Kilas Balik Merah Salju Karya Gu Long Bagian 9
Yap Kay. Cahaya yang terpancar dari mata pedang
kelihatannya jauh lebih mencolok daripada sinar
pisau terbang itu, hawa pedang pun terasa lebih
kental, dari balik matanya yang kelabu sebetulnya
hanya ada kekosongan, kematian. Tapi kini
secara tiba-tiba terlintas secercah cahaya
bimbang, secercah cahaya ngeri dan seram.
Tentu saja semua perubahan ini tak terlepas
dari ketajaman mata Yap Kay, dalam hati kecilnya
ia betul-betul merasa heran, di saat jago silat siap
berduel, kenapa Hing Bu-bing justru
memperlihatkan sinar mata semacam ini"
Bukankah dia telah melakukan kecerobohan fatal
yang bisa berakibat kematiannya"
Tapi peristiwa yang kemudian terjadi justru
membuat Yap Kay semakin terperanjat, ia lihat
Hing Bu-bing mendadak memejamkan mata,
kemudian tubuhnya tumbang ke tanah.
Apa yang sebenarnya terjadi"
Sementara Yap Kay masih terperangah, masih
terkesiap, tiba-tiba pandangan matanya ikut
buram, kabur dan terpancar perasaan ngeri dan
kaget yang luar biasa, sekarang baru dia
mengerti apa yang telah terjadi.
Akhirnya ia sadar apa sebabnya Hing Bu-bing
menunjukkan gejala seperti itu, rupanya ada
orang ketiga yang secara diam-diam telah
memasang jebakan di situ, orang itu menanti
dengan tenang di samping arena, menunggu
sampai mereka berdua mulai saling berhadapan
dan siap bertarung, lalu secara diam-diam
melepas obat pemabuk tanpa warna tanpa bau.
Itulah sebabnya Hing Bu-bing roboh secara
mendadak, tentu saja tak terkecuali Yap Kay.
Sesaat sebelum tubuhnya roboh, hanya satu
persoalan yang terpikir olehnya, siapa yang
melepas dupa pemabuk itu" Mengapa dia berbuat
begitu" Ketika sadar dari pingsannya, kepala masih
terasa pusing, Yap Kay mencoba menggunakan
tangannya untuk meraba kepala, sayang sama
sekali tak mampu bergerak, dia mencoba
mengerahkan tenaga dalam, ternyata hawa
murninya tersumbat. Sekarang baru dia tahu,
rupanya jalan darah di tubuhnya telah tertotok.
Menanti mata dan pikirannya mulai dapat
menyesuaikan diri dengan keadaan sekelilingnya,
Yap Kay baru menjumpai dirinya sedang
berbaring dalam sebuah ruangan yang berbentuk
sangat aneh. Cahaya lampu di sini amat terang dan amat
lembut, tapi tak terlihat sebuah lampu lentera
pun. Kalau tak ada lampu, darimana datangnya
cahaya terang" Darimana munculnya cahaya yang
begitu lembut dan terang"
Ternyata Yap Kay berbaring di atas sebuah
meja altar panjang yang terbuat dari batu kristal,
di samping altar terlihat banyak sekali meja altar
kecil, di atas beberapa meja kecil itu tergeletak
berbagai jenis pisau kecil. Juga ada beberapa
buah botol bulat, dalam botol berisi bubuk,
semacam bubuk obat, ada pula yang berisi cairan,
cairan warna-warni.
Di atas meja kecil yang lain terlihat juga benda
yang berbentuk aneh, Yap Kay tidak tahu apa
kegunaannya, berupa botol kristal yang bagian
bawahnya berbentuk bulat, bagian bawah yang
bulat itu sedang dibakar dengan api, sementara
cairan di dalamnya mendidih, uap putih mengepul
tiada hentinya.
Asap putih itu bergerak mengitari pipa kristal
bulat, berkumpul menjadi satu sebelum akhirnya
membeku lagi dan berubah jadi air, setetes demi
setetes mengalir masuk ke botol berbentuk bola
lainnya. Apa kegunaan botol-botol bulat itu" Dan apa
gunanya" Yap Kay sama sekali tak paham.
Terpaksa dia mengalihkan sorot matanya ke
arah lain, di situ ia saksikan ada empat buah
lemari berisikan botol-botol berisi cairan merah
seperti darah, di atas lemari itu masing-masing
tertempel label dengan tulisan, "Jenis kesatu",
"Jenis kedua", "Jenis ketiga" dan "Jenis keempat".
Selesai memperhatikan benda-benda aneh
yang terdapat dalam ruangan itu, Yap Kay baru
menyadari tempat itu sangat bersih, teratur
bahkan terkesan dingin, sepi dan berbau obatobatan.
Ruangan apakah itu" Mengapa di situ tersimpan
begitu banyak benda berbentuk aneh" Apa
kegunaan benda-benda aneh itu"
Pertanyaan itu berulang kali melintas dalam
benak Yap Kay yang baru tersadar kembali.
Sementara dia masih bingung, mendadak
terdengar suara mencicit berkumandang datang.
Cepat dia berpaling, suara itu berasal dari balik
dinding. Tiba-tiba terbuka sebuah pintu, lalu dia pun
menyaksikan seorang... bukan, bukan manusia
tapi seekor monyet berjalan mendekat.
Bukan, ternyata bukan monyet, tapi seorang.
Seorang! Makhluk aneh berkepala manusia
bertubuh monyet.
Yap Kay terperangah, walau tempo hari dia
pernah menyaksikan makhluk berkepala manusia
bertubuh monyet, tapi makhluk di depannya kini
bukanlah monyet yang kepalanya dicukur gundul.
Benarkah di kolong langit terdapat makhluk
seperti ini" Lalu dia termasuk jenis manusia" Atau
jenis monyet"
Ia saksikan manusia itu berjalan masuk ke
dalam ruangan, lalu memasukkan sebuah tabung
darah ke dalam lemari yang berlabel "Jenis
kesatu". Yap Kay tak kuasa menahan rasa herannya, ia
segera menegur, "Kau... manusiakah kau" Atau
... atau monyet?"
"Manusia" Monyet?" makhluk aneh itu
menjawab, "manusiakah aku?"
Yap Kay dapat menangkap perasaan pedih
yang menghiasi wajah makhluk itu.
"Adakah manusia seperti aku di dunia ini?" dia
menatap Yap Kay sambil berkata sedih, "adakah
monyet seperti aku di dunia ini" Aku manusia
atau monyet?"
Yap Kay tak sanggup menjawab lagi, dia
memang tak tahu apa yang telah terjadi, dia pun
tak tahu dia sebenarnya masih terhitung manusia
atau monyet"
Dari balik kepedihan yang terpancar pada
wajah makhluk itu tiba-tiba muncul sinar
kebencian yang luar biasa, dengan sorot penuh
kebencian dan kepuasan itulah dia menatap
wajah Yap Kay. "Sebentar lagi kau pun akan merasakan
penderitaan seperti aku, " di balik nada suaranya
terselip sindiran dan ejekan yang sadis dan
kejam, "tak sampai beberapa hari lagi, kau pun
akan berubah seperti bentukku."
"Berubah seperti bentukmu?" Yap Kay tertawa,
"memang ada manusia sakti yang pandai ilmu
sihir, asal dia menudingkan jari tangan lalu aku
pun berubah bentuk seperti kau?"
"Dia memang tak punya ilmu sihir, tapi
memiliki sepasang tangan yang trampil, tangan
yang sakti luar biasa," kata makhluk itu, "dalam
ruang bedah inilah dengan sepasang tangan
saktinya dia akan mengubah kau menjadi bentuk
aneh seperti aku, cukup dalam tiga hari."
Sepasang tangan yang trampil" Dalam ruang
bedah" Tak sampai tiga hari" Benarkah ia mampu
membentuk seseorang menjadi makhluk
berkepala manusia bertubuh monyet" Tapi...
mana mungkin" Tidak masuk akal.
Yap Kay tak percaya, sampai makhluk itu
berlalu cukup lama Yap Kay masih belum percaya
dengam apa yang dikatakannya.
Kalau memang tak percaya, lebih baik tak usah
dipikir, maka Yap Kay pun segera memejamkan
mata sambil mengatur napas, "Biarlah apa yang
akan terjadi, terjadilah."
Saat itulah mendadak ia teringat akan satu
kejadian. Di negeri sebelah barat yang letaknya nun jauh
di sana, konon terdapat sejumlah orang pandai
yang mampu menggunakan ilmu pertabiban
tingkat tinggi untuk mengganti organ tubuh yang
rusak atau busuk dengan organ baru, organ yang
dicangkokkan kembali.
Organ tubuh yang diganti itu berasal dari tubuh
orang lain, organ orang lain itu dicangkokkan ke
bagian tubuh yang sudah rusak itu.
Ilmu pertabiban tingkat tinggi" Benarkah
makhluk berkepala manusia bertubuh monyet ini
merupakan pencangkokan organ tubuh dengan
ilmu pertabiban tingkat tinggi" Apakah tabib sakti
semacam itu sudah memasuki wilayah daratan"
Langit mulai terang tanah.
Kegelapan malam yang sepi telah lenyap di
balik fajar yang mulai menyingsing di kota Lhasa.
Jalan raya mulai hiruk-pikuk dengan suara
orang berlalu-lalang, kehidupan baru kembali
mulai berlangsung.
Selesai mengenakan pakaian, Pho Ang-soat
berjalan keluar dari penginapan Sau-lay dan
membaurkan diri dengan keramaian manusia, ia
mulai berjalan menuju ke masa depan yang tak
diketahui ujungnya.
"Apakah besok kau akan mulai dengan
penyelidikanmu?"
"Benar."
"Apakah akan dimulai dari posisi dimana Yap
Kay hilang?" "Tidak!"
"Tidak" Kenapa" Yap Kay lenyap di tempat itu,
seharusnya kau mulai melakukan penyelidikan
dari tempat itu."
"Orang yang mampu membuat Yap Kay lenyap
pasti bukan orang sembarangan, tak mungkin dia
akan meninggalkan jejak di tempat dimana Yap
Kay hilang agar kita mendapat petunjuk untuk
menelusuri jejaknya."
"Jadi pergi ke sana pun pasti akan sia-sia?"
"Benar."
"Lalu kita harus mulai menyelidiki darimana"
Apakah dari kebun monyet?"
"Benar."
"Baiklah, kalau begitu besok pagi aku akan
mengajakmu ke sana." "Tidak perlu."
"Tidak perlu" Masa kau akan ke sana seorang
diri?" "Betul."
"Kenapa?"
"Karena aku tak suka bekerja bersama seorang
wanita." Inilah pembicaraan So Ming-ming dan Pho Angsoat
menjelang pergi dari situ, akhirnya tentu
saja So Ming-ming harus pergi meski dengan
perasaan tak rela.
Kebun monyet. Ternyata pintu gerbang menuju kebun monyet
berada dalam keadaan terbuka, di bawah cahaya
matahari tampak seperti seorang tuan rumah
yang penuh kehangatan sedang mementang
tangan menyambut kedatangan para tetamu.
Apakah mereka sudah tahu kalau hari ini bakal
ada yang datang" Apakah mereka sengaja
membuka lebar pintunya untuk menunggu
kedatangan Pho Ang-soat"
Pertanyaan semacam ini sama sekali tak
terpikir dan tak mau dipikir Pho Ang-soat, dengan
langkah lebar dia langsung memasuki pintu
gerbang kebun monyet.
Halaman depan yang amat luas terdapat
jembatan dengan selokan berair jernih, ada
gunung-gunungan dan gardu, ada aneka bunga
dan rumput, ada pula aneka jenis binatang yang
terbuat dari tanah liat, hanya manusia yang tak
terlihat. Tak ada manusia, tak ada suara, semuanya
terkesan hening, sepi dan mati.
Setelah menyeberangi jembatan, di antara
aneka macam tumbuhan berdiri sebuah gardu
segi enam, jalan setapak berlapiskan batu hijau
yang tersusun rapi.
Sejak melangkah naik ke atas jembatan, Pho
Ang-soat sudah tahu dalam halaman yang luas itu
sama sekali tak ada penghuninya, tapi dalam
gardu segi enam, gardu yang dikelilingi
pepohonan terlihat seorang sedang duduk di sana
Kilas Balik Merah Salju Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sambil mengisap Huncwe.
Seorang kakek kecil duduk sambil menikmati
Huncwenya, cahaya api terlihat sebentar menyala
sebentar padam.
Pho Ang-soat lihat cahaya api yang sebentar
terlihat sebentar padam itu mengikuti semacam
irama yang aneh, terkadang cahayanya panjang
terkadang pendek.
Sejenak kemudian cahaya api itu pun terang
benderang bagaikan sebuah lampion.
Belum pernah Pho Ang-soat menyaksikan ada
orang yang dapat mengisap Huncwe dengan
memancarkan bunga api seterang itu.
Setelah melewati jembatan, menapak di atas
jalan beralas batu dan mendekati gardu,
mendadak cahaya api yang semula muncul di
tempat itu lenyap. Seketika Pho Ang-soat
menghentikan langkah.
Dia berdiri tegak di atas jalan berbatu,
mengawasi kakek yang berada dalam gardu segi
enam tanpa berkutik, baru sekarang ia dapat
melihat jelas wajah si kakek pengisap Huncwe itu,
ternyata dia bukan lain adalah Tui hong siu,
kakek yang pernah berniat membunuhnya waktu
di Ban be tong kemarin.
Setelah memperhatikan lama sekali, Pho Angsoat
mengayun kaki kirinya diikuti kaki kanan,
berjalan masuk ke dalam gardu segi enam dan
berdiri tenang tepat di hadapan Tui hong siu.
Hari ini Tui hong siu mengenakan jubah
berwarna hijau yang warnanya sudah mulai
luntur, dia sedang duduk dalam gardu sambil
menunduk kepala, asyik mengisi Huncwe dengan
tembakau, sikapnya yang begitu acuh seakan
tidak tahu ada orang sedang mendekat.
Pho Ang-soat sendiri tidak bicara, ia berdiri
sambil menunduk, seluruh wajahnya nyaris
tersembunyi di balik bayangan gelap dalam gardu
segi enam, seakan tak ingin orang mengetahui
mimik mukanya. Walau begitu matanya mengawasi tangan Tui
hong siu tanpa berkedip.
Dia sedang mengawasi setiap gerak-gerik si
orang tua, mengawasi dengan teliti.
Dari kantung tembakaunya, Tui hong siu
mengeluarkan segumpal rajangan daun,
kemudian mengambil pematik dan membakar
daun tembakau itu.
Semua gerak dilakukan sangat lamban,
tangannya terlihat mantap dan kokoh.
Setelah pematik api digunakan, ia
meletakkannya di atas meja, lalu mengeluarkan
kertas dan meletakkannya juga di meja.
Baru sekarang Pho Ang-soat maju mendekat,
begitu tiba di tepi meja, dia langsung mengambil
kertas itu. Kertas itu amat tipis, garis lipatannya pun
nampak rapat dan rapi, agaknya terbuat dari
kualitas yang baik.
Dengan menggunakan kedua jari tangannya dia
menjepit kertas itu, setelah diperhatikan sekejap,
ia membawa kertas tadi mendekati pematik api.
"Tring!", percikan bunga api memancar ke
empat penjuru, tahu-tahu kertas itu sudah
terbakar. Perlahan Pho Ang-soat menyodorkan kertas
yang sudah terbakar itu ke kepala Huncwe yang
berada di tangan orang tua itu ....
Setelah melewati halaman depan, melewati
pintu berbentuk bulat dan tanaman aneka bunga,
di ujung jalan terlihat rumah yang sangat besar,
di samping bangunan terdapat sebuah bangunan
loteng kecil. Dalam ruang loteng kecil itu terlihat seorang
kakek tua dan gadis muda.
Yang tua adalah pemilik kebun monyet, Onglosiansing,
sedang gadis muda itu adalah Kim-hi.
Bangunan loteng itu dibangun menggunakan
kayu pohon Siong yang kering dan kuat, bukan
saja tidak dicat bahkan hanya terdapat sebuah
jendela yang sangat kecil.
Kim-hi duduk di sebuah bangku dalam
bangunan loteng itu, dia sedang mengawasi Onglosiansing.
Gadis itu sedang keheranan, selama ini dia
selalu menganggap diri sendiri sebagai gadis yang
paling cerdas, jarang ada masalah di dunia yang
tidak dipahami olehnya, tapi kini dia benar-benar
tak mengerti apa yang sedang dilakukan Onglosiansing"
Waktu itu Ong-losiansing sedang berdiri di
depan satu-satunya jendela kecil di loteng itu,
tangannya menggenggam sebuah tabung bulat
panjang. Tabung bulat itu panjangnya sekitar dua kaki
dengan diameter secawan arak lebih sedikit.
Kini Ong-losiansing berdiri di depan jendela,
memejamkan mata kiri dan menempelkan tabung
bulat panjang itu di atas mata kanannya,
sementara tabung bulat itu diarahkan keluar
jendela. Dalam posisi seperti itulah dia berdiri cukup
lama, berdiri dalam gaya dan sikap yang tidak
berubah. Ia tidak pernah memperlihatkan
perubahan emosi, kecuali menampilkan
keramahan, ia memang jarang membuat orang
lain tahu apa yang sedang dipikirnya.
Tetapi kini mimik mukanya menampilkan
banyak perubahan, bermacam emosi, seakanakan
dari balik tabung bulat panjang itulah dia
dapat menyaksikan begitu banyak kejadian yang
menarik hati. Persis seorang bocah yang sedang bermain
tabung ajaib. Ong-losiansing sudah tidak terhitung anak-anak
lagi, tabung bulat panjang pun bukan tabung
ajaib. Tapi Kim-hi benar-benar tak bisa menebak apa
yang sedang dilihatnya, dia pun tak tahu apa
yang sedang dia pikirkan"
Tiba-tiba Ong-losiansing berpaling, sambil
tertawa ia sodorkan tabung panjang itu ke
tangannya. "Kemarilah, coba kau ikut melihat."
"Melihat apa" Melihat tabung panjang itu?"
"Benar," jawab Ong-losiansing sambil tertawa,
"kujamin kau pasti dapat melihat banyak kejadian
yang menarik."
Tabung bulat panjang itu terbuat dari emas,
dibuat sangat indah dan artistik, sekilas pandang
orang tahu benda itu tak ternilai harganya, tapi
apa kegunaannya"
Ong-losiansing segera mengajarkan Kim-hi cara
memegang dan memakainya, kemudian minta dia
berdiri di depan jendela, memejamkan mata kiri
dan melihat dengan mata kanan.
"Aku tahu kau adalah amat cerdas," ujar Onglosiansing
sambil tersenyum, "tapi kujamin kau
pasti tak akan menyangka kejadian apa yang bisa
kau saksikan melalui tabung bulat ini."
Kim-hi memang sama sekali tak menyangka.
Mimpi pun dia tak menyangka kalau dari
tabung bulat itu dia dapat menyaksikan dua
orang. Ia melihat seorang kakek tua dan seorang
pemuda. Tentu saja dia kenal orang tua itu, Tui hong siu,
tapi belum pernah menyaksikan pemuda itu.
Seorang pemuda berwajah dingin kaku,
memiliki sepasang mata yang jeli namun terbias
perasaan tak berdaya dan pilu yang sangat
mendalam. Bagian tengah tabung itu kosong, sedang pada
kedua ujungnya terpasang sejenis benda tembus
pandang yang bening seperti batu kristal.
Kim-hi mengambil tabung itu, menempelkan
ujung sebelah ke mata kanannya, lalu diarahkan
keluar jendela, dengan cepat ia melihat seakan
ada dua orang muncul di hadapannya.
Saking kagetnya hampir saja Kim-hi melepas
tabung bulat itu dari tangannya.
"Benda apa ini?" serunya keheranan.
"Aku sendiri pun tidak tahu," sahut Onglosiansing,
"benda ini datang dari sebuah negeri
yang teramat jauh, hingga detik ini aku belum
tahu apa namanya."
"Oh...."
"Dari dulu hingga sekarang, belum pernah
benda ini masuk ke daratan Tionggoan, sampai
detik ini, kecuali aku, mungkin hanya kau seorang
yang pernah melihatnya."
"Oya?"
"Tapi mulai sekarang aku telah menemukan
sebuah nama untuk benda ini," ucap Onglosiansing
sambil tersenyum bangga, "karena
baru saja kuberikan nama untuk benda ini."
"Sebetulnya benda itu akan kuberi nama
kacamata seribu li, tapi nama itu kelewat umum
lagi pula kedengarannya seperti barang mestika
dalam dongeng."
Bicara sampai di situ dia menuding benda bulat
yang berada di tangan Kim-hi itu, kemudian
katanya lagi, "Padahal benda ini bukan barang
mestika seperti dalam dongeng, benda itu nyata
dan kemampuan yang dimiliki adalah bisa melihat
jauh, oleh karena itu secara resmi kuberi nama
benda itu sebagai cermin untuk melihat jauh."
"Cermin untuk melihat jauh" Ehm, sebuah
nama yang bagus."
"Benda bagus tentu saja harus memiliki nama
bagus," ucap Ong-losiansing sambil tertawa, "biar
nama yang bagus ini bisa terwarisi hingga akhir
zaman." Padahal jarak antara bangunan loteng itu
dengan gardu segi enam cukup jauh, tapi dengan
cermin penglihat jauh itu Kim-hi bisa melihat
semua gerak-gerik mereka dengan sangat jelas.
"Dari dua orang yang terlihat dalam cermin ini,
aku kenal si tua itu adalah Tui hong siu, tapi siapa
pula yang muda itu?" tanya Kim-hi.
"Dia bernama Pho Ang-soat!"
"Pho Ang-soat?"
Meskipun Kim-hi belum pernah bertemu Pho
Ang-soat, tapi nama itu pernah didengarnya dari
percakapan antara Yap Kay dan So Ming-ming.
Dia pun mengetahui manusia macam apa Pho
Ang-soat itu, yang membuatnya tidak habis pikir
adalah mau apa ia mendatangi kebun monyet
secara tiba-tiba"
Terdorong rasa ingin tahu yang besar, tak
tahan Kim-hi bertanya, "Mau apa dia datang
kemari?" "Demi Yap Kay!"
"Darimana dia bisa tahu Yap Kay telah lenyap?"
"Tentu saja karena diberitahu oleh sahabat
karibmu, So Ming-ming."
"Sekalipun dia tahu Yap Kay telah hilang,
darimana bisa tahu orang itu ada di kebun
monyet?" "Aku tak tahu, tapi Pho Ang-soat pasti dapat
menduga sahabatnya berada di sini."
Kim-hi masih mengintip melalui tabung panjang
itu, mengawasi gerak-gerik Pho Ang-soat dan Tui
hong siu. "Sedang apa mereka berdua dalam gardu sudut
enam?" "Sedang bertempur."
"Bertempur" Aku tidak melihat pertarungan
apa-apa, bukankah yang satu sedang menyulut
Huncwe, sementara yang lain mengisap
Huncwe?" "Dalam pandanganmu mereka memang seakan
sedang menyulut dan mengisap Huncwe," kata
Ong-losiansing sambil tertawa, "padahal mereka
sedang melangsungkan sebuah pertempuran yang
amat seru."
"Oya?"
"Coba kau perhatikan, panjang Huncwe dua
kaki, sementara jarak tangan Tui hong siu dari
tubuh Pho Ang-soat pun hanya dua kaki, asal
tangan Pho Ang-soat yang sedang menyulut
Huncwe sedikit gemetar atau konsentrasinya
buyar, maka Tui hong siu segera akan
melancarkan serangan mematikan."
Sesudah berhenti sejenak, kembali Onglosiansing
melanjutkan, "Asalkan dia mulai turun
tangan, setiap waktu serangan itu bisa diarahkan
ke jalan darah mana pun di tubuh Pho Ang-soat."
"Lantas kenapa hingga sekarang belum
melancarkan serangan?"
"Hingga sekarang ia belum turun tangan karena
sedang menanti kesempatan terbaik, hanya saja
kulihat Pho Ang-soat tak bakal memberi
Kilas Balik Merah Salju Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kesempatan itu kepadanya."
Bab 2. IKAN MAS DI LOTENG KECIL
Tui hong siu masih mengisap Huncwenya.
Entah tembakaunya terlalu basah atau
lubang Huncwe sudah tersumbat kelewat
kencang, sudah cukup lama belum juga menyala.
Kertas penyulutnya nyaris sudah habis digunakan.
Cara Tui hong siu mengisap pipa memang
sangat aneh, dia menggunakan ibu jari, jari
telunjuk dan jari tengah tangan kiri untuk
memegang kepala Huncwe, sementara jari manis
dan kelingking sedikit terangkat ke atas.
Sementara Pho Ang-soat menggunakan ibu jari
dan jari telunjuk untuk memegang kertas
penyulut, sedang ketiga buah jari lainnya ditekuk
ke dalam. Jari manis dan kelingking Tui hong siu hanya
berjarak tak sampai tujuh inci dari urat penting di
pergelangan tangan Pho Ang-soat.
Tubuh mereka berdua sama sekali tak
bergerak, kepala pun tidak terangkat, hanya
kertas penyulut itu saja yang berkedip
memancarkan cahaya.
Ketika kertas penyulut membakar tangan Pho
Ang-soat, ternyata pemuda itu tetap tak
bergerak, seakan sama sekali tidak merasakan
nya. Pada saat itulah... "Wes!", akhirnya daun
tembakau di ujung Huncwe terbakar dan
menyala. Jari manis dan kelingking Tui hong siu kelihatan
sedikit bergerak, ketiga jari tangan Pho Ang-soat
yang ditekuk pun nampak bergerak, apa yang
terjadi dengan kedua orang itu berlangsung amat
cepat, amat lembut, bahkan begitu bergerak pun
langsung berhenti.
Akhirnya terlihat Pho Ang-soat terdesak
mundur satu langkah, Tui hong siu pun mulai
mengisap Huncwenya, sejak awal hingga akhir
kedua orang itu sama-sama menundukkan
kepala, siapa pun tak pernah mengawasi
lawannya barang sekejap pun.
"Kelihatannya pertarungan mereka telah
berakhir?" tanya Kim-hi kepada Ong-losiansing,
"dan aku lihat tak ada yang menang tak ada yang
kalah dalam pertarungan barusan. Tapi aku yakin
pasti ada satu pihak yang lebih unggul."
"Betul."
"Siapa yang berada di pihak pemenang?"
"Tui hong siu selalu menanti datangnya
kesempatan, namun Pho Ang-soat sama sekali
tidak memberi kesempatan kepadanya, namun
pada akhirnya dia tak sanggup menahan diri, jari
manis dan kelingking digerakkan melakukan
penjajakan, jangan dilihat hanya menggerakkan
jari tangan begitu enteng, padahal di balik
gerakan enteng itu sebenarnya tersimpan
perubahan jurus yang hebat dan menakutkan,"
Ong-losiansing menerangkan, "ketiga jari tangan
Pho Ang-soat yang ditekuk itu segera memberi
reaksi yang luar biasa, setiap perubahan yang
terjadi seketika terbendung mati lagi."
Kim-hi tidak memberi komentar, dia hanya
mendengarkan dengan seksama.
"Walaupun mereka berdua hanya sedikit
menggerakkan jari, namun sudah mencakup
beribu perubahan dan ancaman, pertarungan
berlangsung amat sengit, bahkan mengancam
mati hidup mereka," kata Ong-losiansing lebih
lanjut, "biar hanya gerakan jari, namun ancaman
bahaya dan kesengitan pertarungan tak kalah
hebat dengan pertarungan orang lain yang
menggunakan golok maupun pedang."
"Kalau begitu Pho Ang-soat yang keluar sebagai
pemenang?"
"Benar."
Begitu Huncwe tersulut, Pho Ang-soat segera
mundur kembali dan balik ke posisi semula.
Tui hong siu perlahan-lahan mengisap
Huncwenya, kemudian baru mendongakkan
kepala, seolah baru sekarang dia melihat
kehadiran Pho Ang-soat.
"Oh, rupanya kau sudah datang?" sapanya
sambil tersenyum.
"Benar."
"Kedatanganmu sedikit terlambat."
"Lebih baik terlambat daripada sama sekali tak
datang." "Aku justru berharap kau tidak kemari."
"Tapi kenyataan aku telah datang."
"Betul, akhirnya kau datang juga, kalau begitu
silakan," kata Tui hong siu, "silakan masuk ke
gedung utama."
Dari teropong itu Kim-hi dapat mengikuti
semua perkembangan itu dengan jelas, bahkan
bibirnya bergerak seakan mengucapkan sesuatu.
Melihat perbuatannya itu Ong-losiansing
tertawa, tanyanya, "Aku tahu, kau masih memiliki
semacam ilmu yang jarang dimiliki orang lain."
"Soal apa?"
"Membaca bahasa bibir."
"Membaca bahasa bibir"'
"Betul, asal kau dapat melihat gerakan bibir
seseorang sewaktu sedang berbicara, maka
segera akan kau tahu masalah apa yang sedang
mereka bicarakan."
"Kelihatannya kau sangat memahami tentang
aku, banyak hal tentang diriku yang telah kau
ketahui." Sewaktu mengucapkan perkataan itu, Kim-hi
sama sekali tidak menampilkan perasaan tak suka
hati, malah sambil tertawa katanya lebih jauh,
"Tentu saja kau banyak tahu tentang aku,
kalau tidak, mana mungkin kau menahan diriku?"
Ong-losiansing tertawa tergelak.
"Saat ini siapa yang sedang berbicara?"
tanyanya. "Pho Ang-soat, dia bilang lebih baik datang
terlambat daripada sama sekali tak datang."
