Kilas Balik Merah Salju Karya Gu Long Bagian 2
khayul, tapi apa mau dikata, kejadian yang
ditemuinya belakangan ini justru sukar diterima
akal sehat. Orang yang telah mati sejak sepuluh tahun
berselang, ternyata satu per satu muncul di
hadapannya dalam keadaan hidup. Kemudian dari
balik tanah gundukan perbukitan kecil ini bisa
muncul pula suara nyanyian seperti jeritan dari
dalam neraka. Seandainya semua kejadian itu bukan
dialaminya sendiri, siapa pula yang mau percaya"
Tapi setelah percaya, apa pula yang bisa
dilakukan"
Diawasinya tanah gundukan itu lekat-lekat, lalu
dengan tangan kanan dia mencoba meraba
permukaan tanah, dia ingin membuktikan
benarkah gundukan tanah itu asli atau bukan.
Begitu jari tangannya menyentuh permukaan
tanah, ia segera sadar bahwa gundukan tanah itu
betul-betul asli. Bersamaan dengan itu,
mendadak terjadi goncangan kuat dari balik
tanah, diikuti munculnya beribu garis cahaya yang
memancar dari balik gundukan.
Mengikuti munculnya pancaran cahaya,
terdengar pula suara raungan gusar yang
memekakkan telinga.
Cahaya yang terpancar dari dalam tanah itu
mirip semburan api yang terang benderang dan
menyilaukan mata, mirip pula dengan pancaran
cahaya komet yang terlihat dari kejauhan.
Dengan terperangah Pho Ang-soat mengawasi
pancaran cahaya yang menembus pepohonan itu,
pekikan dan raungan gusar yang berkumandang
tak ubahnya seperti teriakan dan jeritan beriburibu
setan iblis dari neraka, membuat hati siapa
pun bergidik dan ketakutan.
Pada saat Pho Ang-soat masih tertegun dan
terbelalak dengan mulut melongo itulah
mendadak pancaran beribu cahaya itu berubah
bentuk dan muncullah seseorang.
Mula-mula hanyalah sesosok bayangan yang
lamat-lamat, tapi lambat-laun semakin jelas
pakaian yang dikenakan, rambutnya, tangan
kakinya dan terakhir terlihat jelas kerut wajah
seseorang. Ternyata kumpulan beribu cahaya yang
menyilaukan mata itu kini sudah berwujud
seseorang. Benar, sesosok manusia hidup!
Menyaksikan manusia yang terbentuk dari
kumpulan cahaya itu, Pho Ang-soat bergidik,
hawa dingin yang menusuk tulang muncul dari
lubuk hatinya dan menyebar ke seluruh badan,
ditatapnya orang itu dengan penuh rasa kaget,
tercengang bercampur ngeri.
Orang itu balas menatap Pho Ang-soat, bukan
saja wajahnya penuh senyuman, bahkan
pancaran sinar matanya pun penuh dengan
senyuman, sayang walau dia tersenyum namun
senyuman itu belum cukup untuk melenyapkan
rasa ngeri Pho Ang-soat.
Dengan mata terbelalak Pho Ang-soat masih
mengawasi orang itu, dari ujung kepala hingga
ujung kaki, kemudian ditatapnya pula pedang
merah darah yang berada dalam genggaman
tangan kiri orang itu.
Begitu merah menyala pedang itu melebihi
merahnya darah, tapi segar dan indah bagaikan
bunga mawar. Itulah pedang mawar, ya, pedang mawar milik
Yan Lam-hui. Ternyata manusia yang terwujud
dari kumpulan cahaya itu tak lain adalah Yan
Lam-hui, Yan Lam-hui yang telah tewas di ujung
golok Pho Ang-soat beberapa tahun berselang.
"Apa kabar?" sapaan Yan Lam-hui masih
terdengar memikat, seakan mempunyai daya
tarik. Pho Ang-soat dengan jelas mendengar sapaan
itu, namun untuk sesaat tak tahu bagaimana
harus menjawab.
"Baru berpisah beberapa tahun, masa kau
sudah lupa padaku?" senyuman Yan Lam-hui
nampak semakin mengental, "aku adalah Yan
Lam-hui ! "
"Sebenarnya kau...." suara Pho Ang-soat agak
gemetar. "Manusia atau setan?" Yan Lam-hui
menyeringai, "jika penilaian itu dilakukan oleh
bangsa manusia macam kau, seharusnya saat ini
aku sudah terhitung sebagai setan."
"Bangsa manusia?" sejelek-jeleknya Pho Angsoat,
dia tetap seorang jago kosen, dalam waktu
singkat ia berhasil mengendalikan gejolak hatinya
dan kembali bersikap tenang, "jadi kau bukan
terhitung manusia?"
"Yang masih hidup adalah manusia, setelah
mati tentu saja berubah jadi setan."
"Kalau begitu kau termasuk golongan setan?"
Pho Ang-soat mulai tertawa dingin.
"Sewaktu mati, memang aku sempat menjadi
setan," ujar Yan Lam-hui sambil tertawa,
"beruntung sekali aku telah bertemu Pangeran
kegelapan."
"Pangeran kegelapan" Siapa Pangeran
kegelapan?"
"Di antara alam yang dihuni golongan manusia
dan alam yang dihuni golongan setan, masih
terdapat sebuah alam lain yang tak akan bisa
kalian bayangkan, nah, alam itulah yang
dikendalikan dan diurus Pangeran kegelapan."
"Oh, jadi dimana letak alam itu?"
"Berada di antara langit dan bumi, berada di
antara kau dan aku. Alam itu persis berada di
sisimu, hanya sayang kau tak akan bisa
menemukannya."
"Lalu apa yang harus kulakukan agar dapat
melihatnya?"
"Asal kau sudah menjadi penghuni alam itu
atau Pangeran kegelapan telah menganggukkan
kepalanya," sahut Yan Lam-hui sambil tertawa
tergelak. Awan gelap telah menyelimuti angkasa, sinar
rembulan pun lenyap dari pandangan mata.
Di tengah kegelapan itulah lamat-lamat terlihat
seolah ada cahaya biru yang menyebar dari badan
Yan Lam-hui, cahaya aneh yang membuat
perasaan orang bergidik dan seram.
Dengan tatapan tajam Pho Ang-soat
mengawasi gerak-gerik Yan Lam-hui, benarkah
antara alam manusia dan setan masih terdapat
alam lain yang tak terbayangkan oleh akal
manusia" Seperti apakah alam yang dimaksud"
Siapa pula penghuninya" Manusia" Atau setan"
Atau mungkin sebangsa dewa-dewi"
Selama hidup belum pernah Pho Ang-soat
percaya bahwa di dunia ini terdapat dewa-dewi
atau setan, dia anggap kepercayaan semacam itu
hanya takhayul, omong kosong. Tapi apa mau
dikata, justru setiap peristiwa yang dijumpainya
belakangan ini, membuatnya mau tak mau harus
menerima semua takhayul itu sebagai suatu
kenyataan. Orang-orang yang sudah mati, satu per satu
muncul kembali di hadapannya, muncul dalam
keadaan hidup. Dari dalam gundukan tanah yang sangat biasa
ternyata terpancar beribu cahaya. Dan cahaya
yang terpancar ternyata dapat berbentuk
seseorang, bahkan seseorang yang sudah mati.
Tapi semua peristiwa itu bukan inti masalah
yang membuat Pho Ang-soat tercengang. Yang
membuatnya terperangah, kaget dan ngeri adalah
terdapatnya alam lain di antara alam kehidupan
manusia, alam misterius yang selama ini tidak
diketahui siapa pun.
Lalu disebut apakah alam misterius yang tidak
diketahui itu" Surga" Neraka" Atau dunia maya
yang selama ini sering dibicarakan umat
persilatan"
"Bila benar-benar terdapat alam seperti ini, apa
nama alam itu?" tanya Pho Ang-soat kemudian,
"disebut apa pula penghuni yang tinggal di alam
itu?" "Dunia keempat" Yan Lam-hui menerangkan,
"penghuninya disebut manusia maya, oleh
karena itu dunia keempat disebut juga dunia
maya" "Apa syaratnya untuk masuk ke dunia keempat
itu?" "Tidak dibutuhkan syarat apa pun, sama sekali
tak dibutuhkan syarat," Yan Lam-hui tertawa,
"yang terpenting ada jodoh atau tidak."
"Jodoh?"
"Betul, jodoh, siapa yang berjodoh maka pintu
alam kita akan terbuka untuknya."
"Kalau tidak berjodoh?"
"Kalau tidak berjodoh maka silakan hidup
berlanjut di dunia yang penuh kepedihan ini,"
sahut Yan Lam-hui sambil tertawa, "oleh karena
itulah aku harus mengucapkan selamat
kepadamu."
"Mengucapkan selamat kepadaku" Kenapa?"
kembali Pho Ang-soat melengak.
"Karena kau adalah orang yang berjodoh, itulah
sebabnya kau dapat mendengar suara
nyanyianku, datang kemari dan berjumpa dengan
Utusan Cahaya."
"Utusan Cahaya?"
"Bukankah tadi kau saksikan ada pancaran
cahaya" Nah, akulah pancaran cahaya itu, Utusan
Cahaya adalah diriku."
"Hanya orang berjodoh yang dapat bertemu
Utusan Cahaya" Hanya Utusan Cahaya yang
dapat membimbingku memasuki dunia keempat?"
"Betul."
"Setelah tiba di dunia keempat, apa pula yang
bisa kudapat?" jengek Pho Ang-soat sambil
tertawa dingin. "Jadi dewa" Jadi manusia abadi
yang tak bisa mati?"
"Benar, dan masih ada lagi, kau akan
memperoleh kekayaan yang berlimpah," sambung
Yan Lam-hui, "apa pun yang bakal kau peroleh,
sudah lebih dari cukup untuk menimbulkan badai
besar di dunia Kangouw."
"Apa yang kau sampaikan merupakan imingiming
yang bisa membuat orang tergiur, terpikat,
tapi sayang di dunia ini masih terdapat jenis
manusia lain, manusia yang tak terpikat oleh
semua itu," kata Pho Ang-soat hambar.
"Aku tahu, manusia macam kau memang tak
bakal terpikat oleh kekayaan dan emas," Yan
Lam-hui tertawa, "tapi bagaimana dengan
tawaran menjadi manusia abadi" Masa kau tidak
tertarik menjadi manusia abadi yang tak bisa
mati?" "Sayang aku hanya tahu bahwa manusia harus
hidup penuh makna, daripada hidup abadi sebagai
sesosok boneka, lebih baik hidup berpuas ria
selama beberapa tahun."
"Bukankah lebih baik hidup daripada mati,
meski hidup di bawah kendali?"
"Benarkah begitu?" Pho Ang-soat tertawa
dingin, "benarkah semua penghuni dunia
keempat adalah manusia abadi yang tak bisa
mati?" "Kalau tidak bernyawa, mana mungkin
bisa mati?"
"Bukankah kau sudah pernah mati satu kali?"
jengek Pho Ang-soat sambil menatap dingin
dirinya. "Karena setiap orang yang ingin memasuki
dunia keempat, dia wajib mati satu kali."
"Oh, jadi kalau aku ingin bergabung dengan
kalian, maka aku wajib mati terlebih dulu?"
"Betul, tinggalkan badan kasarmu yang tak
berguna dan sisakan arwahmu yang suci bersih,
hanya semua yang suci bersih yang dapat
memasuki dunia maya."
"Rupanya kedatanganmu sebagai Utusan
Cahaya pada malam ini adalah ingin menjemput
aku pulang ke langit barat?"
Yan Lam-hui tertawa hambar, perlahan-lahan
dia mencabut pedangnya yang berwarna merah
darah. Begitu pedang itu dilolos dari sarungnya, meski
tiada cahaya sang surya, namun cahaya pedang
itu amat menyilaukan mata seperti pantulan
cahaya matahari, lembut dan indah bagai sinar
rembulan. Hawa pedang mulai menyelimuti wajah Pho
Ang-soat, hawa membunuh pun semakin
Kilas Balik Merah Salju Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengental. Pho Ang-soat belum juga bergerak, tangan
kirinya menggenggam kencang goloknya yang
hitam pekat. Golok hitam yang melambangkan
kematian. Bukankah warna merah darah pun
melambangkan kematian"
Golok belum lagi diloloskan dari sarung, tapi
paras muka Pho Ang-soat telah berubah semakin
memucat, dia mengawasi pedang di tangan Yan
Lam-hui tanpa berkedip, mimik mukanya tanpa
perasaan sementara biji matanya menyusut kecil.
Yan Lam-hui balas menatap lawannya, sorot
matanya yang berkilat bagai cahaya bintang di
tengah malam memancarkan semacam perasaan
aneh, entah perasaan itu melambangkan
kegembiraan seorang yang baru terlepas dari
penderitaan" Ataukah perasaan pedih karena
ketidakberdayaan.
Perlahan-lahan Pho Ang-soat mendongakkan
kepala dan balas menatap matanya.
Ketika tatapan mata mereka saling bertemu,
terjadilah benturan bunga api yang menyebar di
tengah kegelapan malam, seperti dua komet yang
tiba-tiba saling bentur.
Tiba-tiba Pho Ang-soat berkata, "Kau sudah
dua kali kalah di tanganku, buat apa mesti
mencari kekalahan untuk ketiga kalinya?"
Mata Yan Lam-hui menyusut, tahu-tahu
pedangnya melancarkan sebuah tusukan.
Cahaya pedang segera menyebar ke seluruh
langit, secepat sambaran kilat pedang itu
meluncur ke muka, memancarkan hawa senjata
yang dingin bagaikan es.
Sebaliknya gerakan golok hitam justru sangat
lambat. Biarpun kelihatan lamban, namun belum lagi
cahaya pedang itu menerobos masuk, tahu-tahu
golok itu sudah menerobos lebih dulu ke balik
cahaya pedang dan membendung seluruh
ancaman itu. Dalam waktu singkat di angkasa hanya tampak
cahaya pedang yang merah membara bagai darah
serta mata golok yang putih memucat.
Satu tebasan cahaya golok yang sangat tawar,
setawar air telaga di musim semi, dan sedingin
hawa musim salju berkelebat, ya, hanya satu
kelebatan saja, tahu-tahu bunga pedang yang
semula menyelimuti angkasa kini telah lenyap.
Rupanya tebasan golok Pho Ang-soat telah
berhasil memunahkan serangan maut Yan Lamhui.
Seolah-olah ilmu silat Yan Lam-hui sama sekali
tidak mengalami kemajuan, biarpun orangnya
telah hidup kembali namun ilmu silatnya justru
telah mati. Dengan lenyapnya ancaman cahaya pedang,
seharusnya Pho Ang-soat merasa gembira dan
bangga, ternyata tidak, alisnya justru berkerut
kencang, malah raut mukanya memperlihatkan
perubahan yang aneh.
