Ceritasilat Novel Online

Kait Perpisahan 3

Kait Perpisahan Serial 7 Senjata Karya Gu Long Bagian 3


ka duduk dalam posisi demikian.
Langit di luar jendela semakin gelap, tiba tiba Ti Cing Ling bertanya kepada lng Bu Ok,"Kau
pemah bertemu dengan Nyo Heng?"
"Pernah bertemu satu kali, pada delapan belas tahun berselang" sahut Ing Bu Ok, "waktu itu
dengan mata kepala sendiri kulihat dia menggantol putus batok kepala Beng Hui Cu dari Bu Tong
Jit Cu (Tujuh Pendekar Bu Tong) hanya dalam sekali gebrakan saja, mungkin lantaran dia anggap
aku buta dan tidak melihat apa apa maka jiwaku terselamatkan, kalau tidak, mungkin aku tak
dapat hidup hingga sekarang"
"Benarkah ilmu kungfu nya begitu menakutkan?"
"Iimu silatnya persis seperti orangnya, ganas, telengas dan cepat, senjata yang digunakan juga
senjata yang menyimpang dari kebiasaan, sama sekali berbeda dengan senjata yang biasa
digunakan berbagai partai atau perguruan dalam dunia persilatan, aku rasa belum pernah ada
orang persilatan yang pernah menggunakan senjata tajam macam itu"
"Senjata macam apa sih yang digunakan?"
"Sebuah senjata kaitan, tapi tidak seratus persen mirip sebuah kaitan" kata Ing Bu Ok, "sebab
senjata ini semestinya termasuk sebilah pedang, malah berasal satu jenis dengan pedang yang
digunakan Lan It Ceng"
"Kenapa?"
"Selama hidup Lan It Ceng paling suka dengan pedang, waktu itu dia masih belum memperoleh
pedang Lan San Ku Kiam yang digunakannya sekarang, dalam satu kesempatan yang tidak
terduga, dia menemukan sebuah biang baja yang disebut orang sebagai Tong Hong Kim Tint Ci
Eng (inti baja emas dari timur jauh). Waktu itu, tak banyak orang persilatan yang bisa mengolah
sebuah biang baja manjadi sebuah pedang yang tajam.
Lan It Ceng mencari bertahun tahun lamanya sebelum berhasil menjumpai seorang empu
pedang yang sudah lama mengundurkan diri dari percaturan dunia, dalam sekilas pandangan
orang itu segera tahu kalau biang baja itu luar biasa, bahkan mengaku sanggup mengubahnya
menjadi sebilah senjata tajam yang bisa memapas putus sehelai rambut pun.
Dia tidak membual, hanya dalam tujuh hari dia berhasil menempa sebilah baja hitam yang luar
biasa dari dalam biang baja itu.
Untuk menempanya menjadi sebilah pedang harus ditunggu lagi paling tidak selama tiga bulan.
Lan It Ceng tak bisa menunggu terlalu lama, sebab dia telah berjanji dengan Pa San Kiam Kek
(jago pedang dari bukit Pa-san) untuk bertanding pedang di puncak gunung Hoa San.
Waktu itu dia sudah menaruh kepercayaan penuh terhadap empu pedang tersebut, maka
ditinggalkan biang baja miliknya itu untuk pergi memenuhi janji. Saat itu dia belum tahu kalau
empu pedang tersebut terpaksa mengundurkan diri lantaran menderita panyakit ayan, penyakit itu
sering kambuh terutama disaat dia sedang tegang atau panik.
Saat yang paling tegang dan paling penting ketika menempa sebilah pedang adalah disaat api
sudah mencapai titik tertentu, Saat seperti itu biasanya berlangsung amat singkat, berhasil atau
gagalnya sebilah pedang mestika justru ditentukan pada saat yang teramat singkat."
Ketika Ing Bu Ok bercerita sampai disitu, Ti Cing Ling sudah dapat menduga kalau si empu
pedang telah gagal membuat sebilah pedang mestika.
"Kali ini dia telah menempa biang baja itu menjadi sebilah senjata yang aneh sekali bentuknya,
bentuk golok bukan golok, pedang bukan pedang, walaupun ujung pedang melengkung bagaikan
sebuah kait, namun tidak mirip dengan sebuah senjata kaitan"
"Kemudian?"
"Dalam gusamya, Lan It Ceng paksa empu pedang itu bunuh diri menggunakan senjata aneh
yang telah ditempanya itu" lanjut Ing Bu Ok, "kemudian dengan membawa rasa dendam dia pergi
dari situ, akhimya senjata kait aneh itu jatuh ke tangan seorang pemuda rudin yang sering
masakkan air teh untuk empu pembuat pedang itu, tak nyana dengan menggunakan senjata
pengait aneh itu dia berhasil menciptakan sebuah ilmu silat yang sangat aneh, maka dengan
senjata itu pula dia berhasil membantai puluhan orang jago pedang termashur di kolong langit."
"Pemuda rudin itu adalah Nyo Heng?"
"Benar" jawab lng Bu Ok hambar, "jika sejak awal Lan It Ceng tahu bakal terjadi peristiwa
semacam ini mungkin dia sudah lempar pedang aneh beserta empu pembuat pedang itu ke dalam
tungku api"
Malam telah menjelang tiba, dua puluh enam orang bocah berbaju putih dengan membawa
tujuh puluh dua batang tempat lilin yang terbuat dari tembaga pelan pelan berjalan masuk ke
dalam ruangan, setelah meletakkan tempat lilin itu di empat penjuru ruangan, mereka kembali
mengundurkan diri dari sana.
Mendadak Ti Cing Ling bangkit berdiri, kemudian setelah bersujud penuh rasa hormat di
hadapan Ing Bu Ok, katanya dengan sopan:"Tecu Ti Cing-ling untuk ke sebelas kalinya mencoba
pedang, mohon suhu mau menghadiahkan jurus serangan"
0-0-0 Ketika cahaya api memancar dalam ruangan, tampaklah dalam peti besi berkarat itu tersimpan
sebilah senjata yang aneh sekali bentuknya, senjata itu memancarkan cahaya dingin yang sangat
menggidikkan hati, memaksa Lu Siok Bun ikut merasa menggigil keras.
Tak tahan dia bersin berulang kali, lalu tanyanya keheranan:"Barang apa itu"'
"Sejenis senjata, senjata yang digunakan ayahku semasa hidupnya dulu"
Dengan wajah amat sedih Nyo Cing menghela napas panjang, lanjutnya:"Itulah satu satunya
barang peninggalan dari ayahku, tapi dia orang tua berulang kali peringatkan aku, kalau bukan
terdesak hingga jiwaku terancam, bukan saja tak boleh menyentuh benda itu, untuk dibicarakan
pun tidak boleh"
"Sudah banyak orang persilatan yang kujumpai, berbagai - jenis dan bentuk senjata tajam juga
pernah kusaksikan, tapi belum pernah kusaksikan senjata berbentuk begitu aneh" kata Lu Siok
Bun. "Tentu saja kau tak pernah melihatnya, karena senjata itu adalah senjata langka, dari dulu
hingga sekarang hanya ada satu saja, yaitu senjata tersebut"
"Itu pedang atau kaitan?"
"Sebetulnya sebilah pedang tapi ayahku telah memberi sebuah nama istimewa untuk
senjatanya, dia menyebutnya sebagai Kait Perpisahan"
"Kalau memang sebuah senjata pengait, seharusnya dinamakan Pengait, kenapa mesti
ditambah dengan kata Perpisahan?"
"Karena apa saja yang terkait oleh senjata pengait ini bakal terjadi perpisahan, jika dia berhasil
mengait tanganmu maka tanganmu akan berpisah dengan pangkal lengan, jika kakimu yang
terkait maka kakimu akan berpisah dengan badan"
"Jika tenggorokanku yang terkait. apakah aku akan berpisah dengan dunia ini?" tanya Lu Siok
Bun. "Benar!"
"Kenapa kau mesti gunakan senjata sadis seperti itu?"
"Karena aku tak mau berpisah" ditatapnya wajah Lu Siok Bun lekat lekat, kemudian Nyo Cing
menambahkan, "aka tak ingin berpisah denganmu"
Ungkapan tersebut diutarakan dengan nada mesra yang mendekati suatu penderitaan, "Aku
terpaksa gunakan senjata kait perpisahan karena aku ingin selalu berkumpul denganmu,
sepanjang masa berkumpul denganmu, selama hidup tak pernah akan berpisah."
Lu Siok Bun sangat paham maksud hatinya, diapun paham perasaan cintanya yang begitu
mendalam terhadap dirinya, bahkan paham sekali.
Tapi air matanya tetap tidak terbendung, tak tahan butiran air matanya janth bercucuran.
Untung cahaya api saat itu telah padam, Nyo Cing tak dapat melihat jelas wajahnya, terlebih
tak sempat melihat air matanya yang sedang bercucuran.
Cahaya tajam yang terpancar keluar dari senjata Kait perpisahan, seolah olah ikut lenyap dibalik
kegelapan. Betapa indahnya jika benda tersebut betul betul telah lenyap tak berbekas.
Lu Siok-bun sangat berharap senjata itu benar benar-benar lenyap, lenyap untuk selamanya,
sepanjang masa tak pemah ada lagi senjata Kait Perpisahan, selamanya tak akan pernah berpisah
lagi. Kalau selamanya tak ada pembunuhan, tak ada dendam kesumat maka selamanya mereka
berdua dapat hidup bersama dengan penuh ketenangan dan kedamaian, biarpun sedang berada
dalam kegelapan, mereka tetap bisa melewatinya dengan manis dan penuh kemesrahan.
Entah berapa saat kembali berlalu, mendadak terdengar Nyo Cing berbisik, "Kenapa kau tidak
bicara?" "Kau mina aku bicara apa?"
"Kau sudah tahu aku akan pergi, sudah tahu akan membawa Kait Perpisahan untuk berpisah
denganmu, biarpun aku berbuat begini lantaran ingin berkumpul selalu denganmu, tapi setelah
perpisahan ini mungkin juga tak ada kesempatan lagi buat kita untuk berjumpa , kau tahu bukan,
musuh yang harus kuhadapi adalah seorang musuh yang benar benar sangat menakutkan"
Keheningan mencekam hutan lebat itu, jangankan suara manusia, suara pepohonan yang
diterpa angin pun tak kedengaran, karena angin pun tak dapat menembusi tempat itu.
Suasana di dalam bilik amat hening, entah berapa lama sudah lewat, akhimya Lu Siok Bun
menghela napas panjang"
"Bila umurku sepuluh tahun lebih muda, aku tentu akan bicara begini kepadamu, aku akan
berupaya menahanmu. memohon kepadamu untuk membuang semua pikiran dan keinginan,
memintamu untuk hidup tenteram bersamaku di tempat seperti sarang setan ini"
Bila seandainya dia benar-benar berbuat begitu, perasaan Nyo Cing mungkin akan jauh lebih
enakan. Tapi dia sangat dingin, sikap dinginnya amat menghancurkan perasaan hatinya, bahkan nyaris
membuatnya jadi gila.
Berapa banyak penderitaan dan siksaan batin lagi yang mesti dibayar untuk bisa memperoleh
sikap dingin seperti itu"
Nyo Cing sakit hati! Temyata perempuan itu lebih suka tinggal seorang diri di tempat macam
sarang setan ini sambil menanti kembalinya dia dengan putus asa, ketimbang memaksanya untuk
tetap tinggal disitu.
Karena dia tahu apa yang hendak dilakukan pemuda itu merupakan satu tindakan yang mesti
dia lakukan, bila dia memaksa pemuda itu untuk tidak melakukan, sepanjang hidup dia pasti akan
menderita, menyesal dan tersiksa batinnya.
Oleh sebab itu Lu Siok-bun lebih suka menerima penderitaan itu di dalam hati daripada
mencegah lelakinya untuk tidak melakukan perbuatan yang seharusnya dia lakukan.
Dibutuhkan berapa besar keberanian bagi seorang wanita untuk mengambil keputusan itu"
Udara malam terasa dingin bagaikan salju, tiba tiba Nyo Cing merasa ada sebuah tubuh yang
halus lembut dan hangat pelan-pelan bersandar ditubuhnya, kemudian memelukkan erat.
Mereka tidak berbicara lagi.
Kini mereka sudah tenggelam dalam kegembiraan serta pelampiasan kepuasan, baru pertama
kali ini mereka berbuat intim, tapi mungkin juga merupakan yang terakhir kalinya.
Angin dingin berhembus masuk melalui jendela, terasa ada angin lembut yang mulai
berhembus lewat.
Lu Siok Bun seorang diri berbaring tenang diatas pembaringan, tubuhnya masik dapat
merasakan kehangatan serta kemesraan yang diperolehnya semalam, sementara perasaan hatinya
penuh diliputi kesedihan serta keputus asaan.
Nyo Cing telah pergi dari situ, diam diam berlalu.
Dia tahu kapan pemuda itu pergi, tapi dia pura pura tertidur nyenyak, dia pun tidak
membangunkan tidumya.
Karena mereka sudah tak sanggup menahan penderitaan yang menyayat dikala berpisah...
Diatas meja terdapat sebuah buntalan warna biru, sisa ransum yang masih ada dia tinggalkan
semua untuk perempuan itu, sudah cukup untuk mempertahankan hidup perempuan itu hingga
saatnya datang menjemput nanti.
Batas waktu yang tersisa tinggal tujuh hari, dalam tujuh hari ini dia pasti harus kembali.
Tapi bagaimana kalau dia tak kembali setelah tujuh hari kemudian"
Lu Siok Bun tak berani berpikir, dia harus berupaya untuk menghimpun semua pikirannya, tiada
hentinya dia beritahu diri sendiri,"Bila kami sudah menikmati kebahagiaan dikala berkumpul,
kenapa tak boleh menderita dikala berpisah" Bila tak pernah merasalcan penderitaan dikala
berpisah, darimana bisa menikmati kebahagiaan dikala berkumpul?"
0-0-0 Bab 7. Senjata Kaitan.
Kait adalah sejenis senjata, senjata yang dipakai untuk membunuh, dengan membunuh
menghentikan pembunuhan.
Seputar fajar di pagi hari.
0-0-0 Fajar baru menyingsing.
Hutan belukar itu dipenuhi udara lembab serta suasana yang hening, diatas permukaan tanah
berlumpur masih tersisa dedaunan kering yang berguguran di ujung musim gugur tahun ini.
Tabun depan, daun muda kembali akan tumbuh, pohon yang tua sekali lagi akan memperoleh
kehidupan yang baru.
Kalau tiada dedaunan yang rontok, darimana bisa tumbuh dedaunan yang baru"
Nyo Cing membungkus senjata Kait Perpisahan-nya dengan selembar kain gombal,
menggenggam di tangannya kuat kuat, lalu sambil busungkan dada dia berjalan ke depan dengan
langkah Iebar. Dia harus kembali, tujuh hari kemudian, apa pun yang terjadi dia harus kembali.
Bagaimana kalau ia tak dapat kembali"
Dia tak berani memikirkan persoalan itu, juga tak sanggup berpikir ke situ, karena dia dia sudah
merasakan selapis hawa pembunuhan yang amat menyesakkan napas.
Menyusul kemudian, dia pun menjumpai Lan Toa Sianseng.
Entah sedari kapan, tahu tahu Lan It Ceng sudah muncul di hadapannya, berdiri menanti di
depan sana sambil mengawasinya, dia memandang ke arahnya dengan menggunakan sinar mata
yang sangat aneh.
Nyo Cing sedikit tercengang, tak tahan tegurnya, "Kenapa kau bisa datang kemari?"
"Aku mengikutimu sepanjang jalan" jawab Lan It Ceng, "mimpi pun tak pernah kusangka
ternyata kau adalah putra Nyo Heng"
Nada perkataannya mengandung suatu perasaan yang sangat aneh, entah sedang menyindir"
Atau sakit hati" Atau bahkan sedang menghibur"
"Aku mengikutimu karena sebetulnya ingin bertemu sekali lagi dengannya" kembali Lan It Ceng
berkata sambil menghela napas, "sungguh tak disangka dia telah berangkat duluan ketimbang
aku" Nyo Cing berusaha setup tenang.
Dalam keadaan seperti ini, dia memang tak tahu harus bicara apa.
Sorot mata Lan Toa-sianseng telah bergeser ke tangannya, menatap senjata yang terbungkus
dibalik kain kumal itu tajam tajam.
"Itukah senjata Kait Perpisahan yang dia tinggalkan untukmu?"
"Benar!" mau tak mau Nyo Cing harus mengakui, lagipula dia memang tak mau menyangkal,
selama ini dia bangga karena tak pemah menyangkal, terlepas bagaimana pandangan orang
persilatan, pandangan terhadap ayahnya tak pernah berubah.
Dia percaya ayahnya bukan manusia rendah, bukan seorang siaujin yang tak tahu malu.
"Aku tahu, dia pasti akan tinggalkan senjata pengait itu untukmu" kembali Lan It Ceng berkata,
"Mengapa selama ini tak pernah kau gunakan" Apakah lantaran takut ada orang akan
mengenalimu sebagai putra Nyo Heng?"
"Kau keliru!"
"Selama ini aku tak pemah menggunakannya karena aku tak ingin membuat orang lain
berpisah" "Sekarang, mengapa kau menggunakannya?"
Nyo Cing menampik untuk menjawab.
Urusan ini adalah urusan pribadinya, dia merasa tak perlu untuk beritahu kepada siapa pun.
Tiba tiba Lan It Ceng tertawa, kembali ujarnya, "Bagaimana pun juga, sekarang kau telah
putuskan untuk menggunakan senjata itu, apa salahnya kalau kau gunakan terlebih dulu untuk
menghadapi aku"
Seluruh tubuh Nyo Cing mulai mengejang keras.
"Menghadapimu?" serunya, "kenapa aku harus gunakan senjata itu untuk menghadapimu?"
Lan It Ceng mendengus dingin.
"Tak ada salahnya kalau aku beberkan semua kejadian tersebut kepadamu" katanya, "kalau
bukan lantaran aku, Nyo Heng tak bakal terluka, kalau tidak terluka dia pun tak bakal bersembunyi
disini, mati penasaran di tempat ini"
Semua syaraf dan otot dilengan Nyo Cing mulai mengejang, mulai menonjol keluar.
"Criiing!" diiringi pekikan naga yang amat nyaring, pedang Lan San Ku Kiam telah terhunus
keluar dari sarungnya,. Hawa pedang yang menggidikkan hati seketika menyelimuti seluruh hutan.
"Aku masih ingin beritahu satu hal lagi kepadamu, lebih balk ingatlah selamanya" suara Lan It
Ceng sedingin dan sesadis hawa pedangnya, "sekalipun kau tak ingin memisahkan orang lain,
orang lain tetap ingin memisahkan dirimu, selama kau hidup dalam dunia persilatan maka sama
sekali tak ada kesempatan bagimu untuk membuat pilihan"
0-0-0 Fajar telah menjelang tiba, tujuh puluh dua batang lilin putih telah padam semuanya.
Semenjak tengah malam kemarin, sejak Ti Cing Ling mencabut keluar pedang lemas Leng Liong
Kiam (Pedang Intl Naga) dari pinggangnya, lilin putih itu mulai padam satu per satu, padam oleh
hempasan hawa pedang yang terpancar keluar dari balik senjatanya.
Mereka sudah bertempur sengit semalam suntuk.
Bila dua jago berilmu tinggi saling bertempur, seringkali pertarungan dapat diselesaikan hanya
dalam satu gebrakan saja, mati hidup menang kalah ditentukan hanya dalam waktu singkat, tapi
pertarungan yang mereka lakukan bukan pertarungan untuk memperebutkan menang kalah,
terlebih bukan pertarungan untuk menentukan mati hidup seseorang.
Mereka sedang mencoba pedang, mencoba pedang milik Ti Cing Ling.
Oleh karena itu yang diserang Ti Cing Ling bukan Ing Bu Ok, melainkan ke tujuh puluh dua
batang lilin putih itu.
Dia harus mengutungi setiap lilin yang ada, satu demi satu lilin putih itu harus terpapas kutung.
Tapi setiap kali ujung pedangnya tiba di depan lilin putih itu, babatannya selalu terbendung
oleh cahaya pedang yang dilancarkan Ing Bu Ok.
Setelah seluruh cahaya lilin dibuat padam, suasana di dalam ruangan pun tercekam dalam
kegelapan yang luar biasa.
Tapi mereka tidak berhenti bertarung, sekalipun berhenti sejenak, tak lama kemudian hawa
pedang kembali menderu-deru.
Kini sinar fajar sudah mulai muncul dari balik jendela, cahaya pedang Ti Cing Ling segera
berputar satu lingkaran, tiba tiba dia menghentikan serangannya.
Ing Bu Ok mundur beberapa langkah kemudian perlahan lahan duduk diatas alas duduk,
tampaknya dia sudah kepayahan.
Paras muka Ti Cing Ling sama sekali tidak berubah, bajunya yang berwama putih salju masih


Kait Perpisahan Serial 7 Senjata Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nampak bersih, tak setetes peluh pun yang membasahi wajahnya.
Tenaga murni yang dimiliki orang ini seakan tak pernah habis digunakan.
Kelihatannya sepasang mata lng Bu Ok telah kembali menjadi buta, dia seakan sedang
mengawasinya tapi seakan tidak melihatnya sama sekali, lewat lama kemudian baru
tanyanya,"Apakah kali ini kau telah berhasil?"
"Benar" biarpun tak ada sinar kepuasan diwajah Ti Cing Ling, namun sinar matanya makin
mencorong tajam.
Atas dasar apa dia mengatakan Ti Cing Ling telah berhasil"
Yang dia serang adalah lilin putih, padahal ke tujuh puluh dua batang lilin putih itu masih tetap
utuh semuanya, tak satu pun yang terpapas patah.
Mendadak Ing Bu Ok menghela napas panjang, katanya, "Kali ini baru kali yang ke sebelas kau
menjajal pedang, tak disangka kau telah berhasil" dia tak tahu sedang gembira atau sedang
mengeluh, "coba biar aku periksa"
"Baik!"
Selesai bicara, Ti Cing Ling telah berjalan menuju ke depan lilin yang terdekat, dengan ke dua
jari tangannya dia jepit sebatang lilin.
Dia hanya menjepit separuh batang saja.
Setengah ke atas terjepit di kedua jari tangannya sementara setengah yang bawah masih
tertinggal di tempat lilin, jelas lilin itu sudah terpapas jadi dua bagian. Sekalipun sepintas lalu
nampak masih utuh, padahal sudah kutung jadi dua, terpapas persis tiga inci dibawah sumbu lilin,
bukan saja permukaannya licin dan rata bahkan sama sekali tidak ada bekas sayatan.
Lilin putih itu jelas sudah terpapas kutung, terpapas oleh ketajaman pedang Ti Cing Ling.
Lilin itu tak sampai roboh karena mata pedangnya kelewat cepat.
Setiap batang lilin putih itu tidak roboh, tapi tiap batang lilin telah terpapas kutung, terpapas
persis tiga inci dibawah sumbu, semua bekas sayatan rata dan rapi dan seolah olah semuanya
sudah diukur dengan ukuran yang sama.
Padahal waktu itu suasana didalam ruangan gelap gulita, biar mau di ukur pun rasanya tidak
segampang itu. Mendadak paras muka lng Bu Ok berubah hebat, berubah menjadi wama kelabu, persis seperti
wama kelabu matanya.
Ti Cing Ling adalah muridnya, dia yang melatih pemuda itu hingga berhasil, kini ilmu pedang Ti
Cing Ling telah mencapai tingkat kesempumaan, semestinya dia merasa gembira karena
keberhasilan itu.
Namun di hati kecilnya justru muncul suatu perasaan hambar yang tak bisa dilukis dengan
perkataan, dia seperti seorang perempuan yang tak rela mengakui ketuaan sendiri, seperti juga
seorang ibu yang menemukan putri kesayangannya telah menjadi pengantin orang lain.
Lewat lama kemudian pelan-pelan Ing Bu Ok baru berkata:"Sekarang kau sudah tak perlu takut
lagi dengan Nyo Cing, biarpun dia adalah putra Nyo Heng, biarpun Nyo Heng bangkit kembali dari
kubumya, kau masih tetap dapat membantai mereka diujung pedangmu"
"Tapi sayang tak perlu aku mesti turun tangan sendiripun Nyo Cing pasti mampus" kata Ti Cing
Ling, "mungkin saat ini dia sudah mampus di tangan Lan Toa Sianseng."
Mendadak dari wajah lng Bu Ok muncul suatu perubahan mimik muka yang sulit dilukiskan
dengan perkataan, sinar tajam mencorong keluar dari balik matanya yang buta, katanya tiba
tiba,"Tahukah kau kenapa tempo hari aku tidak membunuh Nyo Cing?"
"Karena kau merasa tak perlu turun tangan menggunakan tangan sendiri, karena kau tahu Lan
It Ceng pasti tak akan melepaskan dia"
"Kau keliru besar" tukas lng Bu Ok cepat, "aku tidak membunuhnya karena aka tahu Lan It
Ceng tak akan membiarkan aku menyentuhnya"
Sekali lagi kelopak mata Ti Cing Ling menyusut kencang.
"Kenapa?" tanyanya.
"Karena Lan It Ceng adalah satu satunya teman Nyo Heng, biarpun sepanjang hidupnya Nyo
Heng banyak membunuh orang, walau dia punya banyak musuh bebuyutan. namun hanya Lan It
Ceng seorang yang merupakan sahabatnya"
Ti Cing Ling tidak berkata apapun, tiba tiba dia berjalan keluar dengan langkah lebar, sewaktu
lewat disamping Ing Bu Ok, tiba tiba dia membalikkan pedang sambil melancarkan tusukan,
pedangnya langsung menancap dari punggung Ing Bu Ok hingga tembus ke jantungnya.
0-0-0 Walaupun tak ada cahaya matahari yang memancar ke dalam hutan lebat itu, secerca cahaya
tipis masih ada yang menyelinap masuk melalui sisi ranting dan dahan.
Pelan-pelan Nyo Cing melepaskan kain kumal yang membungkus senjata kait perpisahan, dia
melepas dengan sangat lambat, sangat berhati hati, seakan akan seorang pengantin lelaki sedang
melepas pakaian yang dikenakan pengantin perempuan yang sedang malu.
Dia terpaksa bertindak begitu karena ia hendak menggunakan waktu yang tersisa untuk
mententeramkan penrasaan hatinya.
Dia pernah melihat Lan Toa Sianseng turun tangan, serangan pedangnya waktu itu memang
tak malu membuatnya menyandang nama besar sebagai "Sin Kiam" pedang sakti.
Dia belum pernah berpikir dengan cara apa mengalahkan pedang sakti iua, tapi sakarang dia
harus meraih kemenangan itu. Karena dia tak boleh mati, dia tak bisa mati.
Tatkala kain terakhir dilepas dari alas senjatanya, Nyo Cing telah turun tangan, menyerang
dengan menggunakan sebuah gerak serangan yang sangat aneh, dia mengait tubuh lawan dari
sebuah arah yang tak mungkin diduga lawannya, lalu secara tiba tiba berganti lagi ke arah lain
yang sama sekali berbeda.
Jarang sekali orang persilatan menyaksikan gerak serangan semacam ini, karena mereka yang
sempat melihat, sebagian besar telah berpisah dengan dunia
Pedang antik milik Lan Toa Sianseng masih melintang setenang dan seteguh bukit Lan-san.
Dia seperti sejak awal sudah tahu akan perubahan yang terjadi pada serangan Nyo Cing itu,
juga tahu kalau kerumitan dalam perubahan itu tak bisa dibayangkan oleh siapa pun dan tak bisa
ditangkis oleh siapapun.
Oleh sebab itu dia mengatasi gerak dengan ketenangan, dengan kemantapan mengatasi
perubahan, dengan tidak berubah membendung selaksa perubahan.
Tapi dia telah melupakan satu hal.
Selama Nyo Heng malang melintang dalam dunia persilatan, dia belum pernah berpikir
menggunakan nyawa sendiri untuk diadu dengan nyawa orang
Dia memang tak punya keharusan untuk beradu jiwa. Beda sekali dengan keadaan Nyo Cing.
Dia sudah menyadari bahwa "perubahan" seperti apapun yang dia lakukan tak akan mampu
mengungguli "tidak berubah" dari Lan Toa Sianseng.
Kadangkala "tidak berubah" itu "berubah", jauh lebih hebat dan luar biasa ketimbang
"berubah".
Tiba tiba Nyo Cing tidak berubah.
Senjata kaitannya dengan menggunakan sebuah serangan yang sama sekali tak aneh, menusuk
masuk dari suatu arah yang bisa dilihat dan diduga oleh siapa pun.
Ketika senjata kaitannya menusuk keluar, tubuhnya ikut menerkam ke depan.
Dia sedang beradu nyawa.
Biarpun serangan kaitannya tidak mengenai sasaran. tapi dia masih punya selembar nyawa, dia
masih bisa beradu nyawa.
Dia memang tak ingin mati
Tapi jika dia sudah berada dalam keadaan pasti mati meski tidak beradu jiwa, terpaksa dia pun
harus nekad dan beradu nyawa..
Cara menyerang semacam ini tak bisa dianggap sebuah serangan yang hebat, dalam
perubahan jurus serangan kait perpisahan yang rumit dan aneh itupun sama sekali tak ada
perubahan semacam itu.
Justru karena tak ada perubahan semacam ini maka ancaman itu membuat orang terkejut,
apalagi Lan It Ceng, dia sama sekali tak menduga datangnya serangan tersebut, karena dia sudah
hapal diluar kepala setiap perubahan jurus dari Kait perpisahan, dia sangat paham dan
menguasahi semua gerakan itu.
Kadangkala, dalam situasi tertentu hapal dengan suatu masalah seringkali jauh lebih tak
menguntungkan ketimbang sama sekali tak hapal.
Begitu pula dengan pergaulan manusia maka jangan heran jika orang yang berhianat
kepadamu seringkali justru teman karibmu sendiri, karena kau tak akan menyangka dia akan
menghianatimu, tak menyangka dia akan melakukan tindakan tersebut secara tiba tiba
Dan itulah situasinya sekarang ini.
Jurus serangan dari Nyo Cing ini meski nampak ganas dan hebat padahal banyak sekali
kelemahannya, bila waktu itu Lan It Ceng mau menyerang, sudah pasti gerak serangan
pedangnya akan jauh lebih cepat dari serangan Nyo Cing dan kemungkinan besar dia dapat
membunuh anak muda tersebut terlebih dulu.
Tampaknya Lan Toa Sianseng yang sudah banyak pengalaman dalam menghadapi pelbagai
pertempuran, kali ini sedikit agak kalut, dia tidak melancarkan serangan, sebaliknya dengan
gerakan tubuh "Han Te Pat Ciang" (Tanah Tandus Mencabut Bawang) dia paksakan badannya
melambung ke tengah udara.
Gerakan tubuh ini merupakan gerakan tersulit dalam ilmu meringankan tubuh, karena
semuanya tergantung pada tarikan hawa murni.
Sebenarnya dia sama sekali tak punya persiapan untuk melompat ke udara, maka tak heran
kalau dia sedikit terlambat ketika menghimpun hawa murninya untuk melambung, meski hanya
selisih sesaat saja, namun justru walau yang sesaat itu telah menentukan mati hidupnya.
Tahu tahu dia marasa mata kait yang dingin bagai salju telah mengait diatas kakinya.
Dia sadar kakinya segera akan berpisah dengan tubuhnya, berpisah untuk selamanya.
Percikan darah sagar menyembur ke empat penjuru, cahaya darah memedihkan pula sepasang
mata Nyo Cing. Tatkala dia membuka matanya kembali, Lan It Ceng sudah roboh terkapar diatas tanah,
wajahnya pucat pias bagai mayat, sebuah kakinya sebatas lutut telah terpapas kutung jadi dua.
Seorang jago pedang yang sudah lama malang melintang di dalam dunia persilatan, akhimya
harus menerima nasib yang amat tragis.
Sedikit banyak timbul juga perasaan sayang yang tak terhingga didalam hati Nyo Cing, namun
diapun tak bisa melupakan rasa gusar, rasa dendam dan rasa sakit hati yang diperlihatkan
ayahnya menjelang ajal.
Dia segera menerjang ke sisi Lan It Ceng, kemudian teriaknya"Apa dosa dan salah ayahku"
Mengapa kau melukainya hingga separah itu?"
Lan It Ceng menatapnya, sorot matanya layu tak bersinar, namun sekulum senyuman telah
tersungging diujung bibirnya yang pucat.
"Kejadian itu sudah berlalu sepuluh tahun berselang" katanya dengan suara yang rendah dan
parau, "waktu itu bulan sembilan tanggal sembilan, persis hari Tiong Yang, aku dikepung lima dari
tujuh pedang dari Bu Tong yang tersisa hingga mesti kabur ke tebing Wang Yu Nia di puncak
Ciong Lam San"
Tebing itu sangat curam dengan jurang yang menganga sedalam ribuah kaki, waktu itu Lan It
Ceng sudah terdesak, tak ada jalan mundur lagi baginya untuk meloloskan diri, tampaknya dia
sagera akan menemui ajalnya.
"Sungguh tak nyana ayahmu muncul tepat pada waktunya, kami bertempur mati matian dan
berhasil melukai empat orang lawan, tapi akhimya ayahmu terhajar juga oleh pukulan Kim Si Bian
Ciang (Pukulan Lunak Serat Emas) dari Bu Keng Cu" cerita Lan It Ceng dengan nada sedih, "kalau
bukan gara-gara ingin menolong aku, tak mungkin dia menderita luka parah, padahal dia tidak
berhutang apa apa denganku, ketika menghadiahkan senjata kaitan tersebut kepadanya, aku
hanya berpendapat bahwa barang itu hanya barang rongsokan yang tak berguna, sungguh tak
disangka ayahmu justru berhasil menguasahi satu ilmu senjata yang luar biasa"
Berubah hebat paras muka Nyo Cing, peluh dingin bercucuran membasahi seluruh tubuhnya.
"Jadi dia terluka lantaran ingin menolongmu?" tanyanya.
"Benar!" Lan It Ceng membenarkan, "gurunya adalah si empu pembuat pedang, walaupun dia
bunuh diri lantaran salah menempa pedang pesananku, bukan aku yang memaksanya bunuh diri.
Sejak aku menguburkan jenasah gurunya dan hadiahkan senjata kaitan itu kepadanya, dia selalu
merasa telah berhutang budi kepadaku, dia tahu Bu Tong Jit Cu punya dendam denganku, maka
secara diam diam dia telah menghabisi dulu nyawa Beng Yu dan Beng Hui"
Setelah menghela napas panjang, terusnya-"Wataknya memang berangasan dan gampang
marah, tapi dia masih termasuk seorang hohan yang bisa membedakan mana budi mana dendam"
Perasaan Nyo Cing bagai disayat sayat, dia merasa sakit sekali hatinya.
Ayahnya adalah seorang hohan yang bisa membedakan mana budi mana dendam, tapi
sekarang dia telah melukai satu satunya sahabat dan tuan penolong ayahnya hingga luka parah
dan cacad seumur hidup.
Kalau sudah begini, bagaimana mungkin dia punya muka untuk benemu dengan ayahnya di
alam baka nanti"
Lan Toa Sianseng sama sekali tidak menaruh perasaan dendam terhadapnya, malah dengan
sikap yang lembut dan hangat katanya lagi:"Aku tahu apa yang sedang kau pikirkan sekarang,
padahal kau tak perlu bersedih hati karena luka ku ini, sebenarnya selembar nyawaku sudah kau
selamatkan tempo hari, bila tak ada kau waktu itu, mungkin aku sudah tewas diujung pedang lng
Bu Ok" Setelah tertawa getir lanjutnya:
"Ketajaman mataku sudah sangat mundur, sudah mulai kabur, waktu itu aku memang sengaja
membuat mataku bersinar tajam, hal ini tak lain untuk menutupi kelemahanku yang
sesungguhnya, malam itu tak berbintang tak ada rembulan, terus terang aku tak mampu melihat
lng Bu Ok turun tangan, ketika pedangnya dicabut, aku tahu nyawaku pasti akan melayang, persis
seperti sepuluh tahun berselang, ketika aku terdesak di jurang Wang Yu Nia oleh Bu Tong Jit Cu"
Suara pembicaraannya semakin melemah, dia meronta dan keluarkan sebuah botol obat dari
sakunya, setelah dikunyah hancur, setengah di bubuhkan keatas mulut lukanya kemudian dibalut
dengan robekan baju, separuh yang lain ditelan ke dalam perut.
Setelah itulah dia baru berkata lagi:"Sekarang aku sudah berhutang dua kali dari kalian ayah
beranak, lalu apa artinya sebuah kaki" Apalagi dengan memotong kakiku itu, sebenarnya kau telah
membantu aku"
Sambil tertawa lebar tambahnya:"Sejak pertempuran di jurang Wang Yu him tempo dulu, aku
sudah ingin sekali mengundurkan diri dari dunia persilatan, tapi orang lain tak pernah mengijinkan
aku mundur, karena aku adalah Lan It Ceng. si Pedang Sakti bermata sakti yang amat tersohor di
kolong langit, setiap tahun entah sudah berapa banyak orang ingin bunuh aku gara gara ingin
mencari nama, mereka memaksaku untuk turun tangan, Ing Bu Ok adalah salah satu diantaranya"
Hidup dalam dunia persilatan, terutama manusia macam dia, kehidupannya memang persis
seperti seekor kuda yang selalu dikendalikan dengan tali, bukan saja tak bisa mundur, mau
berhenti pun tak mungkin.
"Tapi sekarang aku sudah bisa beristirahat" Lan It Ceng tersenyum, "seorang pendekar pedang
dengan sebuah kaki pasti tak akan menarik perhatian orang lain, sebab biarpun bisa menang,
kemenangan itu tidak gagah, siapa tahu dengan adanya peristiwa ini, aku malah bisa hidup berapa
tahun lebih lama, bisa hidup dalam ketenangan dan kedamaian tanpa diusik siapapun"
Dia memang bicara jujur.
Sekalipun begitu, bukan berarti Nyo Cing bisa merasa lebih legaan karena sudah mendengar
perkataannya itu.
"Pasti akan kubayar kakimu itu" tiba tiba Nyo Cing berkata, "jika semua tugasku telah selesai,
aku pasti akan mengembalikan padamu"
"Apa yang hendak kau lakukan" Pergi mencari Ti Cing Ling dan Ong Ceng Hui?"
"Darimana kau tahu?"
"Aku tahu jelas semua persoalanmu" Lan It Ceng menjelaskan, "akupun tahu Ong Ceng Hui
adalah anggota Cing Liong Pang, sebab dengan mata kepalaku sendiri kusaksikan dia bereskan
jenasah dari ke dua pembunuh yang dikirim Cing Liong Pang, aku pun sengaja mencari berita
tentangmu darinya, benar saja, temyata dia ingin meminjam tenagaku untuk membunuhmu"
Sesudah tersenyum, terusnya, "Semua anggota persilatan mengira akulah yang memaksa si
penempa pedang itu bunuh diri, kecuali Ing Bu Ok, tak ada yang tahu kalau aku punya hubungan
yang akrab dengan Nyo Heng"
Nyo Cing hanya termenung, membungkam dalam seribu basa.
Kembali Lan It Ceng berkata:"Bahkan akupun tahu kalau kau telah menghubungi si Golok Cepat
Pui Seng, bila kau menganalisa dari apa yang dia katakan, kau pasti bisa menduga kalau Ban Kun
Bu tewas ditangan Ti Cing Ling, dia tewas karena tak pernah mau bergabung menjadi anggota
Cing Liong Pang, "siapa yang menurut hidup, siapa yang menentang mampus" . Bila Cing Liong
Pang ingin menghabisi nyawa Ban Kun Bu, hanya Ti Cing Ling lah yang bisa diandalkan untuk
melenyapkan batu sandungan ini, dari sini bisa disimpulkan bahwa Ti Cing Ling memang punya
hubungan dengan Cing Liong Pang"
Jalan pemikiran, analisa serta kesimpulan yang diambil sama persis seperti apa yang dipikir Nyo
Cing, hanya saja dibalik semuanya itu masih ada satu mata rantai yang sama sekali tidak
diketahuinya. Selma ini Nyo Cing tidak berhasil mengetahui apa alasan Ti Cing Ling menghabisi nyawa Si Si.
Tapi sekarang dia sudah mengerti.
Waktu itu, tak bisa disangkal Si Si tentu merupakan orang yang paling dekat dengan Ti Cing
Ling, semua urusan dan tindak tanduk Ti Cing Ling tentu banyak diketahui perempuan itu.
Sewaktu Ban Kun Bu mati terbunuh, Ti Cing Ling pasti tidak berada disampingnya.
Sebagai seorang perempuan yang cerdik, tidak sulit baginya untuk menduga bahwa kematian
Ban Kun Bu ada hubungan yang sangat erat dengan Ti Cing Ling.
Selama ini dia memang ingin menempel terus dengan Ti Cing Ling, bisa jadi dia hendak
menggunakan masalah tersebut untuk menekannya, demi memegang erat seorang lelaki,
seringkali ada sementara wanita yang bisa melakukan perbuatan apapun.
Sayang dia salah menilai manusia yang bernama Ti Cing Ling.
Itulah sebabnya dia menguap, lenyap tak berbekas.
Tentu saja semua dugaan dan kesimpulan yang diambil Nyo Cing sebatas dugaan, dia tidak
melihat dengan mata kepala sendiri, juga tak punya bukti.
Tapi selain alasan diatas, dia benar benar tak berhasil menemukan alasan lain dari Ti Cing Ling
untuk menghabisi nyawa Si Si.
Kalau alasannya hanya karena dia tak ingin terikat terus dengan perempuan ini, sebetulnya
masih ada beratus macam cara untuk melepaskan diri, kenapa dia malah menghabisi nyawanya"
Lan Toa Sianseng sendiri hanya tahu bahwa Nyo Cing sedang berusaha untuk menyingkap tabir
tertukarnya barang kawalan, dia sama sekali tak tahu kalau pemuda itu sedang menyelidiki juga
sebab musabab kematian Si Si.
Tak heran kalau apa yang diungkap kepada Nyo Cing hanyalah seputar rahasia dari Ong Ceng
Hui serta perkumpulan Cing Liong Pang.
Dia sendiri pun tak menyangka kalau hasil penyelidikannya itu bukan saja merupakan kunci
yang amat penting, bahkan membuka titik terang yang dapat ditelusuri.
Kematian dari Ban Kun Bu, kematian dari Si Si, kematian dari Lian Kou, ancaman jiwa terhadap
Ji Giok, Siau Yap Cu yang berusaha melakukan pembunuhan, barang kawalan yang raib, uang
yang ditukar dengan rongsokan, pembunuh gelap dari Cing Liong Pang, orang yang memberesi


Kait Perpisahan Serial 7 Senjata Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mayat para pembunuh gagal, jejak dari uang rampokan yang raib ..... semua persoalan diatas
seakan tak ada sangkut pautnya antara yang satu dengan lainnya, tapi sekarang sudah
tersambung menjadi satu jalinan cerita yang jelas dan gamblang.
Obat bubuk dan botol kecil yang ditaburkan keatas luka sudah mulai bereaksi.
Bagi seorang jago yang seringkali berkelana dalam dunia persilatan, dalam sakunya selalu
membawa beberapa jenis obat mujarab, ada yang diperoleh dengan harga mahal, ada pemberian
dari sahabat, ada yang hasil ramuan sendiri, ada juga hasil barter, terlepas dari mana asal obat
itu, biasanya mempunyai kasiat yang luar biasa.
Paras muka Lan Toa Sianseng sudah berubah lebih baikan.
"Tadi aku memang sengaja membangkitkan amarahmu, memaksa kau untuk turun tangan, ini
disebabkan aku pingin tahu seberapa banyak warisan ilmu silat milik ayahmu yang telah berhasil
kau serap, apalagi daya kekuatan dari Kait Perpisahan baru akan mencapai puncaknya apabila
sewaktu menggunakannya, orang itu berada dalam suasana hati yang amat sedih dan teramat
marah" Walaupun gara gara hal itu, kakinya harus berpisah untuk selamanya, namun dia sama sekali
tidak menyesal.
Memang tak banyak manusia di dunia ini yang sanggup mengutungi sebelah kaki Lan Toa
Sianseng hanya dalam satu gebrakan.
"Dengan kemampuanmu sekarang, Ong Ceng Hui sudah bukan tandinganmu lagi" kata Lan It
Ceng lebih lanjut, "musuhmu yang paling menakutkan justru adalah lng Bu Ok serta Ti Cing Ling"
"Apakah lng Bu Ok punya hubungan dengan Ti Cing Ling?"
"Bukan saja punya hubungan, bahkan hubungan mereka berdua sangat akrab" jelas Lan It
Ceng, "banyak isu yang beredar dalam dunia persilatan mengatakan bahwa lng Bu Ok adalah
sahabat karib ibu Ti Cing Ling sebelum menikah dulu"
"Isu tak boleh dipercaya, aku tak mau percaya dengan kabar angin semacam itu"
Rasa kagum terpancar dari balik mata Lan Toa Sianseng, sekarang dia sudah yakin kalau putra
almarhum sahabatnya adalah seorang enghiong hohan, seorang lelaki sejati, bukan saja enggan
membanggakan pribadinya, juga tak mau membicarakan kejelekan orang, bahkan enggan percaya
dengan segala isu dan kabar bohong.
"Terlepas apapun hubungan diantara mereka, aku percaya saat ini Ti Cing Ling sudah mewarisi
seluruh ilmu pedang milik Ing Bu Ok" kata Lan It Ceng lebih jauh, "malahan bisa jadi lng Bu Ok
sudah bukan tandingannya sekarang"
"Aku pasti akan lehih berhati hati bila bertemu dengannya"
Lan It Ceng termenung berapa saat, tiba tiba sekilas cahaya tajam memancar keluar dari balik
matanya, dengan suara berat katanya lagi,"Bila ilmu pedang yang dimiliki Ti Cing Ling benar benar
telah mengungguli lng Bu Ok, maka kau ada kasempatan"
"Kenapa?"
"Karena dalam sejarah kehidupan seorang bangsawan kelas satu macam dia, tak mungkin dia
perkenankan siapapun meninggalkan noda walau sekecil apapun ditubuhnya" Lan It Ceng
menerangkan, "bila kemampuan Ing Bu Ok sudah bukan tandingannya lagi, bagi Ti Cing Ling, apa
gunanya orang itu baginya?"
"Mungkinkah Ti Cing Ling akan menghabisi nyawanya?" tanya Nyo Cing sambil mengepal tinju
"Sangat mungkin!" Lan It Ceng menegaskan, "asal usulnya sangat bertolak belakang dengan
perangainya, jadi kau tak akan bisa mengerti jalan pemikiran serta langkah tindakannya"
Setelah menghela napas panjang, kembali lanjutnya,"Tidak mudah untuk membentuk manusia
semacam Ti Cing Ling, dia pun mempunyai penderitaan sesuai dengan versinya sendiri"
Yaa, siapa sih yang tak punya penderitaan" Selama dia sebagai seorang manusia, pasti punya
penderitaan, masalahnya punyakah keberanian untuk menghadapi serta mengatasinya, jika kau
memiliki keberanian tersebut maka keberanian akan berubah menjadi semacam kekuatan yang
maha dahsyat, jika tidak, sepanjang hidup kau akan diinjak dan diperbudak olehnya.
Pelan-pelan Lan Toa Sianseng menggeser tubuhnya, membiarkan badannya duduk lebih
enakan, lebih nyaman.
"Sekarang kau boleh pergi dari sini, biarkan aku istirahat dengan baik" katanya sambil
pejamkan mata, "aku tak perduli kau masih ingin bicara atau tidak, lebih baik semuanya
dibicarakan sekembalimu dalam keadaan hidup besok"
"Kau akan menunggu kembaliku dalam keadaan hidup?"
"Hingga detik ini, kesempatanku untuk hidup jauh lebih banyak ketimbang kesempatanmu"
jawab Lan It Ceng sambil tertawa tergelak.
Nyo Cing menarik napas panjang-panjang, membalikkan tubuh dan berjalan keluar dan hutan
yang lebat lagi gelap itu dengan langkah lebar.
Diluar hutan, cahaya matahari sedang bersinar terang menerangi seluruh permukaan jagad.
Cahaya matahari begitu terang, begitu tajam dan cemerlang, begitu juga dengan kehidupan
manusia, dia percaya Lan Toa Sianseng dapat menjaga diri, dia pasti sanggup mempertahankan
diri. Sebaliknya dia sendiri, dia merasa tak yakin bisa mempertahankan kehidupannya.
0-0-0 Bab 8. Kehendak langit bagai sebilah golok.
Sinar matahari baru saja memancar ke empat penjuru, menyinari jalan setapak yang naik turun
tak rata disepanjang hutan nan lebat, menyinari juga lorong panjang yang mewah dan lebar
dalam gedung Bangsawan.
Hanya sinar matahari yang paling adil, dia tak perduli kau sudah hampir mati atau tidak,
sinamya tetap memancar diatas tubuhmu,membiarkan tubuhmu merasakan kehangatan dari
cahayanya Ketika Nyo Cing berjalan dibawah sinar mentari, pada saat yang bersamaan Ti Cing Ling juga
sedang berjalan dibawah cahaya sang surya.
Walaupun dia sudah bertempur semalaman suntuk, semangat serta tenaga nya masih tetap
segar dan penuh, wajahnya terang bagai cahaya, kekuatan badannya masih cukup baginya untuk
melakukan banyak pekerjaan
Tenaga mumi yang dia miliki seakan tiada habisnya, terutama disaat ia merasa amat puas
terhadap diri sendiri.
Dia merasa sangat puas dengan tusukan pedang yang dilancarkan dari belakang punggung lng
Bu Ok tadi. Tusukan tersebut, baik dalam hal kecepatan, tenaga, sasaran maupun waktu semuanya
dilakukan sangat tepat dan sempuma, bahkan boleh dibilang sudah mencapai titik puncak
kesempumaan dari sebuah ilmu pedang.
Untuk mencapai taraf seperti itu, orang tak bisa tergantung pada untung untungan, dia harus
membayar suatu harga yang maha besar dan luar biasa mahalnya sebelum mencapai ke situ.
Kini, dia putuskan akan menikmati keberhasilan tersebut secara baik, karena memang hal
semacam itu pantas diterimanya. Sebab lagi lagi dia peroleh kemenangan.
Kemenangan seakan-akan selalu berpihak kepadanya. Siau Cing juga telah menjadi miliknya.
Sewaktu datang berkunjung, Hoa Soya membawa serta perempuan itu, kini perempuan
tersebut tentu sedang menanti kedatangannya dengan penuh gairah.
Membayangkan pinggul Siau Cing yang ramping bagai geliat seekor ular, wajahnya yang selalu
menampilkan kehausan akan cinta dan napsu, Ti Cing Ling segera merasa timbulnya hawa panas
yang merangsang di bawah pusarnya.
Keadaan seperti inilah baru dinamakan kenikmatan yang sesungguhnya.
Bagi Ti Cing Ling, kecuali perbedaan antara mati dan hidup, tak ada lagi kenikmatan lain di
dunia ini yang lebih nyata daripada kenikmatan tersebut.
Membunuh orang bukan saja tidak membuatnya bertambah lemah dan lelah, sebaliknya
membuat semangatnya lebih berkobar dan tenaganya makin nyata, begitulah kondisi badannya
setiap kali selesai membunuh.
Mengapa wanita selalu seperti punya hubungan yang erat dengan kematian"
Dia selalu berpendapat diantara wanita dan kematian. seakan akan punya satu hubungan yang
aneh dan misterius.
Tiba diujung serambi panjang, dia membuka sebuah pintu dan masuk ke dalam, Siau Cing
dalam keadaan telanjang bulat segera menubruk ke dalam rangkulannya.
Gejolak napsu birahi yang membara membuat dia menerkam perempuan itu dengan ganas dan
penuh napsu. Sesaat kemudian perempuan itu berbaring lemas. Dia mampu menaklukan lelaki, mungkin
karena setap kali dia selalu meninggalkan kesan kepada kaum pria bahwa dia benar benar telah
ditaklukan oleh kejantanan pasangannya.
Tapi begitu Ti Cing Ling selesai membersihkan badan dan berjalan keluar, kegenitan
perempuan itu sudah pulih kembali seperti sedia kola, bahkan telah siapkan arak hangat, berlutut
dihadapannya dan mempersembahkan dengan kedua belah tangannya ke tepi bibirnya.
Tak ada orang menyuruh dia berbuat begitu, semua perbuatan itu dilakukan atas dasar
kerelaan sendiri, dia suka melayani kaum lelaki, suka disiksa dan dipermainkan kaum lelaki.
Memang tak banyak perempuan macam begini di dunia ini, tapi justru perempuan semacam
inilah yang bisa mendatangkan kesenangan dan kepuasan bagi kaum pria.
Dalam hati kecilnya Ti Cing Ling menghela napas panjang, dia sambut cawan arak itu, meneguk
habis isinya den siap memeluknya sekali lagi.
Kali ini Siau Cing berkelit dari rangkulannya bagai seekor belut, dia berdiri jauh jauh dan
memandangnya dengan pandangan sangat aneh.
Mendadak paras muka Ti Cing Ling yang pucat mulai mengejang keras, peluh dingin jatuh
bercucuran membasahi seluruh wajahnya.
"Arak itu beracun!" suaranya amat parau, "kau yang mencampurkan racun ke dalam arakku?"
Rasa takut dan ngeri yang semula menghiasi wajah Sian Cing, seketika hilang lenyap tak
berbekas, sekulum senyuman genit yang bisa bikin hati lelaki berdebar kembali menghiasi
wajahnya. "Kau adalah seorang lelaki yang hebat, .betulnya aku tak tega membuatmu mati, tapi sayang
kau terlalu banyak mengetahui rahasia kami" Sian Cing tertawa genit, "selama kau masih hidup,
tidak banyak manfaat yang kami peroleh, sebaliknya justru banyak kejelekan yang harus kami
hadapi" "Kalian" Kau juga anggota Cing Liong Pang?" seru Ti Cing Ling tertahan
"Siapa bilang aku bukan?" tertawa Sian Cing makin manis. Ti Cing Ling berusaha
mempertahankan diri.
"Uang kalian masih berada didalam gudangku, jika aku mati, bagaimana cara kalian
mengangkutnya keluar?" teriaknya
"Uang rampokan memang seharusnya berada disini, karena kaulah otak dari pembegalan uang
negara, demi menyingkap rahasiamu, aku tak segan mengorbankan kesucian tubuhku sehingga
tabir rahasia ini terungkap. Demi membela diri, terpaksa aku menghabisi nyawamu" kata Siau Cing
santai, "biarpun seorang raja muda, bila melanggar hukum maka hukumannya tak beda dengan
rakyat biasa, kau memang seorang Siau Houya, sayang statusmu itu tak berguna"
"Tapi uang itu harus kalian serahkan kembali ke kas negara, kalian sendiri tak akan
memperoleh apa apa"
"Sejak awal kami memang tak punya rencana untuk mengambil uang sebanyak seratus delapan
puluh laksa tahil perak itu, sebab uang panas sangat berbahaya, bagi kami, asal bisa peroleh tiga
bagian saja sudah merasa puas sekali"
"Tiga bagian?"
"Masa kau tidak tahu kalau pihak kerajaan telah mengumumkan hadiah bagi siapa saja yang
bisa menemukan kembali uang hasil rampokan itu" Hadiahnya adalah tiga bagian (30%) dari
jumlah keseluruhan" Siau Cing menerangkan, "tiga bagian berarti lima puluh empat laksa tahil,
bukan satu jumlah yang sedikit, mereka memberi secara iklas dan kami pun menerima dengan
perasaan tenteram, siapapun tak akan mendapat resiko apa apa, bukankah itu yang menjadi
harapan kita semua" Sekalipun dikemudian hari mungkin ada orang yang tetap curiga, rasanya
juga tak mungkin ada yang mau melakukan pengusutan lebih Ianjut"
"Bagaimana dengan Nyo Cing?"
"Padahal bocah dungu itu hanya kami pakai sebagai pembuka jalan, kami harus meyakinkan
kau lebih dulu bahwa dialah yang hendak kami gunakan sebagai kambing hitam, dengan begitu
kau baru gampang dijebak dan masuk perangkap"
Ti Cing Ling seakan masih ingin mengatakan sesuatu, namun tak sepatah kata pun yang
terucap keluar, tenggorokannya seperti sedang dicekik oleh sepasang tangan raksasa yang tak
berwujud hingga napasnya jadi sesak.
Siau Cing mengawasinya, dia seperti menaruh simpatik kepadanya.
"Padahal kau pun tak boleh salahkan kami kenapa bersikap begini terhadapmu" kembali
perempuan itu berkata, "bukan saja kau mengetahui terlalu banyak, lagipula kau adalah seorang
Siau Houya, sedikit banyak di dalam rumah milik seorang bangsawan kelas satu macam kau pasti
terdapat banyak barang mestika warisan leluhur, nilainya bisa jadi diatas seratus delapan puluh
laksa tahil perak, seandainya kau mampus, siapa tahu kami bisa peroleh bagian dari warisanmu
itu" Setelah tertawa cekikikan, lanjutnya,"Coba bicaralah dari liangsim mu yang jujur,
mengagumkan tidak tindakan yang telah kami ambil dalam hal ini?"
Ti Cing Ling mengawasinya, tiba-tiba paras mukanya yang semula pucat pias berubah jadi
hambar tanpa perasaan, sekulum senyuman sadis tersungging di ujung bibimya.
"Ada satu hal mestinya perlu kau tanyakan juga kepadaku" katanya.
"Soal apa?"
"Seharusnya kau bertanya kepadaku, sesudah minum arak beracun penembus usus yang
khusus kau ramu untukku, semestinya aku sudah tergeletak mampus saat ini, kenapa hingga
sekarang aku masih segar bugar?"
Mendadak kulit wajah Sian Chug mengejang keras, senyuman manisnya berubah jadi berpuluh
puluh kerutan yang amat menakutkan.
Dalam waktu singkat, perempuan muda yang cantik jelita itu seakan telah berubah jadi lebih
tua belasan tahun, dia seperti berubah sangat tua dan setiap saat bisa mampus.
"Masa kau bisa menduga rencana kami sejak awal?" dia bertanya
"Mungkin sedikit lebih awal ketimbang kebanyakan orang" Ti Cing Ling menyeringai seram.
"Mengapa kau tidak bunuh aku?"
"Karena kau masih berguna" nada suara Ti Cing Ling tenang tapi sadis, "karena waktu itu aku
masih bisa menggunakan kau"
Dari atas wajah Siau Cing yang cantik tiba tiba muncul berpuluh otot hijau yang menonjol
keluar, seorang wanita yang cantik bagaikan bidadari dalam waktu sekejap telah berubah jadi
seorang iblis yang menakutkan, tiba tiba dia cabut keluar sebuah jarum tajam sepanjang tujuh inci
dari sanggulnya kemudian ditusukkan ke jantung Ti Cing Ling.
"Kau bukan manusia, kau bukan manusia!" jeritnya lengking, "kau lebih pantas jadi seekor
binatang!"
Ti Cing Ling memandang gerakan tububnya dengan pandangan dingin, dia sama sekali tidak
bergerak, hanya ujamya dengan suara menyeramkan:
"Bila seorang wanita sudah tak bisa membedakan mana manusia mana binatang, rasanya
perempuan macam begini sudah tak ada gunanya"
0-0-0 Tio Ceng tinggal di sebuah rumah kecil persis di belakang kantor kejaksaan, rumah itu
dibangun pihak kerajaan setelah dia naik pangkat jadi Komandan opas, biarpun jabatan itu tak
terlalu tinggi namun mempunyai kekuasaan yang amat besar terhadap semua petugas kejaksaan,
dia sudah belasan tahun memangku jabatan itu, sementara rumahnya juga sudah lama tidak
diperbaiki hingga banyak tiang rumahnya keropos dimakan rayap.
Tapi dia seperti amat tenteram tinggal disitu.
Karena dia sudah mencapai usia mendekati pensiun, setelah pensiun dia tak perlu lagi tinggal di
rumah bobrok itu.
Dia telah menggunakan beberapa nama alias untuk membeli beberapa rumah gedung yang
megah dan mewah di pelbagai daerah, hampir semua persil tanah dan persawahan diseputar sana
telah menjadi miliknya, harta kekayaan yang tersimpan lebih dari cukup baginya untuk menghidupi
sisa umumya. Semasa masih muda dulu, Tio Ceng pernah mempunyai seorang istri, tapi tak sampai setengah
tahun, hanya gara gara menggunakan uang sebesar tiga tahil perak untuk membeli pupur dan
gincu, perempuan itu dicerainya, tak lama setelah pulang ke rumah orang tua bininya gantung diri
diatas tiang penglari dan menghabisi hidupnya.
Semenjak peristiwa itu, dia tak pemah menikah lagi, juga tak ada orang yang berani
mengawinkan putrinya kepadanya.
Tapi dia tak pernah ambil perduli.
Ke manapun dia pergi, selalu ada dua tiga orang pelayan yang melayani segala kebutuhannya,
ambilkan teh, rapikan ranjang bahkan sampai memijat dan mencucikan kaki.
Hari ini cuaca amat cerah, dia secara khusus mengundang seorang kakek pengasah pisau untuk
mampir ke rumahnya, senjata golok andalannya, sebuah kampak dan tiga bilah pisau dapur perlu
diasah agar tetap tajam seperti sedia kala.
Kakek pincang pengasah pisau ini dari marga Ling, setiap hari dengan mendorong kereta
rongsoknya keliling dusun menawarkan jasanya, asahan pisaunya amat teliti dan amat bagus,
biarpun sebilah pisau tumpul yang telah berkarat asal sudah diasah kakek ini, bentuknya segera
akan berubah. Tio Ceng perintahkan orang untuk siapkan bangku, sambil menikmati air teh dia duduk
ditengah halaman sambil menonton kakek Ling mengasah pisau pisaunya.
Karena ditengah halaman ada orang, maka pintu gerbang dalam keadaan terbuka, itulah
sebabnya tanpa mengetuk pinto Nyo Cing bisa langsung masuk ke dalam.
Tio Ceng nampak sedikit tertegun, tapi dia paksakan diri berdiri juga, sambil tertawa paksa
tegurnya:"Aaah, kau memang tamu istimewa, tak disangka mau hadir disini, apakah ada kabar
baik yang ingin disampaikan kepadaku?"
"Tidak, sama sekali tak ada berita baik" sahut Nyo Cing, "aku hanya ingin omong omong
denganmu" "Lote, masa kau lupa batas waktumu tinggal empat lima hari, tak nyana kau masih berminat
untuk ngobrol disini?"
Nyo Cing tidak menggubris, dia langsung menuju ke ruang tengah dan menuju ke ruang tamu.
Dengan termangu Tio Ceng mengawasi bayangan punggungnya serta sebuah bungkusan
panjang yang berada dalam genggamannya, setengah harian kemudian dia baru ikut masuk ke
dalam, tiba tiba sikapnya berubah, senyuman kembali menghiasi wajahnya.
"Setelah datang kemari, tak ada salahnya makan dulu sebelum pergi, akan kusuruh orang
menyiapkan arak"
"Tidak usah" tampik Nyo Cing sambil mengawasi sebuah lukisan yang tergantung diatas
dinding, terusnya, "selesai mendengar apa yang hendak kukatakan, mungkin kau tak akan
mengundangku minum arak"
"Sebenamya apa yang ingin kau katakan?" tegur Tio Ceng dengan kening berkerut.
Tiba tiba Nyo Cing membalikkan badan, sambil menampnya tajam ia berkata,
"Tiba tiba aku mempunyai satu pemikiran yang aneh, tiba tiba saja aku menemukan bahwa kau
sesungguhnya adalah seorang manusia yang luar biasa"


Kait Perpisahan Serial 7 Senjata Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Oya?"
"Setelah membegal barang kawalan, jejak Ni pat selalu rahasia dan misterius, tapi kenyataan
kau dapat mengetahui secara pasti. Bisa menangkap Ni Pat seorang tersangka kelas kakap
merupakan sebuah keberhasilan yang luar biasa, pahalamu pasti sangat besar, tapi anehnya,
kenapa kau serahkan pahala yang luar biasa ini kepada orang lain, kenapa kau justru beritahukan
rahasia itu kepadaku dan sama sekali tidak menuntut pembagian jasa denganku?"
Setelah berhenti sejenak, terusnya dingin:"Tampaknya kau sepertt sudah tahu kalau hasil
rampokan telah ditukar dengan barang lain" Sungguh luar biasa"
"Apa maksudmu?" berubah wajah Tio Ceng.
"Seharusnya kau lebih mengerti apa yang kumaksud" sahut Nyo Cing sambil tertawa dingin,
"ada barang kawalan yang bernilai luar biasa kenapa Ong Ceng Hui tidak mengawalnya sendiri"
Anehnya, begitu barang yang dibegal ketemu, malam itu juga dia sudah menampakkan diri, yang
lebih aneh lagi, sewaktu hendak menangkap buronan, kau tidak nampak batang hidungnya, tapi
begitu Ong Ceng Hui muncul, kau pun ikut muncul bahkan langsung tahu kalau barang kawalan
sudah ditukar dengan barang lain, hebat! Sungguh hebat!"
Sesudah tertawa dingin berulang kali, terusnya,"Bukan pekerjaan yang gampang untuk
menukar seluruh uang kawalan dengan barang rongsok, butuh waktu yang lama dan tenaga
pekerja yang banyak pula. Setelah berpikir bolak balik, akhirnya kusimpulkan hanya ada satu
orang yang punya kemampuan untuk melakukan semua tugas ini"
Hijau membesi paras muka Tio Ceng, tapi dia masih berlagak santai, tanyanya:"Ooh, kau
maksudkan Ni Pat?"
"Jika Ni Pat yang berubah, dia tak bakal beradu nyawa hanya untuk membelai barang
rongsokan, dan jiwanya juga tak bakal melayang gara-gara urusan itu" jengek Nyo Cing ketus,
"jika para piausu yang berubah, mereka pun tak bakalan hantar nyawa dengan percuma"
Tiba tiba dia menghela napas panjang, katanya lebih jauh:
"Tio loji, kau sudah kaya, punya gedung punya tanah, kenapa sih masih mau bersekongkol
dengan Cing Liong Pang untuk melakukan perbuatan tercela itu" Memangnya kau kira aku belum
tahu kalau Ong Ceng Hui adalah anggota Cing Liong Pang?"
Tio Ceng tidak menyangkal, temyata dia berani mengakui, balik tanyanya:"Terus kau ingin aku
berbuat apa?"
"Katakan dimana Ong Ceng Hui saat ini, kemudian serahkan diri ke kantor kejaksaan dan akui
semua dosa mu"
"Baik, bisa saja aku berbuat begitu" Tin Ceng segera menyanggupi, "sayangnya, walaupun
sudah kuberitahu keberadaan Ong Ceng Hui saat ini, rasanya kau pun tak bisa berbuat apa apa
terhadapnya"
"Kenapa?"
"Gedung bangsawan ibarat kedung naga, masa kau berani menerobos ke dalam untuk
menangkap orang?" sengaja Tio Ceng menghela napas panjang.
Ti Cing Ling, bangsawan Ti. Sebenamya semua persoalan seakan sama sekali tak ada
hubungan dengan dirinya, karena dia selamanya berada jauh di atas. Noda lumpur yang
dipercikan dari sungai talaga, mana mungkin bisa menodai baju putihnya yang bersih dan rapi"
Tapi kini, semua kunci permasalahan seakan sudah terhimpun dan terkumpul pada dirinya
seorang. Tiba tiba Nyo Cing teringat dengan sepatah kata yang pernah diucapkan almarhum ayahnya
ketika masih hidup dulu.
Ada sementara orang hidup bagai laba-laba, tiap hari tiap saat tiada hentinya menyulam jaring
dan menunggu orang lain terperosok ke dalam jaringnya, tapi orang pertama yang bakal
terperangkap dalam jaring itu seringkali justru diri sendiri.
Ada sementara orang menganggap laba-laba itu bodoh, kemungkinan besar si laba-laba pun
tahu, tapi dia tak bisa tidak harus berbuat begitu, karena jaring yang disebarkan itu bukan saja
merupakan sumber makanannya, juga merupakan satu satunya hiburan yang dimiliki, tanpa
membuat jaring berarti dia tak mampu untuk mempertahankan hidup.
"Aku bisa saja menyerahkan diri" kembali Tio Ceng berkata, "siapapun tahu kalau aku sama
sekali berbeda dengan orang orang itu, yang kumakan adalah ransum kerajaan, yang kuemban
juga tugas kerajaan, peraturan rumah tangga kerajaan sudah mengakar dalam hatiku, aku tahu
mana yang boleh dan mana yang tidak, kau anggap aku berani melakukan perbuatan yang
melanggar hukum?"
Setelah tertawa paksa, kembali terusnya:"Apalagi, walaupun aku memang pernah berkomplot
dengan mereka, tapi aku tak pernah melakukan perbuatan yang menakutkan, seandainya
menyerahkan diri, dosaku tidak akan terlalu berat, sebaliknya kau?"
Setelah berhenti sejenak, kembali terusnya:"Kau benar benar akan ke gedung bangsawan Ti
untuk menangkap orang?"
"Yaa, sekarang juga aku akan berangkat!" jawaban Nyo Cing sangat tegas, sangat dingin tapi
tenang. "Kalau begitu mari kuantar kau kesana, tapi setibanya di situ, kau mesti lebih berhati hati"
Nyo Cing tidak bicara apa pun, setelah urusan berkembang jadi begini, bicara lebih banyak pun
tak ada gunanya.
Dia berjalan keluar dari situ.
Tanya bicara sepatah kata pun mereka berjalan melewati halaman kecil, kakek pengasah pisau
masih mengasah pisau dengan kepala tertunduk, dia seperti tidak melihat apapun, tidak
mendengar apapun, karena seluruh konsentrasi dan perhatiannya sedang tertuju diatas sebilah
pisau yang sebetulnya tak ada nilainya.
Sebilah golok yang biasa digunakan para opas telah selesai terasah, mata golok yang tajam
memancarkan cahaya berkilau dibawah sinar matahari.
Nyo Cing berjalan lewat dari sisinya, Tio Ceng juga ikut lewat, tiba tiba dia membalikkan badan
sambil menyambar golok itu kemudian langsung dibacokkan ke belakang tengkuk pemuda itu
Dalam anggapannya, bacokan itu paling tidak bisa memenggal batok kepala Nyo Cing, karena
dia yakin bacokan itu tak bakal meleset.
Sayang serangannya kali ini meleset.
Rupanya Nyo Cing sudah memperhitungkan kejadian tersebut tiba tiba dia bungkukkan
pinggang sambil melancarkan serangan balasan, dengan menggunakan senjata Kaitnya yang
masih terbungkus dibalik kain kumal, dia hajar tulang iga ke empat dan ke tujuh di dada
kanannya. Diiringi suara tulang iga yang retak, golok itu rontok ke atas tanah.
Paras muka Tio Ceng mengejang keras karena kaget bercampur rasa sakit yang luar biasa,
menyusul kemudian badannya kaku dan roboh terjungkal ke tanah, sejak itu wajahnya yang
mengejang tak pernah pulih kembali seperti sedia kala.
Karena itulah dikemudian hari rekan narapidana yang berada satu sel dengannya memberi
sebuah julukan kepada orang itu, semua orang memanggilnya "Koaybin" si Muka Aneh.
Mengawasi tubuh lawannya yang perot, Nyo Cing menghela napas panjang,
katanya:"Sebetulnya aku sangat berharap kau bisa melakukan apa yang telah kau janjikan,
sayangnya, akupun tahu kalau kau tak akan berbuat begitu, kau sudah terjerumus kelewat dalam"
Kakek pengasah pisau yang selama ini hanya mengasah pisau sambil tundukkan kepalanya,
tiba-tiba ikut menghela napas panjang, menyusul kemudian diapun mengucapkan perkataan yang
tak pernah disangka siapapun.
Tiba tiba orang itu berkata, "Putra Nyo Heng memang tak malu menjadi putra Nyo Hang"
Dengan perasaan terkesiap Nyo Cing membalikkan badan, lalu ditatapnya kakek kurus kering
pengasah pisau itu dengan pandangan heran.
"Darimana kau bisa tahu kalau aku adalah putranya?"
"Karena tampangmu saat ini persis sama seperti apa yang pernah kusaksikan dahulu, bahkan
watak dan perangai nya pun persis"
"Kapan kau pernah beoemu dengannya?"
"Peristiwa itu sudah berlangsung sangat lama, lama sekali" kata kakek pengasah pisau itu,
"waktu itu usianya jauh lebih muda ketimbang umurmu sekarang, dia sedang belajar pedang,
belajar menggunakan pedang dan belajar membuat pedang, gurunya Sau Kong Yu meskipun tidak
memiliki ilmu pedang yang hebat, namun
kepandaiannya menempa pedang tak ada tandingannya dikoiong langit"
Setelah menghela napas panjang, lanjutnya:"Sayang konsentrasi ayahmu tidak pada membuat
pedang sehingga kepandaian membuat pedang dari Sau suhu hilang lenyap dari dunia ini"
Nyo Cing segera menjura dalam dalam, katanya:"Ayahku sudah lama meninggal, semasa
hidupnya dulu, beliau sering menyesalkan hal ini, dia sering berkata kepadaku, bila yang dia
pelajari dari gurunya wakta itu adalah cara membuat pedang, penghidupan kami pasti akan lebih
bahagia dan senang"
Kakek itu menghela napas panjang.
"Waktu berjalan tanpa berhenti, benda bergeser manusia berpulang, tiap insan punya nasib,
siapa pun tak bisa paksakan kehendak, seperti juga sebilah pedang"
Nyo Cing termangu, dia seperti tak paham, melihat itu kakek segera menjelaskan:"Pedang pun
mempunyai nasib pedang, bahkan persis seperti manusia, ada keberuntungan ada pula kesialan,
sewaktu aku mengunjungi Sau taysu saat itu, sebenarnya tujuanku adalah untuk meramalkan
nasib pedang Leng Khong yang baru saja berhasil ditempanya."
"Leng Khong?" sera Nyo Cing, "kenapa aku belum pemah dengar nama itu?"
"Karena pedang tersebut adalah sebuah pedang pembawa hawa sesat, guratan yang ada
ditubuh pedang kacau bagai serat kutu, ujung pedang memancarkan cahaya yang merah bagai
api, jelas sebuah pedang pembawa sial. Barang siapa menggembol pedang itu pasti akan terkena
bencana besar, bahkan bisa mengalami rumah tangga hancur, nyawa melayang, itulah sebabnya
Sau taysu berniat untuk memusnahkan pedang itu, lalu dengan menggunakan sisa pedang yang
ada, akan ditempanya menjadi sebilah pedang yang tipis bagai kertas"
"Di mana pedang itu sekarang?"
"Konon sudah ditukar Ing Bu Ok dengan menggunakan sebuah rahasia ilmu pedang Ku lin Kiam
Boh" Berubah hebat pares muka Nyo Cing, tiba tiba dia seperti teringat kembali dengan sebuah
kejadian yang misterius, aneh dan sangat menakutkan.
"Konon kitab ilmu pedang itu terbakar sisi kirinya sehingga setiap jurus serangan yang tertera
dalam kiam-boh itu tinggal setengah jurus dan pada hakekatnya tak mungkin bisa terwujud
menjadi sebuah ilmu pedang yang sempurna, sayang aku belum pernah melihat ilmu pedang itu
dan tidak tabu dimana sekarang berada"
"Aku tahu!" seru Nyo Cing mendadak.
"Darimana kau bisa tahu"' tanya kakek pengasah pisau itu dengan wajah heran bercampur
tercengang. "Karena kiam-boh itu berada ditangan ayahku, ilmu silat yang dimiliki ayahku justru dilatih dari
kitab tersebut"
"Aku memang tahu, dikemudian hari Nyo Heng berhasil malang melintang di dalam dunia
persilatan dengan andalkan sebilah senjata kaitan"ujar kakek itu makin tercengang, "aneh, masa
dari sebuah kitab Kiam-boh yang tak utuh, dia berhasil melatih suatu ilmu silat yang tiada
tandingannya di kolong langit?"
"Justru karena jurus serangan yang tercantum dalam kitab Kiam-boh itu tak utuh, walaupun tak
mungkin bisa melatih sebuah ilmu pedang, tapi jika diterapkan pada sebilah senjata pedang yang
telah berubah bentuk jadi sebuah kaitan, jurus serangannya justru sangat pas dan tepat, bahkan
merupakan jurus serangan yang belum pernah ada sebelumnya, hampir semua gerak jurusnya
menyimpang dari kondisi yang wajar, setiap ancaman tak bisa terduga oleh siapa pun, jangan
heran kalau jarang sekali ada yang bisa lolos dari ancamannya."
"Pedang cacad yang telah berubah bentuk" Apa senjata yang gagal dibentuk dari inti baja milik
Lan Toa Sianseng itu" Gara-gara senjata itu pula dia kehilangan selembar nyawanya"
"Benar"
Kakek itu menghela napas panjang.
"Dengan cacad mengimbangi kecacadan, dengan kekurangan menutupi kekurangan, justru
karena ada kitab Kiam-boh yang tak utuh, baru terciptalah sebuah jurus serangan yang cocok
untuk senjata cacad. Aaai, mungkinkah semuanya ini kehendak Thian?"
Nyo Cing tak sanggup menjawab, pertanyaan ini memang sulit dijawab siapa pun.
Tiba tiba dari sorot mata kakek itu memancar keluar sinar yang aneh, dia seperti telah melihat
sesuatu persoalan yang tidak terlihat orang lain.
"Mungkin ini bukan kehendak Thian, bisa jadi merupakan keinginan dari Cau taysu sendiri"
"Bagaimana mungkin merupakan keinginannya?"
"Karena dia sudah memiliki kitab pedang Kiam-boh yang tak utuh, maka dengan sengaja
ditempalah sebilah senjata pedang yang cacad dan tak sempuma agar bisa diwariskan kepada
satu satunya murid yang dia miliki"
Setelah menghela napes panjang, lanjutnya:"Dengan kemampuan ilmu pedangnya yang tak
sempuma, temyata mampu mempunyai seorang murid yang nama besamya malang melintang
dalam sungai telaga, jelas kejadian ini sangat membanggakan hatinya, membuat dia tak menyesal
walau harus mengorbankan nyawa sendiri, itulah sebabnya dia tak segan memilih bunuh diri"
Tiba-tiba Nyo Cing merasa bergidik, hawa dingin serasa merasuk hingga ke tulang sumsumnya,
sampai lama kemudian dia baru berkata."Aku juga tahu golok tipis itu berada ditangan siapa,
"Di tangan siapa?"
"Pasti di tangan satu-satunya murid dari Ing Bu Ok"
"Siapa muridnya?"
"Ti Cing Ling, bangsawan kelas satu di kerajaan ini"
"Darimana kau bisa tahu?"
"Karena aku tahu dia telah membunuh seseorang dengan menggunakan golok tersebut, bila
membunuh dengan memakai golok seperti itu, asal gerak serangannya cepat, bukan saja tak akan
meninggalkan bekas luka di badan, darah pun tak akan mengalir keluar, tapi orang yang terbunuh
pasti akan segera merenggang nyawa karena kehabisan darah"
"Tahukah kau ,siapa yang telah dia bunuh?"
"Yang dibunuh adalah Ban Kun Bu, oleh karena tak ada yang bisa melihat mulut luka penyebab
kematiannya, maka siapa pun tak tahu sebab kematian yang menimpa pendekar Ban"
Setelah berhenti sejenak, lanjutnya:
"Tapi aku tahu, karena ayahku pernah beritahu kepadaku, di dunia ini memang benar benar
terdapat sebilah golok yang tipisnya melebihi selembar kertas"
Mendadak paras muka kakek pengasah pisau itu berubah pucat pias, persis sepetti wajah Nyo
Cing tadi, serunya tertahan,
"Tahukah kau, siapa yang minta Cau taysu melatih senjata Leng Khong itu?"
"Siapa?"
"Dia adalah Ban Kun Bu. Waktu itu dia masih muda dan sangat kuat, ilmu goloknya sudah amat
hebat tapi masih ingin belajar ilmu pedang, ketika tahu bahwa Cau taysu telah musnahkan pedang
itu, diapun tidak berkata apa apa karena diapun percaya kalau pedang tersebut sebuah pedang
pembawa sial, bahkan waktu itu dia sudah memiliki sebilah golok emas bersisik ikan yang sangat
ampuh" "Tapi dia tentunya tak tahu bukan kalau Cau taysu telah membuat sebilah golok tipis dengan
menggunakan rongsokan pedang Leng Khong?"
"Tentu saja dia lebih tak menyangka kalau akhirnya dia sendiri yang bakal tewas diujung golok
tipis itu, apakah ini yang disebut kehendak Thian?"
"Aku tidak tahu" Nyo Cing menggeleng, "aku hanya tahu apa yang hendak kulakukan sekarang
merupakan perbuatan yang sama sekali tak diduga oleh Ing Bu Ok"
"Apa yang hendak kau lakukan?"
"Aku hendak membunuh Ti Cing Ling, menggunakan jurus serangan yang tercantum dalam
Kiam-boh hasil barter Ing Bu Ok dengan golok tipis itu dan membunuh satu satunya murid yang
dia miliki"
"Ini disebut kebetulan" Atau kehendak Thian?" tanyanya kepada si kakek setelah berhenti
sejenak. Kakek itu tidak menjawab, dia mendongakkan kepalanya memandang awan di angkasa, langit
masih nampak biru.
Sekilas perasaan ngeri, bingung, terenyuh bercampur baur dalam hatinya.
"Ini disebut kebetulan atau kehendak Thian" Kebetulan seringkali memang merupakan
kehendak Thian... Kehendak Thian lah yang meminjam tangan manusia untuk melakukannnya"
Kehendak Thian tidak sering terjadi, kehendak Thian sukar diduga, Kehendak Thian juga susah
dipercaya, tapi siapa pula manusia di dunia ini yang sama sekali tak percaya"
0-0-0 Dalam ruangan masih nampak bersih, putih bagaikan salju, tab ada debu, talc ada anyir darah,
bahkan setitik debu pun tidal, nampak.
Ti Cing Ling dengan pakaiannya putih bersih bagai salju sedang duduk bersila diatas sebuah
alas duduk, dihadapannya terdapat pule sebuah alas duduk, diatas alas itu masih tersisa hawa
badan trig Bu Ok, tapi manusia yang bemama Ing Bu Ok sudah menguap dari dunia ini, lenyap
untuk selamanya.
Jasadnya sama sekali tidak meninggallcan ruangan itu, tapi sekarang dia sudah lenyap untuk
selamanya. Bila Ti Cing ling ingin melenyapkan seseorang, dia pasti dapat menemukan sebuah cara yang
paling sederhana, paling langsung dan paling mujur.
Suara langkah kaki manusia mulai bergema tiba dari luar pintu, suara langkah tiga manusia.
Suara langkahnya amat ringan, tapi tidak kelewat mantap, ini membuktikan kalau perasaan hati
merekapun sedang tidak tenang.
Sekulum senyuman sadis masih tersungging diujung bibir Ti Cing ling, Jika ketiga orang yang
ada diluar ruangan itu dapat melihat mimik wajahnya saat itu, sudah pasti mereka tak akan berani
masuk ke dalam ruangan.
Sayang mereka tak dapat melihat.
0-0-0 Bab 9. Keluarga bangsawan Iebih dalam dari samudra (tamat)
Pintu ruangan hanya dirapatkan, tiga orang itu langsung berjalan masuk ke dalam ruangan.
Paras muka Ong Ceng Hui nampak sedikit pucat, sepasang mata Jiu Heng Kian juga nampak
agak memutih, pucat karena kurang tidur" Atau karena minum arak terlalu banyak" Mereka
sendiripun tak tahu.
Hanya paras muka Hoa Suya tidak berubah, perduli dia berada dimana pun, melakukan
pekerjaan apapun, orang selalu melihat wajahnya dihiasi senyuman dan keramah tamahan,
bahkan ketika berbuat serong dengan bini orang lain, atau sedang merampas harta milik orang
sambil menggorok leher tuan rumah pun dia selalu tampil dalam keadaan begitu.
Mereka semua belum pergi, karena harus menunggu kabar, menunggu kabar dari Siau Cing.
Mereka sudah menunggu dengan perasaan gelisah, tapi masih juga menunggu, karena mereka
percaya Siau Cing pasti tak akan gagal.
Baru sekarang mereka mengerti, ternyata dugaan itu salah.
Cahaya matahari memancarkan sinarnya ke seluruh permukaan tanah, menerangi halaman
yang lebar, menyinari pula bangunan rumah yang bersih, lamat lamat selapis hawa pembunuhan
yang tebal seakan menyelimuti sekeIiiing tempat itu.


Kait Perpisahan Serial 7 Senjata Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hoa Suya adalah orang terakhir yang berjalan masuk.
Begitu masuk ke dalam ruangan, dia segera membalikkan badan sambil menutup kembali pintu
kamar, dia tak ingin Ti Cing Ling melihat perubahan mimik wajahnya saat itu.
Siapa pun orangnya, paras muka mereka pasti akan berubah amat jelek apabila secara
mendadak melihat seseorang yang disangkanya telah mati, ternyata masih duduk dihadapannya
dalam keadaan segar bugar.
Untung saja Ti Cing Ling tidak memandang ke arah mereka, apalagi memperhatikan perubahan
mimik muka mereka, dia hanya berkata singkat,"Silahkan duduk"
Yang berjalan masuk ada tiga orang, sementara dalam ruangan itu hanya terdapat sebuah alas
duduk saja, hanya cukup menampung satu orang.
Dengan kedudukan serta status sosial mereka, rasanya kurang terhormat bila mereka duduk
diatas lantai. Ong Ceng Hui melirik sekejap ke arah dua orang rekannya, dia tak ingin mendahului duduk
diatas satu satunya alas duduk yang tersedia.
Pada saat itulah terdengar Ti Cing-ling berkata,"Hoa Suya silahkan duduk"
Hoa Suya menoleh ke wajah Ong Ceng Hui tapi orang she Ong itu buru buru membuang muka
menghadap ke arah dinding, karenanya terpaksa Hoa Suya pelan-pelan duduk diatas alas kasur
itu. "Bukankah kalian sedang keheranan, aku yang seharusnya sudah mampus kenapa masih tetap
segar bugar?" ejek Ti Cing Ling kemudian.
Ucapannya tak beda dengan caranya membunuh orang, langsung dan segera membuahkan
hasil. "Apa yang sedang kau katakan" Kami tidak mengerti" seru Jiu Heng Kian sambil berkerut
kening. "Bagus sekali"
"Tidak mengerti kok bagus?"
"Mengerti bagus, tidak mengerti pun bagus, sebab mengerti atau tidak hasilnya sama saja" kata
Ti Cing Ling. Dia segera berpaling ke arah Jiu Heng Kian. lalu tanyanya dingin, "Kau pingin mati dengan cara
apa?" Paras muka Jiu Heng Kian berkerut makin kencang, kulit wajahnya begitu tegang hingga persis
seperti senar biola yang sedang dipetik.
"Kenapa aku harus mati?"
"Karena aku menghendaki kau mati" jawaban dari Ti Cing Ling selalu langsung dan singkat.
"Hijau langit bagai air, naga terbang di angkasa, kau lupa aku ini siapa?" bentak Jiu Heng Kian
nyaring. "Aku tidak lupa" jawaban Ti Cing Ling masih datar dan singkat, "kau menginginkan aku mati,
aku pun menginginkan kau mati, perduli siapa pun dirimu, semuanya sama saja"
Ucapan seperti itu sesungguhnya seringkali diucapkan banyak jago di dunia persilatan, tapi
bobotnya jadi beda sewaktu diucapkan oleh jagoan macam Ti Cing Ling, setiap perkataan yang dia
ucapkan seakan akan merupakan sebuah vonis mati yang dijatuhkan seorang hakim yang
memegang kekuasaan besar dalam penentuan mati hidup seseorang.
Dengan penuh kegusaran Jiu Heng Kian mengawasi Ti Cing Ling tanpa berkedip, tapi dia tak
punya keberanian untuk beradu jiwa, biarpun seluruh otot tubuhnya telah mengejang kencang,
namun isi badannya seperti sudah lemah tak bertenaga, sorot mata orang itu seakan seekor ular
beracun penghisap darah yang telah menghisap darah daging serta seluruh keberaniannya.
Tiba tiba Ong Ceng Hui tertawa dingin, katanya:"Mati adalah mati, jika kau tetap menginginkan
kematiannya, biarkan saja dia mati sekehendak hatinya, buat app mesti banyak tanya lagi?"
"Betul, mati adalah mati, tak ada hal lain yang bisa menggantikan" dari wajah Ti Cing Ling yang
pucat pasi terselip sinar keseriusan yang mencekam, terusnya, "langit diatas bumi dibawah, tak
ada urusan lain lagi yang lebih nyata daripada kematianmu"
Kembali dia menghela napas panjang, tambahnya,"Betul sekali perkataanmu, kau memang
tidak seharusnya menyalahkan dirinya lagi"
Sambil menghela napas, pelan pelan dia bangkit berdiri, berjalan ke hadapan Jiu Heng Kian
kemudian dengan nada suara yang jauh lebih damai ketimbang tadi, katanya lagi. "Kau tak pantas
disebut seorang lelaki sejati, biar keras tampangmu, hati kecilmu justru lemah dan lembek,
padahal selama ini aku seIalu menyukai dirimu"
Tiba tiba dia gerakkan kedua lengannya, seperti sedang memeluk kekasih hatinya, dia rangkul
dan peluk tubuh Jiu Heng Kian.
Temyata Jiu Heng Kian tidak menampik rangkulan ini, sebab dia seperti tak ingin menampik
kebaikan orang.
Pelukan Ti Cing Ling bukan saja halus dan hangat bahkan penuh dengan perasaan, persis
seperti nada ucapannya.
"Sekarang kau boleh pergi" katanya, "maaf, aku tak bisa menghantarmu lebih jauh lagi"
Selesai bicara dia pun lepaskan tangannya, ketika dia lepaskan rangkulan, Jiu Heng Kian masih
menatapnya tanpa berkedip, menggunakan sorot matanya yang kosong, bingung, girang dan
menderita mengawasinya termangu-mangu.
Dia dapat merasakan halus dan hangatnya pelukan itu, tapi bersamaan waktunya dia pun
merasakan juga rasa sakit yang luar biasa.
Rasa sakit itu merasuk jauh ke dalam tulang sumsumnya, tembus hingga jantung dan urat
nadinya. Sampai tubuhnya roboh terkapar di tanah, dia masih belum tahu kalau jantungnya sudah
tertembus sebilah golok yang ditusukkan dari belakang punggungnya ketika dirangkul tadi.
Sebilah golok yang amat tipis, lebih tipis daripada kertas. Senyuman ramah masih menghiasi
wajah Hoa Suya yang bulat gemuk, dia hanya menghela napas panjang.
"Aku kagum padamu, Siau Houya, sekarang aku baru betul-betul merasa kagum kepadamu"
katanya. "Oya?"
"Aku pernah melihat orang lain membunuh, aku sendiripun pernah membunuh, tapi ternyata
ada orang yang bisa membunuh seseorang dengan cara yang begitu lembut, halus dan hangat,
bukan saja aku tak pernah menjumpainya, bahkan mimpi pun tak pemah kubayangkan"
Otot hijau sudah menonjol keluar diatas jidat, wajah serta lengan Ong Ceng Hui, teriaknya:
"Dia bisa membunuh orang dengan cara seperti itu, karena dia memang bukan manusia"
Ti Cing Ling telah duduk kembali, duduk diatas alas duduk. "Kau keliru" katanya, "aku sengaja
membunuhnya dengan cara itu karena aku kelewat suka dengannya"
Nada suaranya masih tetap datar dan penuh kedamaian, lanjutnya,"Terhadap kau tentu saja
beda sekali, aku tak akan menggunakan cara seperti itu untuk membunuhmu"
Dengan sempoyongan Ong Ceng Hui mundur beberapa langkah, hardiknyra,"Kau berani
menggangguku" Kau tahu siapa aku" Kau tak kuatir Lotoa dari Cing Liong Pang akan
mencincangmu jadi daging cacah?"
Ti Cing Ling segera tertawa, tertawanya pun halus, lembut dan penuh kehangatan.
"Siapa kau" Apa kedudukanmu" Kau tak lebih hanya seekor babi yang berlagak sok pintar"
katanya. Orang ini ternyata sanggup mengumpat orang lain dengan memakai nada suara yang begitu
lembut, halus, penuh sopan santun dan hangat, kejadian semacam ini sungguh diluar bayangan
siapa pun. "Sebenarnya aku tak perlu membunuhmu, sepantasnya kalau kuserahkan kau kepada Nyo
Cing" kata Ti Cing Ling lagi, "kaupun tak usah menguatirkan keselamatanku, dalam pendangan
bos kalian, kau paling banter hanya seekor babi, dia tak akan menjadi marah hanya lantaran aku
telah membantai seekor babinya"
Ong Ceng-hui tertawa keras, suara tertawanya mirip sekali dengan jeritan seekor babi yang
siap diterkam serigala lapar, malah lebih mirip lagi dengan teriakan babi yang sedang disembelih.
Hanya bedanya. babi tidak bergolok, sedang dia punya senjata.
Golok emasnya yang selalu tersembunyi dibalik baju segera dicabut keluar, dia memang selalu
sembunyikan senjata itu, bukan lantaran golok tersebut berlapiskan emas, tapi karena senjata itu
adalah sebilah golok lng Ci To (Golok Sayap Manyar).
Senjata inilah baru senjata pembunuh yang sesungguhnya, senjata tajam yang digunakan bila
dia ingin membunuh seseorang.
"Hoa Suya" teriak Ong Ceng hui dengan suara lantang, "kenapa kau masih duduk disitu"
Memangnya kau benar benar mau duduk menunggu kematian?"
Hoa Suya tidak bersuara, pun tidak bergerak, karena sejak awal dia sudah tahu bahwa selama
berada di hadapan Ti Cing Ling, lebih baik dia tidak banyak bergerak.
Tenth saja dia berbuat begini karena dia punya alasan yang kuat.
Sebagai orang ternama, punya kekuasaan, punya kekuatan bahkan memiliki harta kekayaan
yang tak terhitung jumlahnya.
Manusia macam dia, bila sudah memutuskan untuk melakukan satu tindakan, tentu keputusan
itu diambil karena didasari alasan yang sangat baik.
Sejak menyaksikan jasad tubuh Ban Kun Bu tempo hari, dia sudah tahu bahwa Ti Cing Ling
adalah seorang manusia yang sangat menakutkan, sepuluh kali lipat lebih menakutkan daripada
gabungan Jiu Heng Kian serta Ong Ceng Hui.
Tatkala dia saksikan Ti Cing Ling sama sekali tidak terbunuh di tangan Siau Cing, dia semakin
membuktikan akan hal ini.
Satu hal yang paling penting adalah dia percaya Ti Cing Ling tak akan mengganggu dirinya
Ini disebabkan sikap maupun cara Ti Cing Ling menghadapi orang lain sama sekali berbeda
dengan kebiasaan orang banyak, kalau tidak, mengapa dia secara khusus memintanya duduk
disitu" Hoa Suya berpikir terlalu jauh, bahkan bayangannya jauh dari kenyataan, berada dalam
keadaan seperti ini, mengapa dia belum juga mau bergerak"
Ong Ceng Hui sudah mulai bergerak.
Dia tahu Ti Cing Ling adalah seorang jagoan yang amat sulit dihadapi, namun dia sendiripun
bukan seorang jagoan kelas rendah yang gampang dihadapi.
Serangan goloknya ringan, ringan bahkan cepat.
Banyak orang persilatan selama ini berpendapat, andaikata senjata yang digunakan bukan
sebilah golok emas, tapi sebilah golok tipis maka serangan yang dilancarkan pasti jauh lebih cepat
daripada gerakan si Golok Emas murid kesayangan Ban Kun Bu.
Golok emas memang khusus diperlihatkan untuk semua orang, sementara golok andalannya
tidak boleh dilihat siapa pun.
Ketika goloknya mulai menyerang, tatkala musuh dapat melihat golok andalan yang
sesungguhnya, mungkin dia sudah mampus termakan bacokan senjata itu.
Sekarang dia sudah mencabut goloknya, Ti Cing Ling juga telah melihat bentuk goloknya,
tampak cahaya golok berkelebat lewat, tahu tahu dia sudah ancam tenggorokan Iowan.
Ti Cing Ling masih berada dalam posisi terduduk, duduk diatas alas duduknya, Ong Ceng Hui
memang tak ingin memberi kesempatan kepada lawannya untuk melancarkan serangan balasan.
Jika ingin membunuh seseorang, jangan memberi kesempatan kepada musuhmu biar
sedikitpun. Ong Ceng Hui tahu tentang teori ini, bahkan dia telah melakukannya dengan tuntas.
Serangan goloknya sekarang mungkin merupakan serangan goloknya yang tercepat sepanjang
hidup, karena dia sudah mengerahkan segenap kekuatan yang dimilikinya termasuk tenaga
simpanan dalam tubuhnya.
Seseorang hanya bisa mengeluarkan tenaga simpanannya apabila keselamatan jiwanya sedang
terancam bahaya dan posisinya amat kritis.
Kini, dia sudah terancam jiwanya, posisinya sudah amat kntis, jika Ti Cing Ling tidak mampus,
maka dialah yang akan mati.
Ong Ceng Hui tidak mati, Ti Cing Ling jugs tidak mati.
Ketika cahaya golok berkilauan sambil membabat ke depan, tiba tiba Ong Ceng Hui merasa
salah satu bagian tubuhnya seperti tertusuk oleh sebatang jarum.
Suatu tempat yang sangat istimewa, bahkan dia sendiripun tidak tahu dimana letaknya" Tiba
tiba saja dia merasa sekujur badannya linu dan kesemutan, selain linu, kesemutan juga teramat
sakit, begitu linu rasanya membuat air matanya seperti meleleh keluar.
Ketika rasa linu dan sakit itu sudah berlalu, dia mendapatkan dirinya masih berdiri di posisi
semula dalam keadaan utuh, seakan tak pemah terjadi apapun, tak ada bedanya sama sekali
dengan keadaannya tadi sewaktu berdiri untuk pertama kalinya.
Satu satunya yang berbeda adalah goloknya sudah tidak berada dalam genggaman.
Golok miliknya saat itu sudah berada ditangan Ti Cing Ling.
Mengunakan ke dua jari tangannya Ti Cing Ling menjepit ujung golok itu, lalu sambil sodorkan
kembali gagang golok ke hadapannya, dia berkata hambar:"Serangan golokmu tidak cukup cepat,
kau mesti lebih cepat lagi, kenapa tidak dicoba sekali lagi?"
Mengapa Ti Cing Ling tidak membunuhnya" Mengapa dia memberi kesempatan sekali lagi"
Ong Ceng Hui tidak percaya karena dia sendiri tak pemah memberi kesempatan macam begini
kepada lawannya, biar satu kali pun tidak pemah.
Tapi sekarang mau tak mau dia harus percaya, karena golok andalannya sudah kembali
didalam genggamannya.
Tentu saja dia harus mencoba sekali lagi.
Serangan pertamanya gagal karena waktu itu dia kelewat tegang, tegang dapat membuat otot
badannya kejang.
Kali ini dia harus bertindak ekstra hati hati, cara yang digunakan pun pasti jauh berbeda
dengan cara pertama kali lagi.
Tiba tiba tubuhnya mulai bergerak, seperti ikan yang berenang di air, dia mengitari tubuh Ti
Cing-ling tiada hentinya, agar lawannya sama sekali tak dapat melihat dari arah manakah
serangan goloknya bakal dilancarkan.
Jurus serangan ini merupakan jurus gubahannya sendiri yang dikembangkan dari ilmu pukulan
Pat Kwa Yu Sin Ciang (Pukulan Gerak Tubuh Delapan Penjuru), bacokan goloknya seakan
dilepaskan ke posisi "Kan", tapi secara tiba tiba berubah arah dan berbalik menyerang dari posisi
"Li".
Bukan saja bacokan itu dilakukan sangat cepat, perubahan jurus pun teramat cepat, sayang
hasilnya tak berbeda dengan serangan pertamanya tadi, sama sekali tidak membuahkan hasil.
Tahu tahu senjata goloknya kembali berpindah tangan.
Untuk kedua kalinya kembali Ti Cing-ling sodorkan golok tersebut ke hadapannya sembari
berkata:"Kau masih boleh mencoba sekali lagi."
Lagi lagi Ong Ceng hui ulurkan tangannya, lagi lagi menggenggam goloknya, menggenggamnya
kuat kuat. Kali ini dia tak boleh gagal lagi, walaupun dia tahu kesempatan ini bukan kesempatannya yang
terakhir, bisa jadi Ti Cing Ling masih tiada hentinya akan memberi kesempatan kepadanya.
Tapi dia tak ingin menerima kesempatan yang lain.
Karena dia tahu, kesempatan semacam ini sudah bukan merupakan kesempatan lagi,
melainkan satu penghinaan.
Tiba tiba saja dia merasa keadaannya sekarang ibarat seekor tikus yang sedang dipermainkan
dibawah cakar si kucing.
Dia berjanji dalam hati kecilnya, serangannya kali ini tak boleh gagal lagi, dia berjanji kepada
diri sendiri, serangannya ini tak boleh gagal lagi.
Bacokan golok itu merupakari bacokannya yang terakhir, setelah diayunkan ke depan, mata
golok harus dinodai dengan darah segar.
Penghinaan yang telah diterimanya hanya bisa dicuci bersih dengan menggunakan darah.
Benar saja, serangannya kali ini sama sekali tidak meleset, begitu bacokan dilepaskan, mata
golok itu segera terpercik darah segar.
Darah itu bukan darah dari Ti Cing Ling, melainkan darah yang berasal dari tubuhnya sendiri.
Darahnya memang tak jauh berbeda dengan merahnya darah Ti Cing Ling.
0-0-0 Nyo Cing mulai melepaskan kain pembungkus senjata kait perpisahannya satu per satu, lalu
dengan menggunakan ke dua tangannya dia sodorkan senjata kait itu ke hadapan kakek pengasah
pisau. Dia memohon kepada si kakek untuk membuatkan sebuah ramalan nasib atas senjata kaitan
itu. Cahaya matahari memancarkan sinar indahnya ke seluruh jagad, kakek itu menggenggam
senjata kaitan dengan menggunakan ke dua belah tangannya, ujung kaitan menghadap ke langit
dan membiarkan mata senjata terselubung dibawah cahaya sang surya.
Kaitan itu tidak bergerak, kakek itupun tidak bergerak.
Kecuali sepasang matanya, hampir seluruh badannya seperti telah berubah menjadi sebuah
patung arca. Petinya, semangatnya, hawa murninya, sukmanya, seolah olah sudah terhimpun jadi satu dan
tertuju pada senjata kaitan yang digenggamnya itu.
Sinar matanya terang bagai bintang merah di langit utara.
Dia tatap senjata kaitan itu tanpa berkedip, lewat lama kemudian Dia baru buka suara,
mengucapkan sesuatu persoalan yang sama sekali tak ada hubungannya dengan senjata kaitan
itu. "Kau tentu sudah lama, lama sekali tak pernah makan enak, karena wajahmu nampak sangat
kelaparan"
Nyo Cing tidak bicara, dia pun tidak bertanya mengapa secara tiba tiba dia mengucapkan
perkataan itu. "Senjata tajam hasil tempaan seorang empu kenamaan persis seperti manusia, bukan saja
punya wajah juga punya darah, bila lama sekali tidak menghirup darah manusia maka senjata itu
akan memperlihatkan rasa lapamya" ujar si kakek kemudian, "belakangan, senjata kaitan ini tentu
sudah kenyang minum darah manusia, bahkan darah yang berasal dari seorang manusia luar
biasa" "Kenapa pasti berasal dan darah manusia luar biasa?"
"Perbedaan itu sangat kentara, ibarat seseorang yang baru saja kenyang makan sebuah
santapan yang lezat dan mewah, paras mukanya tentu berbeda bukan dibandingkan orang yang
baru saja makan makanan kasar yang murah dan sederhana?"
Perumpamaan semacam ini tidak terhitung tepat, namun Nyo Cing telah memahami apa yang
dia maksudkan. Mau tak mau dia mesti akui bahwa kakek ini memang memiliki kemampuan melihat yang luar
biasa. Kakek itu pejamkan matanya sambit termenung, sesaat kemudian kembali dia bertanya,"Siapa
yang telah kau lukai?"
"Lan It Ceng, Lan Toa Sianseng"
"Aaah, kehendak langit, pasti kehendak langit" seru kakek itu tak tahan.
Dia membuka Iebar matanya, menengadah memandang angkasa, lalu dengan sorot mata
memancarkan rasa hormat yang mendalam katanya:
"Tanpa disengaja Cau taysu telah menciptakan senjata kaitan itu, tapi gara gara kesalahannya
dia harus menebus dengan kematian sendiri, mati ditangan Lan It Ceng. Sekarang Lan It Ceng


Kait Perpisahan Serial 7 Senjata Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terluka juga oleh senjata kaitan itu, bukankah kejadian ini merupakan kehendak langit?"
Berubah paras muka Nyo Cing.
Tapi sebelum dia sempat berkata, kakek itu telah berkata lebih jauh:"Sebenarnya senjata kaitan
inipun merupakan senjata pembawa petaka, bagaikan seorang manusia yang dilahirkan tak genap,
sejak lahir sudah membawa hawa sial, karena itulah begitu keluar dari tempaan, si pembuat
seketika tewas karena senjata tersebut. Biarpun ayahmu sudah malang melintang di kolong langit,
tapi sejarah kehidupannya juga dipenuhi kesedihan, petaka dan penderitaan yang tak terhingga"
Nyo Cing menunduk sedih, sementara sorot mata si kakek kembali terpancar sinar kegirangan.
"Tapi sekarang hawa kesialannya telah punah, punah karena terkena darah dan Lan It Ceng"
ujar kakek itu lebih jauh, "ini dikarenakan Lan It Ceng sesungguhnya adalah pemilik senjata itu,
tapi dia telah membuangnya; Sekalipun dia tidak membunuh Cau taysu, tapi Cau taysu mati
lantaran dia, dia telah memasukkan hawa benci, hawa sakit hati dan hawa kesialan ke dalam
senjata kaitan itu, hanya dengan menggunakan darahnya semua hawa kesialan tersebut baru bisa
dipunahkan"
Penjelasan semacam in mengandung makna filosofi yang sangat dalam, namun dibalik
kesemuanya itu didasari juga dengan alasan serta pemikiran yang jelas dan nyata, membuat
orang mau tak mau harus mempercayainya.
Sambil pejamkan matanya, kembali kakek itu menghela papas panjang, katanya:
"Semuanya memang kehendak langit, bila kehendak langit memang ingin memenuhi semua
keinginanmu, kau pun boleh berlega hati"
Dia serahkan kembali senjata kaitan itu ke tangan Nyo Cing, kemudian tambahnya,
"Pergilah, apa pun yang hendak kau lakukan, jagoan hebat macam apapun yang hendak kau
hadapi, senjata itu tak akan membiarkan kau menderita kegagalan"
Nada suaranya seakan membawa kekuatan misteri yang amat kuat, bukan saja dia telah
mendoakan keselamatan bagi Nyo Cing, dia pun menyumpahi musuh musuh anak muda itu.
Ti Cing Ling yang ketika itu berada ratusan li dari situ, tiba tiba seperti merasakan juga suatu
perasaan yang tak enak, seperti nasib apes segera akan menimpa dirinya.
0-0-0 Ti Cing-ling tak pernah percaya tahayul, seiama hidup dia hanya percaya diri sendiri.
Ketika ujung pedangnya menembusi jantung Ing Bu Ok tempo hari, dia sudah berpendapat, tak
ada seorang manusia pun di dunia ini yang mampu mengalahkan kemampuannya.
Tak heran kalau dalam waktu singkat dia sudah dapat memulihkan ketenangan serta sikapnya
yang dingin, apalagi ketika memandangi wajah Hoa Suya, sikapnya seolah malaikat langit yang
sedang memandang dingin seorang siaujin yang berdosa.
Hoa Suya sudah dibuat ketakutan setengah mati, biarpun masih duduk disitu, namun dia seolah
sudah takluk dibawah kakinya.
"Tahukah kau, mengapa aku tidak membunuhmu?" tiba tiba Ti Cing Ling bertanya.
"Karena aku masih berguna bagi Siau Houya" sahut Hoa Suya sambil tertawa paksa. "Aku
masih dapat melakukan banyak pekerjaan bagimu"
"Kau keliru" tukas Ti Cing Ling dingin, "aku tidak membunuhmu karena kau masih belum pantas
memaksaku untuk turun tangan, kau selalu membuatku muak, sebal dan pingin tumpah"
Sambil berkata, tangannya dijulurkan ke bawah, memencet sebuah tombol rahasia yang berada
ditepi alas tempat duduknya.
Tiba tiba alas duduk Hoa Suya mulai berputar kencang, berikut alas duduk itu permukaan lantai
dibawahnya mulai bergeser ke samping.
Tahu tahu diatas permukaan Iantai telah terbuka sebuah lubang yang sangat gelap dan dalam.
Tubuh Hoa Suya segera terperosok jatuh ke dalam Iubang itu diiringi jeritan ngeri yang
menyayatkan hati, jeritan tersebut jauh lebih menakutkan ketimbang kematiannya sendiri.
Karena sewaktu tubuhnya terperosok jatuh ke dalam gua itu, dia sempat melihat jelas keadaan
di dasar gua Apa yang terlihat oIehnya jauh lebih menakutkan daripada kematiannya sendiri.
Bunga seruni di kebun belakang gedung bangsawan nampak mekar dan indah, terutama di
musim gugur yang kelabu seperti saat ini.
Ti Cing Ling seorang diri berjalan menuju ke atas sebuah gardu kecil, lalu kepada pelayan yang
mengikuti di belakangnya dia berkata:"Hari ini aku hanya ingin bertemu satu orang, kecuali dia..
semuanya ditolak. Orang itu dari marga Nyo bernama Nyo Cing"
0-0-0 Anak tangga diluar pintu gerbang keluarga Ti yang dicat merah darah nampak panjang dan
lebar, semuanya nampak bersih berkilau bagaikan sebuah cermin, bahkan Nyo Cing dapat melihat
wajah sendiri diatas ubinnya yang putih.
Paras mukanya nampak kumal dan kuyu, sangat tak sedap dipandang.
Walaupun dari kantor kejaksaan di kota keresidenan ia berhasil mendapat sedikit ongkos jalan,
namun jumlahnya begitu minim sehingga selama beberapa hari menempuh perjalanan jauh, boleh
dibilang ia tak pernah makan kenyang.
Sudah hampir setengah jam dia duduk diatas undak-undakan sebeIum akhimya berjalan masuk
melalui pintu disamping.
Kepada penjaga sombong yang tadi membukakan pintu, ia bertanya:
"Tadi kau bilang Siau Houya berada di kebun belakang?"
"Ehm"
"Kau bilang sudah mengutus orang untuk memberi laporan, kenapa hingga sekarang belum ada
kabamya?" tak tahan Nyo Cing bertanya.
Penjaga pintu itu memandang hina kearahnya, lalu dengan senyum tak senyum ia mendengus
dingin, sahutnya ketus:"Kau tahu, butuh berapa lama untuk berjalan bolak balik dari sini hingga ke
kebun belakang"'
Nyo Cing menggeleng.
Sebenarnya dia ingin sekali menjotos hidung orang itu hingga berdarah, namun dia berhasil
menahan diri. "Kalau kau tidak tahu, biar aku beritahu kepadamu, dari sini sampai ke kebun belakang
dibutuhkan waktu setengah jam" kata penjaga itu sambil tertawa dingin, "tempat ini adalah
gedung mewah milik seorang bangsawan kerajaan, aku percaya seorang pegawai negeri rendahan
macam kau belum pemah menjamahnya"
Terpaksa Nyo Cing menunggu lebih jauh.
Dari tempat tersebut boleh dibilang sama sekali tak dapat melihat situasi di dalam gedung,
sebuah dinding tembok yang sangat tinggi dengan ukiran sembilan ekor Kilin telah menghalangi
arah pandangan matanya, suasana dibalik tembok amat sepi, sama sekali tak kedengaran sedikit
suarapun. Kembali dia harus menunggu lama sekali, akhirnya dari balik gedung muncul seorang bocah
berbaju sutera dan langsung mengaitkan jari tangan memberi kode ke arahnya.
"Siau Houya sudah setuju untuk bertemu denganmu, mari ikuti aku!"
Dibalik dinding tembok yang tinggi itu merupakan sebuah halaman yang sangat besar, tak ada
pepohonan disana, juga tak ada kolam ikan.
Ditengah halaman yang luas hanya terdapat sebuah hiolo baja yang antik dan berbentuk sangat
besar, membuat halaman itu nampak jauh lebih lebar, lengang dan Iuas.
Pintu gerbang dari gedung besar dihadapannya dalam keadaan tertutup rapat hingga sulit
untuk melihat keadaan disitu, yang terlihat hanya sebatang pipa air yang besarnya dua pelukan
manusia dewasa tergantung diatas wuwungan rumah.
Setelah menyaksikan tempat semacam ini, seseorang baru benar benar bisa memahami apa arti
dari kekuasaan, kekayaan dan kekuatan, membuat siapa saja yang melihatnya merasa terkagum
kagum. Tapi Nyo Cing seperti tidak melihat apa apa, seperti tidak merasakan apa apa.
Karena dihati kecilnya dia hanya memikirkan seseorang dan satu persoalan.
Lu Siok Bun masih menantinya di dalam rumah gubuk penderitaan yang sepi dan terpencil itu,
maka dia harus bisa kembali dalam keadaan hidup.
0-0-0 Ruangan yang putih bagai salju masih kelihatan bersih dan kering, seakan-akan belum pemah
ternoda oleh anyirnya darah.
Ti Cing-ling masih duduk bersila diatas alas duduknya, sambil menuding alas duduk
dihadapannya dia berkata"Silahkan duduk"
Nyoo Cing pun duduk.
Tentu saja mimpi pun dia tak menyangka kalau duduk diatas alas itu tak ubahnva seperti duduk
diatas mulut seekor hewan buas, hewan ganas yang setiap saat dapat menelan seluruh tubuhnya
berikut daging dan tulang, bahkan setitik ampas pun tak tersisa.
Dengan sorot mata yang sangat aneh Ti Cing Ling mengawasinya, dia seperti menaruh rasa
tertarik yang luar biasa terhadap orang ini.
"Sebenarnya tempat ini merupakan tempat yang biasa kugunakan untuk berlatih pedang,
jarang ada tamu yang berkunjung kemari, karena itu jangan heran kalau akupun tak punya apa
apa untuk menjamu mu" ujar Siau-hou-ya dengan suara hambar, "aku rasa, kau pun mungkin tak
sudi menerima jamuanku"
"Betul" nada suara Nyo Cing sama dingin dan hambamya, "aku memang bukan tamu mu"
Dia awasi terus wajah Ti Cing Ling tanpa berkedip, lanjutnya,"Aku hanya ingin bertanya
kepadamu, benarkah Si Si sudah mati" Betulkah kau yang membunuhnya" Benarkah uang
kawalan telah dirampok dan ditukar Ong Ceng Hui" Benarkah dia telah datang kemari?"
Ti Cing Ling tersenyum, tersenyum sambil menghela napas panjang.
"Tahukah kau siapa aku" Tahukah kau tempat apakah ini" Mengapa kau begitu berani bicara
Iancang dihadapanku?"
"Ini disebabkan aku tahu dengan jelas manusia macam apakah dirimu itu, maka aku baru
berani bicara begitu"
"Kau adalah seorang manusia luar biasa, semua orang menanggap kau luar biasa, dan kau
sendiri tentu berpendapat begitu. Dalam sepanjang sejarah hidupmu, kau selalu berada jauh
diatas sana. Justru karena kau adalah manusia begitu, maka akupun baru berani bertanya dengan
cara begitu"
"Kenapa?"
"Karena aku tahu, kau tak bakal menyangkal atau herbohong dihadapanku, karena hakekatnya
kau tak pernah pandang sebelah matapun terhadapku"
Tujuan orang berbohong adalah kalau bukan demi mencari simpatik dari lawan, tentulah demi
melindungi keselamatan sendiri.
Bila kau sama sekali tak pandang sebelah mata terhadap seseorang, maka tak ada alasan
bagimu untuk berbohong, lalu kenapa mesti bohong"
Paras muka Ti Cing Ling sama sekali tidak berubah, dia malah balik bertanya:"Bila apa pun tak
akan kukatakan?"
Nyo Cing termenung sambil berpikir sejenak, lewat berapa saat kemudian dia baru
menjawab:"Jika kau tak mau menjawab, terpaksa aku harus pergi"
"Kenapa harus pergi,
"Karena aku tak punya bukti, bukan saja tak ada saksi juga tak ada barang bukti" kata Nyo
Cing, "sesungguhnya aku memang tak mampu membuktikan bahwa kaulah yang telah melakukan
semua perbuatan itu, juga tak akan ada orang yang bisa menjatuhi hukuman atas dosa dosamu
itu lantaran tuduhan yang kuberikan"
"Oleh sebab itu kau memang tak bisa berbuat apa apa terhadapku?"
"Benar"'
"Lalu kenapa kau datang kemari?"
"Semula aku mengira dengan datang kemari maka aku dapat menemukan bukti, paling tidak
bisa mencari sebuah cara untuk menghadapimu, tapi setibanya di tempat ini, aku segera sadar
bahwa aku salah"
"Dimana letak kesalahannya?"
"Salah karena walaupun aku tak pernah pandang enteng dirimu, tapi aku menilai dirimu
kelewat rendah" kata Nyo Cing, "kau kelewat "besar", sedemikian besarnya sampai semua bukti
telah berhasil kau kubur, sedemikian besarnya sehingga semua masalah yang mendatangkan
ketidak beruntungan bagiku berhasil kau singkirkan"
Setelah berhenti sejenak, terusnya,"Sekarang aku sudah sadar, memang sulit bagiku untuk
menghadapi manusia macam kau, ternyata di kolong langit benar benar terdapat manusia yang
tak mungkin bisa diusik dan persoalan yang sama sekali tak bisa disinggung."
Ti Cing Ling hanya mendengarkan semua perkataan itu dengan mulut membungkam, paras
mukanya tak nampak perubahan, bahkan sedikit reaksi pun tak ada.
Nyo Cing sendiri juga masih duduk mematung disitu, setelah duduk setengah harian lamanya
dia baru bangkit berdiri kemudian dengan langkah lebar tiba tiba berjalan keluar dari situ.
Ti Cing Ling mengawasinya terus, ketika tiba di pintu ruangan dia baru berteriak keras:
"Tunggu dulul"
Nyo Cing memperlambat langkahnya, pelan pelan dia maju beberapa langkah lagi sebelum
berhenti, kemudian membalikkan badan menghadap ke arah lawannya.
Ti Cing Ling masih mengawasinya, mendadak sekulum senyuman sadis tersungging diujung
bibirnya, namun dengan suara yang tetap mendatar dia berkata:"Aku bisa saja membiarkan kau
pergi, agar orang lain yang menghadapimu, menghadapi kau sebagai seorang pencoleng,
perampok dan koruptor, biar mereka yang menuduhmu telah menggelapkan uang kawalan. Aku
yakin sekalipun kau membantah dan berkilah sampai mulut berbusa pun tak bakal ada orang yang
percaya dengan perkataanmu. pada akhimya kau tetap akan mampus"
"Benar, kejadian mungkin akan berkembang jadi begitu, karena memang banyak kejadian
berakhir seperti itu"
"Jika aku tidak perkenankan kau pergi, maka kini di kolong langit sudah tak ada manusia
seperti kau lagi" Ti Cing Ling menambahkan.
Dia segera membuktikan kalau perkataannya bukan gertak sambal belaka, karena tangannya
kembali memencet tombol rahasia dibawah alas duduknya, alas duduk dihadapannya segera
bergeser dan dari atas permukaan tanah segera muncul lubang hitam yang amat gelap.
Nyo Cing tak tahan untuk tidak menengok dasar gua itu, tapi begitu dilihat, nyaris dia muntah
karena mendadak perutnya terasa sangat mual.
Apa yang telah dilihatnya"
Walaupun apa yang dia lihat tak akan terlupakan untuk selamanya, namun dia pun selamanya
tak akan menceritakannya keluar.
Alas tempat duduk telah bergeser kembali ke posisi semula, segala sesuatunya telah pulih
seperti sedia kala, saat itulah Ti Cing Ling baru berkata:"Tahukah kau mengapa aku tidak berbuat
begitu terhadapmu?"
Nyo Cing menggeleng, berusaha keras menahan diri, agar tumpahannya tak sampai muncrat
keluar. "Karena kau adalah seorang yang cerdik, walaupun jauh lebih cerdik dari apa yang semula
kubayangkan, namun kecerdikanmu tidak kelewat batas" kata Ti Cing ling, "setiap ucapanmu
sangat beralasan dan masuk akal, semua perbuatan dan tindak tandukmu adil, oleh karena itu aku
harus menggunakan cara yang paling adil juga untuk menghadapi dirimu"
Senyuman yang lebih dingin, lebih sadis tersungging diujung bibimya, ia berkata lebih
jauh:"Betul, Si Si memang mati ditanganku, uang kawalan yang dirampok memang berada
ditempat ini, asal kau dapat mengalahkan aku dengan menggunakan senjata yang berada
ditanganmu, semua uang begalan itu akan menjadi milikmu, selembar nyawa ku juga menjadi
milikmu, kau boleh membawa pergi semuanya"
Nyo Cing memandangnya, mengawasinya sampai lama sekali, kemudian dengan menggunakan
nada suara yang tak kalah dingin dan sadisnya dia menjawab,"Sudah kuduga, kau pasti akan
berbuat begitu, karena kau kelewat congkak, kau tak pernah pandang sebelah mata pun terhadap
orang lain"
0-0-0 Ti Cing Ling memang seorang lelaki yang amat sombong, tapi dia punya alasan yang kuat
untuk sombong, untuk tinggi hati dan tak pandang sebelah mata terhadap orang lain.
Ilmu silay yang dia miliki sangat tinggi, hebat dan sempuma, kepandaian Nyo Cing masih bukan
tandingannya. Dia tidak menggunakan pedangnya untuk menghadapi Nyo Cing, yang dia gunakan adalah
golok tipis yang sangat pendek.
Sama seperti senjata Kait Perpisahan yang berada ditangan Nyo Cing, pisau tipis itupun hasil
tempaan seorang empu yang sama, bahkan berasal dari bahan yang sama juga hanya gara gara si
pembuat senjata salah membuat sebilah pedang mestika, akhirnya muncullah sebilah senjata kait
dan sebilah pisau tipis.
Bedanya, Ti Cing Ling telah menguasahi semua tehnik dalam penggunaan pisau itu, ilmunya
sudah mencapai puncak kesempurnaan, dimana dia bisa menyerang maupun bertahan sesuai
dengan kehendak hati sendiri.
Kemampuannya mengendalikan golok itu persis seperti orang lain mengendalikan jaian pikiran
sendiri, mau ke mana senjata itu akan bergerak ke mana, bila dia ingin menusuk jantung
seseorang, maka sasarannya tak akan meleset walau setengah inci pun.
Tampak cahaya golok berkelebat, mata golok langsung menusuk ke jalan darah Ci-ti-hiat
dibawah iga Nyo Cing, memang sasaran itu yang hendak ditusuk Ti Cing Ling.
Dia tak ingin NyoCing mati kelewat cepat.
Baginya, Nyo Cing adalah seorang yang sangat menarik, tidak terlalu sering dia dapat
menikmati kesenangan yang kejam dan sadis semacam ini.
Dia pun tahu, jika jalan darah Ci Ti Hiat di iga seseorang sampai tertusuk maka separuh
badannya segera akan jadi kaku dan kesemutan, dia akan kehilangan sama sekali kekuatan
tubuhnya untuk melakukan perlawanan.
Jalan pemikiran itu sebenarnya benar dan sangat tepat, sayang dia tak pernah mengira kalau
Nyo Cing memang khusus mempersiapkan senjata Kait perpisahan itu untuk menghadapi dirinya.
Cahaya tajam yang terpancar keluar dari Kait perpisahan sangat menyilaukan mata.
Nyo Cing sama sekali tidak berusaha menghindar, dia tidak berkelit dan membiarkan golok
yang amat tajam itu menusuk ke atas jalan darah Ci Ti Hiat nya dan membabat lengan kirinya..
Lengan itu seketika berpisah dengan badannya.
Berpisah memang untuk berkumpul, asal dapat berkumpul, berapa besar pun penderitaan yang
harus dialami selama berpisah, tetap harus diterima dengan hati lapang.
Ditengah penderitaan yang hebat dan mendalam, sambil menahan rasa sakit yang merasuk
hingga ke tulang sumsumnya karena kehilangan lengan sebelah kirinya, Nyo Cing menggigit bibir
sambii mengayunkan senjata kait perpisahannya ke atas, langsung menyambar tenggorokan Ti
Cing-ling yang sedang gembira.
Ti Cing Ling sangat terkejut, dia berusaha menghindar, tapi sayang keadaan sudah terlambat.
Tak ampun, nyawa Ti Cing Ling pun segera melayang meninggalkan raganya seperti juga
kepalanya terpisah dari raganya. Siapa yang sombong pasti kalah.
Perkataan ini memang sangat benar dan tepat, siapa pun anda, camkan baik baik perkataan itu
didalam hati dan jangan pernah melupakannya.
TAMAT

Kait Perpisahan Serial 7 Senjata Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Petualang Asmara 23 Kisah Dua Saudara Seperguruan Karya Liang Ie Shen Pendekar Riang 2

Cari Blog Ini