Mendengar itu Ong-losiansing segera
tersenyum. "Sekarang Tui hong siu yang berkata, aku
justru berharap kau jangan kemari," kata Kim-hi
sambil melihat dengan teropong, "kemudian Pho
Ang-soat pun menjawab, tapi kenyataannya aku
telah datang."
Kembali Ong-losiansing manggut-manggut
sambil tersenyum.
Terlihat Kim-hi menggerakkan bibir berkomatkamit,
kemudian berkata lagi, "Kalau memang
sudah datang, silakan masuk ke gedung utama."
Bicara sampai di sini, gadis itu baru
menurunkan teropongnya sambil memperlihatkan
wajah sangsi. "Kenapa kau?" tanya Ong-losiansing.
"Gedung utama" Kenapa dia mengundang Pho
Ang-soat masuk ke gedung utama?"
"Kalau ada tamu datang, tentu saja harus
dilayani secara baik di gedung utama," sahut
Ong-losiansing sambil tertawa, "masa akan kau
undang masuk ke dalam kamar tidurmu?"
Atas kata gurauan itu, bukan saja Kim-hi tidak
tertawa, dia malah menghela napas panjang.
"Aku bukan bocah tiga tahun, buat apa kau
meledek aku?"
Lalu setelah menatapnya tajam, ujarnya lebih
jauh, "Pho Ang-soat dari Ban be tong langsung
datang kemari, hal ini menunjukkan dia sudah
menaruh curiga terhadap kebun monyet, siapa
tahu dia pun memegang beberapa petunjuk yang
pasti. Dalam kondisi dan situasi seperti ini masa
kau masih tetap santai dan bergurau, sama sekali
tak terlihat kaget atau panik. Apakah sudah kau
persiapkan cara jitu untuk menghadapinya?"
Dengan perasaan bangga Ong-losiansing
manggut-manggut.
"Aku hanya tak habis mengerti, mengapa
bukannya kau giring dia memasuki ruang rahasia
milikmu yang penuh dengan jebakan maut,
sebaliknya malah mengundangnya ke gedung
utama?" Sesudah menatap Ong-losiansing, desaknya,
"Kenapa begitu?"
Ong-losiansing tidak langsung mengemukakan
alasannya, mula-mula dia hanya tertawa,
kemudian berjalan mendekati meja, mengambil
cawan dan menuang arak, setelah dihirup seteguk
dan membiarkan arak mengalir ke dalam perut,
baru ia menjawab.
"Ada tiga hal pasti tidak kau ketahui," ujarnya
sambil tertawa, "pertama, Pho Ang-soat bisa
menemukan tempat ini karena memang akulah
yang memberi petunjuk agar dia sampai di sini,
coba kalau bukan begitu, sampai mati pun dia tak
bakal mencurigai kebun monyet. Kedua, ruang
jebakan rahasia untuk membunuh orang itu
khusus kurancang untuk menghadapi orang lain,
bila untuk orang lain mungkin bakal sangat
manjur, tapi untuk menghadapi Pho Ang-soat . . .
aku jamin sama sekali tak ada gunanya."
"Kenapa?"
"Karena dia adalah hasil didikan Pek-hong
Kongcu dari Mokau, Hoa Pek-hong," Onglosiansing
menjelaskan, "Soal alat jebakan, racun,
senjata rahasia dan berbagai ilmu sesat lainnya,
kujamin tak seorang pun di dunia persilatan yang
sanggup mengungguli kemampuan Mokau."
"Lalu siapa yang akan melayaninya di gedung
utama?" tanya Kim-hi kemudian.
"Kau!" sahut Ong-losiansing sambil menunjuk
gadis itu. "Aku?" Kim-hi melengak, "aku yang harus
melayaninya?"
"Benar."
Begitu melangkah masuk ke gedung utama,
benda pertama yang terlihat Pho Ang-soat adalah
sebuah lukisan.
Lukisan itu berukuran luar biasa besar,
digantung membujur di atas dinding seberang.
Walau lukisan itu besar sekali, namun
pemandangan yang tertera justru amat
sederhana, hanya gambar seorang wanita sedang
duduk di sebuah kursi, sementara tangannya
menggendong seorang bayi yang sedang
menyusu. Sang bayi adalah lelaki, sementara sang wanita
tak lain adalah lukisan Hong-ling.
Hong-ling yang berada dalam lukisan itu
secantik orangnya, sedang bayi dalam
bopongannya adalah seorang bocah berbaju
warna-warni, memakai topi merah, putih, gemuk,
menarik dan berusia sekitar dua-tiga bulan.
Meski masih kecil, tapi memiliki mata yang
besar, mata besar yang kelihatan dingin dan
kesepian. Apakah bayi dalam bopongan Hong-ling adalah
darah dagingnya, putra kandungnya"
Mustahil, hal semacam ini jelas mustahil, tak
masuk akal. Sejak melakukan hubungan badan dengan
Hong-ling hingga hari ini paling baru lewat
sepuluh hari, bagaimana mungkin dia sudah
melahirkan anak"
Jelas lukisan itu membawa arti lain,
mengingatkan Pho Ang-soat bahwa Hong-ling
masih berada di tangannya, berarti di kemudian
hari pun anak mereka akan terjatuh pula di
tangannya. Sehabis memandang lukisan itu, paras muka
Pho Ang-soat sama sekali tidak menunjukkan
perubahan apa pun, sebab di hati kecilnya dia
begitu berharap bisa membopong bocah dalam
lukisan itu. Saat ini, dalam kondisi seperti ini, dia harus
mampu menahan diri, bahkan hati dan pikiran
harus tetap terjaga tenang dan dingin.
Dia tak tahu siapakah pemilik lukisan yang
sebenarnya, manusia macam apakah dia dan ada
ancaman bahaya apa saja di tempat ini"
Semua ini dibutuhkan ketenangan, sikap dingin
dan emosi yang stabil untuk menghadapinya.
Tentu saja dalam gedung seluas itu tidak hanya
tergantung lukisan itu saja, terlihat aneka macam
senjata tergantung pula di sana.
Tapi jenis senjata terbanyak yang ada di situ
adalah dari jenis golok.
Ada golok tunggal, golok ganda, Yan ling-to,
Kui thau to, golok algojo, golok pendeta, golok
bergelang sembilan... bahkan ada pula sebilah
golok raja langit pemenggal setan yang panjang.
Kilas Balik Merah Salju Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Yang paling menggetarkan hati Pho Ang-soat
adalah sebilah golok berwarna hitam yang
tergantung di dinding tengah.
Golok berwarna hitam pekat, hitam pembawa
kematian. Persis bentuknya dengan golok yang
berada dalam genggamannya sekarang.
Biarpun terdapat begitu banyak senjata yang
digantung sepanjang dinding ruangan, ternyata
tidak membuat dinding gedung itu dipenuhi
senjata, dari sini bisa diketahui betapa luasnya
bangunan itu. Permukaan lantai gedung pun dilapisi berbagai
jenis karpet Persia yang indah dan menawan,
membuat suasana di tempat itu terasa begitu
hangat dan nyaman.
Hampir semua benda yang terdapat di sana
merupakan benda pilihan, selama hidup baru
pertama kali ini Pho Ang-soat menyaksikan
tempat yang begitu indah dan mewah.
Selain lukisan, senjata dan perabot rumah
tangga, dalam gedung itu tak nampak seseorang
pun, suasana begitu sepi, tenang, bahkan terselip
juga hawa dingin yang menyengat.
Sehabis memeriksa keadaan sekeliling tempat
itu, Pho Ang-soat berdiri tak bergerak, matanya
mengawasi lukisan di dinding, tapi seperti juga
menembusi dinding itu dan sedang memandang
suatu tempat di kejauhan sana.
Entah berapa lama sudah lewat, dari balik
keheningan yang mencekam, tiba-tiba terdengar
semacam suara yang sangat aneh.
Suara-itu berasal dari luar gedung, nada
tunggal, pendek terputus-putus, tinggi
melengking dan menyeramkan, suara demi suara
bersahut-sahutan dan bergema tiada hentinya.
Biarpun aneka senjata yang tergantung
di dinding memantulkan cahaya tajam, Pho
Ang-soat sama sekali tidak memandangnya
lagi, sebelum keadaan dan situasi
menjadi jelas, dia tak ingin
konsentrasinya terpecah karena urusan lain.
Tapi sekarang ia tak sanggup memusatkan
pikirannya lagi, suara lengkingan pendek yang
bersahut-sahutan masih saja bergema, suara itu
bagaikan sebuah gurdi yang tiada hentinya
mengebor urat syarat dan otaknya.
Sekalipun begitu, penampilannya masih tetap
tenang, Pho Ang-soat masih berdiri tak bergerak,
seakan-akan sama sekali tak terpengaruh oleh
suara gangguan itu.
Entah berapa lama sudah lewat, tiba-tiba di
balik suara lengkingan tajam yang terputus-putus
kembali muncul suara lain.
Suara orang sedang membuka pintu, suara
gelang pintu yang sedang bergerak.
Dengan cepat sinar mata Pho Ang-soat
menangkap ada seorang nona berbaju kuning
yang amat cantik muncul dari sebuah pintu yang
terbuka di sisi kiri, muncul dan berdiri
menatapnya di depan pintu.
Gadis berbaju kuning itu sekilas mirip Hongling,
tapi dia bukan Hong-ling, usianya jauh lebih
muda. Kecantikan nona itu jauh berbeda dengan
kecantikan Hong-ling, kecantikan Hong-ling
menunjukkan kematangan dan kedewasaan,
kecantikan gadis ini masih suci bersih dan polos,
gaun berwarna kuning yang panjang dan
bergoyang terhembus angin, sekilas tampak
seperti ekor ikan mas yang sedang bergoyang di
dalam air. Setelah masuk ke dalam ruangan, dengan
lembut ia merapatkan pintu, lalu berjalan lewat di
samping Pho Ang-soat, menuju ke tengah
ruangan, setelah itu baru ia membalikkan badan
menghadap ke arah pemuda itu.
"Aku tahu kau adalah Pho Ang-soat," ternyata
suaranya semerdu dan semurni orangnya,
"tentunya kau tak tahu siapa aku bukan?"
Tentu saja Pho Ang-soat tidak mengetahui
siapakah dia, tapi ia tak berminat untuk banyak
tanya, si nona terpaksa memperkenalkan diri.
"Aku dari marga Kim, boleh dibilang masih
terhitung tuan rumah perempuan tempat ini, jadi
kau boleh memanggilku Kim-hujin."
Perkataannya langsung dan polos, jelas bukan
gaya seorang gadis yang suka bermanja-manja.
"Bila kau menganggap panggilan ini kelewat
resmi, boleh saja memanggilku sebagai Kim-hi."
Ternyata gadis bergaun kuning itu tak lain
adalah Kim-hi, si nona yang barusan mengintip
Pho Ang-soat dari atas loteng dengan teropong.
"Ikan mas adalah julukanku," ujar Kimhi
sambil tersenyum, "teman-temanku suka
memanggil aku dengan nama itu."
"Kim-hujin!" sapa Pho Ang-soat dingin.
Dia bukan teman gadis itu, dia memang
selamanya tak punya teman. Tentu saja Kim-hi
mengerti maksudnya, maka dia pun
tertawa gembira.
"Tak heran semua orang menyebutmu manusia
aneh, ternyata kau memang aneh sekali," kata
Kim-hi sambil tertawa, "hampir semua orang
yang pernah datang kemari pasti tertarik pada
koleksi senjata tajam yang terkumpul di sini, tapi
kau, jangankan tertarik, melirik sekejap pun
rasanya tidak."
Koleksi senjata tajam dalam ruangan itu
memang rata-rata senjata mestika, tidak mudah
untuk mengkoleksi begitu banyak senjata seperti
ini, bahkan bisa menonton pun amat susah.
Biasanya jarang ada orang persilatan yang
menyia-nyiakan kesempatan ini.
Tapi Pho Ang-soat seolah tak menggubris,
seakan semua benda mestika itu tak cukup
pantas untuk dilihat.
Kim-hi berjalan mendekati dinding, mengambil
sebilah pedang besi yang antik bentuknya,
berwarna hitam dan amat berat, tanyanya,
"Tahukah kau pedang ini biasanya digunakan
siapa?" Pho Ang-soat hanya memandang sekejap, lalu
jawabnya, "Pedang milik Kwik Siong-yang."
"Sungguh tajam pandanganmu," puji Kim-hi
sambil memainkan pedang itu, "meski senjata ini
hanya senjata tiruan, namun bentuk, bobot,
ukuran bahkan bahan yang digunakan sama
dengan pedang yang digunakan Kwik Siong-yang
tempo hari."
Pedang tiruan" Bentuknya sama seperti senjata
aslinya" Kalau senjata pun dapat dibuat
tiruannya, bagaimana dengan manusianya"
"Bahkan kuncir pedang ini pun dirajut sendiri
oleh nenek keluarga Kwik," kembali Kim-hi
menerangkan, "kecuali pedang besi warisan
keluarga mereka, rasanya sulit menemukan
keduanya di kolong langit."
Setelah menggantung kembali pedang itu, dia
mengambil cambuk panjang yang berwarna hitam
dan lentur bagaikan ular berbisa.
"Cambuk ini senjata Sebun Ji," Pho Ang-soat
berkata, "cambuk ular sakti ini berada pada
urutan ketujuh dalam kitab senjata tajam."
"Kalau kau bisa mengenali cambuk ular ini,
tentu dapat mengenali juga tongkat baja Cukat
Kong bukan?"
Sambil meletakkan cambuk panjang, kembali
dia mengambil sebuah martil berantai dari
samping tongkat baja.
"Hong yu siang liu sing (sepasang meteor,
hujan dan angin), pada urutan ketiga puluh
empat dalam kitab senjata," kata Pho Ang-soat
lagi. "Sungguh hebat ketajaman matamu."
Suaranya dipenuhi pujian. Kali ini Kim-hi
mengambil sepasang gelang baja, katanya, "Saat
perkumpulan Kim ci pang malang melintang
dalam dunia persilatan, ketua mereka
Siangkoan Kim-hong pernah menggetarkan
kolong langit dengan mengandal sepasang gelang
naga angin ini."
"Salah, bukan senjata itu."
"Salah?"
"Itu gelang cinta, gaman andalan Thiat-hoanbun
di wilayah barat laut."
"Kalau memang senjata itu dipakai untuk
membunuh, kenapa disebut gelang cinta?"
"Karena bila senjata lawan tertempel oleh
gelang itu, maka dia akan menempel terus seperti
seorang yang terbuai oleh cinta," dari balik paras
mukanya yang pucat terlintas satu perubahan
aneh, "bila bibit cinta telah tumbuh, dia akan
melekat hingga ke tulang sumsum, sampai laut
mengering batu menjadi lapuk pun tak bakal
terlepas. Orang yang sedang jatuh cinta biasanya
gampang melakukan pembunuhan."
"Bila bibit cinta tertanam, sampai mati pun tak
akan terlepas. Terkadang bukan saja merugikan
orang, juga merugikan diri sendiri," kata Kim-hi
sambil menghela napas.
"Aku rasa justru merugikan diri sendiri."
"Betul, seringkah memang merugikan diri
sendiri." Kedua orang itu saling berhadapan dengan
mulut membungkam, beberapa saat kemudian
Kim-hi baru berkata sambil tertawa, "Adakah di
antara senjata yang terdapat di sini tidak kau
kenal asal-usulnya?"
"Tidak ada."
"Semua senjata yang ada di sini rata-rata
mempunyai asal-usul yang hebat, senjata itu
pernah menggetarkan sungai telaga, memang tak
sulit mengenalinya satu per satu," kata Kim-hi
sambil tertawa.
"Memang tak ada masalah yang benar-benar
sulit di dunia ini."
"Sayang ada sementara senjata, meski sudah
lama menggetarkan kolong langit, sudah banyak
minta korban, namun jarang ada orang pernah
melihatnya, seperti misalnya...."
"Siau-li si pisau terbang?"
"Betul, Siau-li si pisau terbang, pisau yang tak
pernah meleset. Begitu hebatnya senjata ini
sampai Siangkoan Kim-hong yang disebut tiada
tandingan di kolong langit pun pada akhirnya
tewas oleh pisau terbang itu. Ai! Senjata ini.
memang betul-betul senjata nomor wahid di
kolong langit," ujar Kim-hi sambil menghela
napas, "sayangnya hingga detik ini, belum
pernah ada yang melihat senjata itu."
Cahaya pisau berkelebat menembus
tenggorokan, mana mungkin orang bisa
melihatnya dengan jelas"
"Oleh karena itu hingga kini masih merupakan
teka teki besar," kembali Kim-hi berkata,
"walaupun kami sudah menggunakan berbagai
cara dan akal, namun belum pernah berhasil
menciptakan sebilah pisau terbang yang
bentuknya persis sama."
"Pisau terbang milik Siau-li memang tak pernah
bisa ditiru," dengus Pho Ang-soat dingin.
Tiba-tiba Kim-hi tersenyum misterius,
gumamnya, "Untung kami tak perlu membuat
barang tiruan lagi."
Tiba-tiba tangannya diayunkan, tahu-tahu
sebilah pisau terbang telah berada dalam
genggamannya. Sebilah pisau terbang sepanjang tiga cun tujuh
hun. Memandang pisau terbang yang berada dalam
genggaman Kim-hi, kontan Pho Ang-soat
mengernyitkan alis.
"Pisau terbang milik Siau-li?"
"Betul," sahut Kim-hi sambil tertawa, "pisau
terbang milik Siau-li yang asli."
"Dimana Yap Kay sekarang?" tiba-tiba Pho Angsoat
bertanya. "Yap Kay?" tegas Kim-hi tertegun, "mengapa
secara tiba-tiba kau bertanya tentang dia?"
"Pisau terbang itu milik Yap Kay," kata Pho
Ang-soat sambil menatap tajam senjata yang
berada di tangan gadis itu.
"Oh" Kenapa kau mengatakan pisau terbang itu
milik Yap Kay dan bukan milik Li Sun-hoan?"
"Li-tayhiap berkelana dalam dunia persilatan
pada empat-lima puluh tahun berselang, kini
jejaknya pun sudah menghilang paling tidak duatiga
puluh tahunan," kata Pho Ang-soat, "sewaktu
dia masih berkelana, orang susah melihat bentuk
pisau terbangnya, jejaknya pun sampai sekarang
Kilas Balik Merah Salju Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tak ketahuan rimbanya."
Ia memperhatikan lagi pisau terbang di tangan
gadis itu, lalu ujarnya lebih jauh, "Beberapa hari
lalu Yap Kay dikabarkan menghilang, dan
sekarang secara tiba-tiba kau memiliki pisau
terbang, bukankah semua masalah menjadi jelas
sekarang?"
Kim-hi tertawa.
"Betul. Senjata ini memang pisau terbang milik
Yap Kay, sedang mengenai berada dimanakah
Yap Kay sekarang" Hehehe... bila saatnya tiba
kau akan tahu."
Kim-hi meletakkan pisau terbang itu di samping
sebilah golok berwarna hitam, lalu mengambil
golok itu. Begitu golok dicabut dari sarungnya, cahaya
tajam pun berkilauan.
"Aku tahu golok ini bukan senjata yang boleh
dilihat orang," kata Kim-hi sambil tertawa,
"mungkin kau sendiri jarang melihatnya bukan?"
Paras muka Pho Ang-soat yang putih
pucat kini berubah makin pucat hingga
kelihatan bening, suaranya pun berubah sangat
dingin. "Aku tahu, ada sementara orang pun
begitu." "Orang?"
"Ada sementara orang walau sudah lama
namanya menggetarkan dunia persilatan, sudah
banyak korban berjatuhan, namun belum pernah
ada orang yang bertemu dengan wajah aslinya,"
ujar Pho Ang-soat dingin, "seperti pemilik kebun
monyet ini."
"Ong-losiansing maksudmu?"
"Benar."
"Dia terkenal" Terkenal sebagai apa?"
Pho Ang-soat tidak langsung menjawab,
dengan dingin ditatapnya gadis itu sekejap, lalu
ujarnya, "Giok kiam kek (jago pedang kumala)
dari Tiam-cong-pay, Ong San-seng, si pedang
kilat dari Shantung Kong Ceng-tiong, tombak
pengejar nyawa Ong Beng-meh, semuanya jago
kenamaan dunia persilatan yang susah ditemui,
hanya sayang mereka bukanlah pemilik kebun
monyet ini."
"Kenapa tak mungkin mereka?"
"Karena usia mereka terlalu muda, semenjak
ternama hingga kini baru berlangsung dua-tiga
puluh tahunan, usia mereka pun di antara lima
puluh hingga enam puluh tahun," ujar Pho Angsoat,
"sementara yang disebut Losiansing,
seharusnya usia dia sekarang sudah di atas
delapan puluh tahun."
"Oh?"
"Oleh karena itu setelah kuhitung, hanya satu
orang yang paling cocok dengan peranannya."
"Siapa?"
"Ong Ling-hoa!"
"Ong Ling-hoa," Kim-hi tertegun,
"maksudmu Ong Ling-hoa yang tersohor
bersama Sim Long, Cu Jit dan Him Miau-ji?"
"Benar!"
Bab 3. DONGENG DARI PUNCAK CU MU
LANG MA Peristiwa yang terjadi dalam dunia persilatan
memang sukar diramal, seringkah dalam waktu
sekejap bisa terjadi peristiwa yang dipenuhi
kehebohan, kejadian romantis, menyerempat
bahaya serta menegangkan syaraf.
Setiap generasi, dalam dunia persilatan pasti
akan muncul tokoh yang menggetarkan dunia,
seperti misalnya zaman Coh Liu-hiang, waktu itu
ada Oh Thi-hoa, Bu-hoa Hwesio, Pian-hok Kongcu
Goan Sui-hun... zaman Li Sun-hoan terdapat
Siangkoan Kim-hong, A Fei, Hing Bu-bing, Lim
Sian-ji, Sun Siau-hong.
Sim Long adalah tokoh satu generasi di atas Li
Sun-hoan, tapi menyangkut kisahnya, hingga kini
masih banyak orang yang tertarik dan terpesona.
Ong Ling-hoa berasal satu zaman dengan Sim
Long, di masa itu dia sudah terhitung tokoh yang
luar biasa, setiap gerak-gerik dan tingkah-lakunya
selalu mendapat perhatian orang banyak, setiap
kali mencampuri satu kasus atau peristiwa, selalu
memancing pembicaraan hangat banyak orang.
Ilmu silat yang dipelajarinya amat banyak, tapi
yang paling menarik perhatian orang adalah
sepasang tangannya, dia mampu mengubah
bentuk wajah seorang menjadi bentuk apa pun,
hingga kini ilmu merubah mukanya masih
terhitung nomor wahid di kolong langit.
Biarpun ketika terkenal dia baru berusia dua
puluh tahunan, tapi hingga kini, walaupun dunia
persilatan telah dua kali berganti zaman, bila dia
masih hidup, paling tidak usianya sudah mencapai
sembilan puluh tahunan.
Bagi kebanyakan orang, usia sembilan puluh
sudah jadi seorang kakek tua yang peyot. Namun
bagi Ong Ling-hoa, kehebatan ilmu silatnya dan
kehebatan merubah wajahnya sama sekali tak
terpengaruh oleh bertambahnya usia.
"Ong Ling-hoa?"
Mula-mula Kim-hi tertegun, tapi kemudian ia
tertawa, bahkan tertawanya kelihatan begitu
aneh, begitu misterius.
"Atas dasar apa kau menduganya?" ia bertanya
sambil tertawa merdu, "kenapa kau tidak
menebak orang lain?"
Pho Ang-soat tidak menjawab pertanyaan itu,
sebaliknya dia malah bertanya lagi, "Sampai
kapan baru dia siap menjumpai aku?"
"Segera."
Dengan jawaban ini, tak disangkal lagi dia telah
mengakui bahwa Ong-losiansing pemilik kebun
monyet itu adalah Ong Ling-hoa.
"Kalau memang segera, buat apa sampai
sekarang dia masih berlatih mencabut pedang?"
jengek Pho Ang-soat dingin.
Suara tajam, pendek, tunggal dan melengking
itu masih bergema tiada hentinya, bergema susul
menyusul, apakah suara itu berasal dari suara
mencabut pedang"
"Ilmu pedang memiliki berjuta perubahan,
mencabut pedang hanya salah satu gerakan yang
paling gampang," kata Kim-hi, "begitu juga
dengan ilmu golok, berapa lama kau berlatih
mencabut golok?"
"Delapan belas tahun."
"Hanya untuk sebuah gerakan yang begitu
sederhana, kau berlatih selama delapan belas
tahun?" "Aku merasa sayang karena tak dapat berlatih
lebih lama lagi."
Tiba-tiba Kim-hi menatapnya dan berkata, "Kali
ini kau keliru besar."
"Oya?"
"Dalam dua hal kau keliru besar," ujar Kim-hi
sambil tertawa. "Pertama, dia bukan sedang
berlatih mencabut pedang"
"Bukan?"
"Dia sedang mencabut golok."
"Mencabut golok?" tiba-tiba wajah Pho Angsoat
berkerut. "Kedua, dia pun bukan Ong Linghoa."
"Bukan?" kembali Pho Ang-soat terperanjat,
"maksudmu pemilik kebun monyet bukan Ong
Ling-hoa?"
"Bukan Ong Ling-hoa yang sedang berlatih
mencabut golok!"
Suara itu bukan berasal dari Kim-hi, melainkan
suara seorang yang amat ramah, suara itu
berasal dari belakang tubuh Pho Ang-soat.
Suara yang halus dan ramah, penuh
kesopanan, menunjukkan orang ini pernah
mendapat pendidikan tinggi dan tahu sopansantun.
Padahal kesopanan merupakan salah satu sisi
yang menunjukkan kekakuan dan sikap yang
dingin. Untung suara orang ini membawa kesan
kehangatan, sekalipun kehangatan yang nyaris
mendekati kesadisan.
Dan hanya manusia macam Ong Ling-hoa yang
bisa menunjukkan kehangatan yang begitu
menakutkan. Kini dia sudah di belakang tubuh Pho Ang-soat,
seandainya dalam genggaman dia membawa
senjata, setiap saat ia dapat menusuk bagian
tubuh yang mematikan di badan pemuda itu.
Pho Ang-soat sama sekali tak berpaling,
bergerak pun tidak. Dia memang tak mampu
bergerak. Baru suara tadi berkumandang, ia sudah
merasakan datangnya ancaman hawa membunuh
tanpa wujud yang begitu kuat, begitu rapat, yang
mengancam punggungnya, asal dia sedikit
bergerak, entah gerakan seperti apa pun,
kemungkinan besar akan menciptakan peluang
bagi pihak lawan untuk melancarkan serangan.
Bahkan jika ada otot tubuh yang mengejang
pun kemungkinan besar dapat menciptakan
kesalahan yang fatal.
Tentu saja dia pun tahu, manusia macam Ong
Ling-hoa mustahil akan membokongnya, kendati
pun begitu dia tetap harus waspada dan berjagajaga.
Biarpun rambutnya sudah beruban, biar di
sudut matanya sudah muncul banyak kerut
ketuaan, namun dari balik matanya masih
terpancar kecerdasan, kesantunan, keramahan
dan kekanak-kanakan yang kental.
Setelah berdiri sejenak di belakang tubuh Pho
Ang-soat, tiba-tiba ia tertawa, suara tawanya
masih halus dan penuh kesopanan.
"Ternyata kau memang tak malu disebut
jagoan yang tiada duanya di kolong langit," ujar
Ong-losiansing.
Pho Ang-soat belum juga menjawab, dia masih
berdiri tanpa bergerak.
Mendadak Kim-hi menyela, "Hingga kini dia
sama sekali tak bergerak, darimana kau tahu dia
adalah seorang jagoan hebat?"
"Justru karena dia tak bergerak, maka dialah
jagoan yang tiada duanya di kolong langit."
"Masa tidak bergerak jauh lebih susah daripada
bergerak?"
"Tentu lebih susah, bahkan jauh lebih
susah," sahut Ong-losiansing sambil tertawa.
"Aku tidak mengerti."
"Kau seharusnya mengerti. Andaikata kau jadi
Pho Ang-soat, bila tahu secara tiba-tiba ada orang
macam aku muncul di belakangmu, apa yang
akan kau lakukan?"
"Aku pasti akan sangat terkejut."
"Bila kau terkejut berarti akan meningkatkan
kewaspadaan, bila kau waspada maka tubuhmu
akan bergerak. Jika kau bergerak maka kematian
pasti akan berada di depan mata."
"Kenapa?"
"Karena kau tak tahu dari sudut mana aku
bakal melancarkan serangan, oleh sebab itu biar
mau bergerak ke arah mana pun, gerakan itu
besar kemungkinan akan menciptakan kesalahan
fatal yang bisa menyebabkan kematian."
"Oh, mengerti aku sekarang," seru Kim-hi, "bila
manusia tangguh semacam kau secara tiba-tiba
muncul di belakang tubuh seseorang, tak urung
lawan pasti akan tegang bercampur panik, biar
orangnya tak bergerak pun otot-otot
punggungnya pasti akan mengejang."
"Ya benar, sayang dia sama sekali tidak," Onglosiansing
menghela napas panjang, "biarpun
sudah cukup lama aku berdiri di belakang
tubuhnya, namun seluruh tubuhnya, dari atas
hingga ke bawah, sama sekali tak terjadi
perubahan."
"Ai! Sekarang aku baru mengerti, rupanya tidak
bergerak memang jauh lebih sulit daripada
bergerak," Kim-hi menghela napas panjang.
Bila kau sudah tahu ada seorang jagoan
tangguh macam Ong Ling-hoa berdiri di
belakangmu, tapi seluruh otot tubuhmu masih
tetap mengendor dan santai, hal ini menunjuikkan
syarafmu pasti jauh lebih dingin daripada
bongkahan salju abadi.
