Ceritasilat Novel Online

Kilas Balik Merah Salju 6

Kilas Balik Merah Salju Karya Gu Long Bagian 6


i di atas dinding, biar
dicabut dengan cara apa pun tak mungkin bisa
goyah kembali. "Oleh karena itu lebih baik bunuhlah aku
sekarang," perempuan itu menambahkan.
Membunuhnya" Tanpa terasa sekali lagi Pho
Ang-soat mengamati perempuan di hadapannya.
Biarpun ia cantik, namun bukan perempuan
cantik pertama yang pernah dilihatnya, tapi
anehnya, mengapa tak tersirat sedikit pun
niatnya untuk membunuh.
Apakah hal ini lantaran keterus terangan
perempuan itu" Atau karena dia memiliki
sepasang mata yang kalut" Atau karena dia dan
dirinya termasuk orang yang dilanda kerinduan"
Sebenarnya karena alasan apa" Pho Ang-soat
sendiri pun tak tahu, dia hanya mengerti akan
satu hal, perempuan ini tak boleh dibunuh.
Tak disangkal, agaknya perempuan itu pun
dapat melihat hal ini, maka kembali ujarnya, "Bila
kau tidak membunuhku, maka kau harus
membawa serta diriku."
"Membawamu?" sekali lagi Pho Ang-soat
tertegun. "Betul. Meski luka ini tak mengenai bagian
penting tubuhku, namun bila tidak segera ditolong
dan diobati, paling aku hanya bisa bertahan dua
jam lagi."
Dalam hal ini Pho Ang-soat pun mengerti.
"Jika aku mati dalam kondisi begini, biar kau
tak menggunakan golokmu lagi, sama artinya
kaulah yang telah membunuhku, apakah hati
kecilmu dapat menerimanya?" kembali
perempuan itu berkata.
Pho Ang-soat tertawa getir, dia memang hanya
bisa tertawa getir, jika bertemu perempuan
semacam ini, siapa yang tidak tertawa getir"
"Kalau kau tak ingin membunuhku, maka kau
harus membawa serta diriku, mengobati lukaku,"
kembali perempuan itu berkata, "aku tahu
kemampuanmu mengobati luka sama hebatnya
seperti permainan golokmu."
Orang yang pandai membunuh, biasanya
pandai pula mengobati luka.
"Tetapi jangan setelah menyembuhkan lukaku,
kau tinggalkan diriku begitu saja," kata
perempuan itu lagi, "mulai detik ini, aku akan
selalu mengintil di belakangmu, sejengkal pun tak
akan kutinggalkan."
Apa pula maksud perkataan itu"
"Karena sekarang aku belum mampu
membunuhmu, di kemudian hari pun tak mampu
membunuhmu, maka aku akan selalu mengintil di
belakangmu, setiap saat mempelajari segalanya
tentang kau, selalu memperhatikan
kepandaianmu dan mencari titik kelemahanmu.
Bila suatu ketika aku berhasil memahami tentang
kau, itulah waktuku untuk meraih kemenangan.
Dalam hal ini kau pasti setuju bukan?"
"Aku setuju!"
"Kau sudah memutuskan tak akan
membunuhku, namun jangan harap kau akan
memperoleh kehidupan yang tenang di kemudian
hari," perempuan itu menatap wajahnya lekatlekat,
"setiap saat kau harus selalu mewaspadai
aku, siapa tahu begitu kuperoleh kesempatan
baik, tanpa sangsi aku bakal menusukmu hingga
mampus." Dia mengikuti dirinya karena bermaksud ingin
membunuhnya, tentu saja dalam hal ini Pho Angsoat
mengetahui dengan jelas.
"Sekarang kau boleh mulai mengobati lukaku,
lalu mengajakku pergi meninggalkan tempat ini."
"Mengajakmu pergi?" tanya Pho Ang-soat,
"kemana?"
"Bila kita tetap tinggal di sini, memang kau
sangka Be Khong-cun itu orang mampus,
memangnya dia tak bakal bertanya" Begitu ia
mulai bertanya, lalu bagaimana caramu
menjawab?" perempuan itu tertawa, "untung aku
tahu kau pasti akan mengajakku menuju ke suatu
tempat dan tinggal di sana."
"Aku mempunyai tempat?"
Tentu saja Pho Ang-soat mempunyai tempat
untuk ditinggali perempuan itu, sepuluh tahun
lalu ia pergi meninggalkan kota kecil itu dengan
membawa luka dan kepedihan, orang lain pasti
menyangka dia bakal pergi meninggalkan dunia
yang ramai ini, meninggalkan tempat yang
membuatnya sedih dan terluka.
Padahal dia tak pernah pergi jauh, karena
kondisi tubuhnya dan luka hatinya tak sanggup
menopangnya pergi jauh, maka dia hanya
meninggalkan kota kecil itu dan menetap di atas
bukit tak jauh dari situ.
Biarpun tempat itu agak dekat dengan kota
kecil, tapi di sana dia bisa lepas dari semua
keruwetan duniawi, maka begitu menetap hampir
sepuluh tahun lamanya, dia tak pernah
meninggalkan tempat itu.
Kalau memang sudah hampir sepuluh tahun ia
berdiam di situ, mengapa secara tiba-tiba ingin
meninggalkan tempat itu"
Orang lain pasti tak dapat menebak apa
sebabnya Pho Ang-soat mengabulkan satu
permintaan tak masuk akal, yang diajukan
seorang wanita asing kepadanya, bahkan Pho
Ang-soat pribadi pun tak tahu kenapa dia
menyanggupi permintaan itu"
Bahkan dia pun belum tahu perempuan macam
apakah orang itu, namanya pun tak jelas. Dia tak
habis mengerti apa sebabnya secara bodoh dan
sembrono dia bawa perempuan itu pergi
bersamanya. Untung sesaat sebelum meninggalkan tempat
itu, pada akhirnya perempuan itu
memperkenalkan namanya.
"Aku bernama Hong-ling, si Keliningan."
Selesai bersantap, Yap Kay pun mendatangi
rumah So Ming-ming untuk beristirahat. Menanti
So Ming-ming selesai mengatur bocah-bocah
asuhnya, dia pun ikut keluar menuju ke halaman
dan duduk di samping pemuda itu.
Ketika bersantap malam tadi, Kim-hi
menyelesaikan makannya dengan cepat, lalu
dengan alasan lelah dan ingin cepat beristirahat,
dia balik lebih dulu ke kamarnya.
Selama beberapa hari belakangan ini dia
memang selalu mencari alasan untuk saling
berjumpa dengan So Ming-ming maupun Yap Kay,
tak jelas apa sebabnya ia bersikap begitu.
Tentu saja So Ming-ming tak menaruh
perhatian atas sikapnya yang aneh itu, apalagi
Yap Kay baru beberapa hari berkenalan dengan
Kim-hi, tentu saja dia lebih tak mungkin
memperhatikan urusan tetek-bengek.
Tatkala ia sadar akan hal itu, keadaan sudah
berkembang ke arah tak tertolong lagi.
Duduk santai di tanah berumput sembari
mendongakkan kepala menikmati taburan bintang
di langit dan ditemani seorang nona yang cantik
menawan, benar-benar hal yang indah dan tak
terlupakan. "Apa yang sedang kau pikirkan?" tanya So
Ming-ming sambil berpaling.
"Aku sedang membayangkan hubungan antara
kebun monyet dan Ban be tong," sahut Yap Kay
sambil menatap wajah gadis itu, "mengapa ada
begitu banyak bocah yang hilang di seputar kebun
monyet dan tak ada yang pergi menjumpai
pemilik kebun monyet untuk menemukan
anaknya" Apakah orang tua bocah-bocah yang
lenyap itu tak pernah menguatirkan keselamatan
anaknya?" So Ming-ming tak langsung menjawab, dia
menundukkan kepala, mengawasi rerumputan
hijau yang terhampar di hadapannya, baru ia
menjawab, "Sebab yang hilang rata-rata adalah
anak yatim piatu."
Sebuah jawaban yang memelas dan membuat
hati terasa kecut.
Anak yatim piatu" Tak heran ada begitu banyak
anak telah lenyap, namun belum ada orang tua di
kota Lhasa yang peduli atau menaruh perhatian
atas kasus ini.
Kalau urusan tidak menyangkut diri sendiri,
siapa pula yang mau mencampuri urusan orang
lain" Yap Kay menghela napas sedih, sesaat
kemudian baru ia berkata lagi, "Bagaimana pun
anak yatim piatu kan tetap manusia, mengapa tak
seorang pun yang berani tampil mengatasi
masalah ini?"
"Setiap orang hanya mau mengurusi masalah
sendiri dan peduli amat dengan urusan orang lain,
masa kau belum pernah mendengar kata-kata
ini?" Sesungguhnya ucapan itu memang ada
benarnya, sejak zaman dulu hingga kini, banyak
orang memang patuh dan memegang teguh
perkataan itu. Buat apa mesti mencampuri
urusan orang"
Kembali Yap Kay termenung, sesaat kemudian
baru ujarnya, "Asal terbukti hilangnya bocahbocah
itu ada hubungannya dengan kebun
monyet, aku pasti akan menuntut keadilan
kepada pemilik kebun itu."
Bukan hanya So Ming-ming yang mendengar
janji itu, Kim-hi pun ikut mendengar.
Biarpun sejak awal dia sudah balik ke kamar,
bukan berarti ia sudah terlelap, secara diam-diam
ia bersembunyi di pinggir jendela, mengamati
setiap gerak-gerik Yap Kay yang berada di
halaman dan mencuri dengar setiap pembicaraan
yang berlangsung, karena itulah ucapan Yap Kay
terakhir terdengar juga olehnya.
Sayang dia hanya mendengar sampai di situ,
jika gadis itu mencuri dengar kata-kata
selanjutnya, mungkin di kemudian hari tak
sampai terjadi peristiwa yang amat tragis.
Niat dan keputusan seseorang terkadang
muncul hanya sesaat, siapa pula yang bisa
menduga perbuatan apa yang bakal dilakukannya
di kemudian hari" Siapa pula yang bisa menebak
tindakan apa yang sebentar lagi akan dilakukan"
Semestinya Kim-hi dapat melihat So Ming-ming
amat menyukai Yap Kay, biarpun dia sendiri pun
menyukai pemuda itu, lalu apa gunanya dia
mencintainya" Seharusnya dia pun sudah dapat
merasakan bahwa dalam pandangan Yap Kay,
hanya ada So Ming-ming seorang"
Itulah sebabnya selama dua hari ini dia
berusaha menghindari perjumpaannya dengan
mereka berdua, namun apa daya, dia pun tak
tahan menghadapi kesepian dan kesendirian,
itulah sebabnya secara diam-diam dia ikut
memperhatikan gerak-gerik kedua orang itu.
Tak heran semua pembicaraan yang
berlangsung pada malam ini dapat didengarnya
dengan jelas, dia pun sangat memahami maksud
perkataan itu, maka secara diam-diam ia
memutuskan untuk melakukan satu perbuatan
besar, agar pandangan Yap Kay terhadap dirinya
dapat berubah. Dia putuskan untuk menyambangi kebun
monyet pada malam ini, asal berhasil melacak
sesuatu rahasia dan memberitahukan kepada Yap
Kay, dia pasti akan bersikap beda terhadapnya,
dia pasti akan gembira atas perbuatannya.
Betapa kekanak-kanakannya pemikiran
semacam ini, sayang ia sudah terhanyut ke dalam
lautan cinta, orang yang sudah terlanda penyakit
itu biasanya gampang timbul pemikiran kekanakkanakan.
"Asal peristiwa hilangnya anak-anak itu
berhubungan langsung dengan kebun monyet,
aku pasti akan menuntut keadilan buat mereka,"
kembali Yap Kay berjanji dengan wajah gusar.
Betapa gembira So Ming-ming mendengar itu,
cepat dipegangnya bahu pemuda itu dan bisiknya,
"Kalau memang kau sudah memutuskan untuk
melakukan penyelidikan di kebun monyet, ayo,
sekarang juga kita berangkat."
Setelah mengatur napas, ia menambahkan,
"Kalau tidak berangkat sekarang, aku kuatir
malam ini akan muncul banyak impian. Kuatirnya
mereka melenyapkan semua bukti."
"Berangkat sekarang juga?"
"Ehm," So Ming-ming mengangguk, "saat
ini malam sangat gelap, biasanya penjagaan
mereka agak kendor, dengan cepat kita pasti