Kendatipun dia berhasil memunahkan jurus
pedang Yan lam-hui, namun dia justru dapat
merasakan bahwa hawa pedang yang terpancar
dari tubuh lawannya jauh lebih tebal dan kental.
Begitu jurus pedangnya jebol, Yan Lam-hui
segera tertawa seram yang mengerikan, bagaikan
suara raungan dari neraka, berbareng cahaya
hijau yang menyelimuti badannya kian bertambah
tebal dan menguat.
Di tengah tawa seramnya, sekali lagi Yan Lamhui
melancarkan sebuah tusukan.
Kali ini tiada cahaya pedang yang menyelimuti
angkasa, tiada kecepatan bagai sambaran kilat,
tapi hawa pedang yang terpancar justru makin
tebal, makin rapat.
Tusukan pedang itu datang secara lamban,
tiada bunga pedang yang terlihat kecuali getaran
keras pada ujung senjata.
Begitu melihat getaran ujung pedang lawan,
serta-merta Pho Ang-soat mundur selangkah.
Baru saja kakinya melangkah mundur, ujung
pedang yang bergetar tiada hentinya itu tahuTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
tahu memancarkan cahaya tajam berwarna hijau
tua. Sinar hijau itu meluncur ke depan, menembus
udara dan langsung mengancam dada musuh.
Beruntun Pho Ang-soat harus menggunakan
tiga macam gerakan tubuh yang berbeda sebelum
berhasil lolos dari ancaman cahaya hijau itu, tapi
sayang dia tak berhasil menghindari tusukan
pedang Yan Lam-hui.
Ujung pedang menyambar, darah segar segera
muncrat kemana-mana.
Darah segar berwarna merah, semerah pedang
mawar dalam genggaman Yan Lam-hui.
Ternyata bahu kiri Pho Ang-soat telah
tersambar ujung senjata lawan hingga muncul
sebuah mulut luka berdarah.
Luka itu cukup dalam, meski tak sampai
menimbulkan rasa sakit yang luar biasa.
Sambil mengertak gigi Pho Ang-soat
mengayunkan goloknya dengan tangan kanan,
melepaskan bacokan kilat.
Bacokan itu bukan ditujukan kepada lawan, tapi
dibabatkan langsung ke bahu kiri sendiri.
Ketika mata golok berkelebat, kulit daging di
bahu kirinya segera tersayat.
Kembali darah menyembur dari bekas sayatan
itu, kini Pho Ang-soat baru merasakan kesakitan
yang luar biasa, namun dia justru
menghembuskan napas lega.
Tak lama setelah kulit daging bahu yang
tersayat itu jatuh ke tanah, tiba-tiba terdengar
suara mencicit bergema dari sayatan itu, dalam
waktu singkat sayatan kulit daging tadi
berubah jadi hitam pekat, lalu dalam sekejap
melumer dan berubah jadi cairan berwarna
hitam pekat. Racun! Ya, hanya tubuh yang terkena racun
baru akan menimbulkan gejala seperti ini.
Mengawasi cairan hitam yang membusuk di
atas tanah, Pho Ang-soat tertawa dingin,
jengeknya, "Rupanya penghuni dunia keempat
pun pandai menggunakan akal busuk, bahkan
pintar sekali memakai racun."
Yan Lam-hui tidak menjawab, sekali lagi dia
memperdengarkan suara tawanya yang
menyeramkan, pedang dalam genggamannya
kembali melancarkan tusukan.
Kali ini tidak menunggu ujung pedang lawan
bergetar, golok Pho Ang-soat telah bergerak lebih
dahulu. Tiada bunga golok, tiada hawa golok, yang
terjadi hanya sekali bacokan, bacokan dari atas
ke bawah, dari gerak cepat berubah jadi lambat.
Di tengah cahaya pedang berwarna merah,
terbias selapis cahaya golok yang sangat tipis.
Dimana cahaya golok berkelebat, tahu-tahu
pedang Yan Lam-hui telah berubah menjadi dua
bagian dan terpisah ke kiri kanan.
Ternyata bacokan golok itu telah membelah
pedang mawar menjadi dua bagian.
Pedang itu terpapas kutung jadi dua bagian,
setengah bagian masih berada dalam genggaman
Yan Lam-hui dan setengah bagian yang lain
rontok ke tanah
Tiba-tiba Yan Lam-hui mengepalkan tangan
kirinya, sambil menjulurkan jari telunjuk dan jari
tengahnya, dia membuat satu guratan lingkaran
aneh di tengah udara dan mulutnya komat-kamit,
kemudian ia berteriak, "Terbang!"
Kurungan pedang yang semula tergeletak di
tanah itu tiba-tiba meluncur ke udara bersamaan
dengan suara bentakan Yan Lam-hui, lalu dengan
kecepatan tinggi meluncur ke arah Pho Ang-soat.
Kutungan pedang itu meluncur begitu mantap
dan bertenaga, seolah-olah terdapat tangan tak
tembus pandang yang sedang menggenggamnya
dan ditusukkan ke tubuh lawan.
Pedang yang semula sebilah mendadak
berubah jadi dua potong, satu bagian berada di
tangan Yan Lam-hui, bagian yang lain terbang
melancarkan serangan maut. Inilah ilmu pedang
tingkat tinggi, ilmu pedang yang dikendalikan
tenaga dalam. Selama ini kehebatan ilmu itu hanya ada dalam
dongeng atau cerita orang, sama sekali tak
disangka hari ini dari Yan Lam-hui dapat
disaksikan kenyataan itu, setelah bangkit dari
matinya terbukti ilmu silat orang ini bertambah
lihai dan sakti.
Seorang Yan Lam-hui dengan sebilah pedang
saja sudah begitu susah dihadapi, apalagi
sekarang, setelah bertambah lagi dengan sebuah
ancaman yang datang dari udara, Pho Ang-soat
merasakan tekanan yang semakin berat.
Terpaksa dengan sekuat tenaga dia hadapi
ancaman yang datang dari depan maupun
belakang dengan sekuat tenaga.
Manusia aneh dengan jurus serangan aneh dan
ujung pedang yang telah dipoles racun keji...
semakin bertarung, suara tawa Yan Lam-hui
semakin bertambah nyaring.
Semakin nyaring suara tawa lawan, peluh
dingin yang membasahi jidat Pho Ang-soat makin
bertambah deras.
Pedang terbang itu sekali-kali melancarkan
tusukan maut ke tubuh Pho Ang-soat, baru
selesai dia menghindari ancaman pedang terbang
itu, ancaman pedang Yan Lam-hui menyusul tiba.
Sambil membalikkan badan Pho Ang-soat
melayangkan bacokan, siapa tahu pedang terbang
itu tiba-tiba berbalik arah dan menyambar lagi
dari belakang tubuhnya.
Ancaman itu datang tanpa menimbulkan suara,
secara diam-diam pedang itu membokong ke arah
batok kepala Pho Ang-soat.
Berhubung jurus serangan yang dilancarkan
Yan Lam-hui sangat ganas dan hebat, Pho Angsoat
harus menggunakan seluruh kemampuan
dan perhatiannya untuk menghadapi, ditambah
pula punggungnya tidak bermata, hakikatnya dia
sama sekali tidak tahu pedang terbang itu sedang
berbalik arah mengancam tubuhnya tanpa
menimbulkan suara.
Sekalipun tahu juga sulit baginya untuk
menghindarkan diri, sebab sekalipun dia mampu
menghindari serangan pedang terbang itu, belum
tentu berhasil menghindari serangan pedang Yan
Lam-hui. Di saat yang paling kritis itulah sarung golok di
tangan Pho Ang-soat tahu-tahu menerobos keluar
lewat bawah ketiak dan.... "Traang!", percikan
bunga api memancar dari sarung golok berwarna
hitam itu, tahu-tahu pedang terbang itu sudah
menerobos masuk ke dalam sarung golok itu.
Cepat Pho Ang-soat mengayunkan tangan
kirinya, sarung golok berikut pedang terbang itu
turut bergeser ke samping, cepat dia berjongkok
lalu berputar, secepat kilat ia meloloskan diri dari
tusukan pedang Yan Lam-hui.
Setelah itu dia membalikkan tangannya,
dimana cahaya golok berkilauan, ia songsong
datangnya cahaya pedang lawan.
Tidak terjadi benturan antara golok dan
pedang, meski cahaya pedang datang begitu
cepat, namun gerakan golok jauh lebih cepat.
Ujung pedang Yan lam-hui nyaris menembus
tenggorokan Pho Ang-soat, selisihnya tak lebih
dari satu inci.
Biarpun hanya satu inci, namun satu inci yang
bisa menyebabkan nyawa melayang.
Gara-gara selisih satu inci itulah kembali
cahaya golok Pho Ang-soat berkelebat, kemudian
terdengarlah jeritan ngeri yang menyayat hati
diikuti percikan darah segar.
Di tengah semburan darah yang memancar
kemana-mana, tubuh Yan Lam-hui mundur tiga
langkah dengan sempoyongan sebelum akhirnya
sama sekali tak bergerak.
Pho Ang-soat pun tidak bergerak, hanya
tetesan darah menetes dari ujung goloknya.
Tidak ditemukan sedikit luka pun di tubuh Yan
Lam-hui, hanya sepasang matanya memancarkan
cahaya sayu, menatap Pho Ang-soat tanpa
berkedip. Sinar mata tak percaya, namun di balik rasa
tak percaya terselip juga perasaan percaya.
Pho Ang-soat sama sekali tak bergerak, dia pun
Kilas Balik Merah Salju Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sama sekali tidak menatap Yan Lam-hui.
"Mana mungkin... mana mungkin?" terdengar
Yan Lam-hui bergumam t i ada hent inya.
Kemudian tertampaklah butiran darah
perlahan-lahan mengucur dari jidat di antara
kedua alis matanya, mengalir lewat bulu mata,
turun ke tenggorokan dan membasahi perutnya.
Sekali lagi cahaya golok berkelebat, kali ini
tubuh Yan Lam-hui yang dibabat.
Bersamaan dengan munculnya lelehan darah,
tubuh Yan Lam-hui berikut pedangnya segera
membelah diri menjadi dua, persis seperti
pedangnya tadi.
Kembali Yan Lam-hui mundur tiga langkah, tapi
belum langkah keempat, tubuhnya sudah terbelah
jadi dua dan roboh terkapar di tanah.
Sampai tubuhnya roboh di atas tanah, paras
muka Yan Lam-hui masih mengunjuk rasa tidak
percaya, rasa ngeri dan takut yang luar biasa.
Perlahan-lahan Pho Ang-soat bangkit,
memandang wajah Yan Lam-hui yang terbelalak
tak percaya, dia mendengus dingin, jengeknya,
"Ternyata penghuni dunia keempat pun tetap bisa
mati." Pho Ang-soat memungut sarung goloknya
sambil menyarungkan kembali senjatanya, lalu
dengan menggunakan langkahnya yang aneh dan
khas, perlahan-lahan meninggalkan gundukan
tanah itu menuju keluar hutan.
Saat itulah cahaya pertama sang surya mulai
memancar dari ufuk timur, menembus awan
tebal, menyinari hutan nan gelap, membuat
butiran embun yang tersisa di dahan dan
dedaunan membiaskan cahaya yang menyilaukan
mata. Butiran embun kecil terhimpun membesar lalu
menetes dari atas dahan, menetes persis di atas
mata Yan Lam-hui.
Tiba kembali di Ban be tong, hari mulai terang
tanah. Pho Ang-soat tetap berjalan lamban, tibatiba
ia menjumpai satu kejadian aneh, biarpun
sudah terang tanah namun suasana dalam Ban be
tong masih sunyi sepi, jangankan menjumpai
seseorang, sedikit suara pun tidak terdengar.
Mana penghuninya" Kemana mereka telah
pergi" Jangan-jangan setelah malam berlalu,
keadaan Ban be tong akan pulih seperti keadaan
malam sebelumnya" Mungkinkah mereka yang
seharusnya telah mati, kini kembali masuk ke
liang kubur"
Sekali lagi Pho Ang-soat memeriksa keadaan
sekeliling tempat itu, bangunan Ban be tong
masih tegak megah, tak nampak bangunan itu
berubah jadi puing yang terlupakan, namun
masih tetap tak kelihatan seorang pun. Aneh!
Benar-benar sangat aneh!
Kemana perginya Yap Kay" Bukankah dia
senang berkeliaran dan berhura-hura di
sembarang tempat" Mengapa tidak nampak
batang hidungnya"
Pho Ang-soat berkerut kening, rasa heran dan
curiga mencekam hatinya, tapi ia tidak
menghentikan langkahnya, selangkah demi
selangkah berjalan balik ke tempat penginapan.
Setelah tiba di luar penginapan, kembali ia
jumpai satu peristiwa aneh.
Dari balik daun jendela bangunan penginapan
yang megah, terbias begitu banyak bayangan
manusia, ternyata di dalam gedung itu telah
berkumpul begitu banyak manusia, hanya
anehnya, tak seorang pun yang bersuara.
Belasan orang berkumpul jadi satu tapi tak
terdengar sedikit suara pun, biasanya keadaan
seperti ini menunjukkan satu kemungkinan yaitu
telah terjadi suatu peristiwa yang
menggemparkan. Padahal kalau dihitung dari munculnya suara
nyanyian fajar tadi, hingga dia balik saat ini,
selisih waktunya tak lebih hanya satu jam,
mungkinkah dalam waktu yang amat singkat ini
Ban be tong kembali didera peristiwa besar"
Begitu masuk ke ruang utama, benar saja, ia
saksikan hampir semua orang sedang berkumpul
di sana, dengan kening berkerut kencang setiap
orang mengawasi Pho Ang-soat yang sedang
melangkah masuk dengan pandangan serius,
mimik muka mereka menunjukkan ketegangan
yang luar biasa, seakan mereka memandang Pho
Ang-soat bagai malaikat penyebar maut.
Bukan cuma orang-orang itu, bahkan Yap Kay
yang selalu banyak bergurau dan banyak bicara
pun kini sedang termenung seperti memikirkan
suatu masalah berat.
Dengan sorot mata yang tak kalah tajamnya
Pho Ang-soat balas memandang wajah orangorang
itu, terakhir sorot matanya berhenti pada
wajah Be Khong-cun yang masih duduk di ujung
meja panjang. Tak nampak perubahan di wajah Be Khong-cun,
dia masih duduk dengan wajah hambar, bahkan
sepasang matanya yang bersinar pun kini nampak
redup. Perhatiannya tidak tertuju ke wajah Pho
Ang-soat melainkan sedang mengawasi segumpal
kain putih yang tergeletak di atas meja panjang
persis di hadapannya.
Kini Pho Ang-soat baru tahu, ternyata
gumpalan kain putih itu adalah tubuh manusia.
Kain putih itu penuh berlepotan darah, cairan
darah yang membasahi masih nampak merah
menyala, masih kelihatan basah dan belum
mengering, menandakan tubuh orang itu belum
lama digotong ke sana.
