Romantika Sebilah Pedang Karya Gu Long Bagian 9
entera segera memantulkan sinar hijau yang menggidikkan.
Bila ditinjau dari susunan dekorasi yang ada dalam
ruangan itu, tidak disangkal tempat ini merupakan
sebuah ruangan yang khusus dipakai untuk pembuatan
manusia mummi. Tidak disangkal pula, tiga sosok tubuh manusia yang
berbaring diatas meja panjang pun tidak lain adalah
Cong Hoa, Tay Thian serta Ui sauya.
Sejak minum ketiga cawan arak itu hingga kini, satu
jam sudah lewat tanpa terasa, tapi kalau dilihat dari
keadaan ketiga orang itu, tampaknya mereka belum
menunjukkan gejala mendusin.
Ruangan yang semula tenang mendadak
dipecahkan oleh suara pintu yang dibuka orang,
menyusul kemudian terlihat Budak darah berjalan
menghampiri meja panjang itu, memandang sekejap
ketiga orang yang berbaring disana dan tiba-tiba
tertawa tergelak.
"Bila kalian anggap tidur semacam ini sangat
nyenyak dan nikmat, aku bersedia memberi tiga cawan
arak lagi untuk kalian bertiga, kujamin kalian pasti akan
tertidur untuk selamanya!"
Tiga orang manusia yang tampaknya seakan belum
mendusin itu seketika ada yang menghela napas setelah
mendengar perkataan dari budak darah.
"Aaai! Setelah terjatuh ke tangan kalian, rasanya
pingin tidur sedikit lebih lama pun susah," gumam Ui
sauya sembari membuka matanya dan menatap budak
darah. "Aku tidak ingin tidur lagi," ujar Cong Hoa pula sambil
membuka matanya, "Saat ini aku hanya pingin makan
sekenyang-kenyangnya, kemudian menenggak empat
puluh cawan arak."
"Kalau aku mah tidak senapsu itu, paling hanya ingin
minum dua puluh cawan arak," sambung Tay Thian,
kemudian sambil berpaling ke arah budak darah,
ujarnya lagi, "Setiap narapidana yang sudah di vonis
hukuman mati, mereka punya kesempatan untuk
menikmati hidangannya yang terakhir menjelang
dilaksanakannya eksekusi, entah fasilitas semacam itu
berlaku tidak untuk kami bertiga?"
"Kalau arak mah tidak masalah," jawab budak darah
tertawa, "Tapi soal makanan, aku rasa lebih baik kalian
nikmati setelah menitis kembali jadi manusia dalam
penghidupan berikut."
"Belum tentu!" tiba-tiba Hong Coan-sin sudah muncul
di depan pintu.
"Belum tentu?" tanya Cong Hoa, "Maksudmu kita
masih punya kesempatan untuk menikmati hidangan
yang diinginkan?"
"Bukan kita tapi kalian, salah seorang diantara
kalian." "Ooh, aku mengerti sekarang, rupanya ada satu
tugas yang harus dilakukan oleh salah satu diantara
kami bertiga, sebagai imbalannya kami dapat hidup
terus?" seru Cong Hoa.
"Benar!"
"Kalau kami tidak ingin hidup terus?"
"Tidak masalah," jawab Hong Coan-sin sambil
tertawa, "Aku yakin pasti ada orang yang bersedia
melakukannya."
"Tugas apa yang harus kami lakukan?" mendadak
Tay Thian bertanya.
"Cap kerajaan," kata Hong Coan-sin, "Asal bersedia
memberitahukan kepada kami dimana cap kerajaan
dari Raja muda Lam-kun-ong disimpan, kalian bisa hidup
terus dengan riang gembira."
Tiba-tiba Cong Hoa tertawa keras, tertawa sangat
gembira. "Bukankah kalian punya kemampuan hebat untuk
menciptakan seorang Nyoo Cing baru" Kenapa tidak
mampu menciptakan sebuah cap palsu?" Cong Hoa
tertawa tergelak, "Tentu saja kalian tidak sanggup,
sebab setiap kerajaan, setiap raja muda, cap
kekuasaannya tentu punya gambar rahasia yang unik
dan rumit, kode rahasia itu tidak mudah ditiru apalagi
dipalsukan, tujuannya adalah agar tidak setiap orang
bisa menurunkan perintah palsu."
"Kau memang sangat cerdik," ujar budak darah,
"Sayangnya, orang pintar selalu mampus lebih cepat."
"Siapa tahu orang yang pintar itu mendadak berubah
jadi bodoh, saking bodohnya sehingga secara tiba-tiba
memberitahukan letak penyimpanan cap tersebut?"
"Kujamin asal kau lakukan hal itu maka keinginanmu
untuk makan besar dan menghabiskan empat puluh
cawan arak segera akan terkabulkan!"
"Tapi sayangnya begitu berjumpa dengan kau, aku
malah susah jadi bodoh," kata Cong Hoa sambil
menatap si budak darah, "Siapa tahu secara tiba-tiba
aku malah melompat bangun dan menggigitmu."
"Biar mau digigit sepuluh kalipun aku tidak bakal
takut!" tertawa si budak darah sangat nyaring, "Kalian
sama sekali tidak mampu bergerak, aku sendiri yang
telah menotok jalan darah di kaki kalian bertiga."
"Yaa, siapa tahu..." Cong Hoa ikut tertawa tergelak,
"Siapa tahu kaki kami bisa bergerak secara tiba-tiba,
siapa tahu kau lupa menotok jalan darah kakiku, siapa
tahu barusan ada orang yang masuk kemari dan
membebaskan jalan darahku yang tertotok....."
Budak darah yang semula masih tertawa riang
seketika terbungkam dalam seribu bahasa,
senyumannya ikut membeku, apa yang dikatakan Cong
Hoa bukannya tidak mungkin terjadi, mendadak dia
maju mendekat dan memeriksa jalan darah di kaki
ketiga orang itu.
"Tidak usah diperiksa lagi, kujamin mereka bertiga
tidak mampu bergerak," kata Hong Coan-sin cepat,
"Dia memang sengaja bicara begitu, tujuannya agar
pikiranmu gugup dan kalut."
"Rupanya jahe makin tua memang semakin pedas!"
sindir Ui sauya sambil tertawa, "Beda dengan manusia
yang suka telanjang ini, tidak kuasa menahan napsu..."
Budak darah mencak-mencak saking gusarnya,
dengan wajah merah padam dia segera menghampiri
Ui sauya kemudian menempelengnya keras-keras.
"Aneh, kenapa kaum wanita sukanya hanya
tempeleng orang," kembali Ui sauya menghela napas,
"Kecuali berbuat begitu, sebenarnya apa lagi yang bisa
kau lakukan?"
"Aku pintar naik ranjang dengan lelaki, mau gaya
model apapun aku bisa," budak darah tertawa cabul,
"Eei aku dengar kau masih jejaka tulen, betul tidak?"
Dengan matanya yang jalang budak darah
mengawasi tubuh Ui sauya dari atas hingga ke bawah,
kemudian sambil gelengkan kepalanya berulang kali
katanya lagi, "Belum sempat merasakan surga dunia,
masa kau bisa mati dengan mata merem?"
Bicara sampai disitu, tangannya mulai meraba benda
paling sensitip yang dimiliki Ui Sauya diantara dua
pahanya, bukan hanya meraba, tangannya mulai
merogoh ke dalam celana dan meremasnya.
Tidak terlukiskan rasa gusar dan kaget Ui sauya
menghadapi kejadian seperti ini, sayang seluruh
tubuhnya tidak mampu berkutik sehingga gelisah pun
tidak ada gunanya.
"Apa gunanya kau hanya meraba dengan cara
begitu, kurang mantap!" seru Cong Hoa sambil tertawa,
"Kalau ingin yang lebih hot, lebih baik langsung saja
"menunggang kuda maju perang", kujamin kau pasti
akan menikmati barang baru."
Ternyata dia telah samakan Ui sauya sebagai
barang baru. Tay Thian tidak kuasa menahan rasa gelinya lagi, dia
tertawa terbahak-bahak.
"Lelaki sudah pernah dilukiskan sebagai apa saja, tapi
belum pernah diibaratkan barang baru.
"Hahaha". baru pertama kali ini aku
mendengarnya. Sayang, barang baru pun tidak akan
bertahan lagi."
Waktu itu seluruh wajah Ui sauya sudah merah padam
karena jengah, bahkan benda miliknya sudah mulai
bereaksi dan makin membengkak besar. Untunglah
disaat itu Hong Coan-sin sudah berseru, "Cukup!"
Tampaknya budak darah sangat taat dengan
perkataan Hong Coan-sin, dia segera menghentikan
ulahnya dan mengundurkan diri.
Akhirnya Ui sauya dapat lolos dari bahaya, tidak
tahan dia menghembuskan napas panjang.
"Bagaimana dengan apa yang barusan kuusulkan"
Apakah kalian bertiga berminat?" kembali Hong Coansin
bertanya sambil tertawa, "Asal menganggukkan
kepala maka kalian boleh pergi ke mana saja yang
disuka." "Aaai! Dulu, kenapa aku tidak bertanya kepada Nyoo
Cing dimana dia simpan cap kekuasaannya," gumam
Cong Hoa dengan wajah seperti menyesal, "Kalau tidak
sekarang aku bisa pergi bebas ke ujung dunia."
"Apalagi aku, selama hidup paling takut berurusan
dengan orang pangkat," kata Ui sauya sambil tertawa
getir, "Jangan lagi cap kekuasaan, memasuki rumah
pejabat pun takutnya setengah mati."
Tay Thian tidak bicara apa-apa, ketika sorot mata
semua orang tertuju ke wajahnya, dengan santai diapun
balas memandang setiap orang, setelah itu baru
ujarnya, "Tentu saja aku mengetahui tempat
penyimpanan cap kekuasaan itu, tapi sayang aku jadi
orang paling takut hidup sendirian, kalau disuruh
melanglang dunia seorang diri, tanggung belum sampai
dua hari aku sudah mati kesepian."
Dia memandang Hong Coan-sin sekejap, kemudian
lanjutnya, "Daripada mati kesepian, lebih baik mati
sekarang juga, paling tidak dalam perjalanan menuju ke
alam baka aku masih mempunyai teman untuk
mengobrol."
"Bagus, ternyata kalian bertiga sama-sama setia
kawan, tidak takut mati, kalau memang begitu biarlah
aku kabulkan permintaan kalian semua."
Jubah panjang berwarna putih terletak diatas meja
pendek, Hong Coan-sin segera mengambil dan
mengenakannya dengan cepat, setelah itu diapun
mengenakan penutup kepala berwarna putih.
Ketika semuanya sudah siap, Hong Coan-sin baru
mengenakan sarung tangan dan mengambil sebilah
pisau kecil yang amat tipis.
Mata pisau yang tajam memantulkan cahaya perak
kebiru biruan. "Apakah kau akan segera melakukan
pembedahan?" tanya Cong Hoa.
"Benar."
"Apakah meja panjang yang kosong itu kau
persiapkan untuk menampung potongan tubuh kami
sebelum dilebur menjadi satu?"
"Benar."
"Kenapa tidak melihat dia berbaring disitu?"
"Sekarang dia sedang mandi, menanti aku selesai
membedah tubuh kalian bertiga, diapun kebetulan
sudah selesai membersihkan tubuh."
"Dengan susah payah membuang banyak pikiran
dan tenaga, apakah tujuannya hanya akan
menciptakan seorang Nyoo Cing dan Tay Thian yang
baru?" mendadak Tay Thian bertanya.
"Kesemuanya ini baru sebuah permulaan."
"Sebuah permulaan" Permulaan apa?"
Hong Coan-sin memandang Tay Thian sekejap, lewat
berapa saat kemudian dia baru berkata, "Cong Poanlong
telah menanggung nama busuk sebagai
pengkhianat negara, tentu saja kami tidak bisa
membiarkan nama ini tercatat terus dalam sejarah
kerajaan, oleh sebab itu dia harus segera dimusnahkan
dari muka bumi, kemudian kami pun berhasil
mendapatkan rahasia cara pembuatan mummi,
dengan mengandalkan resep rahasia ini maka sebuah
rencana besar pun segera dibuat."
"Maksudmu... kalian., kalian akan menciptakan
seorang kaisar baru"' tanya Tay Thian dengan suara
agak gemetar. "Betul, untuk mewujudkan rencana besar ini, kami
telah melakukan percobaan demi percobaan selama
dua puluh tahun lamanya, dan inilah hasil jerih payah
kami." "Maka kau pun menggunakan Nyoo Cing dan aku
sebagai kelinci percobaan, bila berhasil maka rencana
berikut adalah menciptakan seorang kaisar baru?"
"Benar."
"Kalau begitu Liongtau lotoa dari perkumpulan Cing
Liong Hwee adalah orang yang suruh Cong Poan-long
datang ke daratan Tionggoan?"
Pertanyaan ini tidak ditanggapi Hong Coan-sin, dia
hanya tertawa. "Kenapa tidak dijawab" Apakah lantaran
perkataanku sudah mendekati kebenaran?"
"Benar atau salah, setibanya di akhirat nanti kalian
pasti akan tahu."
Dengan membawa pisau kecil dan mengawasi Cong
Hoa, selangkah demi selangkah Hong Coan-sin
mendekati gadis itu, wajahnya segera menampilkan
kecabulan yang luar biasa.
"Mau.... mau apa kau?" teriakan Cong Hoa
kedengaran agak gemetar.
Romantika Sebilah Pedang Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mula-mula aku akan membuka pakaianmu dengan
pisau ini, kemudian..." suara tertawa Hong Coan-sin
kedengaran makin cabul, makin sesat.
"Kenapa kau.... kau tidak membedah mereka
duluan?" "Semestinya perempuan harus didahulukan."
"Tidak usah sungkan, biar yang laki-laki duluan," Cong
Hoa mulai kelihatan ketakutan.
Sorot mata Hong Coan-sin yang cabul ibarat sebuah
tangan tidak berwujud, bergeser terus diseputar dada
Cong Hoa, dengus napasnya makin lama makin
bertambah berat, setiap kali menghembuskan napas,
hanya hawa panas yang dihembuskan, dia sudah mulai
menggeser sorot matanya dari atas dada turun ke perut,
turun ke bagian terlarang dan berputar terus disekitar
situ. Bulu kuduk mulai bangun berdiri, hawa dingin serasa
menusuk ke dalam ulu hati, Cong Hoa benar-benar
bergidik, rasa ngeri bercampur malu menyelimuti
wajahnya... Tangan kiri Hong Coan-sin sudah mulai diletakkan
diatas dada gadis itu sementara pisau ditangan
kanannya mulai ditempelkan diatas pakaiannya,
kelihatannya sebentar lagi dia akan mulai menelanjangi
gadis tersebut.
"Kalau kau tidak segera keluar, aku akan berteriak!"
mendadak Cong Hoa berseru keras.
Hong Coan-sin melengak, dia tidak habis mengerti
apa maksud dan makna gadis itu meneriakkan ucapan
tersebut. Dia boleh melengak dan tidak mengerti, ternyata ada
orang lain yang mengerti, maka terdengarlah seseorang
menghela napas panjang.
Dengan sigap Hong Coan-sin berpaling, menengok
ke arah sumber suara itu.
"Aku tahu, wanita memang selalu tidak mampu
menahan diri," kata orang itu.
"Siapa?" bentak Hong Coan-sin.
"Aku!" jawab orang itu, "Masa kau tidak mengenali
suaraku?" Tiba-tiba paras muka Hong Coan-sin berubah hebat,
berubah jadi amat tidak sedap dipandang, berubah
seakan akan tidak percaya dengan pandangan mata
sendiri. "Rupanya kau?" serunya tertahan.
"Tentu saja aku, kecuali aku siapa lagi yang bisa
membuat tabib sakti kita begitu terperanjat?"
Bersama dengan selesainya perkataan itu, seseorang
telah melangkah masuk ke dalam ruangan.
Begitu berjumpa dengan orang itu, Cong Hoa segera
menghembuskan napas lega, kalau tadinya jengah
maka lambat laun paras mukanya berubah jadi normal
kembali. "Seandainya kau bisa sedikit menahan diri lagi,
kujamin semakin banyak rahasia yang dapat kau
dengar," kata orang itu.
"Akupun berpendapat begitu," sahut Cong Hoa,
"Sayangnya aku adalah seorang wanita."
"Darimana kau tahu kalau ada orang akan datang
menolongmu?"
"Karena aku kelewat memahami watak manusia,"
akhirnya Cong Hoa mulai tertawa, "Tidak ada seorang
manusia pun yang dapat bersikap tenang sewaktu
menghadapi maut."
Setelah memandang Tay Thian sekejap, ujarnya lebih
jauh, "Tapi sejak awal hingga akhir, Tay sauya kita ini
tidak menunjukkan perasaan takut bahkan sikap tidak
tenang pun tidak terlihat, maka akupun mulai bertanyatanya,
kenapa dia bisa begitu" Kenapa dia sama sekali
tidak merasa takut" Kalau dia orang normal, mustahil
reaksinya begitu aneh dan lain daripada yang lain."
Kemudian setelah memandang kembali ke arah Hong
Coan-sin, lanjutnya, "Maka aku pun mulai menduga, dia
pasti sudah mempersiapkan rencana besar, dia pasti
sudah mengatur segala sesuatunya dengan sempurna,
dia pasti sudah menyiapkan jurus terakhir yang luar
biasa." "Dan kenyataan, segala sesuatunya sesuai dengan
apa yang kau bayangkan?"
"Memang paling baik jika persis sama seperti apa
yang kubayangkan."
Sejak kemunculan orang itu, Hong Coan-sin hanya
berdiri mematung ditempat semula, sama sekali tidak
bergerak. "Heran dengan orang ini, kenapa mendadak dia
tidak bergerak lagi?" gumam Cong Hoa, "Memangnya
kau telah membuatnya tertegun karena ketakutan?"
"Bukan kehadiranku yang membuatnya tertegun, tapi
sarung tangan yang dia kenakan."
"Sarung tangan" Kenapa dengan sarung
tangannya?"
"Kenapa tidak kau tanyakan langsung kepadanya?"
Tidak menunggu Cong Hoa mengajukan pertanyaan,
Hong Coan-sin sudah menjawab duluan.
"Aku sama sekali tidak menyangka kalau dalam
perkumpulan Cing Liong Hwee ternyata terdapat
pengkhianat, dan lebih tidak kusangka kalau
pengkhianat tersebut ternyata adalah kau."
"Sepantasnya kau bisa menduga akan hal ini, jika kau
masih memiliki sedikit saja sifat manusia, sudah
sepantasnya kau menduga ke situ."
"Kelihatannya perkumpulan Cing Liong Hwee masih
belum cukup mendalam memahami tentang kau, kalau
tidak, tidak mungkin akan terjadi peristiwa semacam ini."
"Rupanya kedatanganmu hari ini adalah untuk
membalas dendam bagi kematian ayahmu?" kata
Hong Coan-sin kemudian sambil menatap tajam orang
itu. "Siapa bilang bukan" Sudah belasan tahun dia
menunggu kesempatan baik ini," sela Cong Hoa riang.
"Darimana kau bisa tahu kalau bakal ada yang
datang menolong kalian?" tanya Hong Coan-sin,
"Darimana kau tahu kalau orang yang bakal menolong
kalian adalah dia" Cong Hui-miat?"
..... Ternyata orang itu tidak lain adalah Cong Huimiat!
Bagaimana mungkin" Bukankah dia adalah seorang
Tongcu dalam perkumpulan Cing Liong Hwee"
Bukankah dia yang akan menggantikan posisi Tay
Thian" Bagaimana mungkin dia bisa menjadi seorang
pengkhianat"
"Aku tidak tahu," dengan bangga Cong Hoa berkata,
"Tapi ada satu hal aku tahu dengan pasti, manusia
macam Tay Thian tidak mungkin bisa bersikap tenang
apalagi disaat menghadapi maut jika dia tidak
mempersiapkan sesuatu sebelumnya, aku yakin dia pasti
sudah mempunyai rencana lain."
Kemudian sambil berpaling ke arah Tay Thian,
katanya lagi sambil tertawa, "Kalau ditanya persiapan
apa yang telah dia lakukan" Aku pun tidak tahu, aku
hanya yakin asal berteriak pasti ada orang yang akan
memberi tanggapan dan pertolongan."
"Aaai... ternyata wanita memang tidak bisa diajak
melakukan karya besar," keluh Tay Thian sambil
menghela napas.
"Bukan Cuma tidak bisa diajak melakukan karya
besar, kalau punya rahasia lebih baik jangan sampai
mereka ketahui, kalau tidak....."
"Kalau tidak kenapa?" teriak Cong Hoa sambil
melotot ke arah Cong Hui-miat.
"Sebetulnya juga tidak apa-apa, hanya biasanya
mereka tidak tahan kalau mendengar kelewat banyak,"
kata Cong Hui-miat hambar.
"Aku tidak menyangka kalau kau sudah
mempoleskan racun di dalam sarung tanganku!" tegur
Hong Coan-sin sambil melotot gusar ke arah Cong Huimiat.
"Kalau bukan dipoleskan ke dalam sarung tangan,
mana mungkin aku bisa meracuni?"
"Apakah kau tidak takut dengan pembalasan dari
perkumpulan Cing Liong Hwee?"
"Aku masuk menjadi anggota Cing Liong Hwee
karena aku memang ingin menghancurkan
perkumpulan ini," kata Cong Hui-miat hambar,
"mengenai pembalasan dari mereka..." hmm, tentu saja
aku sangat mengerti, kalau ingin membalas, silahkan
saja dilakukan."
"Kau sudah membuang banyak pikiran dan tenaga
untuk menyusup masuk ke pusat perkumpulan Cing
Liong Hwee, mengapa tidak menunggu sedikit hari lagi"
Kenapa kau tidak menunggu sampai bisa menyusup ke
markas besar dan bertemu dengan Liongtau lotoa
sebelum membongkar identitasmu?"
"Sebetulnya aku ingin berbuat begitu, tapi sayang
waktu sudah tidak mengijinkan lagi," kata Cong Huimiat,
"Aku tidak bisa berpeluk tangan membiarkan
nyawa mereka bertiga diujung tanduk, apalagi Nyoo
Cing pun sudah dipojokkan hingga ke posisi mati."
"Posisi mati" Apakah Nyoo Cing berbahaya?" tanya
Cong Hoa. "Hingga detik ini mah belum," kata Tay Thian,
"Sekarang Ti Cing-ling baru berperan sebagai si kucing
yang menangkap tikus, dia pasti akan mempermainkan
Nyoo Cing habis-habisan sebelum membunuhnya."
"Dia berada di mana sekarang?"
"Dalam rumah kayu kecil."
"Dari mana kau tahu kalau dia pasti berada di rumah
kayu kecil itu?"
"Jauh sebelumnya diantara kami berdua sudah ada
perjanjian."
"Sebelumnya" Sejauh mana itu?"
"Tiga belas tahun berselang."
"Berakhir pada saat tahun pertama Ti Cing-ling kabur
dari penjara?"
"Betul."
"Kalau begitu aku adalah salah satu boneka yang
berada dalam perencanaan kalian?" teriak Cong Hoa
sambil menatap wajah Tay Thian.
"Bukan boneka, kau malah salah satu pemeran
utamanya," Tay Thian berkilah, "Tanpa kau, semua
rencana kami tidak mungkin bisa terwujud seperti
sekarang."
Cong Hoa tertawa, sekarang dia berpaling ke arah
Cong-Hui-miat. "Orang tua yang muncul di tempat kebakaran tempo
hari apa benar kau?" tanyanya.
"Betul!" Cong Hui-miat mengangguk.
"Tidak heran sewaktu hampir tertangkap tangan di
dusun itu, tahu-tahu Ui sauya munculkan diri untuk
menyelamatkan dirimu."
"Kalau aku tidak munculkan diri hari itu, mungkin dia
sudah kau paksa untuk unjukkan diri," kata Ui sauya.
"Kenapa tidak beritahu kepadaku terlebih dulu?"
"Kadangkala tidak mengetahui satu persoalan malah
menguntungkan bagimu, paling tidak mengurangi resiko
terjebak dalam ancaman bahaya," Cong Hui-miat
menerangkan. Totokan jalan darah sudah dibebaskan, Cong Hoa
pun melompat turun dari altar panjang, dia pun
meluruskan tulang belulangnya yang kaku, maklum tidur
terlalu lama membuat tulangnya malah sakit dan linu.
Hong Coan-sin masih berdiri ditempat, sama sekali
tidak bergerak. Racun telah merambat naik dari jari
tangan menuju ke bahunya, butiran keringat sebesar
kacang kedele jatuh bercucuran membasahi jidatnya,
mengalir melalui pipinya dan menetes diatas pakaian.
"Hey, kemana kaburnya budak darah?" mendadak
Cong Hoa berteriak keras.
"Dia berada di belakang, dikurung bersama yang
lain!" kata Cong Hui-miat.
"Pada akhirnya kita berhasil juga menjebol markas
penting dari Cing Liong Hwee di tempat ini."
"Belum, kita masih belum berhasil," kata Tay Thian.
"Belum?" tanya Cong Hoa tercengang, "Masa
tempat ini bukan markas penting dari perkumpulan Cing
Liong Hwee?"
"Baik tempat ini maupun Pesanggrahan pengobatan
Coan-sin-Ie-khek, kedua-duanya hanya merupakan
kantor ranting."
"Apa bedanya kantor cabang dengan kantor
ranting?" "Jelas beda, setiap kantor cabang memiliki tiga
ranting, setiap tiga kantor cabang tergabung dalam
satu kantor yang disebut kantor musim."
"Kantor musim" Apa itu kantor musim?" tanya Cong
Hoa. "Ciagwe, jigwee, sagwee tergabung dalam kantor
musim semi, sigwee, gogwee, lakgwee tergabung
dalam kantor musim panas."
"Berarti jitgwee, pehgwee, kaugwee tergabung
dalam kantor musim gugur?"
"Benar."
"Lantas kantor musim apa yang diutus perkumpulan
Cing Liong Hwee untuk mengurusi tempat ini?"
"Kantor musim semi."
"Itu berarti ciagwee, jigwee dan sagwee, siapa sih
Tongcu mereka?" tanya Cong Hoa lagi.
"Tongcu dari sagwee adalah Siau-tiap, tongcu dari
ciagwe adalah pemilik pesanggrahan pengobatan ini,"
kata Cong Hui-miat sambil berpaling kearah Hong Coansin.
"Lalu siapakah Tongcu jigwee?"
Romantika Sebilah Pedang Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hoa U-gi!"
"Apa" Hoa U-gi?" sekali lagi Cong Hoa terkesiap,
"Bukankah dia adalah putri kesayangan Nyoo Cing?"
"Bukan!" sahut Tay Thian, "Dia hanyalah seorang
mata-mata yang sengaja disusupkan ke dalam istana
raja muda."
"Waah, Cing Liong Hwee benar-benar hebat,
manusia berbakat macam apa pun berhasil mereka
rekrut, tapi ada tidak yang sengaja diutus untuk
dijadikan bini peliharaannya?" gurau Cong Hoa sambil
tertawa. Setelah tertawa terkekeh, kembali lanjutnya,
"Ciagwee, jigwee dan sagwee sudah jebol, apakah
sudah diketahui siapa yang menjabat ketua kantor
musim semi?"
"Belum tahu," jawab Cong Hui-miat, "Aku belum
terlalu lama bergabung dengan perkumpulan Cing
Liong Hwee, kecuali pernah bersua dengan para tongcu
dari ciagwee, jigwee dan sagwee, yang lain aku tidak
tahu apa-apa, jangan lagi siapa yang menduduki posisi
ketua kantor musim."
"Waah, kalau begitu kita hanya berhasil menangkap
ikan kecil sementara para ikan kakapnya masih
berenang dengan bebas."
"Justru perkumpulan Cing Liong Hwee menakutkan
lantaran hal ini," kata Tay Thian, "Membuat orang lain
selamanya tidak pernah tahu siapa saja yang menjadi
anggota perkumpulan naga hijau."
Tiba tiba Cong Hoa berpaling ke arah Hong Coan-sin,
serunya, "Mungkin kita bisa mengorek beberapa rahasia
dari mulutnya?"
"Percuma, sesama anggota Cing Liong Hwee selalu
berhubungan dengan menggunakan kata sandi,
lagipula menggunakan cara yang khas dalam
berhubungan, kecuali diri sendiri, siapa pun tidak akan
tahu siapa pihak lawanmu."
"Bagaimana kalau sampai terjadi gontok-gontokan
diantara sesama anggota?"
"Mustahil, sistim kerja mereka berdasarkan satu garis
kebijaksanaan yang ketat, tidak nanti bisa terjadi
peristiwa semacam ini."
"Tapi terkadang kejadian yang tidak mungkinpun bisa
saja terjadi."
Orang yang mengucapkan perkataan itu adalah
Hong Coan-sin, begitu selesai bicara, dia segera
mengayunkan tangan kanannya, cahaya pisau segera
berkelebat lewat.
Sinar tajam itu langsung menghujam ke tubuh Cong
Hoa. Selisih jarak diantara mereka berdua amat dekat, biar
Cong Hoa ingin menghindarpun tidak sempat lagi,
tampaknya pisau tipis itu segera akan menembusi
tenggorokannya.
Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring bergema di
udara, menyusul kemudian tampak sesosok bayangan
manusia berkelebat lewat, langsung menghadang
dihadapan Cong Hoa.
Cahaya kilat berkelebat lalu lenyap, percikan darah
segar pun berhamburan kemana-mana, membasahi
rambut Cong Hoa, menodai pakaiannya, mengotori
seluruh badannya.
Ternyata orang yang menghadang didepan Cong
Hoa adalah Ui sauya.
Ketika Hong Coan-sin menyelesaikan perkataannya
tadi dan belum sempat menggerakkan tangan
kanannya, Ui sauya sudah merasa kalau gelagat tidak
beres, maka disaat pisau tipis itu baru meluncur keluar,
dia sudah menyelinap ke depan menyongsong
datangnya sambaran cahaya itu.
Selesai melemparkan pisaunya, Hong Coan-sin segera
melejit ke udara, melewati pintu sempit dan lenyap
diluar ruangan.
Tay Thian dan Cong Hui-miat membentak gusar,
serentak mereka melakukan pengejaran.
Semburan darah masih memancar dengan derasnya,
darah itu menyembur keluar dari dada kiri Ui sauya,
diantara tulang rusuk ketiga dan ke empat, pisau tipis
itupun masih tertinggal disana.
Paras muka Ui sauya telah berubah jadi pucat pias,
peluh sebesar kacang kedele jatuh bercucuran,
kendatipun kulit mukanya mengejang keras lantaran
menahan sakit namun mimik wajahnya masih tampilkan
perasaan gembira.
Sepasang matanya yang mengejang menatap terus
wajah Cong Hoa, seolah dia mempunyai beribu patah
kata yang hendak disampaikan kepada gadis itu.
"Kenapa kau... kau harus..."
Cong Hoa sudah tidak sanggup melanjutkan
perkataannya lagi, sekuat tenaga dia gigit bibir sendiri
sementara air mata bercucuran bagai bendungan yang
jebol. "Hanya dengan cara begini... kau baru bisa selamat."
Napas Ui sauya mulai tersengkal-sengkal, wajahnya
makin lama semakin memucat, darah yang mengalirpun
makin deras, rasa kesal dan murung sekali lagi melintas
dibalik matanya.
"Ketika kalian sedang berbicara lagi, aku... aku selalu
mem... memperhatikannya," dengan bibir gemetar Ui
sauya berkata, "Aku berpendapat manusia macam...
macam Hong Coan-sin tidak.... tidak semestinya
keracunan de... dengan begitu gampang."
Dia tertawa getir, setelah berhenti sejenak lanjutnya,
"Ternyata... ternyata dugaanku benar, dia... dia
pasti......pasti telah meletakkan obat...obat pemanahnya
dibali sela gigi..."
Cong Hoa manggut-manggut.
"Masih.... masih untung tidak.... tidak sampai
melukaimu..."
..... Tapi sekarang kau yang terluka, bagaimana
dengan aku"
Cong Hoa tidak sampai mengucapkan perkataan itu,
bukannya lantaran dia tidak ingin mengatakan tapi dia
tahu meski tidak usah diucapkan pun Ui sauya pasti
mengerti maksud hatinya.
Memandang tangan Cong Hoa yang sedang
memeluknya, Ui sauya tertawa pedih.
... Sekalipun tertawa pedih, namun terselip pula
perasaan manis dan mesranya.
"Sampai se tua ini aku... aku... baru pertama kali ini
aku... aku dipeluk perempuan."
Air mata Cong Hoa sudah tidak terbendung lagi, dia
tahu luapan perasaan Ui sauya saat ini boleh dibilang
luapan perasaan yang paling tulus dan suci.
Sayang masalah "Cinta" tidak bisa dipaksakan,
karena itu Cong Hoa hanya bisa memandangnya tanpa
bicara. Dia memandang, memandang terus...
......terus sampai mati.
Mati dalam kedamaian, kepuasan dan luapan rasa
gembira. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun Cong Hoa
memeluk tubuh Ui sauya, walaupun air mata masih
meleleh namun sudah tidak mengalir lagi, bibirnya yang
digigit kuat meninggalkan bekas luka yang berdarah.
Andaikata Ui sauya tidak menghadang tusukan
tersebut, apakah dia masih hidup"
Mengapa dia rela menerima tusukan tersebut"
Apakah karena..."
Begitu mengayunkan pisau, tanpa berpaling Hong
Coan-sin segera kabur melalui pintu sempit, dia tahu
lemparan pisaunya pasti akan mengenai sasaran,
masalah siapa yang terkena sudah bukan masalah lagi
baginya. Asal ada yang terkena lemparan pisau itu, suasana
disitu pasti kalut, Hong Coan-sin memang hanya
membutuhkan sedikit waktu untuk melarikan diri.
Menurut perhitungannya, kekalutan itu akan
menyedot perhatian mereka dan diapun akan
manfaatkan kesempatan itu untuk kabur jauh jauh dari
situ. Cuaca diluar rumah sangat cerah, setelah melalui
lorong sempit, Hong Coan-sin kabur menuju ke arah
jalan raya. Dalam cuaca yang begini cerah, banyak orang
berlalu lalang di jalan raya, gerombolan manusia itu
merupakan penghambat yang baik bagi para pengejar.
Saat ini melarikan diri merupakan hal yang paling
penting, maka Hong Coan-sin tidak ambil perduli
bagaimana orang banyak memandangnya dengan
keheranan, dengan mengerahkan ilmu meringankan
tubuhnya dia berlarian menelusuri jalan raya.
Dalam berapa lompatan lagi dia segera akan
meninggalkan pintu kota, tiba-tiba Hong Coan-sin
merasakan pandangan matanya kabur, tahu-tahu dua
sosok bayangan manusia telah melayang turun dari atas
tembok kota. Sewaktu diperhatikan, ternyata kedua sosok
bayangan manusia itu adalah Tay Thian dan Cong Huimiat.
Satu dari depan yang lain dari belakang kedua orang
itu langsung menghadang jalan mundurnya, melihat
tidak ada jalan lagi untuk kabur, Hong Coan-sin pun
tertawa tergelak.
"Sungguh tidak kusangka ilmu meringankan tubuh
yang kalian miliki sangat hebat," katanya.
"Masih banyak persoalan yang tidak kau duga," kata
Tay Thian, "Pernahkah kau bayangkan, tidak sampai
sepuluh gebrakan aku mampu mencabut nyawa
anjingmu?"
"Tidak perlu sepuluh jurus, tujuh jurus pun sudah lebih
dari cukup," Cong Hui-miat menambahkan.
Menonton keramaian merupakan ciri khas dari umat
manusia. Ketika melihat ada orang berlarian dengan
menggunakan ilmu meringankan tubuhpun sudah
merupakan sesuatu yang menarik, apalagi ketika ada
orang mau berduel, tentu saja semakin banyak orang
datang berkerumun untuk melihat keramaian.
Tidak selang berapa saat kemudian kerumunan orang
banyak sudah makin mendekat, mereka mulai
menuding ke sana kemari sambil berbisik bisik.
Hong Coan-sin masih tertawa tergelak bahkan sama
sekali tidak menunjukkan rasa takut atau kuatir,
perlahan-lahan dia melepaskan jubah putih nya
kemudian sambil menyeringai dan mengejek dia tatap
wajah Tay Thian serta Cong Hui-miat.
"Tampaknya pertarungan diantara kita tidak bisa
dihindari lagi hari ini," kata Hong Coan-sin kemudian,
"Aku percaya orang-orang itu pasti ingin menonton
keramaian."
Begitu melihat kawanan penonton berjalan semakin
mendekat, Tay Thian sebenarnya ingin membujuk
mereka agar lebih menjauh karena dia kuatir Hong
Coan-sin menggunakan siasat dengan menjadikan
mereka sebagai perisai hidup, jika sampai demikian
keadaannya, bisa jadi dia hanya bisa mengawasi orang
itu kabur tanpa dapat berbuat apa-apa.
Baru saja dia bersiap membujuk, mendadak
dijumpainya satu hal yang sangat aneh, ternyata
walaupun para penonton itu tersebar disekitar sana
namun hampir semuanya telah menghadang jalan
mundur Tay Thian berdua, bahkan posisi mereka justru
merupakan posisi strategis.
Tampaknya Cong Hui-miat merasakan juga gelagat
tidak menguntungkan, dia segera memberi tanda
kepada Tay Thian dan mereka berdua pun manggutmanggut
dengan penuh pengertian.
Tampaknya kawanan penonton itu bukan penonton
biasa, delapan sampai sembilan puluh persen rupanya
adalah kawanan jago dari perkumpulan Cing Liong
Hwee, bahkan bisa jadi mereka merupakan para
pembunuh kelas satu yang sudah lama mendapat
latihan dan pendidikan ketat.
Sekilas meski mereka kelihatan kalut, namun dalam
kenyataan gerak-gerik mereka sangat beraturan dan
tinggi disiplinnya, bahkan sorot mata mereka nyaris
merupakan sorot mata binatang yang buas dan tajam,
siap menerkam mangsanya.
"Tidak kusangka ternyata penduduk kota ini hampir
semuanya merupakan jago-jago berilmu tinggi," ujar Tay
Thian sambil tertawa.
Perasaan bangga mulai memancar keluar dari wajah
Hong Coan-sin. "Tajam amat matamu," pujinya sambil tertawa,
kemudian sambil berpaling ke arah Cong Hui-miat
terusnya, "Kau sudah cukup lama bercokol dalam
perkumpulan Cing Liong Hwee, masa belum pernah
mendengar tentang kawanan manusia ini?"
"Aku tahu pihak kantor pusat sedang melatih
sekelompok orang yang disebut "serat", kelompok ini
khusus untuk mengatasi pelbagai kejadian yang diluar
dugaan, aku hanya tidak tahu siapakah kelompok itu
dan biasanya berada dimana?"
"Padahal, sekalipun sudah bertemu dengan orangorang
itupun belum tentu akan kau sangka kalau
mereka adalah kelompok serat, sebab pada dasarnya
mereka hanya kaum rakyat biasa."
Kemudian setelah berhenti sejenak, tambahnya, "Di
waktu biasa, mereka hidup disekelilingmu sebagai
layaknya rakyat biasa, penghidupan mereka, kebiasaan
mereka tidak jauh berbeda dengan kehidupan pada
Romantika Sebilah Pedang Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
umumnya." "Serat?" gumam Tay Thian tercengang, "Maksudmu
serat sutera?"
"Benar," Cong Hui-miat mengangguk.
"Kenapa mereka disebut serat?"
"Sebab mereka direkrut secara khusus, harus melalui
seleksi yang ketat dan sejak kecil sudah mendapat
latihan dan pendidikan yang ketat dan keras mengenai
pelbagai cara pembunuhan yang sadis dan keji," ujar
Hong Coan-sin, "Mereka harus mampu memanfaatkan
setiap kesempatan yang ada dalam suasana dan
kondisi yang paling tidak tepat, mereka pun harus
memiliki cara paling cepat untuk membunuh lawan
bahkan bisa mundur dengan selamat selesai melakukan
pembunuhan."
"Apakah ada yang tidak lulus seleksi?" "Tentu saja,
ada yang tidak lulus seleksi dan terpaksa disingkirkan."
"Maksudmu disingkirkan" Dibunuh?"
"Benar, setelah dilakukan seleksi yang ketat setiap
tahunnya, jumlah yang tersisa sudah tidak terlalu
banyak. Kawanan manusia itu hampir semuanya dingin,
sadis, tidak berperasaan, mereka rata rata licik bagai
rase, buas bagai serigala, sabar bagai unta bahkan
hampir semuanya menguasahi ilmu penyusut tulang,
ilmu berganti wajah, sergapan, bokongan, pembunuhan
gelap." Setelah berhenti sebentar, terusnya, "Kelompok yang
tersisa bukan secara otomatis lulus pendidikan,
mereka semua harus menjalani pendidikan lagi di
lembah Giho-kok yang terletak di negeri Hu-siang dan
menjalani latihan sebagai ninja selama tiga tahun."
Kemudian jelasnya lebih jauh, "Setelah menjalani
pendidikan yang ketat, sadis dan buas sebagai seorang
ninja, gerak-gerik mereka semua ibarat seekor ular
berbisa yang pandai menyesuaikan diri dengan
lingkungan, mereka pandai bersembunyi ditempat
tempat persembunyian yang tidak mungkin bisa
ditemukan orang lain, ketika suatu saat kemampuan
mereka dibutuhkan maka orang-orang itu akan muncul
secara tiba-tiba, melakukan penyergapan dan
pembunuhan kemudian menghilang kembali."
"Oya?"
"Terkadang mereka sanggup tidak makan tidak
minum, tidak tidur tidak bergerak, mereka mampu
menyelinap ke dalam sebuah lubang yang kecil lagi
sempit, hidup tanpa bergerak selama dua tiga hari, tapi
begitu mulai bergerak, biasanya pihak lawan bakal mati
secara mengenaskan," kata Hong Coan-sin lagi sambil
tertawa, "Mereka pun sangat menguasahi medan, tahu
semua seluk beluk diwilayah sini, kemampuan mereka
yang tangguh bisa diibaratkan seekor ular serat bambu
yang merupakan ulat paling beracun di dunia ini."
"Kenapa mereka tidak disebut saja sebagai kelompok
ular serat bambu hijau?"
"Sebab kamuflase yang mereka gunakan tidak selalu
berwarna hijau, bentuk mereka pun tidak mirip seekor
ular." Tay Thian segera tertawa, pujinya, "Ehmm masuk
diakal, sangat masuk diakal, serat tetap serat, mana
mungkin ada nama lain yang jauh lebih bagus daripada
sebutan ini?"
..... Biasanya analisa yang dilakukan Tay Thian, suya
dari istana raja muda selatan ini sangat canggih dan
akurat, mungkin dalam hal ini jarang ada yang
menyangkalnya. "Kalau ada serat, seharusnya ada juga jalan serat
sutera," Tay Thian seakan mulai tertarik dengan masalah
ini. "Benar," ternyata dengan sabar Hong Coan-sin
menyahut. "Apakah jalan sutera yang inipun sama seperti jalan
sutera jaman kuno, menghubungkan kota Tiang-an
melalui kota Tun Huang menuju ke barat?"
Hong Coan-sin menggeleng, "Bukan?" tanya Tay
Thian lagi, "Jalan sutera ada dua, berarti jalan yang lain
adalah dari kota Tiang-an menuju ke utara, setelah
keluar perbatasan baru berbelok ke barat?"
Sekali lagi Hong Coan-sin menggeleng.
"Yang inipun tidak benar, lalu jalan sutera mana yang
digunakan?" desak Tay Thian lebih jauh.
"Semuanya bukan, jalan sutera ini bukan sebuah rute
jalan melainkan nama dari seorang manusia."
"Seorang manusia" Aneh, masa manusia bernama
jalan sutera?"
"Sebab orang ini selalu menganggap nyawa sendiri
bagaikan jalur serat sutera yang tipis tapi rapat, dia
sudah menganggap dirinya bukan manusia lagi
melainkan sebuah jalanan, karena tanpa kehadiran
orang ini, kawanan 'serat' itu pun tak punya jalan untuk
ditempuh."
"Oleh sebab itu orang tersebut dinamakan jalan
sutera?" "Benar."
"Bagus, bagus sekali," sekali lagi Tay Thian memuji,
"serat, jalan sutera, nama yang luar biasa, mungkin biar
ada pedang yang mengancam tenggorokanku pun aku
tak akan bisa menemukan nama lain yang jauh lebih
bagus." "Jalan sutera sesungguhnya belum tentu merupakan
seorang manusia, dia bisa berwujud sebuah jalanan,
jalan kematian!" tiba tiba Cong Hui-miat menyela.
"Jalan kematian?"
"Betul!" sekali lagi Cong Hui-miat tertawa, "Meskipun
kawanan serat itu beranggapan tanpa dia maka tidak
ada jalan, kalau ada dia pun sebenarnya tetap todak
ada jalanan, kalau semisal dibilang ada, aku lihat
jalanan itu tidak lebih hanya sebuah jalan kematian."
Berubah hebat paras muka Hong Coan-sin, berubah
menjadi sangat tidak sedap dipandang.
Terlebih kawanan manusia yang disebut 'serat' itu,
paras muka mereka berubah menjadi amat tidak sedap,
bukan Cuma tidak sedap bahkan terkenan rasa kaget
dan tercengang yang luar biasa, agaknya mereka tidak
menyangka kalau ada orang berani
memperbincangkan tentang mereka secara begitu
santai bahkan bernada mengejek dan menghina.
Berapa diantara mereka sudah mulai
mengggenggam senjata andalannya, asal perintah
diturunkan, mereka segera akan menyerbu ke depan
dan mencincang tubuh kedua orang itu hingga hancur
berkeping. Cong Hui-miat seolah tidak menyadari akan
kemarahan kawanan manusia itu, kembali ujarnya, "Dari
kelompok 'serat' tersebut, kini sudah muncul dua puluh
tujuh orang, ditambah kau berarti berjumlah dua puluh
delapan orang." Setelah melirik Hong Coan-sin sekejap,
lanjutnya, "Sementara kami hanya berdua saja,
kelihatannya hari ini kami bakal mati."
"Dalam kenyataan agaknya memang seperti itu,"
sambung Tay Thian cepat.
"Kelompok serat ini merupakan kelompok manusia
yang sudah terlatih untuk membunuh, tapi bila kuhitung
sampai angka ketiga, mereka semua pasti akan
mampus, percaya tidak?" tanya Cong Hui-miat lagi.
"Menghitung sampai angka ketiga" Aku tidak
percaya," Tay Thian menggeleng, "Dihitung sampai
angka tiga ratus pun aku tetap tidak percaya!"
"Kau benar benar tidak percaya?"
"Tidak percaya?"
"Bagaimana kalau kita bertaruh?"
"Baik."
Cong Hui-miat pun berpaling ke arah Hong Coan-sin,
tanyanya pula, "Bagaimana dengan kau" Percaya
tidak" Berani bertaruh?"
Kelihatannya orang ini sudah mabuk, apakah dia
sedang mengigau dalam mabuknya"
Dua orang berhadapan dengan dua puluh delapan
orang, dalam hitungan ketiga dia mengatakan semua
'serat' itu bakal mati, mana mungkin"
Tentu saja Hong Coan-sin tidak percaya, tentu saja
diapun bersedia untuk bertaruh. "Baik, aku ikut
bertaruh."
BAB 2. Kasus berdarah disiang hari bolong.
Pertaruhan sudah diputuskan, berarti pertarungan
segera akan dimulai.
Bagaimana dengan barang taruhan" Apa Yang
dipertaruhan"
Berada dalam keadaan seperti ini, menurut anda apa
yang mereka pertaruhkan"
Kecuali kematian, apa lagi yang bisa dipertaruhkan"
Sang pemenang akan hidup, sedang pihak yang
kalah jangan harap punya kesempatan untuk merebut
kembali kemenangan.
Lalu siapa yang menang dan siapa yang kalah"
Hong Coan-sin yang menang" Atau Cong Hui-miat"
Cahaya matahari yang cerah menyinari permukaan
bumi, menyoroti wajah setiap orang.
Suasana dijalan raya seketika berubah jadi hening,
setiap wajah menampilkan perasaan tercengang dan
tidak percaya, sementara senyuman Cong Hui-miat
begitu wajar, begitu leluasa seakan dialah yang akan
menjadi pemenang dalam pertaruhan ini.
Tay Thian ikut tertawa, bukan hanya bibirnya yang
tertawa, bahkan hidung pun seakan ikut tertawa,
dengan sorot mata yang penuh dengan senyuman dia
pandang wajah Hong Coan-sin.
Tentu saja Hong Coan-sin pun sedang tertawa, tapi
tertawanya jauh lebih jelek daripada menangis, bocah
umur tiga tahun pun dapat melihat kalau senyuman
tersebut kelewat dipaksakan.
Tertawanya memang kelewat dipaksakan, biarpun
dia berusaha untuk bersikap sewajar mungkin namun
kulit dan otot wajahnya seolah sudah membeku, sudah
menjadi kaku, dia tidak habis mengerti kenapa dalam
kondisi jumlah yang lebih kecil dan kemampuan silat
yang lebih lemah, Cong Hui-miat berani bicara begitu
meyakinkan" Dia benar benar pingin segera tahu apa
akibat yang terjadi setelah orang itu selesai menghitung
angka ketiga. Untuk menghitung dari angka satu ke angka tiga
hanya dibutuhkan waktu yang amat singkat, bahkan
perhitungan segera telah dimulai.
Ketika perhitungan angka satu mulai diteriakkan,
Hong Coan-sin baru menyadari bahwa orang yang
melakukan perhitungan bukan Cong Hui-miat juga
bukan Tay Thian, melainkah Cong Hoa yang entah
sedari kapan sudah nongkrong diatas tembok kota.
Cong Hoa berada jauh diatas tembok kota, dia
sedang membopong seseorang dan orang itu tidak lain
adalah Ui sauya.
Begitu melihat kemunculan Cong Hoa, Hong Coan-sin
kagetnya setengah mati, tapi kejadian berikut membuat
dia semakin terbelalak dengan mulut melongo.
Ketika Cong Hoa mulai menghitung angka 'satu',
peristiwa yang tidak mungkin terjadi telah berlangsung di
depan mata. Hong Coan-sin menyaksikan dinding kota mendadak
merekah dan terbelah dua, pasir dan batu berguguran
ke mana mana, menyusul berhamburnya debu dan
pasir dia saksikan munculnya satu baris manusia diatas
tembok kota itu, berdiri sambil mementangkan busur
dan anak panah.
Busur telah dipentang, diujung anak panah pun telah
disulut api, ketika terpantul cahaya matahari
terperciklah sinar kehijau hijauan.
"Sreeet, sreeet....." desingan angin tajam membelah
seluruh angkasa, busur telah dilepas, anak panah pun
berhamburan ke bawah.
Lima puluh empat batang anak panah menghujam
ditubuh dua puluh tujuh orang, setiap orang 'serat'
mendapat jatah dua batang anak panah.
Tatkala dinding kota mulai merekah, kelompok 'serat'
sebetulnya sudah mulai bergerak, reaksi yang mereka
tunjukkan sebetulnya sangat cepat dan terhitung nomor
satu. Tapi sayangnya baru saja tubuh mereka bereaksi, dua
puluh enam batang anak panah sudah melesat
membelah bumi dan menyongsong tubuh mereka.
Buru buru mereka berjumpalitan di tengah udara,
kemudian bagaikan batu cadas yang terguling ke dasar
jurang secepat kilat kedua puluh tujuh orang itu
melayang turun ke bawah.
Reaksi mereka pun terhitung luar biasa, apa mau
dikata baru saja tubuh mereka meluncur turun, kembali
ada dua puluh enam batang anak panah yang
membawa api meluncur tiba bahkan bagaikan
rangkusan cewek cantik, langsung menggulung ke
tubuh mereka semua.
Api itu langsung membakar pakaian yang dikenakan
orang-orang itu, ada yang seketika tewas setelah
terbidik panah, ada yang berusaha lari sambil
membawa api yang masih berkobar, ada pula yang
berusaha bergulingan diatas tanah.
Jeritan ngeri yang menyayat hati berkumandang silih
berganti, ada sebagian orang yang segera terbakar
hingga tubuhnya melingkar bagaikan ebi, ada pula
yang masih bergulingan di tanah sambil menjerit
kesakitan. Hanya dalam waktu singkat dua puluh tujuh orang
Romantika Sebilah Pedang Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
'serat' yang lebih beracun dari ular berbisa, kini berubah
jadi tikus 'mampus'.
Bila tidak menyaksikan dengan mata kepala sendiri
maka sulit untuk membayangkan betapa ngerinya suara
jeritan kedua puluh enam orang itu, suara jeritan mereka
kedengaran begitu mengerikan, begitu mengenaskan
dan begitu mengecutkan hati siapa pun yang
mendengarnya. Paras muka Hong Coan-sin mengejang keras, entah
karena merasa ngeri" Atau sedih" Dibawah cerahnya
sinar matahari, tubuhnya nampak gemetar keras.
Entah sejak kapan Cong Hoa sudah melayang turun
ke bawah, dia berdiri disisi barat Hong Coan-sin,
tangannya masih membopong tubuh Ui sauya.
Dengan pandangan mata tanpa perasaan, dengan
nada ucapan tanpa perasaan dia berkata, "Orang ini
tewas diujung pisaumu yang kau lempar seenaknya,
sekarang kau masih meninggalkan pisau tipismu didalam
dadanya." Hong coansin mengalihkan sorot matanya ke atas
pisau yang masih menghujam di dada Ui sauya, darah di
seputar mulut luka telah membeku, warnanya telah
berubah jadi merah kehitam-hitaman, namun mata
pisau memancarkan sinar kehijau-hijauan.
"Kau kalah!" ujar Cong Hui-miat kemudian.
"Yaa, aku kalah," sahut Tay Thian sambil menghela
napas, "Aku memang kalah, tapi aku benar-benar kalah
dengan perasaan puas."
Berbicara sampai disitu dia berpaling memandang
Hong Coan-sin yang masih melengak, kemudian
lanjutnya, "Bagaimana dengan kau" Apakah mengaku
kalah" Apakah kalah dengan puas?"
Hong Coan-sin tidak langsung menjawab, dia masih
berdiri ditempat tanpa bergerak, seakan sebongkah
batu cadas, entah berapa lama sudah lewat, dia baru
berkata, "Takluk!"
Akhirnya sekulum senyuman menghiasi bibirnya,
senyuman getir, "Bukan Cuma takluk, akupun mengaku
kalah!" Perlahan dia mengalihkan pandangan matanya
mengawasi Cong Hoa bertiga, memandangnya dari
atas hingga ke bawah, dari kiri ke kanan dan akhirnya
dia menghembuskan napas panjang.
"Sekarang aku baru tahu, ternyata butuh waktu yang
sangat lama untuk menghitung angka satu hingga ke
angka tiga, sedemikian lamanya sehingga lebih dari
cukup untuk menghabisi nyawa dua puluh enam orang
pria jagoan. Hari ini, semestinya merupakan hari yang
terpanjang dalam sejarah hidupku."
Kembali ia tertawa, tetap tertawa getir.
"Tumbuh hingga hari ini, pada hakekatnya aku tidak
tahu di tahun berapa" Bulan ke berapa" Dan pada hari
apa adalah saatku untuk mendusin?"
"Betul. Demikian juga dengan orang yang berbaring
didalam boponganku sekarang, dia pun tidak tahu
pada tahun berapa, bulan berapa dan hari apa baru
akan mendusin kembali," sambung Cong Hoa, "Sebab
hari inipun merupakan hari terpanjang yang harus
dialaminya dalam sejarah kehidupannya."
Angin berhembus kencang, membawa suara
desingan bagaikan jeritan setan, bikin hati orang
bergidik, membuat tamu yang kebetulan lewat merasa
ketakutan. Masih untung ditempat itu tidak ada kaum wanita
lemah, pun tidak ada tamu yang kebetulan lewat.
Disana memang tidak ada apa-apa kecuali empat
manusia, namun orang yang mati jauh lebih banyak
daripada orang hidup.
Suasana amat hening, sepi bagai di tanah
pekuburan. Entah sedari kapan, tiba-tiba angin tidak berhembus
lagi, suasana dijalan raya hening dan sepi, hanya
seekor anjing putih yang berjalan menelusuri jalan raya
sambil mengendus ke sana kemari.
Darah sudah lama mengering, tapi wajah Hong
Coan-sin kuning bagaikan tanah liat, dia masih berdiri
termangu sambil mengawasi kabut tipis yang tiba-tiba
muncul dari kejauhan sana.
Ketika kabut itu kian mendekat, mendadak sorot
matanya memancarkan perasaan ngeri dan takut yang
luar biasa. Cong Hui-miat tidak melihat datangnya kabut, dia
sedang mengawasi anjing putih itu, anjing putih yang
sedang mengendus disudut jalan raya.
Dengan cepat kabut itu menyelimuti seluruh tubuh
anjing putih itu.
Mendadak anjing itu membelalakkan matanya lebar
lebar sambil mengawasi mereka yang berada ditepi
pintu kota, sewaktu kabut itu melayang lewat, kakinya
nampak seolah mengejang keras, disusul kemudian
kepalanya terkulai lemas dan tidak bergerak lagi.
Perasaan ngeri seketika melintas dibalik mata Cong
Hui-miat, teriaknya tiba-tiba, "Mundur, cepat mundur ke
atas tembok kota!"
Rupanya Tay Thian dan Cong Hoa pun sempat
menyaksikan perubahan yang dialami anjing putih itu,
maka begitu Cong Hui-miat berteriak memberi
peringatan, serentak mereka melejit ke udara dan kabur
ke atas dinding kota.
Hong Coan-sin sama sekali tidak bergerak, paras
mukanya yang semula tegang, ngeri dan ketakutan, kini
telah berubah jadi wajah pasrah dan ketidak
berdayaan, tanpa bergerak sedikitpun dia membiarkan
kabut itu menyelimuti tubuhnya.
"Aneh benar kemunculan kabut itu," kata Cong Hoa
kemudian, "Setiap kali identitas seorang anggota Cing
Liong Hwee terungkap, pada pada detik yang terakhir
akan muncul kabut semacam itu."
"Bila kabut itu muncul, berarti ada orang bakal
mampus!" kata Tay Thian, "Bahkan biasanya orang yang
mampus pastilah anggota perkumpulan Cing Liong
Hwee." "Ini namanya membunuh orang menghilangkan
saksi," Cong Hui-miat menimpali sambil mengawasi
kabut yang menyelimuti kaki dinding kota.
"Kalau sudah tahu setiap kemunculan kabut itu bakal
mencabut nyawa seseorang, mengapa mereka tidak
berusaha untuk melarikan diri?" kembali Cong Hoa
bertanya. "Hari ini mungkin kau berhasil lolos, tapi jangan harap
bisa lolos selamanya," kata Cong Hui-miat,
"Perkumpulan Cing Liong Hwee paling benci terhadap
anggotanya yang melarikan diri, orang semacam itu
biasanya akan diganjar dengan hukuman yang amat
keji dan telengas."
"Anehnya bagaimana mungkin kabut itu bisa
membunuh orang?"
"Dibalik kabut terkandung semacam racun keji yang
sangat mematikan, racun jenis ini tidak perlu menyusup
masuk melalui lubang hidung tapi bisa langsung
menyusup melalui pori pori di kulit tubuh manusia."
"Kabut semacam ini pasti ada yang melepaskan,
mengapa tidak pernah menjumpai orang yang
melepaskan kabut itu?"
"Sudah cukup lama aku selidiki persoalan ini, hingga
sekarang pun aku tetap belum tahu siapa yang
melepaskan kabut itu," kata Cong Hui-miat.
"Apa mungkin dilakukan oleh Liongtau perkumpulan
Cing Liong Hwee?"
"Tidak mungkin!" Tay Thian menggeleng, "Manusia
semacam dia tidak nanti akan turun tangan sendiri."
Cong Hui-miat manggut-manggut, dia sangat setuju
dengan pendapat itu.
Tidak selang berapa saat kemudian, kabut yang
semula menyelimuti jalan raya itu kini sudah buyar dan
hilang lenyap. Kabut itu datang dengan cepat, waktu buyar pun
sama cepatnya. Angin barat masih berhembus kencang, Hong Coansin
masih berdiri tegak ditempat semula, bergerak
sedikitpun tidak.
"Kenapa dia belum roboh?" tanya Cong Hoa
keheranan, "Jangan-jangan kabut tadi tidak beracun"
Atau mungkin dia sudah menelan obat penawar
racunnya?"
"Semuanya bukan," tukas Cong Hui-miat, "Aku jamin
dari ujung kepala hingga ke ujung kakinya sudah mati,
hanya saja dia mati dengan tidak ikhlas, oleh sebab itu
rasa gusar dan tidak puasnya membuat tubuhnya tetap
bertahan pada posisi semula, dia seolah ingin
menunjukkan bahwa kematiannya dalam posisi berdiri
merupakan protes atas ketidak puasannya."
"Darimana kau tahu kalau dia sudah mati" Bukankah
sewaktu berada di rumah bambu pun dia pernah
keracunan, tapi racun itu berhasil dia punahkan sendiri, j
angan j angan..."
"Aku rasa dia memang sudah mati!" tiba-tiba Tay
Thian menyela, "Coba kau perhatikan tangannya!"
Cong Hoa segera mengalihkan perhatiannya ke
tangan Hong Coan-sin, betul juga, jari tangannya sudah
menghitam semua, pertanda kalau dia sudah
keracunan hebat.
Kakek pengasah pisau.
Senja telah tiba, matahari sudah condong ke langit
barat, kegelapan malam pun sudah mulai menurunkan
tirainya. Guguran bunga bwee masih berserakan di
permukaan hutan, meninggalkan bau lembab yang
tajam di seputar tempat itu.
Kabut amat tipis.
Nyoo Cing masih duduk di depan kuburan,
pandangan matanya masih kosong, hampa.
Mendadak muncul sesosok bayangan dari balik
kabut, ketika semakin mendekat, terlihatlah kalau dia
adalah seorang kakek.
Seorang kakek yang berperawakan tubuh pendek.
Orang itu mengenakan jubah pendek warna putih
yang terbuat dari bahan kain kasar, ikat pinggangnya
berwarna hitam dan sepatu kain yang dikenakan
dipenuhi noda lumpur.
Wajahnya sudah penuh keriput, tangannya
menggembol sebuah buntalan kuno sementara
dipinggangnya terselip dua bilah pedang.
Ketika tiba ditepi kuburan, kakek itu menurunkan
buntalannya dan perlahan lahan membukanya, dari
dalam buntalan tersebut dia mengeluarkan sebuah batu
untuk mengasah pisau.
Setelah meletakkannya ke tanah, dia pun meloloskan
dua bilah pedang yang tersoren dipinggangnya.
"Criiing!" ketika mata pedang tertimpa cahaya
matahari senja, segera terbiaslah cahaya berwarna
kuning yang amat menyilaukan mata.
Dengan ujung jarinya kakek itu memeriksa sejenak
mata pedangnya, kemudian gelengkan kepalanya
berulang kali dengan wajah tidak puas.
Setelah membasahi batu pengasahnya dengan air,
kakek itu berjongkok dan mulai mengasah pedangnya
dengan khusuk. Sejak kakek itu munculkan diri, melepaskan pedang,
mengasah senjata, Nyoo Cing seolah tidak melihatnya,
dia masih belum bergerak, sorot matanya masih
memandang ke tempat kejauhan.
Kakek itupun sama sekali tidak menaruh perhatian,
dia hanya mengasah pedangnya dengan serius, seolaholah
kedatangannya hanya untuk mengasah pedang
sementara urusan lain bukan urusannya.
Matahari lambat laun makin meninggi, kabut pun
makin lama makin menipis.
Butiran keringat mulai membasahi jidat kakek itu,
keringat yang bercucuran karena dia telah
menggunakan tenaganya untuk mengasah pedang.
Ketika pedang pertama selesai diasah, dia pun mulai
mengasah pedang yang kedua.
Pedang yang selesai diasah diletakkan disamping,
ketika sinar matahari menimpa ditubuh pedang,
terbiaslah cahaya terang yang berkilauan.
Akhirnya kedua bilah pedang itu telah selesai diasah.
Kakek itupun menghembuskan napas lega, dengan
ujung bajunya ia mulai menyeka keringat yang
membasahi jidatnya.
Bila tujuan kedatangannya adalah untuk mengasah
pedang, sudah saatnya untuk pergi dari situ.
Tapi kakek itu seolah tidak ada niatan untuk pergi
meninggalkan tempat itu.
Nyoo Cing sendiripun sepertinya enggan mengusik
kakek itu, masih sama seperti sebelum kedatangan
kakek itu, dia duduk tanpa bergeser sedikitpun.
Akhirnya kakek pengasah pedang itu bangkit berdiri,
tangannya menggenggam pedang yang baru saja
diasahnya kemudian membalikkan badan dan duduk
membelakangi Nyoo Cing.
Sisa cahaya senja menyinari wajah kakek itu,
membuat kerutan wajahnya nampak lebih tegas dan
jelas. Tiba-tiba dia tertawa, tangan kirinya diayunkan dan
pedang yang berada dalam genggamannya sudah
meluncur ke tangan Nyoo Cing.
Pedang itu meluncur tepat ke tangan kanan Nyoo
Cing, seakan-akan ada orang yang menyodorkan
senjata itu dengan dua belah tangan.
Romantika Sebilah Pedang Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pedang diterima, digetarkan dan bunga pedang pun
memancar ke udara.
Diantara kilauan cahaya tajam, tubuhnya ikut
melompat bangun.
Sambil mengawasi pedang dalam genggamannya,
Nyoo Cing menghadapkan mata pedang ke arah
cahaya senja, membiarkan pantulan cahayanya
berkilauan. Kini kakek pengasah pedang sudah mulai bergerak,
tiba-tiba dia melancarkan sebuah tusukan ke arah Nyoo
Cing, gerakannya sangat mendadak, jurus serangannya
ganas dan buas.
Nyoo Cing mengangkat pedangnya menangkis
kemudian tubuhnya mengigos ke samping.
"Traaang!" ditengah bentrokan nyaring, terlihat
percikan bunga api memancar ke empat penjuru,
namun hanya sekejap kemudian sudah lenyap tak
berbekas. Semua jurus serangan yang digunakan kakek itu
ganas, buas dan telengas, tapi satu demi satu berhasil
dipunahkan Nyoo Cing secara manis.
Tusukan dibalas dengan tusukan, babatan dibalas
dengan babatan, dalam waktu singkat kedua orang itu
sudah saling menyerang sebanyak enam puluh empat
jurus. Akhirnya terlihat garis kerutan diwajah kakek itu makin
lama semakin bertambah jelas, tiba tiba dia menghela
napas dan mengucapkan perkataan yang tidak
terduga oleh siapa pun, "Putra Nyoo Heng memang
tidak malu menjadi putra Nyoo Heng."
Nyoo Cing membalikkan tubuhnya, kepada kakek
pengasah pedang itu sahutnya singkat, "Terima kasih
banyak." "Tampang dan lagakmu saat ini sama persis seperti
saat aku berjumpa dengannya dulu, bahkan termasuk
wataknya pun persis sama."
"Benarkah begitu?"
"Benar."
Tampaknya kakek pengasah pedang itu sudah
terjerumus dalam kenangan lamanya.
"Peristiwa ini sudah berlangsung lama, lama sekali,
waktu itu usianya jauh lebih muda ketimbang usiamu
sekarang, dia masih dalam taraf belajar pedang, belajar
menggunakan pedang, diapun sedang melatih
pedang. Meskipun gurunya, Siau Gong-cu tidak terlalu
bagus ilmu pedangnya, namun kemampuannya dalam
menempa pedang terhitung nomor wahid dilkolong
langit." Setelah menghela napas panjang, lanjutnya, "Sayang
cita cita dan konsentrasi ayahmu hanya tertumpu pada
ilmu pedang, itulah sebabnya kemampuan gurunya
dalam menempa senjata pun jadi punah."
"Ayahku sudah meninggal lama, semasa hidupnya
dulu diapun sering merasa menyesal karena persoalan
ini," kata Nyoo Cing, "Dia sering berkata kepadaku,
seandainya yang dia pelajari bukan ilmu pedang
melainkan kepandaian menempa senjata, mungkin
penghidupannya saat itu jauh lebih senang dan
bahagia." Kakek pengasah pedang kelihatan semakin murung
dan sedih. "Kehidupan manusia sudah ditentukan oleh takdir,
setiap orangpun mempunyai cita-cita sendiri, hal
semacam ini memang tidak bisa dipaksakan," kata
kakek itu sambil memandang pedang dalam
genggamannya, "Seperti contohnya pedang ini."
Setelah berhenti sejenak, kembali lanjutnya, "Pedang
pun mempunyai garis takdirnya, sama persis seperti
manusia, ada saat beruntung ada pula saat sial, ketika
aku mengunjungi Siau Gong-cu waktu itu, tujuanku
sebenarnya hanya ingin meramalkan nasib dari pedang
tajam yang baru berhasil ditempanya, pedang Lenggong."
"Pedang Leng-gong?" tanya Nyoo Cing.
"Benar, pedang tersebut adalah pedang pembawa
sial, siapa yang membawanya bakal tidak selamat
bahkan terancam keluarga bubar manusianya mampus,
oleh sebab itu Siau gong-cu memusnahkan pedang itu,
kemudian dengan sisa tubuh yang ada dia menempa
lagi sebilah pisau baru, pisau yang lebih tipis dari kertas."
"Golok kelembutan?"
"Betul, golok tipis itu dinamakan kelembutan, akhirnya
senjata itu jatuh ke tangan Ing Bu-ok setelah
menukarnya dengan sebilah kitab pusaka kuno yang
tidak utuh."
Tiba-tiba paras muka Nyoo Cing berubah, dia seolah
terbayang kembali semua peristiwa tragis yang dialami
ayahnya dulu. "Konon separuh bagian buku yang sebelah kiri sudah
terbakar hangus sehingga setiap jurus serangan yang
tercantum dalam kitab itu hanya tersisa setengah jurus,
pada hakekatnya tidak mungkin bisa terlatih menjadi
sebuah ilmu pedang yang hebat," ujar kakek itu lagi.
"Aku tahu."
"Kemudian Nyoo Heng dengan mengandalkan
senjata kaitan malang melintang dalam dunia
persilatan, ada pun jurus serangan yang dia pergunakan
tidak lain adalah hasil latihannya dari kitab pusaka tidak
utuh itu."
"Justru karena jurus serangan yang tercantum dalam
kitab itu tidak utuh, bila digunakan untuk berlatih ilmu
pedang jelas tidak akan menghasilkan apa-apa, tapi
ketika digunakan untuk berlatih dengan senjata pedang
yang sudah berubah bentuk jadi kaitan, terciptakan
serangkaian ilmu silat yang luar biasa hebatnya, setiap
jurus serangan bertentangan dengan jurus pada
umumnya bahkan selalu mengancam datang dari arah
yang sama sekali tidak terduga, itulah sebabnya jarang
ada orang yang sanggup menghadapinya," Nyoo Cing
menjelaskan. "Pedang yang berubah bentuk tidak lain adalah kait
perpisahan, itulah pedang yang dipesan Lan Toa
sianseng untuk ditempa namun gagal menjadi sebilah
pedang." "Benar."
"Inilah yang disebut kehendak Thian," kata kakek itu
lagi, "Dengan tidak utuh melengkapi tidak utuh,
seandainya ada kitab tidak ada senjata, atau ada
senjata tidak ada kitab, mustahil akan tercipta sebuah
ilmu yang luar biasa ampuhnya."
Mendadak terpancar sinar yang sangat aneh dari
balik mata kakek itu, tambahnya, "Atau jangan jangan
ini bukan kehendak Thian, melainkan niat dari Siau
Gong-cu sendiri?"
Nyoo Cing membungkam, dia sama sekali tidak
menanggapi. "Oleh karena dia sudah memiliki kitab kiam-boh yang
tidak utuh maka dengan sengaja dibuatlah sebilah
pedang yang tidak utuh, tujuannya agar bisa diwariskan
kepada anak muridnya," kakek itu menghela napas
panjang, "Dia sadar kalau ilmu pedangnya kurang
bagus, kalau bisa membuat anak muridnya menjadi
seorang jago pedang kenamaan, jelas hal ini
merupakan satu kebanggaan tersendiri baginya."
Nyoo Cing merasa bergidik, hawa dingin serasa
merasuk hingga ke tulang sumsumnya, lewat lama
kemudian dia baru berkata, "Golok kelembutan saat ini
sudah terjatuh ke tangan satu satunya murid tunggal Ing
Bu-ok, sang bangsawan kelas satu Ti Cing-ling!"
"Bila membunuh orang dengan menggunakan golok
kelembutan, mulut luka diluar pasti tidak terlihat, tidak
ada darah yang mengalir keluar, tapi orang yang
tertusuk pasti akan mengalami pendarahan hebat
didalam rongga badannya hingga menyebabkan
kematian."
"Ada bayangan tanpa wujud, ada bentuk tanpa
rupa, cepat bagai kilat, lembut bagai rambut," kata
Nyoo Cing, "Ayahku pernah memberitahukan
kepadaku, lebih baik sepanjang hidup jangan bertemu
dengan golok kelembutan."
"Lembut bisa menaklukkan keras," ujar kakek itu
perlahan, kemudian sambil menatapnya tajam katanya
lagi, "Mungkin kau masih belum mengerti kenapa aku
membiarkan kait perpisahan terjatuh ke tangan Ti Cingling."
"Benar, aku memang tidak habis mengerti mengapa
kau suruh aku berbuat begitu, sebenarnya apa
alasannya?"
"Ketika terjadi pertarungan pada dua puluh tahun
berselang, yang kalah seharusnya kau. Ti Cing-ling bisa
kalah karena dia kalah oleh kesombongan sendiri, kalah
karena kelewat pandang remeh dirimu, kelewat
pandang enteng kemampuan kait perpisahan, dia
selalu tak percaya kalau kelembutannya tidak mampu
mengungguli kait perpisahan."
"Jadi kau beranggapan golok kelembutan pasti
dapat mengatasi kait perpisahan?"
"Benar, kait perpisahan ibarat sekeping baja, keras,
alot dan kuat, hanya manusia macam ayahmu yang
pantas dan cocok menggunakan senjata macam kait
perpisahan."
Setelah menelan air liurnya kakek itu berkata lebih
jauh, "Seperti misalnya golok kelembutan yang lemah
gemulai bagai kasih seorang gadis, benda itu tidak
mungkin cocok digunakan oleh manusia sebangsa Ing
Bu-ok, itulah sebabnya dia serahkan senjata tersebut
kepada Ti Cing-ling. Kelembutan hanya diberikan untuk
sang kekasih, hanya kelembutan yang bisa merontokkan
iman banyak manusia, bila Ti Cing-ling dapat
memahami bagaimana mengendalikan kelembutan,
maka ibarat harimau memiliki sayap, dia akan manusia
tidak tertandingi di kolong langit."
Nyoo Cing tidak berbicara, dia hanya membungkam.
"Dua puluh tahun berselang dia sudah kalah, dua
puluh tahun kemudian dia pasti akan menggunakan
golok kelembutan untuk menghadapi kait perpisahan."
"Dan kait perpisahan pasti tidak akan mampu
menghadapi golok kelembutan?" tanya Nyoo Cing.
"Pasti!" jawab kakek itu meyakinkan, "Bila kait
perpisahan masih berada ditanganmu, maka dalam
pertarungan nanti yang kalah pasti kau, yang mati pun
pasti kau."
"Tanpa kait perpisahan, memangnya aku mampu
mengunggulinya?"
"Tidak dapat! Tidak mungkin ada seorang manusia
pun yang mampu menghadapi golok kelembutan
dengan tangan kosong."
"Berarti aku pasti akan kalah dalam pertarunga ini?"
"Belum tentu."
Nyoo Cing tidak mengerti apa maksud perkataannya,
maka dia mengawasinya dengan mata terbelalak lebar.
Kakek itu menengadah memandang sekejap ke
ujung langit, tiba-tiba perubahan aneh terlintas
diwajahnya, dengan nada suara yang aneh dia
berkata, "Setelah muncul golok kelembutan dan kait
perpisahan, berarti pasti akan muncul pula senjata yang
ketiga." "Senjata ketiga?"
"Benar."
"Apa namanya" Kenapa belum pernah ada yang
mendengar tentang hal ini?"
"Menurut berita yang tersiar dalam dunia persilatan,
katanya siau gong-cu bunuh diri karena gagal
menempakan sebilah pedang untuk Lan toa sianseng,
padahal berita tersebut keliru besar, Siau Gong-cu bisa
tewas karena dia mengorbankan diri demi pedang yang
ketiga ini."
"Kenapa?"
"Setelah golok kelembutan dan kait perpisahan
beredar dalam dunia persilatan, Siau Gong-cu
mendapat wangsit yang memintanya untuk melebur sisa
bahan pembuat golok kelembutan dan kait perpisahan
menjadi satu, dari bahan bahan yang tersisa itulah dia
menciptakan senjata yang ketiga."
"Dalam bentuk apa senjata yang ketiga itu?"
"Pedang, sebilah pedang," jawab kakek itu sambil
menatapnya tajam.
"Pedang" Apa namanya?"
"Pedang amarah!"
"Pedang amarah?"
"Benar," mendadak mencorong sinar tajam dari balik
mata kakek itu.
"Disaat pedang ketiga selesai ditempa, garis yang
muncul pada tubuh pedang itu kacau bagai serat
sutera, ujung pedang pun memancarkan cahaya merah
bagai bara api," kata kakek itu, bahkan ketika pedang
tersebut selesai ditempa, cuaca tiba-tiba berubah, iklim
pun jadi kacau, musim hujan datang setengah bulan
lebih dini dari jadwalnya."
"Begitu pedang itu selesai ditempa, musim hujan
datang lebih dini?"
"Benar, oleh sebab itu pedang tersebut disebut
pedang amarah, disebut juga musim semi yang marah!"
"Musim semi yang marah?" kembali Nyoo Cing
bertanya, "Saat ini pedang tersebut berada di mana?"
"Sebenarnya pedang ini merupakan benda
pembawa bencana, seperti orang yang lahir cacad,
sejak dilahirkan sudah membawa hawa sesat yang
menakutkan, oleh sebab itu begitu pedang tersebut
selesai ditempa, Siau suhu pun tidak segan
menggunakan nyawanya untuk menemani pedang
Romantika Sebilah Pedang Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ketiga itu terkubur bersama."
"Dikubur di mana?"
"Sebuah tempat yang sangat menakutkan!"
Pedang ketiga. "Sebuah tempat yang sangat menakutkan?"
Tempat manakah di dunia ini yang pantas disebut
tempat yang sangat menakutkan"
Apakah tanah pekuburan menakutkan" Apakah
pembunuh menakutkan" Apakah setan iblis
menakutkan" Apakah ayam yang sudah mati berapa
hari dan mulai dikerubuti belatung disebut menakutkan"
Apa yang disebut menakutkan"
"Menurut kau, apa yang paling menakutkan?" tanya
kakek pengasah pisau sambil menatap tajam Nyoo
Cing. Nyoo Cing termenung sambil berpikir, lama kemudian
dia baru menjawab, "Sahabat, sahabat yang paling
menakutkan."
"Kenapa?"
"Sebab hanya teman yang bisa sangat memahami
tentang dirimu, hanya teman yang bisa memperoleh
kesempatan untuk mendekatimu, hanya teman yang
membuat kau sama sekali tidak waspada," kata Nyoo
Cing, "Tapi seringkah justru mereka yang
mengkhianatimu, justru mereka yang membuat kau
sengsara dan menderita, oleh sebab itu sahabat yang
paling kau percaya, sahabat yang paling akrab
denganmu justru perlu diwaspadai terus."
BAB 4. Kemudian sambil menatap kakek itu, dia
menambahkan, "Dan lantaran sahabatmu telah
berkhianat kepadamu, maka hidupmu jadi sengsara,
menderita dan penuh siksaan."
"Berarti musuh yang paling menakutkan sebetulnya
bukan musuh besarmu melainkan sahabat karibmu?"
"Benar, hanya serangan telak yang dilancarkan
seorang sahabat yang bisa merenggut nyawa kita."
Sebab bila seorang sahabat yang berkhianat
kepadamu, serangannya pasti mematikan, mereka pasti
akan menyerang titik kelemahanmu, serangannya pasti
diarahkan ke bagianmu yang paling lemah, paling tidak
kau waspadai dan seringkah sangat mematikan.
Tiba-tiba kakek pengasah pedang itu mendongakkan
kepalanya dan menghela napas panjang.
"Sahabat... wahai sahabat... kata "Bong" sahabat
terdiri dari dua huruf gwee (rembulan), mana mungkin di
dunia ini terdapat dua buah rembulan?" katanya,
"Itulah sebabnya sejak jaman dulu orang sudah tahu
kalau sahabat adalah barang yang paling menakutkan,
karena itu pula sahabat diciptakan dari perpaduan dua
huruf yang tidak mungkin bisa terjadi, yakni dua
rembulan."
Setelah menghela napas panjang, kembali lanjutnya,
"Di dunia ini mustahil bisa terdapat dua rembulan, berarti
di dunia inipun mustahil terdapat sahabat yang benarbenar
sejati." "Makna yang menakutkan seringkah tumbuh dari
pemikiran seseorang," kembali gumamnya, "Seperti
misalnya ada seseorang yang takut dengan ular, dia
pasti menganggap sarang ular merupakan tempat yang
paling menakutkan, padahal bila sejak kecil kau sudah
terbiasa bermain ular, biarpun harus memasuki sarang
ular pun, tempat itu akan kau anggap seperti di rumah
sendiri." Kembali kakek itu menjelaskan, "Ada orang
mengatakan minum arak adalah kejadian yang paling
menakutkan, padahal sementara orang yang lain justru
menganggap minum arak merupakan kejadian yang
paling menyenangkan."
"Kalau begitu jika ada seribu orang manusia, berarti
ada seribu tempat kemungkinan berbeda yang
dianggap paling menakutkan?" kata Nyoo Cing cepat,
"Berarti pedang ketiga ada kemungkinan
disembunyikan di seribu tempat yang berbeda, atau
dengan perkataan lain terdapat seribu bilah pedang
ketiga yang disembunyikan di seribu tempat
menakutkan yang berbeda?"
"Betul!" kakek itu mengangguk, "Seribu orang
kemungkinan terdapat seribu tempat paling
menakutkan yang beda, tapi kemungkinan juga hanya
ada satu tempat sama yang mereka anggap sebagai
tempat yang paling menakutkan."
"Kalau begitu ada kemungkinan pedang ketiga
hanya disembunyikan di sebuah tempat yang paling
menakutkan?"
"Rasanya mah begitu," dengan wajah senyum tidak
senyum kakek pengasah pedang mengawasi Nyoo
Cing. Malam hari dengan cepat telah menjelang tiba.
Cahaya rembulan yang memantul di permukaan air
menimbulkan kilauan sinar yang gemerlapan.
Nyoo Cing sedang duduk di tepi sungai, mengawasi
cahaya berkilauan yang memantul di permukaan.
Sampai lama kemudian sepasang matanya baru
berbinar terang.
Tiba-tiba dia berpaling, berpaling memandang kakek
pengasah pedang itu, kemudian serunya dengan nada
yang gembira, "Jika dalam hati seseorang tiada rasa
takut atau ngeri, maka baginya tidak akan terdapat
tempat yang paling menakutkan, atau dengan
perkataan lain tidak ada tempat paling menakutkan
baginya, itu berarti pedang ketiga pun tidak pernah
ada." Kakek itu tidak menanggapi tapi hanya mengawasi
Nyoo Cing tanpa berkedip, memandangnya dengan
penuh rasa kagum.
"Kalau toh tiada tempat yang menakutkan di dalam
hati, maka tidak akan pernah ada pedang ketiga," ujar
Nyoo Cing lebih lanjut, "Sebab tempat yang paling
menakutkan ditentukan oleh pikiran seseorang, maka
tempat yang paling menakutkan justru berada dalam
pikiran setiap orang, itu berarti pula bahwa pedang
ketiga sesungguhnya disembunyikan dalam pikiran
seseorang."
Ditatapnya kakek itu sekejap, kemudian lanjutnya,
"Siau suhu telah mengubur pedang amarah di tempat
yang paling menakutkan, bukankah tempat paling
menakutkan yang ada di dunia ini sesungguhnya
berada dalam pikiran manusia?"
Cahaya gembira bercampur kagum semakin kental
mencorong dari balik mata kakek itu.
"Bukankah pedang ketiga telah dia kubur didalam
pikiran manusia?" Nyoo Cing menambahkan.
Baru selesai dia mengucapkan perkataan itu, tiba-tiba
menyambar lewat sekilas halilintar ditengah udara,
disusul suara guntur yang menggelegar membelah bumi.
Ditengah alam yang begitu tenang, mengapa secara
tiba-tiba muncul kilatan halilintar" Mengapa secara tibatiba
menggelegar suara guntur yang memekik telinga"
Langit mengalami perubahan secara tiba-tiba,
apakah dikarenakan umat manusia berhasil
membongkar rahasia alam" Apakah perubahan terjadi
karena alam menjadi gusar"
Sekali lagi halilintar membelah angkasa dan berakhir
ditengah hutan bwee, disusul suara guntur yang
menggelegar menyambar pepohonan tertinggi di hutan
itu. Nyoo Cing sama sekali tidak bergerak, tapi sorot
matanya semakin berbinar, tiada luapan emosi atau
perasaan gembira yang melintas di wajahnya, yang ada
hanya perasaan tenang dan tenteram yang luar biasa.
Mendadak terdengar kakek pengasah pedang itu
bergumam, "Bodhi sesungguhnya tidak berpohon,
cermin sesungguhnya tidak berpegangan, dunia tiada
benda, debu pun segera sirna. Tiada aku, tiada
pikiran, tiada pedang, ada aku, ada pikiran namun
tiada pedang..."
Nyoo Cing hanya termenung sambil konsentrasi, dia
pasang telinga baik baik untuk mendengarkan setiap
perkataan yang diucapkan kakek pengasah pedang.
Terdengar kakek itu menghela napas panjang,
katanya lagi, "Bila Bodhi pun tidak berpohon, dalam
pikiran kita pun tidak berpedang, bila tidak berpedang
maka tiada tempat yang menakutkan lagi di dunia ini."
"Benar," mendadak Nyoo Cing menanggapi, "Cermin
memang tidak perlu pegangan, kalau dunia tidak ada
apa-apanya, darimana datangnya debu?"
Kemudian katanya lagi, "Ada aku tiada pikiran ada
pedang, tiada aku ada pikiran ada pula pedang, tiada
aku tiada pikiran namun pedang tetap ada."
"Ada dimana?" tanya si kakek.
"Alam semesta amat luas tidak bertepian,
didalamnya terdapat aneka benda, tiada wujud, tiada
berbentuk, melayang di mana-mana."
"Kenapa tidak berada dalam pikiranmu?"
"Kalau pikiran kita tidak terkendali oleh ketakutan,
apa gunanya sebilah pedang?"
"Kalau memang tiada rasa takut, buat apa ada alam
semesta" buat apa ada benda" Buat apa melayang
tanpa wujud?"
"Mana ada pedang di alam semesta" Buat apa dia
melayang tidak berwujud, pedang sebetulnya tidak ada
di alam semesta, tidak ada dimana-mana dan tidak
perlu melayang tanpa wujud."
"Lalu berada di mana pedangmu?"
"Pedang berada ditanganku."
"Berarti ditanganmu ada pedang?"
"Benar."
"Kenapa tidak terlihat?"
"Kenapa harus terlihat?"
Sebuah jawaban yang mengandung arti sangat
mendalam, tapi kakek pengasah pedang itu seakan
mengerti maksudnya, maka diapun pejamkan matanya
sambil menghela napas panjang.
"Takdir!" gumamnya.
Nyoo Cing tidak menjawab, dia hanya mengawasi
kakek itu. "Bila takdir menghendaki demikian, kau boleh
menerima dengan perasaan tenteram," kata kakek
pengasah pedang sambil sekali lagi membuka matanya
mengawasi Nyoo Cing.
"Sekarang pergilah, kemana pun kau akan pergi,
perbuatan apa pun yang hendak kau lakukan, siapa
pun yang hendak kau hadapi, tidak nanti kau akan
gagal." Ucapan kakek itu seolah mengandung daya
pengaruh yang misterius, dia berdoa bagi kesuksesan
Nyoo Cing, diapun mengutuk terhadap musuh Nyoo
Cing. Ti Cing-ling yang berada dalam ruang batunya,
berapa ratus li dari tempat itu seakan akan merasakan
juga firasat yang jelek, pada saat yang bersamaan
secara tiba-tiba dia merasa sangat gelisah dan tidak
tenang. BAB 5. Pedang ditangan, nasib di tangan.
Pohon bwee yang tersambar halilintar telah roboh,
api pun telah padam, bunga api yang memercik bagai
taburan bintang ikut lenyap dibalik kegelapan.
Alam semesta pulih kembali dalam keheningan yang
luar biasa. Sinar tajam sudah lenyap dari mata kakek pengasah
pisau itu, kini yang tersisa hanya keletihan yang luar
biasa serta kemurungan yang amat kental.
Perlahan-lahan dia menyimpan kembali batu
asahannya, perlahan-lahan memasukkan kedalam
buntalan kemudian mengikatnya kuat-kuat.
.....Baru saja dia membebaskan sebuah tali simpul
yang membelenggu jagad, tapi sekarang dia telah
membuat tali simpul lain bagi dirinya sendiri, sebuah
simpul mati yang selamanya tidak mungkin bisa diurai.
Nyoo Cing hanya memandang, mengawasi semua
gerak-gerik yang dilakukan kakek itu, dia seakan sedang
menonton seorang ahli silat sedang mempraktekkan
jurus serangannya.
Tali simpul telah terbentuk, sudah saatnya kakek itu
untuk berlalu. Kakek pengasah pisau telah bangkit berdiri, tapi
punggungnya serasa bungkuk, seolah terdapat beban
beribu kati beratnya yang menindih tubuhnya, membuat
dia tidak sanggup berdiri tegak.
.....Padahal setiap orang pasti sedang memikul
buntalan di punggungnya, setiap orang yang hidup
pasti memikul beban berat di pundaknya.
Siapa yang bisa bebas dari buntalan seperti ini"
Nyoo Cing mengawasi buntalan di punggung kakek
itu sekejap, mendadak dia bertanya, "Baik-baikkah
dia?" "Pergilah, setiap persoalan pasti ada saatnya untuk
berakhir, dia pasti akan menanti kedatanganmu di
tempat yang kalian janjikan!"
Suara langkah makin lama semakin jauh dan akhirnya
lenyap dari pendengaran.
Manusia pada akhirnya harus pergi juga, sama seperti
kegelapan malam pada akhirnya pasti akan lewat juga.
Ketika malam sudah berlalu, pagi hari yang cerah pun
segera akan muncul, karena dia sudah berada tidak
jauh dari sana.
BAGIAN - 6. Duel.
Romantika Sebilah Pedang Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
BAB 1. Penantian di luar rumah batu.
Sebuah bukit tinggi, sebuah rumah batu, sebatang
pohon siong, sebuah sungai yang bening.
Walaupun diluar hujan turun dengan derasnya,
suasana didalam ruang batu amat kering dan bersih,
karena rumah batu itu tidak berjendela, hanya ada
sebuah pintu, pintu yang selalu dalam keadaan tertutup,
cahaya matahari selamanya tidak pernah menyorot
masuk, tentu saja hujan pun tidak pernah mampir disitu.
Kini, dalam ruangan batu itu hadir dua orang
manusia. Yang seorang berpakaian putih bersih tidak berdebu,
dia mempunyai wajah yang bersih namun sikapnya
selalu dingin dengan bibir yang senyum tidak senyum,
dia bukan lain adalah Ti Cing-ling.
Masih seperti waktu waktu yang lewat, dia sedang
duduk bersila diatas permadani bulu domba nya yang
berwarna putih bersih.
Seorang yang lain sedang berdiri didepan meja batu,
berdiri saling berhadapan dengan Ti Cing-ling, wajahnya
yang sudah berkeriput tidak menampilkan perasaan
apapun, namun bibirnya menunjukkan sikap hatinya
yang teguh, ulet dan pantang mundur. Dia berdiri kokoh
bagaikan sebuah bukit karang.
Dengan sangat tenang dia berdiri disitu, memandang
ke arah Ti Cing-ling tanpa bergerak sedikitpun.
Ti Cing-ling pun sedang memandangnya,
memandang dengan sorot mata yang sangat aneh.
"Silahkan duduk."
Dia tidak duduk tapi ujarnya tiba-tiba, "Jadi inilah
tempat tinggalmu sekarang?"
"Kau merasa tidak puas dengan tempat ini?" tanya Ti
Cing-ling. Lama sekali orang itu termenung, tapi akhirnya
tertawa juga. "Paling tidak tempat ini sangat kering."
"Yaa, memang sangat kering, kujamin tidak akan kau
jumpai setetes air pun," jawab Ti Cing-ling.
Kemudian lanjutnya dengan suara hambar,
"Ditempat ini tidak pernah ada teh, tidak ada air, belum
pernah ada yang melelehkan air mata di sini."
Mendadak dia tertawa tergelak, tambahnya,
"Ditempat ini hanya ada arak, pelbagai jenis arak."
"Bagaimana dengan darah?" orang itu bertanya,
"Pernahkah seseorang mengucurkan darah di tempat
ini?" "Tidak pernah ada. Sekalipun ada orang ingin mati di
sini, sebelum dia mampu melangkah masuk ke tempat
ini, darah sudah berceceran diluar sana," ujar Ti Cing-ling
sambil tertawa, "Bila aku tidak menghendaki dia masuk
kemari, mau hidup mau mati jangan harap dia bisa
melangkahkan kakinya di tempat ini."
"Terus terang, walaupun hidup ditempat ini sangat tak
nyaman, tapi lumayan juga bisa mati ditempat ini,"
orang itu tertawa.
"Oya?"
"Tempat ini mirip sekali dengan kuburan."
"Kalau kau memang menyukai tempat ini, tidak ada
salahnya akan kukubur dirimu di tempat ini."
Dari balik mata Ti Cing-ling terlintas secerca senyuman
yang sadis, sambil menuding tanah dibawah alas
duduknya, kembali dia melanjutkan, "Biar kukubur
tubuhmu disini, dengan begitu setiap kali aku sedang
duduk ditempat ini maka akan terbayang olehku bahwa
si kait perpisahan Nyoo Cing berada dibawah kakku,
mungkin cara kerja ku juga akan semakin jernih dan
lancar." .....Rupanya orang yang berdiri dihadapan Ti Cing-ling
tidak lain adalah Nyoo Cing.
"Semakin jernih dan lancar?" Nyoo Cing
mengernyitkan dahinya.
"Sebab bila aku tidak selalu menjaga kejernihan
pikiranku, tidak selalu lancar dalam mengolah otak,
suatu ketika toch kakiku bakal diinjak orang," ujar Ti Cingling
sambil menatap tajam ,lawannya, "Setiap kali
teringat akan dirimu, tentu saja aku selalu mengingatkan
diri sendiri agar bersikap lebih waspada."
"Tapi bila saat berpikiran jernih terlalu panjang,
seringkah hal tersebut malah mendatangkan
penderitaan dan siksaan."
"Aku tidak bakal tersiksa, tidak bakal menderita,
selamanya tidak pernah."
"Itu disebabkan karena kau tidak pernah merasakan
apa yang dinamakan kegembiraan!" jengek Nyoo Cing
cepat. Ujung mata Ti Cing-ling seakan sedikit bergetar, tapi
seakan juga tidak pernah bergerak.
Sebuah sungai kecil, dibawah sebatang pohon siong,
ada tiga manusia berdiri disitu.
Walaupun hujan dimusim dingin telah membasahi
seluruh pakaian yang dikenakan, namun tidak bisa
mengusir perasaan ngeri dan takut yang mencekam
perasaan mereka bertiga.
Tiga orang manusia, enam buah mata, hampir
semuanya tertuju ke pintu batu dihadapannya.
Pintu batu itu dalam keadaan tertutup, pintu batu
yang sangat tebal.
Pintu itu berada dalam keadaan tertutup, seakan
seluruh penghidupan yang ada di dunia ini sudah
dikurung dibalik pintu itu.
Apa yang tersisa dibalik pintu itu"
Apakah hanya kematian yang tersisa di balik pintu
batu itu" Tapi siapa yang mati" Nyoo Cing" Atau Ti Cing-ling"
"Dulu, walaupun pertempuran mereka sempat
menggetarkan langit dan bumi, sayang tidak
seorangpun yang ikut menyaksikan," ujar Cong Hui-miat,
"Sekarang, sekali lagi mereka melangsungkan
pertarungan yang mengerikan, tapi tetap sama seperti
dulu, tidak seorangpun dapat menyaksikan."
Cong Hoa membiarkan air hujan membasahi
wajahnya, membasahi bibirnya, dalam keadaan seperti
ini diapun hanya merasakan ketidak berdayaan, yaa,
apa lagi yang bisa mereka lakukan kecuali menanti"
Pertarungan dimasa lalu, meski tidak sempat dia
saksikan sendiri namun sudah banyak yang didengar
dari pemberitaan orang lain.
Bahkan Nyoo Cing sendiripun pernah mengakui
bahwa ilmu silat yang dimiliki Ti Cing-ling memang jauh
lebih hebat dari kemampuannya, bahkan dia memiliki
banyak kesempatan untuk menghabisi nyawa sendiri,
yang lebih mengerikan lagi, dia bahkan bisa
membuatnya tidak berdaya untuk membela diri, apalagi
melancarkan serangan balasan.
Ti Cing-ling dengan sengaja melepaskan semua
kesempatan itu dengan begitu saja karena dia kelewat
sombong, dia selalu ingin membuktikan, benarkah dia
mampu menghindarkan diri dari kait perpisahan milik
Nyoo Cing yang amat tersohor itu.
Kali ini, tentu saja Ti Cing-ling tidak ingin melakukan
kesalahan yang sama, apalagi kait perpisahan sudah
tidak berada ditangan Nyoo Cing sementara golok
kelembutan masih berada ditangannya.
Kali ini dia bertekad akan menggunakan golok
kelembutan untuk menghadapi Nyoo Cing.
Dengan tenang Nyoo Cing mengawasi wajah Ti
Cing-ling, setelah itu ujarnya, "Mungkin saja ada
sementara orang hidup dalam penderitaan dan siksaan,
tapi masih ada orang lain yang penghidupannya jauh
lebih mengenaskan ketimbang mereka, sebab mereka
hidup tanpa mengetahui karena apa mereka hidup dan
mau apa mereka hidup, mereka kehilangan arah,
mereka tidak tahu apa tujuannya mempertahankan
hidup." "Bagiku, mungkin masalah tersebut tidak penting,
mungkin aku memang tidak ingin mengetahuinya."
"Kau tidak ingin mengetahuinya?"
"Tidak, sama sekali tidak ingin!" tiba-tiba Ti Cing-ling
tertawa kembali, "Karena aku tahu, hari ini kau pasti
akan mampus."
Dia tertawa sangat gembira, bahkan ujung alis
matapun seolah turut tertawa, lanjutnya, "Sebab bukan
saja kau sudah tidak memiliki kait perpisahan, bahkan
secuwil senjata pun tidak kau bawa, sementara aku"
Bukan saja golok kelembutan masih berada ditanganku,
kait perpisahan pun berada ditanganku."
Diantara kilauan cahaya biru, tahu-tahu dalam
genggaman tangan kanan Ti Cing-ling telah bertambah
dengan sebilah golok pendek yang amat tipis.
Menyusul kemudian sekali lagi terlihat cahaya
berkilauan, ditangan kirinya telah bertambah pula
dengan sebilah senjata kaitan yang aneh bentuknya,
kait perpisahan.
Dengan tenang Nyoo Cing memandang, bukan
golok kelembutan yang dipandang, bukan pula kait
perpisahan, dia justru sedang memandang sorot mata Ti
Cing-ling yang terbesit senyuman sadis.
Hujan turun makin lama semakin deras, hawa dingin
yang merasuk bagai sayatan golok semakin menembusi
tulang belulang.
Ketiga orang itu diluar pintu rumah masih menunggu,
mereka memang hanya bisa menunggu.
Tidak seorangpun sanggup membuka pintu batu
tebal yang berada dihadapan mereka, kecuali pintu itu
dibuka dari sebelah dalam.
Tapi siapa yang akan membuka pintu itu"
Ti Cing-ling" Atau Nyoo Cing"
Atau bahkan selamanya pintu itu tidak pernah akan
terbuka kembali"
Cong Hoa sudah terbungkuk-bungkuk, dia nyaris
memuntahkan seluruh isi perutnya, penantian yang
mendebarkan membuatnya nyaris runtuh, nyaris ambruk
karena tidak kuasa menahan diri.
Yang lebih mengenaskan lagi adalah gadis itu sama
sekali tidak tahu, apa yang sebenarnya dia nantikan"
Siapakah orang yang berada dalam ruang batu itu"
Sanak keluarganya" Sahabatnya" Atau kekasihnya"
Mungkin saja yang dia nantikan hanya sebuah
kematian. Terbayang kembali kelicikan dan kebusukan hati Ti
Cing-ling, terbayang pula golok kelembutan beserta
kehebatan ilmu silatnya, Cong Hoa sama sekali tidak
tahu sebenarnya Nyoo Cing masih punya peluang
berapa persen untuk bisa keluar dari ruangan itu dalam
keadaan selamat.
"Jika Ti Cing-ling tahu kalau kita masih menunggu di
tempat ini, dia pasti senangnya setengah mati!" tibatiba
Tay Thian berkata.
"Kalau begitu biarkan saja dia bersenang hati!" kata
Cong Hoa sambil menggertak gigi, "Di dunia ini hanya
orang baik yang selalu hidup menderita, sementara
yang senang, yang gembira selalu orang berhati busuk."
"Kau keliru."
Tiba-tiba terdengar suara orang ke empat
berkumandang memecahkan keheningan.
Pintu batu yang tebal itu meski beratnya bukan
kepalang, namun ketika dibuka, sama sekali tidak
kedengaran sedikit suara pun.
Entah sedari kapan pintu batu itu sudah terbuka lebar.
Dari balik pintu perlahan-lahan berjalan keluar
seseorang, dia adalah Nyoo Cing.
Walaupun wajahnya tampak sangat letih, namun dia
masih dalam keadaan hidup.
.....Tetap hidup merupakan hal yang paling penting
dibandingkan lainnya.
Cong Hoa, Tay Thian, Cong Hui-miat serentak
berpaling, ketika menyaksikan Nyoo Cing berjalan keluar
dari balik pintu, air mata perlahan-lahan meleleh keluar
membasahi wajah mereka bertiga.
Tentu saja air mata itu air mata kegirangan.
Disaat orang gembira sebetulnya keadaan itu tidak
berbeda dengan disaat orang bersedih hati, sebab
kecuali lelehan air mata, tidak sepotong perkataan pun
bisa diucapkan, tidak sebuah perbuatan pun bisa
dilakukan, bahkan terkadang untuk bergerak pun susah
rasanya. Sekilas terlihat sepasang mata Nyoo Cing pun seolah
berkaca kaca, namun senyuman masih menghiasi ujung
bibirnya. "Kau keliru, orang baik di dunia ini selamanya tidak
pernah akan menderita," ujarnya perlahan, "Sebab saat
gembira bagi orang jahat selalu lebih sedikit
dibandingkan saat-saat mereka menderita."
Tiba-tiba Cong Hoa buang muka ke arah lain, kini dia
sudah tidak mampu menahan diri lagi, air mata sudah
mengalir keluar bagaikan bendungan yang runtuh.
Inilah air mata kegembiraan!
Lewat lama kemudian dia baru menghembuskan
napas panjang sambil berpaling, ditatapnya wajah
Nyoo Cing. "Mana Ti Cing-ling?" dia bertanya.
"Aku yakin dia sangat menderita," sahut Nyoo Cing
hambar, "Sebab bagaimana pun juga dia kembali
melakukan satu kesalahan yang fatal."
"Melakukan kesalahan yang fatal?"
"Kali ini, sebetulnya dia memiliki banyak kesempatan
emas untuk membunuhku, bahkan dia sanggup
membuatku mampus tanpa sempat melakukan
perlawanan, tapi semua kesempatan emas itu sudah dia
Romantika Sebilah Pedang Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lewatkan dengan begitu saja."
..... Manusia semacam Ti Cing-ling, bagaimana
mungkin bisa melakukan kesalahan yang sama untuk
kedua kalinya"
"Kenapa begitu?" tanya Cong Hoa tanpa terasa.
Pertanyaan inipun ingin diajukan oleh Tay thian
maupun Cong Hui-miat.
"Sebab dia ingin bertaruh lagi didalam hati," kata
Nyoo Cing tertawa.
"Bertaruh" Apa yang dipertaruhkan?"
"Apakah kali ini dia ingin bertaruh, mampukah kau
membunuhnya dengan tangan kosong?"
"Bukan, kali ini yang dia pertaruhkan adalah pedang
yang ada ditanganku."
"Pedang yang ada ditanganmu" Kau memiliki
pedang itu?" tanya Cong Hoa.
"Betul!" kembali Nyoo Cing tertawa,
"Ditanganku terdapat pedang ketiga!"
"Pedang ketiga?" tanya Tay Thian pula, "Apakah
pedang amarah yang tersiar dalam dunia persilatan
itu?" "Benar," Nyoo Cing mengangguk.
Cong Hoa segera menengok ke tangan Nyoo Cing,
tapi tangan itu kosong.
"Tapi aku tidak melihat pedang milikmu itu!" serunya
kemudian. "Sebenarnya memang tanpa pedang."
"Tanpa pedang?" berbinar sepasang mata Cong
Hoa, dia pun tertawa, diapun segera mengerti apa yang
dimaksud. "Jadi dia mempertaruhkan pedang ditanganmu itu?"
tanyanya lagi. "Benar."
"Tentu saja hasilnya dia yang kalah!"
"Tidak, dia menang!"
"Dia yang menang?" Cong Hoa melengak.
"Benar, dia yang menang!" sekali lagi Nyoo Cing
menandaskan. "Ditanganmu jelas tidak berpedang, bagaimana
mungkin dia yang menang?"
"Siapa bilang ditanganku tidak berpedang" Pedang
itu memang selalu berada ditanganku," sekali lagi Nyoo
Cing tertawa. Kali ini senyuman Cong Hoa makin riang, sebab dia
sudah mengerti.
"Benar, ditanganmu memang selamanya terdapat
pedang, maka dialah yang menang, tapi dia juga yang
kalah!" serunya.
"Yaa, dia sudah kalah!"
Menang kalah memang selalu terjadi dalam sekejap
mata. Walaupun hanya sekejap, namun bisa dibayangkan
betapa tegang, betapa merangsangnya situasi waktu
itu. Cong Hoa hanya menyesal mengapa tidak punya
kesempatan untuk menyaksikan "Romantika nya sebilah
pedang," dia menyesal mengapa tidak sempat
menyaksikan kejadian yang sesaat itu.
Sekalipun tidak dapat menyaksikan dengan mata
kepala sendiri, namun setiap kali membayangkan
adegan tersebut, dia selalu merasa napas sendiri jadi
sesak. BAB 2 Romantika sebilah pedang.
Pintu sudah terbuka.
Tidak seorang manusia pun yang bisa mengurung diri
untuk selamanya didalam lingkungan yang sempit, tidak
mungkin dia bisa memutuskan hubungan dengan dunia
luar. Tay Thian sudah melangkah masuk ke dalam ruang
batu itu. Pemandangan pertama yang ditangkap oleh
matanya adalah sebilah golok yang tipis, tipis sekali,
sebilah golok pembunuh.
Golok Kelembutan!
Golok itu masih tergenggam ditangan Ti Cing-ling,
mata golok mengarah ke depan pintu.
Tubuh golok pun masih memancarkan cahaya kebiru
biruan, cahaya yang mendatangkan perasaan bergidik.
Golok adalah tetap golok.
Biar ditangan manusia hidup atau pun ditangan
orang mati, golok tetap adalah golok.
Kematian pun tetap merupakan kematian.
Kematian seorang enghiong tetap mati, kematian
orang miskin pun tentu saja tetap mati.
Kehidupan sesungguhnya adalah sama rata, apalagi
bila kematian sudah menjelang tiba, setiap orang
mempunyai taraf yang tidak berbeda.
Tapi sayang, ada sementara orang justru tidak mau
mengerti akan hal ini, justru mereka baru mau mengerti
ketika saat ajal sudah hampir merenggutnya.
Paras muka Ti Cing-ling penuh dicekam perasaan
kaget, ngeri, ragu dan tidak percaya.
Apa yang membuatnya tidak percaya"
Apa tidak percaya kalau ditangan Nyoo Cing benarbenar
terdapat sebilah pedang"
Apa tidak percaya kalau pedang itu benar-benar
mampu membunuhnya"
Ketika ajal merenggut nyawa tokoh luar biasa ini,
keadaannya tidak jauh berbeda dengan keadaan yang
dialami orang-orang yang dipandang rendah, orangorang
yang dipandang hina olehnya, sama-sama
gugup, sama-sama ngeri dan sama-sama merasa
seram. Luka mematikan berada di tenggorokan Ti Cing-ling,
sebuah luka pedang.
Luka itu sempit tapi sangat dalam, persis seperti bekas
luka yang ditinggalkan Tionggoan It-tiam-hong (setitik
merah dari daratan tiongoan).
Tay Thian benar-benar sukar untuk percaya dengan
kenyataan itu, bahkan dia tidak habis mengerti
bagaimana tusukan pedang itu bisa merenggut
nyawanya. Benarkah di dunia ini terdapat pedang ketiga"
Tangan kiri Ti Cing-ling menggenggam kencang,
seakan-akan dia ingin mencengkeram sesuatu,
mungkinkah dia masih enggan menyerah kalah"
Sayangnya, sekarang dia sudah tidak mampu
mencengkeram apa pun, tidak sanggup memegang
apa pun. Mendadak Tay Thian merasa amat letih, tiba-tiba
timbul perasaan simpatiknya terhadap "orang yang
dikalahkan" itu.
Mengapa bisa begitu" Bahkan dia sendiripun tidak
tahu kenapa. Mungkin bukan Ti Cing-ling yang membuatnya
simpatik, mungkin dia sedang merasa simpatik terhadap
diri sendiri. Sebab dia manusia, Ti Cing-ling pun manusia. Semua
manusia mempunyai perasaan sedih yang sama,
penderitaan yang sama.
Biarpun dalam perjalanan hidupnya Tay Thian belum
pernah kalah, tapi apa pula yang berhasil dia peroleh
selama ini" Apa yang berhasil diraihnya"
Hujan masih turun sangat deras, orang-orang itu masih
berdiri di bawah pohon siong.
Empat manusia, semuanya kehujanan hingga basah
kuyup, walaupun dihadapan mereka terdapat sebuah
rumah batu yang bisa digunakan untuk berteduh, tapi
mereka lebih suka berdiri kehujanan diluar ketimbang
menunggu di situ.
Hal ini bukan disebabkan dalam ruangan terdapat
sesosok mayat, tapi mereka ingin menggunakan air
hujan itu untuk membersihkan semua debu dan kotoran
yang menempel ditubuh mereka.
...... Kotoran ditubuh bisa dicuci sampai bersih,
bagaimana pula dengan kotoran yang menempel
dalam pikiran"
Sebagai manusia, mengapa yang diperhatikan selalu
penampilan" Mengapa mereka lupa atau
mengabaikan kebersihan didalam"
"Ketika seseorang berhasil meraih sebuah
kemenangan, biasanya dia akan merasa amat letih,
amat kesepian," tiba-tiba Cong Hoa berkata sambil
tertawa. "Kenapa?" tanya Nyoo Cing. "Karena kau telah
meraih kemenangan mutlak, karena kau telah sukses
besar, sudah tidak ada persoalan lain yang membuatmu
harus berjuang lagi."
"Berarti kemenangan itu tidak enak?"
"Meski membuat perasaan tidak enak, paling tidak
jauh lebih nyaman dari pada merasakan kekalahan,"
timbrung Cong Hui-miat.
Tiba-tiba Nyoo Cing terbungkam, walaupun dia masih
berada ditempat itu, namun pikiran dan perasaannya
sudah berpindah entah ke mana.
...... Dia seakan menyaksikan ada seseorang sedang
menunggunya ditepi sungai, diantara pepohonan....
Kemenangan dan kesuksesan belum tentu
mendatangkan kepuasan bagimu, belum tentu
mendatangkan kegembiraan bagimu.
Kegembiraan yang sesungguhnya justru terletak
disaat kau memperjuangkannya, berjuang untuk maju,
berjuang untuk berhasil.
Nyoo Cing masih termenung, sorot matanya seakan
sedang memandang ke suatu tempat di kejauhan sana.
.....Di situ dia seakan menyaksikan sesosok bayangan
ramping sedang menantikan kedatangannya.
Tay Thian memandang rekannya sekejap, mendadak
sekilas perasaan sedih melintas di wajahnya.
"Aku harus pergi dari sini," setelah lama termenung
akhirnya Nyoo Cing berbisik.
Pergi" Mau pergi ke mana"
"Kau akan pergi?" tanya Cong Hoa, "Kenapa harus
pergi?" "Sebab dia harus pergi!" tiba-tiba Tay Thian
mewakilinya untuk menjawab, "Walaupun Ti Cing-ling
sudah mati namun perkumpulan Cing-liong Hwee belum
runtuh, paling tidak pemeran utama yang diutus
Perkumpulan Cing-liong-hwee dalam menangani kasus
ini belum....belum dikalahkan."
Sebenarnya dia ingin menyebut kata "mati", namun
setelah memandang Nyoo Cing sekejap, tiba-tiba kata
mati diubahnya menjadi kata kalah.
Mungkinkah pemeran utama dari perkumpulan Cinglionghwee mempunyai sesuatu hubungan khusus
dengan Nyoo Cing" Sebenarnya siapakah "dia" (laki)
atau "dia" (wanita)"
Tampaknya Tay Thian sudah mengetahui siapakah
orang itu, karenanya perasaan sedih melintas
diwajahnya, namun sekali lagi, dia hanya bisa
memandang dengan ketidak berdayaan.
"Bagaimana pun juga manusia akhirnya harus pergi,
persoalan pun akhirnya akan beres," Nyoo Cing tertawa
getir, "Sepahit apa pun, segetir apa pun, kenyataan
tetap harus kita hadapi!"
"Betul, hanya manusia bangsa kurcaci yang berusaha
kabur dari kenyataan," Tay Thian menimpali.
Nyoo Cing mendongakkan kepalanya, mengawasi
hujan yang masih turun dengan derasnya.
Sampai lama kemudian dia baru menghembuskan
napas panjang, perlahan-lahan sorot matanya dialihkan
kembali ke wajah Tay thian.
Tay thian pun balas menatap Nyoo Cing, begitulah,
kedua orang itu hanya saling bertatapan muka tanpa
bicara. Lama kemudian akhirnya Tay Thian baru menghela
napas panjang, perlahan-lahan dia pejamkan matanya
sambil berbisik, "Aku pasti bisa!"
Mendengar perkataan itu Nyoo Cing baru
menghembuskan napas lega. Kemudian dia pun
berjalan menembusi hujan yang deras, berjalan menuju
ke depan sana. Ketika meninggalkan tempat itu dia tidak
mengucapkan sepatah kata pun, bahkan memandang
Cong Hoa sekejap pun tidak.
Dia pergi dengan begitu saja.
Sebenarnya Cong Hoa ingin memanggilnya, tapi
segera dicegah Tay Thian.
"Dia bersikeras akan pergi, maka biarlah dia pergi!
Kalau tidak, selama hidup dia akan tersiksa di sini."
Mengawasi bayangan tubuhnya yang semakin
menjauh, tiba-tiba Cong Hoa ikut menghela napas.
"Sekalipun dia sudah pergi, memangnya semua
penderitaan dan siksaan bisa dia tinggalkan disini?"
gumamnya. Tampaknya Cong Hoa pun tahu kemana Nyoo Cing
akan pergi, dan siapa yang akan dijumpai.
Sesungguhnya hanya orang itu yang bisa mengusir
semua penderitaan dan siksaan batinnya, dan hanya
orang itu yang bisa memaksanya harus pergi dari situ.
Tapi siapakah orang itu"
Dia (laki)" Atau dia (wanita)"
Kalau dia (laki), siapakah dia"
Kalau dia (wanita), siapa pula dia"
"Dia" yang akan dijumpai Nyoo Cing, apakah akan
menanti kedatangannya"
Kepergiannya kali ini akan membuatnya tetap hidup"
Atau mati"
Tidak seorang pun yang tahu.
Romantika Sebilah Pedang Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tapi hal ini memang tidak penting lagi karena paling
tidak dia pernah datang, pernah hidup dan pernah
mencintai. Asal pernah datang dalam hidupnya, pernah
hidup mendampinginya, pernah mencintai dirinya, itu
sudah lebih dari cukup.
Dan dia sudah seharusnya merasa puas!
TAMAT Jodoh Rajawali 25 Angrek Tengah Malam Seri Pendekar Harum Karya Khu Lung Bukit Pemakan Manusia 11
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama