Ceritasilat Novel Online

Ksatria Negeri Salju 2

Ksatria Negeri Salju Karya Sujoko Bagian 2


papar Siong Chen. Patung budha yang dimaksud adalah patung
budha berukuran tinggi sepuluh tombak berada di selatan menghadap sungai
Toa-tu dan sungai Beng. Patung ini dibangun selama sembilan puluh tahun pada jaman dinasti Tang, pada tahun 713 " 803.
Siapakah sebenarnya Lau Cin San"
Kota Heng Yang yang terletak ribuan li di sebelah timur Fan Cing san. Dahulu, di masa keemasan dinasti Tang, merupakan kota yang sangat terkenal sebagai
pusat kebudayaan dan kesenian. Berbagai hasil barang-barang seni tingkat
tinggi seperti keramik, terakota, patung-patung kayu dan batu, lampion,
diproduksi oleh berbagai pengrajin. Pertunjukan seni dan taripun mudah di
jumpai di berbagai gedung teater, dengan minat menonton masyarakat yang
sangat tinggi. Tak heran kalau dari tempat seperti ini ratusan tahun silam pernah lahir seorang maestro besar. Pria yang merupakan seorang sastrawan sekaligus pelukis sekaligus pesilat yang sangat terkenal seantero Tionggoan. Di kota Heng Yang, nama Lau Cin Shan sang maestro bahkan jauh lebih terkenal dibandingkan dengan nama gubernur atau kaisar sekalipun. Bukan hanya kepandaiannya
melukis yang mebuat namanya demikian menjulang, namun juga kepandaian
silat, sastra, ilmu perang, ilmu perbintangan bahkan ilmu nujum, dan yang lebih membuat ibu-ibu atau anak gadis kepincut adalah ketampanan rupa dan
keromantisannya. Tak terhitung berapa puluh wanita yang pernah menjadi
isterinya yang tersebar di berbagai kota sepanjang propinsi Hu-Nan sampai
Secuan, namun begitu Lau Cin Shan tetap mampu melakukan tugas-tugas
sebagai pelukis, sastrawan dan penasihat gubernur maupun raja. Satu hal yang membuat kekecewaan dan kegusaran istri-istri Lau Cin Shan adalah karena tak
seorangpun dari mereka yang dapat mengandung. Maka satu per satu karena
pupusnya harapan, banyak yang meninggalkan Lau Cin Shan, hingga akhirnya di
usia yang lima puluhan hanya tiga orang yang masih setia mendampingi sang
maestro, hingga yang maestro harus pergi berjuang sebagai penasihat perang
ke wilayah Secuan dan tak pernah kembali lagi selamanya.
Setelah dinasti Tang jatuh, propinsi Hu-Nan merupakan propinsi paling selatan dari dinasti Sung, dan langsung berbatasan dengan wilayah yang dikuasai
kerajaan Tayli. Sebagai propinsi di daerah perbatasan maka Hu-Nan menjadi
daerah yang kurang aman, sering bergolak, dan menjadi sarang berbagai
kelompok yang anti pemerintah pimpinan Tio Kuang Yi, termasuk bambu putih.
"Bukankah pembuatnya bernama Cong taisu?" timpal lelaki bermata lebar.
"Cong taisu adalah Lau Cin Shan itu sendiri, nama aliasnya!" jelas Siong Chen.
"Apakah lukisan yang dicuri orang-orang Nan-hay peta asli?" kembali si hidung mancung bertanya.
"Biarlah nanti toa-pangcu yang memutuskan!" jawab Siong Chen.
Setelah lebih dari sepuluh batang ditebang, mulailah mereka menancapkan
tonggak-tonggak dahan sebesar betis orang dewasa berjajar. Mereka harus
menancapkan tonggal-tonggak itu di dekat kuil. Namun ketiga mereka masih
sibuk meruncingi ujung dahan yang hendak ditancapkan dengan cara dilepar
dari atas tonggal luar. Sekonyong-konyong terdengan suara ribut berdengungdengung dari kejauhan. Seketika mereka membalikkan badan. Dari kejauhan
terlihat daun-daun dan ranting pepohonan bergoyang-goyang. Mereka tidak tahu apa yang bergerak itu, hanya menduga bahwa mereka adalah rombongan
musuh. Aneh, mereka bisa bergerak tanpa menjejakkan kaki di tanah. Hal itu
sudah membuat hati mereka bergetar. Setelah dekat mereka kemudian
bertengger di pohon-pohon yang masih tersisa, membentuk posisi mengelilingi
kuil, jumlahnya ada belasan. Berbeda dengan kakak-kakak seperguruannya,
Siong Chen yang mengenali rombongan mereka sebagai kelompok bambu putih
segera berseru, "Ha...ha...ha..ha.....lihat suko, monyet-monyet kudisan macam mereka berani bersaing dengan kita! Sungguh menjemukan!! Bambunya saja
yang mengerikan, tapi nyalinya tak ada, coba aja kalau berani menginjak tanah!
Mana ada hak mereka mengaku-aku ahli waris Lau Cin Shan!" Teriakan ini
segera ditimpali tertawa pihak Yu-liang pay.
Golongan yang kedua datang ini terdiri dari orang-orang berumur campuran ada yang masih muda ada yang sudah tua, ada laki-laki ada perempuan semuanya
berpakaian putih dan memakai caping dari bambu yang dicat putih. Mendengar
ejekan dari Siong Chen, mata mereka sudah melotot. Namun pemimpin
rombongan yang memakai rompi cokelat berpikir cerdik, ia tidak mau melayani
olok-olok pihak Yu-liang pay, dan langsung memberi komando kepada anak
buahnya. Ternyata pimpinan rombongan klan bambu putih berpandangan tajam
juga, begitu melihat rombongan pertama hendak memasang tonggak-tonggak,
ia tahu lawan hendak menyeberangi pembatas taburan racun dengan tonggoktonggak itu. "Pasang formasi perisai bambu!"
"Wuusss.....wusss.....wuss.....clap....clap........clap...." nampak sinar putih meluncur secepat kilat dari atas pohon. Rupanya orang-orang bambu putih
melontarkan bambu putihnya.
"Awaass.....! Siong Chen berteriak memperingatkan kawan-kawannya. Pihak Yuliang Pay dibuat terkejut terkejut. Awalnya mereka menyangka musuh hendak
menyerang tapi ternyata mereka lontarkan bambu-bambu ke sekeliling kuil.
Puluhan bambu yang kedua ujungnya runcing menancap mengelilingi bangunan
kuil seperti pagar. Bambu-bambu itu berwarna putih seperti dicat. Tapi bagi
yang mengenal tahu belaka bahwa bubuk putih yang dilaburkan ke bambu
bukan cat melainkan racun. Meskipun bahannya berbeda dengan racun yang
ditaburkan pihak Nan-hay, namun kelihaiannya tak kalah mengerikan.
Dengan tertancapnya puluhan bambu di sekitar kuil, maka gerakan Yu-liang
untuk melompati sungai racun jadi terhambat. Kontan aja mereka jadi kebakaran jenggot. Gantian pimpinan bambu putih berseru, "Kawan-kawan lihat sekawanan
tikus kanibal kehilangan liang, betapa lucunya, kuperingatkan kalian agar hait-hati berhadapan dengan mereka. Dengan saudara sendiri saja tega
memangsanya apalagi orang lain!" Teriakan ini segera ditimpali tertawa pihak bambu putih.
Tiba-tiba, "Sret...srett...sreett......" orang-orang dari Yu-liang pay sudah mencabut senjata masing-masing. Sedangkan lima orang dari pihak bambu putih
mulai turun. Suasana menjadi penuh ketegangan. Senjata-senjata sudah
ditangan. Semua mata melotot dengan waspada.
Tiba-tiba suasana sunyi itu dipecahkan oleh bunyi kentut dari orang bertahi lalat besar. Sungguh bunyi yang sangat tak sopan. Siong Chen-pun menjadi malu.
Semua menahan nafas, bahkan beberapa menutup hidung sambil mengipasngipaskan tangannya. Namun sebelum ada salah seorang yang mau mengumpat
sekonyong-konyong terdengar suara derap kuda, dari kejauhan. "Enam orang!"
bisik masing-masing yang berilmu tinggi.
Mereka yang sudah tegang menjadi lebih terhanyut suasana yang makin
menegangkan lagi. Tak berselang lama muncul ah rombongan ketiga,
rombongan yang terdiri dari tiga orang, yang berbaju seperti nelayan. Mereka adalah rombongan Nan-hai yang sedang mencari kuda pengganti. Betapa
kagetnya ketika melihat banyak orang sudah mengelilingi kuil. Muka tiga orang ini berubah pucat, demi mengetahui yang datang dari Yu-liang pay dan bambu
putih. Namun, pimpinan rombongan ini masih mencoba bersikap tenang.
"Kalian siapakah dan mau apa bergerombol di depan kuil kami" Kami tidak
punya uang receh untuk gelandangan-gelandangan seperti kalian. Ayo pergi!"
"He...he...he...orang-orang Nan-hay dari dulu tidak pernah memandang sebelah mata pada orang lain. Hmmm...hendak kulihat apakah hari ini kalian bisa lolos dari kepungan dengan membawa peta itu," jawab Siong Chen sambil tersenyum
mengejek. Siong Chen yang cerdik tahu, bahwa kawan-kawan rombongan yang
baru datang ini masih ada di dalam kuil, kalau dilihat dari jumlah kuda yang datang mestinya yang didalam berjumlah tiga. Dari hitung-hitungan kalau
mereka mengepung mereka pasti kemenangan berada di pihaknya. Urusan
dengan bambu putih bisa diselesaikan belakangan. Kalaupun salah satu mereka
mendapatkannya, perjalanan pulang memerlukan waktu cukup lama, dan itu
berarti cukup waktu untuk memperebutkannya. Namun jika orang-orang Nanhay dibiarkan maka dalam waktu sehari perjalanan kuda mereka akan sampai ke
daerah kekuasaannya di laut selatan.
"Ha-ha-ha, tidak salah, tidak salah kabar orang! Kabarnya Yu-liang pay amat
sombong, dan ternyata ucapan mereka besar-besar. Aku ingin tahu apa yang
akan kalian lakukan," laki-laki berkulit hitam pemimpin rombongan Nan-hay balik mengejek.
"Kami tunggu disinipun kawan kalian yang di dalam akan dapat pasokan
makanan dari mana?" jawab Siong Chen cerdas. Tiga orang yang baru datang ini tampak tereheran namun tidak terkejut, sedang ketua rombongan sudah mampu
menenangkan diri. Katanya, "Ha..ha..ha...waktu sesingkat itupun cukup bagi
bala bantuan kami datang dari Nan-hay, lagi pula hanya beberapa li dari sini sudah masuk wilayah kekuasaan kami, kalian mau apa?"
"Kepung mereka!" ujar pimpinan rombongan dari bambu putih.
"Kalian bisa mengepung kami, tapi belum tentu kalian mampu mengalahkan
kami, kami masih mempunyai kawan di dalam, mereka masih mampu keluar
membantu kami."
"Mana mungkin, apakah kalian tak bisa lihat, kuil itu sudah dikepung bambu
putih!" seru salah seorang anggota bambu putih.
"Apa susahnya kami keluar lewat genting?" jawab ketua rombongan Nan-hay.
Siong Chen mengikuti perdebatan itu dengan bersungut-sungut. Posisi mereka
masih belum jelas. Meskipun jumlah orang-orang Nan-hay yang di luar hanya
tiga, namun mereka paham medan, sehingga bisa menguasai pertandingan.
Karena itu maka Siong Chen berkata, "Can Seng! Dengan jumlah anak buah
paling sedikit bagaimana kamu masih bisa berlagak, ayo serahkan saja peta itu pada kami! Saat ini, jadi posisi kalian sebenarnya sudah diujung jurang."
"Hei..hei...Siong Chen, kamu tidak boleh sok jago, kalian anggap kami ini
sebagai apa. Mana bisa seenak perutmu sendiri kau meminta peta itu diserahkan padamu. Pihakku paling banyak jumlahnya dan paling berhak atas peta itu!" ujar pimpinan rombongan bambu putih yang bernama Tik Coan Kok. Ucapan ini
segera ditimpali oleh anak buah rombongan bambu putih. Tak mau kalah gertak, rombongan Yu-liang Pay juga membalas adu mulut dengan tak kalah
berbusanya. Sehingga suasana mirip pasar. Can Seng memandang dengan
tersenyum. Sebagai orang yang paling tua diantara mereka pengalamannya
lebih banyak. Dan ia tahu posisinya lebih di atas angin daripada kedua
rombongan yang dihadapi. Ketika kedua belah pihak sudah hendak saling
serang, terdengar teriakan seorang wanita dari pihak bambu putih: " Sudah
cukup! Cih kaum lelaki tak tahu malu. Peta belum di tangan sudah hendak adu
nyawa. Apa hendak menjadi anjing memperebutkan tulang!"
Siong Chen maupun Coan Kok tersadar, dan tanpa dikomando keduanya
memandang Can Seng dengan mata melotot. "Kita bereskan dulu ikan-ikan
kerapu amis ini! Baru nanti kalau peta sudah ada kita selesaikan sengketa kita,"
seru Siong Chen.
Can Seng yang tahu gelagat menjulurkan tangan ke depan dengan telapak
terbuka, "Tunggu! Biarlah kami yang mengajukan usul!"
"Apa usulmu?" sergah Coan Kok.
Pimpinan rombongan diam sejenak, ia memandangi dua orang kawannya,
namun semuanya geleng-geleng kepala. Setelah beberapa saat dilanda
kebingunan, si pimpinan rombongan itu berkata, "Begini saja, kami mengajukan dua jago, kalian masing-masing satu jago. Kalau salah satu jagon kami kalah, maka pihak pemenang bertarung untuk menyelesaikan pertandingan. Jika kedua
jago kami kalah, jago kalian berdua harus untuk menentukan pemenang untuk
menghadapi aku. Kalau aku sudah terkalahkan, aku akan berikan obat pemunah
racun tepung setan. Kalau jago kalian kalah dalam satu babak, maka kalian
harus enyah dari sini!"
"Mana bisa seperti itu, itu tak adil, kalian mengajukan dua jago, kami harus dua kali mengalahkan kalian, tapi kalian minta sekali kalah kami haruh enyah, enak di kalian, tak enak di kami, sungguh itu sama dengan bo-ceng-li, emangnya
kami orang-orang bodoh. Kalian dua, kami masing-masing juga dua, itu baru
adil." "Hmmm..baiklah, siapakah masing-masing wakil kalian?"
Dua orang dari bambu putih maju, salah satunya adalah pimpinan. Demikian
pula dari Yu-liang-pay yang muncul juga dua, salah satunya Siong Chen.
Dua orang dari Nan-hay pun maju kedepan. Rupanya mereka telah saling kenal
satu dengan yang lain.
"Siong Chen, mari hadapi aku, sudah lama aku dengar kelihaian pedangmu!"
kata lawan Siong Chen yang bernama Ma Ciu.
"Ma Ciu, dulu guru besar kalian memang pernah menakhlukkan ilmu pedang
kami, tapi setelah ilmu pedang itu kami sempurnakan, kau bukan lagi lawanku."
"Gan Hung, hadapi orang she Ma ini!" perintah Siong Chen.
Akhirnya Ma Ciu berhadapan dengan Gan Hung, sedang saudaranya yang
bernama Ma Kun bertanding dengan orang kedua dari bambu putih. Setelah
saling berhadap-hadapan maka dimulailah pertandingan. Pertarungan itu cukup
seru, karena kedua pasangan yang cukup seimbang ilmunya. Gerakan-gerakan
mereka cukup tangkas dan kuat. Serangan pedang dan golok bergantian
meluncur dari kedua belah pihak. Namun setelah bertanding empat puluh jurus, tampak pihak Nan-hay mulai terdesak dan hampir berbarengan keduanya roboh
tersungkur. Untung luka mereka tidak terlalu parah. Melihat kedua jagoannya
roboh, wajah pimpinan Nan-hay terlihat gelisah. Namun dengan sigap ia segera memberi pertolongan dan mendekatkan mereka dengan kuda yang ditambat
dibelakang. Mereka berdua kemudian melakukan siulian untuk memulihkan luka.
Tak seorangpun dari pihak lawan yang mengganggunya. Siong Chen mulai tak
sabar melihat musuh yang bekerja klemar-klemer segera berseru "Ha..ha..ha
Can Seng! Jagoanmu ternyata tak lebih tukang pukul kampung nelayan, nah
sekarang kau boleh pilih: menyerahkan peta kemudian bunuh diri atau
menyerah kupenggal!"
Sungguh hebat sekali hinaan yang dilontarkan Siong Chen. Mata lelaki tinggi
besar bermuka brewok yang dipanggil Can Seng itu sudah menyala, tanda
kemarahannya sudah melonjak. "Hmmm...apakah kalian hendak mengeroyokku"
Silahkan-silahkan, majulah!" seru lelaki itu. Can Seng meskipun bertampang
kasar namun cukup cerdik. Dalam kondisi terdesak seperti itu ia masih mampu
berpikir jernih. Tantangannya membuat kedua lawannya tidak segera
menyerang, mereka berdua sejenak hanya saling tatap. Sebagai pimpinan
rombongan tentu saja malu untuk mengeroyok, namun untuk menentukan siapa
yang harus menghadapi lawan merekapun tidak ada yang mau berinisiatif,
karena mereka tahu siapa yang maju duluan tenaganya akan terkuras. Karena
pimpinan bambu putih hanya menatap saja, mau tak mau Siong Chen merasa
pihaknya yang harus maju, karena rombongannya hanya sedikit, posisi tawarnya lemah. Maka sambil melontarkan ejekan ia maju ke depan dan berkata:
"Ha..ha..ha...kalau bambu putih tak berani melawanmu hayoh kau lawanlah aku
Can Seng!"
"Baguslah kalau memang kamu maju sendiri, hayo lawanlah aku dengan tangan
kosong kalau kau berani!" jawab Can Seng sambil tersenyum mengejek.
Sungguh cerdik sekali tantangan Can Seng ini. Ia tahu pihak Yu-liang Pay sangat hebat ilmu pedangnya, sedang dia lebih hebat ilmu tangan kosongnya karena
kelompok Nan-hay sangat terkenal dengan jurus-jurus tangan beracunnya. Ini
membuat posisi Siong Chen di bawah angin. Tapi Can Seng keliru menilai Siong Chen, kalau dia takut. Sejak kejadian di Yu-liang Pay, Siong Chen sudah
mendapat kemajuan yang hebat. Ilmunya sudah tidak kalah dengan pamanpaman gurunya. "Ayo majulah!" seru Can Seng. Sebagai murid ketiga Tok Ciang Sin Kwi,
dedengkot setan tangan beracun dari Nan-hay, Can Seng hampir mewarisi
seluruh ilmu gurunya, sehingga kehebatannya tidak usah diragukan. Maka
mulailah keduanya memasang kuda-kuda dan mulai saling serang. Berbeda
dengan pertandingan sebelumnya. Kini pertarungan kedua belah pihak jauh
lebih seru. Berbagai pukulan yang dilontarkan Can Seng sangat kuat, tangannya yang berubah keputihan penuh dengan hawa racun. Seujung kukupun jika
terkena akan mengalami gatal yang hebat dan bisa segera menjalar ke seluruh
tubuh, hingga seluruh kulit seperti terkena bulu-bulu ulat. Jika sehari saja tidak dapat pertolongan maka yang kulit yang bersangkutan akan terkelupas semua
bahkan daging di bawah kulit akan segera membusuk. Sungguh racun yang
sangat jahat. Siong Chen menghadapi pukulan itu dengan pukulan yang tak kalah hebatnya.
Dengan menggunakan ilmu Fan cing san ang in ciang hoat, tangannya seakanakan diselimuti halimun merah yang mampu meredam serangan racun dari
pukulan-pukulan Can Seng. Setelah tiga puluh jurus berlalu, tampak posisi Can Seng mulai terdesak. Meskipun ia menang pengalaman dan banyak memiliki
gerak tipu, namun yang dihadapi adalah pendekar Yu-liang Pay yang sudah
matang, bukan anak hijau lagi. Maka mulailah satu dua pukulan Siong Chen
mengenai tubuhnya. Ketika saat-saat kekalahan Can Seng sudah didepan mata
sekonyong-konyong terdengar suara ledakan keras di angkasa, ledakan seperti
kembang api berwarna merah itu seakan genderang bagi Can Seng dan kawankawannya, karena dengan secepat kilat mereka memanfaatkan keterkejutan
lawan untuk angkat kaki secepatnya. Kedua rombongan lawan menjadi
kebingungan. Bagaimana dua lawan mereka yang tadi masih bersiulian tiba-tiba saja sudah meloncat ke atas kuda dan segera membedal kuda mereka. Di
tengah situasi yang membingungkan Coan Kok berteriak, "Hentikan mereka!
Formasi biting salju!"
Anak buah bambu putih yang sebagian masih bergelantungan segera mengejar
lawan. Sambil melompati pepohonan mereka melontarkan biting-biting berwarna
putih. Hebat sekali akibatnya, karena dalam jarak yang sudah cukup jauh masih ada satu biting yang mengenai punggung lawan. Celaka sekali Ma Kiu yang
terkena biting itu, karena biting yang kelihatan terbuat dari bambu itu ujungnya terbuat dari besi yang direndam larutan racun yang sangat hebat. Begitu
terjungkal ia langsung diserbu oleh rombongan yang mengejar mereka. Coan
Kok sendiri bersama dua orang anak buahnya termasuk seorang wanita
mengejar tiga ekor kuda yang berlarian tak karuan ditinggal oleh si empunya, rombongan dari Nan-hay. Begitu kuda tertangkap segeralah mereka membedal
kuda, sambil berseru pada anak buahnya, "Gu Tian pimpin lima orang tetap jaga di sini, yang lain ikuti jejak kami!"
Melihat gelagat keanehan, Siong Chen melarang anak buahnya mengejar Can
Seng, Ia berlaku cerdik, diperintahkannya rombongan dari Yu-liang Pay
mengejar arah kembang api. Baru saja dua puluh tombak mereka berlari, dari
pinggir lereng mereka melihat gundukan tanah bekas galian. "Gan Hung periksa bekas galian itu kami akan terus mengejar!"
Gan Hung yang memeriksa gundukan tanah itu terperanjat. Gundukan tanah itu
ternyata berasal dari sebuah lorong bawah tanah yang berasal dari kuil. "Celaka orang-orang Nan-hay ternyata menggunakan kesempatan membuat lorong
bawah tanah dan keluar dari lorong itu," pikir Gan Hung.
Kejar mengejar tak terhindarkan lagi. Rombongan berkuda dikejar oleh tiga
orang dari bambu putih yang juga berkuda, sedang rombongan yang tak
berkuda juga dikejar yang tak berkuda. Kedua rombongan ini terpisah. Celaka
bagi rombongan Nan-hay yang tak berkuda, karena tergesa-gesa tak mereka tak
memikirkan arah, akibatnya justru mereka berbalik arah ke Heng Yang. Lewat
sepeminuman teh kedua rombongan ini sampai di sebuah padang rumput yang
sudah terkepung prajurit. Begitu mereka hendak berbalik, tiba-tiba saja barisan prajurit yang lain juga sudah mengepung di belakang mereka.
"Tihu-tayjin tiba, siapapun dilarang bergerak!" seorang komandan prajurit berteriak. Maka dari barisan prajurit keluarlah seorang lelaki dengan pakaian kebesaran. Lelaki itu bukan lain adalah gubernur Heng Yang itu sendiri,
disampingnya berdiri Hung tauke dengan muka memerah penuh kesumat.
"Kalian telah berbuat keonaran di Heng Yang. Untuk itu serahkan kembali
lukisan itu kepada kami dan menyerahlah!" ucap gubernur tegas.
Laki-laki pemimpin rombongan Nan-hay mencoba bersikap tenang, tapi keringat
sebesar biji jagung sudah deras keluar dari dahinya. Sementara Siong Chen yang melihat gelagat tidak baik segera berkata, "Tahan dulu, tayjin ijinkan hamba menyampaikan pendapat terlebih dahulu!"
"Siapakah kamu anak muda" Bajumu berbeda dengan mereka, apakah
rombonganmu bukan bagian dari mereka" Jangan kawatir, jika terbukti tak
bersalah kalian akan dibebaskan!"
"Hmm..bukan begitu gubernur, tapi ini adalah urusan kaum persilatan, kami
tidak melakukan tindakan makar, mengapa harus menghadapi prajurit" Urusan
kaum kang ouw biarlah diselesaikan dengan cari kami."
"Hmmm....urusan kang ouw" Sejak kapan kalian menganggap Hung tauke
sebagai pesilat?" jawab gubernur sinis.
"Tapi bukankah lukisan ini miliki Lau Cin Shan" Sedangkan dia adalah guru besar kaum persilatan."
"Kalau kaum kang ouw dibiarkan seenaknya bertindak pada orang awam maka
rusaklah tatanan masyarakat, untuk apa gubernur punya tentara kalau tak
sanggup melindungi rakyatnya!"
Melihat suatu gelagat tak baik, dari tadi orang-orang Nan-hay saling berdekatan dan berbisik-bisik tanpa menolehkan mukanya. Sekejab mata kemudian
pimpinan rombongan Nan-hay melempar tabung perak ke arah prajurit bagian
belakang, sambil berteriak menggunakan kiekhangnya, "Nih kuserahkan lukisan


Ksatria Negeri Salju Karya Sujoko di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang tak ada harganya!"
Mendapatkan lontaran seperti itu para prajurit jadi gelagapan. Sebagian
berusaha menangkap peta yang terlontar cukup jauh ke belakang. Sedikit
lowongan itu dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh orang-orang Nan-hay. Secepat
kilat mereka menerobos lowongan. Adapun rombongan Siong Chen juga ikut
mengejar ke arah lontaran tabung perak. Suasana kemudian menjadi kacau.
Orang-oang Nan-hay berusaha melarikan diri. Sementara banyak prajurit yang
berebut tabung berisi lukisan dengan rombongan dari Yu-liang Pay, Hung tauke hanya bisa berteriak-teriak supaya prajurit ada yang mengejar rombongan Nan-hay.
Sekuat apapun Siong Chen berusaha merebut tabung perak, tiga prajurit telah
terjungkal bermandikan darah. Namun serangan dari prajurit berturut-turut tak mampu dilawan. Akhirnya setelah dua anggotanya roboh bermandikan darah
iapun melompat melarikan diri beserta satu saudaranya yang masih hidup.
Akhirnya lukisan itu jatuh ke tangan gubernur Heng Yang. Lama sekali gubernur Heng Yang mempelajari gambar di lukisan itu namun tak ada petunjuk yang bisa menjelaskan letak penininggalan Lau Cin Shan.
Bab 5. Tiong Gi mendapatkan lukisan kedua
Kita tinggalkan dulu kota Heng Yang yang perlahan-lahan kembali pulih dari
badai, marilah kita tengok keadaan tempat lain di perbukitan yang berada di tepi barat sungai Wu. Di akhir dingin yang sangat berat di Tiongoan ini, dua bulan sejak peristiwa di Heng Yang, di pinggiran suatu hutan yang sangat lebat, suatu tempat yang sangat sunyi di perbukitan yang agak berkabut ada peristiwa yang menarik untuk di kuti. Angin berhembus cukup kencang menggoyang rumpun
bambu di tepian sungai. Suasana pagi yang dingin seperti ini biasanya orang
lebih suka bergerombol mengelilingi tungku api atau meringkuk di atas ranjang.
Jangankan manusia, sedangkan hewan saja masih bermalas-malasan untuk
mencari makan di pagi sedingin itu.
Namun, sungguh aneh dari dalam hutan yang lebat itu terdengar suara pedang
berdenting nyaring diselingi teriakan seorang bocah dan bentakan wanita. Suara beradunya pedang dan teriakan kedua belah pihak menandai adanya
pertarungan di situ. Di balik rimbun pepohonan, tepat di atas tanah lapang
seluas satu petak yang hanya ditumbuhi rerumputan pendek tampak dua tubuh
manusia berkelebat saling serang. Pertarungan itu tampaknya seimbang, karena yang satu adalah seorang anak laki-laki berusia sebelas tahunan, sedangkan
lawannya adalah wanita setengah baya. Si anak laki-laki memainkan jurus-jurus serangan dengan sangat agresif dengan pedangnya, sedangkan wanita berusaha
menangkis dan balik menyerang saat terlihat ada gerakan yang lowong. Sudah
lebih dari seperempat hari mereka bertarung belum terlihat tanda-tanda pihak yang kalah atau yang menang. Lewat beberapa waktu setelah matahari mulai
meninggi, barulah terdengar suara dentingan makin melemah dan diakhiri
dengan suara. "Ciattt......hup...hiaaahhh......trang...trang!"
"Aahh...aduhhh.....! Bibi, seranganmu sungguh sulit kutangkis, engkau belum
pernah mengajarkan jurus ini," teriak bocah laki-laki sambil meringis memegangi pahanya yang terluka. Di depannya seorang wanita setengah baya berbaju
hitam, melihatnya dengan pandangan bengis. Meski sudah siang, cahaya
matahari buram terhalang tirai kabut yang berarak dihembus angin, menimpa
wajah wanita yang berumuran empat puluh tahunan. Kalau diperhatikan lebih
dekat di wajah itu masih tampak bekas garis kecantikan meskipun sudah mulai
keriput. Namun sayang mata sebelah kanan tertutup kain hitam.
Bagi orang yang mengikuti peristiwa kegemparan di Yu-liang, maka bisa
menebak wanita itu adalah murid yang bersekongkol dengan Siong Chen,
membunuh Tiong San, dan bocah yang dilatihnya adalah yang putera Tiong San
yang diculiknya. Namun wajah wanita paruh baya yang mestinya masih
menyimpan daya tarik itu sungguh tambah mengerikan dengan adanya satu
garis panjang di pipi kiri sampai ke bibir atas bekas goresan pedang makin
menambah kesan angker sehingga tampak seperti layaknya wajah bajak laut.
Sambil beristirahat tangan kanan wanita itu merogoh obat luka dan
melemparkannya ke depan si bocah dan berujar.
"Gi-ji, gerakanmu sudah cukup bagus, namun masih lambat, kau harus belajar
giat kalau ingin menjadi orang yang berguna."
"Bibi...sebenarnya untuk apa kita bercapai-capai berlatih silat ini. Aku selalu kesulitan mengatur nafasku!" jawab bocah itu penasaran. Bagaimana tidak
penasaran sudah lima tahun ia diculik oleh wanita yang mengaku sebagai
bibinya dan dibawa ke tempat-tempat sepi untuk menerima hajaran yang
dikatakan sebagai latihan silat. Anak itu sebenarnya lebih suka kembali lagi ke kampung halamannya.
"Bibi Ciu...aku ingin pulang aja, antarkan aku pulang bibi! Seru si bocah
merengek. "Anak bodoh! Sudah berapa kali kukatakan petani itu bukan orang tua kamu.
Akulah satu-satunya keluargamu yang masih hidup. Karena itu kamu harus
patuh pada bibimu, tahu!
"Bibi...sebenarnya siapakah ayah ibuku"
Wanita itu terdiam sejenak hanya berusaha memaksa menyunggingkan
senyuman. Namun lekuk senyum yang terbentuk dari bibirnya lebih mirip
senyuman sinis yang mengejek meski di dasar hati perempuan ini sebenarnya
keadaanya telah terkoyak. Belakangan ini, setiap ada kesempatan, Tiong Gi, si bocah, selalu menanyakan soal yang itu-itu juga. Masalah yang Cu Hoa Nionio
enggan membicarakannya. Sebelumnya ia selalu menyatakan bahwa ayahnya
adalah kakak kandungnya. Namun belum pernah ia menceritakan dimana dan
siapa orang tua Tiong Gi. Peristiwa yang menyebabkan dia harus kehilangan
mata kanannya itu tak pernah seharipun rehat dari pikirannya.
Gi-ji, sudah kukatakan berkali-kali padamu, kamu harus pandai bermain silat
dulu, baru aku akan ceritakan tentang orang tuamu. Ilmu silat yang kamu
pelajari masih cetek. Kena segebrakan dengan pendekar kelas tigapun pasti kau sudah terkapar, ujar Cu Hoa sambil meraba pipi kirinya. Matanya memerah,
nafasnya memburu demi mengingat kejadian peristiwa delapan tahun yang lalu.
"Bibi, kalau kau gak mau menceritakannya, aku tidak mau belajar silat lagi,"
bantah Tiong Gi sambil membanting pedangnya. Anak itu kemudian tertatih-tatih lari turun bukit sambil menyeka pipinya. Meskipun tidak mengeluarkan suara tapi Cu Hoa yang mengaku ke Tiong Gi bernama Ciu Hong tahu kalau Tiong Gi
menangis. Pukulannya ke paha tadi memang cukup keras palagi disertai
pengerahan dua pertiga bagian sinkangnya. Akhir-akhir ini tiap kali berlatih selalu ia mengakhirinya dengan melukai badan Tiong Gi, karena sudah tidak
mampu lagi mengalahkannya dengan membuat pedang Tiong Gi atau
menotoknya. "Anak itu sudah mulai hafal caraku menotoknya atau menyampok
tangannya agar pedangnya terlepas. Sudah sebulan Tiong Gi mengalami
kemajuan gerakan silat yang pesat, meskipun kemampuan menghimpun hawa
murninya payah. Peristiwa terceburnya mereka ke air terjun dulu sepertinya
menyebabkan sumbatan ke beberapa pembuluh darah Tiong Gi.
Karena masih kanak-kanak sifatnya tak mau kalah. Kalau sudah terdesak Tiong
Gi sering tidak mengindahkan teknik jurus yang diajarkan dan menyerang
membabi-buta sehingga mengenai tubuh Cu Hong. Sebagai guru yang
membutuhkan penghargaan dari muridnya, Cu Hong juga ingin dihormati oleh
Tiong Gi. Namun harapan itu makin lama makin memupus seiring makin
besarnya Tiong Gi. Sungguh lima tahun bersama Tiong Gi, merupakan waktu
yang sangat berat. Sudah saatnya Tiong Gi belajar pada guru yang lain. Tapi
demi mengingat anak itu masih polos dan sebentar lagi akan menjadi anak
dewasa, ngilar Cu Hoa dibuatnya. Perempuan seperti Cu Hoa yang menghamba
pada nafsu, takkan sanggup untuk bertobat meski wajahnya sudah lebih mirip
hantu dibandingkan manusia. "Wajahnya cukup tampan meski agak berbeda
dengan wajah orang kebanyakan dan daya tahan tubuhnya juga sangat kuat",
batin Cu Hoa sambil terkekeh.
Perlahan-lahan Cu Hoa memasuki gua dan merebahkan diri di tumpukan jerami
yang dipakai untuk alas tidur. Dengan tingkat sinkang yang dimiliki cuaca dingin di luar tidak lagi terasa, namun suara gemerisik daun-daun bambu di kejauhan sungguh seperti irama yang menyayat-nyayat hatinya.
Dua tahun semenjak melarikan diri dari Fan Cing san, bersama suhu, susiok dan dua orang suhengnya, Cu Hoa mempelajari catatan ilmu pedang Yu-liang
Kiamhoat yang dipelajari dari Siong Chen. Dari gerakan-gerakan yang
diperagakan Cu Hoa, guru mereka kemudian mencoba mempalajari kelemahankelemahan ilmu pedang itu. Setelah dua tahun berlatih mereka menantang pihak Yu-liang Pay. Pada pertemuan itu Pihak awan hitam yang diwakili susiok dan dua suheng Cu Hoa, sedangkan dari Yu-liang Pay diwakili Ji Pangcu, Siong Chen dan Pat Sun. Dalam bentrokan sebelumnya meski pihak awan hitam kalah dan
kehilangan seorang murid namun ketiga musuh yang waktu itu diwakili oleh Sam Pangcu, Siong Chen dan Tiong San juga terluka. Namun siapa sangka meski
sudah mempelajari ilmu pedang Yu-liang Kiamsut, tetap saja pihak awan hitam
kalah, bahkan harus kehilangan susiok mereka. Hek in Loco guru Cu Hoa sampai dibuat gusar, dan menyalahkan kekalahan mereka pada Cu Hoa
"Dasar perempuan sundal berotak kerbau, empat tahun bercokol di sana masih
tidak bisa menyerap ilmu pedang yang benar, apa saja yang telah kau lakukan!"
Semprot gurunya.
"Suhu ampunkan taecu, taecu sudah berusaha dan berkorban banyak hal,
namun tak kukira bahwa ilmu pedang yang diajarkan Siong Ceng hanya
sebagiannya ilmu pedang mereka"
"Dasar tolol" bentak Hek Shin Loco sambil menendang perut Cu Hoa.Tidak
berhenti sampai di sini, tanpa memberi aba-aba ketika Cu Hoa kembali bangkit secepat kilat Hek in Loco mencabut pedangnya dan menyayat pipi Cu Hoa.
"Ini ampunan yang setimpal untuk murid bodoh yang tak berguna!"
Hembusan angin yang datang tiba-tiba menyapu mukanya, sekan-akan pisau
yang mengoyak pipi Cu Hong. Masih melekat rasa sakit yang dialaminya waktu
itu. Namun sakit di pipi masih belum seberapa di bandingkan sakit hatinya
terhadap gurunya, dan terlebih lagi Siong Chen yang telah menggombalinya.
Dengan membawa luka hati yang berdarah-darah Cu Hoa minggat dari puncak
awan hitam, satu-satunya harapannya adalah mendidik Tiong Gi, untuk diajak
bersama-sama membalaskan dendamnya dan hidup berdua selamanya. Namun
dengan tingkat kepandaian seperti ini bagaimana mungkin mereka akan mampu
membalaskan sakit hati itu" Harapan Cu Hoa agar suatu ketika Tiong Gi dapat
diambil oleh seorang locianpwe yang maha sakti dan kelak membantunya
melunasi hutang-hutang Siong Chen, semakin hari semakin memudar. Ia
menyadari bahwa harapan itu sangatlah tipis. Siapakah locianpwe yang ilmunya lebih tinggi dari Yu-liang Pangcu" Suhunya sendiri mungkin tidak ada setengah kepandaian ketua pertama Yu-liang Pay itu. Ketua Siauw Lim saja belum tentu
lebih tinggi tingkatannya dibandingkan Kwan Liong Ping.
Kenapa Liong ping demikian sakti dari mana ilmunya" Jangankan Cu Hoa,
sedangkan murid Yu-liang Pay saja tidak banyak yang tahu kalau ketua terakhir sebelum Liong Ping telah memperbaiki ilmu pedangnya dengan mencampurkan
unsur magis. Ketua yang bernama Hong Bu, menyempurnakan ilmu pedang itu
dibantu sahabatnya seorang dukun yang berasal dari India, Vicitra Rahwananda, sehingga ilmu pedang Yu-liang kiamhoat yang baru, memiliki gerakan-gerakan
tertentu yang bisa didukung oleh hawa magis yang luar biasa. Unsur magis
inilah yang tidak diajarkan oleh Siong Chen, sehingga meskipun ilmu pedangnya sudah cukup bagus tapi tetap belum mencapai kesempurnaan ilmu pedang.
Sekonyong-konyong sinar matahari menerobos ke pintu gua, memendarkan
sinar yang lebih terang dibandingkan sebelumnya. Cahaya yang bagaikan kilat
membawa ingatan Cu Hong pada seorang tokoh raja siluman penukar rupa Hoan
Bin Kwi Ong Tian Ce Ting, yang merupakan sahabat gurunya. Dulu ia masih
ingat, siluman yang berwajah mirip kera itu sering menggodanya ketika ia masih gadis, dan ia pernah melayani siliman itu dengan baik. "Hmmm sekarang
saatnya aku menagih bayarannya".
Seketika bangkit kembali semangat Cu Hoa. Namun ketika bangkit baru terasa
perutnya dari tadi berkukuruyuk. "Ahh bocah itu pasti lebih lapar lagi. Aku harus mendekatinya kembali."
Cu Hoa tahu tempat biasanya Tiong Gi menyendiri. Perlahan-lahan Cu Hoa
mendekati sungai kecil di bawah bukit. Dari kejauhan terlihat tubuh seorang
bocah yang sudah mulai gede.
"Gi-ji aku mau pergi ke pasar, sudah lima hari ini kita hanya makan dari sayuran di kebun kita. Hati-hati jaga diri!" ujar Cu Hoa begitu dekat dengan Tiong Gi.
Yang dimaksud dengan kebun tidaklah seperti kebun yang sering kita lihat,
karena Tiong Gi menanam sayuran di antara semak-semak yang ada di bagian
lembah di dekat sungai secara sembarangan, sehingga seolah-olah sayuran yang di tamannya bagian dari semak-semak tersebut. Tiong Gi biasa menaman lobak
dan kubis. "Iya!" balas Tiong Gi dingin.
Di tempatnya berdiam, desir angin tidaklah sekencang di goa. Gerakan pohonpohon bambu selalu mampu mengusir kegusaran bocah itu. Akhir-akhir ini ia
merasakan adanya kejanggalan-kejanggalan hidup dengan Ciu Hong, orang
yang mengaku sebagai bibinya. Masih segar di ngatannya ia hidup damai dengan ayah dan ibu yang menyayanginya, hidup sebagai petani dan nelayan. Ia ingat
diajak ayahnya mencari ikan, atau mencari katak di sawah buat dimasak swike.
Kini keadaan yang dialami sungguh sangat jauh berbeda, bagaikan langit dan
bumi. Ia sering dimarahi, dilukai, bahkan kadang-kadang pada malam hari
bibinya sering berbuat aneh. Ciu Hong sering meraba-raba tubuhnya, bahkan
menciuminya. Sebelumnya Tiong Gi tidak merasakan suatu keanehan, namun
sudah sebulanan ia merasakan bahwa itu hal yang aneh. Bibinya menciuminya
dengan nafas memburu dan mulut yang mendesah. Kadang kala bibinya minta ia
meraba-raba selangkangannya. Sungguh kasihan nasib Tiong Gi, sejak kecil
sudah menjadi budak pelecehan seksual bibi palsunya.
Beberapa waktu berselang, dari tempat menyendiri Tiong Gi mendengar suara
dentingan pedang dan teriakan beberapa orang seperti sedang terjadi
perkelahian. Tiong Gi perlahan-lahan mendekat hendak melihat apa gerangan
yang terjadi. Tiong Gi menyelinap di balik gerumbulan semak-semak. Dari balik semak-semak itu, ia dapat mendengar apa yang dipertengkarkan oleh dua
kelompok itu. "Cun Kak tosu, sebaiknya kau serahkan lukisan itu pada kami!"
"He..he...heh....mana ada aturan itu, kami yang merebutnya dari bukit
menjangan salju. Kalian orang-orang racun timur mau enaknya saja minta
lukisan ini, huh enyahlah!"
Rupanya mereka senang memperebutkan sebuah gulungan kertas. Ada sekitar
sepuluh orang, enam lawan empat. Pihak yang membawa gulungan kertas
berjumlah empat berpakaian tosu, dikeroyok oleh enam orang dari Tok Nan-hay
pang. Setelah kegagalan mendapatkan lukisan yang dirampas oleh pasukan
gubernur, Tok Nan-hay pang yang sudah memiliki salinan lukisan itu berusaha
mencari peninggalan Lau Cin San, tapi betapa terkejutnya mereka, karena
ternyata salinan lukisan itu sudah beredar luas di kalangan kang ouw, sehingga mereka mendapat banyak pesaiang. Bahkan, suatu ketika mereka mendengar
kabar, ada lukisan yang sama anehnya ditemukan orang di bukit menjangan
salju, maka bergegaslah mereka menuju ke bukit itu. Siapa sangka ketika
mereka datang, tempat itu sudah sepi, hanya suara cecowetan burung-burung
pemangsa sedang memperebutkan bangkai manusia. Maka, dengan penuh
gopoh mereka coba mengejar jejak rombongan terakhir. Dari lacakan tahulah
mereka sedang berhadapan dengan tosu-tosu dari Kong-thong pay.
"Tosu muka kadal, kalau kalian tidak mau serahkan itu lukisan, rasakanlah ini!"
Serentak pihak Tok Nan-hay pang memulai menyerang. Meskipun
perbandingannya tidak imbang namun pertarungan berlangsung seru. Lewat
lima puluh jurus tiga orang sudah roboh bermandikan darah. Dua dari pihak
lawan satu dari pihak pembawa gulungan. Pihak lawan terus merangsek
pembawa gulungan. Melihat keadaan sangat mendesak, dan karena tak ingin
menyerah begitu saja, sekonyong-konyong terdengar lemparan gulungan kertas.
Ternyata, entah angin apa yang menghembusnya, gulungan kertas itu mengarah
ke Tiong Gi. Terperanjat Tiong Gi demi melihat gulungan kertas itu melayang ke arahnya. karena rasa penasaran dan rasa gusar demi menyaksikan orang-orang
itu merusak kebunnya, Tiong Gi langsung sambar gulungan kertas itu dan
dengan sigap memutar tubuh berbalik kanan untuk kabur. Namun, akibat
tergesa-gesa tak sadar kaki kanan Tiong Gi terantuk batu dan dia kecebur dalam kali. Untunglah kali itu hanya sedalam paha, sehingga dengan kegesitannya
Tiong Gi segera naik ke tepi dan kabur di balik tikungan pepohonan. Kejadian ini malah menguntungkan Tiong Gi, karena orang-orang yang berebut gulungan
hanya mendengar kecipakan air dan menyangka gulungan kertas tersebut jatuh
ke dalam air. Anehnya, meski sebelumnya mereka sekali sudah saling berebut
dan dengan sendirinya saling baku hantam, namun ketika gulungan kertas itu
terlepas dan dikira jatuh ke sungai, bergegas mereka meninggalkan gelanggang beramai-ramai.
"Peta itu jatuh kesini!" ...Ahhh...tidak....pasti sudah terhanyut aliran kali......."
"Kejar.......! Ikuti aliran sungai ini....!"seru yang lain.
Bergegas mereka berebut mengikuti aliran sungai. Dari hulu sampai hilir.
Di dalam gua Tiong Gi membuka gulungan kertas itu yang ternyata adalah
sebuah lukisan. Lukisan itu menggambarkan suatu perkampungan di suatu
lembah. Anehnya, rumah-rumah yang ada di gambar itu berbentuk seperti
tempurung kelapa. Di bagian tepi terlihat ada telaga yang jernih, dan sebuah pohon miok berdaun merah. Ketika kertas itu dibalik terlihatlah bercak-bercak air yang seperti mengandung tulisan. "Ah....kiranya kertas ini harus di basahi dulu dengan air supaya gambarnya bisa terlihat". Maka segera kertas itu dibasahi
dengan air yang menetes-netes dari langit gua. Namun bukan gambar yang
muncul tapi tulisan. karena bukan orang sekolahan Tiong Gi tidak bisa membaca tulisan di balik lukisan tersebut, namun dia tahu bahwa itu adalah suatu tulisan.
Tiong Gi sering melihat lembaran-lembaran tulisan yang dimiliki oleh bibinya atau yang "Hmm....kalau gitu aku tunggu saja Ciu Hong Nionio untuk
menanyakan isi tulisan ini"....begitu pikir Tiong Gi. Namun teringat bahwa
gambar itu habis diperebutkan, Tiong Gi punya firasat bahwa gambar itu berisi suatu rahasia. "Ah tidak, Ciu Hong Nionio sangat pelit, pasti kalau lukisan ini harganya mahal hasilnya dimakan sendiri. Aku harus menyimpannya."
Dicarilah bagian dinding goa yang agak lunak kemudian Tiong Gi membuat
lubang. Sebelum lukisan dimasukkan, terlebih dahulu ditaruh di sebuah bambu
seukuran suling.
Sekembalinya dari pasar, Cu Hoa mendapatkan Tiong Gi merengek-rengek minta
sekolah. "Bibi, aku ingin sekolah! Antarkan aku ke sekolah bibi!"
"Sekolah" Buat apa sekolah" Untuk jadi orang hebat yang penting bisa silat!
Tidak perlu sekolah, ngabisin duit!"
"Bibi, aku pingin jadi anak pintar yang bisa baca tulis!"
"Sudahlah kau belajar padaku saja, aku akan mengajarimu!"
"Benar bi?"
"Tentu saja, hayo cari kertas dan alat tulis!"
Tiong Gi diam saja. Cu Hoa juga membatin, kertas dan alat tulis" Dari mana bis didapatkan"
"Ini neh....uang buat beli kertas dan pit!"
Sejak hari itu mulailah Tiong Gi belajar baca dan tulis. Namun karena tidak
berbakat mengajar, itu mengajari dengan cara yang buruk. Huruf yang diajarkan tidak berurutan. Sehingga justru memusingkan yang diajari.
Lewat dua bulan, Tiong Gi menjadi bosan dan malas. Sesekali ia berjalan ke
kampung ia suka melihat anak-anak sedang belajar di sekolah. Sekolah itu
terletak di pinggiran desa. Anak-anak belajar di sebuah pendopo. Mereka duduk bersila bersaf-saf dengan teratur. Di depan masing-masing anak ada meja kecil.
Semua pakai baju seragam berwarna putih dengan rompi warna biru, rambut
kepalanya disanggul, tampak perlente dan berwibawa. Ketika guru
mengucapkan sesuatu mereka mengikutinya.
Sudah dua kali Tiong Gi melihat pemandangan seperti itu, dan kini keinginannya untuk bersekolah tak bisa dibendung lagi, maka ia lantas sampaikan ke Cu Hoa,
"Bibi, aku ingin bersekolah seperti anak-anak yang lain, mengapa aku tidak
seperti mereka?"
"Mereka itu anak-anak orang kaya, tuan tanah, cukong, yang kerjanya memerah
tenaga orang-orang kecil seperti kita. Kamu tidak perlu bergaul sama mereka!"
"Aku tak peduli....aku mau sekolah....!"
"Plok!" sebuah gamparan mendarat di pipi Tiong Gi. Biasanya Tiong Gi diam saja atau menangis. Kini dengan mata memerah ia merangsek dan memukul dengan
kedua tangan sekenanya ke Cu Hoa. Cu Hoa dibuat kerepotan karenanya.
"Anak setan.....pergi...pergi kau!" Cu Hoa membalas pukulan dengan pukulan
dan tendangan dengan tendangan yang lebih keras lagi. Tiong Gi jatuh
berguling-guling dan bergegas pergi.
Sehari kemudian Cu Hoa mengira Tiong Gi akan kembali, namun ditunggutunggu sampai sore, ia belum juga kembali. Cu Hoa mulai khawatir, meski sudah merasa jenuh dan bosan menjaga Tiong Gi, namun ia masih belum rela
melepaskannya. Tiong Gi adalah satu-satunya harapannya. Keesokan harinya
Tiong Gi masih belum juga datang. Cu Hoa lantas mulai mencari-cari. Tak sulit mencari Tiong Gi, karena ia tidk pergi jauh. Di pojok pasar, ia ditemukan
meringkuk di bawah kios tua yang ditutupi oleh daun-daun oleh Tiong Gi sendiri.
Dengan setengah menyeret Cu Hoa menggelandang Tiong Gi.


Ksatria Negeri Salju Karya Sujoko di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kamu benar-benar mau sekolah" Baiklah ayo kita cari baju seragam dan alat
tulismu." "Benarkan?" tanya Tiong Gi dengan mata berbinar. Cu Hoa hanya tersenyum
sinis. Ia kemudian menuju ke warung pakaian, dengan gerak tangan yang tak
kentara ia mengambil begitu saja dagangan yang dijual. Karena pembeli pagi itu sedang ramai, penjual tidak melihatnya. Demikian juga waktu di toko alat tulis, Cu Hoa melakukan hal yang sama. Tiong Gi hanya memandangi saja.
"Heh, Tiong Gi kalau kamu sudah besar nanti, kau harus hati-hati kalau mau
ambil barang pedagang. Kalau ketauan mereka bisa pukuli kau sampai babak
belur, tahu?"
Tiong Gi tak menjawab sepatah katapun, pikirannya sudah melayangjauh ke
sekolah di tepi desa, dekat sawah yang sedang menghijau.
Hari itu musim dingin sudah mulai berangsur pergi, matahari muncul dengan
cerahnya. Di sekolah Siauw Can Bun Tiong Gi mulai bersekolah. Ia duduk di
bangku paling belakang. Guru Tien memperkenalkannya pada seluruh teman
yang ada. Guru Tien cukup ramah namun tegas. Kemudian mulaiah Tiong Gi
belajar. Ia mengikuti apa yang diucapkan oleh Guru Tien:
berbakti pada orang tua, berbakti pada negara
anak Siauw Can Bun bersikap ksatria dan berbudi luhur
rajin belajar dan bekerja
demi mengabdi pada yang mulia Tio Kuan Yi
Tiong Gi dan kawan-kawan yang lain mengulanginya berkali-kali. Kemudian guru Tien menunjuk salah seorang untuk menghapalkannya secara bergantian.
Demikianlah satu bait kata-kata bijak selesai diganti dengan bait yang lain.
Kemudian beristirahatlah anak-anak itu. Pada waktu itu, mereka biasanya
memakan makanannya.
Tiong Gi tidak membawa makanan. Melihat kawan-kawannya makan, tumbuhlah
keinginannya untuk makan juga. Maka berkatalah ia pada salah seorang dari
mereka. "A Sun, berilah aku separoh bakpaomu!" pinta Tiong Gi dengan penuh harap.
Sun Kian adalah anak tauke beras di desa itu, tubuhnya tambun wajahnya bulat.
Saat itu ia sedang duduk agak jauh dari kawan-kawan yang lain.
"Apaa....minta....huh, gembel busuk anak petani kudisan! Neh makan
bakpaomu," ucapnya sambil melempar segumpal rumput dan serasah ke arah
muka Tiong Gi. Seketika itu kemarahan Tiong Gi meluap. Dengan beringas ia
menendang Sun Kian. Sun Kian sebenarnya sedikit-sedikit belajar silat, namun ia anak yang pemalas. Meskipun sempat menghindar tendangan pertama, ia tak
mampu menangkis tonjokan tangan kanan Tiong Gi.
"Buggg" sebuah tonjokkan tangan mengenai lambung kiri Sun Kian. Kontak
perut Sun Kian menjadi mulas dibuatnya. Dan ia tak bisa menahan laju makanan keluar dari kerongkongannya.
"Hoeekkk.......!"
Begitu melihat keributan anak-anak bergerombol mengerumuni mereka.
Sebagian bersorak memberi semangat.
Dengan tergopoh-gopoh guru Tien mendatangi mereka mencoba untuk
melerainya. Terlambat. Meski hanya mendapat tiga kali bogem mentah, namun
Sun Kian sudah KO. Guru Tien memandang Tiong Gi dengan berapi-api, Tiong Gi
mundur beberapa langkah. Dengan menahan amarah guru Tien berkata ketus,
"Bocah pembawa sial, kenapa kamu pukuli Sun Kian" Dasar anak baru yang tak
tahu diri! Besok kamu tak usah masuk sekolah lagi." Habis berkata-kata guru
Tien menolong Sun Kian, dan mengantarnya pulang. Kelaspun dibubarkan.
Keesokan harinya, kembali Tiong Gi ke sekolah. Ia tidak peduli dengan larangan guru Tien. Bagaimana ia bisa paham, di rumah maksudnya di goa ia dididik
dengan cara-cara yang mengandalkan kekerasan, mana bisa berubah dalam
sekejap mata. Celakanya, di sekolah itu pagi-pagi sekali seorang pria setengah baya bertubuh tinggi brewokan sudah menghadang. Disampingnya berdiri Sun Kian dengan
wajah masih lembam. Begitu Tiong Gi datang langsung disemprot si centeng
dengan kata-kata, "Bocah sial, beraninya kamu pukul Kian kongcu, putera
majikanku, apa yang kau andalkan?" begitu selesai bicara langsung tangannya
bergerak menonjok. Dengan sigap Tiong Gi menangkis.
"Plaakk...."!
"Ehh..kau bisa berkelahi rupanya!"
Merasa pukulannya bisa dihindarkan, centeng itu makin bertambah kalap, dan
mulai melancarkan serangan demi serangan. Sebagai centeng cukong terkenal di desa Cong Bun pria itu sedikit pernah belajar silat. Dengan tenaga yang sangat kuat tentu saja, satu dua pukulannya menembus pertahanan Tiong Gi. Pada
jurus yang ke sepuluh tiba-tiba saja Tiong Gi menarik baju lelaki itu sehingga keduanya terguling ke tanah. Karena posisi centeng itu berada di atas, dia
menang angin, sehingga lebih leluasa memukuli Tiong Gi.
"Buk...buk....! Plok...plok...plok...plok" bunyi pukulan demi pukulan ke muka Tiong Gi ditingkahi tepuk tangan Sun Kian dan beberapa teman-temannya yang
baru datang. Namun tepuk tangan mereka tidak berlangsung lama, karena
sekonyong-konyong terdengar jeritan menyayat.
"Aaaaaagggggghhh........! Tubuh centeng itu tiba-tiba saja terguling, tangannya mendekap ulu hatinya yang telah menucurkan darah segar. Pada detik itu pula
Tiong Gi telah berhasil meloloskan diri. Memang dialah yang menusuk si centeng dengan golok milik centeng itu sendiri. Sungguh seperti peribahasa senjata
makan tuan. Kegembiraan memukuli korbannya membuat si centeng kehilangan
kewaspadaan sehingga tidak sempat mencegah ketika tangan Tiong Gi menarik
golok di pinggang kirinya dan menusuk ulu hati. Jeritan si centeng ditimpali jeritan siswa sekolah itu. Sun Kian hanya melongo dan dengan ketakukan lari
lintang pukang. Jeritan siswa terdengar ke rumah-rumah di dekat sekolah
sehingga beberapa penduduk berdatangan. Rata-rata adalah petani. Tapi begitu melihat korban mereka hanya diam seribu basa. Bahkan kalau ada yang
mendekat akan terdengarlah bisik-bisik yang menunjukkan perasaan lega dan
gosip nyukurin korban. Memang si centeng Sun tauke terkenal galak ke petani.
Sungguh malang nasib si centeng.
Tiong Gi merasa terkejut sekali dengan perbuatannya. Maka larilah ia
sekencangnya keluar dari desa itu. Ia tidak ingin kembali ke bibinya, karena ia tahu pasti akan dimarahi. Yang ia tahu hanyalah berlari secepatnya kemanapun ke arah timur, menjauhi goa tempat tinggal dia yang berada di barat.
Setelah seharian penuh ia berlari sampailah ia pada kota kecil Tee-kim. Kota ini berada di tepi sungai Yang ce kiang. Kalau Tiong Gi tahu arah mata angin
sebenarnya ia bisa belok ke selatan menuju ke arah hulu dari sungai ini untuk kembali ke petani yang dulu mengasuhnya yang disangkanya sebagai orang tua.
Namun saat itu keinginannya adalah pergi jauh, sejauh kaki bisa melangkah.
Akhirnya di ujung desa di depan kuil yang cukup besar ia terjatuh kelelahan dan langsung tertidur. Biksu muda yang menjumpainya berteriak membuat seisi kuil keluar. Ada lima orang biksu yang berada di kuil itu. Empat biksu muda dan satu biksu tua yang sekaligus biksu kepala biara.
"Omitohuud, Bin bin ada apa engkau berteriak seperti itu?" biksu kepala yang bertubuh pendek gemuk itu berseru. Ia lantas mendekat Bin bin.
"Ehhh ada bocah yang tergolek di sini, siapa dia?" kata biksu itu penuh tanda tanya, sambil kepalanya tengok ke kanan dan ke kiri, coba melihat barangkali ada seseorang yang mencari anak itu.
"Ah sebaiknya kita tolong saja dulu, mari kalian angkat bocah ini." Empat orang biksu murid bersama-sama kemudian angkat tubuh Tiong Gi dan dibawa masuk
ke dalam untuk mendapat perawatan sekedarnya. Tiong Gi masih tetap dalam
posisi tertidur. Pada malam harinya tubuhnya terkena demam, dan beberapa kali ia mengigau. Empat biksu menjadi kelabakan dibuatnya. Maka dengan bahan
seadanya atas petunjuk biksu kepala mereka merebus obat dan
meminumkannya pada Tiong Gi.
Saat terbangun di pagi hari Tiong Gi menemukan dirinya tergolek di sebuah
dipan. Kemudian ia bangkit dari dipan itu. Sekujur tubuhnya terasa penat luar biasa. Dengan tertatih-tatih ia mencoba keluar dari kamar. Di lorong salah
seorang biksu yang kemaren membopongnya, menyapa, "Selamat pagi siauw
kongcu, kongcu sudah bangun rupanya, tapi tubuh kongcu masih lemah,
sebaiknya beristirahat saja.
"Aku...aku...lapar....beri aku makan siauw suhu!"
Biksu itu tersenyum. Lalu dengan sopan ia kemudian masuk ke dapur
mempersiapkan semangkuk bubur, dan sayur kubis.
"Silahkan kongcu ini disantap sarapannya"
Tiong Gi makan dengan lahapnya karena sudah seharian kemaren ia belum
makan. Tak peduli ada lauknya apa tidak, bubur itu disantapnya sampai tandas.
Setelah dua hari tinggal di kuil itu kesehatan Tiong Gi mulai pulih. Pagi itu seorang biksu muda mengajaknya menghadap ke biksu kepala. Sambil berjalan
Tiong Gi berpikir apa yang harus dia ceritakan, ia mesti menutupi peristiwa
penusukan itu, agar ia tidak ketahuan, namun bajunya yang compang camping
dan terlihat ada percikan darah sungguh mencurigakan.
Di ruang tengah, seorang biksu tua sudah menunggu sambil berliamkeng. Ketika Tiong Gi masuk menghadap ia berhenti berliamkeng dan membuka matanya.
Sekejap terjadi perubahan raut muka di wajah teduh itu.
"Omitohud, kongcu sudah bangun. Bagus sekali pagi yang cerah ini pinceng bisa menerimamu, siapakah nama dan dari mana asal usul siauw kongcu?" tanya
biksu kepala itu dengan ramah.
"Saya bernama Tiong Gi, berasal dari barat. Saya tidak punya orang tua lagi, selama ini saya tinggal bersama bibi. Namun bibi saya galak sekali dan sering memukuli. Pagi itu karena saya membuat ulah di sekolah bibi memukuli saya
hingga babak belur. Mohon losuhu tidak memberitahukan keberadaan saya jika
bibi saya datang."
"Apakah nama desa siauw kongcu?"
"Aku tinggal di desa Cong Bun."
Biksu kepala itu yang bergelar Kim-sim hosiang menggeleng-gelengkan kepala.
Sebagai biksu yang sudah berpuluh tahun menyebarkan ajaran budha di wilayah
itu ia tahu betapa jauhnya desa Cong Bun. Pengalaman itu pula yang
menjadikan dia memiliki kepekaan luar biasa terhadap sifat seseorang. Dan
sekali melihat ia merasakan aura kegelapan menyelimuti wajah yang masih
kanak itu. "Lalu kemanakah tujuanmu sekarang?"
"Aku hanya ingin menuruti langkah kakiku, aku ingin pergi jauh dari bibi Ciu."
"Kalau demikian rencana kongcu, pinceng hanya bisa berpesan agar kongcu
hati-hati. Tiga tael perak ini mungkin bisa membantu kongcu dalam perjalanan.
Kalau kongcu berjalan lurus memasuki desa nanti akan bertemu pasar beloklah
ke kiri, kau akan menemukan sungai. Barangkali saja ada perahu yang berlayar menuju ke timur. Kalau kongcu belum menetapkan tujuan, tak ada salahnya
kongcu mampir ke kuil suheng pinceng Kong-sim hosiang di desa Sin heng, desa di pinggiran kota Yi chang."
"Iya....." singkat sekali jawaban Tiong Gi, dan tanpa permisi ia lantas
meninggalkan kuil itu, mengikuti petunjuk Kim-sim hosiang menuju ke dermaga
kecil di desa itu.
Bab 6: Kelompok pengemis sabuk hitam
Kebetulan pada saat ia datang di dermaga kecil itu ada perahu yang cukup
besar. Pada saat itu sudah ada lima penumpang dengan membawa barang
bawaan yang sangat besar. Berkarung-karung barang-barang bawaan sedang
ditata oleh anak buah perahu. Ketika Tiong Gi hendak menaiki tangga perahu,
seorang lelaki yang mengawasi perahu itu menegurnya, "Eh bocah, tunggu!
Hendak kemana kamu?"
"Lopeh, aku mau ikut naik perahu, bolehkah?"
"Mana orang tuamu?"
"Aku sendirian!"
"Heh!, kau kira naik perahu gratis" Kau punya uang nggak?"
"Neh," jawab Tiong Gi sambil menunjukkan tiga tael perak di tangannya. Si
nakhoda melihatnya dengan mata berbinar. "Naik...naik, silahkan siauw kongcu!"
serunya sambil mendukung Tiong Gi menaiki tangga perahu.
Setelah menunggu tiga orang penumpang lagi, perahu besar itu mulai berlayar.
Nahkoda menanyai satu persatu tujuan masing-masing penumpang dan menarik
ongkos, sampai terakhir dia menoleh ke Tiong Gi. "Aku...aku mau kemana aja!"
jawab Tiong Gi gagap.
"Kemana aja" He..heh..heh...apakah kalau perahu ini menuju neraka kamu juga
mau ikut. Dasar bocah edan. Turun aja di sini!" omel si nahkoda.
"Aku turun di pelabuhan terakhir aja!"
"Ke Sanshi" Tahu kamu berapa lama perjalanan ke sana" Tiga hari tiga malam,
dan kau harus bayar tiga keping perak!"
"Sudahlah lopeh, nanti kalau aku bosan, aku akan turun aja."
"Mana kasih aku dua keping!"
Perahu itu berlayar tenang mengikuti arus. Setiap ada dermaga besar perahu
berhenti menurunkan atau menaikkan penumpang. Malam harinya perahu
merapat ke dermaga dan nahkoda beristirahat. Tiong Gi turun mencari makan.
Ketika ada warung roti kering maka segera ia sambar beberapa potong roti.
Keesokan harinya perahu melanjutkan perjalanan. Seperti hari sebelumnya
setiap dermaga besar perahu merapat. Ketika senja sudah mulai memerah, di
sebuah tikungan terdapat perahu besar melintangi sungai.
"Celaka, bajak sungai Tiat-sim heng-kang pang (Bajak berhati besi merintangi sungai). Putar haluan!" perintah nahkoda dengan wajah pias. Semua
penumpang ribut, wajah mereka menunjukkan ekspresi ketakutan yang sangat.
Terlambat. Perahu-perahu kecil sudah meluncur ke arah mereka. Secepat kilat
empat orang berwajah garang melompat ke perahu. Dengan golok panjang di
tangan salah seorang membentak, "Tinggalkan perahu dan semua uang kalian,
atau menggelindinglah ke neraka!"
Nahkoda yang digertak tak terima begitu saja, dengan golok dia segera
menyerang gerombolan bajak itu. Diserang seperti itu para bajak tidak tampak terkejut.
"Cring...cri ng....cring!" denting beradunya golok tak bisa terhindarkan lagi.
Penumpang yang sudah ketakutan mulai menceburkan diri, sementara ada satu
orang yang ikut meramaikan gelanggang. Pertarungan di atas perahu yang tidak terlalu lebar itu menjadi kurang leluasa. Ketika ada pembajak yang menghindar ke arah Tiong Gi, secepat kilat Tiong Gi mengirim pukulan ke arah ulu hati,
"Buggg...! Aduuhh.....Croott.....Auughhhh!" Pukulan itu terkena telak. Karena yang bersangkutan tidak menyangka ia tidak melindungi tubuhnya dengan
sinkang. Akibatnya tangkisannya jadi kendur dan pedang lawan yang kebetulan
juga penumpang menembus lehernya. Satu bajak roboh bersimbah darah.
Namun, dari pihak awak kapal satu orang juga sudah roboh tak bernyawa.
Pimpinan yang sempat melirik kejadian menjadi jengkel dan marah kepada
Tiong Gi. Pada suatu kesempatan dengan gerakan tersamar, ia melontarkan
jarum rahasia ke Tiong Gi. "Wusss.......cep! Aduuhh!" Jarum seukuran satu dim itu terkena ke pundak Tiong Gi dan masuk seluruhnya. Tiong Gi merasakan rasa panas dan gatal sekujur tubuhnya. Pandangan matanya berkunang-kunang.
Karena penasaran ia menjadi nekad menyerang pimpinan bajak itu. Diambilnya
golok milik mayat yang tergeletak dan mulailah ia ikut terjun ke gelanggang
mengeroyok si pimpinan bajak. Pimpinan bajak tidak menyangka mendapat
serangan. Tangkisannya hampir terlambat. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh
nahkoda perahu untuk mengirimkan bacokan maut ke arah leher. Tanpa terasa
ketiga orang ini sudah berada di pinggiran perahu. Gerakan-gerakan yang
sangat kuat ini membuat perahu oleng. Serangan maut itu sudah tak bisa
ditangkis, tapi si pimpinan bajak masih sanggup berkelit, sehingga hanya pundak kanannya yang robek sampai ke tulang-tulangnya. Tetapi, dengan sisa tenaga ia masih sanggup menendang Tiong Gi. "Desss.......! Byuurrr....!" tubuh Tiong Gi terlempar keluar perahu dan tercebur ke sungai. Bersamaan dengan itu perahu
yang olengpun menjadi terbalik.
Dalam keadaan setengah sadar, Tiong Gi terseret arus sampai megap-megap.
Kepalanya timbul tenggelam. Sampai lewat sepeminuman teh akhirnya
kepalanya tak muncul-muncul lagi. Dalam keadaan seperti itu, kemungkinan
hidup sangat tipis sekali. Namun benar kata orang bijak bahwa hidup mati di
tangan Tuhan. Tiba-tiba saja tubuh Tiong Gi memasuki arus pusar yang
mendorong tubuh Tiong Gi atas dan menghempaskannya ke samping hingga
terdampar di bantaran sungai.
Pada saat itu ketika matahari sedang memasuki peraduannya, di pinggiran
sungai tampak tiga orang yang sedang memanggang ikan di pinggiran sungai.
Meski tubuh mereka terlihat kekar tapi pakaiannya dekil dan compang-camping.
Sungguh mujur nasib Tiong Gi karena ia terdapar di dekat mereka.
"Suko kionghi....selamat panjang umur!" seorang yang lebih muda kepada
seorang yang lebih tua. "Sute terima kasih, biarpun hanya pengemis kitapun tak ada salahnya merayakan ulang tahun seperti kongcu-kongcu itu."
"Silahkan ikannya di santap sute."
"Tunggu dulu, kita harus bersulang untuk sam-suko, mari ini aku bawakan arak harum dari Tong-ten," kata orang ke tiga.
Pada saat mereka hendak bersulang inilah tubuh Tiong Gi terlihat terdampar.
"Hei ..ada mayat!"
Begitu melihat ada tubuh yang terhempas ketiganya jadi terkejut dan bergegas mendekatinya.
"Masih ada detak jantungnya," kata salah seorang pengemis itu ketika
memegang tangannya. "Ayo kita bawa ke markas." Dengan penuh gopoh kedua
orang pengemis itu menggotong Tiong Gi ke tempat yang disebut markas.
*** "Luar biasa.....! sudah terkena jarum beracun masih bisa bertahan dan aneh
sekali racun itu tidak sampai menjalar ke perut," gumam seorang lelaki
berjanggut panjang setelah memeriksa tubuh Tiong Gi. Lelaki ini kira-kira
berusia empat puluh lima tahunan. Dengan tenaga sinkangnya ia telah berhasil mengeluarkan jarum yang mengeram di tubuh Tiong Gi. Darah hitam keluar dari
lubang bekas eraman jarum. Setelah darah hitam keluar tiga sendok maka
kemudian berubah menjadi merah.
"Susiok, bagaimana keadaannya sekarang?" tanya salah satu anak murid yang
menggotong Tiong Gi. Anak ini pada hari itu berusia lima belas tahun. Tubuhnya kekar, sorot matanya tajam, wajahnya cukup tampan.
"Ah, syukurlah Sin Hwat, racunnya sudah keluar. Campurkan serbuk ini dan
rebus kemudian minumkan setelah ia siuman."
Setelah mengobati Tiong Gi, lelaki itu kembali ke ruang tengah di sebuah
gedung yang cukup besar. Gedung yang dari luar terlihat kuno dan tidak begitu indah tapi di dalamnya sangat bersih dan indah. Seorang lelaki berusia lebih dari enam puluhan di ruang tengah sedang memimpin pembicaraan dengan dua
orang lainnya. Mereka rata-rata berwajah dusun tak terawat, berumuran empat
puluh sampai limapuluhan, berbaju tambal-tambalan namun bersih dan
bersabuk hitam. Mereka adalah pimpinan pengemis sabuk hitam kota Yi Chang.
Kay pang sabuk hitam ini merupakan cabang kaipang sabuk hitam paling timur.
Kay pang sabuk hitam adalah kelompok pengemis yang menguasai kota-kota
yang dilewati sungai Yang-tse Kiang mulai dari Jung-hu di barat. Kota Yi Chang merupakan kota paling timur kekuasaan pengemis sabuk hitam. Karena berada
di kota-kota di lembah sungai Yang-tse tak aneh jika mereka sering
bersinggungan dengan kelompok bajak sungai Tiat-sim heng-kang pang.
"Dalam beberapa minggu terakhir ini kelompok Tiat-sim heng-kang pang sangat
agresif mencari mangsa, kudengar mereka sedang mempersiapkan pesta
perhelatan pergantian ketua baru, benarkah demikian?" sang ketua memulai
rapat malam itu. Ketiga pengemis ini bersama dengan pengemis berjenggot
panjang adalah adalah pimpinan kay pang cabang Yi Chang yang bergelar Yi
Chang su-sin-kay.
"Benar pangcu! Aku melihatnya sendiri mereka merampasi perahu-perahu yang
lewat bahkan menjarah ke daratan. Dan kabarnya ini ada hubungannya dengan
kebangkitan bangsa Khitan di timur," jawab orang yang duduk paling dekat
pangcu. "Ada hal yang berbahaya pancu, aku melihat banyak pengemis dari luar
berdatangan ke sini, sebagian juga memakai sabuk seperti yang kita pakai. Dan sebentar lagi Hoan bin kauw ong pemimpin bajak sungai Yang tze akan
mengundurkan diri," tambah Te Kang lo kay, orang ke tiga.
"Dan digantikan dengan Hiat kiam Lomo, puteranya yang baru menyelesaikan
pertapaannya. Kabar yang santer menyatakan bahkan ilmu Hiat kiam Lomo lebih
hebat dibandingkan Hoan bin kauw oang, ia baru saja berguru pada nenek iblis kelabang emas," timpal pengemis yang berjenggot yang baru saja datang.
"Nenek iblis kelabang emas?"?" berbarengan ketiga pengemis itu berseru kaget.
"Benarkah itu" Iblis kelabang emas sudah setengah abad tidak pernah terdengar lagi beritanya. Benarkah ia masih hidup?" pangcu bertanya dengan suara
tercekat. Wajahnya berubah menjadi menegang. kemudian ia menghela nafas
dalam-dalam. "Ah seadainya Gan supek punya penerus........."
"Oh ya, ji-te, bagaimana keadaan bocah itu?" tanya su-kay pada pengemis
berjenggot yang baru masuk itu.


Ksatria Negeri Salju Karya Sujoko di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bocah yang luar biasa, sudah terkena jarum hek-tok-ting masih sanggup
bertahan. Racunnyapun tidak sampai menjalar ke tempat yang lain, seperti ada yang menotok jalan darah di punggungnya."
"Ji-te kita sedang membicarakan masalah pergerakan Tiat-sim heng-kang. Ada
kabar kurang baik yang baru-baru ini kita dengar tentang bajak itu."
"Benarkah kabar yang mengatakan mereka akan mendirikan pusat pergerakan di
bukit ular merah?" tanya ji-kay.
"Itulah yang kukuatirkan, kuil Khong-sim liok si sepertinya sudah terjatuh ke tangan orang-orang asing. Apakah ada hubungannya dengan kelompok Tiat sim
heng kang, kita belum tahu. Kalau mereka benar-benar mau membuat cabang di
sana, sungguh celaka. Mereka pasti akan melabrak kita."
"Aha...aku punya ide, bagaimana kalau anak itu kita kirim ke sana untuk
menyelidiki keadaan kuil. Dia bukan anggota kay-pang kita toh," usul sam-kay.
"Ah itu tidak baik sam-ko, anak masih kecil seperti dia tahu apa?" bantah su-kay.
"Anak itu bertulang baik. Tubuhnya juga sangat kuat. Sebenarnya sayang kalau kita sampai mengorbankannya. Namun saya kita kita pantas menyuruhnya.
Hmmm...bagaimana pendapat pangcu sendiri," tanggap ji-kay.
"Baiklah kita kirim dia kesana, kita sambil terus memantaunya."
Pagi harinya ketika siuman Tiong Gi merasa tubuhnya sudah agak baikan. Dia
berada di sebuah kamar yang agak kecil, di samping dipannya ada meja kecil. Di atas meja ada mangkok yang berisi bubur. Ketika ia bangkit, dari luar masuk
seseorang. "Eh...hiante kau sudah baikan" Gimana punggungmu, masih sakit?" tanya Wan
Sin Hwat ramah. Tiong Gi menatap pemuda itu dan menjawab datar, "Aku
baikan, boleh aku makan bubur ini?"
"O..silahkan bubur ini memang untukmu. O ya, siapa namamu hiante?"
"Tiong Gi," jawab Tiong Gi singkat. Mulutnya mulai menyantap bubur itu dengan lahapnya.
"Gi te, kamu kalau tidak punya rumah tinggal aja di sini! Eh tidak...tidak baju yang kau pakai, aayaa..kau pasti seorang kongcu muda ya" Bagaimana keadaan
keluargamu...Eh di mana rumahmu Gi Te?"
Sin Hwat terus saja nerocos, sementara Tiong Gi hanya menjawab sepatah dua
patah kata. "Ah kasihan sekali dirimu Gi te, keadaanku juga tak jauh berbeda, hanya
beruntung aku dipungut oleh pamanku, su-kay. Orang tuaku sendiri sudah sejak aku berumur dua tahun meninggal dunia. Seorang penjahat telah membunuh
kedua orang tuaku."
"Siapakah penjahat itu, apakah sudah ditangkap, Hwat ko?"
"Belum tahu, mereka penjahat bertopeng. Waktu itu kata paman, ayahku
beserta tiga saudaranya termasuk paman mengikuti pertemuan pendekar di
suatu perguruan, pulangnya di tengah jalan mereka dicegat oleh pihak lawan
dan terjadilah peristiwa itu. Sejak peristiwa itu ibuku menjadi sakit-sakitan dan meninggal dunia ketika aku berumur enam tahun," papar Sin Hwat pelan,
matanya menitikkan air mata. Setelah bercerita tangannya mengepal.
Lewat sepeminuman teh, seorang pengemis cilik mendatangi mereka, "Kalau
tamu kita sudah siuman, dia dipanggil sam-susiok!"
"Ohh..ayo Gi te, sam-susiok memanggilmu."
Bergegas penegmis cilik itu mengajak Sin Hwat dan Tiong Gi ke halaman
belakang. Halaman ini dekat dengan ruangan berlmpat itu sudah ada kursi
tinggi, dan seseorang yang membelakangi mereka. atih silat. Begitu tiba, Tiong Gi langsung didudukkan dan ditutup dengan kain besar, hanya menyisakan
kepalanya saja. Sin Hwat juga agak heran melihat Tiong Gi didudukkan di kursi itu. Tapi ia kemudian tahu apa yang hendak dilakukan.
"Ehh..aku mau diapakan?" tanya Tiong Gi.
"Rambut siauw kongcu sudah sangat panjang, tenanglah aku tukang cukur
paling top di Yi Chang. Pisauku takkan melukai kulitmu segorespun, he he he...."
kata lelaki itu sambil mendudukkan Tiong Gi dan menotoknya.
lewat sepeminuman teh, tandaslah seluruh rambut kepala Tiong Gi, setelah
dibebaskan dari totokan tukang cukur itu langsung melucuti baju luarnya dan
menggantinya dengan kain yang dililitkan. "Baju kongcu juga sudah lusuh, harus diganti!" katanya sambil melucuti baju Tiong Gi dan menggantinya. Melihat
dandanan Tiong Gi berubah, Sin Hwat memoyokinya sambil "Wahh...kini dirimu
telah berubah menjadi siauw suhu, Gi te. sebaiknya kamu berganti nama juga
Tiong Gi hwesio, cocok sekali itu, he...he...he." yang diejek hanya melototkan mata saja, maunya sih Tiong Gi balas, tapi terburu munculnya sam-kay, dengan mimik serius ia memerintah Tiong Gi, "Tiong Gi, kami memberi tugas kepadamu
untuk mendatangi kuil Kong-sim liok si di sebelah utara. tinggal ah dua tiga hari disana untuk melihat keadaan. kemudian apapun yang terjadi kamu harus bisa
kembali ke sini memberi laporan. Kamu mengerti anak baik?"
Tiong Gi terkejut demi mendengar nama kuil yang disebut. "Bukankah kuil itu
yang disebutkan oleh biksu Kim sim hosiang" Apa yang terjadi, apa mereka
belum pernah ke sana, atau ada sesuatu yang terjadi" berbagai pertanyaan
memenuhi pikirannya. untuk memuaskan segala yang berkelebat dipikirannya
Tiong Gi bertanya, "Kuil apakah itu lopeh, kenapa aku harus ke sana?"
"Eh, Gi te, lebih baik kau penggil beliau sam-lokay atau cianpwe," ujar Sin Hwat.
meskipun pengemis Sin Hwat belajar budi pekerti dengan baik, karena memang
di kay-pang ini budi pekerti masih tetap dijunjung tinggi. melihat kelakuan Tiong Gi, sedikit banyak Sin Hwat juga merasa aneh, mengapa anak yang berpakaian
anak sekolah seperti tidak mengenal tata krama. Sin Hwat belum tahu kalau
Tiong Gi baru sempat setengah hari makan sekolah sebelum akhirnya ia
membuat keributan.
"Biarlah Sin Hwat, dia masih muda. Tiong Gi, biarlah aku berterus terang saja.
Kay-pang kami memiliki hubungan yang baik dengan Kong sim liok si. Kami
mengenal pimpinannya yang bernama Kong sim hosiang, biksu yang sabar dan
lembut. Kuil yang dipimpinnya sekaligus juga menjadi klinik pengobatan bagi
mereka yang memiliki kelainan jiwa. Tapi baru-baru ini ada gerakan tersembunyi yang hanya kami dengar dari kabar angin saja. Kami akan mengirimmu ke sana,
untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi."
"Tapi aku bukan anggota kay-pang sam-lokay, kenapa tidak pengemis yang lain
saja yang lebih tahu keadaan?"
"Pertanyaan cerdas, justru karena kau bukan anggota kay-pang kami maka
mereka tidak akan mencurigaimu. kami masih melihat orang-orang berpakaian
biksu di kuil itu, maka kehadiranmu mungkin tidak terlalu mencurigakan."
Maka berangkatlah Tiong Gi menuju kuil Kong sim liok si. Kuil itu terletak di suatu perbukitan di luar kota Yi Chang. jalanan menuju kuil cukup lebar dan
dikelilingi pepohonan yang rindang. Kuil Kong sim liok si merupakan kuil terbesar di kota ini. Selain melayani orang yang hendak bersembahyang, kuil ini juga
merawat para penyandang cacat jiwa. ketika Tiong Gi sudah dekat ia melihat
bangunan kuil yang cukup megah. Di depan kuil tidak ada penjaga sehingga ia
bebas memasukinya. Dari gerbang terlihat berderet bangunan-bangunan yang
sudah cukup tua tapi sangat menarik. Tiong Gi mencoba memasuki gedung yang
paling dekat dengan gerbang. Begitu masuk dia disambut oleh seorang
berpakaian biksu yang berkulit gelap. Usianya sekitar empat puluh tahunan.
"Selamat datang siauw hwesio, siapakah namamu dan apa tujuanmu?" tanya
biksu itu dengan pandangan menyelidik.
"Aku Tiong Gi, murid suhu Kim sim hosiang, hendak menghadap supek Kong sim
hosiang." Biksu yang diajak bicara terbelalak, kemudian tangannya bertepuk tiga kali.
Tiba-tiba dari belakang muncul dua lelaki berpakaian hitam-hitam dan langsung hendak menangkap Tiong Gi. Mereka menyangka menemui makanan empuk
sehingga mereka menjulurkan tangan hendak menangkap Tiong Gi sambil
menyeringai. Melihat gelagat datangnya dua orang ini, Tiong Gi berkelit. Dua lelaki yang kepalanya di kat kain kelabu itu terkejut melihat lawan bisa bergerak sedemikian lincahnya. Sampai tiga kali mengubar mereka masih belum bisa
menangkap. Biksu berbaju merah muda menjadi gusar, secepat kilat ia
mengirimkan tendangan. Karena mendapat serangan tiba-tiba, Tiong Gi menjadi
gugup sehingga terlambat menangkis.
"Bugg! Auhh....!" tubuh Tiong Gi terpental, kesempatan ini tak disia-siakan oleh kedua lawan. Mereka juga ikut menendang dan memukuli Tiong Gi. Tiong Gi
yang tubuhnya masih lemah tak sanggup membela diri. beberapa kali bogem
mentah mendarat di sekujur tubuhnya hingga ia pingsan. Dua orang itu
menyeretnya ke sebuah ruangan di belakang. Di bagian belakang dari gedung ini terdapat kamar-kamar yang disulap menjadi penjara. Pintu penjara terbuat dari jeruji besi yang kokoh. Di dalam ruangan tak ada.
Ketika Tiong Gi siuman ia sudah berada di dalam penjara, ia merasa kepalanya sangat berat, ia tidak tahu dimana dirinya berada saat itu dan sudah lewat
berapa lamanya. Pelahan-lahan ia merasakan kesakitan luka jari tangannya itu, kemudian merasakan punggung, paha dan bokong juga kesakitan sekali. Ia ingin membalik tubuh supaya tempat yang kesakitan itu tidak tertindih dibawah.
Setelah duduk sebentar dan agak tenang, ia coba memeriksa keadaan kamar bui
yang terbuat dari tembok tebal itu, luasnya kira-kira tiga meter persegi,
lantainya batu, dindingnya dari tembok tebal. Dipojok sana terdapat sebuah tong kotoran, bau yang tercium olehnya adalah bau apek dan bacin melulu. Waktu ia berpaling, ia lihat diujung sana ada sepasang mata yang bengis sedang melotot kepadanya.
Tiong Gi terkejut. Tak tersangka olehnya didalam bui itu masih ada seorang lain lagi. Ia lihat orang itu penuh berewok, rambutnya panjang terurai sampai diatas pundak, bajunya compang-camping tak keruan hingga lebih mirip orang hutan.
Tangan kirinya buntung. Begitu Tiong Gi siuman ia nyerocos gak karuan, dari
menuduh Tiong Gi menyerobot tempatnya sampai tuduhan pembunuhan.
Berbeda dengan Tiong Gi, jembel itu kakinya diborgol rantai besi, sehingga tidak terlalu leluasa untuk bergerak. Namun tetap saja ia masih lebih gesit
dibandingkan Tiong Gi.
Melihat itu, berbagai perasaan timbul di hati Tiong Gi, jengkel, marah, sakit hati sampai putus asa. Waktu terjatuh ke sungai dan terluka karena serangan gelap bajak sungai, sudah banyak derita yang dirasakan, tapi selama itu ia mengertak gigi bertahan sebisanya dan tidak pernah meneteskan air mata. Betapa setelah mengikuti bibi Ciu hidupnya terus dirundung kemalangan dan duka. Terbayang
peristiwa-peristiwa pukulan bibi Ciu, tukang pukul di kampung, ejekan-ejekan orang. Kemudian ia terjatuh ke sungai hampir mati tenggelam, namun ditolong
oleh pengemis sabuk hitam. Tapi ternyata pertolongan mereka hanya semu
belaka karena mereka kemudian menjerumuskannya ke tempat seperti ini.
Mendadak ia menangis, ia menjadi tak tahan lagi, akhirnya ia menangis tergerung2 dengan keras.
"Diammm! Kamu ini laki-laki apa banci huh!" semprot orang tua itu. Di tegur
seperti itu bukannya diam Tiong Gi justru berteriak terlebih keras lagi.
"Keluarkan aku, aku tak mau tinggal di sini, pindahkan aku ke tempat yang lain!"
Penjaga bui yang berkepala gundul, menyengir ejek sekali, ia putar badan dan datang pula dengan membawa seember air. Dari luar jeruji kamar tahanan,
terus saja ia siramkan air itu kebadan Tiong Gi. Tiong Gi mencium bau anyir, ia hampir muntah dibuatnya. Rupanya air yang disiramkan adalah air comberan.
Sungguh apes nasib Tiong Gi. Jembel tua itupun tambah keras memarahinya,
karena ia juga merasa muak dengan guyuran itu. Maka mendaratlah satu dua
pukulan ke tubuh Tiong Gi. Karena tak tahan sore harinya tubuh Tiong Gi mulai demam. Demi melihat Tiong Gi deman, jembel tua itu kasihan juga, ia kemudian menempelkan tangan di punggung Tiong Gi dan keluarlah hawa hangat dari
tangan itu. Keesokan harinya Tiong Gi sudah agak segar. Di kamar itupun sudah tidak
terlalu bacin lagi. Sepertinya si jembel sudahmeminta agar kamar diguyur air bersih. setelah matahari agak naek, seorang lelaki muda mendatangi mereka
dengan membawa baki isi makanan. baki itu di taruh di bagian bawah jeruji,
sembari berkata, "Ini makanan kalian, mangkok kecil ini untuk si bocah." Belum sempat Tiong Gi mengambil mangkok yang dikatakan untuknya, si jembel tua
sudah menyerobotnya dulu. Ketika hendak merebut, si tua itu mengepalkan
tangannya. Hanya sedikit nasi yang dimakannya.
*** Tiap hari peristiwa yang dilalui Tiong Gi hampir sama. Pengemis yang sekamar
dengannya selalu di depan pintu jika sudah waktu kiriman ransum tiba, dan
sering merebut makanannya. Jika Tiong Gi melawan ia akan marah dan
memukul, tapi jika ia diam pengemis itu juga diam. Tiong Gi tidak tahu siapa nama pengemis itu, karena jembel itupun tidak kenal sama dirinya sendiri.
Sering ia melihat pengemis itu nyerocos ngalor-ngidul, dan mengomel-omel.
Tapi sering juga ia melihat pengemis itu diam termenung.
Bertambah hari bertambah aneh saja kejadian yang dialami oleh Tiong Gi, sejak beberapa hari setiap sore ia sering mendengar suara orang berkelahi dan selalu diakhiri dengan teriakan yang menyayat. Ia tidak tahu bahwa suara yang
didengar bukan suara orang berkelahi namun orang berlatih ilmu baru, dan
menggunakan manusia sebagai kelinci percobaan ilmunya.
Setelah dua minggu tinggal di tempat sial itu, suatu hari para penjaga seperti terlihat sibuk. Biksu baju merahpun ikut-ikutan sibuk. Malam harinya Tiong Gi mendengar suara alunan musik yang merdu, diselingi berbagai nyanyian dan
bunyi-bunyi lainnya. Sepertinya sedang ada pesta, pikir Tiong Gi. Dugaan Tiong Gi tak keliru karena pada tengah malam beberapa penjaga membawa sisa-sisa
makanan dan dibagikan ke penghuni penjara.
Karena ada keramaian Tiong Gi kesulitan tidur, baru pada larut malam ia
tertidur, sekonyong-konyong ia terbangun dan terperanjat kaget. Ia sampai
menjerit lirih. Di lorong yang menuju ke kamar tahanan, Tiong Gi melihat
gerakan hewan raksasa yang aneh, seperti barongsai tapi panjang, kakinya lebih dari lima pasang. Begitu dekat baru kelihatan bahwa yang datang bukan raksasa namun rombongan orang yang dibungkus benda seperti barongsai. Tapi bentuk
barongsai itu bukan harimau melainkan mirip hewan melata seperti kelabang
raksasa. Kulit-kulit yang menyelubunginya berbentuk perisai terbuat dari logam yang dicat keemasan. Pada kedua tangan orang-orang yang memanggul
kelabang itu terdapat sepasang gambreng. Yang mengerikan adalah bentuk
gambreng itu yang bergerigi runcing. Kelabang raksasa itu di ringkan oleh
penjaga dan biksu baju merah. Di bagian kepala yang berukuran besar terdapat dua lubang. Tiba-tiba "kaki depan" kelabang membunyikan gambreng.
"Pranggg....!"
Tiong Gi terlongong-longong setengah mati mendengarnya. Tiba-tiba rasa takut menyelimuti pikirannya. jantungnya berdegup kencang. Tapi dilihatnya jembel
yang sekamar dengannya cuma duduk terpekur diam. Ia tak tahu bahwa jembel
di sampingnya sedang duduk semedi, untuk melindungi serangan khikang yang
keluar dari gambreng.
Setelah dekat, biksu baju merah berkata, "Sian-li, inilah kamar anak yang taecu maksud, apakah sian-li ingin memeriksanya."
"Wuussss....tuk...tuk..srett.........! tanpa berkata ba..bi...bu, sebuah selendang meluncur keluar lubang kecil di kepala. Tercium bau wangi sebelum selendang
itu nyampai. Selendang itu meluncur ke arah tubuh Tiong Gi dengan cepat,
menotok bagian sana-sini. meskipun Tiong Gi sudah berusaha menghidar
selendang itu seakan-akan bagai ular yang bermata. Tiong Gi menjadi kaku dan bebaslah selendang membelit beberapa bagian tubuhnya. Setelah selesai seperti disedot selendang itu masuk kembali ke lubang di kepala.
"Heh heh heh.....santapan lezatt, sayang masih kurus, seminggu lagi aku hendak kemari lagi, dan dia harus lebih gemuk, awas kalau tidak hik...hik...hik..."
nyaring sekali ucapan yang dikeluarkan oleh orang terdepan dari kelabang
raksasa itu. Suaranya melengking tingi mencicit-cicit seperti burung hantu.
Ternyata pada bagian kepala kelabang raksasa terdapat dua orang, yang satu
dipanggul yang lain. Bagi yang mengenal raksasa ini, buru-buru mengerahkan
lweekang untuk melindungi telinganya. Tiong Gi yang tak tahan menutup
telinganya, namun tetap saja suara itu membuat kepalanya pening. Dan
akhirnya iapun pingsan. Tiba-tiba selendang itu meluncur lagi namun kali ini ke arah si jembel. Pengemis kumal itu tentu saja tidak membiarkan dirinya
mendapat serangan dari selendang sehingga ia menangkis. Selendang ditarik
kembali tidak melanjutkan serangan.
"Ii hhh.....ada jembel busuk di kamar ini, kenapa kau kumpulkan anak itu
dengannya!?" Bodoh!!, kapan ia bisa jadi gemuk. tiba-tiba selendang meluncur ke kepala gundul si biksu dan terdengar bunyi "Tokkk" seperti kepala diketok.
"Aduhhh....ampunkan taecu sian-li, tapi ruangannya sudah habis. Yang lain
sudah penuh semua."
"Brengsekk! Berani kau membantah subomu!"
"Duggg!" Entah bagaimana caranya tiba-tiba saja biksu baju merah terjengkang karena terkena tendangan di bagian bokongnya.
"Ampun sian-li, ...baiklah.......akan taecu pindah!"
"Hemm bagus, kalau begitu, aku ingin melihat kamar tahanan biksu tak berhati.
*** Sore harinya, dua orang penjaga dan biksu baju merah mendatangi kamar
tahanan. Pintu kamar kemudian di buka. "Jembel tua, hari ini kamu akan
menerima hukuman setimpal atas kesalahanmu. Ketua kami akan membuat
perhitungan denganmu," katanya sambil menyeret tubuh jembel tua. Begitu
jembel tua keluar pintu ditutup kembali. Tiong Gi tidak tahu apa yang terjadi tapi lewat setengah jam lapat-lapat ia mendengar suara suara pertarungan.
Terdengan bunyi bag-bug dan diakhiri dengan suara rintihan yang makin lama
makin perlahan. kemudian terdengan suara biksu baju merah yang dia hapal
berseru, "Ha..ha...ha.....mampuslah sekarang kau Kong-sim hosiang."
Tiong Gi mencelos mendengar seruan itu, "Jadi barusan biksu Kong-sim hosiang dibunuh, ah bagaimana nasib si jembel?" pikirnya. Setelah itu ketiga orang yang menjemput si jembel kembali menggelandangnya menuju kamar Tiong Gi. Tapi
ketika pengawal hendak membuka pintu si biksu mencegahnya, "Jangan di
kamar ini bodoh! Ingat pesan sian-li, kamar sebelah sana saja, anak itu tak
gemuk-gemuk kalau dikumpulkan dengan si jembel." Merekapun kemudian
berlalu. Tiong Gi mendekatkan mukanya ke pintu jeruji. Sayup-sayup ia masih
mendengar percakapan mereka.
"Emangnya kalau kurus kenapa twako?" tanya salah seorang pengawal.
"Stttt....lo-sian-li ingin tubuhnya gemuk sehingga sumsumnya segarrr...." jawab biksu pelan. Meskipun lirih namun karena angin berhembus ke arah yang
berlawanan maka Tiong Gi masih sempat mendengarnya. Tiong Gi bertanyatanya dalam hati apa maksudnya tubuhnya supaya gemuk dan sumsumnya
segar?""
**** Peristiwa kematian biksu Kong-sim hosiang berbuntut panjang. Mayatnya
sengaja dibuang di tempat umum. Dan secara kebetulan hari itu murid-murid
kuil Kong-sim liok si datang bersama serombongan biksu berbaju kuning. Par
biksu baju kuning itu ada sejumlah lima belas orang yang rata-rata
berkepandaian. Akibat terusir sejak peristiwa pengambil alihan kuil itu beberapa murid pergi ke Kuil Siauw Lim cabang selatan, untuk meminta bantuan. Dan
tepat pada hari yang sama mereka menemukan mayat biksu Kong-sim, betapa
sedih, gusar dan marahnya mereka semua. Tiba-tiba salah seorang yang
mengerubuti mayat berseru, "Ahh..kenapa ini.......bukankah ini bekas pukulang tongkat Thai-kek sin-tung hoat?"
"Thai-kek sin-tung hoat, bukankah itu ilmu tongkat dari Kun-lun pay?"
"Dan ini....bukankah ini tanda bekas pukulan tapak tangan delapan jurus sakti dari perkumpulan pengemis sabuk hitam?" timpal biksu kedua yang ikut
memeriksi. "Mengapa bisa begitu" Apakah orang-orang yang merebut kuil berasal dari Kunlun pay" Sungguh sulit dipercaya, tapi apapun ini harus kita laporkan ke ketua."
"Suheng, bukankah di kota ini juga ada markas pengemis sabuk hitam" kita
datangi mereka meminta pertanggung jawaban."
"Tidak usah sekarang! yang penting kita serbu dulu kuil untuk kita ambil alih kembali.
*** Malam harinya ketika sudah mulai mengatupkan mata terdengar suara ributribut. Hari sudah gelap, tapi dari bangunan samping Tiong Gi melihat ada api dan asap tebal membumbung, rupanya terjadi kebakaran. Ia menjadi
kebingungan, tak tahu bagaimana kalau api ikut melalap bangunan kamarnya.
Maka berserulah ia minta tolong. Tiba-tiba pengemis berbaju kumal sudah ada di depan pintu kamar, dengan membawa golok besar. Tiong Gi salah terima. Ia
sangka jembel itu hendak membunuhnya.
"Prangg!" pintu kamar tahanan terbuka begitu si jembel mematahkan gembok
penguncinya. "Ayo cepat keluar! Lari...lari ke luar lewat pintu samping!" seru si pengemis baju kumal ini sambil lari ke arah samping. karena suasana hiruk pikuk tak
seorangpun yang menghalagi lari mereka.
Bab 7. Pertentangan antara pengemis sabuk hitam dan biksu Siauwlim cabang selatan
Keluar dari gedung Tiong Gi lari ke selatan, sedangkan pengemis baju kumal lari ke utara. Tiong Gi tak tahu arah tujuan, yang ia tahu di selatan terletak kota. Ia tidak berniat kembali ke perkumpulan pengemis sabuk hitam lagi.
*** Apa sebenarnya yang terjadi di kuil Kong-sim liok si"
Kuil Kong-sim liok si didirikan oleh Kong-sim hosiang, seorang biksu murid
Siauw-lim pay cabang selatan. Di kuil itu mula-mula hanya melayani orang
bersembahyang, namun karena keahlian Kong-sim hosiang dalam
menyembuhkan orang sakit lama-lama kuil berkembang menjadi klinik, dan
Kong-sim hosiang bertindak sebagai dokter. Suatu ketika bertandang seorang
pelancong dari barat, seorang suku uigur. Karena menyukai pemandangan di
tepi sungai Yang-tse, ia tinggal beberapa hari di kuil. Kong-sim hosiang
menyambut dengan tangan terbuka dan melayani dengan baik. Mereka mengisi
hari dengan berdiskusi tentang berbagai hal dalam kehidupan, sampai ke hal-hal filosofi dan kejiwaan. Rupanya di daerah asalnya pelancong ini adalah seorang ahli kejiwaan, karena sedemikian terkesan dengan pelayanan biksu Kong-sim ia kemudian meninggalkan satu buah kitab tentang ilmu jiwa yang kemudian
diterjemahkan sendiri ke bahasa mandarin. Karena mempelajari ilmu jiwa maka
Kong-sim hosiang bisa mengobati penderita sakit mental maupun jiwa.
Pasiennya berasal dari berbagai penjuru dunia. Kuilnya makin besar dan
berkembang. Sesuai hukum alam, makin tinggi pohon makin kencang angin
bertiup. Dan angin itu bertiup dari salah satu kuil yang merasa tersaingi, kuil Tong-im bio pimpinan Ang I hwesio si biksu baju merah. Kuil Tong-im bio
menjadi sepi pengunjung sejak pesaingnya maju. Demi merasakan kemunduran
kuilnya, Ang I hwesio menjadi gusar bahkan mulai panik ketika murid-muridnya satu persatu meninggalkannya. Suatu ketika datanglah seorang tua ingin
bersembahyang, namun setelah selesai ia mengajak Ang I hwesio untuk


Ksatria Negeri Salju Karya Sujoko di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bercakap-cakap. Orang tua itu berumuran enam puluhan, berkulit bersih, kumis dan jenggotnya dipelihara rapi, mengenakan jubah berwarna ungu. Setelah itu ia memberikan uang yang cukup besar. Dua tiga kali datang maka mulailah ia
terpengaruh oleh omongan orang tua yang bukan lain Hiat kiam Lomo. Di hasut
seperti itu api kedengkian di hati Ang I hwesio makin membara sehingga ia
menurut saja diajak oleh Hiat kiam Lomo berguru ke biang iblis kelabang emas, yang selalu ingin dipanggil sian-li (dewi). Ajakan Hiat kiam Lomo bukan tanpa tujuan, setelah bergabung dengan mereka, bersama-sama dengan anak buah
kelabang emas, maka disusunlah rencana menyerang dan menduduki kuil Kongsim liok si. Maka, pada suatu hari terjadilah penyerangan secara mendadak ke kuil Kongsim liok si. Sejak mendirikan kuil, Kong-sim hosiang sudah tidak pernah berlatih silat lagi, demikian juga murid-muridnya. Maka dengan mudah kuil diduduki dan biksu berhati kosong karena ketulusannya itu dapat ditawan. Dari duapuluhan
murid yang dimiliki hanya empat orang yang berhasil meloloskan diri atau
sengaja dilepaskan, sedang sisanya diberi dua pilihan mengabdi pada Ang I
hwesio atau dijadikan kelinci percobaan ilmu pukulan tapak kelabang yang
dikembangkan oleh nenek kelabang emas yang mendatangi Tiong Gi dalam
bentuk kelabang raksasa. Ilmu tapak kelabang adalah sejenis pukulan yang
sangat kejam dan mengandung racun kelabang yang sangat hebat. Orang yang
terkena pukulan itu akan hancur isu perutnya. Jika kuat bertahan maka kulitnya akan melepuh dan menjadi borok di sekujur tubuhnya. Suara-suara seperti
pertarungan yang didengar Tiong Gi sebenarnya adalah latihan ilmu ini, dengan memakai pasien-pasien lama kuil sebagai obyek percobaan latihan ilmu ini.
Malam ketika Tiong Gi mendengar suara tetabuhan adalah malam kedatangan
Kim-hu mo-li si biang iblis kelabang emas bersama Hiat kiam Lomo. Mereka
merencanakan tindakan selanjutnya yaitu mengadu domba kaum persilatan
antara anak buah. Sungguh rencana busuk yang sangat keji. Kedatangan biksubiksu dari Siauw-lim cabang selatan sudah diketahui dengan baik oleh anak buah yang sengaja disebar untuk memata-matai meraka. Pada saat yang sama
ternyata beberapa orang berseragam pengemis sabuk hitam sudah menanti di
kuil, perselisihan tak dapat dihindari maka terjadilah peristiwa pertempuran kecil di kuil Kong-sim liok si. Sisa-sisa pasien diangkut dengan gerobak-gerobak kuda, gedung kemudian dibakar oleh anak buah kelabang emas, dan mereka
melarikan diri. Beruntung jembel gila berlengan satu yang dijadikan tawanan
berhasil lolos kemudian menolong Tiong Gi untuk melarikan diri. Setelah
setengah hari bertempur akhirnya anak murid Kong-sim hosiang yang dibantu
biksu-biksu dari Siauw-lim berhasil menguasai kembali kuil, namun setengah
bagian kuil sudah hangus terbakar. Mereka kehilangan empat orang biksu.
Perlahan-lahan kuil bisa dibangun kembali, mayat semua biksu termasuk Kongsim hosiang dikremasi. Namun suasana panas penuh amarah masih membara.
Maka tidak menunggu lama, keesokan harinya tujuh biksu mendatangi markas
pengemis sabuk hitam untuk meminta pertanggung jawaban.
Matahari baru sepenggalah naik, ketika tujuh biksu datang ke markas pengemis sabuk hitam. Mereka di terima oleh keempat pimpinan kaypang di ruang lian-bun-tia. Biksu ini dipimpin oleh Kong-san hwesio. Biksu yang bertubuh kekar ini masih adik seperguruan Kong-sim hosiang. namun berbeda dengan Kong-sim
hosiang yang berwatak lemah lembut dan welas asih. Kong-san hwesio sangat
tegas dan keras memegang prinsip, sehingga cenderung terkesan kaku.
Ruangan itu cukup luas, akan tetapi kini dikelilingi pagar hidup berupa anak buah kay-pang yang berdiri dbersaf-saf, tidak ada yang bicara, namun dengan
sikap siap siaga dan penuh kewaspadaan semua mata ditujukan kepada mereka.
Jumlah anak buah kay-pang yang berkumpul disitu tidak kurang dari lima puluh orang, di depan mereka berdiri gagak ke-empat pimpinan pengemis. Pengemis
berbaju kain satin tua, bertubuh sedang, tidak berjenggot, yang menajadi ketua itu berjuluk Tiong Kang lo-kay, pengemis kedua yang bertubung tinggi
berjenggot panjang berjuluk Lim Kang lo-kay, pengemis ketiga bertubuh pendek kurus berjuluk Te Kang lo-kay sedang yang terakhir berjuluk Siong Kang lo-kay.
"Ah selamat datang cit-suhu, kalau saya tidak salah lihat bukanlah cit-suhu ini dari Siauw-lim pay cabang selatan" Gerangan apakah yang membawa langkah
cit-wi suhu dari Wu-han berkenan mengunjungi gubug kami yang lusuh ini?"
sapa Tiong Kang lo-kay.
"Su-wi kay-pangcu, terus terang saja kedatangan kami ini bukan untuk
beramah-tamah, kami sengaja datang atas keributan di Kong-sim liok si. Harap su-wi pangcu bisa menjelaskan dan mempertanggung jawabkan peristiwa di kuil
suheng kami! Apa sebenarnya yang kay-pang sabuk hitam kehendaki?"
Tiong Kang, Pang-cu dari sabuk hitam menarik nafas dalam-dalam, kemudian
ujarnya "Sungguh kami sendiri tidak memahami apa yang terjadi di kuil Kongsim liok si. Kami ikut prihatin dengan kondisi yang dialami kuil itu. Hubungan kami dengan kuil itu dari dulu selalu akur, sampai kemudian kami mendengar
kuil itu diambil alih oleh kelompok lain. Kami tidak bercuriga karena pemimpin baru kuil itu juga seorang biksu."
"Memang barangkali saja benar ada biksu dari kuil lain yang mengambil alih, tapi dukungan kay-pang sabuk hitam kepada pihak perampok sungguh tidak kami
mengerti," bantah Kong-san hwesio.
"Apa maksud lo-suhu" Kami tidak mengerti...."
"Cuhh...! Kura-kura dalam perahu. Seruni lebat di rawa lembab, berani berbuat tak mau tanggung jawab, sungguh watak rendahan!" potong salah seorang
biksu yang bertubuh kurus berwajah tirus yang sudah agak tua.
"Su-wi pangcu, kemaren kami menemukan jenasah yang bukan lain adalah
tubuh Kong-sim hosiang, di tubuhnya terlihat beberapa bekas pukulan, yang
salah satunya kami kenali sebagai pukulan Pat sin kun ciang hoat. Semalam
kami mendatangi Kong-sim liok si, dan mendapatkan beberapa pengemis sabuk
hitam berada di belakang pihak perampas kuil kami, siapa lagi yang mampu
menggunakan jurus itu kalau bukan pengemis sabuk hitam?"
"Ahhh..... tapak tangan delapan jurus sakti" teriakan itu hampir serempak
meloncat keluar dari mulut ke-empat pimpinan kay-pang sabuk hitam. Pukulan
tapak tangan delapan jurus sakti hanya dimiliki oleh pengemis tingkat tinggi di kay-pang sabuk hitam. Di cabang Yi Chang sendiri, selain ke-empat pimpinan
hanya ada dua anggota, yang memiliki ilmu itu dalam tingkat yang masih
rendah. "Lihat ini buktinya!" sahut Kong-san hwesio tegas. Dengan agak tergetar Kongsan hosiang mengeluarkan baju luar yang ditemukan dipakai oleh biksu Kongsim hosiang. Tiong Kang lo-kay agak maju ke depan menatap lekat-lekat ke baju di tangan
Kong-san hwesio.
"Hmmm...benar memang itu adalah pukulan tapak tangan kay-pang kami, jurus
ke tujuh , tapi.......ah aku sendiripun belum bisa memukul sehebat ini," desis Tiong Kang lo-kay dengan wajah memucat. "Siapakah dia" Mungkinkah ada
anggota pengemis yang memiliki pukulan lebih hebat dari yang kuasai, ataukah yang berbuat pengemis dari pusat atau cabang lain" pikirnya penuh kekawatiran.
"Jika masih belum puas, biar gak tanggung-tanggung, bawa kemari!" perintah
Kong-san sambil bertepuk tangan. Dua orang biksu tiba-tiba masuk dengan
menyeret seorang berpakaian pengemis. Saat ke-empat pimpinan kay-pang
melihat secara seksama, pengemis muda yang didorong dengan paksa
bersimpuh di tengah ruangan, sekonyong-konyong dari belakang ada seruan
memanggil "Ciam Tek..?"?". Rupanya yang berseru adalah Sin Hwat. Tiong
Kang, kay-pangcu terkejut mendengar seruan ini, ia mengeluh dalam hati,
membayangkan bahwa ada anak buah pengemis yang terlibat, wajahnya
mengeras. "Sin Hwat! Siapakah pengemis ini" Setahuku tidak ada anak buah kita bernama
Ciam Tek," desak sam-kay dengan wajah memerah.
"Nah...nah...lihat suheng, betapa setelah bukti kita ajukan mereka masih coba berkelit cuci tangan, betapa menjemukan!" sahut biksu bertubuh kurus yang
merupakan sute kelima dari Kong-san hwesio.
"Ah...cu-wi lo-suhu salah sangka, aku memang mengenal Ciam Tek, karena ia
juga mengemis di pasar Kee-siang, tapi ia bukan anggota pengemis sabuk
hitam," terang Sin Hwat meluruskan kesalah pahaman. "Eh, Ciam Tek apakah
yang terjadi, coba katakan sebenarnya!"
"A...aku diajak oleh kawan-kawan pengemis lain sebagian tidak kukenal tapi
mereka memakai sabuk hitam dan bisa memainkan jurus yang kukenal dari
sabuk hitam" jawab Ciam Tek terbata-bata.
"Ciam Tek!, coba sebutkan ciri-ciri pimpinan yang mengajak kamu dan tunjuk
orang itu, jika ada di sini biar aku yang akan menghukumnya!" desak Tiong
Kang dengan suara mengguntur.
"Aku tidak mengamati seksama wajahnya, tapi tubuhnya gemuk, wajahnya bulat
bertahi lalat di dahi kiri."
Semua orang terkejut dan serempak mengarahkan pandangan pada satu titik,
pengemis berbaju kedodoran bertubuh gemuk bertahi lalat di dahi yang bediri di belakang su-kay. Yang dijadikan sasaran tembak tercekat hatinya serasa
mencelat saking terperanjatnya. "Eehh aku, bukan aku....bukan aku pelakunya!
Aku tak tahu apa-apa!" serunya sambil berkelit dari kerubungan orang-orang.
Suasana menjadi ramai. Tiong Kang lo-kay bertindak cepat, segera ia kirimkan beberapa totokan sehingga tubuh pengemis itu menjadi kaku, namun masih bisa
bicara. "Nyo Beng! Katakan apa alibimu, sebelum aku menurunkan tangan kerasku!"
tanya pangcu dengan suara keras namun terdengar bergetar.
"Pang-cu tunggu dulu, malam sebelum kejadian aku bersama Nyo Beng sedang
berdiskusi tentang kebangkitan musuh-musuh kerajaan. Mana mungkin Nyo
Beng yang berbuat itu, lagi pula bukankah semalam pang-cu juga sempat
melihat Nyo Beng dan sam-te berlatih Pat sin kun ciang hoat," tiba-tiba ji-kay Lim kang membantah tuduhan-tuduhan yang dialamatkan ke Nyo Beng.
"Apakah kalian yakin semalaman penuh terus menerus di dekat Nyo Beng?"
tanya biksu kurus. Lim-kang terdiam, meskipun ia yakin setelah diskusi itu Nyo Beng kecapaikan dan pasti langsung tidur, tapi dia tidak bisa menjamin Nyo
Beng tidak kemana-mana.
"Pang-cu apalagi sekarang yang menjadi keraguanmu?" desak Kong-san hwesio.
"Alahh paling-paling hanya akan menjilat ludah sendiri, jembel busuk macam
mereka mana tahu harga diri dan kehormatan," cela biksu kurus yang bermulut
tajam. Wajah Tiong Kang lo-kay yang sudah dari tadi memucat semakin pias. Dengan
penuh kegusaran dan rasa penasaran diserangnya Nyo Beng dengan jurus-jurus
pilihan Pat sin kun ciang hoat.
"Dess...tuk....tuk...tuk....tuk........!"
"Aacchhhhh.........."
Beberapa kali ia memukul dan menotok hingga Nyo Beng terkapar, seluruh uraturatnya telah putus, yang berarti hilanglah seluruh kemampuannya bersilat
selamanya. Suasana hening, hanya jerit rintih Nyo Beng yang terdengar. Sin
Hwat segera berlari ke depan memberi pertolongan kepada Nyo Beng. Dua
pengemis muda lainnya membantu. Nyo Beng digotong ke dalam. Sambil
membawa tubuh Nyo Beng, Sin Hwat sempat menatap tajam wajah Tiong pangcu dengan tatapan penuh perasaan tak percaya dan penasaran. Setelah mereka
masuk ke dalam, dengan suara keren Tiong Kang pang-cu membentak
rombongan biksu, "Cit-wi lo-suhu, aku telah memberikan hukuman setimpal
pada anggota kami sesuai dengan ucapanku, sekarang juga kalau cit-wi tidak
tinggalkan markas kami, kami benar-benar akan melupakan rasa malu untuk
mengambil tindakan apapun untuk memaksa cit-wi keluar dari sini."
"Hayo kita pulang, sementara ini kita anggap selesai urusan kematian suheng
Kong-sim hoasiang!" perintah Kong-san hwesio pada anak buahnya. Bergegas
mereka membalikkan badan, namun baru dua tindak terdengar seruan Tiong
Kang pang-cu, "Tunggu! Tinggalkan bocah she Ciam di sini!"
Ke tujuh biksu itu menatap Ciam Tek yang sudah hendak dibawa oleh dua
pengawal mereka. Ciam Tek segera berlutut dengan tubuh gemetar, "Lo-suhu
tolong aku, jangan tinggalkan aku disini!" ratap Ciam Tek sambil memeluk kaki salah satu pengawal. Namun sekonyong-konyong kesiuran angin menyambar
dadanya disusul datangnya tendangan dari biksu kurus bermata tajam. "Kami
sudah tak memerlukanmu lagi!" bentak biksu kurus. Kong-san hwesio tak kuasa
mencegah, dan iapun berpikir membenarkan ucapan ngo-sutenya.
"Desss.........!" tubuh Ciam Tek terlempar dua tombak sehingga tepat terkapar di depan kaki Tiong Kang pang-cu. Tiong Kang pang-cu segera memerintahkan
anak buah untuk merawat Ciam Tek, dan mengurungnya di kamar tahanan
bagian belakang. Suasana di markas pengemis sabuk biru menjadi sangat beku.
Semua orang seperti sepakat mengunci rapat-rapat mulutnya.
Malam harinya, Tiong pang-cu memanggil Sin Hwat ke kamarnya. Sim Hwat
melihat wajah suhunya yang biasanya tenang dan sejuk seperti aliran sungai
Yang tse di musim dingin sekarang menjadi keruh dan bergelombang seperti
deru banjir sungai Huang di musim hujan. Kata-katanya tidak lagi lembut, dan terputus-putus diselingi hisapan nafas yang dalam.
"Sin Hwat, kamulah muridku yang paling....kupercaya. Sekarang kamu sudah
cukup dewasa, namun aku yakin kamu masih polos, belum terseret oleh
arus......pertikaian seperti sekarang. Tadi siang aku menghadapi suasana yang sangat mendesak dan menjepit posisi pengemis sabuk hitam. Terpaksa aku
mengorbankan Nyo Beng......., meski aku yakin ia tak salah. Sepanjang sisa
hidupku aku pasti akan sangat menyesali perbuatanku ini, namun itu kulakukan demi melindungi perkumpulan kita. Aku yakin ada pihak-pihak tertentu yang
bermain mengadu domba berbagai perkumpulan silat. Dan di dalampun aku
yakin ada pengkhianat. Hanya aku sangat ragu siapakah mereka. Kalau tadi
siang aku memutuskan untuk melawan pasti permusuhan akan makin runcing
dan menyeret dua perkumpulan besar. Besar kecurigaanku pada perkembangan
bajak sungai Tiat-sim heng-kang, dan nenek kelabang emas. Oleh karena itu,
dengarkanlah perintahku ini, aku mengutusmu berangkat ke Chong King
melaporkan kejadian ini pada perkumpulan pusat, bawalah dua suratku ini. Satu untuk tai pang-cu, satunya lagi untuk suhu Pek Mau lo-kay. Sekarang juga kamu berkemas, jangan sampai seorangpun tahu kepergianmu, dan tempuhlah jalan
darat sampai kota Hong ji, karena aku khawatir bajak ini masih berkeliaran di sepanjang sungai Yang tse di barat kota ini. Rahasiakan tugas dan kepergianmu dari siapapun."
*** Kita tinggalkan dulu Sin Hwat yang sedang mendapatkan tugas ke barat. Mari
kita ikuti perjalanan biksu-biksu dari Siauw-lim selatan. Setelah menyelesaikan masalah dengan kay-pang mereka bergegas kembali ke kuil Kong-sing liok si.
Tak ada yang berbicara di sepanjang perjalanan itu, semua mulut tertutup rapat.
Meski kegeraman masih belum pudar dari wajah-wajah mereka, namun ada rasa
puas tersendiri karena merasa biang keladi peristiwa kehancuran kuil Kong-sim liok si sudah diberi balasan setimpal. Mereka bisa melihat sendiri ketua pengemis itu menghukum Nyo Beng hingga berdarah-darah. Mereka tidak meragukan
pukulan kay-pangcu. Dengan langkah cepat karena menggunakan ginkang
mereka bergerak ke utara. Tapi siapa nyana di pinggiran hutan menuju ke
perbukitan di utara kota, pemimpin mereka tiba-tiba berhenti. "Persiapkan
barisan tujuh pintu bintang! Ayaaa...." belum selesai Kong-san hwesio
menyelesaikan perintah ke anak buahnya sekonyong-konyong dari segala
penjuru meluncur senjata-senjata rahasia berbentuk bintang.
"Wusss.....wusss....wussss.....cring.....cring cring.....cring.....cep...cep....cep aurrrgghhh "
Puluhan senjata rahasia yang berwaran hijau itu meluncur dengan cepat
menghujani mereka. Dengan cepat Kong-san hwesio memutar tongkat yang
dibawanya, di kuti oleh beberapa anggota, namun tak demikian dengan tiga
sutenya. belum hilang kekagetan mereka karena suheng yang memimpin tibatiba berteriak memerintah tiba-tiba datang kesiuran angin disertai hujan senjata gelap. Secepat kemampuan mereka memutar toya. Namun terlambat meskipun
beberapa senjata bisa mereka tangkis, namun masih ada satu dua senjata yang
meluncur bebas menembus kulit daging mereka. Tiga orang yang terkena
termasuk biksu kurus berlidah sembilu hanya mampu menjerit sebelum
berkelejotan tewas. Seluruh tubuhnya merubah membiru tanda keracunan yang
hebat. Sementara itu keempat biksu yang masih tersisa juga tidak mendapat
kesempatan untuk menolong sute-sute mereka karena mereka juga sedang
disibukkan oleh serangan gelap. Selesai hujan senjata yang bertubi-tubi suasana kembali tenang. Namun ke-empat biksu yang masih mampu berdiri itu masih
tegak dengan sikap waspada di tempat masing-masing. Kong-san hosiang
membentak dengan suara menggelegar "Pengecut rendah keluar kalian! Siapa
berani bermain gila dengan Wu Han cit ceng"
Tiba-tiba melompat keluar seorang bertubuh gemuk bertahi lalat di dahi sambil tertwa terkekeh-kekeh, "He..he....he... tikus gundul dari Wu Han kini tinggal berempat, semutpun pasti tak takut melawan kalian ha..ha..ha..."
Kehadirannya di kuti oleh lima orang yang berseragam coklat bersabuk hitam
dipimpin oleh seorang tua berumur enam puluhan berwajah putih halus. Empat
orang dibelakangnya berumuran empat puluh sampai lima puluh tahunan, salah
satunya berkepala gundul. Betapa terperanjatnya ke-empat biksu dari Siauw-lim cabang selatan yang berpusat di Wu Han itu, "Nyo..Nyooo Beng......." desis
mulut mereka dengan tubuh agak tergetar. Kong-san hwesio yang paling awas
di antara mereka merasakan adanya kejanggalan, namun dari cara tertawa dan
deretan gigi yang terlihat Kong-san tahu bahwa orang yang mirip dengan Nyo
Beng berkedok. "Nyo Beng palsu! Orang lain boleh kau tipu dengan kedok busukmu, tapi aku
Kong-san hwesio tak bisa kau kelabuhi, majulah biar pinceng antarkan rohmu ke alamat Giam-lo-ong yang tepat!" bentak Kong-san dengan mata berapi-api.
Dibentak seperti itu Nyo Beng jadian hanya terkekh saja sedang salah seorang yang sepertinya memimpin rombongan itu memberi perintah, "Nyo sicu, hadapi
tiga tikus gundul yang lain, dan kau Ang sicu dan sam-kay sicu tangkap hidup-hidup biksu Kong-san, hati-hati dengan gebukannya!"
Serempak berlima mereka terjun ke gelanggang menyerang ke empat biksu
yang masih tersisa. Pertandingan ke tiga biksu dengan Nyo Beng tidak
berlangsung lama. Meskipun mereka bertiga namun sejatinya justru merekalah
yang dikeroyok oleh delapan bayangan Nyo Beng. Dengan menggunakan
pukulan-pukulan Pat sin kun ciang hoat yang tingkatannnya sudah sangat
dasyat, ketiga biksu dari Wu Han itu hanya bisa bertahan. Jurus-jurus mereka mental semua terkena hawa pukulan yang keluar dari tangan Nyo Beng. Semak-semak dan batu kerikil semua bertumbangan yang terbang terkena kesiuran
hawa yang keluar dari Pat sin kun ciang hoat itu. Sungguh suatu tingkatan tapak tangan delapan jurus sakti yang sejajar dengan ketua kay-pang sabuk hitam
pusat atau bahkan setingkat dengan Pek Mau lo-kay sendiri, suhu dari Tiong
Kang yang sudah menggundurkan diri selama 30 tahunan. Menghadapi
gempuran demi gempuran ke-tiga biksu seperti serpihan kertas yang berputarputar terkena arus yang disemburkan dari hawa pukulan Pat sin kun ciang hoat.
Lima belas jurus berlalu dan mereka sudah terlempar seperti layang-layang
putus talinya. Sebelum tubuh ke-tiganya terjatuh berdebum di tanah dari mulut mereka telah menyembur darah segar. Dan sesaat setelah menyentuh tanah
putuslah hubungan badan dan roh mereka.
Keadaan Kong-san hwesio tidak lebih baik, serangan ke-empat orang yang
mengeroyoknya sungguh sangat dasyat. Gerakan pertahanan Lohan sian tung
hoat tidak mampu membendung serbuan ke-empat serangan tangan kosong
yang membawa hawa panas beracun. Lohan sian tung hoat pada dasarnya
merupakan jurus-jurus pukulan toya yang merupakan jurus untuk membentuk
barisan sehingga lebih efektif kalau dilakukan secara bersamaan dengan
membentuk suatu barisan, sedangkan jika dilakukan sendiri maka banyak
kelemahan yang tidak ditutupi oleh kawan yang lain. Oleh karena itu tak hiran pada jurus ke enam belas, sebuah pukulan tapak tangan dengan telak mengenai
pinggang Kong-san hwesio disusul pukulan yang lain ke beberapa bagian
tubuhnya. Tubuh Kong-san hwesio limbung kemudian roboh. Ia sudah tidak
berdaya ketika sebuah tendangan meluncur ke arah dadanya. Namun ketika
gerakan kaki itu sudah tinggal berjarak satu dim terdengar tangkisan. "Dessss!
Tahan, jangan bunuh ia masih diperlukan!" seru orang tua berwajah putih itu.
Dengan sisa-sisa tenaganya Kong-san duduk bersemedi memusatkan perhatian
pada penyembuhan luka dalam yang sangat hebat. Tiga pukulan tapak kelabang
yang berwarna biru telah membuatnya keracunan. Ia sendiri tak yakin jika tidak segera mendapat pertolongan berapa menit lagi ia mampu bertahan. Untuk
beberapa saat suasana menjadi hening.
"Tao Leng bangunlah! cukup sudah sandiwaramu yang mengesankan itu, ayo
lakukan tugasmu selanjutnya sesuai rencana kita!" ucapan orang tua yang
menjadi pimpinan mereka itu. Nyo Beng palsu dan tiga orang anak buah yang
mengeroyok Kong-san menjadi heran karena mereka tidak ada yang bernama
Toa Leng. Namun keheranan itu menjadi semakin menjadi-jadi ketiga tiba-tiba
biksu kurus bermulut setajam sembilu itu bangkit mengibas-kibas bajunya dan
mebuang senjata rahasia yang mengenai dadanya. Kiranya ia hanya berpurapura saja, terkena senjata gelap, roboh dan berdarah.
"Heh..heh...heh...rencanamu memang hebat Loco! Tak heran jika sian-li sangat sayang kepadamu!" dengan terkekeh-kekeh biksu yang ternyata pengkhianat itu
mendekati Kong-san hwesio.
"Cuhh! Swi Kiong selama itu kau selalu mengagungkan kebo
Bara Naga 1 Golok Halilintar Karya Khu Lung Hati Budha Tangan Berbisa 14

Cari Blog Ini