"Bila ia tak bergerak, masa kau tak punya
kesempatan untuk turun tangan?" kembali Kim-hi
bertanya. Ong-losiansing tertawa lebar.
"Tidak bergerak itu bergerak, akhir dari seluruh
perubahan dan gerakan adalah tidak bergerak."
"Kosong itu isi, isi itu kosong, kenapa dari isi
bisa berubah jadi kosong, kenapa dari kosong
bisa berubah jadi isi" Sebab tubuhnya telah
Kilas Balik Merah Salju Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berubah jadi kosong, tanpa wujud, mengapung
dan melayang kemana pun, karena dia kosong,
karena dia berubah jadi berada dimana-mana
maka kau pun tak akan tahu berada dimanakah
dia dan mau diserang darimana."
"Hahaha, sudah kuduga, kau pasti mengerti
akan teori itu," puji Ong-losiansing sambil tertawa
tergelak. "Kalau aku pun tahu orang macam kau tak
bakal membokongnya dari belakang, kenapa dia
sendiri seolah tidak paham akan hal ini?" kembali
Kim-hi bertanya.
Ong-losiansing tidak segera menjawab, dia
menghela napas lebih dulu, kemudian berjalan
meninggalkan belakang tubuh Pho Ang-soat,
berjalan ke depan dan baru berhenti setelah
saling berhadapan dengan lawan.
"Karena dia adalah Pho Ang-soat dan aku
adalah Ong Ling-hoa."
Dengan pandangan dingin Pho Ang-soat
mengawasi Ong Ling-hoa, sementara Ong Linghoa
dengan wajah ramah balas memandang Pho
Ang-soat. "Kesalahan kedua yang dia katakan kepadamu
tadi adalah orang yang sedang berlatih mencabut
golok di luar sana bukanlah aku," kembali Ong
Ling-hoa berkata sambil tertawa.
Pho Ang-soat tetap tak bergerak.
"Selama seratus tahun terakhir, ada begitu
banyak jago golok yang muncul di dunia
persilatan, ilmu golok hasil ciptaan baru pun ada
delapan puluh enam macam dengan perubahan
gerak dan jurus yang aneh dan sakti," kata Ong
Ling-hoa, "banyak di antaranya menciptakan
jurus yang aneh dan tak masuk akal, tapi cara
mencabut golok tetap hanya satu saja."
"Bukan hanya satu macam," akhirnya Pho Angsoat
buka suara, "hanya saja yang tercepat
memang hanya satu."
"Satu macam yang mana?"
"Yang sederhana biasanya yang paling cepat."
"Untuk mencapai taraf seperti itu pun orang
harus berlatih dan berlatih terus, memangnya
tanpa pengalaman bisa?"
Semua perubahan yang ada dalam ilmu silat,
tujuan terakhirnya memang hanya satu, cepat!
"Orang di luar sana harus berlatih hampir lima
tahun lamanya sebelum berhasil menemukan
sebuah cara, bahkan untuk sebuah cara yang
begitu sederhana, dia butuh delapan belas tahun
untuk melatihnya, malah hingga sekarang pun
setiap hari paling tidak dia harus berlatih selama
tiga jam."
Ditatapnya kembali wajah Pho Ang-soat, tibatiba
sorot matanya yang semula ramah berubah
jadi setajam mata golok, sepatah demi sepatah
ujarnya, "Tahukah kau apa tujuan dia berlatih
tekun mencabut golok?"
"Untuk menghadapi aku?"
"Lagi-lagi keliru besar," kembali Ong Ling-hoa
menghela napas panjang, "dia tidak harus
menghadapi dirimu, juga bukan gara-gara harus
menghadapimu."
"Oh?"
"Yang ingin dia hadapi adalah semua jago lihai
dunia persilatan, karena dia sudah bertekad ingin
menjadi manusia nomor wahid di kolong langit."
Kontan Pho Ang-soat tertawa dingin.
"Jadi disangkanya bila berhasil mengalahkan
aku, maka dia akan menjadi jagoan nomor satu?"
"Hingga detik ini, dia memang berpendapat
begitu." "Kalau begitu dia salah besar. Dunia persilatan
adalah sarang naga gua harimau, tak terhitung
jagoan dalam Bu-lim yang memiliki ilmu silat jauh
di atas kemampuanku."
"Tapi sampai sekarang belum ada seorang pun
yang mampu mengalahkan dirimu," sela Ong
Ling-hoa sambil tertawa, "aku sendiri pun dapat
melihat, bukan pekerjaan gampang bila ingin
mengalahkan dirimu. Di antara sekian orang yang
pernah kemari, kau memang satu-satunya tamu
yang paling istimewa."
Pho Ang-soat tidak bicara lagi, dia
membungkam. "Koleksi senjata tajam yang kugantungkan di
atas dinding itu bukan koleksi terlengkap,
semuanya merupakan barang pilihan. Asal orang
pernah berlatih silat, pasti akan tertarik dan
memperhatikan beberapa saat, hanya kau
seorang yang sama sekali tidak tertarik."
Bicara sampai di situ tiba-tiba Ong Ling-hoa
menghela napas panjang, tambahnya, "Yang
lebih aneh lagi, ternyata kau sama sekali tidak
memperhatikan lukisan yang berada di atas
dinding sebelah kanan."
"Dinding sebelah kanan" Di situ pun ada
gambarnya?" tanya Pho Ang-soat tertegun.
Seingat Pho Ang-soat, dinding di sebelah kanan
kosong tanpa lukisan, kenapa dibilang ada
gambarnya"
"Asal kau mau menengok sekejap, pasti akan
kau ketahui apakah di sana ada lukisan atau
tidak," kata Ong Ling-hoa lagi sambil tertawa.
Pho Ang-soat pun berpaling ke dinding sisi
kanan, tapi begitu melihat, dia langsung
tertegun. Dinding yang semula kosong ternyata sekarang
telah bertambah dengan sebuah lukisan.
Sebuah lukisan tokoh silat, ada begitu banyak
tokoh terkenal yang terpampang di situ,
semuanya terlukis begitu hidup dan indah.
Tampaknya lukisan itu mengisahkan satu
cerita, dalam setiap cerita selalu muncul orang
yang sama dan orang itu tak lain adalah Pho Angsoat.
Begitu Pho Ang-soat berpaling, pada
pandangan pertama ia sudah melihat gambar
lukisan diri sendiri.
Dalam suasana yang redup, di sebuah kota
kecil yang hening, di dalam sebuah rumah
makan, terlihat dua orang sedang duduk, yang
satu adalah Yap Kay dan seorang lagi Pho Angsoat.
"Kau pasti masih teringat adegan ini bukan,
ketika pertama kali kau bertemu Yap Kay di
rumah makan Siang-ki-lau," ujar Ong Ling-hoa.
Tentu saja Pho Ang-soat masih ingat, waktu itu
untuk pertama kalinya dia mendatangi Ban be
tong di perbatasan, datang dengan membawa
golok hitamnya dan rasa dendam kesumat yang
membara untuk mencari Be Khong-cun dan
menuntut balas.
Pada lukisan kedua tergambar Pho Ang-soat
berada dalam sebuah kamar, sedang bergumul
dengan seorang wanita.
Perempuan di lukisan itu adalah Cui long, tentu
saja Pho Ang-soat tak bisa melupakan kejadian
malam itu. Ketika menyaksikan lukisan ini,
perasaan pilu kembali melintas di wajah Pho Angsoat,
namun yang dipikirkan sekarang justru
Hong-ling. Hong-ling, dimana kau sekarang" Apa sudah
terjatuh ke tangan Ong Ling-hoa" Atau seperti
apa yang kau katakan dalam suratmu, kau
berbuat begini karena ingin membalas dendam"
Ong Ling-hoa sedang mengawasi Pho Ang-soat,
begitu juga dengan Kim-hi.
Biarpun sempat terlintas perasaan pilu di balik
matanya, namun hanya sekejap, dengan cepat
Pho Ang-soat mengalihkan pandangan matanya
ke lukisan ketiga.
Gambar ketiga melukiskan ruang gedung
penerima tamu di Ban be tong, di sana duduk
segerombol manusia, Be Khong-cun berada paling
tengah, sementara Yap Kay duduk di samping
Pho Ang-soat. Gambar keempat melukiskan sebuah kedai
arak, dimana Cui long dan seorang pemuda
penarik kereta sedang bergandengan tangan
meninggalkan tempat itu, sementara Pho Angsoat
seorang diri duduk dalam kedai sambil
minum arak. Melihat sampai di sini, kembali Pho Ang-soat
merasakan hatinya amat sakit.
Gambar berikut, ruang utama keluarga Ting,
banyak orang hadir di sana dan saat itulah semua
rahasia terkuak. Pho Ang-soat baru tahu dirinya
hanya seorang anak yatim piatu, bukan putra Pek
Thian-ih seperti yang diduganya semula.
Ternyata Yap Kay lah yang sebetulnya
mempunyai dendam kesumat selama delapan
belas tahun ini. Impian buruk yang dipikul hampir
delapan belas tahun pada akhirnya hanya
kehampaan, sebuah akhir yang amat tragis.
Lukisan pun berakhir sampai di situ, sekali lagi
Pho Ang-soat mengalihkan pandangannya ke
depan, bukan sedang merenungkan kejadian
yang tertera atau bersedih hati karena terkenang
masa lalu, ia sedang menunggu penjelasan Ong
Ling-hoa. Menunggu penjelasan mengapa ia diminta
menyaksikan lukisan itu. Ternyata Ong Ling-hoa
memang tidak membiarkan dia menunggu
kelewat lama, dengan cepat penjelasan
diberikan, hanya saja penjelasan itu ditujukan
kepada Kim-hi. "Lukisan itu menggambarkan peristiwa yang
dialami Pho Ang-soat pada sepuluh tahun
berselang," kata Ong Ling-hoa, "tahukah kau
mengapa kuperlihatkan gambar itu kepadanya?"
"Aku tahu," Kim-hi manggut-manggut.
"Oya?"
"Tujuanmu adalah untuk mengingatkan dia
akan kejadian pada sepuluh tahun berselang."
"Benar, tahukah kau mengapa aku harus
mengingatkan dia akan peristiwa sepuluh tahun
berselang?"
"Kalau soal ini aku kurang jelas."
"Sepuluh tahun lalu memang telah terjadi
peristiwa itu, bahkan telah berakhir," Ong Linghoa
membalikkan badan menghadap Pho Angsoat,
kemudian lanjutnya, "Orang-orang yang
muncul di Ban be tong waktu itu memang benarbenar
telah mati semua pada sepuluh tahun yang
lalu." "Lantas siapa Be Khong-cun dan antekanteknya
yang muncul kembali ini?" tanya Pho
Ang-soat sambil mencorongkan sinar dingin dari
matanya. "Be Khong-cun pribadi," jawab Ong Ling-hoa
tertawa. "Dia pribadi" Kalau begitu Be Khong-cun yang
muncul sepuluh tahun berselang adalah Be
Khong-cun gadungan?"
"Tidak, Be Khong-cun sepuluh tahun berselang
pun tetap Be Khong-cun sendiri."
"Berarti Be Khong-cun yang tewas sepuluh
tahun berselang pun Be Khong-cun pribadi?"
tanya Pho Ang-soat dengan terkejut bercampur
heran. "Benar."
"Dan Be Khong-cun yang sekarang pun Be
Khong-cun asli?"
"Benar."
"Bagaimana mungkin" Masa setelah mati dia
bisa bangkit dan hidup lagi?" tanya Pho Ang-soat
dengan wajah diliputi perasaan kaget bercampur
ragu. "Tidak, mana mungkin peristiwa semacam itu
bisa terjadi di dunia ini?" kata Ong Ling-hoa
tertawa, "kalau orang sudah mati, dia tetap mati,
mustahil bisa hidup lagi."
"Lalu apa yang sebenarnya telah terjadi?"
Yang tewas pada sepuluh tahun berselang
adalah Be Khong-cun, yang muncul sepuluh tahun
kemudian tetap Be Khong-cun, kalau orang mati
tak bisa hidup kembali, lalu apa yang terjadi
dengan Be Khong-cun yang muncul sepuluh tahun
kemudian" Kali ini Pho Ang-soat benar-benar dibuat bodoh.
Senyuman yang menghiasi wajah Ong Ling-hoa
masih tetap ramah, tiba-tiba ia mengajukan satu
pertanyaan yang sama sekali tak ada
hubungannya dengan masalah itu.
"Tahukah kau puncak gunung yang tertinggi di
dunia, gunung Cu mu lang ma?"
Tentu saja Pho Ang-soat tahu puncak Cu mu
lang ma selalu diliputi salju abadi, bahkan konon
di puncak gunung itu banyak terdapat mestika
langka. "Di bawah puncak Cu mu lang ma terdapat
Kilas Balik Merah Salju Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
suku terasing yang hidup jauh dari keramaian
dunia, suku terasing itu bernama suku Damu,"
ujar Ong Ling-hoa lebih jauh.
Pho Ang-soat tahu, jelas bukannya tanpa sebab
Ong Ling-hoa menyinggung suku Damu yang
tinggal di bawah puncak gunung Cu mu lang ma,
dia yakin suku asing itu pasti mempunyai
hubungan yang erat dengan masalah Be Khongcun.
"Cara hidup serta kebiasaan suku Damu yang
berdiam di bawah puncak Cu mu lang ma jauh
berbeda dengan kebiasaan hidup orang pada
umumnya, karena tempat tinggal mereka jauh di
bawah puncak gunung tertinggi di dunia, dimana
sepanjang tahun susah bertemu air hujan, apalagi
mata air atau danau."
Dari mimik muka Ong Ling-hoa, dia seakan
sedang berada di bawah puncak bukit itu.
Oleh karena itu orang-orang suku Damu tidak
biasa minum air tawar, tapi mengisap dari
batuan es. Bagi suku Damu, air sama pentingnya seperti
nyawa sendiri, bagi mereka hanya wanita hamil
yang boleh meneguk dua tetes air, dua tetes air
yang dicairkan dari bongkahan salju.
Kehamilan pun bagi suku Damu merupakan
satu kejadian yang langka, karena jumlah
penduduk mereka amat sedikit, sementara
hubungannya dengan dunia luar pun terpisah,
maka melahirkan anak bagi suku mereka
merupakan satu kejadian penting.
Entah sejak kapan, ketika seorang wanita hamil
mengisap batu es dalam sebuah gua salju
kemudian melahirkan sepasang anak kembar,
maka sejak itulah perempuan yang melahirkan
anak kembar itu diangkat menjadi ratu kehamilan
dalam masyarakat suku Damu.
Maka semua wanita hamil dari suku Damu pun
mulai minum batu beku yang ada dalam gua
salju, asal meneguk air dari batu itu, mereka
pasti akan melahirkan bayi kembar.
Kalau bayi kembar yang dilahirkan suku lain
mungkin ada yang berbeda, maka bayi kembar
yang dilahirkan orang-orang suku Damu
mempunyai kesamaan yang nyaris tak ada
bedanya. Jenis kelamin, tinggi pendek, kurus gemuk,
watak, kebiasaan, hampir semuanya sama persis,
biar dua orang yang berbeda namun mereka
seolah satu orang yang sama.
"Biarpun mereka berdua dipisahkan jauh jauh,
asal ada salah satu di antaranya terluka, maka
yang lain pasti akan merasakan kesakitan juga,"
Ong Ling-hoa menerangkan.
Apakah semua itu hanya cerita" Kisah nyata"
Atau dongeng"
Pho Ang-soat nyaris terpikat oleh cerita itu.
"Benarkah ada tempat semacam ini?"
tanyanya. "Benar, ada!"
Tiba-tiba Ong Ling-hoa bertepuk tangan satu
kali, suara mencabut golok yang melengking dan
tak sedap itu pun seketika berhenti, lalu pintu
ruangan terbuka lebar, seorang bertubuh tinggi
besar muncul di depan pintu.
Orang itu tinggi besar bagaikan malaikat langit,
tapi wajahnya dipenuhi keriput, dari balik setiap
kerutannya terbesit pengalaman nya yang penuh
kegetiran dan ancaman bahaya, dia pun seakan
sedang memberitahu kepada orang lain bahwa
tiada persoalan di dunia ini yang sanggup
menjatuhkan dirinya.
Orang itu bukan lain adalah Be Khong-cun.
Menyaksikan kemunculan Be Khong-cun di
depan pintu, Ong Ling-hoa berkata lagi kepada
Pho Ang-soat, "Masih ada satu hal lagi yang lupa
kusampaikan kepadamu, anak kembar yang
dilahirkan suku Damu selalu diberi nama yang
sama." Kemudian sambil membalikkan badan dan
menuding Be Khong-cun yang ada di depan pintu,
tambahnya, "Seperti kebiasaan yang berlaku
dalam suku Damu terhadap anak kembar yang
dilahirkan, nama mereka pun sama, dipanggil Be
Khong-cun!"
Bab 4. BE HONG-LING
Dalam sebuah negeri nun jauh di sana, Damu
mempunyai dua arti yang berlainan.
Semua anak yang dilahirkan dalam kelompok
suku Damu harus sepasang anak kembar, bukan
saja tabiat, kebiasaan, tinggi pendek, gemuk
kurus serta jenis kelaminnya harus sama, bahkan
nama mereka pun harus sama.
Pada suatu musim, dalam kelompok suku
Damu ada tujuh orang wanita hamil yang
melahirkan tujuh pasang kembar, mereka
memberi nama untuk ketujuh pasangan kembar
itu sebagai, Be Khong-cun, Kongsun Toan, Hun
Cay-thian, Hoa Boan-thian, Hwi thian ci cu, Loh
Loh-san dan Buyung Bing-cu.
Sampai di sini jelas sudah masalah yang
sebenarnya telah terjadi.
Di dunia ini tak mungkin terdapat manusia mati
yang bisa hidup kembali, tak seorang pun bisa
menciptakan manusia dengan wajah dan
perawakan tubuh yang sama.
Sepuluh tahun yang lalu Be Khong-cun,
Kongsun Toan, Hun Cay-thian, Hoa Boan-thian,
Hwi thian ci cu, Loh Loh-san dan Buyung Bing-cu
telah tewas, tapi mereka masih mempunyai
saudara kembar yang masih hidup.
Oleh karena itulah sepuluh tahun kemudian di
gedung Ban be tong telah muncul kembali Be
Khong-cun dan antek-anteknya dalam keadaan
segar-bugar. "Walaupun Be Khong-cun telah kau kalahkan
pada sepuluh tahun berselang," ujar Ong Ling-hoa
sambil menatap Pho Ang-soat, "tapi Be Khongcun
yang muncul sepuluh tahun kemudian justru
berusaha sekuat tenaga untuk mengalahkan
dirimu." "Kalau memang mereka adalah saudara
kembar, Be Khong-cun saja sudah keok di
tanganku pada sepuluh tahun berselang,
bagaimana mungkin Be Khong-cun yang muncul
sepuluh tahun kemudian dapat mengungguli
diriku?" jengek Pho Ang-soat dingin.
Be Khong-cun balas menatap Pho Ang-soat,
wajahnya sama sekali tidak menampilkan
perubahan apa pun, bahkan suaranya pun tetap
hambar, "Justru karena dia kalah, maka aku
harus menang."
Mendadak dari balik sinar matanya terpancar
perasaan pedih, lanjutnya, "Kalau tidak, akulah
yang bakal mati."
"Aku tidak mengerti."
"Kau seharusnya mengerti," sahut Be Khongcun
hambar, "karena semua kejadian itu harus
kau lakukan."
Pho Ang-soat balas menatap wajah Be Khongcun
yang penuh diliputi kedukaan, sejenak
kemudian dia mengangguk.
"Benar, memang ada sementara persoalan
yang harus kulakukan hingga tuntas."
"Aku tahu kau pasti bakal mengerti."
Pho Ang-soat tidak memandang ke arah Be
Khong-cun lagi, ia membalikkan badan
menghadap Ong Ling-hoa, tanyanya dingin, "Lalu
kau berharap kapan kami bisa melangsungkan
pertarungan ini?"
"Aku yang berharap?" kembali Ong Ling-hoa
memperlihatkan senyuman ramahnya, "masalah
ini adalah menyangkut kalian berdua, kenapa aku
yang memutuskan?"
"Kalau memang persoalan ini merupakan
persoalan pribadi kami berdua, mengapa pula kau
mengatur pertemuan ini?" dengus Pho Ang-soat
dingin. "Kejadian di dunia bagaikan awan di angkasa,
siapa yang bisa mengatur" Siapa yang bisa
menyiapkan?" kata Ong Ling-hoa sambil tertawa,
"sepuluh tahun berselang kau telah menanam
bibit jadi kau pula yang harus memetik buah
sepuluh tahun kemudian."
"Tampaknya aku tak punya pilihan lain lagi."
"Kalau tempat untuk duel sudah ditentukan,
tentu waktunya mesti kau sendiri yang memilih,"
kata Be Khong-cun hambar.
"Tiga hari kemudian!" tanpa pikir panjang
jawab Pho Ang-soat.
"Tiga hari kemudian?"
Mendengar jawaban itu agaknya Ong Ling-hoa
merasa terperanjat, sambil membelalakkan mata
dia mengawasi Pho Ang-soat.
"Aku masih ingat, ketika kau menantang
Kongcu Gi untuk berduel dulu, waktu yang kau
gunakan hanya satu hari."
"Benar."
"Aku pun masih ingat, sepanjang perjalanan
hidupmu, baik menghadapi pertarungan besar
maupun kecil, tak pernah waktunya melebihi satu
hari." "Benar."
"Mengapa kali ini tiga hari" Apakah musuhmu
kali ini telah memberi tekanan yang kelewat besar
terhadap dirimu?" jengek Ong Ling-hoa.
"Bukan."
"Lantas karena apa?"
"Karena masih ada tiga persoalan yang harus
kuselidiki dulu hingga tuntas."
"Tiga persoalan yang mana?"
"Apakah Yap Kay berada di tanganmu?" tanya
Pho Ang-soat. "Benar."
"Aku boleh bertemu dengannya?"
"Boleh saja."
Baru selesai Ong Ling-hoa menjawab, ia sudah
bertepuk tangan tiga kali, dinding dekat sudut
ruangan pun bergeser ke samping.
Dengan terbukanya dinding itu, Pho Ang-soat
segera dapat melihat Yap Kay, dia berada di balik
sebuah ruangan yang dilapisi batu kristal tebal.
Pho Ang-soat lihat Yap Kay sedang berbaring di
atas sebuah meja yang terbuat dari kristal, sama
sekali tak bergerak.
Kelihatannya Yap Kay tidak tahu saat itu
sedang diawasi orang lain, dia berbaring tenang,
sepasang matanya yang jeli seolah sedang
berpikir, tapi dia pun mirip berada dalam
keadaan tak sadarkan diri.
Diiringi tepuk tangan ringan, dinding itu
kembali merapat. Ong Ling-hoa segera berpaling
lagi ke arah Pho Ang-soat sambil bertanya, "Apa
persoalanmu yang kedua?"
Kembali Pho Ang-soat menatap dingin wajah
Ong Ling-hoa, "Apakah Hoa Pek-hong berada di
tanganmu juga?"
"Tidak," sahut Ong Ling-hoa sambil tertawa,
"aku rasa tak seorang pun di dunia ini yang
bertindak bodoh dengan mengganggu tuan putri
dari Mokau."
"Lalu bagaimana dengan semua perabot yang
kulihat dalam kamar losmenku?"
"Tentu saja hasil boyonganku dari tempat
tinggal Hoa Pek-hong," kata Ong Ling-hoa
tertawa, "aku sengaja mengutus orang mengirim
perabot rumah tangga yang terbaru supaya kau
bisa lebih nyaman. Begitulah, dengan terangterangan
kuangkut semua perabot lama dari
rumah tinggalnya."
Rasanya hanya Ong Ling-hoa yang bisa berpikir
semacam itu dan melakukannya.
"Apa masalahmu yang ketiga?" tanya Ong Linghoa
sambil tertawa penuh arti, "apakah
menyangkut urusan Hong-ling" Apakah kau ingin
bertanya kepadaku, benarkah masalah yang
menyangkut Hong-ling adalah bagian dari
rencana besarku?"
Pho Ang-soat tidak menjawab, dia hanya
memandang Ong Ling-hoa dengan pandangan
ketus. "Aku sengaja mengutus A-jit untuk
membunuhmu, tujuannya memang agar Hongling
membencimu, agar Hong-ling menuntut balas
kepadamu," Ong Ling-hoa menjelaskan, "tak
banyak orang persilatan yang tidak takut dengan
cara Hong-ling menuntut balas."
Pho Ang-soat sama sekali tidak menunjukkan
reaksi apa pun, dia masih mengawasi Ong Linghoa
dengan pandangan dingin, mengawasi sambil
menunggu ia melanjutkan kembali kata-katanya.
Kilas Balik Merah Salju Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku sendiri pun tidak menyangka cara Hongling
menuntut balas terhadapmu ternyata
menggunakan cara seperti ini," lagak Ong Linghoa
seolah menaruh simpatik terhadap Pho Angsoat,
"mungkin hanya dia yang bisa memikirkan
cara seperti ini dan melaksanakannya"
Mengorbankan bagian paling berharga dari
seorang wanita, agar bisa melahirkan seorang
anak untuknya, kemudian dia pun mendapat
kesempatan untuk membunuh seorang sanaknya.
Siapa yang mau percaya dengan cara balas
dendam semacam ini"
Kembali perasaan simpatik melintas di wajah
Ong Ling-hoa, namun di balik sorot matanya
justru mengembang senyum ejekan yang sinis.
Pho Ang-soat yang nyaris tanpa emosi masih
berdiri di situ tanpa bergerak, sepasang matanya
yang dingin dan kesepian masih tetap
menunjukkan rasa dingin dan kesepiannya.
"Bukankah aku telah menjawab pertanyaanmu
yang ketiga?" tanya Ong Ling-hoa.
Sekali lagi Pho Ang-soat memandang sekejap
wajah Ong Ling-hoa, kemudian ia membalikkan
badan menuju ke hadapan Be Khong-cun,
tanyanya, "Apakah Be Hong-ling itu putrimu?"
Pertanyaan ini datangnya sangat mendadak,
membuat Be Khong-cun melengak, tapi dia tetap
menjawab, "Benar."
Pho Ang-soat tertawa, walaupun hanya
senyuman yang tawar, namun bagaimana pun
juga dia telah tertawa, selagi sisa senyuman
masih tergantung di ujung bibirnya ia telah
membalikkan tubuh memandang lagi ke arah Ong
Ling-hoa. "Aku rasa kau tentu sudah menyiapkan peti
mati atau tempat tinggal untukku bukan?" ujar
Pho Ang-soat hambar.
"Tepat sekali," Ong Ling-hoa tertawa tergelak,
"malah aku berani menjamin ukuran peti mati itu
pasti pas untuk badanmu."
"Apakah kau merasa sangat puas?"
"Tentu saja, puas sekali."
"Baguslah kalau begitu."
Yap Kay yang berbaring di atas altar kristal
nampaknya seperti amat tenang, padahal ia
sudah hampir mendekati tak sadarkan diri.
Dia sudah tak ingat berapa lama berbaring di
tempat itu, dia pun tak tahu sekarang sudah
terang tanah atau masih malam"
Yang diketahui olehnya hanya keempat anggota
badannya semakin lemas tak bertenaga,
sepasang matanya makin lama semakin gelap.
Sudah berapa lama ia tak bersantap" Tentu
saja dia lebih tak jelas lagi, hanya lamat-lamat
dia masih ingat, sejak tersadar hingga kini sudah
sebelas kali dia diloloh cairan encer, mungkin
cairan bubur. Dengan kondisi tubuhnya yang begitu lemah,
jangankan mau melarikan diri, melawan bocah
tiga tahun pun belum tentu dia bisa menang.
Mau melarikan diri" Mungkinkah itu"
Dengan susah payah Yap Kay tertawa getir, ia
sadar dengan kondisi tubuhnya sekarang paling
dia hanya bisa bertahan selama dua hari lagi.
Bila dalam dua hari ini tak muncul keajaiban,
maka biarpun orang lain tidak membunuhnya,
karena kelaparan yang luar biasa dia bisa mati
secara mengenaskan.
Padahal tidak banyak keajaiban yang terjadi di
dunia ini. Hening, sepi, seakan mencekam seluruh
ruang rahasia. Di tengah keheningan yang mencekam itulah
mendadak terdengar suara gigi roda yang
berputar, Yap Kay tahu suara itu berasal dari
terbukanya pintu rahasia.
Benar saja, dengan berhentinya suara gigi
roda, di depan pintu muncul seseorang, seorang
kakek dengan wajah penuh keriput tapi tampak
sangat ramah. Sambil tertawa Ong Ling-hoa berjalan
menghampiri Yap Kay, dengan ibu jari dan jari
telunjuknya dia membuka kelopak matanya dan
memeriksa biji matanya, dipegangnya nadi
tangan kiri pemuda itu dan memeriksa denyut
nadinya. Setelah itu dengan penuh rasa puas dia
manggut-manggut.
"Kelihatannya besok sudah bisa dimulai,"
gumam Ong Ling-hoa.
"Dimulai" Dimulai apa?" tanya Yap Kay dengan
nada lemah. "Dimulainya harapan terbesar dalam hidupku"
jawab Ong Ling-hoa dengan pancaran sinar 'dewa'
dari wajahnya, "merupakan juga langkah pertama
umat manusia menuju panjang usia."
"Panjang usia," Yap Kay mulai tertawa,
"kelihatannya kau seperti sudah menemukan obat
awet muda dan panjang umur."
"Obat panjang umur" Itu semua hanya omong
kosong, barang yang adanya dalam dongeng"
Ong Ling-hoa mencibir, "bagaimana mungkin bisa
dibandingkan dengan persembahan akbarku?"
"Oya" kembali Yap Kay tertawa, "jadi kau
punya persembahan akbar" Kalau begitu cepat
katakan, persembahan macam apa itu?"
"Tak usah terburu napsu, tanpa kau,
persembahanku tak bakal bisa sempurna."
"Wah, sungguh tak kusangka ternyata aku
masih mempunyai kegunaan yang begitu besar,
tapi tidak masalah bukan jika aku tahu dimana
letak kegunaanku?"
Ong Ling-hoa segera memperlihatkan
senyuman misteriusnya, kemudian dengan nada
yang ramah katanya lagi, "Tentunya kau pernah
melihat makhlukl berkepala manusia bertubuh
monyet bukan?"
"Aku benar-benar tidak mengira di dunia benarbenar
terdapat ... terdapat makhluk semacam
ini." Memang sulit bagi Yap Kay untuk menyebutnya
sebagai manusia.
"Sebetulnya di dunia memang tak ada makhluk
seperti itu, akulah yang menciptakannya," Ong
Ling-hoa menjelaskan, "padahal apa yang sudah
ada sekarang tak lebih baru pembukaan dari
karya ciptaku."
"Jadi makhluk itu adalah hasil karyamu?"
"Benar."
"Bagaimana caramu membentuknya?"
"Gampang sekali, asal kucangkokkan kepala
manusia ke tubuh monyet, jadilah makhluk ajaib
itu." "Kepala manusia dicangkokkan ke tubuh
monyet?" Yap Kay memaksa diri mementang
mata lebih lebar, "kau sedang bercerita tentang
dongeng 1001 malam?"
"Bukan, aku telah menghabiskan waktu hampir
lima puluh tahun sebelum berhasil menyelesaikan
ini," Ong Ling-hoa menerangkan, "tahukah kau,
untuk mewujudkan cita-citaku ini, sudah berapa
banyak tenaga, pikiran dan materi yang
kukorbankan?"
"Jadi tidak kau ketahui berapa banyak bocah
dan monyet yang telah kau korbankan nyawanya
demi terwujudnya harapanmu ini?"
"Agar manusia bisa melangkah lebih jauh
dalam hal teknik ilmu pengetahuan, apa salahnya
sedikit berkorban?"
"Kenapa tidak kau gunakan anakmu sendiri
sebagai kelinci percobaan?"
"Aku tak punya anak."
"Sudah kuduga sejak awal, manusia busuk
macam kau mana mungkin bisa mempunyai
anak." "Dalam hal ini aku berani memberi jaminan,
aku pasti mampu memiliki anak," Ong Ling-hoa
tertawa tergelak.
"Ai... ! Kenapa orang sepertimu selalu
melupakan kenikmatan nyata yang tersedia di
depan mata," Yap Kay menghela napas panjang.
"Berapa usiamu" Berapa tahun lagi kau bakal
hidup di dunia ini" Tua bangka macam kau, biar
masih bisa hidup dua tahun lagi juga belum tentu
punya kemampuan untuk melanjutkan
keturunan."
Tiba-tiba Ong Ling-hoa mendongakkan kepala
dan tertawa terbahak-bahak, katanya kemudian,
"Kelihatannya sebelum kuterangkan semua duduk
perkara secara jelas, kau pasti tak dapat mati
dengan meram."
"Kelihatannya kau sadar juga akan hal ini."
Ketika menekan sebuah tombol rahasia, dari
balik dinding segera muncul sebuah lemari
rahasia, dari dalam lemari itu Ong Ling-hoa
mengambil sebotol arak anggur dan cawan arak
terbuat dari batu kristal.
Setelah menuang arak dan menghirupnya
seteguk, Ong Ling-hoa berkata lebih jauh, "Di
saat umurku tiga puluh satu tahun, kujumpai
seringkah penyebab kematian umat manusia
adalah tubuh yang mulai tua dan rentan, saat itu
timbul pikiranku, bila seseorang memiliki tubuh
yang sehat, dia pasti akan panjang usia. Hanya
sayang ketika manusia hidup mencapai satu
tingkatan tertentu, dia pasti akan mulai menua
dan menjadi lemah. Maka aku pun mulai memutar
otak, mencari akal bagaimana bisa membuat
kesehatan tubuh seseorang selalu langgeng dan
abadi." Ia membalikkan badan memandang Yap Kay
sekejap, kemudian katanya lagi, "Tahukah kau
bagaimana caranya manusia agar selalu memiliki
tubuh yang sehat?"
"Kurangi minum arak, kurangi perbuatan kotor,
maka tubuhmu akan selalu sehat sejahtera."
"Cara itu paling juga memperpanjang sesaat,
paling hanya bisa hidup mencapai usia seratus
tahun lebih, akhirnya dia bakal mati juga," kata
Ong Ling-hoa, "jadi aku pikir, satu-satunya jalan
adalah di saat tubuhmu mulai berubah jadi tua,
gantilah badan yang tua dengan tubuh baru,
tubuh yang sehat dengan organ tubuh yang
masih segar. "
"Memangnya tubuh manusia ibarat pakaian"
Kalau pakaianmu sudah tua dan koyak, bisa saja
diganti dengan pakaian baru, tapi ini tubuh
manusia." "Pada waktu lalu, tentu saja hal semacam ini
tak mungkin bisa terjadi."
"Memangnya saat ini kau sudah punya cara"
Sudah menguasai teknik pencangkokannya?"
Tiba-tiba Yap Kay teringat kejadian
pencangkokan kepala manusia dengan tubuh
monyet, segera ujarnya lagi, "Jangan-jangan
makhluk monyet berkepala manusia adalah salah
satu teknik...."
"Tepat sekali. Bila tubuh seseorang mulai
menua, bisa saja badannya ditukar dengan badan
orang muda. Karena berpendapat begitu, aku pun
mulai menggunakan monyet sebagai kelinci
percobaan, pada dua puluh tahun pertama, entah
berapa ratus kali aku mengalami kegagalan,
begitu badan monyet terpisah dari kepalanya,
sang monyet langsung mampus. Kemudian
perlahan-lahan aku pun menemukan teknik yang
lebih canggih, dengan teknik itu aku berhasil
memindahkan kepala monyet ke tubuh monyet
lainnya. Dan pada setahun berselang aku pun
berhasil memindahkan kepala manusia ke tubuh
monyet." Biarpun dengan mata kepala sendiri Yap Kay
telah menyaksikan kenyataan itu, namun dia
masih tetap tak percaya.
"Bila tubuh monyet bisa ditukar dengan tubuh
monyet lainnya, berarti bukan masalah untuk
mengganti tubuh manusia tua dengan badan
seorang pemuda yang lebih segar dan sehat,"
kembali Ong Ling-hoa berkata.
"Sudah kau coba?"
"Belum," Ong Ling-hoa menggeleng, lalu sambil
menatap tajam tubuh Yap Kay, lanjutnya, "Tapi
segera akan terjadi, malahan kau akan menjadi
kelinci percobaanku yang pertama."
"Aku?" sekali lagi Yap Kay membelalakkan mata
lebar-lebar, "kau ingin mengganti badanku
dengan tubuh seseorang yang jauh lebih muda?"
"Akan kutukar dengan tubuh yang lebih tua,"
sahut Ong Ling-hoa sambil tergelak, "bila
berhasil, maka tubuh tua yang kucangkokkan ke
Kilas Balik Merah Salju Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tubuhmu akan membuat kau makin tua dan
akhirnya mati. Sementara aku pun akan
mengganti tubuh tuaku dengan badanmu yang
jauh lebih muda."
Tak seorang pun yang tak bakal takut ketika
mendengar dirinya akan dijadikan kelinci
percobaan, namun Yap Kay sama sekali tak takut,
sekilas rasa ngeri pun tak nampak, dia malah
berkata sambil tertawa, "Sayangnya aku belum
tahu apakah kau pun sudah belajar bagaimana
memotong tubuh sendiri kemudian
mencangkokkan ke tubuh baru lainnya."
"Dengan kemampuanku seorang tentu saja tak
mungkin bisa menyelesaikan tugas ini, untungnya
sekarang aku telah menemukan seorang
pembantu yang pas."
"Pembantu" Siapa?"
"Aku!"
Menyusul perkataan itu Kim-hi muncul dari
balik pintu, sambil tertawa gadis itu berjalan
mendekati Yap Kay, lalu katanya, "Akulah
pembantu utamanya."
"Kau?" dengan tercengang bercampur ragu Yap
Kay memandang Kim-hi, "selama ini aku dan So
Ming-ming selalu menguatirkan keselamatan
jiwamu, tak nyana kau justru telah menjadi
pembantu utama si pencipta maha karya bagi
umat manusia."
Kim-hi bukan gadis bodoh, tentu saja dia dapat
menangkap makna sindiran di balik perkataan
Yap Kay itu, namun masih tetap dengan
tersenyum katanya, "Aku adalah perempuan yang
berani mencintai berani membenci dan berani
menerima kenyataan, ketika pertama kali kau
muncul, aku sudah tahu kau adalah jenis lelaki
yang kusukai."
Setelah berhenti sejenak, terusnya, "Tapi aku
pun tahu kalau persainganku dengan enci Mingming
tak mungkin bisa kumenangkan, oleh sebab
itu terpaksa aku harus mencari seorang lelaki
yang menyukai aku."
"Akulah lelaki yang menyukai dirinya,"
sambung Ong Ling-hoa sambil tertawa.
"Di saat dia memberitahukan hal ini kepadaku,
aku pun berpikir, biarpun cinta tak mengenal
batas usia, namun bagaimana pun juga selisih
usia kami berdua cukup jauh, biarpun kami dapat
hidup gembira dan bahagia pun, kebahagiaan itu
tak mungkin bisa berlangsung lama. Dia pun
mengetahui akan kenyataan ini, maka dia
memberitahukan kepadaku kalau dia sanggup
melakukan karya akbar itu. "
Bicara sampai di sini, Kim-hi berpaling ke arah
Ong Ling-hoa, kemudian tambahnya, "Bila
berganti orang lain, mereka pasti akan mengira
kau sinting, gila. Tapi aku sangat mempercayai
perkataanmu itu. "
"Tentunya sejak pandangan pertama kau sudah
tahu akan kehebatan ku, tahu kalau aku memang
lelaki yang lain daripada yang lain, lelaki paling
hebat di dunia ini," kata Ong Ling-hoa tertawa.
"Huh, tak kusangka kulit mukamu begitu
tebal," Kim-hi tertawa cekikikan.
Mendengar sampai di sini, Yap Kay tak sanggup
menahan diri lagi, ia menghela napas panjang.
"Ai! Kalian berdua benar-benar sepasang sejoli
yang amat cocok, yang lelaki tampan, yang
perempuan cantik jelita."
"Terima kasih banyak atas pujiannya."
"Kalau pembantu handal pun sudah tersedia,
lantas kau berencana kapan akan mulai
membedah tubuhku?" tanya Yap Kay sambil
menatap Ong Ling-hoa.
"Besok," jawab Ong Ling-hoa cepat,
"sebetulnya besok, namun sekarang harus
ditunda sampai tiga hari kemudian."
"Kenapa?"
"Karena ada seorang sahabat karibmu yang
tiga hari kemudian akan menjadi penghuni
tempat ini."
"Sahabat karibku" Siapa?"
"Pho Ang-soat!"
"Dia?" bisik Yap Kay agak tertegun, "apakah dia
pun berada di sini?"
"Benar."
Bab 5. CINTA HONG-LING
Rembulan bagaikan seekor bayi yang baru
mendusin dari lingkupan awan gelap, meronta
dan menggeliat sambil memancarkan cahaya
yang lembut, lalu dengan lembut dan halus
membiarkan seluruh cahayanya turun ke bumi.
Sinar rembulan menyinari jendela kamar tidur
Pho Ang-soat. Saat itu Pho Ang-soat sedang berbaring di atas
ranjang, sama sekali tak terasa mengantuk
barang sedikit pun, sepasang matanya yang
dingin dan kesepian melotot besar dan bulat.
Duel akan berlangsung tiga hari kemudian,
kalau dulu, tak nanti Pho Ang-soat mau
melakukannya, dalam menghadapi setiap
persoalan dia selalu ingin segera diselesaikan, tak
suka ditunda atau mengulur waktu, tapi kali ini
dia harus berbuat demikian.
Karena dalam tiga hari ini dia akan menunggu
datangnya sebuah kabar, ingin menuntaskan
masalah yang selama ini merisaukan hatinya.
Tiga hari, dia berharap dalam tiga hari ini So
Ming-ming dapat menyampaikan berita yang ingin
diketahuinya. Kemarin dia memang tak mengizinkan So Mingming
ikut karena dia berharap gadis itu dapat
melakukan tugas ini untuknya, kalau bukan
begitu, dengan watak So Ming-ming, biarpun
secara terang-terangan dia tak sanggup, namun
secara diam-diam dia pasti akan mengintil
datang. Hembusan angin malam musim panas di kota
Lhasa terasa lebih dingin dari hembusan angin
malam di musim dingin di Kanglam.
Dengan lembut angin malam menggoyang daun
jendela, membuat suasana sepi yang mencekam
jagad terasa lebih pilu dan mengenaskan.
Dari kejauhan terdengar suara kentongan yang
dibunyikan bertalu-talu, sudah mendekati
kentongan ketiga, sebentar lagi langit akan
menjadi terang, entah kejadian apa yang akan
dijumpai esok"
Dalam situasi begini, ia perlu beristirahat
sejenak, memelihara sedikit tenaga untuk
menghadapi setiap kemungkinan yang terjadi
esok. Baru saja Pho Ang-soat hendak memejamkan
mata, tiba-tiba dari luar jendela terdengar helaan
napas sedih diikuti munculnya seorang.
Begitu mendengar suara helaan napas itu, Pho
Ang-soat segera tahu orang itu bukan So Mingming
yang sedang dinantikan, orang itu ternyata
tak lain adalah Be Hong-ling, orang yang paling
tak ingin dijumpai, orang yang kini telah
menjelma menjadi Pek Ih-ling.
Biji mata yang sayu membawa kesenduan,
memancarkan cahaya redup penuh kesedihan,
sinar mata itu tertuju ke wajah Pho Ang-soat.
Begitu berhadapan dengan pemuda itu, Pek Ihling
seakan sudah kehabisan bahan untuk
berbicara, dia hanya mengawasi kaki sendiri
dengan mulut membungkam.
Begitulah, untuk sesaat mereka berdua hanya
saling berhadapan tanpa berbuat apa-apa.
Beberapa saat kemudian Pek Ih-ling baru
berkata, "Aku rasa kau pasti sudah tahu siapakah
diriku bukan?"
"Benar."
"Mengenai cerita suku Damu yang menyangkut
ayahku, tentunya kau pun sudah tahu bukan?"
"Benar."
"Tapi ada satu hal kau pasti tak tahu."
"Katakan."
"Be Khong-cun yang tewas di rumah keluarga
Ting pada sepuluh tahun berselang memang
benar-benar ayahku."
"Benarkah itu?" Pho Ang-soat mendongakkan
kepala memandang Pek Ih-ling.
"Benar."
"Lalu bagaimana dengan Be Khong-cun yang
sekarang?"
"Dia pun ayahku."
"Dia pun ayahmu?" Pho Ang-soat tidak paham
maksudnya, "jadi Be Khong-cun tidak tewas pada
sepuluh tahun berselang?"
"Sudah mati."
"Kalau begitu Be Khong-cun yang sekarang
seharusnya saudara kembar ayahmu bukan"
Mana mungkin bisa ayahmu?"
"Inilah masalah yang kubilang kau pasti tidak
tahu," Pek Ih-ling menerangkan, "padahal mereka
berdua adalah ayahku."
"Keduanya?"
"Benar, mereka pada saat yang bersamaan
mengawini ibuku."
Seorang wanita kawin dengan dua pria, tentu
saja putri yang dia lahirkan memiliki dua orang
ayah sekaligus.
"Sewaktu kau bertanya kepada ayahku di
gedung utama tempo hari, apakah aku adalah
putrinya, kau tentu mengira dia adalah Be Khongcun
yang pernah kau jumpai sepuluh tahun
berselang bukan?"
Tepat sekali, waktu itu Pho Ang-soat memang
mengira dia adalah Be Khong-cun yang pernah
dijumpai sepuluh tahun berselang, bahkan
menganggap apa cerita tentang suku Damu
sebagai bohong.
Pho Ang-soat benar-benar tak berani percaya di
dunia ini memang terdapat suku Damu, tapi
sekarang mau tak mau dia harus percaya.
Pek Ih-ling dengan sayu mengawasi wajah Pho
Ang-soat, lalu ujarnya lirih, "Melihat aku malammalam
datang mencarimu, kau pasti menyangka
aku ingin mohon kepadamu agar jangan
membunuh satu-satunya ayahku yang tersisa
bukan?" "Memangnya bukan?"
"Justru sebaliknya. Tujuan kedatanganku
malam ini adalah berharap kau bisa membunuh
ayahku dengan sekali tebasan."
Mendengar jawaban itu, Pho Ang-soat malah
tertegun dibuatnya. "Kau minta aku membunuh
ayahmu dengan sekali tebasan?"
"Benar!"
Perlahan-lahan Pek Ih-ling membalikkan badan
berjalan menuju ke tepi jendela, sorot matanya
dialihkan memandang kejauhan. "Kau pasti
menyangka aku sudah gila bukan?" bisiknya. Pho
Ang-soat memang berpikiran begitu.
"Bila kau sudah tahu duduk persoalan yang
sebenarnya, maka kau pasti tahu keputusanku ini
tidak salah," kata Pek Ih-ling hambar. Duduk
perkara yang sebenarnya"
Apakah di balik kasus yang lambat-laun mulai
terkuak ini masih tersimpan rahasia lain"
Kalau memang ada, rahasia macam apakah
itu" Angin masih berhembus lembut, tapi udara
terasa makin dingin.
Rambut Pek Ih-ling yang hitam nampak lebih
indah di bawah pantulan sinar rembulan.
"Aku tahu golokmu memang sangat lihai, ilmu
silatmu juga tiada taranya," ujar Pek Ih-ling
lagi, "tapi dalam duel tiga hari lagi, bila kau
gagal membunuh ayahku, maka kau sendirilah
yang bakal mati."
Perlahan ia berpaling lagi, menatap Pho
Ang-soat, tambahnya serius, "Yap Kay pun
pasti mati juga."
"Oya?"
"Kau pasti menyangsikan perkataanku ini, kau
anggap duel yang akan diselenggarakan adalah
sebuah pertarungan yang adil?"
"Biar tidak adil pun tidak menjadi masalah
bagiku," kata Pho Ang-soat hambar, "aku
percaya Thian pasti adil terhadap siapa pun."
"Tidak masalah" Bila kau tahu situasi seperti
apa yang bakal kau jumpai, pasti tak akan kau
katakan tidak menjadi masalah."
Pho Ang-soat tak menanggapi perkataannya,
hanya sinar matanya dialihkan keluar jendela,
namun dari mimik mukanya tertera jelas ia tidak
sependapat. "Kau sangka perabot yang terdapat di
Kilas Balik Merah Salju Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
penginapan Sau-lay benar-benar seperti yang dia
katakan, khusus dipindah kemari" Kau sangka
masalah yang menyangkut Hong-ling bukan hasil
rancangannya?"
Hong-ling" Lamat-lamat Pho Ang-soat merasa
hatinya pilu dan sakit.
Baru berkumpul selama tiga belas hari, baru
terjalin hubungan satu kali... hati Pho Ang-soat
yang dingin membeku lambat-laun mulai mencair.
Setelah hening beberapa saat, Pek Ih-ling
berkata, "Sebelum kalian berduel nanti, Ong Linghoa
pasti akan memberitahukan kepadamu bahwa
Yap Kay dan Hoa Pek-hong serta Hong-ling telah
terjatuh ke tangannya, dalam keadaan begitu
sanggupkah kau mencabut golokmu?"
Tidak mungkin, dalam keadaan seperti ini,
siapa pun tak bakal mampu mencabut goloknya.
Yang seorang adalah sahabat karibnya, seorang
lagi meski bukan ibu kandungnya tapi dialah yang
telah memeliharanya hingga dewasa, kemudian
yang seorang lagi....
Sekali lagi Pho Ang-soat menatap tajam wajah
gadis itu. "Masalah Hong-ling, apa benar hasil
rancangan busuk mereka?" tegasnya.
"Benar, tapi akhir dari semua ini sama sekali di
luar dugaanku!"
Suara itu berasal dari mulut Ong Ling-hoa,
tahu-tahu dia telah muncul di depan pintu.
Begitu melihat kemunculan Ong Ling-hoa,
paras muka Pek Ih-ling berubah pucat-pasi,
seakan seorang bocah bersalah yang tertangkap
basah oleh ayahnya.
Sikap Pho Ang-soat tetap sedingin es, tak
mengunjuk rasa kaget atau tercengang.
Suara tawa Ong Ling-hoa amat ramah,
perlahan dia berjalan masuk ke dalam kamar,
setelah menatap Pho Ang-soat sekejap, ujarnya,
"Bukankah siang tadi telah kukatakan, walaupun
persoalan tentang Hong-ling merupakan hasil
rancanganku, tapi cara pembalasannya sama
sekali di luar dugaanku."
Kembali ia menatap Pho Ang-soat, lanjutnya,
"Ternyata ketika pembalasan berjalan sampai di
tengah, dari benci dia malah jadi cinta."
Berubah jadi cinta"
"Dia benar-benar telah mencintaimu," sepatah
demi sepatah Ong Ling-hoa berkata.
Begitu mendengar perkataan itu, paras muka
Pho Ang-soat berubah hebat, berubah gembira,
berubah sedikit gugup dan panik.
Gembira karena ia tahu tak percuma dia
menderita dan tersiksa selama ini, gugup dan
panik karena sadar, tak mungkin lagi baginya
untuk melepaskan diri.
Sebelum pertarungan berlangsung, Pho Angsoat
sudah kalah. Setelah semua peristiwa berkembang sampai di
sini, tampaknya segera akan berakhir. Tentu saja
pemenangnya adalah Ong Ling-hoa, tak heran
senyumannya semakin ramah.
Bab 6. PENUTUP Hembusan angin malam masih terasa lembut,
hawa dingin masih membeku, ketika malam hari
tiba, langit terasa makin gelap.
Gelap bukan karena cahaya rembulan tertutup
awan, inilah detik terakhir menjelang datangnya
sang fajar, saat yang paling gelap sepanjang hari.
Untung saja saat seperti itu selalu hanya
berlangsung singkat, pada akhirnya cahaya
terang pasti akan muncul juga, mengusir pergi
kegelapan. Pho Ang-soat masih dingin dan menyendiri,
biarpun ia sadar dirinya sudah tak sanggup lagi
mencabut golok, namun hatinya tetap panas.
Baginya persoalan apa pun sudah tak penting
lagi, sekalipun harus kehilangan nyawa, dia sudah
tahu akan perasaan cinta Hong-ling.
Ia tahu kali ini pengorbanannya tidak sia-sia,
perasaan cintanya tidak bertepuk sebelah tangan,
baginya hal ini sangat penting, jauh lebih penting
dari segalanya.
Oleh sebab itulah paras mukanya kelihatan
tenang dan dingin, meski sorot matanya tetap
dingin, namun sudah tiada rasa sepi lagi.
Ia sama sekali tidak memperhatikan Ong
Ling-hoa yang masih merasa bangga, ia
sedang mengawasi Pek Ih-ling yang masih
meringkuk, setelah mengawasinya sekian lama,
tanyanya, "Kau belum memberitahu kepadaku,
kenapa harus membunuh Be Khong-cun?"
Semenjak kemunculan Ong Ling-hoa, mimik
muka Pek Ih-ling sudah menunjukkan perasaan
gugup bercampur panik, apalagi sesudah
mendengar pertanyaan Pho Ang-soat, perasaan
takut dan ngerinya semakin menebal.
Diam-diam ia melirik Ong Ling-hoa sekejap,
lalu menundukkan kepala makin rendah.
Gelak tawa Ong Ling-hoa semakin ramah.
"Dia tak bakal memberitahukan lagi persoalan
itu kepadamu, selama hidup kau tak bakal tahu."
"Keliru, kau keliru besar, dia pasti akan
mengatakan sekarang juga."
Suara itu muncul dari arah belakang. Mimik
muka Ong Ling-hoa yang semula dihiasi
senyuman ramah pun seketika membeku, bahkan
berubah jadi pucat-pias. Perasaan terkejut dan
rasa tercengangnya bahkan jauh lebih kental
daripada Pek Ih-ling.
Begitu mendengar suara itu, Pho Ang-soat yang
dingin kaku masih tetap dingin dan kaku, tapi di
balik sinar matanya yang dingin justru terselip
senyuman, karena suara itu sangat dikenal
olehnya. Tentu saja suara itu adalah suara Yap Kay.
Keadaan Yap Kay saat ini sama sekali tak mirip
dengan seseorang yang sudah kelaparan selama
banyak hari, wajah serta mimik mukanya seperti
seseorang yang kekenyangan karena menikmati
hidangan yang lezat dan arak wangi.
Sambil tertawa dia berjalan masuk,
menghampiri Pho Ang-soat, lalu katanya, "Hanya
dengan membunuh Be Khong-cun kau baru
benar-benar bisa membuat perasaan kedua belah
pihak tenang kembali, kau pun baru bisa
mengalahkan Ong Ling-hoa, karena Be Khong-cun
adalah putra Ong Ling-hoa."
Fajar telah menyingsing, cahaya pertama,
bagai segulung bara api menembus awan gelap
memancar ke bumi, membawa suasana terang ke
dalam kebun monyet.
Tawa Yap Kay amat riang, sambil membalikkan
badan dia memandang Ong Ling-hoa.
"Bukankah kau pun ingin bertanya kepadaku,
kenapa aku pun mengetahui rahasia ini" Kenapa
secara tiba-tiba aku mendapatkan kembali
kekuatanku" Kenapa secara tiba-tiba bisa muncul
di sini?" kata Yap Kay sambil tertawa, "bukankah
begitu?" Tentu saja semua pertanyaan itu merupakan
persoalan yang ingin diketahui Ong Ling-hoa,
karena ia benar-benar tak habis mengerti, kenapa
secara mendadak segala sesuatunya bisa berubah
jadi begini"
Yap Kay tertawa semakin riang.
"Aku memang tidak menyangka, manusia
semacam ini ternyata sanggup menggunakan
obat pemabuk, obat yang memalukan itu, tapi
jangan lupa, aku pun seorang yang licik, mana
mungkin orang licik macam aku bisa roboh karena
obat pemabuk?"
Setelah berhenti sejenak, terusnya, "Aku
memang sengaja berlagak roboh, hal ini tak lain
karena ingin menonton permainan busuk apa lagi
yang akan kau lakukan."
Baru selesai perkataan itu, mendadak dari luar
pintu terdengar lagi seseorang berseru sambil
tertawa cekikikan,
"Kentut busuk, coba kalau bukan berkat seekor
ayam panggangku, mana mungkin kau sanggup
berjalan sampai di sini?"
Kontan Yap Kay mengernyit alis, sambil
menggeleng kepala serunya, "Heran, kenapa
ucapan perempuan selalu tak bisa dipercaya?"
Menyusul suara tertawa cekikikan tadi, terlihat
So Ming-ming muncul di depan pintu, katanya
lagi, "Aku hanya jengkel setelah mendengar
perkataanmu itu, kau seolah-olah
menggambarkan diri sendiri seperti dewa, semua
pahala mau diraup seorang diri."
Biarpun wajah So Ming-ming mirip orang
marah, namun sinar matanya justru dihiasi
senyuman. "Andaikata Pho Ang-soat tidak memberitahu
kepadaku kalau di dalam sumur kering pasti
terdapat lorong bawah tanah, bagaimana
mungkin aku bisa menemukan dirimu," lanjut So
Ming-ming lagi, "kalau aku gagal menemukan
dirimu, siapa yang bakal membebaskan totokan
jalan darahmu, siapa yang bakal membawakan
seekor ayam panggang untuk menangsal
perutmu, darimana kau bisa mendapatkan
kembali kekuatanmu?"
Sambil bercekak pinggang dan melotot besar,
ujarnya lebih jauh, "Seandainya bukan Pek Ih-ling
yang memberitahu kepadaku tentang
hubungannya dengan Ong Ling-hoa, darimana
pula kau bisa tahu Ong Ling-hoa telah mengawini
orang suku Damu hingga melahirkan dua orang
Be Khong-cun."
"Baik... baiklah... kau memang benar,
semua pahala dan jasa ini memang sepantasnya
dimiliki kau seorang."
"Tentu saja."
So Ming-ming tergelak, senyumannya sangat
manis dan gembira.
Di luar kota Lhasa terdapat sebuah jalan
setapak, di ujung jalan terdapat sebuah rumah, di
depan emperan rumah tergantung sebuah
keliningan. Suara keliningan yang merdu bergema tiap kali
angin berhembus, dalam rumah terlihat seorang
wanita sedang bebenah.
Ketika lelah, perempuan itu pun berhenti,
menyeka peluh yang membasahi jidatnya.
Pada saat itulah tiba-tiba detak jantungnya
berdebar sangat keras, dia telah melihat
kemunculan seraut wajah yang putih pucat.
Sebilah golok kesepian ditambah seorang lelaki
yang kesepian. Mereka berdua pun saling tatap, berpandangan
dengan mulut membungkam, sampai lama sekali
belum juga ada yang buka suara, kebahagiaan
sedang membara di hati mereka, seperti bunyi
keliningan yang berdenting tiada hentinya.
T A M A T Kisah Pendekar Bongkok 15 Kuda Putih Karya Okt Pendekar Super Sakti 10
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama