Ceritasilat Novel Online

Kisah Si Rase Terbang 11

Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung Bagian 11


So dari sebelah belakang.
Melihat gerak-gerik kedua orang itu yang terus menguntit
di belakang, semakin lama Cie Ceng jadi semakin bereuriga. Ia
menduga, bahwa mereka itu adalah kawanan penjahat.
Beberapa kali, ia mene-ngok ke belakang dan mengawasi
gerak-gerik mereka dengan sorot mata gusar, tapi Ouw Hui
dan Leng So pura-pura tak melihatnya. Di waktu rom-bongan
piauw-hang mengaso sebentar untuk makan tengah hari, Ouw
Hui dan Leng So pun segera turun dari tunggangannya untuk
makan ransum kering, sembari beristirahat juga.
Di waktu magrib, mereka sudah tak jauh lagi dari Bu-sengkwan.
Tiba-tiba, berbareng dengan terdengarnya tindakan
kuda, dari jauh muncul dua penunggang kuda yang
mendatangi dengan kece-patan luar biasa. Dalam sekejap saja
mereka sudah melewati kereta piauw-hang dan setelah lewat
di samping Ouw Hui dan Leng So, mereka menge-luarkan
tertawa nyaring yang panjang. Dilihat ro-mannya dan
didengar suaranya, mereka adalah kedua orang yang semalam
mengacau di rumah pe-nginapan.
"Sebentar, setelah mereka berbalik dan menge-jar dari
belakang, mereka tentu akan segera turun tangan," pikir Ouw
Hui. Baru saja ia berpikir begitu, dari depan sekonyongkonyong
mendatangi pula dua penunggang kuda, yang gerakgeriknya
gesit sekali. "Heran, sungguh heran!" kata Ouw Hui dalam hatinya.
Berjalan belum cukup satu li, untuk ketiga kalinya, dua
penunggang kuda mendatangi pula dari
sebelah depan, disusul lagi oleh dua penunggang kuda lain.
Melihat kejadian itu, Cie Ceng yang sudah nekat, berbalik
tertawa. "Sumoay," katanya. "Sepan-jang keterangan Suhu,
jika penjahat kelas satu ingin merampas piauw kelas satu,
barulah ia mengirim enam orang. Hari ini, kawanan perampok
bukan mengirim enam, tapi delapan orang, seolah-olah yang
mau dirampok bukan sembilan ribu tahil pe-rak, tapi sembilan
ratus laksa atau sembilan ribu laksa tahil!"
Ma It Hong juga merasa heran dan semakin besar pula
keheranannya, semakin besar pula ke-khawatirannya.
"Sebentar jika keadaan sudah memaksa, paling penting kita
harus kabur dengan membawa dua anak ini," katanya kepada
sang suami. "Sembilan ribu tahil tidak seberapa besar. Kita
masih dapat menggantinya."
"Apakah nama baik Suhu boleh dirusak dengan begitu saja
oleh kita yang tak punya guna?" tanya Cie Ceng dengan suara
keras. "Kau harus memikirkan keselamatan kedua anak ini," kata
It Hong dengan suara duka. "Mulai dari sekarang, biarlah kita
hidup melarat sebagai petani. Jangan kita meneruskan
pekerjaan yang berbahaya ini."
Baru saja ia berkata begitu, tiba-tiba dari sebelah belakang
terdengar gemuruh tindakan kuda. It Hong menengok ke
belakang dan melihat, bahwa di antara debu yang mengepul
itu, delapan pe-nunggang kuda sedang mendatangi dengan
kece-patan kilat. Sesaat kemudian, sebatang anak panah yang
mengeluarkan bunyi nyaring lewat di atas kepalanya. Bahkan
yang lebih mengejutkan lagi, adalah bahwa dari sebelah
depan kembali mendatangi delapan penunggang kuda lain.
"Dilihat gelagatnya, mungkin sekali mereka sebenarnya
ingin mencari kita," kata Ouw Hui.
"Tian Kui Long?" Leng So menegas.
"Mungkin," jawabnya. "Bisa jadi penyamaran kita kurang
sempurna dan sudah dikenali mereka."
Disaat itu, delapan orang yang berada di belakang dan
delapan orang lagi yang berada di depan sudah menahan
kuda mereka, sehingga rombongan Cie Ceng, Ouw Hui dan
Leng So tergencet di tengah-tengah. Cie Ceng meloncat turun
dari tung-gangannya sembari menghunus golok. Ia menyoja
seraya berkata: "Aku adalah Cie...." Baru saja ia mengucapkan
tiga perkataan itu, seorang tua dari barisan depan mendadak
mengeprak kudanya yang lantas saja menerjang ke arah Cie
Ceng. Begitu berhadapan, tanpa mengeluarkan sepatah kata,
si tua mengangkat senjatanya yang berbentuk aneh dan
menghantam muka Cie Ceng.
Ouw Hui dan Leng So mengawasi dari pinggir dengan siap
sedia. Senjata orang tua itu berbentuk seperti cangkul,
batangnya bengkok-bengkok ba-gaikan ular. Ouw Hui belum
pernah melihat senjata begitu, ia berpaling kepada Leng So
dan menanya: "Senjata apakah itu?"
Sebelum si nona menjawab, seorang perampok yang berdiri
di belakang sudah mendahului dengan suara mengejek.
"Bocah tua! Biarlah aku yang mem-beritahukannya. Senjata
itu diberi nama Lui-cin-tong (Pacul geledek)."
"Kepandaian si tua tidak seberapa," kata Leng
So dengan suara tawar. "Lui-cin-tong tidak diguna-kan
bersama-sama dengan San-tian-tui (Pusut kilat)."
Perampok yang tadi mengejek terkesiap dan tak berani
membuka suara lagi. la melirik kepada Leng So dengan
perasaan heran karena "bocah" kurus itu ternyata mengenal
juga San-tian-tui.
Harus diketahui, bahwa orang tua itu adalah Suheng (kakak
seperguruan yang lebih tua) perampok tersebut dan ia sendiri
menggunakan sen-jata san-tian-tui. Sesuai seperti yang
dikatakan Leng So, guru mereka menggunakan San-tian-tui
dan Lui-cin-tong dengan berbareng. Kedua senjata itu, yang
satu untuk menyerang, sedang yang lain untuk membela diri,
lihay bukan main dan mempunyai banyak sekali perubahan
yang tidak bisa diduga-duga. akan tetapi, karena yang satu
pendek dan yang lain panjang, sukar sekali orang bisa
menggunakan kedua senjata itu dengan berbareng. Sesudah
be-lajar sekian banyak tahun, mereka berdua pun ha-nya bisa
menggunakan salah satu antaranya saja. Ketika itu, perampok
tersebut masih menyembunyi-kan senjatanya di dalam tangan
baju dan ia jadi terkejut bukan main ketika mendengar
perkataan Leng So.
Tentu saja ia tidak mengetahui, bahwa guru bocah" itu
adalah tok-chiu Yo-ong yang berpe-ngetahuan sangat luas.
Jika sedang bereakap-cakap dengan muridnya yang disayang,
Bu-tin Thaysu sering menceritakan hal ikhwal berbagai cabang
per-silatan di berbagai daerah. Itulah sebabnya, menaapa
sekali melihat, Leng So sudah mengetahui, bahwa senjata
aneh itu adalah Lui-cin-tong yang harus digunakan bersamasama
San-tian-tui. Sementara itu, si kakek sudah menyerang dengan
senjatanya yang menderu-deru, seolah-olah bunyi guntur.
Ilmu golok Cie Ceng juga tak lemah, tapi diserang secara
begitu, dengan cepat ia jatuh di bawah angin.
Melihat begitu, kawanan perampok itu lantas mulai
mengeluarkan kala-kata mengejek.
"Daripada Hui-ma Piauw-kiok lebih baik menggunakan
nama Hui-kauw (Anjing terbang) Piauw-kiok," kata seorang.
"Eh, anak tolol!" kata yang lain. "Melindungi sembilan ribu
tahil perak saja kau tak mampu. Lebih baik kau bunuh diri saja
dengan menggebuk kepala dogolmu dengan sepotong tahu."
"Sin-kun Bu-tek (si Tinju malaikat yang tak ada
tandingannya) Ma Loopiauwtauw mempunyai nama yang
sangat besar," kata perampok yang ketiga. "Sungguh sayang
nama guru-gurumu telah dirusak oleh kau, si bocah goblok!"
"Menurut penglihatanku, kepandaian isterinya lebih tinggi
sepuluh kali daripada dia," ejek penjahat ke empat.
Mendengar cacian-cacian itu, Ouw Hui merasa heran,
karena kawanan penjahat itu, ternyata tahu hal ikhwal Cie
Ceng seterang-terangnya. Mereka bukan saja tahu nama dan
gelar gurunya, tapi juga tahu berapajumlah uangpiauw
dengan tepat. Selain itu, sedang Cie Ceng disikat habishabisan,
mereka sedikit pun tidak menyinggung nama baik Ma
Heng Kong atau Ma It Hong. Malahan, kata-kata mereka
masih mengandung penghormatan terhadap Ma
Loopiauwtauw dan puterinya.
Walaupun tak mengenal ilmu silat Lui-cin-tong, tapi dengan
sekali melihat saja, Ouw Hui sudah mengetahui, bahwa orang
tua itu mempunyai ke-pandaian yang cukup tinggi. "Heran,
sungguh he-ran," pikirnya. "Meskipun belum boleh dihitung
sebagai ahli silat kelas satu, kakek itu sudah pasti bukan orang
sembarangan. Dilihat dari gerak-gerik kawanan penjahat itu,
tak bisa jadi mereka sengaja datang untuk merampas
sembilan ribu tahil perak. Tapi, jika mau dikatakan, bahwa
mereka adalah kaki tangan Tian Kui Long yang dikirim untuk
mencegat aku, kenapa mereka merasa perlu untuk mengganggu
Cie Ceng?"
Sementara itu, Ma It Hong memperhatikan jalan
pertempuran itu dengan hati berdebar-debar. Begitu
bergebrak, ia mengetahui, bahwa suaminya bukan tandingan
si tua. Ia ingin memberi bantuan, tapi tiada gunanya, karena
kawan si kakek tentu akan segera turun tangan dan kedua
puteranya bisa diculik oleh kawanan penjahat itu. Maka itulah,
ia hanya bisa mengawasi dengan rasa khawatir ber-campur
takut. Sesudah lewat beberapa jurus lagi, tiba-tiba senjata Lui-cintong
itu menyambar Cie Ceng dengan kecepatan luar biasa.
Trang! dan golok Cie Ceng terbang ke tengah udara.
"Celaka!" Ma It Hong berseru.
Melihat serangannya berhasil, orang tua itu membarengi
dengan suatu tendangan ke lutut Cie Ceng, yang dengan
cepat segera loncat menyingkir. Sesaat itu, golok Cie Ceng
tengah melayang turun. Salah seorang perampok mengangkat
pedangnya dan memapaki golok itu. Sekali lagi terdengar
suara trang!dan golok Cie Ceng menjadi dua potong! Belum
puas dengan pertunjukan itu, si perampok menyabet lagi dua
kali dengan pedangnya dan dua potongan golok itu yang
belum turun ke muka bumi, berubah jadi empat potong!
Penjahat itu ternyata bukan saja memiliki pedang mustika,
tapi gerakan-nya pun cepat luar biasa. Dengan serentak,
kawan-k a wan nya bersorak-sorai.
Ouw Hui terkesiap. Ia yakin, bahwa kawanan penjahat itu
bukan semata-mata bertujuan merampas piauw, tapi ingin
mempermainkan Cie Ceng. Ia mengetahui, bahwa penjahat
yang bersenjatakan pedang saja sudah lebih dari cukup untuk
merubuhkan Cie Ceng dan Ma It Hong. Kenapa mereka harus
datang dengan enam belas orang" Setiap orang itu, yang
kelihatannya berkepandaian tinggi, seolah-olah kucing yang
sedang mempermainkan tikus.
Cie Ceng yang sudah nekat segera menyerang mati-maiian,
tanpa memperdulikan keselamatan-nya sendiri. Tapi si tua
yang berkepandaian lebih tinggi dan memiliki senjata yang
lebih panjang, dengan nuidah dapat memunahkan seranganserangan
iiu. Sesudah bertempur lagi beberapa jurus, lutut Cie Ceng
kena terpapas Lui-cin-tong musuhnya dan lanlas saja
mengucurkan darah. Sesaat kemudian, puudak kirinya
terpacul dan selagi ia terhuyung, si tua menendang, sehingga
tak ampun lagi ia ter-guling di atas tanah.
Dengan sebelah kaki menginjak tubuh lawan-nya yang
sudah terlentang, si tua berkata sembari tertawa tawar: "Aku
tak menginginkan jiwamu. Cu-kup jika aku mengambil kedua
biji matamu!"
Cie Ceng takut tereampur gusar, tapi ia sudah tak berdaya.
Dadanya ditasanya sesak dan ia tak dapat mengeluarkan
sepatah kata. "Sahabat!" Ma It Hong berteriak. "Jika kalian mau
merampas piauw, ambillah! Dengan kalian, kami sama sekali
tidak mempunyai permusuhan. Kenapa kalian berlaku begitu
kejam?" "Ma Kouwnio," kata penjahat yang bersenjata pedang. "Kau
tak usah mencampuri urusan orang lain."
"Apa?" Ma It Hong menegas. "Urusan orang lain" Dia
suamiku!" "Kami justru berpendapat, bahwa dia tak pantas
mempersakiti Ma Kouwnio yang cantik dan pintar," kata si
kakek. "Penasaran itu tak bisa tidak diberes-kan."
Ouw Hui dan Leng So terpeianjat. Semakin lama kejadian
itu semakin sukar dimengerti. Te-ranglah sudah, bahwa
kawanan perampok itu mau mencampuri urusan rumah
tangga orang. Soal penasaran apakah yang perlu dibereskan
oleh mereka" Benar-benar gila!
Sementara itu, si tua sudah mengangkat sen-jatanya dan
menghantam mata kanan Cie Ceng. Ma It Hong berteriak
sembari melompat untuk coba menolong suaminya, tapi ia
segera dicegat oleh seorang penjahat yang bersenjata
tombak. "Ayah!" teriak dua anak itu yang lantas mem-buru ke arah
ayah mereka. Pada detik yang bagi Cie Ceng sangat berbahaya itu,
mendadak terlihat berkelebatnya sebuah ba-yangan. Si tua
terkesiap, pergelangan tangannya kesemutan dan... tahutahu,
Lui-cin-tongnya sudah tak berada lagi dalam tangannya!
Dengan hati men-celos ia mengangkat kepalanya dan
mendapat ke-nyataan, bahwa bayangan tadi, - yang bukan
lain daripada Ouw Hui - sudah duduk pula di punggung
keledainya, dan tangannya memegang Lui-cin-tong, senjata
orang tua itu! Itulah kejadian yang benar-benar di luar duga-an, sehingga
semua perampok itu jadi kesima. Mereka bengong tanpa
mengeluarkan sepatah kata. Sesaat kemudian, sesudah dapat
menetapkan hati, baru mereka berteriak-teriak sambil
mendekati Ouw Hui dengan sikap mengancam.
"Sahabat!" bentak si tua yang senjatanya diram-pas. "Siapa
kau" Perlu apa kau mengganggu kami?"
"Aku hanya seorang yang biasa melakukan pe-kerjaan
tanpa modal," jawabnya. "Aku sudah penuju kepada sembilan
ribu tahil perak, kawalan Hui-ma Piauw-kiok ini. Tapi tak
dinyana, di tengah jalan muncul enam belas Thia Kauw Kim
yang ingin minta bagian. Coba kau pikir. Apakah hal itu tak
mem-bikin aku jadi mendongkol?"
"Hm!" gerendeng si tua. "Sahabat, janganlah berpura-pura.
Beritahukanlah namamu dan mak-sudmu yang sebenarnya."
Sesudah terlolos dari lobang jarum, Cie Ceng memeluk
kedua puteranya, sedang isterinya berdiri di sampingnya
sembari mengawasi Ouw Hui tanpa berkejap. Bukan main
herannya Ma It Hong, karena semula ia menduga, bahwa Ouw
Hui dan Leng So adalah konco-konco kawanan perampok itu.


Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sementara itu, sesudah mengusap-usap kumis-nya dan
menghisap huncweenya, Ouw Hui berkata dengan suara
tenang: "Baiklah, jika kau ingin aku bicara secara terus terang.
Sin-kun Butek Ma Heng Kong adalah sutecku
(adikseperguruan). Maka itu, sebagai paman, tak dapat tidak
aku harus men-campuri urusan Sutitku."
Perkataan itu sangat mengejutkan hati Ma It Hong. "Dari
mana datangnya Supeh ini?" tanyanya di dalam hati. "Selama
hidupnya ayah belum pernah memberitahukan hal ini
kepadaku. Di samping itu, orang ini masih jauh lebih muda
daripada ayah. Mana bisa ia menjadi Supeh?"
Sementara itu, sebisa-bisanya, Leng So mena-han rasa geli
di dalam hatinya. Melihat lagak kakak-nya, hampir-hampir ia
tertawa terpingkal-pingkal. Tetapi di samping itu, ia juga
merasa kagum, karena dalam menghadapi musuh-musuh
tangguh, Ouw Hui masih bisa bersikap begitu tenang malah
masih bisa membanyol.
Si tua mengeluarkan suara di hidung dan ber-kata:
"Benarkah tuan menjadi Suheng Ma Heng Kong" Tidak, tak
mungkin! Usia tuan masih begitu muda. Kami pun belum
pernah mendengar, bahwa Ma Loopiauwtauw mempunyai
kakak seperguru-an."
"Dalam rumah tangga perguruanku, tingkatan tua atau
muda dihitung dari mulainya masuk ber-guru dan bukan dari
perbedaan usia," Ouw Hui menerangkan. "Ma Heng Kong
bukan seorangyang terlalu besar, sehingga sama sekali tak
perlu aku meminjam atau menyalahgunakan namanya."
Harus diketahui, bahwa kebiasaan yang disebutkan Ouw
Hui itu, adalah kebiasaan yang sering terjadi dalam suatu
rumah perguruan atau cabang persilatan. Maka itu, si tua
lantas saja melirik Ma It Hong untuk menyelidiki sikap nyonya
itu dan kemudian kembali menengok kepada Ouw Hui seraya
berkata: "Bolehkah aku mengetahui she dan nama tuan yang
mulia!" "Suteeku bernama Ma Heng Kong dan bergclar Sin-kun
Butek (si Tinju malaikat yang tak ada tandingannya),"
jawabnya dengan tenang. "Aku ber-nama Gu Keng Tian
(Kerbau Meluku Sawah) dan bergelar Sin-kun Yoe-tek (si Tinju
malaikat yang ada tandingannya)."
Siapa pun mengetahui, bahwa jawaban itu adalah ejekan
belaka. Jika bukan sudah merasakan kelihayan pemuda itu
dan senjatanya sudah di-rampas secara begitu luar biasa,
siang-siang si tua sudah turun tangan. Dengan adatnya yang
bera-ngasan, begitu mendengar ejekan Ouw Hui, ia tak dapat
bersabar lagi dan sembari membentak keras, ia segera
menerjang. Ouw Hui menggentak les keledainya untuk menyingkir dari
serangan itu dan mengebaskan cangkul rampasannya. Hampir
berbareng dengan itu, si tua merasakan suatu benda
diletakkan di dalam tangannya dan... Iho! Benda itu, ternyata
bukan lain daripada senjatanya sendiri. Bahwa ia sudah bisa
mendapatkan kembali Lui-cin-tongnya adalah kejadian yang
seharusnya menggirangkan. Akan tetapi, bagi si tua, kejadian
itu benar-benar sangat memalukan, dan ia kelihatan seperti
kesima. Sementara itu, kawan-kawannya yang meng-anggap bahwa
ia sudah merampas kembali senjatanya dari tangan Ouw Hui,
bersorak-sorai dengan serentak. "Tie Toako! Kau benar-benar
lihay sekali!" mereka memuji.
Muka si tua menjadi hijau kekuning-kuningan, karena malu
dan mendongkol, tapi ia tak berani mengumbar natsunya,
sebab mengetahui, bahwa lawannya berkepandaian terlalu
tinggi. "Tuan," kata-nya sembari menahan amarahnya.
"Katakanlah! apa-kah sebenarnya maksud kedatanganmu ini?"
"Bukan aku, tapi pihakmu yang harus memberi penjelasan
lebih dulu," kata Ouw Hui. "Kedua Su-titku ini telah hidup
rukun sebagai suami isteri. Mereka sama sekali tak punya
sangkut paut dengan kamu semua. Tapi kenapa kamu justru
ramai-ramai mencegat mereka di sini dan mengatakan, bahwa
kamu ingin membereskan suatu ketidakadilan?"
"Tak berguna tuan mencampuri urusan orang lain," kata si
orang she Tie. "Dengan tulus hati aku menasehatkan, supaya
tuan menyingkir dari sini. Sebaiknya, kita masing-masing
mengambil jalan sen did."
Mendengar perkataan itu, belasan penjahat lain menjadi
tereengang. Mereka merasa heran, mengapa si tua - yang
biasanya berangasan - bisa berlaku begitu sabar.
Ouw Hui lantas saja tertawa besar. "Bagus!" ia Krseru.
"Pendapatmu cocok sekali dengan pen--:.
Si tua mundur tiga tindak untuk kemudian membentak:
"Sahabat! Jika kau tak mau mendengar nasehat baik, terpaksa
aku harus meminta peng-ajaranmu." Sehabis berkata begitu,
ia mengangkat Lui-cin-tongnya dan memasang kuda-kuda.
"Tidak," kata Ouw Hui. "Berkelahi satu lawan satu kurang
menarik, berkelahi dengan terlalu ba-nyak orang juga kurang
sedap, karena kalang kabut. Begini saja: Aku, Gu Keng Tian,
akan melawan tiga orang dari pihakmu." Sehabis berkata
begitu, dengan huncweenya ia menuding seorang penjahat
yang bersenjata pedang dan Sutee si orang she Tie.
Yang bersenjata pedang itu, berparas cakap dan sombong
sekali kelihatannya, ia lantas saja tertawa terbahak-bahak.
"Benar-benar kau temberang!" kata-nya.
Si tua sendiri sudah merasa, bahwa dengan bertempur satu
lawan satu, mungkin sekali ia akan dirubuhkan. Maka itu,
mendengar tantangan Ouw Hui, ia menjadi girang sekali. "Liap
Hiantee, Siang-koan Sutee, dia sendiri yang mencari mampus
dan ia tak boleh menyalahkan orang lain," katanya. "Marilah!
Kita bertiga melayani dia main-main sedikit!"
Orang she Liap itu yang merasa sungkan untuk bertiga
mengerubuti seorang, lantas saja berkata: "Tie Toako, kau
sendiri sudah lebih dari cukup untuk merobohkan bocah
sombong itu. Begini saja: Biarlah kalian Suhengtee (kakak
beradik seper-guruan, yaitu si orang she Tie dengan adik
seperguruannya) yang turun tangan, agar kita bisa
menyaksikan Iihaynya Lui-tan-kauw-co (Lui-cin-tong dan santiantui)." Kawan-kawannya lantas saja ber-tepuk tangan
untuk menyatakan setuju.
Tapi Ouw Hui menggeleng-gelengkan kepala-nya. "Aku tak
menyangka, bahwa orang muda ber-nyali begitu kecil,"
katanya dengan nada mengejek.
"Tak berani maju dalam pertempuran besar. Sa-yang!
Sungguh sayang!"
Alis si orang she Liap berkerut dan parasnya berubah
gusar. la melompat turun dari tunggangan-nya dan berkata
dengan suara perlahan: "Tie Toako, harap kau suka mundur.
Biarlah siauwtee yang menghajar manusia sombong itu."
"Boleh," kata Ouw Hui sembari tertawa. "Sedikit pun aku
tak merasa keberatan, jika kau bisa menghajar Sin-kun Yoetek
Gu Keng Tian. Akan tetapi, sebelum bertempur, kita harus
membuat perjanjian. Jika aku, Gu Keng Tian kalah, aku tak
akan rewel-rewel lagi. Kau mau membunuh diriku, boleh
lantas membunuh. Tapi bagaimana jika kau, saudara kecil,
yang kalah?"
"Jangan rewel!" orang she Liap itu membentak "Jika aku
kalah, kau boleh berbuat sesukamu."
"Tak berani aku berlaku begitu," kata Ouw Hui sambil
menyengir. "Aku hanya ingin memohon belas kasihanmu, agar
kamu selanjutnya tidak menggang-gu lagi kedua Sutitku yang
sudah hidup beruntung sebagai suami isteri. Tak usah kamu
memperduli-kan, apakah ada perkara penasaran atau tidak."
Orang she Liap itu menjadi gemas sekali, dan ia tak dapat
bersabar lagi. Sambil mengebaskan pedangnya, ia
membentak: "Ya, sudah! Aku setuju!"
Ouw Hui menyapu semua perampok dengan sepasang
matanya yang tajam. "Tahan!" katanya. "Tunggu dulu, aku
masih mau bicara sedikit. Sa-habat-sahabat! Apakah
perkataan saudara kecil she Liap ini juga disetujui oleh kamu
semua beramai-ramai" Jika dia kalah, apakah kamu setuju
untuk tidak membereskan perkara penasaran yang tadi
disebut-sebut pihakmu?"
Sampai di sini, Leng So tak bisa menekan lagi rasa gelinya.
Ia tertawa terpingkal-pingkal sembari menekap mulutnya
sendiri dengan kedua-dua ta-ngannya. Bagaimana ia tak jadi
tertawa" Ouw Hui yang pantas dipanggil "saudara kecil"
sekarang memainkan peranan sebagai seorang tua dengan
ku-misnya yang keren dan menggunakan istilah "saudara
kecil" terhadap orang lain. Cara-cara kawanan perampok itu
juga tak kurang lucunya. Mereka mengatakan, bahwa
pernikahan antara Ma It Hong dan Cie Ceng adalah seperti
"bunga indah yang ditancapkan di tahi kerbau" dan oleh
karenanya, mereka mengangkat senjata untuk membereskan
kejadian penasaran itu, seolah-olah Ma It Hong sudah dipaksa
untuk menikah dengan Suhengnya. Sekarang Ouw Hui
menyelak. Mereka melarang Ouw Hui mencampuri urusan
orang lain, urusan "membereskan perkara penasaran ini", dan
dengan lagaknya yang lucu, Ouw Hui mengembalikan katakata
mereka sendiri.
Kawanan perampok itu tahu, bahwa si orang she Liap
bukan saja berkepandaian tinggi, tapi senjatanya pun
sebatang pedang mustika yang bisa memutuskan segala jenis
logam. Maka itu, mereka sudah memastikan, bahwa dalam
beberapa jurus saja, si kumis pendek akan dapat
dirobohkannya. "Hei, Kumis!" bentak seorang antaranya. "Jika kau bisa
mendapat kemenangan, tanpa mengusap pantat lagi kami
akan segera berlalu dari tempat ini. Kami berjanji untuk
mengurungkan niat kami, hen-dak membereskan urusan
penasaran itu."
"Bagus!" teriak Ouw Hui. "Aku pereaya, bahwa mulutmu
adalah mulut manusia, bukannya mulut pantat! Bersiaplah!" la
mengebaskan huncweenya dan melompat turun dari
keledainya. Melihat ia mengebaskan hucwee itu, semua penjahat
menduga, bahwa Ouw Hui akan meng-gunakannya sebagai
senjata. Tapi di luar dugaan, sesudah meloncat turun dari
tunggangannya, ia memasukkan pipa itu ke dalam tangan
bajunya. Melihat begitu, belasan perampok itu lantas saja bersenyum
mengejek. "Ke luarkan senjatamu!" si orang she Liap mem-bentak.
"Kerbau yang meluku sawah, harus mengguna-kan luku,"
kata Ouw Hui sembari menyengir. "Tie Toa-cee-cu! Senjatamu
agak mirip dengan luku. Bolehkah aku meminjamnya
sebentar?" Sembari berkata begitu, ia mengangsurkan
tangannya ke arah si tua.
Orang she Tie itu - yang sudah merasa jeri -buru-buru
mundur dua tindak. "Tidak!" ia mem-bentak. "Tak nanti kau
bisa menggunakan senjataku ini!"
Ouw Hui terus mengangsurkan tangannya dan berkata
pula: "Hayolah! Kau rugi apa, jika aku meminjamnya sebentar
saja?" Mendadak, mendadak saja ia melompat dan... cangkul
senjata orang tua itu sudah pindah ke dalam tangannya!
Kekagetan si tua tak terkira, bagaikan ia melihat dirinya
disambar halilintar. Ia meloncat setombak lebih, mukanya
pucat pias lagi menyeram-kan, seperti muka setan.
Harus diketahui, bahwa ilmu merampas senjata dengan
tangan kosong adalah ilmu luar biasa yang telah diciptakan
dan disempurnakan leluhur Ouw Hui, yaitu Hui-thian Ho-lie (si
Rase yang terbang di langit). Dimasanya, selama ia mengabdi
kepada Cwan-ong Lie Cu Seng, dengan mengandalkan ilmu
itu, entah berapa banyak senjata musuh telah dapat
dirampasnya. Bahwa leluhur Ouw Hui itu mendapat gelar "Huithian
Ho-lie", sehagian besar juga berkat ilmu yang istimewa
itu. Sedang Ouw Hui tengah merebut Lui-cin-tong itu, orang
she Liap itu menikam dari belakang. Dengan gesit Ouw Hui
mengegos sembari mem-balas menyerang dengan senjatanya
yang baru saja dirampasnya.
Si orang she Tie mengawasi dengan mulut ter-nganga dan
mata terbelalak, karena ilmu silat yang digunakan Ouw Hui
sedikit pun tidak berbeda dengan ilmu Lui-cin-tong-hoatnya. Si
orang she Siang-koan yaitu Sutee si tua, lebih besar lagi keheranannya.
Dengan kupingnya sendiri, ia mendengar
pertanyaan Ouw Hui yang tidak mengetahui nama senjata
Suhengnya. >>Bagaimana ia sekarang bisa bersilat dengan
Lui^ein-tong-hoat"
Mereka berdua^tentu saja tidak mengetahui latar
belakangnya.^tPertama Ouw Hui adalah seorang yang
berkepandaian tinggi dan sudah dapat menyelami intisari ilmu
silat. Walaupun banyak pecahannya; pada hakekatnya, dasar
berbagai ca-bang persilatan tidak berbeda banyak. Kedua,
Ouw Hui adalah seorang yang cerdas luar biasa. Tadi, ia
sudah menyaksikan pertempuran antara si orang she Tie dan
Cie Ceng. Sekali melihat saja, ia sudah bisa mencatat berbagai
pukulan yang digunakan
oleh si tua itu di dalam otaknya. Meskipun gerakangerakannya
mirip dengan pukulan-pukulan si orang she Tie,
akan tetapi tenaga dan perubahan-per-ubahan yang terdapat
dalam pukulan Ouw Hui berbeda sangat jauh dari pelbagai
gerakan si orang tua.
Si orang tua she Liap tidak berani memandang enteng lagi
dan kemudian menyerang dengan Tat-mo Kiam-hoat yang
tulen. Dalam pertempuran itu, Ouw Hui berada di pihak yang
rugi, karena ia menggunakan senjata yang tak biasa
digunakan olehnya dan ia bertempur dengan meniru ilmu silat
si orang she Tie. Maka itu, melihat serangan-serangan yang
sangat lihay itu, ia menjadi agak gentar dan karenanya ia
segera mengasah otak untuk men-cari jalan ke luar.
"Aku pereaya, bahwa enam belas orang ini adalah lawan
berat semua," pikirnya. "Jika mereka beramai-ramai meluruk,
biarpun aku dan Jie-moay bisa meloloskan diri, tapi Cie Ceng
sekeluarga tentu akan mengalami celaka. Jalan satu-satunya
adalah berdaya supaya mereka tak bisa turun tangan."
Selagi ia berpikir, pedang musuh mendadak menyambar ke
arahnya secepat kilat. Trang! sebagian Lui-cin-tongnya sudah
terpapas putus!
Tadi, melihat kepandaian Ouw Hui dalam merampas Luicintong si orang she Tie, hati kawanan perampok itu sudah
kebat-kebit. Tapi sekarang, mereka bersorak-sorai dan si
orang she Liap jadi semakin bersemangat, sehingga


Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

serangannya sema-kin bertubi-tubi.
Ouw Hui menjadi bingung juga. Pukulan-pukulan yang
"dicangkoknya" dari si tua sudah hampir habis digunakan dan
jika pertempuran itu ber-langsung terus secara begitu
kedoknya akan segera terlucut.
Mendadak, otaknya yang cerdik mendapat sua-tu pikiran
baik. Ia mengangkat Lui-cin-tongnya dan sengaja memapaki
pedang musuh. Trang! sebagian senjata itu terpapas pula.
"Bagus!" kata Ouw Hui. "Benar-benar kau tak memberi
muka kepada Tie Toaya. Dengan memutuskan senjata
sahabat yang kesohor, kau sung-guh tak memandang orang!"
Si orang she Liap terkejut, karena ia merasa bahwa
perkataan Ouw Hui ada benarnya juga. Tapi, di lain saat,
pedangnya kembali mengutungkan sebagian cangkul itu,
sehingga yang masih dipegang Ouw Hui hanyalah sepotong
besi pendek. "Yang hanya bisa menggunakan Lui-cin-tong dan
tak mam-pu menggunakan San-tian-tui, adalah tolol," kata
Ouw Hui dengan suara nyaring, sembari menikam dengan
potongan besi itu yang digunakan sebagai pusut.
Mendengar Ouw Hui mengaku bisa menggunakan San-tiantui,
si orang she Siang-koan menjadi kaget. Akan tetapi,
setelah melihat, bahwa serang-an-serangannya bukan
berdasarkan Tui-hoat (ilmu silat pusut), lantas saja ia tertawa
besar. "Eh, ilmu San-tian-tui apakah itu yang kau gunakan?" ia
ber-teriak. "Ilmumu salah, ilmuku yang benar," kata Ouw Hui sembari
menikam berulang-ulang. Sebenar-benarnya, dalam ilmu silat
dengan senjata, ia hanya mahir menggunakan golok.
Serangan-serangannya dengan potongan besi itu hanyalah
sandiwara belaka, sedang yang benar-benar lihay adalah
tangan kirinya. Sembari mengempos semangatnya, ia mendesak
musuhnya dengan menggunakan ilmu silat tangan
kosong dari keluarga Ouw, sehingga dalam sekejap, orang she
Liap itu sudah terdesak dan terpaksa berkelahi sembari
mundur. Lewat bebe-rapa jurus lagi, sekonyong-konyong
mereka mengeluarkan teriakan "ah!" dan meloncat mundur
dengan berbareng. Semua perampok terperanjat, karena
pedang si orang she Liap sudah pindah ke tangan Ouw Hui!
Tanpa mengeluarkan sepatah kata, Ouw Hui memungut
sebuah batu besar dengan tangan kirinya dan mencekal
pedang itu dengan tangan kanannya. Sembari menandalkan
ujung pedang di tanah ia mengangkat batu itu tinggi-tinggi.
"Pedang ini tajam luar biasa," katanya sembari mesem.
"Sekarang aku mau mencobanya dengan batu ini. Coba lihat,
patah atau tidak?"
Pedang yang mana juga dalam dunia ini, tak bisa tak patah
jika dihantam dengan batu sebesar itu. Si orang she Liap,
yang sayang kepada senjatanya seperti menyayangi jiwanya
sendiri, lantas saja pu-cat mukanya. "Tahan!" ia berseru.
"Sudahlah! Aku mengaku kalah!"
"Pedang ini bagus sekali," kata Ouw Hui. "Sekali dihantam
belum tentu patah."
"Jika tuan ingin, ambillah," kata orang she Liap itu sembari
meringis. "Tapi janganlah dirusak. Pe-dangku itu adalah
pedang mustika."
Sampai disitu Ouw Hui sudah merasa cukup. Di luar dugaan
semua orang, ia mengangkat senjata itu dengan kedua
tangannya dan mengangsurkannya kepada si orang she Liap.
"Siauwtee telah berlaku kurang ajar sekali, harap kau suka
memaafkan," katanya.
Orang she Liap itu hampir-hampir tak pereaya kepada mata
dan kupingnya sendiri. Ia yakin, bahwa jika Ouw Hui
membatalkan niatnya untuk merusak-kan pedang itu, ia tentu
akan mengambilnya untuk dirinya sendiri. Orang Rimba
Persilatan manakah yang tak kepingin memiliki senjata
mustika itu" Ia berdiam sejenak, kelihatannya ia masih sangsi
dan sesaat kemudian baru ia menerimanya dengan kedua
tangan. "Terima kasih! Terima kasih!" katanya dengan suara
gemetar. Ouw Hui tahu, bahwa ia sekarang tak boleh menyianyiakan
waktu. Ia meloncat ke punggung keledainya dan
menyoja kepada kawanan perampok itu. "Atas belas kasihan
saudara-saudara, dengan jaian ini siauwtee menghaturkan
terima kasih," katanya sembari berpaling kepada Cie Ceng dan
Ma It Hong seraya berseru: "Hayo berangkat!"
Kedua suami isteri itu yang belum memperoleh kembali
seantero semangat mereka, buru-buru mengeprak kuda
masing-masing mengiringi kereta piauw, diikuti oleh Ouw Hui
dan Leng So dari belakang. Kawanan perampok itu
kedengaran be-runding dengan suara perlahan, tapi mereka
tidak mengejar.
Dengan cepat mereka sudah melalui belasan li dan hati
mereka pun mulai menjadi lega. Tiba-tiba Cie Ceng menahan
kudanya dan berkata: "Aku benar-benar sangat berterima
kasih untuk perto-longan tuan. Akan tetapi kenapa tuan
mengaku sebagai Supehku?"
Mendengar pertanyaan yang bernada menegur itu, Ouw
Hui tersenyum dan menjawab: "Aku hanya iseng-iseng
mengatakan begitu. Harap saudara tak berkecil hati.
"Tuan memakai kumis palsu dan setiap orang dipanggil
saudara kecil," kata Cie Ceng. "Menurut pendapatku, dengan
begitu, tuan terlalu meman-dang rendah kepada semua
manusia di kolong la-ngit."
Ouw Hui kaget. Bagaimana orang kasar itu bisa
mengetahui rahasianya"
"Mungkin isterinya yang telah dapat menemu-kan
kelemahan penyamaranmu," bisik Leng So.
Ouw Hui mengangguk sembari melirik Ma It Hong. Apakah
nyonya itu juga tahu, siapa ia sebenarnya"
Melihat sikap Ouw Hui, Cie Ceng jadi semakin mendongkol.
Sebagai orang yang mempunyai isteri cantik, ia selalu merasa
cemburu. Semenjak Ouw Hui menguntit dari belakang, ia
sudah menganggap, bahwa pemuda itu mengandung niat
kurang baik. Sesudah tadi diperniainkan oleh kawanan perampok,
ia menjadi nekat dan was-was, sehingga jalan pikirannya
berbeda dengan orang sehat. Baginya, kecuali keluarganya
sendiri, semua manusia pada saat itu adalah musuh. Maka itu,
lantas saja ia membentak dengan suara keras: "Tuan
mempunyai kepandaian yang sangat tinggi. Jika kau ingin
meng-ambil jiwa Cie Ceng, hayolah!" Sehabis berkata begitu,
ia membungkuk dan mencabut golok salah seorang
pegawainya. Sesudah itu, sembari melin-tangkan senjatanya,
ia memandang Ouw Hui dengan mata berapi.
Ouw Hui yang tak dapat menebak jalan pikiran Cie Ceng,
menjadi gugup. Baru saja ia ingin mem-berikan penjelasan,
tiba-tiba di sebelah belakang terdengar bunyi kaki seekor
kuda, yang larinya cepat seperti terbang. Dalam sekejap, kuda
itu dan penunggangnya sudah lewat di pinggir kereta piauw.
Ouw Hui melirik dan ia lantas saja mengenali, bahwa dia itu
adalah salah seorang dari enam belas perampok tadi.
"Hayo kita menyingkir," Leng So berbisik. "Tak perlu kita
mencampuri urusan orang lain dan coba-coba membereskan
segala urusan penasaran."
Di luar dugaan, kata-kata "mencampuri urusan penasaran"
sangat menusuk hati Cie Ceng. Dengan mata merah, ia
mengeprak kudanya dan mengang-kat senjatanya.
"Suko!" teriak sang isteri. "Lagi-lagi kau mem-perlihatkan
kesembronoanmu!"
Cie Ceng terkejut dan menahan kudanya.
Melihat lagak orang kasar itu, Leng So mendongkol bukan
main. Tanpa mengeluarkan sepatah kata, ia mengedut les
keledainya dan menyabet keledai Ouw Hui dengan
cambuknya, sehingga pada saat itu juga, kedua binatang itu
kabur sekeras-kerasnya.
"Ma Kouwnio!" teriak Ouw Hui sembari mene-ngok ke
belakang. "Apakah kau masih ingat Siang-kee-po?"
Ma It Hong terperanjat dan paras mukanya lantas saja
berubah merah. "Siang-kee-po.... Siang-kee-po..." katanya
dengan suara perlahan. "Tentu saja aku ingat Siang-kee-po."
Di depan matanya lantas saja terbayang kejadian itu, belasan
tahun yang lampau. tapi yang terbayang di depan matanya
bukanlah bayangan Ouw Hui, hanya seorang lain yaitu si
kongcu "mahal" yang cakap dan lemah lembut sifatnya.
Sesudah melalui satu li lebih, Leng So meng-hentikan
keledainya. "Toako," katanya. "Kawanan perampok itu
mengejar lagi."
Ouw Hui pun mengetahui hal ini. Ia sudah mendengar
berderapnya kaki belasan ekor kuda. "Jika sampai bertempur,
kita yang berjumlah sedikit tentu tak dapat mengalahkan
mereka," kata Ouw Hui. "Siapa sebenarnya mereka itu?"
"Menurut pendapatku, mereka bukan perampok biasa,"
kata si nona. "Dalam peristiwa ini tersembunyi banyak hal aneh," kata
Ouw Hui. "Aku masih tak bisa menembus tabir rahasia yang
menyelubunginya."
Di saat itu, angin meniup dari arah barat dan sayup-sayup
mereka mendengar bunyi senjata ber-adu.
"Sudah tersusul!" kata Ouw Hui.
"Kurasa Ma Kouwnio tak akan diganggu," kata Leng So.
"Orang she Cie itu pun agaknya tak akan dibinasakan. Tapi dia
pasti akan merasakan siksa-an."
Alis Ouw Hui berkerut. "Aku sungguh tak mengerti,"
katanya. Pada saat itu, lapat-lapat terdengar derap kaki kuda yang
menuju ke arah barat laut. Dengan kupingnya yang sangat
tajam" Ouw Hui mengetahui, bahwa orang-orang itu tidak
mengambil jalan besar. Di antara derap kaki kuda, ia juga
mendengar jeritan seorang wanita.
Ouw Hui melarikan tunggangannya ke atas sebuah bukit
kecil dan memandang ke arah itu. Segera juga ia melihat,
bahwa dua penjahat yang masing-masing mendukung seorang
anak kecil, sedang mengaburkan tunggangan mereka, dikejar
It Hong yang menjerit-jerit. Karena jaraknya terlalu jauh, Ouw
Hui tak bisa menangkap apa yang di-teriakan nyonya itu.
Sekonyong-konyong kedua penjahat itu meng-angkat
senjata mereka dan membelokkan tunggangan mereka ke kiri
dan ke kanan untuk ke-mudian kabur terus secara berpencar.
It Hong ter-tegun. Kedua anak itu sama dicintainya dan
sekarang ia tak tahu, ke mana ia harus mengejar.
Darah Ouw Hui lantas saja mendidih. "Jahat betul kawanan
bangsat itu!" ia menggerendeng. Ia berpaling ke arah Leng So
dan berteriak: "Jie-moay, mari!" Ia mengetahui, bahwa karena
jumlah musuh jauh lebih besar, tindakannya itu penuh dengan
bahaya. Akan tetapi, sebagai seorang ksatria tulen, mana bisa
ia melihat kejadian itu dengan berpeluk tangan" Tanpa
berpikir panjang-panjang lagi, ia segera mengaburkan
tunggangannya, diikuti oleh Leng So dari belakang.
Akan tetapi, karena jaraknya terlalu jauh dan keledainya
pun kalah cepat dari tunggangan si penjahat, maka ia hanya
dapat menemukan Ma It Hong yang sedang berdiri laksana
patung. Begitu besar kedukaan si nyonya, sehingga ia tak bisa
menge-luarkan air mata dan hanya mengawasi ke arah depan
dengan mata membelalak.
"Ma Kouwnio, jangan jengkel," kata Ouw Hui dengan suara
kasihan. "Aku pasti akan membantu kau merampas kembali
kedua anak itu."
Mendengar suara Ouw Hui, It Hong agaknya terkejut dan
buru-buru ia menekuk sebelah lutut-nya untuk berlutut.
"Jangan begitu!" Ouw Hui mencegah. "Mana Cie-heng?"
"Selagi aku sendiri mengejar anakku, ia telah ditawan
musuh," jawabnya.
Di saat itu, Leng So sudah tiba di situ. Ia mendekati Ouw
Hui seraya berkata: "Di sebelah utara ada musuh."
"Musuh?" Ouw Hui menegas sambil menengok ke jurusan
utara. Benar saja, jauh-jauh sudah ke-lihatan debu mengepul
dan dari bunyi kaki kuda yang dapat didengar, agaknya
mereka berjumlah kira-kira delapan atau sembilan orang.
"Tunggangan musuh-musuh itu adalah kuda-kuda yang
sangat bagus," kata Ouw Hui. "Jika kita melarikan diri, kita
pasti akan tersusul. Jalan satu-satunya adalah mencari tempat
bersembunyi."
Tapi di sekitar tempat itu sama sekali tak terdapat
kemungkinan untuk menyembunyikan diri. Daerah itu adalah
tanah datar yang tandus. Hanya di sebelah barat laut terdapat
sebuah hutan kecil.
"Kita pergi ke situ saja," kata Leng So sembari menuding
dengan cambuknya. Ia berpaling kepada Ma It Hong dan
berkata pula: "Tungganglah kuda!"
"Terima kasih, nona," kata It Hong sambil melompat ke
atas punggung kuda.
"Kedua matamu benar tajam," memuji si nona. "Dalam
bahaya, kau masih bisa mengenali, bahwa aku adalah seorang
wanita yang menyamar sebagai pria." Demikianlah dengan
menggunakan dua ekor kuda, mereka bertiga lantas saja
menuju ke hutan itu.
Baru saja melalui kurang lebih satu li, mereka telah dilihat
oleh kawanan perampok. Sembari ber-teriak-teriak, belasan
penjahat yang berada di sebelah utara, lantas saja mengejar
mereka. Ouw Hui kaburkan tunggangannya dan masuk lebih
dulu ke dalam hutan. Ia mendapat kenyataan, bahwa di
bagian belakang hutan itu terdapat enam tujuh rumah kecil. Ia
yakin, bahwa jika lari terus mereka tentu akan kecandak,
sehingga jalan satu-satunya adalah coba menyembunyikan diri
di salah satu rumah itu.
Dengan cepat Ouw Hui larikan kudanya ke arah kelompok
rumah-rumah itu. Ia mendapat kenyataan, bahwa di antara
gubuk-gubuk itu terdapat satu rumah batu yang agak besar.
Ia menghampiri rumah batu itu dan mendorong pintunya yang
lantas saja terbuka. Dalam rumah itu terdapat satu nenek
yang sedang rebah di pembaringan dalam keadaan sakit.
Melihat masuknya Ouw Hui, si nenek terkejut bu-kan main dan
mengeluarkan teriakan lemah.
Sementara itu, Leng So mendapat kenyataan, bahwa
gubuk-gubuk tersebut tidak berjendela, sehingga bukan
tempat tinggalnya manusia. Ia mem-buka pintunya salah satu
gubuk yang ternyata terisi rumput. Dalam gubuk yang satunya
lagi, ia men-dapatkan tumpukan batu-batu. Tanpa
mengeluarkan sepatah kata, Leng So merogoh saku dan
meng-ambil bahan api yang lalu dinyalakan dan kemudian
digunakan untuk menyulut gubuk-gubuk yang berada di situ.


Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sesudah itu, ia menarik tangan Ma It Hong dan lalu masuk ke
rumah batu. Gubuk-gubuk tersebut terpisah tiga empat tom-bak dari
rumah batu. Tak usah dikatakan lagi, dengan terjadinya
kebakaran, mereka yang berada dalam rumah batu akan
merasakan hawa panas. Akan tetapi, dengan demikian musuh
jadi dapat ditahan untuk sementar waktu dan di samping itu,
dengan musnahnya semua gubuk, kawanan perampok itu tak
mempunyai tempat lagi untuk menyem-bunyikan diri dan akan
lebih banyak menghadapi kesukaran dalam penyerangannya.
Melihat kepintarannya Leng So, tanpa merasa Ma It Hong
memuji: "Nona, kau sungguh pintar."
Hampir berbareng dengan terbakarnya gubuk-gubuk
tersebut, kawanan perampok sudah masuk ke dalam hutan.
Melihat api yang berkobar-kobar, kuda-kuda mereka tak
berani menerjang masuk dan mereka terpaksa mengurung
kelompok rumah-ru-mah itu dari tempat yang agak jauh.
Sesudah berada dalam rumah batu dan sema-ngatnya
terkumpul kembali, Ma It Hong lantas saja ingat kedua
puteranya yang diculik oleh kawanan penjahat. la adalah
puteranya seorang Rimba Per-silatan kenamaan dan semenjak
kecil telah meng-ikuti mendiang ayahnya berkelana di dunia
Kang-ouw yang penuh marabahaya, sehingga hatinya ada
banyak lebih kuat dari manusia biasa. Akan tetapi, oleh karena
adanya ikatan kecintaan antara ibu dan anak, pada ketika itu,
tanpa merasa, ia mengu-curkan air mata. Sambil menyusut air
mata yang meleleh di kedua pipinya, ia berkata kepada Leng
So dengan suara terharu: "Adik, kau dan aku belum pernah
mengenal satu sama lain. Tapi kenapa, dengan menempuh
bahaya besar, kau sudah turun tangan untuk menolong
diriku?" Pertanyaan itu memang pantas diajukan. Harus diketahui,
bahwa semua penjahat terdiri dari orang-orang yang
berkepandaian tinggi dan jumlahnya pun besar sekali.
Andaikata ayahnya, Pek-seng Sin-kun Ma Heng Kong, yang
menghadapi kejadian itu, biar bagaimana gagah pun, sang
ayah pasti tak akan dapat melawan musuh. Tapi kedua orang
itu, yang bukan sanak dan bukan kadang, dengan suka rela
sudah menyerbu lautan api untuk menolong keluar-ganya.
Bukankah dengan berbuat begitu, mereka akan mengantarkan
jiwa dengan cuma-cuma" Ia mengetahui, bahwa nama "Sinkun
Yoe-tek Gu Keng Tian" hanyalah nama samaran untuk
meng-ejek kawanan perampok. Ia juga mengetahui bahwa
ayahnya telah mendapat pelajaran silat dari kakek-nya dan
ayah itu sama sekali tak mempunyai saudara seperguruan.
Leng So mesem dan sambil menunjuk punggung Ouw Hui,
ia menanya: "Apa kau tak kenal dia" Dia sendiri mengenal
kau." Ketika itu, Ouw Hui sedang mengintip ke luar dari lubang
jendela. Mendengar perkataan Leng So, ia menengok dan
tertawa. Di lain saat, ia memutar badan sambil mengangkat
tangannya dan menyam-bui sebatang piauw serta satu Chiucian
(panah tangan) yang menyambar masuk dari lubang itu.
Ia nielemparkan kedua senjata rahasia itu di atas lantai dan
berkata: "Sungguh sayang kita tidak membawa senjata
rahasia. Tapi sekarang kita bisa meminjam senjata musuh
untuk menghantam mereka. Satu, dua, tiga, empat, lima... di
sebelah situ, sebelah selatan, sama sekali terdapat sembilan
orang." Ia pergi ke lain jendela dan mengintip pula. "Satu,
dua, tiga... di sebelah utara ada tujuh orang," katanya. 'Hanya
sayang, musuh yang di sebelah timur dan barat tak dapat
dilihat olehku."
Sehabis berkata begitu, ia memutar badan dan mengawasi
ruangan itu. Mendadak, ia melihat satu dapur batu di satu
sudut dan otaknya yang cerdas lantas saja mendapat satu
ingatan baik. Ia meng-hampiri dapur itu dan mengangkat satu
kuali besi yang terletak di atasnya. Dengan tangan kanan
mencekal kuping kuali dan tangan kiri memegang tutupan
kuali, ia mengeluarkan badan di jendela, lalu menengok ke
jurusan timur dan kemudian ke jurusan barat.
Dengan berbuat begitu, separuh badannya yang
dicenderungkan ke luar, terbuka untuk serangan senjata
rahasia, yang lantas saja menyambar-nyam-bar bagaikan
hujan gerimis. Tapi semua senjata rahasia tak mencapai
maksudnya, karena adanya kuali dan tutupannya yang
digunakan sebagai ta-meng oleh Ouw Hui. Serentetan suara
nyaring terdengar waktu senjata-senjata rahasia itu menancap
di kedua tameng tersebut. Sesaat kemudian, sembari tertawa
terbahak-bahak, ia menarik pula badannya dari jendela itu.
Setelah diperiksa, ditutupan kuali menancap empat lima
senjata rahasia, sedang di kuali itu sendiri terapat lima enam
buah, yang terdiri dari Thie-lian-cie, panah tangan, pusut,
paku dan sebagainya. Sebagian kuali itu ternyata somplak
karena terpukul batu Hui-hong-sek.
"Di depan, di belakang, di kiri dan kanan semuanya ada
dua puluh satu orang," kata Ouw Hui.
"Dua bocah itu dan Cie-heng tidak terdapat di antara
mereka. Jika dihitung-hitung, dengan dua orang yang
melayani Cie-heng dan dua orang pula yang menculik kedua
anak itu, sama sekali kita sedang menghadap dua puluh lima
musuh." "Jika mereka itu hanya manusia-manusia yang
berkepandaian biasa, kita boleh tak usah takut," kata Leng So.
"Tapi...."
"Jie-moay," kata Ouw Hui. "Apakah kau tahu asal usulnya
orang yang bersenjata Lui-cin-tong?"
"Menurut Suhu, yang menggunakan Lui-cin-tong
kebanyakan adalah orang-orang Pek-kee-po di Saypak," Leng
So menerangkan. "Tapi coba, Toako, lihatlah yang
menggunakan pedang. Ilmu pedangnya terang-terang Kiekeekiam-hoat (ilmu pedang ke-luarga Kie) dari Ciat-kang
timur. Hm! Yang satu dari Saypak, yang lain dari Ciat-kang
timur. Toako, apakah kau memperhatikan lagu bicaranya?"
"Benar," celetuk Ma It Hong. "Ada yang bicara dengan lidah
Kwitang. Ada yang dari Ouw Pak, dari Ouw-lam, malah ada
juga yang berbicara dengan lagu Shoa-tang dan Shoa-say."
"Tak mungkin ada kawanan perampok yang beranggotakan
jago-jago dari begitu banyak tempat, mau turun tangan untuk
merampas sembilan ribu tahil perak saja," kata Leng So.
Mendengar kata "hanya sembilan ribu tahil perak", muka
Ma It Hong lantas menjadi merah. Semenjak mula-mula
dibentuk, memang belum per-nah Hui-ma Piauw-kiok
mengantar piauw yang begitu kecil.
"Sekarang paling baik kita menyelidiki dulu tujuan musuh,"
kata Ouw Hui. "Kita harus tahu, apakah mereka mengincar
aku dan adikku, atau Ma Kouwnio dan keluarganya." Ketika
baru bertemu, melihat jumlah musuh yang besar, ia menduga,
bahwa mereka itu adalah orang-orang Tian Kui Long, tapi
sesudah menyaksikan sepak terjang mereka yang hanya
memusuhi keluarga Cie Ceng, ia menarik kesimpulan bahwa
kawanan perampok itu tidak mempunyai sangkut paut dengan
permusuhan antara Biauw Jin Hong dan Tian Kui Long.
"Sudan terang tujuan mereka adalah untuk memusuhi Huima
Piauw-kiok," kata It Hong. "Toako, apakah aku boleh
mengetahui shemu yang mulia" Maafkan aku, karena benarbenar
aku tak dapat mengenali kau."
Ouw Hui tertawa dan menanggalkan kumis palsunya. "Ma
Kouwnio, apakah kau masih belum ingat?" tanyanya sembari
tersenyum. Ma It Hong mengawasi muka itu yang masih
memperlihatkan sifat kekanak-kanakan. Lama juga ia
memandangnya. Samar-samar ia merasa seperti pernah
melihat muka itu, tapi entah di mana.
Ouw Hui tertawa^dan berkata: "Siang Siauwya, aku mohon
kau melepaskan A-hui. Jangan meng-aniaya lagi."
It Hong terkesiap. Kedua matanya dibelalak-kan, mulutnya
terbuka, tapi ia tak dapat mengeluar-kan sepatah kata.
Ouw Hui berkata lagi: "A-hui sudah digantung terlalu lama,
sesungguhnya aku tak tega. Pergilah kau, melepaskan ia dulu.
Sesudah itu, boleh kau datang lagi ke sini."
Itulah permohonan Ma It Hong kepada Siang Po Cin!
Sebagaimana diketahui, bertahun-tahun sebelumnya, diwaktu
Ouw Hui masih kecil, ia pernah digantung dan dihajar di
Siang-kee-po. Oleh karena merasa kasihan, It Hong telah
mengajukan permohonan itu kepada Siang Po Cin, yang sudah
tergila-gila kepadanya. Meskipun ia tak memerlu-kan
pertolongan itu, dan sudah dapat melepaskan diri, tapi budi
dan kata-kata si nona masih diingat terus oleh Ouw Hui
sehingga hari itu. Besar sekali rasa terima kasihnya dan walaupun sudah ber-selang sekian tahun - rasa terima kasih
itu sedikit pun tak berkurang.
Untuk dua baris perkataan itu, sekarang Ouw Hui rela
mempertaruhkan jiwanya guna membalas budi. Dalam
keadaan berbahaya, sebaliknya dari-pada gentar, ia bahkan
merasa girang karena pada kesempatan ini, ia bisa berbuat
apa-apa untuk seorang wanita yang telah mengasihinya ketika
ia sedang menderita hebat.
Mendengar perkataan Ouw Hui, Ma It Hong menjadi sadar.
"A-hui!" ia berteriak, "Aduh! A-hui!" Iaberdiam sejenak dan
kemudian berkata pula dengan suara lebih tenang: "Ouw Hui,
Ouw Toako, putera Tay-hiap Ouw It To!"
Ouw Hui tersenyum dan mengangguk-angguk. Mendengar
nama ayahnya, ia kembali teringat akan kejadian-kejadian
yang lampau dan hatinya menjadi sangat sedih. "Ouw Toako,"
kata pula Ma It Hong dengan terharu. "Kau... kau... harus
menolong kedua puteraku."
"Biar apa pun yang akan terjadi, siauwtee akan berusaha
sekuat tenaga," jawabnya dengan tegas. Ia berpaling seraya
berkata: "Inilah adik angkatku, Thia Leng So, Thia Kouwnio."
It Hong membungkuk dan sembari mengawasi gadis itu
dengan rasa terima kasih, ia berkata: "Thia Kouwnio..."
"Drr!" pintu terpukul dengan serupa barang berat, sehingga
seluruh ruangan itu jadi tergetar. Untung juga, pintu itu cukup
tebal lagi teguh sehingga tidak sampai bobol.
Dengan mengintip dari lubang jendela, Ouw Hui mendapat
kenyataan bahwa penggedoran itu telah dilakukan oleh empat
penjahat. Mereka sedang mengayun sebuah batu besar, yang
diikatkan pada ujung tambang selaku menggunakan bandringan.
"Jika pintu ini terpukul pecah dan mereka sudah menerobos
masuk, pihakku pasti akan diring-kus," katanya di dalam hati.
Diam-diam ia menyiapkan sebatang bun-teng dan panah
tangan dalam kedua tangannya.
Sesaat kemudian, empat penjahat itu kembali mengeprak
kuda mereka dan menerjang sambil mengayunkan bandringan
batu tersebut. Ketika mereka sudah berada dalam jarak lima
enam tombak, Ouw Hui mengayunkan kedua tangannya.
Tanpa bersuara, robohlah dua ekor kuda yang terdepan
dengan serentak dan dua penunggangnya turut terguling.
Karena kecelakaan itu, dua kuda yang berada di belakang jadi
tersangkut tali bandringan itu dan jatuh terjerunuk. Masih
untung, bahwa dua penunggang itu berkepandaian cukup
tinggi, sehingga mereka keburu melompat dan tiba di atas
tanah dengan selamat.
Sembari mengeluarkan teriakan kaget, dua orang itu
segera memburu untuk memberi pertolongan kepada kawan
mereka. Mereka mendapat kenyataan, bahwa dua buah
senjata rahasia menancap da-lam-dalam sampai di otak kedua
binatang itu. Semua perampok kaget bukan main dan
mengawasi sembari mengulur lidah. Senjata rahasia itu dilepaskan
dengan Lweekang yang tak dapat diukur bagaimana
kuatnya! Mereka juga mengerti, bahwa yang melepaskan
senjata itu, sudah berlaku sangat murah hati. Jika paku dan
panah tangan itu di-tujukan ke dada dua kawan mereka,
kedua-duanya tentu sudah tewas. Dengan sikap ketakutan,
mereka buru-buru mundur puluhan tombak, sampai di luar
jarak timpukan senjata rahasia. Kasak-kusuk, dengan suara
tertahan merundingkan tindakan selanjutnya.
Dengan timpukannya itu, selain sungkan mem-binasakan
orang, Ouw Hui juga mempunyai perhi-tungan lain. Memang
benar, dengan mudah ia bisa mengambil jiwa tiga di
antaranya atau keempat-em-patnya semua. Tapi dengan
berbuat begitu, ia akan menanam benih permusuhan besar
yang tak mung-kin dibereskan lagi dengan jalan damai,
sedang berapa besar kekuatan musuh, belum diketahui
dengan jelas. Di samping itu, ia juga ingat, bahwa kedua
putera It Hong berada dalam tangan musuh, sedang nasib Cie
Ceng pun belum terang. Maka, menurut pendapatnya, jalan
yang paling baik adalah membereskan persoalan ini secara
damai. Sesudah kawanan itu mundur, Ouw Hui segera memeriksa
pintu tadi. Ia mendapat kenyataan bahwa pintu itu sudah
rengat dan pasti akan terbelah, jika terpukul dua tiga kali lagi.
"Ouw Toako, Thia Moay-moay, bagaimana sekarang?"
tanya It Hong dengan khawatir.
Alis Ouw Hui berkerut, "Apakah di antara mereka, tak
seorang juga kau kenal?" tanya Ouw Hui.
"Tidak," jawabnya, sembari menggelengkan ke-pala.
"Jika mereka musuh mendiang ayahmu, menga-pa mereka
agaknya menghormati ayahmu," kata Ouw Hui. "Jika benar,
bahwa mereka hanya ingrn menyusahkan dirimu dengan
merampas kedua anak-mu, apakah gunanya, sedang kau
sama sekali tidak mengenal mereka. Lagi pula, selama ini
mereka belum pernah mengeluarkan perkataan kurang ajar
terhadapmu. Terhadap Cie Toako, memang mereka sangat tak
mengenal aturan. Tapi, jika berkawan mereka hanya hendak
menyeterukan Cie Toako, perlu apa mereka datang dengan
berkawan begitu banyak?"
"Benar," kata It Hong. "Di antara mereka, yang mana pun
bisa merobohkan Suko."
