Ceritasilat Novel Online

Tiga Mutiara Mustika 3

Tiga Mutiara Mustika Karya Gan Kl Bagian 3


puluhan tahun, dengan
kedua matanya tajam bersinar ia sedang mengamat-amati
pertarungan sengit di antara Yan le-lam bertiga, apabila
keadaan menunjukkan berbahaya, tangannya lantas
tertampak merogoh ke dalam saku.
Hong-ko tahu tentu orang ini ialah le Djan yang berjuluk
'Sip-tiat-hong" atau angin sepuluh kali menjatuhkan, karena ia
mengetahui Tji Tjing-hian memakai toya, kini lelaki yang
bertangan kosong ini tidak usah disangsikan lagi tentu ialah le
Djan. Dalam pada itu, di sebelah sana Tji Tjing-hian sedang
bermandi keringat oleh rangsekan Hoa-lihiap, sedang Yan leIam mendadak mendekat ke arah tubuhnya, berbareng itu
dengan gerak tipu 'Lok-hoa-tay-sau" atau bunga rontok
menunggu disapu, dengan cepat sekali pedangnya menyabet
kedua kaki Tji Tjing-hian.
Dalam sekejap itu tampaknya Tji Tjing-hian sudah tidak
mungkin menghindarkan diri dari nasib terbuntung kedua
kakinya, mendadak telah kedatangan seorang penolong, dua
titik bersinar sekonyong-konyong sudah menyambar datang
menuju ke arah muka Yan le-lam.
Mendengar berkesiurnya angin, Yan le-Iam mengerti ada
senjata rahasia, maka segera ia menarik senjatanya terus
melompat ke belakang, dan betul juga, dua senjata pisau kecil
laksana kilat sudah menyambar lewat, karena halangan itu
maka terluputlah Tji Tjing-hian dari malapetaka.
Laksana anak sapi yang baru dilahirkan yang tak kenal apa
artinya takut, Hong-ko yang menyaksikan kejadian itu di
tempat persembunyiannya, mendadak melayang keluar,
dengan gerakan "Yan-tju-tjwan-liam" atau burung layanglayang
menerobos kerai, ia mengunjukkan dirinya keluar
hutan, berbareng itu 'Go-bi-djing-kong-kiam' miliknya secepat
kilat terus ia bacokkan, dengan tipu 'Lik-bi-hoa-san' atau
membelah Hoa-san sekuat tenaga, ia mengarah kepala Ie
Djan. Dengan kesehatannya yang luar biasa itu, tampaknya ia
sudah akan berhasil, orang tua itu dengan segera bisa
terbelah menjadi dua oleh pedangnya.
Tak terduga, orang tua yang seperti tak mengetahui ada
orang hendak membokong padanya itu, tiba-tiba mengibaskan
lengan bajunya yang terbikin dari kain kasar belacu itu,
dengan kibasan itu ujung pedang Hong-ko yang semestinya
sudah hampir mengenai sasaran, tiba-tiba terpental pergi oleh
satu kekuatan yang sangat besar, bahkan tubuhnya pun ikut
tergetar pergi hingga beberapa tindak.
"Penjahat cilik berkedok, dengan diam-diam kau hendak
menyergap, siapa suruh kau begitu tak tahu aturan!" dengan
tertawa cekikikan Ie Djan mengejek.
Keruan saja Hong-ko menjadi murka. "Nanti kucabut
jiwamu yang tua bangka ini!" bentaknya.
Berbareng itu ia melangkah maju lagi, kali ini ia memutar
pedangnya dengan ilmu 'Go-bi-hing-liong-kiam-hoat' yang
hebat sekali, angin senjatanya menyambar dan sinar
pedangnya gemerlapan.
Akan tetapi Ie Djan pun tidak kalah hebatnya, tubuhnya
melayang pergi datang dengan cepat sekali, beberapa kali
Hong-ko membacok atau menikam, namun tetap mengenai
tempat kosong saja.
Lambat laun Hong-ko menjadi tak sabar, tiba-tiba dengan
tipu serangan 'Djong-liong-sing-thian' atau ular naga naik ke
langit, senjatanya memapaki Ie Djan terus membabat.
Dalam sekejap itu tertampak Ie Djan sedikit berjongkok,
kemudian tiba-tiba kain bajunya melibat pula, dengan sekali
putaran cepat seperti kitiran, pedang Hong-ko ternyata sudah
dikibas pergi bahkan orangnya pun hampir terjungkal jatuh.
Sementara itu Ie Djan tidak berhenti sampai di situ saja, ia
melangkah maju menyusul sampai di depan Hong-ko, begitu
bergerak dengan gerak tipu 'Hun-liong-tam-djiau' atau naga
mengulur cakar dari awan, secepat kilat tangan kanannya
terus me-rangsek ke atas pundak Hong-ko.
Dalam pada itu Hong-ko masih belum sempat
menancapkan kakinya ke bawah, maka susah untuk
menghindarkan diri dari rangsekan yang ganas itu.
Selagi dalam keadaan terancam bahaya, beruntung tibatiba
ada sambaran angin pedang yang sampai pada pihak
lawan juga- "Lihat pedang nyonyamu!" demikian terdengar satu suara
gertakan nyaring.
Kiranya Hoa-lihiap yang menampak Hong-ko berada di
bawah ancaman bahaya dari tangan 'Sip-tiat-hong', dengan
cepat ia memburu maju buat menolongnya.
Mengerti dirinya dibokong, lekas le Djan mengurungkan
serangannya, ia mengegos ke samping dan melangkah
minggir, sesudah itu ia mengubah tipu serangan menjadi
gerak 'Yap-te-tau-hoa' atau mencuri bunga dari bawah daun.
Ia merangsek maju buat merebut senjata musuh.
Akan tetapi dalam sekejap itu, bayangan orang berkelebat
dengan gerakan 'Hi-djiok-tiau-ki' atau burung kutilang
melompat ke cabang pohon lain, dengan cepat sekali Hoalihiap
sudah melayang sampai di samping tubuh Ie Djan lagi
dan terus menikam dengan pedangnya.
Tidak ayal lagi segera Ie Djan membalikkan badan dan
mengibaskan lengan bajunya sekuat tenaga.
Namun Hoa-lihiap pun tidak gampang diingusi, ia cukup
sebat dan tahu gelagat, dengan kegesitannya ia
menghindarkan sampukan lawan, lalu ia mencari kekosongan
pihak lawan dan tiap kali lantas menyerang lagi.
Seketika itu di luar hutan Tjo terjadi pertempuran yang
seru, di sebelah sana pedang Yan Ie lam pelahan-lahan sudah
dapat menguasai toya Tji Tjing-hian.
Sedang di pihak sini, 'Sip-tiat-hong' Ie Djan meladeni
musuhnya dengan tangan kosong, mulanya dengan
kesehatannya ditambah dengan tujuh puluh dua gerak
pukulan Kim-na-djiu yang lihai, ia gabungkan dengan Lwekang
yang sempurna, di-mana kain bajunya menyabet dan
menggulung, bila tersentuh pasti akan terlempar pergi.
Dengan sekuat tenaga Hoa-lihiap coba menempur
lawannya, namun sedikitpun ternyata ia tidak lebih unggul,
maka ia harus lebih waspada dan bertahan terus.
Semula Hong-ko berdua Hoa-lihiap mengerubuti Ie Djan,
tapi setelah Hoa-lihiap mengedipi padanya, segera ia mengerti
akan maksudnya, dengan cepat ia sudah melompat keluar dari
kalangan pertempuran untuk mengamati kereta keledai
ketujuh tadi. Selagi keadaan masih belum menunjukkan tanda-tanda
akan berakhir, tiba-tiba keledai yang menarik kereta telah
berlarian ketakutan, menyusul mana dari atas bukit menerjang
turun seorang wanita berkedok yang menutupi setengah
mukanya, tangannya mencekal pecut panjang yang tiada
hentinya diayun dan disabetkan. Roda-roda kereta di tepi jalan
apabila kena libasan pecutnya segera kena dijungkir-balikkan
hingga barang muatannya bersebaran.
Keruan saja keadaan yang kacau-balau ini membikin
rombongan keledai menjadi ketakutan hingga kedua
kupingnya berdiri tegak dan mendengking terus berlari
sekenanya. Walaupun demikian Hong-ko masih dapat melihat dengan
jelas bahwa wanita yang menerjang datang ini walaupun
tertutup separuh mukanya, namun dari perawakan dan
parasnya yang menarik, terang adalah seorang gadis yang
cantik. Tertampak ia memakai baju hijau muda yang sepan, celana
sempit model jengki dan sepatu kulit, di pinggangnya bahkan
masih terselip pula sebatang pedang pendek.
Pecut di tangannya yang panjang dimainkan sedemikian
rupa laksana naga hidup, yang paling menakjubkan ialah
begitu ujung perutnya melilit baik kereta maupun kuda dan
manusia, pasti tidak ampun lagi segera terbanting pergi, maka
keruan saja seperti terluang satu jalan kosong di tengah, ia
terus menuju ke jurusan dimana Ie Djan berada.
Sementara itu Ie Djan sendiri lagi repot menghadapi Hoalihiap,
mendadak ia lihat pecut panjang itu menyabet ke
arahnya, lekas ia enjot tubuhnya terus meloncat naik ke atas.
berbareng itu lengan bajunya ia kibaskan, ia sampuk pergi
ujung pecut orang.
Tak terduga gadis itu sekonyong-konyong membaliki
tangannya, pecutnya melingkar dan diulur, dengan gerakan
'Boan-long-kui-tong' atau ular naga kembali ke goa, tiba-tiba
pecutnya menyabet pula ke bawah, ia mengarah kedua kaki
lawan. Lekas le Djan melompat menghindarkan bahaya pula, akan
tetapi di samping itu Hoa-lihiap pun tidak mau tinggal diam, ia
ambil kesempatan itu dengan tipu 'Ong-bo-hut-siu' atau Ongbo
mengibaskan lengan baju, ia menusuk dari samping.
Dalam keadaan demikian ini, mau tak mau le Djan rada
kalang-kabut, terpaksa ia harus mengadu jiwa, bukannya ia
mundur, sebaliknya ia melangkah maju, dengan tangan kanan
mendadak meraup ke atas, ia memakai gerak tipu 'Sian-koktjinyok' atau bidadari menyuguh minuman, segera ia hendak
merebut senjata orang.
Untuk menghindarkan agar senjatanya tidak terjatuh ke
dalam tangan musuh, dengan cepat Hoa-lihiap terus menarik
pedangnya, namun gadis tadi sudah mendahuluinya, pecutnya
sudah kembali menyabet pula, dengan demikian ancaman
bahayanya telah tertolong.
Dikeroyok secara begitu, kini le Djan didesak hingga
terpaksa terus mundur, tak berani ia mencoba tersentuh oleh
pecut lawan. Kiranya le Djan yang telah melatih Lwekangnya selama
beberapa puluh tahun, yang paling lihai ialah bajunya yang
terbikin dari kain belacu kasar yang dipakainya itu, pada
waktu badannya berputar cepat, dimana lengan atau ujung
bajunya mengibas, maka sama seperti pisau yang mengiris
tajam, bahkan tenaga dalamnya pun ikut terbawa keluar,
begitu senjata musuh menempel kain bajunya, dengan segera
juga bisa tergetar pergi, oleh karena itulah maka ia berjuluk
'Sip-tiat-hong' dan Lwekangnya 'Tjim-ie-sip-pat-tiat' atau
menyenggol baju terjatuh delapan belas kali, yang sangat
susah dilatih dalam dunia persilatan, bukan lain ialah
kepandaiannya yang paling dikagumi orang. Suatu tanda juga
bagaimana kekuatan yang ada pada kain bajunya tidak dapat
dipandang enteng.
Dengan mengandalkan kepandaiannya itu, biasanya tidak
pernah ia membawa senjata, ia hanya melayani musuh
dengan tangan kosong bersama dengan kepandaiannya yang
lain terdiri dari tujuh puluh dua pukulan Kim-na-djiu.
Cuma saja ilmu Lwekangnya 'Tjim-ie-sip-pat-tiat' ini masih
ada cirinya juga, yaitu tidak takut pada benda keras, tetapi
takut pada benda lemas, senjata golok atau pedang dan
sebang-sanya begitu tersentuh oleh bajunya dengan segera
bisa tergon-cang pergi, tetapi sebangsa pecut yang lemas
dapat menggulung dan melibat, ditambah lagi kalau
pemakainya golongan ahli, maka tak mungkin ia bisa
mendapat keuntungan.
Kini dengan pecut si gadis tadi yang cukup lihai saja sudah
membikin dirinya menjadi kerepotan, apalagi ditambah pula
dengan seorang Hoa-lihiap, pedangnya yang tidak pernah
kendor senantiasa mengurung padanya juga.
Dengan demikian maka keadaan lantas banyak berlainan,
kini ia harus bertahan dengan mati-matian dan pelahan-lahan
sudah berada di pihak yang keteter.
Dalam pada itu Hong-ko sendiri yang tidak ikut bergebrak,
ia lihat pada iringan kereta yang ada di depan. Binatang
penariknya masih tetap berdiri di tempatnya, tiba-tiba
pikirannya tergerak, dengan diam-diam ia melompat ke atas
kereta nomor tujuh, segera ia tarik tali kendali sambil
mulurnya menyentak, keruan saja keledai itu menjadi kaget
dan segera kabur ke depan.
Melihat kejadian itu le Djan berusaha untuk mengejarnya,
namun dengan beberapa kali tusukan, Hoa-lihiap
membikinnya tak berdaya buat meloloskan diri.
Di sebelah sana Tji Tjing-hian pun bermaksud hendak
mencegat, ia serampangkan toyanya kepada Yan Ie-lam,
menyusul itu ia terus menjugil ke atas, dengan gerakan
seperti orang berlari, ia tarik toyanya terus mengudak sampai
di tepi kereta Hong-ko, ia mengangkat toyanya terus hendak
mengemplang. Tak ia duga, Hong-ko ternyata cukup tangkas, matanya
tajam dan gerakannya cepat, mendadak ia berputar terus
tangannya mengayun, secepat kilat ia membidikkan dua butir
Thi-wan atau pelor besi.
Sama sekali Tji Tjing-hian tidak menyangka pemuda kita
masih memiliki kemahiran itu, hendak berkelit saja sudah
terlambat, di antara sambaran sinar yang mengkilap, segera
terdengar jeritannya, toyanya terlempar jatuh dan tangannya
sudah kena tertimpuk oleh pelor besi Hong-ko hingga patah
tulang pergelangan tangannya.
Tanpa menoleh lagi, dengan mengemudikan kereta
keledainya, Hong-ko melarikan kereta itu, bahkan ia
mengayun pecut untuk mempercepat kaburnya, ia membelok
ke simpang jalan sebelah selatan, di antara debu yang
mengepul tebal, tidak berselang lama ia sudah menghilang.
Menyaksikan sendiri kaburnya Hong-ko dengan
menggondol kereta kawalannya, tak tertahan lagi le Djan
menjadi murka. "Kamu sekalian penjahat ini, berani kamu membegal kereta
milik Sun-bu Taydjin!" gertaknya kepada Hoa-lihiap.
Agaknya ia menjadi gusar dan membentak dengan mengertak
gigi, adalah tidak demikian dengan Tji Tjing-hian, ia kini
telah angkat langkah seribu terbirit-birit, di belakangnya
terlihat Yan le-lam sedang mengejarnya.
Kiranya sesudah tulang tangannya terpukul patah oleh
pelor besi Hong-ko dan toyanya sudah terebut pula oleh Yan
Ie-lam, maka tak sanggup ia bertempur terus, terpaksa ia
kabur menyelamatkan jiwanya sendiri.
Melihat dirinya ditinggal begitu saja, mau tak mau le Djan
menjadi gugup, masih mendingan kalau ia tetap tenang, tetapi
karena kegugupannya itu, mendadak pecut si gadis berkedok
tadi sudah mampir ke tubuhnya dan segera ia dilempar pergi.
le Djan terhuyung-huyung sempoyongan, beruntung ia pernah


Tiga Mutiara Mustika Karya Gan Kl di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berlatih Gwa-kang 'Djian-kin-tui' yakni kepandaian berkuda
dengan kokoh kuat, maka tidak sampai terjungkal jatuh.
Selagi Hoa-lihiap hendak mempergunakan kesempatan itu
untuk maju menikam padanya, tiba-tiba dari hutan meniup
angin aneh yang santar hingga daun-daun pohon banyak
tertiup rontok, dalam sekejap itu sekonyong-konyong di depan
mereka muncul seorang imam tua yang memakai pakaian
pertapa, ia berjenggot hitam yang bersilang tiga, kedua
matanya tajam bercahaya. Sekali imam tua itu menggeraki
kebut pertapanya, seketika itu juga pedang Hoa-lihiap sudah
tergoncang dan terpental.
Melihat istrinya diserang, dengan menggunakan toya yang
baru ia dapat merebut, Yan le-lam menubruk maju terus meTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
nyerampang ke bawah orang. Akan tetapi kembali imam tua
itu mengayun kebutnya ke bawah, segera Yan le-lam
merasakan cekalan tangannya kaku kesemutan dan toyanya
tak bisa ia kuasai lagi dan terjatuh. Melihat imam tua itu
sekaligus berhasil membikin tak berdaya kedua orang itu,
gadis berkedok tadi pun tidak tinggal diam, ia berputar,
pecutnya bekerja lagi, dengan cepat lagi kuat ia menyabet
muka si imam tua.
Menghadapi serangan itu, si imam tua ternyata hanya
tertawa saja, ia mengayun kebutnya memutar juga, dengan
segera pecut panjang itu menempel pada kebutnya, hendak
ditarik saja sudah tak bisa terlepas, ternyata imam tua itu
telah mengunjukkan tenaga dalamnya melalui kebut hingga
membikin pecut yang menempel itu terombang-ambing,
sampai-sampai si gadis sendiri tak urung ikut tergoncang.
Lekas ia melolos pedang pendeknya yang terselip di pinggang,
segera ia memotong pecutnya sendiri, berbareng itu ia
melompat pergi, kemudian dengan mata tanpa berkedip ia
memandang si imam dengan tercengang.
"Nona manis, kau tidak lebih hanya memiliki kepandaian
setingkat cucu muridku, berani juga kau unjukkan di hadapan
kau punya Toaya!" dengan tertawa imam tua itu menyapa.
Akan tetapi tanpa berkata-kata pula, mendadak dengan
cepat gadis berkedok sudah mengenjot tubuhnya melayang
pergi, dalam sekejap saja ia sudah sampai di atas bukit dan
terus menghilang.
le Djan masih mencoba hendak mengudak, namun segera
ia ditahan oleh si imam.
"Sudahlah tak usah mengejar," seru imam itu. "Ia adalah
keluaran dari perguruan Pin-to, ia bukan lain ialah Giok-binyao
hou, biarkanlah ia pergi!"
Karena keterangannya itu, bukan saja le Djan, bahkan Yan
Ie-lam suami isteri pun ikut terkejut.
Sedang mereka terkesima, sekonyong-konyong Ie Djan
sudah menubruk maju lagi, ia mengulurkan jari tangannya
hendak menjambret.
Dengan sebat Hoa-lihiap menyambut serangan itu,
pedangnya berkelebat, dengan gerakan 'Tok-liong-djut-tong'
atau naga garang keluar dari goa, secepat kilat ia memutar ke
belakang le Djan terus membacok.
Mendengar adanya sambaran angin, le Djan insyaf adanya
bahaya, tangannya membalik untuk meraup, segera ia
meninggalkan Yan Ie-lam.
Dengan serangannya tadi memang Hoa-lihiap bertujuan
untuk meringankan suaminya dari tekanan musuh, kini melihat
Yan Ie-lam sudah terlolos, dengan segera ia berkelit
menghindarkan raupan orang, berbareng itu senjatanya ia
ubah pula, ia menusuk lagi ke sebelah bawah musuh. Dalam
pada itu si imam tua tadi masih tetap berdiri di samping, ia
hanya menonton dan tidak turun tangan membantu.
"Entah manusia macam apakah imam ini, asalkan Hong-ko
berhasil, jalan satu-satunya paling baik ialah kabur saja!'"
begitu pikir Yan Ie-lam.
Segera ia memberi tanda pada isterinya, kemudian mereka
berbareng terus meloncat pergi hendak angkat kaki. Akan
tetapi belum sampai mereka melangkah jauh, mendadak pula
bayangan orang berkelebat, si imam tua tadi ternyata sudah
menghadang di depan mereka.
"Jangan kamu coba lari!" serunya.
Menyusul itu kebutnya disabetkan ke depan.
Yan Ie-lam berdua tak sanggup berdiri tegap di tempatnya,
untuk menghindarkan kebutan yang lihai itu. mereka
melayang pergi beberapa tindak, namun Tosu tua itu
selangkah demi selangkah mendesak maju pula. Mereka
mencoba lagi kabur dengan cepat, tetapi tidak dinyana,
kembali imam itu mendahului pula mencegat di depan dengan
kebutnya diayun-ayunkan.
"Lekas kalian menyerah saja!" terdengar pertapa itu
membentak. "Celaka kali ini!" pikir suami isteri Yan Ie-lam dalam hati.
Ketika keadaan sangat membahayakan mereka, tiba-tiba
terdengar suara kelenengan kuda yang berkumandang
menggema, dalam sekejap saja pendatang itu sudah muncul
di depan mereka, di atas kuda ternyata menunggang seorang
wanita muda yang berdandan ringkas, pakaiannya kuning
Jingga dengan ikat pinggang merah, sepatunya tipis enteng,
usianya ditaksir belum dua puluh tahun, parasnya cantik dan
sikapnya gagah. Dengan sekali melompat, wanita itu turun
dari kudanya "Hian-hong Totiang, tahan dulu!" terdengar ia berseru.
Mendengar namanya disebut, imam tua itu jadi merandek,
ia mengamati wanita muda itu.
"Apakah nona adalah Ang-koh dari Pek-lian-hwe?"
tanyanya. Gadis itu tidak menjawab, ia melirik pada Yan Ie-lam
berdua, lalu matanya mengedip dengan maksud agar si imam
itu tidak menyebut asal-usul dirinya. Rupanya Tosu tua itu
mengerti, segera ia ubah lagunya.
"Ang-koh, ada keperluan apakah kedatanganmu ini?"
tanyanya. "Hian-hong Susiok, harap kau lepaskan kedua orang ini,
sesudah itu baru kita bicarakan!" sahut si gadis dengan lemah
lembut. Akan tetapi Ie Djan malah tampil ke muka.
"Kedua orang ini adalah perampok yang membegal kereta
pemerintah, Sun-bu Taydjin pasti akan menangkapnya, harap
nona jangan melepaskan mereka!" katanya.
Mendengar ucapannya itu, bukannya si gadis menurut,
malah sebaliknya ia menjadi gusar, alisnya yang lentik menjadi
berdiri "Siapa kau?" dampratnya sambil menuding Ie Djan.
"Kau berani ikut campur urusan nonamu" Lekas enyah dari
sini!" Ie Djan tergolong tokoh yang ternama di kalangan
persilatan, keruan saja ia tidak mandah digertak orang secara
begitu, kontan tangannya segera memukul. Namun dalam
sekejap itu, tangannya yang baru diulur mendadak terasa
dibentur orang, ternyata Hian-hong Totiang yang melompat
maju menyengkelit pukulannya ke samping.
"Ie-laudji jangan gusar dahulu," ujarnya cepat. "Nona ini
bukan orang sembarangan, jangan kau bikin susah padanya."
Habis itu ia menarik orang ke dekatnya dan membisiki
telinganya. Semula dari muka Ie-Djan tertampak kegusaran, tetapi
setelah dibisiki, seketika parasnya berubah, ia pandang gadis
itu dengan sinar mata yang menunjukkan terkejut dan heran.
"Kini kereta nomor tujuh itu sudah kena dirampok orang,"
terdengar Hian-hong Totiang berkata pula kepada Ie Djan.
"Sayang Pin-to masih ada keperluan lain, hari ini tak bisa
membantu kau menyelidikinya, lebih baik kau terus
menggiring iringan kereta ini kembali ke Tjelam, coba lihat
bagaimana kemauan Tam-taydjin, sudah itu baru kita ambil
tindakan lebih jauh!"
"Totiang hendak kemana?" Ie Djan bertanya.
"Pin-to ada perjanjian penting dengan Ang-koh, lewat
beberapa hari lagi tentu aku akan memberi kabar padamu!"
sahut si imam. Dengan mata memandang si imam, Ang-koh menyusup ke
dalam rimba dengan ilmu mengentengkan tubuh yang lihai,
baru setelah itu Ie Djan kembali memeriksa iringan keretanya.
Ia lihat Tji Tjing-hian lagi mendeprok duduk di tepi jalan,
waktu ia memeriksanya, ternyata lukanya tidak begitu berat,
hanya tulangnya saja yang patah terbidik pelor besi. ia
membalut lukanya, habis itu segera ia mengumpulkan kusir
dan binatang-binatang penariknya, kemudian iringan kereta
melanjutkan pula perjalanan mereka.
Sementara itu, sesudah Hong-ko dapat melarikan kereta
keledai nomor tujuh, dengan cepat ia kabur menuju ke
jurusan selatan, setelah lewat setengah jalan, ternyata tiada
yang mengejar, maka ia melambatkan perjalanannya. Di
mukanya kini ada sungai kecil terlihat menghadang, ia
menyusur mengikuti tepi sungai, ternyata di sekitarnya adalah
hutan yang lebat.
Hong-ko menghentikan keretanya di tepi sungai, ia
menyingkap kain minyak yang menutup isi muatan kereta dan
diperiksanya, memang betul juga penuh terisi semangka
sekira enam hingga tujuh puluh buah. Dengan cepat ia
menggelar kain minyak di atas tanah rumput, ia membongkar
semangka itu, semua ia taruh di atas kain minyak itu, dalam
sekejap saja kereta itu sudah kosong.
Menyusul itu ia mencabut belatinya, ia tikam bokong
keledai kereta itu. keruan saja binatang itu mendengking terus
berlari kesakitan, Hong-ko menyusul dengan cepat di belakang
kereta, ia tunggu setelah kereta itu tiba sampai di dataran tepi
sungai yang agak tinggi, mendadak dengan cepat sekali ia
mendorong kereta ke samping menuju ke sungai, karena tak
bisa menguasai berat kereta, seketika itu juga keledai itu ikut
tergelincir masuk ke dalam sungai. Waktu itu arus air sungai
cukup deras, maka tanpa ampun lagi kereta itu hancur lebur
dan binatang itu pun hanyut terbawa arus air.
Hong-ko kembali ke tempatnya tadi, ia menyeret semangka
yang terbungkus dengan kain minyak itu ke dalam hutan.
Pada suatu tempat yang lebat dengan rumput, Hong-ko
membuka kain minyak, dengan teliti ia memeriksa semangka
itu satu persatu, akan tetapi tiada sesuatu tanda rahasia yang
dapat diketemukan.
Tetapi dasar memang dia termasuk anak cerdik, ia teringat
pada waktu Gui Djing-si berhasil menggondol sebutir mutiara
mestika, dan kabur di antara api yang berkobar, namun api itu
ternyata tidak terpengaruh oleh mutiara yang ia gondol itu,
maka dapat dipastikan bahwa mutiara yang direbutnya itu
tentu bukan Pi-hwe-tju atau mutiara anti api.
Kini ketinggalan dua buah mutiara yang lain, di antaranya
tentu adalah Pi-hwe-tju. Oleh sebab itu, segera ia mendapat
akal untuk menjajalnya, ia mengumpulkan banyak batang
kayu kering dalam hutan itu dan ditumpuk, sesudah itu ia
mengeluarkan batu apinya dan terus dinyalakan.
Dalam sekejap saja api telah berkobar. Dengan berdiri di
pinggir Hong-ko menggelundungkan semangka-semangka itu
satu persatu ke dalam gundukan api. Dengan perbuatan itu
sebenarnya harapannya pun hanya setengah bagian saja,
karena di antaranya masih ada sebutir mutiara yang bukan
mutiara anti api, oleh karena itu, ada kemungkinan ia akan
kecewa. Namun sesudah beberapa puluh buah semangka ia
lemparkan ke gundukan api, sekonyong-konyong sebuah di
antaranya setelah menggelundung sampai ke dalam api,
gundukan api itu seperti kena ditiup angin santar, dalam
sekejap mata api itu sirap seluruhnya, bahkan lelatu api saja
lenyap. Bukan main girang Hong-ko, dengan sekali lompat ia
menyambar semangka itu terus dibawa lari masuk ke dalam
hutan yang lebih jauh, sudah itu baru ia letakkan kembali
buah semangka tadi, ia memeriksa dengan teliti, tiba-tiba ia
menyentuh pada bongkolnya yang rasanya sekeras besi,
waktu ia menegasi, ternyata adalah punggur buatan dari kayu.
Tidak ayal lagi, segera ia mencabut belatinya dan membelah
semangka itu, ia lihat pada punggurnya bergandengan dengan
sebuah bumbung perak yang menancap masuk ke dalam
daging semangka.
Bumbung perak itu panjangnya kira-kira dua senti dan
terbikin bagus sekali, kalau diletakkan dalam tangan, maka
segera terasa dalam bumbung ada sesuatu barang yang
menggelundung dan berputar, ternyata bumbung itu dibikin
secara sambungan dan bila diputar segera terbuka.
Waktu bumbung itu dibuka, maka pandangan mata Hongko
seketika menjadi silau oleh pancaran sinar putih
gemerlapan, di depan matanya ternyata adalah sebutir
mutiara yang bundar bersih dan menarik, memang betul
sebutir mutiara yang jarang terdapat di jagad ini.
Maka lekas ia memasukkan kembali mutiara itu ke dalam
bumbungnya, dengan hati-hati ia menyimpannya di dalam
saku. Selagi ia hendak pergi, tiba-tiba terdengar dari kejauhan
suara tindakan orang mendatangi. Ia segera berjongkok dan
menempelkan kupingnya ke tanah untuk mendengarkan,
namun hanya suara tindakan seorang saja, ia menduga tentu
bukan Yan le-lam suami isteri berdua yang telah kembali,
lekas ia membikin kusut rumput yang telah ia injak-injak,
kemudian ia memanjat ke atas pohon, ia menyembunyikan diri
di antara dedaunan yang lebat untuk mengintip siapa
gerangan yang datang. Di bawah pohon muncul seorang gadis
berkedok yang sudah ia kenali, gadis ini bukan lain adalah
gadis yang menggunakan pecut untuk menem-pur le Djan
tadi. Hong-ko heran bagaimana ia bisa datang menyusul. Melihat
tindakannya tadi yang membantu Yan Ie-lam berdua melawan
pihak musuh, apakah ia pun Liok-lim Enghiong dari tepi Hongho"
Sementara itu si gadis ternyata tidak mengetahui bahwa di
atas pohon bersembunyi seseorang, ia lewat begitu saja di
bawahnya. Hong-ko menunggu setelah suara tindakan kakinya
sudah pergi jauh barulah ia melompat turun. Ketika itu cuaca
sudah sore, ia berjalan keluar dari hutan itu, ia mengenali
tempat ini tidak jauh dari Yang-ko-koan, dengan menumpang
kapal dari Un-ho (Terusan Besar), ia bisa kembali sampai di
Mo-dji-tje. Waktu itu adalah permulaan musim semi, kedua tepi
terusan itu penuh melambai pohon Yang-liu yang tertiup


Tiga Mutiara Mustika Karya Gan Kl di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

angin. Menurut ceritera, waktu Kaisar Sui-yang-te menggali
terusan besar ini, ia telah memerintahkan menanam rapat
kedua tepi sungai dengan pohon Yang-liu dan menyuruh para
Kiongli menyusur tepi terusan, sampai kini, kedua tepi terusan
masih tetap tumbuh lebat pohon Yang-liu itu hingga banyak
meringankan orang-orang yang berjalan di bawahnya dari
terik sinar matahari.
Kapal yang Hong-ko rumpangi adalah sebuah perahu kecil
yang hanya memuat dia seorang diri, setelah hari gelap,
perahunya singgah pada suatu muara sungai yang
berdekatan. Dalam pada itu di samping perahunya, terlihat
sebuah kapal layar yang cukup besar dan bersusun sedang
membuang sauh. Hong-ko tidak memperhatikan kapal layar itu, ia
menyembunyikan diri dalam ruangan perahunya sendiri dan
dari jendela ia melihat pemandangan yang indah di luar.
Suasana malam sunyi senyap, kapal layar di sebelahnya itu
sudah menyalakan lampu yang bersinar terang menyorot ke
permukaan air yang bergoyang.
Tiba-tiba daun jendela dari ruangan bersusun kapal layar
itu terbuka, seorang gadis muda menongolkan setengah
mukanya, terlihat ia bermata jeli dan beralis lentik, parasnya
cantik molek, di pinggir gelungannya tersunting setangkai
bunga cempaka. Tetapi dari sinar matanya yang tajam
tertampak mengandung kebengisan.
Sementara itu terlihat ia lagi memandang ke daratan, habis
itu lantas ia menutup kembali daun jendelanya. Oleh
pandangan sekilas itu, Hong-ko berdenyut hatinya, entah
mengapa mendadak ia menjadi berdebar-debar, ternyata
sepasang mata si gadis itu entah sudah pernah ia lihat, hanya
seketika ia tidak ingat dimana"
Namun sebentar kemudian segera ia menertawai dirinya
sendiri yang terlalu perasa, sedang paras muka orang saja
belum jelas terlihat, bagaimana boleh jadi sudah pernah ia
ketemukan. Ia berniat tidur, tetapi bagaimanapun ternyata tak
bisa nyenyak, di pinggir telinganya seperti terdengar angin
sepoi-sepoi mendesir di tepi sungai, mirip seperti desiran
angin baju orang jalan malam.
Ketika Hong-ko mengintip, ia lihat di antara pohon Yang-liu
itu berkelebat bayangan orang dengan cepat sekali sedang
melayang turun ke ruangan kapal sebelah, sekilas terlihat juga
yang datang itu ternyata adalah seorang imam, keruan saja
seketika itu Hong-ko ternganga.
"Apakah mungkin orang ini hendak mencelakai wanita di
kapal sebelah itu?" pikirnya dalam hati.
Karena keheranannya itu, ia melongok keluar untuk
memandang ke ruangan kapal tetangganya, ia lihat dari
jendela tetap memancar keluar sinar lampu masih seperti tadi,
tiada tanda-tanda terjadi sesuatu yang mencurigakan.
"Aku hanya kebetulan lewat di sini saja, lebih baik tak usah
mengurusi persoalan orang lain!" pikirnya.
Akan tetapi selagi ia berpikir, tiba-tiba kembali terdengar
suara air yang meriuh seperti orang sedang mencipratkannya.
Waktu Hong-ko berpaling ke belakang perahunya, terlihat
olehnya di atas sungai sedang meluncur datang sebuah
perahu kecil secepat terbang, di atas perahu itu berdiri
seorang. Yang mengherankan ialah tiada sesuatu alat pengayuh
pada dirinya, melainkan ia hanya mementang kedua
tangannya dan mengibaskan lengan bajunya, dengan begitu
sang perahu meluncur laju ke depan menuju ke kapal layar
yang beruangan susun itu, dalam sekejap saja perahu itu
sudah datang mendekat, yang berdiri di atasnya itu ternyata
adalah seorang kakek, tertampak ia hanya sedikit mengenjot,
segera sudah berada di atas kapal layar itu terus masuk ke
dalam. Sudah tentu peristiwa itu makin membikin Hong-ko terheranheran, ia mengerti yang berada di dalam kapal layar
sebelah itu pasti bukan manusia sembarangan, boleh jadi
adalah tokoh dari kalangan Kangouw juga, mungkin berurusan
sesuatu perdagangan hingga berkumpul di sini. Sebenarnya
peristiwa yang belakangan ini tidak begitu menarik
perhatiannya, yang paling menarik dan menggoncangkan
pikirannya ialah si gadis dalam kapal itu. Tapi gadis itu hanya
menonjolkan setengah mukanya, tetapi itu saja sudah cukup
membikin goncang hatinya. Dari sinar mata si gadis itu
mendadak membikin ia teringat pada kawan ciliknya di masa
anak-anak, walaupun parasnya mungkin telah berubah, tetapi
kejadian-kejadian pada masa anak-anak.
Satu persatu telah terbayang kembali, suara dan tertawa
Pek Eng-dji sekejap itu telah terkenang dalam hati
sanubarinya. Hong-ko tak sanggup menahan perasaannya yang
berdebar-debar itu, ia berbangkit dan berdandan ringkas, ia
melihat tukang perahu sudah menggeros tidur di belakang,
pedangnya ia selipkan di punggungnya dan terus melompat
keluar dengan enteng. Segera ia menggelantungkan tubuhnya
di kapal sebelah, ia merembet sampai di ruangan susun
sebelah atas dan memandang ke dalam melalui sela-sela
jendela. Akan tetapi apa yang ia lihat segera membikin ia terkejut.
Yang berada di dalam kapal itu ternyata ada lima atau
enam orang dan sedang berduduk mengitar, di tengah
berduduk seorang yang bukan lain ialah gadis yang tadi
melongok keluar jendela.
Di kedua samping gadis itu duduk seorang Tosu atau imam
tua dan seorang kakek, yaitu orang yang tadi meluncur datang
dengan perahu. Seterusnya masih ada pula tiga orang, kesemuanya
mengenakan baju yang berbelahan miring dan rambutnya
diikat ke atas, dandanan mereka rada aneh.
"Sian-koh, apakah malam ini Hian-hong Totiang tidak
datang?" sementara itu terdengar si imam tua bertanya.
"la bukan orang dari golongan agama kita, biarlah ia tak
usah hadir, cuma hari ini ia telah membuang satu kesempatan
baik begitu saja!" terdengar si gadis menyahut.
"Apa Sian-koh maksudkan ia tidak bersedia ikut membantu
Tjin-tju (Tuhan) kita?" si kakek bertanya.
"Bukan," jawab si gadis menggeleng kepala. "Aku
maksudkan apa yang disebut tentang 'Thian-hu' tadi. ialah
sudah kena tercuri oleh Bun Sui-le, si siluman perempuan itu,
hari ini Hian-hong Totiang berjumpa dengan siluman itu dan
telah melepaskan dia begitu saja, sungguh sayang!"
"Sian-koh (nona dewi), mungkin Hian-hong Totiang tidak
mengetahui akan kejadian itu, maka ia membiarkannya pergi
begitu saja!" terdengar laki-laki lain menimbrung.
"Mungkin begitulah," angguk si gadis. "Tetapi kini ia
berjanji hendak pergi menyusul siluman perempuan itu."
Hong-ko yang menggantung di luar; mendengar tiap
percakapan itu dengan jelas, keruan saja ia bermandi keringat
dingin saking kagetnya.
la terkejut dan heran karena gadis yang disebut 'Sian-koh'
itu, parasnya mirip sekali dengan kawan kecilnya, Pek Eng-dji,
lagi pula logat kata-katanya pun seperti dari daerah selatan,
tetapi bagaimana ia bisa dipanggil 'Sian-koh'" Apa mungkin ia
sudah menjadi seorang pemimpin wanita dari sesuatu
golongan agama"
Karena pikirannya itu, tanpa terasa ia menghela napas pclahan.
Akan tetapi walaupun pelahan, namun segera ia sudah
diketahui orang.
"Ada mata-mata!" terdengar orang berteriak, dan menyusul
itu sinar lampu segera padam.
Namun Hong-ko pun cukup sebat, dengan cepat sekali ia
meloncat kembali turun ke perahunya sendiri dengan gerakan
"Ning-yan-kui-tjau' atau burung layang-layang kembali ke
sarang, sudah itu segera pula ia menyulusup masuk ke
ruangan perahu dan menarik selimutnya terus berpura-pura
tidur. Perbuatannya itu ia lakukan dengan gesit dan cepat, maka
tidak menimbulkan suara sedikitpun.
Sementara itu ia mendengar di luar beberapa kali suara
menyambar, ia mengetahui ada orang dari kapal sebelah itu
juga mencelat keluar buat mengejar, tetapi kesemuanya
menuju ke daratan.
Tiada antara lama, di depan perahunya seperti ada sedikit
suara. Hong-ko berpura-pura menggeros, segera seperti ada
orang yang melongok ke dalam perahunya melalui perahu
ikan yang berada di samping lain, namun dalam sekejap saja
sudah menghilang.
Selang tak lama kemudian kapal di sebelah keadaannya
sudah kembali sunyi senyap, dengan selamat Hong-ko
menghindarkan bahaya itu, ia tertidur tanpa kuatir. Ketika
kemudian ia dibangunkan oleh tukang perahu, cuaca ternyata
sudah terang, waktu ia melongok lagi keluar, maka kapal
tetangganya semalam itu kini sudah lenyap, entah menuju
kemana. Sejak itulah, dalam kalbu Hong-ko terukir sesosok
bayangan yang susah untuk dilupakan, dan perahunya terus
melanjutkan perjalanan menuju ke utara.
Beberapa hari kemudian, ia kembali sampai di Mo-dji-tje.
Waktu ia hampir sampai di pintu benteng mereka dahulu,
tiba-tiba dari tepi jalan melompat keluar dua orang, ketika ia
tegasi, ternyata bukan lain ialah Yan le-lam suami-isteri.
Mereka girang sekali bisa bertemu kembali dengan Hong-ko.
"Teng-hengte (saudara), lama sudah kami menantikanmu!"
seru Yan-le-lam kegirangan. Habis berkata, ia menarik Hongko
dan membelok masuk ke dalam rimba.
Atas perbuatan orang itu, Hong-ko menjadi terheran-heran.
"Mengapa kita tidak kembali ke dalam benteng saja?"
tanyanya segera.
"Di sana sudah mengalami malapetaka, Liok Ing dan Mo
Djit berdua sudah tewas, kami berdua menanti di sini perlunya
adalah mencegat kau jangan sampai menuju ke sana!" Yan lelam
menerangkan. Setelah Hong-ko bertanya lebih jelas, barulah diketahuinya
bahwa sesudah hari itu Yan le-lam berdua kabur dari rimba
Tjo, pernah juga mereka berusaha mencarinya ke tepi sungai,
tetapi yang mereka lihat adalah kereta keledai yang sudah
kecemplung ke dalam sungai, mereka mengerti Hong-ko tentu
sudah berhasil menghilangkan semua jejak telapak itu.
Mereka kembali ke Mo-dji-tje melalui jalan darat, tetapi
begitu masuk kampung, mereka menjadi terkesima saking
kagetnya. Ternyata di dalam markas mereka itu
bergelimpangan beberapa mayat Liau-lo.
Ketika sampai di dalam pendopo tengah, 'Hoat-giam-ong'
Mo Djit mati menggeletak di bawah undak-undakan, di hulu
hatinya kena tertusuk hingga ususnya terburai keluar. Sedang
Liok Ing roboh di belakang ruangan, ia seperti lagi hendak
kabur, tapi mendadak telah kena ditusuk orang dari belakang
hingga tembus. Di dalam markas pun diobrak-abrik hingga tak
keruan. Mereka tak berani berlama-lama tinggal di situ, cepat
mereka menerobos keluar lagi melalui jalanan di belakang.
Tetapi baru saja mereka melompat keluar, dari belakang bukit
sudah dipapak oleh It-tun Ki-su Si Liang yang terus menarik
mereka meninggalkan Mo-dji-tje, kemudian ia menceritakan
apa yang telah terjadi.
Kiranya pada waktu sesudah Yan le-lam bertiga berangkat,
hari kedua para benggolan sudah pada kembali semua
terkecuali To Dji-hay seorang.
Sehabis dahar malam, Tju-kat Liang dan Liu Ut
menceritakan kabar yang mereka peroleh bahwa di daerah
Tong-tjiang kemarin telah terjadi peristiwa perampokan kereta
pemerintah, maka mereka hendak keluar lagi untuk
menyelidiki. Sementara itu Si Liang masih duduk di belakang
markas mereka, tiba-tiba terdengar suara riuh rendah di
sebelah depan, menyusul itu terdengar orang roboh dengan
jeritan ngeri. Si Liang mengetahui gelagat jelek, dengan cepat ia segera
melayang naik ke atas atap rumah.
Ketika itu dari luar gerbang markas secara berbondongbondong
membanjir masuk segerombolan orang, kesemuanya
terlihat memakai ikat kepala merah, menyusul itu sinar senjata
berkelebat, para Liau-lo atau prajurit penjaga semua roboh
bergelimpangan.
Dalam pada itu dari luar tiba-tiba melayang masuk lagi dua
orang, dimana mereka sampai dan senjata bekerja, di situ
segera terlihat kepala manusia menggelinding. Kedua orang ini
ternyata adalah seorang imam tua dan seorang kakek.
Sementara itu yang masih tinggal di dalam markas ialah
'Hoat-giam-ong' Mo Djit, ia masih belum sadar dari mabuknya,
saking kagetnya ia menyambar golok terus menerjang keluar.
Di pintu pojok, dengan berbareng melompat keluar 'Pekbinhou' Liok Ing, kedua golok mereka segera tertuju ke arah
si kakek yang baru datang itu.
Mo Djit dengan tangkas dan kuat melontarkan beberapa
kali bacokan, ia membikin pedang si kakek tergumpil.
Melihat kawannya terancam bahaya, imam tua tadi segera
menubruk maju dari samping, dengan gerak tipu 'Eng-saudjiaudji' atau burung elang menyambar anak ayam, dengan
kepandaian 'Kim-na-djiu' atau ilmu cara mencekal dan
menangkap, sekaligus ia dapat menjambret tubuh Mo Djit,
berbareng ia angkat terus dilemparkan ke bawah Tjim-tje,
justru waktu itu dari luar sedang masuk seorang lelaki
mengenakan baju belahan pinggir, tangannya bergerak dan
senjatanya membabat, keruan seketika itu tubuh Mo Djit
terbelah menjadi dua, dimulai dari pundaknya sampai ke
bawah. Si Liang yang menyaksikan kejadian ngeri itu dari atas
atap, hampir saja menjerit kaget.
Menampak rekannya tewas di bawah senjata musuh, tentu
saja 'Pek-bin-hou', si harimau bermuka putih, Liok Ing menjadi
gugup, dengan sekuat tenaga ia coba menandingi kedua
lawan yang tangguh itu.
Saat itu si kakek lagi memainkan tipu 'Ou-tiap-tjio' atau
ilmu pukulan model kupu-kupu, ia merangsek dengan hebat,
sedang si imam tua pun tidak mau ketinggalan, pedangnya
berulang-ulang membuat serangan berbahaya.
Lebih dulu Liok Ing kena sekali bacokan pada pundaknya,
ia berniat kabur, dengan pura-pura menyerang segera ia


Tiga Mutiara Mustika Karya Gan Kl di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menarik senjatanya terus berlari hendak kabur.
Akan tetapi sayang, baru saja ia berhasil menerobos ke
ruangan belakang, secepat kilat si imam tua tadi tahu-tahu
sudah mengejar sampai di belakangnya, menyusul itu
pedangnya berbareng menusuk, maka Liok Ing yang tidak
menyangka si imam tua itu bisa demikian sebarnya, segera
kena ditusuk hingga tembus ke dada, ia menjerit ngeri dan
terus menggelongsor.
Si Liang sendiri pernah menjadi anggota 'Ang-ting-kau' atau
agama Teng (lentera) merah di Soatang, bahkan ia pernah
menjabat sebagai wakil pemimpin, oleh karena itu terhadap
tokoh-tokoh kalangan Hek-to, melulu mendengar kode
percakapannya saja, sedikit banyak ia sudah bisa menaksir
dari golongan rnana orang itu.
Kini nampak gerombolan yang datang ini bukan petugas
negeri, tetapi dari dandanan mereka mirip dengan
perkumpulan agama liar, ditambah mendengar pula kode yang
mereka percakapkan, kesemuanya ternyata adalah bahasa
rahasia dari 'Pek-lian-kau\ agama Teratai Putih yang bercokol
di sepanjang tepi Tiangkang, tentu saja ia menjadi
terperanjat. "Kemurahan bagi siluman Giok-bin-yao-hou itu, ia tidak di
sini, apa mungkin ia tidak ke sini, apa mungkin telah merat
kembali ke utara Siamsay?" begitulah terdengar para berandal
itu berkata setelah mereka coba menggeledah seluruh markas
itu. Sesudah itu, dengan sekali suitan keras, api obor
dinyalakan, segera gerombolan orang-orang itu meninggalkan
Mo-dji-tje lagi.
Setelah musuh pergi, barulah Si Liang berani turun kembali,
sementara itu di dalam rumah mayat-mayat sudah pada
bergelimpangan, ia tak berani berlama-lama tinggal di situ,
maka malam itu juga ia melarikan diri.
Begitulah setelah Yan le-lam mengisahkan apa yang telah
dialami markas besar mereka, mau tak mau kejadian itu
membikin Hong-ko menjadi bergidik.
"Dan kini kita harus menuju kemana?" lekas ia bertanya.
"Tak usah kau kuatir, kami sudah memberitahukan pada
para pemimpin supaya berkumpul ke Pek-hoa-ho!" sahut Yan
le-lam. "Yan-toako, hari itu kau dan Enso berada di luar rimba,
cara bagaimana kamu meloloskan diri juga?" terdengar Hongko
bertanya lagi. "Cerita itu agak panjang, maka belum bisa aku beritahukan
padamu," sahut Yan Ie-lam. "Hari itu setelah kau berhasil
melarikan kereta, belakangan muncul lagi seorang jagoan
ternama dari Bu-lim yang juga jarang mengunjukkan diri, kami
berdua semula menduga tak mungkin bisa melarikan diri, tak
tahunya ternyata ada seorang penolong."
Bercerita sampai di sini ia berhenti sejenak.
"Siapakah gerangan orang yang begitu hebat sampai Toako
begitu takut padanya?" tanya Hong-ko rada heran. Ia laksana
anak sapi yang baru lahir, belum banyak mengetahui selukbeluk
rahasia Kangouw, maka pantaslah kalau ia bertanya.
"Kau belum lama berkelana di dunia Kangouw, sudah tentu
kau tidak kenal siapa adanya Hian-hong Totiang," Yan Ie-lam
menerangkan. "Ia bukan lain ialah Kiam-khek dari Khongtongpay, bersama Tji-yang Tjin-djin dari Bu-tong-pay, mereka
berdua disebut dua ahli pedang pada zaman ini, kali ini ia pun
sampai di Soatang, hal ini saja sudah mengherankan, siapa
kira akhirnya masih ada pula yang membikin orang lebih heran
lagi, ternyata dengan begitu saja ia telah membiarkan Giokbinyao-hou lolos, bahkan masih memberitahu pada Ie Djan
bahwa ia tergolong seperguruannya."
"Waktu itu kami pun berniat terus kabur, tetapi sekonyongkonyong
telah muncul lagi seorang wanita muda, Hian-hong
menyebutnya sebagai Ang-koh, waktu Hian-hong hendak
mengejar kami, gadis itu malah mencegahnya, karena itu juga
kami baru bisa pulang dengan selamat dan hingga kini kami
tetap tidak mengerti akan hal itu."
"Bukankah gadis itu mengenakan pakaian kuning gading
dan berangkin merah, di pinggir gelungnya tersunting
setangkai bunga Giok-lan (cempaka)?" tanya Hong-ko.
"Ya, betul! Bagaimana kau bisa mengetahui?" sahut Yan Ielam
suami isteri dengan terheran-heran.
Hong-ko lantas menceritakan pengalamannya bagaimana
setelah dapat memperoleh Pi-hwe-tju, mutiara anti api, ia
kembali dengan menumpang perahu, tetapi tanpa sengaja
telah mengintip rahasia dalam kapal sebelah perahunya
Kedua suami isteri itu menjadi girang mengetahui kawan
mereka sudah mendapatkan sebutir mutiara idaman mereka,
mereka teringat juga bahwa Tosu dan kakek yang Hong-ko
lihat dalam kapal itu tentu adalah mereka yang semaiam
menyerbu Mo-dji-tje.
Mereka coba menerka siapa gerangan gerombolan orang
itu, namun tiada seorang pun di antara mereka yang bisa
mengutarakan pendapat yang tepat, lebih-lebih siapa adanya
si gadis itu. Begitulah maka Hong-ko lantas ikut Yan Ie-lam berdua
kembali ke Pek-hoa-ho.
Mengenai gadis yang menjadi pertanyaan mereka itu, oleh
perkumpulan agama Pek-lian-kau disebut Ang-koh, usianya
tak lebih dari dua puluh tahun, tetapi kepandaiannya sudah
tinggi sekali, ia adalah murid dari Bu-tong-pay, kemudian
berguru pada tiga tokoh utama dari Khong-tong-pay, kini ia
sedang bertugas berkeliling untuk menyebarkan ajaran agama
mereka. Sewaktu ia sampai di Tay-beng-hu. sebuah kota besar di
Hopak, seorang imam dari Pek-lian-kau di tempat itu yang
bernama Liok-ni Tjindjin memberitahukan padanya tentang
selentingan bahwa Tjhi Djin-ho diam-diam mengirim mutiara
mestika pada Tam Ting-siang, oleh karena itu lantas ia
mengumpulkan begundalnya dengan maksud hendak
memperoleh mutiara mestika itu, untuk kelak dipersembahkan
kepada ketua agama mereka, Ong Bing.
Tetapi belakangan waktu diselidiki lagi, ia mengetahui
bahwa Tjhi Djin-ho minta pengawalan beberapa Kiam-khek
dari Khong-tong-pay yang masih terhitung seperguruan
mereka, maka Ang-koh menjadi ragu-ragu dan tak berani
sembarangan turun tangan
Akhirnya ia mendapat laporan lagi bahwa Tjin-tju-goan
yang dicari-cari itu dikawal oleh seorang pemuda yang
menggendong 'pedang perjalanan' dari Go-bi-pay. Oleh sebab
itu, maka ia terus menguntit, namun masih agak terlambat
dari Yan le-lam dan kawan-kawan
Malam-malam ia menyelidik ke Pek-hoa-ho seperti apa
yang telah dikisahkan di depan ini. Waktu itu walaupun orangorang
kosen di dalam ruangan tidak sedikit tetapi karena
mereka sedang asyik menyelidiki barang-barang yang dibawa
oleh Teng Hong-ko, hingga tiada yang sadar bahwa mereka
kedatangan tamu yang tak diundang.
Peristiwa itu tidak membawa hasil bagi Ang-ko, namun
sekilas ia dapat melihat wajah Hong-ko, yang seperti sudah
sangat ia kenal.
Sekembalinya ia menjadi tak habis pikir cara bagaimana
Hong-ko bisa berkecimpung di antara benggolan kaum Lioklim
itu, juga ia belum mengetahui bahwa Hong-ko pun anak
murid dari Go-bi-pay pula.
Justru kali ini ia menuju ke utara untuk menjalankan tugas,
selang beberapa hari Liok-ni Tjindjin melaporkan padanya
bahwa sebutir di antara mutiara-mutiara mestika itu sudah
jatuh di tangan kaum Liok-lim dari Mo-dji-tje.
Rupanya ia tertarik oleh laporan itu, maka ia mengirim
seorang jagoan dari Pek-lian-kau untuk mencari tahu
kebenaran laporan tersebut, orang yang ia kirim adalah 'Gomo
Li" atau orang she Li bulu angsa, mungkin karena
kemahirannya dalam ilmu mengentengkan tubuh sungguh luar
biasa, laksana seenteng bulu angsa, maka ia dijuluki serupa
itu sampai nama aslinya sendiri terlupakan.
Go-mo Li terhitung tingkatan tua dari Ko-yang-pay dan
seperguruan dengan "Sip-tiat-hong' Ie Djan. ilmu silatnya
tinggi, belasan tahun yang lalu ia adalah begal tunggal yang
berkeliaran di sekitar Tiang-kang, belakangan ia baru
memasuki Pek-lian-kau dan diberi pangkat sebagai Tjiangkun'
atau jenderal, kini ia mengiringi Ang-koh membikin pergerakan
untuk agama mereka ke berbagai tempat.
Ketika Gui Djing-si dengan akal bulusnya menggondol lari
'Ting-hong-tju', mutiara anti angin, Go-mo Li dan Ang-koh
sebenarnya pun sudah bersembunyi di sekitar markas Mo-djitje,
begitu ia mengetahui Gui Djing-si kabur dengan
menggondol mutiara mestika, segera pula mereka menguntit
di belakangnya.
Memang Gui Djing-si lagi apes, maka di tengah jalan ia
sudah dicegat oleh Ang-koh dan hanya dengan tiga kali
gebrakan saja imam celaka itu sudah tak berdaya dan
menyerahkan mutiaranya yang ia dapat dari mengakali orang.
Siapa tahu bahwa belalang menangkap tonggeret dikuntit
burung gereja di belakangnya, malam itu juga Gui Djing-si
dibawa Bun Sui-le pergi mencari padanya hingga akibatnya
terjadilah pertarungan ram?i seperti apa yang telah
diceritakan di depan.
Pertarungan yang tidak sampai tuntas itu disebabkan Angkoh
ada janji dengan Hian-hong Totiang, maka ia tidak ingin
bertempur terus, sebaliknya Bun Sui-le kuatir kalau si gadis itu
masih mempunyai kawan yang mengumpet di sekitar situ,
maka ia pun tidak mengejar, ia hanya balik masuk ke dalam
rumah gubuk dimana tadi Ang-koh tinggal untuk
memeriksanya, tanpa disengaja ia menemukan sebuah pening
besi, barang ini ialah apa yang disebut 'Thian-hu' oleh orang
Pek-lian-kau, ialah barang yang hanya dimiliki oleh pemimpin
dari agama liar itu, barang itu gunanya untuk menunjukkan
kedudukan pemegangnya di antara sesama anggota agama.
Oleh karena kehilangan pening besi yang sangat penting
itu, maka belakangan Ang-koh mengumpulkan Liok-ni Tjindjin
dan Go-mo Li untuk mengadakan rapat di atas kapal yang
mempunyai ruangan susun itu, dengan tugas supaya mereka
mencari kembali 'Thian-hu' yang hilang itu.
Mengenai janji pertemuan antara Ang-koh dengan Tjianpwe
seperguruan mereka, Hian-hong Totiang, hal ini
disebabkan karena ia mendengar di samping Ie Djan dan
kawan-kawan yang dikirim untuk mengawal mutiara mestika,
diam-diam Hian hong Totiang diundang pula sebagai
pelindungnya. Ang-koh tidak gentar terhadap le Djan dan kawan-kawan,
namun ia jeri kepada Hian-hong Totiang, oleh sebab itu ia
berjanji untuk bertemu dengannya, maksudnya ialah
memohon Hian-hong supaya jangan ikut campur tangan.
Namun Hian-hong yang sudah mempunyai kedudukan baik
dalam kalangan persilatan, ia tidak ingin melakukan perbuatan
yang mengingkari peraturan Kangouw, malam itu ia tidak
pergi menemui Ang-koh menurut apa yang telah dijanjikan,
sebaliknya ia memerintahkan le Djan berangkat setengah hari
lebih ga-sik, sudah itu baru ia menyusul untuk memapak Angkoh
dengan maksud menasehatinya jangan turun tangan.
Tak ia duga, begitu iring-iringan kereta sampai di hutan
Tjo, mereka sudah kena diingusi oleh Teng Hong-ko dan
kawan-kawan, hingga kereta nomor tujuh kena dilarikan.
Apabila kemudian Hian-hong Totiang pun sampai di hutan
itu, namun Hong-ko sudah telanjur kabur.
Sedang Giok-bin-yao-hou waktu nampak Hian-hong, segera
ia mengenali kaum Tjianpwe yang telah datang, karena
gurunya dengan Hian-hong mempunyai hubungan baik, ia pun
mengetahui kelihaian Hian-hong, maka seketika itu juga ia
lantas angkat kaki, sedang Hian-hong pun tidak mengejarnya,
bahkan ia mengaku pada le Djan sebagai seperguruannya.
Kala itu masih ketinggalan Yan Ie-lam suami isteri yang
masih belum bisa meloloskan diri, sedang Hian-hong berniat
meringkus mereka untuk memberi pertanggung-jawabannya
kepada Tjhi Djin-ho, tak terduga sekejap itu Ang-koh pun
muncul. Sebenarnya gadis itu lagi mendongkol karena imam tua itu
tidak menepati janji pertemuan mereka, waktu bertemu ia
sudah dapat menduga imam di depannya ini tentu ialah Hianhong
Totiang, berbareng itu ia pun mengetahui kereta ;udah
dilarikan orang, maka makin mengkal hatinya. Karena itu juga,
maka sewaktu ia melihat Hian-hong hendak mengejar Yan Ielam
berdua, lantas ia sengaja membikin susah imam tua itu, ia
minta agar mereka berdua itu dilepaskan pergi.
Dengan tindakannya itu pertama-tama ia hendak
membiarkan Hian-hong kehilangan keretanya tanpa ada
seorang pun penjahat yang ditangkapnya, dengan demikian
sulitlah baginya mempertanggung-jawabkannya. Kedua,
karena pada malam itu di Pek-hoa-ho ia sudah mendapat
kabar bahwa Yan Ie-lam adalah wakil pemimpin dari Ang-tingkau
di Soatang yang memuja Tjosu yang sama dengan Pekliankau. maka sekalian ia memberikan jasa baiknya terlebih
dahulu. Yan le-lam sendiri yang bisa lolos dengan gampang, ia pun
merasa terheran-heran oleh sebab itu.
Sebenarnya Ang-koh bermaksud agar muatiara mestika
yang kedua pun bisa sekalian diperolehnya, tak ia duga
rencananya gagal bahkan pening besi 'Thian-hu' yang ia bekal
malah hilang, oleh karena itu ia lalu mengumpulkan pemimpin
Pek-lian-kau setempat untuk merundingkan bagaimana
menangkap Giok-bin-yao-hou untuk memperoleh kembali
'Thian-hu' miliknya, dengan begitu ia tidak sampai mendapat
teguran dari Kau-tju atau ketua agama mereka.
Liok-ni Tjindjin dan Go-mo Li yang mendapat tugas
melaksanakan penangkapan itu, mereka mendapatkan kabar
bahwa Giok-bin-yao-hou sudah kabur menuju ke Mo-dji-tje,
maka kedua orang itu lantas mengerahkan pengikut-pengikut
mereka dari berbagai kalangan dan berbondong-bondong
mengeluruk ke Mo-dji-tje, hingga akibatnya Liok Ing, Mo Djit
dan banyak lain-lainnya dibunuh habis.
Waktu itu sebenarnya Giok-bin-yao-hou justru sampai di
luar markas Mo-dji-tje, tetapi begitu menampak pasukan besar
yang membanjir, seketika itu juga ia kabur, oleh sebab itulah
Go-mo L i menubruk tempat kosong.
Begitulah kisah mengenai si gadis, Ang-koh. Sementara itu,
Teng Hong-ko yang ikut Yan Ie-lam berdua kembali ke Pekhoa

Tiga Mutiara Mustika Karya Gan Kl di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ho, untuk beberapa lama ia tinggal di tempat ini.
Pada suatu pagi hari. Teng Hong-ko berjalan-jalan ke bukit
di sebelah belakang kediaman mereka. Waktu itu kabut pagi
baru saja buyar, burung-burung ramai berkicauan, ia
memandang ke arah Pek-hoa-ho atau sungai bunga putih, air
sungai yang bening laksana cermin dihiasi oleh sinar sang
surya yang menyorot kemerah-merahan, mulai menjulang ke
angkasa raya di sebelah timur, sinar matahari yang menyorot
menembus gumpalan awan membuat bumi yang luas menuju
ke suasana yang ramai saja.
Selagi Hong-ko menikmati pemandangan alam yang cantik
indah itu, tiba-tiba ia melihat di tepi sungai sedang berdiri
seorang gadis dengan potongan langsing menarik laksana
bidadari dari kayangan.
Gadis itu berdiri mungkur, agaknya masih belum
mengetahui bahwa dirinya sedang diincar orang di atas bukit,
terlihat ia sedang berjongkok dan dengan mencerminkan diri
di air sungai ia tengah menyisir rambutnya yang hitam
gombyok, sepasang tangannya tertampak sebatas
pergelangan tangan, putih laksana salju dan memakai dua
gelang, pinggangnya yang ramping menggiurkan membikin
hati Hong-ko berdebar dan jantungnya berdenyut.
"Di perkampungan ini yang tinggal semuanya laki-laki yang
tegap gagah, darimana bisa terdapat seorang gadis secantik
ini?" begitu ia berpikir dan bertanya-tanya pada dirinya sendiri.
Tengah ia terpesona, tiba-tiba gadis tadi kebetulan
menoleh, waktu ia lihat Hong-ko sedang memandang
padanya, ia bersuara kaget. Mengetahui perbuatannya sudah
kepergok orang, lekas Hong-ko turun kembali dari bukit itu
dan sedianya hendak terus pulang.
Tak ia duga, tiba-tiba bayangan orang berkelebat, dalam
sekejap saja gadis tadi ternyata sudah berdiri di hadapannya.
"Eh. kau mengintai orang lagi menyisir, begitu saja kau
lantas hendak mengeluyur pergi?" tegur gadis itu dengan
suara merdu. Bun Sui-le mengajak Hong-ko ke tepi sungai.
Hong-ko jadi terperanjat ketika tahu-tahu orang sudah
berada di depannya.
Apabila kemudian ia menegasi, maka ia menjadi terkesima.
Gadis itu berkulit putih bersih dan cahaya mukanya terang,
kedua matanya jeli bersinar tajam. Tersorot oleh sinar
matanya itu, seketika ia seperti terpengaruh dan tak berani
memandang terus ke arah gadis itu.
Hong-ko insyaf gadis ini pasti ahli silat juga, maka ia tak
berani sembarangan.
"Harap nona suka memaafkan," katanya lekas. "Tjayhe
(aku, kata-kata yang merendah) tadi tidak lain sedang
berjalan-jalan, sesungguhnya tidak sengaja hendak mengintai
nona sedang menyisir."
Dalam pada itu, rupanya gadis itupun sedang mengamatamati
padanya. "Siapakah saudara, sudah dua hari aku di sini, mengapa
masih belum pernah berjumpa dengan kau?" tanyanya tibatiba
sambil melangkah maju.
Atas pertanyaan itu. seketika Hong-ko menjadi bingung dan
tak dapat menjawab.
"Ehm, mengapa tak kau jawab?" terdengar gadis itu
mendesak pula. "Tjayhe bernama Siau Kim-kong, baru kemarin datang ke
sini bersama Yan-toako!" terpaksa Hong-ko menyahut.
"Oh, kiranya adalah Teng Hong-ko Hengte, beruntung
sekali kita bisa bertemu" tiba-tiba gadis itu berkata dengan
tertawa. Begitu wajar tertawanya, sedikitpun tiada tanda dibuatbuat
dan genit, seperti sebagai tanda sambutan baik terhadap
Hong-ko. Belum pernah ada kesempatan Hong-ko bergaul dengan
lawan jenisnya, oleh karenanya kini ia menjadi kikuk dan
serba salah karena kebohongannya terbongkar. Tetapi
pandangan mata gadis itu ternyata semakin tajam menatap
Hong-ko, hingga pe
138 muda itu menunduk makin dalam karena kikuknya.
"Teng-hengte, katanya kau adalah seorang lelaki yang luar
biasa, mengapa menampak aku menjadi begitu malu-malu,
apa kau takut padaku?" tiba-tiba gadis itu menjawil lengan
bajunya. "Aku bernama Bun Sui-le, marilah kita omong-omong
sambil duduk di atas batu besar di tepi sungai itu."
Mendengar siapa orang dihadapannya ini, Hong-ko menjadi
terkejut. "Eh. kiranya dia inilah yang bernama Giok-bin-yao-hou Bun
Sui-le, mengapa ia bisa datang di Pek-hoa-ho sini?" begitulah
Hong-ko berpikir. "Kabarnya ia adalah seorang kepala begal di
daerah utara Siamsay, tetapi melihat orangnya, siapa bisa
percaya dia ini seorang iblis wanita yang membunuh orang
tanpa berkedip!"
"Kiranya adalah Bun-tjetju." katanya kemudian sembari
memberi hormat. "Harap maafkan aku yang kurang hormat,
kapankah Tjetju datang ke sini?"
"Hari itu kau melarikan kereta di luar hutan, wanita yang
berkedok itu bukankah diriku!" sahut Giok-bin-yao-hou
sembari berjalan menuju ke tepi sungai. "Belakangan aku
menuju ke Mo-dji-tje dengan tujuan untuk mencari pemimpin
dari Liong-bun-pang, tak tahunya Mo-dji-tje sudah kena
diobrak-abrik oleh gerombolan Pek-lian-kau, baru setelah itu
aku menuju ke sini untuk memberi kabar, tidak terduga Tjukat
Beng dan kawan-kawan siang-siang sudah datang lebih
dulu daripadaku."
Mendengar keterangan itu, barulah Hong-ko tahu bahwa
wanita berkedok yang memakai cambuk bukan lain ialah Giokbinyao-hou, apabila hari itu tidak berkat dia menahan 'Siptiat-'
>ng' le Djan, maka tidak mungkin dengan begitu
gampang dirinya bisa melarikan kereta, karenanya dalam hati
lantas timbul perasaan terima kasih
Sementara itu Bun Sui-le sudah duduk di bawah pohon Liu
yang rindang sedang Hong ko duduk sambil bersandar pada
batu padas. "Hari itu berkat bantuan Tjetju, Tjayhe masih belum
sempat menghaturkan terima kasih, sungguh menyesal
sekali," ujar Hong-ko padanya.
"Saudara telah memperoleh sebutir mutiara mereka, betu!
Dukan?" dengan tertawa Bun Sui-le menyahut.
Terkejut sekali Hong-ko, kali ini ia berhasil merampas Pihwetju dari dalam semangka, yang mengetahuinya melulu
Yan le-lam suami isteri, tak ia duga Liok-lim wanita mi
ternyata sudah mendapat tahu juga, melihat orang memang
lihai, maka lekas Hong-ko coba mengalihkan pembicaraannya,
la tak berani menyinggung soal Po-tju lagi.
Agaknya Bun Sui-le pun mengetahui pikiran orang, maka ia
pun tidak bertanya lebih jauh.
Setelah mereka berdua bercakap-cakap sejenak, tiba-tiba
Hong-ko teringat sesuatu.
"Bun-tjetju, Tjayhe tempo hari lewat Un-ho (Terusan besar)
kebetulan mengintai sebuah kapal sebelah, ternyata ada
seorang gadis yang berusia masih muda sekali, ada orang
menyebut padanya Ang-koh, apakah Tjetju mengetahui asalusul
gadis itu?" tanyanya.
Atas pertanyaan orang itu, Bun Sui-le memandang si
pemuda. "Apakah kau merasa heran karena gadis itu" Tetapi
sungguh tidak kecil asal-usulnya!" sahutnya kemudian.
Habis berkata, ia merogoh sakunya dan mengeluarkan
sebuah benda terus diserahkan pada Hong-ko.
"Coba kau lihat," sambungnya lagi. "Barang ini ialah apa
yang kaum Pek-lian-kau sebut 'Thian-hu'. bahkan adalah
semacam tanda pengenal dari pemimpin mereka, gadis yang
kau lihat itu oleh anggota Pek-lian-kau di sekitar Tiang-kang
dipanggil sebagai 'Sian-koh" (nona dewi), kedudukannya
dalam perkumpulan agama mereka sangat tinggi, aku harap
kau tidak akan bertemu dia lagi."
Apa yang disebut 'Thian-hu" itu tidak lebih hanya sebuah
pening besi yang terukir dengan mantera-mantem. warnanya
ki hitam-hitaman dan mengkilap terkena sinar matahari.
Saat itu pikiran Hong-ko sedang melayang, mehiynnjj jmili
ke masa anak-anak, yakni kepada kawan ciliknya. IV k Ini' dji
Waktu perpisahan mereka yang terakhir, ia ikut ayahnya hn-,i
bung dengan 'Thong-thian-kiu-tju' Ong Bing, ayah ling dji, IVi
Ting-djoan menjabat Kun-su atau kepala staf dalam pcrkuiupul
an Pek-lian-kau, kalau begitu, tampaknya bukan mustahil "m
koh ini ialah Pek Eng-dji adanya.
Menampak pemuda itu sedang melamun tanpa menghirau
kan sekitarnya, Bun Sui-le tersenyum.
"Lagi apakah kau" Apakah sedang mengenangkan v.uli-,
itu?" godanya.
Karena banyolan orang, Hong-ko menjadi jengah, miik.i
nya berubah merah.
"Tjetju jangan menertawakan aku." lekas ia menjawab
"Tadi Tjayhe mendengar Tjetju bilang jangan ketemukan dia
aku lalu berpikir, apakah ia itu betul mempunyai tiga kepala
dan bertangan enam?"
Ketika sedang asyik mereka berbicara, tiba-tiba mereka di
kagetkan oleh seruan yang datang dari belakang mereka,
"Baru-, sekali, baru kamu berkenalan sudah begitu asyik!"
Kiranya yang membentak dari belakang itu ialah It-tun Ki
su Si Liang. Kali ini kedatangan Giok-bin-yao-hou Bun Sui-le ialah untuk
menemui pemimpin dari Liong-bun-pang Tju-kal Heng dan
lain-lain benggolan dari sekitar Tjwan-siam, oleh karena itu Si
Liang menyediakan sebuah kamar tersendiri pada ?buah
rumah di luar perkampungan mereka.
Bun Sui-le terhitung tokoh nomor satu atau dua dari lunr
golan kaum Liok-lim di daerah barat-laut, keganasannya d m
ki pandaiannya siapa saja tenfu jeri padanya, maka tiada yang
b rani ayal menghadapinya.
Kedatangan Hong-ko kemarin dengan terburu-buru, ia
masih belum sempat berkenalan dengan Giok-bin-yao-hou,
kini kena digoda oleh perkataan Si Liang, keduanya menjadi
jengah. "Ki-su, kau begini sembrono, sampai apa yang hendak aku
tanyakan pada Teng-hengte menjadi terputus oleh karena
kau," ujar Bun Sui-le.
Melihat orang berkata dengan sikap wajar. Si Liang tak
berani menggoda lagi.
Maka lekas ia berkata, "Yan-tayhiap ada di dalam. Ia
sedang mencari Teng-hengte!"
Kemudian mereka bertiga lalu bersama-sama kembali ke
dalam perkampungan.
Begitulah, dalam dua hari ini begitu ada waktu senggang,
segera Bun Sui-le mencari Teng Hong-ko, kadang-kadang
membicarakan ilmu silat, kesemuanya Bun Sui-le jauh lebih
mengerti dan lebih banyak pengalaman, bahkan kiam-hoatnya
yang tunggal 'Thian-mo-kiam-hoat' adalah ajaran tunggal dari
Thian-san-pay. "Bun-tjetju, mengapa tempo hari Hian-hong Totiang
mengaku kau sebagai seperguruannya?" tanya Hong-ko.
"Cerita itu cukup panjang," sahut Bun Sui-le. "Selamanya
belum pernah aku menceritakan hal itu kepada orang lain.
Teng-hengte harus berjanji pegang rahasia, baru aku bisa
memberitahukan padamu."
"Tjetju adalah ahli Thian-san-kiam-hoat. terhadap pintu
perguruan mengapa harus secara sembunyi-sembunyi
begitu?" ujar Hong-ko dengan tak mengerti.
Atas perkataan orang itu, muka Bun Sui-le berubah merah
"Itulah sebabnya aku hendak merahasiakannya," katanya
kemudian dengan menunduk. "Orang-orang Kangouw
sekarang ini tiada yang mengetahui asal-usulku, sebabnya
ialah selamanya belum pernah aku memberitahukan pada
orang." Ia mendekati Hong-ko, dengan pandangan matanya yang
menarik dan mengandung kasih ia melanjutkan pula.
"Teng-hengte, harap jangan kau katakan pada orang lain,
aku sebenarnya she Lian, Bun Sui-le hanya nama sesudah aku
berkelana, guruku ialah Hong-lui Tjindjin, belakangan ia telah
bertirakat ke Thian-san, dengan Ang-ie Lihiap mereka menjadi
sahabat kekal dalam dunia persilatan dan sama-sama berdiam
di atas gunung itu, hanya yang seorang di sebelah utara dan
yang lain di selatan, guruku berdiam di Hong-lui-koan sebelah
selatan, ia telah mendapatkan ajaran persahabatan 'Thian-mokiamhoat' yang tunggal dari Ang-ie Lihiap dan kemudian
diturunkan pula padaku, dengan pesan harus memegang
teguh dan taat pada larangan perguruan."
"Tak terduga, sesudah aku turun gunung, aku menemukan
musuh yang pernah membunuh orang tuaku, seketika itu juga
aku melanggar pantangan perguruan dan balas membunuh
mereka hingga akhirnya aku hendak digerebek oleh kawanan
pemimpin liok lim didaerah barat laut, dengan sekaligus pula
akhirnya aku dapat mengalahkan mereka semua. Waktu itu
'Hoat-giam-ong' Mo Djit berlawanan dengan aku, tetapi ia
kena aku bekuk namun tidak kubunuh, hanya aku mengusir
dia dari sarangnya di Djit-hong-san, dengan begitu aku lantas
merebut sarangnya itu dan jadilah aku kepala bandit dari Lioklim.
Karena aku takut menodai nama peguruan, oleh sebab itu
aku tidak berani mengunjukkan asal-usul diriku yang
sebenarnya, aku mengaku pada orang sebagai anak murid
Khong-tong-pay."
Setelah mengetahui riwayat hidupnya yang ringkas, Hongko
merasa wanita ini walaupun melakukan pekerjaan
membunuh dan merampok, tetapi ia sedikitnya masih sadar
bahwa perbuatan itu bukan pada tempatnya, terhadap
perguruannya ia masih menaruh hormat dan takut pula, orang
bilang dia begitu kejamnya, namun mungkin masih dapat
diinsyafkan untuk meninggalkan pekerjaan Liok-lim yang tak
bersih itu. Maka lantas ia buka suara pula. "Kiranya Tjetju berasal dari
Thian-san-pay," katanya. "Tetapi kini tersesat di dalam
kalangan Liok-lim, pantas kau menyembunyikan perguruan
dan tak mau berterus terang, Tjayhe sungguh ikut
menyayangkan diri Tjetju!"
"Betulkah kau ikut menaruh simpati padaku?" tiba-tiba Bun
Sui-le bertanya. "Belum pernah aku mendengar orang berkata


Tiga Mutiara Mustika Karya Gan Kl di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

begitu padaku, mereka selamanya tersenyum dan mengumpak
padaku, hanya saudara seorang betul-betul adalah
sahabatku!"
"Meskipun Tjayhe lebih muda dari kau, namun masih
paham juga akan kebenaran dari orang-orang dunia
persilatan." kata Hong-ko juga. "Tjetju bersedia mengikat
persahabatan dengan aku, sudah tentu di luar harapanku."
"Betulkah perkataanmu?" dengan girang Bun Sui-le
menggenggam tangan si pemuda. "Berapa usiamu tahun ini"
Tampaknya kau masih harus panggil Tjitji padaku!"
Kini Hong-ko tidak kikuk seperti dua hari yang lalu, ia
hanya merasa tindak-tanduknya dan senyumannya menarik
dan suka padanya, maka ia harap bisa lebih banyak
berdekatan dengan dia.
Sesudah Hong-ko menerangkan umurnya, ternyata Bun
Sui-le tiga tahun lebih tua dari dia.
"Tjitji!" begitulah ia berseru pada Bun Sui-le.
Bukan main rasa girang Bun Sui-le, sinar matanya kemalumaluan
tetapi mukanya berseri-seri.
"Hiante, selanjurnya harap kau lebih berdekatan dengan
aku, apabila yang aku perbuat salah, jika kau yang
menegurnya bagaimanapun aku tak mungkin gusar,"
sahurnya. "Terus terang saja, kalau bukan kau, Hiante, siangsiang
aku sudah akan merampas kabur Po-tju yang ada dalam
sakumu itu."
Karena perkataan terakhir itu, Hong-ko jadi terperanjat.
Melihat wajahnya yang berubah, Bun Sui-le dapat menduga
isi hatinya. "Tak usah kau kuatir," ia menghibur. "Apa kau masih tidak
percaya padaku?"
Dalam saat demikian ini, Hong-ko tidak ingin mengaku
bahwa dalam sakunya tersimpan sebutir mutiara, tetapi tak
berani pula ia mencoba berdusta, karena itu seketika ia jadi
me-lenggong. Nampak sikap orang itu, Bun Sui-le tertawa cekikikan.
"Lihat sikapmu yang malu-malu seperti anak perempuan saja,
coba kau lihat apa ini yang ada dalam tanganku!" ujarnya
kemudian. Sesudah itu ia segera merogoh ke saku bajunya, kemudian
ia membuka genggaman tangannya, maka sekejap sinar
gemerlapan mencorot menyilaukan pandangan mata, di
tengah telapak tangannya ternyata adalah sebutir mutiara
mestika. Bukan main terkejutnya Hong-ko, lekas ia meraba ke
sakunya, namun mutiaranya ternyata sudah lenyap, ia
menjadi bingung sejak kapan dan cara bagaimana mutiara itu
bisa berpindah tangan, saking gugupnya ia menjadi merah
padam dan memandang orang dengan melongo.
"Hiante, kini sudah kau ketahui bahwa aku sungguh baik
hati terhadapmu," terdengar Bun Sui-le buka suara dengan
lagu suara yang enak didengar. "Mutiara yang harganya tak
ternilai ini baiknya kau simpan baik-baik, jangan sampai
diketahui orang lain, mereka tidak mungkin sama seperti aku
bisa mengembalikan pada pemiliknya!"
Cepat saja Hong-ko menerima Po-tju itu. dengan pelahanlahan
ia memanggil, "Tjitji yang baik!"
Sebenarnya ia hendak mengucapkan beberapa patah kata
untuk menyatakan rasa terima kasihnya, tetapi entah
mengapa hatinya bergoncang keras, ia tak mampu
mengucapkannya.
Sementara itu, tiba-tiba muka Bun Sui-le berubah menjadi
muram durja. "Hiante," katanya. "Malam ini juga aku sudah harus
meninggalkan Pek-hoa-ho, entah kapan baru kita bisa bersua
kembali!" Sambil berkata, tenggorokannya menjadi sesak, suaranya
pun berubah berat.
Hong-ko masih mengira orang lagi berguyon padanya.
"Apa yang sudah kau katakan," tanyanya. "Jangan kau
dustai aku, kita belum merundingkan baik-baik apa yang
hendak kita bicarakan di sini, apa mungkin mereka
membiarkan kau berangkat tergesa-gesa?"
Ternyata Hong-ko tidak tahu bahwa beberapa hari ini, para
benggolan telah mendapat kabar bahwa sebabnya gerombolan
Pek-lian-kau mengobrak-abrik Mo-dji-tje tujuannya
sebenarnya ialah hendak mencari Giok-bin-yao-hou buat bikin
perhitungan, karena ia membawa kabur pening besi, 'Thianhu',
benda ini adalah tanda pengenal dari pemimpin Pek-liankau,
maka Ang-koh semula hendak mengeluruk sendiri ke
Pek-hoa-ho buat mencari Bun Sui-le, tetapi sementara itu
telah mendapat laporan bahwa Tjhi Djin-ho masih berdiam di
Hoa-san dan Tjin-tju-goan atau topi bertabur mutiara tak lama
lagi akan dibawa ke Soatang oleh dua pendekar dari Khongtong
pay. Karena itu Si Liang mengumpulkan para pemimpin untuk
berunding, ia mendapatkan satu akal 'It-tjio-dji-niau' atau satu
batu dua burung, terangnya sekali tepuk dua lalat, ialah
dengan meminta agar Giok-bin-yao-hou suka mengintai ke
Hoa-san, markas yang berada di Djit-hong-san di sekitar
pegunungan Hok-gu-san, terhadap tempat-tempat itu ia tentu
sangat paham sekali, dengan begitu bila ia sudah
meninggalkan Pek-hoa-ho, seumpama Ang-koh mengeluruk
datang, boleh dengan alasan Bun Sui-le tidak ada di tempat
mereka, dengan begitu baru bisa menghindarkan permusuhan
dengan kaum Pek-lian-kau. kedua kalau Bun Sui-le sudah
berhasil mengintai gerak-gerik Tjhi Djin-ho, segera mereka
akan berangkat buat mencegat Tjin-tju-goan.
Dengan cara mengatur kaum Liok-lim Tjwan-siam ini
sebenarnya melanggar kejujuran dan setia kawan dalam
kalangan Kangouw, karena 'Hoat-giam-ong' Mo Djit dan 'Pekbinhou' Liok Ing tempo hari justru tewas di tangan Liok-ni
Tjindjin. seharusnya mereka berusaha membalaskan sakit hati
kawan-kawan mereka, namun mereka ternyata berbuat
sebaliknya. Tetapi begitu menyebut Pek-lian-kau, di antara mereka
sudah banyak yang jeri terhadap pengaruh dari agama liar itu,
ditambah keterangan Yan Ie-Iam yang mengisahkan
pengalamannya bahwa kepandaian Ang-koh begitu hebat,
sampai Hian-hong Totiang dari Khong-tong-pay harus
mengalah padanya, maka tiada yang berani coba-coba
mengusiknya, mereka lebih suka mempedayai Bun Sui-le pergi
dari tempatnya, untuk menghindarkan permusuhan dengan
Ang-koh. Sudah tentu Bun Sui-le memahami maksud tujuan mereka,
semula ia sudah hendak mengumbar kegusarannya, tetapi
setelah dipikir lagi kalau sampai bentrok dengan kawanan
pemimpin Liok-lim ini juga tiada manfaat baginya, akhirnya ia
memutuskan berangkat dari situ untuk bertindak lebih jauh.
Sesudah Bun Sui-le menceritakan rahasia di belakang layar
itu, tak tertahan lagi Hong-ko menjadi penasaran, timbul
ketidakadilannya.
"Ini usul siapa, hanya seorang pemimpin wanita dari satu
agama liar, mengapa harus begitu takut padanya!" dengan
gemas ia berkata.
Namun Bun Sui-le sudah menahannya.
"Hiante tak perlu gusar," ujarnya. "Kali ini adalah Yan lelam
yang mengundang kedatangan berbagai pemimpin Lioklim
itu, kini mereka berdua tak berani berlawanan dengan Pekliankau, siapa lagi yang berani coba-coba mengusiknya. Tapi
aku pun mengetahui kesukaran mereka, karena mereka suami
isteri adalah pemimpin dari Ang-ting-hwe di Soatang."
Atas perkataan orang itu, tampak Hong-ko terdiam.
"Kabarnya Kau-tju dari Ang-ting-kau pun berasal dari Pekliankau," terdengar Bun Sui-le melanjutkan lagi. "Dengan
sendirinya mereka dipesan agar jangan bermusuhan dengan
Pek-lian-kau. Hanya saja Tju-kat Beng dan kawan-kawan
dengan mata kepala sendiri mengetahui saudaranya sendiri
dari daerah Tjwan-siam dibunuh orang, mereka sama sekali
tidak tergerak perasaannya, sungguh keterlaluan!"
Setelah menceritakan hal itu, dengan rasa masih gemas
Bun Sui-le kembali ke kamarnya.
Malam itu juga, Teng Hong-ko yang tidur di atas sebuah
loteng kecil, dari jendela memandang air sungai, sinar sang
dewi malam yang mencorot terang membikin air sungai
menjadi berkilauan.
Selagi ia layap-layap hendak tertidur, mendadak ada angin
mendesir kencang dari luar jendela, menyusul itu dengan
cepat sekali melompat masuk seorang.
Tanpa ayal Hong-ko segera melompat bangun, ia
menyambar pedangnya terus dilolos.
Namun bila kemudian ia menegasi, ternyata yang
melompat masuk itu bukan lain ialah Bun Sui-le, jarinya
menutup bibirnya dengan maksud agar Hong-ko jangan buka
suara. Lekas Hong-ko menutup rapat daun jendela.
"Le-tjitji, sudah jauh malam, ada keperluan apakah?"
tanyanya kemudian dengan bisik-bisik.
"Lekas kau berpakaian dan ikut aku berangkat!" kata Bun
Sui-le. "Tju-kat Beng dan Liu Ut berdua sudah mengetahui
bahwa kau telah berhasil merampas sebutir mutiara, dengan
segera mereka akan naik ke sini untuk bikin perhitungan
padamu, kau harus berhati-hati!"
Hong-ko menjadi terkejut atas berita itu, karena soal
perampasan Po-tju itu adalah Yan Ie-lam suami isteri yang
suruh ia menutup rahasia.
Sementara itu Bun Sui-le mendesak pula.
"Lekas, kalau terlambat mereka pasti akan datang, lekas
kau berangkat bersama aku!" pintanya.
Seketika itu Hong-ko ternyata tak sanggup mengambil keputusan,
ia bergegas menggendong buntalannya.
"Kita menuju kemana" Apa mereka tidak mengejar?"
tanyanya di samping telinga orang.
"Lekas ikut aku!" begitulah Bun Sui-le menjawab dengan
singkat. Sesudah itu mereka mendorong daun jendela terus
melompat keluar.
Di luar sinar bulan purnama, lekas mereka mengitar ke
belakang perkampungan, mereka mendaki bukit di belakang.
Dengan ilmu entengi tubuhnya, Bun Sui-le menggandeng
tangan Hong-ko terus berlari menuju ke atas. Pada malam
hari mereka seperti dua ekor burung garuda yang terbang
cepat, se-dikitpun tanpa menerbitkan suara.
Melihat kepandaian berlari cepat dengan enteng Bun Sui-le
masih di atas dirinya, diam-diam Hong-ko merasa kagum.
Tidak berselang lama, mereka sudah sampai di dataran
atas bukit, di depan mereka penuh puncak yang sandarmenyandar,
baru setelah itu Bun Sui-le melepaskan
cekatannya, ia masih terus membawa Hong-ko berlari menuju
ke barat secepat terbang.
Setelah lewat sekira dua jam, mereka sudah meninggalkan
Pek-hoa-ho sejauh belasan li.
Saat itu fajar sudah hampir menyingsing, untuk melepaskan
lelah mereka mengaso di bawah pohon yang rindang.
"Tjitji, apakah kau hendak ke Hoa-san untuk mengintai
gerak-gerik Tjhi Djin-ho?" tanya Hong-ko.
Atas pertanyaan itu, Bun Sui-le mengangguk
membenarkan. "Kita telah bercapek-capek lari kian kemari untuk
membegal Tjin-tju-goan, kini hanya kau yang mendapatkan
sebutir mutiara, sebutir lainnya sudah jatuh di tangan Angkoh,"
katanya kemudian. "Kalau kita bisa menuju ke Kim-sokoan
di Hoa-san untuk merebut sekalian sebutir Po-tju yang
masih ketinggalan itu dari Tjhi Djin-ho, barulah perjalanan kita
tidak sia-sia."
Akan tetapi Hong-ko ragu-ragu dengan ucapan orang.
"Tjitji," katanya. "Aku kuatir beberapa Kiam-khek dari
Khong-tong-pay yang tinggal di Hoa-san, kesemuanya
termasuk orang-orang yang tidak lemah, hanya dengan
kekuatan kita berdua, mungkin masih belum mampu
memperoleh mestika itu."
"Mengapa Hiante mengunggulkan kepandaian orang lain
dan merendahkan kepintaran sendiri," sahut Bun Sui-le,
"Hendaklah diketahui bahwa Tjitjimu ialah anak murid dari
Thian-san-pay dan Hiante adalah jagoan dari Go-bi-pay,
apakah kita harus takut mereka?"
Tengah mereka berbicara, tertampak di bawah gunung ada
sedikit sinar api, mereka menduga tentu adalah tempat tinggal
orang, maka lantas mereka turun dengan pelahan bermaksud
meminta sedikit air untuk menghilangkan rasa haus.
Tak tahunya, setelah dekat baru mereka ketahui adalah
sebuah kuil yang dikelilingi dengan pagar tembok yang
kemerah-merahan, di tengahnya berderet dua pendopo
pemujaan dan masih ada sebuah ruangan patung Buddha.
Dari jauh mereka sudah mendengar suara-suara kentongan
yang ditabuh, tentu Nikoh yang berdiam dalam kuil itu sedang
beribadat pagi.
Bun Sui-le yang sudah banyak berpengalaman, ia mengerti
pantangan Kangouw : "Ketemukan kelenteng masuk
sembahyang, berjumpa dengan kuil jangan masuk".
Sebabnya ialah 'am-theng' atau kuil pemujaan bagi kaum
Nikoh tak bisa dibandingkan dengan kuil tempat Hwesio, ada
rahasia yang tak ingin orang luar mengetahuinya, apalagi kuil
Nikoh yang berada di tempat terpencil seperti ini. kalau Nikohnya
tidak memiliki sedikit kepandaian, mana berani dan tahan
terhadap gangguan penjahat dan pencuri.
Oleh karena itu diam-diam ia menyuruh Hong-ko membikin
enteng tindakannya, mereka tidak mengetok pintu depan,
tetapi mengitar ke belakang kuil, mereka melayang naik ke
atas pagar tembok.
Mereka melihat di atas ruangan susun pemujaan masih ada
sinar pelita yang kelap-kelip menyala, dengan gerakan 'Pekhodjiong-siau" atau bangau putih menjulang ke angkasa,
mereka meloncat menuju ke pagar kayu pada loteng
pemujaan itu, di situ Terdapat sebuah jendela bundar, dengan
berjinjit-jinjit mereka mendekati jendela itu dan mengintai ke
dalam. Demi melihat ke dalam, seketika itu juga Hong-ko menjadi
tercengang. Ternyata yang duduk di dalamnya bukan lain ialah gadis
yang tempo hari dijumpainya di atas kapal yang beruangan


Tiga Mutiara Mustika Karya Gan Kl di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

susun dulu itu, romannya rada mirip dengan Pek Eng-dji yang
ia kenangkan siang dan malam.
Dalam pada itu Bun Sui-le pun sudah mengenali siapa
orangnya, ia menoleh dan mengedipi Hong-ko, terus
menuding pula ke dalam.
Ketika kemudian Hong-ko melongok lagi, maka terlihat
olehnya dari sebelah dalam telah masuk pula seorang Nikoh
setengah umur memakai jubah longgar berbelah samping,
tindakannya antap, matanya bersinar, gampang orang
mengetahui ia adalah seorang padri yang memiliki ilmu silat.
Melihat kedatangan Nikoh itu, gadis yang disebut Ang-koh
berbangkit menyambutnya.
"Oh, Subo telah kembali!" ia menyapa.
"Sejak sore kemarin sudah kembali, karena Sian-koh
tertidur, maka tak berani aku membikin ribut!" sahut padri
wanita itu. "Apakah Biau-hoat Tjindjin dari Ang-ting-hwe ada
balasannya?" tanya si gadis pula.
"Ada." sahut si Nikoh sembari duduk. "Ia bilang semuanya
menurut." Tiba-tiba Ang-koh berbangkit mendekati si Nikoh.
"Apa si Liu Ut itu ada kabar balasan yang dibawakan
padamu?" dengan suara rendah ia bertanya lagi.
Mendengar nama Liu Ut, salah seorang benggolan yang
ikut hadir di Pek-hoa-ho, Hong-ko menjadi tergerak hatinya.
"Sian-koh. Liu-thotju telah menerima obat tidur itu, ia
berjanji malam ini juga merobohkan Giok-bin-yao-hou dan
membiarkan Sian-koh melenyapkan jiwanya," terdengar Nikoh
itu menyahut pula.
Atas jawaban itu Ang-koh tersenyum.
"Bagus, malam nanti harap Supoh membikin perjalanan
bersama aku ke Pek-hoa-ho!" ujarnya dengan mantap.
Sampai di sini Giok-bin-yao-hou tak bisa menguasai diri
lagi, api amarahnya memuncak, dengan sekali dupak ia bikin
terpentang daun jendela, menyusul itu dari luar terus ia
membentak, "Perempuan siluman dari Pek-lian-kau! Bun Sui-le
ada di sini, lekas keluar buat menerima kematianmu!"
Habis berkata senjatanya pun segera ia lolos terus
melompat maju. Karena kejadian yang sekonyong-konyong itu, Hong-ko
menjadi kaget, lekas ia mendekam di pinggiran talang rumah.
Dalam pada itu, sinar api di dalam loteng tadi dengan cepat
pun sudah padam hingga keadaan menjadi sunyi sepi sejenak.
Hong-ko mengerti keadaan sunyi itu tidak lebih hanya
pendahuluan dari akan datangnya hujan angin badai.
Ketika ia memandang lagi, ia lihat daun jendela sudah
rusak didepak Bun Sui-le tadi, sedang di dalam loteng tadi
gelap gulita tak tampak satu bayangan pun.
Mendadak ia mendengar ada suara angin mendesir,
menyusul mana dua sinar mengkilap menyambar keluar dari
kegelapan itu terus menuju ke muka Bun Sui-le.
Tetapi segera sudah terlihat ia melompat ke samping
sambil pedangnya menyampuk, seketika itu juga terdengar
suara jatuhnya logam yang gemerincing.
Dalam sekejap itu, sesosok bayangan hitam laksana anak
panah pun sudah melayang keluar dari jendela, berbareng itu
terlihat sinar padang berkelebat, dengan gerakan 'Lak-gwehuisiang' atau salju bertebaran di bulan enam, ujung
pedangnya dengan membawa titik-titik putih yang gemerdep
mengurung ke atas kepala Bun Sui-le.
Orang yang melayang keluar ini kemudian dapat dikenali
Bun Sui-le, bukan lain ialah Ang-koh itulah.
Giok-bin-yao-hiu sudah banyak berpengalaman dalam
pertempuran besar, oleh sebab itu begitu melihat am-gi atau
senjata gelap menyambar, ia insyaf segera juga orangnya
pasti menyusul sampai juga, maka tak berani ia ayal, Thianmokiam-hoat telah ia keluarkan, dengan tipu-tipu serangan
dari Thian-san-pay itu ia menangkis serangan musuh tadi
hingga menerbitkan suara karena beradunya senjata.
Serangan yang pertama tak berhasil, Ang-koh bergeser ke
samping dan menyusul menikam pula dengan gerak tipu 'Thiofianghian-eh' atau Thio Liang mempersembahkan sepatu.
Bun Sui-le tak berani gegabah, lekas ia melangkah maju
dan senjatanya memutar, dengan sedikit menekuk lutut ia
menangkis pula pedang lawan.
Begitulah silih berganti kedua orang itu saling rangsek di
atas genteng rumah, saking serunya pertarungan mereka
hingga membikin Hong-ko ikut berdebar-debar.
Tidak berselang lama, mereka ternyata sudah bergebrak
beberapa puluh jurus, dalam pada itu dari dalam loteng tibatiba
melayang keluar pula sesosok bayangan hitam.
"Perempuan liar darimanakah berani datang kemari
membikin kacau rumah sunyi ini, sungguh seperti nyamuk
menubruk api, cari mampus sendiri!" terdengar orang itu
membentak. Menyusul itu, tangannya bergerak, secepat kilat sebelah
tangannya menghantam Bun Sui-le.
Mendengar berkesiurnya angin, Giok-bin-yao-hou
mengetahui datangnya serangan, ia membalikkan pedangnya
untuk menyambut tangan orang.
Sudah tentu bayangan orang yang bukan lain adalah Nikoh
tadi, tidak berani mengadu tangannya dengan senjata tajam,
ia menekan ke bawah tangannya terus mendadak menonjok
lagi ke pinggang lawan.
Sementara itu Bun Sui-le sedang memutar senjatanya
menyambut pedang Ang-koh, dengan demikian ia harus
menghadapi keroyokan dua orang yang menyerang dari dua
jurusan. Menyaksikan keadaan berbahaya itu diam-diam Hong-ko
menguatirkan keselamatannya.
Namun belum sampai ia bertindak, ia lihat dengan tepat
Bun Sui-le membalik, berbareng itu secepat kilat sebelah
kakinya menendang.
Nikoh itu pun sama sekali tidak menyangka lawannya
ternyata bisa begitu lihai, cepat ia harus menarik kembali
serangannya tadi namun ilmu tendangan Bun Sui-le cukup
terkenal dan disegani, dengan menyambarnya satu bintik
putih, kaitan tajam di ujung sepatunya sudah berhasil mampir
di jubah Nikoh itu hingga segera terkait robek lebar.
Masih mujur bagi Nikoh itu yang cepat bisa menarik
kembali serangannya tadi, kalau tidak, lengannya akan kena
digasak oleh serangan tadi.
Rupanya Ang-koh sangat terkejut oleh tipu serangan yang
luar biasa itu hingga kawannya kena dipecundangi, lekas ia
kencangkan pedangnya untuk memaksa Bun Sui-le tak sempat
mendesak si Nikoh lebih jauh.
Kini Nikoh atau Hwesio wanita itu pun tak berani sembrono
lagi, ia merobek sekalian lengan bajunya yang terkait robek
tadi, sudah itu pada waktu Bun Sui-le sedang menyambut
serangan senjata dari kawannya, tak ayal lagi segera ia
mengeluarkan pukulan 'Liok-hap-tjio' yang membagi dari dua
jurusan kanan dan kiri untuk menggempur Bun Sui-le dari
samping. Karena keroyokan ini, mau lak mau Giok-bin-yao-hou
merasa kerepotan juga oleh beberapa kali pukulan si Nikoh.
Dalam sekejap saja kembali belasan jurus telah lewat,
dengan satu lawan dua Giok-bin-yao-hou sudah mulai
merasakan agak payah, dalam hati ia rada mengomeli Hongkos
mengapa tidak tampil maju membantu padanya.
Sementara itu tiba-tiba Ang-koh merubah permainan kiamhoatnya, ia unjukkan serangan-serangan yang mematikan
dari perguruannya, mendadak ia membabat dari samping atas
terus ke bawah.
Lekas Bun Sui-le menggeser pergi berbareng pedangnya
membalik, dengan gerakan 'Pi-bun-ku-khek' atau menutup
pintu menolak tetamu, seketika ia dapat menahan senjata
lawan. Kesehatannya tidak berhenti sampai di situ saja, ia
membarengi pula balas menyerang, secepat kilat pedangnya
pun ia tusukkan, akan tetapi karena itu ia sendiri pun tak
terjaga pula. Nikoh tadi cukup cepat, ia melayang maju, 'Oh-tiap-tjio'
atau pukulan kupu-kupu, ia hantamkan secepat angin, dalam
keadaan demikian terpaksa Bun Sui-le harus menarik
pedangnya buat membela diri.
Akan tetapi juga pada saat sekejap itu, menyusul pedang
Ang-koh pun sudah berkelebat, ujung senjata itu telah
menutul ke mukanya.
Diancam bahaya itu, tampaknya Bun Sui-le sudah tidak
mungkin bisa menghindarkan diri lagi.
Tak terduga, pada saat itu tiba-tiba terdengar mendesirnya
angin, menyusul tangan Ang-koh tergetar pergi dan dengan
sekali jeritan ia roboh menggeletak.
Melihat Ang-koh mendadak seperti terkena oleh senjata
rahasia dan roboh terguling, selagi Bun Sui-le berniat
melompat maju buat menambahi lagi dengan sekali bacokan,
namun tiba-tiba Ang-koh meloncat bangun dengan gerakan
'Le-he-pak-ting' atau ikan lele meletik, sembari memegangi
tangannya yang agaknya terluka, ia mencelat masuk ke dalam
loteng kembali.
Ketika itu dari tempat gelap melayang keluar pula sesosok
bayangan hitam, terus menarik tubuh Bun Sui-le untuk
kemudian bersama-sama lantas kabur pergi, orang ini bukan
lain ialah Teng Hong-ko.
Si Nikoh tadi berdiri di atas emperan rumah dengan jelas
menyaksikan mereka berdua kabur dan menghilang dalam
malam gelap, ia pun tak berani mencoba mengudak.
Sesudah berlari agak jauh Teng Hong-ko dan Bun Sui-le
melambatkan tindakan mereka.
Setelah bertanya, barulah Bun Sui-le mengetahui bahwa
tadi Hong-ko yang telah menyambitkan pelor besinya dari
tempat gelap hingga mengenai tangan Ang-koh.
Pelor besi yang ia gunakan itu adalah baja hitam yang
susah tertampak jelas di malam gelap, ditambah lagi caranya
menyambit begitu cepat, Ang-koh yang tak pernah menduga
bahwa masih bersembunyi seseorang, lagi pula terlalu
bernapsu buat memperoleh kemenangan hingga akhirnya
tulang tangannya kena ditimpuk dan roboh, namun segera ia
dapat melompat bangun kembali dan berlari masuk ke dalam
rumah Begitulah, maka berterima kasih sekali Bun Sui-le terhadap
bantuan Hong-ko tadi, kalau tidak, pasti kini ia sudah mandi
darah menjadi pecundang kedua musuhnya tadi.
Dalam pada itu, Bun Sui-le menjadi jelas bahwa kini di
antara para benggolan di Pek-hoa-ho, Liu Ut, pemimpin dari
Ang-hoa-hwe telah bersekongkol dengan Ang-koh hendak
merobohkannya dengan obat tidur, untuk mendapatkan
kembali pening yang disebut Thian-hu' itu.
Sepanjang malam mereka melanjutkan perjalanan hingga
tibanya pagi hari, menuju ke daerah Holam.
Di perjalanan mereka menyamar sebagai suami isteri
penjual silat dan akhirnya mereka memasuki daerah Siamsay.
Meski mereka berkumpul bersama, namun Teng Hong-ko
adalah seorang laki-laki jujur, Bun Sui-le memang
menyukainya dalam-dalam, maka masing-masing tetap saling
menjunjung tinggi sopan santun, di malam hari mereka pun
tidur terpisah.
Akan tetapi dalam soal perasaan masing-masing sudah
banyak bertambah saling pengertian, hingga diam-diam dalam
hati Hong-ko pelahan sudah terukir bayangan Giok-bin-yaohou
yang tak mungkin dilenyapkan.
Setelah mereka melewati Tjong-kwan, tak lama lagi mereka
sudah nampak Thay-hoa-san dengan megahnya berdiri di
depan mereka. Thay-hoa-san atau singkatnya Hoa-san adalah satu di
antara lima pegunungan ternama, gunung yang banyak
dengan puncak-puncak yang menjulang tinggi ke langit, awan
yang bergumpal-gumpal mengitari tengah gunung itu,
memang betul-betul suatu pegunungan ternama dan tempat
tersohor. Di atas gunung banyak bangunan rumah biara kenamaan,
antara lain dapat disebut 'Kiu-thian-kiong', 'Tjin-bu-tian', 'Kimthiankiong', 'Tjui-hun-kiong', kesemuanya ini sudah terkenal
sebagai rumah yang biasa dipakai bagi kaum pertapaan dan
orang yang suka bertirakat. (Nama-nama rumah biara
tersebut di atas hingga kini masih terpelihara dengan baik dan
banyak dikunjungi oleh kaum turis di Tiongkok).
Setelah mereka berdua sampai di daerah kabupaten Hoaimkoan, di depan mereka menjulang tinggi tiga puncak
gunung yang megah dan dapat terlihat dengan jelas.
"Baiknya kita mencari suatu tempat di kaki gunung buat
tempat tinggal kita, setelah kita selidiki jelas keadaan di atas
gunung baru kemudian kita berangkat mengeluruk ke sana,"
ujar Giok-bin-yao-hou pada kawannya.
Hari itu juga mereka sampai di kaki gunung sebelah utara,
kebetulan mereka bisa mendapatkan sebuah rumah pemujaan
kampungan yang terbuat dari bata, dalam rumah itu hanya
tinggal seorang kakek yang biasanya mengurusi orang yang
hendak bersembahyang.
Kepada orang tua itu Hong-ko memberikan sekantong
gandum, dan sebagai timbal baliknya ia memohon
diperkenankan mempergunakan tempat berteduh di belakang
rumah itu. Melihat mereka berdua adalah orang perantauan, kakek itu
tanpa sangsi lantas menerima dengan baik.
Di situ mereka tinggal dua hari, di waktu siang hari mereka
keluar untuk mencari tahu, hingga akhirnya mereka
mengetahui bahwa Tjui-hun-kiong yang menjadi sasaran
mereka berada di puncak selatan.
Untuk menuju ke sana harus melalui 'Djian-djiok-tjeng' atau
puncak tiang bendera seribu kaki, terus 'Pek-djiok-kiam' atau
selat pegunungan seratus kaki, kemudian naik ke "Lo-kun-lekau'
atau Lo-kun meluku selokan, dari situ sudah tertampak
Tjin-bu-tian, dan kemudan dari situ pula membelok ke puncak
sebelah selatan.
Di tempat-tempat tadi kesemuanya adalah tebing yang
curam, tinggi lagi panjang, kalau dilihat dari jauh laksana
seutas tambang panjang yang melurus melambai dari langit
saja. Sesudah itu, melewati 'Djong-liong-nia' atau bukit naga tua,


Tiga Mutiara Mustika Karya Gan Kl di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

baru kemudian sampai di Kim-so-kwan. tempat ini adalah
mulut bukit tersebut, dari atas sini sudah tertampak Tjui-hunkiong,
ialah rumah biara yang berbentuk istana yang menjadi
tempat tujuan mereka. Begitulah setelah mereka dapat
menyelidiki jalanan yang menuju ke Kim-so-kwan, pada
malamnya mereka bertukar pakaian hitam peranti jalan malam
dan setelah be-benah seperlunya, segera mereka berangkat
mendaki Hoa-san.
Di antara malam yang gelap remang-remang itu, seperti
dua binatang rase yang berkeliaran di hutan sunyi, mereka
berlari secepat terbang menerobos di antara hutan belukar
dan semak yang lebat.
Berkat kepandaian entengi tubuh mereka yang tinggi, tidak
sampai dua jam mereka sudah mendaki sampai di atas bukit
naga tua itu. Angin malam pegunungan Djong-liong-nia, bukit naga tua,
sementara itu menderu-deru, dari jauh mereka memandang
Tjui-hun-kiong seperti istana dewa yang dibangun di atas Kimsokwan. Sedang mereka memandang sekitarnya, tiba-tiba mereka
melihat sesosok bayangan orang sejurusan dengan mereka
sedang mendatangi secepat terbang.
Agar tidak sampai ketahuan orang, lekas mereka
mendekam ke bawah.
Bayangan itu melayang datang tidak tertampak seberapa
cepat, namun dalam sekejap saja tahu-tahu sudah melewati
dua bukit terus menuju ke Tjui-hun-kiong, gerakannya begitu
enteng dan gesit naik turun seperti capung menutul ke
permukaan air saja. hanya sebentar saja ia sudah menghilang
di antara lautan mega yang mengelilingi puncak gunung itu.
Menunggu setelah orang menghilang, barulah Bun Sui-le
membawa Hong-ko melompat keluar.
"Orang tadi pasti seorang tokoh kenamaan dari Bu-lim,
hanya melihat cara ia menggunakan entengi tubuh saja sudah
tertampak kepandaiannya sudah sampai di puncak
kesempurnaan, kita harus berhati-hati dengan jejak kita agar
tidak sampai kepergok!" pesan Bun Sui-le dengan bisik-bisik
pada temannya. Mereka lalu menyusul ke jurusan orang tadi, tak lama
kemudian mereka sudah sampai pada sebuah tebing, di
bawah tebing berdirilah istana Tjui-hun-kiong. Sayup-sayup
mereka mendengar suara bunyi genta, mereka mengerti tentu
para Tosu atau imam di dalam kuil itu sedang beribadat
malam. Di bawah pandangan mata mereka, deretan istana Tjuihunkiong itu memang megah dan besar sekali, tidak
mengecewakan apabila disebut kuil kuno yang bagus dari
gunung yang tersohor itu.
"Bayangan tadi rupanya seperti datang untuk menyelidik
juga, kiranya bukan begundal Tjhi Djin-ho!" ujar Bun Sui-le
dengan suara pelahan.
Dalam pada itu, mereka melihat pada sebuah loteng di
tingkat atas dari bangunan tinggi itu, sinar lampu menyala
hingga bayangan orang di dalam ruangan tertampak jelas di
daun jendela. Dari bayangan orang-orang itu, tampak ada seorang yang
berdandan secara pembesar pemerintah Djing, memakai topi
kebesaran berekor seutas bulu, tampaknya ia seorang
pembesar militer. Di sampingnya terlihat pula dua bayangan
serupa Tosu yang sedang membungkuk hormat pada
pembesar tadi. "Menurut pandanganmu, mungkinkah pembesar militer ini
adalah Tjhi Djin-ho?" tanya Bun Sui-le pada kawannya.
"Agaknya mungkin juga," sahut Hong-ko. "Tjhi Djing-ho
tidak lebih hanya seorang kepala opas di bawah Tjelam Sunbu,
topi kebesarannya tidak nanti memakai ekor bulu,
menurut pandanganku, ia ini tentu seorang pembesar
tingkatan 'Sam-bin' (bin, sebutan untuk tingkatan pangkat
zaman feodal, sam-bin = pangkat tingkatan tiga), entah betul
tidak pendapatku itu!"
Agar bisa menyelami seluk-beluk sebenarnya di dalam
rumah biara itu, mereka lantas melayang turun dari tebing itu
terus menancapkan kaki mereka di atas wuwungan belakang
istana itu. Di bawah wuwungan itu terdapat kamar-kamar tempat
tinggal para imam dan rapat berjajar, di sampingnya sebuah
los panjang yang ramai dengan orang yang hilir mudik.
Kemudian mereka mendekam di tepi emperan buat
mengintip ke bawah, mereka melihat dua orang Siautotong
(imam cilik) yang bermuka putih bersih sedang mendatangi.
"Tjosuya sudah marah-marah, mengapa 'Liong-tje-tek'
yang telah dia suruh kamu
Seruling Samber Nyawa 3 Kisah Pendekar Bongkok Karya Kho Ping Hoo Pendekar Setia 5

Cari Blog Ini