Kilas Balik Merah Salju Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

akan berhasil melacak rahasianya."
"Betul, kita pasti akan mati lebih cepat di kebun
monyet," tiba-tiba Yap Kay menyambung sambil
tertawa, "bila di dalam kebun monyet benarbenar
terdapat rahasia yang tak boleh diketahui
orang, saat ini mereka pasti sudah menyiapkan
jebakan yang menakutkan menanti kedatangan
kita. Biasanya orang akan beranggapan makin
malam makin cocok untuk melakukan
penyelidikan."
"Padahal justru kebalikannya," So Ming-ming
menambahkan. "Benar," sahut Yap Kay sambil tertawa,
"semakin banyak rahasia yang tersimpan di suatu
tempat, makin ketat penjagaan mereka waktu
malam, sebab mereka pun pasti berpendapat,
semakin malam semakin tepat saat orang
melakukan penyelidikan, oleh karena itulah
tempat yang menyimpan rahasia akan menjadi
tempat yang sangat berbahaya di waktu malam."
Perasaan murung dan sedih tiba-tiba menghiasi
wajah So Ming-ming, tanyanya kemudian, "Jadi
menurut kau, kapan saat yang paling tepat untuk
berkunjung ke sana?"
"Pagi hari."
"Pagi hari" Kenapa harus pagi hari?"
"Sebab saat itu penjaga mereka sudah
mencapai saat yang paling meletihkan, saat untuk
berganti regu," kata Yap Kay sambil tertawa, "bila
seseorang telah melakukan penjagaan semalam
suntuk, saat itu mereka pasti mulai lelah,
konsentrasi pun mulai mengendor, sebaliknya
regu baru yang akan menggantikan mereka
adalah orang-orang yang baru bangun dari balik
kehangatan selimut, konsentrasi mereka pun
belum terpusat, paling tidak, kondisi mereka
masih terganggu oleh rasa kantuk. Nah, saat
seperti inilah saat yang paling tepat untuk
melakukan penyelidikan."
Penjelasan ini amat jelas dan terperinci, sayang
Kim-hi sudah tak sempat mendengar, karena
waktu itu dia sudah keburu berangkat ke kebun
monyet. Biarpun belum pernah berkunjung ke kebun
monyet, namun Kim-hi sangat menguasai
keadaan sekitar sana, tanpa kesulitan ia sudah
melewati pagar pekarangan dan menyusup masuk
ke kebun bunga dalam kebun monyet.
Perkiraannya, tempat yang paling banyak
menyimpan rahasia pasti lah tempat tinggal sang
empunya, dan tempat tinggal sang pemilik
seringkah berada di kebun bagian belakang.
Analisa seperti ini sebetulnya sangat tepat dan
masuk akal, karena tempat dimana ia berada
sekarang, meski bukan tempat, tinggal sang
pemilik tapi di situlah tersimpan seluruh rahasia
penting. Setelah melewati pagar pekarangan, Kim-hi
membiarkan matanya terbiasa dulu dengan
kegelapan, kemudian baru ia mulai melacak
tempat yang diduga ruang tinggal sang pemilik.
Semua ruangan yang berada di kebun belakang
dalam keadaan gelap-gulita, hanya dari sebuah
jendela yang agak besar lamat-lamat terbancar
secercah cahaya terang.
Ruangan itu pasti tempat tinggal sang pemilik,
setelah yakin dengan pikirannya, Kim-hi mulai
bergerak maju dengan sangat hati-hati,
selangkah demi selangkah menghampiri jendela
dimana cahaya terang itu berasal.
Dengan ibu jari dia robek kertas jendela, lalu
mengintip ke dalam melalui lubang kecil itu,
mula-mula Kim-hi melihat sebuah meja, di atas
meja terletak sebuah lentera, dia pun melihat
sebuah pembaringan, di atas pembaringan
kelihatan seseorang sedang tertidur nyenyak.
Dilihat dari caranya tidur, semestinya orang itu
adalah seorang kecil pendek, tapi Kim-hi tak
dapat melihat berapa usia orang itu, karena
kebetulan wajah, orang itu terhadang oleh lidah
api lentera. Peduli berapa usia orang itu, dari postur
badannya Kim-hi yakin masih mampu
menguasainya. Setelah mengambil keputusan, Kim-hi pun
membuka jendela dengan sangat hati-hati, lalu
melompat masuk ke dalam, kelihatannya orang
yang sedang tidur di pembaringan itu belum
merasakan ada orang yang menyusup ke dalam,
dia masih tidak bergerak, masih tidur dengan
lelapnya. Setelah berada di dalam ruangan, perlahan
Kim-hi merapatkan kembali daun jendela dan
berjalan menghampiri pembaringan.
Menanti dia melewati meja dan melihat jelas
wajah orang yang sedang tidur itu, tiba-tiba saja
Kim-hi berdiri tertegun.
Rupanya dia sudah melihat dengan jelas siapa
orang yang sedang tertidur nyenyak itu.
Ternyata dia tak lain adalah Giok-seng, bocah
yang membuat mereka sempat menguatirkan
keselamatannya selama dua hari ini, gara-gara
lenyapnya bocah itu, semua orang sempat risau
dan tak tenang, siapa tahu bocah yang dicari
justru menikmati hidup di situ.
Tidur dalam kamar yang begitu indah,
pembaringan yang begitu besar dan tampaknya
nyaman sekali, kalau bukan menikmati hidup, lalu
apa namanya"
Membayangkan ini, hawa amarah Kim-hi
memuncak, sekali lompat dia menghampiri
pembaringan, lalu menggoyang tubuh Giok seng
yang sedang tertidur dan serunya, "Giok-seng,
Giok-seng, bangun!"
Merasa ada orang menggoyang tubuhnya lalu
mendengar ada orang memanggilnya, Giok-seng
segera terbangun dari tidurnya. Tapi begitu tahu
siapa yang datang, perasaan ngeri dan takut
segera terpancar dari waj ahnya.
Bukan hanya itu, bocah itu masih berusaha
menyembunyikan diri ke balik selimut.
Bisa dibayangkan betapa gusarnya Kim-hi,
mana mungkin ia biarkan bocah itu
menyembunyikan diri"
Dengan sekali cengkeraman ia tarik selimut itu
dari tubuh si bocah, dengan penuh amarah
tegurnya, "Kau masih ingin bersembunyi?"
Mungkin lantaran panik, bocah itu tak mampu
mengucapkan sepatah kata pun, dengan wajah
ketakutan ia gelengkan kepala berulang kali,
sementara mulutnya mengeluarkan suara
mencicit yang tidak diketahui apa maksudnya.
"Kurangajar!" Kim-hi mengumpat, "kau enakenakan
menikmati hidup di sini, sementara kita
yang berada di luar menguatirkan nasibmu...
masa kau sama sekali tak punya perasaan?"
Makin mengumpat, Kim-hi semakin sewot.
Tampaknya Giok-seng dibuat amat sedih oleh
kata-katanya itu, tampak air mata mulai
bercucuran membasahi pipinya, namun mimik
mukanya masih menampilkan perasaan takut,
ngeri dan seram.
Sebenarnya apa yang membuat dia ketakutan"
Kim-hi tak sanggup berpikir lebih jauh, melihat
Giok-seng masih berusaha menyembunyikan diri
di balik selimut, amarahnya semakin meluap,
umpatnya, "Sialan, kau masih ingin bersembunyi
di balik selimut" Bagus, akan kubuang selimutmu
itu, akan kulihat kemana lagi kau akan
bersembunyi?"
Mendengar ancaman itu, Giok-seng bertambah
panik, mati-matian dia mempertahankan
selimutnya, menggeleng kepala sementara suara
mencicitnya makin keras.
Semakin dia mempertahankan selimutnya,
Kim-hi semakin naik darah, sekuat tenaga ia
betot selimut itu hingga akhirnya robek.
Bila seseorang menyaksikan suatu peristiwa
yang mustahil, apa reaksinya yang pertama"
Jatuh pingsan" Atau menjerit keras" Atau sama
sekali tak bergerak"
Bagaimana pula dengan reaksi orang lain"
Mungkin saja Giok-seng tak bisa menjawab
pertanyaan itu, tapi ia dapat melihat dengan jelas
reaksi pertama yang diperlihatkan Kim-hi.
Waktu itu Kim-hi sedang menarik selimut
dengan penuh amarah, tapi begitu selimut
terbetot robek dan ia menyaksikan pemandangan
aneh di balik selimut, reaksi pertamanya adalah
terperangah. Sesudah terperangah dan berdiri melongo
beberapa saat, gadis itu baru mengucek mata
berulang kali, mengawasi pembaringan itu
dengan pandangan ragu dan tak percaya.
Lambat-laun wajah kagetnya berubah jadi
perasaan ngeri dan horor, akhirnya ia menjerit,
mundur sempoyongan dan terduduk di atas
bangku. Dia menggeleng kepala berulang kali,
gumamnya terus menerus, "Mana mungkin bisa
terjadi.. . " Mana mungkin bisa terjadi. . . " Mana
mungkin Ketika selimut belum tersingkap, paras muka
Giok-seng diliputi perasaan takut dan ngeri luar
biasa, namun setelah selimut tersingkap,
perasaan takut dan ngerinya hilang, sebagai
gantinya perasaan sedih, tak berdaya dan
penderitaan yang hebat menghiasi raut mukanya.
Dia duduk meringkuk di sudut ranjang,
berusaha menutupi tubuh dengan kedua tangan,
sedang ujung mata mengerling berulang kali ke
arah Kim-hi yang duduk di bangku.
Peristiwa apa yang membuat Kim-hi begitu
ngeri seakan diteror kejadian horor yang
menakutkan"
Masih mengawasi Giok-seng yang meringkuk di
sudut ranjang, Kim-hi bergumam terus tiada
habisnya "Ai! Mengapa orang selalu tak percaya dengan
kenyataan yang semulah terpampang di depan
mata?" Tiba-tiba dari belakang Kim-hi berkumandang
suara teguran lembut dan halus, belum sempat
dia berpaling, ia sudah menangkap sorot mata
Giok-seng yang semula dibanjiri air mata, kini
telah berubah jadi pandangan benci, dendam dan
amarah yang meluap, pandangan mata yang
tertuju ke belakang tubuhnya.
Dengan cepat gadis itu berpaling, dia pun
melihat seorang kakek berwajah saleh telah
berdiri di depan pintu, seorang kakek dengan
pandangan lembut dan memperlihatkan sinar
kecerdasan. "Apakah kau tak percaya dengan semua yang
telah kau saksikan?" dengan suara lembut
kembali kakek itu menegur.
Tak tahan, sekali lagi Kim-hi berpaling
mengawasi Giok-seng yang berada di ranjang,
gumamnya, "Bagaimana... bagaimana mungkin
aku bisa percaya?"
Sambil tertawa kakek itu berjalan menuju tepi
ranjang, katanya lagi, "Apakah kau tidak percaya
lantaran Giok-seng bertubuh monyet" Atau tidak
percaya kalau tubuh monyet ini mempunyai
kepala Giok-seng?"
Bertubuh monyet berkepala Giok-seng"
Ternyata apa yang dilihat Kim-hi adalah makhluk
aneh, manusia bertubuh monyet yang menjadi
penghuni kebun monyet.
Berarti dongeng tentang manusia bertubuh
monyet yang pandai berbicara itu adalah
kenyataan" Apalagi makhluk aneh yang dijumpai
Kim-hi saat ini tak lain adalah Giok-seng yang
sangat dikenalnya, tak heran dia begitu
terperangah, begitu ngeri dan seram.
Hal ini bisa dimaklumi, jangankan Kim-hi yang
sudah kenal orang itu, semisal orang lain pun tak
mungkin bisa menerima munculnya makhluk
seaneh itu. Untuk menghilangkan perasaan kaget yang luar
biasa, satu-satunya jalan adalah meneguk
secawan arak, karena itu si kakek yang berwajah
ramah itu mengajak Kim-hi menuju ke rumah
yang terbuat dari kristal dan menuangkan
secawan arak anggur Persia untuknya.
Menanti Kim-hi menghabiskan isi cawannya dan
pulih kembali ketenangannya, kakek berwajah
ramah itu memperkenalkan diri, "Aku dari marga
Ong, semua memanggilku Ong-losiansing!"
Jadi diakah Ong-losiansing" Ternyata kakek


Kilas Balik Merah Salju Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berwajah ramah ini tak lain adalah Onglosiansing,
pemilik kebun monyet yang
menakutkan itu. Tapi benarkah dia"
Kembali Kim-hi mengawasi wajah kakek itu
seakan tidak percaya dengan penglihatannya
sendiri. "Jangan ragu dengan pandangan matamu, apa
yang kau saksikan semuanya memang
kenyataan," kembali Ong-losiansing berkata
sambil memperlihatkan senyuman ramahnya.
"Kenapa Giok-seng,... kenapa dia bisa berubah
jadi begini?" bisik Kim-hi sambil membayangkan
kembali bentuk tubuh Giok-seng yang aneh.
"Kenapa tidak mungkin?" sahut Onglosiansing
sambil tertawa, "Thian menciptakan
sepasang tangan untuk kita, memberi
kecerdasan otak kepada kita, semuanya ini
dikarenakan Thian berharap kita bisa
menciptakan keajaiban di dunia ini."
"Dengan cara apa kau mengubah tubuh Giokseng
jadi tubuh seekor monyet?" kembali Kim-hi
bertanya. "Mengandalkan sepasang tanganku dan
kecerdasan otakku," sahut Ong-losiansing sambil
menuding kepala sendiri, "biasanya, kalau bukan
kuubah badannya menjadi badan kera, akan
kupindah kepala mereka ke tubuh monyet."
"Dicangkok?"
"Betul," Ong-losiansing manggut-manggut
dan tertawa, "dengan semacam ilmu bedah
tubuh yang canggih, disebut bedah cangkok."
"Ilmu bedah cangkok?"
"Betul. Dengan pembedahan aku potong kepala
orang, kemudian dicangkokkan ke tengkuk
monyet, selanjutnya digabung menjadi satu."
"Tapi... dia... mana mungkin dia bisa hidup
dengan tubuh seekor kera?" Kim-hi masih juga
tak percaya. "Ketika pertama kali melakukan pembedahan,
memang beberapa kali aku mengalami kegagalan,
untunglah keberhasilan selalu tumbuh dari
kegagalan," Ong-losiansing menerangkan dengan
penuh bangga, "kini aku hanya belum berhasil
memindahkan tali suara di tenggorokan manusia
ke tubuh monyet, sehingga dia hanya bisa
mengeluarkan suara jeritan monyet."
Sekarang Kim-hi baru mengerti apa sebabnya
Giok-seng hanya bisa mencicit, rupanya dia
sudah tak sanggup berbicara lagi.
Ong-losiansing meneguk secawan arak anggur,
menunggu cairan arak mengalir di
tenggorokannya baru ia berkata lagi, "Tapi aku
percaya, lain kali pasti akan berhasil."
"Lain kali" Masih ada lain kali?" seru Kim-hi
sambil membelalak mata.
"Tentu masih ada. Tak bakal berhenti
sebelum berhasil. Apalagi dalam hal ilmu
pengetahuan secanggih ini." "Kau... kau tidak
kuatir dengan hukum?"
"Hukum?" Ong-losiansing tertawa terbahakbahak,
"selama aku berada di dunia ini, akulah
hukum." "Apakah hati kecilmu bisa menerima semua
perbuatan busukmu itu?" Kim-hi benar-benar
kehabisan kata untuk menegur kakek itu, "apakah
kau tidak takut setan-setan penasaran yang
tewas di tanganmu akan berdatangan dan
menuntut balas kepadamu?"
"Setan penasaran?" suara tawa Ong-losiansing
semakin nyaring, "kalau di dunia ini benar-benar
terdapat setan atau arwah gentayangan, sejak
dulu tak ada lagi orang jahat di sini."
Ditatapnya wajah Kim-hi dengan senyuman
licik, katanya lagi, "Bocah perempuan, masa teori
semacam ini pun tidak kau pahami?"
"Kau... manusia semacam kau pasti akan
mampus secara mengenaskan."
"Kini aku sedang mencari cara untuk
memperpanjang hidup manusia, jika berhasil,
inilah keuntungan bagi seluruh umat manusia."
"Terima kasih," jerit Kim-hi, "kelahiran dan
kematian manusia sudah ditentukan oleh takdir,
bila saatnya mati sudah tiba, biar ingin
menghindar atau bersembunyi pun jangan harap
bisa kau lakukan."
Tiba-tiba Ong-losiansing tidak bicara lagi,
dengan pandangan mata aneh dia mengawasi
Kim-hi tanpa berkedip.
Dipandang seperti ini, lama kelamaan Kim-hi
merasa ngeri juga, bulu kuduknya berdiri.
Setelah termenung sejenak, kembali Onglosiansing
berkata, "Apa kau tak percaya bahwa
aku bisa menghindarkan manusia dari kematian"
Apakah kau tak percaya aku bisa menghidupkan
kembali orang yang baru saja mati?"
"Aku...."
Sebetulnya Kim-hi ingin menjawab "aku tak
percaya", tapi entah mengapa ia tak sanggup
mengucapkannya, terpaksa nona itu menelan
kembali air liurnya.
"Baiklah," tiba-tiba Ong-losiansing bangkit
berdiri, "ayo, ikuti aku!"
Di dalam rumah yang terbuat dari batu kristal
itu terdapat sebuah lemari yang juga terbuat dari
batu kristal, ketika lemari itu dibuka, lalu sebuah
tombol rahasia ditekan, segera muncullah sebuah
pintu rahasia. .
Setelah memasuki pintu rahasia itu, mereka
tiba di sebuah dunia lain.
Sebuah dunia kristal yang sangat artistik dan
indah. Setelah memasuki pintu rahasia, di hadapannya
terbentang sebuah lorong kristal yang panjang, di
kedua sisi lorong penuh bergantungan lampu
lentera. Disoroti cahaya lentera yang terang benderang,
lorong kristal itu memantulkan cahaya yang
indah, bahkan ada yang membiaskan cahaya
tujuh warna. Berada dalam lorong seindah ini, membuat
orang serasa berada dalam dunia maya.
Walaupun Kim-hi sendiri sedikit terbuai, namun
dia tidak lupa bertanya kepada kakek itu, "Kau
hendak mengajakku kemana?"
"Aku tahu kau bernama Kim-hi, sedang sahabat
karibmu bernama So Ming-ming," kata Onglosiansing
sambil melanjutkan perjalanan,
"tahukah kau bahwa sobat baru So Ming-ming
yang bernama Yap Kay, pagi tadi telah bertemu
dengan tiga orang pembunuh bayaran?"
"Darimana kau bisa tahu?"
"Tentu saja aku tahu, karena akulah yang
mengirim pembunuh itu. "
"Mengapa kau ingin membunuh Yap Kay?"
Tiba-tiba Kim-hi teringat cerita Yap Kay, bahwa
ketiga pembunuh itu bukan menyerang secara
bersama, melainkan maju satu per satu.
Karena itu dia segera bertanya lagi, "Mengapa
kau perintahkan ketiga pembunuh itu menyerang
Yap Kay secara terpisah?"
"Hahaha, tak kusangka kau pun menaruh
perhatian atas hal ini," puji Ong-losiansing
sambil menatapnya dengan pandangan kagum,
"aku memang sengaja menyuruh mereka bertiga
menyerang Yap Kay secara terpisah, bukan
lantaran ingin mereka pergi membunuh Yap Kay,
tapi berharap mereka bisa mati di tangan Yap
Kay." "Suruh mereka mati?" Kim-hi melengak,
"kenapa?"
"Karena ada seseorang ingin melihat bekas luka
yang mematikan di tubuh mereka bertiga."
"Siapa" Siapakah orang itu" Kenapa dia ingin
melihat bekas luka mematikan di tubuh mereka?"
"Dia dikenal oleh Yap Kay namun belum pernah
dijumpainya," sahut Ong-losiansing sambil
tertawa, "seorang yang ingin memahami aliran
silat Yap Kay!"
"Siapa orang itu" Siapa namanya?"
"Orang itu bernama Hing Bu bing."
Bab 3. ORANG MATI YANG BERHARGA
Di ujung lorong kristal terdapat pula sebuah
ruangan yang seluruhnya terbuat dari batu
kristal. Dalam ruangan itu terdapat tiga orang, seorang
masih muda, seorang lagi berusia agak lanjut dan
seorang lagi berusia per tengahan yang
rambutnya sudah memutih.
Yang muda berperawakan tinggi semampai,
baju dan dandanan necis, bukan saja tampak
sangat tampan, bahkan kelihatan angguh.
Orang yang berusia agak lanjut berdandan
sopan, dia pasti seorang terpelajar.
Sementara orang pertengahan umur tidak jauh
berbeda dengan lelaki paroh baya yang sering
dijumpai di kota atau tengah jalan, hanya
bedanya perawakan orang ini jauh lebih berisi,
berotot dan tidak tampak ada kelebihan lemak di
tubuhnya. Ketiga orang itu mempunyai perawakan tubuh
berbeda, hanya satu kesamaan yang mereka
miliki, yakni ketiganya membawa pedang.
Mengapa ketiga orang yang membawa pedang
itu berada di situ" Sedang apa mereka di ruangan
ini" Belum sempat Kim-hi bertanya, Ong-losiansing
menerangkan lebih dulu.
"Mereka adalah pembantu utamaku, terhitung
jago-jago pedang nomor satu. Sayang berada di
sini mereka tak bernama, yang ada hanya kode
angka." "Kode angka" Maksudnya?"
"Mereka mewakili angka lima, lima belas dan
dua puluh lima, semuanya selisih satu angka dari
angka enam, enam belas dan dua puluh enam
yang kukirim untuk membunuh Yap Kay."
"Kenapa mereka selisih satu angka?"
"Karena mereka mempunyai banyak kemiripan
dan kesamaan tindakan, ketiga pembunuh yang
kukirim untuk menghabisi nyawa Yap Kay, bukan
saja wataknya sama, asal-usulnya sama bahkan
ilmu pedang yang dimiliki pun sama."
"Kau suruh mereka berbuat apa di sini?" "Aku
suruh mereka menanti perintahku di sini,
karena aku hendak menitahkan mereka
membunuh seseorang."
"Membunuh siapa?"
Ong-losiansing tidak langsung menjawab,
kembali dia menekan sebuah tombol rahasia dan
sebuah pintu rahasia lagi-lagi terbuka, di
belakang pintu rahasia itu terbentang pula sebuah
lorong panjang yang terbuat dari batu kristal.
Setelah itu kepada jagoan nomor lima
perintahnya, "Kau berjalan lurus ke depan,
sampai di ujung lorong akan muncul sebuah pintu
lagi, pintu itu tidak terkunci, seseorang duduk di
belakang pintu itu, asal kau buka pintu itu maka
akan kau jumpai orang itu," kata Ong-losiansing.
Kemudian setelah berhenti sejenak,
tambahnya, "Aku perintahkan kepadamu untuk
membunuhnya!"
Sama seperti anak buah Ong-losiansing
lainnya, si nomor lima hanya tahu melaksanakan
perintah, tak pernah menanyakan alasan, apalagi
bertanya siapa korban yang harus dibunuhnya.
"Baik," jawab orang itu, "sekarang juga
kulaksanakan."
Sehabis mengucapkan perkataan itu, secepat
anak panah yang terlepas dari busurnya dia
menerobos masuk ke dalam lorong panjang batu
kristal itu. Gerak-geriknya kuat dan cekatan, hanya
wataknya agak sedikit temperamen. Lantaran
gejolak emosinya yang besar, paras mukanya
yang semula pucat kini muncul cahaya
kemerahan, dengus napasnya pun berubah sedikit
memburu. Semenjak memasuki lorong panjang terbuat
dari kristal, dia tak pernah muncul kembali.
Dia tak akan muncul kembali dalam keadaan
hidup, termasuk Kim-hi pun berpendapat begitu,
karena ia sudah pergi terlalu lama.
Biasanya manusia macam mereka, peduli
sedang membunuh atau terbunuh, tak akan
membutuhkan waktu selama itu.
Dalam jangka waktu yang begitu panjang,
melakukan perbuatan apa pun seharusnya sudah
muncul jawaban.
Kematian. Inilah satu-satunya jawaban.


Kilas Balik Merah Salju Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tak seorang pun yang buka mulut, juga tak
seorang pun yang menunjukkan wajah sedih,
pedih dan terluka.
Bukan dikarenakan mereka tak punya
perasaan, melainkan karena persoalan seperti ini
sesungguhnya bukan satu peristiwa yang patut
disedihkan. Setiap orang pasti mati, apalagi mereka yang
melakukan pekerjaan seperti ini.
Bagi mereka, kematian ibarat seorang wanita,
seorang wanita yang sudah terlalu lama digauli
hingga timbul perasaan jemu, bosan dan muak,
namun mustahil bisa ditinggalkan. Oleh karena itu
setiap hari mereka menanti kedatangannya, di
saat ia benar-benar tiba, tentu saja mereka tak
perlu merasa terkejut, apalagi merasa ngeri dan
takut. Karena mereka semua tahu, cepat atau lambat
dia pasti akan datang juga.
Menghadapi persoalan semacam ini, mereka
nyaris sudah kebal, sudah mati rasa.
Ong-losiansing pun tidak beranjak dari tempat
duduknya, kembali ia menunggu beberapa saat.
Entah dikarenakan rasa ibanya terhadap nyawa
seseorang atau dikarenakan dia sendiri memang
menaruh rasa jeri dan hormat terhadap kematian,
paras muka Ong-losiansing justru terlihat lebih
serius, jauh lebih serius daripada Kim-hi maupun
kedua orang pembunuh.
Dia bahkan mulai cuci tangan di dalam baskom
kristal untuk membasuh sepasang tangannya
yang sudah bersih, kemudian menyulut sebatang
hio yang ditancapkan di atas tempat dupa kristal
dan akhirnya berpaling ke arah si nomor lima
belas. "Apa yang kuinginkan harus dapat diselesaikan
dengan tuntas," kata Ong-losiansing, "karena
nomor lima gagal, terpaksa sekarang kau yang
harus menyelesaikan."
"Baik."
Nomor lima belas segera menerima perintah
itu, selama ini dia selalu dapat mengendalikan diri
dengan baik, tapi setelah menerima perintah itu,
tubuhnya maupun paras mukanya terlihat sedikit
berubah, karena goncangan hatinya.
Sebuah perubahan yang tak mudah diketahui
orang bila tidak diamati dengan seksama, lalu dia
pun mulai bergerak.
Mula-mula gerak tubuhnya sangat hati-hati dan
lamban, dia mulai memeriksa dulu diri sendiri.
Pakaian, ikat pinggang, sepatu, tangan dan
pedangnya, dia lolos pedang itu kemudian
dimasukkan lagi, dicabut lagi dan dimasukkan
kembali, sampai dia merasa segala sesuatunya
telah siap dan sempurna, hingga dia puas dengan
segala persiapannya, orang itu baru melesat
masuk ke dalam lorong panjang batu kristal itu.
Gerakan tubuh orang ini pun kuat, bertenaga
dan lincah, malah jauh lebih berpengalaman
ketimbang si nomor lima, tapi sama seperti yang
pertama, dia pun tak pernah balik lagi.
Kali ini Ong-losiansing menunggu lebih lama
lagi, kemudian baru membasuh tangan ke dalam
baskom, memasang hio bahkan menghela napas
panj ang. Ketika berhadapan dengan si nomor dua puluh
lima, mimik mukanya terlihat jauh lebih serius,
perintah yang disampaikan juga lebih singkat.
Karena dia tahu, berbicara dengan manusia
macam si nomor dua puluh lima tak perlu
berbasa-basi, dia hanya berkata singkat, "Kau
pergilah!"
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun si nomor
dua puluh lima menerima perintah itu, menerima
perintah tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Tentu saja dia tak mirip si nomor lima, begitu
mendapat perintah, sepasang alisnya seakan
mulai terbakar.
Dia pun tidak mirip si nomor lima belas,
memeriksa semua perlengkapannya dengan teliti,
memeriksa apakah pedangnya bisa dicabut dari
sarungnya dengan lancar.
Sudah ada dua orang yang tak pernah kembali
sesudah memasuki lorong panjang itu, padahal
mereka berdua adalah pembunuh bayaran yang
sangat ahli, semuanya terhitung jago ilmu
pedang. Kedua orang itu merupakan rekannya, sudah
cukup lama mereka hidup bersama, dia pun tahu
kedua orang rekannya bukan jagoan yang
gampang dihadapi, tapi setelah memasuki lorong
panjang berdinding kristal, kedua orang itu seolah
lenyap ditelan bumi, sama sekali tak ada kabar
beritanya lagi.
Reaksi si nomor dua puluh lima setelah
mendapat perintah itu jauh berbeda, dia seakan
baru saja mendapat undangan makan dari orang
lain. Seakan sahabat karibnya yang mengundang dia
makan bersama di rumahnya.
Lorong kristal itu masih nampak terang dengan
aneka warna yang indah, tenang, tak terdengar
suara apa pun, tak terlihat gerakan apa pun.
Tempat itu seperti seekor ular raksasa yang
bersembunyi dalam bukit liar, dengan tenang
menelan dua korbannya lalu menikmatinya tanpa
menimbulkan suara.
Si manusia nomor dua puluh lima sudah siap
masuk ke dalam, sikapnya masih begitu tenang,
bukan saja paras mukanya tidak berubah, dia pun
tidak melakukan gerakan persiapan.
Langkah kakinya tidak terlalu cepat, juga tidak
lambat, sepintas langkahnya seperti sedang
berjalan menuju rumah tetangganya, berjalan
untuk memenuhi undangan makan.
Sekarang dia sudah berjalan masuk ke dalam
lorong itu, siapa pun pasti menyangka dia akan
berjalan terus tanpa berpaling.
Siapa sangka tiba-tiba dia menghentikan
langkahnya, perlahan membalikkan badan,
mengangkat wajahnya dan menatap tajam Onglosiansing.
Sorot matanya sama sekali tanpa emosi, dia
pun tak menunjukkan perubahan sikap, hanya
suara ucapannya begitu datar dan hambar.
"Aku belajar pedang mulai usia delapan tahun,
pada usia tiga belas, belum lagi ilmu pedang
kukuasai, aku telah belajar membunuh orang,"
katanya, "bahkan aku benar-benar membunuh
satu orang."
"Aku tahu," Ong-losiansing memperlihatkan
senyumannya yang ramah, "ketika berusia tiga
belas tahun, kau berhasil membunuh si tukang
jagal Liok yang merupakan orang paling jahat di
dusunmu di tengah pasar yang ramai."
"Tapi selama hidup, tidak banyak orang yang
kubunuh, karena aku paling tak suka membuat
onar, tak suka mencari masalah dan tak pernah
bermusuhan dengan siapa pun."
"Aku tahu."
"Yang lebih penting lagi, sebetulnya aku tidak
suka membunuh orang. "
"Aku tahu. Kau membunuh karena ingin hidup
terus." "Benar, aku membunuh demi sesuap nasi,
setiap orang harus makan, begitu juga dengan
diriku, karena aku pun manusia," kata si nomor
dua puluh lima, "biarpun membunuh demi sesuap
nasi bukan hal yang menyenangkan, tapi masih
ada orang lain yang demi sesuap nasi justru telah
melakukan perbuatan yang jauh lebih menderita,
tahukah kau?"
Kali ini Ong-losiansing hanya manggutmanggut.
Si nomor dua puluh lima menatapnya tajam,
kembali ujarnya, "Oleh karena aku membunuh
demi sesuap nasi, maka setiap kali akan
membunuh, aku harus memperoleh imbalan
setimpal, tiada terkecuali kali ini."
"Aku tahu."
"Biarpun kau menampungku di saat identitasku
terbongkar dan jiwaku di ujung tanduk, namun
tak ada pengecualian bagimu. Kau seharusnya
mengetahui bukan berapa imbalan yang harus
kuterima untuk membunuh satu orang."
"Aku tahu dan sudah kusiapkan," Onglosiansing
tersenyum. Dia berjalan mendekat dan menyusupkan
sepuluh keping emas murni ke tangan si nomor
dua puluh lima.
"Aku pun mengetahui peraturanmu, sebelum
membunuh harus membayar separoh biaya, "
kata Ong-losiansing, "aku rasa uang emas itu
sudah lebih dari cukup bukan?"
"Cukup, cukup sekali," si nomor dua puluh lima
memasukkan emas itu ke dalam saku, tiba-tiba
tambahnya, "Aku masih ada sebuah permintaan
lagi." "Katakan."
"Seandainya aku mati, tolong jangan kau basuh
lagi tanganmu, apalagi memasang sebatang hio,"
ujar si nomor dua puluh lima hambar, "karena
kau sudah membayar biayanya."
Begitu selesai mengucapkan itu, dia
membalikkan badan dan berjalan masuk ke dalam
lorong panjang.
Bayangan punggungnya terlihat jauh lebih
tegak lurus daripada tubuh bagian depannya,
dengan cepat ia sudah lenyap di ujung lorong.
Apakah kepergiannya pun tak akan kembali
lagi" Dengan termangu Kim-hi menyaksikan
bayangan punggungnya, memandangnya hingga
lenyap di ujung lorong, gumamnya setelah
menghela napas, "Orang ini benar-benar aneh."
"Oya?"
"Tampaknya dia sudah tahu kepergiannya
tak akan kembali lagi, bahkan dia pun tahu bila
orang telah mati, maka biar emas itu lebih murni
pun sama sekali tak ada gunanya, tapi
mengapa dia memaksakan diri untuk menerima
dulu uang muka itu" Apa sebabnya dia
bersikap begitu?"
"Karena hal ini merupakan prinsip hidupnya."
"Prinsip?"
"Betul, prinsip adalah peraturan. Sekalipun dia
tahu pekerjaan ini bisa mengakibatkan kematian,
namun ia tetap melakukannya. Lantaran harus
melakukan, maka dia harus menerima dulu emas
itu, karena itulah peraturannya."
Kembali ia menatap Kim-hi, kemudian
lanjutnya dengan nada yang sama sekali tak
berbau sindiran, "Bagi seseorang yang memegang
prinsip, peraturan tak boleh dilanggar, biar hidup
atau mati, peraturan tetap peraturan."
Perkataan itu disampaikan dengan nada serius,
bahkan disertai dengan sikap hormat.
"Menurutmu orang ini termasuk bodoh atau
pintar?" "Aku sendiri tak tahu. Yang kuketahui, manusia
macam ini makin lama semakin sedikit."
"Jadi kau sangat mengagumi manusia macam
ini?" "Benar!"
"Kenapa kau tetap memintanya untuk pergi
mati?" "Darimana kau tahu kepergiannya untuk
mengantar kematian?" Ong-losiansing balik
bertanya sambil tertawa, "darimana kau tahu dia
bisa bangkit kembali sesudah kematiannya?"
Kim-hi tidak bicara lagi, tampaknya maksud
Ong-losiansing mengajaknya datang kemari tak
lain hanya ingin membuktikan bahwa bila orang
telah terjatuh ke tangannya, maka biarpun dia
sudah mati pun dapat dihidupkan kembali.
Kalau dilihat mimik mukanya sekarang,
agaknya itulah yang ingin dia perlihatkan
kepadanya, oleh sebab itu Kim-hi tidak berbicara
lagi. Dalam waktu yang berlangsung sesaat, ia mulai
termenung dan membungkam.
Suasana di balik lorong betul-betul sepi,
hening, tak terdengar sedikit suara pun, tak
nampak sesuatu gerakan pun. Si manusia nomor
dua puluh lima tidak juga kembali, walau sudah
ditunggu sampai lama pun tetap belum kembali.
Mereka menunggu sampai lama, lama sekali.
Akhirnya Ong-losiansing berujar, "Mungkin saat
ini sudah menjelang tengah malam, kelihatannya
kita harus mencari makan malam."
"Makan malam?" Kim-hi seperti terperanjat.
"Kau ingin makan lagi di tengah malam begini?"


Kilas Balik Merah Salju Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Makan di saat tengah malam bukan kejadian
aneh, setiap orang kan harus bersantap," kata
Ong-losiansing, "di saat kita harus makan di
tengah malam, makanlah dengan nikmat, terlepas
kejadian apa pun yang bakal berlangsung,
makan tetap makan."
"Ini pun sebuah prinsip" Prinsip hidupmu?"
"Tepat sekali."
Arak telah dituang ke dalam cawan kristal dan
membiaskan cahaya kuning kecoklat-coklatan
yang memukau, bahkan terendus pula bau harum
yang segar dan wangi.
Benar-benar satu kenikmatan yang luar biasa.
Siapa bilang kaya dan terhormat bukan sebuah
kenikmatan" Hidangan tersedia di piring kristal,
alat makan, alat minum semuanya terbuat dari
benda-benda berharga.
Mungkin tak cukup dibilang indah, lebih tepat
sempurna. Penampilan Ong-losiansing sewaktu bersantap
dan minum arak pun nyaris mendekati sempurna,
bisa menikmati hidangan malam bersama seorang
macam dia seharusnya terhitung satu kejadian
yang menggembirakan.
Sayang Kim-hi sama sekali tak ada napsu
untuk bersantap, dia bukan sedang menguatirkan
keselamatan si nomor dua puluh lima, tapi sedih
atas perubahan bentuk tubuh Giok-seng.
Dalam anggapannya, bila seseorang masih bisa
duduk sambil menikmati hidangan lezat dan arak
wangi di kala orang lain pergi membunuh orang,
hal itu betul-betul merupakan satu kenyataan
yang sama sekali tak masuk akal.
Dari balik lorong panjang masih belum
terdengar suara atau sesuatu gerakan.
Akhirnya Ong-losiansing menyelesaikan
santapannya, ia mulai membasuh tangan di
sebuah baskom kristal.
Isi baskom kristal itu bukan air biasa,
melainkah air teh yang kental dan wangi.
"Menu hidangan tengah malam kita kali ini
adalah udang bago dan kepiting, kalau ingin
benar-benar merasakan dan menikmati kelezatan
daging udang dan kepiting, kau harus
mengupasnya dengan tanganmu sendiri," Onglosiansing
menjelaskan, "untuk menghilangkan
bau amis, kita harus cuci tangan dengan air teh
kental dan harum."
"Bagaimana setelah membunuh orang?" tibatiba
Kim-hi bertanya sambil menatapnya.
"Membunuh orang?" kelihatannya Onglosiansing
tidak mengerti maksud pertanyaan itu.
"Apakah membunuh orang pun sama seperti
menikmati udang dan kepiting" Harus membunuh
dengan tangan sendiri baru bisa menikmati
keindahan dan kegembiraannya?"
Pertanyaan yang sangat telak, namun jawaban
Ong-losiansing pun tak kalah hebatnya.
"Kalau itu tergantung," katanya.
"Tergantung apa?"
"Tergantung siapa yang hendak kau bunuh, ada
sementara orang yang cukup dibunuh orang
suruhan, tapi ada pula sementara orang yang
harus dibunuh dengan tangan sendiri."
"Bagaimana setelah membunuh?" kembali Kimhi
bertanya, "bila kau telah membunuh dengan
tanganmu sendiri, dengan air apa kau hendak
membasuh tanganmu agar hilang semua bau
anyir darah?"
Tak ada orang yang bisa menjawab pertanyaan
ini, juga tak ada orang yang bersedia menjawab.
Ong-losiansing menyeka tangannya dengan
kain berwarna putih, lalu perlahan-lahan berdiri,
berjalan menuju ke lorong batu kristal itu.
Dia tidak mengajak Kim-hi, sebab dia tahu
nona itu pasti akan mengikutinya dari belakang.
Sebenarnya apa yang telah terjadi di balik
lorong itu" Tentu saja Kim-hi ingin tahu, maka
dengan cepat dia mengintil di belakangnya.
Setelah masuk ke dalam lorong, apakah dia
pun akan mengalami nasib yang sama dengan
ketiga orang itu, pergi untuk tak kembali"
Pintu masuk lorong panjang itu dibangun mirip
sebuah timbangan gantung, semakin mendekati
dasar lorong, ruangan semakin kecil dan
menyempit. Ketika mencapai ujung, luas gua itu
tinggal dua jengkal saja.
Untuk orang seukuran Kim-hi, bukan pekerjaan
gampang untuk menerobos masuk ke dalam gua
sesempit itu, pada mulanya masih ada cahaya
lentera yang menerangi seputar sana, namun
setelah berjalan setengah, tak nampak lagi
cahaya lentera.
Begitu masuk ke dalam, segalanya gelap-gulita,
tak ada yang bisa dilihat, bahkan melihat jari
tangan sendiri pun susah.
Mengapa Ong-losiansing harus membangun
lorong itu begitu misterius dan rahasia"
Sejak melangkah masuk ke dalam lorong
kristal, langkah kaki Ong-losiansing tidak cepat
juga tidak lambat. Dalam waktu singkat tubuhnya
sudah hilang di balik kegelapan di tikungan
depan. Ong-losiansing berjalan masuk ke dalam
lorong, Kim-hi segera mengintil di belakangnya,
namun dengan cepat jarak mereka sudah selisih
cukup jauh. Memandang kegelapan yang mencekam
sekeliling tempat itu, si nona mulai meraba-raba
untuk melanjutkan langkahnya, pada saat itulah
ia dengar Ong-losiansing berkata, "Lebih baik kau
tak usah meneruskan perjalananmu."
"Kenapa?"
"Karena lorong ini tidak lurus," sahut Onglosiansing
dari balik kegelapan, "lorong ini terdiri
dari tiga puluh tiga tikungan, bila kau berjalan
lurus ke depan, tubuhmu pasti akan membentur
dinding, bisa jadi akan membuat hidungmu jadi
pesek." Setelah berhenti sejenak, kembali ia
melanjutkan dengan nada hambar, "Aku tahu,
kau pasti tak percaya. Dilihat dari luar sana,
lorong ini memang kelihatan lurus, jika tak
percaya silakan saja dicoba."
Kim-hi tidak mencoba, sebab dia tahu berjalan
dalam kegelapan memang paling mudah
menimbulkan kesalahan, bisa membuat orang
salah mengartikan lurus sebagai belokan dan
sebaliknya, kalau lurus dan belokan saja susah
dibedakan, bagaimana mungkin hidungmu tidak
pesek" Biarpun dia masih muda, namun dia pun tahu
masih banyak hal di dunia ini seperti kegelapan,
gampang menciptakan kesalahan bagi orang
untuk menentukan arahnya, membuat mereka
susah membedakan mana yang lurus dan yang
belok. Misalnya saja moral dan tingkah-laku seorang
Kuncu, terkadang mereka bisa salah langkah.
Kim-hi tak pernah berpikir ke situ, dia pun tak
ingin melakukan perbuatan seperti itu, dia tak
ingin membiarkan hidungnya jadi pesek.
Maka dia pun mengambil satu pilihan yang
paling cerdas. Dia menyalakan geretan api.
Saat cahaya api bersinar, seluruh lorong pun
bermandikan cahaya.
Ternyata kedua dinding lorong panjang itu
terbuat dari batu kristal yang sangat besar, tak
jauh di depan sana benar-benar terdapat sebuah
tikungan, Ong-losiansing sedang berdiri di sana,
bersikap aneh sedang mengawasi Kim-hi.
"Tidak kusangka dalam sakumu tersedia
geretan api" serunya.
"Tentu saja kau takkan menyangka," sahut
Kim-hi sambil tertawa, "biarpun kau mengirim
orang untuk menggeledah seluruh badanku,
orangmu tidak akan menyangka kalau aku
bakal menyimpan sebuah geretan api dalam
tusuk kondeku."
Tusuk konde yang indah dengan sebuah
geretan api yang luar biasa, nilai geretan api itu
mungkin berkali lipat lebih mahal daripada tusuk
kondenya. "Apakah dalam tubuhmu masih tersimpan
benda lain?" tanya Ong-losiansing sambil
menghela napas, "apakah kau masih menyimpan
barang-barang aneh lainnya?"
"Jika kau ingin tahu, lebih baik geledahlah
seluruh tubuhku dengan teliti."
Kim-hi menatapnya sambil merentangkan
tangan. Pakaian yang dia kenakan tidak terlalu
banyak, potongan tubuhnya yang indah
menampilkan lekukan badan yang
menggairahkan. Apa yang sedang dilakukan gadis
ini" Apakah dia sedang merangsang napsu birahi
orang" Atau sebuah tantangan terbuka"
"Bagaimana pun juga aku berani menjamin
bahwa barang aneh yang berada di tubuhku
sekarang bukan hanya geretan api saja," ujar
Kim-hi sambil tertawa.
Ong-losiansing tertawa, tertawa getir.
"Aku percaya," sahutnya, "aku sangat
percaya." Tikungan yang terdapat dalam lorong itu benarbenar
sangat banyak, kembali Ong-losiansing
melanjutkan perjalanannya, kali ini Kim-hi
mengintil ketat di belakangnya.
Menelusuri lorong ini, tiba-tiba Kim-hi
merasakan tubuhnya tak nyaman bahkan makin
lama semakin tak nyaman, dia tak habis mengerti
mengapa tubuhnya bisa begitu tak nyaman"
Sebetulnya lorong itu gelap tanpa cahaya,
namun anehnya, walau geretan api tidak
dipadamkan, sirkulasi udara di tempat itu tetap
lancar tanpa gangguan.
Agaknya di bagian yang rahasia telah dibangun
lubang angin yang membantu sirkulasi udara di
situ, sehingga aliran udara dalam lorong tetap
terjaga kering bahkan sangat bersih.
Kalau dibilang sangat bersih, kenapa terendus
bau aneh seperti bau pakaian yang sudah
direndam air sabun selama lima hari, lalu digilas
sebanyak dua puluh satu kali"
Tiba-tiba Kim-hi sadar darimana datangnya
sumber bau yang tak sedap itu.
Kering dan bersih sebenarnya termasuk
kejadian baik, kejadian yang bisa mendatangkan
kegembiraan orang, tidak semestinya membuat
orang merasa tak nyaman.
Tapi lorong itu kelewat kering dan bersih,
hakikatnya membuat orang tak tahan.
Ong-losiansing berpaling, tanyanya,
"Apakah kau merasa agak aneh" Merasa
badanmu mulai tak nyaman?"
"Benar."
"Tahukah kau mengapa bisa muncul perasaan
seperti itu?"
"Tidak, aku tak habis mengerti."
Dia sangka Ong-losiansing akan menjelaskan
persoalan itu, siapa tahu setelah bertanya dia
seakan lupa dengan pertanyaan itu.
"Tahukah kau benda apa yang terhitung paling
bersih di kolong langit?" tanya Ong-losiansing
lagi. "Emas murni."
"Bukan," kata Ong-losiansing sambil tertawa,
"tak ada benda lain di dunia ini yang jauh lebih
bersih daripada barang-barang yang terbuat dari
batu kristal."
Lorong itu memang dibangun dengan batu
kristal, mau tak mau Kim-hi harus mengakui
bahwa tempat itu memang betul-betul sangat
bersih. Terdengar Ong-losiansing kembali bertanya, "Di
dunia ini pun terdapat berbagai jenis manusia,
tahukah kau jenis manusia mana yang tergolong
paling bersih?"
"Orang mati!" kali ini tidak menunggu jawaban
Kim-hi, dia jawab sendiri pertanyaan itu.
Mau tak mau kembali Kim-hi harus mengakui,
semua orang mati pasti akan dimandikan dulu
sebelum dimasukkan ke dalam peti mati,
sekalipun dia orang yang paling kotor dan busuk
sekalipun. Setelah dia mengakui kebenaran hal itu, maka
masalah yang semula tidak dipahami pun kini jadi
mengerti. "Kau merasa tempat ini rada aneh karena
tempat ini kelewat bersih," kembali Onglosiansing
menjelaskan, "karena di dalam lorong


Kilas Balik Merah Salju Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ini hanya terdapat batu kristal dan orang mati."
Harus diakui, batu kristal memang termasuk
barang yang paling bersih, murni dan sedikit
bahan campurannya, bahkan sebagian besar
orang menganggap benda itu sangat menawan
dan menarik. Orang mati pun tetap manusia, betapa pun
menakutkannya orang itu, setelah mati, tak
mungkin dia bisa mencelakai orang lain lagi.
Sebuah lorong yang dibangun dari batu kristal,
ditambah orang orang mati yang tak mungkin
bisa mencelakai orang lagi, sebetulnya tempat ini
memang tak perlu ditakuti.
Namun bagi Kim-hi, tempat semacam itu justru
mendatangkan perasaan horor, seram dan ngeri
yang tak terlukiskan. Sampai lama kemudian baru
ia bertanya, "Jadi tempat ini adalah sebuah
komplek kuburan?"
"Kuburan?" Ong-losiansing tertawa terbahakbahak,
"atas dasar apa kau mengatakan tempat
ini kuburan" Mengapa kau bisa punya pikiran aku
telah membangun tanah kuburan dengan batu
kristal?" Jarang sekali dia tertawa tergelak semacam ini.
Minta manusia semacam dia membangun
sebuah kuburan dengan batu kristal" Pada
hakikatnya pikiran ini betul-betul menggelikan.
Terlepas siapa pun orang yang telah
membangun kuburan dengan batu kristal, yang
pasti hal itu sangat muskil, tak masuk akal.
Anehnya, tempat ini bukan kuburan, kenapa
ada begitu banyak orang mati di sini" Kim-hi tidak
habis mengerti.
"Sebenarnya tempat apakah ini?"
"Sebuah gudang harta," sahut Ong-losiansing.
"Kau bilang tempat ini adalah gudang
harta?" Kim-hi semakin terperanjat, "gudang
untuk menyimpan harta kekayaanmu?"
"Betul."
Sambil tertawa Ong-losiansing mulai membelai
dinding kristal dengan jari tangannya, belaian
yang begitu halus dan mesra seakan belaian
seorang ibu terhadap putra tunggalnya.
Bahkan mimik mukanya menampilkan perasaan
puas yang tak terlukiskan dengan kata.
"Aku berani jamin, simpanan batu kristal yang
ada di sini paling tidak tiga kali lipat lebih banyak
dari tempat mana pun di dunia ini," Onglosiansing
menjelaskan, "andaikata kulempar
semua simpanan batu kristal ini ke pasar, dapat
dipastikan cadangan uang setiap negara di dunia
ini bakal menurun."
"Aku percaya," tak tahan Kim-hi ikut membelai
dinding kristal itu, "selama hidup belum pernah
kujumpai batu kristal sebanyak ini."
"Bukan hanya kau seorang yang belum pernah
melihat, kujamin hanya beberapa orang di dunia
ini yang pernah menyaksikan tumpukan batu
kristal sebanyak ini."
"Apakah dikarenakan orang yang ada di sini
hanya orang-orang mati?"
"Betul, kecuali kondisi yang luar biasa,
biasanya hanya orang mati yang bisa masuk
kemari." "Bagaimana dengan orang hidup?" tanya Kimhi,
"apakah orang hidup yang masuk kemari tak
pernah lagi bisa keluar dalam keadaan hidup dan
sehat?" Ong-losiansing tak menjawab pertanyaan itu,
dia cuma tersenyum.
Watak Kim-hi sendiri pun tergolong aneh dan
keras kepala, persoalan yang enggan dijawab
orang lain tak bakal ditanyakan lagi untuk kedua
kalinya, maka dia pun mengalihkan pembicaraan
ke masalah lain.
"Apakah biasanya kau gunakan orang mati
untuk menjaga batu kristalmu?"
Sekali lagi Ong-losiansing tertawa, dia merasa
pertanyaan ini kelewat menggelikan, namun dia
tetap menyahut.
"Sejak dulu hingga sekarang, hanya sejenis
manusia di dunia ini yang menggunakan orang
mati untuk menjaga batu kristalnya."
"Manusia seperti apa?"
"Orang mati. Hanya orang mati yang akan
menggunakan orang mati untuk menjaga batu
kristalnya, sebab dia sudah mati, jadi apakah
semua kristalnya dicuri orang atau tidak, baginya
hal itu sudah tidak terlalu penting lagi."
Jawaban ini tidak menggelikan, sebab contoh
yang dikemukakan bukan saja pernah ada di
masa lampau, seribu tahun kemudian pun bukan
tak mungkin akan terjadi lagi.
Di masa lampau banyak bangsawan atau raja
yang meninggal, biasanya semua harta
kekayaannya ikut dikubur, bahkan seringkah para
pengawal setianya ikut terkubur bersamanya,
untuk menjaga arwah serta harta kekayaannya.
Tentu saja mereka tak bakal tahu cara seperti
itu sebenarnya adalah sebuah cara yang sangat
goblok. Karena dia sudah mati!
"Aku belum mati," kata Ong-losiansing, "paling
tidak hingga sekarang aku belum mati, karena itu
aku tak bakal menggunakan cara seperti itu."
Kim-hi tertawa, namun tak tahan tanyanya lagi,
"Bukankah tempat ini adalah gudang hartamu"
Kalau memang gudang harta, kenapa terdapat
orang mati?"
Pertanyaan ini bukan pertanyaan yang
menggelikan, sebagian besar orang pun akan
mengajukan pertanyaan yang sama.
Tapi jawaban yang diberikan Ong-losiansing
justru tak bakal dimengerti oleh sebagian besar
orang. "Oleh karena tempat ini adalah sebuah gudang
harta, maka di tempat ini sering muncul orang
mati." "Kenapa?" tanya Kim-hi tak habis mengerti.
"Karena ada semacam orang mati yang nilainya
jauh lebih tinggi daripada intan permata,
kebetulan orang yang mati di sini adalah jenis
orang mati yang paling mahal."
Bab 4. DUNIA KRISTAL
Orang yang sudah mati pun masih mempunyai
nilai tinggi" Apa gunanya orang mati"
Kelihatannya Ong-losiansing pun tahu katakatanya
susah dicerna orang lain, maka sebelum
Kim-hi mengajukan pertanyaan lagi, tiba-tiba dia
berganti pokok pembicaraan, katanya, "Konon di
negara yang letaknya di ujung barat terdapat
juga kerajaan dengan kebudayaan tinggi, banyak
orang pintar melakukan percobaan untuk
menciptakan sesuatu yang lebih baru dan
canggih." "Aku tahu, aku pun pernah mendengar tentang
hal ini." "Suatu negeri sama seperti kita, punya hukum
juga punya agama kepercayaan, dalam kumpulan
keagamaan pun terdapat Tianglo yang punya
reputasi tinggi, sama seperti Tianglo pelindung
hukum dalam kuil Siau-lim bagi umat persilatan.
Aku mengetahui salah satu di antaranya, ia
bernama Hoat-tianglo, seorang tokoh yang
memiliki kecerdasan tinggi dan sangat dihormati
umatnya. Sama seperti Sim-bi Taysu, pelindung
hukum Siau lim pay."
Walaupun Kim-hi belum pernah berjumpa Simbi
Taysu, tapi ia pernah mendengar tentang
kehebatan tokoh ini.
"Konon Suhunya tewas karena keracunan, oleh
sebab itu selain tekun melatih ilmu silat dan
agama Buddha, dia pun memperdalam ilmu
tentang racun dan obat penawarnya. Bahkan
kemampuannya sudah mencapai kebal segala
macam bisa dan racun. Bahkan ada orang bilang,
di masa tuanya dia berhasil melatih tubuhnya jadi
kebal dan maha sakti."
"Apakah kemampuan Hoat-tianglo sehebat
Sim-bi Taysu?"
"Itulah sebabnya aku singgung orang ini."
"Kenapa?"
"Karena ia pernah bercerita tentang sebuah
kisah yang sangat menarik."
Tidak menunggu Kim-hi mengajukan
pertanyaan, secara ringkas Ong-losiansing
menceritakan, "Hoat-tianglo mempunyai sebuah
kebun buah yang sangat indah, dalam kebunnya
ditanam berbagai jenis buah dan sayuran. Dalam
kebun buahnya ia pernah melakukan percobaan
yang luar biasa."
Dari hasil kebunnya dia pilih sejenis sayuran
yang paling umum, misal sayur kubis, kemudian
ia menggunakan sejenis cairan racun yang sangat
jahat untuk menyirami sayur itu, setelah disirami
selama tiga hari, daun kol berubah jadi kuning
lalu lambat-laun layu.
Diambilnya sayur layu itu untuk memberi
makan seekor kelinci, tiga jam kemudian kelinci
itu pun mati. Dia pun perintahkan tukang kebunnya untuk
mengeluarkan isi perut sang kelinci dan diberikan
seekor ayam, hari kedua ayam itu pun mampus.
Di saat ayam itu masih sekarat, kebetulan
lewat seekor burung elang, sang elang pun
menyambar ayam itu dan dibawa ke atas batu
tebing. Sehabis melahap ayam itu sang elang pun
mulai merasa kondisi badannya tak segar, tiga
hari kemudian sewaktu sedang terbang di udara,
tiba-tiba burung itu jatuh dan mati.
Hoat-tianglo pun kembali memerintahkan
tukang kebun untuk melempar bangkai elang ke
dalam kolam ikan, dasar ikan Lehi dalam kolam
sangat rakus, daging elang itu pun dilahap
hingga habis. Keesokan harinya ikan Lehi itu dikirim ke dapur
untuk menjamu tamu, maka delapan sampai
sepuluh hari kemudian tamu itu akan mampus
dengan lambung dan usus membusuk. Sekalipun
ada tabib kenamaan yang melakukan
pemeriksaan pun jangan harap menemukan
penyebab kematian nya. Terlebih tak bakal ada
yang menyangka kalau dia mati diracun musuh
besarnya. "Selamanya rahasia ini tak pernah diketahui
siapa pun," Ong-losiansing menambahkan sambil
tertawa, "kecuali......
Bicara sampai di sini, mendadak ia
menghentikan perkataannya dan tidak dilanjutkan
lagi. Tentu saja Kim-hi tak tahan untuk bertanya,
"Kecuali apa?"
"Kecuali orang itu dikirim kemari."
"Memangnya kau bisa menemukan penyebab
kematiannya?"
"Bila aku dapat segera membedah jenazahnya
dan menemukan sisa ikan yang masih berada
dalam lambungnya, bukan saja aku dapat
menemukan penyebab kematiannya, bahkan
dapat ditemukan juga siapa yang telah
meracuninya," ujar Ong-losiansing, "nah,
bukankah nilai orang mati itu jadi lebih tinggi dan
berharga daripada intan permata?"
Kim-hi kelihatan belum juga paham, kembali
tanyanya, "Kenapa bisa begitu?"
"Sebab bukan saja dari tubuh mayat itu aku
berhasil menemukan sebuah rahasia yang tak
mungkin diketahui orang lain, bahkan dari situ
aku pun tahu semacam cara jitu untuk meracuni
dan membunuh seseorang tanpa diketahui siapa
pun." "Setelah rahasia orang yang meracuni
lawannya itu kau ketahui, tentunya mau tak mau
dia harus menuruti semua perkataanmu bukan?"
tanya Kim-hi. "Hahaha, tentu saja, akhir dari kisah itu tentu
saja begitu."
Kemudian dengan riang ia menambahkan, "Ada
banyak orang di dunia ini yang mati dengan cara
begini, ada yang terkena racun rahasia, ada yang
terkena senjata rahasia, ada pula yang dilukai
dengan satu cara yang amat rahasia. Asalkan
mayat mereka dikirim kemari, aku pasti dapat
menemukan penyebab kematiannya."
Setelah berhenti sejenak, terusnya, "Bagiku,
cepat atau lambat setiap rahasia pasti ada
gunanya, terkadang nilainya bahkan jauh lebih
berharga daripada intan permata."
Kim-hi terperangah mendengar semua itu,
peluh dingin telah membasahi telapak tangan dan


Kilas Balik Merah Salju Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kakinya, untuk sesaat dia hanya bisa mengawasi
Ong-losiansing dengan mata terbelalak.
Sewaktu dia mengucapkan semua perkataan
itu, sikap maupun caranya bertutur sangat halus,
sopan dan anggun, seperti seorang penyair
sedang membaca hasil karyanya yang paling
hebat. Namun dalam pandangan Kim-hi, tak ada
manusia lain di dunia ini yang lebih menakutkan
daripada orang itu.
Ong-losiansing sedang menatapnya, menatap
sambil tersenyum ramah, tanyanya,
"Bersediakah kau melihat gudang hartaku?"
Mendengar ajakan itu, berkilat mata Kim-hi,
tiba-tiba ia tertawa lebar, sinar matanya persis
macan betina yang menerima tantangan untuk
bersenggama. "Tentu aku bersedia," teriaknya, "memang
kau kira aku takut?"
Betapa panjang lorong yang berliku-liku itu,
tentu akan berakhir juga. Begitu juga dengan
malam yang gelap, akhirnya akan muncul sinar
fajar. Kini mereka telah tiba di penghujung jalan.
Di ujung lorong terdapat sebuah pintu, pintu
tanpa kunci, tanpa pegangan.
Begitu mereka mendekati pintu tadi, pintu itu
pun terbuka dengan sendirinya.
Sekali lagi Kim-hi tertegun. Apa yang terlihat
olehnya ternyata merupakan sebuah
pemandangan yang luar biasa, pemandangan
yang mimpi pun tak pernah dibayangkan.
Di belakang pintu merupakan gua yang sangat
lebar, tiada yang tahu berapa luas sesungguhnya"
Seluruh dinding ruang gua berlapiskan batu
kristal yang sangat indah, sementara di tengah
ruangan bertumpuk pula peti-peti mati yang
terbuat dari kristal.
Siapa pun takkan menyangka di tempat yang
sama dapat melihat begitu banyak tumpukan peti
mati, bahkan semua peti mati itu terbuat dari
kristal. Apakah di dalam setiap peti mati itu berbaring
sesosok mayat" Sebuah rahasia dari mayat itu"
Dari lentera minyak yang terbuat juga dari
kristal memercikkan jilatan api berwarna kuning,
begitu pintu terbuka, Kim-hi pun memasuki
sebuah dunia kristal yang begitu megah, begitu
cemerlang dan terselip begitu banyak misteri dan
rahasia yang tak di ketahuinya.
Dunia pusaka yang tak terpikirkan dengan akal
sehat itu justru merupakan dunianya orang mati.
Peti mati adalah benda yang paling dibenci
orang, sebaliknya batu kristal justru paling disukai
orang. Lalu perasaan apa yang ditimbulkan sebuah
peti mati yang terbuat dari kristal untuk seorang"
Kim-hi seakan sama sekali tidak merasakan, dia
seolah sudah bebal, kaku dan mati rasa.
Cahaya terang masih memancar dari wajah
Ong-losiansing, entah karena pantulan cahaya
kristal" Ataukah luapan rasa girang yang muncul
dari dasar hatinya"
Dia menggeliat lalu menarik napas panjang,
seakan di dunia ini hanya tempat itu yang
menjadi kesukaannya dan hanya tempat itu yang
membuatnya bahagia.
Dia mengajak Kim-hi menuju deretan peti mati
terdepan dan berhenti di depan tiga buah peti
mati yang berada di sudut kanan.
Peti mati itu pun terbuat dari batu kristal dan
belum ditutup, tiga orang yang belum lama
dikirim untuk membunuh orang, kini sudah
berbaring dalam peti mati itu.
Anehnya mereka bertiga mati dalam keadaan
tenang, wajahnya tidak memperlihatkan rasa
kaget atau ngeri, di tubuhnya pun tidak terlihat
luka dengan darah yang berceceran.
Bahkan pakaian yang mereka kenakan pun
sama seperti waktu masuk ke dalam lorong tadi,
bersih dan rapi.
Seakan saat mati mereka tidak merasakan
penderitaan maupun siksaan, seakan mereka
belum mati walau kenyataan mereka telah mati.
Apa penyebab kematian mereka" Siapa yang
membunuh mereka" Dimana sang pembunuh itu"
Selama ini Ong-losiansing berdiri terus di
samping ketiga peti mati itu, memusatkan seluruh
perhatiannya mengawasi ketiga sosok mayat
yang berada dalam peti mati.
Selama ini mimik mukanya jarang
menunjukkan perubahan, seorang tokoh yang
mampu mengendalikan diri memang seharusnya
menyimpan semua gejolak perasaan di dalam
hati, bukan ditampilkan di wajahnya.
Tapi sekarang siapa pun dapat melihat mimik
mukanya mulai menampilkan gejolak hatinya.
Anehnya, perasaannya bukan rasa sedih, bukan
juga kaget atau gusar, sebaliknya justru
kelihatan sangat riang dan gembira.
Lama kemudian baru ia menghela napas
panjang dan bergumam, "Kalian adalah jagoan
yang belajar pedang, bisa mati di ujung pedang
orang semacam ini seharusnya kalian bisa mati
dengan mata meram."
Tampaknya dia pun tahu perubahan mimik
mukanya sedikit tak cocok dengan ucapannya,
maka segera dia berganti topik. Tiba-tiba
tanyanya kepada Kim-hi, "Dapatkah kau lihat
berada dimana mulut luka penyebab kematian
mereka?" Tentu saja Kim-hi dapat melihatnya, luka
penyebab kematian ketiga orang itu berada di
bagian tubuhnya yang paling mematikan, luka
akibat tusukan pedang.
Tusukan pedang yang mencabut nyawa mereka
tepat mengenai bagian mematikan, tenaga yang
digunakan pun tidak terlalu kuat, karena itu mulut
luka yang ditimbulkan tidak terlalu besar,
otomatis darah yang mengucur pun t idak
banyak. Tak bisa disangkal ilmu pedang yang dimiliki
pembunuh itu telah mencapai puncak
kesempurnaan, bukan saja tusukannya tepat
mengenai bagian mematikan, penggunaan tenaga
pun sangat tepat, sama sekali tidak menyianyiakan
sedikit tenaganya.
Siapakah pembunuh itu" Ong-losiansing tidak
menjelaskan, Kim-hi pun tidak bertanya, tiba-tiba
dia mengajak nona itu menuju tiga peti mati yang
berada di deretan lain.
Dalam peti mati itu pun berbaring tiga sosok
mayat. Seorang masih muda, seorang berusia sedang
dan seorang lagi berusia pertengahan, bukan saja
usia dan dandanan mereka hampir mirip dengan
ketiga orang yang terdahulu, bahkan di tubuh
mereka pun tidak dijumpai mulut luka yang
dibasahi darah.
Hanya salah satu di antara mereka yang tulang
hidungnya retak.
Ketiga orang itu tak memperlihatkan
penderitaan atau kesakitan, jelas mereka pun
mati karena dibunuh, bahkan serangan yang
langsung mencabut nyawa mereka.
Dari tiga sosok tubuh yang sepintas tak terlihat
ada luka pedang itu, tenggorokan salah satu di
antaranya seolah terdapat sebuah lubang kecil
sekali. Satu lagi perbedaan yang terlihat adalah ketiga
orang itu sudah mati lebih lama, paling tidak
sudah mati sehari berselang.
Belum pernah Kim-hi bertemu dengan ketiga
orang itu, dia pun tak ingin tahu siapakah
mereka" Ong-losiansing menjelaskan, "Mereka adalah
bawahanku, sewaktu masih hidup dulu masingmasing
mempunyai kode angka nomor enam,
enam belas dan dua puluh enam, waktu itu
mereka pun terhitung jago pedang kelas satu."
"Karena itulah kau utus mereka membunuh Yap
Kay?" sela Kim-hi, "dan akibatnya mereka mati di
tangan Yap Kay?"
"Benar," sahut Ong-losiansing hambar, "ketika
kuutus mereka membunuh Yap Kay, sama seperti
waktu kuutus mereka bertiga kemari, sudah tahu
dengan pasti mereka bakal mati."
Ucapan itu diutarakan dengan hambar, seolah
sama sekali tak ada rasa menyesal.
"Mereka adalah anak buahmu yang setia," seru
Kim-hi tak tahan, "kenapa kau bersikeras
menghendaki kematiannya" Apakah kau benarbenar
bermaksud melihat mulut luka di tubuh
mereka?" Ong-losiansing tertawa hambar.
"Bagaimana pun cepat atau lambat akhirnya
mereka akan mati demi aku. Mereka yang mati
saja tidak keberatan, buat apa aku mesti bersedih
hati untuk mereka?"
Sejak zaman dulu, seorang pemimpin yang
bengis memang tak pernah berbelas kasihan.
Kembali Ong-losiansing mengamati ketiga
sosok mayat yang berada dalam peti mati,
kemudian baru ia berkata, "Dapatkah kau
temukan luka mematikan di tubuh ketiga orang
ini?" Luka yang mencabut nyawa mereka bertiga
pun berada di bagian yang mematikan, hanya
saja kematian mereka agaknya bukan ditusuk
dengan pedang. Yang satu hancur tulang hidungnya, jelas
kematiannya lantaran tonjokan, seorang lagi tidak
nampak bekas luka di luar tubuhnya, namun bila
diperiksa lebih seksama, pasti akan tampak
sebuah lubang yang cembung ke dalam, luka
yang berada persis di jantungnya. Orang ini pun
mampus karena jotosan maut.
Betulkah sodokan tinju Yap Kay begitu lihai"
Kembali Kim-hi memperhatikan orang ketiga,
luka mematikannya berada di tenggorokan, mulut
lukanya sangat kecil, darah yang mengalir pun
tidak banyak, senjata rahasia apa yang telah
mencabut nyawanya"
"Dia terluka oleh pisau terbang," Ong-losiansing
menjelaskan, "sambitan pisau terbang Siau-li tak
pernah meleset."
Pisau terbang" Kembali Kim-hi mengamati
mulut luka di tenggorokan orang ketiga dengan
seksama. "Aku tahu, kau tentu dapat melihat dimana
letak luka mematikan di tubuh mereka bertiga,
cuma aku tetap sarankan kepadamu, amatilah
lebih lama dan perhatikan lebih seksama."
Kemudian setelah berhenti sejenak, imbuhnya,
"Lebih baik lagi bila kau perhatikan luka
mematikan di tubuh ketiga mayat yang ada di
sana lalu bandingkan dengan luka ketiga mayat
yang berada di sini, makin lama dilihat semakin
baik, makin seksama dipandang makin bagus. "
Bagaimana pun juga Kim-hi adalah seorang
gadis, sedikit banyak timbul juga rasa muak
setelah lama mengamati orang mati, biar di hati
dia tahu kata-katanya itu ada maksud tertentu,
segera dia menggeleng kepala, katanya, "Tidak,
aku tak mau melihat lagi, mereka kan sudah
mati, apa bagusnya dilihat?"
"Orang mati yang berada di luar sana memang
tak ada yang perlu dilihat, tapi orang mati di
tempat ini sangat patut diperhatikan," kata Onglosiansing,
"tahukah kau, berapa banyak orang
harus kecewa tak mendapat kesempatan
menyaksikan mayat-mayat itu" Bila kau tetap
menampik, satu kesempatan baik telah kau siasiakan."
"Aku tak percaya."
"Kau tak percaya?" Ong-losiansing tertawa,
"kalau tidak percaya, tanyakan saja kepada Yap
Kay." "Kenapa aku harus bertanya padanya"
Memangnya kau akan memberi kesempatan
kepadaku untuk bertanya kepadanya?"
Kini Kim-hi sudah tahu begitu banyak rahasia,
mungkinkah Ong-losiansing masih mengizinkan
dia untuk keluar dari kebun monyet"
Persoalan inilah yang sangat dikuatirkan Kim-hi
selama ini, dia ingin segera memperoleh jawaban.
Ong-losiansing hanya tertawa, cepat dia
alihkan pembicaraan.
"Kau pernah mendengar orang yang bernama
Hing Bu-bing?"
"Pernah, konon dia orang kepercayaan
Siangkoan Kim-hong!"


Kilas Balik Merah Salju Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hing Bu-bing adalah seorang aneh, selama
hidup dia hanya kesemsem pada dua hal.
Pertama, dia kesemsem pada Siangkoan Kimhong,
bukan kesemsem karena hubungan
perasaan laki perempuan, tapi karena
menghormatinya, menyanjung dirinya. Dan
kedua, dia kelewat kesemsem pada pedang."
Setelah merandek sejenak, kembali
tambahnya, "Selain terhadap Siangkoan Kimhong,
peduli manusia macam apa dirimu,
mempunyai hubungan seakrab apa pun, jangan
harap dia bersedia melakukan pekerjaan apa pun
untuk dirimu."
"Ya, aku pun pernah mendengar tabiatnya."
"Tapi sekarang dia bekerja untukku, menjaga
orang mati di tempat ini," Ong-losiansing
menerangkan, "kalau bukan manusia seperti dia,
mana mungkin mau datang ke tempat seperti
ini?" "Aku tak percaya, apa bagusnya orang mati"
Kenapa dia mau datang ke sini hanya untuk
melihat ketiga orang mati itu?"
Ong-losiansing menghela napas panjang.
"Ai, padahal di hatimu pun sudah tahu
jawabannya, mengapa dia mau datang melihat
kematian ketiga orang itu, kenapa mesti ngotot
bilang tak percaya?"
Setelah tertawa getir, ujarnya, "Heran, kenapa
kaum wanita selalu lain di bibir lain di hati?"
"Karena wanita tetap wanita, pasti terdapat
perbedaan dengan kaum lelaki," sahut Kim-hi
sambil tertawa getir pula, "apalagi lelaki yang lain
di bibir lain di hati pun tidak lebih sedikit
ketimbang perempuan."
"Bagus, ucapan bagus," Ong-losiansing menarik
tangan Kim-hi, "ayo, ikut aku, akan kuajak kau
bertemu seseorang."
Orang yang hendak diperlihatkan Onglosiansing
kepada Kim-hi pun hanya sesosok
mayat, peti mati orang ini berada di deretan
tengah pada urutan ketiga dari belakang.
Orang itu berwajah ungu penuh cambang,
perawakan tubuhnya kekar, meskipun sudah mati
cukup lama, namun jenazahnya masih terawat
bagus, lamat-lamat masih terlihat kegarangan
dan keangkeran semasa masih hidupnya dulu.
Di sekeliling mayatnya bertebaran bubuk wangi
anti pembusukan, sementara tangan kanannya
tergeletak sebuah gada bergigi Long ya pang
yang amat besar.
Cahaya yang berkilauan berasal dari gigi putih
yang memenuhi kepala gada, tampaknya senjata
andalannya semasa masih hidup.
Hanya memandang sekejap Kim-hi sudah tahu
berat senjata itu paling tidak tujuh-delapan
puluh kati, bila lengannya tak memiliki
kekuatan ribuan kati, jangan harap bisa
menggunakan senjata macam itu dengan leluasa.
"Tahukah kau siapa orang ini?" tanya Onglosiansing.
Kim-hi menggeleng.
"Tentu saja kau tak kenal, usiamu masih
kelewat muda," ia menghela napas panjang, "tapi
tiga puluh tahun berselang, Thian-long si serigala
langit pernah malang melintang di kolong langit
dengan mengandalkan gada Long ya pang, waktu
itu siapa yang tak kenal nama besarnya" Apalagi
jago pedang, begitu mendengar namanya pasti
ketakutan setengah mati, begitu takutnya seperti
bocah cilik yang takut harimau."
"Kenapa kau mengatakan khususnya para jago
yang memakai pedang?"
"Karena orang tuanya tewas di ujung pedang
orang lain, karena itu dia khusus menciptakan
Long ya pang yang maha berat, bahkan
mempelajari serangkai jurus istimewa khusus
untuk menghancurkan ilmu pedang berbagai
perguruan kenamaan. Karena pedang itu ringan,
maka senjata ini merupakan lawan tandingnya."
Setelah mengatur napas, kembali terusnya,
"Dari lima belas orang jago pedang kenamaan
yang diakui umat persilatan saat itu, paling tidak
ada sepuluh orang yang tewas oleh Long ya pang.
Bahkan Cing Hong-cu, salah satu dari empat jago
pedang Bu tong pay pun tak lolos dari bencana
ini." "Aku tak percaya kalau dia memang sangat
lihai, kenapa akhirnya tewas di tangan orang
lain?" Ong-losiansing tidak langsung menjawab,
sambil tertawa dia menghampiri sepuluh peti mati
yang ada di dekatnya dan membuka penutupnya
satu per satu, tertampak sepuluh sosok mayat.
Biarpun semua mayat itu masih tersimpan baik
namun dapat dilihat kematian mereka sangat
tragis, kebanyakan tulang tengkoraknya hancur
berantakan, ada pula yang tulang rusuknya
patah dan hancur.
Karena itulah walaupun semua jenazah masih
tersimpan rapi, namun justru terasa seram dan
menakutkan. "Mereka sepuluh jago pedang yang tewas di
tangannya," Ong-losiansing menuding seorang
Tojin berkopiah yang berada di antara mayatmayat
itu dan tambahnya, "Dialah Cing Hong-cu,
jago pedang dari Bu tong pay yang serangannya
paling ganas, tajam dan telengas."
Sambil berpaling ke arah Kim-hi, katanya
kemudian, "Sekarang kau sudah percaya bukan?"
Kim-hi membungkam, tapi matanya terbelalak
lebar, mengawasi mulut luka mematikan di
tenggorokan Thian-long.
Mulut luka itu sangat kecil, jelas dia tewas
karena tusukan pedang.
"Aku tetap tak percaya," tiba-tiba Kim-hi
berseru sambil tertawa dingin.
"Apalagi yang membuatmu tak percaya?"
"Kalau memang Long ya pang sanggup
menjebol pertahanan pedang para jago, kenapa
akhirnya dia pun tewas karena tusukan pedang?"
"Bagus, pertanyaan bagus, masuk akal."
"Pertanyaanku memang masuk akal, kuatirnya
jawabanmu yang tak masuk akal."
"Belum tentu."
"Belum tentu bagaimana?"
"Yang masuk akal pun belum tentu masuk akal,
yang tak masuk akal pun belum tentu tak masuk
akal," kata Ong-losiansing, "tak ada peristiwa
yang tak akan berubah di kolong langit, oleh
karena Thianlong khusus menghancurkan ilmu
pedang orang, maka dia pun pasti akan tewas
oleh tusukan pedang lawan."
"Bagaimana matinya?"
"Dia bisa mati di ujung pedang lawan karena
ada seseorang yang kesemsem dengan pedang
telah tiba di sini, dia menghabiskan waktu selama
tiga tahun untuk mempelajari mayat kesepuluh
jago pedang itu, dari luka mematikan di tubuh
jenazah itu, dia berhasil mempelajari dan
menganalisa setiap perubahan jurus dan setiap
sasaran yang dipakai Thian-long untuk
menghabisi lawannya. Kemudian dari perubahan
ilmu silat mereka dia menciptakan ilmu pedang
baru yang khusus digunakan untuk menghadapi
serangan Thian-long."
Dia menarik napas, sesaat kemudian lanjutnya,
"Oleh karena itulah tiga tahun kemudian si orang
yang gila pedang keluar dari sini, mencari Thianlong
dan menantangnya berduel. Tak sampai
sepuluh gebrakan kemudian ia berhasil
menghabisi nyawa Thian-long di uj ung
pedangnya."
Kim-hi tidak bicara lagi, akhirnya dia paham
kenapa Hing Bu-bing rela menjaga orang mati di
tempat semacam itu. Karena dia hendak
mempelajari aliran silat Yap Kay, yang paling
penting lagi adalah cara menghadapi pisau
terbang Siau-li.
Biarpun antara Yap Kay dan Hing Bu-bing tak
punya dendam apa-apa, namun generasi mereka
sebelumnya justru punya ikatan dendam kesumat
yang sangat dalam.
Siangkoan Kim-hong tewas di ujung pisau
terbang milik Li Sun-hoan, karena itu Hing Bubing
ingin membalas dendam, dia harus
menyelidiki dan mempelajari dulu rahasia Siau-li
si pisau terbang. Itulah sebabnya dia datang ke
sana. Karena Yap Kay jarang membunuh orang, maka
Ong-losiansing pun mengatur strategi agar Yap
Kay mau tak mau harus membunuh lawannya.
Begitu memahami rahasia itu, perasaan Kim-hi
semakin dingin dan bergidik.
Hing Bu-bing adalah seorang gila pedang, bila
ia tahu di kolong langit terdapat seorang jagoan
tangguh macam Thian-long, tentu saja dia tak
segan untuk mengorbankan segalanya untuk
mengalahkan orang itu, bahkan harus
mengalahkan dia dengan mengandalkan ilmu
pedang. Maka dia pun tak segan untuk melanggar
prinsip hidupnya, mendatangi tempat tinggal
Ong-losiansing dan bersedia menjadi penjaga
gudang harta. Tentu saja tujuannya bukan hanya ingin
membunuh jagoan macam Thian-long, yang
paling utama adalah ingin menelusuri dan
mempelajari aliran ilmu silat lawan dari mulut
luka yang di tinggalkan pada mayat-mayat
korbannya. Menanti ia berhasil membuktikan apa yang
diharapkan bisa diperoleh dari tempat ini, tak
heran dia semakin tak bisa meninggalkan Onglosiansing,
karena di sinilah dia bisa memperoleh
bahan yang dibutuhkan orang-orang yang tewas
di tangan Yap Kay.
Kini dia sudah mendapatkan tiga sosok mayat,
apakah dari ketiga sosok mayat itu sudah cukup
baginya untuk mengungkap rahasia ilmu silat Yap
Kay" Tak tahan Kim-hi berpaling ke arah ketiga
sosok mayat itu, tiga korban yang tewas karena
dibunuh Yap Kay.
Ong-losiansing mengawasi gerak-gerik Kim-hi,
mulutnya masih tak hentinya memberi penjelasan
kegunaan mayat-mayat itu, ujarnya lagi, "Bagi
seorang yang berpengalaman, tidak sulit baginya
untuk melihat gerak serangan ilmu silat lawan
dari mulut luka mematikan di tubuh korbannya,
bahkan perubahan jurus, letak sasaran serta arah
datangnya tusukan, sampai berapa besar tenaga
yang digunakan pun tak sulit untuk ditelusuri dan
diketahui."
Dipandangnya Kim-hi sambil tertawa, lalu
tanyanya, "Apakah kau percaya?"
"Aku tidak percaya."
"Tidak percaya?"
Tiba-tiba Kim-hi tertawa.
"Bukankah kau pun tahu, biar di hatiku seribu
kali percaya pun di mulut tetap akan mengatakan
tak percaya, kenapa mesti ditanya lagi?"
"Berarti kau sudah percaya pada semua yang
kukatakan?" Ong-losiansing ikut tertawa.
"Tidak percaya, sepatah pun tak percaya."
Ong-losiansing sengaja menghela napas.
"Kalau begitu kau pun tak perlu mendengarkan
penjelasanku lagi, tak usah melihat keenam
mayat itu."
"Tentu aku tak bakal melihatnya lagi, sekejap
pun jangan harap, sebab...." gadis itu tertawa
cekikikan, "sebab aku sudah melihatnya dengan
jelas." "Oya" Sejak kapan kau melihatnya?"
"Ketika mulutku mengatakan tak bakal
melihatnya lagi."
"Kenapa aku tak tahu?" sengaja Onglosiansing
membelalakkan mata.
"Memangnya jika cewek melirik cowok, dia
akan membiarkan sang cowok mengetahuinya?"
"Tapi mereka kan sudah mati."
"Benar, mereka sudah mati, tapi yang mati kan
lelaki," Kim-hi tertawa, "dalam pandangan kaum
wanita, laki tetap laki, mau dia hidup atau sudah
mati." "Bagus, bagus sekali," Ong-losiansing tertawa
terbahak-bahak, "ucapanmu sangat bagus."
Dia tertawa tergelak, tidak demikian dengan
Kim-hi, tiba-tiba paras mukanya berubah amat
serius, katanya, "Aku benar-benar telah meneliti
keenam mayat itu dengan seksama, bahkan
menemukan satu hal yang sangat aneh."


Kilas Balik Merah Salju Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Oya, keanehan apa?"
"Keenam orang itu terbunuh oleh dua orang
yang berbeda, tapi letak luka yang mematikan
justru persis sama, satu-satunya perbedaan
hanya terletak pada senjata, agaknya senjata
yang digunakan untuk membunuh tidak sama."
Ketika Kim-hi selesai mengungkap hasil
analisanya, segera ia memberi koreksi lagi,
"Bukan luka keenam orang itu sama, yang tepat
nomor lima dan nomor enam sama, nomor lima
belas dan nomor enam belas sama, sedang nomor
dua puluh lima sama dengan nomor dua puluh
enam." Dengan perasaan kagum Ong-losiansing
manggut-manggut.
"Bukan hanya letak lukanya berada di tempat
yang sama, bahkan jurus serangan serta tenaga
yang digunakan untuk menghabisi nyawa mereka
pun sama, seolah menggunakan cara dan
gerakan yang sama."
"Satu-satunya perbedaan hanya terletak pada
senjata yang dipakai untuk membunuh," imbuh
Kim-hi. "Betul, yang satu menggunakan kepalan dan
pisau terbang sedang yang lain menggunakan
pedang," Ong-losiansing manggut-manggut.
"Benar, karena itu aku pun mempunyai satu
pertanyaan lagi."
"Katakan."
"Baik Hing Bu-bing maupun Yap Kay tak
mungkin belajar ilmu silat dari guru yang sama
bukan" Tapi kalau ditinjau dari bekas luka yang
ada di tubuh mayat itu, Hing Bu-bing seolah-olah
bisa juga menggunakan ilmu silat yang dimiliki
Yap Kay. Apa yang sebenarnya terjadi?"
Ong-losiansing tertawa, dia belum menjawab.
"Masa Hing Bu-bing telah berhasil mempelajari
ilmu silat yang dimiliki Yap Kay?" kembali Kim-hi
bertanya. "Bukan berhasil mempelajarinya, Hing Bu-bing
hanya menganalisa dari luka yang ditinggalkan di
tubuh mayat itu, lalu disesuaikan dengan jurus
pedang yang dimilikinya dan mengulang kembali
gerakan itu untuk menyerang lawan."
"Maksudmu, bila Hing Bu-bing bisa membunuh
orang-orang itu dengan menggunakan gerakan
jurus yang dipakai Yap Kay, berarti tidak sulit
baginya untuk membunuh Yap Kay?"
Ong-losiansing tidak langsung menjawab
pertanyaan itu, dia hanya menatap si nona lekatlekat,
memperhatikan rambutnya yang hitam,
jidatnya yang lebar, kemudian mengawasi
tubuhnya yang mulai berisi hingga sepasang
sepatunya yang ada sulamannya, akhirnya dia
menghela napas panjang.
"Ai, aku tak habis mengerti, kenapa Yap Kay
bisa tidak menaruh perhatian pada gadis
semacam kau," Ong-losiansing menggeleng
kepala sambil menghela napas, "yang benar dia
itu telur busuk" Atau seekor babi?"
"Sebenarnya aku sendiri pun tak tahu
manusia macam apakah dia itu," kata Kim-hi,
"tapi syukurlah, sekarang aku sudah paham."
"Lalu siapakah dia?"
"Dia itu bukan benda, juga bukan hewan, dia
adalah manusia, sayang manusia yang sudah
mampus." Bab 5. PERTEMUAN PERTAMA
Sebuah bukit yang amat tinggi.
Awan dan kabut tebal menyelimuti seluruh
tanah perbukitan, membungkus rapat sebuah
rumah yang terbuat dari kayu.
Pho Ang-soat mengajak Keliningan balik ke
dalam rumah itu.
Biarpun luka yang diderita Keliningan tidak
mengenai bagian yang berbahaya, namun cukup
membuatnya terluka parah.
Pho Ang-soat memang seorang jagoan dalam
hal pengobatan, khususnya mengobati luka bekas
tusukan. Pada hari ketujuh semenjak ketibaan
mereka di sana, si Keliningan sudah sanggup
turun dari ranjang dan melakukan pekerjaan.
Ketika Hong-ling atau si Keliningan terbangun
dari alam mimpi, deru angin malam yang
dilihatnya semalam kini sudah lenyap, sebagai
gantinya dari luar rumah terdengar suara orang
sedang membelah kayu.
Hong-ling tahu Pho Ang-soat sedang membelah
kayu bakar, maka dia pun turun dari ranjang,
mengenakan mantel dan berjalan keluar, berdiri
bersandar di pagar sambil mengawasi gerak-gerik
Pho Ang-soat dengan seksama.
Dia sedang membelah kayu dengan cara yang
aneh, bermanfaat dan indah, gerakannya tidak
terlampau cepat, kapak yang digunakan pun tidak
tajam, tapi setiap kali kapaknya membelah kayu
bakar, terpercik api seperti ada serentetan
mercon sedang meledak.
Hong-ling mengawasi pemuda itu, dia mulai
kesemsem. Menunggu hingga dia berhenti menyeka
keringat, Pho Ang-soat baru menyadari
perempuan itu sudah berdiri di pinggir pintu.
"Kau dapat tidur nyenyak di tempat ini?" tanya
Pho Ang-soat sambil mengumpulkan belahan
kayu bakar. "Menurut kau?"
Hong-ling tertawa, tiba-tiba tersungging
sekulum senyuman yang manis di ujung bibirnya
yang putih pucat, seakan munculnya sekuntum
bunga sakura di tengah awan putih.
Kembali Pho Ang-soat berpaling, mengawasi
senyuman wanita itu. Tiba-tiba ia bertanya pada
diri sendiri, mengapa ia mengajak kemari
perempuan itu" Apa sebabnya ia berbuat begitu"
Perempuan itu tampak kesepian. Meski sedang
tertawa, namun tertawanya terasa begitu sepi,
begitu kesepian.
Bukankah kesepian pun langgeng menemani
kehidupan Pho Ang-soat"
Ketika secara tiba-tiba ia menjumpai seorang
wanita kesepian yang mirip nasibnya, bukankah
wajar mereka gampang cocok satu dengan
lainnya dan tak segan untuk menampungnya"
Semenjak munculnya kehidupan manusia,
bukankah lantaran kesepian kemudian timbul
perasaan dan akhirnya muncul bibit-bibit cinta"
Kabut pagi masih menyelimuti perbukitan,
Hong-ling berdiri di balik kabut, ia mengawasi Pho
Ang-soat yang sedang membopong setumpuk
kayu bakar. Ia bertanya, "Hari ini kau ingin makan apa?"
Sebenarnya Pho Ang-soat sudah mulai
melangkah pergi, tapi ia segera menghentikan
kakinya begitu mendengar pertanyaan itu,
dengan sorot mata ragu ditatapnya perempuan
itu. "Hari ini kau ingin makan apa?" kembali Hongling
bertanya sambil tertawa, "biar aku yang
turun ke dapur."
"Kau" Kau pandai memasak?"
"Jangan lupa, aku seorang wanita."
"Aku tidak lupa, hanya sulit bagiku untuk
menyatukan antara kau dengan urusan dapur."
"Oh, kau takut aku mencampuri hidangan
dengan racun?" ia menatap pemuda itu dengan
tajam. "Kalau begitu masaklah!" Pho Ang-soat
membalikkan badan dan menuju ke arah dapur.
Memandang bayangan punggungnya yang
lenyap di balik pintu dapur, kembali Hong-ling
tertawa. "Di saat kau selesai bersantap nanti, akan kau
sadari bahwa pandanganmu sebenarnya keliru
besar." Daging babi masak daun berambang, osengoseng
ayam pedas, sepiring dadar telur ditambah
semangkuk kuah kaldu ayam yang gurih
membuat Pho Ang-soat sekaligus menghabiskan
empat mangkuk nasi.
Mengawasi sisa hidangan di piring, terpancar
perasaan kagum dari balik mata pemuda itu.
"Seorang temanku pernah mengucapkan
sepatah kata kepadaku, sebenarnya aku kurang
begitu percaya, tapi sekarang kusadari bahwa apa
yang dia katakan memang masuk akal," kata Pho
Ang-soat, "dia bilang, apakah seorang wanita
pantas berdiam di samping seorang lelaki, hal ini
tergantung mampukah dia menyiapkan hidangan
lezat." Hong-ling tertawa lebar.
"Oh, engkau sedang memujiku?" serunya,
"atau ingin menarik keuntungan dari ucapan itu?"
Paras muka Pho Ang-soat tetap tampil dingin
dan angkuh, kini sorot matanya telah dialihkan ke
wajah Hong-ling, namun di balik biji matanya
yang tajam muncul bayangan tubuh lain secara
samar. Sesosok bayangan yang tampak begitu jauh,
tapi seolah makin mendekat. Sesosok bayangan
tubuh yang langsing dan lembut.
Sesosok bayangan lembut bagai bintang fajar,
sesosok tubuh yang memancarkan secercah
cahaya, cahaya bintang.
Cui long! Sebuah nama yang begitu dikenal, tapi serasa
juga begitu asing baginya.
Begitu teringat akan dirinya, sekilas perasaan
sedih dan tersiksa kembali terpancar dari balik
matanya, otot-otot hijau di tangan kirinya mulai
menegang, giginya pun terkatup kencang di balik
mulutnya yang merapat.
Dia menatap wajah Hong-ling, menunggu
sampai otot hijau yang menegang di tangan
kirinya mulai kendor, sepatah demi sepatah baru
ia berkata, "Aku tak pernah mencari keuntungan
dari orang lain, baik dari orang lelaki maupun
perempuan."
Walaupun suaranya masih tenang, namun
perasaan sedih dan tersiksa terpancar dari
matanya semakin mengental, seakan tak ingin
terlihat perempuan itu, maka begitu selesai
berkata kembali ia berdiri, menggunakan cara
berjalannya yang khas, selangkah demi selangkah
meninggalkan dapur.
Hong-ling sama sekali tidak memandangnya,
menanti pemuda itu lenyap di balik pintu, baru ia
bangkit dan membenahi piring cawan di meja.
Saat itulah sinar matahari memancar masuk
lewat jendela, mengusir kabut tebal dari sekeliling
tempat itu, burung mulai berkicau, suasana
terasa cerah kembali.
Sementara itu Yap Kay yang berada di luar kota
Lhasa sudah bersiap melakukan penyelidikan ke
dalam kebun monyet.
Saat itu Be Khong-cun yang berada di Ban be
tong telah mendapat laporan tentang hilangnya
Pho Ang-soat. Bantal masih berada dalam keadaan penuh,
sedikit pun tak ada pertanda cembung ke dalam,
seprei dan selimut pun masih tersusun rapi,
sama sekali tak ada tanda pernah dipakai tidur.
"Sewaktu aku lewat di sini pagi tadi, pintu
kamar masih dalam keadaan tertutup," lapor
Kongsun Toan kepada Be Khong-cun, "aku
mencoba berteriak dari luar, namun tiada
jawaban. Akhirnya aku pun memaksa masuk,
ternyata kamar sudah dalam keadaan kosong."
Be Khong-cun tidak memberi komentar, dia
hanya termenung sambil berpikir.
"Aku rasa baru semalam Pho Ang-soat pergi
dari sini," ujar Kongsun Toan lagi, "bila sekarang
juga kita utus orang untuk melakukan
pengejaran, aku yakin masih bisa tersusul."
"Kejar!" perintah Be Khong-cun dengan wajah
dingin, "tak seorang pun boleh meninggalkan Ban
be tong." "Baik."
Kongsun Toan segera beranjak pergi, tinggal Be
Khong-cun yang masih berdiri di depan kamar
tidur Pho Ang-soat.
Walaupun sinar matahari pagi tak terlampau
panas, tapi semakin meningginya sang surya,
cahaya semakin menerangi ruangan kamar,
menyinari wajah Be Khong-cun, membuat kerutan
wajahnya nampak lebih jelas dan kentara.
Kerutan di wajah bukan hal yang memalukan,
sebaliknya justru mencerminkan kebanggaan,
karena setiap kerutan di wajahnya mewakili
perjuangan hidupnya menentang bahaya dan


Kilas Balik Merah Salju Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

maut. Seakan-akan dia hendak memberitahu
kepada orang lain, jangan harap bisa merobohkan
dia dengan gampang dalam hal apa pun.
Jangan mimpi bisa memaksanya
membungkukkan pinggang.
Walau begitu, pancaran sinar matanya justru
amat tenang dan penuh kedamaian, tak disertai
sinar tajam yang menggidikkan.
Apakah penderitaan dan kesengsaraan yang
dialaminya selama ini telah mengikis
keberingasannya"
Atau karena ia sudah pandai menyembunyikan
ambisi dan napsunya"
Atau mungkin lantaran ia pernah mati satu
kali" Kini sepasang matanya sedang mengawasi
pembaringan yang tak pernah dijamah itu. Dan
pada saat itu pula tiba-tiba terdengar suara
teguran berkumandang dari belakang tubuhnya.
"Selama ini kau baik baik saja bukan Belopan?"
Be Khong-cun segera berpaling, ia lihat
seseorang telah duduk di depan pintu.
Siau Piat-li muncul dengan kursi rodanya, saat
itu dia sedang menatap Be Khong-cun dengan
mimik muka aneh, agak tercengang dan sangsi.
"Sudah berapa lama kita tak bersua" Sepuluh
tahun mungkin?" Be Khong-cun balik bertanya.
Siau Piat-li menghela napas panjang.
"Ya, sepuluh tahun sudah. Waktu berlalu begitu
cepat, secepat awan putih di angkasa, dalam
sekejap mata sudah sepuluh tahun kita tak
bersua." Ditatapnya wajah Be Khong-cun sesaat,
kemudian ujarnya lagi, "Perjuangan hidup selama
sepuluh tahun ternyata tidak meninggalkan bekas
di wajahmu, penampilanmu saat ini tak jauh
berbeda dengan sepuluh tahun berselang,
bahkan rambut pun tak nampak memutih."
"Manusia akan menjadi tua bila pikiran dan
perasaannya berubah jadi tua."
"Oh, berarti pikiran dan perasaanmu sekarang
sudah jauh lebih muda?"
"Nama besar Kwan tang ban be tong ibarat
matahari di tengah hari, banyak orang
menopangkan hidupnya di sini, mungkinkah
bagiku untuk merasa tua" Dapatkah aku menjadi
tua?" tiba-tiba Be Khong-cun menghela napas
panjang. "Tapi seingatku, Kwan tang ban be tong sudah
dihancurkan sejak sepuluh tahun lalu," ujar Siau
Piat-li menatapnya tajam, "bagaimana mungkin
hari ini bisa muncul kembali?"
Mendadak mencorong sinar tajam dari balik
mata Be Khong-cun, ditatapnya Siau Piat-li tanpa
berkedip, kemudian tegurnya, "Siau-laute, baru
berpisah selama sepuluh tahun, kenapa kau mulai
termakan isu kosong dunia persilatan?"
"Isu dunia persilatan?" Siau Piat-li semakin
tajam mengawasi rekannya.
"Betul, kabar bohong yang sengaja ditiupkan
kaum Siaujin dari dunia persilatan."
"Oya" Berarti hanya kaum Siaujin yang percaya
dengan kabar kosong itu?"
Siau Piat-li tertawa terbahak-bahak, sejenak
kemudian tambahnya, "Wah, yang begini baru
celaka, kalau seorang Kuncu mulai berbohong,
biar membuat orang mampus pun rasanya tak
perlu membayar ganti rugi."
"Terkadang berbuat begitu, rasanya juga tak
akan merusak nama baik," sahut Be Khong-cun
sambil tertawa, "bukankah begitu?"
"Boleh yang pertama jangan mengulang yang
kedua, masa kau akan mengulang kembali
perbuatan yang sama untuk kedua kalinya?"
"Untung aku cukup tahu diri, apalagi orang
seperti aku paling enggan mengulang hal yang
sama untuk kedua kalinya," Be Khong-cun
menunggu gelak tawa sendiri mereda
kemudian baru melanjutkan, "Tetangga desa
bagai di ujung langit. Perumpamaan itu tak cocok
kau gunakan untuk menggambarkan tentang
hubungan kami."
"Oh, maksudmu?"
"Tempat tinggal kita begitu dekat, kita pun
merupakan sahabat karib, tapi begitu tega
hatimu, selama sepuluh tahun terakhir pernahkah
kau datang menjengukku?"
Siau Piat-li tidak menanggapi, dia
mendongakkan kepala dan menghela napas
panjang. Be Khong-cun tidak mengerti apa sebabnya ia
menghela napas, segera tegurnya, "Siau-laute,
persoalan apa yang membuatmu menghela napas
panjang?" "Walaupun sepuluh tahun tidak membuat
kau bertambah tua, tapi sayang kau telah
terjangkit satu penyakit."
"Penyakit" Penyakit apa?" "Penyakit pelupa"
"Penyakit pelupa?" gumam Be Khong-cun
dengan wajah sangsi dan tidak mengerti.
Sambil menunjuk sepasang kaki sendiri,
kembali Siau Piat-li berkata, "Masakah Be-lopan
lupa bahwa kakiku cacad?"
Setelah menatap sekejap lawannya, ujarnya
lebih lanjut, "Seandainya kakiku masih sehat dan
mampu berlari cepat, sudah pasti akan
kusambangi Be-lopan."
Tentu saja Be Khong-cun memahami maksud
perkataannya, air mukanya sedikit berubah, tapi
cepat ia tertawa tergelak.
"Karena Siau-laute menegur kesalahanku,
sudah sepantasnya aku mesti didenda... hari ini
akan kubiarkan kau menghukumku sepuasnya."
"Menghukum aku tak berani," kata Siau Piat-li
sambil tertawa, "sudah sepuluh tahun kita tak
pernah minum arak, hari ini kita berdua minum
sepuasnya."
Yap Kay melangkah di padang rumput
berembun, mengenang kembali pembicaraannya
pagi tadi dengan So Ming-ming, tanpa terasa ia
tertawa. "Kini langit sudah terang, apakah kita boleh
segera berangkat?" tanya So Ming-ming.
"Tolong gunakan angka ganjil, jangan memakai
angka genap," tiba-tiba Yap Kay mengucapkan
kata yang aneh.
"Angka ganjil" Angka genap" Apa maksudmu?"
tanya So Ming-ming tak habis mengerti.
"Maksudku, aku yang pergi, bukan kita
berdua." "Aku?" akhirnya mengerti juga So Ming-ming
maksud ucapannya, "jadi kau ingin pergi seorang
diri?" "Bukan ingin, tapi pasti. Apalagi kepergianku ini
bukan mau jalan-jalan di pasar, jadi tak perlu
berdua." "Justru karena berbahaya maka aku ingin pergi
berdua, paling tidak ada yang diajak bicara,"
seru So Ming-ming, "apalagi semalam Kim-hi
bisa jadi sudah mendatangi kebun monyet, aku
semakin punya kewajiban untuk pergi
mencarinya."
"Kalau begitu kau lebih tak boleh ikut."
"Kenapa?"
"Bila orang kebun monyet menggunakan Kim-hi
sebagai sandera lalu mengancammu, apa yang
akan kau lakukan?"
"Aku...."
"Kalau aku kan berbeda, hatiku terkadang
seperti baja keras, di saat harus keras tak bakal
hatiku melunak."
"Tapi... bagaimana kalau muncul bahaya yang
mengancam?" tanya So Ming-ming penuh rasa
kuatir, "masa kau pergi sendirian?"
"Tak mungkin ada bahaya, karena aku akan
berkunjung secara terang-terangan."
"Berkunjung secara terang terangan?"
"Betul, bukan masuk dengan melompati pagar
rumah, tapi masuk secara terang-terangan lewat
pintu gerbang."
Biarpun air embun telah membasahi sepatu
yang dikenakan Yap Kay, namun dia tak ambil
peduli, sebab dari sini ia sudah dapat melihat
pintu gerbang kebun monyet.
Setelah berada di depan gerbang, Yap Kay baru
merasa bahwa dinding pagar di situ amat tinggi,
bahkan ketinggiannya mencapai lima atau enam
orang ditumpuk menjadi satu.
Pintu yang semula tertutup rapat, kini dalam
keadaan terbuka.
Tampak di tengah halaman yang luas
terbentang sebuah jembatan berliku sembilan, di
bawah jembatan mengalir air yang jernih dan
bening. Pada ujung jembatan berdiri sebuah gardu segi
delapan, dalam gardu terlihat ada dua orang
sedang bermain catur.
Biarpun dari kejauhan tak nampak jelas paras
muka kedua orang itu, namun dari dandanannya
Yap Kay berani memastikan kedua orang itu
adalah T Hikmah Pedang Hijau 1 Kekaisaran Rajawali Emas Pendekar 4 Alis I Karya Khu Lung Dendam Iblis Seribu Wajah 3

Cari Blog Ini