Ouw Hui mengangguk seraya berkata: "Urusan ini memang
sangat mengherankan. Tapi jangan khawatir. Menurut
pendapatku, mereka sama sekali tak ingin mencelakakan
orang. Juga terhadap Cie Toako, sikap mereka seperti hanya
ingin berkela-kar."
Pada saat itu, Ma It Hong teringat kepada perkataan salah
seorang penjahat tadi. "Sekuntum bunga indah ditancap di
tahi kerbau." Mukanya lantas saja menjadi merah.
Sementara itu, Leng So sudah berkenalan dengan wanita
penghuni rumah itu dan ia sudah menanak nasi. Sehabis
makan, mereka mengintip dari lubang jendela. Agaknya


Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kawanan penjahat itu sedang sibuk sekali, mereka mundarmandir
ke sana sini, tapi karena teraling pohon-pohon, tak ketahuanlah
apa yang sedang dibuat mereka.
Leng So dan Ouw Hui, kedua-duanya berotak cerdas, tapi
sekali ini ketajaman otak mereka tak dapat menembuskan
tabir rahasia itu.
"Apakah kejadian ini ada sangkut pautnya dengan hadiah
yang diberikan kepada Toako?" tanya Leng So.
"Entahlah," jawab Ouw Hui. Sesaat kemudian ia berkata
pula: "Daripada tetap berada dalam kabut ini, lebih baik kita
keluar terang-terangan. Jika kedua peristiwa ini benar-benar
mempunyai hu-bungan, kita bisa bertindak dengan
mengimbangi keadaan."
"Baiklah," kata si nona sembari mengangguk. Mereka
menghampiri pintu yang lalu dibukanya.
Begitu melihat pintu terbuka, kawanan penjahat itu segera
maju mendekati dengan berpencar.
"Saudara-saudara!" teriak Ouw Hui dengan sua-ra nyaring.
"Jika kalian datang untuk mencari Ouw Hui, Ouw Hui dan
adiknya, Thia Leng So, berada di sini. Jangan kalian menyeretnyeret
orang yang tidak berdosa." Hampir berbareng dengan
per-kataannya, ia mematahkan huncweenya dan melo-coti
semua alat penyamarannya, sedang Leng So pun segera
melontarkan topinya, sehingga rambut-nya yang hitam segera
terurai di pundaknya.
Semua penjahat terkesiap. Sedikit pun mereka tidak
menduga, bahwa orang yang berkepandaian begitu tinggi
hanyalah seorang pemuda yang baru berusia kira-kira dua
puluh tahun. Mereka saling memandang dan untuk beberapa
saat, mereka tak dapat mengucapkan sepatah kata. Tiba-tiba
salah seorang memajukan kudanya. Orang itu, yang muka-nya
putih dan tubuhnya tinggi, bukan lain dari pada si orang she
Liap yang bersenjatakan pedang.
la mengangkat kedua tangannya untuk mem-beri hormat
dan berkata: "Budi tuan yang sudah memulangkan pedangku,
tak bisa kulupakan," kata-nya. "Urusan hari ini sama sekali tak
ada sangkut pautnya dengan tuan berdua. Kalian boleh segera
berangkat dan dengan jalan ini, aku memberi selamat jalan."
Sembari berkata begitu, ia meloncat turun dari tunggangannya
dan menepuk pundak binatang itu, yang lantas lari dan
berhenti di depan Ouw Hui. Dengan demikian, penjahat itu
bukan saja tidak merintangi keberangkatannya, tapi ma-lahan
menghadiahkan juga seekor kuda yang sangat bagus.
Ouw Hui membalas hormatnya. "Bagaimana dengan Ma
Kouwnio?" tanyanya.
"Kedatangan kami ini adalah untuk mengun-dang Ma
Kouwnio pergi ke Utara," jawab orang she Liap itu. "Kami
bersumpah, untuk tidak meng-ganggu selembar saja rambut
nyonya itu."
"Jika benar kalian bermaksud baik, kenapa mesti
mengerahkan barisan yang begini kuat dan menakut-nakuti
orang?" tanya Ouw Hui, bagaikan menegur. Ia memutarkan
badannya dan berteriak: "Ma Kouwnio! Kedatangan mereka
adalah untuk mengundang kau. Apakah kau suka mengikut
mereka?" Ma It Hong segera menghampiri. "Aku sama sekali tidak
mengenal tuan-tuan," katanya. "Untuk apa kalian
mengundang aku?"
"Tentu saja kami tak mengenal kau," kata salah seorang
penjahat sembari tertawa. "Tapi ada yang mengenal kau."
"Mana anakku?" teriak It Hong. "Kembalikan-lah anakku!"
"Ma Kouwnio tak usah khawatir," kata si orang she Liap.
"Kedua puteramu tak kurang suatu apa. Dengan seantero
tenaga kami, kami akan melin-dungi mereka. Mana berani
kami mengganggu kedua kongcu (panggilan untuk putera
orang ber-pangkat atau hartawan) yang tubuhnya berharga
berlaksa tail emas?"
Leng So dan Ouw Hui jadi semakin heran. Semakin lama
kawanan penjahat itu menggunakan kata-kata yang semakin
menghormat. Cie Ceng hanyalah seorang piauwtauw miskin,
sehingga tak pantas puteranya dipanggil "kongcu yang
tubuhnya berharga berlaksa tahil emas."
Tapi muka Ma It Hong sekonyong-konyong menjadi merah.
"Tidak, aku tak mau pergi," katanya. "Lekas pulangkan kedua
anakku!" Sehabis berkata begitu, tanpa menunggu jawaban, ia
memutarkan badannya dan bertindak kembali ke rumah batu
itu. Melihat gerak-gerik nyonya itu yang luar biasa, Ouw Hui
menjadi semakin curiga. "Ma Kouwnio," katanya dengan suara
nyaring. "Tak perduli apa yang akan terjadi, aku tak nanti
akan berpeluk tangan saja."
"Walaupun berkepandaian tinggi, seorang diri tuan tak
akan dapat melawan musuh yang berjumlah besar," kata
orang she Liap itu. "Jumlah kami tak kurang dari dua puluh
lima orang. Sebentar malam akan datang lagi bala bantuan."
Ouw Hui pereaya, bahwa jumlah yang disebut-kan orang
itu, bukan gertakan belaka. Tapi sebagai ksatria yang tidak
pernah bekerja kepalang tang-gung, di dalam hatinya, sedikit
pun tak terdapat niat untuk meninggalkan Ma It Hong. "Tapi
Jie-moay tak perlu berkorban jiwa secara cuma-cuma di ternpat
ini," katanya di dalam hati. Dengan berpikir begitu, ia
berbisik: "Jie-moay, naiklah ke atas kuda ini dan segeralah
menerjang ke luar. Biarlah aku sendiri yang menolong Ma
Kouwnio. Dengan begitu, aku bisa bergerak lebih leluasa."
Leng So mengerti maksud kakaknya, lantas saja ia berkata
tegas-tegas: "Dengan maksud apa orang mengangkat
saudara" Apakah bahaya harus diha-dapi bersama-sama, atau
masing-masing harus ber-lomba kabur?"
"Kau sama sekali belum pernah mengenal Ma Kouwnio,"
kata Ouw Hui untuk membujuk. "Perlu apa kau menghadapi
bahaya untuknya" Bagiku memang lain."
Leng So menunduk dan berkata dengan per-lahan: "Perlu
apa aku menghadapi bahaya untuknya" Tapi, apakah kau dan
aku juga belum pernah saling mengenal?"
Mendengar kata-kata itu, bukan main terharu-nya Ouw Hui.
Selama hidupnya, belum pernah ada manusia yang berlaku
begitu baik terhadapnya, yang rela binasa bersama. Tentu
saja, Peng Sie-siok ada-lah seorang yang bisa berbuat begitu.
Tio Poan San juga bisa berkorban untuk kepentingannya.
(Sung-guh mengherankan, pada saat itu, dalam otaknya
berkelebat satu ingatan, bahwa Biauw Jin Hong pun dapat
berbuat begitu). Akan tetapi, dengan be-berapa ksatria itu, ia
belum pernah berada dalam kedudukan yang memerlukan
pengorbanan orang lain. Hari ini, di sampingnya terdapat
seorang wa-nita muda, yang, tanpa bersangsi sedikit juga,
rela mengorbankan jiwanya bersama-sama dengan diri-nya.
Sesudah menunggu beberapa lama tanpa ada tanda-tanda
pihak Ouw Hui akan menurut, orang she Liap itu berkata pula:
"Kami beramai tak akan berani mengganggu Ma Kouwnio dan
terhadap Jie-wie, kami pun tidak mempunyai maksud kurang
baik. Kenapa kalian memaksa hendak menempat-kan diri di
tempat berbahaya" Sepak terjang tuan yang sangat mulia,
kami sangat hargai. Di hari kemudian, kita tentu mempunyai
lain kesempatan untuk bertemu pula. Sekarang ini, paling baik
kita berpisahan secara sahabat."
"Apakah kalian bersedia untuk melepaskan Ma Kouwnio?"
tanya Ouw Hui. Orang she Liap itu menggelengkan kepala. Sebenarnya ia
masih ingin membujuk, tapi kawan-ka-wannya sudah naik
darah. "Bocah ini benar-benar tak kenal mampus!" berteriak
seorang. "Liap Toa-ko! Tak perlu banyak bicara lagi dengan
bocah itu!"
"Inilah yang dinamakan, ada sorga sungkan ke sorga,
berbalik mengambil jalanan ke neraka," meng-ejek yang lain.
"Bocah!" membentak penjahat yang ketiga. "Be-rapa tinggi
sih kepandaianmu?"
Tiba-tiba satu sinar putih menyambar ke arah Ouw Hui.
Orang she Liap itu melompat tinggi dan menangkap senjata
rahasia itu yang ternyata adalah sebatang pisau terbang.
"Atas kebaikan tuan, aku menghaturkan banyak terima
kasih," kata Ouw Hui. "Mulai dari sekarang, kita sama-sama
sudah tidak berhutang budi lagi." Sehabis berkata begitu,
sembari menarik tangan Leng So, ia masuk ke dalam rumah
batu itu dengan tindakan cepat.
Mendadak, kupingnya yang sangat tajam menangkap suara
menyambarnya sejumlah senjata ra-hasia. Cepat bagaikan
kilat, ia menutup pintu dan hampir berbareng, terdengar suara
merotoknya senjata rahasia yang menancap di pintu itu.
Sembari bersorak sorai, kawanan penjahat lantas saja mendekati
pintu. Ouw Hui mengambil sejumlah senjata rahasia
dari atas meja dan kemudian, dari lubang jendela ia
menimpuk penjahat yang paling dekat dengan sebatang
piauw. Dia berteriak "aduh!" dan piauw itu menancap tepat
pada pundaknya. Tapi ternyata penjahat itu berbadan kedot
dan bernyali besar. "Saudara-saudara!" ia berteriak. "Apakah
kita masih ada muka untuk pulang kembali, jika hari ini kita
tak dapat membereskan satu bocah cilik?" Kawan-kawannya
mengiyakan dan dengan seren-tak, mereka mulai merangsek
dari empat penjuru.
Sesaat kemudian, tembok di sebelah timur dan barat
tergedor hebat. Ternyata, karena di kedua bagian rumah itu
tidak terdapat jendela, kawanan perampok tak khawatir lagi
senjata rahasia dan mereka lalu menggunakan balok untuk
coba merubuhkannya.
Ouw Hui yang menjaga di jendela berulang-ulang
melepaskan senjata rahasia, sehingga kawanan penjahat yang
mengepung di sebelah selatan dan
utara pada mengundurkan diri, tapi penggedoran di tembok
timur dan barat terus dilangsungkan dengan hebatnya.
Sementara itu, Leng So sudah mengeluarkan lilin Cit-sim
Hay-tong dan membagi obat pemudah kepada Ouw Hui, Ma It
Hong dan wanita penghuni rumah itu, dengan pesanan
supaya, begitu lekas lilin dinyalakan, obat itu dimasukkan ke
dalam hidung. Ia bersiap untuk menyulut lilin, begitu musuh
menerobos masuk. Akan tetapi, ia pun mengetahui, bahwa
lilin racun itu tak akan dapat merubuhkan semua musuh yang
berjumlah besar. Ia hanya melakukan apa yang masih dapat
dilakukan untuk menjatuhkan musuh sebanyak mungkin.
Apakah dengan bantuan lilin itu mereka akan bisa menerjang
ke luar, adalah hal yang ia sendiri tak dapat meramalkan.
Beberapa saat kemudian, dengan satu suara "brak!",
tembok di sebelah barat telah berlubang! Tapi tak seorang
pun berani merangsak masuk lebih dulu, sebab mereka semua
takuti kelihayan Ouw Hui. Tembok digedor terus, semakin
lama lubang-nya jadi semakin besar dan pada akhirnya,
lubang itu tentu akan cukup besar untuk mereka menerobos
masuk beramai-ramai.
Ouw Hui jadi bingung. Otaknya diasah keras dan kedua
matanya yang tajam menyapu seluruh ruangan untuk
mencari-cari alat yang bisa diguna-kan untuk menahan
musuh. "Ouw Toako!" mendadak terdengar teriakan Leng So.
"Barang ini dapat menolong kita!" Ia berlutut dan kedua
tangannya dimasukkan ke ba-wah pembaringan si nenek yang
sedang sakit. Waktu ditarik pulang, kedua tangannya
berlepotan kapur.
"Bagus!" berteriak Ouw Hui kegirangan. la merobek jubah
panjangnya dan sobekan kain itu lalu digunakan untuk
membungkus kapur. Cepat bagai-kan kilat, ia melompat ke
luar dari lubang tembok, meramkan kedua matanya dan lalu
menimpuk mu-suh dengan bungkusan kapur itu! Di lain detik,
ia sudah loncat balik ke dalam rumah.
Diserang cara begitu, kawanan perampok yang sedang
merundingkan siasat untuk menerjang ma-suk, jadi
gelagapan. Bagaikan halimun kapur putih itu beterbangan di
tengah udara dan menyambar masuk ke dalam mata kawanan
penjahat itu yang lantas saja menjerit-jerit kesakitan.
Leng So bekerja sebat sekali, ia menyerahkan dua
bungkusan kapur kepadanya. "Bagus!" katanya sembari
mengambil satu batu besar dari bawah dapur. Dengan tangan
kirinya, ia mengangkat tinggi batu itu, lalu mengerahkan
tenaga dan melompat ke atas. "Brak!" atap rumah berlubang
besar. Di lain detik, ia sudah meloncat ke luar dari lubang itu
dan menghantam kawanan penjahat dengan dua bungkusan
kapur. Hampir berbareng, di luar terdengar jeritan yang ramai.
Leng So bekerja sebat sekali. Sejumlah bungkusan kapur
sudah sedia dan Ouw Hui mengulangi serangannya terhadap
musuh yang berada di sebelah selatan dan utara. Sembari
berteriak-teriak dan mencaci maki, kawanan penjahat itu
mundur ke dalam hutan. Enam tujuh orang rusak matanya
dan untuk sementara, mereka tak berani mendekati lagi
rumah batu itu.
Dengan demikian, kedua belah pihak bertahan di masingmasing
tempatnya. Kawanan penjahat tak berani mendekati
rumah itu, sedang Ouw Hui ber-tiga pun tak ungkulan bisa
meloloskan diri dari kepungan musuh yang berjumlah banyak
lebih besar. Sesudah mengalami bahaya bersama-sama, Ouw
Hui dan Leng So jadi semakin rapat. Mereka melewati tempo
sembari beromong-omong dan ter-tawa-tawa. Di lain pihak,
Ma It Hong kelihatannya sangat berduka dan bingung. Ia
duduk terpekur dan tidak memperdulikan dua kawannya yang
sedang omong-omong dengan gembira.
"Biarlah kita menunggu sampai malam, kalau-kalau dalam
gelap gulita kita bisa meloloskan diri," kata Ouw Hui. "Jika
malam ini kita tak bisa menerjang ke luar, hm... mungkin
sekali kau harus menyerahkan jiwa kecilmu. Mengenai jiwa
Sin-kun Yu-tek Gu Keng Tian.... huh-huh!" Ia meraba bawah
hidung dan berkata pula sembari tertawa: "Jika aku tahu
urusan ini tak ada sangkut-pautnya dengan orang she Ouw,
aku tentu tak membuang kumisku yang begitu keren."
Leng So mesem. "Toako," katanya dengan suara perlahan.
"Jika sebentar kita gagal dalam usaha menerobos ke luar,
siapakah yang akan ditolong olehmu, aku atau Ma Kouwnio?"
"Dua-duanya," jawab Ouw Hui.
"Andaikata, kau hanya dapat menolong satu orang, sedang
yang satunya lagi harus menerima kebinasaan, siapakah yang
akan ditolong olehmu?" mendesak si nona.
Sesudah memikir beberapa lama, Ouw Hui men-jawab:
"Aku menolong Ma Kouwnio dan kita mati bersama-sama."
Sekonyong-konyong si nona mengeluarkan seruan


Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tertahan: "Toako...!" la mencekal tangan Ouw Hui erat-erat.
Hati Ouw Hui berdebar-debar. "Celaka!" katanya dengan suara
di tenggorokan.
Mereka kaget karena kawanan penjahat be-ramai-ramai ke
luar dari dalam hutan dengan tangan membawa kayu-kayu
dan rumput kering yang ke-mudian dilemparkan ke seputar
rumah itu. Dilihat gelagatnya, mereka ingin menyerang
dengan meng-gunakan api. Sambil saling mencekal tangan,
Ouw Hui dan Leng So saling mengawasi. Dari sorot mata
mereka, mereka tak mempunyai banyak harapan.
Sekonyong-konyong Ma It Hong menghampiri jendela.
"Hei!" ia berteriak. "Siapa pemimpinmu" Aku mau bicara
dengan dia."
Dari antara rombongan penjahat itu berjalan keluar
seorang tua yang bertubuh kecil. "Ma Kouw-nio," katanya
dengan sikap hormat. "Jika kau mau bicara, bicaralah pada
siauwjin (aku yang rendah)."
"Aku akan datang ke tempat kau, tapi kau tak boleh
merintangi aku," kata pula Ma It Hong.
"Siapa berani merintangi Ma Kouwnio?" kata si tua.
"Ouw Toako, Thia Moay-moay," kata It Hong dengan suara
perlahan. "Aku mau bicara sedikit dengan dia dan akan segera
balik kembali."
"Tak boleh!" kata Ouw Hui. "Aku tak pereaya omongan
segala kawanan perampok. Ma Kouwnio, kau tak boleh pergi!
Kau akan seperti juga meng-antarkan did ke mulut harimau!"
"Aku mengambil keputusan ini karena melihat bahaya yang
sangat besar," kata Ma It Hong. "Budi kalian berdua, sampai
mati siauw-moay tak akan melupakannya."
Sebagai ksatria sejati, mana Ouw Hui mau mengerti"
Melihat nyonya itu berkeras kepala dan tangannya sudah
memegang palangan pintu, lantas saja ia berkata: "Kalau
begitu, biarlah aku pergi bersama-sama kau."
Muka It Hong bersemu dadu. "Tak usah," katanya.
Leng So yang sangat cerdik dan matanya mem-perlihatkan
segala apa, jadi semakin bereuriga. Ke-napa muka Ma It Hong
berulang kali berubah merah" Apakah antara mereka berdua
terselip soal cinta" Memikir sampai di situ, paras mukanya
sen-diri berubah merah.
"Baiklah," kata Ouw Hui. "Kau boleh pergi sendiri, tapi lebih
dulu biarlah aku menangkap satu niusuh sebagai
tanggungan."
"Ouw toako," kata It Hong tergugu. "Tak usah...."
Belum habis ia bicara, dengan tangan kanan mencekal
golok, Ouw Hui sudah membuka pintu dan melompat ke luar.
Kawanan penjahat lantas saja berteriak-teriak.
Bagaikan kilat Ouw Hui sudah menerjang rombongan
penjahat itu. Dua perampok memapaki ia dengan sabetan
golok. Ouw Hui menundukkan kepala dan melompat sembari
coba menyengkeram pergelangan tangan satu musuh dengan
tangan kiri-nya. Tapi orang itu juga gesit luar biasa. Ia
membalik tangan dan membabat pula dengan goloknya,
sehingga Ouw Hui terpaksa menangkis dengan sen-jatanya.
Karena kelambatan itu, tiga musuh lainnya sudah keburu
menyerang, dua pian baja dan sebatang tombak menghantam
dengan berbareng.
Sembari mengerahkan tenaga dalam dan mem-bentak
keras, Ouw Hui menangkis dengan golok-nya. Berbareng
dengan suara "trang-trang-trang!", dua pian terpental ke
udara dan tombak itu kutung dua, tapi, sebab menggunakan
tenaga terlalu besar, mata goloknya sendiri melengkung dan
tak dapat digunakan lagi. Melihat tenaga yang begitu hebat,
kawanan penjahat jadi keder dan pada lompat menyingkir.
"Mari main-main dengan aku!" membentak si tua yang
berbadan kecil sembari meloncat maju dengan tangan kosong.
Ouw Hui kaget. "Gerakan orang ini mantap, dia bukan
lawan enteng," pikirnya. "Awas piauw!" ia berteriak sembari
mengayun tangan kirinya.
Si tua berhenti menyerang, ia mengawasi dengan mata
tajam, siap sedia untuk menyambut sen-jata rahasia Ouw Hui.
Di luar dugaan, Ouw Hui hanya menggertak. Dengan sekali
menjejak kaki kirinya, tubuhnya melesat ke atas dan
melompati kepalanya dua penjahat. Selagi badannya terbang
di udara, tangannya menyengkeram nadi salah satu penjahat
yang iantas diangkat dari tunggangannya dan hampir
berbareng, ia sendiri sudah menyemplak punggung kuda itu.
Pada detik itu juga, Ouw Hui menendang perut kuda, yang
dengan kesakitan Iantas saja kabur sekeras-kerasnya.
Kawanan perampok Iantas saja berteriak-teriak dan lalu
mengejar, ada yang menunggang kuda, ada juga yang jalan
kaki. Baru kabur beberapa tombak, Ouw Hui merasakan
sambaran angin tajam di be-lakangnya. Buru-buru ia
menunduk dan dua Tiat-tui (pusut besi) lewat di atas
kepalanya. Dari sambaran angin yang dahsyat, ia mengetahui,
bahwa orang yang menimpuk mempunyai kepandaian tinggi.
Buru-buru ia memutar badan dan duduk di pelana dengan
menghadapi pengejar-pengejarnya sembari memeluk
tawanannya. "Hayo! Lepaskan senjata rahasia! Makin banyak,
makin baik!" ia berteriak. Penjahat itu yang dicengkeram
nadinya, tidak ber-daya lagi. Ouw Hui tertawa terbahak-bahak
dan menendang pula perut kuda yang Iantas kabur ter-lebih
cepat. Mendadak, baru saja lari belasan tombak, kuda itu
rubuh terguling, karena pada waktu Ouw Hui memutar badan,
sebatang pusut telah masuk ke dalam perutnya.
Dengan gerakan yang sangat indah, Ouw Hui melompat
dan hinggap di atas tanah sembari terus memeluk
tawanannya, dan kemudian, setindak demi setindak, ia masuk
ke dalam rumah batu itu. Karena takut mencelakakan kawan
sendiri, gerombolan penjahat itu tak berani menerjang terus.
Demikianlah , dari bawah hidung dua puluh lebih jago-jago
yang lihay, pemuda itu sudah ber-hasil membekuk satu
penjahat dan kembali dengan tak kurang suatu apa. Bukan
main gusarnya kawanan perampok itu, tapi berbareng,
mereka juga harus mengakui kelihayan Ouw Hui.
"Ouw Toako, bagus! Sungguh bagus!" memuji Ma It Hong,
sembari bertindak ke luar dari rumah itu. Melihat munculnya si
nyonya cantik tanpa ber-senjata, semua penjahat Iantas saja
turun dari tunggangannya dan membuka satu jalanan untuk
nyonya tersebut.
It Hong berjalan terus dan baru menghentikan tindakannya
ketika ia tiba di pinggir hutan yang terpisah kurang-lebih lima
puluh tombak dan ru-mah batu itu.
Dengan hati berdebar-debar, Ouw Hui dan Leng So
mengawasi dari jendela. It Hong berdiri dengan membelakangi
mereka dan bicara dengan si tua yang berbadan kecil.
"Toako," kata Leng So. "Kenapa dia pergi be-gitu jauh. Jika
terjadi kejadian luar biasa, kita tak akan keburu untuk
menolongnya."
"Hm!" menggerendeng Ouw Hui. Ia menge-tahui, bahwa
jawaban untuk pertanyaan itu sudah dipunyai oleh adiknya.
Benar saja, sesaat kemudian si nona berkata pula: "Karena ia
tak mau kita ikut mendengarkan pembicaraan mereka!"
"Hm!" Ouw Hui menggerendeng lagi. Ia yakin, bahwa
dugaan adiknya adalah tepat. Tapi, lantaran apa Ma It Hong
bersikap begitu"
Pembicaraan antara Ma It Hong dan perampok itu tak
dapat didengar, akan tetapi, gerak-gerik mereka dapat dilihat
dari jendela. "Toako," kata Leng So. "Kepala perampok itu
bersikap sangat hormat terhadap Ma Kouwnio."
"Benar," kata Ouw Hui. "Dia berjiwa besar dan kelihatannya
berkepandaian tinggi."
"Bukan berjiwa besar," kata si nona sambil tertawa.
"Menurut penglihatanku, sikapnya seperti juga bujang
terhadap majikan."
Ouw Hui pun sudah melihat kenyataan yang luar biasa itu,
tapi ia sungkan mengatakannya ter-lebih dulu.
Sesudah mengawasi beberapa saat lagi, si nona berkata
pula: "Ma Kouwnio menggeleng-gelengkan kepala. Ia tentu
sedang menolak permintaan kepala perampok itu. Tapi
kenapa..." ia tak meneruskan perkataannya, ia berpaling ke
arah Ouw Hui dan kemudian, seperti orang jengah, ia
melengos dan memandang pula ke luar jendela.
"Apa yang mau dikatakan olehmu?" tanya Ouw Hui. "Kau
kata: 'Tapi kenapa....' Kenapa kau tak bicara terus?"
"Aku tak tahu, apa boleh berterus terang atau tidak," kata
Leng So. "Aku khawatir kau jadi gusar."
"Jie-moay," kata Ouw Hui. "Kau telah meng-ikuti aku
sampai di sini dan kita berdua akan hidup atau mati bersamasama.
Ada soal apakah yang tidak boleh dibicarakan di antara
kita berdua" Jie-moay, aku sendiri tak pernah memikir untuk
menyembunyikan apa-apa di hadapanmu."
"Baiklah," kata Leng So sambil tertawa. "Aku merasa heran,
kenapa, sebaliknya dari bergusar, muka Ma Kouwnio berubah
merah, seperti orang kemalu-maluan" Ini belum seberapa.
Yang lebih rnengherankan lagi, kenapa mukamu sendiri
berubah merah?"
Ouw Hui tak lantas menjawab. Selang beberapa saat,
barulah ia berkata: "Hatiku bereuriga karena mengingat suatu
kejadian. Tapi sebelum mendapat bukti, tak dapat aku
mengatakannya. Jie-moay, sau-daramu adalah laki-laki sejati.
Mengenai diriku sendiri, tiada soal yang tak dapat
dibicarakannya. Apa kau pereaya perkataanku ini?"
Melihat sikap dan paras Ouw Hui yang sung-guh-sungguh,
hati si nona jadi girang sekali. Ia tersenyum seraya berkata:
"Kalau begitu, mukamu berubah merah karena urusan Ma
Kouwnio. Toako, urusan orang lain tiada sangkut pautnya
denganku. Asal kau putih-bersih, bagiku sudah lebih dari cukup."
"Waktu pertama kali bertemu Ma Kouwnio, aku baru
berusia tiga belas atau empat belas tahun, masih bocah cilik,"
kata Ouw Hui. "Karena merasa kasihan, ia telah memintakan
ampun untukku...." la berhenti bicara dan mengawasi tepi
langit sebelah barat, di mana sang matahari tengah
menyelam. Sesaat kemudian, ia berkata pula dengan suara
perlahan: "Aku tak tahu, aku tak tahu apa tin-dakanku benar
atau salah.... Tapi aku yakin, ia adalah seorang baik. Hatinya
cukup mulia."
Tiba-tiba perampok yang menggeletak di be-lakang mereka
mengeluarkan suara merintih. Ouw Hui memutar badan dan
lalu menghampirinya. Ia menepuk jalanan darah Ciang-bunhiat
dan meng-urut beberapa kali jalanan darah Thian-tie-hiat
guna membuka jalanan darah perampok itu yang tadi ditotok.
"Karena terpaksa, aku sudah berbuat kedosaan terhadap
tuan," katanya. "Aku mengharap tuan tidak menjadi gusar.
Bisakah aku mendapat tahu, she dan nama tuan yang mulia?"
Perampok itu yang alisnya tebal dan matanya besar
mengawasi Ouw Hui sambil melotot. "Jangan rewel!"
bentaknya. "Karena kepandaiankurang, aku sudah dibekuk
olehmu. Mau bunuh boleh lantas bunuh. Guna apa kau banyak
bacot?" Mendengar cacian, Ouw Hui berbalik rnengin-dahkannya.
Sambil tertawa ia berkata: "Dengan tuan aku belum pernah
bertemu dan antara kita sama sekali tak ada permusuhan.
Mana bisa aku mempunyai niatan kurang baik terhadapmu"
Hari ini banyak terjadi kejadian luar biasa, yang sungguhsungguh
tak dapat dimengerti olehku. Apakah Loo-heng
(kakak) bisa memberi keterangan?"
"Apa kau kira aku, Ong Tiat Gok, manusia iendah?"
bentaknya pula. "Sudahlah! Lebih baik kau jangan banyak
bicara lagi. Jangan harap kau bisa mengorek sepatah
perkataan dari mulutku."
Thia Leng So meleletkan lidah. Ia tertawa seraya berkata:
"Aha! Kalau begitu aku sedang ber-hadapan dengan Ong Tiat
Gok, Ong-ya. Maaf, maaf!"
"Fui!" Tiat Gok meludah. "Bocah cilik! Kau tahu apa?"
Leng So tak meladeni, tapi ia menoleh ke arah Ouw Hui
dan berkata: "Toako, orang ini adalah manusia tolol. Dia
adalah dari partai Eng-jiauw Gan-heng-bun. Orang-orang yang
lebih tua dari partainya, masih mempunyai hubungan rapat
dengan siauw-moay. Ciu Tiat Ciauw dan Can Tiat Yo selalu
berlaku hormat terhadapku. Maka itu, siauw-moay mengharap
Toako jangan menyusahkan dia." Sambil berkata begitu, ia
mengedipkan mata.
"Kau kenal Toasuheng dan Jiesuhengku?" tanya Ong Tiat
Gok dengan suara heran dan dengan nada terlebih lunak.
"Kenapa tak kenal?" kata si nona. "Eng-jiauw-kang (ilmu
Kuku garuda) dan Gan-heng-to (ilmu silat golok Belibis
terbang) kau belum mahir betul."
"Benar," katanya sambil menunduk dengan si-kap kemalumaluan.
Eng-jiauw Gan-heng-bun adalah suatu partai besar di
wilayah utara. Ciu Tiat Ciauw, murid pertama dari partai itu,
dan Can Tiat Yo, murid kedua, sudah lama mendapat nama
besar dalam kalangan Kang-ouw. Semasa masih hidup, guru
Leng So senang sekali menceriterakan seluk beluk partai tersebut.
Maka itu, ia mengetahui, bahwa murid-murid partai itu banyak
menggunakan "burung" sebagai namanya. (Gok, Ciauw dan
Yo adalah nama-nama burung). Begitu mendengar nama Ong
Tiat Gok dan melihat golok Gan-heng-to yang digunakannya,
ia segera menebak dan tebakannya ternyata jitu sekali.
"Kenapa kedua Suhengmu tidak turut serta?" tanya pula
Leng So. "Apa kau tak bertemu dengan-nya?"
Sebenarnya si nona belum pernah mengenal Ciu Tiat Ciauw
dan Can Tiat Yo. Menurut pikiran-nya, jika mereka berada
dalam rombongan peram-pok, mereka tentu menjadi
pemimpin karena memiliki ilmu silat yang tinggi. Tapi si orang
tua kurus dan beberapa pemimpin lainnya tiada satu yang
menggunakan golok, sehingga bisa diduga, bahwa Ciu Tiat
Ciauw dan Can Tiat Yo tidak berada dalam kawanan ku. Dan
sekali lagi, dugaannya jitu.
"Ciu Suheng dan Can Suheng berada di Pak-khia,"
jawabnya. "Untuk urusan yang begini kecil tak perlu kami
mengganggu mereka." Dalam mem-beri jawaban itu, suaranya
bernada bangga.
"Eh eh! Di Pakkhia?" kata Leng So dalam hatinya. "Apa
kawanan perampok itu datang dari Pakkhia" Hm! Coba aku
memancing lagi." Memikir begitu, dengan sikap acuh tak acuh,
ia berkata pula: "Pertemuan para Ciangbunjin akan segera
dibuka. Dalam pertemuan itu, Eng-jiauw Gan-heng-bun tentu
akan tampil kemuka dan akan memperlihat-kan


Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keunggulannya kepada orang-orang gagah di kolong langit.
Kau perlu lekas-lekas balik ke Pak-khia untuk menyaksikan
keramaian yang luar biasa itu."
"Tentu," jawabnya. Sesudah tugas ini selesai. kami semua
akan segera pulang."
Ouw Hui dan Leng So terkejut. Kenapa tugas"
"Para Ceecu (kepala perampok atau berandal) yang sudah
menerima panggilan negara dan bekerja untuk Hongsiang
(kaisar), dengan sesungguhnya telah melakukan suatu
pekerjaan yang mengharum-kan nama leluhur," kata Leng So.
Kali ini tebakan si nona meleset.
Mata Ong Tiat Gok mendelik dan ia mem-bentak: "Apa"
Panggilan negara" Apa kau kira kami semua kawanan
bangsat?" "Celaka!" Leng So mengeluh dalam hatinya, tapi dengan
cepat ia mesem seraya berkata: "Bahwa kalian menyamar
sebagai orang-orang dari jalanan hitam (perampok) kita
semua sudah tahu sama tahu. Perlu apa kau bicara terangterangan?"
Biarpun si nona sudah berusaha untuk menutupi
kesalahannya, akan tetapi si orang she Ong masih tetap
bereuriga dan meskipun dipancing lagi berulang-ulang, ia
sungkan bicara lagi.
"Jie-moay," kata Ouw Hui mendadakan. "Karena kau
sahabat Ong-heng, aku merasa tak perlu menahannya terlebih
lama. Ong-heng, sekarang kau boleh berlalu!"
Ong Tiat Gok bangun berdiri dan Ouw Hui segera membuka
pintu sambil berkata: "Sampai bertemu kembali." Tapi karena
menduga Ouw Hui menggenggam maksud kurang baik, ia tak
berani bergerak.
Ouw Hui tertawa seraya berkata: "Siauwtee Ouw Hui dan
saudara angkatku Thia Leng So mengirim hormat untuk Ciu
dan Can Jie-wie Busu." Sambil berkata begitu, ia mendorong
badan Tiat Gok dan lalu menutup pintu. Sekarang barulah Tiat
Gok pereaya, bahwa pemuda itu melepaskan dirinya dengan
setulus hati dan ia lantas saja lari ke arah hutan bagaikan
terbang. "Toako," kata Leng So. "Apa kau mengira aku benar-benar
mengenal Ciu Tiat Ciauw dan Can Tiat Yo" Kenapa kau
melepaskan dia?"
"Aku sekarang mendapat kepastian, bahwa mereka tak
akan berani mengganggu Ma Kouwnio," jawabnya. "Di
samping itu, Ong Tiat Gok adalah seorang tolol yang tentu tak
mempunyai kedudukan tinggi dalam kalangan perampok.
Andaikata mere-ka ingin menangkap Ma Kouwnio, mereka
pasti tak akan membatalkan keinginan itu karena kita
menahan si tolol."
"Toako benar." kata si nona sambil mengang-guk.
Beberapa saat kemudian, dari lubang jendela benar saja
mereka melihat kembalinya Ma It Hong yang diantar oleh
kawanan perampok sampai di pinggir hutan.
Waktu It Hong masuk ke dalam rumah itu, Ouw Hui dan
Leng So saling mengawasi, tapi tidak menanyakan suatu apa.
"Mereka semua memuji Ouw-heng sebagai seorang pemuda
gagah yang berke-pandaian tinggi dan berpribudi luhur," kata
It Hong. Ouw Hui segera mengucapkan beberapa patah untuk
merendahkan diri. Beberapa saat kemudian, barulah nyonya
itu berkata pula: "Saudara Ouw dan adik Thia, kalian boleh
berangkat saja. Untuk urusan-ku... kalian sudah mengeluarkan
banyak sekali tenaga."
"Sebelum kau terlepas dari bahaya, bagaimana kami dapat
meninggalkannya?" kata Ouw Hui.
"Tidak," membantah It Hong. "Sama sekali aku tidak
berada dalam bahaya. Mereka tak akan berani mengganggu
aku." Ouw Hui jadi serba salah. Ia pereaya, bahwa Ma It Hong
bicara sebenarnya, akan tetapi hatinya tetap merasa tak enak
untuk meninggalkan nyonya itu seorang diri di antara
kawanan serigala. Ia melirik It Hong yang parasnya sebentar
merah dan sebentar pucat. Keadaan sunyi senyap, baik di
dalam maupun di luar rumah. Dalam keadaan bimbang, Ouw
Hui segera menarik ujung baju Leng So dan mereka berdua
lantas berjalan ke jendela.
"Jie-moay, bagaimana sekarang?" berbisik Ouw Hui.
"Terserah pada kau," jawabnya.
"Aku merasa curiga mengenai satu urusan, akan tetapi tak
dapat ditanyakan kepada Ma Kouwnio," berbisik Ouw Hui.
"Sebaliknya, jika tidak berterus terang, soal ini tidak ada
keberesannya."
"Coba aku menebak," kata Leng So. "Kau mengatakan,
bahwa dulu ada seorang she Siang yang jatuh cinta
kepadanya. Bukankah begitu?"
"Benar, kau sungguh pintar," jawabnya. "Aku memang
menduga begitu. Aku menduga, bahwa kawanan perampok itu
adalah suruhannya Siang Po Cin, sehingga mereka bersikap
sangat hormat terhadap Ma Kouwnio, tapi bengis terhadap Cie
Ceng." "Dilihat gerak geriknya, Ma Kouwnio juga men-cintai orang
she Siang itu," kata Leng So.
Ouw Hui mengangguk. "Itulah sebabnya, kenapa aku
merasa bimbang," katanya.
Pembicaraan antara kedua orang muda itu di-lakukan
hanya dengan menggerakkan bibir, sehing-ga meskipun Ma It
Hong berada tak jauh, ia tak dapat mendengarnya. Ketika itu,
matahari sudah menyelam ke barat dan siang sudah berganti
dengan malam. Sekonyong-konyong di sebelah barat terdengar suara ributribut
dan beberapa penunggang kuda kembali mendatangi
dengan cepat sekali. "Musuh kembali mendapat bala
bantuan," kata Leng So.
Ouw Hui memasang kuping. "Eh eh! Kenapa ada seorang
yang berjalan kaki?" tanyanya. Benar saja, beberapa saat
kemudian terlihat seorang yang mendatangi sambil berlari-lari,
dikejar oleh empat penunggang kuda. Orang itu kelihatannya
sengaja dipermainkan oleh para pengejarnya yang membentakbentak tak hentinya, tapi menahan-nahan lari-nya kuda,
sehingga jarak antara yang dikejar dan yang mengejar tetap
kurang lebih dua tiga tombak. Orang itu sudah lelah sekali,
rambutnya awut-awut-an, sedang tindakannya limbung.
Setelah ia datang terlebih dekat, Ouw Hui segera
mengenali. "Cie Toako!" teriaknya. "Ke-mari!" Ia membuka
pintu, tapi empat pengejar itu sudah mendahului dan
mencegat jalan Cie Ceng. Hampir berbareng, kawanan
perampok yang berada di hutan meluruk ke luar. Melihat
begitu, Ouw Hui mengurungkan niatnya untuk membantu Cie
Ceng, karena, jika ia menerjang ke luar, kawanan kecu bisa
menerobos masuk ke dalam rumah. Dengan perasaan
menyesal, ia menyaksikan dikurungnya Cie Ceng oleh
kawanan penjahat itu.
"Hei! Tak tahu malu kau!" berteriak Ouw Hui. "Mengerubuti
orang bukan perbuatan seorang gagah."
"Benar!" teriak salah seorang dari empat pengejar itu. "Aku
memang ingin bertempur satu lawan satu untuk menjajal
kepandaian murid Sin-kun Bu-tek dan mencoba-coba
Toapiauwtauw dari Hui-ma Piauwkiok."
Ouw Hui kaget, suara itu dikenal baik olehnya. Ia
mengawasi dan mengeluarkan seruan tertahan: "Siang Po
Cin!" "Aha! Benar-benar orang she Siang itu!" kata Leng So. Ia
mendapat kenyataan, bahwa Siang Po Cin adalah seorang pria
yang sepuluh kali lebih cakap dari pada Cie Ceng. Waktu
melompat turun dari kuda, gerakannya pun gesit sekali. "Nah,
orang itu barulah pantas menjadi suami Ma Kouwnio," katanya
di dalam hati. "Tak heran kawanan bangsat itu menyebutnyebut
soal membela keadilan dan soal bunga yang ditancap
di tahi kerbau." Sebagai orang muda yang tak panjang pikiran,
ia tak tahan untuk tidak berkata: "Ma Kouwnio! Orang she
Siang itu sudah datang!"
Tapi Ma It Hong hanya mengeluarkan suara "hm", seolaholah
tak mengerti apa yang dikatakan Lcng So.
Waktu itu, karena kawanan penjahat membuat sebuah
lingkaran di sekitar Cie Ceng, Ouw Hui dan Leng So tak dapat
melihat apa yang terjadi.
"Toako, mari kita ke atas genteng," kata Leng So.
"Baiklah," jawabnya dan mereka lalu melompat ke atas,
dari mana mereka bisa menyaksikan apa yang terjadi dalam
lingkaran itu. Ternyata, Cie Ceng dan Siang Po Cin sudah berhadapan
dengan mata beringas. Siang Po Cin bersenjata golok yang
belakangnya tebal, sedang Cie Ceng bertangan kosong. "Tak
adil," berbisik Leng So.
Sebelum Ouw Hui menjawab, sudah terdengar bentakan
Siang Po Cin: "Cie Ceng! Aku akan ber-tempur dengan kau,
satu lawan satu, lain orang tak usah membantu. Aku juga tak
mau kau bertangan kosong. Kau boleh menggunakan golok
dan biarlah aku melayaninya dengan tangan kosong." Sambil
berkata begitu, ia melontarkan golok yang dicekal-nya ke arah
Cie Ceng. Cie Ceng menyambuti seraya membentak: "Orang she
Siang! Dulu, di Siang-kee-po, kau telah berlaku kurang ajar
terhadap Sumoayku. Apa kau kira mata-ku buta" Dan
sekarang, dengan maksud apa kau mengejar-ngejar dengan
membawa kawanan bang-sat. Sudahlah! Tak perlu aku banyak
bicara lagi. Siang Po Cin! Ambillah senjatamu!"
"Aku akan melawan kau dengan tangan kosong!" teriak
Siang Po Cin. "Toako sekalian! Wa-laupun aku terluka, kalian
tidak boleh membantu."
Leng So berpaling kepada Ouw Hui dan berkata: "Kenapa
dia berteriak begitu keras" Rupanya dia ingin didengar oleh
Ma Kouwnio."
Ouw Hui hanya menghela napas.
"Toako," kata pula Leng So. "Coba kau tebak: Pihak mana
yang Ma Kouwnio ingin memperoleh kemenangan?"
"Tak tahu," jawabnya, menggelengkan kepala.
"Yang satu suami sendiri, yang lain orang luar," kata pula si
nona. "Mereka berdua akan segera berkelahi mati-hidup
untuknya, tapi ia sendiri tidak memperdulikan dan
bersembunyi di dalam rumah. Ouw Toako, menurut
pendapatku, dalam hati kecil-nya, Ma Kouwnio mengharap
supaya orang she Siang itu yang mendapat kemenangan."
Di dalam hati, Ouw Hui membenarkan per-kataan adiknya,
tapi ia kembali menggelengkan kepala seraya berkata: "Aku
tak tahu."
Melthat lawannya tetap sungkan mengambil senjata, sambil
mengebas golok, Cie Ceng berkata: "Aku sudah berada dalam
kepungan dan hari ini aku sudah tak memikir untuk hidup
lagi." Ia membacok dan mereka lantas saja mulai bertempur.
Dalam ilmu silat, semenjak dulu Siang Po Cin memang
terlebih unggul dari pada Cie Ceng. Sesudah terjadi peristiwa
di Siang-kee-po, sesudah ibunya meninggal dunia, pemuda
she Siang itu lalu belajar ilmu di bawah pimpinan kedua
saudara Ong. Berkat kerajinannya, ia telah memperoleh
kemaju-an pesat dalam Pat-kwa-to dan Pat-kwa-ciang. Di-lain
pihak, Cie Ceng yang berkepandaian lebih 1 endah, juga lelah
sekali karena dikejar-kejar. Maka itu, belum bertempur lama,
ia sudah jatuh di bawah angin.
Alis Ouw Hui berkerut. "Orang she Siang itu licik sekali..."
katanya dengan suara perlahan.
"Kau mau membantu?" tanya adiknya.
"Aku datang ke mari untuk menolong Ma Kouwnio,"
jawabnya. "Tapi... tapi... aku belum dapat menebak
bagaimana pikirannya."
Leng So yang sekarang merasa sangat tak puas terhadap It
Hong, lantas saja berkata: "Ma Kouwnio tidak berada dalam
bahaya. Belum tentu ia berTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
terima kasih untuk bantuanmu. Lebih baik kita berangkat
saja." Sementara itu, keadaan Cie Ceng sudah ber-bahaya sekali,
ilmu goloknya sudah kacau, ia hampir tak dapat bergerak lagi
di bawah pengaruh Pat-kwa ciang.
"Jie-moay," kata Ouw Hui mendadakan. "Kau benar. Kita
jangan mencampuri lagi urusan ini."
Ouw Hui segera melompat turun dan masuk ke dalam
rumah. "Ma Kouwnio," katanya. "Cie Toako sudah tak dapat
mempertahankan diri lagi, orang she Siang itu mungkin akan
turunkan tangan jahat."
Ma It Hong bengong, ia hanya menggerendeng hra .
Ouw Hui gusar bukan main. Ia berpaling ke-pada Leng So
seraya berkata: "Jie-moay, mari kita berangkat!"
Ma It Hong kelihatan kaget, seperti orang baru tersadar
dari tidurnya. "Ha?" katanya. "Kalian man pergi" Pergi ke
mana?" "Ma Kouwnio," kata Ouw Hui dengan suara kaku. "Dulu kau
telah berusaha untuk menolong diriku dan aku merasa sangat
berterima kasih. Akan tetapi, sikapmu terhadap Cie Toako...."
Belum habis perkataannya, di luar terdengar teriakan
menyayat-kan hati, yaitu teriakan Cie Ceng, disusul dengan
suara tertawanya Siang Po Cin. "Bagus! Sungguh bagus ilmu
Pat-kwa-ciang!" berteriak para peram-pok.
Ma It Hong terkesiap. "Suko!" teriaknya sambi! berlari-lari
ke luar. "Hra! Kecintaan membunuh suami! Sungguh cocok dengan
keinginanmu!" kata Ouw Hui dengan suara mendongkol.
Melihat kakaknya bergusar, Leng So coba mem-bujuk
dengan berkata: "Urusan begini memang tak dapat dicampuri
oleh orang luar. Toako tak perlu marah."
"Jika dia tidak mencintai Sukonya, perlu apa dia menikah
dengannya?" kata Ouw Hui.
"Mungkin dipaksa ayahnya," kata si nona.
Ouw Hui menggelengkan kepala. "Tidak, bukan begitu,"
katanya. "Ayahnya telah meninggal dunia di Siang-kee-po,
sehingga, andaikata mereka sudah ditunangkan, dia masih
dapat memutuskan pertu-nangan itu. Lebih baik tak kawin dari
pada terjadi kejadian yang menyedihkan ini."
Tiba-tiba di luar terdengar suara rintihan Cie Ceng.
"Cie Toako belum mati," kata Ouw Hui dengan girang.
"Mari kita tengok padanya!" Sambil berkata begitu, ia
melompat ke luar dan menerobos pagar manusia. Agak
mengherankan, bahwa kawanan penjahat yang tadi masih
bertempur dengan pe-muda itu, sekarang hanya


Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memperhatikan Ma It Hong, Siang Po Cin dan Cie Ceng, dan
sama sekali tidak menghiraukan kedatangannya.
Dengan rasa kasihan, Ouw Hui mengawasi Cie Ceng yang
dadanya penuh darah dan napasnya lemah sekali. Ma It Hong
berdiri di samping sua-minya, tanpa mengeluarkan sepatah
kata, Ouw Hui berlutut dan sambil menempelkan mulutnya di
ku-ping Cie Ceng, ia berkata: "Cie Toako, apakah kau
mempunyai pesanan apa-apa" Aku berjanji akan
mengerjakannya."
Cie Ceng mengawasi isterinya dan kemudian mengawasi
pemuda itu. la mesem getir dan men-jawab: "Tidak".
"Biarlah aku pergi mencari kedua puteramu dan akan
memeliharanya sampai menjadi orang," kata pula Ouw Hui.
Dengan Cie Ceng, Ouw Hui tak mempunyai hubungan apa
pun. Akan tetapi melihat keadaan yang sangat menyedihkan,
jiwa ksatrianya terbangun dan rela memikul tanggungan
berat. Cie Ceng kembali mesem getir. la menghela napas: "Hai...."
la berdiam untuk mengumpulkan tenaga dan kemudian
berkata pula dengan suara sangat lemah: "Anak... anak....
Sebelum menikah sudah ada... bukan anakku...." Sehabis
berkata be-gitu, kedua matanya meram dan rohnya pulang ke
alam baka. Sekarang Ouw Hui mendusin. Segala apa sudah jadi terang
baginya. Kedua anak itu adalah anak Siang Po Cin, sehingga
tidaklah heran jika mereka berparas cakap dan berlainan
dengan Cie Ceng yang bermuka jelek, demikian pikirnya.
Dengan rasa terharu ia bangun berdiri. Men-dadak di
sebelah kejauhan kembali terdengar suara kaki kuda dan tak
lama kemudian mendatangi dua penunggang kuda yang
masing-masing mendukurig seorang bocah, yaitu puteranya
Ma It Hong. Ma It Hong memandang jenazah suaminya dan kemudian
mengawasi Siang Po Cin. "Siang Siauw-ya," katanya.
"Bukankah suamiku dibinasakan oleh-mu dengan tangan
kosong?" "Kau lihat saja sendiri," sahut Siang Po Cin. "Golok itu
masih tereekal dalam tangannya. Sedikit pun aku tidak berlaku
curang." It Hong mengangguk dan seraya mengambil
golok itu dari tangan Cie Ceng, ia berkata pula: "Inilah Patkwato, golok turunan. Aku pernah melihatnya di Siang-keepo."
Siang Po Cin tersenyum. "Ingatanmu kuat sekali," ia
memuji. Mata It Hong mengawasi ke tempat jauh. "Ba-gaimana aku
bisa melupakan kejadian itu?" katanya dengan suara perlahan.
"Seperti juga baru terjadi kemarin."
Leng So yang berdiri di samping Ouw Hui, mengawasi
nyonya itu dengan sorot mata gusar, tapi sebisa-bisa ia
menahan nafsu amarahnya.
Sambil membolang-balingkan golok itu, It Hong memuji:
"Sungguh bagus golok ini!" Perlahan-lahan ia mendekati Siang
Po Cin yang tersenyum dan mengawasinya dengan sorot mata
mencinta. Ia meng-angkat kedua tangannya untuk
menyambuti golok itu yang tengah diangsurkan.
Mendadak, mendadak saja, sinar putih berkele-bat dan...
bagaikan kilat, Pat-kwa-to menikam ping-gang Siang Po Cin!
Sambil berteriak kesakitan, ia menghantam dengan
tangannya, sehingga It Hong mundur terhuyung beberapa
tindak. "Kau... kau..." katanya terputus-putus seraya
menuding nyonya itu, tapi ia tak keburu bicara terus, karena
di lain saat, ia sudah terjengkang dan rubuh di muka bumi.
Itulah kejadian yang sungguh-sungguh di luar dugaan!
Bahwa It Hong membalas sakit hati sua-minya adalah kejadian
yang sangat dapat dimengc ti. Yang mengherankan adalah
perubahannya yang sedemikian mendadak. Semula, sedikit
pun nyonya itu tidak memperlihatkan kedukaan dan ia bicara
secara tenang dengan Siang Po Cin. Waktu semua orang
mengutuknya sebagai perempuan kejam, mendadak ia
melakukan suatu tindakan yang memulihkan penghargaan
terhadapnya. Selagi kawanan perampok tertegun karena ka-getnya,
cepat-cepat Ouw Hui menarik tangan It Hong dan bersama
Leng So, ia mundur masuk ke dalam rumah batu itu.
"Aku ingin menghaturkan maaf kepadamu, karena tadi aku
sudah salah menduga," kata Ouw Hui kepada It Hong. "Kau
ternyata adalah seorang isteri yang mulia." Nyonya itu tak
menjawab, ia duduk terpekur di pojokan rumah dengan mata
mende-long. Leng So yang sekarang sudah berubah pandangannya,
coba memberi hiburan, tapi It Hong tetap tidak
meladeni. Ouw Hui memberi isyarat dengan kedipan mata dan
bersama Leng So, ia segera pergi ke jendela. "Sesudah Ma
Kouwnio membinasakan musuh sua-minya, soal ini jadi
semakin sulit dan semakin sukar dimengerti," kata Ouw Hui.
Si nona mengangguk. Ia juga merasa, bahwa persoalan
jadi lebih berbelit. Mungkin sekali, sesudah melihat jenazah
suaminya, rasa kasihan Ma It Hong mendadak terbangun dan
ia sudah membinasakan Siang Po Cin. Tapi, jika benar
kawanan perampok itu adalah orang-orangnya Siang Po Cin,
kenapa mereka tidak lantas menyerang sesudah sang majikan
dibinasakan"
Alis Ouw Hui berkerut dan otaknya bekerja keras. "Jiemoay,"
kata dia akhirnya. "Aku merasa bingung sekali. Bukan
tak bisa jadi, jika kita menc-ampuri terus urusan ini,
sebaliknya dari kebaikan, kita mengundang bahaya untuk Ma
Kouwnio. Jika kita menanyakan Ma Kouwnio, dia tentu tak
akan mau membuka mulut. Sekarang begini saja: Aku akan
coba menanya kepala perampok itu."
"Apa dia mau bicara?" tanya Leng So.
"Coba-coba," jawabnya sambil membuka pintu dan lalu
berjalan ke luar dengan tindakan perlahan Melihat Ouw Hui
muncul seorang did tanpa mem-bekal senjata, kawanan
perampok pun tidak ber gerak. Dari jarak enam tujuh tombak,
ia berkata dengan suara nyaring: "Saudara-saudara! Aku mem
punyai suatu rahasia yang ingin dirundingkan dengan kalian.
Dapatkah aku bicara dengan saudara pemimpin?" Sehabis
berkata begitu, ia menepuk nepuk pakaiannya, sebagai tanda
bahwa ia tidak membawa senjata.
"Kami semua adalah saudara-saudara, jika kau mau bicara,
boleh bicara sekarang," kata salah seorang yang bertubuh
tinggi besar. "Benar, saudara-saudara semua adalah orang-orang gagah
yang kenamaan dan pemimpin saudara tentulah juga seorang
yang berkepandaian sangat tinggi," kata Ouw Hui. "Akan
tetapi, apakah beliau tak sudi mendengar sepatah dua patah
dari aku yang rendah?"
Hampir berbareng, si orang tua yang berbadan kurus
melompat ke luar dari rombongan perampok dan sambil
mengebas tangan kanannya, ia berkata: "Berkepandaian tinggi
sih tidak. Aku merasa girang bisa bertemu dengan saudara,
seorang gagah di kalangan orang-orang muda."
Ouw Hui segera memberi hormat dengan merangkap kedua
tangannya. "Loo-ya-cu (panggilan pada orang yang berusia
tua)," katanya. "Marilah kita pergi ke sana untuk bicara
sedikit." Tanpa menunggu jawaban, ia segera berjalan menuju
ke lapangan terbuka.
Sesudah menyaksikan perbuatan Ma It Hong terhadap
Siang Po Cin, hati si tua jadi kebat-kebit karena khawatir
pemuda itu mengandung maksud kurang baik. Tapi jika tidak
mengikut, ia merasa rnalu. Maka itu, dengan hati-hati sekali,
ia segera membuntuti Ouw Hui dari belakang.
"Boanpwee she Ouw bernama Hui," ia memper-kenalkan
diri. "Apakah aku boleh mendapat tahu she dan nama Loo-yacu
yang mulia?"
Sebaliknya dari menjawab, si tua balas menanya:
"Omongan apakah ingin disampaikan oleh tuan?"
"Tak apa-apa," kata Ouw Hui sambil tertawa. "Aku ingin
meminta pelajaran beberapa jurus dari Loo-ya-cu"
Paras muka orang tua itu lantas saja berubah. "Bocah!"
bentaknya dengan suara gusar. "Sungguh beiani kau nienipu
aku! Apakah hanya omongan yang yang ingin disampaikan
kepadaku, olehmu?"
"Loo-ya-cu jangan marah," kata Ouw Hui sambil tertawa.
"Aku hanya ingin bertaruh dengan main-main sedikit."
Sambil mengeluarkan suara di hidung, si tua memutar
badan dan lalu berjalan pergi.
"Aku memang sudah duga, kau tak akan berani
menyambutnya," mengejek Ouw Hui. "Aku tahu, meskipun
aku berdiri dengan tak bergerak, kau tak akan dapat
mengalahkan aku."
"Apa kau kata?" membentak orang tua itu.
Ouw Hui tersenyum seraya berkata dengan suara tenang:
"Aku berdiri tegak di sini dan kedua kakiku tidak bergerak. Kau
sendiri boleh meng-gunakan kaki dan tangan sesukamu. Coba
Loo-ya-cu menebak: Siapa yang akan menang?"
Sesudah menyaksikan kepandaian Ouw Hui, jika harus
bertempur seperti biasa satu melawan satu, si tua memang
merasa agak keder. Akan tetapi, sesudah mendengar
tantangan pemuda itu yang secara temberang berjanji tak
akan menggerakkan kedua kakinya, ia merasa pasti tidak akan
mendapat kekalahan. Harus diketahui, bahwa ia adalah Ciangbunjin
dari Pat-kek-kun di Kay-hong-hu propinsi Holam. Ia
bukan saja berkepandaian tinggi, tapi juga terkenal sebagai
seorang yang berhati-hati, sehingga ia sudah menjadi
pemimpin rombongan. "Baiklah, Saudara kecil," katanya
sambil tertawa. "Jika kau ingin menjajal aku si tua, mau tak
mau terpaksa aku mesti melayani juga. Tapi kita harus
berjanji untuk tidak menggunakan senjata rahasia."
Ouw Hui tertawa. "Kita menjajal ilmu untuk mengikat tali
persahabatan," katanya. "Perlu apa menggunakan senjatarahasia?"
Si tua girang. Menurut perhitungannya, andai-kata tak
dapat melawan pemuda itu, paling banyak ia hanya harus
mundur beberapa tindak. Ia tentu tak akan sampai
dirubuhkan, karena Ouw Hui sudah berjanji tak akan
menggerakkan kedua kakinya. "Baiklah," katanya.
"Boanpwee dan Loo-ya-cu belum pernah mengenal satu
sama lain," kata pula Ouw Hui. "Hari ini kita berselisih, karena
urusan orang lain. Sebentar, jika boanpwee kalah, bersama
adik angkat-ku, boanpwee akan segera berlalu dari tempat
ini." Si tua jadi semakin girang. Jika Ouw Hui tetap melindungi
Ma It Hong, urusan takgampangberes. Memang benar
pihaknya dapat menggunakan keke-rasan untuk merebut
nyonya itu, akan tetapi, dalam pertempuran, orang-orang di
pihaknya tentu bakal ada yang binasa dan besar
kemungkinannya, Ma It Hong pun akan turut mendapat luka.
Maka itu, perkataan Ouw Hui justru cocok dengan pengharapannya.
"Benar," jawabnya. "Urusan ini memang juga tak
dapat dicampuri oleh orang luar. Ma Kouwnio bernasib bagus,
ia tengah menghadapi suatu kemuliaan dan kemewahan. Jika
kau men-cintai padanya, kau haruslah turut merasa girang."
Ouw Hui menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal. "Inilah
yang tidak dimengerti olehku," katanya. "Andaikata, dalam
pertaruhan ini Loo-ya-cu kalah, boanpwee ingin memohon
supaya Loo-ya-cu sudi menjelaskan seluk beluk urusan ini."
Si tua agak terkejut, tapi ia segera menyahut: "Baiklah. Aku
menyetujui syaratmu itu."
Ouw Hui segera "menancap" kedua kakinya di atas bumi
dan memasang kuda-kuda. Si tua meng-awasi kuda-kuda itu
yang teguh bagaikan gunung Thaysan sehingga tanpa merasa
hatinya jadi keder. "Belum tentu aku bisa menang," pikirnya.
Ia tidak lantas menyerang. "Saudara kecil," katanya. "Jika aku
kalah, aku tentu akan mencpati janji dan akan menceriierakan
seluk beluk urusan ini. Tapi, kau pun harus berjanji, tak akan
memberitahukannya kepada orang lain."
"Kecuali satu, yaitu adik angkatku," kata Ouw Hui.
"Tidak, kau tak boleh memberitahukan siapa-pun juga,"
menolak si tua.
"Baiklah," kata Ouw Hui. "Belum tentu boan-pwee bisa
menang." "Sambutlah!" kata orang tua itu sambil meng-gerakkan
kedua tangannya, telapakan tangan kiri memukul, tinju kanan
dibengkokkan bagaikan gaet-an. Ouw Hui segera menyambut
serangan itu, dan ternyata, si tua memiliki Lweekang yang
sangat tinggi. "Loo-ya-cu, pukulanmu berat sekali," kata-nya.
Begitu pertempuran dimulai, kawanan peram-pok segera
meluruk, tapi karena melihat kedua orang itu bertempur
dengan bibir tersungging senyuman, mereka tidak turun
membantu dan hanya menonton di luar gelanggang.
Begitu bergebrak, si tua segera menyerang dengan
pukulan-pukulan dahsyat dari Pat-kek-kun yang sudah
mendapat nama besar semenjak tiga puluh tahun berselang.
Pukulan-pukulannya susul menyusul bagaikan hujan dan
angin, sehingga ka-wan-kawannya merasa kagum sekali. Di
lain pihak, dalam babak pertama, Ouw Hui hanya membela
diri. Sambil mengempos semangat, dengan kedua kaki
"berakar" di tanah, ia mempunahkan setiap pukulan lawan.
Sesudah bertempur beberapa lama, tiba-tiba terjadi suatu
perubahan yang hanya dapat dirasakan oleh orang tua itu
sendiri. Ia merasa, bahwa kedua tangannya seolah-olah
"ditempel" atau "disedot" semacam tenaga yang tidak
kelihatan. Semakin Ouw Hui mengempos semangat, semakin
hebat "sedotan" itu.
"Celaka!" ia mengeluh dan segera bergerak untuk
melompat ke belakang supaya pertempur
Istana Pulau Es 1 Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id Pendekar Panji Sakti 20

Cari Blog Ini