Ceritasilat Novel Online

Kisah Pedang Di Sungai Es 14

Kisah Pedang Di Sungai Es Pengemis Berbisa Karya Liang Ie Shen Bagian 14


tanah. Selain itu tertulis jelas pula tempat
dimana tersembunyi harta-benda yang dipendamnya. harta ini
dapat kami gali keluar untuk biaya pemberontakan kepada
raja baru yang lalim itu.
"Dan bagian ketiga adalah bagian yang paling aneh, bagian
ini terdiri dari separoh kunci ilmu silat. Diatas surat kulit itu
tertulis bahwa kakakku juga memiliki surat kulit seperti itu,
dua bagian isi surat itu adalah sama, bagian yang terakhir
berbeda, dan separoh bagian ilmu silat yang lain itu terdapat
didalam surat kulit kakakku."
"Jika demikian, ayah bagindamu itu ternyata bukanlah
sembarangan raja," ujar Hay-thian dengan tertawa. "Beliau
selain memiliki harta benda yang tak terhitung besarnia,
bahkan memiliki kitab rahasia ilmu silat. Tapi mengapa cuma
setengah bagian saja yang diberikan padamu?"
"Rahasia ilmu silat itu konon adalah tinggalan seorang
tokoh persilatan pada beberapa ratus tahun yang lalu, tokoh
silat itu bersuaka kenegeri kami karena menghindari pencariar,
musuh, dan karena berterima kasih kepada leluhur kami yang
telah menyambutnya dengan baik hati. maka ilmu silat itu
telah ditinggalkannya. Paja jaman itu leluhur kami itu baru
seorang kepala Teelompok suku, kemudian berhasil melatih
ilmu silat dan kelompok suku yang dipimpinnya menjadi kuat,
akhirnya dapat mendirikan negeri Masar dan menjadi raja.
Cuma sayang, raja-raja selanjutnya jarang yang berminat
beladiar ilmu silat hingga kunci melatih ilmu silat itu lantas
tersimpan tak terurus didalam perpustakaan negara.
"Tapi ayahku telah menurunkan kitab ilmu silat itu dan kami
kakak-beradik masing-masing diberinya separoh bagian, itu
berarti beliau mengharap sesudah kami berdua dapat bertemu
kembali untuk bersama-sama meyakinkan ilmu silat itu serta
untuk membalas sakit hatinya. Berbareng bukti kulit kambing
ini dapat pula dipakai sebagai bukti pengenal kami kakakberadik.
Suhuku juga telah membaca separoh bagian ilmu silat
ini, menurut beliau, agak berbeda dengan ilmu silat dari
Tionggoan, bahkan didalamnya ada bagian-bagian yang bagus
pula. Cuma kami tiada tempo buat melatih ilmu silat diatas
surat kulit ini, terpaksa menunggu pada lain waktu."
Sampai disini, Tiong-lian berhenti sejenak, lalu ia tanya
kepada Kang Hay-thian dengan tersenyum: "Nah, sekarang
tentu kau dapat memahami mengapa aku dapat mengetahui
rahasia Yap Tiong-siau yang telah memalsu sebagai kakakku,
bukan?" "Ya, sebab dia tidak memiliki bukti pengenal tinggalan
ayahmu, yaitu surat kulit kambing itu," sahut Hay-thian.
"Memang benar demikian, sebab kalau dia benar-benar
adalah saudaraku, tentu yang dia tanya lebih dulu adalah
bukti-bukti pengenal yang kumiliki itu," kata Tionglian. "Tapi
dia justeru tidak berbuat begitu, dia malah berputar-putar
hendak memancing ucapanku. tentu saja aku lantas tahu
rahasia pemalsuannya. Kami kakak beradik dibesarkan oleh
Khu Giam dan Yap Kun-san, hal ini memang sudah diselidiki
olehnya dengan jelas, maka dia lantas mengaku sebagai
kakakku, tapi mana aku mau percaya padanya?"
"Jika begitu, jadi Yap Tiong-siau itu sebenarnya seorang
licik," kata Hay-thian. "Baiklah, bila besok dia datang lagi,
tentu aku akan melabraknya."
"Tetapi, meski kau dapat menangkan Yap Tiong-siau. tentu
kau akan susah melawan kedua Hwesio itu," ujar Tiong-lian.
"Jika kau hendak melabrak mereka, paling sedikit harus
mempunyai keunggulan yang meyakinkan."
"Itulah sulit, darimana kepandaianku bisa bertambah
mendadak" Kecuali kalau aku menggunakan lagi Thian-mokayte-tay-hoat?" sahut Hay-thian.
"Cara itu kurang baik. hal mana tentu akan membikin susah
padamu sendiri, lebih baik jangan dipakai," kata Tiong-lian.
"Habis, bagaimana untuk bisa menangkan musuh?" sahut
Hay-thian dengan masgul.
Tiong-lian memikir sejenak, tiba-tiba katanya: "Hay-thian,
aku ada suatu akal, meski agak berbahaya, tapi akan jauh
lebih baik daripada menggunakan Thian-mo-kay-te-tay-hoat,
apakah kau bersedia mencobanya?"
"Kita terkurung disini, toh sudah terang tiada jalan lain."
ujar Hay-lhian. "Mati saja aku tak gentar, mengapa takut
menyerempet bahaya?"
"Baiklah, nah, coba kau putar balik kesana, tutup matamu,"
pinta Tiong-lian.
"Aneh, mau apa kau" Main sulap?" tanya Hay-thian dengan
tertawa. "Tak perlu tanya." kata Tiong-lian. "Nah. putar kesana. jika
kusuruh kau membuka mata barulah kau boleh putar balik
kesini lagi."
Dengan penuh tanda tanya terpaksa Kang Hay-thian
menurutkan permintaan gadis itu.
Kiranya Kok Tiong-lian hendak membuka baju dan
menanggalkan sehelai baju kutang dalam. Selesai itu barulah
ia suruh Kang Hay-lian membalik pula dan menyodorkan
sesuatu sambil ber-tanya: "Mungkin kau tidak kenal benda ini,
bukan?" Ternyata ditangan gadis itu terdapat tujuh biji kancing yang
berwarna putih kelabu, tampaknya seperti kancing buatan dari
bahan tulang. "Aneh. kenapa kau melepaskan biji kancing bajumu" Kukira
mestika apa?" ujar Hay-thian.
"Ini juga mestika, kau sendiri yang tidak kenal," sahut
Tiong-lian dengan "tertawa.
"Mestika" Apa benar?" Hay-thian menegas.
"Sudah tentu benar, bahkan segala mestika juga takbisa
menandinginya." sahut Tiong-lian. "Ketahuilah bahwa ini
adalah Thian-sim-ciok yang sangat diimpi-impikan oleh setiap
tokoh persilatan manapun juga."
Kang Hay-thian masih ragu-ragu mendengar ucapan sigadis
yang begitu sungguh-sungguh itu. Ia tanya pula: "Habis, apa
gunanya?" "Sesudah Thian-sim-ciok ini digilas remuk, lalu diminum
dengan arak, setiap biji batu ini dapat menambah sama
dengan sepuluh tahun tenaga orang," tutur Tiong-lian.
"Wah, begitu hebat kasiatnya" Dan darimana
memperolehnya?" tanya Hay-thian dengan heran.
"Waktu aku dibawa lari, ayah baginda telah memberikan
sehelai baju kutang padaku dan diatasnya terdapat tujuh biji
kancing. dan ternyata semuanya adalah Thian-sim-ciok ini."
tutur Tiong-lian. "Tentang bagaimana memperolehnya, itulah
aku sendiripun tidak tahu".
"Menurut cerita, dibawah sinar matahari, Thian-sim-ciok ini
akan bersemu merah," Tiong-lian menutur lebih jauh. "Dahulu
sesudah Suhuku mengetahui tanda-tanda yang aneh itu,
beliau masih tidak tahu bahwa ini adalah mestika yang jarang
terdapat di dunia persilatan. Belakangan sesudah beliau minta
petunjuk pada tabib sakti Yap Ik-jong dan barulah dikenalnya
batu ini sebagai Thiam-sin-ciok. Menurut cerita batu mestika
ini hanya terdapat di Sing-siok-hay (laut diatas dataran tinggi)
dipegunungan Kun-lun-san."
"Wah, jika ada mestika seperti ini, mengapa kau tidak
memakainya menurut resepnya?" tanya Hay-thian dengan
girang. "Katanya sebutir batu ini akan sama kekuatannya
dengan latihan sepuluh tahun. Ha, kalau begitu, jika tujuh biji
batu ini kau makan semua, bukankah kau akan merajai dunia
persilatan, apa lagi cuma keroco sebangsa Yap Tiong-siau
itu?" "Jika aku boleh meminumnya, masakah masih menunggu
sampai sekarang?" sahut Tiong-lian dengan tertawa. "Justeru
batu Thian -sim-ciok ini juga mengandung racun yang maha
dahsyat. untuk makan batu ini orang harus memiliki Lwekang
yang tinggi supaya dapat menahan serangan racunnya, dari
itu kalau orang kurang kuat, bukannya mendapatkan
manfaatnya, sebaliknya akan mati malah kalau makan batu
mestika ini."
"Baiklah, biar aku saja yang mencobanya," kata Hay-thian.
"Dahulu Tan-sioksiok (Tan Thian-ih) pernah mendapatkan
buah aneh di istana es. siapa tahu kalau Thian-sim-ciok ini
juga akan membawa keajaiban bagiku. Adapun Lwekangku
rasanya juga lebih kuat daripada Tan-sioksiok, biarpun racun
batu mestika ini jauh lebih lihay daripada buah aneh istana es
itu, mungkin juga tiada halangannya bagiku."
"Justeru mengingat Lwekangmu cukup kuat, makanya aku
pikir boleh kau mencobanya," kata Tiong-lian.
Tempat tinggal Tiong-lian ini sebenarnya adalah istana
musim panas raja, dengan sendirinya banyak tersedia arakarak
bagus. Segera ia mengambil satu botol, ia mencobanya
dahulu dan ternyata tidak beracun, lalu diberikannya kepada
Kang Hay-thian. "Nah. kau boleh coba dulu satu biji," kata
Tiong-lian. Segera Hay-thian menggunakan tenaga jari untuk
meremas batu itu lalu diminum bersama arak. Seketika ia
merasa suatu arus hawa panas merangsang dari dalam perut,
agak muak rasanya, tapi toh tidak berhalangan apa-apa.
Sebenarnya ia tidak rakus untuk memakan obat mestika itu
lebih banyak, tapi maksudnya ialah ingin lekas-lekas
menyelamatkan Kok Tiong-lian, untuk mana ia kuatir kekuatan
satu biji batu mestika itu belum cukup hingga tak dapat
mengalahkan musuh, maka ketika kemudian sigadis tanya
padanya bagaimana rasanya sesudah minum bubuk Thiansimciok itu, ia lantas menyatakan tidak apa-apa, bahkan
manis dan enak rasanya, maka minta diberi lagi.
Tiong-lian mengira Lwekang sipemuda memang sangat
tinggi untuk cukup kuat menahan rangsangan racun batu
mestika itu. dengan girang segera ia memberinya dua biji lagi
Katanya: "Jika betul kasiat batu mestika ini, maka tenagamu
akan berarti tela!i bertambah dua-tiga puluh tahun lebih kuat.
Pada jaman ini mungkin cuma gurumu yang mampu melawan
kau. Sebenarnya aku kuatir kau tak tahan oleh rangsangan
obat ini, maka secara terbatas aku memberikan padamu,
harap kau jangan salah paham."
"O, tidak, tidak!" cepat Hay-thian menyahut dengan
tertawa. Maklum ia sendiri sudah merasa tenggorokan panas
dan kepala puyeng. "Sudah cukup, lebih dari cukup, sekaligus
aku telah makan tiga biji batu mestikamu itu, sungguh aku
merasa tidak enak hati."
Dan ketika ia nyoba menggeraki tangannya, sekali hantam
kepilar. "blang", pilar itu sampai rompal hingga batu kerikil
bercipratan. Tiong-lian sangat girang, katanya: "Kasiat Thian-sim-ciok ini
benar-benar sangat hebat, untung tidak kena digeledah
mereka." Dalam pada itu Kang Hay-thian merasa badannya seolaholah
dibakar. keringat bercucuran bagaikan habis mandi.
Keruan Tiong-lian menjadi terkejut. "Kenapakah kau?"
cepat ia tanya.
Supaya sigadis tidak kuatir, sengaja Hay-thian berlagak
tidak apa-apa, sahutnya dengan tertawa: "0, tidak apa-apa,
hanya terasa sedikit gerah!" Dan ia sengaja mengunjuk sikap
biasa, ia tanya pula: "Baju kutang dari ayahmu itu hanya
cukup dipakai waktu kau masih kecil, mengapa mereka tidak
menaruh perhatian hingga masih dapat kau pertahankan
dengan baik?"
"Sudah tentu aku tak membawa baju kanak-kanak yang
menarik perhatian orang itu," sahut Tiong-lian. "Sudah lama
aku menanggalkan surat kulit dan ketujuh biji Thian-sim-ciok
itu. Ketujuh biji Thian-sim-ciok telah kubikin menjadi biji
kancing kutangku dan surat kulit kambing itu kusembunyikan
didalam lapisan sepatuku."
"Ai, engkau benar-benar sangat pintar, kalau aku, tentu
tidak dapat menemukan akal sebaik itu," ujar Hay-thian
dengan tertawa yang dibuat-buat, sampai suara sendiri yang
sudah serak itu terasa sangat menusuk telinga.
Keruan Tiong-lian dapat mengetahui keadaan pemuda itu,
seru-nya segera: "Hai, kenapakah kau" Ah, kau tentu
menderita sakit." Dan waktu ia coba meraba jidat Kang Haythian,
ia merasa tangannya seakan-akan dibakar, panasnya
bukan main. Tapi Hay-thian masih berlagak gagah, katanya dengan
tertawa: "Ah, tidak apa-apa, tidak apa-apa!" Namun belum
habis ucapannya, "bluk" ia tidak tahan lagi dan jatuh
tersungkur. "Wah, celaka!" seru Tiong-lian dengan kuatir. "Lekas kau
mengerahkan Hou-te-sin-kang!"
Tapi menjadi lebih runyam lagi ketika Kang Hay-thiam
menuruti anjuran gadis itu. Mendadak badannya bertambah
panas luar biasa. Kiranya Thian-sim-ciok itu adalah semacam
benda yang maha panas, sedangkan ilmu silat pelindung
badan Kang Hay-thian itu justeru adalah tenaga "Yang",
tenaga positip yang murni, keruan seperti api ditambah
minyak, panasnya semakin menjadi-jadi.
Saking panasnya, dalam sekejap saja Kang Hay thian sudah
megap-megap dan pikirannya menjadi tak sadar.
Selagi Kok Tiong-lian merasa bingung dan menyesal akan
keja-dian itu, tahu begitu lebih baik batu mestika itu tak
disuruhnya minum.
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara keriutnya pintu,
mendadak dinding didepan sana melekah hingga tertampaklah
sebuah pintu rahasia. Seorang wanita cantik dgn dandanan
yang berlebih-lebihan melangkah keluar. Itulah dia Thian-mokaucu
adanya. "Jangan kuatir kau, kedatanganku adalah untuk membantu
kau. akan kubantu kau menolong dia," kata Thian-mo-kaucu
dengan tertawa nyaring.
Dahulu waktu Thian-mo-kaucu bikin rusuh diatas Bin-san,
pernah Kok Tiong-lian melihatnya, kini lapat-lapat ia masih
mengenalnya. Keruan kejutnya tak terhingga, serunya: "Hai.
kau?" kau bukankah Thian-mo-kaucu" Masakah kau begitu
baik dan sungguh-sungguh hendak membantu aku?"
"Eh, rupanya kau masih ingat padaku," kata Thian-mokaucu
dengan tertawa. "Maksudku mengirim dia kesini adalah
supaya kalian dapat saling bertemu, siapa duga kau malah
anggap aku sebagai musuh dan malah salah memberi minum
Thian-sim-ciok padanya."
"Kau dapat menolong dia?" tanya Tiong-lian.
"Ya, asalkan kau berikan surat kulit kambing dan Thian-simciok
kepadaku," sahut Thian-mo-kaucu.
"Apa katamu" Kau inginkan kedua macam benda itu?"


Kisah Pedang Di Sungai Es Pengemis Berbisa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiong-lian menegas.
"Hahahahaha!" Thian-mo-kaucu terbahak-bahak. "Memang
benar. Segala rahasiamu aku sudah tahu, dan kaupun tidak
perlu berdusta lagi padaku. Kedua macam benda itu toh
takkan berguna bagimu, bahkan akan membikin celaka seperti
bocah itu. Maka lekas kau berikan padaku saja."
Kiranya orang yang menghantarkan Kang Hay-thian
ketempat Kok Tiong-lian ini tak-lain-tak-bukan adalah tipu
muslihatnya Thian-mo-kaucu. Ia telah mengetahui Yap Tiongsiau
tak berhasil memancing rahasia dari mulutnya Kok Tionglian,
untuk mana, jalan lain tak ada lagi kecuali harus
memperalat seorang yang paling dipercaya oleh gadis itu.
Didalam istana peristirahatan raja ini dimana-mana terdapat
kamar rahasia dengan alat-alat rahasia yang otomatis, maka
setiap gerak-gerik Kang Hay-thian dan Tiong-lian semuanya
dapat diikuti dan didengar jelas oleh Thian-mo-kaucu.
Meski Kang Hay-thian dalam keadaan samar-samar, sadartaksadar, tapi demi mendengar suaranya Thian-mo-kaut]u,
seketika ia ter-jaga, mendadak ia meloncat bangun sambil
berteriak: "Kau perempuan tenung ini telah bikin susah
padaku. Yal" dan berbareng-ia terus menghantam.
Disambar oleh angin pukulan pemuda itu. Thian-mo-kaucu
kontan sempoyongan, hampir saja ia roboh terjungkal.
Sebenarnya dia memang sengaja menunggu Kang Haythian
sudah mabuk oleh racun Thian-sim-ciok, lalu ia unjukkan
diri. ia sangka pemuda itu tentu takdapat melawannya lagi.
Siapa duga mendadak Kang Hay-thian dapat melompat
bangun, bahkan terus menghantam dari jauh dengan Pikkhongciang yang sakti, malahan tenaganyanya jauh lebih
hebat daripada semula.
Dilain piKak Kok Tiong-lian menjadi girang sekali, cepat ia
berseru: "Hay-ko, lekas kau tambahi sekali pukul lagi?"?".
kenapakah kau" Dia disebelah sana, he, apa kau tidak
melihat-nya?"
Begitulah ia melihat Kang Hay-thian terhuyung-huyung
seperti orang mabuk, jalannya gentayangan tak keruan
arahnya. berulang-ulang ia menghantam serabutan pula
kekanan dan kekiri hingga Thian-mo-kaucu dan Kok Tiong-lian
terpaksa sama menyingkir.
Maka terdengarlah suara "blang" sekali, pukulan Kang Haythian
mengenai dinding hingga berlubang besar, batu
bertebaran, gedung itupun serasa teTgunt ang. Kok Tiong-lian
berteriak-teriak pula hendak menyadarkan Hay-thian, tapi
"bluk", mendadak pemuda itu roboh pula.
Kiranya Kang Hay-thian sebenarnya sudah tak sadar
terbakar oleh suhu panas yang dibawa Thian-sim-ciok itu,
cuma sebagai tokoh persilatan, ketika mendadak mendengar
musuh datang, otomatis timbul semaUgatnya hendak
melawan, tapi hal mana hanya terjadi sekejap saja, segera ia
takbisa menguasai diri lagi dan roboh pula, sekali ini ia benarbenar
tak sadar lagi, kehilangan daya inderanya sama sekali.
Thian-mo-kaucu menghela napas lega, pelahan-lahan la
mendekati Kang Hay-thian. ketika ia cungkit dengan ujung
kakinya. Kang Hay-thian terbalik tiarap, kedua matanya
terpejam rapat, terang takbisa berkutik lagi sedikitpun.
Terkejut dan girang pula Thlan-mo-kaucu. pikirnya: "Sungguh
tidak nyana kasiat Thian-sim-ciok itu sedemikian aneh dan
sakti, tapi bekerjanya racun juga begini keras".
Dalam pada itu Tiong-lian sedang berteriak-teriak pula
memanggil Hay-thian, dalam bingungnya ia terus mendekati
pemuda itu tanpa menghiraukan Thian-mo-kaucu,
"Sementara ini dia takkan mati, asal kau serahkan kedua
macam barang itu padaku, tentu aku akan berdaya
menghidupkan dia," kata Thian-mo-kaucu.
"Kau menghidupkan dia lebih dulu, kemudian akan
kuberikan barang yang kau inginkan," sahut Kok Tiong-lian.
Padahal Thian-mo-kaucu juga tidak tahu cara bagaimana
harus menolong Kang Hay-thian. Maka sambil mendengus ia
berkata pula: "Kau tidak mau kasih, apa aku takbisa ambil
sendiri?" habis berkata, secepat kilat ia terus menutuk ke "Ihgihiat" dipinggang Kok Tiong-lian, jika tertutuk, pasti gadis itu
akan terkulai tanpa berkutik lagi.
Sebagai ahli waris Lu Si-nio, sudah tentu kepandaian Kok
Tiong-lian juga tidak rendah, sekali menggeser, dengan cepat
ia masih sempat menghindarkan tutukan orang, bahkan terus
balas menghantam musuh.
Tapi dengan kedua tangannya naik-turun bagaikan orang
menari, dalam sekejap saja Thian-mo-kaucu sudah
melontarkan 6"7 kali serangan hingga Kok Tiong-lian
kelabakan. untung ia mainkan ilmu pukulannya menurut Hianlikiam-hoat, ia menjaga diri dengan rapat hingga sementara
ini Thian-mo-kaucu masih tak-dapat merobohkan dia. Akhirnya
Thian-mo-kaucu menjadi tidak sabar, mendadak ia meniup
hawa kemuka sigadis, mulutnya mengulum bunga hantu yang
berbisa, keruan seketika Tiong-lian terbius hingga lemas,
akhirnya ia roboh tertutuk oleh Thian-mo-kaucu.
Segera Thian-mo-kaucu menggeledah badan Kok Tionglian,
lebih dulu ia ambil sisa empat biji Thian-sim-ciok itu.
Sebagai seorang yang mahir menggunakan racun, Thian-mokaucu
sudah merancang nanti sesudah pulang akan
dipelajarinya Pek-tok cin-keng untuk menyelami dimana letak
inti racun Thian-sim-ciok itu, dari kitab pusaka tinggalan Kiau
Pak-beng itu pasti akan dapat diperoleh resep pemunah
racunnya. Kemudian bila keempat biji Thian-sim-ciok itu sudah
diminum, didunia ini tentu tiada tandingannya lagi.
Lalu ia mencopot sepatunya Kok Tiong-lian, ia melolos
pedang untuk membeset lapisan sepatu itu. Pedang yang
digunakannya itu adalah Cay-in-pokiam yang dirampasnya dari
Kang Hay-thian. Ketika lapisan sepatu itu sudah dipotong,
benar juga didalam lapisan sepatu sebelah kanan diketemukan
surat kulit kambing itu.
Setelah membaca sekadarnya surat kulit kambing itu,
segera Thian-mo-kaucu merobek bagian yang terakhir itu,
saking gembiranya hingga ia terbahak-bahak sendiri, ia
mengumam pula seorang diri: "Bagian "Liong-lik-pit-cong" ini
akan kusimpan sendiri, sisa dua bagian yang lain akan
kuberikan kepada Po-siang Hoat-su dan Yao Tiong-siau, yang
seorang memperoleh harta karun raja yang dahulu, yang lain
mendapatkan pesan rahasia tinggalan raja, tentu juga mereka
akan merasa puas dengan ini."
Ia simpan baik-baik kulit kambing itu, lalu ia pandang pula
kepada Kok Tiong-lian, tiba-tiba ia tertawa dan berkata: "Ya,
masih ada semacam mestika, hampir saja aku lupa."
Segera ia melepaskan pula Giok-kah yang dipakai Kok
Tiong-lian itu. Keruan kelihatanlah badan Tiong-lian yang putih
bersih itu. Meski tertutuk dan takbisa berkutik, tapi kesadaran
Tiong-lian tidak hilang sama sekali, ia menjadi malu. dan
gemas pula. "Ai, ai! Putih sebagai salju, sungguh akupun tergiur, pantas
Kang Hay-thian rela sehidup-semati dengan kau," demikian
Thian-mo-kaucu menggoda. "Baiklah, akupun takkan
menyelakai kalian, apakah kalian akan hidup atau mati,
terserah pada nasib kalian."
Ia coba menggurat Giok-kah itu dengan Cay-in-pokiam. ternyata
diatas baju kemala itu hanya tertampak sejalur bekas
pedang yang tipis, sedikitpun pedang pusaka itu takdapat
melukai baju mestika itu.
"Hahahaha!" kembali Thian-mo-kaucu tertawa puas. "Dua
dari ketiga pusaka tinggalan Kiau Pak-heng itu sudah
kuperoleh, kini mendapatkan pula Thian-sim-ciok dan Lionglikpit-cong", hahahaha. biarpun Kiau Pak-beng atau Thio Tanhong
hidup lagi mungkin juga bukan tandinganku sekarang!"
Begitulah selagi Thian-mo-kaucu tertawa senang hingoa
lupa daratan, tiba-tiba terasa dari belakang ada berkesiurnya
angin, yaitu angin yang terbawa oleh orang berjalan.
Didalam kamar rahasia itu memang tersembunyi juga
beberapa dayang kepercayaan Thian-mo-kaucu, maka ia
menyangka yang datang itu adalah salah seorang dayangnya,
tanpa menoleh ia lantas berkata: "Sudahlah selesai usaha kita,
marilah berangkat pergi!"
Tapi baru selesai ucapannya, tahu-tahu tangannya telah
kena di-cengkeram orang, bahkan sebatang jarum perak yang
gemilapan telah mengancam didadanya.
Keruan Thian-mo-kaucu terperanjat, cepat ia berseru: "He,
nona Auyang, janganlah bergurau!"
Kiranya yang yang mengancam Thian-mo-kaucu dengan
jarum itu memang benar adalah Auyang Wan. Ilmu silatnya
sebenarnya jauh dibawah Thian-mo-kaucu, tapi karena sedikit
lengah saja iblis itu telah kena di-ingusi Auyang Wan,
terutama jarum perak yang mengancam didadanya itu adalah
jarum berbisa, sebagai seorang ahli tentu saja Thian-mokaucu
tahu hal itu, maka ia tidak berani sembarangan
berkutik. Maka berkatalah Auyang Wan: "Maaf, Kaucu. aku hanya
ingin tanya sesuatu padamu."
"Urusan apa?" tanya Thian-mo-kaucu.
"Racun Thian-sim-ciok, cara bagaimana memunahkannya?"
tanya Auyang Wan.
"Ha, kiranya kau juga ingin menolong bocah itu, ya, aku
bisa, boleh kau lepaskan aku dahulu," sahut Thian-mo-kaucu.
"Boleh juga, lebih dulu aku tusuk kau sekali dengan jarum
ini, pabila kau benar dapat menolong dia, tentu akupun akan
memberi obat penawar padamu." kata Auyang Wan. "Haha,
jika kau hanya omong kosong, maka jiwamu tentu juga akan
melayang!"
Keruan Thian-mo-kaucu berkeringat dingin, serunya: "Nona
Auyang, keji amat kau!"
"Ah, dibandingkan kau kan seperti semut ketemu gajah?"
sahut Auyang Wan.
Sebenarnya Thian-rno-kaucu sangat jeri bila jarum berbisa
Auyang Wan itu benar-benar ditusukan kedadanya. tapi ia
masih berlagak tenanp sambil tertawa mengikik.
"Apa yang kau tertawakan?" semprot Auyang Wan dengan
mendongkol. "Aku mentertawai kau terlalu bodoh, buat apa mesti
kesemsem kepada bocah tak berbudi itu?" kata Thian-mokaucu.
"Dia sudah mempunyai kekasih, yaitu nona Kok
didepanmu ini. Jika kau menolong dia. toh dia juga takkan
mengambil kau sebagai isteri."
Wajah Anyang Wan seketika pucat pasi, ia termenung tak
bicara. Thian-mo-kaucu mengira perasaan nona itu mulai guncang,
segera ia tambahkan pula: "Nona Auyang, aku akan memberi
pedang pusaka ini kepadamu berikut dua biji Thian-sim-ciok
yang berguna sekali bagi kemajuan ilmu silatmu. Kelak kau
akan merupakan tokoh wanita yang" jarangr terdapat didunia
persilatan, untuk mencari jodoh masakah kuatir tidak
mendapatkan lelaki yang berpuluh kali lebih bagus daripada
Kang. Hay-thian ini?" ".
Sebagai gadis cerdik, mendengar bujukan Than-nio-kaucu
itu, segera Auyang Wan tahu hakikatnya orang tiada
mempunyai kemampuan untuk memunahkan racun Thian-simciok,"
dengari kertak gigi segera ia berkata dengan mengejek:
"Hm, barang-barang itu adalah rnilikku, buat. apa aku mesti
minta padamu?" sekali ia tekan jarumnya, segera ia tusuk dada
Thian-mo-kaucu"
Diam-Diam Tiong-lian menaksir mungkin gadis yang
dipanggil nona. Auyang ini adalah puterinya Auyang Tiong-ho
sebagai dikatakan oleh Yap Tiong-siau itu, katanya nona
Auyang ini sangat baik hubungannya dengan Hay-thian,
tampaknya sekarang memang betul hal itu. Tapi entah engkoh
Hay juga cinta padanya atau tidak" Tapi seorang gadis jelita
mengapa bertangan gapah dan berhati sekeji ini"
Dilihatnya Auyang Wan telah merampas Thian-sim-ciok, dan
Yo-bi-su (surat kulit kambing) dari tangan Thian-mo-kaucu,
kemudian memindahkan Cay-in-pckiam kepinggang sendiri
dan kalian melepas pula Giok-kah. Ketika ia memutar tubuh,
tiba-tiba sinar matanya menatap keareh Kok Tiong-lian.
Mau-tak-mau Tiong-lian terkesiap, ia pikir jangan-jangan
orang hendak rnenganiaya dirinya. Dalam pada itu Anyang
Wan sudah mendekatinya dan berkata dengan tertawa dingin
"Ehm. cantik benar, pantas Kang Hay-thian kesemsem
padamu!" Tiong-lian merinding oleh sorot mata Auyang Wan yang
penuh rasa benci dan keji itu, ia tidak tahu perlakuan apa
yang akan dilimpahkan pada dirinya.
Memang ada juga maksud Auyang Wan hendak
melenyapkan jiwa Kok Tiong-lian, tapi entah mengapa, iapun
meraaa seram untuk turun tangan. Terjadilah pertentangan
batin yang hebat padanya. Biasanya ia sangat bangga akan
kecantikannya sendiri, tapi kini makin melihat ia makin merasa
Kok Tiong-lian lebih cantik daripadanya, maka rasa
cemburunya menjadi lebih berkobar pula. kalau menuruti
hatinya, ingin sekali gadis iang dianggap saingan besar itu
akan dibinasakan dengan jarumnya yang berbisa itu. Tapi
segera ia memikir pula: "Ah, tidak boleh kubinasakan dia.
Sudah berulang kali Kang Hay-thian menasihatkan aku kembali
kejalan yang benar, pabila dia tahu aku membunuh Kok Tionglian,
biarpun aku dapat menolongnya keluar dari sini juga tidak
mungkin ia mau mencintai aku." Lalu terpikir lagi olehnya:
"Tapi kilau aku tidak memberitahukan dia tentang apa yang
terjadi disini, darimana. dia mendapat tahu" "Kalau kuampuni
dia, teniu akan merupakan bibit bencana bagiku, lebih baik
aku membunuh dia saja." Begitulah, maka pelahan-lahan ia
mengangkat jarumnya kemuka Kok-Tiong-lian.
Memangnya Kok-Tiong-lian merasa dirinya pasti takkan
terhindar dari kematian, kini melihat jarum orang yang
mengkilap, menyeramkan itu, mau-tak-mau tertampak juga
rasa jerinya. Sekonyong-konyong hati Auyang Wan tergetar, pikirnya:
"Tapi dia-tidak sama dengan Thian mo-kancu, dia adalah
seorang gadis yang baik, kalau aku membunuhnya, apa aku
tidak terlalu kejam Ai, jika hal ini kulakukan, sekalipun KangHay-thian tidak tahu juga aku sendiri akan menderita tekanan
batin selama hidup."
Pada dasarnya memang kebajikan lebih unggul daripada
kejahatan, akhirnya pertentangan batin Auyang Wan itu
dimenangkan oleh pikiran yang sehat. Sinar mata Auyang Wan
yang tadinya bengis itu pelahan-lahan berubah menjadi
ramah.

Kisah Pedang Di Sungai Es Pengemis Berbisa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiba-Tiba tertampak Kang Hay-thian membalik tubuh sambil
mengigau: "O, kau juga datang?".
Kejut dan girang Auyang Wan, cepat ia mendekati dan
berbisik disamping telinga Hay-thian: "Ya, benar, aku sudah
datang! Bangunlah kau!"
Tapi Hay-thian tidak bangun, sebaliknya tidur lebih nyenyak
malah. Waktu Auyang Wan meraba jidat pemuda itu, ia
merasa panasnya luar biasa. Air matanya bercucuran, ia
goyang-goyang tubuh pemuda itu dengan rasa cemas.
Sebenarnya Kang Hay-thian bukan lagi tidur, tapi pikirannya
menjadi limbung karena rangsangan hawa panas Thian-simtiok
itu, lapat-lapat iapun merasa didekati orang, lalu tubuh
sendiri digoyang-goyangkan, sedapat mungkin ia coba
membuka mata. "Dapatkah kau mengenali aku" Aku adalah Auyang Wan!"
seru Auyang Wan cepat.
Samar-Samar Hay-thian melihat suatu bayangan orang,
daya pan-dangannya belum lagi pulih, tapi ia dapat mengenali
suaranya Auyang Wan. Sekuatnya ia coba membuka mulut,
tapi susah untuk bersuara.
Melihat bibir pemuda itu bergerak-gerak, segera Auyang
Wan mendempelkan telinganya. samar-samar ia mendengar
Kang Hay-thian berkata dengan terputus-putus: "Aku?""aku
takbisa hidup lagi. Aku mohon?"mohon bantuanmu, sukalah
kau men?"menolong keluar nona Kok itu." habis itu, kembali
matanya terpejam dan tak sadar lagi.
Seketika Auyang Wan terpaku bagai patung, hatinya pilu
dan cemburu, ternyata yang dipikir oleh pemuda itu melulu
Kok Tiong-lian saja. Sejenak kemudian ia coba memeriksa
napas Kang Hay-thian, ia merasa pernapasannya masih
bekerja. Setelah tenaagkan diri, Auyang Wan menggumam
sendiri: "Dia tidak boleh mati! Masih ada harapan, aku tidak
boleh tinggal diam. Kalau mesti mati, biarlah kau mati dalam
pangkuanku".
Segera ia pondong Kang Hay-thian dan pelahan-lahan lewat
disisi Kok Tiong-lian, Ia pandang gadis itu dan pandang pula
pemuda dalam pelukannya itu dengan perasaan gundah.
Pikwnya: "Sedemikian wanti-wanti ia tinggalkan pesan padaku,
apakah aku harus taat pada pesannya, apakah aku harus
menolong nona Kok?"
Setelah memikir sejenak, akhirnya ia mengambil keputusan.
Ia lampirkan baju Kok Tiong-lian dan berkata dengan suarn
rendah padanya: "Nona Kok, maafkan bahwa aku tak dapat
menolong kau. Sebentar tentu ada orang datang kemari, maka
terserahlah kepada nasibmu sendiri."
Tapi belum lagi ia tinggal pergi, sekonyong-konyong
terdengar suara orang mengejek: "Ha, bagus sekali kau,
Auyang Wan, kerja apa kau disini?"
Itulah dia Yap Tiong-siau. Memangnya Auyang Wan sudah
men duga akan kedatangannya, tapi tidak nyana akan tiba
begitu cepat. Keruan ia terkejut.
Maka Yap Tiong-siau telah berkata pula dengan tertawa
dingin: "Ada apakah dengan bocah itu" Apa kau hendak
membawanya kabur?"
Tiba-Tiba Thian-mo-kaucu menimbrung: "Ha, masakah dia
cuma ingin membawa kabur bocah itu, bahkan segala surat
wasiat tinggalan raja yang dahulu dan benda mestika yang
diimpi-impikan setiap orang Bu-lim juga telah digondolnya
semua." Kiranya kepandaian Thian-mo-kaucu memang tiada
bandingan-nya. Biasanya ia sudah sering makan segala
malyain ouat racun, dengan sendirinya timbul semacam daya
anti racun, daya kebal yang terlatih. Maka jarum berbisa
Auyang Wan itu meski lihay juga takdapat melayangkan
jiwanya. Tadi dia cuma pura-pura tak sadarkan diri saja.
Begitulah Yap Tiong-siau menjadi gusar oleh pengaduan
Thian-mo-kaucu itu, damperatnya: "Auyang Wan, aku cukup
baik melayani kau, kenapa kau malah menghianati aku?"
"Ai. maksud baikku kepadamu ternyata kau salah terima,"
sahut Auyang Wan.
"Kau hendak kabur dengan membawa lari barang dan
orang, apakah itu maksud baik" Masih kau berani
menyangkal?"
"Tapi kau tidak tahu, bila aku terlambat datang sedetik saja,
tentu semua benda berharga ini sudah dibawa kabur lebih
dulu oleh Thian-mo-kaucu," sahut Auyang Wan. "Maka
sekarang aku telah merampas kembali semua barang yang
direbutnya tadi dan akan kuserahkan padamu asalkan aku
diperbolehkan membawa pergi dia ini."
"Yap-kongcu, jangan kau gampang percaya omongannya."
seru Thian-mo-kaucu. "Jika kau datang terlambat, tentu dia
yang benar-benar sudah kabur."
"Sudah tentu aku takkan percaya pada omongannya," sahut
Tiong-siau. "Hm, nona Auyang, coba jawablah, jika benar kau
bermaksud baik, kenapa sebelumnya tidak katakan terus
terang padaku, tapi mesti mencuri peta ayah-baginda teatang
istana panas ini dan datang kemari secara sembunyi?"
Auyang Wan tak dapat menjawab lagi, t!ba-ba ia
meletakkan Kang Hay-thian dan berkata dengan tertawa:
"Baiklah, Yap-kongcu, jangan kau marah, akari kuserahkan
semuanya padamu."
Mendadak Thian-mo-kaucu berteriak: "Awas!"
Belum lenyap suaranya, tiba-tiba Auyang Wan mengangkat
tangannya, secomot jarum berbisa yang lembut telah
menyambar kedepan.
Tapi Yap Tiong-siau sudah siap siaga. Segera ia memapak
dengan sekali pukul hingga jarum-jarum berbisa itu
terguntiang jatuh semua. Dalam pada itu secepat kilat Auyang
Wan sudah melolos Cay-in-pokam. dengan tipu "Pek-hongkoanjit" (pelangi melingkungi matahari), terus saja ia tusuk
Yap Tiong-siau.
"Huh, hanya sedikit kepandaianmu ini juga hendak
menghianati aku?" jengek Yap Tiong-siau. Dan sedikit ia
menggeser, berbareng tangannyn menjulur, dgn Kim-na-jiuhoat
segera ia hendak merampas pedang berbareng menutuk
?uyang Wan. "Karena kau takmau terima maksud baikku, terpaksa
akupun tak dapat tinggal diam lagi," kata Auyang Wan. Segera
ia putar pedangnya dengan rapat sambil merangsang maju.
Sebenarnya ilmu silat Auyang Wan masih selisih jauh
dibanding kan Yap Tiong-siau, tapi kini ia memakai pedang
mestika Cay-in-pokiam yang luar biasa tajamnya, maka
pemuda itu tidak bebani sembarangan mendekat, terpaksa ia
menggunakan tenaga pukulan Tay-sen-pan-vak-ciang untuk
mendesak gadis itu agar supaya tidak sempat
menghamburkan jarum berbisa atau senjata beracun lain.
Keruan Auyang Wan terdesak kalang kabut, dengan murka
ia berteriak: "Yap Tiong-siau, janganlah kau terlalu garang,
pabila perlu akan kubikin kau hancur bersama aku!"
Tiong-siau terkesiap, ia tahu Auyang Wan memiliki macammacam
senjata keji, antaranya adalah Liat-yam-tan (geranat
berapi), kalau sampai gadis itu mata gelap dan meledakan
granat itu, tidak saja orang-orang disekitar situ akan hancur
lebur, bahkan berarti pula Thian-sim-cioK dan Yo-bi-su yang
dicari dengan susah payah itu akan ikut musna. Maka cepat
katanya: "Haha, kau tentunya tahu hubunganku dengan
Cicimu, masakah aku tega membunuh kau" Lebih baik kau
menyerahkan barang-barangmu itu dan kita masih bisa bicara
dengan baik-baik?"
"Huh, enak saja kau bicara", jengek Auyang Wan sambil
putar pedangnya lebih kencang. "Jika kau inginkan barangbarang
ini, baiklah, kau harus terima suatu syaratku."
"Coba katakan." sahut Tiong-siau.
"Sediakan sebuah perahu dan lepaskan aka dan Kangsiangkong.
untuk mana akan kuserahkan barang-barang yang
kau minta ini," kata Auyang Wah. "
Tiong-siau menjadi ragu-ragu, masakah gadis itu dapat
dipercaya janjinya. Dan belum lagi ia mengambil keputusan,
tiba-tiba sekilas Auyang Wan melihat Thian-mo-kaucu telah
dapat bergerak, bahkan tangannya memegang jarum berbisa
yang ditusukkannya ke dada Kaucu itu tadi, dan sedang
mendekati Kang Hay-thian.
Keruan saja Auyang Wan terkejut, serunya tanpa terasa,
"Kau hendak apa?"
Kiranya dalam hal menggunakan racun memang Thian-mokaucu
sangat lihai, malah lebih hebat daripada Im Seng-koh,
guru Auyang Wan. Cuma semula ia belum tahu jarum berbisa
yang akan digunakan oleh gadis itu. Ketika kemudian ia telah
dapat menolak rangsangan racun jarum, ia lihat Auyang Wan
juga sedang dibuat sibuk oleh Yap Tiong-siau, kesempatan itu
segera digunakan olehnya untuk mencabut jarum yang
menancap di dadanya itu serta minum obat pemunah. Cuma
karena tenaganya masih lemas, ia tidak berani bertempur, tapi
sengaja Kang Hay-thian yang didekatinya.
Begitulah jika Auyang Wan terkejut, maka Thian-mo-kaucu
semakin senang, ia terbahak-bahak, katanya, "O, tidak apaapa,
jarum yang kau berikan padaku ini aku tidak mau lagi,
akan kusumbangkan kepada Kang-siangkongmu yang bagus
ini!" Sungguh kuatir Auyang Wan tak terhingga, ia berseru,
"Jangan! Apa yang kau kehendaki, katakanlah, akan
kupenuhi!"
Memangnya ia bukan tandingan Yap Tiong-siau, karena
perhatiannya sekarang terpencar, keruan kesempatan itu
lantas digunakan oleh Yap Tiong-siau, sekali merangsek maju,
secepat kilat Tiong-siau telah menuruk Moa-pi-hiat di
pinggang Auyang Wan.
Sebenarnya Thian-mo-kaucu hanya menggertak saja, demi
nampak Auyang Wan sudah tak berkutik, segera ia terbahakbahak,
katanya sambil mendekati Yap Tiong-siau, "Barangbarang
itu berada dalam bajunya semua, harap kau
menggeledahnya."
Sesudah Yap Tiong-siau dapat menggeledah semua barang
yang dibawa Auyang Wan, tapi ia tidak kenal Thian-sim-ciok,
ia coba minta petunjuk pada Thian-mo-kaucu. Maka sambil
menuding dan bicara, Thian-mo-kaucu lebih mendekati Yap
Tiong-siau lagi.
Sungguh Yap Tiong-siau sangat berterima kasih, katanya,
"Sekali ini banyak mendapat bantuan Kaucu, tidak saja rahasia
peninggalan dari raja yang dahulu diketemukan, bahkan
diperoleh pula benda mestika Bu-lim yang tidak taranya ini,
budi kebaikan Kaucu ini pasti takkan kulupakan selama hidup!"
"Hahaha!" Than-mo-kaucu terbahak-bahak. "Hanya omong
saja apa gunanya" Mana, serahkan saja!"
Keruan Yap Tiong-siau melengak kaget. "Serahkan
apa maksudmu?" tanyanya dengan mendelik.
"Serahkan apa" Ha, janganlah kau berlagak pilon!" jengek
Thian-mo-kaucu.
"O, barangkali kau menginginkan Thian-sim-ciok dan Yo-bisu
ini?" "Benar, ditambah lagi Pokiam dan Giok-kah itu!"
"Wah, besar amat seleramu, ha" Segalanya mau kau telan
sendiri" Ai, kira-kira, dong! Masakah semuanya hendak kau
anglap sendiri" Meski hasilnya ini kau ikut mengorbankan
tenaga, tapi kalau aku tidak merobohkan Auyang Wan, jiwamu
sendiri tentu telah melayang sejak tadi, betul tidak?"
"Haha, jadi maksudmu akan 'bongkar jembatan sesudah
menyebrang'?" jengek Thian-mo-kaucu.
"Soalnya bukan begitu," sahut Yap Tong-siau. "Sebagai
seorang Kangouw, kita harus dapat membedakan antara yang
benar dan salah. Kau membantu aku mendapatkan mestikamestika
ini, hal ini aku sangat berterima kasih. Tapi aku pun
telah menyelamatkan jiwamu, kau juga harus berterima kasih
padaku. Jiwa tentu lebih berharga daripada benda-benda ini,
bukan" Toh urusan ini, kita masing-masing tidak hutang pada
siapa pun juga" Rupanya ia pun dapat melihat keadaan Thianmokaucu masih sangat payah sesudah terkena racun jarum,
maka sedikitpun ia tidak gentar.
Thian-mo-kaucu sama sekali tidak naik darah, sebaliknya ia
berkata pula dengan ramah tamah, "Yap-kongcu, dalam
keadaan demikian memang aku tidak sanggup berbuat apaapa
kepadamu. Maka terimalah selamatku atas rezekimu yang
telah mendapatkan mestika-mestika itu. Cuma aku pun
merasa agak sayang bagimu!"
"Sayang apa?" tanya Tiong-siau dengan gusar.
"Habis, meski kau mendapatkan benda mestika sehebat itu
toh tidak punya rezeki lagi untuk menikmatinya," sahut Thianmokaucu. Seketika Yap Tiong-siau terkesiap, ia cukup kenal kelicikan
wanita iblis itu, segera ia curiga, jangan-jangan orang telah
mengerjakan apa-apa atas dirinya. Diam-diam ia coba
mengerahkan tenaga dalamnya, tapi keringat dingin lantas
membasahi tengkuknya. Ternyata di bagian 'Tay-jui-hiat' di
punggung terasa agak pegal-pegal sakit.
"Eh, ada apakah Yap-kongcu" Apa kau merasa tidak enak
badan?" demikian Thian-mo-kaucu lantas mengejek.
Tiong-siau menjadi gusar, dampratnya, "Kau perempuan
siluman ini telah main gila apa?"
"Yap-kongcu, hendaklah kau berlaku sopan sedikit, harus
kau ketahui bahwa sekarang engkaulah yang mesti memohon
padaku dan bukan aku yang memohon padamu," jengek
Thian-mo-kaucu. "Bicara terus terang, jiwamu mungkin cuma
tinggal satu jam saja, di dunia ini hanya ada dua orang yang
mampu menolong kau, seorang adalah aku dan seorang lagi
ialah Im Seng-koh. Cuma waktunya tinggal satu jam saja,
rasanya Im Seng-koh tidak mungkin dapat kau undang
kemari." Yap Tiong-siau menjadi mati kutu, katanya dengan
tersenyun getir: "Baiklah, apa yang kau inginkan, semuanya
akan kuberikan Nah, berikanlah obat penawarmu."
"Buat apa buru-buru. dengarkan dulu perintahku," kata
Thian-mo-kaucu.
Tiong-siau kenal kekejian orang, kalau membangkang,
bukan, mustahil urusan bisa runyam, terpaksa ia merendah:
"Baiklah, silakan Kaucu bicara."
"Nah, mundur dulu lima langkah," kata Thian-mo-kaucu.
Tiong-siau terpaksa menurut.
Lalu Thian-mo-kaucu berkata pula: "Sekarang taruh
sobekan surat kulit dan empat biji Thian-sim-ciok itu. Nah,
bagus! Tanggalkan pula Pokiam itu. Baik, dan Giok-kah itu


Kisah Pedang Di Sungai Es Pengemis Berbisa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

juga taruhlah disitu."
Begitulah Yap Tiong-siau menurut segala perintah itu,
kemudian katanya: "Sekarang dapatkah kau memberi obat
penawar nya?"
"Kenapa mesti kesusu saja?" sahut Thian-mo-kaucu.
"Sekarang kau mundur lagi tujuh langkah!"
Karena kuatir orang menyerang mendadak, maka Thianmokaucu minta Yap Tiong-siau mundur sejauh mungkin
sambil mengulur tempo, ia berharap dalam waktu singkat
tenaganya dapat pulih sebagian, dengan demikian, ia dapat
menggunakan Pokiam dan tidak gentar lagi pada Yap Tiongsiau
jika obat penawar kemudian diberikan padanya.
Sebaliknya Yap Tiong-siau menjadi tidak tenteram, katanya
pula: "Kaucu, segala permintaanmu sudah kulaksanakan,
janganlah kau mempermainkan aku."
"Apa yang kau takutkan?" semprot Thian-mo-kaucu. "Sekali
kukatakan, tidak nanti aku ingkar janji, obat penawarnya tentu
akan kuberikan. Akupun tidak sekeji kau, betapapun masih
punya Liangsim. Lihatlah, aku hanya inginkan sobekan surat
kulit itu, bagian yang masih wutuh tetap kuberikan padamu.
Dengan itu kau akan dapat memperoleh harta karun raja yang
dahulu serta dapat menyerahkan daftar rahasia musuh-musuh
raja yang sekarang, tentu kau akan berjasa besar. Sebenarnya
kau harus berterima kasih padaku, bukan?"
Tiong-siau serba runyam. ia merasa tengkuknya kesakitan
bagai ditusuk-tusuk, tentu racun didalam badan sudah mulai
bekerja. Terpaksa ia memohon lagi: "Terima kasih atas
maksud baik Kaucu. Nah, barang-barang yang kau minta
sudah berada disitu, lekaslah kau ambil!"
Waktu Thian-mo-kaucu mengerahkan tenaga, ia merasa
Lwekangnya sudah pulih separuh, maka beranilah ia berjalan
mendekati benda-benda mestika itu. Tapi baru saja ia
mengulur tangan hendak menjemput, tiba-tiba terdengar
suara samberan sesuatu benda emas secepat kilat.
Yang dijaga-jaga oleh Thian-mo-kaucu adalah kemungkinan
diserang oleh Yap Tiong-siau dari depan, siapa duga sinar
emas itu menyambarnya dari samping secara mendadak,
keruan senjata gelap itu hampir menancap ditelapak
tangannya. Untung tenaga Thian-mo-kaucu sudah pulih
sebagian besar, dalam saat berbahaya itu segera ia jatuhkan
diri kesamping. maka terdengarlah suatu "tang" sekali. Kiranya
Am-gi atau senjata gelap Itu.adalah sebuah Kim-soh (torak
atau sekoci emas) yang kedua ujungnya tajam. Meski Thiaumokaucu sempat menyelamatkan diri, tapi tidak urung jarinya
juga terluka. Dan pada saat lain, dengan cepat luar biasa sesosok
bayangan putih tahu-tahu sudah melayang tiba. Belum lagi
Thian-mo-kaucu sempat melihat jelas, orang itu sudah lantas
sambar Thian-sim-ciok dan Yo-bi-su dilantai itu.
Segera Thian-mo-kaucu menghamburkan secomot jarum
lembut berbisa, tapi sekali orang itu kebaskan lengan bajunya,
belasan jarum lembut itu kena digulung semua olehnya.
Mestinya orang itu hendak memegang Pokiam yang masih
ketinggalan di tanah, tapi karena serangan Thiam-mo-kaucu
itu, ia terhalang se-jenak. Kesempatan itu tidak disia-siakan
oleh Yap Tiong-siau, cepat ia menerjang maju dan sempat
mendahului menginjak Pokiam itu dengan sebelah kakinya.
Dan pada saat yang sama itu pula Tiong-siau juga telah lihat
jelas muka orang itu, seketika ia terperanjat!
Kiranya orang itu adalah seorang pemuda berumur likuran
Sebabnya Yap Tiong-siau terperanjat bukanlah karena usia
orang itu masih muda-beliau dan berilmu silat tinggi, tapi
adalah disebabkan air muka pemuda itu ternyata mirip benar
dengan dirinya.
"Siapa kau?" bentak Tiong-siau segera.
"Siapa aku" Aku adalah kau!" jawab pemuda itu dengan
tertawa dingin. "Hm, kau sudah sekian lamanya memalsukan
diriku, masih kau tidak tahu siapa aku?"
Berbareng ia terus menghantam. Anehnya ilmu pukulan
yang di gunakannya juga Tay-seng-pan-yak-ciang, bahkan
jauh lebih kuat daripada Yap Tiong-siau. Keruan Tiong-siau
tidak sanggup bertahan, ia tergetar mundur oleh serangan itu.
Sementara itu Thian-mo-kaucu telah kebutkan lengan
bajunya hingga menyambarlah seutas selendang pelangi yang
berwarna-warni dengan bau amis busuk yang menusuk,
hidung, terang membawa, bau racun yang jahat.
Karena itu. sipemuda tidak sempat merebut pedang lagi,
tapi ia lantas mengegos kesamping dan balas menghantam
Thian-mo-kaucu dari jauh
Keadaan sekarang berubah menjadi saling berusaha
merebut Pokiam. siapa yang dapat mendapatkan pedang
pusaka, siapa pasti akan menang Karena tidak berani gegabah
terhadap selendang berbisa Thian-mo-kaucu yang lihay,
pemuda itu tidak berani berjongkok untuk menjemput pedang,
maka ia hanya menghantam berulang-ulang dengan Pikkhongtiiang dari jauh untuk memaksa Thian-mo-kaucu dan
Yap Tiong-siau tidak berani merangsak maju.
Tiba-Tiba Tiong-siau bersuit panjang. Pada saat itu juga
mendadak sipemuda mendapat akal, se-koniong ia mencukit
dengan ujung kakinya hingga Cay-in-pokiam terkait keatas.
Segera Thian-mo-kaucu ayun selendangnya untuk melilit
pedang itu, tapi sekali hantam dengan Pok-khong-ciang,
pemuda itu membikin selendang itu terguncang pergi, dan
tenaga pukulannya itu segera dipakai mendorong pula kearah
pedang hingga pedang itu melayang cepat kearah Kok Tionglian.
Seketika Yap Tiong-siau tidak tahu apa maksud tujuan
sipemuda. tapi Thian-mo-kaucu lantas berteriak: "Celaka!" "
menyusul ia terus menubruk kearah Kok Tiong-Han.
Namun gerakan pemuda itu lebih cepat dari dia, secepat
kilat tahu-tahu ia sudah menghadang didepan Thian-mo-koucu.
Dalam pada itu Cay-in-pokiam sudah jatuh disampngg kaki
Kok Tiong-lian, waktu sepemuda menuding kebelakang, "critcrit",
dari jarak jauh ia telah menggunakan Kim-kong-ci-lik
yang hebat untuk membuka Hiat-to Kok Tiong-lian yang
tertutuk "itu.
Segera Kok Tiong-lian jemput pedang dlsarnplngnya itu, ia
tidak sempat bicara dulu dengan pemuda tak dikenal itu, tapi
lantas melompat, dap menabas kearah Thian-mo-kaucu.
Cepat Thian-mo-kaucu memutar selendangnya yang berbisa
itu dengan maksud, menggubat pergelangan tangan Kok
Tiong-lian, namun dimana sinar pedang berkelebat, tahu-tahu
selendang pelangi Thian-mo-kaucu telah tertabas kutung
sebagian. Dengan demikian kedudukan pihak sipemuda dan Kok
Tiong-lian lantas berada diatas angin.
Dalam pada itu Yap Tiong-siau merasa pandangannya
mulai, ka bur dan kepala pening, tenagapun terasa lemas.
Dengan gugup ia berseru: "Kaucu, berikanlah obat
penawarmu!"
Namun Kok Tiong-Han sudah kadung benci kepada Thianmokaucu, ia putar pedangnya dengan kencang hingga sama
sekali lawan itu tidak diberi kesempatan untuk mendekati Yap
Tiong-siau. "Manusia rendah, roboh kau!" bentak sipemuda mendadak,
berbareng ia terus cengkarem punggung Yap Tiong-siau.
Dalam keadaan kepepet, betapapun Yap Tiong-siau masih
ingin melawan, sekuatnya ia meronta hingga cengkeraroan
sipemuda meleset. Dan selagi cengkeram lain akan menyusul,
sekonyong-konyong pintu didobrak orang, kedua Hwesio yang
datang siang tadi kembali rauncul pula. Hwesio yang gemuk
menerjang masuk lebih dulu, segera tongkatnya
mengemplang keatas kepala sipemuda.
Namun pemuda itu tidak gentar, dengan gusar ia terus
meraup hingga ujung tongkat lawan kena dipegang,
berbareng ia membentak: "Pergi kau!" dan sekali sengkelit,
tanpa ampun lagi Hwesio itu kena disampuk jatuh terlentang.
Bahkan menyusul ia menghantam pula dengan Pik-khongciaog
hingga tongkat si hwesio kurus yang juga lagi
mengemplang itu kena disampuk pergi. Ketika mendadak
pedang Kok Tiong-lian ikut menabas, kontan tongkat itu
terkutung. Kedua Hwesio itu adalah anak murid Po-siang Hoat-su,
dengan sendirinya ilmu silat mereka tidaklah lemah. Melihat
pedang lawan sangat lihay, mereka tidak berani gegabah logi,
dengan hati-hati mereka lantas bergabung untuk mengerubut
Kok Tiong-lain. Dengan tongkat kutung mereka
menghindarkan benturan dengan Pokiam lawan, sebaliknya
mereka mencari lubang untuk menutuk. Maka keadaan
menjadi seimbang, masing-masing pihak sama-sama susah
mengalahkan lawan.
Melihat Kok Tiong-lian cukup kuat untuk melawan dengan
pedang pusaka, sipemuda tidak perlu kuatir lagi, segera ia
curahkan perhatiannya untuk melabrak Yap T"iong Siau dan
Thian-mo-kaucu.
Yap Tiong-siau sudah mulai payah karena rangsangan
racun dalam tubuhnya, maka keadaannya sangat celaka.
Sebaliknya Thian-me-kaucu juga baru pulih setengah
kekuatannya, sekalipun dia memiliki macam-macam senjata
rahasia, tapi karena dicecar oleh pukulan-pukulan sipemuda
yang hebat, untuk menangkis saja repot, apalagi hendak
mengambil Am-gi"
Melihat gelagat jelek, tiba-tiba Thian-mo-kaucu mendapat
akal, tiba-tiba ia berseru: "Sementara ini biarlah jiwa bocah ini
diampuni, besok boleh kita datang lagi!"
Saat itu kedua Hwesio tadi sedang menempur Kok Tionglian
dengan mati-matian. Ketika mendengar suara Thian-mokaucu,
sekilas mereka dapat melihat bahwa kedua kawan
itupun kewalahan menghadapi lawan mereka, bahkan
keadaannya jauh lebih ber-bahaya daripada diri mereka.
Keruan mereka sangat terkejut. Dan demi mendengar Thianmokaucu berseru untuk kabur saja. hal ini cocok dengan
pikiran mereka, segera merekapun berkata: "Benar, asal
gunung tetap menghijau, masakah susah mencari kayu bakar"
Pergi!" Habis itu, mereka lantas mendesak maju, kemudian
melepaskan diri dari serangan Kok Tiong-lian untuk bergabung
dengan Thian-mo-kaucu dan Yap Tiong-siau.
Sebenarnya Thian-mo-kaucu berdua lagi. susah melepaskan
diri, kini ditambah tenaga gabungan kedua Hwesio itu,
keadaan mereka menjadi lebih baik dan ada harapan buat lari.
Tapi sipemuda telah mendengus: "Hm, orang lain boleh
kabur, tapi kau keparat ini jangan harap bisa lolos! Pula kau.
Kaucu, kaupun silakan tinggal disini!" " menyusul ia sengaja
kesam-pingkan kedua Hwesio tadi dan melulu melabrak Thianmokaucu dan Yap Tiong-siau.
Diluar dugaan, kesempatan itu telah digunakan oleh Thianmokaucu untuk mengeluarkan sejenis senjata rahasia berbisa,
terdengar suara letusan sekali, mendadak kabut asap tebal
bertebaran. Itulah semacam senjata rahasia pelindung dikala
melarikan diri. Dibawah asap tebal yang gelap gelita itu.
dapatlah Thian-mo-kancu melarikan diri dengan selamat.
Sedangkan Yap Tiong-siau sangat licin, begitu kabut tebal
itu berjangkit, mendadak ia sambar sipaderi gemuk
disebelahnya terus didorong kedepan untuk menumpuk
sipemuda. Sudah tentu mimpipun Hwesio gemuk itu tidak
menyangka akan dimakan oleh kawan sendiri, keruan
kepalanya lantas hancur kena digablok oleh sipemuda. Dan
kesempatan itu lantas digunakan Yap Tiong-siau untuk
menyusul Thian-mo-kaucu.
Tinggal sipaderi kurus "itu juga seorang geblek, ketika kabut
tebal bertebaran, ia menjadi gugup dan putar tongkatnya
serabutan dan mendadak menyelonong sampai disamping Kok
Tiong-lian, keruan dengan mudah ia kena ditusuk mati oleh
gadis itu. Selang sejenak. Pelahan-lahan kabut itu mulai hilang.
Dengan penuh ragu-ragu selagi Kok Tiong-lian hendak
bertanya, tiba-tiba si pemuda tadi sudah lantas mengeluarkan
sehelai baju kapas, ia robek baju kapas itu dan mengeluarkan
sehelai surat kulit kambing.
"Kenalkah kau akan tulisan ini?" tanya pemuda itu. Ternyata
tulisan diatas kulit kambing itu serupa dengan milik Kok TiongYian. Memangnya Tiong-lian sudah meragukan asal-usul pemuda
itu. Kini demi nampak barang bukti itu, hal mana lebih
memperkuat kebenaran dugaannya, tak tertahan lagi ia terus
berseru: "O, Koko!"
Seketika kakak-beradik itu bercucuran air matanya, untuk
sekian lamanya mereka tidak tahu cara bagaimana harus
membuka suara. Akhirnya sipemuda berkata: "Adikku, pertemuan kembali
kita ini harus digirangkan, maka janganlah kau berduka.
Keparat itu sudah melarikan diri, bukan mustahil dia akan
datang lagi dengan membawa bala bantuan, paling baik kita
lekas tinggalkan terapat ini."
Tiong-lian mengiakan, segera ia mendekati Kang Hay-thian
dan hendak membangunkan. Tapi Hay-thian masih dalam
keadaan tak sadar, badannya panas luar biasa, bajunya
basah-kuyup oleh keringat. Tiong-lian menjadi kuatir dan
sedih. "Siapakah orang ini" Mengapa kau minumkan Thian-simciok
padanya?" tanya sipemuda dengan heran.
Tiong-lian menyalakan Kang-Haythian adalah kawannya dan
menceritakan apa yang terjadi tadi.
"Apakah dia bernama Kang Hay-thian?" tiba-tiba pemuda
itu tanya. Tiong-lian menjadi heran. "Darimana kau tahu?" tanyanya.
"Ceritanya sangat panjang, biarlah nanti kuterangkan
sesudah menyadarkan dia." sahut sipemuda.
"Kau dapat menyadarkan dia?" tanya Tiong-lian dengan
girang. "Ada sesuatu rahasia yang belum kau ketahui," tutur
sipemuda. "Tujuh biji kancing diatas baju-kutangku ini juga
merupakan batu mestika, namanya "Han-sing-ciok". Thiansimciok itu terdapat diselatan Sing-siok-hay, tapi Han-singciok
ini terdapat di utara Sing-siok-hay. Thian-sim-ciok dapat
dijadikan obat kuat tapi berbisa, dan Han-sing-ciok ini adalah
obat penawamya. Sebenarnya maksud ayah baginda ialah
Thian-sim-ciok ini akan diperuntukkan kita, tapi mungkin
situasi pada waktu itu terlalu genting, musuh sudah
mengurung istana, beliau tidak sempat menulis secara


Kisah Pedang Di Sungai Es Pengemis Berbisa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lengkap, maka rahasia yang tertulis didalam surat wasiatnya
ini satu sama lain tidak sama".
"Jika begitu, untuk menghemat waktu, harap Koko suka
minumkan obat penawamya itu," pinta Tiong-lian dengan
girang. "Kau telah memberikan dia berapa biji Thian-sim-ciok?"
tanya sipemuda.
"Tiga,"sahut Tiong-lian.
"Baiklah, coba ambilkan semangkuk air," kata sipemuda.
Segera iapun mencopot tiga biji kancing diatas baju kapas
yang dikeluarkannya tadi, ia remas dengan tenaga jari yang
hebat hingga batu itu menjadi bubuk, lalu diaduk didalam
air dan suruh Kok Tiong-lian mencekoki Kang Hay-thian.
"Baiknya Kang-siauhiap toh bukan orang luar, tidaklah siasia
ketiga biji Thian-sim-ciok itu diminumkan padanya." ujar si
pemuda dengan tertawa.
Tiong-lian menjadi merah jengah, ia tahu arti perkataan
engkohnya itu. "Eh, siapa lagi nona ini?" tiba-tiba sipemuda berkata pula.
Ia maksudkan Auyang Wan.
Auyang Wan masih takbisa berkutik karena tertutuk, tapi
apa yang dibicarakan orang dapat didengarnya dengan jelas.
Diam-Diam ia mengeluh, pikimya: "Wah, celaka. Tadi aku
tidak bereskan Kok Tiong-lian, mungkin sekarang aku yang
akan konyol."
Tapi Kok Tiong-lian hanya diam saja tidak memberi
keterangan. Maka pemuda itu berkata pula: "Siapakah dia"
Dia telah ditutuk orang dengan cara yang berat, kalau terlalu
lama, mungkin dia akan terluka dalam."
"Dia katanya adalah puterinya Auyang Tiong-ho, dia kena
ditutuk oleh keparat yaag menyaru dirimu itu." sahut Tionglian
akhirnya. "O, dia adalah puteri keluarga Auyang di Cong-lam-san"
Apakah kawan atau lawan?" sipemuda menegas.
"Sudahlah, boleh Koko membuka tutukannya itu, tak perlu
tanya apakah dia kawan atau lawan lagi," ujar Tiong-lian.
Pemuda itu merasa heran oleh jawaban adik perempuannya
yang kaku itu. tapi iapun tidak tanya lebih lanjut, segera ia
menurut dan membuka Hiat-to Auyang Wan.
"Tadi kau tidak membunuh aku, maka sekarang akupun
membalas kau dengan cara yang sama. Nah, bolehlah kau
pergi." kata Tiong-lian.
"Baik, kita masing-masing menjadi tiada terima kebaikan
dari siapa-pun, harap kau jagalah dia yang betul, dia adalah
milikmu." kata Auyang Wan dengan suara parau dan terus
berlari pergi. Ketika kemudian Tiong-lian memandang Kang Hay-thian, ia
menjadi heran, katanya sambil mengkerut kening: "Mengapa
dia masih belum sadar?"
Dan ketika ia coba meraba jidat Hay-thian, sekonyongkonyong
pemuda itu berteriak sekali dan meloncat bangun.
Tiong-lian menjadi kaget dan tergentak mundur, hampirhampir
ia jatuh. Dalam pada itu Kang Hay-thian merasa badannya serasa dikeram
oleh suatu arus hawa yang maha panas dan tak
terlampiaskan didalam badan, rasanya panas dan seakan-akan
meledak. Saking tak tahan ia meloncat-loncat dan berputari
seperti orang gila.
Sipemnda tadi merasa heran juga, ia pikir tidak seharusnya
begitu sehabis minum Han-sing-ciok, ia coba menarik Kang
Hay-thian, tapi tangannya merasa seperti kena aliran listrik, ia
tergentak mundur oleh tenaga dalam Kang Hay-thian yang
hebat. Tiba-Tiba sipemuda sadar duduknya perkara, katanya: "Ya,
tahulah aku!"
"Tahu apa?" tanya Tiong-lian cepat.
"Bukankah Lwekang yang mula-mula dilatih Kang-heng
adalah dari golongan Sia-pay!" tanya pemuda itu.
"Benar, waktu kecilnya pernah ia diculik oleh Thian-mokaucu
hingga diluar kesadarannya ia pernah belajar Lwekang
dari iblis itu," sahut Tiong-lian.
"Pantas." kata pemuda itu. "Kang-heng, hendaklah kau
lantas mengerahkan tenaga mumi untuk disalurkan mulai
Thian-koat-hiat dari Jin-meh, jalankan terus melalui Hiat-to
sepanjang urat nadi itu untuk kemudian masuk ke Tok-meh,
dari situ hawa murni dalam tubuhmu akan dapat dihimpun
kedalam perut, habis itu tentu tenaga dalam yang timbul akan
dapat kau kerahkan sesuka hatimu."
Cara mengerahkan hawa murni menyulur keurat-urat nadi
di seluruh tubuh hingga akhirnya terhimpun kepusat itu adalah
se-macam Lwekang yang sangat ruwet dan susah dilakukan,
meski Kang Hay-thian mampu melakukannya, tapi kalau tiada
petunjuk pemuda ini, mungkin ia akan tertimpa bahaya "Cauhwejip-mo" atau sesat jalan dan membakar diri.
Tapi dasar ilmu silat Kang Hay-thian memang sudah kuat,
sekali diberitahu, segera ia mengarti. Kiranya sesudah minum
Thian-sim-ciok tadi, tenaga dalamnya mendadak telah
bertambah besar hingga hawa murni dalam tubuh bergolak
dan susah dipusatkan, ditambah lagi alas dasarnya terdiri dari
Lwekang aliran Sia-pay yang mengutamakan kekerasan
belaka, keruan seperti api disiram minyak, hawa murni
melonjak-lonjak didalam badan dan susah terlampias. Maka
cepat ia menurutkan petunjuk pemuda tadi, ia duduk sila dan
mengerahkan hawa murni itu menurut urat-urat nadi yang
tepat, maka lambat laun rasa deritanya tadi telah banyak
berkurang. Dan untuk menunggu selesainya Kang Hay-thian
memulihkan tenaga itu, dengan sendirinya mesti makan waktu
pula. Diam-Diam sipemuda tadi ikut kuatir, jangan-jangan
sebelum Kang Hay-thian selesai bersemadi dan musuh yang
lebih lihay sudah keburu datang.
Benar juga, baru saja ia berpikir begitu, mendadak
terdengar suara pintu didobrak orang, menyusul sepasang
laki-perempuan tua tampak melangkah masuk sambil berseru:
"Wan-ji! Wan-ji! Dimana kau?"
Kiranya mereka ini adalah Auyang Tiong-ho dan Auyangjinio
suami-isteri. Sekilas pandang segera Auyang-jinio melihat Kang Haythian,
seketika ia naik darah dan mendamperat: "Bagus, jadi
lagi-lagi gara-gara kau anak keparat ini" Dimana anakku?"
Kedatangan suami-isteri Auyang itu adalah untuk
menghadiri pertemuan Kim-eng-kiong. Tapi begitu tiba mereka
lantas mendengar puteri mereka mencuri peta raja serta
menyelundup ketengah pulau terlarang ini Sebab itulah buruburu
mereka menyusul.
"Apakah kalian maksudkan nona Auyang" Dia baru saja
berangkat pergi," segera Kok Tiong-lian memberi keterangan.
"Siapakah kau ini?" tanya Auyang-jinio.
"Kok Tiong-lian, anak murid Bin-san-pay", sahut sigadis.
"Ha, jadi kau?" tiba-tiba wajah Auyang-jinio berubah.
"Lekas mengaku, kau telah apakan puteriku itu?"
Tiong-lian terkejut, ia tidak tahu mengapa orang marahmarah
tentang anaknya. Jawabnya; "Bukankah sudah
kukatakan puterimu sudah pergi sejak tadi."
"Hm, apa kau kira aku dapat ditipu" Masakah watak
puteriku aku tidak kenal?" diengak Auyang-jinio. "Lekas
katakan, dimana dia, telah kau bunuh atau kau tawan?"
Ia yakin sebagai saingan Kok Tiong-lian karena sama-sama
menyukai Kang Hay-thin, tentu puterinya itu akan dicelakai
oleh Kok Tiong-lian.
Dalam pada itu Auyang Tiong-ho sudah tidak sabar lagi,
seru-nya: "Buat apa banyak cincong dengan dia" Lekas
pegang dia, masih banyak tempo untuk tanya dia nanti!"
"Benar, biar bagaimana nanti akan diomeli raja, lebih dulu
kita harus pegang budak ini, begitu pula bocah itu," sahut
Auyang-ji-. nio.
Segera mereka bergerak serentak, Auyang-jinio menubruk
kearah Kok Tiong-lian dan Auyang Tiong-ho memburu kearah
Kang Hay-thian.
Melihat musuh sudah bertindak, sedangkan Kang Hay-thian
belum lagi pulih kembali tenaganya, terpaksa sipemuda tadi
menghadang kedepan sambil membentak: "Kalian mau apa?"
segera iapun pasang kuda-kuda, sekali Anyang Tiong-ho
menyerang, cepat ia menangkis dengan Tay-seng-pan-yakciang.
Keruan kedua tangan beradu, "blang", tanpa kuasa lagi
Auyang Tiong-ho tergentak mundur, isi perutnya seolah-olah
terjungkir balik, sungguh tak tersangka olehnya bahwa
pemuda itu memiliki tenaga dalam selihay itu. Kejut dan gusar
sekali Auyang Tiong-ho. Masakah seorang gembong kawakan
Kangouw kecundang dibawah tangan seorang pemuda hijau"
Segera ia menubruk maju lagi sambil membentak, sekaligus ia
gunakan telapak tangan dan jari dalam ilmu Pi-Iik-ciang dan
Lui-sin-ci untuk menyerang.
Ketika, pemuda itu memukul pula kedepan, ia merasa suatu
arus hawa panas menusuk ketelapak tangannya. Dalam pada
itu pukulan Auyang Tiong-ho dengan tangan lain sudah tiba
pula, .segera iapun memapak dengan telapak tangan kiri
hingga kembali kedua tangan terbentur. Sekali ini kedua pihak
sama kuat, Auyang Tiong-ho tertolak mundur dua tindak,
sebaliknya telapak tangan sipemuda yang tertonjok oleh Luisinci itu juga melepuh seperti terbakar.
Kedua pihak sama-sama tidak berani gegabah lagi, kembali
mereka bergebrak beberapa jurus lagi, sipemuda tidak berani
memapak tutukan jari Auyang Tiong-ho lagi, sebaliknya
Auyang Tiong-ho juga tidak berani mengadu tangan pula
Keduanya lantas saling menghindar dan berkisar, namun
sipemuda menang dalam hal tenaga muda hingga dia masih
berada diatas angin sedikit.
Disebelah sana Auyang-jinio juga sudah bergebrak dengan
Kok Tiong-lian. Berkat pedang pusaka yang dipegangnya,
Tiong-lian mainkan Hian-li-kiam-hoat dengan kencang hingga
cukup kuat untuk menahan rangsakan Auyang-jinio.
"Pedang bagus!" puji Auyang-jinio. Telah timbul niatnya
hendak merampas pedang lawan. Mendadak ia menubruk
maju, dengan lengan bajunya ia kebut pedang lawan
kesamping, menyusul tangan yang lain terus menjulur
kepergelangan tangan Kok Tiong lian.
"Bret", lengan baju Auyang-jinio terkupas sepotong oleh
Cay-in-pokiam, meski senjata itu kena disampuk kesamping,
tapi Kok Tiong-lian cukup sebat, secepat kilat ia sempat putar
balik pedang-nya untuk mengantiam tangan lawan. Asal lawan
berani nekat merebut pedang, maka tangannya pasti akan
terpapas lebih dulu.
Karena terpaksa, mendadak Auyang-jinio ganti haluan dan
tarik kembali tangannya. Pikirnya: "Sungguh tidak nyana ilmu
pedang budak ini jauh lebih pandai daripada sangkaanku."
Padahal "Liu-in-siu" atau sampukan dengan lengan baju,
adalah gerak serangan terkenal dalam dunia persilatan dari
keluarga Auyang, biasanya kalau senjata lawan sampai kena
tersampuk, pasti lantas akan tergubat dan terampas. Siapa
duga pedang itu sangat tajam dan gerak Kok Tiong-lian cukup
sebat pula. Sekali tidak kena, segera serangan kedua dan ketiga
dilontarkan Auyang-jinio. Ia putar lengan bajunya naik-turun
dengan kencang, tapi suara "brat-bret" juga terdengar
berulang-ulang, sobekan kain kecil-kecil lantas bertebaran pula
bagaikan kupu-kupu menari diudara. Lambat-laun Kok Tionglian
merasa payah oleh daya tekanan lawan yang lebih kuat
itu, pedangnya mulai tersampuk kian kemari, ia kuatir
sebentar lagi mungkin akan dirampas musuh.
Disebelah lain, mendadak sipemuda membentak sekali,
sekonyong-konyong ia memutar terus menghantam kearah
Auyang-jinio dari jauh.
Karena tidak sangka-sangka, pula kekuatannya masih jauh
dibawah sang suami, Auyang-jinio terhuyung-huyung oleh
getaran angin pukulan itu. Kesempatan itu tidak disia-siakan
oleh Kok Tiong-lian, pedang-nya terus menusuk hingga bahu
Auyang-jinio tergurat. Untung dia sempat mengegos hingga
sebelah bahunya itu tidak sampai berpisah dengan tubuhnya.
Auyang Tiong-ho terkejut dan kuatir, cepat ia memburu
maju hendak menolong isterinya. Tapi sipemuda itu
bergabung dengan Kok Tiong-lian hingga terjadilah
pertarungan keroyokan.
"Awas, adikku, incarlah baik-baik, dimana ada lubang,
segera kau persen dia sekali tusukan!" seru sipemuda. Segera
ia keluarkan Tay-seng-pan-yak-ciang-lik untuk melawan
Auyang Tiong-ho berdua, ia hadapi sendirinya segala serangan
kedua musuh itu. Dengan demikian Kok Tiong-lian diberi
kesempatan mencari lubang untuk menusuk musuh.
Keadaan sekarang menjadi berat sebelah, Auyang Tiong-ho
berdua tidak dapat mencurahkan tenaga sepenuhnya untuk
mengerubut sipemuda, sebaliknya Kok Tiong-lian berulangulang
memaksa Auyang Tiong-ho berdua melompat mundur
dengan tusukan pedangnya.
Dalam pada itu sebenarnya Auyang Tiong-ho juga sudah
mengetahui Kang Hay-thian sedang mengerahkan tenaga
murninya, bahkan sudah mencapai titik yang gawat. Cuma ia
tidak tahu hal itu adalah akibat Kang Hay-thian habis makan
Thin-sim-ciok, ia malah mengira akibat kena racun yang
diberikan oleh puterinya, yaitu Auyang Wan, sebab ia
menduga puterinya itu tentu cemburu dan patah hati. dengan
sendirinya tidak segan-segan untuk turun tangan secara keji.
Semula ia anggap sepele kepada Kang Hay-thian karena
keadaannya toh tidak dapat berkutik sebelum lewat beberapa
lama lagi. Tapi lambat-laun ia menjadi terperanjat ketika ia
berpaling kearah Kang Hay-thian.
Semula ia lihat air muka Kang Hay-thian pucat lesi, tapi
dalam waktu singkat saja wajahnya telah merah bercahaya.
Hal ini dalam pandangan tokoh persilatan akan segera dapat
diketahui adalah suatu tanda betapa kuat tenaga murninya.
Keruaan Auyang Tiong-ho terkesiap, diam-diam ia tidak
paham: "Sungguh aneh, mengapa Lwekang bocah ini
sedemikian tingginya" Tampaknya dalam waktu sebentar lagi
dia sudah dapat pulih kembali tenaganya dan dapat bergerak
seperti biasa."
Sedangkan sekarang saja kewalahan melawan sipemuda
dan Kok Tiong-lian, apalagi kalau Kang Hay-thian nanti
mengerubut pula, pasti mereka akan celaka. Berpikir
demikian, mendadak Auyang Tiong-ho menggertak sekali, "ia
menyerang cepat beberapa kali, menyusul tubuhnya lantas


Kisah Pedang Di Sungai Es Pengemis Berbisa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyurut mundur.
Kiranya ia sudah ambil keputusan jalan satu-satunya yang
paling selamat adalah lari saja. Maka pura-pura menyerang,
tapi sebenarnya untuk jalan kabur. Auyang-jinio dapat
mengetahui maksud sang suami, maka selangkah demi
selangkah mereka mundur keambang pintu.
Sudah tentu Kok Tiong-lian berdua juga lebih suka kalau
kedua lawan itu dapat lekas-lekas enyah, dengan demikian
keselamatan Kang Hay-thian tidak perlu dikuatirkan lagi.
Diluar dugaan, ketika Auyang Ttong-bo sudah hampir
melangkah keluar, tiba-tiba terdengarlah suara tertawa
seorang: "Hahaha, sangat kebetulan, ternyata Cinkeh dan
Che-em berada disini semua!"
Sungguh girang Auyang Tiong-ho tak terkatakan demi
mengenali suara orang itu. Cepat ia menyapa: "Wah, tepat
sekali kedatangan mu, Bun-cinkeh, sibocah Kang Hay-thian ini
kebetulan berada disihi!"
Kiranya yang datang itu memang betul Bun Ting-bik
adanya. Maka Auyang Tiong-ho berdua sekarang tidak jadi
inerat, sebaliknya mereka menyerang kembali sekuat-kuatnya.
Setelah pandang sekejap kepada sipemuda tadi. tiba-tiba
Bun Ting-bik tertawa dan berkata: "Ehm, boleh juga ilmu
silatmu ini, pantas Yap Tiong-siau terjungkal ditenganmu
Siapakah gurumu, ha?"
"Kalau kau dengar nama guruku, mungkin nyalimu akan
pecah dan jatuh kelengar," sahut sipemuda. "Maka lebih baik
tak perlu kau tanya, jika kau mau coba-coba, silakan maju
sekalian."
"Hahahaha! Benar-Benar anak domba yang tak kenal takut,
betapapun tinggi kepandaianmu kau dapat berbuat apa
dihadapanku" Huh, mengingat kau masih muda. hayolah.
serahkan Thian-sim-ciok itu!" jengek Bun Ting-bik.
Habis itu, segera ia menghantam, tapi tidak kearah
sipemuda, tetapi mengenai pilar batu hingga tertampaklah
suatu tapak tangan mendekuk diatas pilar.
Kiranya kedatangan Bun Ting-bik ini adalah atas permintaan
Thian-mo-kaucu. Tapi ia belum kenal pemuda itu, maka lebih
dulu ia sengaja pamerkan kepandaiannya agar lawan
mengkeret. "O, jadi kaupun inginkan Thian-sim-ciok?" demikian
sipemuda menjawab. "Eh, Lian-moay, dimanakah kau
menyembunyikannya tadi?"
Sebagai gadis yang cerdik, segera Tiong-lian tahu maksud
kakaknya itu ialah untuk mengulur tempo Segera ia
menjawab: "Wah, aku menjadi lupa, dimana ya aku
menyimpannya" Ha, ingatlah aku sekarang. Tadi
kusembunyikan dibawah batu karang ketujuh disamping
gunung-gunungan palsu kedua dihitung dari sebelah barat
dekat pintu samping ketiga di belakang taman sana."
"Jangan mau tertipu olehnya. Cinkeh!" seru Auyang Tiongho
mendadak. Sebenarnya baik kepandaian maupun kecerdikan Bun Tingbik
tidaklah kalah daripada Auyang Tiong-ho. Kini demi
diperingatkan oleh kawannya itu, sekilas lantas diketahuinya
keadaan Kang Hay-thian yang luar biasa itu. dari air mukanya
itu ada tanda-tanda seperti sedang melatih semacam Lwekang
yang maha lihay, segera iapun dapat mengetahui pemuda itu
belum dapat bergerak, tapi dalam waktu singkat semedinya itu
akan selesai. Melihat itu. sebagai seorang kawakan Kangouw, tanpa ayal
lagi Bun Ting-bik terus bertindak. Mendadak ia menggertak
sekali, segera ia menerjang kearah Kang Hay-thian.
Dalam keadaan begitu sudah tentu sipemuda tidak nanti
membiarkan musuh main sesukanya. Pada saat yang hampir
sama iapun lontarkan pukulan Tay-sang-pan-yak-ciang, maka
terbenturlah dengan tenaga pukulan Bun Ting-bik. "Blang".
Bun Ting-bik tergentak sempoyongan, dada sipemuda juga
serasa dihantam godam, seketika darah bergolak dalam
rongga dadanya, hampir-hampir saja ia terjungkal.
Sementara itu dengan cepat Bun Ting-bik lantas menyerang
pula, berulang-ulang sipemuda menyambut pula sampai tiga
kali, namun makin lama makin payah, sampai pukulan
keempat, ia merasa mata berkunang-kunang dan kepala
puyeng, ruas tulang seluruh badannya seakan-akan retak,
terpaksa ia bertahan sekuatnya, tapi tampaknya Bun Ting-bik
pasti akan berhasil menerjang lewat.
Di sebelah sana Kok Tiong-lian juga tidak dapat melawan
keroyokan Auyang Tiong-ho berdua, sampai suatu saat,
mendadak lengan baju Auyang-jinio mengebas dan pedang
Tiong-lian tergubat, tanpa ayal lagi Auyang Tiong-ho
menyambar pedang itu dari cekalan sigadis, ia serahkan
pedang itu kepada sang isteri. menyusul ia menutuk pula
untuk merobohkan Kok Tiong-lian. Kemudian mereka berdua
ikut menerjang kearah Kang Hay-thian.
Dalam pada itu Bun Ting-bik sudah tiba lebih dulu, "blang",
kontan ia menghantam kepunggung Kang Hay-thian. Tapi
pemuda itu ternyata diam-diam saja, sedikitpun tidak
bergerak. Sebaliknya Bun Ting-bik merasa tangannya seperti
kena aliran listerik, mendadak ia merasa terpental oleh suatu
tenaga tolakan yang maha dahsyat. Keruan ia terkesiap
hingga terkesima sejenak.
Menyusul mana Auyang Tiong-ho juga sudah tiba, ia belum
tahu kalau Bun Ting-bik barusan telah kecundang, ia
menggertak sekali, menyusul iapun menghantam.
Serangannya ini lebih keji, yang diarah adalah ubun-ubun
kepala Kang Hay-thian.
Tapi Kang Hay-thian tetap tidak bergerak sedikitpun, ia
tunggu sesudah telapak tangan orang sudah hampir
menempel kepalanya. mendadak ia mendongak keatas sedikit,
maka terdengarlah suara "brak" sekali.
Pi-Iik-ciang yang dilontarkan Auyang Tiong-ho itu
sebenarnya adalah pukulan yang dahsyat, biarpun batu juga
remuk kalau kena dihantam. Siapa duga batok kepala Kang
Hay-thian itu ternyata lebih keras dari pada baja, bukannya
kepalanya remuk, sebaliknya Auyang Tiong-ho yang menjerit,
telapak tangannya sebatas pergelangan telah terkilir balik
keatas hingga susah diluruskan kembali.
Orang yang datang paling belakang adalah Auyang-jinio, ia
telah menyaksikan sang suami meringis kesakitan oleh
pukulannya sendiri. Tapi Auyang-jinio mengandalkan pedang
pusaka rampasannya dari Kok Tiong-lian itu, ia pikir sekalipun
kau memiliki ilmu sakti yang kebal masakah mampu menahan
pedang mestika ini"
Maka tanpa ragu-ragu lagi, dengan gerak tipu "Pok-hongkoanjit (pelangi melingkungi matahari), segera ia menusuk ke
"Thian-ki-hiat" dipunggung Kang Hay-thian.
Pada detik itulah, tiba-tiba Kang Hay-thian merasa jalan
hawa murni dalam tubuhnya telah lancar sekali menurut urat
nadi dari atas hingga terhimpun kepusat. Dalam sekejap saja
Hiat-to. antara urat nadi Tok-meh dan Yim-meh telah
terhubung semua. Setelah hawa murni terhimpun kepusat,
rasa badan menjadi segar. Mestinya semadi Kang Hay-thian
itu takkan secepat itu se-lesainya, tapi karena seranganserangan
Bun Ting-bik dan Auyang Tiong-ho yang mengenai
tubuhnya itu, diluar dugaan telah membantu mempercepat
jalan darahnya hingga sekejap itu pulihlah semangat Kang
Hay-thian. Dan pada saat Auyang-jinio menusuk dengan pedang itu
adalah saat yang sama Kang Hay-thian telah segar kembali.
Maka tertampaklah baju yang dipakai pemuda itu seakan-akan
meiembung penuh terisi hawa, ketika tusukan Auyang-jinio
tiba, ia merasa ujung pedang seperti tertahan oleh semacam
tenaga yang kuat. "Bruk", sekonyong-konyong hawa yang tak
berwujud itu seakan-akan meletus. Auyang-jinio terpental
hingga terjungkal-jungkal, pedangpun terlepas dari
cekalannya. Segera Kang Hay-thian melompat bangun, bentaknya:
"Kalau terima tidak membalas adalah tidak sopan. Ini kubaiar
kembali padamu!" berbareng ia terus menghantam kearah
Bun Ting-bik. Dengan "Sam-siang-kui-goan-kang" yang telah berhasil
diyakin-kan Bun Ting-bik itu, kini ia justeru ingin coba-coba
mengukur tenaga Kang Hay-thian itu. Maka dengan tanpa pikir
iapun memapak dengan ilmu pukulannya.
Maka terdengarlah suara gemuruh yang keras, "bruk-brak".
ternyata Bun Ting-bik tidak tahan oleh tenaga sakti yang baru
saja memenuhi tubuh Kang Hay-thian itu. Bun Ting-bik
menjerit sekali, tanpa ampun lagi tubuhnya mencelat pergi
secepat anak panah dan terpental keluar pintu.
"Hehe, Auyang-lopek, biarlah Siautit mempersembahkan
juga sekali pukulan padamu!" seru Kang Hay-thian pula.
Keruan Auyang Tiong-ho ketakutan, sedangkan Bun Tingbik
saja mencelat pergi, apalagi dia, mustahil tidak hancur
menjadi bergedel" Maka cepatan saja ia pondong Auyang-jinio
terus lari terbirit-birit. Dengan sendirinya Cay-in-pokiam itupun
tidak terpikir lagi oleh mereka Hay-thian terbahak-bahak, ia
melepaskan Hiat-to Kok Tiong-lian, kemudian ia tempelkan
tangannya kepunggung pemuda tadi. Karena telah bergebrak
beberapa kali secara keras lawan keras dengan Bun Ting-bik,
maka tenaga murni pemuda itu banyak terganggu,
semangatnya masih lesu. Segera Kang Hay-thian menyalurkan
hawa murninya melalui punggung orang, tidak lama
kemudian, semangat pemuda itu tampak sudah segar kembali,
serta merta iapun menghaturkan terima kasih kepada Kang
Hay-thian. "Segalanya berkat bantuan saudara hingga kami berdua
dapat selamat sampai sekarang, kami yang harus berterima
kasih padamu," demikian kata Hay-thian.
"Sudahlah, kalian tidak perlu saling merendah diri, yang
paling penting sekarang kita harus lekas-lekas tinggalkan
tempat ini," ujar Tiong-lian dengan tertawa.
Belum lenyap suaranya, terdengarlah suara tindakan orang
yang ramai diluar sana. Kiranya dipulau kecil ini sebenarnya
terdapat cukup banyak penjaga-penjaga yang dikirim raja.
Biasanya mereka tidak pernah tampakan diri, hanya secara
diam-diam menjaga agar Kok Tiong-lian tidak melarikan diri.
Kini sesudah Yap Tiong-siau lari pergi, segera ia memberi
perintah regu penjaga ku menyerbu kedalam istana untuk
menangkap Kok Tiong-lian.
"Kebetulan juga kedatangan mereka, biarlah sekadar buat
melemaskan otot .tulangku," kata Hay-thian dengan tertawa.
Dan-sebelum musuh tiba, ia sudah lantas mendahului
memapak keluar.
Tatkala itu sudah tengah malam, karena dua hari lagi
adalah Tiongchiu, maka rembulan terang-benderang. Waktu
Kang Hay-thian muncul didepan pintu sana, segera ia melihat
ada belasan orang telah merubung datang.
"Ha, seorang bangsat kecil!" segera ada seorang berteriak.
Seorang diantaranya membawa kapak emas, melihat
lagaknya mungkin adalah pemimpinnya, segera ia berseru:
"Menuiut perintah baginda, selain jiwa nona itu dilarang
mengganggunya, orang lain tidak peduli lagi, bunuh saja
tanpa perkara!"
Maka dengan cepat sekali seorang Bu-su lantas menubruk
maju, dengan sebatang toya baja ia mengemplang keatas
kepala Kang Hay-thian.
Tapi hanya sekali tangkis saja, maka terdengar jeritan Busu
itu, menyusul Bu-su itu terpental dan jatuh terlentang,
mulutnya menyemburkan darah, toyanya masih terpegang
kencaug ditangannya, tapi sudah bengkok.
Sama sekali Hay-thian tidak menduga bahwa tenaga dalam
sendiri ternyata sedemikian lihaynya, ia sendiri sampai
terkesima menyaksikan itu. Ia rada menyesal juga, tahu begitu
ia tidak mau keluarkan tenaga terlalu besar.
Keruan kawanan Bu-su yang lain menjadi kaget. Tapi
beramai-ramai mereka lantas menyerbu lagi, mereka
menghujani Kang Hay-thian dengan senjata mereka, golok,
tumbuk, pedang dan macam-macam sambar menyambar
kearah pemuda itu.
Tapi sebelum musuh mendekat. Kang Hay-thian terus
mainkan sepasang tangannya, dengan Pik-khong-ciang,
pukulan dari diauh, hanya sebagian tenaga yang dia pakai,
maka terdengarlah suara gedebak-gedebuk diseling suara
gemerantang saling beradunya senjata, para Bu-su itu telah
terlempar pergi sungsang sumbul dan saling tumbuk dengan
kawan mereka sendiri.
Kang Hay-thian tidak ingin banyak melukai orang, segera ia
rampas sebatang cambuk dari lawan, sekali putar,
terdengarlah suara "trang-tring" yang ramai, sekaligus
beberapa senjata musuh telah kena disampuk jatuh oleh
cambuknya itu. Sudah tentu kawanan Bu-su itu tidak pernah menyaksikan
musuh selihay itu, keruan mereka ketakutan, semangat
tempur mereka patah, seketika mereka lari terpencar.
Bu-su yang memakai kapak emas tadi menjadi gusar,
mendadak ia menggertak sekali terus menubruk maju.
Tapi belum lagi kapak orang membacok tiba, segera Kang
Hay-thian putar cambuknya kedepan hingga kapak orang
tergu-bat oleh cambuk. "Roboh!" bentak Hay-thian.
Diluar dugaan Bu-su itu ternyata sangat kuat, ia masih
tetap menegak sambil pegang kencang-kencang senjatanya.
Diam-Diam Hay-thian heran, ia anggap kepandaian orang
tidaklah lemah. Dan selagi ia hendak membetot dengan
tenaga penuh, sekonyong-konyong dilihatnya biji mata orang
itu seakan-akan mencotot keluar, urat hijau dijidatnya
menonjol, suatu tanda betapa orang telah kerahkan tenaga
dengan mati-matian. Sebentar pula dari hidung, mulut dan
telinga Bu-su itu tampak keluar darah.
Hay-thian terkejut, lekas-lekas ia kendurkan cambuknya.
Dan kare na itu kepala Bu-su itu lambat-laun tampak
menunduk, tangannya juga lemas dan kapaknya terlepas dari
cekalan. Menyusul orang-nya lantas roboh. Ternyata Bu-su itu
sudah binasa. Kiranya Bu-su itu adalah kepala regu pengawal raja, kapak
emas itu adalah anugrah baginda rajanya, wataknya memang
keras juga, betapapun ia tidak rela kapaknya dibetot lepas
oleh Kang Hay-thian, maka ia mempertahankan dengan matimatian.
Tapi tenaga dalam Kang Hay-thian itu terlalu lihay
baginya, melalui cambuk itu, tenaga dahsyat itu telah
menghancurkan isi perut Bu-su itu hing ga akhirnya ia mati


Kisah Pedang Di Sungai Es Pengemis Berbisa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengeluarkan darah.
Kagum terhadap semangat jantan orang, Kang Hay-thian
jem-put kapak emas itu dan taruh disamping Bu-su itu dengan
rasa agak menyesal.
Sementara itu Kok Tiong-lian telah menyusul keluar juga
bersama sipemuda, melihat Hay-thian termangu disamping
mayat musuh, Tiong-lian menegur: "Mengapa kau menjublek
disitu" Bukankah musuh sudah mati semua?"
"Tanpa sengaja aku telah membinasakan orang ini, aku
merasa tidak tenteram, sungguh tidak nyana tenagaku" bisa
bertambah se-lihay ini," ujar Hay-thian.
"Dalam pertarungan demikian, kalau kau tidak membunuh
tentu kau yang akan terbunuh, mengapa kau berpikir yang
tidak-tidak" Hayo-lah, lekas berangkat," ujar Tiong-lian.
Dengan bungkam Kang Hay-thian lantas ikut dibelakang
gadis itu. Dengan cepat Kok Tiong-lian dan pemuda tadi
mendahului menuju ketepi danau, ketika pemuda itu
menyingkap alang-alang yang lebat ditepi danau, maka
tertampaklah disitu tersembunyi sebuah sampan.
Sampan itu persis cukup untuk muat tiga orang. Kok Tionglian
duduk dibagian tengah Kang Hay-thian dan sipemuda
lantas men-dayung. dalam sekejap saja. sampan itu sudah
meluncur pergi secepat anak panah.
Setelah jauh meninggalkan pulau kecil itu, legalah hati Kang
Hay-thian, segera ia mengulangi memberi hormat kepada
sipemuda penolongnya itu dan bertanya nama orang.
"Aku punya dua nama," sahut pemuda itu. "Yang satu
adalah nama bangsa Han, yaitu pemberian ayah angkatku Yap
Kun-san?" "Ha, ayah angkatmu adalah Yap Kun-san?" teriak Hay-thian
terkejut dan girang. "Jadi kau?"" kau?"?"
"Benar, dia adalah kakakku," sela Tiong-lian.
"Nama pemberian ayah angkat padaku adalah Yap Tiongsiau,"
tutur sipemuda lebih lanjut "Namaku ini telah dipalsukan
orang jahat, maka untuk selanjutnya kupikir takkan
menggunakannya lagi. Dan namaku yang lain adalah namaku
yang asli. Eh, adikku, nama kita adalah pemberian ayahbaginda
pada waktu yang sama diberikan, apakah kau tahu?"
"Didalam surat wasiat ayah baginda tertera namaku, tapi
aku takdapat membacanya," sahut Tiong-lian. "Akupun tidak
paham apa artinya itu, aku kuatir rahasia kita bocor, maka
selama ini tidak berani tanya pada orang lain."
"Nama keluarga kita adalah Danu", tutur sipemuda lebih
jauh. "Nama kita adalah pecahan dari kata-kata Cu-mu-langma"
yang diberikan oleh ayah baginda. Jadi nama lengkapku
yang asli adalah Danu Cu-mu, dan namamu yang benar ialah
Danu Lang-ma. Cu-mulangma artinya "maha agung" atau
"maha tinggi", yaitu nama pun-cak pegunungan Himalaya yang
paling tinggi didunia ini."
"Ehm, kelak kau harus menjadi raja, tapi aku tidak lagi ingin
menjadi puteri," kata Tiong-lian tiba-tiba "Budi Suhu kepadaku
juga terlalu mendalam, maka untuk selanjutnya aku akan
tetap memakai namaku yang sekarang ini Kok Tiong-lian.
Hanya dalam hubungan kita sendiri aku akan memakai nama
keluarga kita. Apakah kau akur?"
Sipemuda alias Danu Cu-mu memandang sekejap kepada
Tiong-lian dan Hay-thian. ia tersenyum dan berkata:
"Sebenarnya akupun tidak ingin menjadi raja. Cuma sakit hati
keluarga dan negara harus kita tuntut balas."
"Sudah tentu, aku tidak memakai namaku yang asli, ini
tidak berarti aku telah melupakan sakit hati orang tua," sahut
Tiong-lian. "Ya, aku tahui" kata Danu Cu-mu pula. "Andaikan kelak aku
menjadi raja juga aku takkan mamaksa kau pulang ketanah air
sendiri untuk menjadi puteri. Pabila. selama hidupmu ini akan
senang berada bersama dengan bangsa Han, memangnya kau
akan lebih leluasa bila memakai nama Han saja".
Merasa dibalik kata-kata saudaranya itu mengandung arti
tertentu, wajah Kok Tiong-lian menjadi merah.
"Terimalah ucapan selamatku atas pertemuan kembali
kalian kakak beradik," segera Hay-thian membuka suara.
"Ya, dan yang masih harus digirangkan lagi ialah pertemuan
untuk pertama kalinya dari sesama saudara perguruan kita
berdua," kata Danu Cu-mu dengan tersenyum.
"Apa katamu?" seru Hay-thian dengan melengak.
"Kukatakan kita adalah saudara seperguruan," sahut Danu
iyu-mu. "Meski kita berusia sama, tapi engkau lebih dulu
masuk perguruan, sudah sepantasnya aku memanggil kau
sebagai Suheng, diharap pula untuk selanjutnya engkau suka
banyak memberi petunjuk."
Sungguh girang Kang Hay-thian bukan kepalang, serunya:
"Ha, kiranya kita adalah satu guru! Dimanakah sekarang Suhu
beliau?" Baru sekarang juga Kok Tiong-Tian mengetahui asal-usul
kakak-sekandungnya itu. Cepat ia ikut menanya: "Apakah
Suhuku sudah bertemu dengan Kim-tayhiap" Apakah beliau
yang memberitahukan kepada kalian tentang dikurungnya
diriku disini?"
"Ya, memang betul, sesudah Kok-lihiap bertemu dengan
guruku, habis itu aku telah diperintahkan kemari," sahut Danu
Cu-mu. "Mereka kini sudah sampai dikotaraja dan siap
menghadiri pertemuan didalam Kim-eng-kiong nanti."
"Jadi kau sudah bertemu dengan guruku, tentang
pengalaman ku tentu kau sudah tahu juga?" tanya T ong-lian.
"Ya" sahut Danu Cu-mu sambil mengangguk. "Maka
sekarang juga biarlah akupun menceritakan pengalamanku
padamu." Kiranya dahulu pada waktu Khu Giam pasrahkan nasib Kok
Tiong-lian kepada Ek Tiong-bo yang kemudian dibawa pula ke
Bin-san untuk dititipkan kepada Kok Ci-hoa, pada waktu yang
sama itulah Yap Kun-san yang memungut Danu Cu-mu juga
mengalami malapetaka. Pada suatu malam yang sunyi kelam,
mendadak rumahnya diserbu oleh seorang laki-laki berkedok,
Yap Kun-san terbunuh dan Danu Cu-mu diculik.
"Kemudian barulah kuketahui bahwa penjahat itu adalah jagoan
yang dikirim oleh raja lalim pembunuh orang tua kita
itu," tutur Danu Cu-mu lebih jauh. "Dia telah mengirim dua
komplotan, yang satu tujuannya membunuh Yap Kun-san,
yang lain Khu Giam yang diincar serta kita kakak-beradik harus
diculik pulang. Boleh jadi aku adalah ahliwaris kerajaan, maka
raja Inlim sangat menaruh perhatian padaku, maka jago yang
dikirim untuk membunuh Gihu (ayah angkat) adalah jago
pilihan semua Sebaliknya Khu Giam tidak lantas terbunuh,
beliau masih dapat melindungi kau hingga musuh tidak
sempat membawa lari kau. Tapi tidak urung beliau juga
terluka parah dan akhirnya tewas."
"Kedua orang tua itu benar-benar adalah tuan penolong
kita, untuk mana kita takdapat membalas budi mereka, jalan
satu-satunya sekarang adalah menuntut balas sakit hati
beliau-beliau itu," ujar Tiong-lian.
"Yang berkorban bagi kita seluruhnya ada tiga orang tua,"
kata Danu Cu-mu.
"He, jadi masih ada seorang lagi" Siapakah beliau?" tnnya
Tiong-lian. "Pui-locianpwe, Pui Kin-beng yang tinggal mengasingkan
diri dipegunungan Himalaya itu," sahut Cu-mu.
"Apakah Pui-tayhiap yang terkenal sebagai Sin-kun-bu-tek"
(ilmu pukulan tanpa tandingan, kisahnya dapat dibaca dalam
"Tiga Dara Pendekar-) pada 40 tahun yang lalu itu?" tanya
Kang Hay-thian.
"Betul, memang dia adanya," sahut Cu-mu.
"Aneh, darimana kaupun kenal beliau?" tanya Tiong-lian.
"Aku hanya mendengar dari Suhu." sahut Hay-thian.
"Katanya Pui-locianpwe ini adalah tokoh seangkatan dengan
Teng-locian pwe dari Thian-san-pay itu, beliau juga sahabat
baik dari guru ku. Kepergianku sekali ini untuk mencari Suhu
memangnya sudah kurencanakan pabila tidak dapat
keterangan dari Teng-locianpwe. segera aku akan tanya
kepada Pui-locianpwe dipegunungan Himalaya. Kalau sekarang
Suhu sudah berada disini, maka aku tidak perlu banyak
membuang tenaga lagi."
"Memang Suhu kita telah datang juga ke Himalaya untuk
me-nyambangi Pui-locianpwe," tutur Cu-mu. "Cuma sayang,
pada hari Suhu tiba disana, pada hari itu juga Pui-locianpwe
meninggalkan duna fana ini."
"Aneh. adakah sesuatu sangkut paut Pui-locianpwe dengan
urusan kita?" tanya Tiong-lian.
"Kalau membicarakan Pui-locianpwe itu. sungguh kita harus
menaruh hormat setingginya padanya!" sahut Cu-mu. Lalu ia
menyam-bung: "Dimasa hidupnya Hu-ong suka bergaul
dengan kaum persilatan, seperti Khu Giam dan Yap Kun-san,
mereka adalah tamu undangan dari Tionggoan. Ketika terjadi
huru-hara, untunglah mendapat pertolongan dari kedua tuan
tamu itu hingga jiwa kita berdua diselamatkan. Adapun Puilocianpwe
bukanlah tamu undangan Hu-ong, tapi nama beliau
yang tenar itu sudah lama dikagumi Hu-ong. Maka pernah
juga Hu-ong mengirim utusan dengan membawa oleh-oleh
yang bernilai, dengan susah-payah utusan itu mengunju-ngi
tempat tirakatnya itu dan mohon dia suka turun gunung. Tapi
dengan alasan sudah lama meninggalkan khalayak ramai dan
sudah serba asing terhadap segala keduniawan, maka beliau
menolak undangan "itu serta tidak mau terima hadiah yang
dibawakan untuknya itu."
"Habis, kalau beliau sudah menolak turun gunung,
mengapa akhimya tersangkut didalam urusan kita ini?" tanya
Tiong-lian. "Untuk ini kita harus kembali dari permulaan," tutur Danu
Cu-mu. "Sesudah aku digondol oleh penjahat-penjahat itu,
entah sudah berapa lama aku dilarikan kejurusan barat, Suatu
hari, sampailah dikaki sesungguh gunung iang sangat hebat
bentuknya, dialanan kami terapit ditengah-tengah selat
pegunungan yang terjal, ditengah gunung itu seakan-akan
terbelah menjadi suatu jalanan yang sempit, dikaki gunung
menghilir sebuah sungai dengan airnya yang jemih. Kemudian
dapat kuketahui bahwa tempat itu bernama Thi-mui-koan"
(benteng pintu besi), setelah melintasi "Thi-mui-koan" itu
berarti sudah masuk diwilayah negeri kita sendri.
"Rupanya penjahat-penjahat itu sudah lelah setelah
menempuh perjalanan digurun pasir yang luas "itu. kini
sesudah menginjak wilayah negeri sendiri, mereka lantas
berhenti mengaso ditepi sungai itu sambil melepaskan lelah
kuda tunggangan mereka. Mungkin mereka sangat senang
dengan hasil kerdia mereka, maka beramai-ramai mereka
saling mempercakapkan cara bagaimana mereka akan lapor
dan minta hadiah kepada raja.
"Dengan asyik mereka mengobrol, tiba-tiba dari selat
gunung itu muncul seorang tua, begitu berhadapan segera
orang tua itu berkata kepada kawanan penjahat itu: "Nah,
tinggalkan bocah itu." Sudah tentu kawanan penjahat itu
sangat gusar, mereka tanin siapakah orang tua itu. Tapi
mendapat jawaban: "Peduli apa kalian menanyakan namaku"
Yang penting bocah itu harus kalian tinggalkan, habis perkara!"
Dengan sendirinya kawanan penjahat itu semakin gusar,
serentak mereka mengembut maju dan terjadilah pertarungan
sengit. Dengan bertangan kosong orang tua itu telah dapat
membinasakan ke-12 penjahat itu dalam waktu singkat. Waktu
itu aku masih kecil, aku menjadi ketakutan dan menangis. Tapi
orang tua itu lantas membopong diriku, ia membujuk dan
menimang agar aku jangan takut dan menangis.
"Sejak itu aku lantas dibawa serta oleh orang tua itu,
sepanjang jalan beliau sangat baik padaku. Waktu aku tanya
beliau mengapa begitu baik padaku, beliau menjawab karena
ingin membalas kebaikan ayahku. Beliau menjelaskan bahwa
maksudnia bukan ayah-ku yang she Yap, tapi adalah ayahku
iang lain Hal ini membuat iku menjadi bingung, aku tidak tahu
mengapa aku mempunyai dua orang ayah. Dan orang tua itu
lantas berkata padaku: "Orang she Yap itu hanya ayahmu
angkat, tapi ayahmu yang sesungguhnya adalah seorang raja
yang telah lama dibunuh orang jahat. Akupun tidak pernah
ketemu ayahmu, tapi dia sangat baik padaku, maka aku ingin
membalas, kebaikannya. Malam ini juga akan kubawa km
berziarah kemakamnya." Benar juga malamnya aku telah
dibawa kesuatu kuburan, katanya adalah kuburan ayahku dan
aku disuruh memberi hormat. Aku percaya saja padania, aku
lantas menjura dan menangis- sedih. Tapi orang tua itu tidak
ikut menangis, ia bawa satu botol arak, ia siram habis arak itu
diatas kuburan, mendadak ia menengadah dan bergelak
tertawa tiga kali. ia mengguman sendiri bahwa ayah baginda
telah sangat menghargai dia. walaupun dia tidak menerima
undangan ayah, tapi maksud baik itu tak terlupakan selama
hidup. Dari itu ia berjanji akan memelihara aku hingga besar
untuk memulihkan tahta kerajaannya.
"Tak usah diterangkan juga tentu kalian dapat menduga
bahwa orang tua itu adalah Pui Kin-beng, Pui-locianpwe.
Sungguh ke-jadian itu adalah sangat kebetulan sekali. Sudah
20 tahun beliau tidak pernah turun gunung, tapi waktu itu ia
baru pulang dari me-nyambangi anak menantunya, yaitu Liong
Leng-kiau. Tapi ditengah jalan beliau dapat mendengar
obrolan kawanan penjahat yang men-culik aku itu hingga
rahasia diriku telah diketahui olehnya dan serta-merta beliau
turun tangan untuk menyelamatkan aku."
"Sungguh kau sangat mujur. Koko, hingga disaat bahaya
mendapat bintang penolong," ujar Tiong-lian.
"Aku mujur, tapi telah mengakibatkan Pui-locianpwe
menerima ganjarannya," kata Danu Tiu-mu dengan gegetun.
"Sebab setelah mengetahui begundalnya terbunuh di Thi-muikoan.
Kan-ong (raja lalim) lantas mengerahkan beberapa
rombongan jago-jago lain untuk mengejar kaini. Ditengah
jalan beberapa kali Pui-locianpwe mesti bertempur dengan
musuh, tapi selalu beliau dapat mengacirkan mereka. Namun
akhirnya beliau telah disusul oleh dua orang Hwa-sio yang
kemudian diketahui adalah murid pilihan Po-siang Hoat-su.
Walaupun kesudahannya Pui-locianpwe dapat membinasakan
mereka dengan pukulan saktinya iang tiada tandingan, tapi
tidak urung beliau juga kena tertutuk Hiat-to halus tempat
Tay-meh". Dengan membawa luka yang tak kelihatan itu aku
lelah dibawa Pui-locianpwe pulang ketempatnya. Karena
serangan tutukan musuh itu, lambat-laun badan Pui-locianpwe
mati sebelah, lumpuh separoh badan. Tapi guna memelihara
diriku, beliau telah membuat sebuah tongkat beroda, dengan


Kisah Pedang Di Sungai Es Pengemis Berbisa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

alat pembantu itu beliau bekerja sebisa mungkin, berburu,
mencari kayu dan menanak nasi, semuania masih dapat
dikerjakan berkat kepandaiannya yang sudah sempurna itu.
Selain itu setiap hari beliau mengajarkan ilmu silat pula
padaku. Dengan demikian 3"4 tahun telah lalu, usiaku sudah
menanjak menjadi 8-9 tahun, sedikit banyak aku telah dapat
membantu kerja seperlunya.
"Sesudah dua tahun lagi, waktu aku sudah menginjak umur
sebelas, ketika penyakit Pui-locianpwe sudah parah dan susah
buat bergerak lagi. Pada suatu hari selagi aku merawat beliau
didepan pembaringannya, tiba-tiba datanglah seorang tamu
yang tak diundang. Itulan dia Kim-tayhiap iang kemudian telah
menjadi guruku.
"Girang bukan main Pui-locianpwe atas kedatangan Kimtayhiap,
segera beliau memberitahukan asal-usulku serta
minta bantuan Kim-tayhiap untuk menjaga diriku. Bahkan Kimtayhiap
lantas berkata: Kedatanganku ini justeru lagi ingin
menyirapi bocah ni. Pendek kata, jika kau tidak keberatan, aku
bersedia mengambil alih muridmu ini." Tanpa tawar-menawar
lagi segera Pui-locianpwe suruh aku menjura pada Kim-tayhiap
untuk mengangkat guru padanya. Setelah menyaksikan
upacara pengangkatan guruku itu, Pui-locianpwe terbahakbahak
puas dan berkata: .Hahaha, apa lagi yang kuberatkan
lagi sekarang?" Dan didalam tertawanya itu, iapun
menghembuskan napasnya yang penghabisan."
Kok Tiong-lian ikut muram oleh ccrita itu. Katanya
kemudian dengan gegetun: "Pui-locianpwe benar-benar
seorang baik dan pantas dipuji. Koko, bila urusan disini sudah
selesai, harap engkau membawa aku berziarah kemakamnya."
Tiba-Tiba Kang Hay-thian teringat sesuatu, segera ia tanya:
"Tadi kau bilang anak menantunya Pui-locianpwe itu bernama
Liong Leng-kiau?"
"Betul, tatkala itu Pui-locianpwe justeru habis-pulang dari
menjenguk menantunya itu," sahut Cu-mu.
"Selama itu pernahkah Liong Leng-kiau balas menjenguk
mertuanya itu?" tanya Hay-thian.
"Tidak, boleh jadi kematian orang tua itu belum lagi
diketahui olehnya," sahut Danu Cu-mu. "Ada apakah engkau
tanya soal ini?"
"Menurut cerita Teng Keng-thian, Teng-pepck, katanya
beliru telah berjumpa dengan Liong Leng-kiau dibukit Tay-kiatnia
di-perbatasan, tatkala itu Liong Leng-kiau suami-isteri baru
pulang dari kunjungannya kepada Liong-yap Siangjin digereja
Lan-to-si di India. Katanya Po-siang Hoat-su itu adalah murid
Liong-yap Siangjin, maka beliau minta Liong Leng-kiau ikut
mengawasi tindak-tanduk Po-siang. Cuma sayang sebelum
berangkat mereka tidak menjenguk Pui-locianpwe lebih dulu
hingga seluk-beluk tentang Po-siang sama sekali tak
diketahui," demikian Hay-thian menjawab.
"Menurut cerita Suhu, Liong Leng-kiau itu adalah seorang
tokoh persilatan pilihan, ilmu silatnya mungkin lebih tinggi dari
mer-tuanya, kalau dia tahu kematian sang mertua itu adalah
karena serangan muridnya Po-siang, tentu dia takbisa tinggal
diam." kata Danu Cu-mu.
"Tentang pertemuan di Kim-eng-kiong nanti sudah
membikin geger kalangan Kangouw, besar kemungkinan Liong
Leng-kiau juga mendengar berita itu dan akan hadir juga,"
ujar Hay-thian. "Apalagi dia mendapat pesan Liong-yap
Siangjin untuk mengawasi anak muridnya itu. Ha, jika
merekapun hadir nanti, tentu akan ramai sekali."
Bicara tentang pertemuan Kim-eng-kiong, tanpa merasa
semua orang mendongak memandang rembulan yang sudah
bulat dan gilang-gemilang itu.
Sementara itu sudah dekat fajar. kata Kok Tiong-lian
dengan tertawa: "Kini adalah pagi hari tanggal 14 bulan
delapan, besok adalah hari pertemuan di Kim-eng-kiong itu,
kebetulan kita masih keburu tiba disana."
Tiba-Tiba Danu Cu-mu mengeluarkan empat biji Thian-simciok
yang direbutnya kembali dari musuh itu, katanya dengan
tertawa: "Adikku, kita masing-masing membagi dua biji
mestika ini, setelah minum ini, kukira akan banyak faedahnya
bagi kehadiran kita besok di Kim-eng-kiong."
"Wah, masakah aku tahan makan Thian-sim-ciok itu,
sedang Hay-ko habis makan itu lantas manggeletak tak
sadarkan diri dan badannya seolah-olah terbakar," ujar TiongHan. "Tidak apa-apa," kata Cu-mu. "Bahkan diantara kita bertiga
adalah kau sendiri yang paling tahan memakan Thian-sim-ciok
ini. Engkau sejak mula sudah mendapatkan dasar Lwekang
yang murni, sebaliknya aku dan Suheng tidak demikian, dasar
Lwekangku adalah ajaran Pui-locianpwe, sedangkan Suheng
adalah didikan Thian-mo-kaucu, maka hanya kau sendiri yang
paling cocok makan Thian-sim-ciok ini tanpa menderita
sesuatu apa."
"Wah, jika begitu, tekanan batinku selama sebulan ini tentu
akan dapat kulampiaskan bila sudah nvnum obat mujijat ini,"
seru Tiong-lian dengan girang. "Maka tindakanku yang
pertama nanti ialah melabrak dulu kepada Yap Tiong-siau itu.
Selama ini keparat itu telah memalsu menjadi kakakku, aku
telah kenyang dibikin susah olehnya."
"Kedatanganku sekali ini salah satu tujuanku ialah ingin
melihat orang yang memalsukan aku ini, aku tidak tahu
darimana Kan-ong dapat mencari seorang yang punya wajah
mirip dengan aku," kata Danu Cu-mu dengan tertawa.
"Eh, jadi sebelumnya Koko sudah tahu pemalsuan dirimu
ini, darimana kau mengetahui?" tanya Tiong-lian.
"Cerita ini harus menyambung ceritaku yang belum selesai
tadi," tutur Cu-mu. "Sesudah Pui-locianpwe wafat, aku
bersama guruku yang baru, Yaitu Kim-tayhiap, lantas tinggal
dirumahnya itu. Siang hari aku belajar silat dan malam hari
Suhu mengajar aku membaca. Lima tahun kemudian, usiaku
sudah menanjak 16 tahun, meski ilmu silatku belum jadi, tapi
sudah cukup untuk membela diri. Maka berkatalah Suhu
kepadaku: "Sakit hati orang tua dan dendam bangsamu harus
kau sendiri yang menuntut balas. Untuk mana harus dapat
mengukur pihak lawan dan menilai diri sendiri. Maka biariah
aku akan mengunjungi negeri Masar untuk mencari tahu
kekuatan musuh bagimu." Sebenarnya aku bermaksud ikut
pergi bersama Suhu, tapi beliau melarang karena
kepandaianku belum cukup kuat.
"Tiada dua bulan kemudian. Suhu telah kembali, beliau
membawa banyak berita-berita baru bagiku. Aku telah
mengetahui bahwa ambisi Kan-ong itu sangat besar, telah
banyak mengumpulkan jago-jago pilihan, ingin menguasai
benua barat dan menjajah Tionggoan. Dan hal yang paling
menarik perhatianku ialah Kan-ong telah memungut seorang
"Kian-tian-he" (putera mahkota pungut) yang air mukanya
ternyata sangat mirip dengan diriku.
"Pernah dua-tiga kali Suhu masuk keistana raja untuk
menyelidiki bocah yang mengaku bernama "Yap Tiong-siau"
itu. Suatu kali ketika bocah itu lagi berlatih ilmu silat ditaman
istana, diam-diam Suhu mengikuti latihan bocah itu, tapi
makin lama Suhu makin heran. Beliau bukan heran karena
ilmu silat bocah itu sangat tinggi, tapi herankan ilmu silat yang
dilatih bocah itu. Tahukah kau kepandaian apa yang paling
diandalkan oleh bocah itu?"
"Tay-seng-pan-yak-ciang!" sahut Hay-thian.
"Benar," kata Danu Cu-mu, "Tentu Suheng tahu bahwa
Tay-seng-pan-yak-ciang itu adalah ilmu sakti yang terdapat
didalam kitab pusaka tinggalan Kiau Pak-beng, ilmu pukulan
sakti itu hanya sedikit dibawah Siu-lo-im-sat-kang. Tentang
kitab pusaka tinggalan Kiau Pak-beng itu, sejak Le Seng-lam
meninggal, maka kitab itu telah jatuh ditangan Suhu kita serta
sudah lama dimusnakannya. Setahu guru kita, Thian-mokaucu
kakak beradik pernah memperoleh sedikit cuplikan dari
kitab pusaka itu. Tapi Tay-seng-pan-yak-ciang adalah
semacam ilmu sakti yang hebat, tidak mungkin Thian-mokaucu
dapat mempelajarinya. Sebab itulah Suhu merasa heran
mengapa bocah itu mampu melatih ilmu silat itu.
"Tay-seng pan-yak-ciang itu sebenarnya adalah semacam
ilmu yang terlalu keji, tapi sepulangnya Suhu, beliau telah
berubah rencana, beliau mengharuskan aku melatih ilmu itu
dalam waktu setahun dan Kudu melebihi kepandaian bocah
yang memalsukan diriku itu," demikian tutur Cu-mu lebih
lanjut. "Bagus, bagus! Itu namanya menggunakan racun untuk
menyerang racun!" sela Tiong-lian dengan tertawa.
"Ketika ilmu itu selesai kulatih, saat itu adalah permulaan
musim semi tahun ini," sambung Cu-mu. "Tidak lama
kemudian, kami mendengar berita tentang Po-siang Hoat-su
akan mengadakan pertemuan besar di Kim-eng-kiong dengan
mengundang segenap jago silat didunia ini. Suhu pikir sudah
tiba kesempatan yang baik, maka beliau lantas membawa aku
pulang kesini. Kami sudah berada disini lebih dari sepuluh hari
dan selama ini bersembunyi ditempat yang tak diketahui
musuh. Akupun sudah menemui beberapa pembesar setia dari
Hu-ong. yaitu yang kuketahui dari surat wasiat Hu-ong.
Tentang kau dikurung dipulau inipun atas berita yang
diberikan oleh seorang pembesar setia Hu-ong yang kini purapura
mengabdi kepada Kan-ong."
Bicara sampai disini, fajar sudah menyingsing. sang surya
sudah memancarkan sinarnya yang gilang-gemilang hingga
membuat air danau itu kuning keemas-emasan menyilaukan
mata. "Tinggal sehari lagi, besok adalah pertemuan Kim-eng-kiong
yang diadakan Po-siang itu," ujar Tiong-lian. Dan mendadak ia
menanya ketika melihat sampan itu didayung oleh Cu-mu
kekaki sebuah bukit yang terjal: "He, mengapa berhenti disini,
apakah dapat mendarat dengan mendaki tebing?"
"Justeru diatas tebing sana ada pintunya," sahut Cu-mu
dengan tertawa. "Marilah kalian ikut padaku." Dan sesudah
menyembunyikan sampan itu, segera mereka-bertiga
menggunakan Ginkang untuk manjat keatas.
Setiba diatas bukit, ternyata disitu bunga hutan mekar
semerbak, pemandangan indah permai. "Sungguh indah sekali
pemandangan disini" puji Tiong-lian.
"Tidak hanya pemandangan indah, lihatlah ini!" ujar Cu-mu,
Lalu ia mendorong dua potong batu karang yang besar hingga
tertampaklah dibalik batu-batu itu terdapat sebuah gua. Lalu
katanya pula: "Ini adalah salah satu tempat penyimpanan
harta karun tinggalan Hu-ong. Karena sementara ini kita masih
belum perlu, boleh tak perlu digali dahulu. Tapi tempat ini
sangat cocok bagi kita untuk melatih diri, tentu takkan dikacau
oleh musuh atau orang lain."
Ketika mereka masuk kedalam gua, ternyata disitu sudah
teratur bersih, tersedia pula bahan makanan dan beberapa
botol arak serta sebuah wadian. "Aku mendapat tahu tempat
ini dari catatan didalam Yo-bi-su dan beberapa hari yang lalu
aku bersama Suhu sudah tinggal disini."
"Apakah Suhu akan kembali lagi kesini?" tanya Hay-thian.
Ia sudah kangen kepada sang guru itu.
"Dalam beberapa harini berturut-turut telah datang kawankawan
Suhu, maka beliau lantas pindah keluar untuk
menemani kawan-kawannya itu seperti Lui-cin-cu dari Butongpay, Siau Jing-hong dari Jing-sia-pay serta Kok-lihiap dari
Bin-san, gurunya Lian-moay, beramai-ramai mereka tinggal
ditempat seorang tokoh tertua Khong-tong-pay untuk
mengatur tindakan mereka dalam pertemuan Kim-eng-kiong
besok. Beliau pernah pesan jika sudah berhasil menolong Lianmoay,
kita disuruh langsung hadir juga ke Kim-eng-kiong."
Lalu ia membuka sebotol arak, ia mengeluarkan pula empat
bi-ji Thian-sim-ciok dan masing-masing meminum bubuk batu
mestika itu dua biji bersama Kok Tiong-lian. Kemudian mereka
duduk semadi hanya sebentar saja tertampaklah ubun-ubun
Danu Cu-mu telah mengeluarkan uap putih, sebaliknya Tionglian
tenang-tenang saja, hanya air mukanya kemerah-merahan
seperti orang terlalu banyak minum arak.
Selang agak lama, tiba-tiba Kok Tiong-lian meloncat bangun
sambil berseru girang: "Aku telah dapat memusatkan hawa
murniku, seluruh urat-nadiku berjalan lancar. antero badanku
terasa penuh tenrga hingga tak terlampiaskan"
Nyata lantaran Lwekang yang dilatih Kok Tiong-lian adalah
berasal dari Lu Si-nio yang merupakan Lwekang kaum Cingpay,
maka dengan cepat Kok Tiong-lian danat menyelesaikan
semadinya dengan memusatkan tenaga murni yang timbul
dari kasiat Thian-sim-ciok itu.
Segera Kang Hay-thian mendempelkan sebelah tangannya
kepunggung Danu Cu-mu untuk membantu dia memusatkan
tenaga murni. Selang sejenak, uap diatas kepala Cu-mu mulai
menipis dan akhirnya hilang, badannya lantas terasa segar.
Segera Cu-mu berbangklt. katanya dengan tertawa: "Terima
kasih, Kang-suheng. Marilah sekarang kita coba-coba suatu
permainan!"
"Ha, Koko ternyata masih bersifat kanak-kanak. masakah
masih suka main-main apa segala?" kata Tiong-l"ian dengan
tertawa. "Marilah kalian ikut padaku." ajak Danu Cu-mu.
Lalu mereka bertiga berjalan keluar gua?"?"
---ooo0dw0ooo--Jilid 12 Setiba diluar gua, Cu-mu memilih sebuah pohon Siong yang
cukup besar, ia menggorok sekeliling pohon itu dengan
telapak tangan hingga berwujut suatu lingkaran, kemudian
dorong pelahan pohon itu sambil membentak: "Roboh!"
kontan juga pohon itu ambruk sebatas lingkaran yang
dipotong itu. "Dengan pohon ini, marilah kita main tarik-tarikan," kata
Cu-mu p Bukit Pemakan Manusia 22 Pertarungan Dikota Chang An Seri 2 Kesatria Baju Putih Karya Wen Rui Ai Pendekar Kidal 17

Cari Blog Ini