Ceritasilat Novel Online

Rahasia 180 Patung Mas 11

Rahasia 180 Patung Mas Karya Gan Kl Bagian 11


us jurus akan aku cabut nyawa tikus kalian berdua!" jengek si orang berkedok hijau.
"Aha, barangkali kamu belum tahu siapa kami ini ya?" jawab si setan kayu dengan sorot mata tajam.
"Tidak aku justru kenal kalian ini Kui-kok-ji-bu-siang, betul tidak?" kata si kedok hijau.
Seketika lenyap tertawa si setan kayu, katanya terkesiap, "Jika begitu, apakah kau tahu bahwa di dunia ini yang mampu mengalahkan kami berdua hanya Kiam-ong Ciong-Li-cin dan Kiam-ho Lok-Cing-hui saja?"
"Aku tahu," jawab si kedok hijau. "Tapi sebaliknya dalam seribu jurus aku dapat mengalahkan Kiam-ho dan Kiam-ong."
"Cis, omong kosong," damprat si setan kayu. "Kalau mau membual hendaknya lihat gelagat. Justru murid Kiam-ho yang bernama Su-Kiam-eng sekarang sudah berada di kota emas ini."
Si kedok hijau terbahak-bahak sambil menengadah, "Hahahaha! Aku tahu, tidak cuma Su-Kiam-eng saja, bahkan It-sik-sin-kai dan Sam-bi-sin-ong juga sudah berada di sini. Akan tetapi sekarang mereka justru serupa kura-kura, mengeret dan tidak berani memperlihatkan tampangnya."
Si setan kayu tergetar, tanyanya dengan terbelalak, "Sesungguhnya siapakah anda ini sehingga berani omong besar begini?"
"Jika kalian Ji-bu-siang tidak percaya aku ini raja rimba, silakan turun tangan dan coba membuka kain penutup mukaku, kenapa mesti banyak bertanya?" kata si orang berkedok hijau. "Baik, tapi sebelum turun tangan, ingin aku minta sedikit keterangan lagi," ucap si setan kayu dengan rada gemetar.
"Lekas bicara," jengek orang berkedok hijau.
"Jika kau sebut dirimu sebagai raja rimba, tentu kau tahu benar sejarah kota emas ini," tanya si setan kayu. "Nah ingin aku tanya bilakah kota emas ini dibangun dan siapa pendirinya?"
Kota emas ini semula bernama Uko, dibangun lebih seribu tahun yang lalu oleh orang Kimi, mereka banyak menyerap kebudayaan barat dan mendirikan negara dengan nama Kamboja. Nah, apalagi yang ingin kau tanya?"
"Kemudian, ke mana perginya penghuni kota kuno ini?" tanya si setan kayu.
"Hal ini tidak aku ketahui," jawab orang berkedok sambil menggeleng.
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
Si setan kayu menuding kuil dan bertanya pula, "Menurut pendapatmu, bangunan ini puri atau kuil?"
"Kuil," jawab orang berkedok. "Kuil tempat upacara."
"Wah, di dunia ini ternyata ada kuil upacara sebesar ini?" ucap si setan kayu dengan tercengang.
"Nah, sudah habis belum bicaramu?" tanya si orang berkedok dengan tidak sabar.
"Belum, ingin aku tanya satu hal lagi," kata si setan kayu. "Apakah benar di kota kuno ini ada 180 buah patung emas dan istana yang dibangun dengan emas murni?"
"Benar, malah banyak lagi wuwungan kuil yang di hias dengan batu manikam yang tak terkira jumlahnya," sahut si orang berkedok.
"Dan semua benda mestika itu telah kau ambil semua?" tanya setan kayu.
"Betul, sebab aku lah yang pertama menemukan kota kuno ini, maka segala apa yang terdapat di sini adalah milikku," ucap si orang berkedok tegas.
"Omong kosong," seru si setan kayu dengan melotot. "Harta karun tanpa tuan, barang siapa melihatnya mendapat bagian. Mana boleh kau kangkangi sebagai milikmu sendiri?"
"Memangnya kalian juga ingin mendapat bagian?" jengek si orang berkedok hijau.
"Ya, setelah masuk gunung berharta karun, mana boleh pulang dengan tangan hampa, memang harus kau bagi sedikit kepada kami," seru si setan kayu.
"Betul juga ucapanmu, cuma perlu kau tanya dulu apakah tanganku ini setuju atau tidak," ujar si orang berkedok dengan mengangkat ke dua tangannya.
Si setan kayu mendengus, ia berpaling dan berucap kepada saudaranya, "Lo-ji, jauh-jauh kita ke sini dengan menghadapi berbagai bahaya, jerih payah kita ini tidak boleh tersia-sia, betul tidak?"
"Ya, tentu," sahut si setan lempung. "Setiap urusan yang sudah kita campur tangan tidak pernah ditinggalkan setengah jalan. Dengan sendirinya sekali ini juga tidak terkecuali."
Seketika wajah si setan kayu berubah beringas, ke sepuluh jarinya juga lantas mengeluarkan suara gemertak, ucapnya dengan menyeringai, "Jika begitu, marilah kita coba belajar kenal dengan orang yang mengaku sebagai raja rimba ini."
Sembari bicara ia pun menatap si orang berkedok hijau dan bertanya, "Tapi kau bilang seluruh harta karun di kota kuno ini sudah kau temukan jika begitu, mengapa engkau masih tinggal di sini, dan tidak mau angkat kaki?"
"Boleh juga aku beritahukan padamu," jawab si orang berkedok. "Banyak harta pusaka di kota ini yang telah aku angkat pergi, namun ke-180 patung emas itu lantaran mendadak timbul sesuatu di luar dugaan dan tidak dapat segera aku boyong pergi, maka sejauh ini aku masih tinggal di sini."
Mendengar bahwa ke-180 patung emas masih berada di kota kuno ini, Ji-bu-siang merasa senang, cepat si setan lempung bertanya, "Timbul sesuatu apa di luar dugaan?"
"Hm, mengapa harus aku beritahukan padamu?" jengek si orang berkedok.
Si setan lempung menuding kuil dan bertanya pula, "Apakah ke-180 patung emas itu tersimpan di dalam rumah pemujaan itu?"
"Betul, asalkan kalian mampu membunuhku, tentu dapat kalian memilikinya," ujar si kedok hijau dengan tertawa.
Segera si setan lempung berkata kepada kawannya, "Lo-toa, harta pusaka sudah berada di depan mata apa lagi yang kita tunggu?"
Habis bicara segera ia mulai melangkah maju ke arah si orang berkedok.
Kiam-eng mendekam di atas wuwungan kuil melihat sampai di sini ia tidak berani mengintip lebih lanjut, sebab ia tahu Ji-bu-siang pasti bukan tandingan si orang berkedok hijau, paling banyak beberapa puluh Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
gebrakan saja Ji-bu-siang pasti akan dilukai kalau tidak terbinasa. Padahal kesempatan sekarang sukar dicari lagi, kalau dirinya tidak segera masuk ke dalam kuil untuk mencari patung emas dan mengambil Jian-lian-hok-leng, kelak mungkin tidak ada kesempatan lagi.
Karena itu, ketika melihat Ji-bu-siang mendekati si orang berkedok, cepat ia menyurut mundur dan coba melongok halaman tengah kuil, terlihat di bawah sana ada sebuah kamar besar, ia membuang ranting pohon dan akar-akaran yang membungkus tubuhnya, pedang dilolos dan segera ia lompat turun.
Di sekeliling dinding kamar batu itu juga banyak ukiran indah, namun tidak ada sesuatu benda lain, di lantai juga penuh debu tebal, jelas segala alat perabot yang pernah menghias ruangan ini pun kini sudah lapuk dan berubah menjadi debu.
Karena sejak tadi tidak terlihat munculnya Sai-hoa-to, Kiam-eng menduga si tabib sakti mungkin sembunyi di dalam kuil ini, maka ia tidak berani sembrono, dengan berjingkat ia coba mendekati satu-satunya pintu kamar batu itu.
Sesudah dekat, ia coba mengintai ke dalam, dilihatnya di balik pintu adalah sebuah serambi panjang, di kedua samping serambi banyak pula pintu batu bentuknya serupa pintu batu di mana ia berdiri sekarang.
Sebab itulah ia menduga kamar-kamar ini dahulu tentu adalah kamar tidur para padri atau penghuni kuil ini.
Melihat di serambi panjang itu tidak ada orang segera Kiam-eng menyelinap ke luar, dengan gin-kang yang tinggi ia lari ke bagian dalam kuil itu. Sepanjang serambi itu pun penuh kotoran yang lembab, agar tidak meninggalkan jejak, maka ia gunakan gin-kang yang tinggi untuk melayang maju.
Setelah beberapa puluh meter jauhnya, ia tiba di suatu persimpangan jalan, ia coba celingukan ke kanan dan ke kiri, dilihatnya keadaan sama pula serambi yang panjang dengan kamar yang tak terhitung jumlahnya.
Diam-diam ia kagum dan gegetun, ia pikir kamar sebanyak ini bilamana dahulu digunakan sebagai kamar tidur kaum padri, maka betapa banyak kawanan padri di kuil ini, mungkin berjumlah dua-tiga ribu orang.
Ia taksir pendopo kuil ini seyogianya terletak di ujung serambi sebelah kiri, maka ia lantas belok ke kiri.
Karena dia sudah berada di bagian dalam kuil, maka meski pada waktu siang hari, keadaan serambi situ tetap gelap gulita, setelah ia merambat ratusan langkah, akhirnya sampai juga di ujung serambi itu.
Namun di situ ia di hadang oleh segundukan batu besar.
Setelah diperiksa dengan teliti baru diketahui reruntuhan batu besar yang menyumbat ujung serambi itu bukanlah buatan manusia melainkan karena runtuh sendiri karena lamanya.
Pandangan Kiam-eng perlahan beralih ke atas, terlihatlah di atas runtuhan batu besar setinggi belasan meter itu ada sebuah peluang seperti dapat didaki.
Segera ia simpan pedangnya, lalu merambat ke atas tumpukan batu, selagi ia hendak melongok ke sebelah sana melalui lubang runtuhan batu itu tiba-tiba terdengar di depan runtuhan batu sebelah sana bunyi suara letusan yang keras disertai kilatan api. Ia terkejut dan cepat melompat turun dan menyelinap ke dalam sebuah kamar batu.
Ia sangka jejaknya sudah diketahui Sai-hoa-to, maka si tabib sakti meledakkan Yan-mo-tan. Tapi setelah didengarkan sejenak dan tidak terlihat ada suara lain lagi, diam-diam ia merasa heran. Ia ke luar lagi dari kamar batu itu, dilihatnya dari lubang reruntuhan batu bagian atas sana ada gemerdepnya cahaya api serta kepulan asap tipis.
Ia sangka jangan-jangan memang Sai-hoa-to telah meledakkan Yan-mo-tan di sebelah sana.
Namun segera ia bantah dugaannya sendiri, sebab warna asap Yan-mo-tan si tabib sakti adalah kuning, sedangkan asap mengepul sekarang serupa asap dapur, jelas bukan asap Yan-mo-tan yang dapat membuat orang pingsan itu.
Akan tetapi suara letusan tadi jelas pula suara ledakan Yan-mo-tan ...
Begitulah Kiam-eng menjadi ragu dan termenung bingung, akhirnya ia merambat reruntuhan batu itu untuk melihat apa yang terjadi sesungguhnya di sebelah sana. Dengan menahan napas ia mendaki reruntuhan batu lagi dan mengintip ke sebelah, apa yang terlihat membuatnya rada terkesiap pula.
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
Ternyata di depan reruntuhan sana adalah sebuah kuil besar. Cahaya api itu berasal dari segundukan api unggun di ruang pendopo kuil besar itu.
Seorang tua dengan sikap tegang tampak berjongkok di samping api unggun, siapa lagi dia kalau bukan Sai-hoa-to Sim-Tiong-ho.
Orang tua itu sedang menatap sebuah pintu batu di sebrang api unggun sembari menambahi ranting kayu kering pada gundukan api sehingga lidah api selalu dipertahankan dalam ketinggian beberapa meter sehingga pintu batu di baliknya terhalang rapat.
Sebaliknya dari balik pintu batu tatkala itu juga tampak lagi mengepulkan asap kuning yang tipis.
Ini membuktikan tadi Sai-hoa-to memang pernah meledakkan sebuah Yan-mo-tan, cuma sasarannya bukan Kiam-eng melainkan "musuh" yang berada di balik pintu batu.
Lantas siapakah gerangan yang terkurung di balik pintu batu itu?"
Mendadak teringat oleh Kiam-eng akan ucapan si orang berkedok hijau bahwa "lantaran timbul sesuatu hal yang tak terduga sehingga ke-180 patung emas belum sempat diangkut pergi itu, mau-tak-mau ia heran dan terkesiap juga sebab kalau si orang berkedok hijau mampu mengalahkan It-sik-sin-kai dengan mudah, apakah mungkin orang yang terkurung di dalam kamar batu itu sekarang memang terlebih lihai daripada si orang berkedok hijau" Dan oleh karena itulah si orang berkedok hijau menyuruh Sai-hoa-to mengurung musuh itu dan meledakkan Yan-mo-tan dengan tujuan agar musuh dibuat pingsan.
Tengah Kiam-eng berpikir, terlihat Sai-hoa-to mengeluarkan lagi sebuah Yan-mo-tan dan dilemparkan ke dalam kamar batu di depan. "Blang," granat itu meledak, asap kuning total lantas mengepul dari dalam kamar itu. Kemudian terlihat Sai-hoa-to merogoh keluar satu kotak kecil seperti tempat obat salep, dengan jari ia colek sedikit salep itu di depan hidung, lalu ia menuju ke kamar batu itu menyongsong asap tebal.
Melihat si tabib sakti sudah masuk ke kamar batu itu, cepat Kiam-eng pun menerobos lewat ke sana dan melompat turun di ruang pendopo kuil besar itu. Ia menahan napas dan merunduk ke samping pintu kamar batu, terlihat asap kuning lebat masih menyelimuti seluruh kamar, ia pikir asap ledakan Yan-mo-tan itu harus dapat buyar sekian lama, padahal napas sendiri tidak dapat ditahan sekian lama, lalu bagaimana baiknya?"
"Srat-sret-sret?" tiba-tiba terdengar suara gemersek, suara bergesernya sesuatu benda berat timbul dari dalam kamar batu.
Jelas orang itu sudah roboh pingsan oleh granat berasap Sai-hoa-to.
Pikiran Su-Kiam-eng bekerja dengan cepat, segera ia berdiri mepet dinding di samping pintu, ia siap menyergap Sai-hoa-to selagi. orang tidak berjaga-jaga.
"Srat-sret-sret," suara gemersek tadi sudah mendekati pintu besar. Segera terlihat ke dua tangan Sai-hoa-to merangkul sesosok makhluk aneh besar, ia melangkah mundur keluar dari batu itu.
Girang sekali Kiam-eng kesempatan baik itu tidak disia-siakan olehnya, telapak tangan kanan serentak memotong, "Plak," dengan tepat belakang kepala tertusuk dan tubuh terkulai.
Dan berbareng itu dari tangan Sai-hoa-to juga merosot jatuh ke lantai, ternyata sebuah kepala ular sawa sebesar kepala kerbau.
Belum pernah Kiam-eng melihat ular sawa sebesar itu, sungguh ia kaget setengah mati, baru sekarang ia paham "sesuatu di luar dugaan" yang dimaksudkan si orang berkedok hijau, rupanya di dalam kamar batu meringkuk seekor ular raksasa sehingga mereka tidak mampu masuk ke situ untuk mengambil ke 180 patung emas, sebab itulah dia menculik Sai-hoa-to dan memaksa tabib sakti itu menaklukkan ular raksasa itu dengan Yan-mo-tan ..."
"Hanya sekilas saja timbul pikirannya, selagi hendak berjongkok untuk memeriksa apakah ular raksasa itu sudah mati atau masih hidup, tiba-tiba dari belakang bergema suara langkah orang.
Tidak menoleh pun ia tahu pasti si orang berkedok hijau dan ke tiga anak buahnya telah pulang.
Cepat Kiam-eng mengangkat Sai-hoa-to dan dilemparkan ke dalam kamar batu, lalu ular sawa raksasa pun diseret ke dalam. Lantaran di dalam kamar masih penuh asap kuning maka bila sembunyi di situ Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
untuk sementara tentu dapat mengelabui mata telinga si orang berkedok hijau.
Dan baru saja ia seret ular sawa itu ke dalam kamar, langkah ke tiga orang sudah terdengar di luar pintu. Namun tanpa gugup ia mendekati Sai-hoa-to lagi, ia rogoh keluar sebuah kotak kecil dari baju tabib sakti itu, ia buka tutup kotak dan coba dicolek dengan jari, terasa benar semacam salep, ia tahu salep itu dioles di depan hidung berarti tidak takut lagi akan pingsan terkena asap beracun.
Cepat ia gosok salep itu di bawah hidung dan terasa nyaman, maka tanpa kuatir lagi bernapas dengan leluasa.
Pada saat itulah terdengar suara si orang berkedok hijau berteriak di luar, "Hai, Sim-Tiong-ho sudah berhasil belum?"
Kiam-eng menirukan suara Sai-hoa- to dan menjawab, "Belum, awas, kalian jangan masuk dulu!"
Sembari berbicara ia pun mulai meraba-raba di dalam kamar dengan harapan sebelum dipergoki musuh akan dapat menemukan patung emas dan mendapatkan Jian-lian-hok-leng.
Terdengar orang berkedok hijau lagi bertanya, "Apakah ular raksasa itu gentar terhadap granat berbisamu?"
"Entah," jawab Kiam-eng tetap menirukan suara Sai-hoa-to. "Setelah aku ledakkan granat ke dua, lalu tidak terdengar lagi suaranya ... "
"Hendak hati-hati, semburan hawa berbisa sawa itu sangat lihai," ujar si orang berkedok hijau.
"Ya, aku tahu ... aduhh!"
Si orang berkedok hijau terkejut mendengar suara jeritannya, cepat ia tanya, "Hei, ada apa?"
Sembari meraba Kiam-eng menjawab, "aku ... aku tersembur hawa berbisanya?"
"Wah, celaka, lekas kau keluarkan!" seru si orang berkedok.
Kiam-eng tidak menjawab lagi, sebab ia telah berhasil meraba sebuah patung.
Saking senangnya sampai tangan Kiam-eng rada gemetar.
Terasa patung emas yang tersentuh tangannya itu keras lagi lembab dan dingin, tingginya antara tujuh kaki, sekujur badan patung tidak mengenakan sesuatu, hanya tangan patung memegang sebatang pedang dengan gaya terangkat ke atas.
Ya, dia masih ingat, ke-180 patung itu tidak cuma terbuat dari emas murni, tapi semuanya punya sikap sendiri dan mencakup sejurus pelajaran ilmu pedang sakti.
Dengan sendirinya yang membuatnya kegirangan bukanlah nilai patung emas dan berharganya ilmu pedang itu melainkan karena merasa jerih payah perjalanannya yang jauh ini tidak sia-sia dan Jian-lian-hok-leng itu selekasnya akan ditemukannya.
Jian-lian-hok-leng itu tersembunyi dalam tubuh patung emas ke-14.
Akan tetapi di manakah letak patung emas ke-14 itu" Dan patung emas yang dapat dipegangnya sekarang ini patung yang ke berapa"
Bila asap kuning itu sudah buyar, berbareng itu jejak dirinya pasti juga akan diketahui oleh si orang berkedok. Tatkala itu biarpun dirinya dapat mengambil Jian-lian-hok-leng juga sukar lolos dari kerubutan lawan.
Pikiran demikian baru saja terbayang olehnya segera terdengar si orang berkedok lagi berteriak pula di luar, "Sim-Tiong-ho, bagaimana, Sim-Tiong-ho?"
Kiam-eng mengambil keputusan takkan menjawab agar pihak lawan menyangsikan dirinya telah mati kena semburan racun ular, dengan begitu pihak lawan tentu akan jeri terhadap keganasan racun ular dan tidak berani sembarangan menerobos ke dalam.
Terdengar lagi suara teriakan di luar, "Sim-Tiong-ho, bagaimana kamu di situ?" Lalu seorang anak Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
buahnya berkata. "Su-hu, aku kira dia sudah mampus"!"
"Tidak, aku dengar dia masih bernapas dengan baik!" kata si orang berkedok.
"Oo, jika begitu mungkin dia cuma pingsan keracunan dan belum putus napas."
"Juga tidak, setiap orang yang pingsan kena racun napasnya tentu cekak dan memburu, namun aku dengar suara napasnya sangat normal."
Kiam-eng terkesiap, ia pikir pihak lawan ternyata dapat mendengar suara napasnya dengan jelas, bahkan dapat menganalisa keadaannya dari suara napasnya kemahiran ini sungguh sangat mengejutkan.
Segera Kiam-eng bernapas dengan cekak dan berlagak ngos-ngosan, berbareng ia terus meraba kian kemari dengan harapan dapat mengetahui jelas keadaan barisan ke-180 patung emas itu, dengan begitu mungkin akan menjadi jelas tempat letak patung emas ke-14 yang dicarinya itu.
"Eh, suara napasnya berubah"!" terdengar si orang berkedok bergumam.
"Berubah bagaimana, Su-hu?" tanya seorang anak buahnya.
"Ya, berubah memburu dan cekak."
"Jika begitu, mungkin racun ular telah menyerang jantungnya!"
"Tidak, meski ada tanda keracunan dari suara napasnya itu, namun dia masih terus berkeliaran di dalam kamar batu itu. Hm ... "
Setelah mendengus, lalu si orang berkedok berteriak "Sim-Tiong-ho, kamu sedang main gila di situ?"
Kiam-eng tidak memperdulikannya, ia terus meraba dan mencari di dalam kamar batu, sudah 12 patung emas telah dirabanya dan dirasakan setiap patung emas bergaya tidak sama, namun semuanya terletak di kaki dinding kamar. Hal ini merupakan semacam tanda menyenangkan baginya, sebab kalau patung emas itu terbaris di kaki dinding, asalkan dia sudah jelas meraba keadaan kamar itu, akhirnya dia dapat memperkirakan patung mana yang nomor satu dan patung emas yang nomor 14.
Yang membuatnya agak cemas adalah asap tebal kuning di dalam kamar itu kini telah mulai menipis.
Rupanya orang berkedok hijau itu sangat marah karena tidak mendapat jawaban Sai-hoa-to, kembali ia terkekeh dan mengancam "Sim-Tiong-ho, semalam kamu baru saja bersumpah akan bekerja dan setia padaku sekarang kamu sudah mulai berkhianat. Hehe, mungkin kau kira ada kesempatan bagimu untuk mengangkangi sendiri ke 180 patung emas di dalam kamar itu" Huh, biar aku katakan padamu, Kui-kok-ji-bu-siang baru saja aku celakai dengan pukulan maut, paling lama setengah jam lagi jiwa mereka pasti akan melayang. Maka tidak ada seorang pun mampu membuat diriku pergi dari sini. Padahal kamu sendiri sekarang berada di dalam ruangan batu ini dan tiada jalan ke luar lain, maka hari ini sudah pasti kamu akan mampus di sini."
Kiam-eng tetap diam saja menggubrisnya. Tapi tiba-tiba teringat olehnya ada kemungkinan masih ada sisa granat berasap pada Sai-hoa-to.
Maka cepat ia putar balik lagi ke samping Sai-hoa-to dan coba meraba bajunya, benar juga ditemukan empat buah granat berasap. Tentu saja ia sangat girang, ia pikir asap beracun setiap granat itu dapat bertahan antara seperempat jam dengan empat buah granat ini ditambah lagi tiga buah Yan-mo-tan pemberian Sam-bi-sin-ong berarti dapat bertahan lebih dari satu jam. Sedangkan dalam waktu satu jam lebih ini dirinya tentu dapat menemukan Jian-lian-hok-leng, kemudian ia dapat meledakkan granat bertabir asap milik Sam-bi-sin-ong itu untuk meloloskan diri dan mungkin ada harapan untuk menyelamatkan diri melalui lubang tumpukan batu tadi.
Berpikir sampai di sini, segera ia melemparkan sebuah granat pencabut nyawa milik Sai-hoa-to.
"Blang", di tengah suara ledakan asap kuning tebal kembali menyelimuti seluruh ruang.
Tentu saja si orang berkedok hijau sangat gusar, teriaknya, "Sim-Tiong-ho, memangnya kau kira aku jeri terhadap granatmu ini?"
Kiam-eng tetap menirukan suara Sai-hoa-to menjawab, "Hahaha, mungkin benar kamu tidak jeri tapi jangan lupa, di sini masih ada seekor ular raksasa!"
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
"Huh, kalau ular raksasa itu tidak terbius pingsan oleh granatmu, memangnya kamu berani masuk ke situ?" jengek si orang berkedok.
"Betul, tadi ular itu memang pernah terbius pingsan, tapi sekarang sudah aku buat ular ini siuman kembali," ucap Kiam-eng dengan tertawa. Agaknya si orang berkedok sangat jeri terhadap ular sawa raksasa itu, ia mendengus, "Hm, jika benar begitu, mengapa tidak kau lepaskan dia keluar?"
"Soalnya belum tiba waktunya." kata Kiam-eng.
"Memangnya apa yang kau tunggu?" tanya si orang berkedok hijau.
"Tunggu nanti kalau sudah apal aku pelajari jurus ilmu pedang dari ke-180 patung emas ini barulah akan aku suruh ular ini menyerang kalian," jawab Kiam-eng.
"Hm, kiranya tujuanmu adalah ilmu pedang sakti itu?" jengek si orang berkedok.
"Betul, sesudah berhasil aku pahami ilmu pedang itu, tanpa bantuan ular raksasa ini aku yakin dapat mengalahkanmu."
"Hehe, jangan kamu mimpi!" si orang berkedok terkekeh murka. "Betapa ajaib ilmu pedang itu, sudah setahun aku pelajari pun belum berhasil memangnya kamu Sai-hoa-to mampu?"
Sebenarnya Su-Kiam-eng tidak memperhatikan ilmu pedang sakti yang terkandung pada ke-180 patung emas itu. Tapi sekarang setelah mendengar cerita si orang berkedok bahwa sudah mempelajari selama setahun tetap tidak menghasilkan apa-apa, mau-tak-mau hatinya tergetar dan tarik, ia pikir dengan kemampuan lawan itu ternyata tidak sanggup memahami inti sari ilmu pedang sejati itu, hal ini menandakan ilmu pedang tersebut adalah semacam kepandaian ajaib yang tidak ada bandingannya.
Apabila dirinya dapat memahaminya dengan baik, bukanlah akan sangat mudah mengalahkan lawan"
Tapi ia lantas menggeleng kepala sendiri dan membatin, "Ah, tidak mungkin. It-sik-sin-kai saja dikalahkan olehnya dalam waktu singkat, kemahiran kung-fu nya jelas jauh di atas gurunya dan Kiam-ong Ciong-Li-cin jika tokoh selihai ini saja tidak sanggup memahami inti sari ilmu pedang terkandung pada ke-180 patung emas ini, mungkinkah dirinya mampu?"
"Sim-Tiong-ho, jika kamu tidak segera ke luar aku gunakan api untuk membakar mampus dirimu!", demikian terdengar si orang berkedok memang gusar di luar.
Kiam-eng terkejut dan tidak berani sembarang pikir lagi, ia coba meraba lagi ke depan, hanya sebentar saja sudah lebih 50 buah patung digerayanginya. Ketika ia maju lagi, ternyata dinding batu berukir menghadang di depan.
Ia melangkah lagi sampai 30-an tindak menyusuri kaki dinding dan meraba ujung dinding dan, lalu meraba lagi ke depan mengikuti dinding batu berikutnya, akhirnya ia dapat meraba patung emas lagi.
Dengan demikian segera ia mengerti bahwa ke-180 buah patung emas itu berjajar di bagian kanan dan kiri, masing-masing sisi ada 60 buah patung. Ada pun yang pertama dirabanya tadi adalah bagian kanan dinding, sebabnya cuma 50-an patung yang teraba olehnya adalah karena patung pertama yang teraba olehnya itu bukanlah, patung nomor satu.
Lantaran itu pula ia pun paham patung pertama yang dirabanya sekarang adalah patung nomor satu barisan sebelah kiri.
Segera ia meraba terus ke depan mengikuti patung nomor satu itu ketika meraba sampai patung nomor 14, terasa patung itu bergaya setengah berjongkok atau setengah mendak. Tapi ketika sekujur badan patung diraba, dirasakan pula tubuh patung yang bulat itu tidak ada sesuatu tempat yang dapat dibuat tempat menyimpan Jian-lian-hok-leng.
Padahal dalam surat sang su-heng tertulis dengan jelas bahwa "Jian-lian-hok-leng tersembunyi dalam patung emas ke-14", kata "dalam patung", tentu berarti di dalam perut patung.
Berpikir demikian, segera Kiam-eng menggunakan ke dua tangannya untuk merangkul pinggang patung, selagi hendak diputar sekuatnya, terdengar suara "serr" sebatang ranting kayu yang terbakar dilempar ke dalam kamar batu.
Menyusul ada lagi dua-tiga batang ranting berapi yang dilemparkan ke dalam dan jatuh di samping tubuh Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
Sai-hoa-to, api pun terus menyala.
Nyata, si orang berkedok hijau benar-benar mulai menyerang dengan api.
Kiam-eng terkesiap, ia coba memutar patung emas yang dirangkulnya itu, namun segenap tenaga sudah dikerahkan ternyata tidak sanggup menggoyahkan patung itu sedikit pun.
Ia pikir jangan-jangan patung emas itu berkarat dan melengket dengan lantai. Namun segera terpikir pula olehnya emas tidak mungkin berkarat. Ia pikir bagian sambungan patung mungkin terletak pada leher patung.
Segera ia ganti tempat dan merangkul kepala patung serta diputar sekuatnya, terdengar suara "cit"
sekali, kepala benar-benar dapat berputar.
Dengan cepat ia putar kepala patung hingga terlepas, lalu merogoh bagian leher patung, terasa tangan menyentuh sesuatu barang.
Apakah itu Jian-lian-hok-leng" Ternyata bukan melainkan sesuatu benda kecil yang berat dan serupa medali emas.
Kiam-eng sangat kecewa. Tapi lantas teringat olehnya bahwa ke-180 patung emas itu terbagi menjadi dua baris di kanan-kiri, sangat mungkin patung ke-14 pada barisan sebelah kanan itulah patung ke-14
yang dimaksudkan sang su-heng. Maka tanpa pikir ia masukkan benda seperti medali itu ke dalam saku, berlari ke sebelah kanan.
Sekarang ia sudah mengerti bahwa ruangan ini sangat luas, lebarnya lebih 20 meter dan panjang hampir 50 meter, cukup untuk memuat ratusan orang yang sedang berlatih kung-fu sekaligus.
Ya, ruang besar ini sangat mungkin adalah tempat berlatih kung-fu orang Kimi dahulu.
Ia lari sampai tengah ruangan, terlihat banyak lagi ranting kayu terbakar yang dilemparkan ke dalam oleh si orang berkedok hijau dan ke tiga anak buahnya. Lamat-lamat terlihat pula sebatang ranting berapi tepat terlempar di atas tubuh Sai-hoa-to.
Seketika timbul rasa tidak tega, cepat Kiam-eng mendepak menyingkirkan ranting kayu berapi itu ia angkat tubuh Sai-hoa-to dan dilemparkan ke luar pintu kamar.
Ia merasa keadaan sudah berkembang sejauh ini, biarpun si orang berkedok hijau tahu duduknya perkara juga takkan membuat keadaan bertambah gawat. Pula biarpun Sai-hoa-to mati juga setimpal namun jelek-jelek dia adalah si tabib sakti yang tidak ada bandingannya di dunia persilatan bilamana membiarkan dia mati konyol terbakar, rasanya agak sayang, maka Kiam-eng sengaja hendak menyelamatkan nyawanya.
Siapa tahu ketika Sai-hoa-to terlempar ke luar kamar, si orang berkedok hijau yang berjaga di luar itu mengira Sai-hoa-to tidak tahan oleh sebangsa api mereka dan kini hendak kabur ke luar. Maka begitu tampak Sai-hoa-to "melayang" ke luar, kontan ia menyongsongnya dengan suatu pukulan dahsyat.
Dan pukulan itu tepat mengenai muka Sai-hoa-to, "plok", kontan muka Sai-hoa-to hancur luluh, tubuh pun jatuh terguling di pendopo kuil itu, jiwa pun jelas melayang.
Sih-Hou mendekat dan coba mencungkil mayat Sai-hoa-to dengan sebelah kakinya, lalu berpaling dan melapor kepada si orang berkedok hijau "Su-hu, dia sudah mampus!"
"Hm, terlampau enak baginya!" jengek si orang berkedok hijau.
Melengong juga Kiam-eng yang berada di dalam ruang batu, tujuannya hendak menyelamatkan Sai-hoa-to, siapa tahu malah mempercepat kematiannya, sungguh tak terduga olehnya sejak mula. Diam-diam ia menyesali diri sendiri, bilamana tadi waktu ia lemparkan tubuh Sai-hoa-to ke luar lebih dulu ia menjelaskan apa yang terjadi, tentu jiwa tabib sakti itu takkan tamat.
Namun bila dipikir lagi, mendingan juga terjadi begini, sebab si orang berkedok tetap tidak tahu di dalam ruang batu masih ada orang, sebelum asap tebal buyar dan sebelum api ranting kayu yang berkobar itu padam, jelas musuh takkan menyerbu ke dalam.
Sembari berpikir ia pun melangkah ke sebelah kanan dengan berjingkat-jingkat perlahan, setiba di kaki dinding kanan, dengan cepat dapat dirabanya patung nomor satu.
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
Pada saat itulah terdengar di luar si pedang perak Kwa-Eng-seng lagi berseru. "Su-hu, mungkin ular raksasa itu sudah mati"!"
Kiranya ke tiga orang itu bukanlah anak buah biasa melainkan anak murid si orang berkedok hijau.
Terdengar si kedok hijau menjawab, "Ya, betapa lihai bisa ular itu, kalau bukan sudah terbunuh oleh tua bangka Sim-Tiong-ho, masa dia berani masuk ke sana."
"Bagaimana kalau kita coba lihat ke dalam, Su-hu?" tanya si pedang baja Ku-Tai-hong.
"Jangan tergesa," ujar si kedok hijau. "Nanti kalau asap granat sudah buyar baru kita masuk ke sana."
"Si pengemis tua dan Sam-bi-sin-ong serta Su-Kiam-eng itu entah sudah minggat ke mana saja?" ucap si pedang emas Sih-hou.
"Pasti masih berada di sekitar sini," ujar si kedok hijau. "Si bocah keparat Su-Kiam-eng tidak nanti meninggalkan kota kuno ini sebelum mendapatkan Jian-lian-hok-leng."
"Sayang kita tidak tahu Jian-lian-hok-leng itu disembunyikan di mana," kata pula Sih-Hou. "Kalau tahu tentu kita tidak perlu repot begini."
"Tidak apa, kecuali Kiam-ho Lok-Cing-hui menyusul kemari sendiri, cepat atau lambat kita dapat menumpas mereka bertiga ... Eh, suara apa itu?"
"Su-hu mendengar suara apa?" tanya Sih-Hou.
"Aku dengar di dalam ruang seperti ada suara "cit" yang sangat perlahan," jawab si kedok hijau.
"Apakah bukan suara ranting kayu yang terbakar itu?" ujar Sih-Hou.
"Bukan jelas itu suara gesekan logam ... Hm, jangan-jangan ..."
Si kedok hijau tidak meneruskan ucapannya sebab ia tidak percaya Su-Kiam-eng bertiga sudah menyusup ke dalam ruang batu itu. Padahal Kau-hun-tan granat pencabut nyawa Sai-hoa-to sudah meledak empat buah di dalam ruang itu asap kuning tebal memenuhi seluruh ruang sampai sekian lama, siapa yang tahan sampai lebih setengah jam di situ"
"Su-hu, jangan-jangan apa maksudmu?" tanya Sih-Hou pula.
"Oo, tidak ada apa-apa," ucap si kedok hijau. "Ssst, kamu jangan bersuara lagi, biar aku renungkan dulu."
"Apa yang dikatakan "renung" dulu sebenarnya berarti "mendengarkan" lagi.
Pada saat itu Su-Kiam-eng yang sembunyi di dalam ruangan juga sedang menahan napas agar tidak terdengar musuh, ia berdiri diam saja di samping patung ke-14 di sebelah kanan sana.
Sebab dia sudah menemukan Jian-lian-hok-leng di bagian leher patung itu, pula obat mujarab itu sudah disimpan dalam baju sendiri. Namun ia tidak berani bergerak, sebab ia tahu si kedok hijau sedang pasang telinga dan mendengarkan dengan cermat.
Meski ia tahu sudah tidak mungkin lagi untuk meninggalkan ruang batu itu secara diam-diam, umpama dia mau menyerempet bahaya dengan meledakkan Yan-mo-tan, untuk itu juga diperlukan mencari kesempatan pada waktu perhatian si kedok hijau lagi terpencar dan agak lengah, sebab detik itu merupakan detik antara mati hidup dan gagal atau berhasil usaha terakhir jika kurang beruntung dan tertangkap, maka itu berarti tamatlah segalanya.
Setelah itu dalam kedalaman lugu hatinya tetap lagi memikirkan kalau-kalau ada jalan untuk lolos dari ruang batu ini di luar tahu siapa pun, sebab ia sadar si kedok hijau masih memegang satu jurus maut yang tidak mungkin dilawan olehnya, yaitu lawan masih menyandera Ih-Keh-ki.
Apabila lawan mengetahui Jian-lian-hok-leng sudah ditemukan Kiam-eng, tentu lawan akan memperalat Ih-Keh-ki untuk mengancamnya dan memaksa Kiam-eng menyerahkan bahan obat mujarab itu.
Lantaran itulah makin dipikir makin dirasakan Kiam-eng akan lebih baik mencari jalan lolos di luar tahu Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
musuh, kemudian ia pulang ke Tiong-goan, bilamana penyakit In-Ang-bi sudah disembuhkan, lalu akan datang lagi ke sini dan berdaya menolong Ih-Keh-ki, dengan begitu tentu dia dapat bertindak secara bebas dan tidak seperti sekarang, dengan cara bagaimana supaya berhasil lolos dengan aman"
Meski Kiam-eng sudah memeras otak tetap tidak mendapatkan sesuatu akal yang bagus. Padahal keadaan sekarang tidak ada waktu banyak berpikir lagi, sebab untuk asap berbisa yang memenuhi ruang itu lambat-laun sudah mulai tipis.
Perlahan ia siapkan sebuah Kau-hun-tan dan merunduk ke pintu, ia bertekad akan melemparkan granat maut itu bila sudah mendekati pintu keluar, dengan begitu agar dirinya tidak menarik perhatian si orang berkedok hijau.
Sekonyong-konyong kakinya menyandung sesuatu benda kenyal.
Ternyata badan ular sawa raksasa itu. Ular yang masih dalam keadaan pingsan.
Ini menimbulkan suatu pikirannya, segera ia berhenti ia keluarkan kotak salep yang diambilnya dari Sai-hoa-to itu, dipolesnya sedikit salep itu di bagian lubang hidung ular, lalu ia menyurut mundur dengan perlahan.
Tidak lama kemudian, benar juga badan ular itu mulai berkelojotan.
Dan pada saat itu juga terdengar Sih-Hou lagi bertanya, "Bagaimana, Su-hu?"
Lalu si orang berkedok menjawab, "Seperti tidak ada apa-apa. Cuma, boleh tunggu lagi sebentar ..."
Ular yang sudah pulih kembali kesadarannya itu mendadak mengangkat kepalanya ketika mendengar suara manusia di luar, lidah ular tampak mulur mengeret.
Mendengar suara yang aneh, cepat si orang berkedok hijau berkata lagi, "Awas, aku dengar lagi suara aneh tadi!"
Kepala ular makin menegak tinggi dan bergaya siap menyerang.
"Suara apa, Su-hu?" tanya Sih-Hou.
"Entah, coba kau lemparkan sebatang ranting kayu berapi ke dalam."
Sih-Hou menurut, "berr", sebatang ranting terbakar dilemparkan ke dalam ruangan, tepat jauh di depan ular raksasa. Karena terkejut oleh sambaran api, serentak ular sawa raksasa itu menyambar ke luar pintu secepat terbang.
"Wah, celaka!"
"Cepat lari!"
Demikian terdengar suara jeritan kaget orang ramai. Kiam-eng dapat mendengarkan si orang berkedok hijau dan ke tiga anak muridnya segera lari terbirit-birit meninggalkan kuil itu.
Tentu saja Kiam-eng tidak buang-buang kesempatan baik itu, cepat ia pun lari ke luar ruang batu, terlihat sebuah ruang pendopo kuil yang luas, ular dan ke empat orang tadi sudah tidak tampak lagi bayangannya.
Dengan sendirinya keadaan beginilah yang sangat diharap-harapkannya, segera ia melompat lagi ke atas reruntuhan batu tadi dan menerobos kembali melalui lubang tumpukan batu semula, lalu lari secepatnya meninggalkan tempat itu.
Ia melompat turun ke belakang wuwungan kuil itu, dengan gin-kang nya yang tinggi ia lari kembali ke kuil tempatnya sembunyi semalam.
Tanpa menemui halangan apa pun akhirnya ia sampai lagi di tempat tujuan.
Melihat anak muda itu sudah pulang, Kalina sangat senang, tanpa terasa ia menjatuhkan diri ke pelukan Su-Kiam-eng, serunya dengan gembira, "Terima kasih kepada langit dan bumi, akhirnya engkau pulang kemari."
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
Karena sudah mendapatkan Jian-lian-hok-leng, perasaan Su-Kiam-eng juga sangat riang gembira, maka ia pun balas merangkul si nona dengan erat, ucapnya dengan tertawa, "Rasanya belum ada satu jam aku tinggalkan tempat ini, bukan?"
"Ya, akan tetapi aku rasakan seperti sudah berselang beberapa hari," kata Kalina dengan nada manja.
"Sungguh takut akan ditawan oleh si orang berkedok."
Kiam-eng tertawa, ia pandang sekeliling kuil itu dan bertanya, "Apakah Ang-pang-cu dan Sam-bi-sin-ong belum pulang kemari?"
"Belum" jawab Kalina. "Adakah engkau memergoki orang berkedok hijau itu?"
"Ya," Kiam-eng mengangguk tertawa. "Cuma aku tidak dilihat olehnya. Biar aku beritahukan kabar baik padamu, Jian-lian-hok-leng sudah aku dapatkan."
"Hahh. sungguh"!" seru Kalina sambil melonjak gembira.
Kembali Kiam-eng mengangguk dan memperlihatkan Jian-lian-hok-leng, ucapnya, "Coba lihat ini bukan?"
Apa yang disebut Jian-lian-hok-leng itu ternyata tidak berdaun dan tidak berakar meski berasal sejenis tumbuh-tumbuhan atau akar-akaran, bentuknya setengah bulat seperti kepalan tangan, kulitnya hitam berkerut, bobotnya antara tiga kati sepintas pandang serupa sepotong talas.
Kalina merampas Jian-lian-hok-leng itu dan berseru dengan kejut-kejut girang, "Hah, benar memang benar benda ini! Dahulu pernah aku lihat benda serupa ini!"
"Tampaknya tidak berharga, akan tetapi mempunyai khasiat mujarab penenang dan membuat awet muda serta panjang umur," tutur Kiam-eng dengan tersenyum getir.
"Setelah minum barang ini, apakah benar daya ingatan In-Ang-bi itu akan pulih?" tanya Kalina.
"Betul cuma masih harus diramu dengan bahan obat lain," sahut Kiam-eng.
Kalina memasukkan Jian-lian-hok-leng itu ke dalam baju Kiam-eng, ucapnya dengan tertawa riang, "Ayo, sekarang juga kita pulang ke Tiong-goan."
"Nanti dulu," kata Kiam-eng. "Kita tunggu dulu kembalinya It-sik-sin-kai dan Sam-bi-sin-ong baru berangkat pulang."
Kalina menarik pemuda itu duduk di kaki dinding kuil, katanya, "Jika begitu, ayolah ceritakan pengalaman cara bagaimana mendapatkan Jian-lian-hok-leng?"
Kiam-eng lantas berkisah sejak dia memasuki puri tadi, baru saja mulai bercerita, tiba-tiba terdengar dua orang berlari masuk ke dalam kuil. Ia pikir tentu It-sik-sin-kai dan Sam-bi-sin-ong telah kembali. Segera ia berdiri dan coba melongok ke arah pintu kuil.
Tapi sekali pandang berbalik membuatnya terperanjat.
Ternyata yang muncul itu bukanlah si pengemis tua berdua melainkan Kui-kok-ji-bu-siang.
Sekilas Ji-bu-siang melihat Su-Kiam-eng berada di ruang kuil itu, muka Ji-bu-siang berubah pucat dan memandangi anak muda itu dengan terbelalak sangsi, mendadak pula mereka membalik tubuh terus lari pergi.
"Berhenti, hei, berhenti!" bentak Kiam-eng.
Ji-bu-siang benar-benar lantas berhenti dan membalik tubuh, dengan menyengir si setan lempung menuding Kiam-eng dan berkata, "Anak muda, soalnya kami masih ada urusan penting, maka tidak mau mencari kesulitan padamu, memangnya kau kira kami jeri padamu?"
Kiam-eng mendekati ke dua orang itu katanya dengan mendengus, "Huh, kalian telah terkena pukulan berbisa si orang berkedok hijau itu, memangnya kau kira aku tidak tahu?"
Air muka Ji-bu-siang berubah pucat itu dan saling pandang, akhirnya mereka bersandar dinding dengan lesu, ucap si setan lempung dengan pedih, "Lo-toa, tampaknya kita ingin mati dengan tubuh sempurna pun tidak bisa lagi."
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
Si setan baru menghela napas menyesal, tanyanya sambil menatap Kiam-eng, "Anak muda, dari mana kau tahu kami terkena pukulan berbisa si berkedok hijau?"
"Aku lihat sendiri," jawab Kiam-eng.
"Jika begitu, jadi kamu hendak membunuh kami selagi kami tidak mampu melawan?" tanya lagi si setan kayu dengan kuatir dan gusar.
"Tidak ada maksud begitu," ujar Kiam-eng.
Si setan kayu berubah girang tanyanya pula "Kalau tidak, untuk apa kau tunggu kami di sini?"
Kiam-eng tidak mau menjelaskan beradanya di kuil ini untuk bersembunyi, ia cuma menjawab dengan tersenyum, "Sebab ingin aku tolong kalian!"
Si setan kayu terbelalak heran dan sangsi, "ingin menolong kami?"
"Betul, menurut dugaanku, pukulan maut si orang berkedok hijau yang disebut Pek-hoa-hiang-hun-ciang (pukulan pencabut nyawa seratus bunga) itu mungkin dilatih dengan gas racun seratus bunga, jika benar bisa jadi dapat aku tawarkan racun yang telah meresap ke dalam tubuh kalian."
Ji-bu-siang saling pandang dengan kejut dan girang lalu si setan kayu berkata lagi terhadap Kiam-eng
"Uraianmu memang benar dada kami masing-masing memang terkena pukulan si orang berkedok hijau, isi perut kami terluka parah yang paling celaka adalah terasa disusupi pula semacam racun jahat, kami lagi kebingungan karena tidak tahu kenapa keracunan, setelah mendengar ucapan mu sekarang, sangat mungkin memang terkena racun bunga pukulan keparat itu. Eh, engkau mempunyai obat penawar racun?"


Rahasia 180 Patung Mas Karya Gan Kl di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya, ada," Kiam-eng mengangguk. "Ada semacam obat anti racun yang aku bawa dan dapat menawarkan racun bunga yang menghinggapi kalian itu."
Sembari bicara ia pun mengeluarkan dua pil dan dilemparkan kepada Ji-bu-siang.
Setelah menerima pil itu, Ji-bu-siang coba menjilat dulu dengan lidah dan terasa bukan obat racun tanpa sangsi mereka lantas menelannya. Lalu duduk bersila di lantai untuk bersemedi.
Tidak seberapa lama daya obat itu mulai bekerja, Ji-bu-siang menumpahkan banyak kotoran, air muka pun berubah agak segar.
Si setan lempung membuka mata lebih dulu katanya dengan tertawa, "Su-Kiam-eng, memang benar racun bunga yang meresap dalam tubuh kami, sekarang sudah punah."
"Dan bagaimana keadaan luka dalam kalian?" tanya Kiam-eng.
"Masih sangat parah," tutur setan lempung, "Namun setelah racun bunga dipunahkan, luka dalam dapat kami sembuhkan sendiri dengan perlahan. Pokoknya kami tidak jadi mati."
"Tempo hari Lau-ho-li Cu-kat-Leng juga terkena pukulan si orang berkedok hijau, akan tetapi karena sudah lama keracunan, meski aku beri minum obat ini tetap sukar menyelamatkan jiwanya," tutur Kiam-eng.
"Sesungguhnya tokoh macam apakah orang berkedok hijau ini sehingga berhasil meyakinkan pukulan berbisa selihai ini?" tanya si setan lempung.
"Entah, aku pun tidak tahu siapa dia, hanya aku ketahui dia adalah si pengganas yang membunuh ke-18
tokoh dunia persilatan Tiong-goan dahulu itu," tutur Kiam-eng.
Si setan lempung terkejut, "Wah, jika benar dia si pengganas yang membunuh ke-18 tokoh itu, gelagatnya tidak enak."
"Oo, apa betul?" Kiam-eng tersenyum.
"Ya," ucap si setan lempung dengan serius. "Biar aku bicara terus terang, hendaknya engkau jangan marah. Soalnya aku lihat kepandaian orang berkedok hijau itu seperti terlebih tinggi setingkat dibandingkan Kiam-eng dan gurumu."
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
"Betul, aku pun merasakan dia terlebih hebat daripada guruku dan Kiam-ong," kata Kiam-eng.
"Jika begitu, apakah sanggup kau hadapi dia?" tanya setan lempung.
"Tinggi ilmu silat seorang tidak menandakan dia dapat mengalahkan segalanya," ujar Kiam-eng tanpa menjawab langsung. "Apalagi ia pun ada titik lemah yang dapat kita cari, betul tidak?"
"Oo, kau kira di mana letak titik lemahnya" tanya si setan lempung kejut dan girang.
"Pada mukanya," sahut Kiam-eng tertawa.
"Mukanya?" si setan lempung melengong.
"Ya, bahwa kepandaiannya di atas Kiam-ong dengan sendirinya dia merupakan tokoh tidak ada tandingan di dunia. Namun dia justru tidak berani memperlihatkan wajah aslinya kepada umum, ini menandakan titik lemahnya terletak pada mukanya."
"Tapi cara bagaimana akan kau singkap kedoknya itu?" tanya setan lempung.
"Tidak perlu menyingkap kedoknya, ada seorang tahu benar siapa dia," kata Su-Kiam-eng.
"Oo, siapa?" tanya setan lempung cepat. "Putri Bu-tek-sin-pian In-Giok-san, yaitu In-Ang-bi." tutur Kiam-eng.
Tapi engkau belum lagi menemukan Jian-lian-hok-leng yang diperlukan, bukan?"
"Ahh, itu cuma soal waktu saja," Kiam-eng tersenyum.
Mendadak si setan kayu menimbrung dengan terbelalak, "Hei, Su-Kiam-eng, kau mau memberi obat penawar racun kepada kami berdua, apakah karena kau harapkan bantuan kami untuk mencari Jian-lian-hok-leng itu?"
"Tidak, tidak ada maksudku seperti itu?" Kiam-eng menggeleng dan tertawa.
"Jika tidak, untuk apa kau mau menolong kami?" tanya setan kayu bingung.
"Jika kamu berkeras ingin tahu, alasannya hanya ada satu," sahut Kiam-eng dengan tersenyum.
"O, alasan apa?"
"Yakni, berdasarkan prikemanusiaankah aku tolong kalian. Sebaliknya meski tingkah-laku kalian Kui-kok-ji-bu-siang membuat orang merasa gregetan, namun apa pun juga kalian tetap manusia. Nah, hanya begitu saja."
Jelas si setan kayu terharu oleh ucapan Kiam-eng itu mukanya yang semua agak pucat tampak bersemu merah, katanya, "Busyet! Selama berpuluh tahun, engkaulah orang pertama yang memandang kami berdua sebagai manusia!"
"Dan aku harap kalian jangan menyalah gunakan maksud baikku," pesan Kiam-eng.
"Ya sudahlah, meski engkau tidak mengharapkan bantuan kami, namun kami tidak bisa tidak membalas budi pertolonganmu," ujar si setan kayu. "Bilamana luka dalam kami sudah sembuh tentu akan kami bantu menemukan Jian-lian-hok-leng itu."
"Tidak perlu," Kiam-eng. "Bila kalian benar ingin membalas budi, cukup selanjutnya kalian mengurangi perbuatan kalian yang kurang baik itu."
"Huh, betapa pongah anak muda itu, apakah lantaran kau yakin mampu mengambil Jian-lian-hok-leng itu di bawah pengawasan ketat si orang berkedok hijau?" dengan si setan kayu kurang senang.
"Ya, luka dalam kalian belum sembuh, aku kira lebih baik jangan banyak bicara, lekas duduk mengaso saja," ujar Kiam-eng tertawa.
Si setan kayu mendengus perlahan, ia lantas memejamkan mata dan tidak buka mulut pula.
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
Segera Kiam-eng menarik Kalina putar balik ke dalam ruang kuil dan duduk di dekat pintu kamar batu yang berjarak belasan meter dari Ji-bu-siang.
"Eh, mengapa tidak kau katakan kepada mereka bahwa Jian-lian-hok-leng sudah kau dapatkan?" tanya Kalina lirih.
Kiam-eng menjawab dengan suara tertahan "Jian-lian-hok-leng berkhasiat menyembuhkan luka dalam sekarang mereka juga terluka parah, bila mereka tahu ada obat mujarab yang tersedia padaku, mungkin akan timbul maksud jahat mereka untuk merampas muka tidak dapat aku beritahukan kepada mereka."
Kalina mengangguk paham, ucapnya dengan tertawa kagum, "Engkau memang pandai berpikir panjang.
Aku lihat kelakuan mereka yang tidak genah itu, tampaknya memang bukan manusia yang mudah diperbaiki."
Dari jauh Kiam-eng melihat Ji-bu-siang lagi duduk semedi tanpa bergerak, ia coba mengeluarkan ke dua potong medali emas, disodorkan sepotong Kalina dan berkata dengan lirih, "Coba kau lihat barang apa ini?"
Medali emas itu kira-kira panjang 12 senti dan lebar 9 senti, bobotnya antara setengah kati. Ke dua sisi sama terukir huruf-huruf kuno yang tidak dikenal.
Setelah membalik-balik benda itu, kemudian Kalina bertanya, "Barang apakah ini?"
"Aku pun tidak tahu, aku ambil dari dalam leher patung emas," tutur Kiam-eng.
"Pada setiap patung emas itu terdapat benda seperti ini?" tanya Kalina.
"Mungkin begitu, dari kepala dua patung yang aku putar aku dapatkan kedua potong medali ini ..." bicara sampai di sini, tiba-tiba sinar matanya mencorong aneh dan menyambung pula, "Aha, betul aku tahu benda apakah ini!"
"Oo, benda apa?" tanya Kalina.
"Huruf yang tertulis di atas benda ini adalah kunci rahasia pelajaran ilmu pedang," desis Kiam-eng.
"Kunci rahasia ilmu pedang?" ulang Kalina dengan tak mengerti.
"Ya, di tengah ke-180 patung emas itu tersembunyi semacam ilmu pedang jaman purba yang sangat dalam dan sukar dipelajari, sedangkan medali ini justru mencatat kunci pelajaran setiap jurus ilmu pedang ajaib itu."
Kalina terbelalak memandangi bumi aneh pada medali emas itu katanya, "Tapi tulisan apakah ini?"
"Bisa jadi tulisan ciptaan bangsa Kimi sendiri mungkin pula bahasa negeri Thian-tiok (Hindu atau Sansekerta)," kata Kiam-eng.
"Kenapa bila tulisan negeri Thian-tiok?" tanya Kalina heran.
"Soalnya kebudayaan bangsa Kimi berasal dari Thian-tok, maka tulisan ini sangat mungkin adalah tulisan Hindu Kuno," berkata sampai di sini, ia simpan kembali ke dua potong medali dan berdiri, katanya pula,
"Aku kira, perlu aku pergi lagi ke sana."
"Untuk apa pergi lagi?" tanya Kalina ikut berdiri.
"Orang berkedok hijau itu belum mengetahui di dalam patung emas tersimpan benda begini, maka ingin aku pergi lagi ke sana untuk mengambil ke-178 potong medali yang lain, kalau tidak, bilamana diambil orang berkedok, hal itu sama seperti harimau tumbuh sayap, selanjutnya terlebih tidak ada lagi yang mampu mengatasi dia."
"Bagaimana kalau aku ikut pergi bersamamu?" tanya Kalina dengan harap-harap cemas.
Chapter 18. Rahasia 180 Patung Mas
"Jangan hendaknya tetap kau tinggal di sini, selekasnya aku akan kembali ke sini," ucap Kiam-eng.
"Tapi ... tapi berada bersama mereka, aku ... aku rada-rada takut"
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
"Jangan takut," kata Kiam-eng tertawa, "Luka dalam mereka belum sembuh, tidak nanti mendapat mencelakaimu."
Sembari bicara ia pun mendekati Ji-bu-siang, ada keperluan aku harus pergi dan menjaga baik."
"Kau percaya kepada kami?" tanya si setan kayu dengan tersenyum.
"Tentu saja," sahut Kiam-eng, lalu ia memberi tangan kepada Kalina dan segera melangkah, keluar kuil.
Setiba di luar, dilihatnya keadaan tepi, segera ia memotong beberapa ranting berdaun untuk hiasan tubuh agar tidak terlihat jelas, lalu melompat ke atas pucuk pohon terus melayang cepat ke arah puri raksasa itu.
Selagi melayang cepat antara pohon dan pohon, tiba-tiba terdengar suara mendesir, sesosok bayangan orang meloncat dari hutan sana.
Kiam-eng terkejut, cepat ia menurun dan melayang ke kanan, berbareng pedang pun dilolosnya.
"Apakah Su-lau-te di situ?" terdengar suara It-sik-sin-kai bertanya.
Setelah menoleh dan mengenali pengemis tua itu, Kiam-eng sangat girang, serunya, "Aha, kiranya Ang-pang-cu!"
It-sik-sin-kai melompat enteng ke depan Su-Kiam-eng ucapnya dengan tertawa. "Tubuh Su-lau-te penuh dihiasi dedaunan, hampir saja aku sangka siluman!"
Kiam-eng simpan kembali pedangnya dan bertanya, "Adakah Ang-pang-cu menemukan sesuatu?"
"Tidak ada sudah aku telusuri beberapa kuil dan tidak menemukan sesuatu, sekarang baru mau coba memeriksa puri induk itu ... Dan kau sendiri, bagaimana?"
"Wan-pwe sudah mendapatkan Jian-lian-hok-leng dan menemukan ke 180 patung emas itu."
"Apa betul" Di mana kau temukan?" tanya si pengemis tua.
"Justru di kuil induk itu ... " lalu Kiam-eng menceritakan apa yang dialaminya ketika menemukan Jian-lian-hok-leng.
Terheran-heran sekali It-sik-sin-kai, katanya, "Jika begitu, sekarang kau mau ke mana?"
Kiam-eng memperlihatkan sebuah medali emas, jawabnya, "Ingin aku ambil lagi barang seperti ini. Aku kira huruf yang terukir pada medali ini tentulah kunci dasar pelajaran ilmu pedang maha sakti, pada setiap patung emas itu terdapat sebuah medali emas seperti ini, maka ingin aku kumpulkannya agar tidak terjatuh ke tangan si orang berkedok hijau."
It-sik-sin kai memandangi huruf aneh pada medali emas itu, katanya sambil mengangguk, "Ya, huruf ini memang betul tulisan Thian-tiok."
"Oo, Ang-pang-cu paham tulisan Tian-tiok?" tanya Kiam-eng girang.
"Tidak," si pengemis tua menggeleng. "Cuma dahulu pernah aku kenal seorang padri Hindu, maka aku tahu huruf ini bahasa Thian-tiok."
"O, kiranya begitu," Kiam-eng agak kecewa, ia coba tanya lagi, "Dan padri Hindu itu apakah sekarang masih berada di Tiong-goan?"
"Entah, sudah belasan tahun tidak pernah aku lihat dia lagi," sahut pengemis tua.
"Orang berkedok hijau itu mengaku sudah mempelajari selama setahun dan tidak dapat memecahkannya, maka dapat dibayangkan ilmu pedang itu pasti sangat dalam dan sukar dimengerti.
Jika sekarang kita dapat mengumpulkan sisa ke-178 buah medali emas itu, lalu kita cari seorang yang mahir tulisan Thian-tiok dan minta dia menerjemahkannya menjadi bahasa Tiong-hoa kita, dan setelah kita pelajari ilmu pedang sakti ini, akhirnya pasti dapat mengalahkan si orang berkedok hijau. Bagaimana menurut pendapat Ang-pang-cu?"
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
It-sik-sin-kai mengangguk, "Betul, sekarang juga aku ikut dan membantumu mengambil sisa ke-178
buah medali emas."
"Hal ini harus disebut kerja sama dan bukan membantu," ujar Kiam-eng tertawa.
It-sik-sin-kai tertawa, katanya, "Betapapun pengemis tua sudah terbiasa memakai pentung bambu dan tidak ingin berganti senjata lagi seperti pedang apa segala."
"Tidak perlu ganti senjata juga tidak jadi soal, kalau lebih banyak paham sejenis kung-fu lain kan ada gunanya juga?" kata Kiam-eng.
"Baiklah, bila ke-180 medali emas itu dapat dikumpulkan lengkap, bahkan dapat menemukan seorang yang paham bahasa Thian-tiok, biarlah pengemis tua juga belajar-belajar sedikit untuk menambah pengetahuan," ujar si pengemis dengan tertawa.
Kiam-eng merasa tentram, ucapnya gembira, "Jika begitu, marilah berangkat!"
Mereka lantas menggunakan gin-kang dan meneruskan perjalanan ke kuil raksasa itu, setiba di dekat tempat tujuan, tiba-tiba terdengar suara gemuruh ramai yang semakin menjauh.
Kiam-eng terkejut dan heran, "Ang-pang-cu, suara apakah itu?"
"Seperti suara guruh, namun suara guntur mengapa berbunyi dipermukaan bumi?" gumam si pengemis tua sambil berkerenyit kening.
"Mungkinkah suara lari segerombolan gajah?" tanya Kiam-eng.
"Aha, betul, tentu suara lari kawanan gajah!" seru It-sik-sin-kai.
"Dari suaranya yang makin menjauh, agaknya ada dua-tiga li jauhnya."
"Ya, apakah ingin menyusul ke sana untuk menambah pengalaman?"
"Tidak tugas utama harus kita kerjakan dahulu!"
Segera keduanya merunduk ke arah kuil raksasa.
Mereka manjat sebatang pohon tua dan melayang ke wuwungan kuil raksasa itu, lalu Kiam-eng mendahului merayap ke wuwungan tengah dan coba melongok ke lapangan luas di depan bangunan besar itu terlihat rumput di lapangan luas itu semrawut seperti habis diinjak-injak oleh kawanan binatang.
Kiam-eng terkesiap melihat keadaan luar biasa itu, bisiknya kepada It-sik-sin-kai "Ang-pang-cu, apabila suara gemuruh tadi benar suara lari kawanan gajah, maka gerombolan gajah itu pasti pernah lari lewat di depan kuil raksasa ini."
"Untuk mereka tidak menerjang ke dalam kuil, kalau tidak bangunan ini pasti akan tamat riwayatnya,"
ujar si pengemis tua.
"Tadi si orang berkedok hijau dan ke tiga anak muridnya lari ketakutan oleh ular rawa raksasa yang bersarang di dalam kuil ini, entah sekarang mereka kembali lagi ke sini atau tidak?"
"Peduli amat, biarlah kita masuk saja ke sana!" kata It-sik-sin-kai.
Kiam-eng lantas membawanya ke bagian tengah kuil dan melongok ke halaman tengah sana ternyata tidak ada sesuatu tanda yang mencurigakan, segera ia mendahului melompat ke bawah dan disusul oleh si pengemis tua.
"Tempat apakah ini?" tanya It-sik-sin-kai sambil melongok kian kemari.
"Ruang tidur sebelah kanan kuil induk ... lekas Ang-pang-cu mengikuti diriku!" desis Kiam-eng sambil menyelinap ke luar dari ruang luas itu.
Setelah berputar kian kemari, hanya sebentar saja mereka sudah sampai di ujung serambi, yaitu di depan reruntuhan batu.
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
"Di balik reruntuhan ini adalah ruang pendopo kuil raksasa ini," desis Kiam-eng sambil, menunjuk tumpukan batu. "Dan ke-180 patung emas itu justru berada di sebuah ruang luas di depan ruang pendopo sana."
It-sik-sin-kai mengamati reruntuhan itu tanyanya dengan tercengang, "Entah cara bagaimana terjadinya reruntuhan itu?"
"Ambruk dari wuwungan kuil dan kebetulan menyumbat pintu samping sini," tutur Kiam-eng.
"Jika begitu, cara bagaimana kita masuk ke sana?" tanya pula pengemis tua.
Kiam-eng menunjuk lubang pada reruntuhan itu dan mendahului melompat ke atas, ia coba mengintip ke sebelah sana, terlihat ruang pendopo kuil itu kosong melompong tanpa bayangan seorang pun sedang gundukan api unggun yang menghadang di depan ruang besar itu sudah berubah menjadi gundukan orang, melihat gelagatnya si orang berkedok hijau dan ke tiga anak muridnya seperti tidak berada di situ.
Namun Kiam-eng tidak percaya bahwa seorang berkedok hijau tak berani datang ke sini hanya karena takut terhadap ular sawa raksasa. Ia coba mendengarkan dengan cermat setelah sekian lama dan tidak terdengar sesuatu suara mencurigakan barulah ia menerobos lubang batu itu dan melompat turun ke sana.
Setelah celingukan kian kemari, yang terlihatnya jenazah Sai-hoa-to saja.
Perlahan Kiam-eng mendekati pintu kamar besar itu, ia pasang telinga pula hingga sekian lama dan tetap tidak terdengar setitik suara apa pun maka ia bertanya mengapa si pengemis tua yang masih mengintip di lubang reruntuhan tadi.
Segera It-sik-sin-kai menerobos lewat lubang itu dan melompat turun sudah dekat ia tanya Kiam-eng, bagaimana?"
"Keadaan sunyi senyap, seperti tidak ada orang lain," tutur Kiam-eng.
It-sik-sin-kai menuding kamar besar itu dan bertanya, "Ruang yang ini?"
"Betul, ruang ini sangat luas, sangat mungkin dahulu adalah ruang berlatih kung-fu, ke-180 patung emas itu teratur menjadi dua baris di kanan ruangan ini."
"Jika begitu ayolah kita masuk ke situ," ajak si pengemis tua.
"Jangan-jangan si orang berkedok hijau bersembunyi di dalam ..."
"Mungkin tidak, sama sekali tidak aku dengar ada sesuatu suara ... ayo, biar aku masuk lebih dulu."
Sembari bicara segera ia hendak melangkah ke dalam dengan sebelah tangan siap di depan dada.
Mendadak Kiam-eng menarik pengemis tua itu dan mendesis, "Nanti dulu, biar wan-pwe menimpuk batu dan mencari jalan, dahulu."
It-sik-sin-kai melengak, "Cara bagaimana kamu akan lempar batu buat cari jalan?"
Kiam-eng putar ke sana dan membawa datang jenazah Sai-hoa-to, mendadak ia lemparkan mayat tabib sakti itu ke dalam ruangan.
Terdengarlah suara "bluk" yang keras, keadaan ruang itu tetap sunyi senyap.
Kiam-eng berpaling dan berkata kepada pengemis tua, "Mungkin si orang berkedok sudah, ke luar mencari kita, jelas dia tidak berada di sini."
"Bagus sekali, marilah kita masuk," ajak It-sik-sin-kai.
"Tunggu lagi sebentar." cegah Kiam-eng pula, "Biar aku buat obor dulu baru masuk ke sana."
Ia lihat di samping gundukan api unggun masih ada rumput kering, segera ia ikat rumput kering itu menjadi sepotong obor dan dinyalakan, lalu masuk ke ruang batu itu.
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
Sesudah berada di dalam, di bawah cahaya obor, apa yang dilihatnya membuatnya tercengang.
Ternyata ke-180 patung emas yang semula berada di ruang besar itu kini seluruhnya sudah hilang terbang tanpa sayap.
It-sik-sin-kai terbelalak bingung, katanya, "Di mana ke-180 patung emas itu?"
Sampai sekian Kiam-eng melongo bingung, akhirnya ia berseru, "O, Tuhan, apakah yang terjadi?"
"Ada apa?" tanya It-sik-sin-kai heran.
"Ke-180 buah patung emas itu, semuanya menghilang"!" seru Kiam-eng.
"Oo, apakah kamu tidak salah lihat?" tanya pengemis tua.
"Salah lihat apa?" sahut Kiam-eng bingung.
"Mungkin bukan ruang yang ini?" ujar It-sik-sin-kai sambil menuding kamar besar itu.
"Tidak, jelas ruang inilah, tidak salah lagi mutlak tidak salah!" seru Kiam-eng sambil melonjak penasaran.
"Aneh juga," si pengemis tua ikut terkesiap. "Hanya dalam waktu tidak ada satu jam, masakah begitu cepat si orang berkedok mampu memindahkan ke-180 buah patung emas?"
"Betul, padahal setiap patung itu berbobot ribuan kati, mana mungkin dalam waktu singkat ini mereka berempat sanggup mengangkut pergi ke-180 patung ini. Sungguh aneh, sungguh ajaib!"
It-sik-sin-kai termenung sejenak, katanya kemudian, "Wah, jangan-jangan orang berkedok hijau itu menggunakan kawanan gajah untuk mengangkut ke-180 patung?"
Kiam-eng pikir memang benar juga, namun ia pun sangsi, katanya, "Tapi untuk mengangkut ke-180
buah patung sebesar itu sedikitnya diperlukan sembilan puluh ekor gajah besar, apakah dia mampu mengendalikan 60 ekor gajah sekaligus?"
"Dia mengaku sebagai 'raja rimba', mungkin tidak sulit baginya untuk menguasai 60 ekor gajah," kata pengemis tua.
Kiam-eng mengangguk, "Ya, betul juga. Namun ada satu hal yang sukar dimengerti. Tujuan orang berkedok hijau itu adalah untuk merintangiku mengambil Jian-lian-hok-leng, dia tidak tahu bahwa Jian-lian-hok-leng sudah aku dapatkan, mengapa dia tidak mencari perkara padaku sebaliknya malah membawa kabur ke-180 patung emas itu?"
"Ada beberapa kemungkinan. Pertama, dia kuatir ke-180 patung direbut oleh kita, maka dia mendahului mengangkut patung dan kemudian baru akan menghadapi kita. Ke dua, dia tidak sabar lagi berkutetan dengan kita di kota tua ini, maka membiarkan Jian-lian-hok-leng diambil olehmu, dan nanti dia akan mencegatmu di tengah jalan, maka patung diangkut pergi."
"Dan sekarang apa yang dapat kita lakukan?" tanya Kiam-eng.
"Jika kamu tidak ingin mengambil medali dalam patung, tentu saja dapat kau pulang saja ke Tiong-goan dengan membawa Jian-lian-hok-leng," kata It-sik-sin-kai.
"Tidak, nona Ih masih berada dalam cengkeraman mereka, betapapun harus aku kerjakan mereka dan berdaya menyelamatkan nona Ih."
"Kalau begitu tekadmu, lekas kita mengejar mereka!" ujar It-sik-sin-kai.
"Tetapi," ucap Kiam-eng ragu, "Wah, bagaimana dengan nona Ka?"
"Nah, kan menjadi repot," ujar pengemis tua dengan tertawa. "Makanya ingin aku beri nasihat, kalau pacaran hendaknya cuma pilih satu saja, jangan kau kira pacar banyak lantas dapat rangkul sini dan peluk sana, terkadang justru bisa kehilangan semuanya."
Muka Kiam-eng menjadi merah, ucapnya, "Ke dua nona ini sejak mula tidak sengaja aku cari tapi ... ah, sudahlah, sekarang jangan bicara uraian ini. Mohon Ang-pang-cu sudi memberi bantuan, jadi?"
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
"Maksudmu minta aku kembali ke kuil itu dan membawa nona Ka ke sini?" tanya si pengemis tua.
"Betul," Kiam-eng mengangguk. "Tapi bukan membawanya ke sini melainkan membawa dia kembali kepada suku bangsanya."
"Apakah dia mau?"
"Mohon bantuan Ang-pang-cu suka membujuknya, soalnya memang tidak dapat aku bawa dia pulang ke Tiong-goan, sebab masih banyak urusan yang harus aku kerjakan."
"Kamu sendirian dapat menolong nona Ih?" tanya It-sik-sin-kai.
"Akan aku coba, kalau gagal, terpaksa aku pulang ke Tiong-goan dulu untuk mencari jalan lain."
"Baiklah, sepanjang jalan hendaknya kamu waspada, aku kira si orang berkedok hijau pasti akan mencegat dan menyergapmu di tengah jalan."
"Wan-pwe tahu, Ang-pang-cu juga aku harap berhati-hati dalam perjalanan," jawab Kiam-eng sambil memberi hormat.
Habis berkata segera ia melangkah ke luar kuil besar itu.
Setiba di lapangan rumput, ia coba memeriksa bekas tapak kaki gajah yang acak-acakan itu, lalu mulai melacaknya lebih lanjut.
Ia terakhir kawanan gajah itu terakhir lari terlampau jauh, dengan kecepatan lari sendiri ia yakin dalam waktu setengah jam tentu dapat menyusulnya. Maka ia merasa tidak perlu gelisah.
Siapa tahu, meski dia sudah memburu tiga empat li jauhnya, cuaca yang semula terang itu mendadak bertabirkan kabut tebal, kabut yang lembab itu dengan cepat menyelimuti seluruh rimba raya sehingga membuatnya merasa sukar untuk bertindak.
Ia perlambat langkahnya dan meneruskan perjalanan sekian jauh, kabut tebal semakin pekat sehingga benda dalam jarak dua-tiga meter pun tidak tertampak lagi. Ia tahu hujan lebat mungkin segera akan turun, terpaksa ia berhenti dan duduk menunduk di bawah sebatang pohon raksasa.
Benar juga tidak lama ia duduk di situ, titik air hujan mulai turun, makin lama makin deras, akhirnya air hujan seperti dituangkan dari langit.
Ia termangu-mangu memandangi hujan lebat itu, sungguh hal ini kejadian paling buruk yang tak terduga.
Harapannya sekarang hanya ada satu, yaitu hujan lebat ini takkan berlangsung terlampau lama dengan begitu baru ada harapan akan dapat menyusul kawanan gajah itu kalau tidak, maka tamatlah segalanya.
Akan tetapi, tunggu punya tunggu, sejam hujan deras itu ternyata nampak ada tanda-tanda akan mereda.
Padahal genangan air hujan di dalam hutan sudah sebatas betis.
Melihat harapannya kandas, Kiam-eng menghela napas dan memejamkan mata sambil mengomel, "Ya, turunlah selebatnya, kalau sanggup silakan turun selama beberapa hari dan beberapa malam ..."
Hari pun mulai gelap, malam telah tiba.
Namun hujan pun mulai reda dan akhirnya berhenti.
Berhentinya hujan ternyata menambah kepekatan gelap rimba raya sehingga jari sendiri pun tidak kelihatan. Dengan sendirinya sukar menempuh perjalanan dalam kegelapan, terpaksa Kiam-eng manjat ke atas pohon dan rebah di antara dahan pohon untuk bermalam, diputuskan menunggu sampai terang pagi baru akan meneruskan perjalanan.
Untung habis hujan lebat sehingga tidak ada gangguan nyamuk di tengah hutan, anak muda dapat tidur nyenyak semalaman.
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
Waktu mendusin keesokannya, hari pun sudah terang.
Ia lihat keadaan hutan masih basah becek, segera ia menggunakan gin-kang untuk melayang di atas pohon terus menuju ke depan.
Sekaligus ia lari lebih 30 li dan tetap belum menemukan jejak kawanan gajah, ia pikir gajah tentu tidak takut hujan, setelah lari sehari semalam mungkin sudah berada ratusan li jauhnya. Bilamana cara menyusulnya ini tidak salah arah, paling cepat baru dapat menyusulnya menjelang malam nanti. Tapi sesudah berhasil menyusulnya, lalu apa yang akan dilakukannya"
Kiam-eng terus mengejar sambil berpikir, paling akhir ia keputusan takkan terburu napsu, asal dapat menyusul kawanan gajah itu, dia akan bertindak melihat gelagat nanti, kalau tidak, dia akan pulang dulu ke Bu-lim-teh-coh, asalkan penyakit In-Ang-bi dapat disembuhkan, betapapun si orang berkedok hijau itu pasti akan ditemukan.
Dekat lohor, ia berada kembali di rawa-rawa itu, ia menemukan sampan yang pernah dibuatnya itu, namun terlihat sampan itu sudah terbelah menjadi tiga bagian dan tidak dapat digunakan lagi.
Keadaan sampan ini membuatnya tambah, yakin arah yang dikejarnya tidak salah lagi. Tapi juga diketahuinya untuk menyusul musuh jelas sukar lagi tercapai. Luas rawa-rawa ini beberapa li kecuali membuat lagi sebuah sampan rasanya tidak jalan lain untuk mengarunginya. Terpaksa mencari lagi sebatang pohon besar dan mulai lagi membuat sampan dengan telaten.
Lohor esoknya kembali sebuah sampan sudah jadi dibuatnya. Seperti juga dahulu, ia lemas lunglai kehabisan tenaga, ia rebah di samping sampan sehingga satu-dua jam, habis itu barulah ia sanggup mendorong sampan ke dalam rawa dan mendayungnya melaju.
Pada waktu menjelang senja, akhirnya sampan dapat menyebrangi rawa itu dan menepi.
Akan tetapi pada saat kakinya baru saja menginjak daratan, sekonyong-konyong terdengar suara mendenging, suara sambaran senjata rahasia menyambar ke mukanya.
Waktu Kiam-eng perhatikan, kiranya tiga pisau terbang.
Biarpun masih lelah, namun gerak-gerik Kiam-eng tidak lamban, cepat ia mendak dan melolos pedang terus menangkis ke atas terdengar "trang-tring" tiga kali, ke tiga pisau itu tersampuk jatuh, lalu ia berdiri dan membentak, "Kaum tikus dari mana main sergap secara licik, lekas menggelinding ke luar, coba aku lihat bagaimana cecongormu"!"
Baru lenyap suaranya, dari hutan di depan sana muncul tiga orang.
Ke tiga orang ini bukan lain daripada ke tiga murid si orang berkedok hijau, yaitu si pedang emas Sih-Hou, pedang perak Kwe-Eng-seng dan pedang baja Ku-Tai-hong.
Muka mereka masih memakai kedok hitam mereka mendesak tiba dari depan dan kiri kanan Su-Kiam-eng. Melihat gelagatnya jelas mereka ingin mencabut nyawa anak muda itu.
Diam-diam Su-Kiam-eng mengeluh, teringat olehnya waktu bertarung melawan ke tiga orang itu tempo hari ia sadar bukan tandingan mereka namun apa pun juga ia tidak mau mandah mati konyol.
Segera ia lolos pedang dan siap tempur.
Jelas Sih-Hou tidak memandang sebelah mata terhadap anak muda itu, dengan angkuh ia mendengus,
"Hm, Su-Kiam-eng, coba apakah kamu masih sanggup kabur lagi dari tangan kami."
"Haha, boleh coba dulu!" jawab Kiam-eng tenang.
"Aku kira tidak perlu coba lagi," ucap Sih-Hou sambil menyeringai. "Boleh kau serahkan saja Jian-lian-hok-leng itu dan jiwamu akan aku ampuni kalau tidak, hehehe ... "
"Jangankan Jian-lian-hok-leng itu tidak aku temukan, umpama sudah aku dapatkan juga jangan harap akan kalian rebut dariku," jawab Kiam-eng ketus.
"Dusta!" bentak Sih-Hou, "Jika Jian-lian-hok-leng belum kau dapatkan, untuk apa terburu-buru kamu kembali ke sini?".
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
"Aku kembali ke sini untuk menolong orang," Su-Kiam-eng.
"Untuk menolong jiwa jantung-hatimu kan sangat sederhana, asalkan kau serahkan Jian-lian-hok-leng itu, aku jamin Ih-Keh-ki akan dibebaskan dengan selamat," kata Sih-Hou.
"Aku pikir tidak perlu menggunakan Jian-lian-hok-leng sebagai syarat," ucap Kiam-eng.
"Memangnya dengan cara bagaimana akan kau tolong Ih-Keh-ki?" tanya Sih-Hou.
"Dengan senjataku ini pasti dapat aku selamatkan nona Ih," seru Kiam-eng sambil mengangkat pedangnya.
"Hahaha, jika begitu, ayolah boleh kita coba," kata Sih-Hou sambil terbahak.
Habis berkata, ia memberi tanda kepada ke dua kawannya dan serentak mereka mendesak maju.
Kiam-eng merasa lebih menguntungkan bila turun tangan lebih dulu, maka begitu lawan mulai mendesak maju, dengan bentakan keras segera pedang bergerak, sekaligus ia menebas ke tiga lawan.
Jurus serangan ini merupakan serangan maut ilmu pedang halilintar perguruannya. Sekaligus ia serang tiga lawan dengan cara lihai.
Meski mulut Sih-Hou bicara meremehkan anak muda itu, padahal mereka pun tidak berarti memandang enteng ilmu pedang andalan Kiam-ho Lok-Cing-hui. Maka begitu sinar pedang menyambar tiba, cepat mereka melompat mundur berbareng mereka pasang barisan sambil menangkis.
Terdengar suara dering nyaring tiga kali hampir pada saat yang sama. Ini membuktikan betapa cepat gerak serangan pedang Su-Kiam-eng itu dan juga betapa bagusnya.
Dan begitu serangan lawan dapat ditangkis serentak Sih-Hou bertiga juga melancarkan serangan balasan. Pedang Si-Hou mendahului menebas pinggang Su-Kiam-eng, sedang pedang Kwe-Eng-seng langsung menusuk ulu hati anak muda itu, begitu pula pedang Ku-Tai-hong juga menusuk Kiam-eng.
"Tiga serangan dilontarkan berbareng, semuanya mengarah fatal dan merepotkan lawan, sebab dengan gerak apa pun, sulit bagi Kiam-eng untuk menghindarkan ke tiga serangan itu.
Jika dia menghindari tebasan Sih-Hou, rasanya sulit mengelakkan tusukan pedang perak Kwe-Eng-seng.
Satu-satunya jalan menghindar yang pasti selamat baginya yaitu melompat mundur yang berarti akan tercebur ke dalam rawa-rawa.
Melihat gelagat tidak enak, cepat Kiam-eng tidak ke bawah pedang bergaya hendak menyabet bagian bawah ke tiga lawan, habis itu dia melompat ke belakang dengan jumpalitan dan menurun ke tengah rawa.
Cuma dia sudah mengincar dengan baik, dia tidak tercebur ke dalam air melainkan menancap kaki pada bagian buritan sampan. Menyusul ia meloncat lagi meninggalkan sampan, sebelah kaki meluncur di permukaan air dan sedikit meloncat lagi dengan ringan, tahu-tahu ia sudah melayang kembali ke daratan lagi.
"Gin-kang yang hebat!" seru Sih-Hou. "Sekarang coba lagi serangan ini!"
Berbareng itu, ujung pedangnya menusuk pula ke muka Su-Kiam-eng. Menyusul Kwa-Eng-seng dan Ku-Tai-hong juga memburu tiba, ke dua pedang serentak pun menusuk dada dan perut anak muda itu.
Kiam-eng menggertak satu kali sambil berputar dengan pedangnya sehingga serangan ke tiga lawan tertangkis, akhirnya sekalian pedangnya menyabet ke bahu kiri Ku-Tai-hong.
Setelah saling gebrak, Kiam-eng berusaha mendahului sambil bergeser kian kemari agar tidak terjebak dalam kepungan musuh, karena itulah seketika Sih-Hou bertiga pun tak berdaya menjatuhkan anak muda itu.
Tapi setelah belasan gebrakan, keadaan Kiam-eng terdesak lagi dan berulang ia harus menghadapi bahaya.
Kiranya di antara ke tiga pedang emas, perak dan baja itu, kung-fu pedang emas Sih-Hou terhitung paling tinggi dan si pedang baja Ku-Tai-hong paling rendah. Namun Ku-Tai-hong yang paling rendah Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
kung-fu nya di antara lawan itu sama sekali tidak di bawah Kiam-eng, maka sekalipun satu lawan satu juga tidak ada harapan untuk menang bagi anak muda itu, apalagi sekarang dia harus satu melawan tiga.
Makin bertempur makin berdebar Kiam-eng, ia lihat serangan ke tiga lawan selalu ditunjuk ke tempat fatal pada tubuhnya, maka ia sadar lawan memang berniat membunuhnya. Ia pikir pertarungan ini jelas sulit untuk dimenangkan dirinya, kalau tidak lekas berusaha meloloskan diri, akhirnya pasti terbinasa.
Tapi cara bagaimana supaya dapat lolos diri kerubutan ke tiga lawan"
"Ai, mendingan bilamana Sam-bi-sin-ong berada di sini ..."
Begitu teringat kepada Sam-bi-sin-ong baru teringat olehnya masih ada tiga buah granat berasap pedas pemberian kakek itu dan tiga buah Kau-Hun-tan lagi yang diambilnya dari Sai-hoa-to.
Keruan ia sangat girang, segera ia membentak, "Berhenti, biarlah aku serahkan Jian-lian-hok-leng yang kalian minta!"
Mendengar itu serentak Sih-Hou bertiga berhenti menyerang dan melompat mundur. Sih-Hou menjulurkan tangan kiri dan berkata, "Jika begitu, ayolah serahkan!"
Kiam-eng berlagak gusar dan penasaran, ucapnya, "Huh, kau bilang setelah aku serahkan Jian-lian-hok-leng segera akan kau bebaskan Ih-keh-ki, apa janjimu dapat dipercaya?"
"Ya, pasti aku laksanakan, apa manfaatnya kami membunuh nona itu?" jawab Sih-Hou dengan tertawa.


Rahasia 180 Patung Mas Karya Gan Kl di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jika begitu, lekas kau bebaskan nona Ih," ucap Kiam-eng.
Sih-Hou menggeleng, "Tidak, serahkan dulu Jian-lian-hok-leng dan baru kami bebaskan dia!"
"Dan bagaimana jadinya jika kalian ingkar janji?" tanya Kiam-eng.
"Jangan kuatir, kan sudah aku katakan tidak ada gunanya kami membunuh dia."
"Sekarang dia terkurung di mana?" tanya Kiam-eng pula.
"Tidak jauh hanya beberapa li dari sini," tutur Sih Hou. "Setelah kau serahkan Jian-lian-hok-leng segera kami kembali ke sana untuk membebaskan dia. Untuk ini tidak lebih daripada setengah jam saja dan kalian pasti akan berjumpa kembali."
Tiba-tiba Kiam-eng tersenyum, ucapnya, "Sebelum aku serahkan Jian-lian-hok-leng apa boleh aku minta sesuatu penjelasan?"
"Coba katakan asalkan dapat aku jawab tentu takkan aku bikin kecewa padamu," sahut Sih-Hou tertawa.
"Dengan berbagai daya upaya kalian merintangiku mengambil Jian-lian-hok-leng, sebenarnya maksud tujuanmu?"
"Kan sudah dikatakan guru kami, setiap benda di rimba raya ini adalah milik guru kami Jian-lian-hok-leng itu tumbuh di tengah rimba ini dengan sendirinya tidak boleh kau ambil semuanya."
"Hm, kung-fu kalian sangat tinggi, gurumu bahkan tidak ada tandingan di kolong langit ini, setiap tindak-tanduk kalian seharusnya tidak perlu main gelap-gelapan, kenapa dalam urusan ini kamu tidak berani bicara terus terang?"
"Kau anggap ucapanku tidak benar?" tanya Sih-Hou aseran.
"Ya, penjelasanmu seluruhnya omong kosong belaka!" kata Kiam-eng.
"Kalau begitu mamangnya kau kira apa maksud tujuan kami merintangimu mengambil Jian-lian-hok-leng?"
"Dengan sendirinya karena kuatir kami menyembuhkan penyakit ingatan In-Ang-bi sehingga rahasia kalian terbongkar." jawab Kiam-eng tegas.
"Sungguh aku tidak paham apa ucapanmu itu?" kata Sih-Hou sambil memiringkan kepala seperti orang tidak mengerti.
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
"Kalau kamu tidak paham, biar aku katakan lagi dengan jelas," kata Kiam-eng. "Gurumu telah membunuh ke-18 tokoh besar di Hwe-liong-kok, kejadian itu dilihat oleh In-Ang-bi, saking kaget dan takutnya nona itu sakit ingatan. Karena yakin dia tidak dapat lagi menceritakan apa yang dilihatnya, maka jiwanya tidak kalian ganggu. Tapi kemudian ketika mengetahui guruku berniat menyembuhkan penyakitnya kalian merasa kuatir dan diam-diam berusaha mencelakai su-heng ku yang diutus ke sini oleh guruku untuk mencari Jian-lian-hok-leng. Sekarang kalian berusaha ingin merintangi usahaku dan memaksa aku menyerahkan Jian-lian-hok-leng dengan tujuan menutupi perbuatan jahat kalian supaya wajah asli kalian tidak tahukan. Betul tidak?"
"Tidak betul," jawab Sih-Hou sambil menggeleng. Guruku dan kami bertiga sangat jarang menginjak daerah Tiong-goan. Mengenai peristiwa yang timbul di Tiong-goan sama sekalian kami tidak tahu menahu, bicara tentang terbunuhnya ke-18 tokoh itu, lebih-lebih tidak ada sangkut-pautnya dengan kami."
"Wah, tampaknya meski gurumu dan kalian memiliki kung-fu maha tinggi, namun nyali kalian justru terlebih kecil daripada nyali tikus," ejek Kiam-eng.
Sih-Hou menjadi gusar, bentaknya, tidak perlu lagi banyak omong, lekas serahkan Jian-lian-hok-leng!"
Kiam-eng tertawa, ia merogoh saku baju dan berkata, "Tapi ingin aku tambahkan lagi, setelah aku serahkan Jian-lian-hok-leng, kalian juga harus membebaskan nona Ih, kalau kalian tidak menepati itu berarti kalian bukan manusia! ..."
Habis berucap, ia angkat tangan dan melemparkan sesuatu sambil berseru, "Nah, ambil!"
"Blang", terdengar suara gemuruh, suara ledakan dahsyat dengan asap kuning tebal, itulah ciri khas Kau-hun-tan buatan Sai-hoa-to.
"Wah, itu Kau-hun-tan!"
"Betul, lekas tahan napas!"
Begitulah Sih-Hou bertiga berteriak panik dua-tiga kali, lalu tidak terdengar suaranya lagi, entah roboh pingsan atau sudah kabur.
Yang meledakkan Kau-hun-tan itu dengan sendirinya juga Su-Kiam-eng.
Rupanya tadi dia tidak berani melemparkan Kau-hun-tan lantaran hidung sendiri belum dipolesi dengan salep anti berbisa itu, kuatir senjata akan makan tuan, maka setelah melemparkan granat berbau pedas segera ia poles lubang hidung dengan salep, habis itu baru berani melemparkan Kau-hun-tan. Dengan sendirinya ia tidak kabur pada waktu granat pertama dilemparkan sebab tujuannya juga ingin meneroboskan Sih-Hou bertiga.
Di tengah kabut tebal diam-diam ia menyelinap ke tengah hutan, ia panjat ke atas pohon besar dan sembunyi di tengah kelebatan daun, ditunggunya dengan sabar.
Tidak lama kemudian asap tebal granat yang pedas dan kabut kuning mulai buyar tertawa angin.
Waktu Kiam-eng mengamati ke bawah, ternyata tidak terlihat Sih-Hou bertiga menggeletak di tanah, ia tahu ke tiga orang itu tidak sampai pingsan oleh asap berbisa, diam-diam ia merasa gegetun.
Ia sembunyi lagi sejenak di atas pohon, setelah yakin ke tiga lawan tidak berada lagi di sekitar situ barulah ia melompat turun dan berlari jurusan utara.
Sekarang ia sudah ambil suatu keputusan, setelah si orang berkedok hijau mengetahui dirinya sedang mengejarnya, mereka tentu mengadakan penjagaan yang ketat, dalam keadaan demikian, jelas tidak ada harapan akan dapat menolong Ih-Keh-ki, terpaksa pulang dulu ke Tiong-goan dengan membawa Jian-lian-hok-leng, habis itu baru datang lagi dan berdaya untuk menyelamatkan si nona.
Begitulah sepanjang jalan ia tidak memperhatikan lagi jejak kawanan gajah, ia terus melintasi bukit dan menelusuri hutan dan pulang ke Tiong-goan.
Waktu lohor hari ke empat, setelah menerobos hutan lebat, sampailah dia perkampungan suku Pek-ih yang cuma beranjak satu hari perjalanan ke kota Ting-ciong.
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
Di perkampungan suku Pek-ih ini dahulu ia menitipkan ke dua ekor kuda hitam putih miliknya dan Keh-ki itu.
Sebenarnya ia merasa kalau ingin pulang ke Tiong-goan dengan aman seharusnya ia tinggalkan kuda tunggangannya itu. Tapi lantas terpikir lagi dari sini ke Bu-lim-teh-coh masih berjarak belasan ribu li, hanya dengan menunggang kuda mestika itulah dapat tiba di Bu-lim-teh-coh dengan cepat. Maka ia mengambil keputusan akan mencari Nan-si untuk minta kembali kudanya.
Setiba di depan kampung, ia lihat dua orang nona suku Pek-ih sedang mencuci pakaian di tepi sungai, dan terheran-heran ketika melihat kedatangan Kiam-eng.
"Kiam-eng mengangguk kepada mereka dan menyapa dengan tertawa, "Ke dua nona ini apakah masih kenal padaku?"
"Tentu saja masih kenal," jawab salah seorang nona itu, "Tempo hari kudamu kau dititipkan kepada Nansi, betul tidak?"
"Betul apakah nona Nansi itu sekarang berada di rumah?" tanya Kiam-eng pula. Kembali nona Pek-ih itu mengangguk dan menjawab, "Ada, cuma ..."
"Cuma apa?" tanya Kiam-eng.
Nona itu tersenyum, katanya kemudian, "Kau mau berkawan denganku?"
Kiam-eng tercengang, jawabnya dengan tertawa, "Tentu saja mau. Cuma sekarang aku lagi sibuk urusan penting dan tidak sempat bertamu rumahmu."
Nona Pek-ih tampak merasa kecewa, katanya, "Kau mau ambil kudamu ke rumah Nansi, bukan?"
"Betul, obat-obatan sudah aku dapatkan, sekarang aku harus pulang ke Tiong-goan."
"Jika engkau mau berkawan denganku, dapat aku beritahukan suatu hal padamu," ucap nona Pek-Ih itu.
Nona Pek-ih yang lain cepat menjawil kawannya dan mendesis, "Ssst, jangan sembarangan omong, apa kamu minta mampus?"
Melihat kasak-kusuk mereka, Kiam-eng menjadi curiga, cepat tanyanya, "Tidak boleh sembarangan omong apa?"
Karena diperingatkan kawannya, nona Pek-ih yang pertama tadi nampak ragu, jawabnya sambil menggeleng kepala, "Oo, tidak, tidak jadi aku katakan."
"Katakanlah padaku, lain kali bila ada kesempatan tentu aku jadi tamu ke rumahmu, mau?"
"Lain kali itu kapan?" tanya nona itu dengan gembira.
"Tidak pasti, yang jelas aku pasti akan datang kemari lagi dan tentu aku cari nona," jawab Kiam-eng.
Setelah berpikir, nona Pek-ih itu berkata, "Ah, sukar dipercaya cara begini, takkan aku katakan."
"Ya sudahlah kalau tidak mau bicara, biar aku cari Nansi saja dan aku yakin dia pasti akan memberitahukan padaku."
Habis berkata segera Kiam-eng melangkah ke depan.
Tapi baru beberapa langkah, tiba-tiba berpikir sesuatu, ia menoleh dan tanya lagi, "Eh, nona, apakah beberapa orang itu yang minta kamu jangan memberitahukan hal itu padaku, bukan?"
Nona Pek-ki itu tampak melengak, jawabnya "Dan mana kau tahu?"
Tergetar hati Kiam-eng, cepat ia mendekati tepi sungai tepi dan berkata. "Mereka adalah kawanan serombongan, sekali aku tebak saja tentu kena."
Nona Pek-ki itu bersuara ragu, katanya, "Benar ... benar mereka adalah kawanmu?"
"Tentu saja benar, bilakah mereka sampai di sini?" tanya Kiam-eng.
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
"Pagi tadi," tutur nona itu. "Mereka pesan kepada kami bilamana melihat kedatanganmu agar jangan memberitahukan mereka tinggal di rumah Nansi, kalau mereka akan membunuh ... Apakah benar mereka itu kawanmu?"
"Benar, cuma mereka terlampau ganas, Maka aku tidak suka berada bersama mereka," ujar Kiam-eng.
"Dan sekarang apakah jadi kau cari mereka?" tanya nona Pek ih itu.
"Tidak, tidak jadi," jawab Kiam-eng. "Dan kau pun jangan katakan kepadaku mereka akan kedatanganku ini. Kalau tidak, bukan mustahil, kamu akan dibunuh mereka."
Dengan penuh harap nona Pek-ih itu berkata "Jika engkau tidak ingin menemui mereka, bagaimana kalau kau sembunyikan saja di rumahku?"
"Tidak, ada urusan penting harus aku cari Sinba, biarlah aku mampir, rumahmu lain hari saja," tolak Kiam-eng dengan cara halus.
Habis berucap, dengan tersenyum ia melambai tangan kepada mereka, segera ia angkat kaki dan berlari secepat terbang menuju ke Ting-ciong.
Sama sekali tak terduga olehnya bahwa Sih-Hou bertiga bisa menanti dirinya di rumah Nansi karena itulah ia tidak berani ayal lagi, untuk amannya ia pun mengambil jalan pegunungan yang sepi.
Waktu lohor esok harinya ia sudah berada kembali di kota Ting-ciong.
Ia tahu cepat atau lambat Sih-Hou bertiga pasti akan mengetahui dirinya telah lalu di perkampungan suku Pek-ih itu, maka ia tidak berhenti terlampau lama di Ting-ciong, setelah membeli baju dan perbekalan seperlunya segera ia tinggalkan kota itu dan meneruskan perjalanan pulang ke utara.
Setelah meninggalkan kota Tiong-cing, lebih dulu ia sembunyi dalam hutan, ia menyamar dirinya menjadi penduduk setempat, dengan begitu barulah berangkat lagi dengan leluasa.
Meski rimba raya yang menakutkan itu sudah ditinggalkannya, namun keadaan di depan mata sekarang tetap hutan belukar yang tidak ada batasnya. Hanya saja di hutan lebat sekarang ini tidak ada lagi binatang buas yang berkeliaran melainkan ada sebuah jalan dan terlihat orang yang berlalu lintas.
Teringat masih ada perjalanan berlaksa li jauhnya baru akan sampai di Tiong-goan, mau-tak-mau ia jadi terkenang kepada kuda putih kesayangannya.
"Tek-tok ... tek-tok ..." tiba-tiba bergema detak lari kuda dari belakang.
Waktu Kiam-eng menoleh, terlihat lima ekor kuda gagah sedang membedal tiba. Ia terkesiap, pikirnya,
"Hm, jangan-jangan mereka telah memburu kemari?"
Oleh karena dia sudah menyamar maka ia tidak terlampau gugup, segera ia menyingkir ke tepi dan tetap meneruskan perjalanan.
Suara detak lari kuda semakin dekat, hanya sekejap saja sudah berada di belakangnya.
Waktu Kiam-eng menoleh lagi, dilihatnya ke lima kuda yang membedal tiba itu hanya ditunggangi tiga orang, dan ke tiga orang penunggangnya adalah Sih-Hou bertiga, ke dua ekor kuda yang tak berpenumpang itu ternyata kuda hitam putih miliknya dan milik Ih-Keh-ki itu.
Diam-diam Kiam-eng terkejut, pikirnya, "Kurang ajar! Rupanya kalian bermaksud memperalat kuda kami untuk memancing kemunculanku."
Tengah berpikir, Sih-Hou bertiga sudah membedal lewat bersama kudanya ...
Justru pada saat baru saja kuda terakhir melampaui Kiam-eng. Sih-Hou yang memimpin rombongan itu mendadak memberi tanda berhenti, ia putar kepala kudanya dan mengamat-amati Kiam-eng sejenak, lalu bertanya, "Hei adakah kau lihat seorang, pemuda bangsa Han lalu di sini?"
Perlahan Kiam-eng mengangkat kepala, jawabannya berlagak bodoh, "Seorang pemuda bangsa Han?"
"Ya, pemuda berusia likuran, berbaju warna hijau, pemuda bangsa Han!"
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
Kiam-eng pura-pura berpikir sebentar, lalu menggeleng dan menjawab, "Tidak, tidak aku lihat."
"Oo," Sih-Hou bersuara singkat, katanya terhadap kedua kawannya. "Wah, melihat gelagatnya, bocah itu seperti tidak menempuh jalan ini."
"Seumpama dia tidak melalui jalan ini, Thian-ti adalah tempat yang, harus dia lalui, biarlah kita menunggunya di Thian-ti saja." kata si pedang perak Kwa-Eng-seng.
Tiba-tiba si pedang baja Ku-Tai-hong menyambung, "Bocah itu mahir menyamar, untuk mencari dia rasanya sangat sulit."
"Justru lantaran dia pandai menyamar, makanya aku bawa kudanya kemari, aku yakin dia pasti merasa berat kehilangan kuda bagus ini, bila melihat kita membawa kudanya, tentu timbul hasratnya akan mencuri kuda. Dengan demikian kita pun ada kesempatan untuk menangkapnya.
Berkata sampai di sini, Sih-Hou membalik kudanya lagi dan berkata, "Ayo, kita mengejar lagi lebih lanjut!"
Tiba-tiba Kiam-eng memburu maju dan berseru, "Eh, ke tiga tuan ini tunggu sebentar, ada suatu urusan ingin aku rundingkan dengan kalian ..."
Mestinya Sih Hou sudah hendak melarikan kudanya, mendengar itu ia menoleh dan bertanya, "Ada urusan apa?"
Kiam-eng berkata dengan menyengir, "Kebetulan aku pun hendak menuju ke Thian-ti entah ke tiga tuan sudi tidak meminjamkan seekor kuda ini bagiku?"
Sih-Hou mendengus, menjawab "tidak" saja ia tidak sudi dan segera ia mengentak tali kendali dan membedalkan kudanya ke depan.
Kiam-eng masih terus mengejar dengan berlari serunya, "Apabila ke tiga tuan sudi meminjamkan seekor kuda tunggangan ini, aku bersedia kerja bakti juga bagi kalian."
"He, kerja bakti apa yang dapat kau lakukan bagi kami?" dengan setengah bergurau Kwa-Eng-seng menanggapi.
Sembari berlari Kiam-eng menjawab, "Pekerjaanku di Thian-ti adalah perawat kuda dari sini ke Thian-ti masih ada perjalanan selama lima-enam hari, apabila ke tiga tua sudi meminjamkan seekor kuda tunggangan bagiku, sepanjang jalan biar aku rawat kuda kalian."
Kwa-Eng-seng merasa tawaran itu tidak jelek. Ia coba berkata kepada Sih-Hou yang berada di depan,
"Su-heng, ia bilang mau merawat kuda kita, untuk itu rasanya takkan mengganggu kecepatan perjalanan kita. Bagaimana kalau pinjamkan seekor kepadanya?"
Sih-Hou juga merasa Thian-ti masih cukup jauh, manusia dan kuda masih harus istirahat dalam perjalanan, jika sekarang ada orang mau menjaga kuda bagi mereka, rasanya akan sangat banyak meringankan bebannya. Maka ia lantas mengangguk dan menjawab, "Baiklah, boleh kau suruh dia naik saja!"
Kwa-Eng-seng lantas berkata kepada Kiam-eng dengan tertawa. "Nah, su-heng ku sudah terima tawaranmu, bolehlah aku naik kuda putih itu saja."
Girang sekali Kiam-eng, segera ia meraih tali kendali yang mengintil di belakang Ku-Tai-hong dan mencemplak ke atas kuda.
Kuda putih itu memang kuda tunggangannya, sekarang ia pinjam kuda dalam kedudukan sebagai suku bangsa setempat, tentu saja diam-diam ia merasa geli.
Melihat cara menunggang kuda Kiam-eng tidak tanggung, dengan tertawa Ku-Tai-hong tanya dia, "Hei, siapa namamu?"
"Aku she Peng dan bernama Tai-siu," jawab Kiam-eng dengan nama samaran perawat kuda di hotel Thian-ti yang pernah dikerjainya itu.
"Oo, di peternakan kuda mana di kota Thian-ti kamu bekerja?" tanya Ku-Tai-hong pula tanpa sangsi.
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
"Oo, aku tidak bekerja melainkan menjadi perawat kuda di hotel Kun-beng-lo-can!" jawab Kiam-eng.
"Oo, dan untuk apa kamu berada di sini?" tanya pula Ku-Tai-hong.
"Ada seorang kakekku tinggal di Tiong-ciong, aku minta cuti untuk menjenguk kakak," tutur Kiam-eng beralasan.
Begitulah empat orang berlima kuda makin lama makin cepat melarikan kudanya ke jurusan utara.
Sepanjang jalan, apabila Sih-Hou melampaui setiap orang, selalu ia berhenti mengamati orang lain itu.
Dengan sendirinya mimpi pun tidak pernah mereka duga bahwa orang yang hendak mereka cari itu justru berada di samping mereka.
Semula Kiam-eng merasa tegang, tapi kemudian setelah mengetahui ke tiga lawan tidak menaruh curiga sedikitpun terhadap dirinya, maka ia bertekad akan menunggu sampai di Thian-ti nanti baru akan berdaya untuk melepaskan diri.
Lohor hari ini mereka sampai di suatu dataran sunyi. Sih-Hou menoleh dan tanya Kiam-eng, "Hei, Peng-Tai-siu, apakah di sekitar sini ada pedusunan yang dapat dibuat tempat istirahat?"
"Tidak ada," jawab Kiam-eng. "Harus menempuh ratusan li lagi baru ada."
Sih-Hou lantas menghentikan kudanya di bawah pohon besar, aku tanya, "Kalau begitu, biarlah kita mengaso dulu di sini."
Mereka melompat turun kuda masing-masing, Sih-Hou menyerahkan kudanya kepada Kiam-eng, katanya dengan tertawa, "Nah, sekarang inilah waktunya kamu bekerja bakti."
Dengan senang hati Kiam-eng membawa ke lima ekor kuda itu ke sebuah sungai kecil dan membiarkan binatang tunggangan itu minum air, lalu membiarkan mereka makan rumput di tanah lapang.
Sih-Hou bertiga duduk santai di bawah pohon mereka mengeluarkan rangsum kering untuk isi perut. Hati Ku-Tai-hong ternyata tidak jelek, ia tanya Su-Kiam-ong, "Hai, Peng-Tai-siu, adakah kau bawa makanan?"
"Ada, bawa!" jawab Kiam-eng dari jauh. Lalu ia pun membuka rangselnya dan mengeluarkan rangsum untuk dimakan.
Tidak lama kemudian manusia dan kuda sama makan kenyang, Sih-Hou melompat bangun dan berseru,
"Baiklah, sekarang kita berangkat!"
Kwa-Eng-seng masih duduk di tempatnya, katanya, "Su-heng, aku kira bocah itu mungkin tertinggal di belakang sana, bagaimana kalau kita tunggu lagi sebentar?"
"Tidak, bocah itu sudah mendahului kita meninggalkan pedusunan suku Pek-ih itu setengah harian, bila dia juga mendapatkan kuda, saat ini tentu sudah jauh di depan sana."
Habis berkata Sih-Hou lantas mencemplak ke atas kudanya.
Tidak berani membantah lagi, terpaksa si pedang perak dan pedang baja ikut naik kuda masing-masing dan rombongan mereka lantas melanjutkan perjalanan lagi.
Kira-kira beberapa li jauhnya, tiba-tiba memergoki tiga penunggang kuda dari depan.
Ke tiga penunggang kuda ini ternyata sudah kenal semua oleh Su-Kiam-eng, mereka adalah murid Tok-pi-sin-kun yaitu Ji-Liang, si harimau terbang putih, si macan tutul Tong-hong-Beng dan si cantik bulan purnama Tiau-Soat-lan.
Sebulan yang lalu, Tok-pi-sin-kun yang terpukul luka oleh Sam-bi-sin-ong, menurut Sam-bi-sin-ong katanya diperlukan istirahat setengah tahun baru luka Tok-pi-sin-kun dapat pulih kembali.
Sekarang sebulan baru lalu dan Ji-Liang bertiga muncul di sini, mungkin sekali luka Tok-pi-sin-kun sudah mulai sembuh, maka ke tiga muridnya diperintahkan ke selatan sini untuk mencari Su-Kiam-eng sekaligus menuntut balas terhadap Sam-bi-sin-ong, selain itu juga ikut dalam barisan perebut kota emas.
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
Karena itulah diam-diam Kiam-eng terkesiap setelah mengenali ke tiga orang ini.
Cuma sekarang Kiam-eng dalam keadaan menyamar, ia yakin ke tiga orang itu tidak mungkin dapat mengenalnya, yang dikuatirkan bila Ji-Liang bertiga jadi bertarung dengan Sih-Hou bertiga, maka dirinya mungkin akan ikut terkena getahnya.
Benar juga begitu ke dua pihak sudah dekat, Ji-Liang bertiga lantas menghentikan kudanya, ke tiga orang berjajar di tengah jalan sehingga rombongan Sih-Hou terhalang.
Agaknya Sih-Hou bertiga juga mengenali Ji-Liang bertiga adalah murid Tok-pi-sin-kun, mereka pun berhenti, namun diam saja tanpa bersuara sikapnya tenang, seperti tidak memandang rombongan Ji-Liang sebagai lawan berat.
Setelah saling pandang dengan diam sejenak akhirnya Ji-Liang menjengek, "Hm, siang hari bolong kenapa pakai kedok segala apakah kalian dapat menanggalkan kain kedok?"
"Untuk apa?" Sih-Hou mendengus.
"Soalnya kami sedang mencari seorang," kata Ji-Liang.
"Mencari siapa?" tanya Sih-Hou tertawa.
"Su-Kiam-eng!" jawab Ji-Liang.
"Hahaha, sungguh kebetulan, kami pun sedang mencari dia!" seru Sih-Hou.
Mendadak Ji-Liang menarik muka dan berkata, "Kalina mau menanggalkan kain kedok atau tidak?"
"Hm, kau kira satu di antara kami ini Su-Kiam-eng, begitu?"
"Betul," Ji-Liang mengangguk.
"Lantaran muka kami tertutup kain, maka aku yakin satu di antara kami pasti Su-Kiam-eng" Hehe, sungguh lucu!"
Ji-Liang menuding kuda putih yang ditunggangi Su-Kiam-eng itu dan berkata, "Itu dia, kuda putih itu jelas aku kenal sebagai kuda Su-Kiam-eng!"
"Memang betul kuda itu milik Su-Kiam-eng, namun bocah she Su itu seharusnya menunggang kudanya kan?"
"Aku kira dia tidak punya keberanian begitu!"
"Apa artinya?" tanya Sih Hou.
"Memangnya kamu tidak kenal kami bertiga?" jengek Ji-Liang.
"O, aku kenal kalian adalah murid Tok-pi-sin-kun!" jawab Sih-Hou.
"Jika begitu, tentu kau tahu keonaran yang dilakukan Su-Kiam-eng putar kami?" kata Ji-Liang.
Agaknya Sih-Hou sengaja hendak mengoceh lawan, ia menggeleng kepala dan berkata dengan tertawa,
"Ah, maaf, kami tidak tahu keonaran apa yang diterbitkan Su-Kiam-eng di tempat kalian itu?"
Ji-Liang juga cukup licin, ia tidak mau menceritakan kejadian Su-Kiam-eng mengacau istana putar tempo hari, ia cuma menjawab, "Pendek kata, Su-Kiam-eng adalah orang yang harus kami binasakan."
"Kalau begitu jadi kita berdua pihak boleh dikatakan mempunyai tujuan yang sama," ujar Sih-Hou tertawa. "Bilamana Su-Kiam-eng dapat kami tangkap, tentu akan kami antar ke tempat kalian dan terserah cara bagaimana akan perlakukan dia."
"Agar kami dapat mempercayai perkataanmu, betapapun kalian harus menanggalkan dulu kain kedok kalian!" ucap Ji-Liang.
"Wah, cara ini kurang baik," kata Sih-Hou. "Sebab setelah kau lihat wajah kami maka seketika kalian harus binasa. Ini kan tidak untung bagimu?"
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
Wajah Ji-Liang seketika berubah beringas, mendadak ia melompat turun dari kudanya dan melepaskan pedang lemas yang melibat di pinggangnya, bentuknya, "Nah, turun kemari, aku kira kalian takkan menitikkan air mata sebelum melihat peti mati!"
Serentak Tong-hong-Beng dan Tiau-Soat-lan juga ikut melompat turun dan melolos pedang siap tempur.
Sih-Hou bertiga saling pandang dengan tersenyum, dengan tenang mereka pun melompat turun dari kuda masing-masing dan melolos pedang dengan perlahan.
Kiam-eng berlagak takut dan menarik kudanya menyurut mundur hingga belasan meter jauhnya, lalu berdiri di sana dengan lagak gemetar.
Ji-Liang mendengus sekuatnya ia menyendal sehingga pedangnya yang lemas itu melurus tegak ia tuding Kiam-eng dan bertanya, "Ada apa dengan sahabat itu?"
"Dia bukan rombonganku dia cuma meminjam naik seekor kuda kami saja!" tutur Sih-Hou tertawa.
"Hm, apa betul?" jengek Ji-Liang.
"Betul," Sih-Hou mengangguk. "Betapapun kalian juga murid perguruan ternama, seharusnya dapat kau lihat dia orang macam apa. Dia kan cuma seorang perawat kuda yang biasanya bekerja di Kun-beng-lo-can."
Ji-Liang mengamati Kiam-eng dengan sorot mata tajam, jengeknya kemudian, "He, hampir setiap pelayan dan pekerja di hotel Kun-beng-lo-can aku kenal, rasanya tidak pernah aku lihat orang seperti dia."
Tergetar hati Kiam-eng, cepat ia berseru "Omong kosong, sudah tiga-empat tahun aku bekerja sebagai perawat kuda tamu di Kun-beng-lo-can, masakah tidak kenal diriku?"
"Coba katakan, siapa namamu?" tanya Ji-Liang dengan melirik hina.
Diam-diam Kiam-eng menyesal telah mengaku bernama Peng-Tai-siu terpaksa ia menjawab, "Namaku Peng-Tai-siu, setiap tamu yang pernah tinggal di Kun-beng-lo-can tentu kenal padaku."
Ji-Liang menyangka tujuan Kiam-eng memalsukan nama Peng-Tai-siu hanya untuk menipu Sih-Hou bertiga dan tidak ada tujuan lain, tak diketahuinya bahwa dia justru adalah Su-Kiam-eng yang sedang dicarinya. Maka ia hanya mendengus saja setelah mendapat jawaban Kiam-eng itu, segera ia memandang Sih-Hou berkata pula, "Nah, boleh silakan memberi petunjuk beberapa jurus!"
Sih-Hou mengangguk, perlahan ia angkat pedang dan menuding dada Ji-Liang dari jauh, habis itu mendadak tubuhnya berputar, secepat kilat ia melompat balik ke sana, menerjang ke arah Su-Kiam-eng.
Perubahan mendadak ini membuat Ji-Liang bertiga melengong bingung.
Namun sebelum Su-Kiam-eng sudah tahu setelah Sih-Hoa mengikuti tanya-jawab antara Ji-Liang dengan dirinya, tentu sudah timbul curiga terhadapnya. Maka lebih dulu ia sudah waspada, dan begitu melihat gerak putar tubuh Sih-Hou, segera pula Kiam-eng ayun sebelah tangan sambil membentak, "Lihat pukulan!"
Berbareng itu ia pun putar kudanya, ke dua kaki mengempit kencang, serentak ia larikan kuda arah lain.
Memangnya kuda putih itu adalah kuda mestika seharian sanggup lari ribuan li, namun waktu lari pertama kecepatannya sukar melebihi kecepatan gerak tubruk seorang.
Namun waktu Kiam-eng ayun tangannya tadi sebuah granat berbau pedas telah dilemparkan, maka ketika Sih-Hou baru saja menerjang tiba terdengarlah suara ledakan dahsyat dan suasana pun serentak berubah sama sekali.
Asap hitam tebal dari ledakan itu segera menenggelamkan semua orang dalam lautan asap.
Lantaran sudah beberapa kali merasakan betapa lihainya granat berbau pedas itu, masih Sih-Hou bertiga terkejut, tapi juga tidak terlalu panik. Sebaliknya Ji-Liang bertiga menjadi kelabakan dan menjerit kuatir.
Di tengah kabut tebal itulah terdengar serentetan derap lari kuda, selagi semua orang berteriak panik, Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
suara lari kuda itu semakin menjauh.
"Lekas kejar, bocah itu kabur!" teriak Sih-Hou.
Ji-Liang bertiga berulang-ulang bersin, tanyanya kemudian. "Siapa ... siapa bocah yang kau ... aciih ...
yang kau maksudkan?"
"Dia itulah Su-Kiam-eng," jawab si pedang emas Sih-Hou.
"Ahh, kiranya dia Su-Kiam-eng yang kita cari!".
"Wah, kejar, lekas susul dia!"
Namun ketika mereka dapat menenangkan diri dan membawa kuda mereka yang kaget meninggalkan lautan kabut, sementara itu Su-Kiam-eng sudah berada ratusan meter jauhnya.
Segera mereka membedal kuda dan mengejar mati-matian. Su-Kiam-eng juga melarikan kudanya secepat terbang. Karena kuda putih itu memang kuda mestika, kecepatan larinya jarang ada bandingannya, maka jarak antara Kiam-eng dan para pengejarnya semakin jauh, tidak lama kemudian Kiam-eng telah jauh meninggalkan mereka."
- * - Dua bulan kemudian, suatu pagi hari, sampailah Kiam-eng di tanah air sendiri, di daerah Tiong-goan, di tepi danau Tong-ting yang luas itu.
Ia titip kudanya pada sebuah rumah penginapan, lalu menyewa perahu mengarungi danau Tong-ting, menuju ke Li-hun-to, pulau yang terletak di tengah danau.
Menjelang lohor, sampailah perahunya di pulau kecil itu.
Setelah membayar sewa perahu, secepat terbang ia lari ke tengah pulau. Tapi baru melintasi suatu tanah tanjakan, tiba-tiba terdengar suara desing busur, mendadak berpuluh anak panah serupa hujan menghambur ke arahnya.
Kejadian tak terduga ini membuat Kiam-eng terkejut, cepat ia melompat dan sembunyi di balik sebuah batu karang, lalu berteriak, "Jangan lepas panah! Aku Su-Kiam-eng, khusus datang untuk menyambangi Leng-to-cu kalian!"
Mungkin kawanan perempuan cacat yang tinggal di Li-hun-to sudah kenal nama Su-Kiam-eng, maka teriakan anak muda itu mereka tidak membidikkan panah lagi, segera suara seorang perempuan bergema dari dalam hutan sana, "Jika benar engkau Su-siau-hiap, silakan tampil ke depan, biar kami lihat dulu!"
Dalam perjalanan pulang ini Su-Kiam-eng sudah beberapa kali ganti rupa dengan kepandaian yang khas merias wajahnya, sekarang ia pun belum memulihkan wajah aslinya. Maka cepat ia membusuk mukanya hingga bersih dari polesan lalu muncul dari tempat sembunyinya.
Mungkin kawanan perempuan yang sembunyi di tengah hutan itu dapat mengenali dia sebagai Su-Kiam-eng, segera ada yang berseru, "Baiklah, silakan Su-siau-hiap tunggu sebentar, biar kami lapor dulu kepada Te-cu!"
Jelas nadanya sudah berubah hormat, namun mereka tetap tidak memperlihatkan diri.
Kiam-eng tahu Li-hun-to biasanya dilarang didatangi oleh kaum lelaki, maka ia tidak heran, bila diperlakukan dingin oleh lawan. Setelah mendengar ucapan lawan tadi, ia hanya tersenyum dan berdiri menunggu di situ dengan tenang.
Kedatangannya ke Li-hun-to i
Pendekar Setia 12 Bara Naga Karya Yin Yong Pendekar Gelandangan 3

Cari Blog Ini