Ceritasilat Novel Online

Rahasia Mo-kau Kaucu 4

Rahasia Mo-kau Kaucu Karya Khu Lung Bagian 4


ana Giok-siau Tojin tetap duduk tidak bergeming, seruling dielusnya pelan-pelan, lalu ditempelkan ke bibir dan
ditiupnya. Pertama kali irama serulingnya riang enteng, seolah-olah di puncak gunung menghijau dibuaian hembusan angin lalu yang membawa awan berkembang, sehingga orang yang
mendengar merasa hatinya tentram, riang dan gembira.
Lambat laun lagunya semakin rendah dan memabukkan,
membawa pikiran pendengar ke dalam alam mimpi yang indah dan mengasyikkan. Tiada kerisauan dan derita dalam alam mimpi itu, tiada kejahatan tiada angkara murka, sudah
tentu tiada tanda-tanda nafsu membunuh. Siapapun
mendengar lagu seruling ini, pasti takkan pernah
membayangkan persoalan dunia yang penuh diliputi
ketamakan, kekejian dan kejahatan saling membunuh
sesama hidup manusia.
Akan tetapi saat itulah Giok-siau Tojin justru melakukan perbuatan yang paling keji, rendah, kotor dan hina serta memalukan. Dari dalam batang serulingnya tiba-tiba melesat tiga bintik sinar bintang yang dingin, melesat kencang mengarah dada Yap Kay.
Itulah senjata gelap sebangsa Song-hun-ting (Paku duka cita), luncurannya kencang, bagai sambaran kilat. Di dalam suasana dibuai irama seruling yang memabukkan ini, siapa akan menyangka dan menduga bahwa orang akan membokong
dengan senjata rahasia yang keji dan jahat secara rendah.
Akan tetapi Yap Kay selalu sudah siap waspada. Senjata rahasia yang betapapun keji dan jahatnya, dihadapannya seolah-olah menjadi tak berguna sama sekali. Karena dia membekal semacam kepandaian khusus yang luar biasa untuk menyambuti senjata rahasia, jari-jarinya seperti dilandasi semacam daya sedot yang gaib. Cukup dia melambaikan
tangan, ketiga bintik sinar dingin itu seketika lenyap tak berbekas. Apakah itu kepandaian Lwekang Ban-liu-kui-cong (Laksana aliran kembali ke sumbernya) yang sudah lama
putus turunan di Bu-lim"
Sedikit berubah rona muka Giok-siau Tojin.
Yap Kay malah tersenyum, katanya: "Teruskan tiupanmu, jangan berhenti, aku senang mendengar orang meniup
seruling."
Giok-siau ternyata tidak menghentikan tiupan irama
serulingnya, tapi lagu yang ditiupnya jauh berbeda, berubah semacam lagu liar yang penuh mengandung daya pancingan, seperti gadis yang rindu akan kekasih, menggeliat ketagihan nafsu birahi yang merintih-rintih. Memang itu pula harapan setiap laki-laki yang juga dirangsang nafsu liar yang
menjalari sanubarinya.
Dua tosu perempuan yang berdiri paling dekat dengan
Yap Kay tengah pelirak-pelirik kepadanya dengan senyum genit merangsang, senyum yang mempesonakan penuh
diliputi daya rangsang yang pasti menimbulkan gairah
terhadap keinginan yang membangkitkan kelelakiannya.
Tidak mungkin Yap Kay takkan melihat dan mengawasi
mereka. Tiba-tiba terasa olehnya bahwa dirinya menjadi bocah ingusan yang mendadak baru pertama kali ini melihat gadis ayu telanjang dihadapannya.
Di dalam alam pikirannya seolah-olah mereka menjadi
telanjang bugil sama sekali, buah dada nan putih kenyal, pinggang yang ramping dan paha yang panjang
mempesonakan. Sekonyong-konyong terasakan olehnya
sesuatu telah berubah pada salah satu bagian tubuhnya.
Memang, nafsu birahi yang merangsang ini sukar
dikendalikan laki-laki manapun dalam dunia ini.
Senyum tawa mereka semakin genit, lembut dan
merangsang dengan kerlingan matanya, pinggangnya yang
ramping kecil menggeliat laksana egolan ikan lele yang mengundang. Pandangan siapa yang mampu beralih dari
tempat-tempat vital yang menyolok, merangsang dan
mengundang birahi ini". Lalu siapa pula yang bakal mau memperhatikan urusan lainnya" Meski dunia hampir
kiamatpun takkan dipedulikan lagi.
Dua orang yang menjaga Ting Hun-pin pelan-pelan
menggusurnya keluar. Di dalam keadaan seperti itu, kalau terjadi pada laki-laki lain, pasti tidak akan memperhatikan gerak-gerik mereka, tapi Yap Kay bukan laki-laki lain. Yap Kay adalah Yap Kay. Matanya masih menatap ke arah gadis bugil yang sedang menari-nari telanjang, namun tahu-tahu badannya sudah melejit ke sana.
Sekonyong-konyong pula irama serulingpun terhenti.
Sebatang seruling yang kemilau itu tahu-tahu sudah
menuding miring kemari, cepat sekali mengincar Siau-yau-hiat di pinggang Yap Kay. Itulah gerakan jurus Boan-koan-pit yang khusus mengincar Hiat-to dengan telaknya.
Di tengah udara Yap Kay membalik badan terus
jumpalitan, arahnya tidak berubah, tetap menubruk ke arah dimana Ting Hun-pin sedang digusur keluar.
Kini gerakan Boan-koan-pit itu langsung berubah menjadi jurus-jurus pedang nan lincah enteng, sekujur bayangan Yap Kay sudah terselubung di dalamnya.
Melihat Ting Hun-pin digusur orang pergi, namun Yap Kay menginsyafi bahwa dirinya tidak bisa meloloskan diri lagi.
Tiba-tiba pula disadari olehnya bahwa musuh yang dia
hadapi sekarang merupakan musuh tertangguh yang belum
pernah dia temui selama hidupnya. Jikalau dia masih
merisaukan keselamatan Ting Hun-pin melulu, bukan
mustahil dirinya sendiri bisa menjadi korban pula.
Daya luncuran badannya yang pesat ke depan itu
sekonyong-konyong terhenti begitu saja secara mentahmentah, mirip sekali dengan gangsingan yang sedang
berputar-putar kencang, mendadak terpaku di atas tanah begitu saja.
Tokoh kosen manapun yang sedang bertempur takkan
mungkin mampu melakukan tindakan seperti ini. Sampaipun Giok-siau Tojin yang punya pengalaman tempur ratusan kali, menghadapi berbagai macam musuh yang berbeda-beda,
namun belum pernah dia mengalami kejadian seperti ini.
Sungguh tak bisa dia menyelami maksud juntrungan Yap Kay.
Namun kejap itu pula dia menyadari bahwa Yap Kay adalah pemuda yang kelewat cerdik, orang pintar tak mungkin
mendadak melakukan perbuatan bodoh, memangnya di dalam hal ini ada muslihatnya"
Giok-siau Tojin menyeringai dingin, jengeknya: "Apa-apaan maksudmu ini?"
"Tiada maksud apa-apa," sahut Yap Kay.
"Kau ingin mampus?"
"Sudah tentu tidak."
"Barusan kau tidak tahu di dalam sekejap tadi aku bisa bikin kau mampus sepuluh kali."
"Aku tahu!", sahut Yap Kay tertawa, lalu menambah dengan suara tawar, "tapi aku juga tahu, begitu aku berhenti, kaupun pasti berhenti."
"Jikalau aku tidak berhenti?"
"Kalau begitu aku benar-benar sudah mampus sepuluh kali."
Tiba-tiba memucat muka Giok-siau Tojin, agaknya dia
amat menyesal, sayang menyesalpun sudah terlambat.
Kesempatan sebaik itu dia sia-siakan, lain kali jangan harap dia memperoleh peluang seperti itu pula.
"Aku berhenti karena sekarang aku tidak yakin dapat mengalahkan kau!", Yap Kay berterus terang.
Giok-siau Tojin menyeringai.
"Karena sekarang hatiku kalut, apalagi di sekitarmu kau membawa pembantu-pembantu yang begini ayu-ayu lagi."
Memang siapa yang hatinya takkan kecut melihat pujaan
hatinya digusur pergi oleh pihak musuh.
"Agaknya kau memang jujur dan suka berterus terang,"
demikian ejek Giok-siau Tojin.
"Buat apa aku menipumu, belum tentu aku bisa menipumu, sudah tentu kaupun sudah tahu bahwa pikiranku sudah
kalut." "Maka pikiran orang yang kalut harus mampus."
"Apa benar kau punya keyakinan membunuh aku?", tantang Yap Kay.
Giok-siau Tojin tidak buka suara. Memang dia tidak yakin.
Ilmu silat pemuda satu ini memang luar biasa, kecerdikan otaknya di dalam menghadapi setiap perubahan adalah
begitu sigap dan cekatan, merupakan musuh tertangguh
yang belum pernah dia hadapi selama hidupnya, musuh yang paling sukar dijajagi dan diraba juntrungannya. Apalagi orang masih memiliki senjata pisau terbang yang belum dia keluarkan. Bahwa pisau terbang Yap Kay belum dikeluarkan, sudah tentu Giok-siau tidak berani memancing dan
memaksanya untuk digunakan atas dirinya.
Yap Kay berkata tawar: "Cepat atau lambat pasti datang suatu ketika kau dan aku akan duel, tapi jelas bukan malam ini."
"Kapan?"
"Dikala hatiku tidak kalut. Disaat aku yakin dapat mengalahkan kau."
"Umpama benar ada hari yang kau harapkan, kenapa aku harus memberi peluang menunggu datangnya hari itu?"
"Karena mau tidak mau kau harus menunggunya. Sekarang umpama benar kau mampu membunuhku, kau takkan turun
tangan, karena tujuanmu yang utama adalah Siangkwan
Siau-sian."
Giok-siau Tojin tidak bisa menyangkal akan kebenaran ini.
"Sekarang umpama kau membunuhku, kau takkan bisa
menemukan Siangkwan Siau-sian, maka kau menawan Ting
Hun-pin, menggusurnya pergi, maksudmu supaya aku
membawa Siangkwan Siau-sian untuk menukar dia."
Mendadak Giok-siau menghela napas panjang, ujarnya:
"Ternyata kau memang tidak bodoh."
"Aku tidak suka membual." ujar Yap Kay, "sekarang aku benar-benar tidak tahu di mana Siangkwan Siau-sian
berada." "Kalau begitu akupun tidak tahu di mana Ting Hun-pin berada."
"Aku bisa berdaya untuk mencarinya."
"Baik! Kuberi waktu dua belas jam untuk mencarinya."
"Dua belas jam?"
"Besok pada waktu sekarang ini, jikalau tidak kau serahkan Siangkwan Siau-sian kepadaku, selama hidupmu
jangan harap kau bisa berjumpa pula dengan Ting Hun-pin."
Lalu dengan suara kalem dia menambahkan: "Kim-hoan (Gelang emas) tak kenal budi, Pisau terbang mengenal kasih, Thi-kiam (Pedang besi) senang tenar, Giok-siau (Seruling
pualam) senang paras ayu. Tentunya kau tahu maksud dari pameo ini."
Sudah tentu Yap Kay pernah mendengar dan tahu
artinya. Giok-siau Tojin menambahkan: "Ting Hun-pin adalah gadis jelita, dan aku adalah laki-laki yang senang paras ayu, maka lebih baik kalau secepatnya kau menemukan Siangkwan
Siau-sian, kalau tidak........" dia tidak melanjutkan ancamannya.
Siapapun maklum apa yang diartikan ucapannya.
ooo)dw(ooo Giok-siau Tojin sudah pergi membawa para murid-murid
perempuannya yang cantik-cantik dan sama menggiurkan.
'Besok pada waktu ini aku datang kemari pula.'
Dua belas jam. Hanya dua belas jam. Siapa yang punya
keyakinan di dalam dua belas jam bisa menemukan
Siangkwan Siau-sian" Siapa yang mampu di dalam waktu yng pendek ini mencari perempuan yang licin seperti rase, dan jahat seperti ular itu" Yap Kay sendiripun tiada keyakinan.
Tapi pedang besi mengejar nama, Giok-siau senang paras ayu. Memang siapa yang tega dan tentram hati membiarkan pujaan hatinya berada dicengkeraman laki-laki hidung
belang yang senang mempermainkan paras ayu"
Tabir malam sudah menyelimuti jagat raya. Yap Kay diam dan termenung-menung duduk di tempat gelap, dia tidak
menyulut pelita, rasanya bergerakpun dia merasa malas.
Hawa dalam kamar rasanya masih tercium bau harum Ting
Hun-pin, samar-samar seperti tampak sepasang matanya
yang jeli di kegelapan diliputi rasa ketakutan yang tak terperikan. Cara bagaimana dia harus menolongnya" Cara bagaimana pula dia harus menemukan Siangkwan Siau-sian"
Sedikitpun tak pernah tersimpul dalam benak Yap Kay
cara yang sempurna untuk selekasnya membereskan
persoalan pelik ini. Tempat ini begitu sunyi dan hening, tempat yang cocok untuk orang memeras otak memecahkan
masalah rumit, biasanya reaksinya teramat cepat, otaknya amat encer dan lincah dalam memecahkan berbagai masalah, tapi entah mengapa otaknya sekarang terlalu bebal, seperti goblok benar, tak ubahnya kepala batu layaknya.
Pekarangan luar yang semula hening dan sepi, mendadak
kumandang percakapan orang banyak yang sedang ributribut entah memperbincangkan persoalan apa. Seolah-olah serombongan orang berbondong berdatangan ke tempat
yang sunyi ini. Lambat laun percakapan mereka semakin
dekat dan jelas, kiranya mereka sedang memperbincangkan Kwe Ting.
"Saudara Siong-yang-thi-kiam kiranya memang tidak bernama kosong,"
"Memangnya Lamkiong bersaudara tidak patut
menantangnya berduel pedang?"
"Tapi Lamkiong bersaudara adalah keturunan dari
keluarga besar persilatan yang kenamaan di Bu-lim, mana mereka sudi dihina dan diremehkan."
"Terutama Lamkiong Wan, bukan saja dunia membekal ilmu silat warisan keluarga yang tinggi, malah diapun
diangkat sebagai murid penutup dari Siau-in-kiam-khek, betapa tinggi ilmu silatnya, khabarnya boleh diagulkan
sebagai salah satu dari tujuh tokoh kosen dalam Kang-ouw pada jaman ini."
"Maka orang banyak sama yakin Lamkiong Wan pasti akan menang di dalam duel ini, memangnya Kwe Ting kan tunas muda yang baru saja keluar kandang."
"Menurut apa yang ku tahu, di warung makan Laras Hati tadi ada orang berani bertaruh satu lawan tiga, bahwa
Lamkiong Wan pasti menang dalam duel ini."
"Kalau tahu demikian, akupun ingin bertaruh."
"Tadi kau berani bertaruh bahwa Kwe Ting yang akan menang?"
"Memangnya siapa menyangka, ahli pedang kenamaan
seperti Lamkiong Wan ternyata tidak mampu melawan
sepuluh jurus serangan Kwe Ting."
"Siong-yang-thi-kiam memang teramat lihay dan dahsyat, terutama jurus terakhir dari ilmu pedangnya Thian-te-ki-hun (Bumi dan langit hangus bersama), aku berani bertaruh, tokoh kosen dalam Bu-lim yang kuasa menghadapi jurus ini, pasti takkan lebih dari lima orang."
"Kali ini Kwe Ting benar-benar menjadi tokoh berita yang paling top di segala lapisan, sampaipun beberapa juragan dari piaukiok yang biasanya tinggi hatipun, beramai-ramai menampilkan diri sebagai tuan rumah hendak mentraktirnya makan minum."
"Sekarang memang dia sudah menjadi orang yang paling terkenal di seluruh lapisan kota ini, bisa makan minum mengiringi tokoh setenar dia, sudah tentu pamorku akan ikut menanjak."
"Bila dia ingin senang-senang main perempuan, tanggung tak sedikit cewek-cewek yang suka rela menyerahkan
dirinya dalam pelukannya."
"Aku ini tidak terhitung hidung belang, sungguh aku jadi iri hati padanya."
"Khabarnya laki-laki yang berkulit hitam, wah, amat hebat kalau main dengan perempuan."
"Memang, perempuan yang kulitnya hitam, tempat itunya juga.............."
Pembicaraan selanjutnya terlalu menusuk perasaan untuk didengarkan. Yap Kay segan mendengarkan lebih lanjut. Tadi suasana di luar begitu hening dan sepi, kiranya semua orang berduyun-duyun pergi melihat duel Kwe Ting melawan
Lamkiong Wan. Kalau dalam keadaan biasa, Yap Kay pasti akan menonton. Dia tahu siapa sebenarnya Lamkiong Wan
itu, diapun tahu betapa tinggi tingkat kepandaian ilmu silat orang ini, kenyataannya memang sudah mewarisi kepandaian leluhurnya secara menyeluruh. Beberapa tahun belakangan ini namanya bagai kilauan pedangnya, selalu menonjol dan menjagoi dalam setiap gelanggang adu kepandaian di Bu-lim, sayang ketenaran dan kecemerlangan namanya hari ini habis direnggut oleh Kwe Ting.
Tentunya Kwe Ting sekarang amat gembira. Masih muda
sudah kenamaan, memangnya merupakan perjalanan hidup
manusia yang paling menggembirakan sepanjang umurnya.
Yap Kay dapat memaklumi dan bisa merasakan akan
kegembiraan seperti itu, namun dia sendiri tidak ingin merasakan dan tidak kepingin. Dia hanya ingin menemukan suatu tempat sunyi, sunyi seorang diri, makan minum dengan
tenang, arak ada kalanya memang bisa membius pikiran
manusia, tapi ada kalanya juga bisa menjernihkan otak
orang. Pelan-pelan dia bangkit, beranjak lambat-lambat keluar.
Tiada orang memperhatikan dia, malah tiada orang yang
melirik atau memandangnya sebelah mata, hanya seorang
pemenang dan penggondol piala saja yang benar-benar
menarik perhatian orang banyak. Kenyataan sekarang
dirinya adalah pihak yang dikalahkan.
ooo)dw(ooo Di ujung gang sempit itu terdapat sebuah warung arak,
merk warungnya sudah menghitam hangus karena asap yang mengepul dari dalam kedai. Penerangan di dalam rumah pun remang-remang. Seorang pelayan yang sedang malas duduk di dingklik kecil mendekati api unggun. Tamu yang hadirpun hanya seorang saja, duduk membelakangi pintu, menempati meja di pojok yang gelap, seorang diri menikmati araknya.
Agaknya seperti Yap Kay, orang itu mungkin sedang di
rundung kesedihan karena sesuatu kekalahan, atau mungkin pula pedagang yang sedang bangkrut.
Kalau dalam keadaan biasa, mungkin Yap Kay akan
menghampirinya, menemaninya minum arak sesama orang
yang terpojok dalam kehidupan bermasyarakat ini. Buat apa harus kenal satu sama lain di dalam setiap pertemuan" Tapi sekarang dia memang rela menyendiri, dia suka kesepian seorang diri.
Pelayan acuh tak acuh menghampiri, setelah menatakan
sepasang sumpit, orang kembali membersihkan meja. Yap
Kay pun acuh tak acuh.
"Ingin pesan apa?" tanya pelayan.
"Arak, arak lima kati, terserah arak apa saja yang tersedia."
"Tidak pesan sayur atau kacang bawang?"
"Kalau memang sudah sedia, boleh bawakan ala kadarnya."
'Tamu yang satu ini agaknya tidak pandai memilih
makanan', pikir si pelayan. Akhirnya terunjuk senyum pada muka si pelayan, katanya: "Tamu yang ini memesan sepiring roti kering, baiklah kusiapkan nyamikan yang sama saja."
"Ya, boleh!", sahut Yap Kay.
Agaknya tamu yang duluan itupun tidak pandai menikmati makanan.
Sebelum arak disuguhkan, terpaksa Yap Kay harus
menunggu diam dengan sabar, memang dia tidak mengharap pelayanan luar biasa di tempat seperti ini.
Tamu yang di sebelah sana selama itu menikmati
hidangannya sendiri, tak pernah berpaling ke sini. Kini tiba-tiba dia bersuara: "Aku masih ada sisa arak, kenapa tidak kemari saja minum secangkir dulu?" Suara orang yang pernah amat dikenal Yap Kay. Memangnya siapa dia"
Tengah Yap Kay ragu-ragu, orang itu sudah bersuara
pula: "Sebetulnya kau kemari harus menyuguh secangkir kepadaku untuk membayar hutang budimu kepadaku."
"O, kau!" akhirnya Yap Kay mengenal suaranya.
Orang yang menyendiri minum arak dan disangkanya
pedagang bangkrut ini, kiranya bukan lain adalah Kwe Ting,
tokoh yang sedang menjadi pembicaraan ramai penduduk
kota. "Ya, inilah aku!," akhirnya Kwe Ting berpaling dengan tertawa, "kau tidak nyana akan diriku?"
Yap Kay memang tidak pernah menduganya. Segera dia
menghampiri dan duduk di hadapan orang. Dengan nanar dia tatap Kwe Ting, katanya: "Tidak pantas kau sekarang berada di sini."
"Kenapa?", tanya Kwe Ting.
"Tempat seperti ini hanya pantas didatangi orang seperti aku ini. Memangnya kau tidak tahu, sekarang kau sudah
menjadi tokoh yang paling terkenal di seluruh pelosok
kota?" "Lantaran aku berhasil menusuk Lamkiong Wan?"
"Bisa mengalahkan Lamkiong Wan memang bukan
pekerjaan gampang."
Kwe Ting menyeringai dingin.
Yap Kay tetap mengawasinya, katanya: "Entah berapa orang dalam kota yang ingin benar mencarimu untuk diajak makan minum, seolah-olah hal ini sudah menjadi mode
perlombaan mereka. Kenapa kau malah menyembunyikan diri di tempat seperti ini?"
Kwe Ting tidak menjawab, dia malah mengisi secangkir
arak, katanya: "Terlalu banyak kau mengoceh. Nah, minumlah! Sedikit sekali arak yang kau minum."
Yap Kay angkat cangkir itu serta diteguknya habis.
Kwe Ting mengawasinya, katanya: "Dulu, pernahkah kau menang dalam duel?"
Sudah tentu pernah, Yap Kay tidak perlu memberi
jawaban. "Di kala kau menang dalam duel, apakah banyak orang yang berlomba hendak mentraktirmu minum dan makan
sepuasnya?"
Yap Kay manggut-manggut sambil mengiakan.
"Dan kau terima ajakan mereka?"
"Sudah tentu tidak!"
Kwe Ting tertawa, tawa yang mengandung kesunyian.
Kembali dia minum araknya lalu menyambung dengan suara kalem: "Dulu selalu ingin mengalahkan orang lain, menandingi dan mengungguli orang lain, tapi sekarang.........."
"Sekarang bagaimana.................?"
Kwe Ting sibuk mengawasi cangkir dalam tangannya,
sahutnya: "Baru sekarang aku tahu, menang rasanya ternyata tidak seenak seperti yang pernah kubayangkan."
tiba-tiba dia letakkan cangkir araknya yang sudah kosong di atas meja, katanya: "Kau lihat apa ini?"
"Itu cangkir arak yang kosong," sahut Yap Kay.
"Seseorang yang habis menang duel, ada kalanya diapun akan berubah menjadi orang yang mirip dengan cangkir
kosong ini........."
Arak di dalam cangkir sudah tertenggak habis, seseorang yang habis menang duel, maka gairah tempur dan hasrat
untuk menang, akhirnya akan berubah seperti arak di dalam cangkir, mendadak berubah menjadi kosong.


Rahasia Mo-kau Kaucu Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Walaupun dia tidak utarakan perasaannya ini, tapi Yap
Kay sudah cukup memakluminya, perasaan kosong, hampa
dan kesepian yang tak terlukiskan dengan kata-kata ini, diapun pernah mengalami dan menyelaminya, maka dia tidak berkata apa-apa. Dia tuang secangkir penuh untuk Kwe Ting, lalu katanya tersenyum: "Kaupun terlalu banyak ngoceh, minummu sedikit sekali."
Kwe Ting angkat cangkirnya dan menenggaknya habis.
Yap Kay tetap tersenyum, katanya: "Apapun yang terjadi, rasa kemenangan itu jelas jauh lebih nikmat daripada
kalah." ooo)dw(ooo Malam nan dingin.
Angin menderu-deru di luar pintu.
Api di dalam tungku hampir padam.
Pelayan yang acuh dan malas tadi menyusupkan kepalanya ke dalam baju kapasnya yang tebal dan longgar, seperti tertidur sambil memeluk dengkul.
Dalam suasana malam nan sunyi ini, hanya di dalam rumah baru bisa terasa hangat.
Wahai para gelandangan yang keluyuran di luaran, di
manakah tempat tinggalmu" Kenapa kau tidak lekas pulang ke rumah"
Arak yang kelihatannya butek itu dingin merangsang
perut. Tapi arak dingin begitu masuk ke dalam perut,
seketika berubah laksana bara yang menyala. Berapa
cangkir sudah kau habiskan" Siapa mau mengingat atau
menghitungnya"
Kembali Yap Kay penuhi secangkir arak penuh, lekas
sekali dia tenggak habis. Dia ingin mabuk" Dia ingin
melarikan diri dari tanggung jawab" Memangnya siapa yang tidak ingin mabuk saja, bila menghadapi persoalan yang tak mungkin diselesaikan"
Kwe Ting menatapnya, katanya: "Sebetulnya aku ingin mabuk di sini seorang diri, tak nyana bisa bertemu kau di sini."
"Kau tidak menyangka aku bisa kemari minum arak
seorang diri?"
"Aku tak nyana kau datang seorang diri."
Setelah menghabiskan secangkir lagi, Yap Kay tiba-tiba tertawa gelak-gelak, katanya: "Aku sendiripun tidak menyangka." sahutnya getir.
Kwe Ting bertanya dengan tak habis mengerti: "Kau sendiripun tidak menyangka?"
Yap Kay menepekur, lama sekali baru balas bertanya:
"Tahukah kau akan Tang-hay-giok-siau?"
Sudah tentu Kwe Ting tahu, katanya: "Cuma kau belum pernah melihatnya."
"Aku pernah berhadapan dengannya."
"Sudah sekian tahun Tang-hay-giok-siau tidak muncul di dunia persilatan," kata Kwe Ting, tanyanya: lebih lanjut:
"Kapan kau pernah berhadapan dengannya?"
"Baru saja!"
Mendadak bersinar biji mata Kwe Ting, tanyanya: "Kalian sudah bergebrak?"
Yap Kay manggut-manggut.
"Kaupun sudah mengalahkan dia, maka kau kemari hendak minum arak?"
"Aku tidak menang, juga tidak kalah."
Kwe Ting bingung dan tidak mengerti. Di dalam
pikirannya, dua orang yang berduel, kalau tidak kalah tentu salah satu pihak menang.
"Kita memang sudah bergebrak, cuma tidak dilanjutkan."
"Kenapa?"
"Karena aku tidak ingin dikalahkan dia."
"Kau tidak punya keyakinan untuk mengalahkan dia?"
Yap Kay geleng-geleng.
"Kau sudah merasakan ilmu silatnya lebih unggul dari kau?"
"Ilmu silatnya memang amat aneka ragam dan campur aduk, mungkin karena itu maka tiada satupun keahliannya yang berhasil dilatihnya sampai matang betul."
"Jadi sebetulnya kau bisa mengalahkan dia?"
Yap Kay tidak menyangkal dan tidak membenarkan.
"Tapi hari ini kau tidak yakin dapat mengalahkan dia?"
"Lho, kok aneh benar?"
"Karena hatiku amat kalut."
"Agaknya kau bukan laki-laki yang gampang dibuat risau hatimu."
"Memang, aku tidak pernah risau memikirkan apa-apa, tapi hari ini................."
Tiba-tiba Kwe Ting mengerti duduknya persoalan,
tanyanya: "Apakah nona Ting terjatuh ke tangan Giok-siau?"
Yap Kay manggut-manggut, kembali dia habiskan
secangkir arak.
Kwe Ting pun mengikuti habiskan secangkir, sudah tentu diapun pernah kenal dengan pameo yang bilang 'Thi-kiam kemaruk nama, Giok-siau kepincut paras ayu'.
Tiba-tiba dia rebut cangkir Yap Kay, katanya: "Hari ini kau tidak boleh minum arak lagi."
Yap Kay tertawa getir.
"Kau harus lekas berusaha merebutnya."
"Aku tak bisa merebutnya."
"Memangnya apa kehendak Giok-siau?"
"Dia minta tukar dengan Siangkwan Siau-sian."
"Kau tidak menerimanya?"
"Sudah tentu aku mau, tapi kemana aku harus mencari Siangkwan Siau-sian?"
"Kau tidak tahu di mana sekarang dia berada?"
"Tiada orang yang tahu!"
"Jadi dia tidak pikun seperti yang disiarkan di luaran?"
"Sebetulnya aku sendiripun ditipu dan dikelabui mentah-mentah, selama hidupku belum pernah aku berhadapan
dengan orang yang begitu licin dan begitu menakutkan."
Lama Kwe Ting menatapnya, akhirnya berkata pelanpelan: "Sebetulnya aku tidak akan percaya semua obrolanmu ini."
"Aku mengerti."
"Tapi sekarang aku justru percaya."
Lama juga Yap Kay termenung, katanya kemudian:
"Seharusnya aku tidak akan memberitahukan hal ini kepadamu, tapi sekarang aku sudah membebernya di
hadapanmu."
Matanya tidak lagi tertuju ke arah Kwe Ting, demikian
pula Kwe Ting tidak mengawasinya lagi. Seolah-olah mereka sama berusaha menghindar dari tatapan mata yang lain.
Mereka bukan orang yang suka memamerkan gejolak
perasaan hatinya di hadapan orang lain. Apakah mungkin mereka kuatir begitu dirinya terbawa oleh gejolak emosi sehingga sampai mengucurkan air mata"
Akan tetapi persahabatan biasanya memang tidak perlu
dinilai dengan pandangan mata. Walau tidak perlu beradu pandang, akan tetapi jalinan persahabatan sudah mulai
berbenih di dalam sanubari masing-masing, cepat sekali sudah berakar kokoh dan kuat. Hal ini sungguh merupakan suatu kejadian aneh.
Ada kalanya seseorang bisa bersahabat dan menjadi
teman intim dengan seseorang yang lain di suatu tempat yang aneh dan di waktu-waktu yang aneh pula, sampaipun
orang-orang yang bersangkutanpun tidak tahu dan tidak
menyadari bahwa persahabatan ini entah bagaimana
datangnya dan menjalin sanubari mereka.
Entah berapa lamanya, Kwe Ting tiba-tiba bersuara:
"Siangkwan Siau-sian memang tak bisa ditemukan, tetapi Tang-hay-giok-siau pasti gampang ditemukan."
Yap Kay diam saja, dia sedang pasang kuping.
"Giok-siau adalah tua bangka yang suka hidup foya-foya, tidak banyak tempat seperti itu di dalam kota ini."
"Tempat yang baik sebetulnya Leng-hiang-wan, tapi tempat itu sekarang sudah menjadi dingin dan tidak harum lagi."
"Tapi kemungkinan besar Giok-siau tetap berada di sana.
Khabarnya setiap pergi ke suatu tempat, biasanya dia
membawa banyak pembantu."
"Umpama benar dia berada di sana, memangnya kenapa?"
"Kalau dia di sana, nona Ting pasti di sana juga."
"Kau ingin supaya aku menolongnya?"
"Memangnya kau tidak ingin menolongnya?"
"Hatiku sekarang amat kalut, tidak yakin aku bisa mengalahkan dia."
"Memang kau kira aku ini bukan manusia?"
"Kau...?", tiba-tiba Yap Kay angkat kepala mengawasinya.
"Memangnya aku tidak bisa menyertai kau?"
"Tapi... Ting Hun-pin terjatuh di tangannya."
"Aku mengerti maksudmu, kekuatiranmu tidak beralasan.
Kau takut orang mengancammu dengan alasan keselamatan
jiwa nona Ting?"
Yap Kay manggut-manggut.
"Tapi kau melupakan satu hal."
"Melupakan apa?" tanya Yap Kay.
"Sekarang dia tentu menyangka kau sedang sibuk dan ubek-ubekan mencari Siangkwan Siau-sian, pasti tidak
menyangka tahu-tahu kau meluruk ke sana hendak menolong orang, maka dia tentu tidak akan berjaga-jaga."
Memang sebagai orang luar tentu hati Kwe Ting tidak
kalut dan pikirannya jernih.
"Ya, memang begitu", ujar Yap Kay.
"Apalagi dia lebih tidak mengira bahwa kita sudah menjadi kawan."
Kawan. Betapa besar makna dari sepatah kata ini di
dalam situasi seperti ini.
Sungguh tak pernah terpikir oleh Yap Kay bahwa pemuda
dingin dan sombong ini bakal mengucapkan sepatah kata ini.
Memangnya apa pula yang bisa dikatakan Yap Kay" Apa pula yang perlu dia utarakan" Maka tanpa banyak bicara lagi, segera dia berdiri.
Tiba-tiba dengan kencang dia pegang kedua pundak Kwe
Ting, katanya: "Baik, sekarang juga kita ke sana."
"Memang, hayolah berangkat!"
ooo)dw(ooo Leng-hiang-wan.
Malam dingin, kembang berbau harum, namun bayangan
satu orangpun sudah tak kelihatan.
"Sejak kemarin kau tidak pernah bertemu dengan Han Tin lagi?"
"Tidak!"
"Kalau demikian, mungkin dia berada di sini."
"Aku harap bisa secepatnya menemukan dia, bukan
mayatnya."
"Kemanakah mayat-mayat delapan puluh tiga orang itu?"
Ternyata tiada satupun mayat yang mereka temukan,
sampai noda-noda darahpun sudah dibersihkan di Thing-siu-lau. Siapakah yang membereskan mayat-mayat itu"
"Semalam mayat-mayat itu masih ada di sini. Siapakah yang menguburnya?"
Tiada jawaban, memang tiada orang yang bisa memberi
jawaban. Hembusan angin dingin laksana tajam pisau menyayat
kulit muka. Di dalam hawa nan dingin ini bau kembang Bwe rasanya
semakin harum. "Adakah kau melihat sinar api?"
"Tidak!"
"Apakah Giok-siau tidak di sini?"
Sekonyong-konyong pada ujung jalan kecil yang berlikuliku menembus keluar hutan sana berdentam suara langkah orang yang mendatangi. Malam sedingin ini, siapa yang
berjalan di tanah bersalju yang dingin ini" Mungkinkah sukma-sukma gentayangan dari para korban itu" Kalau setan gentayangan, masakah terdengar derap langkahnya".
Alam gelap gulita, tiada sinar api, tiada bintang tiada rembulan.
Di tengah kegelapan di depan sana seperti muncul
sesosok bayangan orang, pelan-pelan tengah beranjak di jalan kecil yang berliku-liku di dalam hutan kembang Bwe itu. Langkah orang itu amat pelan, malah sering celingukan kian kemari, seperti tengah mencari sesuatu. Malam selarut dan sedingin ini, di tengah hutan lebat nan harum ini
memangnya apa yang sedang dia cari"
Setelah jaraknya semakin dekat, sayup-sayup terdengar
mulut orang seperti mengigau: "Mana araknya"...... Mana araknya"....... Di mana ada arak........ ?"
Tak tertahan Yap Kay hampir berteriak: "Han Tin!"
Orang itu ternyata Han Tin. Apakah dia masih sibuk
mencarikan arak buat Yap Kay"
Reflek sinar salju menerangi mukanya, ternyata selebar mukanya berlepotan darah, darahpun sudah membeku jadi
es. Darah terasa bergolak di rongga dada Yap Kay, segera
dia menerobos keluar dari belakang batu tempat
persembunyiannya, langsung dia menghampiri Han Tin, sekali raih dia tekan kedua pundak Han Tin.
Han Tin menatapnya, tiba-tiba bertanya: "Mana
araknya"..........Tahukah kau di mana aku bisa mendapatkan arak?", ternyata dia tidak kenal Yap Kay lagi, tapi dia sibuk mencari arak buat Yap Kay.
Selebar mukanya boleh dikata sudah hancur dan berubah
bentuknya, mirip benar dengan buah kelapa yang diinjak remuk oleh orang.
Tak tahan Yap Kay mengawasi muka orang, katanya:
"Kau........bagaimana kau bisa berubah begini rupa" Siapakah yang turun tangan sekeji ini?"
Agaknya Han Tin ingin tertawa, namun tak mampu,
mulutnya masih mengigau: "Mana araknya" Di mana ada arak?"
Jantung Yap Kay seperti dipukul oleh godam.
Kwe Ting berdiri di belakang, tanyanya: "Dia inikah Han Tin?"
Yap Kay menjawab dengan anggukan kepala.
Tak tertahan Kwe Ting menghela napas: "Agaknya di kala dia mencarikan arak untukmu, muka dan dadanya kena
dihajar orang habis-habisan, begitu parah hajaran itu
sampai-sampai dia kehilangan ingatan."
Terkepal kencang kedua tinju Yap Kay, katanya prihatin:
"Tapi dia masih ingat mencari arak untuk aku."
"Agaknya dia memang teman baik."
"Sayang sekali aku tidak tahu siapa yang turun tangan sekeji ini" Kalau tidak......."
"Kukira ini bukan perbuatan Siangkwan Siau-sian."
"Darimana kau berkesimpulan demikian?"
"Seorang perempuan, tak mungkin punya pukulan tangan seberat ini."
Memang hajaran yang dialami Han Tin amat
mengenaskan, bukan saja mukanya sudah hancur peyot,
sampaipun tulang rusuknya melesak ke dalam, agaknya ada yang patah enam tujuh batang. Bagaimana mungkin dengan luka-luka separah ini dia masih kuat bertahan hidup sampai sekarang" Apalagi malam gelap nan dingin seperti ini"
Bagaimana dia tidak sampai mati kedinginan"
Yap Kay ingin bertanya, tapi Han Tin sudah kipatkan
kedua tangannya, katanya: "Lepaskan aku, aku hendak mencari arak.", kecuali hal itu, apapun dia tidak ingat lagi.
Yap Kay menghela napas, katanya: "Baik, mari ku ajak kau mencari arak.", habis kata-katanya, diapun sudah menotok Hiat-to penidur Han Tin, segera dia peluk pinggang Han Tin terus dipanggulnya.
Kwe Ting berkata: "Asal bisa tidur sehari penuh dengan tenang, mungkin dia bakal siuman."
"Semoga demikian." ujar Yap Kay.
ooo)dw(ooo Dalam kamar ada ranjang dan pelita.
Pelan-pelan Yap Kay rebahkan Han Tin di atas ranjang,
katanya: "Kau bawa ketikan api tidak?"
Tanpa diminta Kwe Ting sudah menyalakan lampu. Sinar
api yang redup menerangi muka Han Tin, kelihatan begitu mengerikan. Walau tidak tega melihat, namun tidak bisa
tidak Yap Kay harus melihatnya, dia harus memeriksa dan ingin tahu siapakah yang turun tangan sekeji ini. Walau dia tidak suka mencatat dendam permusuhan dengan orang lain, tapi keadaan hari ini jauh berbeda. Jikalau tidak pergi mencari arak untuk dirinya, Han Tin tidak akan berakibat begini mengenaskan. Demi kawan yang begini setia, apapun yang terjadi dan harus dia lakukan, dia tidak akan pandang bulu lagi.
Kwe Ting pun sedang mengawasi muka Han Tin, katanya:
"Ini bukan bekas pukulan senjata berat."
Yap Kay manggut-manggut. Kalau terluka dipukul benda
berat, dari bekas pukulan dapat dilihat jelas.
Memangnya siapa yang mempunyai pukulan tangan
seberat ini"
"Ilmu silat Han Tin tidak lemah, tidak banyak orang yang mampu memukul remuk mukanya sampai sedemikian rupa."
Tiba-tiba dirinyapun pernah memukul ringsek hidung
orang, tapi luka-luka pukulannya dulu jauh lebih ringan di banding luka-lukanya sekarang. Jelas pukulan orang itu bukan saja amat berat, yang jelas di dalam bidang pukulan tangan, orang itu tentu memiliki keistimewaan.
Waktu pakaian Han Tin dibuka, ternyata tulang rusuknya patah lima batang. Malam sedingin ini, pakaian yang dipakai Han Tin sudah tentu cukup tebal.
Kwe Ting mengerut kening, katanya: "Terpaut lapisan baju setebal ini, orang masih bisa memukul patah lima tulang rusuknya, sungguh tak banyak orang sekuat ini."
"Malah luka-luka kekerasan ini hanya luka luar, bukan luka dalam." Yap Kay menambahkan.
Pada pakaian yang dipakai Han Tin tidak meninggalkan
bekas-bekas hantaman senjata berat, siapapun pasti akan menyangka luka-luka seperti ini pasti akibat pukulan senjata sebangsa palu atau godam.
"Memangnya kepalan orang itu sekeras palu besi?", kata Kwe Ting.
"Dari luka-lukanya, tidak mirip terpukul oleh ilmu sebangsa Thi-sa-ciang dan lain-lain pukulan berat yang ampuh."
"Kalau pukulan tangan seperti itu, pasti akan
menimbulkan luka-luka dalam."
"Maka aku tidak habis mengerti, ilmu pukulan macam apakah yang melukainya?"
"Cepat atau lambat........." kata-kata Kwe Ting seketika berhenti.
Dari hembusan angin dingin di luar jendela, tahu-tahu
berkumandang irama seruling yang menyedihkan.
"Tang-hay-giok-siau!"
Sebat sekali Kwe Ting balikkan tangan, lampu seketika
padam, katanya: "Ternyata dia memang berada di sini."
"Dapatkah kau di sini men........."
Kwe Ting menukas ucapan Yap Kay: "Han Tin sudah tidur, tak perlu aku menunggunya di sini. Kau sebaliknya tak boleh pergi seorang diri."
Inilah persahabatan. Persahabatan adalah pengertian dan prihatin.
Yap Kay mengawasi Han Tin: "Tapi dia........."
Kembali Kwe Ting memutus ucapannya: "Mati hidupnya sekarang sudah tiada membawa akibat apa-apa bagi orang lain, maka dia baru bisa bertahan hidup sampai sekarang, tapi kau.................", dia tidak melanjutkan kata-katanya, memang dia tidak perlu melanjutkan.
Serasa darah bergolak di rongga dada Yap Kay, tidak
bisa tidak dia harus mengakui apa yang dikatakan memang betul.
"Baiklah! Mari kita kesana."
ooo)dw(ooo Irama seruling yang memilukan pada malam sedingin ini, kedengarannya amat menghancurkan hari orang. Irama
seruling berkumandang dari luar hutan kembang Bwe.
Pada sisi gunung-gunungan palsu di luar hutan terdapat sebuah gardu, di dalam gardu lapat-lapat seperti ada
bayangan orang. Seseorang sedang duduk dan meniup
seruling. Yap Kay berdua berindap-indap maju mendekat dari arah
belakang, sudah tentu gerak-gerik mereka pantang
menimbulkan suara berisik.
Orang yang meniup seruling masih asyik meniup, iramanya kedengaran mulai gemetar.
Tiba-tiba disadari oleh Yap Kay, peniup seruling ini bukan Tang-hay-giok-siau. Setelah dekat dan lebih jelas dilihatnya
orang memang berpakaian tosu, namun pinggangnya lencir ramping, kiranya adalah tosu perempuan.


Rahasia Mo-kau Kaucu Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pada saat itulah irama serulingnya tiba-tiba berhenti.
Tosu perempuan yang meniup seruling seperti terduduk dan menahan isak tangis.
Sekilas Yap Kay ragu-ragu akhirnya dia maju
menghampiri, pelan-pelan dia batuk dua kali.
Tosu perempuan ini seperti dihajar lecutan cambuk
sekujur badannya bergetar keras, ratapnya mengharukan:
"Biarlah ku tiup....... aku pasti takkan berhenti lagi."
"Tapi aku toh tidak suruh kau meniup seruling tak henti-hentinya." kata Yap Kay.
Baru sekarang tosu perempuan ini berpaling ke belakang, walaupun kaget namun kelihatan hatinya amat lega dan
menghela napas panjang.
"O, kau!", katanya.
Dia kenal Yap Kay, Yap Kay pun mengenalnya.
Tosu perempuan ini adalah salah satu murid perempuan
Giok-siau Tojin, malah dia ini yang kemarin tertawa dan menari paling genit dan rupawan.
Maka Yap Kay bertanya: "Kenapa seorang diri meniup seruling di sini?"
"Orang... orang lainlah yang memaksaku kemari."
"Siapa?"
"Seseorang yang mengenakan kedok muka."
"Kenapa dia paksa kau kemari dan meniup seruling di sini?"
"Entahlah! Dia paksa aku kemari dan suruh aku meniup terus tak boleh berhenti, kalau tidak katanya aku hendak ditelanjangi pakaianku, lalu menggantungku di sini."
"Bagaimana kau bisa terjatuh ke tangannya?"
"Waktu itu aku sedang di.............. di belakang, hanya aku sendiri, tak kira tiba-tiba dia menerobos masuk."
Sudah tentu Yap Kay maklum apa yang diartikan 'di
belakang'. Setiap perempuan yang melepaskan hajatnya,
sudah tentu hanya sendirian, sudah tentu hal ini tak enak dia jelaskan seterangnya.
Tapi Yap Kay bertanya: "Waktu itu dimanakah kau
berada?" "Berada di dalam pekarangan di belakang warung nasi Laras Hati itulah."
Warung nasi Laras hati juga merupakan sebuah
penginapan, di sanalah Yap Kay menginap, bukan saja, di sana ada koki yang paling pandai masak, di sana juga kau bisa merasakan ranjang yang empuk, hangat dan
menyegarkan. Yap Kay geleng-geleng sambil menghela napas, ujarnya:
"Tak nyana kalian berada di pekarangan di belakangku, aku malah cari kemari."
Tosu perempuan ini menutup mulutnya kencang, agaknya
walau matipun tak mau buka mulut lagi. Dia tahu sekali
dirinya kelepasan omong, umpama sekarang tidak mau
bicarapun sudah terlambat.
"Ada sebuah pertanyaan ingin kuajukan, boleh kau tidak usah menjawabnya." kata Yap Kay.
Tosu perempuan itu tetap bungkam.
"Tapi kalau kau tidak mau bicara, terpaksa ku tinggal kau di sini supaya orang berkedok itu kemari lagi."
Seketika terunjuk rasa kaget dan takut pada muka si
tosu perempuan, segera dia bersuara: "Baiklah aku bilang."
"Nona yang kalian bawa itu apakah diapun berada di pekarangan yang sama?"
Walau tosu perempuan tidak menjawab, itu berarti
mengakui kebenaran ini.
"Baiklah, tiada halangannya kita mengadakan transaksi dagang, kau bawa aku mencari dia, maka akupun
mengantarmu pulang!"
Tosu perempuan tidak menolak atau menentang, agaknya
rasa takutnya terhadap orang berkedok itu jauh melebihi rasa takutnya terhadap persoalan apapun yang pernah
dihadapinya. Matipun dia tidak mau ditinggalkan di tempat ini.
Siapakah orang berkedok itu" Kenapa memaksanya
meniup seruling di sini" Apa dia tahu Yap Kay hendak kemari mencari Giok-siau, maka sengaja menggunakan cara ini untuk memberi penuntun jalan" Lalu untuk apa pula dia berbuat demikian" Apakah dia mempunyai tujuan lain".
Semua pertanyaan ini sudah tentu Yap Kay mampu
menjawabnya, maka akhirnya dia bertanya: "Orang macam apakah sebenarnya orang berkedok itu?"
"Dia bukan manusia, boleh dikata dia setan, setan jahat!"
Menyinggung orang berkedok itu sekujur badannya
kembali gemetar.
Agaknya begitu turun tangan, orang itu lantas berhasil membekuknya, sehingga sama sekali dia tidak mampu
melawan sedikitpun, padahal sebagai murid Tang-hay-giok-siau, ilmu silatnya tentu tidak lemah.
Yap Kay mengawasi Kwe Ting, katanya setelah menghela
napas: "Apa yang kau katakan memang tidak salah. Walau sekarang bukan bulan sembilan, namun kawanan elang sudah terbang berombongan, malah semuanya sudah terbang
kemari." ooo)dw(ooo Kemul, seprei dan bantal guling awut-awutan. Di atas
bantal masih ketinggalan beberapa utas rambut Ting Hun-pin. Sekembali ke tempat ini, hati Yap Kay lantas cekot-cekot seperti ditusuk sembilu. Bagaimana keadaannya"
Mungkinkah Tang-hay-giok-siau sudah ..........". Yap Kay tidak berani membayangkan.
Mengawasi keadaan ranjang yang awut-awutan, terpancar
mimik aneh pada sorot mata Kwe Ting. Tapi dia tidak perlu memandang ke dua kalinya, seakan-akan sanubarinya
terketuk berat dan sakit. Baru sekarang dia benar-benar tahu dan mengerti apa hubungan Yap Kay dengan Ting Hun-pin.
(Bersambung ke Jilid-8
Jilid-8 Han Tin yang tidur di atas ranjang lelap di dalam
impiannya. Hiat-to penidur memang salah satu jalan darah yang paling aneh.
Tosu perempuan itu duduk di pojok rumah dengan
menundukkan kepala, mukanya yang pucat lambat-laun mulai bersemu merah. Setiap murid Tang-hay-giok-siau memang
cantik-cantik, terutama yang satu ini, justru paling ayu.
Keayuannya lain dengan kecantikan Ting Hun-pin, bukan saja cantik, dia ini juga genit. Memang perempuan ini sudah matang dan cukup umur di dalam segala bidang. Siapapun bila melihat egolan pinggangnya seperti dahan pohon nan gemulai, lirikan matanya yang genit merangsang, pasti akan tergerak dan terbangkit rangsangan kelelakiannya.
"Silahkan duduk," kata Yap Kay.
Tosu perempuan itu geleng-geleng. Tiba-tiba dia
bersuara: "Sekarang aku boleh pulang?"
"Tidak boleh!", sahut Yap Kay.
Tosu perempuan tundukkan kepala dengan gigit bibir,
katanya: "Kalian hendak gunakan diriku untuk mengancam Giok-siau Tojin". Kalau benar, tindakan kalian salah besar."
"Kenapa salah, bukankah kau muridnya?"
"Umpama kalian membunuhku di hadapannya, diapun tidak akan ambil perhatian sedikitpun."
Di antara kerlingan mata yang jeli, mengandung rasa
kepedihan dan penasaran, katanya lebih lanjut dengan suara
lebih lirih: "Selamanya belum pernah aku melihat dia memperhatikan keselamatan orang lain."
Kwe Ting menatapnya, tiba-tiba bertanya: "Jikalau aku membunuhnya di hadapanmu?"
"Akupun tidak akan menitikkan air mata," sahut tosu perempuan. Kata-katanya enteng dan tanpa dipikir lagi.
"Lalu kenapa kau ingin kembali?" tanya Kwe Ting.
"Karena aku...... aku......" dia tidak meneruskan jawabannya. Suaranya tersendat di tenggorokan. Biji mata yang jeli indah sudah berlinang air mata.
Yap Kay maklum apa artinya. Dia harus pulang karena
tiada tempat berpijak untuk dirinya. Dan Yap Kay bukan laki-laki yang punya hati keras dan tega terhadap
perempuan, tiba-tiba dia bertanya: "Kau she apa?"
"Aku she Cui."
"Cui?"
"Cui.....Cui Giok-tin."
Yap Kay tertawa, katanya: "Kenapa tidak duduk, apa kursi itu bisa gigit orang?"
Cui Giok-tin tertawa geli. Di saat dia sadar dirinya
sedang tertawa, kerisauan hatinya seketika hilang dan
merah mukanya. Waktu Yap Kay melihat perempuan ini legak-legok
mengiringi irama seruling Giok-siau kemarin sore, dikiranya perempuan ini sudah lupa akan rasa malu. Baru sekarang dia melihat orang ternyata masih memiliki sifat-sifat malu diri dan kepolosan seorang gadis. Memang siapapun di kala
terpaksa sudah tentu bisa saja melakukan sesuatu yang
orang lain anggap rendah dan memalukan, dan akhirnya diri sendiripun akan menyesal.
Ada kalanya manusia mirip benar dengan keledai yang
ditutupi kedua matanya disuruh menyurung gilingan. Hidup ini laksana cambuk, di kala cambuk melecut ke punggungmu, terpaksa kau harus maju ke depan, walau kau sendiri tidak tahu kemana kau harus menuju dan kapan harus berhenti.
Yap Kay menghela napas, ujarnya: "Kalau kau tidak ingin pulang, boleh tidak usah pulang."
Cui Giok-tin menunduk pula, katanya: "Tapi aku......."
"Aku mengerti maksudmu, tapi dunia sebesar ini, pelan-pelan kau merasakan banyak tempat boleh kau tuju dan kau tempati."
Akhirnya Cui Giok-tin pun mengerti apa yang diartikan
oleh ucapan Yap Kay. Tak tertahan terangkat kepalanya, sorot mata terpancar rasa haru dan terima kasih.
"Kaupun tak usah bawa kami mencari nona Ting," kata Yap Kay lebih lanjut, "cukup asal kau beritahu di mana dia berada."
Sesaat ragu-ragu, akhirnya Cui Giok-tin mengangguk,
katanya: "Dia berada di belakang pekarangan."
Yap Kay menunggu keterangannya lebih lanjut.
"Pekarangan itu amat besar, seluruhnya kalau tidak salah ada empat belas kamar, nona Ting disekap di kamar samping yang berada paling belakang, di sebelah luar jendela,
terdapat tiga vas kembang seruni."
"Adakah orang yang menjaganya di sana?"
"Hanya seorang yang menemani dia di dalam, karena dia tetap tak bisa bergerak. Giok-siau tidak kuatir dia
melarikan diri."
"Lalu di mana Giok-siau tidur?"
"Dia jarang tidur malam hari."
"Tidak tidur, memangnya apa yang dia lakukan?"
Cui Giok-tin kertak gigi, tidak menjawab, namun mukanya menampilkan rasa sedih, marah dan mimik yang harus
dikasihani. Memang dia tidak perlu menjelaskan pula, Giok-siau
memang suka main paras ayu, usianya sudah menanjak 70
tahun, namun kelihatannya masih begitu muda dan kuat.
Murid-murid perempuannya semua ayu-ayu dan muda belia.
Setiap malam apa yang dia lakukan, sudah tentu Yap Kay dapat menduganya.
Kwe Ting malah yang unjuk rasa marah, katanya
menyeletuk: "Apakah kalian dipaksa untuk mengikuti keinginannya?"
Cui Giok-tin geleng-geleng, katanya: "Kita adalah anak-anak dari keluarga miskin."
"Jadi kalian dibeli olehnya?", ujar Kwe Ting.
Semakin rendah kepala Cui Giok-tin tertunduk, air
matanya sudah bercucuran.
Mendadak Kwe Ting menggebrak meja sekeras-kerasnya,
katanya mendesis dingin: "Umpama tidak kebentur
persoalan nona Ting, akupun takkan lepaskan manusia cabul ini."
"Tapi sekarang..........."
"Aku tahu!," Kwe Ting tukas ucapan Yap Kay, "sudah tentu sekarang harus cepat-cepat menolong nona Ting."
Tiba-tiba Cui Giok-tin berkata pula: "Walau malam dia tidak tidur, tapi menjelang pagi dia harus tidur tiga jam lamanya."
Sekarang kira-kira masih setengah jam sebelum fajar.
Malam hari pada musim dingin memang lebih panjang.
Setelah melihat cuaca, Yap Kay berkata: "Baik! Kita tunggu sebentar lagi."
Han Tin yang tidur nyenyak di ranjang, tiba-tiba
membalik badan seraya mengigau. Memang, waktu menutuk
Hiat-to penidur, Yap Kay tidak gunakan tenaga besar.
Seolah-olah dia masih tetap mengigau: "Mana araknya......?".
Setelah berulang kali, tiba-tiba dia mencelat bangun seraya mencak-mencak dan berteriak: "Orang she Lu, aku kenal kau, kau kejam benar!". Habis kata-katanya dia roboh tertidur lagi, keringat dingin gemerobyos.
"Orang she Lu?" kata Yap Kay dengan mendelik.
"Agaknya orang yang melukainya itu she Lu."
Yap Kay menerawang, katanya: "Tahukah kau di kalangan Kang-ouw belakangan ini ada tokoh kosen she Lu?"
"Belakangan ini memang ada, tapi hanya satu."
"Lu Di maksudmu?"
Kwe Ting manggut-manggut, katanya: "Benar! Pek-ie-kiam-khek (Ahli pedang baju putih) Lu Di."
"Kau pernah menyaksikan kepandaiannya?"
"Aku hanya tahu kalau dia keponakan lurus dari Oen-ho-gin-kan Lu Hong-sian, namun ilmu yang dia yakinkan adalah Bu-tong-kiam-hoat. Bu-tong adalah aliran lurus dari
golongan Lwe-keh, takkan......."
Kini Yap Kay yang menukas: "Katamu dia keponakan
siapa?" "Lu Hong-sian yang dijuluki Oen-ho-gin-kan, dalam daftar senjata dulu dia tercantum nomor 5."
Tiba-tiba terpancar cahaya terang pada sorot mata Yap
Kay, katanya: "Lu Hong-sian, kenapa aku melupakan orang satu ini?"
"Kau sudah mengenalnya?"
"Nama julukannya tercantum nomor 5 di dalam buku
daftar senjata, kalau orang sudah merasa bangga, namun olehnya dipandang sebagai suatu hal yang memalukan."
Kwe Ting cukup mengerti akan perasaan seseorang yang
ingin menangnya sendiri.
"Memang banyak orang yang tidak terima di rendahkan derajatnya di bawah orang lain."
"Tapi diapun tahu bahwa penilaian Pek Siau-seng pasti tidak akan salah, maka dia hancurkan senjatanya itu lalu meyakinkan ilmu silat lain yang lebih menakutkan."
"Ilmu silat apa?"
"Tangannya itu!"
Seketika bercahaya mata Kwe Ting.
"Khabarnya dia sudah melatih sehingga tangannya itu sekeras batu dan setajam senjata."
"Dari siapa kau tahu akan hal ini?"
"Seseorang yang pernah menyaksikan sendiri tangan itu, seseorang yang takkan salah lihat dan menilainya."
"Siau-li Tham-hoa?"
Yap Kay manggut-manggut, katanya: "Kalau dalam dunia ini ada orang yang mampu menghajar Han Tin sampai begini rupa, maka orang itu pasti adalah Lu Hong-sian."
"Tapi sejak beberapa tahun yang lalu, dia sudah
menghilang."
"Orang yang sudah mati toh bisa bangkit kembali, apalagi cuma orang yang menghilang saja."
"Kau kira diapun sudah sampai di sini?"
"Kau pernah bilang, walau sekarang belum bulan sembilan, walau bukan musimnya orang berburu, tapi kawanan elang sudah beterbangan."
"Tak perlu disangsikan lagi bahwa Lu Hong-sian pun salah satu dari rombongan elang-elang itu."
"Bukan mustahil, dia merupakan elang yang paling
menakutkan dui antara kelompok elang-elang itu."
"Jikalau benar dia datang kemari, kau ingin
menghadapinya?"
Yap Kay mengawasi Han Tin yang rebah di atas ranjang,
mulutnya terkancing tidak menjawab. Memang dia tidak
perlu banyak mulut lagi.
Maka semakin terang pancaran sinar mata Kwe Ting,
namun seperti menatap ke tempat yang jauh, malah
gumamnya: "Dapat berduel dengan tokoh yang dulu
tercantum di dalam buku daftar senjata, sungguh
merupakan kebanggaan di dalam pengalaman hidup ini."
"Tapi ini bukan urusanmu." kata Yap Kay.
"Bukan urusanku?"
"Jelas bukan!" ujar Yap Kay tegas dan serius.
Kwe Ting tertawa, katanya tersenyum: "Tak usah kau kuatir aku merebut usaha dagangmu, Han Tin adalah
temanmu, bukan temanku."
Yap Kay juga tertawa, katanya: "Kuharap kau tidak melupakan ucapanmu ini."
Sikap Kwe Ting berubah serius pula, katanya: "Lebih baik kalau kau pun jangan melupakan satu hal."
"Hal apa?"
"Oen-ho-gin-kan tercantum nomor 5, tapi tangannya itu lebih menakutkan dari senjatanya," dengan menatap Yap Kay dia menambahkan pelan-pelan: "Aku tidak ingin melihat kau digasak seperti keadaan Han Tin."
Yap Kay tiba-tiba memutar badan, membuka daun
jendela. Angin dingin di luar laksana tajamnya golok, tapi hatinya panas membara, seperti baru saja menenggak habis sepuluh cangkir arak. Jauh di kaki langit yang semula hitam
gelap, kini pelan-pelan mulai berubah menjadi kelabu. Maka kupingnya segera mendengar kokok ayam.
ooo)dw(ooo Pekarangan di bilangan belakang memang amat luas, walau sang fajar mulai menyingsing di ufuk timur, sinar lampu masih kelihatan menyala di dalam jendela. Terdengar orang cekikikan tawa di dalam kamar.
"Pinto kali ini terjun ke kalangan Kang-ouw, maksudku memang ingin melihat, di bawah kekuasaan siapakah dunia yang lebar dan besar ini?"
Itulah suara Giok-siau. Di dalam rumah ternyata masih
ada orang yang lain.
"Wanpwe takkan berani bertanding dan berlomba dengan Totiang, sayang sekali dalam kalangan Kang-ouw justru
banyak terdapat kaum muda yang tidak tahu tingginya langit tebalnya bumi."
Ini bukan suara Giok-siau, namun kedengarannya sudah
amat dikenalnya. Itulah suara Ih-me-gao.
Pandangan dan penilaian Ting Hun-pin ternyata tidak
meleset. Manusia yang satu ini ternyata memang berjiwa sempit dan pintar melihat arah angin, berlaku hina demi keuntungannya sendiri. Agaknya tidak segan-segan dia rela pasrahkan jiwa raganya kepada Giok-siau.
Serasa berat perasaan Yap Kay, bukan saja Giok-siau
tidak tidur, malah dia mempunyai pembantu yang boleh
diandalkan. Terdengar Giok-siau sedang bertanya: "Tahukah kau siapa saja kaum muda yang tidak tahu diri itu?"
"Siong-yang Kwe Ting, Bu-tong Lu Di, Cui-cu Han Tin, Hwi-hou Nyo Thian, Lam-hay-tin-cu, keluarga Bak dari
Ceng-seng dan Lian-lian. Menurut yang kutahu, orang-orang ini sudah berada di Tiang-an."
Agaknya dia belum melupakan dendamnya akan senjata
yang diandalkan telah dihancurkan orang, maka yang dia sebut pertama kali adalah Kwe Ting. Dia memang ingin
supaya Giok-siau turun tangan membunuh Kwe Ting lebih
dulu. Giok-siau masih bertanya pula: "Masih ada orang lain yang akan datang?"
"Sudah tentu ada!"
"Sedikitnya masih ada Yap Kay."
Ih-me-gao tertawa dingin, jengeknya: "Yap Kay tidak perlu dikuatirkan."
"O," Giok-siau bersuara heran, soalnya betapa tinggi ilmu silat Yap Kay dia sendiri sudah menyaksikannya.
"Karena orang ini sekarang tak ubahnya seperti orang mampus."
"Ah, masa?"
"Entah berapa banyak penghuni kota Tiang-an ini yang ingin membunuh dia, boleh dikata nasibnya sudah berada di tangan orang-orang yang ingin membunuhnya."
Giok-siau tertawa besar, katanya: "Giok-yong, hayo lekas tuangkan arak buat Ih-sian-sing."
Agaknya mereka sudah bertekad untuk ngobrol semalam
suntuk, sedikitpun tiada niat hendak tidur.
Tapi waktu tinggal satu jam lagi buat Yap Kay, jikalau sekarang dia tidak turun tangan, kesempatan takkan pernah ada pula.
Kwe Ting berbisik di pinggir telinganya: "Aku akan menahan dan merintangi mereka di sini, pergilah kau
menolong orang."
"Tidak mungkin," Yap Kay geleng kepala dengan tegas.
"Kenapa tidak mungkin?"
"Aku tidak ingin membereskan mayatmu," dingin suara Yap Kay, namun perasaan yang dia limpahkan di dalam kata-katanya lebih panas dari bara yang membakar dadanya.
Kwe Ting sudah membuka pakaiannya, katanya dingin:
"Memangnya kau ingin membereskan mayat Ting Hun-pin."


Rahasia Mo-kau Kaucu Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku punya akal, aku pasti punya akal......" hakekatnya akal apapun dia tidak punya. Kembali hatinya kalut, demi keselamatan Ting Hun-pin, sedikitnya dia tidak pantang menyerempet bahaya.
Kwe Ting tahu orang sudah siap menerjang keluar.
Sebetulnya dia bukan orang yang tabah dan tenang di dalam menghadapi setiap persoalan, dia beranggapan asal dirinya menerjang keluar, maka Yap Kay akan dipaksa ke belakang menolong orang. Tapi langkahnya ini salah besar. Jikalau dia benar-benar menerjang keluar, tentu saja Yap Kay tidak akan meninggalkan dirinya. Kalau mereka bergabung, akan kuat menghadapi Giok-siau dan Ih-me-gao, namun Ting Hun-pin tetap berada dicengkeram Giok-siau. Jikalau Giok-siau mengancam Yap Kay dengan jiwa Ting Hun-pin, maka jiwa
Yap Kay jelas pasti akan jadi korban dengan sia-sia.
Sekonyong-konyong terdengar suara jeritan kaget di
dalam jendela. Itulah jeritan Ih-me-gao yang ketakutan:
"Kau......! Apa yang ingin kau lakukan?"
Suara Giok-siau dingin: "Aku ingin membunuhmu!"
"Dengan baik hati aku kemari hendak kerja sama dengan kau, kenapa kau hendak membunuhku?"
"Memangnya kau pandang orang macam apa kau ini"
Berani kau hendak memperalat aku" Kau ini manusia kerdil, kunyuk yang tidak tahu diri, kalau tidak kubunuh kau, siapa yang harus kubunuh?".
Maka terdengarlah suara ribut dari pecahnya cangkir dan mangkok serta meja kursi terbalik.
Saat mana badan Kwe Ting sudah kebacut melambung ke
depan, namun sigap sekali di tengah udara dia merubah arah luncuran badannya. Badannya menerjang ke sana mepet
dinding. Yap Kay pun tidak mau ketinggalan. Mereka sama-sama tahu dan menginsyafi kesempatan inilah yang terbaik untuk menolong orang. Paling tidak Ih-me-gao kuat
bertahan dua tiga puluh jurus. Walau jangka waktunya tidak lama, namun asal gerak-gerik mereka cukup cepat dan
cekatan, peluang selintas ini sudah lebih dari cukup. Oleh karena itu sedetikpun mereka tidak boleh berayal lagi.
ooo)dw(ooo Untung di atas para-para di luar jendela ada tiga buah vas kembang, merupakan pertanda yang gampang di kenali, maka mereka tidak perlu susah-susah mencari kian kemari.
Lampu dalam kamar masih menyala, dua sosok bayangan
orang kelihatan berada di dalam, seorang tosu perempuan
dan seorang lagi adalah Ting Hun-pin. Dari gaya duduk ke dua orang ini kelihatannya mereka sedang main catur.
Tanpa membuang waktu Kwe Ting menerjang jendela
terus menerobos masuk. Melakukan pekerjaan apapun dia
memang suka cepat dan lekas beres.
Namun hati Yap Kay malah merasa diketuk palu godam,
dia tahu bayangan yang satu itu jelas bukan Ting Hun-pin.
Ting Hun-pin tidak mungkin bermain catur, walaupun Toako-nya Ting Ling-ho seorang ahli di bidang ini, namun dia sendiri menata caturpun tidak bisa. Karena biasanya dia berpendapat dua orang duduk berhadapan main catur adalah kerja yang sia-sia, membuang tenaga dan pikiran. Apakah ini merupakan jebakan pula" Tapi Kwe Ting sudah kebacut
menerjang masuk, terpaksa Yap Kay keraskan kepala ikut memburu ke dalam.
Begitu berada di dalam kamar, baru Kwe Ting mendapati
seseorang yang lain ternyata bukan Ting Hun-pin. Ting Hun-pin ternyata tak berada di dalam kamar.
Gadis yang duduk di hadapan tosu perempuan memang
mengenakan pakaian Tin Hun-pin, menyanggul rambut mirip mode yang disukai Ting Hun-pin, namun dia bukan Ting Hun-pin.
Kalau orang lain pasti melongo kaget dan menjublek, tapi setiap melaksanakan kerja Kwe Ting ternyata mempunyai
caranya yang tersendiri pula. Begitu tangannya membalik, tahu-tahu pedang sudah terlolos, ujung pedangnya sudah mengancam tenggorokan tosu perempuan itu. Tanpa
mengeluarkan suara kaget, tosu perempuan ini kontan
terjungkal jatuh. Gadis yang lainpun tidak menjerit, karena
sigap sekali pedang Kwe Ting sudah mengancam
tenggorokannya pula.
"Dimana nona Ting?" ancamnya bengis.
Saking kaget dan ketakutan, muka gadis itu sudah
memutih hijau, namun sikapnya kukuh dan keras kepala,
matipun dia tidak mau menyerah.
Kwe Ting tidak banyak tanya lagi, tangan kirinya terulur merenggut bajunya, sekali tarik dia sobek pakaian orang menjadi dedel dowel, sehingga kulit badannya yang montok berisi terpampang di hadapan orang.
Gadis ini tidak menjerit dan tidak bersuara, namun rona mukanya berubah berulang kali, dari putih menghijau lalu merah padam.
Kwe Ting tertawa, katanya: "Tidak lekas kau bicara, biar kusobek badanmu menjadi dua potong."
Mungkin karena terlalu ketakutan, gadis ini tidak kuasa bersuara, hanya jarinya yang menuding ke arah almari,
almari pakaian yang amat besar.
Tanpa ayal Yap Kay segera menerjang ke sana menarik
pintu, ternyata benar ada orang meringkuk di dalamnya, seorang perempuan yang berpakaian tosu. Agaknya ditutuk Hiat-to-nya sehingga badannya lemas lunglai, tapi dia
memang benar Ting Hun-pin.
"Ada tidak?" tanya Kwe Ting.
"Ada!" sahut Yap Kay.
Tanya jawab yang singkat sekali.
Cepat Yap Kay sudah melesat ke luar jendela pula seraya membopong Ting Hun-pin.
Kwe Ting menepuk pelan-pelan perut si gadis yang mulai bunting, katanya tersenyum: "Sebentar lagi kau akan gendut, selanjutnya kau ingat, jangan makan terlalu banyak supaya tidak terlalu gemuk."
ooo)dw(ooo Lampu sudah padam. Cahaya pagi sudah menerangi kamar.
Dengan tekun dan hati-hati Cui Giok-tin tengah
membersihkan kulit muka Han Tin dengan handuk yang
dibasahi air hangat. Ternyata dia belum pergi. Melihat Yap Kay pulang memondong Ting Hun-pin, dia sambut dengan
senyuman lebar.
Han Tin yang rebah di ranjang masih tidur nyenyak.
Terpaksa Yap Kay turunkan Ting Hun-pin di atas kursi.
Akhirnya dia menghela napas lega.
Cui Giok-tin berkata: "Ada orang mengejar di belakang tidak?"
Yap Kay geleng-geleng, sahutnya tertawa: "Umpama Giok-siau sudah tahu dia di tolong orang, pasti takkan menduga kita semua masih berada di sini."
Kejap lain Kwe Ting pun sudah menyusul pulang, katanya dingin: "Sekarang aku malah mengharap dia menyusul kemari, umpama dia tidak mengejar datang, aku pasti akan mencarinya."
"Tanpa bantuanmu, sungguh aku tidak tahu cara
bagaimana memaksa gadis itu bicara terus terang."
"Memaksa perempuan bicara jujur, bukan perkara sulit."
ujar Kwe Ting, "jikalau pakaian seorang gadis mendadak disobek dan ditelanjangi, jarang yang berani tidak bicara sejujur-jujurnya."
"Sungguh tak nyana kau banyak pengalaman dalam
menghadapi perempuan."
"Memang, latihanku bukan Tong-cu-kang!"
"Laki-laki macam tampangmu, kukira takkan bisa
meyakinkan Tong-cu-kang."
Kwe Ting berpaling ke arah Ting Hun-pin, namun cepat
sekali dia melengos, katanya: "Apakah dia tertutuk Hiat-to penidurnya?"
"Ya, mungkin!. Aku belum memeriksanya."
"Sekarang dia tidak perlu tidur lagi."
Yap Kay tersenyum, segera dia menepuk Hiat-to yang
tertutuk di badan Ting Hun-pin. Melihat biji mata Ting Hun-pin sudah terbuka sedang mengawasi dirinya, sungguh tak terbilang senang hatinya.
Agaknya Ting Hun-pin belum sadar, mata masih kelihatan sipit dan kedip-kedip memandang dua kali, tanya ragu-ragu:
"Yap Kay?"
Yap Kay tertawa, katanya: "Memang, kau tidak
mengenalku lagi?"
"Aku mengenalmu!, teriak Ting Hun-pin.
Mendadak dia ulurkan tangannya. Jari-jarinya ternyata
menggenggam sebilah pisau dan ditusukkan ke dada Yap Kay.
Darah seperti panah muncrat membasahi muka Ting Hunpin. Kulit mukanya yang pucat pias seketika menjadi merah berdarah. Adalah muka Yap Kay seketika berubah memutih bening. Dengan kaget dia mengawasinya.
Setiap hadirin mengawasi dengan terbelalak kaget,
siapapun takkan menyangka, mimpipun tidak menduga bahwa Ting Hun-pin bakal turun tangan melukai sekeji ini terhadap Yap Kay.
Ting Hun-pin malah terkial-kial, tertawa besar yang
menggila seperti kesurupan setan. Mendadak dia melompat bangun menerjang keluar jendela.
Dengan mendekap dada dengan sebelah tangannya, Yap
Kay masih ingin mengejar, namun badannya segera
tersungkur, teriaknya gemetar: "Kejar........ candak dia dan tarik kembali!"
Tanpa menunggu dia bicara habis, Kwe Ting sudah
mengejar keluar.
Yap Kay ingin berdiri meloncat keluar jendela melihat ke arah mana mereka pergi, namun kakinya terasa lemah
lunglai, pandangan mendadak gelap gulita. Kegelapan yang mencemaskan. Yang terlihat terakhir kalinya adalah sorot pandangan Cui Giok-tin yang diliputi kekuatiran dan
perhatian yang sangat terhadap keselamatannya, dan suara yang didengar terakhir kali adalah suara berdentam dari badannya yang menerjang meja.
ooo)dw(ooo Fajar. Cuaca masih remang-remang penuh diliputi kabut, orang
masih kelelap dalam tidurnya.
Seperti kerbau liar yang mengamuk, Ting Hun-pin berlari dan berlompatan dari wuwungan rumah ini ke wuwungan
rumah yang lain, mulutnya terus terkial-kial seperti orang gila.
"Aku membunuh Yap Kay..... aku membunuh Yap Kay........"
seakan-akan dia anggap hal ini suatu tugas mulai yang patut dibanggakan.
"Dia sudah gila!" demikian gerutu Kwe Ting. Ilmu ginkangnya sudah dia kembangkan sampai puncak tertinggi, namun setelah sekian lama dan jauhnya, baru dia berhasil menyandaknya.
"Nona Ting, ikut aku pulang!"
Ting Hun-pin melotot kepadanya, seakan-akan dia sudah
tidak mengenalnya sama sekali. Mendadak pisau di
tangannya bergerak menusuk ke tenggorokannya, pisau yang masih berlepotan darahnya Yap Kay.
Kwe Ting kertak gigi sambil membalik badan, tangannya
terayun balik pula untuk merebut pisau orang. Namun dia tidak bertujuan merebut pisau sungguhan hanya sebelah
tangan yang lain secepat kilat menyanggah ke atas
menopang dagu orang, disusul telapak tangan yang lain
membelah ke belakang leher orang. Pandangan Ting Hun-pin tiba-tiba membelalak, orangnya tersungkur roboh.
Sekelilingnya tiada orang, salju masih bertaburan
memutih di atap genteng. Teriakan Ting Hun-pin yang
begitu keras kumandangnya di tengah kesunyian pagi
ternyata tidak mengejutkan Giok-siau serta membuatnya
meluruk keluar.
Sebat sekali Kwe Ting sudah memanggul Ting Hun-pin.
Dia harus cepat-cepat kembali ke tempat semula untuk
memeriksa luka-luka Yap Kay, maka dia tidak hiraukan
pantangan laki-laki dan perempuan.
Akan tetapi setiba di sana, tiada kelihatan bayangan
seorangpun di rumah itu, tiada seorangpun yang ketinggalan hidup di sana. Han Tin yang tidur semaput dan tidak sadar itu kini sudah terpantek di atas ranjang. Sebilah pedang tepat menembus ulu hatinya.
Noda-noda darah Yap Kay yang berlepotan di lantai
sudah membeku kering. Demikian pula darah yang
berceceran di atas mejapun sudah mengering beku. Tapi
bayangan Yap Kay entah di mana, demikian pula Cui Giok-tin ikut menghilang.
Pedang siapakah itu" Siapakah pula yang turun tangan
sekeji ini" Kenapa turun tangan terhadap orang yang sudah sekarat" Kemana Yap Kay" Mungkinkah dibawa Cui Giok-tin dan diserahkan kepada Giok-siau" Apapun yang terjadi, jiwa Yap Kay pasti terancam, bukan mustahil malahan sudah
celaka. ooo)dw(ooo Rumah itu kecil, namun segalanya bersih dan teratur. Di pojok rumah terdapat sebuah lemari kayu pendek yang
terkunci, di sebelah lagi sebuah toilet, di mana diletakkan sebuah cermin tembaga bundar. Daun jendela berbunyi
berisik dihembus angin, bau obat tercium keras terbawa hembusan angin dari luar.
Yap Kay ternyata belum ajal, dia sudah siuman, waktu dia terjaga didapatinya dia berada di dalam rumah kecil ini. Di susul disadarinya pula bahwa dia telanjang bulat rebah di atas ranjang, badannya tertutup tiga lapis kemul tebal.
Luka-luka di dada sudah terbalut kencang. Siapakah yang membalut luka-lukanya" Tempat apakah ini" Ingin dia
duduk, namun rasa sakit di dada tak tertahankan, sedikit bergerak, sekujur badan rasanya seperti dikoyak-koyak.
Baru saja dia hendak buka suara, pada saat itulah kerai tersingkap, muncullah seseorang diam-diam dengan
membawa semangkok obat.
Cui Giok-tin. Jubah tosunya sudah dicopot, kini dia
mengenakan seperangkat baju lengan panjang dan kun hijau panjang berlepit. Alis tetap tegak, pipi tidak berpupur dan bibirpun tidak dipoles gincu. Lapat-lapat kelihatan alisnya seperti mengandung rasa kekuatiran.
Begitu melihat Yap Kay sudah sadar, kerutan alis
seketika terbuka.
"Bagaimana aku bisa berada di sini?", begitu mengajukan pertanyaan ini Yap Kay lantas menyadari akan
kebodohannya, sudah tentu Cui Giok-tin yang membawanya kemari.
Cui Giok-tin sudah mendekat dan meletakkan mangkok
obat itu di atas meja di pinggir ranjang. Setiap gerak-geriknya kelihatan begitu lembut dan gemulai, tidak mirip seperti tosu perempuan yang telanjang megal-megol seperti ikan lele mengikuti irama seruling itu.
Mengawasi orang, tiba-tiba terasa tentram sanubari Yap Kay, tapi tak urung dia masih bertanya: "Tempat apakah ini?"
Untuk menjawab pertanyaan ini Cui Giok-tin
menundukkan kepala sambil meniup obat yang panas,
sahutnya kemudian: "Rumah dari seseorang."
"Rumah siapa?"
"Rumah seorang pedagang yang jualan daun teh."
"Kau kenal dia?"
Cui Giok-tin tidak menjawab pertanyaan ini, namun
berkata pelan-pelan: "Luka-lukamu cukup parah. Aku kuatir Giok-siau dan lain-lain meluruk datang, terpaksa lekas-lekas kubawa kau menyingkir."
Memang dia seorang perempuan yang teliti, setiap kerja yang dia lakukan dipikirkannya dengan seksama.
Memang, bilamana Yap Kay masih tertinggal di rumah itu, mungkin diapun sudah terpantek pedang dan mampus di atas ranjang seperti Han Tin.
Berkata pula Cui Giok-tin: "Tapi baru pertama ini aku berada di Tiang-an, seorangpun tiada yang kukenal. Waktu itu hari baru saja terang tanah, sungguh aku tidak tahu kemana aku harus membawamu pergi."
"Maka kau lantas menerjang masuk ke rumah orang lain ini?"
Cui Giok-tin manggut-manggut, katanya: "Inilah rumah dari keluarga kecil yang biasa, pasti takkan ada orang mengira kau berada di tempat ini."
"Tentu kaupun tidak kenal siapa pemilik rumah ini?"
"Tidak kukenal!", sahut Cui Giok-tin.
Tadi sudah dikatakan di Tiang-an tiada punya kenalan.
"Lalu di mana pemilik rumah ini sekarang?"
Cui Giok-tin ragu-ragu, sekian lama dia plegak-pleguk, akhirnya dia menjawab juga: "Sudah kubunuh!"
Kepalanya tertunduk tidak berani mengawasi Yap Kay.
Dia takut Yap Kay memakinya. Tapi tak sepatah katapun Yap Kay memberikan komentar.
Memang Yap Kay bukan laki-laki sejati yang
berpendidikan tinggi dari keluarga bangsawan yang
mematuhi adat kuno. Yang terang dia menyadari tanpa
pertolongan Cui Giok-tin kini jiwanya entah sudah ajal di tangan entah siapa. Memang tidak sedikit orang-orang yang ada di Tiang-an yang ingin membunuhnya.
Seorang perempuan yang belum dikenalnya betul, dengan
menyerempet bahaya sudi menolong jiwanya serta
merawatnya lagi dengan sepenuh hati. Demi keselamatannya tidak segan-segannya dia membunuh orang. Apakah dia tega mengoreksi kesalahannya" Sampaikah hatinya untuk
memakinya"
Tiba-tiba Cui Giok-tin berkata pula: "Tapi sebetulnya aku tidak ingin membunuh mereka?"
Yap Kay diam saja, dia menunggu cerita lebih lanjut.
"Waktu aku menerjang masuk ke sini, kudapati dua orang tengah main di atas ranjang. Semula kukira mereka adalah suami-isteri."
Akhirnya Yap Kay bertanya: "Apa benar mereka bukan suami-isteri?"
"Perempuan itu sudah berusia 30-an, sebaliknya laki-lakinya masih hijau plonco, paling baru berusia tujuh belas.
Setelah ku ancam baru bocah itu berterus terang."
Kiranya di waktu sang suami keluar daerah membeli daun teh, sang istri lantas memelet pembantu suaminya yang
belajar dagang teh.
Muka Cui Giok-tin rada merah, katanya lebih lanjut:
"Kedua orang ini yang satu mengkhianati suami, yang lain mengkhianati guru, maka aku baru tega membunuh mereka, aku........ aku harap kau tidak beranggapan bahwa aku ini adalah perempuan jahat bertangan gapah."
Yap Kay mengawasinya, entah bagaimana perasaannya, dia sendiri tidak bisa menjelaskan. Bahwa orang menolong
jiwanya, melakukan apa saja dengan menyerempet bahaya
demi keselamatan jiwanya, namun dia tidak minta imbalan, hanya satu yang dia inginkan supaya Yap Kay tidak
memandang rendah dirinya.
Akhirnya Yap Kay menghela napas, katanya: "Kalau ada orang anggap perbuatan salah, anggap kau perempuan jahat, maka orang itu pasti seorang kunyuk keparat.", lalu dengan tertawa dipaksakan dia menambahkan: "Kuharap kaupun percaya kepadaku, aku pasti bukan kunyuk keparat itu!"
Cui Giok-tin cekikikan geli. Seolah-olah musim dingin
sudah berlalu, dan tibalah musim semi.
"Obatnya sudah dingin. Nah, habiskan semangkok ini,"
lalu dia bantu memapah Yap Kay.
Seperti seorang ibu mencekoki obat kepada anaknya, dia sodorkan mangkok obat itu kepada Yap Kay.
Hangat dan syur hati Yap Kay, katanya tersenyum dengan mengawasi orang: "Bertemu dengan kau merupakan
keberuntunganku. Segala kerja apapun, agaknya sudah kau perhitungkan dengan baik."
Sesaat Cui Giok-tin kelihatan ragu-ragu, akhirnya
berkata: "Tapi aku tak menduga bahwa dia tega hendak membunuhmu."
Yap Kay tertawa kecut, ujarnya: "Kukira........ dalam hal ini pasti ada sebabnya. Banyak kejadian dalam dunia persilatan ini yang sukar diterima oleh nalar sehat, umpama dijelaskan, kaupun tidak akan tahu."
"Apakah kau tidak menyalahkan perbuatannya?", tanya Cui Giok-tin.
Yap Kay menggeleng, sahutnya: "Mungkin dia terpengaruh oleh semacam ilmu sihir sehingga bertindak di luar
kesadarannya. Setelah dia sadar, dia pasti akan lebih
tersiksa dari aku. Apakah aku pantas menyalahkan dia?"
Tiba-tiba berkaca-kaca mata Cui Giok-tin yang
mengawasi dirinya. Akhirnya tak tertahan air mata
bercucuran dengan derasnya. Hatinya amat haru, bukan
derita bukan cemburu, sebagai seorang perempuan dewasa yang sudah matang, dia hanya merasa kesepian saja.
ooo)dw(ooo Lama-kelamaan cuaca kembali menjelang petang. Dalam
rumah sudah menjadi gelap, sang malam tahu-tahu sudah
menyelimuti jagat raya. Sisa nasi yang dimasaknya tadi pagi
ditambah kecap lantas dimakannya dengan lahap. Tapi untuk Yap Kay, Cui Giok-tin sengaja memasak bubur ayam. Setelah mengeluarkan banyak darah, Yap Kay memang perlu banyak istirahat dan makanan yang bergizi dan banyak vitamin, maka setelah makan semangkok bubur, Yap Kay lantas
merasa badannya letih sekali, malah dingin lagi. Lamakelamaan dia rebah dengan setengah sadar setengah tidur, yang terang badannya masih terasa dingin, seolah-olah
dirinya berada di dalam gunung es. Saking dingin, sekujur badannya gemetar, bibirnyapun sampai biru. Tiga lapis
kemul sudah menutupi badannya, tapi dia tetap
bergemetaran. Cui Giok-tin kebingungan. Apa pula yang harus dia
lakukan" Apalagi melihat wajah orang yang pucat dan
semakin memburuk, hatinya sungguh kuatir dan tidak
tentram. Cara bagaimana untuk membuat badannya hangat"
Asal orang tidak gemetar kedinginan, apapun yang harus dia lakukan, dia akan rela melakukannya.
Tiba-tiba dia teringat akan cara baik, tapi mukanya
sudah merah malu sebelum bertindak. Itulah cara liar yang mungkin sudah dilakukan manusia pada umumnya.
ooo)dw(ooo Yap Kay tidak gemetar lagi. Mukanyapun sudah bersemu
merah. Lambat-laun kesadarannya pulih kembali, lalu dia merasakan ada seseorang rebah telanjang bulat di
sampingnya, dengan kencang memeluk dirinya. Kulit
badannya halus licin, panasnya bagai bara yang menyala.
Melihat Yap Kay tengah mengawasi dirinya, mukanya
seperti terbakar pula, lekas dengan suara aleman segera dia susupkan kepalanya ke dalam kemul.
Bagaimana perasaan Yap Kay" Yang terang tak bisa
dilukiskan dengan kata-kata. Lambat laun terasakan olehnya badan Cui Giok-tin mulai gemetar, tentunya bukan lantaran kedinginan. Sayang sekali kondisi badan Yap Kay begitu lemah, luka-lukanya belum sembuh. Jangan kata untuk main begituan, buat menggerakkan tangan dan kakipun rasanya seperti diboboti barang ribuan kati. Tapi sang waktu berlalu tanpa terasa, malam semakin larut, akhirnya mereka sama kelelap di dalam buaian pelukan yang manis mesra.
ooo)dw(ooo Entah berapa lamanya, tiba-tiba pintu di dorong orang.
Seseorang menerjang masuk. Seseorang yang tak
terkirakan oleh mereka.
Lampu belum padam, sinarnya menyorot muka orang ini,


Rahasia Mo-kau Kaucu Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kelihatan mukanya membesi hijau, sorot matanya diliputi napsu membunuh. Dengan penuh kebencian dan kemarahan
dia melotot kepada mereka, seakan-akan ingin menusuknya mampus dengan golok di atas ranjang. Yang terang mereka tidak kenal siapa laki-laki ini.
Tiba-tiba Cui Giok-tin berteriak kaget: "Siapa kau"
Kenapa main terjang ke dalam rumah?"
Orang itu melototinya, mendadak tertawa dingin,
katanya: "Inikan rumahku" Kenapa aku tidak boleh pulang?"
Sudah tentu Yap Kay dan Cui Giok-tin sama-sama
melengak. Kiranya pemilik rumah sudah pulang. Bila seorang
suami pulang dari perjalanan jauh, mendadak sepasang laki perempuan yang asing baginya sedang tidur di atas ranjang, betapapun besar kemarahannya, adalah patut kalau kita
bersimpati kepadanya.
Semula Cui Giok-tin memang amat marah, kaget dan malu, kini seperti balon kempes saja layaknya dia, rebah lemas tak bersuara lagi.
Dengan kertak gigi, orang itu menatapnya, suaranya
menggerung gusar: "Dua bulan aku keluar berdagang, kau lantas berani curi laki-laki di rumah" Memangnya kau tidak takut kubunuh?"
Kembali Cui Giok-tin tersentak kaget, teriaknya:
"Kau......apakah kau tidak salah melihat orang?"
"Aku salah lihat?", damprat orang itu dengan mencak-mencak seperti kebakaran jenggot, "sejak umur enam belas, kau sudah kukawini, umpama terbakar jadi abu juga tetap kukenali kau."
Tak tahan Cui Giok-tin berkaok-kaok: "Kau sudah gila, melihat tampangmupun aku tidak pernah."
"Jadi kau berani menyangkal bahwa kau ini bukan biniku?"
"Sudah tentu bukan."
"Kalau bukan biniku, kenapa kau tidur di ranjangku?", lalu laki-laki itu berpaling kepada Yap Kay, katanya: "Kau ini siapa" Kenapa tidur seranjang dengan biniku?"
Cui Giok-tin dan Yap Kay sama-sama kelakep, tiba-tiba
dia menyadari dirinya kebentur suatu kejadian yang
menggelikan, namun juga memalukan. Sungguh dia sendiri bingung apa yang terjadi sebetulnya.
Berkata pula orang itu: "Untung aku ini orang bajik, perduli apapun yang pernah kalian lakukan, aku tetap akan mengampuni dan memaafkan kalian, tapi sekarang aku sudah kembali, kau harus bangun dan serahkan tempat tidur ini kepadaku.", sembari bicara dia maju menghampiri seraya siap-siap membuka pakaian.
Cui Giok-tin menjerit-jerit. Dengan kencang dia tarik Yap Kay.
"Aku bukan istrinya, bahwasanya aku tidak mengenalnya.
Jangan kau bangun menyerahkan tempat ini kepadanya."
Sudah tentu Yap Kay tidak bisa bangun. Apa yang harus
dia lakukan"
Untunglah, pada saat itu dari luar kumandang tawa
seseorang yang terkial-kial, seseorang tengah memeluk
perut saking tertawa geli melangkah masuk.
Begitu melihat orang ini seketika Yap Kay terbeliak.
Siangkwan Siau-sian. Gadis ini ternyata muncul di saat yang begini memalukan.
Dengan sebelah tangan memegangi perut, tangan
Siangkwan Siau-sian yang lain menuding Yap Kay, katanya masih cekikikan geli: "Kau mengangkangi rumah orang, menempati ranjangnya lagi. Ini yang empunya sudah pulang, tanpa banyak rewel hanya suruh kau menyingkir, kau tetap mendablek, apa tidak keterlaluan sikapmu ini?".
Belum habis bicara, air matanya bercucuran saking
terpingkal-pingkal dengan menahan perut yang mules.
Yap Kay sekarang mulai tabah. Baru kini dia menyadari
apakah yang telah terjadi. Perempuan ini bukan saja licik dan licin seperti rase, boleh dikata segala perbuatan apapun bisa saja dia lakukan.
Siangkwan Siau-sian masih terus tertawa tak hentihentinya, seakan-akan belum pernah dia melihat adegan lucu yang menggelikan ini.
Dengan melongo kaget Cui Giok-tin mengawasinya,
tanyanya: "Siapakah dia?"
"Dia bukan manusia." sahut Yap Kay.
"Benar! Sebetulnya aku bukan manusia, aku ini adalah malaikat hidup, perduli kemanapun kau menyembunyikan
diri, aku tetap bisa menemukan kau."
Yap Kay tidak perlu tanya cara bagaimana orang bisa
menemukan dirinya. Jelas orang selalu menguntit dan
mengawasi setiap gerak-gerik Yap Kay, seperti bayangan setan layaknya.
Berkata Siangkwan Siau-sian: "Tapi aku benar-benar tidak pernah pikir, nona tosu bisa menemukan tempat
seperti ini, kalau bukan karena dia tergesa-gesa hendak cari obat, sungguh hampir saja aku tak berhasil menemukan
kalian." Dia maju ke sana menjemput mangkok kosong lalu
diendusnya ke dekat hidung, katanya pula dengan tertawa:
"Sayang sekali dia belum boleh dianggap tabib yang baik,
obat macam ini umpama kau habiskan satu gentongpun
takkan berguna."
Sudah tentu Cui Giok-tin naik pitam, katanya dengan
merah padam: "Memangnya kau mampu mengobati lukalukanya?" "Akupun bukan tabib, tapi aku sudah mengundang seorang tabib yang paling baik kemari."
Laki-laki yang mengaku sebagai suami tadi kini tidak
marah lagi, malah dengan tersenyum mengawasi mereka.
Siangkwan Siau-sian memperkenalkan: "Inilah satusatunya dari Biau-jiu-sin-ih pada jaman yang lalu, Biau-jiu-long-tiong Hoa Cu-ceng. Pengetahuan dan pengalamanmu
cukup luas, tentunya tahu akan dirinya."
Yap Kay memang tahu benar. Keluarga Hoa, ayah beranak
memang merupakan tabib sakti yang kenamaan di Kang-ouw.
Terutama untuk penyembuhan luka-luka luar, mempunyai
cara pengobatan khusus. Akan tetapi dua ayah beranak ini mempunyai ciri khas yang aneh, yaitu mencuri. Sebetulnya mereka tidak perlu mencuri, namun sejak dilahirkan sudah menjadi pembawaan, yakni hobbynya mencuri, jadi apapun bila ada kesempatan pasti mereka mencuri. Maka orang-orang atau pasien-pasien yang minta tolong untuk
menyembuhkan luka-luka atau sakitnya, pasti akan dikuras kantongnya sampai ludes. Dari situlah mereka mendapat
julukan Biau-jiu.
Yap Kay tertawa, katanya: "Tak nyana, bukan saja
kepandaian ilmu pengobatan tuan amat tinggi, malah kaupun pandai main sandiwara."
Hoa Cu-ceng tertawa, katanya: "Dalam hal ini ada yang tidak kau ketahui. Untuk belajar mencuri, maka kau harus pandai main sandiwara."
"Kenapa begitu?" tanya Yap Kay.
"Karena kau harus belajar menyaru jadi berbagai orang, baru bisa berhasil mendapatkan barang yang beraneka
ragamnya pula," dengan tersenyum Ho Cu-ceng menjelaskan,
"umpamanya kau hendak mencuri buku ajaran agama di kelenteng, maka kau harus menyamar jadi Hwesio, kalau
ingin mencuri lonte, maka kau harus pura-pura jadi laki-laki iseng."
"Jikalau kau hendak mencuri uang di Bank, maka kau harus menyaru jadi pedagang kaya untuk mencari tahu seluk beluknya lebih dulu." Yap Kay menambahkan.
Ho Cu-ceng tepuk tangan, katanya: "Tuan memang pintar, tahu satu lantas jelas tiga. Kalau kau mau ngobyek dalam bidang ini, aku berani tanggung dalam tiga bulan kau pasti sudah menjadi seorang ahli dalam bidang ini."
Siangkwan Siau-sian berkata dengan tertawa manis:
"Sekarang juga dia sudah menjadi ahli, maka bila kau menyembuhkan luka-lukanya, lebih baik kau hati-hati, kalau tidak bukan mustahil barang milikmu bakal digerogoti
sampai ludes."
Hoa Cu-ceng tertawa, ujarnya: "Sudah puluhan tahun aku selalu mencuri milik orang lain, bila ada barang milikku juga tercuri orang, rasanya menyenangkan juga," dengan tersenyum segera dia maju menghampiri, katanya: "Asal pisau itu tidak beracun, aku berani tanggung, dalam tiga hari tuan pasti akan bisa pergi membunuh orang."
"Tunggu sebentar!" tiba-tiba Cui Giok-tin berteriak.
"Tunggu apa lagi?" tanya Hoa Cu-ceng.
"Darimana aku tahu kau kemari benar-benar ingin
menyembuhkan luka-lukanya?" tanya Cui Giok-tin.
"Nona tosu ini agaknya orang cermat dan hati-hati," kata Siangkwan Siau-sian, "sayang sekali otaknya rada kurang beres. Memangnya kau sudah dibikin pusing tujuh keliling oleh Yap Kongcu ini?"
Merah muka Cui Giok-tin, katanya: "Terserah apapun yang ingin kau katakan, aku..........."
"Sekarang kalau aku ingin membunuhmu, boleh dikata segampang makan kacang, buat apa aku susah-susah
membuang tenaga?"
Cui Giok-tin tertawa dingin.
"Kau tidak percaya?", ancam Siangkwan Siau-sian.
Cui Giok-tin tetap menyeringai dingin.
Tiba-tiba badan Siangkwan Siau-sian melayang enteng
laksana segumpal mega, melampaui kepala mereka.
Seketika terasa oleh Cui Giok-tin seperti ada sebuah
tangan dingin terulur masuk ke dalam kemul, serta mencubit sekali di tengah dadanya. Waktu dia mengawasinya lagi, tahu-tahu Siangkwan Siau-sian sudah melayang balik ke
tempat semula. Dengan cengar-cengir Siangkwan Siau-sian mengawasi
diri Cui Giok-tin, lalu katanya: "Khabarnya Giok-siau Tojin pandai memetik kembang menyerap sarinya, tapi kurasakan
badanmu masih kenyal dan agaknya kau memang pandai
melayani keinginan laki-laki."
Merah hijau dan pucat pergantian perubahan rona muka
Cui Giok-tin, saking jengkel hampir saja dia menangis.
"Itulah suatu hal yang pantas dibuat bangga dari setiap perempuan, buat apa kau malu-malu segala?" ujar Siangkwan Siau-sian, "kapan kau ada waktu, mungkin aku akan mohon belajar dan petunjukmu."
Muka Cui Giok-tin sudah memutih kaku. Dia tahu
perempuan ini sengaja hendak menghina dirinya, namun dia terima segala hinaan ini.
Kenapa ada orang ingin orang lain menderita, baru diri sendiri merasa senang" Kalau Cui Giok-tin mengucurkan air mata, sebaliknya Siangkwan Siau-sian sedang tersenyum
kesenangan. "Menggelinding pergi!" tiba-tiba Yap Kay menghardik.
Agaknya Siangkwan Siau-sian terkejut, serunya: "Kau suruh siapa menggelinding pergi keluar?"
"Kau!", sentak Yap Kay.
"Aku baik hati mengundang tabib untuk menyembuhkan luka-lukamu, kau malah suruh aku menggelinding pergi!"
Yap Kay menarik muka, katanya: "Benar! Kusuruh kau menggelinding keluar."
Muka Siangkwan Siau-sian sedikit berubah, katanya
menyeringai dingin: "Apa kau tidak takut aku
membunuhmu?"
"Kau kira kau bisa membunuhku?" Yap Kay balas menjengek.
"Kaupun tidak percaya?"
"Aku hanya ingin memperingatkan kau satu hal."
"Hal apa?"
"Hal ini!"
Pelan-pelan Yap Kay acungkan tangannya dari dalam
kemul, ternyata jari-jarinya menjepit sebilah pisau. Pisau terbang sepanjang tiga dim tujuh mili. Pisau nan tipis tajam kelihatan kemilau ditingkah sinar lampu.
Muka Siangkwan Siau-sian berubah membesi hijau
tertimpa sinar reflek dari cahaya pisau kemilau itu,
sebaliknya raut muka Hoa Cu-ceng tegang dan merah coklat.
Pisau terbang warisan Siau-li Tham-hoa. Itulah pisau
terbang warisan tunggal dari Siau-li Tham-hoa yang tiada taranya, tak pernah luput saat pisau ditimpukkan. Betapapun jago kosen paling ditakuti di kang-ouw, selamanya tiada satupun yang berani melawan dan kuasa meluputkan diri dari timpukan pisau terbang ini.
Yap Kay tertawa dingin, katanya: "Sebetulnya aku tidak suka membunuh orang, maka kau jangan memaksaku."
Siangkwan Siau-sian balas mengejek, katanya: "Sekarang kau masih bisa membunuh orang?"
"Kau ingin mencobanya?"
Siangkwan Siau-sian tidak berani. Tiada manusia dalam
dunia ini yang berani main-main dengan pisau terbang yang satu ini. Memang siapa yang berani mempertaruhkan jiwa
raga sendiri untuk main coba-coba, hanya untuk
memperebutkan menang atau kalah".
Siangkwan Siau-sian tekan perasaannya, dengan
menghela napas panjang, katanya: "Apa kau tidak ingin luka-lukamu lekas sembuh?"
"Aku hanya ingin kau lekas menggelinding pergi."
Siangkwan Siau-sian menghela napas pula, katanya: "Aku tidak bisa menggelinding, bagaimana kalau aku berjalan keluar saja?".
Benar juga bilang keluar lantas dia beranjak keluar pintu.
Sudah tentu Hoa Cu-seng tersipu-sipu lebih cepat.
Di depan pintu Siangkwan Siau-sian berpaling muka,
katanya: "Ada sebuah hal hampir saja aku lupa memberitahu kepadamu."
"Ada hal apa?"
"Apa kau tidak ingin tahu jejak dan keadaan nona Ting kesayanganmu itu?"
Yap Kay tidak memberi komentar, yang terang sudah
tentu dia ingin tahu.
"Sekarang dia berada bersama Kwe Ting, seperti juga kalian, sama-sama tidur di atas ranjang."
Yap Kay tertawa dingin, katanya: "Kenapa kau bicara seperti ini di hadapanku" Kau tahu tiada gunanya kau
mengoceh di sini."
"Kau tidak percaya bila mereka melakukan hal itu?"
Sudah tentu Yap Kay tidak percaya.
"Sebetulnya mungkin mereka cukup setia terhadapmu, tapi jikalau nona Ting sendiripun sedang kedinginan, seperti tosu perempuan ini, Kwe Ting membantu menghangatkan
badannya" Jikalau pada sesuatu tempat pada badan nona
Ting yang tidak boleh dilihat orang lain terkena sebangsa jarum beracun, untuk menolong jiwanya, apakah Kwe Ting tidak akan mengisap dengan mulutnya?"
Baru sekarang berubah roman muka Yap Kay.
Maka tersimpullah senyum kemenangan pada muka
Siangkwan Siau-sian, dengan menggandeng tangan Hoa Cuseng, ia berkata: "Walau dia tidak kenal persahabatan terhadapku, namun aku tidak boleh bersikap tidak setia, tidak dapat dipercaya kepadanya. Nah, tinggalkan
sebungkus obat kepadanya. Marilah kita pergi." kali ini dia benar-benar berlalu.
Yap Kay sudah duduk, kini dia jatuh tertidur pula dengan lunglai.
Cui Giok-tin sampai menjerit kaget: "Kau..............kau kenapa?"
Yap Kay menghela napas, katanya getir: "Untung kau taruh pisauku di bawah bantal, untung dia tidak berani mencobanya."
"Tadi kau sebetulnya tidak mampu melukai dia?" tanya Cui Giok-tin.
Mengawasi pisau di tangannya, berubah muka Yap Kay,
katanya: "Pisauku ini bukan hanya ditimpukkan dengan tenaga jari saja, juga harus dilandasi seluruh himpunan semangat dan perhatian untuk memusatkan setaker
kekuatan, baru bisa menimpukkan, tapi aku sekarang......"
sampaipun bicara dia merasa sulit dan berat.
Mengawasi muka orang, bercucuran air mata Cui Giok-tin, katanya: "Aku tahu untuk menolong aku, maka kau
mengusirnya. Kenapa kau harus menyerempet bahaya ini"
Aku......... aku memang orang yang pantas dihina orang."
Lembut suara Yap Kay, katanya: "Tiada orang yang harus dihina, tiada orang punya hak untuk menghina orang lain."
suaranya lembut dan tegas: "Walau dia orang tua
menurunkan pisau ini kepadaku, adalah supaya aku
memberitahu kepada seluruh manusia di dalam dunia agar mengetahui akan hal ini, dan yang penting siapapun dilarang melupakannya."
Bercahaya pula mata Cui Giok-tin, katanya pelan-pelan:
"Kukira beliau tentu seorang yang luar biasa sekali."
Pandangan Yap Kay tertuju ke tempat nan jauh, sorot
matanya mengandung rasa hormat.
"Beliau sendiri sering bilang bahwa dirinya hanyalah seorang awam yang biasa saja, tapi apa yang dia lakukan, terang tiada seorangpun yang kuasa memadai, tiada orang lain yang mampu mengerjakan."
Memang itulah salah satu kebesaran dan keagungan Li
Sin-hoan. Oleh karena itu tak peduli ia berada di mana, selamanya jiwa kebesarannya selalu hidup di dalam sanubari setiap orang.
Sinar lampu sudah semakin guram, agaknya minyak sudah
hampir kering. Tiba-tiba Cui Giok-tin menghela napas pelan-pelan,
katanya: "Kini aku hanya menguatirkan satu hal."
"Kuatir dia membocorkan jejak kita di sini" Kau kuatir dia akan kembali pula?", ujar Yap Kay.
"Dia tidak akan berbuat demikian, dia hanya mengharap luka-lukaku lekas sembuh."
"Kenapa?"
"Karena dia ingin supaya aku wakili dia menghadapi orang lain."
Cui Giok-tin tidak mengerti.
Terpaksa Yap Kay menjelaskan: "Hari itu dia memancing Giok-siau untuk menemui aku, tujuannya supaya aku bentrok dan adu jiwa sama dia. Diapun mengharap supaya aku
membunuh Kwe Ting, demikian pula Ih-me-gao, membunuh
siapa saja yang kemungkinan menghalangi tujuannya."
"Tapi, dia kan sudah tahu, kau jelas takkan sudi diperalat olehnya."
"Walau aku tidak akan membunuh orang-orang itu karena dia, sebaliknya orang-orang itu hendak membunuh aku." ujar Yap Kay, "maka dia tidak mengharap aku terluka, dan sudah tentu dia tidak akan berpeluk tangan melihat kematianku."
Terasa tangan Cui Giok-tin menjadi dingin basah, sungguh tak habis pikir olehnya bahwa dalam dunia ini ternyata ada perempuan yang begitu licin, keji dan jahat.
Terkandung maksud yang mendalam pada pandangan mata
Yap Kay, katanya tiba-tiba: "Oleh karena itu ada beberapa hal yang membuatku tidak mengerti."
"Hal apa?"
Sesaat Yap Kay menepekur, lalu berkata lirih: "Orang yang memaksamu meniup seruling di Leng-hiang-wan ini,
kemungkinan adalah Giok-siau sendiri."
Cui Giok-tin tertegun, tanyanya: "Kenapa dia berbuat demikian?"
"Karena dia cukup tahu bahwa kau adalah perempuan yang berhati bajik dan bijaksana. Sudah tahu bahwa kau tidak menyukai sepak terjangnya, sudah lama ingin
meninggalkan dia."
Cui Giok-tin tertunduk, katanya pelan-pelan: "Belakangan ini memang aku berusaha menghindari dia."
"Diapun tahu bahwa aku pasti akan ke Leng-hiang-wan, maka sengaja dia menggondolmu, dan memberi kesan kau
menunggu, agar supaya kau membocorkan jejak di mana Ting Hun-pin sebetulnya berada."
Kini giliran Cui Giok-tin yang tidak paham, tanyanya: "Apa dia sengaja ingin supaya kau berusaha menolong nona Ting?"
Yap Kay manggut-manggut, katanya: "Karena dia sudah gunakan ilmu sihirnya untuk mengendalikan daya pikir Ting Hun-pin, dia suruh, begitu Ting Hun-pin melihat diriku, lantas membunuhku."
"Benar, maka sengaja dia taruh tiga pot kembang di luar jendela, maksudnya supaya kau gampang menemukan tempat itu."
"Tapi kuatir aku curiga, maka dia mengatur sedemikian rupa sehingga aku tidak gampang mencapai tujuanku."
"Oleh karena itu dia sengaja memerankan sandiwara itu supaya kau selamanya tidak menduga akan muslihatnya."
"Dia membekuk Ting Hun-pin, tujuannya bukan ingin membunuh Siangkwan Siau-sian, tapi adalah ingin
membunuhku."
Cui Giok-tin kertak gigi, katanya geram: "Dulu aku tidak tahu bahwa dia tosu tua bangka yang ganas dan begitu
jahat!" "Tapi dia terang bukan anggota Kim-cie-pang, karena Siangkwan Siau-sian tidak ingin aku mati, diapun tidak tahu bahwa akalnya ini semakin membuat aku tak habis
mengerti."
"Apa yang tidak kau mengerti?", tanya Cui Giok-tin.
"Dari mana dia bisa menggunakan ilmu Sip-sim-sut, semacam sihir itu?" ujar Yap Kay, "memang tidak sedikit orang yang pandai menggunakan ilmu ini, namun yang benar-benar boleh dianggap ahli hanya beberapa gelintir saja, di antara mereka sebagian besar adalah orang-orang Mo Kau.
Pernahkah kau dengar Giok-siau membicarakan soal Mo
Kau?" "Tidak!" sahut Cui Giok-tin sambil geleng kepala.
"Selamanya kau mendampingi dia, di mana saja dia
berada?" "Dia punya kapal laut yang amat besar. Hidupnya di tengah lautan. Setiap bulan atau dua bulan, baru berlabuh di salah satu pelabuhan untuk menambah bahan makan. Tapi
beberapa bulan yang lalu, dia pernah berlabuh di suatu pulau
liar yang tiada penghuninya selama enam tujuh hari. Tiada orang yang diajaknya turun, kitapun dilarang berlayar."
(Bersambung ke Jilid-9)
Jilid-9 Tiba-tiba bercahaya sinar mata Yap Kay, mendadak
teringat olehnya ucapan Thi Koh:"...........kali ini Mo Kau mengadakan pertemuan di Gunung Malaikat, mendirikan dan menegakkan pula kejayaannya. Kami memilih Su-toa-thian-ong dan Su-toa-kong-cu.............."
"Apa yang sedang kau lamunkan?", tanya Cui Giok-tin melihat Yap Kay terlongong.
"Aku memang sudah curiga, namun masih belum yakin."
"Apa yang kau curigai?"
"Aku curiga kalau Giok-siau pun anak buah Mo Kau, malah bukan mustahil salah satu dari Su-toa-thian-ong."
Berubah muka Cui Giok-tin, tiba-tiba dia genggam tangan Yap Kay, katanya: "Lukamu sakit tidak?"
Yap Kay manggut-manggut.
"Khabarnya orang-orang Mo Kau menggunakan pisau
beracun." "Memang."
"Kalau benar beracun, kenapa luka-lukamu terasa sakit?"
Jikalau luka-luka kena pisau yang beracun, bekas lukanya tidak akan terasa sakit, hanya terasa linu dan pati rasa.


Rahasia Mo-kau Kaucu Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Yap Kay tertawa, ujarnya: "Umpama benar pisau itu beracun, jiwaku takkan mati keracunan."
"Kenapa?"
"Karena aku ini orang aneh, di dalam darahku ada daya kekuatan untuk menolak kadar racun apapun, terutama
melenyapkan racun orang-orang Mo Kau."
Terbeliak kaget mata Cui Giok-tin, katanya kurang
percaya. "Apakah pembawaan sejak lahirmu?"
Yap Kay geleng-geleng, ujarnya: "Baru akhir-akhir ini saja kurasakan."
"Bagaimana bisa demikian?"
"Karena ibuku dulu adalah salah satu Toa Kongcu dari Mo Kau."
Semakin kaget Cui Giok-tin dibuatnya.
"Dan sekarang?"
"Dia sekarang hanya perempuan awam yang tiada bedanya dengan kau. Kini menghabiskan masa tuanya di suatu tempat yang tenang dan tentram. Hanya satu harapannya supaya
putra kesayangannya selalu pulang menjenguk dirinya."
"Tapi kau jarang pulang?"
"Karena masih ada seorang putra lain yang
mendampinginya." ujar Yap Kay, sorot matanya tertuju ke tempat jauh pula, katanya kalem: "Walau putra yang satu ini bukan anak kandungnya, tapi dia lebih berbakti dari anak kandungnya sendiri."
"Diapun tumbuh seperti dirimu?" tanya Cui Giok-tin ketarik.
"Seperti pula diriku, diapun seorang yang aneh, tapi lebih tampan dari aku, tidak cerewet seperti aku pula, aku
mengharap kelak aku bisa sering kumpul sama dia."
Tiba-tiba Cui Giok-tin tertawa berseri, katanya: "Akupun ingin menemuinya, kalau toh dia adalah saudaramu, maka dia pasti seorang yang baik hati pula." tiba-tiba seperti terbayang akan kehidupan masa depan yang penuh harapan dan bahagia, tak tahan dia bertanya: "Siapakah namanya?"
Maka Yap Kay lantas menyebutkan namanya: "Pho Ang-swat."
ooo)dw(ooo Obat peninggalan Hoa Cu-ceng ada dua bungkus, satu
diminum dan lain dibubuhkan pada luka-luka. Obat yang
harus diminum berdaya lamban, tenang tapi menghanyutkan, seakan-akan mempunyai daya penenang, maka lekas sekali Yap Kay lantas tidur nyenyak.
Waktu dia terjaga pula, hatinya amat gembira, karena
rasa sakit pada luka-lukanya sudah berkurang, malah
terasakan pula bau bubur yang sudah hampir masak dari
luar. Agaknya Cui Giok-tin sedang sibuk di dapur, masak bubur.
Sinar surya menyorot masuk dari jendela, angin pagi
menghembus sepoi-sepoi, tentunya hari ini cuaca cerah.
Yap Kay sudah lupakan segala kerisauan hatinya,
teriaknya lantang: "Buburnya sudah matang belum" Lekas tambah tiga mangkok besar untuk aku!"
"Ya, inilah datang!" sahutan ini dibarengi dengan tersingkapnya kerai, tahu-tahu sebuah mangkok besar
berisi bubur ayam panas mengebul melayang masuk,
'blang...!' menghantam dinding.
Keruan Yap Kay melongo. Bubur berceceran di atas
dinding terus mengalir turun pelan-pelan.
Terdengar seseorang tertawa dingin, dan tahu-tahu
sudah muncul di ambang pintu.
Ih-me-gao (Setan tangis malam). Dia tetap mengenakan
jubah merah lebar dan panjang yang disulami kembang
Botan warna hitam, kelihatannya mirip sekali dengan
sesosok mayat hidup.
Mendadak Yap Kay tertawa kepadanya, sapanya:
"Selamat pagi."
Ih-me-gao menyeringai dingin, katanya: "Memang
kepagian kau bangun, tapi kebetulan malah. Jikalau kau terlambat bangun sekejap lagi, mungkin untuk selamanya takkan siuman lagi."
"Walau tidak kebetulan, kedatanganmu tadi cukup pagi juga." demikian Yap Kay balas berolok-olok.
"Ya, burung yang bangun pagi makan gabah, yang bangun siang makan tahi, jikalau bangunku tidak pagi, bagaimana aku bisa kebetulan kesamplok dengan murid perempuan yang mengkhianati gurunya itu?"
Yap Kay menghela napas, ujarnya: "Agaknya bangun pagi juga tidak beruntung, jikalau dia bangun siang, masakah sepagi ini dia sudah ketemu setan?"
"Kau sendiri yang harus disalahkan."
"Aku yang disalahkan?"
"Kalau dia tidak kepincut oleh ketampananmu, masakah sepagi ini dia sudi keluyuran, kembali ke penginapan itu mencari tahu keadaan Han Tin?"
Mendelu dan berdegup keras hati Yap Kay. Semalam
memang dia pernah tanya Cui Giok-tin. Sudah tentu diapun tidak tahu bagaimana sekarang Han Tin. Walau Yap Kay
hanya tanya sambil lalu, tanpa menyalahkan dia, tidak
sekalian menolongnya, namun hati terasa amat menyesal, sedikit sedih. Karena Yap Kay merasa bersalah dan kurang mampu melindungi orang, maka Cui Gio-tin pun ikut merasa sedih. Namun tak pernah terpikir dalam benaknya bila orang sepagi ini sudah pergi mencari kabar Han Tin.
"Dia kira Giok-siau pasti sudah pergi, namun tak terpikir olehnya bahwa aku justru masih tinggal di sana."
Yap Kay bertanya: "Jadi malam itu dia tidak
membunuhmu?"
"Kau kira dia benar-benar hendak membunuhku?"
"Jadi hanya main-main?"
"Memang, kita hanya bersandiwara, sengaja untuk
memberi kesempatan kepadamu untuk menolong tunanganmu
itu." "Waktu itu kalian sudah tahu kedatanganku?"
"Begitu kau memasuki halaman rumah, dia lantas tahu kedatanganmu."
Yap Kay menghela napas, ujarnya: "Agaknya aku terlalu rendah menilainya."
"Diapun menilaimu terlalu rendah. Dia sangka kau pasti sudah mampus."
"Kali ini ternyata kau memang tidak meleset."
"Tapi jikalau Siangkwan Siau-sian tidak kau serahkan, sekarang juga kau mampus."
"Kali ini kau salah lihat."
"Lebih baik kau mengerti akan satu hal."
"Coba kau katakan."
"Aku suka membunuh orang," ujar Ih-me-gao, "dan orang yang ingin kubunuh adalah kau."
"Aku percaya kau bicara dengan jujur."
"Oleh karena itu jikalau Siangkwan Siau-sian tidak kau serahkan, aku tidak akan menunggu lagi, lebih baik aku tidak usah mendapatkan dia, namun kau harus kubunuh lebih
dahulu." "Nah, sekarang kuharap kaupun tahu akan satu hal."
"Kuberi kau kesempatan bicara."
"Aku tidak suka membunuh orang, tapi manusia macam tampangmu menjadi kekecualian."
Ih-me-gao menyeringai dingin, ejeknya: "Sekarang
apakah kau mampu membunuh aku?"
"Aku tidak bisa, namun dia bisa!", sekali tangan Yap Kay terbalik dan diacungkan, pisau tahu-tahu sudah berada di tangannya. Pisau terbang.
Mengawasi pisau ini, seketika berkerut-kerut muka Ihme-gao, matanya memicing. Sudah tentu dia tahu pisau
terbang ini merupakan warisan Siau-li Tham-hoa yang tak pernah luput mengincar sasarannya.
Yap Kay berkata pula: "Kuharap kau tidak memaksaku turun tangan."
Sebelum dia turun tangan, setiap kali dia pasti
mengeluarkan peringatan ini.
"Aku kenal baik pada pisau ini," ujar Ih-me-gao kalem seraya menatapnya.
"Lebih baik bila kau mengenalnya."
"Sayangnya, kau bukan Siau-li Tham-hoa."
"Benar, memang aku bukan."
"Sekarang kau ini manusia tidak berguna yang terluka parah, untuk membunuh anjingpun pisaumu tidak mampu."
"Pisau ini tidak pernah membunuh anjing, hanya
membunuh manusia yang pantas dibunuhnya."
"Aku ingin mencobanya, apa benar dia bisa membunuhku."
sembari gelak tawa tahu-tahu Ih-me-gao melejit tinggi ke atas menubruk ke arah Yap Kay.
Sepasang tangannya memiliki kepandaian khusus yang
benar-benar ahli untuk memunahkan serangan senjata
rahasia musuh. Tapi spekulasinya kali ini meleset jauh sekali, karena pisau terbang yang satu ini bukan senjata
rahasia. Pisau ini sebetulnya bukan pisau, namun merupakan suatu kekuatan yang tiada lawan dan tiada sesuatu yang tidak bisa ditembus dan dihancurkan olehnya.
Begitu sinar pisau berkelebat, badan Ih-me-gao yang
tengah terapung di tengah udara seketika melorot turun dan jungkir balik, berdentam keras terbanting di lantai. Dia tidak sempat menjerit, juga tidak meronta, tanpa meregang jiwa, mendadak seperti sebuah karung layaknya meringkel lemas di lantai tak bergerak lagi. Tepat pada
tenggorokannya pisau terbang itu menancap.
Pisau terbang yang tiada keduanya di langit dan di bumi, pisau terbang yang tiada bandingannya.
ooo)dw(ooo Yap Kay diam saja duduk di tempatnya, sorot matanya
menampilkan mimik yang sukar diraba, seperti kasihan,
mendadak pula merasa amat kesepian. Memang, membunuh
orang bukan suatu hal yang patut dibuat senang.
Pada saat itulah di luar jendela kumandang tawa
cekikikan semerdu kicauan burung Kenari. Itulah tawa
Siangkwan Siau-sian.
"Pisau terbang yang cepat sekali." demikian pujinya.
Kalau tawa cekikikannya masih kedengaran di luar
jendela, tahu-tahu orangnya sudah melesat masuk ke dalam pintu, ringan dan tangkas, selincah burung Walet.
Yap Kay tetap duduk diam di tempatnya, melirikpun tidak kepada orang. Kapan dan di manapun gadis yang satu ini muncul, tidak akan bikin Yap Kay kaget dan heran lagi.
Seru Siangkwan Siau-sian dengan tepuk tangan: "Aku memang tidak salah menilaimu, selamanya belum pernah
kulihat pisau secepat itu."
Yap Kay mendadak menyentak dingin: "Kau masih ingin melihatnya?"
"Aku tidak ingin, akupun tahu kau takkan membunuhku.
Kalau Siau-li Tham-hoa tahu kau gunakan pisau itu untuk membunuh gadis sebatang kara, kau pasti dimarahi.", lalu dengan cekikikan dia menambahkan pula: "Dan lagi, seharusnya kau berterima kasih kepadaku, kalau kemarin aku tidak suruh Hoa Cu-ceng meninggalkan obatnya, hari ini belum tentu kau mampu membunuhnya."
Yap Kay tidak bisa menyangkal.
"Tapi akupun amat berterima kasih kepadamu," ujar Siangkwan Siau-sian, "yang jelas kau sudah membunuh orang ini demi kepentinganku."
Kata-kata ini laksana cemeti melecut badan Yap Kay.
Meski tahu diri sendiri akan diperalat orang, tetap dia melakukannya juga dengan terpaksa, betapapun hal ini
membuatnya mendelu.
Kata Yap Kay dingin: "Aku sudah membunuh satu orang, tak segan aku membunuh orang lagi."
"Aku percaya!"
"Maka lebih baik kalau kau lekas menyingkir."
"Kau hendak mengusirku lagi?", ujar Siangkwan Siau-sian menghela napas, "masakah parasku lebih jelek dari nona
tos Harpa Iblis Jari Sakti 4 Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo Hati Budha Tangan Berbisa 7

Cari Blog Ini