Tubuh orang itu sudah tidak bergerak sama
sekali, kemungkinan besar telah mati, mati belum
lama berselang. Siapakah orang itu"
Sekali lagi Pho Ang-soat mengalihkan sorot
matanya ke wajah setiap orang yang hadir, Yap
Kay, Kongsun Toan, Hoa Boan-thian, Buyung
Bing-cu, Loh Loh-san... hampir semuanya hadir di
situ, lalu siapakah manusia di balik balutan kain
putih itu"
Semua orang duduk mengelilingi meja panjang,
di hadapan mereka tersedia semangkuk bubur
sayur, bubur panas yang masih mengepulkan
asap putih, namun tak seorang pun yang
menggerakkan sumpit untuk mulai bersantap.
Di tempat itu masih tersisa satu mangkuk
bubur yang belum ada pemiliknya, perlahan Pho
Ang-soat berjalan ke sana, mengambil tempat
duduk, mengambil sumpit dan mulai bersantap.
Menunggu sampai dia selesai bersantap,
dengan suara hambar Be Khong-cun baru
berkata, "Selamat pagi!"
Tentu saja perkataan itu ditujukan kepada Pho
Ang-soat, oleh karena itu Pho Ang-soat pun
menyahut, "Saat ini sudah tidak pagi lagi!"
"Ya, memang sudah tidak pagi. Aku hanya ingin
tahu, sebelum kentongan keempat lewat
semalam, hampir setiap orang berada di dalam
kamarnya, bagaimana dengan kau?"
"Aku tidak berada dalam kamar."
"Kau pergi kemana?"
Pho Ang-soat mendongakkan kepala,
memandang Be Khong-cun dengan pandangan
dingin, lalu jengeknya sinis, "Memangnya aku
wajib melaporkan keberadaanku kepada Samlopan?"
"Ya, harus," jawab Be Khong-cun kata demi
kata. "Kenapa?"
"Demi manusia yang berbaring di atas meja."
"Siapa orang itu?"
"Masa kau tidak tahu?" Be Khong-cun menatap
tajam wajahnya. "Memangnya aku harus tahu?"
"Tentu saja, karena sejak kentongan keempat
semalam, hanya kau yang tidak berada dalam
kamar." "Karena aku tak ada di kamar, maka aku harus
tahu siapakah orang itu?"
"Sejak peristiwa pembunuhan yang terjadi
semalam, baik Loh-siansing maupun Buyungkongcu,
Yap-kongcu serta beberapa orang
lainnya, semuanya kembali ke kamar masingmasing
untuk beristirahat, kehadiran mereka di
kamar bisa dibuktikan" kata Be Khong-cun
dengan sorot mata tajam, "sebaliknya kau" Sejak
kentongan keempat semalam, kemana kau pergi"
Siapa yang bisa membuktikan kehadiranmu?"
Ada satu orang yang bisa menjadi saksi,
bahkan satu-satunya saksi yang mengetahui
kemana Pho Ang-soat telah pergi, dia bukan lain
adalah Yan Lam-hui yang telah bangkit dari
matinya, tapi sayang orang itu sekali lagi telah
menemui ajal di ujung goloknya.
Kini tak seorang pun yang bisa bertindak
sebagai saksi. "Tidak ada!" jawab Pho Ang-soat kemudian
tenang. Mendadak Be Khong-cun tidak bertanya lagi,
hawa membunuh segera terpancar dari balik
matanya, lalu terdengar suara langkah kaki yang
berat bergema dari belakang Pho Ang-soat. Hoa
Boan-thian dan Hun Cay-thian sedang berjalan
menghampirinya.
"Silakan Pho-heng!" kata Hoa Boan-thian
dingin. "Persilakan aku kemana?"
"Silakan keluar."
"Tunggu sebentar," Yap Kay yang
membungkam selama ini tiba-tiba berkata,
"paling tidak sebelum dia keluar, berilah
kesempatan kepadanya agar bisa melihat siapa
yang berada di balik balutan kain putih itu."
"Tidak usah dilihat pun dia pasti tahu," jengek
Hoa Boan-thian dingin.
"Sebelum masalah menjadi jelas, sebelum ada
bukti yang pasti, atas dasar apa kau menuduh
dialah pembunuhnya?" "Kecuali dia, siapa lagi
"Biarkan dia melihat," mendadak Be Khong-cun
menukas. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun Pho
Ang-soat berjalan menghampiri ujung meja
panjang, lalu pelan-pelan menyingkap kain putih
bernoda darah itu.
Di balik balutan kain putih membujur kaku
tubuh seseorang, tapi sayang, biarpun Pho AngTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
soat telah menyingkap kain putih itu namun tidak
tahu siapakah dia, sebab mayat itu tanpa kepala.
Bagaimana mungkin orang bisa mengenali
sesosok mayat tanpa kepala" Pho Ang-soat hanya
tahu, mayat itu adalah mayat seorang wanita, itu
pun berdasarkan pakaian yang dikenakan.
"Dia tewas karena batok kepalanya dikutungi
dengan golok," ujar Be Khong-cun dengan wajah
pedih bercampur gusar, "tahukah dimana batok
kepalanya sekarang?"
"Siapa dia?" tanya Pho Ang-soat.
"Dia adalah Be Hong-ling" kali ini Yap Kay yang
menjawab. "Be Hong-ling?" Pho Ang-soat
melengak. "Sekali tebas batok kepala melayang, bukan
saja harus dilakukan dengan golok yang tajam,
dibutuhkan juga ilmu menebas yang luar biasa,"
kata Be Khong-cun lagi, "Pho Ang-soat wahai Pho
Ang-soat, kau memang tak malu disebut Pho
Ang-soat!"
Perlahan-lahan Pho Ang-soat berhasil
menenangkan diri, sikapnya tetap dingin, hambar
bahkan seolah membawa nada mengejek.
"Atas kejadian ini, apakah kalian masih ingin
mengucapkan sesuatu lagi?" tanya Be Khong-cun
setelah menyapu sekejap wajah seluruh hadirin.
Tiada orang yang bicara lagi, tapi semua orang
sedang menatap Pho Ang-soat, sinar mata
mereka terpancar rasa sedih dan sayang.
"Hanya ada sepatah kata saja," mendadak Pho
Ang-soat berkata. "Katakan!"
"Bagaimana kalau Sam-lopan salah membunuh
orang?" "Kalau salah membunuh, kita bisa membunuh
yang lain lagi."
Perlahan Pho Ang-soat manggut-manggut.
"Masih ingin mengucapkan sesuatu lagi?" desak
Be Khong-cun. "Tidak ada"
Panji besar Ban be tong berkibar kencang di
bawah teriknya sinar matahari.
Saat itu banyak orang sedang berdiri di bawah
teriknya sang surya.
Setelah Pho Ang-soat berjalan keluar
meninggalkan ruangan, Hoa Boan-thian, Hun
Kilas Balik Merah Salju Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Cay-thian, Be Khong-cun serta para jago lainnya
beruntun ikut keluar meninggalkan ruangan, tak
seorang pun yang bersuara, suasana terasa
hening dan sepi.
Anehnya, Kongsun Toan yang selama ini
temperamental dan gampang mengumbar emosi
ternyata tidak ikut, Yap Kay merasa heran.
Semenjak masih berada dalam ruangan,
Kongsun Toan tak pernah berbicara, sepatah
kata pun tidak, mengapa ia bersikap begitu"
Yap Kay merasa semakin tertarik hal ini, dia
adalah orang terakhir yang meninggalkan gedung
penerima tamu, tiba di bawah teriknya sang
surya, dia pun menengadah sambil menarik napas
panj ang. "Udara hari ini sangat cerah dan segar," ujar
Yap Kay kemudian sambil tersenyum, "dalam
cuaca secerah dan sesegar ini, aku rasa tak
seorang pun ingin mati."
"Sayangnya, terlepas udara cerah atau tidak,
setiap orang bisa mati mendadak," Be Khong-cun
menambahkan. "Benar, memang tak salah perkataanmu itu,"
kembali Yap Kay menghela napas.
Be Khong-cun membalikkan badan, berhadapan
dengan Pho Ang-soat, lalu tanyanya, "Selewat
kentongan keempat semalam, sebenarnya kau
pergi kemana?"
"Ke suatu tempat dimana tak ada manusia,"
sahut Pho Ang-soat hambar.
"Sayang, sayang!"
Tiba-tiba Hoa Boan-thian meluruskan
tangannya ke bawah, menepuk pelan ikat
pinggang kulitnya, "Cring!", sebilah pedang lemas
yang terbuat dari baja putih segera tercabut dari
sarungnya dan menjadi kaku dan lurus.
?"Pedang bagus!" puji Yap Kay tanpa terasa.
"Bagaimana kalau dibandingkan golok itu?"
ejek Hoa Boan-thian sambil melirik golok di
tangan Pho Ang-soat.
"Tergantung berada di tangan siapa golok itu,"
sahut Yap Kay sambil tertawa.
"Jika berada di tanganmu?" tanya Be Khongcun
tiba-tiba. "Dalam genggamanku tak pernah ada golok,
aku pun tak pernah memakai golok."
"Hanya menggunakan pisau terbang...."
Nama besar Siau-li si pisau terbang memang
bukan nama kosong.
Selama seratus tahun belakangan, tak pernah
ada jagoan persilatan yang meragukan perkataan
itu. Yap Kay adalah satu-satunya ahli waris Li Sunhuan,
tak seorang pun pernah memandang
enteng pisau terbangnya.
"Mana pisau terbangmu?" tanya Be Khong-cun
lagi. "Ini pisauku."
Sepasang tangan Yap Kay yang semula kosong,
entah sejak kapan dan entah berasal darimana,
tahu-tahu sudah menggenggam sebilah pisau
terbang. Begitu pisau terbang berada dalam genggaman,
sinar berkilauan pun memancar dari balik mata
Yap Kay. Tanpa sadar semua orang bersama-sama
mundur selangkah, rasa hormat, takut dan ngeri
terlintas di balik mata setiap jago.
Cahaya pisau berkelebat, kembali pisau terbang
itu lenyap dari pandangan mata, sepasang
tangan Yap Kay sudah kosong melompong.
"Aku tak suka membunuh orang menggunakan
pisau terbang," ujar Yap Kay sambil tertawa,
"sebab aku sangat menikmati suara tulang
remuk, apalagi suara kulit disayat."
"Kau pernah mendengar suara ujung pedang
yang sedang menembus kulit daging seseorang?"
tanya Hoa Boan-thian.
"Belum pernah."
"Suara yang ditimbulkan pun sangat enak
didengar" kata Hoa Boan-thian.
"Kapan kau akan mengundangku untuk
menikmatinya?" "Sebentar lagi kau akan
mendengarnya."
Hoa Boan-thian menggetarkan pedangnya,
ujung senjata segera memancarkan cahaya yang
menyilaukan mata.
Hun Cay-thian telah melolos pula pedangnya, ia
bergeser menuju ke belakang Pho Ang-soat.
Menghadapi datangnya ancaman, Pho Ang-soat
sama sekali bergeming, tangan kirinya pun tidak
nampak menggenggam kencang goloknya, dia
hanya berdiri di tempat dengan tenang, sorot
matanya mengawasi pasir kuning di bawah
kakinya. Sikapnya yang begitu santai seolah-olah tak
tahu Hoa Boan-thian sekalian sedang bersiap
hendak membunuhnya, seakan-akan kejadian itu
sama sekali tak ada sangkut-paut dengan dirinya.
Be Khong-cun pun tidak bergerak, meskipun
sudah berdiri saling berhadapan dengan Pho Angsoat,
namun sinar matanya masih sering melirik
ke arah Yap Kay.
Apakah dia kuatir Yap Kay ikut campur urusan
ini dan membantu Pho Ang-soat" Atau kuatir Yap
Kay melepas pisau terbangnya secara tiba-tiba"
Cerahnya sinar matahari fajar di pinggiran kota
seakan secerah senyuman Yap Kay saat itu.
Sambil tersenyum ujar Yap Kay kepada Pho
Ang-soat, "Pergilah dengan perasaan lega, pasti
ada orang yang akan mengurus masalah akhirmu,
aku pun tak akan lupa membawa beberapa poci
arak wangi untuk menyambangi tanah
kuburanmu."
Matahari memancarkan sinarnya semakin terik.
Hembusan angin kencang menerbangkan pasir
kuning, sejauh mata memandang hanya warna
emas yang menyelimuti angkasa.
Biarpun langit sangat cerah dan terang
benderang, namun justru diliputi hawa
membunuh yang menakutkan.
Di tempat itu meski kehidupan tiada hentinya
tumbuh, namun setiap saat kehidupan itu
mungkin bisa musnah.
Kehidupan memang keras, ganas dan sama
sekali tak berperasaan, siapa kuat dialah
pemenang. Hoa Boan-thian menggetarkan pedangnya,
menciptakan lima kuntum bunga pedang, Pho
Ang-soat masih tak bergerak, berdiri ketus di
antara Hoa Boan-thian dan Hun Cay-thian,
sikapnya yang begitu dingin ibarat bongkahan
salju abadi yang tak pernah mencair.
Benar, sebongkah salju abadi yang tembus
pandang! Sekalipun sedang berdiri di tengah deru badai
pasir dan teriknya matahari, dia masih berdiri tak
bergerak, seakan gangguan itu sama sekali tak
mempengaruhinya, walau ia berdiri di medan
seperti apa pun, selalu berdiri kokoh bagaikan
bongkaran salju abadi.
Hun Cay-thian menggenggam kencang gagang
pedangnya, gagang pedang yang semula dingin
kini telah berubah jadi panas membara, butiran
peluh telah membasahi telapak tangannya,
mengucur dari jidatnya, seluruh tubuhnya seolah
mulai terbakar di bawah teriknya matahari.
"Cabut golokmu!" bentakan Hun Cay-thian pun
membara bagai jilatan api.
Pho Ang-soat masih belum bergerak,
biarpun begitu otot-otot hijau pada lengan
kirinya sudah mulai merongkol. "Cabut golokmu!"
Butiran peluh mulai bercucuran dari jidat Hoa
Boan-thian, membasahi sudut matanya,
membasahi batang hidungnya, membuat pakaian
yang menempel punggungnya basah kuyup.
Apakah Pho Ang-soat tidak berpeluh"
Tangannya masih memegang sarung golok dalam
posisi yang sama, hanya otot-otot hijaunya
nampak semakin merongkol.
Tiba-tiba Hoa Boan-thian meraung keras,
"Cabut golokmu!"
"Sekarang bukan saat yang tepat untuk
mencabut golok," jawab Pho Ang-soat sangat
hambar. "Sekarang adalah saat paling tepat untuk
mencabut golok," jerit Hoa Boan-thian lagi, "aku
ingin melihat, apakah masih ada noda darah di
mata golokmu?"
"Sayang golokku bukan barang pameran."
"Apa yang harus kulakukan agar kau mau
melolos golokmu?" tanya Hun Cay-thian.
"Hanya ada satu alasan aku mencabut
golokku." "Apa alasanmu" Membunuh?"
"Itu pun tergantung manusia macam apa yang
harus kubunuh. Bagiku selamanya ada tiga jenis
manusia yang pantas dibunuh." "Tiga jenis?"
"Musuh besarku, Siaujin...."
"Manusia jenis apa lagi?" tukas Hun Cay-thian.
"Yang ketiga adalah manusia macam kau,
memaksa aku untuk mencabut golok" jawab Pho
Ang-soat sambil berpaling dan menatapnya
dingin. "Bagus, bagus sekali," Hun Cay-thian
mendongakkan kepala sambil tertawa terbahakbahak.
"Aku memang sudah menunggu katakatamu
itu." Belum habis suara gelak tawa itu, tangannya
sudah menggenggam kencang.
Bunga pedang kembali memancar dari ujung
pedang Hoa Boan-thian, garis merah bermunculan
dari balik matanya.
Sinar mata yang terpancar dari mata Pho Angsoat
jauh lebih cemerlang, tampaknya dia
memang sedang menunggu saat itu.
Detik terakhir sebelum dia melolos goloknya.
Pada saat itulah mendadak dari balik
keheningan yang mencekam padang rumput
berkumandang suara teriakan Kongsun Toan yang
keras bagai suara geledek, "Toa-siocia telah
kembali!" Bab 5. TOA-SIOCIA
"Toa-siocia telah kembali!"
Begitu mendengar teriakan itu, Hoa Boan-thian
dan Hun Cay-thian segera menarik kembali
serangannya, senyum kegembiraan pun
menghiasi paras muka Be Khong-cun, muka yang
semula masam kini tampak jauh lebih lega.
"Heran, kenapa budak ini bukan pulang dari
tadi atau nanti saja baru balik, kenapa dia justru
pulang di saat seperti ini," gumam Be Khong-cun,
kemudian tanpa berpaling lagi serunya kepada
Hoa Boan-thian, "Tarik senjatamu, masuk."
"Tapi Pho Ang-soat..."
Tidak menunggu Hoa Boan-thian
menyelesaikan kata-katanya, Be Khong-cun
menukas, "Kalau Pho-kongcu ingin pergi, siapa
yang dapat menghalanginya?"
Habis berkata, dengan langkah lebar Be Khongcun
balik kembali ke dalam gedung penerima
tamu, tinggal Hoa Boan-thian yang masih
mengawasi Pho Ang-soat dengan pandangan
ragu-ragu. Pada saat inilah Yap Kay tertawa tergelak
sambil berkata, "Hoa-tongcu, kau tak usah kuatir,
sebelum urusan ini menjadi jelas, biar kau gotong
dia memakai tandu besar pun belum tentu dia
mau pergi dari sini."
Agak lega juga Hoa Boan thian setelah
mendengar kata-katanya itu, sambil menyimpan
kembali pedangnya, dia membalik badan dan
bersama Hun Cay-thian masuk ke dalam ruangan.
Yap Kay bertanya, "Kalau Toa-siocia sudah
balik, lalu siapakah Toa-siocia itu?"
"Toa-siocia adalah putri Lopan kami, Pek Thianih,"
jawab Hoa Boan-thian sambil tergelak, "dia
bukan lain adalah Pek Ih-ling."
"Oh, jadi dialah Pek-siocia yang sedang
dicarikan calon istri oleh Sam-lopan," Yap Kay
manggut-manggut.
Hoa Boan-thian hanya tersenyum, dia
membalikkan badan dan berjalan masuk ke dalam
gedung penerima tamu.
Kembali Yap Kay termenung sesaat, setelah
menatap sekejap Pho Ang-soat, tanyanya sambil
tertawa, "Seandainya Pek-siocia jatuh hati
kepadamu, aku tak bisa membayangkan
bagaimana sikap Be Khong-cun nanti, apakah
mungkin dia masih berusaha akan membunuhmu
lantaran kematian Be Hong-ling?"
Kilas Balik Merah Salju Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hm, tak ada yang menggelikan dengan hal
ini," dengus Pho Ang-soat dingin.
"Aku tahu, kejadian ini memang tak ada yang
menggelikan, tapi hubungan antara satu masalah
dengan masalah lain rasanya sangat menarik
untuk dipikir dan dirasakan."
Kalau dia merasa tertarik, sebaliknya Pho Angsoat
sama sekali tidak tertarik, tanpa menggubris
rekannya lagi dia balik ke dalam kamarnya.
"He, kau tak ingin masuk dulu untuk menengok
Pek-siocia?" kembali Yap Kay bertanya sambil
tertawa, "jangan kau sia-siakan kesempatan baik
ini. " "Biar kutinggalkan untukmu saja," tanpa
berpaling lagi Pho Ang-soat lenyap di sudut
ruangan. Yap Kay tersenyum, lalu mendongakkan kepala
memandang angkasa, seakan sedang memikirkan
sesuatu. Saat ini dia belum berminat bertemu
Pek-siocia, justru sekarang yang dipikirkan adalah
perempuan berambut panjang yang dijumpai
dalam mimpinya semalam.
Jenazah yang membujur di atas meja panjang
telah disingkirkan, permukaan meja telah digosok
hingga mengkilap bagai cermin, bubur pun kini
sudah diganti dengan hidangan dan arak.
Kecuali orang-orang Ban be tong, semua tamu
yang semalam diundang hampir seluruhnya masih
berada di luar gedung penerima tamu, sayur dan
arak di hadapan Buyung Bing-cu maupun Hun
Cay-thian sekalian sama sekali tak tersentuh,
sementara Sam-bu Siansing Loh Loh-san yang
gemar meneguk arak, saat ini sudah terkapar lagi
di atas meja, tampaknya dia sudah mabuk berat.
Sambil tersenyum Yap Kay balik ke tempat
duduknya, menuang cawannya dengan arak dan
meneguknya dengan riang.
"Wah, ternyata arak Kao-liang berusia empat
puluh tahun," gumam Yap Kay sambil
memejamkan mata, "arak bagus, arak bagus!"
"Tentu saja arak bagus, belum pernah Ban be
tong menyuguh tamu dengan arak jelek," tibatiba
Loh Loh-san mendongakkan kepala sambil
bergumam, setelah itu tertidur kembali,
"Tampaknya Sam-bu Siansing bakal
ketambahan satu ketidak mampuan lagi," seru
Yap Kay tertawa.
Setelah meneguk araknya, kembali dia berkata,
"Heran, berada dimana pun, kapan pun, asal
mendengar urusan "yang berhubungan dengan
arak, dia selalu bisa sadar kembali."
"Tepat sekali," kali ini Loh Loh-san tidak
mendongakkan kepala, malah sambil
membalikkan badan melanjutkan lagi tidurnya.
"Sepertinya Yap-kongcu memang sahabat karib
Sam-bu Siansing!" entah sedari kapan Be Khongcun
telah muncul kembali dalam ruangan.
"Kami bukan sahabat karib," sahut Yap Kay
sambil tertawa, "mungkin cocok saja karena
urusan arak."
Kembali Be Khong-cun tertawa, kemudian
kepada semua yang hadir katanya, "Silakan
kalian nikmati dulu hidangan seadanya dan
arak tawar itu, setelah beristirahat, nanti malam
Cayhe pasti akan menemani kalian minum sampai
mabuk." "Bagaimana dengan Toa-siocia?" Buyung Bingcu
segera bertanya, "bukankah Toa-siocia telah
pulang?" "Betul, dia memang sudah kembali, tapi saat ini
sedang istirahat, maklumlah kan baru menempuh
perjalanan jauh, malam nanti akan kuundang
juga kehadirannya untuk menemani kalian."
Loh Loh-san yang tertidur mendadak
mendongakkan kepala lagi sambil bertanya,
"Bagaimana dengan takaran minumnya?"
"Kalau mimum satu dua cawan masih bisa."
"Bagus sekali, bagus sekali," gumam Loh Lohsan,
"justru yang aku kuatirkan dia enggan
minum, apa jadinya kalau dia sampai kuloloh
hingga mabuk?"
Selesai bersantap, setiap orang sepertinya
sudah balik ke kamar masing-masing untuk
beristirahat, Pho Ang-soat sejak kembali ke
kamar hingga kini pun belum pernah
menampakkan diri.
Yap Kay tidak kembali ke kamarnya untuk
beristirahat, dia pun tidak tinggal di Ban be tong,
tapi berkeliaran ke sana kemari hingga tak lama
kemudian terlihatlah sebuah kota kecil di
kejauhan. Berjalan menelusuri jalanan kota, dengan
matanya yang jeli dan senyuman selalu menghias
bibir, dia mengawasi setiap sudut dan setiap
orang yang dijumpainya.
Andaikata ada yang memperhatikan gerakgeriknya,
maka akan terlihat hari ini paling tidak
ia sudah tiga-empat puluh kali menguap, apa
mau dikata ia justru bersikeras enggan tidur.
Dia selalu berpendapat, dalam kehidupan
seorang hampir tiga puluh persen waktunya
hanya dihabiskan, untuk tidur, karena itu bila
tidak terpaksa, dia betul-betul enggan naik
ranjang untuk tidur.
Begitu dia kemukakan pandangannya itu,
segera ada orang bertanya, "Lalu waktu yang
masih ada dua per tiganya lagi digunakan untuk
apa?" "Sepertiganya untuk menelanjangi
perempuan," jawab Yap Kay sambil tertawa.
"Dan sisanya yang sepertiga?"
"Sisanya yang sepertiga dipakai untuk
menunggu perempuan berpakaian."
Yap Kay gemar sekali berbincang dengan
berbagai lapisan orang, dia berpendapat dimana
pun kau berada, bertemu dengan orang
macam apa pun, pasti ada keuntungan yang
bisa diraih dari mereka, oleh karena itu kau
harus selalu berhubungan dengan, mereka,
dengan begitu kesempatan itu baru bisa kau raih.
Kebetulan saat itu dia sedang lewat di depan
sebuah toko penjual kelontong, dia masih
teringat, sepuluh tahun berselang tempat itu pun
merupakan sebuah toko kelontong.
Pemilik toko kelontong itu adalah seorang lelaki
setengah umur, mukanya bulat dan wajahnya
selalu tersenyum, setiap kali bertemu orang dia
selalu akan berkata, "Baguslah, jalan saja sesuka
hati, toh semua kedai adalah bertetangga."
Lopan yang selalu tersenyum itu bermarga Li,
semua orang memanggilnya Li Ma-hou, hanya
sayang Li Ma-hou sudah menyeberang ke neraka
dan membuka toko kelontong di sana.
Pemilik toko kelontong sekarang she Thio
bernama Kian-beng, usianya sekitar empat puluh
tahunan, orangnya sangat ramah, apalagi kalau
bertemu Siocia, matanya pasti akan berubah
tinggal segaris.
Dari bentuk mukanya, di masa mudanya dulu
dia pasti termasuk pemuda tampan yang banyak
digandrungi cewek, sayangnya lelaki semacam itu
biasanya justru mempunyai bini yang wajahnya
tidak setara dengan ketampanannya.
Dalam hal ini ternyata dugaan Yap Kay tidak
salah, karena dengan cepat dia lihat istri Thio
Kian-beng berjalan keluar dari kedainya.
Kalau tidak melihat wajahnya atau hanya
mendengar suara langkahnya, Yap Kay pasti
mengira ada rombongan gajah sedang berlalu di
hadapannya. Perawakannya tidak lebih tinggi dari bahu Thio
Kian-beng, tapi lengannya justru lebih besar dari
paha lakinya, raut mukanya pun terhitung cantik,
tapi sayang kecantikannya nampak begitu kaku
dan bebal, tidak termasuk cewek yang pantas
dipandang. Yap Kay selalu berpendapat cantik buruknya
seseorang bukan dinilai dari wajahnya tapi dari
hatinya, karena yang penting hatinya mesti baik
dan saleh. Sayang bini Thio Kian-beng termasuk
perempuan yang luar dalam sama saja,
padahal umurnya sudah mencapai empat puluh
tahun lebih, tapi dandanannya tak mau kalah
dengan gadis perawan berumur tujuh-delapan
belas tahun. Masih mendingan kalau dia tidak buka suara,
ternyata suara perempuan ini bisa membikin
orang mencelat sampai ke atap rumah saking
kagetnya, nada yang sangat kasar, parau dan
keras tanpa daya tarik justru diucapkan dengan
gaya manja seorang gadis kecil.
Sekarang dengan gayanya yang manja itulah
dia berbicara dengan Thio Kian-beng, membuat
semua orang yang mendengar, berdiri bulu
kuduknya saking ngeri dan mualnya.
Begitu melihat perempuan itu berjalan keluar,
Yap Kay segera mempercepat langkah melewati
toko kelontong itu, terhadap suaranya, Yap Kay
benar-benar angkat tangan, dia tak ingin
mendengar untuk kedua kalinya.
Dia pun menaruh perasaan simpatik terhadap
Thio Kian-beng, bagaimana mungkin dia bisa
tahan menghadapi bini semacam ini" Apalagi
hidup serumah dengannya hampir puluhan tahun.
Tentu saja Yap Kay pun tahu siapa nama bini
Thio Kian-beng itu, dibandingkan dengan
orangnya jelas nama yang disandangnya sangat
tidak sepadan, karena nama yang dia gunakan
seharusnya lebih cocok dipakai untuk nama gadis
negeri Hu-sang (Jepang sekarang).
Nama perempuan itu Kang Bi-ying yang artinya
sakura cantik di tepi sungai.
Bunga sakura adalah bunga negeri Hu-sang,
bentuk badannya pun cocok sekali dengan postur
cewek negeri Hu-sang, selain pendek juga gemuk
sekali. Setelah melewati toko kelontong, sampailah di
depan toko penjual beras, bila ingin membeli
barang kebutuhan yang ada hubungannya dengan
bahan pangan, di sinilah tempatnya yang paling
pas. Lamat-lamat Yap Kay masih teringat, pada
sepuluh tahun lalu tempat ini bukan toko menjual
bahan makanan, tapi sebuah kedai bakmi milik
Thio Lau-sit. Lopan yang membuka toko bahan makanan
saat ini bermarga Si, bernama Wi-wi.
Pada hari biasa dia terhitung seorang yang
memegang disiplin dan sangat jujur, asal sudah
meneguk arak, maka wataknya bisa berubah
menjadi orang lain.
Kota kecil ini sesungguhnya termasuk sebuah
kota sederhana yang penduduknya hidup
berhemat, saat itu waktu belum sampai tengah
hari sehingga jarang nampak orang berbelanja di
toko bahan makanan itu, tak heran Si Wi-wi
terkantuk-kantuk di belakang meja kasirnya.
Menyaksikan lagaknya, kembali Yap Kay
tertawa, sepuluh tahun sudah lewat,
pemandangan masih seperti dahulu, tapi
bagaimana dengan penghuninya"
Orang yang seharusnya mati sejak sepuluh
tahun lalu hampir semuanya sudah rriati.
Tapi aneh, entah mengapa orang-orang dari
Ban be tong yang seharusnya sudah tewas, kini
justru muncul semua, justru hidup kembali dari
liang kubur. Kalau orang-orang Ban be tong telah bangkit
dari liang kuburnya, lantas bagaimana dengan
Thio Lau-sit, Li Ma-hou... penduduk asli kota yang
telah tiada, apakah mereka pun ikut hidup
kembali" Teringat hal itu, Yap Kay pun teringat pula
tujuan kedatangannya ke kota itu, dia mencoba
menengok ke seberang jalan, gedung Siang-kilau.
Dia bisa membayangkan, saat itu Siau Piat-li
pasti sedang bermain kartu.
Benar saja, belum lagi melangkah ke dalam
gedung, ia sudah mendengar suara kartu gading
yang sedang dibanting di atas meja. Sambil
tertawa Yap Kay mendorong pintu dan masuk ke
dalam, tapi begitu tahu keadaan di sana, ia
berdiri tertegun, betul-betul terperangah.
Memang benar ada orang sedang bermain
kartu, tapi orang itu bukan Siau Piat-li melainkan
seorang perempuan berambut panjang sebahu.
Yap Kay tak tahu bagaimana mesti melukiskan
wajah perempuan itu, sejujurnya dia bukan
termasuk perempuan cantik, tapi perempuan itu
Kilas Balik Merah Salju Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
justru menimbulkan gejolak napsu setiap lelaki
yang memandangnya.
Dia memiliki tubuh tinggi semampai dengan
rambut berwarna hitam pekat yang dibiarkan
terurai di bahu, wajahnya berbentuk kwaci dan
berwarna putih bersih bagai salju, pipinya semu
merah dengan lesung pipi yang cukup dalam.
Biarpun bukan termasuk wanita cantik yang
dapat membetot sukma kaum lelaki, namun
setiap gerak-geriknya justru menampilkan
kematangan seorang wanita dewasa.
Apalagi matanya bulat, tidak terlalu besar,
hitam pekat dan membawa cahaya kesepian,
seolah-olah dia sedang merana karena hidup
kesepian. Sinar matanya menimbulkan kesan indah bagi
semua orang yang memandangnya, begitu indah
hingga menimbulkan rasa kasihan, keindahan
yang mudah membuat perasaan orang hancurlebur.
Justru karena matanya memancarkan sinar iba
dan merana, tak heran setiap lelaki merasa tak
tega menganiayanya.
Ia mengenakan pakaian sutera tipis, bagaikan
cahaya rembulan menyelimuti seluruh badannya,
menimbulkan kesan sayu, tak nyata dan lamatlamat
bagi yang memandangnya.
Justru di balik kesan tak nyata, penampilannya
mendatangkan perasaan tenang bagai batu
karang, lembut bagai hembusan angin dan suci
bagaikan putihnya salju.
Begitu muncul perasaan itu di hati Yap Kay, dia
merasa seolah ada segulung angin berhembus
datang dari jalan raya, meniup punggungnya
yang sedang berjalan masuk ke gedung Siang kilau.
Hembusan angin membuat rambutnya yang
hitam bergelombang, membuat baju sutera putih
yang dikenakan beriak, seakan-akan riak
samudra biru yang beriringan.
Tiba-tiba Yap Kay menjumpai sesuatu, ternyata
di balik baju sutera yang dikenakan perempuan
itu, dia tidak memakai pakaian lain, ternyata
perempuan itu dalam keadaan bugil.
Menanti angin berhenti berhembus, Yap Kay
merasa bajunya telah basah-kuyup oleh keringat,
selama hidup belum pernah dia merasakan
keadaan seperti ini, selama hidup dia pun merasa
belum pernah bertemu wanita yang dapat
membuatnya merasakan hal seperti saat ini ....
"Aku tahu kau pasti Yap Kay," dengan suara
yang lembut seperti orang mengigau perempuan
itu berbisik, "Cihu (suami kakak) sering
menyinggung tentang kau."
"Cihumu" Apa yang pernah dia katakan
kepadamu?" senyuman menggoda kembali
menghiasi wajah Yap Kay.
"Menurut dia, manusia yang paling berbahaya
di tempat ini adalah kau!" kembali perempuan itu
melempar senyuman yang lembut, selembut air
hujan di musim semi, "dia berpesan agar aku
selalu waspada menghadapimu."
"Mewaspadai apa?"
"Mewaspadai gerak-gerikmu," kembali
perempuan itu tersenyum manis, "menurutnya,
kemampuanmu merayu wanita tak kalah
hebatnya dengan permainan pisau terbangmu,
bila sudah bertindak, selamanya tak pernah
meleset." "Oya" Jika begitu Cihumu benar-benar sangat
memahami tentang aku," Yap Kay tertawa
tergelak, "siapa dia?"
"Aku!"
Entah sejak kapan Siau Piat-li telah turun dari
atas loteng, berdiri di mulut tangga sambil
tertawa. "Akulah Cihunya, dia adalah adik iparku."
"Jadi kau telah menikah" Kapan kau menikah?"
tanya Yap Kay agak melengak.
"Tujuh tahun berselang," Siau Piat-li berjalan
menuju ke tempat duduknya, "sayang nasib
istriku jelek, dia meninggal pada tiga tahun lalu. "
"Cihu, apakah gara-gara aku, kau jadi teringat
almarhum Cici?" bisik perempuan itu lembut.
"Selama tiga tahun terakhir, hatiku sudah lebih
tenang daripada air," Siau Piat-li tertawa hambar,
"lebih baik merindukan dia daripada sama sekali
tidak." "Betul, walau rasa rindu baru muncul setelah
terjadi perpisahan, namun kemesraan pasti jauh
melebihi penderitaan," Yap Kay berjalan
mendekat sambil mencari sebuah bangku, "tapi
omong-omong kau belum memperkenalkan adik
iparmu itu kepadaku, siapa namanya?"
"Aku dari marga So bernama Ming-ming."
"So Ming-ming...." Yap Kay berbisik.
"Ciciku bernama So Cin-cin."
"So Cin-cin?" tiba-tiba Yap Kay tertawa
tergelak, "bila kau mempunyai adik
perempuan, dia pasti bernama So Ho-ho."
"Kenapa?" tanya So Ming-ming melengak.
"Setelah hari ini (Cin) lalu besok (Ming) dan
setelah itu lusa (Ho)."
Kontan So Ming-ming tertawa cekikikan.
"Seandainya kau pernah bertemu Ciciku, pasti
akan kau ketahui apa yang dinamakan wanita
cantik." "Untung aku belum pernah bertemu, kau saja
sudah begini luar biasa, kalau bertemu lagi
dengan Cicimu, bisa jadi aku bakal ribut melulu
dengan Cihumu."
"Oh, jadi kau pun termasuk jenis lelaki yang
rela berkelahi gara-gara urusan perempuan?"
tanya So Ming-ming dengan mata terbelalak.
"Kalau itu tergantung siapakah perempuannya
dan bagaimana keadaannya."
"Semisalnya aku?" tanya So Ming-ming lagi
sambil mengedipkan matanya.
"Dia tak bakal berkelahi karena kau" Siau Piat-li
segera mewakili Yap Kay menjawab pertanyaan
itu, "seorang Ting Hun-pin pun sudah cukup
membuatnya kepala pusing, apalagi kalau
ditambah dirimu, kujamin kepalanya pasti akan
lebih besar daripada kepala kerbau."
"Wah, kalau begitu dia kan berubah jadi
siluman," So Ming-ming ikut tertawa, "konon di
sebuah negara nun jauh di barat sana terdapat
rakyat yang menyembah manusia berkepala
kerbau sebagai dewanya."
Jangan dilihat penampilan So Ming-ming lemah
lembut pantas dikasihani, ternyata setelah bicara,
dia lebih lincah dan nakal daripada gadis remaja
pada umumnya. Yap Kay mulai tertarik perempuan itu,
sepasang mata banditnya mulai menggerayangi
setiap bagian tubuhnya, tanpa terasa dia mulai
terbayang apa yang dilihatnya ketika gaun putih
sutera itu tersingkap terhembus angin.
Kelihatannya So Ming-ming bisa menduga apa
yang sedang dibayangkan Yap Kay, kontan
pipinya merah jengah, cepat dia melengos ke
arah lain. Tidak usah meneguk arak pun Yap Kay sudah
mulai mabuk. Poci arak masih tergeletak di meja, tapi isinya
sudah berpindah ke dalam perut Yap Kay.
Tiga macam hidangan yang lezat, sepoci arak
wangi dan tiga sosok manusia.
Setelah membuka kartu terakhir di atas meja,
Siau Piat-li baru bertanya kepada Yap Kay,
"Bagaimana dengan pesta yang diadakan Ban be
tong semalam" Siapa pula Be Khong-cun yang
muncul kali ini?"
Begitu menyinggung masalah ini, paras muka
Yap Kay segera berubah serius, setelah
termenung sebentar baru ia berkata, "Percayakah
kau orang yang sudah mati bisa hidup kembali?"
"Hanya ada satu jenis manusia yang bisa hidup
kembali setelah mati, tapi orang semacam itu
sebenarnya bukan mati sungguh-sungguh, dia
hanya menutup jalan napasnya untuk sementara
waktu, bila dia membukanya kembali, dengan
sendirinya dia pun hidup kembali."
"Mungkin saja orang itu hidup lagi, tapi kan
terbatas hanya berapa hari saja, yang aku
maksud adalah setelah lewat sepuluh tahun,
mungkinkah dia bangkit dan hidup kembali?"
"Tidak mungkin."
"Tapi begitulah kenyataannya."
"Jadi Be Khong-cun telah hidup kembali?"
"Bukan hanya dia, Kongsun toan, Hoa Boanthian,
Buyung Bing-cu... hampir semua tokoh
yang tersangkut dalam peristiwa sepuluh tahun
berselang telah hidup kembali."
Setelah berhenti sejenak Yap Kay kembali
menambahkan, "Kecuali tokoh-tokoh bawah
tanah yang ada dalam kota ini."
Yang dimaksud tokoh bawah tanah tak lain
adalah Thio Lau-sit, Li Ma-hou dan lainnya.
"Sudah kau perhatikan dengan jelas?" tegas
Siau Piat-li dengan nada tak percaya, "mungkin
ada orang yang menyaru sebagai mereka?"
"Kau anggap mataku buta?" seru Yap Kay
sambil menuding mata sendiri, "seandainya
mereka orang yang sedang menyaru, mana
mungkin bisa lolos dari ketajaman mataku ini?"
"Jangan-jangan mereka adalah saudara
kembar?" timbrung So Ming-ming.
"Kalau hanya satu orang, kemungkinan itu
memang ada, tapi ini menyangkut banyak
orang...." Yap Kay menggeleng berulang kali.
Siau Piat-li mengambil cawan araknya dan
pelan-pelan meneguk isinya, sorot mata yang
mendelong mengawasi dinding di hadapannya
tanpa berkedip, seolah-olah dia sedang
mengawasi suatu tempat yang tak diketahui
namanya, suatu tempat yang berada di balik
dinding tebal itu.
Sampai lama kemudian baru ia buka suara,
nadanya seolah-olah baru saja terkirim tiba dari
tempat yang tak diketahui namanya itu.
"Di jagad raya yang luas terdapat sejumlah
orang yang memiliki kekuatan misterius yang tak
terbayangkan," ujarnya perlahan, "bahkan sejak
belum ada umat manusia pun tenaga misterius itu
sudah bercokol di sana."
"Tenaga misterius apakah itu?" tanpa terasa
Yap Kay dan So Ming-ming bertanya bersama.
"Tak seorang pun yang tahu."
Siau Piat-li kembali menggeleng, sambil
meneguk habis sisa arak dalam cawan, katanya
pula, "Yang bisa dijelaskan dalam hal bangkitnya
kembali Be Khong-cun dan teman temannya
adalah karena terpengaruh kekuatan misterius
itu, aku bahkan mulai curiga, jangan-jangan
kekuatan misterius itu ada hubungan erat dengan
munculnya komet setiap tujuh puluh enam tahun
sekali itu."
"Kenapa?"
"Masih ingat, pertempuran mana yang
merupakan pertempuran paling menghebohkan
dalam sejarah seratus tahun terakhir?"
"Pertempuran berdarah di bukit Thay ping san."
"Betul, lima jagoan gagah dari Thay ping san
merupakan jago-jago tangguh yang bernyali
besar dan berdarah ksatria, kenapa dalam
semalam saja mereka dapat berubah menjadi
penjahat yang membunuh orang tanpa berkedip"
Tahukah kau apa alasannya?"
"Mungkin mereka telah salah minum obat,"
jawab Yap Kay sambil tertawa terbahak-bahak.
"Kalau salah makan obat, masa empat ratusan
orang berbareng salah makan?"
Yap Kay hanya angkat bahu sambil menyengir.
"Malam itu jika pemimpin mereka Lian It-hong
serta keempat puluh sembilan saudara angkatnya
bisa mempertahankan kesadarannya, akibat yang
terjadi sungguh tak bisa dilukiskan dengan
perkataan."
Malam itu, di saat Lian It-hong dan keempat
puluh sembilan saudara angkatnya sedang minum
arak sambil begadang, tiba-tiba mereka saksikan
keempat ratusan orang saudaranya menunjukkan
gejala yang sangat aneh, sepasang mata jadi
merah membara, mulut berbuih dan setiap orang
memainkan senjata dengan garang, sikap orangorang
itu seolah hewan liar yang siap menerkam
mangsanya. Pertempuran sengit itu berlangsung mulai
tengah malam hingga keesokan harinya, ceceran
darah mengalir dimana-mana, begitu banyak
Kilas Balik Merah Salju Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
darah yang mengalir hingga menjadi sebuah
sungai kecil. Lian It-hong dan saudara angkatnya bertempur
sengit sambil mengucurkan air mata, bagaimana
tidak, siapa yang tega membantai saudara
seperjuangan sendiri" Tapi mereka tak berdaya,
kalau tidak dibunuh maka dunia persilatan pasti
akan mengalami bencana yang jauh lebih
menakutkan. Menurut cerita mereka yang mengurusi
tumpukan mayat seusai pertempuran, telah
ditemukan tiga ratusan luka di seluruh tubuh Lian
It-hong. Ketika hari sudah terang tanah, tempat itu
telah dipenuhi lalat beterbangan, sepintas
pandang hanya warna merah yang menyelimuti
permukaan, mayat yang membukit benar-benar
menyiarkan bau bangkai yang amat busuk.
Yap Kay sadar bila cerita ini berlangsung
sejenak lagi, dia pasti akan muntah saking
mualnya. Untung Siau Piat-li tidak melanjutkan
kisahnya. Setelah meneguk secawan arak dan menghela
napas, baru ia bertanya, "Tahukah kau, kapan
terjadinya peristiwa pembantaian di gunung Thay
ping san?"
"Seharusnya sudah tujuh-delapan puluh tahun
lalu." "Tujuh puluh enam tahun," kata Siau Piat-li
lagi, "tepatnya tujuh puluh enam tahun tiga bulan
tujuh hari."
"Apakah pada tahun itu muncul juga sebuah
komet?" "Tepat sekali, waktu itu sebuah komet persis
muncul di atas bukit Thay ping san."
"Jadi maksudmu kalapnya para Hohan di Thay
ping san karena terpengaruh komet itu?"
"Komet itu mempengaruhi tenaga misterius dan
itu merangsang para Hohan di Thay ping san
untuk melakukan pertempuran," jelas Siau Piat-li
sambil menatap tajam Yap Kay.
Sambil memeras otak Yap Kay memenuhi
cawan arak, selama hidup ia tak pernah percaya
segala takhayul, tapi percaya bahwa di jagad raya
ini memang terdapat suatu kekuatan misterius
yang luar biasa, tapi kalau dia disuruh percaya
kekuatan misterius itu bisa mempengaruhi
manusia seperti apa yang diceritakan Siau Piat-li,
dia tetap sangsi dan tak yakin.
Apalagi kalau mengaitkan kejadian itu dengan
kemunculan komet yang konon terjadi setiap
tujuh puluh enam tahun satu kali, mungkinkah
itu" Masakah tak ada penjelasan lain yang lebih
masuk akal" Kenapa Be Khong-cun sekalian bisa
hidup kembali" Apakah mereka pun dipengaruhi
oleh tenaga misterius itu"
Pho Ang-soat tersadar dari tidurnya ketika
pintu kamar digedor orang dari luar, cepat dia
membuka mata, sementara tangan kirinya
menggenggam gagang golok.
"Pho-kongcu, apakah kau masih tidur?"
terdengar seseorang berbisik lirih.
Begitu mendengar suara orang itu, Pho Angsoat
langsung mengernyitkan dahinya, dia sudah
mengenali suara siapakah itu.
"Begitukah caramu bila memasuki kamar
orang" Apakah tak ada cara lain yang lebih
sopan?" kontan dia menegur.
Menyusul berhentinya ketukan, seseorang
menyelinap masuk dari luar jendela, kemudian
sambil menjura dan tertawa paksa katanya, "Aku
hanya kuatir mengganggu ketenangan tidur Phokongcu
"Kau memang sudah mengganggu."
Begitu orang menyelinap masuk, Pho Ang-soat
sudah melompat bangun, ditatapnya Buyung
Bing-cu yang berdandan perlente itu sambil
menegur, "Ada apa?"
"Aku pun mendengar suara nyanyian itu
semalam," ujar Buyung Bing-cu.
"Oya?"
"Sebetulnya aku pun ingin mengikuti Phokongcu
memeriksa sumber suara itu, siapa tahu
baru saja keluar pintu kamar, seseorang telah
menegurku dari arah belakang, jangan
mencampuri urusan orang lain, katanya."
"Wah, tak nyana Buyung-kongcu adalah
seorang yang sangat penurut," ejek Pho Ang-soat
sambil tertawa dingin. Buyung Bing-cu tertawa
jengah. "Begitu ditegur, aku langsung membalikkan
badan, tapi tidak kujumpai seorang pun, beruntun
aku berganti beberapa macam gerakan, tetap tak
berhasil kulihat orang itu."
"Masa kau tidak tahu siapakah dia?"
"Aku hanya tahu dia seorang perempuan."
"Perempuan?" kembali Pho Ang-soat tertegun.
"Dari suaranya jelas dia masih muda."
Pho Ang-soat berpikir sejenak, lalu sambil
menatap wajah Buyung Bing-cu tanyanya, "Jadi
kedatanganmu khusus untuk memberitahukan
persoalan ini kepadaku?"
Sekali lagi Buyung Bing-cu tertawa lebar.
"Menanti aku mencarimu, bayangan tubuhmu
sudah tak nampak lagi, baru aku mau masuk
kembali ke kamar, tiba-tiba kulihat ada seseorang
menyelinap masuk ke kamar Be Hong-ling."
"Darimana kau bisa tahu kamar itu adalah
kamar tidur Be Hong-ling?" tanya Pho Ang-soat
sambil menatapnya dengan sinar mata tajam.
"Aku...." sekali lagi Buyung Bing-cu tertawa
rikuh, "terus terang Pho-kongcu, kedatanganku
ini adalah untuk mencari kesempatan agar bisa
mendekati Be Hong-ling, siapa tahu...."
"Siapa tahu bisa menjadi menantu Ban be
tong?" sela Pho Ang-soat sambil tertawa dingin.
Kal ini Buyung Bing-cu tidak memperlihatkan
kerikuhannya lagi, dengan cepat katanya,
"Tak lama setelah orang itu masuk ke
dalam kamar, kudengar ada suara orang
sedang berbicara, karena heran ber campur
curiga, maka aku pun mendekati jendela, begitu
kulihat...."
"Apa yang telah kau lihat?"
"Kulihat secara tiba-tiba dia menotok jalan
darahnya, kemudian mengayunkan golok...."
bicara sampai di situ Buyung Bing-cu nampak
agak sangsi. "Dia memenggal batok kepala Be Hong-ling?"
tanya Pho Ang-soat, "lalu siapakah orang itu?"
Dengan ketakutan, Buyung Bing-cu memeriksa
dulu sekeliling situ, kemudian baru berbisik lirih,
"Orang itu adalah...."
Sekonyong-konyong muncul lima-enam jenis
senjata rahasia dari luar jendela, langsung
menerjang tenggorokan Buyung Bing-cu.
Begitu mendengar desiran senjata rahasia,
secepat kilat Pho Ang-soat mengayunkan pula
goloknya, "Trang, trang, trang", semua senjata
rahasia itu berhasil tersapu rontok ke tanah.
Tidak berhenti sampai di situ, dengan satu
tendangan dia buka jendela kamar sambil
melongok keluar, dia ingin tahu siapa yang
berada di luar sana"
Pada saat itulah sebatang tombak tahu-tahu
sudah menusuk ke bawah dari atap bangunan,
suara genteng yang berguguran tertutup oleh
suara daun jendela yang tertendang keras.
Menunggu Pho Ang-soat menyadari akan hal
itu, tombak panjang tadi sudah menusuk batok
kepala Buyung Bing-cu hingga tembus ke
badannya dan terpantek di atas tanah.
Penasaran dengan apa yang terjadi, Pho Angsoat
menjebol atap ruangan terus melejit ke
tengah udara. Namun sayang yang terlihat hanya bangunan
yang berlapis-lapis, tak seseorang pun terlihat di
sana. Pho Ang-soat mencoba memeriksa lebih
seksama, akhirnya secara lamat-lamat dia
saksikan ada seekor kuda sedang berlari kencang
menjauhi tempat itu, di atas punggung kuda
terlihat seseorang, seseorang yang mirip dengan
gumpalan bola api.
Dia mengenakan jubah panjang yang sangat
longgar, berwarna merah menyala, semerah
darah segar, mirip pula sekuntum mawar di
bawah terik matahari. Kuda yang ditunggangi
berwarna putih, seputih salju. Saat itu sedang
berlari kencang menuju padang rumput yang
luas. Begitu cepat kuda itu berlari membuat
rerumputan beriak bagai gelombang ombak di
tepi pantai, rambutnya yang hitam berkibar
mengimbangi jubah merahnya yang
bergelombang, seluruh tubuh orang itu terlihat
basah oleh keringat, tapi gerak-geriknya seakan
orang yang sedang diliputi kegembiraan.
Akhirnya kuda itu berhenti, bukan karena lelah,
melainkan karena di hadapannya telah
menghadang seorang aneh, saat itulah baru ia
menyadari orang aneh itu memiliki wajah yang
begitu putih dan pucat.
Sedemikian pucat wajahnya hingga tak beda
dengan datangnya kematian.
Orang itu berwajah putih pucat dengan biji
mata yang hitam kelam. Kemudian dia pun
menyaksikan golok yang berada dalam
genggamannya. Golok berwarna hitam dengan tangan berwarna
putih pucat. Bila dihitung dari waktunya sehabis membunuh
orang lalu kabur dengan menunggang kuda, maka
seharusnya saat itu dia akan muncul di wilayah
sana, itulah sebabnya Pho Ang-soat segera
potong kompas dengan menghadang di tempat
itu. Bila dari kejauhan orang itu bagaikan segumpal
bola api, setelah dekat baru ia melihat jelas orang
itu adalah seorang wanita.
Pho Ang-soat berdiri bodoh setelah berhasil
menghadang persis di hadapannya dan
mengetahui siapakah orang itu.
Tidak, lebih tepat kalau dikatakan ia berdiri
terperangah. Ternyata perempuan berjubah merah yang
menunggang kuda putih itu tak lain adalah Be
Hong-ling yang pagi tadi baru saja ditemukan
tewas dengan kepala terpenggal.
Selama beberapa hari belakangan ini Pho Angsoat
bertemu dengan begitu banyak jagoan yang
hidup kembali dari kematian, tidak seharusnya ia
merasa tercengang dengan apa yang dilihatnya.
Tapi setelah berjumpa Be Hong-ling, mau tak
mau dia terperangah juga dibuatnya.
Perempuan itu sama sekali tak tampak
tercengang atau kaget, malahan dengan sinar
mata yang menawan dia tatap wajah Pho Angsoat
lekat-lekat. "He, siapa kau?" tegurnya dengan nada keras.
"Siapa aku?" Pho Ang-soat tertawa getir, "kalau
tak salah, semalam akulah yang telah memenggal
batok kepalamu."
"Memenggal batok kepalaku?" perempuan itu
terkejut dan heran, "semalam" Tapi semalam aku
tidak berada di sini."
"Semalam kau tidak berada di Ban be tong?"
tegas Pho Ang-soat makin tercengang.
"Betul, aku baru tiba pagi ini."
"Berarti orang yang kubunuh semalam bukan
kau?" "Terbunuh?" tiba-tiba gadis itu seperti
teringat akan sesuatu, dengan mata berkilat
serunya, "ah, sekarang aku tahu
siapakah dirimu, bukankah kau Pho Angsoat,
yang telah membunuh putri
Samsiokku?"
"Samsiokmu" Siapa paman ketigamu itu?"
"Siapa lagi, tentu saja Sam-lopan Be Khongcun
dari Ban be tong."
"Jadi Be Khong-cun adalah Samsiokmu?" Pho
Ang-soat semakin bingung, "lalu siapakah kau?"
"Aku?" gadis itu tertawa cekikikan, "aku
adalah Pek Ih-ling." "Kau adalah Pek Ih-ling?" Pho
Ang-soat sangat terkejut.
Bab 6. BERTEMU CUI-LONG KEMBALI
"Aku adalah Pek Ih-ling!"
Setelah mendengar namanya, Pho Ang-soat
hanya bisa menghela napas, ya, selain menghela
napas apa lagi yang bisa dia lakukan"
Kilas Balik Merah Salju Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sudah jelas Pek Thian-ih tak punya anak gadis,
satu-satunya keturunan Pek thian-ih adalah Pho
Ang-soat, tapi kemudian anak itu berubah jadi
Yap Kay. Gara-gara peristiwa ini, Pho Ang-soat harus
menderita hampir lima-enam tahun lamanya, dia
harus berjuang mati-matian sebelum berhasil
mengatasi kepedihan itu.
Peduli apa pun yang terjadi, ada satu hal Pho
Ang-soat percaya seratus persen, Pek Thian-ih
Pek-locianpwe tidak mempunyai anak perempuan,
satu-satunya putra tunggalnya adalah Yap Kay.
Ketika secara tiba-tiba Be Khong-cun
mengumumkan semalam bahwa putri tunggal Pek
Thian-ih sedang mencari suami, rasa kaget Pho
Ang-soat waktu itu boleh dibilang luar biasa.
Pho Ang-soat percaya, Yap Kay pasti
mempunyai pikiran yang sama dengan dirinya,
ingin menyaksikan perkembangan selanjutnya
kejadian ini, ingin mengetahui permainan busuk
apa lagi yang hendak dilakukan Be Khong-cun.
Oleh sebab itu ketika mendengar pengakuan
perempuan yang seharusnya Be Hong-ling adalah
Pek Ih-ling. Pho Ang-soat segera menarik kembali
perasaan kagetnya dan bertanya, "Kau adalah
Pek Ih-ling" Apakah tak ada orang lain yang
mengatakan bahwa dirimu mirip Be Hong-ling?"
"Bukan cuma mirip, malah ada yang mengira
kami sebagai saudara kembar," sahut Pek Ih-ling
sambil tertawa, "aku percaya kau tentu sangat
terperanjat ketika bertemu aku tadi, pasti kau
sangka sudah bertemu setan bukan?"
"Mana ada setan secantik kau?"
Biasanya kata-kata semacam ini hanya bisa
keluar dari mulut Yap Kay, tapi kali ini Pho Angsoat
pun dapat mengucapkan perkataan itu,
bahkan wajah dan telinganya sama sekali tidak
berubah merah. Asal perempuan, kebanyakan pasti suka
mendengar orang lain memujinya cantik atau
mungkin inilah kelemahan utama wanita"
Biarpun wajah Pek Ih-ling tidak menunjukkan
perubahan apa-apa, namun dalam hati kecilnya
sudah timbul rasa yang sangat manis, dengan
tersenyum dia terima pujian itu.
"Jadi Be Hong-ling benar-benar mati di
tanganmu?" tanya Pek Th-ling sembari
menatapnya. "Menurut kau?"
"Kau memang mirip seorang pembunuh, tapi
aku mempunyai satu firasat bahwa Be Hong-ling
bukan tewas di tanganmu."
"Bila Be Khong-cun pun bisa memiliki firasat
seperti itu, dunia pasti akan damai dan
tenteram," jengek Pho Ang-soat hambar.
"Kalau bukan kau pembunuhnya, mengapa
harus kau akui?"
"Siapa bilang aku mengakui?"
"Kalau begitu kenapa tidak berusaha
menyangkal?" "Perlukah berbuat begitu?"
"Paling tidak harus dicoba, aku yakin Samsiok
bukan orang yang tak tahu aturan."
"Tak ada bukti yang menunjukkan orang itu
bukan mati di tanganku," tiba-tiba Pho Ang-soat
teringat Buyung Bing-cu yang belum lama mati
dibantai orang.
"Sama juga, mereka tak punya bukti yang bisa
menuduh kau sebagai pembunuhnya," kata Pek
Ih-ling pula sambil membetulkan rambutnya yang
terhembus angin.
Pho Ang-soat tidak langsung menjawab, ia
berpikir sejenak, tiba-tiba tanyanya, "Dapatkah
kau mengantarku ke kamar Be Hong-ling?"
"Mau apa?"
"Akii ingin melakukan pemeriksaan, siapa tahu
berhasil melacak sesuatu jejak?"
"Baiklah," sahut Pek Ih-ling sambil tertawa,
"tapi kau harus mampu mengikuti aku."
Begitu habis bicara, sepasang kakinya segera
mengempit perut kudanya dengan kencang,
diiringi ringkikan panjang, kuda putih itu kembali
berlari kencang.
Memandang bayangan merah yang semakin
menjauh, perlahan-lahan Pho Ang-soat
menundukkan kepala, memandang kaki
kanannya, sekilas perasaan apa boleh buat
melintas di wajahnya. Merah membara.
Hampir semua perabot yang ada di tempat itu
berwarna merah darah, termasuk juga kain
penutup jendela pun berwarna merah.
Baru pertama kali ini Pho Ang-soat masuk
kamar tidur seorang wanita, di saat dia tiba, Pek
Ih-ling telah menunggunya di dalam kamar.
Sebetulnya dia bisa saja tiba lebih dulu, tapi ia
lebih suka mengikut dari belakang dengan
perlahan, entah apakah dikarenakan Pek Ih-ling"
Ataukah dia memang ingin menyiksa sepasang
kakinya" Dari dalam ruangan terendus bau harum
seorang gadis perawan, hanya tidak jelas bau
harum itu memang sudah ada sejak tadi ataukah
berasal dari tubuh Pek Ih-ling" Pho Ang-soat tak
berani membayangkan lebih lanjut, dia harus
segera memusatkan perhatian untuk memeriksa
keadaan dalam ruangan itu.
Sebuah cermin yang digosok sangat mengkilat
terletak di atas meja rias, beberapa kotak pupur
tersusun rapi di meja, di samping cermin terdapat
pula sebuah vas bunga, di dalamnya tertancap
sekuntum bunga kertas berwarna merah.
Seprei maupun selimut terlipat rapi di ranjang,
menunjukkan kamar itu pernah dibersihkan dan
ditata oleh seseorang, bagaimana mungkin Pho
Ang-soat dapat menemukan petunjuk dari kamar
yang sudah rapi"
Pek Ih-ling duduk di sudut ranjang, mengawasi
Pho Ang-soat dengan penuh rasa riang dan
tertarik. "Aku tak tahu jejak apa yang sedang kau
lacak," kata Pek Ih-ling sambil tertawa,
"setahuku, andaikata ada jejak pun sudah pasti
telah disingkirkan orang. Benar bukan
tebakanku?"
"Setelitinya seseorang, pasti akan teledor
juga," dengus Pho Ang-soat hambar, "orang mati
pun dapat bicara apalagi kasus pembunuhan itu
berlangsung di sini."
"Darimana kau tahu di tempat inilah kasus
pembunuhan itu berlangsung?"
"Coba kau perhatikan lantainya, kelewat
berkilat dan bersih, jelas belum lama berselang
pernah dicuci seseorang dengan air!" kata Pho
Ang-soat sambil menuding ke lantai, "kenapa
lantai di kamar lain tak nampak bersih, kenapa
hanya lantai di kamar ini saja yang berkilat?"
"Karena lantai ini pernah ternoda darah?"
"Tepat sekali."
Pho Ang-soat berjongkok sambil meraba lantai,
tiba-tiba di antara celah batu ia jumpai seutas
rambut berwarna putih abu-abu, air mukanya
kontan berubah serius.
"Kalau tidak keliru, seharusnya tahun ini usia
Be Hong-ling baru dua puluh tahun bukan?" tibatiba
ujar Pho Ang-soat.
"Tepat umur dua puluh tahun," Pek Ih-ling
membenarkan. "Eeh, kenapa kau tanyakan
masalah ini?"
"Kalau seorang pemuda berusia dua puluh
tahun, mungkin saja rambutnya ada yang mulai
memutih, tapi dia adalah gadis berusia dua
puluh tahun....." sambil menggeleng kepala
Pho Ang-soat menyimpan rambut putih itu ke
dalam sakunya. Tentu saja Pek Ih-ling pun menyaksikan juga
ketika Pho Ang-soat memungut rambut putih itu,
serunya, "Kau menduga rambut putih itu milik
sang pembunuh?"
"Kemungkinan benar, kemungkinan tidak
benar." Sambil tertawa Pho Ang-soat bangkit dan
membalikkan badan siap beranjak pergi.
Pek Ih-ling melengak, tegurnya, "Secepat itu
pemeriksaanmu?"
"Seperti apa yang kau katakan, semua bukti
yang tersisa telah diangkut orang, aku rasa
rambut ini merupakan satu-satunya jejak yang
tersisa." Begitu selesai bicara, tanpa berpaling dia
berlalu meninggalkan tempat itu, tinggal Pek Ihling
yang masih berdiri melongo.
Suasana Ban be tong masih tercekam
keheningan, tampaknya belum ada orang tahu
bahwa Buyung Bing-cu telah mati dibantai orang
dalam kamar Pho Ang-soat, coba kalau mereka
tahu akan hal ini, semua orang pasti akan
menuduhnya sebagai pembunuhnya.
Memang banyak sekali kejadian seperti ini
berlangsung di dunia, sekali orang menuduhmu
melakukan satu kesalahan, maka selanjutnya
biarpun kau berada di posisi benar, mereka tetap
akan menuduhmu sebagai orang yang salah.
Dalam keadaan begini, biar kau ingin berkelit atau
menyangkal dengan alasan apa pun, belum tentu
orang bersedia menerimanya.
Siapakah orang yang dijumpai Buyung Bing-cu"
Kalau sejak awal dia sudah tahu pembunuhnya
bukan Pho Ang-soat, lantas mengapa baru
mengatakannya sekarang" Apakah dikarenakan
sang pembunuh selalu ada bersama mereka"
Sebab kematian Buyung Bing-cu jelas, sang
pembunuh kuatir perbuatannya diketahui orang,
maka dia segera mengambil tindakan dengan
melenyapkan saksi.
Kalau memang begitu masalahnya, mengapa
sang pembunuh tidak sekalian membunuhnya
semalam" Mengapa harus menunggu hingga
sore" Dari kemampuan sang pembunuh memasuki
kamar Be Hong-ling tanpa membuat si nona
menjerit kaget, jelas pembunuh itu adalah orang
yang sangat dikenalnya, bisa jadi mereka pernah
bertemu malam sebelumnya dan memang
berjanji akan bertemu lagi di sana.
Kalau memang sudah berjanji untuk bertemu
lagi, mengapa sang pembunuh harus menghabisi
nyawanya" Mengapa dia membunuhnya"
Jarak antara kamar Be Hong-ling dan Pho Angsoat
tidak jauh, tapi karena ia sedang memikirkan
masalah itu, maka langkah kakinya lambat sekali.
Tapi justru karena lambat, dia pun mendengar
ada suara langkah kaki lain sedang berjalan
mendekat, langkah orang itu berasal dari beranda
sebelah kiri menuju ke gedung penerima tamu.
Biarpun suara langkahnya ringan, namun jelas
berasal dari langkah kaki seorang wanita.
Baru saja ingatan itu melintas, Pho Ang-soat
pun segera mengendus bau harum semerbak,
harumnya bunga teratai.
Ia segera merasakan bau harum yang khas,
bau harum yang begitu dikenal olehnya. Menyusul
bau harum itu, terdengar suara seseorang
menghela napas sedih.
Suara helaan napas itu tidak terlampau keras,
tapi justru serasa mencekik napas Pho Ang-soat,
terasa menyentuh sudut tertentu hat inya.
Suara itu... mana mungkin berasal dari dia"
Paras muka Pho Ang-soat saat itu entah diliputi
rasa bimbang atau telah berubah jadi merah
jengah" Dia hanya merasa hati kecilnya begitu
tersentuh, begitu trenyuh oleh helaan napas itu.
Menyusul tampak seseorang bertubuh kecil
ramping muncul dari balik daun jendela.
"Siau Pho!" terdengar orang itu menyapa lirih.
Begitu jauh suara panggilan itu berasal, tapi
terasa begitu dekat, begitu samar, apakah semua
ini merupakan kenyataan" Sudah berapa lama ia
tak pernah mendengar suara semacam itu"
Mungkin sudah ratusan tahun, ribuan tahun"
Tanpa sadar Pho Ang-soat membayangkan
kembali kejadian di masa silam, kejadian yang
dialaminya sepuluh tahun berselang.
Di pinggiran kota yang sama, di tempat yang
sama, saat itu Pho Ang-soat baru berusia delapan
belas tahun, dengan membawa golok yang telah
dikutuk, dengan membawa dendam kesumat
yang sudah terpendam selama delapan belas
tahun, mendatangi tempat itu.
Pada malam itu, ya, pada malam itu... ketika ia
baru kembali ke kamarnya, Pho Ang-sbat
membaringkan diri di atas ranjang tanpa
Kilas Balik Merah Salju Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyalakan lentera, sejak kecil dia memang
sudah terbiasa hidup dalam kegelapan.
Sekonyong-konyong muncul sebuah tangan
dari balik kegelapan, menggenggam tangannya.
Begitu halus tangan itu, begitu lembut dan
hangat genggamannya.
Pho Ang-soat masih berbaring dengan tenang,
membiarkan dia menggenggam tangannya...
tentu saja tangan yang tidak digunakan untuk
menggenggam golok.
Saat itulah dari balik kegelapan terdengar suara
pembicaraan seseorang, suara yang begitu
lembut seperti suara impian, berbisik di sisi
telinganya, "Siau Pho, sudah lama aku
menunggumu."
Suara itu begitu lembut, manis, begitu muda
dan hangat, jelas sekali suara seorang nona.
"Betulkah kau sudah lama menunggu?" Pho
Ang-soat balik bertanya dengan suara dingin.
"Benar, asal kau pasti datang, biar harus
menunggu selama apa pun, aku merasa
berharga untuk menantinya."
Saat itu Pho Ang-soat belum tahu siapakah
nona itu. "Jadi kau sudah siap?" tanyanya lagi.
"Benar, sudah siap, apa pun yang ingin kau
lakukan, asal dikatakan pasti akan kulaksanakan."
Pho Ang-soat tidak mengucapkan sepatah kata
pun, bahkan tubuhnya pun sama sekali tak
bergerak. Belaian nona itu makin lembut, bisikan
suaranya pun makin halus dan merayu, "Aku
tahu apa yang kau inginkan...."
Gadis itu mulai meraba dalam kegelapan,
meraba tubuh Pho Ang-soat, mencari kancing
bajunya, lalu dengan lembut melepas kancing itu
satu per satu... tiba-tiba saja Pho Ang-soat
berada dalam keadaan bugil, biarpun tak ada
hembusan angin dalam ruangan, namun otot dan
tubuhnya gemetar dan mengejang keras.
"Selama ini kau hanya seorang bocah, mulai
saat ini, aku akan membuatmu menjadi lelaki
dewasa," kembali gadis itu berbisik lirih, "sebab
ada sementara perbuatan hanya bisa dilakukan
oleh seorang lelaki dewasa...."
Bibir gadis itu hangat dan basah, menciumi
dada Pho Ang-soat, menciumi pipi dan bibirnya....
Pho Ang-soat masih dapat merasakan belaian
hangatnya, biar saat ini tiada angin berhembus di
serambi, namun tubuhnya mulai gemetar keras,
seolah bunga teratai yang dihembus angin musim
semi. Termangu Pho Ang-soat mengawasi orang di
luar jendela, suaranya yang lembut bagai orang
mengigau, terdengar selembut di tengah malam
waktu itu, walau sekarang di bawah sorot
matahari. Belaian tangan yang halus, ciuman bibirnya
yang hangat dan basah, napsu dan harapan yang
begitu misterius tapi mesra... sebenar nya semua
itu sudah jauh tertinggal di luar pikiran, seakan
berada dalam alam impian, tapi dalam waktu
singkat, tahu-tahu telah berubah menjadi
kenyataan. Pho Ang-soat menggenggam kencang sepasang
tangannya, seluruh tubuhnya gemetar karena
tegang bercampur girang, tapi sorot matanya
masih mengawasi bayangan di luar jendela tanpa
berkedip-dari balik sorot matanya yang dingin
tiba-tiba berubah jadi panas membara.
Kelihatannya bayangan di luar jendela itu pun
merasa tubuhnya mengejang karena pancaran
sinar mata Pho Ang-soat yang membara, lewat
beberapa saat kemudian baru ia berkata,
"Sepuluh tahun telah lewat, pernahkah kau
melupakan aku?"
Mana mungkin bisa dilupakan" Dia adalah
wanita pertama yang muncul di hati Pho Angsoat,
wanita yang selama ini dicinta dan disayang
dengan sepenuh hati, meskipun pada akhirnya dia
tahu sikap perempuan itu terhadapnya hanya
pura-pura, karena menerima upah untuk
melakukannya, namun... mungkinkah benih cinta
yang telah tertanam ditarik kembali"
Seandainya kau pun mengalami pengalaman
seperti apa yang dialaminya, apakah kau dapat
menarik kembali benih cintamu"
Perasaan cinta yang muncul, ibarat air dalam
baskom yang telah dibuang, dia hanya bisa
menghentikan tindakannya dan selama hidup tak
bakal bisa menariknya kembali.
Sekujur tubuh Pho Ang-soat sudah tidak
gemetar lagi, pandangan matanya yang membara
kian padam dan sirna, sebagai gantinya muncul
kesedihan dan perasaan pilu yang mendalam.
Perasaan pilu dan sedih yang timbul dari dasar
sanubarinya yang paling dalam.
Dalam sepuluh tahun terakhir, dialah orang
yang paling tak ingin dijumpai, tapi setiap kali
mendusin di tengah malam, justru hanya dia yang
muncul dalam benaknya.
Cui -long! Ya, Cui long.
Nama itu seolah awan yang sedang melayang
di ujung langit, namun justru mengikuti Pho Angsoat
bagaikan bayangan tubuhnya.
Ada penderitaan tentu ada kegembiraan, ada
kemasgulan tentu ada pula kemesraan, berapa
kali mereka pernah berpelukan dengan mesra"
Berapa kali mereka saling membelai dengan
penuh kasih" Biarpun semuanya telah berlalu,
namun perasaan itu selamanya terukir dalam
lubuk hati, perasaan cinta yang terbawa sampai
alam impian, bagaikan belatung yang menempel
di tubuh bangkai, siang malam menggeroboti
tubuhnya tanpa henti.
Berapa kali dia ingin menggunakan arak supaya
mabuk, tapi mungkinkah ia benar-benar bisa
mabuk" Mungkinkah dengan mabuk semuanya
akan terlupakan" Bagaimana kalau selamanya tak
terlupakan"
Apa pula yang bisa dia perbuat bila tak
terlupakan" Bagaimana pula kalau selalu teringat"
Kehidupan, apa yang dimaksud kehidupan"
Manusia hidup hanya merasakan penderitaan, apa
benar manusia adalah makhluk yang paling
menderita karena cinta"
Justru karena kau pernah mencintai seseorang
dengan sepenuh hati, maka baru akan
merasakan pula penderitaan yang sesungguhnya.
Inilah salah satu kejadian yang paling membuat
manusia sedih dan pilu.
Matahari telah tenggelam di langit barat, awal
senja mulai menyelimuti seluruh angkasa.
Bangunan gedung Ban be tong seolah
terselubung di balik selapis kain sutera tipis,
bayangan manusia di luar jendela bagaikan
lukisan tinta yang basah oleh air.
"Sepuluh tahun berselang kau tidak seharusnya
kemari, sepuluh tahun kemudian kau pun tidak
seharusnya kemari," bayangan manusia itu
berkata perlahan, "kenapa kau tetap datang
kemari?" Kenapa" Ya, kenapa" Entah sudah berapa kali
Pho Ang-soat bertanya pada diri sendiri, mengapa
dia harus ke sana" Tempat itu bukan desa
kelahirannya, tiada sanak keluarganya di situ, di
tempat itu hanya ada kenangan.
Kenangan pahit, kenangan yang paling
membuatnya menderita dan tersiksa.
Apakah kedatangannya hanya untuk
merasakan kenangan yang pahit dan penuh
penderitaan" Tentu Pho Ang-soat tak bakal mau
mengakuinya. Tapi jika tidak mengakui bisa apa"
Kalau mengakui pun bisa apa"
"Walaupun sepuluh tahun berselang Ban be
tong berhasil kalian musnahkan, namun Ban be
tong yang muncul sepuluh tahun kemudian justru
bermaksud memusnahkan kalian dan sekarang
kalian benar-benar muncul di sini."
Biarpun perkataan itu diucapkan dari balik
jendela, namun masih terdengar begitu halus dan
merdu. "Pergilah, cepat tinggalkan tempat ini, Siau
Pho, segala sesuatu yang ada di sini tak mungkin
bisa kau bayangkan dengan akal sehat."
Pergi" Kepergiannya sepuluh tahun berselang
harus ditebus dengan penderitaan selama sepuluh
tahun. Setelah menelaah dan merasakannya selama
sepuluh tahun, baru ia dapat menyimpulkan
bahwa di dunia ini selain terdapat rasa benci dan
dendam, sesungguhnya masih terdapat hal lain
yang jauh lebih menakutkan daripada benci dan
dendam, yakni perasaan cinta.
Rasa benci dan dendam hanya sebatas ingin
menghancurkan musuh saja, perasaan cinta
justru membuatnya ingin menghancurkan diri
sendiri, ingin menghancurkan seluruh dunia.
Penderitaan selama sepuluh tahun membuat
dia mengetahui akan satu hal. Hubungan antara
laki perempuan harus diungkap dengan perkataan
dan pernyataan.
Bila kau tidak mengungkapnya, mana mungkin
orang lain bisa tahu" Mana mungkin orang lain
bisa mengerti"
"Sepuluh tahun berselang aku telah melakukan
satu kesalahan, hari ini aku tak ingin mengulang
kesalahan yang sama," pancaran sinar mata Pho
Ang-soat masih dibebani perasaan pedih, namun
suaranya sudah lebih tenang dan datar.
Jelas sekali maksud perkataan itu, "Sepuluh
tahun berselang aku telah salah membiarkan kau
pergi, masakah hari ini kembali kubiarkan kau
pergi?" "Kau tak boleh...."
Jelas nona itu pun memahami maksud Pho
Ang-soat, dia pun tahu apa yang bakal dia
lakukan, tapi untuk mencegahnya sudah
terlambat. Begitu jendela dijebol, Pho Ang-soat
menyelinap ke hadapannya, tapi sayang secepat
apa pun dia bergerak, Cui long jauh lebih cepat.
Baru saja Pho Ang-soat berdiri tegak, bagaikan
bayangan setan Cui long telah lenyap, yang
tersisa dalam ruangan hanya bau harum yang
tipis. Seandainya tiada sisa bau harum yang
tertinggal, Pho Ang-soat pasti mengira dirinya
baru saja mendusin dari mimpi.
Sinar matahari senja menerobos masuk melalui
daun jendela yang jebol, menyinari wajah Pho
Ang-soat, kini dia sudah tak sedih lagi, emosinya
pun sudah tidak bergolak, paras mukanya telah
pulih kembali dalam kehambaran dan dingin bagai
salju abadi. Benar-benar bagaikan salju abadi yang tak
pernah mencair.
Kepalanya tertunduk, seolah sedang
memperhatikan bekas lantai yang digunakannya
untuk berdiri, seolah-olah juga sedang putar otak
memikirkan sesuatu.
Pada saat bersamaan, Yap Kay pun sedang
terjerumus dalam pemikiran yang mendalam.
Biarpun ia sudah balik kembali ke Ban be tong,
namun dia bukan duduk dalam kamarnya,
melainkan duduk di atap rumah.
Yap Kay duduk di atas atap, duduk persis di
samping atap rumah yang jebol ditembus
tombak, dia sedang mengawasi posisi lubang itu,
tentu saja termasuk semua yang ada dalam
ruangan. Buyung Bing-cu yang mati tertembus tombak
sudah tidak nampak lagi, ruangan serta lantai
sudah dibersihkan hingga tidak nampak noda
darah maupun bekas pertarungan di situ, tentu
saja kecuali lubang yang ada di atap rumah.
Kemana perginya mayat Buyung Bing-cu"
Apakah memang telah disingkirkan Yap Kay"
Kalau memang perbuatan Yap Kay, mengapa dia
harus memindahkannya" Kalau bukan, lantas
perbuatan siapa"
Pho Ang-soat enggan berpikir banyak, maka
tanpa memikirkan lagi persoalan itu, dia pergi
meninggalkan gedung penerima tamu dan
langsung kembali ke dalam kamarnya.
Tentu saja dia pun dapat melihat kamarnya
telah dibenahi hingga rapi dan bersih, jenazah
Buyung Bing-cu benar-benar tidak ditemukan di
situ. Tanpa banyak bicara dia membaringkan diri di
Kilas Balik Merah Salju Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
atas ranjang, pada saat itulah dia melihat
sepasang mata Yap Kay.
Yap Kay yang berada di luar lubang melihat
dengan jelas Pho Ang-soat masuk ke dalam
ruangan, melihat dia membaringkan diri, dia pun
melihat orang itu sedang memandang ke
arahnya, tapi heran, wajah Pho Ang-soat sama
sekali tidak menunjukkan perasaan heran atau
tercengang. Mau tak mau Yap Kay harus mengagumi sikap
tenang rekannya itu. "Memang kau bukan
manusia?" Entah sedari kapan Yap Kay sudah turun dari
atap rumah, berjalan masuk ke dalam ruangan,
berdiri di depan ranjang sambil mengawasi Pho
Ang-soat tanpa berkedip.
"Memang kau bukan anjing?" bukannya
menjawab Pho Ang-soat malah bertanya, dia
bertanya menggunakan nada bicara yang sama.
"Di dalam kamarmu telah terjadi perubahan
yang sangat besar, jenazah pun tiba-tiba hilang,
masakah sedikit pun kau tidak merasa tercengang
dan kaget?"
"Hanya anjing yang tertarik dengan bau
bangkai" sahut Pho Ang-soat hambar, "jelek-jelek
aku masih terhitung manusia, mana bisa
dibandingkan anj ing?"
"Setelah melihat aku berada di atap kamarmu,
seharusnya kau pun mengerti bahwa aku tahu
jenazah Buyung Bing-cu berada dimana sekarang,
kenapa tidak kau tanyakan kepadaku?" ujar Yap
Kay sambil menarik sebuah bangku dan duduk.
"Aku tahu kau pasti akan memberitahukan
kepadaku, kenapa pula harus ditanyakan lagi?"
"Kalau secara tiba-tiba aku tak ingin
memberitahukan padamu?"
"Jika begitu ditanya pun tak ada gunanya,"
tiba-tiba Pho Ang-soat tertawa tergelak, "berarti
kau bukan Yap Kay."
Yap Kay ikut tertawa mendengar kata-katanya
itu, ujarnya, "Aku lihat kau sangat memahami
karakterku."
"Sama-sama"
Kembali Yap Kay tertawa, sambil tertawa dia
mengambil poci arak dari dalam pelukannya dan
meneguk isinya ke dalam mulut.
"Setelah meninggalkan Siau Piat-li, tiba-tiba
aku teringat akan satu hal dan perlu ditanyakan
kepadamu, karena itu aku pun menuju kamar
tidurmu, tapi sebelum aku berjumpa denganmu,
tiba-tiba saja kudengar dari dalam kamar
berkumandang suara yang mustahil kau lakukan,
itulah suara orang sedang buang air, maka aku
segera naik ke atap rumah, dengan cepat
kutemukan lubang itu, dari lubang atap
kusaksikan Kongsun Toan sedang memindahkan
jenazah Buyung Bing-cu dari lantai."
"Kongsun Toan?" seru Pho Ang-soat melengak.
"Benar," Yap Kay manggut-manggut, "begitu
Kongsun Toan keluar pintu, tentu saja aku segera
mengikutinya, tapi baru sampai di tengah jalan,
kulihat kau serta seorang perempuan sedang
berjalan masuk ke kamar tidur Be Hong-ling."
"Kau pasti tidak menyangka siapakah wanita itu
bukan?" "Sebetulnya memang tak bisa kuduga, tapi
setelah kulihat raut mukanya, aku pun segera
tahu mengapa Be Hong-ling harus mati."
"Oya" Kenapa Be Hong-ling harus mati?"
"Sebab kalau Be Hong-ling tidak mati, Pek Ihling
pun mustahil bisa tampil."
Pho Ang-soat menatap wajah Yap Kay lekatlekat,
dia sedang menunggu penjelasan darinya.
"Walaupun orang mati dapat hidup
kembali, akan tetapi orang hidup tak
mungkin bisa awet muda," Yap Kay
menerangkan, "sepuluh tahun berselang, dari
sekian banyak anggota Ban be tong, hanya
Be Hong-ling seorang yang masih hidup,
setelah lewat sepuluh tahun, sedikit banyak
usianya pasti sudah mulai menggerogoti raut
mukanya." Pho Ang-soat mengangguk tanda setuju.
"Tapi kemunculan Be Khong-cun sekalian
sepuluh tahun setelah itu, raut muka mereka
sama sekali tak berubah, bahkan sama sekali
tidak nampak lebih tua atau berkerut. Bila ingin
kejadian berlangsung persis seperti sepuluh tahun
berselang, berarti Be Hong-ling harus mati, walau
mereka memiliki kemampuan rahasia yang bisa
membangkitkan orang dari kematian, namun
belum mampu mempertahankan seseorang tetap
awet muda seperti sedia kala."
"Oleh karena itu Be Hong-ling harus mati,
hingga wanita bernama Pek Ih-ling bisa muncul?"
sela Pho Ang-soat.
"Seharusnya begitu," setelah meneguk
araknya, Yap Kay berkata lebih jauh, "semua
pembicaraan yang kau lakukan dengan Pek Ihling
bukan saja telah kudengar, aku pun sempat
melihat bagaimana kau mencabut rambutmu
sendiri, lalu kau buang ke lantai dan
memungutnya kembali dengan mengatakan
rambut itu milik pembunuh...."
Ternyata rambut putih yang diambilnya dari
lantai adalah rambut Pho Ang-soat sendiri yang
sengaja dicabut.
Tapi mengapa dia berbuat demikian" Apa pula
maksud tujuannya berbuat begitu"
"Aku percaya kau pasti sudah tahu mengapa
aku berbuat begitu," ujar Pho Ang-soat sambil
tertawa. "Begitu menjumpai kamar itu sudah dibenahi
dan dibersihkan, tentu saja kau pun tahu
kemungkinan menemukan jejak pembunuh kecil
sekali, oleh sebab itu kau sengaja menciptakan
jejak untuk pembunuh itu," kata Yap Kay, "dan
kau pun pasti tahu kejadian ini pasti akan
terdengar juga oleh sang pembunuh, bila si
pembunuh mulai ragu dan ingin menghilangkan
saksi, bisa jadi dia akan berusaha
membunuhmu."
Kemudian setelah tertawa, lanjutnya, "Asal dia
berani bertindak, kau pun akan mendapat
kesempatan untuk menangkapnya."
"Asal pembunuh itu mempunyai kepintaran
macam kau, sia-sia saja aku mengorbankan
rambutku," Pho Ang-soat menghela napas
panjang. "Jangan kuatir, sekalipun dia amat cerdas pun
yakin pasti akan melakukan satu tindakan, sebab
dia pasti tak mau ambil resiko."
Pho Ang-soat berpikir sejenak, kemudian
katanya, "Bagaimana selanjutnya" Apakah semua
yang kusaksikan di beranda tadi kau pun ikut
menyaksikan?"
"Tidak, sama seperti kau, aku pun hanya
mendengar suara," kata Yap Kay, "dari tempat
persembunyianku, aku hanya bisa melihat situasi
di beranda dan susah untuk melihat keadaan di
dalam gedung penerima tamu."
Sekali lagi Pho Ang-soat terjerumus dalam
pemikiran yang dalam.
Setelah memandangnya sekejap, Yap Kay
berkata, "Orang yang telah mati pun bisa hidup
kembali, tidak aneh bila ada suara yang sangat
mirip." "Tapi jelas suara itu adalah suaranya, aku
sangat yakin suara itu adalah suaranya."
"Sekalipun memang benar dia, lalu apa yang
bisa kau perbuat" Dia tak ingin bertemu
denganmu, berarti dia mempunyai kesulitan yang
susah dijelaskan kepadamu, apa gunanya kau
menyiksa diri?"
"Siapa bilang aku sedang menyiksa diri?"
biarpun paras muka Pho Ang-soat
memperlihatkan ketenangan yang luar biasa,
namun hatinya sakit, sakit bagai disayat-sayat.
Tentu saja Yap Kay pun mengetahui
penderitaan yang dirasakan rekannya, tapi apa
pula yang bisa dia perbuat" Masalah cinta
memang tak mungkin bisa dibantu pihak ketiga,
terlebih bila urusannya sudah menyangkut
perasaan yang telah membekas jauh di dalam
lubuk hati. Selama sepuluh tahun bersahabat, tiada orang
yang lebih paham perasaan Pho Ang-soat
ketimbang dirinya, biarpun tampaknya dia dingin,
hambar dan angkuh, kenyataan perasaan
cintanya jauh lebih hangat, jauh lebih gila
daripada siapa pun.
Sejak kecil ia sudah dididik menjadi sebuah alat
untuk membalas dendam, lambat-laun dia telah
membentuk selapis dinding penyekat di dalam
hatiny Dendam Iblis Seribu Wajah 6 Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long Amarah Pedang Bunga Iblis 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama