, biar kubawa kalian ke sana."
Memang betul juga, kecuali Ubun Pok dan Ubun Lui berdua,
di Pek-toh-aan hanya Bok Him-him saja yang tahu cara
bagaimana membuka pintu rahasia lorong di bawah tanah itu.
Pada waktu Pek toh-sanca Ubun Pok mengusirnya, hal ini
tidak terpikir olehnya.
Durjana Dan Ksatria Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Yang lebih tidak terpikir oleh Pek-toh-saucu adalah bekas
gundik kesayangannya ini sekarang bisa berubah menjadi
penunjuk jalan bagi musuh.
Begitulah Bok Him-him lantas membawa Nyo Yam dan
Leng-cu ke atas Pek-toh-san.
Meski yang ditempuh Bok Him-him adalah sebuah jalan
rahasia, namun Sepanjang jalan ia selalu kebat-kebit, kuatir
kepergok orang.
Siapa tahu sepanjang jalan aman tentram tanpa terjadi
sesuatu, di luar dugaan mereka dapat mencapai pintu masuk
lorong rahasia itu dengan aman.
Kiranya pada saat itu segenap anak murid Pek-toh-san
sedang berkumpul di depan gunung dan membantu sang guru
menghadapi Beng Hoa.
ia berhenti di depan sebuah dinding batu, tampaknya
dinding batu itu tiada bedanya serupa batu gunung lain, tiada
sesuatu tanda yang mencurigakan. Tapi bila diperhatikan
dengan cermat akan ketahuan ada sepotong batu aneh.
Itulah sepotong batu yang berbentuk serupa mimbar
berbunga teratai, enam ujung kelopak bunga yang menonjol
ke atas serupa kelompok bunga teratai.
"Hei, rasanya seperti pernah kulihat batu semacam ini
entah di mana," kata Leng-cu.
"Batu ini dipahat dengan tenaga manusia, mana mungkin
pernah kau lihat di tempat lain?" kata Bok Him-bim.
"Ya, betul, ingatlah aku," kata Leng-cu. "Pernah kulihat batu
semacum ini di sebuah kelenteng kuno di Mo kui-sia (kota
hantu), yaitu mimbar bunga teratai di bawah sebuah patung
budha, patung budha sudah lama ambruk, hanya tertinggal
mimbar bunga teratai saja yang masih bertengger di sana.
Mimbar teratai itu terukir dari batu, bentuknya sama serupa
batu ini."
"Oo. apa betul begitu?" tanya Bok Him-him. "Tapi batu ini
justru adalah pesawat rahasia untuk masuk ke lorong bawah
tanah." Sembari bicara ia pun menarik dan menggoyangkan
kolompak bunga batu, namun batu itu tetap tidak bergeming.
Nyo Yam teringat sesuatu, tanyanya, "Bilakah kau pergi ke
Mo-kui-sia?"
"Waktu kecil pernah kudatang ke sana bersama ibu, tatkala
itu usiaku kiia kira baru tujuh - delapan tahun," kata Leng-cu.
Tengah bicara, terdengar suara "kriet-kriut", batu berbenluk
mimbar teratai itu mendadak terbuka kekanan-kiri dan muncul
sebuah lubang gua.
"Pernah kudengar dari bangsat tua, katanya di bawah tanah
ada sebuah gua es yang biasa di-gunakan mengurung anak
murid yang melanggar peraturan," tutur Bok Him-him. "Aku
sendiri tidak pernah masuk ke gua itu besar kemungkinan
nona Ling terkurung di sana, maka bolehlah kalian mencarinya
sendiri, aku tidak dapat mengiringi lebih jauh."
Habis bicara buru-buru ia melangkah pergi sehingga lupa
menutup kembali pintu lorong rahasia itu.
Suhu dingin dalam gua es segera menyerang, meski gua es
terletak di ujung lorong sana, jaraknya masih sangat jauh
dengan pintu masuk. tapi begitu mereka masuk ke lorong
bawah tanah segera terasa dingin luar biasa.
"Adik Cu, apakah engkau kedinginan?" tanya Nyo Yam.
Leng-cu tertawa, jawabnya, "Aku dibesarkan di negeri es,
betapa dingin tetap kutahan, aku justru menguatirkan dirimu
yang tidak tahan."
Nyo Yam tertawa, katanya, "Meski lwekang-ku ini tidak
seberapa hebat, rasanya hawa dingin begini saja takkan
menggangguku. Oya, urusan kota hantu belum selesai
kubicarakan. Apakah kau tahu Ce Se-kiat juga pernah datang
ke kota hantu itu?"
"Kan sudah lama kudengar dari ceritamu bahwa di bawah
kota hantu itu ada juga sebuah gua es, dia terkurung di gua
es itu selama tiga tahun," kata Leng-cu. "Kemudian terjadi
gempa bumi yang menghancurkan kota hantu itu, di bawah
reruntuhan puing itulah dia lolos dengan selamat."
"Masih ada sedikit yang belum pernah kuceritakan, yaitu
apakah kau tahu sebab apa terjerumus ke dalam gua es itu?"
tanya Nyo Yam. "Mimbar bunga teratai yang pernah kau lihat
itu justru adalah pesawat rahasia tempat masuk ke dalam gua
es. Waktu itu ia sedang bertempur sengit melawan seorang
padri asing, padri itu mendadak membuka pesawat rahasia
dan mendorong Se-kiat terjerumus ke dalam gua es itu."
"mengapa engkau teringat kepada peristiwa itu?" tanya
Leng-cu. "Se-kiat sendiri sudah tahu cara membuka pesawat
rahasia." kata Nyo Yam. "Apabila pesawat rahasia di kota
hantu itu serupa dengan pesawat rahasia ini .... "
"O, rupanya engkau berharap Ce Se-kiat juga akan datang
kemari untuk menolong Ling-cicimu," ucap Leng-cu dengan
tertawa. "Ling-ciciku kan juga Ling-cicimu?" ujar Nyo Yam. "Pada
waktu aku berada di Lodan sudah kuketahui dia bermaksud ke
Pek-toh-san sini. Ia mahir Peng-coan kiam-hoat, sedang Peng
pok-ban-kong-kiam berada padaku, kebetulan dapat
kuserahkan pedang ini untuk digunakan dia, dengan demikian
kemungkinan untuk menang bagi kita menghadapi Pek-toh
sancu akan bertambah besar."
"Meski Se-kiat bilang mau ke sini, masakah kedatangannya
bisa sedemikian kebetulan?" ujar Leng-cu dengan tertawa.
Akan tetapi kejadian terkadang memang sangat kebetulan.
Justru baru saja lenyap suara Liong Leng-cu lantas terdengar
suara yang berkumandang dari gua es.
Itulah suara pertarungan sengit yang sedang berlangsung
antara Ce Se-kiat melawan Pek-toh-sancu Ubun Pok.
Diam-diam Pek-toh-sancu lagi mengeluh, tak tersangka
sudah bergebrak lebih seratus jurus, meski dirinya sudah di
atas angin, namun tetap belum dapat mengalahkan Se-kiat.
Sebaliknya anak muda itu semakin lama semakin
bersemangat malah, justru Ubun Pok sendiri yang terasa mulai
kehabisan tenaga.
Kiranya pertarungan yang berlangsung dalam gua es justru
sangat diharapkan oleh Ce Se kiat.
Dahulu Se-kiat pernah berlatih kungfu selama tiga tahun di
dalam gua es di bawah kota hantu, ilmu sakti ajaran padri
Thian-tiok dulu ternyata jauh lebih tahan dingin daripada
lwekang ajaran Thian-san-pai.
Arus dingin gua es di bawah kota hantu dulu setiap hari
berjangkit dua kali, malahan jauh lebih dingin daripada arus
dingin gua es di Pek-toh-san ini. Beribu kali ia diterjang arus
dingin di dalam gua es kota hantu, maka arus dingin yang
terdapat di Pek-toh-san ini bukan soal lagi baginya.
Ketika Nyo Yam menerjang ke dalam gua es, segera Liong
Leng-cu juga menerjang ke dalam.
Akan tetapi sulit bagi Nyo Yam untuk menyerahkan Pengpokhan-kong-kiam kepada Ce Se-kiat. Maklumlah, waktu itu
mereka sedang bertempur sengit di atas mimbar bunga teratai
yang terletak di tengah goa, kelihatannya Pek Toh sancu
berada di atas angin, Nyo Yam tidak berani melemparkan Hankongkiam kepada Se-kiat, sebab besar kemungkinan pedang
itu akan dirampas oleh Pek-toh sancu.
Untuk membantu Se-kiat, ia pikir tiada jalan lain kecuali
dirinya ikut terjun ke tengah kalangan pertempuran.
Biarpun Nyo Yam menguasai Siau-yang-sin-kang yang kuat,
berada di tengah gua es itu terasa kedinginan juga. Terpaksa
ia harus mengerahkan lwekang untuk menahan arus dingin, ia
pun tidak paham Peng-coan-kiam-hoat, dengan sendirinya
tidak banyak bantuannya untuk Ce Se-kiat.
Pada saat itulah dari ujung lorong sana tiba-tiba
berkumandang suara langkah orang. terdengar suara Beng
Hoa sedang berseru, "Adik Yam, apakah kamu berada di situ?"
Dengan girang Leng-cu berseru, "Hah, itu dia kakakmu
datang, lekas kau jawab dia!"
Namun Nyo Yam serupa orang linglung saja, memandang
seperti tidak melihat, mendengar serupa tidak tahu.
Maklumlah, saat itu pertarungan Ce Se-kiat melawan Ubun
Pok sedang memuncak pada titik yang menentukan.
Mendadak Pek-toh-sancu menggigit ujung lidah terus
menubruk sekuatnya ke arah Ce Se-kiat.
Rupanya ia menyadari gelagat tidak enak dengan
datangnya Nyo Yam, jalan terbaik adalah mengadu jiwa dan
melakukan serangan terakhir. Ia menggigit pecah ujung lidah
sendiri, ia hendak mengeluarkan Thian-mo-kai-te tai-hoat,
semacam lwekang yang berkekuatan maha dahsyat dari Siapai,
golongan jahat.
Thian-mo-kai-te tai-hoat dapat membuat tenaga sendiri
mendadak bertambah sekali lipat, tapi juga paling banyak
mengganggu hawa murni sendiri.
Dua bulan yang lalu ketika bertempur di Thian-san, dengan
lwekang golongan Sia-pai inilah dia berhasil menyelamatkan
diri di bawah pedang Beng Hoa. Scbsnarnya tenaganya baru
saja pulih dan tidak cocok untuk menggunakan lwekang jahat
ini, namun sekarang ia menghadapi detik yang menentukan
mati-hidupnya, jika jiwa saja mungkin melayang, tentu risiko
lain tidak dapat dipikir lagi.
Menurut perhitungannya, mumpung Beng Hoa belum tiba,
lebih dulu ia hendak membinasakan Ce Se-kiat, sekalipun
untuk itu tenaga murni sendiri akan banyak terbuang, ia yakin
Nyo Yam dan Liong Leng-cu juga sukar merintanginya, dan dia
masih dapat kabur melalui lorong rahasia.
Siapa tahu perhitungan manusia tetap tidak sama dengan
ketentuan takdir. Selagi ia melakukan gempuran terakhir
itulah, tahu-tahu Beng Hoa sudah masuk ke gua es dengan
bentakan keras, "Ubun Pok, jangan temberang, hadapi saja
aku!" Yang digunakan Beng Hoa adalah ilmu raungan singa,
orang yang meyakinkan lwekang dan golongan jahat paling
gampang terpengaruh oleh suara raungan menggelegar ini.
Beng Hoa baru saja masuk ke gua es itu. jaraknya dengan
mimbar yang terletak di tengah gua masih ada ratusan
langkah, untuk menyelamatkan Ce Se-kiat sudah tidak keburu
lagi, terpaksa ia coba menggunakan suara dahsyat ini untuk
mengguncangkan pikiran Pek-toh-sancu.
Maka ketika beradu tangan, "blang", Ce Se-kiat kontan
tumpah darah dan roboh di atas mimbar, sebaliknya Pek-toh sancu Ubun Pok serupa layangan yang putus benang dan
terjungkal ke bawah.
Nyo Yam yang sejak tadi menaruh perhatian penuh dan
menunggu kesempatan di samping segera bertindak, memang
saat demikian inilah yang sedang ditunggunya. Dengan cepat
luar biasa segera ia menusuk dengan jurus Oh-kah-cap pekpah
yang lihai. Tubuh Pek-toh-sancu yang jatuh ke bawah itu masih
terapung sehingga tidak mampu menangkis. sckaligus
tubuhnya terkena tujuh kali tusukan, baru kemudian jatuh ke
tanah. Pedang Nyo Yam tidak urung juga terselentik tiga kali oleh
tenaga jari Pek-toh-sancu, meski tenaga sisa ternyata tetap
sangat lihai. Berturut-turut Nyo Yam tergetar mundur
beberapa langkah dan belum dapat menahan diri, "bluk",
akhirnya ia jatuh terduduk.
Pek-toh sancu masih sempat berguling-guling ke sana,
namun cambuk Liong Leng-cu lantas menyambar dan tepat
menjerat lehernya, tanpa ampun napasnya lantas putus.
Beng Hoa memburu tiba, dengan tersenyum ia berseru,
"Selamat nona Liong. sakit hati ayah-mu sudah dapat kau
balas." "Semua ini adalah jasa kakak Yam," kata Leng cu. "Ah,
entah bagaimana keadaannya. coba lekas kau perikta dia."
Beng Hoa tidak sempat bertanya di mana Ling Peng ji,
cepat ia mendekati Nyo Yam dan menempelkan telapak
tangan pada punggung adik-nya untuk membantunya
menghimpun tenaga dalam dan menahan arus hawa dingin.
"Bagaimana dengan Ce-toako?" terdengar suara Ling Pengji
berkumandang dari dalam gua es.
Se kiat bertempur mati-matian demi dia, apakah Nyo Yam
terluka atau tidak Peng-ji tidak tahu. Bahwa Ce Se kiat terluka
parah, dari daya pendengarannya dapat diketahuinya. Sebab
itulah orang pertama yang diperhatikan oleh Liong Leng-cu
adalah Nyo Yam, sedang orang yang diperhatikan Peng-ji tidak
dapat tidak ialah Ce Se kiat.
Sementara itu Se-kiat sudah bangun duduk, katanya, "Aku
tidak apa-apa."
Meski di mulut ia bilang tidak apa apa, namun kelainan
pada suaranya yang gemetar dan gemeretuk giginya
terdengar dengan jelas.
Maklumlah, ia sudah terluka dalam, meski tidak
membahayakan jiwanya, namun tenaga dalam telah banyak
hilang, dengan sendirinya sukar menahan serangan hawa
dingin. Ling Peng-ji bersuara sangsi, jelas memperlihatkan
kecemasannya. Selang sejenak, ia coba tanya lagi,
"Bagaimana dengan adik Yam?"
Dari suara panggilan si nona yang mesra itu, entah
mengapa timbul perasaan Nyo Yam yang aneh.
Dia anak nakal, waktu kecil suka lari-lari dan lompat lompat,
bilamana kebetulan jatuh, asalkan Ling Peng-ji berada di
sekitarnya, tentu Peng-ji akan cepat membangunkan dia dan
mengomelinya dengan nada menegur dan juga kesih sayang.
Sekarang meski dia bukan terjatuh, namun panggilan "adik
Yam" telah menggugah kenangan masa kanak-kanak dulu,
setiap ia jatuh waktu kecil dan dipanggil Ling Peng-ji dengan
nada sayang, rasa perhatian seorang kakak terhadap adiknya.
Seketika Nyo Yam merasa bimbang dan lupa menjawab.
Maka Beng Hoa mewakilkan menjawab, "Dia tidak apa-apa,
si iblis Ubun Pok sudah terbinasa olehnya."
Baru sekarang Nyo Yam seperti tersadar dari mimpi,
ucapnya. "Koko. silahkan kau perti membantu Ce-piauko, aku
memang tidak apa-apa "
Beng Hoa sudah dapat mengujinya dan jelas tenaga Nyo
Yam sudah terkumpul kembali, sahut-nya, "Baiklah, boleh kau
buka pintu ruang tahanan dan mengeluarkan Ling-cici."
Kamar tahanan itu merupakan ruang pojok di dalam gua,
Pek-toh-sancu telah menambahkan pintu besi tebal pada
ruangan khusus itu, Nyo Yam tidak sanggup membukanya.
Selagi Nyo Yam berkutak-kutek dan tetap tak-bisa
Durjana Dan Ksatria Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membukanya, tiba- tiba ada orang berseru, "Biar kucoba
membukanya."
Waktu Nyo Yam berpaling, kiranya Koai-hoat Thio adanya.
Cara copet sakti ini membuka gembok memang lihai, hanya
sejenak saja gembok sudah dilepaskannya.
Dan begitu pintu penjara terbuka, seketika Nyo Yam
melenggong. Yang keluar memang betul Ling Peng-ji adanya, namun
sudah bukan lagi bentuk Ling Peng-ji yang dulu.
Ling Peng-ji kini telah berubah menjadi seorang Nikoh atau
rahib perempuan.
Kiranya di kamar tahanan Ling Peng-ji telah menggunakan
es batu yang diasah menjadi pisau es untuk mencukur rambut
sendiri sehingga pelontos, baju yang dipakainya sekarang juga
sudah berubah bentuk menjadi jubah pertapaan kaum Nikoh.
"Ling-cici," teriak Nyo Yam kaget, "mengapa engkau
berubah menjadi begini?"
Peng-ji tidak menjawabnya, ia coba memandang ke arah Ce
Se-kiat. Air muka anak muda itu tampak sudah mulai merah, namun
tubuh masih menggigil.
"Beng-toako, bolehlah engkau istirahat sebentar," seru
Peng-ji. Cepat ia naik ke atas mimbar dan berpegangan tangan
dengan Ce Se-kiat.
Selang sebentar lagi, Se-kiat tidak menggigil pula, ia
menghela napas dan berkata, "Sudah cukup sekarang!"
Peng-ji melepas tangan dan menariknya bangun. Se-kiat
mengucapkan terima kasih, lalu pelahan melangkah turun dari
mimbar batu. Kiranya Ling Peng-ji telah mendapatkan ajaran Peng coanKiam hoat dari Tong-hujin. Bahkan mendapatkan Peng Pok
han kong kiam dari nyonya Tong kah Goan itu. maka Siauyangsin kang yang dilatihnya terhitung paling tinggi
dibandingkan saudara seperguruannya yang lain.
Maklumlah, Siau-yang-sin-kang dapat mengatasi hawa
maha dingin, jika Siau-yang-sin kang belum sempurna, pada
hakiketnya tidak dapat menggunakan Peng-pot-han-kongkiam.
Sebab itulah biarpun Iwekang Beng Hoa sangat tinggi,
namun Siau-yang-sin-kang yang dilatihnya justru tidak
sehebat Ling Peng-ji.
Peng ji lantas ikut turun dari mimbar batu itu. Nyo Yam
memandang si nona dengan ter-mangu-mangu, beribu kata
entah cara bagaimana harus diucapkannya.
"Adik Yam," ucap Peng-ji dengan tersenyum, "tadi kau
tanya padaku mengapa berubah menjadi begini, biarlah
sekarang kuterangkan. Aku suka rela meninggalknn dunia
ramai dan kembali kepada Budba. Guruku yang pertama
memang juga seorang Nikoh, pada waktu kecilku juga aku
pernah tirakat dan sekarang tidak lebih hanya bertambah
dengan mencukur diri saja."
Semula Ling Peng-ji adalah murid Hui-sim Suthai dari Jingsiapai, kemudian baru masuk ke Thian-san-pai.
"Bagaimana kalau kau ikut kami pulang ke Thian-san?" ajak
Beng Hoa. "Sekarang aku sudah menjadi nikoh, aku tidak ingin lagi
pulang ke Thian-san bersama kalian," jawab Peng-ji.
Hati Nyo Yam terguncang hcbat, teriaknya tak tahan, "Lingcici,
mengapa engkau menjadi nikoh" Mengapa?".
Ling Peng-ji berbalik tanya padamu, "Memang, apa jeleknya
menjadi nikoh?"
"Adik Yam," sambungnya kemudian, "kamu tidak taat pada
larangan tujuh tahun yang kutetapkan dulu, mestinya ingin
kumarah padamu. Namun sekarang aku sudah orang
beragama, segala urusan masa lampau kuanggap sudah
punah, maka laranganku itu pun boleh kuhapus."
Di balik ucapannya itu seakan akan hendak menyatakan
setelah janji larangan itu dihapus, maka janji memperbolehlah
Nyo Yam melamarnya tujuh tahun kemudian juga dibatalkan.
"Ling-cici," Leng-cu ikut bicara, "usiamu masih muda,
memangnya engkau rela mengasingkan diri begini saja untuk
memasuki kehidupan yang sunyi?"
"Ya," seru Nyo Yam, "memangnya engkau belum cukup
menderita" Memang begitulah ingin kutanyakan padamu."
Peng-ji tertawa, jawabnya, "Dari mana kalian tahu
kehidupanku selanjutnya akan kulewatkan dengan sunyi" Aku
menjadi nikoh juga tidak berarti akan hidup terasing dari dunia
ramai." Merasa ada kata kata di balik ucapan itu, Beng Hoa coba
tanya, "Habis apa,yang akan kau-lakukan selanjutnya?"
"Paman memberitahukan padaku bahwa waktu mereka
meninggalkan Siau-kim-joan dulu pernah mereka tinggalkan
satu pasukan sukarelawan," tutur Peng-ji. "Sekarang pasukan
itu dipimpin oleh Li Kong-he dan sudah bertambah besar dan
kuat. Maka ada niatku pulang ke Siau-kim-joan untuk
membantu mereka mendirikan laskar wanita serta melatih
prajurit perempuan. Dalam kedudukanku sebagai seorang
nikoh kan lebih leluasa untuk mendekati kaum wanita
khalayak ramai. Kuyakin kehidupanku selanjutnya tentu akan
terasa hangat dan pasti takkan kesepian dan terpencil."
Keadaan yang diuraikan ini sama sekali tidak terpikir olen
Nyo Yam, tentu saja ia tidak tahu apa yang perlu diucapkan.
Peng-ji tersenyum, katanya pula, "Bukankah pernah kau
katakan mengharapkanku bahagia" Apa itu bahagia memang
berbeda antara seorang dengan yang lain. Dan apa yang
kulakukan ini bagiku sudah mencapai kebahagiaan, selain ini
tiada lain lagi yang kuharapkan."
Nyo Yam tidak dapat bicara apa-apa lagi.
Beng Hoa mengangguk, katanya, "Ya, jalan harus ditempuh
sendiri. Peng-ji, jika kau suka bertindak demikian bolehlah
terserah padamu, aku pun takkan memaksamu pulang ke
Thian-san. Cuma, ada suatu permintaanku, yaitu tentang
keadaan Se-kiat yang terluka itu, hendaknya sekalian suka kau
antar dia pulang ke rumah. Setahuku, ibunya juga sangat
berharap bertemu denganmu. Nah, adik Yam. bagaimana
dengan dirimu" Apa yang akan kau lakukan selanjutnya?"
Pikiran Nyo Yam sangat kusut, dengan tergagap ia
menjawab, "Aku . . . aku ..."
Dengan tersenyum Peng-ji berkata, "Setahuku. ia pun ada
janji dengan nona Liong. Sekarang sakit hati nona Liong sudah
terbalas, ia harus ikut nona Liong pulang ke rumah untuk
berkumpul kembali dengan kakeknya "
Teringat kepada budi kebaikan sang kakek, dengan
sendirinya Nyo Yam menurut saja.
Setelah berpisah selama tiga tahun, akhirnya Nyo Yam
pulang kembali ke Leng-ciu-hong, tempat kediaman kakek
Liong Leng-cu. SUasana masih seperti dahulu, pemandangan tidak banyak
berubah, tetumbuhan tampak hijau permai, bunga mekar
mewangi. Yang berbeda adalah tiga tahun yang lalu ia
meninggalkan pegunungan ini sendirian dan sekarang di
sampingnya telah bertambah seorang teman.
Leng-cu terkesima menghadapi pemandangan yang indah
serupa berada di surgaloka.
"Kakek sedang menunggumu, jangan lupa daratan
menikmati pemandangan di sini," kata Nyo Yam dengan
tertawa. Ia membawa Leng-cu pulang ke tempat lama, belum masuk
rumah segera berteriak, "Yaya, (kakek), aku udah pulang! Ada
kabar baik, Yaya!"
Ia merasa heran, sebab kakek tidak terlihat keluar, juga
tidak terdengar suaranya.
Cepat Nyo Yam memhuru masuk ke rumah batu itu dan
barulah terdengar suara sang kakek yang berat bertanya,
"Anak Yam. kamu sudah pulang?"
Kakeknya rebah di pembaringan, seperti baru terjaga
bangun oleh suara Nyo Yam dan bangun duduk dengan
lemah. "Yaya, coba lihat, siapa itu yang datang!" seru Nyo Yam
pula. Orang tua itu kucek kucek mata dan serentak berseru.
"Hah, Ming-ming, akhirnya kau pulang juga kemari!"
Ming-ming adalah nama kecil putrinya, yaitu ibu Leng-cu.
"Dia bukan Ming-ming, Yaya, tapi cucu perempuanmu,
namanya Liong Leng-cu," tutur Nyo Yam.
Baru teringat oleh Liong Cik-eng, sang kakek, bahwa putri
dan menantunya sudah meninggal. Ia menjadi berduka dan
bergirang pula, katanya, "Anak Cu, coba kemari, biar kulihat
dirimu. Ah, kamu sangat mirip ibumu!"
Air mata Leng-cu berlinang-linang langsung ia menubruk ke
dalam pangkuan sang kakek, katanya, "Yaya, ibu tidak punya
rejeki untuk pulang mendampingi Yaya."
"Ah, bagus sekali asalkan kamu sudah pulang, bagus
sekali!" gumam Liong Cik-Ieng. "Anak Cu, ingin kutanya satu
urusan padamu. Dahulu aku berbuat salah dan membikin
susah ibumu, entah dia mau memaafkan ayahnya yang berhati
jahat ini atau tidak?"
Leng-cu mengusap air mata, katanya. "Sebelum meninggal
ibu pernah wanti-waati memberi pesan agar kupulang
menjenguk Yaya. Jadi ibu senantiasa ingat kepada Yaya. Aku
diberi she Liong juga atas kehendak ibu."
Tanpa penjelasan lagi dapatlah Liong Cik-eng memahami
betapa putrinya sayang padanya sehingga tidak cuma
memaafkan saja apa yang terjadi dahulu.
Setelah ikatan batin terbuka, meski air mata Liong Cik-leng
belum kering, dengan tersenyum ia berkata, "Sekarang hanya
tersisa suatu urusan saja . " ia pegang tangan Nyo Yam dan
di-genggam bersama tangan Leng-cu, katanya pula, "Kalian
sudah datang, mungkin aku pun akan mangkat, sebagai pesan
terakhir, ingin kumohon suatu hal kepada anak Yam."
Melihat napas si kakek agak memburu, Nyo Yam tahu
gelagat tidak enak, ucapnya, "Yaya, istirahat saja dulu,
bicaralah nanti!"
"Tidak, waktu tidak banyak lagi," ujar Liong Cik-Ieng.
"Manusia akhirnya harus kembali pada-Nya, sekarang usiaku
sudah lebih 80 tahun, hidup-ku sudah cukup panjang. Yang
kutunggu hanya kepulangan kalian ke sini, makanya kutahan
sampai hari ini."
"Jika begitu, bicaralah, Yaya," kata Nyo Yam dengan
menahan air mata. "Apa yang kau minta, kukerjakan pasti
akan kulaksanakan."
Pelahan Liong Cik-lsng berkata pula, "Akan kuserahkan cucu
perempuanku ini kepadamu, hendaknya kau jaga dia selama
hidup. Apakah kau terima permintaanku?"
Kusut sekali pikiran Nyo Yam, namun yang mengajukan
permohonan ini adalah kakek yang berbudi padanya, mana
boleh ia menolaknya"
"Baiklah, Yaya, kuterima," jawab Nyo Yam. "Cuma harus
tanya dulu kepada adik Cu."
Liong Cik Ieng sendiri sudah lemah, hanya pandangnya
beralih ke arah Liong Leng cu, nona itu mengangguk tanpa
bersuara. Wajah yang keriput menampilkan senyuman puas, ucapnya
lemah, "Ba . . . bagus, jika begitu dapatlah kupergi dengan
lega." "Yaya! . . . " jerit Leng-cu sampil merangkul sang kakek.
"Jang . . . jangan menangis, mati pun aku tidak menyesal
lagi," ucap Liong Cik-Ieng dengan lemah dan terputus putus.
"Kamu ha . . . harus gembira bagiku, sungguh aku .... aku
sangat gembira!"
Ia benar-benar wafat dengan gembira.
Nyo Yam dan Leng-cu sebenarnya tulus dan terbuka, siapa
pun tidak akan merahasiakan isi hati masing masing. Namun
aneh juga, sesudah kakek mereka meninggal, mereka seperti
jauh lebih renggang, meski bertemu setiap hari. namun sama
menghindari menyebut pesan tinggalan sang kakek.
sampai pada suatu hari, ketika Beng Hoa dan ketiga tertua
Thian-san-pai, yaitu Ting Tiau-min, Pek Kian-seng dan Kam
Bu-wi, berkunjung ke Leng-ciu hong.
Tentu saja Nyo Yam merasa heran, sebelum anak muda itu
tanya maksud kedatangan mereka, lebih dulu Beng Hoa
berkata padanya, "Adik Yam, masa kamu lupa" Setelah kau
bunuh Pek-toh-satcu, seharusnya kau jadi ahli waris
perguruan kita. Jadi kedatangan kami atas perintah
Ciangbunjin untuk memapak engkau pulang ke Thian-san,
diharap nona Liong dapat pulang bersamamu."
-oooooo- Malamnya, Nyo Yam dan Liong Leng-cu berjalan-jalan di
tepi sungai es.
Tiba-tiba Leng-cu berkata, "Aku tidak ingin ikut ke Thiansan.
Kesanggupanmu terhadap Yaya tidak perlu kau pikirkan.
Kutahu janjimu itu hanya sekadar menyenangkan hatinya
saja." "Tidak," kata Nyo Yam, "sama sekali bukan hendak kuhibur
hati Yaya. Namun, kita memang masih muda belia, usiamu
baru 18, aku pun belum genap 20 . "
"Ya, kutahu maksudmu," potong Leng-cu, "Namun bukan
karena aku takut . . . takut engkau tidak mau menikahiku.
maka aku tidak mau ikut ke Thian-san . . "
Bicara sampai di sini. tiba-tiba ia memperlihatkan sikap
nakal anak perempuan masa lampau, dengan mengedip ia
menyambung, "Kakak Yam, aku pun ingin mengadakan
perjanjian denganmu "
"Perjanjian apa?" tanya Nyo Yam.
"Perjanjian tujuh tahun," tutur Leng-cu. "Tujuh tahun
kemudian, apabila engkau masih suka padaku, tatkala mana
bolehlah kita berziarah ke makam Yaya untuk memberi
laporan kepada beliau.."
Sampai di sini, ia mengikik tawa dan lari pergi.
Nyo Yam tidak dapat tertawa, sebab ini merupakan "janji
tujuh tahun" yang kedua baginya. Apa yang akan terjadi
selama tujuh tahun itu siapa dapat meramalnya"
Ia memandang bayangan rembulan di dalam sungai es,
siapa pun tidak tahu apa yang sedang dipikirnya"
TAMAT Kemelut Di Ujung Ruyung Emas 6 Pendekar Sadis Karya Kho Ping Hoo Pendekar Kembar 14
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama