Ceritasilat Novel Online

Sepasang Pedang Iblis 2

Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo Bagian 2


n tangan Suma Han. Baiknya garuda itu dengan gerakan tiba-tiba dan
amat tangkasnya, mengulur kaki dan berhasil mencengkeram tubuh Kwi Hong!
"Sin-eng yang baik, terima kasih!" Suma Han bersorak ketika ia mengambil keponakannya
dari cengkeraman garuda dan melihat bahwa tubuh keponakannya sama sekali tidak luka,
tanda bahwa garuda itu berniat baik dan mencengke-ram untuk menolong!
Kwi Hong masih menangis ketika di-pangku Suma Han di atas punggung ga-ruda. "Paman,
burung itu nakal....!"
Suma Han menghela napas lega. Bo-cah ini benar amat mengagumkan. Biar-pun
mengalami hal yang begitu menakutkan, tidak pingsan dan tidak ketakut-an. Ia memandang
rajawali yang kini me-larikan diri terbang jauh, sedangkan ke-tika ia mencari-cari dengan
pandang matanya, tidak tampak lagi daratan. Di mana-mana air melulu dan cuaca mulai
gelap, malam mulai tiba!
"Sin-eng yang baik, bawalah kami kembali ke daratan!" Berkali-kali Suma Han membujuk,
kini tidak lagi ia berani "mengemudi" leher burung itu karena dia sendiri tidak tahu mana arah
darat-an. Burung itu terbang terus, cepat se-kali dan terpaksa Suma Han menyerah-kan
nasibnya pada burung itu, yakin bahwa betapapun juga, pasti burung itu akan mendarat.
Anehnya, Kwi Hong tidak menangis lagi, bahkan tertawa-tawa dan menuding ke arah bulan
sepotong yang kelihatan indah sekali sambil berkata, "Bagus....! Bulan bagus....!"
Suma Han menjadi lega hatinya dan melepas jubah luarnya untuk diselimut-kan tubuh
keponakannya karena terbang di atas punggung garuda itu mereka ber-tumbuk dengan
angin yang amat besar dan dingin. Namun, dapat dibayangkan betapa cemas hatinya
karena burung itu terbang terus seolah-olah tidak akan berhenti lagi! Ia khawatir kalau-kalau
burung itu kehabisan tenaga dan jatuh ke bawah. Kini keadaan makin gelap. Sinar bulan
sepotong tidak mampu me-nembus halimun yang terbentang di ba-wah kaki mereka. Dia
tidak tahu lagi apakah di bawah mereka itu masih laut-an atau daratan!
Semalam suntuk burung raksasa itu terbang dan bagi Suma Han, semalam itu seperti
setahun lamanya! Kwi Hong tertidur pulas di atas pangkuannya, un-tung baginya karena
kalau dalam keada-an seperti itu anak itu rewel menangis, dia benar-benar akan
kebingungan tidak tahu harus berbuat apa!
Ketika matahari pagi mulai mengusir kegelapan, Suma Han mendapat kenyata-an bahwa
mereka terbang di atas sekum-pulan pulau-pulau di lautan luas! Jan-tungnya berdebar
tegang. Pulau-pulau ini! Bukankah kepulauan yang dekat dengan Pulau Es" Dan burung itu
masih terus terbang ke arah utara. Hal ini da-pat ia ketahui dengan melihat muncul-nya
matahari di sebelah kanannya.
Setelah beberapa lamanya melewati sekumpulan pulau-pulau sehingga kepulau-an itu
lenyap jauh di belakang, burung itu menukik turun menuju ke sebuah pulau yang tampak
keputihan. Hampir Suma Han bersorak. Itulah Pulau Es! Tak salah lagi. Kini mulai tampaklah
bentuk bangunan di tengah pulau. Istana Pulau Es! Dan benar saja burung itu melayang
turun menuju ke pulau. Tiba--tiba burung garuda mengeluarkan pe-kik dahsyat, melengking
panjang dan dari pulau itu terdengar pula lengking yang sama, akan tetapi lebih tinggi
nadanya dan tampaklah seekor burung ga-ruda lain, terbang ke atas menyambut
kedatangan mereka! Burung garuda yang terbang menyambut ini kelihatan bi-ngung dan
kaget ketika melihat betapa di punggung temannya duduk dua orang manusia, dia
mengeluarkan bunyi nyaring berkali-kali dan dijawab oleh garuda yang diduduki Suma Han
dengan pekik-pekik pendek seperti orang bertanya dan men-jawab. Suma Han menjadi geli
hatinya dan sedetik ia dapat menduga bahwa burung garuda yang menyambut itu ten-tulah
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
29 garuda betina sedangkan yang dia tunggangi tentu yang jantan. Baik manu-sia maupun
binatang sama saja, yang betina lebih "cerewet"!
Dua ekor burung itu melayang turun ke atas pulau, tepat di depan Istana Pulau Es. Suma
Han meloncat turun sambil memondong Kwi Hong yang su-dah terbangun. Begitu menginjak
tanah yang dingin sekali, Kwi Hong menggigil kedinginan. Akan tetapi Suma Han begi-tu
turun di atas pulau, tak dapat mena-han lagi keharuannya dan pendekar yang sudah kosong
hatinya itu kini menangis tersedu-sedu! Usianya belum ada tiga puluh tahun, baru dua puluh
delapan atau dua puluh sembilan, namun kini ia sudah kembali ke Pulau Es untuk
sela-manya, mungkin! Bukan hal ini yang menyebabkan runtuhnya air matanya, melainkan
keharuan melihat tempat di mana ia hidup berdua dengan Lulu sampai bertahun-tahun,
penuh kebahagiaan. Kini Lulu telah tiada di sampingnya lagi!
"Paman Han Han, kenapa menangis" Siapa yang nakal kepadamu?" Tiba-tiba Kwi Hong
menghampiri den memeluk leher Suma Hen yang duduk di atas ta-nah. Mendengar ini,
Suma Han merang-kul Kwi Hong, berusaha menghentikan tangisnya yang ia tahu amat perlu
kare-na kalau ditahan-tahan dapat menyebab-kan luka di dalam tubuhnya dan menim-bulkan
penyakit. Terdengar suara lirih dan ketika Suma Han mengangkat muka, dia melihat be-tape dua ekor
burung garuda itu meman-dang kepadanya seperti orang turut berduka cita! Melihat ini,
timbul semangat Suma Han dan dia memondong tubuh Kwi Hong sambil melompat bangun
dan tersenyum! "Kwi Hong, keponakanku, anakku, muridku! Kita sekarang tinggal di sini, di Pulau Es. Lihat,
itulah Istana Pulau Es di mana dahulu aku tinggal. Istana kita! Kita hidup di sini bersama dua
ekor burung yang sakti ini, sepasang Sin-eng yang setia!"
"Tapi Ibu....?"
"Kelak kau akan tahu tentang Ibumu. Mari kita carikan ikan untuk hadiah Sin--eng yang
telah mengantar kita ke sini!" Suma Han berloncatan ke pantai pulau sambil menggendong
Kwi Hong. Dengan kepandaiannya, mudah saja Suma Han membunuh banyak ikan besar
dengan tongkatnya dan dia melontarkan ikan--ikan itu kepada burung garuda yang mengikuti
mereka ke pantai. Dua ekor burung itu girang sekali dan melahap ikan-ikan itu sambil
mengeluarkan bunyi nyaring. Bagi mereka, amatlah sukar mencari ikan-ikan di dalam air dan
mereka harus mencari makanan di pulau-pulau lain, mengintai dan menyergap bi-natang
dengan susah payah. Kini ada orang yang memberi makan demikian banyaknya, tentu saja
mereka girang se-kali.
Demikianlah, untuk kedua kalinya, Suma Han hidup di dalam Istana Pulau Es, kini bersama
Kwi Hong yang digem-bleng sehingga akhirnya, bocah itu da-pat bertahan melawan hawa
dingin di Pulau Es yang bagi orang biasa akan amat menyiksa, bahkan dapat
membunuh-nya. Sepasang burung garuda menjadi jinak dan ternyata mereka ini adalah
sepasang burung yang amat cerdik dan mereka merupakan binatang tunggangan yang amat
berguna bagi Suma Han. Un-tuk mencari bahan makanan, Suma Han sering menunggang
garuda jantan yang mengantarnya terbang ke pulau-pulau lain di mana tumbuh buah-buah
dan bahan-bahan makanan, juga binatang-bina-tang hutan. Hanya beberapa bulan sekali
saja Suma Han pergi mencari bahan ma-kanan, sekali cari cukup untuk dua tiga bulan.
Bahan-bahan makanan itu tidak akan mudah membusuk kalau ditaruh di Pulau Es yang
dingin. Kwi Hong ternyata juga merupakan seorang anak yang cerdik dan berbakat baik.
Keberaniannya luar biasa sehingga dalam usianya lima tahun saja dia su-dah berani
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
30 menunggang garuda betina yang menjadi teman baiknya, diterbang-kan tinggi di angkasa, di
antara awan--awan putih!
Hanya satu hal yang menjadi ganjal-an di hati Suma Han. Bagi dia sendiri, dia sudah puas
hidup di pulau itu, dan dia tidak akan menyesal hidup menyen-diri di situ sampai mati
sekalipun. Akan tetapi Kwi Hong! Anak itu membutuhkan pergaulan dengan manusia lain!
Kalau tidak, apa akan jadinya dengan Kwi Hong" Bagaimana dengan perkembangan
jiwa-nya dan pembentukan wataknya" Dia bukan seorang ahli didik dan di tempat seperti itu,
mana mungkin ada manusia lain yang dapat dijadikan teman pergaul-an Kwi Hong"
Kurang lebih dua tahun kemudian setelah Suma Han tinggal di Pulau Es, pada suatu hari
seperti biasa dalam dua tiga bulan sekali, ia menunggang Garuda Putih jantan untuk pergi
mencari bahan makanan. Sekali ini, karena hendak meli-hat-lihat keadaan, dia mengajak
garuda itu terbang ke arah utara, kemudian berkeliling ke timur, tidak seperti biasa-nya
menuju ke sekelompok pulau yang subur di selatan.
Tiba-tiba pandang matanya melihat sebuah perahu layar besar yang berwarna hitam, hitam
seluruhnya sampai la-yarnya pun semua berwarna hitam. Hati-nya tertarik dan ia menyuruh
garuda putih melayang turun mendekati perahu layar. Dari jauh di atas ia sudah meli-hat
pemandangan yang memanaskan hati-nya. Di atas perahu itu terdapat empat puluh orang
laki-laki dan perempuan yang terbelenggu dan diikat pada tiang-tiang besi yang sengaja
didirikan di perahu, dan mereka ini sedang disiksa, dicambuki, oleh lima orang laki-laki dan
seorang wanita yang mukanya berwarna jambon sedangkan laki-laki itu semua mukanya
berwarna ungu! Di atas dek tampak be-berapa orang pula bekerja, agaknya anak buah
perahu, dan muka mereka ini berwarna hitam dan merah. Orang-orang Pulau Neraka! Suma
Han tertarik seka-li dan menyuruh garudanya makin men-dekat. Semua orang yang berada
di pe-rahu kini dapat melihat garuda itu dan ributlah mereka melihat seorang manu-sia
menunggang seekor burung garuda.
Akan tetapi Suma Han sudah melihat cukup jelas, sampai dia dapat mengenal bahwa di
antara empat puluh orang laki--laki dan wanita yang ditawan itu sebagi-an besar adalah
bekas saudara-saudara seperguruannya, yaitu anak murid In-kok--san (Lembah Mega) di
Gunung Tai-hang--san! Bahkan di antara enam belas orang wanita tawanan itu terdapat
bekas suci-nya, yaitu Phoa Ciok Lin yang kini te-lah menjadi seorang wanita cantik dan
gagah berusia dua puluh tujuh tahun! Adapun para tawanan yang lain tentu bukan orangorang sembarangan pula, dapat dilihat dari sikap mereka yang gagah dan sama sekali tidak
kelihatan takut biarpun dirantai dan dicambuki! Diam-diam Suma Han menjadi terkejut dan
heran sekali. Dia tahu bahwa anak murid In-kok-san, bekas murid-murid mendiang Ma-bin
Lo-mo Siangkoan Lee yang terkenal sekali sebagai datuk go-longan hitam, memiliki
kepandaian ting-gi dan mereka adalah pejuang-pejuang yang kemudian membalik dan
memusuhi guru mereka sendiri setelah mereka ta-hu bahwa pembunuh orang-orang tua
mereka sebenarnya adalah guru mereka sendiri (baca ceritaPendekar Super Sak-ti).
Bagaimana mereka yang begini ba-nyak jumlahnya dapat tertawan oleh orang-orang Pulau
Neraka itu" Biarpun ia tahu bahwa laki-laki bermuka ungu dan perempuan bermuka jambon
itu lihai sekali, namun kiranya tidak akan mudah menawan sekian banyaknya orang-orang
yang berilmu tinggi! Betapapun juga, dia harus menolong mereka!
Garuda putih menukik turun ke arah permukaan perahu dan kini mereka yang berada di
bawah dapat melihat jelas laki-laki berambut riap-riapan putih dan berkaki buntung yang
menunggang garu-da itu.
"Dia.... Pendekar Siluman....!" Seruan ini keluar dari mulut laki-laki muka ungu dan wanita
muka jambon yang pernah bertemu dengan Suma Han ketika mere-ka memperebutkan
putera Bhok Khim di dalam kuil tua.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
31 Juga para murid In-kok-san kini me-ngenal Suma Han, namun mereka itu ha-nya
memandang dengan heran dan jantung berdebar. Benar bahwa Suma Han pernah menjadi
murid In-kok-san, bah-kan pernah diambil murid Toat-beng Ciu--san-li bersama tiga orang
murid In-kok--san lain termasuk Phoa Ciok Lin, akan tetapi telah terjadi bentrok antara Suma
Han dengan Ma-bin Lo-mo dan dengan Toat-beng Ciu-sian-li. Bahkan kedua orang datuk Inkok-san itu tewas di ta-ngan bekas murid ini, sedangkan kaki kiri Suma Han juga buntung
oleh Toat--beng Ciu-sian-li (baca ceritaPendekar Super Sakti )! Biarpun bekas saudara
se-perguruan, namun sekarang tidak mung-kin menganggapnya saudara seperguruan lagi
tidak ada hubungannya sama sekali dan mereka pun sudah mendengar bahwa laki-laki
muda yang buntung ini memiliki ilmu kepandaian seperti setan!
Kini burung garuda sudah melayang turun di atas dek perahu dan semua orang makin
kagum mendapat kenyataan bahwa burung itu benar-benar amat be-sar, setinggi manusia.
"Wah, dia tidak kalah besar dengan Tiauw-ong (Rajawali)!" Terdengar se-orang di antara
anak buah perahu itu berseru dan diam-diam Suma Han men-duga bahwa tentulah burung
rajawali yang dahulu pernah dikalahkan garudanya itu adalah binatang peliharaan Pulau
Neraka! "Pendekar Siluman, mau apa engkau datang ke sini" Bukankah kau dahulu bi-lang bahwa
engkau tidak mencari per-musuhan" Harap jangan mencampuri urus-an kami!" Laki-laki
muka ungu sudah maju dan menegurnya.
Suma Han yang sudah meloncat tu-run dari punggung garuda dan berdiri te-nang
mengerling ke arah para tawanan, kemudian ia bertanya kepada laki-laki muka ungu itu.
"Aku melihat dari angkasa hal yang tidak wajar ini. Mengapa mereka ini di-tawan?"
"Ini adalah urusan kami sendiri, orang lain tidak berhak mencampuri. Ataukah ada
hubungan antara To-cu (Majikan Pu-lau) Pulau Es dengan seorang di antara tawanan ini"
Kalau benar demikian, ka-mi bersedia membebaskannya."
Diam-diam Suma Han merasa geli di dalam hatinya. Dahulu, secara tidak se-ngaja ia
mengaku tinggal di Pulau Es kepada dua orang utusan Pulau Neraka dan siapa sangka,
sekarang hal itu be-nar-benar telah terbukti dan dia menja-di penghuni atau majikan dari
Pulau Es! Mendengar pertanyaan Si Muka Ungu yang setengah menghormat dan takut se-tengah
penasaran menentangnya itu, Suma Han kembali mengerling ke arah para tawanan. Timbul
sebuah pikiran yang membuat jantungnya berdebar. Bu-kankah dia sedang bingung
memikirkan masa depan Kwi Hong yang tidak mempunyai teman" Para tawanan ini rata-rata
adalah seorang gagah, bahkan wani-ta-wanitanya, terutama sekah Phoa Ciok Lin, adalah
wanita-wanita yang memili-ki wajah cantik dan pandang mata ga-gah pula. Melihat bahwa
mereka yang bukan murid In-kok-san tertawan bersama murid-murid In-kok-san yang
kesemua-nya pejuang-pejuang gagah perkasa, ten-tulah orang-orang ini pun bukan
penja-hat-penjahat dan tergolong pejuang yang gagah pula.
"Kalian mau tahu apa hubunganku de-ngan mereka ini" Mereka ini adalah anak buahku,
anak buah Pulau Es! Kali-an berani menawan mereka?"
Mendengar ini, wajah semua orang yang berada di atas perahu itu berubah, bukan hanya
wajah para anak buah Pu-lau Neraka, juga para tawanan meman-dang dengan bingung.
Melihat ini, Suma Han sudah mengajukan pertanyaan kepa-da para tawanan, suaranya
mengandung penuh wibawa, namun dingin seolah-olah menanyakan hal yang amat kecil
artinya. Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
32 "Katakanlah, kalian lebih senang menja-di anak buah Pulau Es di bawah pimpin-anku
ataukah ingin ikut dengan rombong-an Pulau Neraka?"
Tiba-tiba seorang yang bertubuh ge-muk, berjenggot panjang, rambutnya di-kuncir,
menjawab, "Kami jauh lebih senang menjadi anak buah Pulau Es, sia-pa sudi menjadi budak
paksaan Pulau Neraka?" Empat puluh orang itu seren-tak menjawab dan menyatakan
keinginan -hati mereka untuk menjadi anak buah Pulau Es. Hanya Phoa Ciok Lin dan
be-berapa orang anak murid In-kok-san yang membungkam agaknya masih segan un-tuk
menyatakan menjadi anak buah laki--laki buntung itu.
Pada saat itu, laki-laki muka ungu yang tadi lari memasuki bilik perahu, kini sudah keluar
lagi bersama seorang kakek tinggi kurus yang bermuka hijau! Akan tetapi memang
demikianlah kenya-taannya dan kini Suma Han mengerti mengapa empat puluh orang gagah
itu tertawan. Tentu Si Muka Hijau ini yang memiliki ilmu kepandaian lebih tinggi daripada
mereka semua. Dan hal itu ter-bukti pula dari sikap jerih dan pandang mata penuh
kekhawatiran dari para ta-wanan ketika Si Muka Hijau ini keluar.
Suma Han dengan sikap tenang memandang. Warna hijau itu bukanlah kulitnya, melainkan
seperti cahaya yang keluar dari dalam. Kini karena dalam keadaan tegang menghadapi
pertentangan, para anak buah perahu juga sudah bersi-ap dan mereka mengatur barisan
yang aneh karena warna-warna muka mereka. Ada kelompok muka hitam, muka merah,
muka ungu, dan muka jambon. Akan tetapi yang bermuka hijau hanya ada se-orang saja,
kakek tinggi kurus itulah.
Setelah berdiri saling pandang bebe-rapa lamanya, agaknya kakek muka hijau itu dapat
mengenal sinar mata yang aneh dan penuh kekuatan mujijat dari Suma Han. Dia segera
membungkuk sambil merangkapkan kedua tangan dan berkata penuh hormat,
"Tidak kelirukah pelaporan anak buah kami bahwa Paduka adalah To-cu dari Pulau Es?"
"Benar." jawab Suma Han. "Akulah penghuni Pulau Es. Apakah engkau Ketua Pulau
Neraka?" "Aaaahh, hamba hanyalah murid ting-kat rendahan saja. Hamba bertugas mengumpulkan
tenaga-tenaga untuk di-kerjakan di pulau kami dan telah berha-sil mengumpulkan empat
puluh orang ini. Kami menangkapnya di daratan sana dan mereka adalah kaum pejuang
yang menentang pemerintah Ceng. Akan teta-pi tadi anak buah kami melapor bahwa To-cu
mengakui mereka ini sebagai anak buah Pulau Es. Bagaimana ini?"
Suma Han merasa malu kalau harus membohong, maka ia berkata, "Tadinya mereka bukan
apa-apa, akan tetapi mu-lai saat ini menjadi anak buah Pulau Es. Karena itu, aku menuntut
agar mereka dibebaskan!"
Sepasang alis kakek tinggi kurus itu bergerak-gerak dan warna hijau di muka-nya makin
keruh. "Hamba sebagai murid tingkat rendah dari Pulau Neraka tentu saja tidak berani
lancang menentang ke-hendak To-cu dari Pulau Es. Akan tetapi kalau hamba menurut
begitu saja atas perintah To-cu, berarti hamba melalaikan tugas yang dibebankan kepada
hamba. Karena itu, terpaksa hamba mematuhi peraturan dari Ketua kami, yaitu dengan
kepandaian hamba mendapatkan empat puluh orang ini, dan hanya dengan ke-pandaian
pula pihak lain dapat merampasnya!"
Diam-diam Suma Han merasa heran. Sepak terjang orang-orang Pulau Neraka itu kadangkadang keji dan liar, akan tetapi sikap mereka ternyata sopan dan seperti orang terpelajar,
bahkan tahu aturan. Seperti apakah ketua mereka" Orang bermuka hijau yang sudah dapat
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
33 mengalahkan empat puluh orang pejuang, bahkan termasuk Phoa Ciok Lin murid Toat-beng
Ciu-sian-li, tentu saja memi-liki ilmu kepandaian tinggi. Akan tetapi dia mengaku hanya
seorang murid ting-kat rendah dari Pulau Neraka. Bukan main!
"Hemm, kiranya dengan ucapan halus engkau bermaksud menantangku?" Suma Han
bertanya, sikapnya dingin.
"Mana berani hamba menantang" Akan tetapi, kalau hamba pulang kehilangan para
tawanan tanpa melawan, hamba akan dihukum mati sebagai orang hina. Sebaliknya, kalau
hamba mempertahan-kan terhadap Paduka, hamba akan mati juga sebagai seorang
petugas yang baik."
"Ah, kiranya ketua kalian memiliki orang-orang pandai yang amat setia. Bagus! Memang
tidak semestinya aku mengambil tawananmu begitu saja. Nah, aku telah siap, mari kita


Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menentukan tingkat kepandaian!" Biarpun mulutnya berkata demikian, akan tetapi sikap
Su-ma Han sama sekali bukan sikap seorang yang hendak bertanding karena dia ma-sih
berdiri seenaknya di atas kaki kanannya, ditopang tongkatnya yang dipegang di tangan kiri.
Hanya sepasang matanya yang tanpa diketahui siapapun juga, se-jak tadi telah melancarkan
serangan he-bat! Suma Han mengerti bahwa kalau semua anak buah Pulau Neraka maju
menggunakan kekerasan dan dia menyambut dengan ilmu silat pula, tentu dia akan terpaksa
merobohkan mereka kalau tidak terluka berat, mungkin ada yang tewas. Dia tidak
menghendaki terjadinya hal ini, maka dia mengambil keputusan untuk melawan dengan
ilmunya yang aneh, mengandalkan kekuatan mujijat yang tersembunyi di dalam
kemauannya dan dipancarkan melalui pandang mata-nya.
"Singgg....!" Sebatang pedang telah berada di tangan Si Muka Hijau. Cara mencabut
pedang sampai mengeluarkan suara berdesing nyaring dan ujung pedang menggetar-getar
itu saja sudah membuk-tikan bahwa Si Muka Hijau ini ternyata seorang yang memiliki
kepandaian tinggi.
"Maaf, To-cu. Harap suka mengeluar-kan senjata dan maafkan hamba yang kurang ajar."
Biarpun kakek itu bersikap menghormat, akan tetapi di lubuk hati-nya dia tidak memandang
terlalu tinggi Majikan Pulau Es ini, melihat bahwa lawannya ini ternyata hanya seorang muda
yang patut menjadi cucunya, ber-kaki buntung sebelah dan tidak memegang senjata.
"Orang tua, apakah artinya senjata tajam dan runcing seperti pedangmu itu" Hanya dapat
menggigitmu sendiri. Kauseranglah, aku telah siap!" kata Suma Han sambil mengerahkan
kekuatan mujijatnya melalui mata.
Para tawanan yang menyaksikan ini, terutama sekali Phoa Ciok Lin, merasa tegang dan
khawatir. Mereka semua te-lah merasai kelihaian Si Muka Hijau dan mereka semua tidak
ada yang dapat me-nandingi Si Muka Hijau. Sekarang Suma Han menghadapinya secara
itu, sama sekali tidak memasang kuda-kuda, sama sekali tidak menggunakan senjata,
bah-kan tongkat bututnya hanya dipegang dengan tangan kiri untuk membantu ka-kinya
yang hanya sebuah!
Adapun Si Muka Hijau itu diam-diam menjadi penasaran dan marah se-kali. Biarpun bocah
buntung ini datang secara aneh, menunggang garuda, dan mengaku sebagai Majikan Pulau
Es, dan dikabarkan memiliki kepandaian seperti setan sehingga berjuluk Pendekar Super
Sakti atau juga Pendekar Siluman, na-mun tidak patut menghadapinya dengan sikap
merendahkan seperti itu.
"To-cu sambut pedang hamba!" Tiba-tiba tampak sinar putih berkelebat ce-pat sekali ketika
pedang itu meluncur ke arah leher Suma Han. Memang hebat sekali gerakan Si Muka Hijau
ini, pedang meluncur dengan suara berdesing dan da-ri jauh sudah menyambar hawa dingin
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
34 ke arah leher Suma Han. Pendekar Silu-man ini hanya berdiri tegak, sedikit pun tidak
bergerak atau mengelak, bahkan tidak menangkis hanya memandang de-ngan mata seperti
mengeluarkan kilat.
"Hayaaaa....!" Tiba-tiba Si Muka Hijau memekik dan matanya terbelalak penuh kengerian
karena ia melihat betapa pe-dang di tangannya itu tiba-tiba berubah menjadi seekor ular! Dia
memegang ular itu dan kini ular itu membalik, membuka moncongnya yang merah menggigit
ke arah lehernya sendiri! Tentu saja ia kaget setengah mati, memekik dan miringkan kepala
berusaha mengelak, akan tetapi kurang cepat dan kulit lehernya sebelah kanan telah tergigit!
Ia terpekik lagi kesakitan, melepaskan ekor "ular" dan terhuyung-huyung ke belakang
memegangi lehernya dan matanya me-mandang "ular" yang jatuh ke atas lan-tai perahu.
Bagi orang lain yang menonton, pe-ristiwa itu lebih mengherankan lagi. Mereka tadi melihat
betapa pedang itu sudah digerakkan oleh Si Muka Hijau, menusuk leher Suma Han.
Mengapa sebe-lum ujung pedang mengenai leher orang yang sama sekali tidak mengelak
itu, tiba-tiba Si Muka Hijau membalikkan pedang dan menusuk lehernya sendiri sampai
terluka" Kini mereka melihat Si Muka Hijau terhuyung, melepaskan pe-dangnya yang
terjatuh ke lantai perahu, meraba leher yang mengucurkan darah!
"Ilmu siluman....!" Si Muka Hijau ber-teriak ketika kini matanya melihat bah-wa "ular" tadi
telah berubah menjadi pedangnya sendiri!
Mendengar ini, semua anak buah Pu-lau Neraka serentak maju, siap mengero-yok Suma
Han. Pendekar buntung ini meloncat ke depan, menyapu mereka dengan sinar matanya lalu
berkata, "Siapa lagi berani melawan Pendekar Siluman Majikan Pulau Es?"
Semua anak buah Pulau Neraka men-jadi ngeri ketika melihat Suma Han kini berubah
menjadi raksasa, tiga kali ukur-an tubuh manusia, kepalanya menjadi ti-ga buah dan
lengannya menjadi enam bu-ah biarpun kakinya masih tetap satu! Melihat ini, mereka
menggigil dan tak seorang pun di antara mereka berani berkutik, bahkan segera
menjatuhkan diri berlutut ketika Si Muka Hijau mendahu-lui mereka berlutut.
"Mohon To-cu sudi mengampunkan hamba semua dan biarlah kami melapor-kan kepada
To-cu kami bahwa para ta-wanan terpaksa kami serahkan To-cu Pu-lau Es karena kami tak
sanggup mela-wannya." kata Si Muka Hijau.
"Hemm, kalau begitu, mengapa kali-an tidak lekas pergi" Ataukah menunggu aku turun
tangan melempar-lemparkan kalian ke laut?"
Si Muka Hijau melompat bangun, memberi isyarat dengan tangan. Sebuah perahu kecil
diturunkan dan Si Muka Hi-jau bersama lima orang laki-laki muka ungu dan seorang wanita
muka jambon melompat ke dalam perahu. Si Muka Hijau memegang sebatang tali yang
ujungnya terpecah menjadi banyak dan ki-ni dipegang oleh para anak buah perahu. Lima
orang muka ungu dan seorang wanita muka jambon memegang dayung. Perahu kecil itu
didayung cepat sekali, Si Muka Hijau berdiri di ujung belakang memegang tambang dan....
belasan orang anak buahnya meloncat ke air dan da-pat berdiri lalu ditarik oleh perahu itu.
Kiranya Si Muka Hijau itu demikian kuatnya, memegang tambang yang menarik enam belas
orang dan ternyata para anak buah Pulau Neraka itu menggunakan ka-yu diikat dengan kaki
mereka sehingga mereka dapat terapung (semacam ski air)! Memang hebat mereka itu.
Hebat pula cara enam orang itu mendayung pe-rahu karena sebentar saja, rombongan itu
sudah jauh sekali menuju ke timur dan lenyap dihalangi ombak-ombak di belakang mereka!
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
35 Suma Han kagum sekali, maklum bah-wa dia telah menanam bibit permusuhan dengan
golongan yang amat kuat, yaitu Pulau Neraka. Akan tetapi dia tidak peduli, lalu
menggunakan tongkatnya mematahkan semua belenggu para tawan-an. Di antara mereka
itu, termasuk ka-kek gendut, segera menjatuhkan diri ber-lutut menghadap Suma Han. Akan
tetapi, anak murid In-kok-san tidak berlutut. Suma Han mengerutkan alisnya dan ber-kata
dengan suara dingin.
"Siapa yang suka menjadi anak buah-ku dan mengakui aku sebagai Majikan, harap berlutut.
Yang tidak mau, takkan dipaksa!"
Sedetik pandang matanya bertemu de-ngan pandang mata Phoa Ciok Lin be-kas sucinya.
Namun wanita muda ini se-gera menekuk kedua lututnya dan bertu-rut-turut para murid Inkok-san berlutut pula. Hanya dua orang murid In-kok-san dan seorang laki-laki bermuka
pucat te-tap berdiri tidak mau berlutut. Suma Han memandang mereka dan Si Muka Pucat
berkata, "Aku mengenal siapa engkau! Engkau dahulu adalah seorang pejuang, akan te-tapi engkau
telah berkhianat. Sebagai seorang pejuang, seorang patriot sejati, aku tidak sudi menjadi
bujang seorang pengkhianat. Mau bunuh boleh bunuh, siapa yang takut mati?"
Suma Han memandang Si Muka Pucat dan segera mengenalnya. Dia itu adalah seorang di
antara pejuang-pejuang yang pernah bertemu dengannya di Se-cuan, kalau dia tidak salah
ingat, bernama Lo Hoat dan murid dari Tok-gan Siu-cai Gu Cai Ek Si Ahli Totok Dengan
Sepasang Sumpit! Pernah dia merobohkan Lo Hoat ini ketika dia memasuki gedung para
pejuang dan disangka menantang pibu (baca ceritaPendekar Super Sakti ). Hemm, orang ini
pendendam sekali, amat tidak baik dijadikan teman.
"Aku tidak mau membunuh orang. Akan tetapi, kalau engkau tidak mau menjadi anak
buahku, aku pun tidak memaksa. Nah, pergilah sekarang juga!"
"Pergi ke mana" Tidak ada lagi perahu yang dapat kupakai."
Suma Han memandang tajam dengan alis berkerut. "Lo Hoat, aku tidak ada waktu untuk
berdebat. Pilih satu di an-tara dua. Tinggal di perahu dan menja-di anak buah Pulau Es, atau
sekarang juga keluar dari perahu ini!"
"Engkau.... iblis siluman.... keji!" Lo Hoat memaki.
"Pergilah atau harus kulempar keluar?"
"Manusia rendah, coba kaulempar ka-lau...." Belum habis ucapan Lo Hoat ini, tangan kanan
Suma Han bergerak sedi-kit dan.... tubuh itu terlempar keluar dari perahu dan jatuh tercebur
ke air! "Apakah kalian berdua juga tidak sudi menjadi anak buah Pulau Es?" tanya Suma Han
kepada dua orang murid In-kok-san.
"Engkau adalah bekas sute kami, ba-gaimana kami dapat mengangkatmu men-jadi majikan
dan berlutut di depanmu?" seorang di antara mereka membantah. "Kami adalah orang-orang
yang memi-liki kegagahan, bukan berjiwa rendah!"
"Orang yang tak dapat melihat kenyataan adalah orang-orang bodoh, bukan gagah! Aku
bukan sute kalian, aku ada-lah Majikan Pulau Es dan kalian hanya mempunyai dua pilihan.
Tunduk kepada-ku atau.... keluar dari perahu ini!"
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
36 "Lebih baik mati!" Dua orang itu meloncat keluar dari perahu dan kemba-1i air laut muncrat
ketika tubuh mereka menimpa air. Mereka yang berlutut me-mandang ke arah air dengan
muka pu-cat, menyaksikan tiga orang itu berju-ang dan bersitegang melawan air yang
berombak dan yang hendak menggulung dan membunuh mereka.
"Pasangkan layar, kita berangkat!" kata Suma Han tanpa mempedulikan ti-ga orang itu.
"Aku menjadi penunjuk ja-lan dengan garudaku di atas perahu, ikuti ke mana garuda
terbang!" Mereka yang berlutut itu sudah tun-duk dan kagum kepada Suma Han. Mere-ka telah
diselamatkan dari nasib yang amat buruk. Baru menjadi tawanan saja mereka sudah disiksa,
kalau sampai di Pulau Neraka, tentulah penghidupan me-reka akan benar-benar seperti di
neraka! Tentu saja jauh lebih baik menjadi anak buah pendekar berkaki buntung ini biar-pun
pendekar ini dijuluki Pendekar Silu-man! Apalagi, nama Pulau Es merupa-kan daya tarik
besar sekali. Pulau Es adalah sebuah tempat yang selalu di-idamkan oleh tokoh-tokoh kangouw, yang dianggap sebagai tempat keramat di ma-na terdapat pusaka dan ilmu-ilmu yang
tinggi. Kini mereka dijadikan anak buah Pulau Es, tentu saja mereka menerima-nya dengan
hati girang. Perahu hitam itu bergerak, layar-layarnya terkembang ditiup angin dan dengan wajah
gembira penuh harapan mereka mengemudikan perahu mengikuti garuda yang terbang
perlahan di atas mereka. Phoa Ciok Lin dan para saudara seperguruan masih termangumangu, ter-ingat akan nasib dua orang saudara se-perguruan yang ditinggalkan dan
bergu-lat dengan maut antara ombak laut itu. Mereka ini tidak dapat menyalahkan Su-ma
Han, dan tidak dapat menganggap Majikan Pulau Es itu kejam. Tidak, orang muda buntung
yang kini menjadi majikan mereka, menjadi ketua mereka itu, telah memberi kesempatan
kepada tiga orang tadi. Tidak membunuh mereka sebaliknya mereka itulah yang seperti
membunuh diri sedangkan jalan hidup terbuka lebar.
Demikianlah tiga puluh orang gagah kini menjadi anak buah Pulau Es. Setelah berbulanbulan tinggal di situ, mereka semua makin tunduk, makin hormat dan bahkan mulai
menerima Suma Han seba-gai majikan dan juga guru mereka! Suma Han mengajarkan ilmuilmu kepada mereka disesuaikan dengan kepandaian da-sar dan bakat mereka masingmasing se-hingga kepandaian mereka meningkat se-cara hebat. Tentu saja yang merasa
paling girang adalah Kwi Hong. Phoa Ciok Lin segera mengambil alih pekerjaan Su-ma Han
mendidik Kwi Hong. Sungguh berbeda caranya mendidik, tidak diman-jakan seperti dahulu.
Diajar membaca menulis dan kepandaian lain. Hanya da-lam hal ilmu silat, Suma Han turun
tangan sendiri mengajar keponakannya.
Kini Pulau Es menjadi ramai, merupakan sebuah pulau yang berpenduduk. Bukan
sembarang penduduk, melainkan orang-orang yang berilmu tinggi! Di an-tara mereka itu ada
yang saling mencin-ta lalu menikah dengan upacara sederha-na namun gembira. Dan
mulailah semua orang, tidak ada kecualinya, juga Phoa Ciok Lin, memandang Suma Han
bukan hanya sebagai penolong dan sebagai ketua, majikan, dan guru, akan tetapi juga
sebagai seorang manusia mulia se-perti dewa yang mereka hormati, taati dan juga cintai!
Namun, Suma Han tetap menyembunyikan diri, lebih sering dia bersamadhi di dalam
ruangan Istana Pulau Es di mana terdapat tiga buah patung guru-gurunya, yaitu patung
Koai-lojin Kam Han Ki, Nenek Maya, dan Nenek Khu Siauw Bwee. Pekerjaan men-cari
bahan makanan tentu saja kini dila-kukan oleh anak buahnya dan untuk me-ngatur semua
urusan, ia mengangkat Phoa Ciok Lin sebagai kepala urusan da-lam pulau, sedangkan Yap
Sun, kakek yang gemuk, diangkat menjadi kepala urusan luar. Pengangkatan ini bukan
hanya dinilai dari tingkat kepandaian, me-lainkan juga dari watak dan pribadi me-reka. Tentu
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
37 saja demi kewibawaan, Suma Han menurunkan ilmu-ilmu yang lebih tinggi kepada dua
orang wakilnya ini.
Demikianlah selama lima tahun te-lah terjadi perubahan hebat di Pulau Es yang sekarang
dapat dianggap sebagai sebuah partai besar sehingga mulai ter-dengar namanya di dunia
kang-ouw. *** "Suhu....! Suhu sudah memberi ijin kepada teecu, kenapa menyusul" Apakah Suhu hendak
mengajak pulang ke Siauw-lim-si?" Bun Beng terkejut dan khawatir ketika senja hari itu dia
beristirahat dalam hutan, ia melihat gurunya muncul di depannya. Sudah tiga hari tiga malam
dia mengadakan perjalanan naik turun gunung dan masuk keluar hutan. Kakek Siauw Lam
tersenyum dan ikut duduk di depan api unggun yang dibuat Bun Beng. Selama ini diam-diam
ia mengikuti perjalanan muridnya dan menjadi kagum menyaksikan muridnya itu benarbenar melanjutkan perjalanan seorang diri tanpa mengenal takut.
"Muridku, apa kaukira aku tega mem-biarkan engkau menempuh perjalanan pe-nuh bahaya
ini" Aku tadinya hanya ingin mengujimu dan melihat sampai di mana kebulatan tekadmu.
Ternyata engkau benar-benar ingin sekali pergi menyaksi-kan keramaian antara tokoh-tokoh
kang-ouw, biarlah kubawa engkau ke sana."
Wajah Bun Beng yang tadinya mem-bayangkan kekhawatiran, tiba-tiba berse-ri gembira
dan ia menjatuhkan diri ber-lutut di depan kakek itu, "Terima kasih, Suhu. Terima kasih!"
Kakek Siauw Lam tertawa dan mem-buka bungkusan kain kuning yang diba-wanya.
"Sudahlah. Nih ada roti kering, engkau tentu belum makan."
Guru dan murid itu lalu makan roti kering dan minum air yang didapatkan Bun Beng dari
sumber air di hutan itu, kemudian ia rebah mengaso di dekat api unggun, "Bun Beng, semula
aku memang tidak rela mengajakmu mengunjungi tempat yang akan dijadikan pertemuan
orang-orang sakti itu. Amat berbahaya, muridku. Bahkan berbahaya sekali. Mere-ka adalah
orang-orang kang-ouw yang selain memiliki ilmu kesaktian yang hebat juga merupakan
orang-orang yang amat aneh wataknya, tidak seperti manusia biasa, bahkan ada yang
mendekati kegi-laan. Akan tetapi setelah kupikir-pikir, memang amat penting bagimu,
terutama demi kemajuanmu. Engkau berbakat baik dan engkau sejak dahulu mempelajari
da-sar-dasar ilmu silat tinggi dari Siauw-lim-pai. Aku percaya bahwa dengan kepandaianmu
yang kaupelajari dariku, belum tentu engkau akan kalah oleh orang yang sebaya denganmu.
Akan teta-pi, dibandingkan dengan tokoh-tokoh kang-ouw yang sakti itu, hemmm.... mungkin
kepandaian yang kumiliki sekali-pun sama sekali tidak ada artinya."Bun Beng terbelalak,
tidak percaya. Suhunya adalah orang yang terpandai di Siauw-lim-pai, memiliki ilmu seperti
de-wa. Bagaimana mungkin ada tokoh kang-ouw yang lebih pandai dari gurunya ini"
Namun, selamanya gurunya tidak pernah bicara bohong, maka apa yang diterang-kan ini
tentu ada benarnya pula. Hal ini membuat Bun Beng tertarik dan makin besar dorongan
keinginan hatinya untuk bertemu dengan tokoh-tokoh sakti yang aneh itu
Sejenak mereka tak berkata-kata. Bun Beng termenung, teringat akan ibu-nya. Ibunya juga
seorang murid Siauw-lim-pai, dan amatlihai. Ia teringat akan keadaan dirinya lima tahun
yang lalu, ditinggalkan dalam kuil tua oleh ibunya. Teringat ia akan pesan ibunya ketika
hen-dak pergi. "Bun Beng, anakku sayang. Ibumu akan pergi mencari musuh besar kita. Mungkin aku tidak
akan pergi lama. Akan tetapi kalau aku tidak kembali, tentu ada orang lain datang
menjemput-mu dan engkau harus turut dengan dia, anakku."
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
38 Ternyata kemudian bahwa yang datang ke kuil demikian banyak orang yang saling
memperebutkan dia! Selama lima tahun ini, kalau dia mengajukan pertanyaan pada gurunya
tentang ibunya yang ti-dak kembali ke kuil, gurunya tidak mau menerangkan hanya berkata,
"Belajarlah yang rajin, dan kelak engkau akan tahu sendiri apa yang terjadi dengan Ibumu."
Sekarang timbul lagi keinginan tahu-nya. Dia telah besar, telah sepuluh ta-hun lebih
usianya. Gurunya telah membo-lehkan untuk pergi merantau biarpun ki-ni suhunya itu
menemaninya. "Suhu, harap Suhu suka ceritakan tentang Ibu. Apakah Ibu masih hidup" Ataukah sudah
mati" Harap Suhu jangan khawatir. Teecu kira tentu Ibu sudah tidak ada, karena kalau
masih hidup, tentu Suhu tidak menyembunyikannya da-ri pengetahuan teecu. Maka, teecu
harap sudilah Suhu berterus terang. Kalau ma-sih hidup, di manakah Ibu" Kalau sudah mati,
mengapa" Siapa membunuhnya dan di mana kuburannya?"
Melihat suhunya ragu-ragu untuk menjawab, anak itu melanjutkan, "Suhu, harap Suhu
jangan khawatir mengatakan andaikata Ibuku telah mati. Telah terla-lu lama teecu
menganggap Ibu telah tidak ada, dan keraguan ini lebih menyik-sa daripada mendengar
kenyataannya."
Bukan main anak ini, pikir kakek itu. Sekecil ini memiliki wawasan sedalam itu, maka ia pun
lalu menjawab, "Ibumu Bhok Khim murid Siauw-lim-pai itu memang telah tewas, Bun Beng."
Bun Beng menunduk sejenak dan dia tidak menangis! Hanya suaranya menjadi agak
gemetar ketika ia bertanya, "Apa-kah Ibu gagal membalas dendam dan te-was di tangan
musuh besarnya?"
"Tidak muridku. Ibumu tidak gagal, bahkan berhasil membunuh musuhnya, akan tetapi
musuhnya itu pun dapat membunuhnya. Dalam pertadingan itu, me-reka keduanya tewas.
Nah, sekarang eng-kau telah mengerti dan sebaiknya kalau engkau tidak lagi memikirkan
Ibumu?" "Baik, Suhu. Akan tetapi Ayahku" Di manakah Ayah teecu" Ibuku tidak per-nah mau
menjawab kalau teecu mena-nyakan Ayah."


Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Berat rasa hati Kakek Siauw Lam. Bagaimana dia harus menjawab" Dia ti-dak mau
membohong, akan tetapi juga tidak sampai hati untuk menceritakan bahwa ayah anak ini
adalah musuh besar ibunya itu! Maka setelah berpikir seje-nak, ia menjawab tenang,
"Ayahmu juga telah meninggal dunia Bun Beng."
"Oohhh....!" Anak itu kecewa sekali, akan tetapi tidak menangis, tidak berdu-ka karena
memang selamanya belum pernah ia melihat ayahnya. "Tahukah Suhu, siapa nama Ayah
teecu?" "Namanya.... Gak Liat."
Bun Beng mengangguk dan menggigit bibirnya. Nama itu terukir di lubuk ha-tinya dengan
dua huruf besar-besar. "Ja-di teecu she Gak" Pantas dulu Ibu me-ngatakan bahwa teecu
boleh memakai she Bhok atau She Gak...."
"Dan engkau akan memakai she yang mana Bun Beng?" Kakek itu memandang tajam
wajah muridnya yang disinari api unggun.
"Tentu saja she Gak. Gak Bun Beng, seorang anak yatim piatu...." Suara ini agak tersendat
oleh keharuan. Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
39 Kakek itu memegang pundak Bun Beng. "Kematian orang bukanlah hal yang patut
disusahkan, muridku. Kita semua manusia yang dilahirkan, suatu saat pas-ti akan mati, dan
mati berarti terbebas daripada duka nestapa dan derita perasa-an di waktu hidup. Jangan
mengira engkau setelah ditinggal ayah-bundamu lalu menjadi seorang manusia yatim piatu
yang tidak mempunyai apa-apa. Tengok di kanan kirimu, semua yang tampak, tetumbuhan
dan binatang, adalah teman-teman hidup senasib. Dan semua manusia di dunia ini adalah
saudara-saudara sendi-ri. Langit adalah Ayahmu yang sejati, sedangkan Bumi, adalah
Ibumu yang seja-ti. Takut apa?"
Anak itu memandang wajah gurunya. Hatinya besar sekali dan ia tersenyum!
"Terima kasih, Suhu. Apalagi kalau teecu dapat bertemu dan berkenalan dengan tokohtokoh sakti di dunia ini, tentu teecu takkan merasa kesepian. Di dunia ini banyak manusiamanusia yang mulia hatinya, seperti Suhu. Dan sakti, seperti.... Pendekar Siluman! Eh, Suhu
ju-ga sakti sekali, tidak tahu siapa lebih sakti antara Suhu dan Pendekar Siluman yang
berkaki buntung itu?"
Gurunya tertawa. "Tidak salah kata-katamu. Dunia ini penuh orang sakti. Dan Pendekar
Super Sakti itu adalah se-orang di antara mereka, dibandingkan dengan dia, ahhh....
Suhumu ini bukan apa-apa."
"Suhu terlalu merendahkan diri. Tee-cu tidak percaya!"
"Memang, sebaiknya engkau pun sela-ma hidupmu bersikaplah seperti aku, Bun Beng.
Rendah hati bukan rendah diri! Orang yang rendah hati akan berhasil memperoleh kemajuan
pesat, sebaliknya orang yang tinggi hati akan tergelincir oleh kesombongannya sendiri.
Namun, bi-cara tentang Pendekar Super Sakti yang kini kabarnya menjadi majikan Pulau Es,
dia memang merupakan seorang muda yang mempunyai ilmu kepandaian luar biasa sekali,
bukan hanya ilmu silat ting-gi-tinggi sebagai murid yang mewarisi ilmu-ilmu dari Pulau Es,
juga dia memi-liki ilmu sihir yang luar biasa sekali. Sungguh sukar membayangkan mencari
orang yang dapat menandinginya dalam ilmu kesaktian. Sudahlah, kita mengaso, besok kita
melanjutkan perjalanan. Ke-lak engkau tentu akan dapat bertemu de-ngan mereka dan
membuktikan sendiri bagaimana lihai mereka itu."
Membayangkan para pendekar ini, Bun Beng melupakan kedukaannya ten-tang ayah
bundanya dan malam itu ia tertidur di dekat api unggun, bermimpi tentang pendekarpendekar sakti yang menunggang naga dan pandai menangkap geledek!
Pada keesokan harinya mereka me-lanjutkan perjalanan. Melakukan perjalan-an bersama
gurunya amatlah menggem-birakan hati Bun Beng karena gurunya itu tahu akan segala hal,
bahkan tahu akan nama setiap gunung yang mereka lalui, atau nama setiap kota, dusun,
bah-kan sungai!
Ketika mereka tiba di tepi Sungai Huang-ho di sebelah barat kota Cin-an, Bun Beng
mendapat kenyataan pertama bahwa gurunya memang bukan orang sembarangan. Ketika
suhunya mengajak-nya berjalan-jalan di tepi sungai yang ramai penuh dengan nelayan dan
perahu-perahu layarnya, tiba-tiba muncul tiga orang berpakaian pengemis yang serta-merta
menjatuhkan diri berlutut di de-pan suhunya!
"Eh, eh, harap kalian bangun kembali. Agaknya Sam-wi (Kalian Bertiga) sudah -salah
mengenal orang!" Kakek Siauw Lam menggerakkan tongkat bututnya minta mereka bangkit.
Akan tetapi tiga orang kakek jembel itu tidak mau bangkit, bahkan seorang di antara mereka
yang bertubuh bong-kok segera berkata, "Kami dari Pek-lian-kai-pang selamanya tidak
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
40 berani bersi-kap kurang ajar terhadap Siauw-lim-pai, apalagi terhadap Locianpwe Siauw
Lam Losuhu. Mohon tanya, ada keperluan apakah Locianpwe datang ke tempat ini"
Barangkali saja kami dapat membantu."
Mendengar bahwa mereka adalah anak buah Pek-lian-kai-pang, atau lebih tepat hanya
sisa-sisa dari anak buah Perkum-pulan Pengemis Teratai Putih yang ter-kenal itu, setelah
Pek-lian-kai-pang ter-basmi oleh Pemerintah Mancu (bacaPendekar Super Sakti ), kakek
Siauw Lam tidak membantah lagi dan berkata,
"Kami berdua ingin menonton kera-maian di muara Sungai Huang-ho, dan sedang mencari
perahu untuk disewa." Wajah tiga orang pengemis itu berubah, kaget dan pucat. "Ke.... ke
sana....! Aih, Locianpwe, di antara kami dan para ne-layan, siapakah yang berani pergi ke
sa-na dalam waktu ini" Mencari mati saja! Akan tetapi tentu saja Locianpwe lain lagi, dan
kalau saja kami berkepandaian tinggi seperti Locianpwe, agaknya tak-kan dapat menahan
keinginan hati me-nonton keramaian itu. Locianpwe mem-butuhkan perahu" Kami
mempunyai sebuah, boleh Locianpwe pakai. Kalau men-cari sewa, kami kira tidak ada
nelayan yang mau menyewakan perahunya pergi ke muara. Marilah, Locianpwe." Ketiga
orang jembel tua itu bangkit berdiri dan melangkah pergi, sikapnya seperti tidak acuh lagi
padahal tadi begitu menghor-mat. Memang, aneh-anehlah sikap orang kang-ouw dan hal ini
mulai dimengerti oleh Bun Beng. Gurunya mengikuti tiga orang kakek jembel itu dan Bun
Beng juga cepat mengikuti gurunya. Di pantai sungai agak menyendiri dan jauh tempat
ramai tiga orang kakek jembel itu ber-henti dan menunjuk ke sebuah perahu kecil yang
berlabuh di pinggir sungai.
"Itulah perahu kami, sekarang kami serahkan kepada Locianpwe, menjadi pe-rahu
Locianpwe. Silakan dan maaf kami mempunyai urusan lain, Locianpwe." Tiga orang kakek
itu lalu pergi begitu saja, tidak menanti terima kasih! Dan aneh-nya gurunya juga tidak
menyatakan teri-ma kasih sehingga diam-diam Bun Beng menjadi tidak puas atas sikap
gurunya yang dianggapnya kurang terima! Agak-nya Kakek Siauw Lam dapat melihat isi hati
muridnya maka ia berkata.
"Di dalam dunia kang-ouw terdapat paham bahwa di antara golongan sendiri, sebuah benda
adalah milik bersama, ter-utama kalau dipergunakan untuk kebutuh-an mendesak. Dan,
pemberian benda yang sudah merupakan kewajaran, tidak perlu dibalas dengan terima
kasih, hal itu ha-nya akan menimbulkan ketidakpuasan si pemberi yang menganggap orang
itu ber-sikap sungkan seperti orang asing bukan segolongan! Kalau tadi aku mengucapkan
terima kasih, tentu mereka akan meng-anggap bahwa aku sombong dan tidak mau
menganggap mereka sebagai sego-longan!"
Bun Beng melongo dan mengangguk-angguk. Betapa anehnya orang-orang kang-ouw itu,
pikirnya. Akan tetapi ia mulai memperhatikan perahu itu. Sebuah perahu yang buruk akan
tetapi kokoh ku-at, dengan tihang layar dari bambu dan layar-layarnya banyak yang sudah
ditam-bali, seperti pakaian tiga orang kakek jembel tadi. Bukan seperti perahu yang baik,
akan tetapi lumayan dan cukup kuat!
Kakek Siauw Lam mengajak Bun Beng naik ke perahu, melepas ikatan dan menggunakan
dayung menggerakkan pera-hu ke tengah sungai yang amat lebar itu. Makin lama makin ke
tengah dan Bun Beng belajar caranya mendayung. Mula-mula memang sukar sekali, apalagi
kalau harus menerjang arus air, akan tetapi lama-lama ia menjadi bissa dan dapat
menguasai cara mendayung. Perahu meluncur mengikuti arus air ke timur dan Kakek Siauw
Lam mengembangkan sebu-ah layar kecil untuk membantu lajunya perahu.
Bun Beng benar-benar mereka gembi-ra. Selamanya belum pernah ia berla-yar dan sekali
berlayar dia belajar men-dayung dan mengemudikan perahu! Ter-nyata jauh lebih enak
melakukan perja-lanan dengan perahu, tidak melelahkan seperti kalau melakukan perjalanan
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
41 darat dengan jalan kaki. Juga pemandang-an alamnya tidak kalah menariknya ka-rena di
kanan kiri sungai itu tampak lembah yang subur dan diseling pegu-nungan dan hutan-hutan
liar menghijau.
Pada suatu hari, pagi-pagi sekali me-reka tiba di sebuah tikungan yang menu-run. Arus
airnya kuat dan berobah ga-nas, berombak dan mengandung banyak putaran air sehingga
Kakek Siauw Lam turun tangan sendiri memegang kemudi dengan dayung. Setelah
menikung dan air tidak begitu ganas lagi, tiba-tiba Bun Beng meloncat berdiri dan menu-ding
ke depan sambil berkata.
"Suhu, lihat! Banyak perahu di depan, dan banyak orang di sana. Ada benderanya segala,
siapakah mereka itu?"
"Kau tenanglah Bun Beng dan jangan mengeluarkan ucapan. Lihat saja dan ja-ngan
mencampuri kalau terjadi sesuatu. Mereka adalah rombongan partai-partai persilatan dan
agaknya keramaian belum dimulai, semua orang masih bersikap me-nunggu-nunggu."
Kakek itu bangkit dan berkata lirih, hatinya tegang karena dia dapat merasakan betapa
suasana amat panas dan sewaktu-waktu dapat meledak perpecahan di antara orang-orang
kang-ouw yang memperebutkan pusaka.
Setelah perahu mereka mendekat, kakek itu menyuruh Bun Beng untuk du-duk diam saja,
mengemudikan perahu dan menyuruh muridnya mengambil jalan te-ngah. Banyak perahu
malang-melintang, agaknya memang sengaja mereka yang berada di perahu itu
memancing-mancing keributan. Sekali saja ada perahu ber-tumbukan, tentu akan terjadi
keributan itu. Ketika kakek Siauw Lam dapat mem-baca tulisan pada bendera, terkejutlah dia karena
ternyata bahwa yang berkum-pul di situ dan seolah-olah menghadang itu adalah rombongan
bajak sungai Hek-liong-pang (Perkumpulan Naga Hitam) yang terkenal pada masa itu dan
yang tidak saja menjadi bajak di muara Su-ngai Huang-ho, bahkan kadang-kadang turun ke
laut dan mengganggu kapal-kapal di laut Po-hai! Akan tetapi kakek ini bersikap tenang saja,
membisikkan kepada muridnya agar memperlambat lajunya perahu mereka.
Tiba-tiba tampak seorang di antara para bajak itu berdiri di kepala perahu yang
menghadang di depan, kemudian terdengar suaranya lantang seperti ber-bunyi :
Dari delapan penjuru muncul harimau dan naga datang ke muara mempere-butkan mustika.
yang merasa dirilya bukan harimau atau naga pergilah jangan mencari jalan ke neraka!"
Kakek Siauw Lam masih tetap te-nang, bahkan kini ia menggunakan tong-katnya dipukulpukulkan dan digoyang-goyangkan ke dalam air seperti bermain-main. Tongkatnya
menerbitkan suara ber-irama lalu terdengarlah kakek ini ber-nyanyi :
"Harimau dan naga memperebutkan mustika biarlah! Sang Kucing tidak menghendaki apaapa hanya menonton menggunakan mata sendiri
siapa yang ambil peduli?"
Bun Beng yang mengemudikan perahu tidak begitu mengerti apa yang dimak-sudkan
dengan nyanyian-nyanyian itu, akan tetapi ia terbelalak kaget melihat betapa tongkat
suhunya yang dipermain-kan di air itu selain menerbitkan suara berirama, juga menimbulkan
gelombang yang membuat perahu-perahu pengha-lang itu terombang-ambing, bahkan
ter-dorong minggir!
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
42 Juga para pimpinan bajak mengerti bahwa kakek itu ternyata memiliki kepandaian dahsyat,
maka perahu-perahu mereka minggir memberi jalan dan me-reka semua berdiri di kanan kiri
sambil memberi hormat mengangkat kedua ta-ngan ke depan dada ketika perahu kecil itu
lewat. Bajak yang tadi bernyanyi, ki-ni bernyanyi pula, suaranya lantang :
"Burung terbang dapat dipanah ikan berenang dapat dijala binatang lari dapat dijebak!
Kami yang bodoh tidak dapat mengenal naga sakti yang menunggang angin dan mega.
Maaf, maaf, maaf!"
Akan tetapi kakek Siauw Lam tidak menjawab, hanya dengan tenang mem-bantu muridnya
mengemudikan perahu yang kini meluncur lewat rombongan bajak yang menghadang itu.
Setelah be-berapa kali melewati tikungan dan tidak tampak lagi bajak, Bun Beng tak dapat
menahan keinginan hatinya yang sejak tadi berdebar tegang.
"Eh, Suhu! Apakah artinya semua nyanyiara tadi" Sikap mereka begitu me-nakutkan akan
tetapi Suhu hanya bernya-nyi untuk mengalahkan mereka! Apa artinya?"
Kakek itu menghela napas panjang lalu menggeleng kepala. "Gerombolan bajak dapat
mempergunakan kata-kata indah, bahkan dapat menggunakan ujar-ujar, hal ini saja
menunjukkan bahwa golongan bajak pun telah amat maju. Tentu Ketua Hek-liong-pang yang
seka-rang ini bukan orang sembarangan!"
"Bajak" Apakah mereka itu bajak, Suhu?"
Gurunya mengangguk. "Mereka ada-lah anak buah bajak sungai Hek-liong-pang yang
mengganas di muara Sungai Huang-ho. Nyanyian mereka tadi menyin-dirkan bahwa di
muara sungai kini se-dang didatangi tokoh-tokoh kang-ouw sakti yang diumpamakan naga
dan hari-mau memperebutkan mustika yang agak-nya dimaksudkan pusaka-pusaka itu. Dan
mereka itu menjaga agar tokoh yang tidak berkepandaian tinggi, tidak perlu mendekat
karena hanya akan merupakan gangguan saja. Ketua merekapun merupa-kan seorang di
antara mereka yang di-anggap naga harimau!"
Bun Beng mengangguk-angguk. "Ah, kalau begitu, Suhu tadi menyindirkan bahwa sebagai
kucing Suhu hanya ingin menonton. Akan tetapi biarpun kucing, bukan sembarang kucing!
Tongkat Suhu menimbulkan gelombang membuat mereka sadar bahwa Suhu bukan
sembarang ku-cing melainkan seekor naga yang me-nunggang angin dan mega! Bukankah
begitu, Suhu?"
Gurunya mengangguk. "Nyanyian me-reka terakhir tadi dipergunakan untuk memuji dan
minta maaf. Padahal kata-kata itu berasal dari kata-kata pujian Nabi Khong Hu Cu yang
ditujukan kepa-da Nabi Lo Cu setelah kedua nabi itu saling berjumpa dan bercengkerama."
Perahu melucur terus dan menjelang senja perahu mereka melalui sungai yang menyempit,
diapit dinding batu karang menggunung. Kembali Bun Beng yang tadinya melewatkan waktu
dengan berla-tih pedang yang dibawanya, pedang biasa yang selalu ia pergunakan untuk
ber-latih ilmu silat pedang, menghentikan latihannya dan berseru,
"Suhu....! Di atas tebing itu.... banyak tentara! Dan bendera itu ada huruf be-sarnya berbunyi
Kok Su (Guru Negara)! Wah, banyak sekali tentaranya, agaknya berjaga-jaga di daerah ini!"
"Ssst, kita sudah hampir sampai. Sim-pan pedang itu. Selewatnya dua tebing itu kita tiba di
muara dan di pulau-pulau tengah sungai. Di tempat itulah keramaian terjadi karena
dikabarkan bahwa tem-pat rahasia penyimpanan pusaka berada di situ. Agaknya tentara
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
43 negeri menjaga dan melarang orang mendekatinya dari darat. Cepat, kita minggirkan
perahu, berlindung di bawah tebing, di bawah batu karang yang menonjol itu!" Kakek Siauw
Lam membantu muridnya mendayung perahu sehingga perahu mereka melun-cur cepat ke
bawah batu karang. Kakek itu melontarkan tali dan dikaitkan pada batu karang sehingga
perahu mereka menempel batu karang dan tidak hanyut.
Malam tiba dan mereka makan roti kering sambil minum arak merah yang dibawa kakek itu
sebagai bekal. Angka-sa penuh bintang berkelap-kelip dan sambil menanti lewatnya malam,
Kakek Siauw Lam bercakap-cakap dengan muridnya.
"Suhu, kenapa kita tidak melanjutkan perahu sampai ke pulau-pulau itu?"
"Berbahaya! Hari sudah malam dan gelap, lebih baik kita menanti di sini dan besok pagi
baru kita berangkat ke sana. Dalam keadaan gelap, sungguh ti-dak baik kalau kita
melibatkan diri de-ngan urusan mereka. Kalau hari terang, tentu aku dapat melihat keadaan
dan menyesuaikan diri."
"Suhu, selain Pendekar Siluman yang menjadi Majikan Pulau Es, siapa lagi mereka yang
dahulu memperebutkan diri teecu" Sampai sekarang Suhu belum menceritakan keadaan
mereka kepada teecu."
"Yang mukanya berwarna merah ada-lah anak buah dari Pulau Neraka."
"Pulau Neraka" Sungguh menyeram-kan namanya. Di mana itu, Suhu?"
"Sampai sekarang belum ada tokoh kang-ouw yang mengetahuinya, bahkan
mendengarnya pun baru akhir-akhir ini. Pulau Neraka sama aneh dan penuh ra-hasia seperti
Pulau Es. Akan tetapi Pulau Es ini sudah puluhan tahun dikenal namanya, sungguhpun tidak
pernah ada pula yang pernah melihatnya, kecuali Pendekar Siluman dan anak buahnya,
tentu saja. Datuk-datuk golongan hitam dan putih dahulu memperebutkan dan mencari,
karena kabarnya pusaka pening-galan Bu Kek Siansu berada di sana. Namun tidak pernah
ada yang berhasil. Adapun Pulau Neraka ini sebenarnya ha-nya dikenal sebagai dongeng
yang turun-temurun di antara tokoh kang-ouw lama. Kabarnya sebuah pulau yang amat
berba-haya, tidak dapat didatangi manusia, pe-nuh dengan racun. Tidak hanya binatangbinatang beracun, bahkan buah-buahan, tetumbuhan dan batu-batuan di sana be-racun
semua! Maka, amatlah mengaget-kan ketika muncul tokoh-tokohnya dari sana yang
kesemuanya berwarna-warni kulit tubuhnya! Mengerikan!"
"Wah, hebat! Apakah muka mereka itu diberi warna untuk membedakan tingkat mereka?"
Kakek itu menggeleng kepala. "Keti-ka aku bertemu dengan mereka lima tahun yang lalu di
kuil tua, aku terke-jut dan memperhatikan. Warna-warna pada muka mereka bukan warna
buatan, melainkan warna dari dalam kulit! Agak-nya, melihat keadaan mereka dahulu itu,
makin terang dan muda warna mukanya, makin tinggi tingkatnya. Dan kabarnya Pulau
Neraka itu dipimpin oleh seorang yang memiliki kepandaian seperti iblis! Akan tetapi
entahlah tak pernah ada orang yang bertemu dengannya. Bahkan anak buah mereka pun
baru sekali itu ku-lihat. Aku pun masih heran memikirkan bagaimana mereka itu tahu tentang
dirimu dan hendak merampasmu, sungguh merupakan hal yang membingungkan dan sukar
dimengerti!"
Bun Beng makin tertarik dan makin terheran-heran. "Kalau tokoh-tokoh yang lain itu
siapakah, Suhu?"
"Mereka juga bukan orang-orang sembarangan. Ternyata mereka yang hanya merupakan
anak buah tingkat rendah saja sudah mampu menandingi dua orang tokoh Pulau Neraka.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
44 Mereka itu adalah anak buah dari perkumpulan Thian-liong-pang yang baru sekarang
muncul akan tetapi begitu muncul menggegerkan dunia kang-ouw karena tokoh-tokohnya
berilmu tinggi. Kabarnya ketua mereka yang baru juga seorang aneh sekali yang ilmu


Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kepandai-annya tidak lumrah manusia!"
"Kalau begitu, jika nanti tokoh-tokoh Pulau Es, Pulau Neraka dan Thian-liong-pang muncul,
tentu mereka yang akan menjagoi dan mampu memperebutkan pu-saka-pusaka itu! Siapa
yang akan mam-pu menandingi mereka?"
Kakek itu menggeleng kepala dan menghela napas panjang. "Aaahh, kau ti-dak tahu
tingginya langit tebalnya bumi, Bun Beng! Ilmu kepandaian tidak ada batasnya dan tidak
mungkin dapat diukur sampai di mana puncaknya. Di dunia ini banyak sekali terdapat orangorang pan-dai. Yang tidak pernah memperlihatkan diri malah memiliki kepandaian menggila!
Kini, setelah ada umpan berupa berita pusaka-pusaka itu, hem, aku hendak me-lihat apakah
orang-orang sakti itu tidak tertarik! Kalau mereka muncul, tentu akan ramai sekali. Dan
jangan kira pi-hak lain tidak mempunyai jago-jagonya. Pemerintah mempunyai banyak
orang-orang pandai, dan kalau sekarang koksu kerajaan muncul, tentu kepandaiannya
hebat. Apalagi ada kudengar bahwa kok-su mempunyai dua orang pembantu yang ilmu
kepandaiannya sukar dikatakan sam-pai di mana tingginya. Mereka itu jarang dikenal orang
kepandaiannya, akan teta-pi mengingat bahwa mereka adalah dua orang pendeta Lama dari
Tibet, aku da-pat menduga bahwa tentu ilmu kepandai-annya luar biasa sekali."
Dengan hati penuh keheranan dan kekaguman, Bun Beng mendengarkan pe-nuturan
suhunya dan akhirnya ia dapat pulas juga di atas perahu setelah menan-ti dengan hati tidak
sabar agar malam lekas terganti pagi. Kakek itu meman-dang wajah muridnya di bawah
bintang-bintang yang suram, menarik napas panjang dan berbisik seorang diri.
"Bocah ini bukan anak sembarangan. Entah nasib apa yang menantinya" Agak-nya dia
ditakdirkan akan terlibat dalam keributan tokoh-tokoh sakti yang muncul di tempat ini.
Hemm.... semoga dia ke-lak akan dapat berdiri di atas kebenar-an, keadilan dan menjadi
hamba keba-jikan, mencuci noda ayah bundanya." Kakek ini pun lalu duduk bersila,
bersa-madhi untuk memberi istirahat kepada tubuhnya yang tua.
*** Sementara itu, di dalam tenda besar yang didirikan di atas tebing sungai, se-orang kakek
berkepala botak memimpin perundingan, menghadapi meja yang dikelilingi oleh tiga orang
panglima dan dua orang pendeta gundul. Kakek botak ini bukan orang sembarangan karena
dia-lah Koksu Kerajaan Ceng yang belum ada setahun diangkat oleh Kaisar seba-gai
pengganti Puteri Nirahai yang lenyap. Kakek botak ini tadinya adalah seorang pertapa di
Pegunungan Go-bi-san, se-orang keturunan India akan tetapi mema-kai nama Tiong-hoa.
Namanya Bhong Ji Kun dan julukannya Im-kan Seng-jin (Nabi Akhirat)! Ilmu kepandaiannya
memang tinggi sekali dan setelah mendemonstra-sikan ilmu-ilmunya dan mengalahkan
se-mua jago kerajaan, dia diangkat menjadi koksu dan mengepalai semua jagoan ke-rajaan.
Im-kan Seng-jin ini pulalah yang berhasil menemukan peta rahasia yang menunjukkan
tempat penyimpanan pusaka-pusaka yang diperebutkan itu dan kini Kaisar mengutus dia
sendiri memimpin pasukan pengawal, membawa pembantu-pembantunya untuk menuju ke
pulau di muara Sungai Huang-ho karena kaum kang-ouw yang bertelinga tajam itu ru-panya
telah dapat mendengar akan hal ini sehingga pihak kerajaan merasa kha-watir kalau-kalau
mereka didahului oleh kaum kang-ouw.
Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun mem-blokir kedua tebing di kanan kiri muara dari mana
mereka dapat menjaga dan memandang ke arah pulau-pulau itu, dan malam itu Im-kan
Seng-jin mengadakan perundingan dengan lima orang pemban-tunya. Dua orang pendeta
itu bukan lain adalah Thian Tok Lama dan Thai Li Lama, dua orang pendeta Lama dari Tibet
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
45 yang kini diperbantukan oleh Kaisar di istananya. Di dalam ceritaPendekar Super Sakti , dua
orang pende-ta Lama ini sudah muncul sebagai orang-orang yang sakti dan sukar dicari
tan-dingannya. Adapun tiga orang panglima yang berpakaian perang dan kelihatan gagah
perkasa itu pun bukan sembarang-an orang, melainkan jagoan-jagoan ting-kat tinggi yang
mengepalai pasukan pe-ngawal istana!
"Maaf Koksu. Sungguh saya tidak mengerti mengapa Koksu begitu sabar dan mendiamkan
saja berkumpulnya orang-orang kang-ouw itu" Mengapa mem-beri kesempatan kepada
mereka sehing-ga membahayakan pasukan yang akan kita ambil" Bukankah lebih baik kita
turun tangan mengusir mereka, kalau mereka membangkang, apa sukarnya me-nangkap
dan membasmi mereka sebagai pemberontak?" Tanya Bhe Ti Kong, panglima yang tampan,
tinggi besar dan gagah perkasa, bermuka merah dan ber-mata lebar, pantas menjadi
seorang panglima besar atau jenderal yang kosen. Dua orang panglima lainnya
mengangguk-angguk menyatakan setuju dengan perta-nyaan ini karena mereka pun merasa
pe-nasaran. Hanya kedua orang pendeta La-ma itu yang duduk dengan tenang, tidak bicara
apa-apa hanya menanti apa yang akan menjadi jawaban Im-kan Seng-jin.
Kakek botak yang tubuhnya tinggi ku-rus itu tersenyum memandang si pena-nya, kemudian
mempermainkan jari-jari tangannya, ditekuk-tekuk sehingga mengeluarkan bunyi krak-krokkrok! "Tahu-kah kalian apa yang menyebabkan bunyi ini jika buku-buku jari ditekuk" Yang
mendatangkan bunyi adalah pecahnya gelembung-gelembung yang terhimpit! Heh-heh-heh,
Bhe-goanswe (Jenderal Bhe), sebagai seorang panglima perang tentu engkau sudah tahu
akan siasat-siasat perang, bukan" Ada saatnya menyerang, ada pula saatnya mundur dan
ada saatnya bersabar menanti kesempatan baik. Menghadapi partai-partai orang kang-ouw
sekarang ini, aku mengambil siasat menanti dan melihat (wait and see)! Mengertikah kalian
semua mengapa kita harus menanti dan melihat apa yang akan mereka kerjakan?"
Kelima orang pembantunya itu tidak ada yang mengerti, dan Bhe Ti Kong berkata lagi,
"Sungguh saya bingung. Mengapa Koksu mengambil siasat ini" Mereka adalah orang-orang
kang-ouw dan di antara mereka banyak terdapat tokoh-tokoh sakti, akan tetapi selama ini
mereka tidak mengambil sikap ber-musuh terhadap pemerintah. Kalau seka-rang kita
mempergunakan kekuasaan min-ta mereka mundur, tentu mereka tidak membantah.
Menurut para penyelidik, me-reka itu bukan hanya tertarik untuk mendapatkan pusakapusaka, melainkan juga menggunakan kesempatan ini untuk berpibu, mengadu kepandaian
untuk me-nentukan siapa yang pantas disebut jago nomor satu atau datuk paling tinggi!
Segala perkara kosong itu perlu apa dibiarkan mengacau usaha kita mencari pusaka?"
Jenderal Bhe Ti Kong ini semenjak kecil adalah orang peperangan, maka si-kapnya jujur
dan keras, siasatnya pun keras dan tidak mempunyai sifat plintat-plintut menggunakan akal
bulus. Im-kan Seng-jin tertawa bergelak. "Ha-ha-ha-ha! Sekali ini engkau salah, Bhe-goanswe.
Bukan hanya kesalahan satu macam, melainkan semua pendapat-mu itu keliru dan
meleset!" Melihat sinar mata penuh tantangan dari atasannya itu, Bhe Ti Kong menun-duk, dan
suaranya perlahan ketika ia berkata, "Tentu Koksu yang benar, saya mohon penjelasan agar
dapat melaksana-kan tugas dengan baik sesuai dengan siasat Koksu!"
"Pertama, perlu kalian berlima tahu bahwa peta yang ada pada kita hanya-lah menunjukkan
kepulauan ini sebagai penunjuk pertama! Hal ini menurut perkiraanku, jelas menandakan
bahwa tem-pat pusaka itu bukan di sini, melainkan harus dicari mulai dari tempat ini, yaitu
pulau-pulau yang berada di tengah mu-ara. Karena belum diketahui jelas di mana
tempatnya, sedangkan kita sendiri masih meraba-raba dan mencari-cari, perlu apa kita
mendahului mereka men-cari dan membiarkan mereka diam-diam mengawasi kita dan akan
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
46 turun tangan apabila pusaka sudah kita dapatkan! Dari-pada diawasi, lebih mudah
mengawasi. Orang-orang kang-ouw itu hidungnya tajam, biarlah mereka yang mencarikan
un-tuk kita. Kalau secara kebetulan sekali di antara mereka ada yang berhasil, kita sergap!
Kalau tidak demikian, bayangkan saja betapa besar bahayanya kalau kita mencari-cari dan
ratusan orang kang-ouw itu mengintai seperti sekawanan burung rajawali mengintai
mangsanya! Bagaima-na pendapat kalian?"
Lima orang pembantu itu mengang-guk-angguk tanda setuju.
"Kalau mereka tidak berhasil mencari dan pergi, sudahlah. Mereka tidak memu-suhi
pemerintah, maka apa untungnya kalau kita menggunakan kekerasan meng-usir mereka
sehingga menimbulkan dendam dan permusuhan karena benci kepa-da pemerintah"
Bukankah rugi sekali kalau kita mengusir mereka" Pertama, mereka akan membenci dan
memusuhi pemerintah. Ke dua, mereka tentu pena-saran dan akan mengintai gerak-gerik
kita dalam mencari pusaka."
Kembali lima orang pembantunya mengangguk membenarkan dan diam-diam kagum akan
pandangan yang luas dan perhitungan masak ini.
"Tentang mereka berpibu mengadu kepandaian di pulau itu" Ha-ha-ha-ha! Biarlah! Makin
berkurang kaum kang-ouw yang saling berbunuhan, makin kurang bahayanya bagi
pemerintah! Selain itu hemmm.... aku pun ingin sekali menon-ton pibu. Ha-ha, tak dapat
disangkal pu-la bahwa tangan kita yang mempelajari banyak ilmu ini menjadi gatal-gatal
kalau mendengar orang sakti mengadu pibu. Apa salahnya kalau kita pun mera-maikan pibu
mereka itu" Kita berlima.... heh-heh, berenam dengan aku maksud-ku, agaknya bukan
merupakan tanding yang lemah. Akan menggembirakan seka-li, ha-ha!"
Kini dua orang pendeta Lama itu yang mengangguk-angguk karena mereka berdua pun
ingin sekali menyaksikan, bah-kan kalau mungkin menguji kepandaian kaum kang-ouw yang
terkenal dan teru-tama sekali dia yang nanti terpilih men-jadi datuk nomor satu!
Ketika perundingan di dalam kemah itu berlangsung, Kakek Siauw Lam sedang bersamadhi
dengan tenangnya, sedangkan Bun Beng sudah pulas. Menjelang pagi, karena Kakek Siauw
Lam sadar dari sa-madhinya karena ia mendengar suara perlahan di permukaan air, suara
sebuah perahu meluncur datang mendekati pera-hunya! Namun kakek itu pura-pura tidak
tahu dan duduk bersila dengan tenang-nya, hanya diam-diam ia bersiap-siap menjaga diri
dan muridnya kalau-kalau ada bahaya mengancam. Dari gerakan perahu ketika ia
menghitung gerakan, ia tahu bahwa ada enam orang melon-cat ke atas perahunya, dan
orang-orang ini brarpun memiliki gin-kang yang tinggi, bagi dia bukan merupakan lawan
yang perlu dikhawatirkan. Maka dia tetap pura-pura tidak tahu.
"Kita sergap dan ikat," bisik seorang di antara mereka. Legalah hati kakek Siauw Lam
karena bisikan itu mempu-nyai arti bahwa dia dan muridnya hanya akan ditangkap, tidak
dibunuh, maka dia pun mengambil keputusan untuk tidak melakukan perlawanan.
"Heiii! Apa ini" Lepaskan....!" Bun Beng meronta-ronta dengan kaget ketika ia terbangun
dan melihat ada seorang laki-laki mengikat kedua tangannya, "Suhu....!"
"Diamlah, Bun Beng. Mereka tidak berniat jahat." kata Kakek Siauw Lam dengan sabar.
"Tidak berniat jahat mengapa mem-belenggu kita?" Bun Beng membantah, terheran-heran.
Kini guru dan murid itu telah dibe-lenggu kedua tangan mereka ke bela-kang dan mereka
melihat enam orang laki-laki bersenjata golok besar berdiri di atas perahu.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
47 "Engkau benar, orang tua. Kami tidak berniat jahat. Bukankah kalian hendak menonton
keramaian" Nah, Pangcu kami tidak ingin melihat penonton membikin ribut, akan tetapi juga
tidak mau me-rampas hak seorang penonton. Mari, ka-lian akan mendapat tempat yang
amat baik sehingga akan dapat menonton de-ngan enak, ha-ha!" Tubuh guru dan murid itu
lalu diangkat, dipindahkan ke dalam perahu mereka yang mereka dayung cepat-cepat
menuju ke sebuah pulau terbesar yang berada di tengah muara. Tanpa banyak cakap
mereka meminggir-kan perahu, disambut oleh seorang laki-laki berkumis pendek dan
membawa seba-tang pedang di punggungnya. Sikapnya berwibawa, matanya tajam dan
biarpun usianya paling banyak empat puluh lima tahun, namun mudah diduga bahwa dia
tentulah pemimpin dari orang-orang ini.
"Lemparkan mereka di pantai, kemu-dian cepat sembunyikan perahu dan kembali
bersembunyi di tempat semula," kata orang berpedang itu setelah melem-par pandang
kepada Kakek Siauw Lam.
"Baik, Pangcu," jawab anak buahnya akan tetapi orang berpedang itu sudah berkelebat
cepat sekali, lenyap dari situ. Kakek Siauw Lam dan Bun Beng lalu digotong keluar dan
ditinggalkan di pan-tai pulau itu, kemudian enam orang ber-sama perahunya pergi. Semua
ini dilaku-kan menjelang pagi ketika cuaca masih gelap.
Keadaan sunyi sekali setelah orang-orang yang menangkap mereka itu pergi. Bun Beng
memandang ke sekelilingnya. Pulau itu cukup besar, merupakan pulau berbentuk anak bukit
yang tinggi juga. Hanya pantai di mana mereka ditinggal-kan itu yang datar akan tetapi dari
tempat itu dapat diduga bahwa pantai lain, di sekeliling pulau itu tentu merupa-kan tebingtebing yang tinggi. Juga ia mendapat kenyataan bahwa pulau itu berada di muara paling
ujung, dan sudah berbatasan dengan laut sehingga kadang-kadang tampak ombak laut naik
dan membentur tebing karang pulau itu di sebelah luar. Ketika berusaha meman-dang ke
seberang, yaitu di kanan kiri sungai yang telah menjadi luas sekali itu, dia hanya melihat
beberapa sinar api berkelap-kelip. Keadaan sunyi sekali seolah tempat itu tidak ada
manusianya, pada hal dia dapat menduga bahwa di sekitar tempat itu, mungkin di atas pulau
dan sudah terang sekali di sebe-rang, di tebing-tebing tinggi, penuh dengan tokoh-tokoh
kang-ouw yang sakti, penuh pula dengan pasukan pengawal. Hatinya berdebar tegang
ketika ia ter-ingat akan keadaan dirinya dan suhunya.
"Suhu, teecu masih tidak mengerti mengapa Suhu tidak melawan" Kita ini dibelenggu dan
dilepaskan di sini, apa sih kehendak mereka" Apakah benar-benar kita disuruh menonton
akan tetapi tidak boleh bergerak maka dibelenggu seperti ini?"
"Sabar dan tenanglah, Bun Beng. Engkau pergi hendak mencari pengalam-an, ingat" Nah,
justru pengalaman-penga-laman yang tidak enaklah yang merupa-kan pengalaman tak
terlupakan dan mengandung banyak pelajaran. Mereka itu tidak berniat jahat, karena kalau
demikian, tentu tadi mereka akan mem-bunuh kita dan tentu saja aku tidak akan
membiarkan mereka berbuat begitu. Mereka hanya menangkap kita dan bukti-nya kita
ditinggalkan di sini."
"Akan tetapi.... mengapa, Suhu" Apa maksudnya semua?"
"Aku sendiri tidak tahu dengan pasti, hanya dapat menduga-duga saja. Kalau dugaanku
tidak meleset terlalu jauh, kita sekarang bukan menjadi penonton lagi, Bun Beng, melainkan
ikut pula ma-in dalam keramaian ini, bahkan menjadi pemegang peran babak pertama dalam
adegan pembukaan!"
Bun, Beng membelalakkan matanya. "Apa maksud Suhu?"
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
48 "Agaknya para partai dan tokoh kang-ouw yang sudah berkumpul dengan sem-bunyisembunyi di sekitar tempat ini, merasa ragu-ragu untuk memulai kera-maian ini, melihat
adanya pasukan-pasu-kan pemerintah yang sudah memblokir tempat ini. Mereka mengambil
sikap menunggu dan melihat, tidak ada yang berani memulai karena resiko dan bahayanya
amat besar. Selain adanya saingan yang berat dan banyak jumlahnya, di sini terdapat pula
pasukan pemerintah yang dipimpin sendiri oleh koksu. Hal ini ten-tu saja bukan merupakan
hal sepele yang boleh dibuat main-main. Oleh karena itu, dengan adanya kita sebagai orang
luar atau katakan penonton, maka mereka mendapat kesempatan baik untuk mena-rik kita
dan kita dijadikan semacam um-pan, atau lebih tepat merupakan sumbu untuk meledakkan
keramaian! Mereka semua bersembunyi, dan kita mereka ta-ruh di sini yang dapat dilihat
dari se-mua penjuru kalau matahari sudah mun-cul nanti. Kehadiran kita ini pasti menarik
semua orang dan tentu akan ada yang mulai muncul sehingga pesta dapat dimulai!"
"Hemm, kurang ajar sekali mereka!" Bun Beng mengomel. "Kalau aku mereka jadikan
umpan, masih tidak mengapa. Akan tetapi mereka berani menangkap dan membelenggu
Suhu! Siapakah mere-ka yang menangkap kita tadi, Suhu?"
"Melihat sikap mereka dalam menggunakan perahu, kiranya tidak salah kalau aku menduga
bahwa mereka adalah pim-pinan Hek-liong-pang yang membantu ke-tua mereka dalam
usaha perebutan ini. Si Kumis yang berpedang tadi lihai dan cepat sekali gerakannya dan
disebut Pangcu (Ketua), agaknya dialah Ketua Hek-liong-pang. Hek-liong-pang merupa-kan
kekuasaan tidak resmi di muara ini, dan dalam istilah dunia kang-ouw, sekali ini keramaian
mengambil tempat di wila-yah atau daerah kekuasaan Hek-liong-pang. Tegasnya, sekarang
ini dapat di-anggap bahwa Hek-liong-pang menjadi tuan rumah! Tuan rumah yang bukan
hanya ingin menjadi penonton saja, bahkan ingin sekali memegang peran utama dan
mendapatkan pusaka yang diperkirakan terdapat di dalam daerah operasi mereka! Maka
melihat betapa keramaian dapat membeku gagal dengan munculnya begi-tu banyak
pasukan pemerintah, Hek-liong-pang kini mengambil prakarsa untuk menyalakan sumbu
yang akan meledak-kan keramaian, yaitu kita inilah."
"Sekarang, apa yang akan Suhu lakukan" Apakah kita akan mandah begini saja?"
Kakek itu tersenyum lebar. Semenjak Siauw Lam Hwesio menjadi Kakek Siauw Lam dan
memelihara rambut, wajahnya yang dahulu selalu dingin membeku itu kini mulai tampak
sinarnya dan teruta-ma sekali kalau bicara dengan murid-nya, ia mulai banyak tersenyum.
Memang muridnya tidak seperti bocah biasa. Anak ini jalan pikirannya seperti orang tua,
tidak kekanak-kanakan lagi, dan kecere-wetannya menanyakan segala macam hal
menandakan bahwa anak ini mempu-nyai hasrat besar untuk maju.
Bhe Ti Kong menahan tangannya dan melontarkan bocah itu ke arah koksu, dan
melayanglah tubuh Bun Beng. Im-kan Seng-jin menyambut tubuhnya dengan mudah dan
kakek botak tinggi kurus ini meraba-raba dan mengukur-ukur kepala Bun Beng dengan jarijari tangannya, dikilani dengan ibu jari dan telun-juk, diukur dari depan ke belakang, dari
kanan ke kiri dan dari bawah ke atas, kemudian dipijit-pijit bagian-bagian ke-pala Bun Beng.
Wajahnya menjadi girang sekali dan setelah selesai mengukur-ukur kepala anak itu, Im-kan
Seng-jin lalu memeriksa mata Bun Beng dengan membuka kelo-pak matanya, kemudian
menjepit rahang Bun Beng sehingga anak itu terpaksa membuka mulutnya, memeriksa
dalam mulut, kemudian menaruh tangan kanan di dada dan jari-jari tangan kirinya
me-megang nadi tangan Bun Beng. Ia mengangguk-angguk dan tersenyum lebar, wa-jahnya
berseri. "Aaaahhhh, Ji-wi Lama, lihat, apa yang kutemukan ini! Tulangnya bersih darahnya murni,
dan kepalanya....! He-bat....! Rongga otaknya luas, daya tang-kapnya kuat, semangatnya
besar jalan darahnya lancar, isi dadanya sempurna semua! Benar-benar seorang sin-tong
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
49 (anak ajaib) yang sukar ditemukan kedua-nya! Wah, kalau dia sudah kuberi makan obat kuat
secukupnya, dia akan dapat memenuhi syarat aku melaksanakan ilmu peninggalan guruku,
I-jwe-hoan-hiat (Gan-ti Sumsum Tukar Darah)!"
Tiga orang panglima itu tidak me-ngerti apa artinya I-jwe-hoan-hiat, akan tetapi Thian Tok
Lama dan Thai Li Lama menjadi pucat wajahnya. Thai Li Lama memandang Bun Beng
dengan si-nar mata kasihan lalu menundukkan mu-ka, sedangkan Thian Tok Lama lalu
ber-kata perlahan.
"Omitohud...., semoga Sang Buddha menunjukkan jalan terang bagi Koksu!"
"Heh-heh-heh! Ji-wi Lama, kalian orang-orang beragama hanya memikirkan tentang dosa
saja! Bagi orang-orang se-perti kami, dosa adalah soal ke dua, yang terpenting adalah
memanfaatkan segala macam demi kepentingan dan ke-majuan kita. Ha-ha-ha! Eh, Sin

Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tong, siapa namamu?"
"Aku bukan sin-tong, aku bernama Gak Bun Beng. Lepaskan, aku mau pergi!" Bun Beng
meronta dari pegangan kakek itu. Anak ini pun tidak mengerti apa artinya I-jwe-hoan-hiat.
Kalau dia me-ngerti tentu akan merasa ngeri, betapa tabah pun hatinya, karena ilmu itu
ada-lah ilmu hitam yang amat keji, yaitu Si Kakek ini hendak menyedot darah dan sumsum
Bun Beng dalam keadaan hidup-hidup untuk menggantikan sumsum dan darahnya sendiri
yang sudah lemah dan kotor!
"Engkau mau pergi" Nah, pergilah kalau dapat!" Koksu itu melepaskan pe-gangannya. Bun
Beng menggerakkan kaki hendak berlari pergi akan tetapi.... tubuhnya tak dapat bergerak
maju, kedua ka-kinya tak dapat digerakkan seolah-olah tertahan oleh sesuatu yang tidak
nam-pak! "Ha-ha-ha! Engkau tidak bisa pergi, Bun Beng, karena semenjak saat ini engkau harus
selalu ikut bersamaku, ti-dak boleh berpisah sedikitpun. Tidur pun harus di sampingku. Hayo,
ikut dengan kami menonton pibu, heh-heh-heh!"
Tubuh Bun Beng didorong dan.... kedua kakinya dapat dipakai berjalan mengikuti
rombongan itu. Akan tetapi setiap kali dia hendak melarikan diri, mendadak kedua kakinya
tidak dapat digerakkan! Dia mulai merasa ngeri. Tentu kakek aneh ini menggunakan ilmu
iblis, pikir-nya.
"Bun Beng....!"
"Suhu....!" Bun Beng berteriak girang sekali ketika ia melihat munculnya Ka-kek Siauw Lam
di depan. Rombongan koksu itu pun berhenti ketika mendengar Bun Beng menyebut kakek
itu sebagai gurunya.
"Bun Beng, ke sinilah engkau!" Kakek Siauw Lam berkata kepada muridnya, hatinya gelisah
melihat muridnya itu bersama rombongan koksu.
"Teecu.... teecu tidak bisa, Suhu....!" kata Bun Beng sambil berusaha mengge-rakkan kedua
kakinya. "Siapa bilang tidak bisa" Majulah engkau ke sini!" Kakek Siauw Lam yang sudah melihat
bahwa Bun Beng sebenar-nya tertahan oleh hawa sin-kang yang keluar dari tangan koksu
itu, menggerak-kan kedua tangannya ke depan sambil mengerahkan sin-kangnya.
Terdengar sua-ra bercuitan dan.... tiba-tiba tubuh Bun Beng terdorong ke depan, ke arah
guru-nya. Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
50 "Heh-heh, boleh juga tua bangka ini." Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun tertawa untuk
menyembunyikan kagetnya, kemudi-an ia pun menggerakkan kedua tangan ke depan.
Terjadilah tarik-menarik oleh dua kekuatan yang tidak tampak, dan Bun Beng merasa betapa
tubuhnya dita-rik ke depan dan ke belakang. Akan teta-pi akhirnya.... ia tertarik ke belakang
dan tangan koksu itu sudah menangkap pundaknya sambil tertawa-tawa.
Bukan main kagetnya hati Kakek Siauw Lam. Tak disangkanya bahwa kok-su itu ternyata
memiliki kekuatan sin-kang yang luar biasa sekali! Maka ia ce-pat menjura dan berkata,
"Mohon Padu-ka suka melepaskan murid hamba yang tidak berdosa, dan maafkan hamba
yang tidak tahu diri berani berlaku lancang."
"Heh-heh, engkau guru bocah ini?"
"Benar, Taijin."
"Siapa namamu?"
"Nama hamba Siauw Lam, seorang anggauta Siauw-lim-pai." Kakek itu se-ngaja
menggunakan nama Siauw-lim-pai untuk mencari pengaruh, karena pada waktu itu,
pemerintah tidak mau bermu-suhan dengan partai-partai persilatan besar, terutama Siauwlim-pai yang kuat.
Tiba-tiba Thian Tok Lama mengerut-kan alis dan berkata, "Seingat pinceng, yang bernama
Siauw Lam adalah seorang hwesio terkenal di Siauw-lim-pai!"
Kakek Siauw Lam memandang kepada hwesio Lama itu dan memberi hor-mat sambil
berkata, "Saya yang berdosa dahulu adalah Siauw Lam Hwesio, akan tetapi sudah bertahuntahun ini saya mengundurkan diri dan menjadi orang bi-asa, Kakek Siauw Lam pelayan Kuil
Siauw-lim-pai."
Mendengar ini, pandang mata kedua orang Lama itu memandang rendah dan alis mereka
berkerut. Tak senang hati mereka mendengar betapa seorang hwe-sio telah mengundurkan
diri dari kepen-detaannya, hal ini mendatangkan kesan di hati mereka bahwa kakek itu
adalah seorang durhaka dan berkhianat terhadap agama!
"Kakek Siauw Lam, kalau engkau guru dari Bun Beng ini, kebetulan sekali. Aku akan
mengambil muridmu ini, aku sayang kepadanya!"
"Tidak, Suhu, dia tidak sayang kepa-da teecu! Dia hendak menggunakan tee-cu sebagai
syarat ilmunya I-jwe-hoan-hiat!"
Im-kan Seng-jin hendak mencegah Bun Beng bicara, namun terlambat dan seketika wajah
Kakek Siauw Lam menjadi pu-cat, matanya menyinarkan api kemarah-an.
"Taijin, harap jangan menghina murid Siauw-lim-pai. Kembalikan muridku!" Bentaknya.
Im-kan Seng-jin pun berganti sikap, memandang marah. "Apa" Engkau pela-yan kuil berani
menentang aku" Berani melawan koksu kerajaan?"
"Saya tidak melawan siapa-siapa, akan tetapi Bun Beng adalah muridku dan biar dewa
sekalipun hanya bisa merampasnya melalui mayatku!" Kakek itu sudah marah sekali karena
ia tahu apa artinya nasib muridnya kalau hen-dak dijadikan syarat orang melaksanakan ilmu
iblis itu. "Ha-ha-ha, Ji-wi Lama, lenyapkan hwesio yang durhaka ini!" Im-kan Seng-jin berkata.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
51 Kedua orang Lama itu memang su-dah membenci Kakek Siauw Lam, maka kini keduanya
lalu menerjang maju dari kanan kiri, mengirim pukulan-pukulan dahsyat sekali. Dari kiri Thian
Tok Lama memukul dengan Ilmu Hek-in-hui-hong-ciang sehingga angin keras me-nyambar
disertai uap hitam, adapun dari kanan Thai Li Lama juga memukul de-ngan pukulan sakti
Sin-kun-hoat-lek!
Melihat datangnya pukulan yang me-ngandung hawa sakti amat dahsyatnya itu Kakek
Siauw Lam terkejut dan mak-lum bahwa dia menghadapi dua orang lawan yang amat kuat
dan harus dilawan mati-matian, terutama untuk menolong muridnya. Maka ia pun
mengerahkan sin-kangnya, mengembangkan kedua lengan-nya ke kanan kiri dengan jari
tangan terbuka dan menerima pukulan kedua la-wan itu dengan telapak tangannya.
"Plak! Plak!" Telapak tangan mereka bertemu dan melekat. Tiga orang itu berdiri tak
bergerak, saling beradu tela-pak tangan yang mengeluarkan hawa sakti dan terjadilah adu
tenaga sakti yang amat dahsyat! Beberapa menit la-manya ketiga orang kakek ini berdiri
te-gak tak bergerak akan tetapi lambat-laun tubuh kedua orang Lama itu bergo-yanggoyang, sedangkan tubuh Kakek Siauw Lam masih tegak, sama sekali ti-dak terguncang,
hanya dari rambut kepa-lanya mengepul uap putih dan mukanya pucat.
"Orang Siauw-lim-pai memang he-bat....!" Terdengar Im-kan Seng-jin berkata perlahan.
Sebetulnya, dia tidak berniat memusuhi Siauw-lim-pai akan tetapi ka-rena dia tidak mau
kehilangan Bun Beng, dia mengambil keputusan pendek. Tiba-tiba ia menggerakkan tangan
kirinya, didorongkan ke arah dada Kakek Siauw Lam. Angin yang keras dan panas
menyambar ke depan, tenaga yang tidak nampak menghantam dada Kakek Siauw Lam
yang tentu saja tidak dapat mengelak atau menangkis karena dia sedang ter-himpit oleh
tenaga kedua orang Lama yang sudah hampir ia kalahkan itu.
"Uahhh....!" Kakek Siauw Lam terge-tar tubuhnya dan dari mulutnya tersem-bur darah
segar, akan tetapi matanya mendelik memandang Im-kan Seng-jin dan dia masih tetap
mempertahankan him-pitan kedua orang Lama, sedikit pun tidak berkurang tenaga sinkangnya biarpun sudah menderita luka parah!
Tiba-tiba Bhe Ti Kong mengeluarkan gerengan keras dan tubuhnya meloncat maju, tampak
sinar berkilat ketika ia menggerakkan senjatanya yang istimewa yaitu sebuah tombak
gagang pendek. "Cappp!" Tombak itu menusuk lam-bung Kakek Siauw Lam sampai tembus!
"Suhuuu....!" Bun Beng menjerit, akan tetapi kedua kakinya tetap saja tak da-pat digerakkan.
Dengan mata terbelalak dan muka pucat ia melihat betapa suhu-nya roboh, mengerang
perlahan lalu ter-diam, tak bergerak lagi.
Sejenak enam orang itu termangu-mangu, agaknya merasa tidak enak de-ngan adanya
kejadian itu. Betapapun ju-ga, yang mereka bunuh adalah seorang tokoh Siauw-lim-pai!
"Ambil racun penghancur, lenyapkan mayatnya!" Im-kan Seng-jin berkata dan dua orang
panglima cepat membuka bungkusan koksu itu, mengeluarkan sebu-ah guci, membuka
tutupnya dan menu-angkan benda cair berwarna putih perak ke atas tubuh Kakek Siauw
Lam yang menjadi mayat.
"Suhuuuu....!" Bun Beng masih terbe-lalak sambil menjerit memanggil nama suhunya
sampai jari tangan Im-kan Seng-jin menyentuh lehernya dan membuat ia tak mampu
menjerit lagi. Dia hanya da-pat memandang dengan mata terbelalak betapa mayat suhunya
itu cepat sekali mencair, "dimakan" benda cair putih itu dan terciumlah bau yang asam dan
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
52 tajam menusuk hidung. Sepasang mata anak itu tak pernah berkedip melihat betapa ma-yat
suhunya itu habis dan mencair sam-pai ke tulang-tulangnya, tidak ada be-kasnya sedikitpun
juga karena cairannya diserap oleh tanah, dan yang tinggal ha-nyalah tanah basah yang
berbau racun itu. Dua titik air mata tanpa dirasakan-nya jatuh ke atas pipinya, akan tetapi
Bun Beng tidak menangis. Tidak, sedi-kit pun dia tidak terisak, biarpun kedu-kaan menyesak
di dada, karena keduka-annya dikalahkan rasa kebenciannya ter-hadap empat orang itu.
Berganti-ganti sinar matanya seperti dua titik api hen-dak membakar tubuh Im-kan Seng-jin,
Bhong Ji Kun, Thian Tok Lama, Thai Li Lama dan Bhe Ti Kong. Terutama se-kali Bhong Ji
Kun dan lebih-lebih lagi Bhe Ti Kong. Karena ia dapat menduga bahwa kedua orang itulah
yang membu-nuh suhunya! Akan tetapi, enam orang itu tidak mempedulikannya. Setelah
ma-yat Kakek Siauw Lam lenyap, bergegas mereka mengajak Bun Beng menuju ke arah
lapangan yang dijadikan medan per-tandingan.
Kedua orang kakek utusan Pulau Es ternyata amat lihai. Berkali-kali maju orang-orang sakti
yang memasuki medan laga untuk berpibu, namun kesemuanya dikalahkan oleh Kakek Yap
Sun dan Kakek Thung Sik Lun! Semua orang menjadi gentar dan kini pihak Thian-liong-pang
dan rombongan Pulau Neraka sudah mu-lai berbisik-bisik, agaknya mereka ini yang tadi
nampak tenang-tenang saja su-dah mulai memperbincangkan siapa yang akan mereka
ajukan untuk menandingi dua orang kakek Pulau Es yang sakti itu. Agaknya pihak Thianliong-pang yang merasa penasaran dan dua orang kakek dari pihak ini sudah melompat
maju. "Mundur!" Suara ini melengking nya-ring dan tiba-tiba tampak sinar yang se-betulnya adalah
bayangan putih seorang manusia yang melayang turun dari atas tebing dan hinggap di
depan kedua orang kakek Pulau Es tanpa mengeluarkan su-ara, seperti seekor burung saja.
Semua orang memandang dan terbelalak melihat seorang wanita berpakaian sutera putih
dengan sabuk sutera biru, bentuk tubuh yang ramping padat dan menggairahkan. Akan
tetapi kepala wanita ini tertutup oleh kedok sutera putih seluruhnya, me-rupakan sebuah
kantung yang ditutupkan di kepala sampai ke bawah leher, hanya mempunyai dua buah
lubang dari mana berpancar sinar mata yang indah, bening, namun mengandung hawa
dingin dan ta-jam seperti ujung pedang pusaka! Kulit kedua tangan yang tersembul keluar
dari lengan baju, amat putih dan tangan itu sendiri kecil halus seperti tangan se-orang puteri
yang kerjanya setiap hari hanya merenda dan berhias! Akan teta-pi, semua orang berhenti
menduga-duga dan mengerti bahwa wanita berkedok itu tentulah ketua yang penuh rahasia
dari Thian-liong-pang! Hal ini terbukti dari sikap para rombongan Thian-liong-pang yang
serta merta menjatuhkan di-ri berlutut menghadap ke arah wanita berkerudung itu.
Tanpa diketahui oleh para tokoh kang-ouw kini rombongan koksu telah menonton di situ,
bahkan dari belakang mereka menyusul pasukan pengawal yang segera membentuk barisan
yang siap menanti komando. Akan tetapi wanita berkerudung itu tidak mempedulikan
se-mua ini. Dari balik kerudung keluar su-ara yang merdu dan halus, akan tetapi nyaring dan
begitu dingin membuat se-mua orang menggigil.
"Apakah kalian berdua ini utusan Pu-lau Es?"
Yap Sun sudah mendengar akan Ketua Thian-liong-pang yang luar biasa, akan tetapi
seorang seperti dia pun tertegun ketika mendapat kenyataan bahwa ketua yang disohorkan
memiliki ilmu kepandai-an seperti iblis itu ternyata hanyalah seorang wanita, bahkan melihat
bentuk tubuh dan mendengar suaranya, dia ham-pir berani memastikan bahwa wanita ini
tentu masih muda! Akan tetapi, teringat akan majikannya sendiri yang juga hanya pemuda
malah buntung kakinya, ia menyingkirkan keheranannya, kemudian menjura dan menjawab.
"Tidak keliru dugaan Pangcu yang terhormat. Saya Yap Sun dan Sute Thung Sik Lun ini
adalah utusan dari Pulau Es."
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
53 "Bagus! Sudah cukup Pulau Es mem-perlihatkan kegarangannya. Sekarang ro-bohlah!"
Ucapan ini disusul dengan se-rangan kilat yang luar biasa cepatnya. Tahu-tahu tubuh wanita
ini telah mener-jang dua orang kakek itu dengan pukul-an yang membawa angin halus. Dua
orang kakek itu kaget. Makin halus angin pukulan, makin hebatlah karena itu menunjukkan
kekuatan sin-kang yang sudah tinggi. Akan tetapi dia dan sute-nya merasa penasaran.
Sebagai tokoh-tokoh Pulau Es yang tadi telah membuk-tikan kelihaian mereka, tentu saja
mereka merasa tersinggung sekali ketika Ketua Thian-liong-pang ini menyuruh mereka
roboh begitu saja! Maka cepat mereka mengelak dan karena maklum menghadapi pukulan
kilat secepat itu mengelak saja masih kurang cukup, maka sambil mengelak mereka
menangkis dari samping.
"Dukk! Dukk!"
Sukar sekali dipercaya oleh mereka yang menyaksikannya karena begitu lengan kedua
orang kakek sakti itu ber-temu dengan kedua tangan wanita berkerudung itu, tubuh mereka
terlempar roboh bergulingan kemudian barulah me-reka dapat meloncat bangun dengan
mu-ka berubah. Akan tetapi Kakek Yap Sun dan sutenya bukan orang-orang sem-barangan.
Mereka tidak terluka, hanya kaget saja dan kini keduanya sudah menerjang maju lagi
dengan dahsyat.
"Bagus! Kalian boleh juga!" Kata wa-nita berkerudung itu dan terjadilah per-tandingan yang
amat hebat. Kedua orang kakek itu mengeroyok dari jarak dekat, pukulan-pukulan mereka
ampuh bukan main, namun semua pukulan mereka da-pat dielakkan oleh Si Wanita
berkeru-dung. Berkali-kali kedua orang kakek itu mengeluarkan seruan aneh dan terheranheran karena melihat betapa wanita itu mengelak dan menangkis dengan jurus-jurus yang
sama dengan serangan-serang-an mereka!
Karena penasaran, Yap Sun lalu ber-seru keras dan mengirim pukulan dengan telapak
tangannya, juga sutenya mengim-bangi serangan suhengnya itu, dari pihak yang
berlawanan mengirim pukulan de-ngan telapak tangannya. "Aiiihhhh!" Dan tubuhnya
mencelat ke atas sehingga himpitan dua tenaga sin-kang itu luput. Ia melayang ke depan
dan turun sambil mencabut sebatang pedang pendek dan kecil, semacam pisau belati.
Sambil ber-tolak pinggang ia bertanya.
"Bukankah itu tadi pukulan Hwi-yang Sin-ciang yang dahulu milik Kang-thouw-kwi Gak Liat
Si Setan Botak, dan satu lagi Swat-im Sin-ciang, milik Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee Si Muka
Kuda" Kiranya Ketua kalian mengajarkannya kepada kalian?"
Yap Sun merasa mendapat hati dan mengira bahwa wanita itu jerih terha-dap pukulan
tenaga inti api dan pukulan sutenya dengan tenaga inti es, maka ia berkata. "Apakah Pangcu
yang terhor-mat jerih menghadapinya?"
"Aihhh, sombong! Siapa takut" Maju-lah!"
Kedua orang tokoh Pulau Es itu me-nerjang lagi dengan pukulan-pukulan me-reka yang
amat berbahaya, akan tetapi wanita itu selalu dapat mengelak dengan cepat. Adapun Bun
Beng ketika mendengar nama Kang-thouw-kwi Gak Liat Si Setan Botak, menjadi terkejut
sekali. "Gak Liat adalah Ayahku....!" Teriak-nya perlahan dan karena Im-kan Seng-jin amat tertarik
menyaksikan pertan-dingan itu, dia lupa menjaga sehingga tiba-tiba Bun Beng dapat
melarikan diri. Akan tetapi tiba-tiba pundaknya diceng-keram tangan yang kuat sekali dan
ketika ia menengok, kiranya tangan Pangli-ma Bhe Ti Kong yang memegang.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
54 "Pegang dia, jangan sampai dia lari!" kata Im-kan Seng-jin tidak mau tergang-gu karena dia
sedang menonton dengan hati amat tertarik.
Memang hebat pertandingan itu, ter-utama sekali hebat bagi orang-orang saki berilmu tinggi
seperti Im-kan Seng-jin, kedua Lama dan para tokoh partai persilatan besar. Biarpun kedua
orang tokoh Pulau Es itu hebat sekali, namun dalam waktu tiga puluh jurus saja, Ka-kek Yap
Sun sudah roboh tertendang punggungnya, dan Kakek Thung Sik Lun dapat ditotok lumpuh
dan kini dijiwir telinganya oleh wanita berkerudung yang menodongkan pisau belatinya
sambil ber-kata.
"Sesungguhnya aku segan untuk kelu-ar berurusan dengan orang-orang kosong yang
mengaku jagoan-jagoan kang-ouw. Akan tetapi karena golongan Pulau Es da-tang, aku tidak
suka menyerahkan tugas kepada wakil-wakilku dan terpaksa kelu-ar sendiri. Hayo katakan,
di mana maji-kanmu Pendekar Siluman Si Kaki Bun-tung itu" Kalau dia tidak keluar, kuambil
daun telingamu!"
Tiba-tiba terdengar suara melengking tajam dari angkasa, disusul melayangnya seekor
burung garuda yang hinggap di atas batu karang tak jauh dari arena pertandingan, diikuti
suara yang berge-ma, "Siapakah mencari aku?"
Semua orang terbelalak memandang ketika seorang pria muda berambut panjang berwarna
putih, pakaiannya sederhana, kaki kirinya buntung dan ta-ngan kiri memegang tongkat butut,
me-loncat turun dari punggung garuda raksa-sa yang berdiri gagah itu. Pria muda ini bukan
lain adalah Suma Han yang terke-nal dengan julukan Pendekar Siluman. Majikan Pulau Es!
Semua mata, termasuk mata Ketua Thian-liong-pang, meman-dang kepada pendekar
berkaki tunggal ini, bahkan Yap Sun cepat menyeret kakinya yang pincang karena
tendangan tadi, berlutut di depan Suma Han sam-bil berkata dengan nada melaporkan
pe-nuh penyesalan,
"Maaf, To-cu, kami berdua telah dika-lahkan oleh Pangcu dari Thian-liong-pang. Mohon
keputusan To-cu."
Akan tetapi Suma Han agaknya tidak mendengar laporan ini, atau tidak mem-pedulikan,
juga tidak mempedulikan orang-orang lain yang hadir. Matanya mencari-cari, dan mulutnya
berkata pe-nuh sesal.
"Aku mencari dia.... ah, di manakah kalau tidak di sini?" Kemudian dia ber-teriak, suaranya
nyaring melebihi leng-king garuda tadi. "Hong-ji (Anak Hong)! Di mana engkau" Hayo cepat
ke sini....!"
Suaranya bergema di seluruh permu-kaan pulau, akan tetapi tidak ada yang menjawab.


Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Semua orang memandang ter-belalak dengan hati tegang. Mereka yang pernah bertemu
dengan Suma Han (baca ceritaPendekar Super Sakti), memandang kagum karena mereka
sudah mengenal kesaktian pria muda buntung ini. Ada-pun mereka yang sudah lama
mendengar nama Pendekar Siluman akan tetapi ba-ru sekarang bertemu, memandang
tak-jub dan terheran-heran. Kelihatannya hanya seorang pria muda sederhana dan biasa
saja, bagaimana bisa menjadi Majikan Pulau Es yang begitu terkenal dan dijuluki Pendekar
Siluman" Wajahnya sama sekali tidak seperti siluman, biar-pun rambutnya putih dan
panjang, malah membuat wajahnya tampak gagah dan tampan penuh wibawa. Tentu
kepandaiannya yang seperti siluman dan diam-diam mereka ini bergidik ngeri.
"Ke manakah perginya Siocia, To-cu?" Kakek Yap Sun bertanya dengan suara penuh
kekhawatiran. Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
55 "Dia pergi dari Pulau Es, membawa garuda betina. Kukira hendak menonton keramaian di
sini anak nakal itu. Kiranya tidak ada di sini. Habis ke mana dia?"
"Pendekar Siluman! Pendekar Super Sakti! Pendekar Buntung! Hayo majulah melawan aku
Ketua Thian-liong-pang agar mata dunia terbuka siapa di anta-ra kita yang patut menjadi
pemimpin dunia persilatan!" Tiba-tiba wanita yang berkerudung yang masih menodong leher
Kakek Thung Sik Lun itu berseru merdu dan nyaring.
Mendengar suara ini, Suma Han se-perti tersentak kaget, seolah-olah baru sekarang dia
mendengar suara itu dan melihat wanita berkerudung yang menga-ku Ketua Thian-liongpang itu. Juga baru teringat ia akan pelaporan pembantunya bahwa dua orang utusannya
yang disuruh meninjau keadaan di pulau itu telah di-kalahkan oleh Ketua Thian-liong-pang.
Seperti tidak disengaja, tangan kanan Pendekar Siluman ini menggenggam ujung segumpal
rambutnya, kemudian tanpa menggerakkan kaki, tubuhnya berpu-tar menghadapi wanita itu.
Ia melihat betapa Yap Sun masih belum dapat ber-diri, masih berlutut dan melihat Thung Sik
Lun berlutut pula, ditodong belati oleh wanita berkerudung.
Seperti orang tak acuh, Pendekar Siluman memandang wanita itu dan ber-tanya, suaranya
perlahan namunjelas terdengar satu-satu oleh semua orang yang hadir dan semua orang
menggigil karena suara ini terdengar datar dan dingin. "Engkau siapa....?" Pertanyaan yang
datar dan dingin ini seolah-olah hendak membuka kerudung dan menje-nguk wajah si
wanita. Tanpa disadarinya, wanita itu menundukkan muka sejenak, kemudian
mengangkatnya kembali dan sinar mata dari balik lubang itu seperti memancarkan api.
"Akulah Pangcu dari Thian-liong-pang! Dan aku menantang Majikan Pulau Es untuk
mengadu ilmu di sini!"
Akan tetapi Suma Han tidak menga-cuhkan tantangan ini, bahkan tongkatnya bergerak dan
tampak ujung tongkat itu menyentuh kedua pundak Kakek Yap Sun dengan perlahan.
"Paman Yap di sini tidak ada apa-apa, yang diperebutkan hanya bungkusan kosong. Kau
ajaklah Paman Thung kembali dan bantu aku mencari ke mana perginya bocah beran-dalan
itu!" Wajah Yap Sun kelihatan girang sekali karena tiba-tiba saja, dua kali totokan pada
pundaknya itu menyembuhkannya dan ia dapat bangkit berdiri dengan gerakan ringan.
Melihat ini wanita berkeru-dung itu menggerakkan sedikit pundak-nya, tanda bahwa ia
terkejut. "Pendekar Siluman! Kalau engkau tidak mau melayani tantanganku, orang-mu ini akan
mati!" Ia menggerakkan pisau belatinya.
"Paman Thung, tidak lekas pergi me-nunggu apa lagi?" Suma Han berseru dan tangan
kanannya bergerak. Terdengar bunyi bercuitan dan sinar putih yang amat halus menyambar
ke arah kedua lengan dan seluruh jalan darah bagi-an depan tubuh wanita berkerudung.
Wanita itu tidak menjadi gugup, bahkan tidak mengelak, melainkan memutar pi-saunya di
depan tubuh sedangkan tangan kirinya dengan jari terbuka menyambar ke depan. Akan
tetapi wanita itu tam-pak tercengang dan marah ketika meli-hat bahwa yang ditangkisnya itu
hanya-lah segumpal rambut yang membuyar dan ketika ia menoleh ke arah Kakek Thung
Sik Lun, ternyata kakek itu te-lah lenyap! Kiranya Suma Han tadi menggunakan segenggam
rambutnya yang ia putus dengan tangan dipakai menye-rang Ketua Thian-liong-pang, akan
tetapi hanya serangan pancingan saja karena begitu wanita itu bergerak menangkis, ia
mendorongkan tangan kanannya ke arah tubuh pembantunya, yang terlempar dan
bergulingan, terus meloncat ke dekat ketuanya sambil berlutut! Kini semua orang yang
menyaksikan terbela-lak dan kagum bukan main. Segumpal rambut dapat dipergunakan
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
56 seperti jarum-jarum rahasia, dan dorongan tangan da-lam jarak begitu jauh sudah berhasil
membebaskan kakek kurus dari penodong-an Ketua Thian-liong-pang.
"Pulanglah kalian dan cari Si Bengal!" Kata Pendekar Siluman kepada dua pem-bantunya.
Yap Sun dan Thung Sik Lun mengangguk dan keduanya meloncat lalu lari pergi dari tempat
itu, sedangkan Suma Han dengan sikap acuh tak acuh meloncat naik ke punggung garuda
putih! "Haiii! Pendekar Siluman! Sudah la-ma aku mendengar nama besarmu, me-ngapa tidak
minum arak dulu denganku untuk belajar kenal?" Tiba-tiba Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun
berseru. "Kalau begitu, terimalah suguhan arak dari kok-su kerajaan!" Tangan kanan koksu
ini yang sudah mengeluarkan guci arak, menggoyang tangan dan arak merah muncrat dari
dalam guci, cepat sekali sehingga membentuk sinar merah yang melebar seperti payung
menyiram ke arah Suma Han dan garudanya. Jarak antara koksu itu dengan Pendekar
Silu-man cukup jauh, maka perbuatan ini cukup membuktikan betapa saktinya kok-su itu dan
betapa kuatnya tenaga sin-kang yang ia pergunakan!
Suma Han hanya menoleh, tanpa me-ngubah duduknya di punggung garuda, akan tetapi
tangan kanannya dengan jari terbuka membuat gerakan dorongan me-mutar ke depan.
Hawa dingin menyambar dari tangan itu, terasa oleh mereka yang berdiri tidak begitu jauh
dan.... ter-dengar suara berkelotokan ketika butir-butir arak itu runtuh semua ke bawah dan
telah membeku! Itulah pukulan de-ngan tenaga inti Swat-im Sin-ciang yang sudah mencapai
puncaknya sehingga pu-kulan ini dapat membuat benda cair membeku menjadi butiranbutiran es! "Pendekar Siluman, mau lari ke ma-na engkau?" Pangcu dari Thian-liong-pang, wanita
berkerudung itu, berseru marah dan kedua tangannya sudah bergerak cepat.
"Cet-cet-cet-cet....!" Tiga belas ba-tang pisau belati yang entah dikeluarkan sejak kapan dan
dari mana, tahu-tahu beterbangan seperti kilat-kilat menyambar ke arah Suma Han. Semua
menuju ke tubuh Pendekar Siluman dan tidak sebatang pun yang mengancam tubuh garuda!
Hal ini membuktikan betapa wa-nita itu merupakan seorang ahli melem-par senjata rahasia.
Suma Han mengge-rakkan tongkatnya dengan sembarangan dan.... ketiga belas batang
pisau itu se-olah-olah tertarik oleh besi magnit dan kesemuanya
Pukulan Naga Sakti 1 Pendekar Satu Jurus Karya Gan K L Pendekar Laknat 2

Cari Blog Ini