Ceritasilat Novel Online

Romantika Sebilah Pedang 3

Romantika Sebilah Pedang Karya Gu Long Bagian 3


akah kehadirannya hari ini bukan untuk membunuh orang"
Benarkah dia seseram apa yang diberitakan dalam
dunia persilatan" Cong Hoa merasa dia tidak mirip,
sekalipun wajah senyum tidak senyumnya memang
kelihatan sangat jelek, tapi jelek yang menarik, jelek
yang tidak mendatangkan rasa muak, jelek yang
membuat orang jadi tertarik.
Baru saja Cong Hoa hendak membawa arak
menghampiri Ui sauya yang menarik itu, mendadak dia
merasakan hawa pembunuhan yang sangat kuat
muncul dari seberang jalan.
Diseberang jalan sanapun terdapat sebatang pohon,
dibawah pohon berdiri manusia.
Empat orang manusia.
Seorang sedang minum arak, dua orang sedang
bermain catur dan seorang lagi pemuda berbaju putih
sedang menggunakan sebilah pisau belati untuk
membersihkan kukunya.
Paras muka pemuda itu memang kelihatan seperti
pisaunya, dibalik warna putih terselip semu hijau, hijau
yang sangat menakutkan.
Dari dua orang yang sedang bermain catur, seorang
adalah hwesio, meski alis matanya sudah memutih
namun wajahnya merah bagaikan wajah bayi,
sementara seorang yang lain memakai baju hijau
celana putih, sebuah cincin menghiasi jari tangannya,
cincin itu adalah sebuah batu kemala putih Pek-hangiok
yang tidak ternilai harganya.
Pupil mata Cong Hoa tiba-tiba menyusut kencang,
wajahnya yang munggil pun men-dadak berubah jadi
semu merah. Ternyata orang yang sejak tadi hanya tundukkan
kepala sambil minum arak itu, kini sedang
mendongakkan kepalanya dengan perlahan.
"Bagaimana daganganmu akhir-akhir ini?" Cong Hoa
segera menegur.
"Masih lumayan...sejelek apa pun, masih ada juga
suami istri bodoh yang menyumbang uang minyak
untukku," sahut hwesio beralis putih itu cepat, "Apalagi
mendekati musim gugur, inilah musim makmur bagi
kami." Biarpun dandanannya adalah seorang pendeta,
namun lagak dan cara berbicaranya persis seperti
seorang toa tauke.
"Banyak toa tauke yang tidak menyenangkan, tidak
nyana kau justru amat menyenangkan," Cong Hoa
tertawa terkekeh kekeh.
"Hahahaha... aku memang bernama Yu Ki
(menyenangkan)" hwesio beralis putih itu ikut tertawa.
"Yu Ki" Kau dari marga apa?" senyuman Cong Hoa
mulai nampak agak dipaksakan. "Aku she-Bwee!"
"Bwee" Bwee Yu Ki?"
Sekarang Cong Hoa tidak bisa tertawa lagi. Dia cukup
mengenal nama orang itu.
Dua puluh tahun berselang, dia adalah salah satu dari
empat pelindung hukum kuil Siau-lim-si, bukan saja
tingkah lakunya sedikit sinting bahkan ambisi nya besar
sekali. Waktu itu hongtiang kuil Siau-lim, Un-sim taysu
sudah mengetahui akan rencana busuknya, tapi sayang
tidak punya bukti atau saksi.
Setiap hari Bwee Yu-ki menyembunyikan diri bagaikan
seorang gadis pingitan, jangan lagi mendekatinya, mau
bertemu saja susahnya setengah mati.
Tapi suatu ketika, akhirnya dia masuk perangkap
hingga diusir keluar dari pintu siau-lim-si.
Cong Hoa mengawasi Bwee Yu-ki tanpa berkedip, dia
tidak berani bersikap gegabah bahkan mengendorkan
perhatiannya sekejap pun tidak berani.
Siapa tahu baru saja dia berpaling, bidak catur yang
ada ditangannya telah diletakkan diatas papan catur.
Tapi baru dia letakkan biji bidak tadi, dengan cepat
tangannya kembali mengobrak abrik seluruh bidak yang
ada di papan catur sembari berseru, "Aku mengaku
kalah!" "Kau kalah karena perhatianmu sudah terpecahkan,
mana boleh dianggap satu kekalahan," sahut lelaki
setengah umur berbaju hijau bercelana putih itu cepat.
"Hanya gara-gara salah langkah, seluruh permainan
jadi berantakan, mana boleh dianggap tidak kalah?"
"Betul, apalagi bermain catur sama seperti bermain
pedang, tidak seharusnya pikiran bercabang, kalau
konsentrasi sampai buyar, mana mungkin bisa menjadi
seorang jagoan tangguh?" sambung lelaki setengah
umur penjual gincu dan pupur itu cepat.
"Masih untung kendati sewaktu bermain catur pikiran
taysu bisa bercabang, namun setelah menggenggam
tombak Ciang-liong-ngo-bwee-ciang (tombak lima
bunga bwee penakluk naga), konsentrasi mu tidak
pernah buyar."
Cong Hoa memandang sekejap lelaki setengah umur
berbaju hijau bercelana putih itu, kembali perasaan
keheranan melintas diatas wajahnya.
"Jadi kau dari marga Li?" tanyanya kemudian.
"Bok Cu-li," jawab lelaki itu sambil mengangguk.
"Ooh, jadi kau adalah Li Ki-tong (Li si bocah catur)?"
"Persoalan di dunia ibarat permainan catur, apalah
arti dari sebuah nama?" Li Ki-tong menghela napas
panjang, "Aku tidak lebih hanya seorang anak catur."
Siapa pun tidak akan menyangka kalau orang yang
kelihatannya sangat sederhana ini ternyata adalah
seorang pembunuh bayaran yang paling misterius dan
paling tinggi bayarannya dalam dunia persilatan.
Mungkin saja namanya kalah tenar bila dibandingkan
Bwee Yu-ki, namun tidak akan lebih bijaksana dan welas
kasih daripada dirinya.
... Pembunuh bayaran memang selalu hidup dalam
kesepian dan keterpencilan.
Asal tawaran harganya cocok, tidak ada sasaran
yang ditolak untuk dibunuh.
Konon untuk membantai si pisau kilat Tan Beng, dia
telah menghabiskan waktu selama tujuh tahun enam
bulan lewat tiga hari.
Ketika usaha pembunuhannya gagal maka dia akan
mengulang untuk kedua kalinya, ketika usahanya yang
kedua kembali gagal maka dia akan mengulang yang
ketiga dan seterusnya hingga usaha pembunuhannya
berhasil, untuk membinasakan si pisau kilat Tan Beng, dia
telah melakukan dua puluh lima kali percobaan
pembunuhan. Menghadapi manusia penyabar dan tidak kenal
putus asa macam dia, siapa lagi manusia di dunia ini
yang tidak mampu dibunuhnya"
Biarpun senyuman masih menghiasi bibir Cong Hoa,
namun perasaan hatinya sudah gelisah bagai semut
yang ada di kuali panas. Kelihatannya dalam gerakan
kali ini perkumpulan naga hijau telah mempertaruhkan
jumlah uang yang sangat banyak.
Bagi Cong Hoa, dia tidak lebih hanya mendapat
titipan untuk membawa Cong Hui-miat keluar dari
"penjara bawah tanah", sedang masalah yang
menyangkut kabar angin serta hubungannya dengan
pihak pemerintah, baginya sama sekali tidak ada
sangkut pautnya.
Tapi sekarang, mengapa perkumpulan naga hijau
mengerahkan segenap kekuatan yang dimiliki untuk
menghadapi dirinya"
"Kemarin, bukankah kalian sudah berhasil membunuh
Cong Hui-miat?" kata Cong Hoa kepada lelaki penjual
gincu itu, "Andaikata menginginkan juga nyawaku,
bukankah kalian bisa melakukan bersamaan waktunya"
Kenapa harus menunggu hingga hari ini?"
"Sebetulnya dalam operasi yang dilakukan waktu itu,
kami memang berencana akan membunuh kau dan
Cong Hui-miat," ujar lelaki setengah umur itu hambar,
"Tapi secara tiba-tiba kami tidak berani melakukannya."
"Kenapa?"
"Karena bila kami membunuhmu maka kamilah yang
bakal mampus!"
"Kalian yang bakal mampus?" Cong Hoa
membelalakkan matanya lebar-lebar, "Memangnya
kalian anggap kemampuanku sanggup untuk
membunuh kalian?"
"Mungkin kau memang tidak sanggup, tapi dia
sanggup," kata lelaki itu sambil memandang ke arah
seberang jalan, lamat-lamat perasaan ngeri dan takut
memancar keluar dari balik matanya.
Tanpa berpaling pun Cong Hoa tahu siapa yang
dimaksud, tapi, benarkah hari itu Ui sauya yang telah
menyelamatkan jiwanya"
Tiba tiba dia teringat kembali dengan perkataan Ing
Bu-ok... "Dia mengambil uang milikmu, jangan-jangan
dia telah selamatkan jiwamu?"
Dalam pada itu Ui sauya telah berjalan mendekat
sambil tertawa cengengesan, ketika dekat disamping
gadis itu sapanya,
"Waah, kelihatannya kita memang punya jodoh, baru
berpisah kemarin, hari ini sudah bertemu lagi."
"Ada apa" Apa goanpo mu sudah habis dipakai?"
tegur Cong Hoa sambil tertawa, "Apakah hari ini kau
ingin merampas goanpo milikku lagi?"
"Kau" Tentu saja kau, goanpo siapa lagi yang bisa
dirampas segampang milikmu?"
"Ehmm, betul juga perkataanmu itu," Cong Hoa
mengangguk. "Sincia sudah hampir tiba, kalau tidak merampas
sedikit goanpo lagi, bagaimana caraku merayakan
tahun baru kali ini?" kembali Ui sauya menghela napas.
"Kami mempunyai banyak goanpo, apakah anda
tertarik untuk mengambilnya?" mendadak lelaki
setengah umur itu menawarkan. "Goanpo milik
perkumpulan naga hijau "susah diperoleh", kalau kau
dermakan sembarangan, apa tidak kuatir si naga yang
ada diatas loteng itu mencak-mencak marah?"
Berubah hebat paras muka lelaki setengah umur itu,
baru saja akan berkata lagi, Bwee Yu-ki sudah
memotong duluan, "Kalau soal itu mah kau tidak perlu
kuatir, dia sama seperti kau, percaya akan karma dan
reinkarnasi."
"Lalu berapa banyak goanpo yang telah dia
sediakan untuk membeli karma baikku ini?" tanya Ui
sauya. "Paling tidak cukup untuk membuat sebuah peti mati
dari emas murni untukmu."
"Waah, itu sih kebanyakan, kalau aku hanya pingin
mendapat goanpo yang cukup membuatku merayakan
tahun baru dengan gembira."
"Hmm!" Bwee Yu-ki segera tertawa dingin.
Cong Hoa cukup memahami maksudnya, apakah Ui
sauya masih bisa hidup melewati hari inipun masih
menjadi tanda tanya besar, buat apa dia memikirkan
tahun baru"
Cong Hoa segera berpaling dan mengawasi Ui sauya,
tapi pengemis itu masih menampilkan tampangnya
yang bloon dan acuh tidak acuh.
Say Siau-li masih membersihkan kuku jarinya, tangan
itu masih tetap tenang dan mantap, namun dibalik sinar
mata kejinya kini sudah mulai menampilkan perasaan
gelisah dan tak tenangnya.
Ternyata Ui sauya sedang mengawasi dirinya.
Lamat-lamat otot hijau sudah mulai mengejang keras
dibalik tangannya, seakan dia harus menggunakan
tenaga yang ekstra besar untuk membuat sepasang
tangannya itu tetap tampil mantap.
Gerakannya masih tetap sangat ringan dan lamban,
bahkan gayanya sama sekali tidak berubah, memang
tidak gampang baginya untuk tetap tampil dalam sikap
seperti ini. "Tanganmu amat stabil!" tiba-tiba Ui sauya menegur.
"Memang selamanya stabil," jawab Say Siau-li
hambar. "Seranganmu tentu cepat sekali," kembali Ui sauya
tertawa cengir, "Bahkan setelah golok lepas dari tangan
pun, golok itu masih dapat melakukan pelbagai
perubahan."
"Kau dapat melihatnya?"
"Aku dapat melihat kalau kau melempar pisaumu
dengan menggunakan tiga jari, oleh sebab itu diatas
mata pisau masih tersisa tenaga untuk berputar," kata Ui
sauya, "Akupun dapat melihat kalau kau melempar
pisaumu dengan tangan kiri, mula-mula bergerak lewat
samping lalu baru mengarah ke sasaran."
"Bagaimana mungkin kau dapat melihatnya?"
akhirnya Say Siau-li menghentikan juga kegiatannya
membersihkan kuku jari.
"Ibu jari, jari telunjuk dan jari tengah tangan kirimu
kelewat bertenaga."
"Tajam amat pandangan matamu," Say Siau-li
tertawa, walau tertawanya sangat dipaksakan.
"Pisau bagus!"
"Pisau ini memang bagus!"
"Biarpun pisau itu bagus, sayang kau bukan Li Sinhuan."
Tentu saja Say Siau-li mengerti apa yang diartikan Ui
sauya dengan perkataan itu, tidak heran kalau otot hijau
pada punggung tangannya pada menonjol semua.
Ui sauya tidak menggubrisnya lagi, sambil tertawa dia
berpaling ke arah Li Ki-tong dan menegur, "Mana
pedangmu?"
"Pedangku ada disini."
Bersamaan dengan perkataan itu, Li Ki-tong


Romantika Sebilah Pedang Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

meloloskan sebilah pedang dari balik bajunya ... Pedang
bunga mawar! Biasanya pedang itu disembunyikan di-balik bajunya
sebagai sebuah sabuk, pedang itu memang lembek,
sarung pedangnya juga lembut lagi lembek, warnanya
merah menyala. Warna merah itu tidak ubahnya seperti bunga mawar
merah di musim semi.
"Inikah pedang bunga mawar, pedang yang dulu
digunakan Yan Lam-hui?" Ui sauya memandang
pedang itu sekejap, "Walaupun pedangnya memang
pedang bunga mawar, tapi sayang..."
"Tapi sayang aku bukan Yan Lam-hui?" sambung Li Kitong.
Ui sauya tidak menanggapi, dia hanya tertawa.
"Mana kapakmu?" kini giliran Li Ki-tong yang
mengawasi Ui sauya, "Akupun tahu kalau kau
menggunakan senjata kapak."
"Hahahaha... kapan kau pernah melihat ada orang
mencabut bunga dengan menggunakan kapak?" Ui
sauya tertawa tergelak.
"Mencabut bunga?"
"Memangnya mawar bukan termasuk bunga?"
"Kalau kau ingin mencabut bunga mawar, semestinya
tidak lupa dengan duri ditangkai mawar bukan" Bukan
saja duri itu bisa melukai tanganmu, juga dapat melukai
perasaan hatimu."
"Aku sudah tidak punya perasaan hati yang bisa
dilukai lagi," tukas Ui sauya.
"Tapi tanganmu bisa terbuka!"
"Jika dia melukai tanganku, akupun akan melukai
hatinya," kembali Ui sauya tertawa tergelak.
"Mana mungkin hati pedang bisa terluka?"
"Pedang sih tidak punya, tapi kau punya."
Pertama kali bertemu Ui sauya, Cong Hoa merasa
orang ini agak dogol, tidak pintar, ketika barusan
melihat dia sedang minum arak di bawah pohon,
diapun merasa orang ini menarik, tapi setelah
menyaksikan tampang mukanya sekarang, dia merasa
penampilan orang ini seakan seorang pendekar
kenamaan. Sebetulnya manusia macam apakah dia" Tidak kuasa
Cong Hoa mulai mengamati wajahnya dengan
seksama. Dia mempunyai perawakan tubuh yang tidak
terlampau tinggi, bentuk kepalanya kelewat besar, kulit
mukanya mirip kulit jeruk, dibawah lubang hidungnya
terlihat kumis yang tidak terlalu tebal.
Cara dia tertawa amat istimewa, pun amat menarik
dipandang. Kalau orang lain mulai tertawa, ada yang matanya
tertawa duluan, ada juga mulutnya tertawa duluan.
Tapi jika dia yang mulai tertawa maka hidungnya
yang tertawa duluan, mula-mula hidungnya sedikit
berkerut kemudian dari pipinya pelan pelan muncul
lesung pipitnya yang amat dalam.
Sekarang dia sedang tertawa, dikala lesung pipinya
menampilkan senyuman yang paling dalam itulah si
lelaki setengah umur penjual gincu yang selama ini
hanya berdiri tenang disamping mulai melancarkan
serangan. Sebatang cambuk lemas yang sangat panjang
secara diam-diam melingkar ke tengkuk Ui sauya, persis
seperti lilitan yang menggulung tengkuk Cong Hui-miat
ketika berada di jalan raya tempo hari.
Menanti Cong Hoa menyadari akan hal itu, ujung
cambuk sudah berada tiga inci dari tengkuk Ui sauya,
dalam jarak sedekat ini, biar dia memberi peringatan
pun sudah tidak ada gunanya.
"Plaaak!" cambuk panjang itu sudah melingkar ke
depan. Ternyata yang digulung bukan tengkuk Ui sauya
melainkan buli-buli arak yang berada dalam
genggamannya. Padahal ancaman itu jelas mengarah ke atas tengkuk
dan serangan itu serasa mustahil untuk dihindari, tapi
entah mengapa tiba-tiba saja cambuk itu hanya
berhasil melilit buli-buli arak.
Lelaki setengah umur itu tampak terperanjat, buruburu
dia buang buli-buli itu ke tanah, tapi pada saat
itulah Ui sauya sudah melempar buli-buli itu ke depan,
secepat petir benda itu menerjang ke arah Bwee Yu-ki.
Dalam pada itu Bwee Yu-ki telah mempersiapkan
tombak lima bwee penakluk naganya, begitu ujung
tombak bergetar, segera muncullah lima kuntum bunga
bwee yang menyelimuti angkasa.
Ketika buli-buli itu masuk ke balik pusaran bunga
bwee, seakan kuntum bunga yang diterbangkan angin
topan, seketika membuyar jadi beribu keping dan
berhamburan kemana-mana.
Li Ki-tong tertawa dingin, dia menyerang dengan
pedangnya, serangan dilancarkan cepat lagi tepat
sasaran. Pengalamannya menghadapi pelbagai
pertempuran sengit membuat dia sangat menguasahi
jurus serangannya, setiap gerakan yang digunakan
biasanya akan mendatangkan hasil yang luar biasa.
Ui sauya masih tertawa tapi tangannya sudah mulai
bergerak, gerakannya sangat lamban, pada setiap
gerakannya disertai irama yang aneh, seakan pohon
Yang-liu yang berkibar terhembus angin, sama sekali
tidak terlihat tenaga kekuatan yang bisa merenggut
nyawa. Saat itu pedang bunga mawar dari Li Ki-tong sudah
menusuk ke wajah lawan, tapi ketika ujung pedangnya
hampir menyentuh tubuh lawan, tiba-tiba saja
senjatanya sudah tergulung masuk ke balik pusaran
angin yang sangat aneh itu, seakan sebuah kerang
yang berbentuk tajam digulung oleh ombak samudra.
Tatkala air mulai surut, seluruh tenaga serangan yang
disertakan pun turut hilang lenyap tidak berbekas.
Menyusul kemudian Li Ki-tong seperti mengendus
semacam bau yang sangat aneh, semacam bau yang
anyir seperti bau darah.
Pandangan matanya tiba-tiba berubah jadi selapis
warna merah, kecuali warna merah menyala, nyaris dia
tidak dapat melihat apa-apa, dia pun merasa seakan
ada sekilas bayangan merah yang tiba-tiba bergerak
naik didepan matanya.
Perasaan hatinya terkesiap, dia ingin menyingkirkan
kabut merah itu dengan pedang bunga mawarnya,
menusuk dan menembusnya, tapi reaksinya sudah amat
lamban, gerak-geriknya jadi lambat sekali, menanti
cahaya merah itu hilang lenyap, dia baru menjumpai
kalau tenggorokannya terasa amat kering, mulutnya
terasa getir bercampur pahit.
Disamping itu dia pun merasa amat lelah, sedemikian
lelahnya hingga nyaris mau muntah.
"Trinng!" diiringi dentingan nyaring, pedang bunga
mawar itu sudah rontok ke tanah.
Cong Hoa menghembuskan napas panjang,
tampaknya barusan dia pun merasakan juga tenaga
tekanan yang sangat lembut tapi aneh itu.
Bwee Yu-ki menghembuskan napas panjang, keringat
dingin telah membasahi jidatnya, sekalipun dia sudah
empat puluh tahun belajar silat namun tidak sedikitpun
bisa melihat gerak serangan apa yang barusan
digunakan Ui sauya.
Say Siau-li masih berdiri ditempat sembari
membersihkan kukunya, ternyata sejak tadi dia belum
juga bergerak. "Kepandaian macam apa itu?" gumam lelaki
setengah umur itu sambil mengawasi Li Ki-tong yang
tergeletak di tanah, "Apa benar di dunia ini terdapat
kungfu macam ini?"
Belum habis dia bergumam, tiba-tiba Ui sauya sudah
membalikkan badan mengawasi Say Siau-li.
Seketika itu juga Say Siau-li menghentikan semua
gerak-geriknya.
Lama Ui sauya mengawasi wajahnya, kemudian baru
berkata, "Seandainya Yap Kay yang melepaskan pisau
terbangnya, mungkin hanya satu orang dalam dunia
persilatan saat ini yang bisa menghadapinya."
"Bagaimana dengan pisau terbangku?"
"Paling tidak ada dua orang yang hadir disini saat ini
dapat menghadapi pisau terbangmu itu!" sahut Ui sauya
hambar. "Apa salah satunya dirimu?" tanya Sau Siau-li sambil
menatap tajam lawannya.
"Tentu saja."
Perlahan-lahan Ui sauya membalikkan tubuhnya,
menarik tangan Cong Hoa dan tanpa berpaling lagi
segera beranjak pergi meninggalkan tempat itu.
Bwee Yu-ki dan lelaki setengah umur itu tidak
bergerak, ternyata Say Siau-li juga tidak bergerak,
bahkan tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Pisau terbang sudah siap, tangan pun sudah siap, tapi
pisau terbangnya tidak pernah dilepaskan, dia hanya
mengawasi bekas kaki yang membekas diatas
permukaan salju.
Dari balik paras mukanya yang tanpa perasaan,
tersungging segulung senyuman yang sangat dingin.
Bekas telapak kaki membekas sangat dalam, bekas
kaki yang ditinggalkan Ui sauya, sebab dia harus
menghimpun segenap tenaga yang dimilikinya untuk
bersiap siap menghadapi pisau terbang dari Say Siau-li.
Namun Say Siau-li sama sekali tidak turun tangan, dia
tidak pernah melepaskan pisau terbangnya.
Setelah meninggalkan jalan raya itu Ui sauya baru
mendongakkan kepalanya sambil menghembuskan
napas panjang, tampaknya dia merasa amat kecewa.
... Bukan Cuma kecewa, bahkan sedih dan murung.
"Kau sedang sedih" Murung?" tegur Cong Hoa.
"Ternyata Say Siau-li jauh lebih menakutkan daripada
siapa pun yang telah kujumpai berapa tahun terakhir."
"Kenapa?"
"Sebenarnya aku sudah melihat jelas aliran pisau
terbangnya, aku sudah berusaha memanasi hatinya
agar dia turun tangan," kata Ui sauya, "Jika dia turun
tangan saat ini, mungkin aku masih bisa
menghadapinya, aku punya keyakinan itu."
... Siapa tahu sikap dingin dan tenang dari Say Siau-li
jauh lebih dingin ketimbang pisau terbang yang berada
dalam genggamannya, jauh lebih menakutkan.
"Bila tiga tahun kemudian dia baru turun tangan, aku
tidak tahu apakah masih sanggup untuk
menghadapinya?"
Walaupun di pagi hari matahari masih bersinar cerah,
tapi begitu lewat tengah hari cuaca sudah mulai
berubah, ketika malam menjelang tiba, angin dan salju
mulai berhamburan.
Bunga salju beterbangan diseluruh angkasa,
hembusan angin puyuh membuat seluruh benda serasa
bergoncang keras.
Dalam cuaca separah ini, tidak seorang pun yang
bersedia keluar dari rumah.
Tentu saja Tu Bu-heng juga tidak bisa keluar dari
rumah, sejak tadi dia sudah memasak air panas untuk
mandi, kemudian setelah berganti pakaian bersih, dia
membaringkan diri diatas bangku berselimut bulu
domba, meneguk arak hangat dan menikmati bunga
salju yang beterbangan diluar jendela.
"Menikmati bunga salju yang beterbangan di
angkasa, benar-benar merupakan satu perbuatan yang
amat seni," tentu saja perkataan semacam ini hanya
diucapkan mereka yang mengenakan pakaian tebal,
duduk dalam ruangan yang hangat dan menikmati arak
wangi yang panas.
Coba kalau kau melepaskan seluruh pakaiannya
kemudian melemparkan dia ke tengah jalan dan
menyuruhnya minum secangkir air dingin, lihat saja
apakah dia masih sanggup mengucapkan perkataan
tersebut. Meskipun Tu Bu-heng tidak mengucapkan
"perkataan" itu, tapi dia dapat merasakan juga bahwa
apa yang dialaminya sekarang benar benar merupakan
satu kenikmatan.
Dia tidak pernah mau membagi kenikmatan
semacam itu dengan orang lain, termasuk juga Un-hwee
sianseng. "Lewat berapa hari lagi musim salju akan tiba," Tu Buheng
memandang ke tempat kejauhan, "Waktu itu,
persoalan tersebut pasti sudah beres!"
Setiap kali teringat akan hal ini, dengan penuh riang
gembira dia akan meneguk habis isi cawannya
kemudian dengan cepat meme-nuhi lagi cawannya
dengan arak. Inilah tuangan araknya yang paling akhir dalam masa
kehidupannya sekarang.
Gaya tubuhnya masih sama persis seperti ketika dia
menuang arak itu, senyuman masih menghiasi
wajahnya, akan tetapi sepasang matanya sudah tidak
bersinar, pupil matanya lambat laun berubah jadi pucat
keabu-abuan. Arak masih tetap memenuhi cawannya, tidak setetes
pun yang tumpah keluar, sekarang biar kau membalik
cawan araknya pun arak dalam cawan tidak akan
tumpah. Karena arak dalam cawan itu sudah membeku jadi
es. Seluruh wajah Yu Bu-heng dilapisi juga oleh selembar
salju yang amat tipis.


Romantika Sebilah Pedang Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Suhu udara didalam ruangan itu seakan anjlok secara
tiba-tiba, entah sejak kapan, entah datang dari mana,
tahu tahu selapis kabut telah menyelimuti tempat itu.
Ketika kabut sudah menyelimuti seluruh ruangan,
lamat lamat terlihat ada sesosok bayang manusia, tapi
seakan juga bayangan manusia itu terbentuk dari kabut
yang membeku. Bayangan manusia ditengah kabut itu melayang
perlahan dihadapan Tu Bu-heng, sepasang matanya
yang berada ditengah kabut terlihat seakan cahaya
bintang yang muncul ditengah hujan.
Biarpun kemampuan Un-hwee sianseng mengolah
arak sangat hebat, dia sendiri tidak pernah minum arak
yang dihangatkan.
Seperti juga koki yang sangat jarang menikmati
hidangan yang dimasak sendiri.
Kamar tidurnya tidak lebih besar dari kamar milik Tu
Bu-heng, tapi jauh lebih nyaman, waktu itu dia pun
sedang minum arak.
Dia tidak sedang menikmati bunga salju di luar
jendela, dia sedang membaca buku, sejilid buku yang
tebal, buku cerita "Kim-ping-bwee" yang menceritakan
lakon Phoa Kiem-lian dan Seebun Khing.
Ketika capai membaca, dia letakkan kembali
bukunya dan pejamkan mata untuk beristirahat sejenak.
Tapi ketika dia membuka matanya kembali, dijumpai
seluruh kamar tidurnya telah diselimuti kabut yang amat
tebal. Dia berpaling mengawasi sekejap daun jendelanya
yang terbuka, sudah pasti kabut masuk melalui jendela
itu, dia bangkit berdiri dan menutup rapat daun jendela
ruangannya. "Dalam udara sedingin ini masa ada kabut setebal
ini?" Bukan hanya ada kabut, disitu pun ada seseorang.
Sesosok bayangan manusia sedang duduk ditempat
dimana dia membaca buku tadi.
Biar kaget bercampur tercekat, Un-hwee sianseng
masih bersikap sangat tenang.
"Sobat, siapa namamu" Ada urusan apa datang
kemari?" Orang dibalik kabut masih duduk tidak bergerak disitu.
Perlahan-lahan Un-hwee berputar menuju ke depan
meja, menanti dia dapat melihat jelas wajah orang
dalam kabut itu dia nampak terperangah, mulutnya
melongo seperti akan mengucapkan sesuatu, namun
tidak sepotong suara pun yang bisa diucapkan.
Dia sama seperti Tu Bu-heng, berdiri kaku dan tidak
mampu bergerak lagi, wajahnya tiada rasa kaget atau
ngeri, yang tertinggal hanya perasaan tidak percaya.
Tidak percaya apa"
Tidak percaya orang itu bisa membunuhnya"
Atau tidak percaya orang itu bisa muncul di tempat
itu" Kabut sudah mulai menipis, orang dibalik kabut juga
telah lenyap tidak berbekas, saat itulah terdengar
seseorang menghela napas.
"Aaaai! Rahasia hanya akan membawa kematian
bagi seseorang, mengapa kalian masih juga tidak
mengerti?"
Ucapan telah lenyap, kabut pun sudah buyar.
Di dalam ruangan hanya tersisa tubuh Un-hwee
sianseng yang sudah membeku serta sejilid kitab yang
sangat tebal, buku cerita Kim-ping-bwee.
Apa yang dimaksud rahasia"
Rahasia adalah sesuatu yang bisa kau nikmati
seorang diri. Mungkin dia bisa membuat kau gembira, mungkin
bisa membuat kau menderita, apa pun dia, seluruhnya
menjadi milikmu seorang.
Bila dia adalah penderitaan, hanya kau seorang yang
menanggung. Bila dia adalah kegembiraan, kau juga
yang akan menikmati tanpa membagi rasa dengan
orang lain. Bahkan tidak untuk sahabat karibmu sekalipun.
Sebab jika ada orang kedua yang mengetahui
rahasiamu, maka rahasia tersebut sudah tidak bisa
dianggap sebagai rahasia lagi.
Ada sementara rahasia memang benar-benar
merupakan semacam kenikmatan.
Ketika kau selesai bersantap, selesai mandi air panas,
mengenakan baju yang lebar, duduk seorang diri di kursi
malas yang empuk, memandang sinar senja diluar
jendela kemudian teringat kembali rahasiamu dimasa
lalu, dari hati kecilmu akan muncul semacam perasaan
hangat yang tidak terlukiskan dengan kata...
Bila rahasiamu hanya satu macam, maka simpanlah
baik-baik untuk selamanya, atau cepatlah kau ungkap
keluar rahasia tersebut.
Tapi jika rahasiamu adalah kau mengetahui "rahasia
dari seseorang" atau "rahasia dari suatu gerakan
gelap", kuanjurkan kepadamu, lebih baik cepatlah
mencari tempat yang sangat jauh, sangat tersembunyi
untuk menyembunyikan diri, makin cepat makin baik.
Lebih baik lagi jika kau dapat bersem-bunyi
sepanjang hidupmu.
Kalau tidak, bagaimana akhir dari nasibmu, tentunya
kau lebih jelas dari siapapun.
"Rahasia" tidak mungkin bisa dinikmati bersama
orang lain. Cong Hoa duduk dibawah emperan rumah, dia
sudah lama sekali duduk disitu.
Selama masih ada pekerjaan yang bisa dilakukan,
tidak nanti dia bisa duduk ditempat itu.
Ada orang yang lebih suka kelayapan diluaran,
menyaksikan orang lain berlalu lalang, melihat anjing liar
berkelahi disudut jalan, ketimbang mengunci diri
didalam rumah. Cong Hoa adalah type manusia semacam ini. Tapi
sekarang, satu-satunya perbuatan yang bisa dia
kerjakan hanya duduk disitu, sebab dia butuh mencari
sebuah tempat yang tenang untuk memikir ulang seluruh
peristiwa yang dialaminya selama ini.
Lagipula malam sudah semakin larut, udara pun
dinginnya setengah mati, bukan saja dijalanan tidak
dijumpai sesosok manusia pun, bahkan anjing anjing
liarpun entah sudah pada sembunyi dimana.
Dia sudah hidup selama dua puluh tahun, sudah
menjalani dua puluh kali musim dingin, tapi belum
pernah dia alami musim dingin sedingin sekarang.
Seluruh permukaan bumi seolah sudah kembali ke
jaman es dulu, semuanya beku, semuanya dingin
setengah mati. Lamunan Cong Hoa pun terbawa kembali ke setiap
kunci persoalan yang menyangkut peristiwa aneh ini.
Sepintas lalu, kelihatannya Cong Hoa lah yang
berkemauan pergi mencari Tu Bu-heng, tapi bila
dipikirkan kembali dengan seksama, dia seakan sejak
awal sudah terjerumus ke dalam sebuah perangkap.
Kepicikan Tu Bu-heng, kegemarannya bermain judi
dan segala sesuatu tentang Tu Bu-heng, dia peroleh dari
sang pelayan yang ada di Sim-cun-wan.
Maksud pelayan itu, manusia macam Tu Bu-heng
sudah sepantasnya mendapat ganjaran.
Maka Cong Hoa pun pergi mencari Tu Bu-heng dan
menantangnya bertaruh, karena itu diapun mulai
memanjat pohon, minum arak sambil kongkouw dan
pembicaraan pun mulai berlangsung.
Dengan termangu Cong Hoa menerawang
memandang kegelapan malam, pikirannya terbayang
kembali ke wajah sang pelayan yang dijumpainya di
Sim-cun-wan. Sepintas lalu pelayan itu kelihatan seperti orang di luar
garis, tapi Cong Hoa percaya kalau kejadian ini
merupakan satu jebakan maka pelayan itu pastilah
umpannya. Bila ingin mengungkap kejadian yang sesungguhnya
dari kejadian ini, dia mesti turun tangan dimulai dari sang
umpan. Berpikir sampai disitu, bagaikan kelinci yang terkena
panah, Cong Hoa segera melompat bangun dan
berlarian menuju keluar.
Dia tidak ambil perduli sekarang sudah jam berapa,
dia pun tidak mau tahu apakah pelayan itu sudah
tertidur atau belum.
Dia tidak berani membuang waktu lagi, biar sekejap
pun, dia takut jika kenyataan sesuai dengan apa yang
dibayangkan maka keselamatan jiwa pelayan itu pasti
terancam. Dia harus secepat mungkin menemukan pelayan itu,
kalau tidak... Kebanyakan pelayan yang bekerja di rumah makan
adalah para bujangan, sebab mereka harus berdiam
didalam rumah makan, disamping lebih leluasa, pun
sekalian menjaga rumah makan itu.
A-ci juga tinggal didalam rumah makan, meskipun
malam sudah kelam, jarak dengan fajar pun semakin
dekat, namun A-ci tidak bisa tidur, dia kelewat gembira
sehingga tidak sanggup memejamkan matanya.
Selesai tutup warung tadi, dia bermain judi dengan
berapa orang rekannya, hari ini adalah hari
keberuntungannya, dia berhasil menang besar.
Baru pertama kali ini dia berhasil menang besar, dia
berencana besok malam akan menantang berapa
orang rekannya untuk sekali lagi bertaruh.
Kemudian dia pun mencari Siau Tho-hong untuk
kembali ke dalam biliknya yang kecil, memasak berapa
macam sayur, dan mereka berdua bersembunyi disitu
sambil berpacaran.
Kejadian semacam ini memang selalu menjadi
kejadian yang paling menggembirakan, apalagi bila
membayangkan tubuh Siau Tho-hong yang begitu
bahenol, Aci merasakan bagian tubuh tertentunya mulai
mengalami perubahan.
Dia benar-benar ingin sekali kalau sekarang adalah
besok malam. Disaat bagian tubuh tertentunya berubah mencapai
"puncak" nya itulah, tiba-tiba Cong Hoa menerjang
masuk ke dalam kamarnya.
Begitu menyaksikan kemunculan gadis itu, buru-buru
Aci menutupi "tubuh bagian tertentu" nya dengan
sepasang tangan, sementara paras mukanya berubah
jadi merah padam bagaikan buah apel yang ranum.
Begitu bertemu dengan Aci, perasaan Cong Hoa pun
ikut lega sekali, setelah mengatur sebentar napasnya
yang tersengal, ujarnya sambil tertawa, "Kalau lelaki
memikirkan perempuan, itu adalah kejadian lumrah,
sejak dulu hingga sekarang selalu begitu. Buat apa
pipimu jadi semu merah?"
"Aku... aku..." Aci gelagapan dan tidak tahu apa
yang harus diucapkan.
"Biarpun kaum cewek suka jual mahal, tapi uang jauh
lebih menarik ketimbang orangnya," Cong Hoa mulai
duduk dihadapan Aci, "Asal ada uang, biar ditengah
malam buta pun kau tetap bisa menyeretnya keluar dari
balik selimut, dan dia tetap akan melayanimu sambil
tertawa." Betul, kenapa tidak terpikir sejak tadi" Aci betul betul
menyesal, tahu begini, mungkin saat ini dia sudah
berbaring disamping Siau Tho-hong, bahkan mungkin
bisa dapat menya-lurkan hasratnya sejak tadi dan tidak
perlu merasa jengah seperti saat ini.
Akhirnya "perubahan" yang dialami Aci mulai
mereda dan pulih jadi normal kembali, dia menuangkan
secawan arak untuk Cong Hoa.
"Walaupun aku tahu kalau cara kerjamu rada sedikit
sinting, tapi aku benar-benar tidak habis mengerti, ada
urusan apa kau menerjang masuk ke dalam kamarku
ditengah malam buta begini macam seekor kuda liar?"
"Menurutmu?"
"Tidak perlu ditebak lagi, siapa sih yang bisa menebak
cara kerja serta sepak terjangmu!"
"Sebenarnya aku ingin mengucapkan beberapa
patah kata yang enak didengar, tapi kau pasti tidak
akan percaya."
"Belum tentu," sahut Aci sambil meneguk araknya,
"Aku tidak pernah melarang orang lain mengucapkan
kata-kata pujian padaku!"
"Terus terang aku takut kau mati secara mendadak!"
kata Cong Hoa dengan wajah serius.
Begitu mendengar perkataan itu, Aci pun balas
memandangnya dengan serius, lewat berapa saat
kemudian dia baru menghela napas panjang.
"Apakah siang tadi aku sudah salah menghitung
uang rekeningmu?"
"Tidak, malah untung aku!"
"Jadi aku telah menyalahimu?"
"Mana mungkin?"
"Atau temanmu kurang senang terhadapku?"
"Tidak ada!"
"Kalau tidak ada urusan, kenapa kau malah
menyumpahi aku cepat mati?"
Cong Hoa tidak menjawab, dia hanya mengawasi
wajahnya, lewat sesaat kemudian ia baru mengambil
cawan araknya, menghirup setegukan kemudian baru
berbisik, "Cepat beritahu urusan mengenai Tu Thian,
sebetulnya waktu itu kehendakmu sendiri atau ada
orang menyuruh kau berbuat begitu?"
"Tu Thian" Kau maksudkan si pelit?" tanya Aci tak
habis mengerti.


Romantika Sebilah Pedang Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Benar!"
"Tentu saja maksudku, juga maksud semua orang."
"Apa artinya?"
"Dia kelewat pelit, kelewat itungan, setiap orang yang
pernah dirugikan selalu ingin mengerjai dirinya."
"Benarkah begitu?"
"Kelihatannya kau seperti tak percaya?"
"Aku hanya curiga, curiga ada orang minta
bantuanmu untuk mengerjai aku."
"Mengerjaimu?" Aci tertawa terbahak-bahak, "Yaa,
memang ada satu orang."
"Siapa?" berbinar sepasang mata Cong Hoa.
"Belum lahir," jawab Aci cepat, "Asal dia adalah
manusia hidup, tidak seorang pun berani mengerjai
dirimu." Kelihatannya cara inipun tidak berjalan lancar, Cong
Hoa merasa sedikit kecewa bercampur sedih. Tapi ada
satu hal yang membuatnya sedikit terhibur, merasa agak
lega, ternyata Aci bukan "umpan" seperti apa yang
semula dibayangkan.
Persahabatan tidak pernah dinilai dari kaya miskin
terhormat tidaknya seseorang, juga bukan dinilai dari
tinggi rendahnya jabatan serta status sosial seseorang.
Teman tetap teman.
Teman adalah mereka yang bisa mendatangkan
kehangatan setiap kali kau terbayang akan dirinya
ditengah bekunya cuaca.
Dalam hati kecil Cong Hoa pun lamat-lamat terasa
munculnya secerca perasaan hangat.
Betapa pun tebalnya bunga salju yang beterbangan
ditengah jalan, betapa pun kencangnya angin dingin
yang berhembus lewat, betapa dinginnya hawa beku
yang merasuk ke tulang sumsum melalui lapisan
pakaiannya, namun Cong Hoa tidak merasa kedinginan.
Baru saja nyaris dia "kehilangan" seorang sahabat,
kehilangan sahabat yang mana pun merupakan
kejadian yang sangat tidak diharapkan Cong Hoa.
Bunga salju yang tertimpa cahaya bintang
membiaskan sinar putih keperak perakan, begitu putih
sehingga mirip buih ombak yang memecah ditepian.
Segumpal salju jatuh diatas kepala Cong Hoa,
melayang lewat diujung hidungnya, perlahan ia
membersihkan bunga salju itu, seakan dia sedang
membersihkan debu yang mengotori dedaunan.
BAB 9. Ikan dalam jala.
Bintang sudah makin memudar, malam sudah
mencapai pada ujungnya.
Dari balik kegelapan malam yang masih menyelimuti
angkasa, secerca cahaya merah tampak bersinar dari
ufuk timur. Sinar fajar memang selalu mendatangkan cahaya,
kegembiraan dan pengharapan bagi umat manusia.
Tapi yang dibawa Lu Siok-bun hanya kesedihan,
hanya duka dan nestapa.
"Kembali fajar telah menyingsing," gumam Lu Siokbun
sambil duduk di pembaringan dan mengawasi
malam hari yang segera berakhir, "langit pasti akan
terang benderang!"
Langit tentu saja akan terang benderang, sama
seperti manusia tetap akan mati juga.
... Bila perjalanan hidup manusia hanya singkat, jadi
orang buat apa berpikiran sempit dan berhati picik"
Ketika angin berhembus lewat, embun pagi baru saja
melayang naik dari balik kegelapan malam, membasahi
pepohonan bunga bwee.
Kini bintang telah lenyap di balik kabut.
Hari ini adalah bulan sepuluh tanggal tiga. Sebuah
hari yang amat sederhana.
Namun bagi Lu Siok-bun, tanggal itu merupakan
tanggal yang paling menyakitkan hatinya, membuat dia
pedih, membuat dia selalu tenggelam dalam kenangan.
Dua puluh tahun sudah lewat.
Hari ini pada dua puluh tahun berselang, didalam
sebuah hutan bunga bwee yang persis seperti hutan
ditempat ini, dalam sebuah rumah kayu yang tidak
beda dengan rumah sekarang, dia dan dia telah
menanamkan kenangan, sebuah kenangan yang
penuh kegembiraan, sebuah kenangan yang penuh
penderitaan. Hari sudah terang tanah, minyak lentera sudah
mengering, asap hijau yang membumbung tinggi tak
ubahnya seperti embun dipagi hari.
Lu Siok-bun sudah semalaman suntuk duduk terpekur
ditempat itu. Semalam tanpa tidur sudah cukup membuat badan
jadi kurus, apalagi ditambah kenangan pahit yang
sangat membekas dalam hatinya, bagaimana mungkin
tidak membuatnya lesu dan layu"
"Cinta" terkadang membuat orang terbuai, membuat
orang mabuk, tapi terkadang mendatangkan juga
perasaan sedih yang menyayat.
Bagaimana pula rasanya "cinta yang tidak
kesampaian?"
Mungkin hanya orang yang pernah merasakan,
pernah mengalaminya, baru bisa memahami
bagaimanakah rasanya waktu itu.
Bunga bwee ditengah kabut pagi nampak jauh lebih
dingin, menambah kemurungan, menambah
kemasgulan. Apakah bunga bwee di sana sama dinginnya" Sama
menambah kemurungan dan kemasgulan"
Apakah orang yang ada disana sama seperti orang
yang ada disini, dipenuhi kenangan, dipenuhi perasaan
rindu yang meluap"
Siapa bilang tidak ada setan di dunia ini" Siapa
bilang" Didalam hutan di belakang pepohonan tampak
kabut tebal menyelimuti permukaan bumi, ada manusia
dibalik kabut, orang itu berada didalam hutan bunga
bwee. Bayangan yang sedang melayang ditengah kabut,
apakah sukma gentayangan yang untuk memasuki
pintu neraka pun ditolak"
Tubuh Nyoo Cing seakan telah menyatu dengan
kabut dingin yang menyelimuti permukaan bumi,
mulutnya serasa terbenam dalam kabut, hidungpun
terbenam didalam kabut.
Yang tersisa saat itu hanya sepasang matanya yang
memancarkan sinar tajam.
Cahaya dibalik matanya sudah tidak secerah tadi,
kini sinar matanya dibalut dalam kepedihan dan
kesedihan. Sekarang matanya sedang menyapu perlahan
sekeliling tempat itu, setiap pohon bunga bwee, setiap
jengkal tanah, tidak satupun yang dilewatkan.
Menyusul kemudian secerca senyuman lega
terpancar dari balik matanya.
Bunga bwee masih mekar menyambut datangnya
sinar fajar, rumah kayu kecil masih berdiri kokoh diatas
permukaan bumi.
Pemandangan masih sama seperti dulu, tapi
bagaimana dengan manusianya"
Nuyoocing nyaris sudah menelusuri setiap jengkal
tanah disekitar sana, sudah menginjak setiap kuntum
bunga bwee yang ada dalam hutan itu.
Setiap pohon, setiap jengkal tanah yang ada disana
telah mendatangkan kenangan yang tak sanggup
dihadapinya, kenangan masa lalu yang sangat
memabukkan. Embun pagi telah membasahi bajunya, setiap ayunan
langkahnya segera menimbulkan suara mencicit dari
sepatu yang dia kenakan, alas sepatu telah basah oleh
embun pagi. Hari ini, hari ini pada dua puluh tahun berselang, untuk
pertama kalinya dia mengajak Lu Siok-bun mendatangi
tempat ini. Pada malam itulah dia telah menanamkan bibit
cintanya dalam rahim sang kekasih.
Pada hari itu juga, untuk pertama kalinya dia
mengeluarkan senjata kait perpisahan andalannya.
Nyoo Cing membongkar sekeping papan dari
permukaan tanah, dari lubang dibawah papan itu
mengeluarkan sebuah peti besi yang mulai berkarat.
Ternyata didalam peti besi itu tersedia korek api.
Ketika Nyoo Cing menyulut obor, Lu Siok-bun pun
menyaksikan sebuah senjata yang belum pernah
dijumpai sebelumnya.
Dibawah cahaya api, didalam peti besi itu tersimpan
sebilah senjata yang sangat aneh bentuknya,
membiaskan cahaya dingin yang amat tajam,
membuat alis mata Lu Siok-bun segera berkerut.
"Benda apakah itu?" tidak tahan dia bertanya
dengan tubuh gemetar.
"Sebilah senjata, senjata yang pernah digunakan
ayahku semasa hidupnya," Nyoo Cing menjelaskan
dengan wajah sedih, "Inilah satu satunya barang yang
diwariskan ayah kepadaku, tapi berulang kali dia orang
tua berpesan, kalau bukan mengancam jiwamu, jangan
sekali kali kau gunakannya bahkan menyinggung nama
senjata inipun jangan."
"Sudah banyak orang persilatan yang kujumpai,
pelbagai jenis senjata tajam telah kusaksikan," kata Lu
Siok-bun, "Tapi belum pernah kusaksikan bentuk senjata
seaneh ini."
"Tentu saja kau tidak pernah menjumpainya, sebab
senjata langka semacam ini tiada duanya dikolong
langit." "Sebenarnya senjata ini sebilah pedang atau senjata
kaitan?" "Sebetulnya sebilah pedang, tapi ayahku telah
memberikan sebuah nama istimewa padanya, senjata
ini disebut Kait perpisahan."
"Kalau memang sebuah kaitan, seharusnya senjata itu
disebut kaitan, kenapa harus ditambahi dengan kata
perpisahan?"
"Sebab bagian tubuh manapun yang terkena kaitan,
bagian itu pasti akan menimbulkan perpisahan," ucap
Nyoo Cing sambil mengamati senjatanya, "Bila dia
mengait tanganmu maka tanganmu akan
mengucapkan selamat berpisah, bila kakimu yang
digaet maka kakimu akan menyampaikan salam
perpisahan."
"Bila tenggorokanku yang terkait, apakah aku akan
mengucapkan salam perpisahan dengan dunia ini?"
"Benar."
"Mengapa kau harus menggunakan senjata yang
begitu kejam, begitu sadis?"
"Karena aku tidak ingin berpisah," Nyoo Cing
menatap wajah Lu Siok-bun lekat lekat, "Aku tidak ingin
berpisah denganmu."
Nada ucapannya mengandung semacam perasaan
lembut yang nyaris mendekati penderitaan.
"Aku sengaja menggunakan kait perpisahan karena
aku ingin selalu berkumpul denganmu, sepanjang hidup
sepanjang masa selalu berkumpul denganmu,
selamanya tidak akan berpisah lagi."
"Aku sengaja menggunakan kait perpisahan karena
aku ingin selalu berkumpul denganmu," kata-kata inilah
yang selama dua puluh tahun selalu melekat dalam
benak Lu Siok-bun.
Dia sudah menyimpan selama dua puluh tahun
dalam hatinya. Dua puluh tahun berselang, ketika dia pergi
membawa kait perpisahan, tidak sepatah kata pun
yang dia katakan, dia lebih suka seorang diri tetap
tinggal ditempat itu, menantinya kembali dalam
keadaan putus asa, daripada memaksanya untuk tetap
tinggal disitu.
Sebab dia tahu, dia harus melakukan tugasnya,
melakukan kewajibannya, jika dia tetap tidak
mengijinkannya pergi maka dia pasti akan tersiksa
sepanjang masa, menderita dan menyesal sepanjang
hidup. Dia lebih rela dirinya yang merasakan
penderitaan ini daripada mencegah lelakinya
melakukan pekerjaan yang dia anggap harus
dikerjakan. ... Dibutuhkan berapa besar keberanian bagi seorang
wanita untuk melakukan hal tersebut"
Hari ini, walaupun tidak ada cahaya matahari, salju
pun belum turun, suhu udara terasa sedikit lebih hangat.
Lu Siok-bun mendongakkan kepalanya memandang
cuaca, sinar fajar telah menyelimuti seluruh bumi.
Dia menghela napas panjang, baru saja akan turun
dari ranjang, mendadak teringat olehnya, diwaktu biasa
pada saat seperti ini Lan It-ceng selalu berada di hutan
bunga bwee sambil merawat bunga, mengapa sampai
saat ini belum nampak juga dia munculkan diri" Apakah
semalam dia tidur agak larut sehingga pagi ini tidak
dapat bangun"
Atau dia sakit"
Dengan perasaan sangsi Lu Siok-bun turun dari
ranjangnya, mengenakan mantel dan keluar dari pintu
kamarnya. "Lan toako!"
Tiada jawaban, di ruang tamu pun tidak nampak Lan
It-ceng. Dia berjalan menuju ke depan pintu lalu perlahanlahan
mengetuk pintu kamarnya.
Suasana didalam kamar sangat hening, sekali lagi Lu


Romantika Sebilah Pedang Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Siok-bun mengetuk, kali ini dia mengetuk lebih keras.
Tetap tiada jawaban, suasana tetap hening.
Dia membuka pintu kamar lalu melongok ke dalam.
Seprei pembaringan masih tertata rapi, seakan tidak
pernah digunakan semalam, atau malam tadi dia tidak
tidur" Apakah dia terjaga sepanjang malam"
Lu Siok-bun masuk ke dalam kamar, celingukan
kesana kemari, tapi makin memandang keningnya
makin berkerut.
Gejala semacam ini belum pernah dijumpai
sebelumnya, selama dua puluh tahun Lan It-ceng
merawat dan menjaganya, belum pernah sekalipun dia
melakukan tindakan yang membuatnya merasa kuatir.
Ke mana dia pergi" Sepagi ini kenapa sudah tak
nampak batang hidungnya"
Baru saja akan beranjak keluar, menda-dak Lu Siokbun
menemukan sepucuk surat, sepucuk surat yang
ditujukan kepadanya.
Membaca isi surat itu Lu Siok-bun merasakan matanya
mulai basah, lelehan air mata tak terbendung lagi, dari
ujung matanya mengalir turun ke bawah.
"Dua puluh tahun pun sudah terlewatkan, mengapa
kau tidak menggubris aku hanya untuk dua tahun yang
terakhir?" gumam perempuan itu, "Lan toako, buat apa
kau harus mengingkari janjimu?"
Nyoo Cing perlahan-lahan berjalan keluar dari hutan.
Mengunjungi kembali tempat lama, tiada perubahan
yang terpancar dari balik wajahnya.
Kendatipun dalam hati dia merasa amat sedih, amat
pedih dan sangat menderita, namun dia tak akan
memperlihatkan diatas wajahnya.
Siapa pun itu orangnya, bila dia pernah merasakan
penderitaan dan siksaan seperti apa yang dialaminya,
sudah pasti mereka pun akan belajar bagaimana
menyembunyikan perasaan didalam hati.
Pelbagai perasaan disembunyikan di dalam hati.
Tapi sayang perasaan sama seperti arak, semakin
dalam kau simpan dia, semakin lama kau simpan dia
maka dia akan berubah lebih kental, berubah lebih
keras. Dia berjalan sangat lamban, sudah tiga kali dia
mengelilingi tempat itu.
Angin masih berhembus, udara terasa sangat dingin,
sedingin mata pisau, mata pisau yang sedang menyayat
kulit wajahnya.
Perlahan dia menembusi hutan bunga bwee, diamdiam
menghitung kuntum bunga yang mekar sepanjang
ranting. Berapa banyak kuncup bunga yang telah mekar"
Berapa kuncup yang belum mekar" Dia mengetahui
dengan sangat jelas.
Dia menghentikan langkah kakinya sambil mengawasi
sekuncup bunga bwee, didalam kelopak bunganya
masih tersisa air embun kemarin malam.
Butiran embun yang bening, sebening biji mata "nya",
setegas sorot matanya.
... Bila saat ini usiaku sepuluh tahun lebih muda, aku
pasti akan berkata begini, pasti akan kuusahakan
dengan pelbagai cara untuk menahanmu, minta
kepadamu untuk membuang jauh jauh semua
persoalan, tinggal bersamaku disini dan hidup
berbareng hingga akhir jaman.
Perkataan itulah yang ia dengar sebagai
perkataannya yang terakhir.
Waktu itu, seandainya dia benar-benar berbuat
demikian, perasaan hati Nyoo Cing mungkin malah jauh
lebih lega, tapi dia begitu dingin, dia begitu tenang.
... berapa besar pengorbanan yang harus dilakukan
seseorang untuk memperoleh ketenangan dan sikap
sedingin itu"
Perasaan hati Nyoo Cing sedang sakit, namun tiada
pancaran perasaan diatas wajah.
Selama dua puluh tahun dia telah berusaha dengan
sepenuh tenaga, mencari dengan pelbagai cara, tapi
tetap gagal untuk menemukan jejak Lu Siok-bun.
Sejak perempuan itu diculik perkumpulan naga hijau,
dia seolah hilang lenyap tidak berbekas, sejak itu dia
tidak pernah lagi mendengar kabar beritanya.
Masih hidupkah Lu Siok-bun" Atau dia sudah mati"
Persoalan inilah yang amat merisaukan perasaan hati
Nyoo Cing. Berapa hari berselang, Ti Cing-ling telah muncul
secara tiba-tiba bukan saja membawa kabar berita
tentang dirinya, juga mengajak serta satu satunya putri
Nyoo Cing... Hoa U-gi.
Lu Siok-bun kawin lagi dengan Hoa Ciok, dia pasti
berbuat demikian karena suatu alasan yang sulit
dijelaskan. Dia dapat memahami perasaan hatinya, dia pun
mau memahami situasi yang sedang dihadapinya,
kendatipun hingga kini belum sempat bersua, asal sudah
memperoleh berita mengenainya, dia sudah merasa
lebih dari cukup.
Nyoo Cing menghela napas panjang, dia melangkah
masuk ke dalam rumah kayunya, menyusul kemudian
dia menjumpai seseorang yang membuatnya terkesiap,
membuat hatinya amat gembira.
Orang itu duduk di bangku depan meja, dia
mengenakan jubah panjang berwarna biru, baju bagian
lengan kirinya nampak kosong melompong.
Waktu itu dia sedang mengawasi Nyoo Cing yang
berdiri didepan pintu dengan pandangan tidak
berkedip. Nyoo Cing balas menatapnya, memandang tanpa
bicara. Entah berapa saat sudah lewat, akhirnya Nyoo Cing
berkata, "Aku masih ingat, kau pun pernah berjanji akan
menantiku disini?"
"Benar."
"Sungguh tidak kusangka, janji ini baru bisa terpenuhi
setelah dua puluh tahun kemudian."
"Akupun tidak menyangka!"
"Sahabat lama kembali berjumpa, perjumpaan ini
tidak boleh tidak ada arak!"
"Aku membawa arak!"
Orang berlengan tunggal itu mengeluarkan sebotol
arak kemudian meneguknya satu tegukan, setelah itu
dia baru melemparkan botol araknya ke tangan Nyoo
Cing. Nyoo Cing tidak banyak bicara, dia sambut botol itu,
meneguk isinya kemudian baru menyapa, "Dua puluh
tahun tidak berjumpa, apakah penghidupanmu cukup
baik?" "Baik sekali, akupun sudah terbiasa hidup dengan
tangan sebelah."
Dengan termangu Nyoo Cing mengawasi lengannya
yang kutung, lengan itu kutung karena terbabat oleh
kait perpisahan, senjata andalannya.
Tentu saja orang berlengan buntung itu tidak lain
adalah Lan It-ceng.
Dengan amat seksama Lan It-ceng mengawasi Nyoo
Cing, mengamatinya dari ujung kepala hingga ke ujung
kaki. Dua puluh tahun sudah lewat, ada berapa banyak
dua puluh tahun dalam kehidupan manusia"
Usia tidak meninggalkan bekas diwajah Nyoo Cing,
yang ada hanya telah terhapusnya sikap angkuh dan
jumawa yang pernah dimilikinya.
Nyoo Cing menatap pula Lan It-ceng lekat lekat, dia
merasa jagoan pedang yang disebut orang sebagai sinwansin-kiam (pedang mata sakti) Lan toa sianseng ini
sudah tidak kegagah dan kekeren dulu.
Sekarang dia ibarat seekor singa ompong yang hanya
bisa mendekam diatas bukit sambil menyaksikan kelinci
liar berlarian dihadapannya, mau menerkam sayang
sudah tidak punya tenaga.
Jalannya usia telah meninggalkan bekas yang amat
mendalam ditubuhnya.
Walaupun saat itu matahari sudah berada diatas
angkasa, namun cuaca serasa kelam, seakan selapis
kabut abu abu menyelimuti seluruh permukaan bumi.
Kedua orang itu berdiri saling berhadapan bagaikan
patung arca, lama, lama sekali, akhirnya Lan It-ceng
baru berkata, "Dulu kau hanya seorang opas desa yang
tidak punya nama, tapi sekarang kau sudah menjadi
seorang raja muda, seorang pembesar yang
berkedudukan tinggi."
"Kau keliru, aku masih tetap Nyoo Cing yang dulu!"
"Tapi sayang aku sudah bukan Lan It-ceng yang
dulu." "Kau tetap Lan It-ceng yang dulu, berjalannya usia
telah menyelimuti cahaya diwajahmu tapi tidak
menutupi kegagahanmu, bila perlu, kau pasti bisa
bangkit kembali seperti yang dahulu."
"Sungguh?" berbinar sepasang mata Lan It-ceng.
"Kapan aku pernah berbohong kepadamu?"
"Sekarang, saat ini kau sedang berbohong, sekarang
kau sedang berpura-pura!"
Nyoo Cing tidak menanggapi, dia hanya mengawasi
Lan It-ceng tanpa menjawab.
"Bukankah kau sangat ingin mengetahui kabar
beritanya?" seru Lan It-ceng agak emosi, "Bukankah kau
ingin tahu bagaimana keadaannya sekarang"
Mengapa kau tidak bertanya?"
Nyoo Cing tahu siapakah "dia" yang dimaksud,
sahutnya tetap tenang, "Aku sangat memahaminya."
"Memahaminya?" Lan It-ceng tertawa dingin,
"penderitaan selama dua puluh tahun hanya ditukar
dengan kata memahami?"
Nyoo Cing tidak menjawab, padahal dalam dua
puluh tahun terakhir dia sendiripun hidup dalam
penderitaan, apa pula yang dia peroleh"
...Kata-kata yang menyakitkan hati mengapa selalu
mendatangkan perasaan kecut" Mengapa membuat
jantung orang berdebar keras"
Nyoo Cing mengambil cawannya, meneguk habis isi
cawannya kemudian baru berkata, "Kau bilang akan
menungguku disini, tapi ketika aku kembali, bukan saja
tidak menjumpai kau, bahkan Lu Siok-bun pun ikut
lenyap..." ditatapnya wajah rekannya lekat lekat,
"Pernahkah aku bertanya kepadamu apa yang telah
terjadi" Pernahkah aku mencurigaimu?"
"Tidak pernah."
"Tahukah kau mengapa" Sebab aku percaya
kepadamu, seperti aku memahami perasaan Lu Siokbun."
Lan It-ceng membungkam, apa yang diucapkan
rekannya memang satu kenyataan, ucapan sejujurnya
yang muncul dari sanubari.
"Kau tidak menungguku disini, diapun lenyap tidak
berbekas, dua kejadian yang cukup membuatku sewot,
naik darah dan marah marah, tapi kenyataannya aku
tidak berbuat begitu, tahukah kau mengapa" Karena
kau adalah sahabatku."
Kata "sahabat" kedengaran begitu lembut, begitu
hangat, begitu menawan tapi juga begitu menakutkan.
Sahabat tidak bedanya dengan arak, dapat
membuat orang mabuk, dapat membuat orang pikun,
dapat membuat orang melakukan kesalahan.
Walaupun sahabat adalah "orang dekat" mu, tapi
sebagian besar merupakan juga "musuh" mu, kalau
bukan sahabatmu, dari-mana dia bisa mengetahui
"segala sesuatu" tentang dirimu"
Tapi dalam dunia dewasa ini jarang sekali ada
sahabat yang benar benar mau sehidup semati
denganmu. Suami istri saja jarang yang mau sehidup semati,
apalagi teman"
Walaupun dari dulu hingga sekarang amat jarang
ada teman yang benar benar mau sehidup semati
bukan berarti teman semacam ini sama sekali tidak ada.
Tapi ada satu hal yang tidak bisa disangkal, yang bisa
membuat kau "sedih", "menderita" dan "menyesal"
biasanya hanya "sahabat".
Lan It-ceng tertawa, ketika Nyoo Cing mulai
mengucapkan kata "kau adalah sahabatku", dia mulai
tertawa, mengawasi Nyoo Cing sambil tertawa.
"Jadi kau menegur aku karena tidak menjalankan
kewajiban sebagai seorang sahabat, menyalahkan
aku karena tidak sepenuh tenaga melindungi Lu Siokbun"
Terlebih menyalahkan dia karena pergi
meninggalkan tempat ini dengan begitu saja?"
"Cuaca saja gampang berubah, bunga gampang
gugur, pohon gampang mengering, apalagi manusia?"
"Tahukah kau sepeninggalmu dari sini, apa yang telah
terjadi ditempat ini?"
"Mungkin sedikit yang kuketahui."
"Mungkin sedikit" Seberapa sedikitnya?"
"Sepeninggalku dari situ, meski orang-orang
perkumpulan naga hijau datang membuat onar dan
mungkin saja kalian sempat bertarung, tapi mengapa
kalian tidak mencoba untuk kabur" Memangnya secara
tiba-tiba kalian lupa kalau bisa menggunakan kaki untuk
kabur?" "Aaai...! " Lan It-ceng menghela napas panjang,
"kalau sudah tahu siapa yang muncul waktu itu,
mungkin sekarang kau akan bersyukur karena kami
masih tetap hidup."
"Oya?"
"Tidak usah menyebut yang lain, cukup menyinggung
salah satu diantaranya saja sudah cukup membuat hati


Romantika Sebilah Pedang Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang bergidik."
"Siapa?"
"Seng Sam!"
Begitu mendengar nama tersebut, mendadak Nyoo
Cing memperlihatkan semacam sikap yang sangat
aneh. Seng Sam mungkin saja bukan bermarga Seng dan
tidak menempati urutan ketiga, orang lain menyebutnya
Seng Sam lantaran orang yang pernah dia "permak"
biasanya hanya ada "tiga" hal yang bisa "tersisa".
Ketiga hal yang mana"
Orang yang sudah dia "permak" biasanya akan
berada dalam kondisi.... kehilangan nyawa, rambutnya
rontok semua, matanya dicongkel keluar, hidung lidah
telinga nya dipotong orang, gigi dan kuku sudah
dicabut keluar, kulit sudah dikelupas, anggota badan
dikutungi bahkan tulang belulang pun dipukul hingga
hancur. Lalu tiga hal apa pula yang tersisa dari manusia
macam begini"
Biasanya tidak pasti, bagian mana yang ingin
disisakan Seng Sam maka bagian itulah yang akan
disisakan. Selesai "permak" seseorang, biasanya dia akan
meninggalkan tiga jenis barang untuk orang itu.
"Aku ini penuh welas kasih," seringkali Seng Sam
berkata demikian kepada orang lain, "Aku sangat
perasa dan tahu penderitaan orang, maka aku paling
tidak suka melakukan pembantaian hingga seakar
akarnya." Malah dia sering berkata begini, "Apa pun yang
kulakukan, aku selalu akan menyisakan sedikit untuk
orang lain, malah terkadang yang kutinggalkan bukan
Cuma tiga macam benda."
Suatu kali dia memang meninggalkan lebih dari tiga
macam benda untuk orang yang baru "dipermak" nya
yaitu selembar rambut kepala, sebiji gigi, sebiji kuku dan
sebuah lubang dari hidung.
"Seng Sam?" dengan perasaan terperanjat Nyoo
Cing berseru, "sungguh tidak kusangka perkumpulan
naga hijau berhasil mengundangnya."
"Bukan mengundangnya, tapi dia memang anggota
perkumpulan naga hijau," Lan It-ceng menerangkan,
"bahkan dia adalah Tongcu dari Jit-gwee-tong (ruang
bulan ke tujuh) dari Cing-liong-hwee."
"Tampaknya perkumpulan naga hijau benar benar
merupakan sarang naga gua harimau," keluh Nyoo
Cing. "Sebetulnya aku adalah seekor naga, tapi dalam
perkumpulan naga hijau aku tidak lebih hanya
dianggap sebagai seekor tikus," mendadak terdengar
seseorang berkata.
Suara itu berasal dari luar pintu.
Suara itu selain tinggi melengking, bahkan sangat tak
enak didengar, seperti suara tikus yang keinjak ekornya.
Ketika Nyoo Cing berpaling, seseorang telah berdiri di
depan pintu. Orang itu tampak seperti seorang yang ramah dan
saleh, wajahnya bundar, waktu tertawa matanya hanya
kelihatan bagaikan sebuah garis.
Sekarang dia sedang tertawa, sepasang matanya
kelihatan merapat bagai sebuah garis, garis panjang itu
sedang memandang ke arah Lan It-ceng.
Mendengar suara orang itu, paras muka Lan It-ceng
seketika berubah hebat, begitu bertemu orangnya, dia
seakan membeku karena tercebur ke dalam kubang
salju, bukan Cuma putih memucat bahkan mulai
gemetar. Menjumpai orang itu, Nyoo Cing pun ikut tertawa,
sepasang matanya seakan membentuk sebuah garis
panjang juga. "Kenapa orang lain menyebutmu sebagai seorang
ahli permak?" tegur Nyoo Cing kemudian. "Karena aku
memang tukang permak."
"Kau pandai permak apa?"
"Manusia!"
"Manusia juga perlu dipermak?"
"Tentu saja, justru benda yang paling perlu dipermak
di dalam dunia ini adalah manusia!"
"Betul juga perkataanmu itu," ternyata Nyoo Cing
setuju dengan pendapatnya, "Tempat sampah perlu
dibersihkan, tahi juga perlu dibersihkan, kalau semua
tidak disapu bersih, bagaimana mungkin dunia ini bisa
bersih dari segala yang berbau, tapi memang manusia
yang perlu dikerjakan nomor satu, sebab ada sementara
orang bila tidak segera dibersihkan, kujamin dunia ini
pasti akan bertambah bau, bukan begitu Seng Sam
sianseng?"
"Tepat sekali," jawab Seng Sam, "Tapi siapa yang kau
maksud?" "Yang kumaksud adalah mereka yang telah
melanggar hukum tapi tidak mau mengakui
kesalahannya, mereka yang berhati busuk, pinginnya
membongkar rahasia orang lain, serta mereka yang jelas
harus dihukum seberat beratnya tapi masih saja dapat
keluyuran secara bebas."
"Manusia macam begitu memang patut dibersihkan,"
agak berubah wajah Seng Sam, "Tapi ada semacam
orang yang terlebih harus dibereskan lebih dulu."
"Manusia macam apa"'
"Orang mampus, jika orang mati tidak dibereskan,
mana ada tempat di dunia ini bagi orang lain?"
Suhu udara tampaknya anjlok berapa derajat
semenjak kemunculan Seng Sam ditempat itu, hawa
dingin yang membeku serasa mencekam setiap sudut
ruangan. "Hari ini merupakan kunjunganmu yang pertama
disini, boleh tahu siapa yang akan kau permak" Siapa
yang akan kau bereskan?" tanya Nyoo Cing.
"Sebenarnya sih Cuma satu orang, tapi kalau
ditambah seorang lagi pun tidak masalah."
"Satu orang harus dibersihkan, dua orang tetap harus
dibersihkan, bahkan sepuluh orang pun tetap harus
dikerjakan, kalau toh memang bermaksud melakukan
pembersihan, jumlah sebetulnya bukan masalah."
"Tepat sekali!"
"Yang menjadi persoalan sekarang adalah dengan
kekuatanmu seorang, bagaimana mungkin kau bisa
membereskan kami berdua?"
Seng Sam hanya tertawa, sama sekali tidak
menjawab. Bangunan rumah kayu yang sebetulnya kokoh dan
kuat itu tiba tiba hilang lenyap bersamaan dengan
senyuman dari Seng Sam tadi.
Biarpun kau memiliki peralatan yang paling bagus pun
mustahil bisa membongkar rumah kayu itu dalam waktu
singkat, tapi kenyataannya sekarang, rumah kayu itu
sudah roboh terbongkar hanya dalam waktu sekejap.
"Orang mampus, jika orang mati tidak dibereskan,
mana ada tempat di dunia ini bagi orang lain?"
Suhu udara tampaknya anjlok berapa derajat
semenjak kemunculan Seng Sam ditempat itu, hawa
dingin yang membeku serasa mencekam setiap sudut
ruangan. "Hari ini merupakan kunjunganmu yang pertama
disini, boleh tahu siapa yang akan kau permak" Siapa
yang akan kau bereskan?" tanya Nyoo Cing.
"Sebenarnya sih Cuma satu orang, tapi kalau
ditambah seorang lagi pun tidak masalah."
"Satu orang harus dibersihkan, dua orang tetap harus
dibersihkan, bahkan sepuluh orang pun tetap harus
dikerjakan, kalau toh memang bermaksud melakukan
pembersihan, jumlah sebetulnya bukan masalah."
"Tepat sekali!"
"Yang menjadi persoalan sekarang adalah dengan
kekuatanmu seorang, bagaimana mungkin kau bisa
membereskan kami berdua?"
Seng Sam hanya tertawa, sama sekali tidak
menjawab. Bangunan rumah kayu yang sebetulnya kokoh dan
kuat itu tiba tiba hilang lenyap bersamaan dengan
senyuman dari Seng Sam tadi.
Biarpun kau memiliki peralatan yang paling bagus pun
mustahil bisa membongkar rumah kayu itu dalam waktu
singkat, tapi kenyataannya sekarang, rumah kayu itu
sudah roboh terbongkar hanya dalam waktu sekejap.
Nyoo Cing juga sedang mengawasi ke delapan
sembilan orang lelaki setengah baya itu, dia mengawasi
mereka dengan seksama, mengawasi setiap bagian
tubuh mereka dengan teliti, seakan seorang lelaki
hidung bangor yang sedang mengawasi seorang gadis
perawan yang sedang bertelanjang bulat.
Sejak Seng Sam muncul disitu sampai rumah kayu itu
dibongkar orang, Lan It-ceng hanya duduk tenang
ditempat semula tanpa melakukan suatu gerakan pun,
dia hanya mengawasi gerak-gerik orang-orang itu tanpa
komentar. Apapun yang dilakukan orang-orang itu, Lan It-ceng
merasakan bulu kuduknya pada bangun berdiri, peluh
dingin jatuh bercucuran membasahi tubuhnya, bahkan
sekarang, setiap jengkal otot dan daging tubuhnya
mulai menyusut, termasuk pantatnya pun mulai
mengejang keras.
Namun bila kau perhatikan mimik mukanya, dia
seakan tidak menunjukkan perubahan perasaan apa
pun. Terhadap cara kerja dan sikap yang diperlihatkan
anak buahnya, Seng Sam merasa sangat puas.
Dia senang melakukan pekerjaan semacam ini, tapi
dia tidak senang menjumpai kejadian diluar dugaan, kini
jumlah anak buahnya sudah tidak banyak, dia berharap
mereka masih bisa hidup hingga usia delapan puluh
tahun. Kendatipun situasi saat ini sudah berada dalam
kendalinya, akan tetapi dia tetap tidak ingin melakukan
sedikit kesalahan pun, bagi mereka yang melakukan
pekerjaaan semacam ini, kesalahan sedikitpun berarti
akan mendatangkan bencana kematian.
Oleh sebab itu dia ingin mengajukan pertanyaan
terlebih dulu, mencari keterangan sejelas jelasnya
sebelum bertindak lebih jauh, tentu saja yang menjadi
sasaran pertanyaan adalah Nyoo Cing.
"Benarkah sahabatmu bernama Lan It-ceng?"
"Benar!"
"Jadi kau adalah Nyoo Cing?"
"Benar."
"Putra dari Nyoo Heng?"
"Rasanya begitu."
"Tidak bakal salah?"
"Rasanya tidak."
"Kalau begitu tampaknya aku tidak salah masuk dan
tidak salah mencari orang," Seng Sam menghembuskan
napas panjang. "Kau memang tidak keliru," Nyoo Cing turut menghela
napas, "Kau tidak salah tempat, juga tidak salah orang,
tapi kau telah melakukan satu kesalahan."
"Kesalahan apa?"
"Kau tidak seharusnya membongkar rumah kayu ini."
Begitu dia selesai bicara, tidak menunggu Seng Sam
memahami maksud ucapannya, dia sudah mulai
melakukan tindakan.
Serangan yang dilancarkan Nyoo Cing bukan
ditujukan ke arah Seng Sam, juga bukan terhadap ke
delapan sembilan orang lelaki setengah baya itu, tinju
nya langsung disodokkan ke tubuh Lan It-ceng.
Mengapa dia malah menyerang Lan It-ceng"
Tindakan diluar dugaan yang dilakukan Nyoo Cing ini
seketika membuat Seng Sam serta anak buahnya
melengak, tidak habis mengerti, dengan wajah melongo
mereka saksikan kepalan dari Nyoo Cing menghajar
perut Lan It-ceng.
Pukulan itu sangat kuat. Bukan saja Lan It-ceng dibuat
melengak, dia bahkan terperanjat dan melongo. Dia
benar benar tidak habis mengerti, mengapa Nyoo Cing
malah menghajarnya"
Dalam keadaan begini dia hanya bisa mengawasi
pukulan itu bersarang telak diatas perutnya... sebuah
pukulan yang amat bertenaga.
Ketika melayangkan pukulannya itu, gaya Nyoo Cing
tak ubahnya seperti seorang jagal yang sedang
mengayunkan goloknya.
Sedemikian keras pukulan itu, mungkin termasuk
pukulan paling bertenaga yang pernah dilancarkan
Nyoo Cing sepanjang hidupnya.
Dia harus memukul dengan sepenuh tenaga, bila
kekuatannya berkurang sedikit saja maka
pengharapannya tak akan tercapai.
Apa pengharapannya dengan pukulan itu"
Tatkala tenaga pukulan Nyoo Cing yang sangat kuat
itu hampir menghantam perut Lan It-ceng, mendadak
tenaga serangannya yang keras berubah jadi lunak,
jotosan berubah jadi dorongan.
Rupanya dia sedang melontarkan tubuh Lan It-ceng
dengan sekuat tenaga, melemparnya keluar dari
kepungan, melemparnya ke dalam hutan bunga bwee.
Tubuh Lan It-ceng bagaikan sebuah batu kerikil yang
dilempar ke tengah udara, langsung meluncur ke dalam
hutan lebat itu.
Menanti Seng Sam sadar akan apa yang telah terjadi,
bayangan tubuh Lan It-ceng sudah lenyap dibalik


Romantika Sebilah Pedang Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pepohonan yang lebat.
Terdengar Nyoo Cing berkata sambil tertawa,
"Sekarang, kau pasti sudah tahu bukan dimana letak
kesalahanmu?"
Paras muka Seng Sam saat ini persis seperti seseorang
yang mulutnya sekaligus dijejali tiga butir telur ayam.
Ke delapan sembilan orang lelaki setengah baya itu
tetap berdiri ditempat, sebelum ada perintah dari Seng
Sam, mereka tak bakalan melakukan suatu gerakan.
Perlahan lahan Nyoo Cing duduk kembali, mengambil
cawan araknya dan seteguk demi seteguk menikmati
isinya. "Sewaktu kau munculkan diri tadi, aku masih kuatir
dengan cara apa bisa menghantar Lan It-ceng keluar
dari tempat ini, sungguh tidak disangka rekan rekanmu
itu telah membantu aku," kata Nyoo Cing sambil
tertawa, "Hal ini menjadi pelajaran bagimu bahwa
segala kejadian pasti ada sisi untungnya diluar sisi rugi."
Angin dingin berhembus lewat membawa udara
yang sangat dingin, tapi seakan membawa pula keluh
kesah yang datang dari utara.
Lamat-lamat dari balik hutan pohon bwee itu seakan
terdengar juga suara jeritan ngeri yang memilukan hati.
Dalam situasi dan kondisi tertentu, reaksi yang
ditunjukkan setiap orang ketika mendengar suatu suara
selalu berbeda-beda.
Bila kau sedang berjalan seorang diri disebuah lorong
sempit ditengah malam buta, bila scara tiba-tiba
mendengar suara rintihan, apa reaksimu waktu itu"
Ada orang akan tercengang, ada orang
terperangah, ada orang ingin tahu, ada orang tidak
acuh bahkan ada orang merasa gembira atau bahkan
menangis. Tapi terlepas bagaimana reaksi dan perubahan mimik
wajah orang-orang itu, yang pasti tidak akan seperti
reaksi yang ditunjukkan Nyoo Cing saat ini.
Sorot mata yang semula terang cemerlang tiba tiba
saja berubah jadi redup, alis matanya yang tebal mulai
berkerut bahkan hidungnya ikut berkerut.
Bibirnya yang digigit kuat-kuat kini mulai terluka dan
berdarah, otot-otot hijau di tengkuknya pada menonjol
keluar semua bagai kawat baja.
Paras mukanya juga berubah, berubah menjadi
warna yang kelabu, warna yang mendekati "kematian".
... Warna kematian sesungguhnya berbentuk warna
apa" ... Benarkah warna kematian termasuk satu jenis
warna yang tidak bisa dilukiskan dengan perkataan"
Ketika berkumandang suara jeritan ngeri yang
terbawa hembusan angin utara, paras muka Nyoo Cing
mulai berubah hebat.
Suara itu datang dari balik hutan pohon bwee, bukan
saja Nyoo Cing sangat mengenal suara tersebut bahkan
tahu suara itu berasal dari mulut siapa.
Sebenarnya dia mengira dengan tenaga
dorongannya yang kuat tadi, dia telah mengirim Lan Itceng
menuju ke suatu tempat yang aman.
Paling tidak dia mengira hutan pohon bwee itu
merupakan sebuah tempat yang cukup aman.
Tapi kenyataannya"
Ketika hembusan angin utara membawa suara jerit
kesakitan, Nyoo Cing sadar bahwa dugaannya ternyata
keliru besar. Inilah kesalahan kedua yang pernah dilakukan
sepanjang hidupnya. Dua kali kesalahan yang dilakukan
dari tempat yang sama. Kesalahan pertama adalah
meletakkan Lu Siok-bun ditempat ini, tempat yang
dianggapnya paling aman.
Untuk kedua kalinya lagi lagi dia melakukan
kesalahan yang sama, dia mengira hutan pohon bwee
itu merupakan tempat yang "aman", oleh karena itulah
dia mengirim Lan It-ceng ke tempat itu.
Kini dia hanya bisa "bersumpah", sejak hari ini tidak
akan melakukan kesalahan lagi, kesalahan yang
pertama sudah membuat dia harus menuai penderitaan
selama dua puluh tahun.
Lalu bagaimana dengan kesalahan yang kedua"
Apakah dia harus menjalani penderitaan lagi selama
dua puluh tahun" Tidak!
Nyoo Cing tidak ingin mengalami hal semacam ini,
dia sudah tidak punya cukup waktu untuk menanti
selam dua puluh tahun lagi.
Oleh sebab itu begitu jeritan ngeri berkumandang,
tubuhnya bagaikan anak panah yang terlepas dari
busur telah menerjang menuju ke dalam hutan.
Pada saat tubuhnya melambung ke udara itulah,
Seng Sam beserta anak buahnya ikut melambung ke
tengah udara. Tubuh Seng Sam beserta anak buahnya segera
membentuk selembar jaring ditengah udara.
- selembar jaring yang sukar ditembus.
- selembar jaring yang dipenuhi ancaman bahaya.
Menyusul kemudian lembaran jaring itu menggulung
ke tubuh Nyoo Cing, persis seperti sebuah jala yang
menjaring seekor ikan.
Ketika sang ikan masuk ke dalam jaring, tak seekor
pun akan berhasil meloloskan diri.
Tapi bagaimana dengan Nyoo Cing"
Kini sang jaring sudah mulai mengencang, Nyoo Cing
terjebak di dalam jaring itu.
Mungkinkah sang ikan yang terjaring dalam jala
manusia berhasil meloloskan diri"
BAB 10. Pesanggrahan Tabib sakti.
Manusia macam apakah orang yang sedang sakit"
Penjelasannya sangat banyak, ada yang bilang:
Orang sakit adalah seseorang yang sedang menderita
suatu penyakit.
Tentu saja keterangan semacam ini sangat masuk
diakal, namun penjelasannya masih kurang begitu pas,
kurang tepat. Terkadang orang yang tidak menderita suatu
penyakit pun disebut orang sakit.
Seperti misalnya, orang yang terluka, orang yang
keracunan, apakah mereka tidak bisa dimasukkan ke
dalam kategori orang sakit" Tentu saja tidak mungkin
bukan" Setiap jaman, dalam dunia persilatan pasti akan
muncul pendekar besar, pahlawan, pencuri sakti
bahkan seorang pendekar wanita.
Dalam setiap kasus pasti akan terjadi pula proses
kelahiran, ternama, terluka akhirnya kematian, oleh
karena itu dalam setiap jaman pasti akan muncul juga
seorang tabib sakti.
Tabib sakti yang muncul dari jaman mana pun selalu
disanjung dan dihormati orang, akan tetapi tidak akan
ada yang lebih termashur daripada Hong Coan-sin.
Hong Coan-sin adalah tabib sakti jaman itu, namun
namanya masih sering disebut orang pada jaman
berapa generasi kemudian.
Manusia macam apakah dia" Mengapa begitu
termashur namanya"
Karena ilmu tabibnya yang luar biasa" Atau karena
orangnya" Dia disebut orang Tabib sakti, tentu saja ilmu
pengobatannya luar biasa, tapi nama besarnya bukan
ilmu pengobatan, juga bukan dirinya.
Pengobatan adalah "pekerjaan"nya.
Pesanggrahan Coan-sin-ie-khek dibangun bersandar
pada bukit. Pintu gerbangnya berada di kaki bukit, begitu masuk
ke pintu depan maka sejauh mata memandang yang
terlihat hanya jalan besar yang tegak lurus beralaskan
batu granit hijau.
Dikedua sisi jalan besar tumbuh aneka pohon, bunga
dan rumput, disitu pun banyak dipelihara unggas
terbang yang langka..
Ketika tiba diujung jalan maka sampailah di
pesanggrakan lapis pertama, Tee-it-tiong-khek.
Tee-it-tiong-khek merupakan sebuah ruangan yang
besar, besar sekali, ditengah ruangan yang sangat besar
itu terdapat sebuah kolam air yang tidak terhitung kecil,
tentu saja dalam kolam dipelihara pelbagai jenis ikan.
Disebelah kiri ruang utama itu terdapat sebuah meja
yang amat panjang, di belakang meja duduk empatlima
orang gadis berbaju putih.
...Semua penghuni pesanggrahan Coan-sin-ie-khek
memang mengenakan pakaian seragam berwarna
putih. Meja panjang itu disebut para penghuni
pesanggrahan pengobatan sebagai "Leng-ho-so"
(tempat mengambil nomor).
Semua pasien yang datang ke pesanggrahan itu
untuk memeriksakan penyakitkan, mereka wajib menuju
ke Leng-ho-so untuk mendaftarkan diri kemudian
mengambil nomor urut sesuai dengan urutan terdepan.
Didalam ruang utama banyak tersedia kursi dan meja,
selesai mendaftarkan diri dan mengambil nomor urut
mereka bisa menunggu dalam ruangan itu sambil
menunggu panggilan.
Bila nomornya dipanggil, maka pasien bisa masuk ke
ruang dalam melalui sebuah pintu disisi kanan ruangan.
Setelah masuk ke dalam pintu, akan terlihat sebuah
serambi panjang yang dibangun sangat indah dan
artistik. Diujung serambi panjang itu terdapat sebuah
ruangan, biasanya didalam ruangan itu sudah siap dua
sampai tiga orang pemuda berbaju putih.
Mereka semua sudah masuk ke dalam pesanggrahan
semenjak kecil, disana mereka belajar pelbagai cara
pengobatan, biasanya orang-orang itu dimulai sebagai
petugas yang menanyai para pasien, bagian tubuh
mana yang kurang enak, bagian tubuh mana yang
terluka" Kemudian berdasarkan kasus penyakit yang diderita,
para pasien dikirim ke ruang "bagian penyakit dalam"
atau ruang "bagian penyakit luar".
Yang disebut bagian penyakit dalam adalah
pelbagai penyakit yang menyangkut isi tubuh
seseorang, diantaranya termasuk juga soal keracunan.
Sebaliknya bagian penyakit luar meng-urusi luka luar,
seperti misalnya terluka boleh bacokan senjata, tulang
patah, diantaranya termasuk juga "operasi wajah".
Masuk ke bagian mana pun, pasien akan dikirim ke
dalam sebuah ruangan yang ditata secara apik dan
mewah. Ruangan ini disebut para penghuni pesanggrahan
sebagai ruang pemeriksaan.
Para pasien biasa bila datang memeriksakan
penyakitnya, mereka akan diperiksa oleh murid
pesanggrahan kemudian akan dibukakan resep disitu.
Dengan membawa resep obat, pasien harus pergi
dulu ke loket pembayaran, setelah membayar semua
ongkos, resep itu baru bisa ditukar dengan obat-obatan.
Tapi bagi pasien yang sakitnya agak parah, mereka
harus mondok disitu untuk perawatan.
Kamar pasien pun ada yang besar, ada yang kecil,
ada yang mewah ada pula yang sederhana
Tapi yang pasti, sekali pasien mondok di
pesanggrahan tersebut, bersiap-siaplah mengeluarkan
sejumlah uang untuk beaya perawakan disitu.
Karena itulah tatkala Seng Sam mulai membentuk
jaringan yang kuat untuk mengurung Nyoo Cing, tentu
saja tanpa memperdulikan apa pun Nyoo Cing bersiapsiap
untuk "adu jiwa".
Bila tidak menyaksikan sendiri jalannya pertarungan di
rumah kayu kecil itu, sudah pasti tidak akan percaya
dengan keteguhan hatinya untuk berjuang mati-matian.
Sengitnya pertempuran disitu sudah tidak bisa
dilukiskan lagi dengan kata-kata.
Pertempuran itu merupakan pertempuran paling
tragis yang pernah terjadi dalam dunia persilatan
dewasa ini. Sambaran angin pukulan yang menderu-deru diselipi
cahaya berkilauan, menghantam ke arah Nyoo Cing
secara membabi buta.
Kalau hanya pukulan, kenapa bisa muncul cahaya
berkilauan"
Kalau bukan golok yang menyambar, kenapa
cahaya bisa berkilauan"
Jaring yang terbentuk dari rajutan benang telah
membelenggu Nyoo Cing di tengah udara.
Nyoo Cing tidak bisa bertarung, tapi dia bisa
menghindar, namun berapa besar yang bisa dia
hindari" Namun mana mungkin dia mandah dipukul"
Maka terpaksa dia harus mengadu nyawa.
Dia tidak menghindar, dia sengaja membiarkan
tubuhnya dihantam seorang lelaki setengah baya yang
berada disisi kirinya.
Pukulan itu keras sekali.
... Berapa orang yang mampu menerima pukulan
sedemikian kerasnya"
Nyoo Cing seakan lupa kalau kepalan pun sama saja,
bisa dipakai untuk membunuh, dia seolah lupa kalau
tubuhnya bukan terbuat dari besi atau baja.
Tubuhnya segera terkena bogem mentah, dihajar
lelaki setengah baya itu bertubi-tubi. Diantara deruan
angin pukulan, tiba-tiba terpercik darah segar.
Begitu darah mulai menyembur keluar, seseorang pun
mulai berteriak keras, "Bunuh dia!"


Romantika Sebilah Pedang Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jangan biarkan dia kabur!" ada yang mulai
mengumpat. Tentu saja Nyoo Cing tidak boleh mati. Dalam hal ini
tentu saja dia tahu sangat jelas. Tapi diapun tahu, asal
dia masih hidup, maka tidak akan ada orang yang bisa
membunuh Lan It-ceng dihadapannya.
Tapi dugaannya keliru besar.
Dengan tubuhnya yang terdiri dari darah dan daging,
meskipun untuk sementara bisa menghadang serbuan
Seng Sam beserta para begundalnya, namun mana
mungkin dia bisa menolong Lan It-ceng "tepat pada
waktu"nya"
Justru karena perhitungannya yang salah, Lan It-ceng
pun mati sia-sia. Justru karena itu, Nyoo Cing terpaksa
digotong masuk ke pesanggrahan pengobatan Coansinie-khek. Pukulan yang dilontarkan lelaki setengah baya yang
berada disebelah kiri itu dengan telak bersarang di
lambung Nyoo Cing.
Sementara Nyoo Cing pun dengan senang hati
menerima sodokan keras itu, karena pada saat yang
bersamaan Seng Sam sedang melambung ke udara dari
sisi kanannya. Karena dia terhajar pukulan itu, tubuhnya mencelat
kesamping dan kebetulan menumbuk diatas tubuh Seng
Sam yang sedang menerjang tiba.
Tentu saja tubrukannya persis menerjang tepat
ditubuh Seng Sam.
Karena terjadi tubrukan, Nyoo Cing pun
memanfaatkan kesempatan itu untuk menceng keram
tubuh Seng Sam.
Tangan Nyoo Cing segera mencengkeram tengkuk
Seng Sam, sementara tangan yang lain menekan diatas
jalan darah pada tulang iganya.
Tidak ada yang tahu jalan darah apa yang kena
disodok tersebut, tapi siapapun bisa menduga kalau
jalan darah tersebut pastilah sebuah jalan darah yang
mematikan. Begitu Seng Sam kena dicengkeram tengkuknya,
semua rekan-rekannya pun serentak menghentikan
serangan mereka, mimik muka mereka sangat jelek dan
tidak sedap dipandang, seolah baru saja perutnya kena
ditendang keras-keras.
Kini Nyoo Cing tertawa, mengawasi lelaki setengah
baya yang barusan menghantamnya dengan
senyuman. "Sekarang kau pasti sudah mengerti bukan, kenapa
kubiarkan tubuhku kau tinju!" ujar Nyoo Cing sambil
tertawa riang. Oleh karena dia kena dihajar orang, Seng Sam pun
pasti kurang waspada, kejadian ini sangat lumrah
karena siapa pun pasti akan mengendorkan
konsentrasinya setelah menyaksikan anak buah sendiri
berhasil menghajar lawannya.
"Mau apa kau sekarang?" tanya Seng Sam kemudian
sambil menghela napas.
"Aku tidak ingin apa-apa, hanya ingin mengajakmu
bicara soal barter."
"Barter apa?"
"Menggunakan selembar nyawamu untuk ditukar
dengan dua lembar nyawa."
"Bagaimana tukarnya?"
"Sederhana sekali," Nyoo Cing tertawa, "Bila salah
satu diantara mereka ada yang mati, maka jangan
harap kau bisa hidup terus!"
"Bila aku pun mati?"
"Bila kau mati, tentu saja akupun tidak akan hidup
terus, tapi mana mungkin aku biarkan kau mati dengan
begitu saja?"
"Bagus."
Siapa pun tidak akan mengerti apa arti dari
perkataan "bagus" itu, tiba-tiba saja terlihat dalam
genggaman Seng Sam telah bertambah dengan sebilah
pisau dan pisau itu langsung dihujamkan ke bawah.
Ternyata pisau itu dihujamkan ke dadanya sendiri.
Nyoo Cing adalah jago kawakan, sebagai jago
kawakan dia pasti sudah memperhitungkan semua
kemungkinan yang terjadi, terma-suk berusaha melukai
orang. Sebetulnya perhitungannya sudah sangat tepat,
hanya sayang dia telah melupakan satu hal.
Walaupun Seng Sam tidak mampu membunuhnya,
namun dia masih mempunyai kemampuan lebih untuk
membunuh diri sendiri.
Semburan darah segar pun segera berhamburan
kemana-mana. Cairan darah berwarna hitam gelap itu menyembur
keluar melalui dada Seng Sam, sebagian menyembur ke
wajah Nyoo Cing bagai hujan gerimis.
Seketika itu juga sepasang mata Nyoo Cing tertutup
oleh noda darah, menyusul kemudian dia pun
mendengar suara teriakan gusar bagai binatang buas
yang terjatuh dalam perangkap.
"Prajurit nekad jangan diserang."
Dalam pertempuran antar dua negera, kejadian
semacam ini merupakan satu kejadian yang amat
menakutkan. Sebab "prajurit nekad" tidak bakal takut mati,
semangat juang mereka pasti tinggi, bahkan seringkah
melakukan tindakan yang sama sekali diluar dugaan
siapa pun. Dalam hal ini Nyoo Cing mengetahui jauh lebih jelas
dari siapa pun, namun sekarang dia tidak bisa untuk
tidak menggempurnya.
Begitu Sam Seng mati, kawanan anak buahnya
segera menyerang bagai orang gila, dengan kalap
mereka menyerang Nyoo Cing habis-habisan.
Jeritan keras, deraan angin pukulan datang dari
empat arah delapan penjuru dan semuanya tertuju ke
tubuh Nyoo Cing.
Dalam keadaan begini dia hanya bisa melompat,
menghindar, berkelit, berusaha keras membuka
matanya kembali.
Sudah berapa kali dia berusaha namun belum
berhasil juga melihat sesuatu dengan jelas, yang dia
saksikan hanya selapis cahaya darah yang amat silau.
Dia melompat kebawah kemudian melejit lagi ke
atas, baru mengigos ke kiri, sebuah sodokan tinju telah
melayang tiba dari kanan, tahu-tahu pahanya terasa
sangat dingin, seperti tersayat sesuatu, menyusul
kemudian seluruh kekuatan kakinya seolah hilang lenyap
tidak berbekas.
Tidak ampun tubuhnya segera terperosok ke bawah.
Dia tahu bila dia terperosok terus maka selamanya
dia akan tenggelam dalam kegelapan yang tiada
tepian, anehnya, dia sama sekali tidak merasa takut
atau ngeri meski harus menghadapi situasi yang
berbahaya, yang muncul hanya perasaan pedih yang
tidak terhingga.
Tibatiba saja dia teringat akan Lu Siok-bun.
... Sesaat menjelang ajalnya, apa pula yang dipikirkan
seorang manusia"
Tidak seorangpun bisa menjawab pertanyaan ini.
Karena setiap orang, dalam situasi seperti ini, pasti
sedang membayangkan hal yang berbeda.
Yang dipikirkan Nyoo Cing hanya Lu Siok-bun,
membayangkan pandangan matanya yang begitu
teguh, membayangkan juga perasaannya yang panas
dan membara. Sekilas senyuman segera tersungging diujung bibirnya,
menyusul kemudian tubuhnya tenggelam ke bawah.
Cahaya golok yang berkilauan serasa bagai pusaran
air yang kencang, menimbulkan gelombang di
permukaan telaga lalu hening, sepi...
Mendadak terlihat seseorang melayang turun dari
tengah udara, dengan membawa sepasang golok dia
menerjang ke tengah kepungan.
Menyusul kemudian Nyoo Cing merasakan suatu
perasaan yang amat santai, segala sesuatunya terasa
mengendor, karena dia telah mendengar suara dari
orang yang membawa sepasang golok itu.
Akhirnya dia tenggelam ke bawah, roboh terkapar di
tanah, bahkan sepasang mata pun terasa malas untuk
dipentangkan kembali. Untung matanya tidak sempat
dipentangkan lebar.
Jika dia sempat membuka matanya dan menyaksikan
keadaan sekarang, mungkin perasaan hatinya akan
hancur, usus pun mungkin akan ikut putus dan remuk.
Cahaya golok yang berkilauan kembali saling
menyambar di udara.
Rekan-rekan Seng Sam seakan sudah sinting semua,
sepasang mata mereka sudah berubah jadi "merah",
mereka seakan sudah lupa kalau tubuh merekapun
terdiri dari darah dan daging, mereka seakan sudah
lupa kalau golok si pendatang itu diayunkan untuk
membunuh mereka.
Bagaikan rombongan manusia kalap, manusia yang
tidak punya otak, mereka langsung menerjang masuk ke
tengah berkele-batnya cahaya golok.
Kembali percikan darah segar berhamburan ke
empat penjuru. Sudah dua orang roboh bersimbah darah, namun
rekan lainnya seakan tidak sadar, mereka masih
menerjang, masih menyerang bagaikan orang
kesurupan. Gelombang golok kembali menggulung
angkasa, pusaran kencang kembali menggulung seluruh
arena. Dalam waktu singkat sekujur tubuh si pembawa
sepasang golok itu sudah berubah jadi merah padam,
merah karena bermandikan darah..
Matahari ditengah udara yag dingin memancar
masuk melalui jendela dengan kemalas malasan,
menyinari wajah Nyoo Cing yang berbaring diatas
ranjang. Menyinari pula Tay Thian yang berada disisinya.
Dengan termangu Nyoo Cing mengawasi wajah Tay
Thian. "Sudah sejak awal aku tahu kalau kepandaian silatmu
sangat bagus," katanya perlahan, "Tapi hingga hari ini
aku baru tahu kalau permainan sepasang golokmu
memang tiada keduanya dikolong langit."
Tay Thian hanya tertawa, sama sekali tidak
menjawab. "Seseorang yang disebut orang yang menakutkan
pasti mempunyai bagian yang menakutkan," kata Nyoo
Cing sambil membuang pandangan matanya ke luar
jendela, "seperti misalnya Seng Sam, dia menakutkan
karena orang itu tidak pernah takut mati."
"Sebenarnya dendam kesumat apa sih yang terjalin
antara kau dengan Seng Sam"
Mengapa dia begitu ngotot ingin menghabisi
nyawamu?" tanya Tay Thian.
"Karena dia tahu, jika tidak mampu membunuhku
maka sekembalinya dari sini dia akan mati dalam
keadaan yang lebih mengenaskan, lebih menakutkan.
Perkumpulan naga hijau paling tidak memiliki tiga puluh
macam cara untuk menghabisi nyawa seseorang, cara
mana pun yang digunakan pasti akan membuat orang
itu menyesal kenapa mesti dilahirkan di dunia."
Tay Thian mengalihkan juga sorot matanya ke luar
jendela. "Perkumpulan naga hijau?" tanyanya, "organisasi
macam apakah itu" Kenapa dalam jangka waktu
seratus tahun terakhir belum pernah ada seorang
manusia pun yang bisa mengungkap rahasia ini?"
Kemudian setelah menatap wajah Nyoo Cing sesaat,
lanjutnya, "Seandainya pemimpin perkumpulan naga
hijau belum mati, semestinya saat ini sudah berusia
seratus tahun lebih?"
"Kenapa kau tidak langsung bertanya sendiri kepada
yang bersangkutan?"
"Sebetulnya aku ingin, sayang dia enggan berjumpa
denganku."
"Siapa tahu kalian sudah pernah bersua, hanya saja
kau tidak menyadarinya."
Apa yang dia katakan memang bisa sebuah
kenyataan, perkumpulan naga hijau memang
merupakan organisasi paling rahasia semenjak seratus
tahun terakhir.
Jangan lagi siapa pemimpinnya, untuk melacak siapa
saja yang menjadi anggotanya pun sudah susahnya
setengah mati. Mungkin saja dia adalah Thio Sam atau Li su" Mungkin
juga dia adalah sahabat yang paling akrab.
Bahkan ada kemungkinan dia hanya seseorang yang
sama sekali tidak menyolok, seseorang yang amat
bersahaja. Pokoknya bila "dia" sampai muncul dalam wajah
aslinya, pasti akan dibuat siapapun terperanjat setengah
mati. "Lan It-ceng mati ditempat atau dia baru mati setelah
dikirim kemari?" tanya Nyoo Cing kemudian.
"Sewaktu aku tiba disana, dia sudah putus nyawa,"
sahut Tay Thian, "Waktu itu aku terburu-buru akan
menghantarmu kemari, maka sekalian kubawa dia
kemari." "Tolong kuburlah jenasahnya secara layak."
"Sudah ada petugas yang menanganinya."
"Siapa?"
"Masa kau tidak tahu aturan yang berlaku di


Romantika Sebilah Pedang Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pesanggrahan Coan sin-ie-khek?"
"Aturan apa?"
"Asal sudah memasuki pesanggrahan pengobatan
Coan sin-ie-khek, maka hanya ada sejenis manusia yang
bisa pergi meninggalkan tempat ini, manusia hidup!"
"Bagaimana dengan yang mati?"
"Dikubur disini. Hong Coan-sin menganggap bila ada
yang sampai mati disini berarti ilmu pengobatan mereka
kurang canggih, maka sebagai pengganti dari rasa
kecewa keluarganya, mereka akan mengubur
jenasahnya secara baik-baik."
"Sungguh sebuah kejadian yang aneh," kata Nyoo
Cing, "Tapi Lan It-ceng bukan tewas disini!"
"Tapi dia sudah masuk ke dalam pesang grahan
Coan sin-ie-khek."
"Jadi jenasahnya tetap mereka urus?"
"Benar."
"Jadi kita pun tidak boleh mencampuri urusan
penguburannya?"
"Orangnya toh sudah mati, mau dikubur dengan cara
apapun tetap sama saja," kata Tay Thian tertawa, "Asal
hati kita tulus, itu sudah lebih dari cukup."
Nyoo Cing merasa perkataan itu cengli sekali, maka
dia pun mengangguk tanda setuju.
"Butuh berapa lama untuk membangun kembali
rumah kayuku itu?"
"Ketika kau keluar dari pesanggrahan pengobatan,
kujamin rumah kayumu sudah berdiri kembali seperti
sedia kala."
Rumah yang sudah rubuh dapat dibangun kembali,
musim semi yang lewat, tahun mendatang akan datang
kembali, bila perut lapar, setiap saat dapat makan.
Tapi bagaimana dengan orang yang mati"
Apakah perasaanmu terhadapnya akan semakin
memudar dengan berjalannya waktu"
BAB 11. Satu tambah satu adalah dua.
Bau panggangan ikan yang harum semerbak telah
menyelimuti seluruh ruangan.
Tiga ekor ikan bakar sudah berpindah ke dalam perut
Cong Hoa, tapi sepasang matanya masih mengawasi
terus ikan yang sedang dibakar Lo Kay-sian.
Saat ini Lo Kay-sian sudah kembali ke dalam
kamarnya yang sempit, kecil lagi pengap, sudah
memulihkan kembali jabatannya sebagai kepala sipir
penjara. "Kenapa ikan hasil bakaranmu selalu berbeda
dengan hasil bakaran orang lain?" tanya Cong Hoa,
"dengan ikan yang sama, resep yang sama, cara
membakar yang sama, tapi hasil akhir yang diperoleh
selalu berbeda?"
"Perhatian khusus," sahut Lo Kay-sian dengan wajah
serius, "Jik segala persoalan dikerjakan dengan
perhatian khusus, hasil yang diperoleh pasti akan beda."
"Perhatian khusus dalam membakar?"
"Benar."
"Tampaknya saja gampang, padahal berapa banyak
orang yang benar-benar bisa melaksanakannya?"
"Kau," jawab Lo Kay-sian, "Ketika menikmati ikan
bakar, tampaknya kau pun menaruh perhatian khusus."
"Ketika aku ingin membuatmu jengkel, akupun
menaruh perhatian yang khusus," sambung Cong Hoa
sambil tersenyum, "Tapi hasilnya kenapa tidak selalu
sukses?" "Ini dikarenakan aku pun menaruh perhatian khusus,
sama sekali tidak ambil perduli denganmu," Lo Kay-sian
tertawa tergelak.
"Jadi menurutmu, aku belum cukup perhatian dalam
menangani kasus itu?"
"Oooh?"
"Kalau tidak mengapa Cong Hui-miat bisa mati,
setelah mati kenapa jenasahnya pun tidak kutemukan"
Secara keseluruhan persoalan ini nampaknya tidak ada
ancaman bahaya apa pun, namun aku selalu merasa
adanya ancaman bahaya maut yang datang dari
empat penjuru, seakan disemua tempat telah dipenuhi
oleh perangkap dan jebakan."
"Jadi kau menganggap persoalan ini sangat rumit?"
Cong Hoa mengangguk.
"Kau merasa seolah seluruh tubuhnya diliputi kabut
tebal, bukan saja tidak dapat melihat jalanan, sekeliling
tempatmu pun tidak bisa kau raba dengan jelas?"
"Benar!" Cong Hoa menghela napas panjang.
Lo Kay-sian segera meletakkan garpu ikan ke meja,
mengawasi gadis itu lekat-lekat, sampai lama kemudian
dia baru berkata, "Kau kelewat cerdas!"
"Apa maksud perkataanmu?"
"Oleh karena kau kelewat pintar, kelewat pandai
berpikir maka kau jadi kebingungan setengah mati,"
ucap Lo Kay-sian, "Seandainya kau sedikit lebih bodoh,
tidak berpikir yang aneh-aneh, mungkin persoalan ini
tidak akan kelewat sulit untuk dipecahkan."
"Aneh, kenapa kau semakin berbicara, kepalaku
terasa semakin membesar?"
"Coba jawab satu tambah satu jadi berapa?" tibatiba
Lo Kay-sian bertanya, "lima tambah tiga kurangi
tujuh tambah satu jadi berapa?"
"Kelihatannya kau seperti lagi menguji ilmu
berhitungku?" seru Cong Hoa, "tentu saja jawabannya
dua!" "Nah itulah dia," kembali Lo Kay-sian mulai sibuk
membakar ikan, "Sama-sama jawabannya adalah dua,
hanya cara berhitungnya saja yang beda."
"Maksudmu caraku menyelesaikan persoalan ini yang
keliru" Aku telah menggunakan cara rumit yang
gampang membuatku kebingungan sendiri?" tanya
Cong Hoa dengan mata berkilat.
"Benar!"
Satu persoalan yang sama, bila diselesaikan oleh
orang yang berbeda maka hasil yang diperoleh pun
pasti beda. Seperti juga sebuah hutang, setiap orang mempunyai
cara yang berbeda untuk menghitung, cara
menghitung setiap orang tidak ada yang sama.
Bagi orang persilatan, hutang biasanya hanya bisa
diselesaikan dengan satu macam cara.
Cara yang mana" Seharusnya sudah tahu cara
apakah itu. Ada hutang yang Cuma bisa dilunasi dengan darah,
tanpa darah mustahil hutang itu bisa dibayar lunas.
Malah terkadang darah yang kelewat sedikit tidak
bisa menyelesaikan persoalan, dibutuhkan darah dalam
jumlah yang banyak.
Jika darah seorang belum cukup, dibutuhkan darah
dari orang yang lebih banyak lagi. Lalu hutang dari
Cong Poan-long harus dibayar dengan berapa banyak
darah agar bisa lunas"
Jika dibutuhkan darah dari dua puluh orang untuk
membayar lunas, lalu bagaimana dengan Cong Huimiat"
Dendam lama ditambah permusuhan baru,
dibutuhkan berapa banyak darah lagi untuk bisa
dianggap impas"
Terlepas itu dendam lama atau permusuhan baru,
persoalan itu merupakan masalah keluarga Cong,
dengan Cong Hoa sama sekali tidak ada sangkut
pautnya. Dia tidak lebih hanya seorang manusia yang
gemar mencampuri urusan orang lain.
Bila manusia gemar mencampuri urusan orang lain
yang harus membuat pertimbangan, tentu saja dia tidak
akan mempertimbangkan penggunaan darah untuk
menyelesaikan persoalan ini. Benarkah sama sekali tidak
perlu mema-kai darah"
"Rencanamu akan pergi kemana" Dengan wajah
tercengang Lo Kay-sian bertanya.
Ketika selesai menghabiskan ikan bakar ke enam
yang disiapkan Lo Kay-sian, Cong Hoa membesut
mulutnya, bertepuk tangan sambil bangkit berdiri
kemudian beranjak dari tempat itu.
"Disini sudah tidak tersedia ikan bakar lagi, padahal
perutku masih sangat lapar," kata Cong Hoa, "Kalau
tidak pergi mencari sasaran lain, memangnya aku bisa
mengatasi perutku yang kosong?"
"Tampaknya kau memang pandai menerima
kenyataan, tapi siapa yang akan kau cari?"
Sambil memandang gunung dikejauhan sana, sahut
Cong Hoa, "Tiba-tiba saja aku jadi kangen dengan Tu
Bu-heng, khususnya arak kegirangannya."
Mendadak Lo Kay-sian menuang dua cawan
dihadapannya dengan arak, satu diserahkan ke tangan
Cong Hoa, satu lagi untuk diri sendiri.
"Biar aku bersulang untukmu!" katanya.
Tindak tanduk Lo Kay-sian yang sangat aneh ini
segera membuat Cong Hoa kebingungan sendiri.
"Apa-apaan kau ini?"
"Aku hanya berharap kau bersedia menghabiskan
secawan arak itu, sebab setibanya di alam baka, kau
akan bertemu dengan banyak sahabat lama."
"Kau mendoakan aku agar cepat mampus?"
"Tidak, kau sendiri yang bilang begitu."
"Aku hanya berkata akan pergi menjumpai Tu Buheng."
"Nah itulah dia!" seru Lo Kay-sian sambil menatapnya
tajam, "Bila kau ingin menemukan Tu Bu-heng, maka
satu-satunya tempat yang bisa kau tuju hanyalah
neraka." "Maksudmu dia..."
"Benar, dia sudah mati sejak dua hari yang lalu!"
"Mati?" Cong Hoa terkesiap, "Kenapa tidak ada
kabar berita tentang kematiannya" Kenapa dia bisa
mati?" "Aku sendiripun tidak tahu sebab berita ini
disampaikan Tay suya."
Cong Hoa termenung berapa saat, kemudian dia
baru bertanya, "Tu Bu-heng dikubur di mana?"
"Aku tidak tahu!"
"Tidak tahu?" Cong Hoa makin terkesiap, "Tay Thiahong
telah menyampaikan berita kematiannya, masa
dia sendiripun turut lenyap tak berbekas?"
"Rasanya nasib Tay suya tidak sedrastis itu."
"Lantas kenapa kau bilang tidak tahu?"
"Tidak tahu maksudnya aku tidak tahu Tu Bu-heng
sudah dikubur di mana" Sudah dikubur atau belum, aku
sama sekali tak tahu."
"Lalu siapa yang tahu?"
"Hong Coan-sin!"
"Hong Coan-sin" Pemilik pesanggrahan
pengobatan Coan sin-ie-khek?"
"Benar."
"Kenapa kau hubungkan Tu Bu-heng dengan
dirinya?" "Karena hanya dia yang bisa menyelidiki sebab
musabab kematian Tu Bu-heng."
Cong Hoa kembali termenung, tapi kali ini dengan
cepat ia berseru lagi, "Bagaimana dengan Un-hwee
sianseng" Apakah dia...."
"Tidak!" jawab Lo Kay-sian singkat.
Cong Hoa segera menghembuskan napas lega,
belum lagi sempat bicara, Lo Kay-sian sudah berkata
lagi, "Maksudku dia tidak berhasil melarikan diri, dia
sama seperti rekannya, sudah mati!"
"Kau..." Cong Hoa membelalakkan matanya lebarlebar.
"Ada apa" Bukankah kau bertanya apakah dia...
maka kujawab tidak!"
"Aku bertanya kepadamu, apakah dia sudah mati?"
"Oooh, kukira kau bertanya apakah dia berhasil kabur
dari musibah ini."
Jika sorot mata bisa digunakan untuk membunuh
orang, sekarang paling tidak Lo Kay-sian sudah mati
enam ratus kali, mati dibantai Cong Hoa.
Setelah berhari-hari salju turun dengan derasnya, hari
ini udara sangat cerah bahkan matahari mulai
memancarkan sinarnya menerangi seluruh bumi.
Biasanya cuaca seperti ini sangat digemari orang
banyak, tidak heran kalau di jalan raya banyak manusia
berlalu lalang, malah ada yang memindahkan kursinya
duduk di tepi jalan sambil menikmati hangatnya sinar
sang surya. Banyak orang bersuka ria dalam cuaca secerah ini,
bahkan anjing dan kucing pun saling bergumulan ditepi
jalan. Semua orang bergembira ria, hanya satu orang
terkecuali. Mimik muka Cong Hoa saat ini seperti dinamit yang
sudah disulut sumbu nya, asal ada yang berani
mendekat, dijamin tubuhnya segera akan diledakkan
hingga hancur berkeping.
Berapa orang yang dihari biasa punya hubungan
cukup akrab dengan Cong Hoa, sebenarnya sudah
mengangkat tangannya hendak menyapa, tapi begitu
melihat mimik mukanya yang masam, mereka segera
menarik kembali tangannya yang sudah diangkat lalu
pura-pura garuk kepalanya yang tidak gatal, setelah itu
secara diam-diam ngeloyor pergi.
Cong Hoa dalam keadaan gembira saja sudah bikin
orang pusing kepala, apalagi dalam kondisi marah
marah. Tidak heran kalau ada berapa orang yang secara
diam-diam mulai pergi menjauhi jalanan itu.
Dalam suasana seperti inilah tiba-tiba dari ujung jalan
meluncur datang sebuah kereta kuda yang dilarikan
kencang. Kuda jempolan, kereta mentereng lagi mewah, ruang


Romantika Sebilah Pedang Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kereta yang masih baru berkilat bagai sebuah cermin,
sang kusir dengan sebuah cambuk panjang berwarna
hitam diayunkan berulang kali ke tengah udara. Cong
Hoa seolah tidak melihat, seakan sama sekali tidak
mendengar. Siapa tahu kereta kuda itu ternyata berhenti persis
disampingnya, enam orang lelaki kekar segera
berlompatan keluar dari dalam kereta dan mengepung
gadis itu. Seorang lelaki dengan mata melotot gusar dan gerakgerik
lincah segera menegur, "Jadi kau si Bunga latah?"
"Jika kedatangan kalian untuk berkelahi, semua
sudah menemukan sasaran yang tepat."
Sejak dibuat jengkel dan mendongkol di rumah Lo
Kay-sian tadi, Cong Hoa memang sedang bingung
kemana harus melampiaskan rasa mendongkolnya, dia
merasa kedatangan ke enam orang lelaki ini tepat
waktu. Kawanan lelaki itu tertawa dingin, tampaknya mereka
tidak pandang sebelah mata pun terhadap gadis ini.
"Sayang sekali ked
Seruling Samber Nyawa 12 Pendekar Sejagat Seri Kesatria Baju Putih Karya Wen Rui Ai Elang Terbang Di Dataran Luas 5

Cari Blog Ini