Ceritasilat Novel Online

Kuda Binal Kasmaran 1

Kuda Binal Kasmaran Serial Tujuh Senjata Karya Gu Long Bagian 1


Kuda Binal Kasmaran
Karya Gu Long (Khu Lung)
Disadur oleh Gan KH
Serial Tujuh Senjata ke 7
Dengan Judul : Kuda Binal Kasmaran
Lanjutan dari : Pukulan Si Kuda Binal atau Tombak Maharaja
Bab 1 Tanggal 11 bulan 9. Hari kedua setelah hari raya Congyang.
Cuaca cerah ceria.
Hari ini bukan hari raya, bukan hari besar juga bukan hari
istimewa. Tapi hari paling mujur bagi Siau Ma alias si Kuda
Binal, hari paling mujur dalam jangka tiga bulan belakangan
ini. Hari ini Siau Ma hanya berkelahi tiga kali, tiga babak,
tubuhnya hanya kena sekali bacokan golok. Luar biasanya
adalah sampai saat ini masih belum mabuk.
Malam telah larut, Siau Ma masih berjalan tegap dan kuat
dengan kedua kakinya, ini kejadian luar biasa, kalau tidak mau
dikata keajaiban.
Bagi orang lain setelah minum arak sebanyak itu, terluka
oleh bacokan golok lagi, apa yang dilakukan kecuali telentang
di tanah merintih dan meregang jiwa menunggu ajal.
Bagi ukuran Siau Ma, bacokan golok itu tidak dirasa berat,
padahal kalau bacokan golok itu ditujukan ke batang pohon
sebesar paha, pasti pohon itu roboh terpotong jadi dua, coba
bayangkan betapa parah luka yang diderita Siau Ma.
Serangan golok itu tidak cepat, namun pemilik golok itu
mahir membelah seekor lalat yang sedang terbang di udara,
malah bukan hanya seekor lalat yang berhasil dipotongnya.
Jikalau peristiwa ini terjadi tiga bulan kemudian, meski ada
tiga atau lima batang golok membacok tubuhnya, Siau Ma
dapat merampas satu dua batang, menendang satu dua
batang di antaranya, sisanya yang sebatang dengan mudah
dia patahkan jadi dua potong.
Bahwa hari ini si Kuda Binal hanya terkena satu bacokan
golok, bukan lantaran tidak mampu berkelit, tidak bisa
menghindar, juga bukan karena dia mabuk.
Dia terbacok karena ingin merasakan bacokan golok lawan,
ingin menikmati bagaimana rasa dan betapa nikmat bacokan
golok Peng-lohou dari Ngo-hou-toan-bun-to yang terkenal lihai
itu. Bacokan itu tentu tidak enak, tidak nikmat, sampai
sekarang, bacokan golok di tubuhnya itu masih mengalirkan
darah. Maklum, baja tajam yang beratnya empat puluh tiga kati,
kalau membacok tubuh orang, orang itu pasti celaka. Manusia
mana yang mau dibacok golok dengan percuma.
Tapi Siau Ma senang, dia gembira. Peng-lohou yang
membacok dirinya malah celentang tak bergerak di tanah.
Karena saat goloknya membacok Siau Ma, untuk sementara
bocah ini bisa melupakan penderitaan lahir batin. Siau Ma
memang sengaja menyiksa diri, supaya dirinya menderita.
Dengan cara apa saja dia ingin melupakan derita batinnya.
Dia tidak takut mati, tidak takut miskin, biar dunia kiamat,
langit ambruk menindih kepalanya juga tidak peduli. Akan
tetapi derita batin yang satu ini, membuatnya sengsara.
* * * Bulan purnama menyinari jalan raya nan sunyi hening,
lampu sudah dipadamkan, penduduk sudah tidur lelap, kecuali
Siau Ma seorang, di jalan raya tidak kelihatan bayangan
manusia. Dari kejauhan, mencongklang datang sebuah kereta
kuda yang besar.
Kuda gagah dan tegap, kereta megah dan baru, kabin
kereta kelihatan bersih mengkilap seperti kaca, tempat
duduknya baru dan empuk. Enam laki-laki kekar duduk
berdesakan di tempat kusir, yang memegang tali kendali
mengayun cemeti panjang di tangannya, "Tar" suaranya
menggelegar di udara malam nan lelap.
Bukan saja tidak melihat, seolah-olah Siau Ma juga tidak
mendengar datangnya kereta yang dicongklang cepat di jalan
raya. Di luar dugaan, kereta besar itu mendadak berhenti tak
jauh di depannya, enam laki-laki berpakaian hitam yang duduk
di tempat kusir serentak melompat turun merubung sambil
melotot, mendelik gusar, gerak-gerik mereka cukup gesit dan
cekatan. Seorang yang berdiri paling depan bertanya sambil
menatap tajam, "He, kau ini Siau Ma yang suka mengajak
orang berkelahi itu?"
Siau Ma mengangguk, sahutnya, "Betul, kalau kalian ingin
berkelahi, carilah diriku."
Orang-orang itu mendengus ejek, jelas Siau Ma dianggap
kucing yang sedang mengantuk dan tidak dipandang sebelah
mata oleh mereka, katanya, "Sayang sekali, kedatangan kami
bukan untuk berkelahi dengan kau."
"O, bukan untuk berkelahi?" Siau Ma menegas.
"Kami harap kau mau ikut kami sebentar," kata salah
seorang. Siau Ma menghela napas, kelihatannya dia amat kecewa.
Enam orang itu juga bersikap kecewa, seorang yang berdiri
di kanan mengeluarkan selembar kain hitam, katanya, "Kau
tahu kami bukan orang-orang yang takut berkelahi, soalnya
majikan ingin bertemu dengan kau, tugas kami membawamu
pulang dalam keadaan segar bugar, jikalau lenganmu putus
atau pahamu buntung, majikan kami tentu kurang senang."
"Siapa majikan kalian?" tanya Siau Ma.
"Setelah berhadapan, tentu kau tahu siapa beliau," sahut
seorang laki-laki.
"Kain hitam ini untuk apa?" tanya Siau Ma.
"Kain hitam untuk menutup mata."
"Menutup mata siapa?" tanya Siau Ma pula.
"Sudah tentu menutup matamu."
"Supaya aku tidak tahu kemana kalian membawaku?"
"Agaknya kau sudah pintar."
"Kalau aku tidak mau ikut?"
Orang-orang itu menyeringai bersama, seorang di
antaranya membalik tubuh, tinjunya menggenjot sebuah balok
batu peranti mengikat kendali kuda di pinggir jalan. "Duk"
balok batu sebesar paha itu dipukulnya patah menjadi dua.
"Wah, hebat, lihai sekali," teriak Siau Ma.
Laki-laki itu mengelus tinjunya, katanya congkak, "Kalau
kau tahu betapa lihai tinjuku, maka ikutlah kami pulang."
"Tanganmu tidak sakit?" tanya Siau Ma. Sikapnya amat
prihatin, sehingga laki-laki itu lebih bangga.
Seorang laki-laki lain, mendadak mendekam, kaki pun
menyapu, balok batu yang terpendam hampir dua kaki itu
seperti dicabut dan dilempar begitu saja oleh kakinya yang
menyapu dengan kuat.
Siau Ma lebih kaget, teriaknya, "Kakimu tidak sakit?"
Laki-laki itu berkata, "Kalau kau tidak mau ikut kami, kalau
kaki tangan tidak patah, tubuhmu akan babak belur!"
"Bagus sekali," seru Siau Ma.
"Apa maksudnya bagus sekali?" tanya laki-laki itu.
"Maksudnya, sekarang aku akan ajak kalian berkelahi,"
sahut Siau Ma. Baru saja mulut bicara, tinjunya lantas menggenjot hancur
hidung seorang, sekali tampar pula dia bikin telinga seorang
menjadi tuli, begitu sikutnya menyodok, lima tulang rusuk
orang di belakangnya patah, sekali kaki menendang, seorang
dibuatnya mencelat ke udara, seorang lagi selangkangannya
kena sepak, kontan dia menungging sambil mendekap
anunya, air mata, liur dan keringat dingin bertetesan,
tubuhnya basah kuyup, celananya pun basah dan bau pesing.
Lima dari enam orang roboh tak berkutik hanya dalam
segebrak, tinggal seorang saja yang berdiri di hadapannya,
tubuh orang inipun basah oleh keringat dingin.
Siau Ma memandangnya kalem, katanya, "Sekarang kalian
masih ingin memaksa aku ikut kalian?"
Laki-laki yang masih utuh ini segera geleng kepala, geleng
sekuatnya dan tidak berhenti kalau Siau Ma tidak segera
bersuara lagi. "Bagus sekali," ucap Siau Ma.
Laki-laki itu tak berani bersuara.
"Kenapa tidak kau tanya apa maksud "bagus sekali?""
"Aku ... Siaujin ...."
"Kau tidak berani bertanya?"
Laki-laki itu manggut-manggut, manggut-manggut
ketakutan. Siau Ma menarik muka, mata pun melotot, katanya, "Tidak
berani tanya, kalau tidak tanya kuhajar kau."
Laki-laki itu mengeraskan kepala, mulutnya tergagap, bibir
gemetar, "Apa maksudnya bagus sekali?"
Siau Ma tertawa lebar, katanya riang, "Maksudnya aku
mau ikut kalian." Segera ia ulur tangan membuka pintu siap
naik kereta, namun mendadak ia berpaling, "Bawa kemari."
Laki-laki itu berjingkrak kaget, serunya,"Apa ... bawa apa?"
"Bawa kain hitam itu kemari, untuk menutup mataku."
Tersipu laki-laki itu menutup matanya dengan kain hitam.
"Bukan menutup matamu, menutup mataku," seru Siau
Ma. Laki-laki itu mengawasinya terbelalak, bingung tidak
mengerti, apakah laki-laki ini edan atau sinting, sedang mabuk
atau mengigau"
Siau Ma tidak sabar, dia rebut kain hitam itu menutup
mata sendiri, lalu melompat ke kabin kereta dan duduk di atas
sofa yang empuk sambil menghela napas lega, katanya,
"Menutup mata dengan kain hitam, ternyata lebih nyaman lagi
nikmat." * * * Siau Ma tidak gila, juga tidak mabuk.
Kalau seorang memaksa dia melakukan sesuatu yang tak
ingin dia lakukan, umpama menusuk bolong delapan lubang di
badannya pun akan ditolaknya dengan tegas. Selama hidup,
dia senang melakukan apa yang ingin dia lakukan, rela
melakukan, tidak mau dipaksa.
Kalau dia mau naik kereta mewah ini, karena dia
beranggapan, persoalan yang sedang dihadapinya bukan saja
misterius, juga menarik hatinya.
Sekarang umpama ada orang berani melarang dia pergi,
tidak boleh naik kereta, orang itu tentu dihajarnya juga.
Waktu kereta bergerak, Siau Ma sudah menggeros dalam
kereta yang lebar dan empuk itu, begitu lelap dia tidur seperti
babi layaknya. "Bila sudah sampai tujuan baru kau bangunkan
aku, siapa menggangguku di tengah jalan, kepalanya akan
kugencet biar remuk."
Tiada orang berani mengganggu tidurnya, maka di kala dia
terjaga, kereta sudah berhenti di sebuah pekarangan yang
besar. Siau Ma bukan laki-laki kampungan yang belum pernah
melihat keramaian, bukan orang yang tidak luas
pergaulannya, tapi seingatnya, selama hidup ini, belum pernah
dia melihat tempat seindah, megah seperti ini, dia kira dirinya
berada di kahyangan.
Tapi enam laki-laki itu membuka pintu, lalu berdiri berjajar
di depan pintu menyambut dia turun dari kereta.
Siau Ma berkata, "Perlu tidak kain hitam ini menutup
mataku lagi?"
Enam orang itu saling pandang tanpa berani buka suara.
Tanpa menunggu jawaban, Siau Ma menutup matanya lagi
dengan kain hitam itu, karena dia merasa cara ini lebih
mengejutkan, lebih misterius rasanya, malah diliputi khayalan.
Pernah Siau Ma mendengar dongeng, di zaman dulu ada
sementara putri raja atau pembesar yang romantis, suka
menculik pemuda gagah ganteng di tengah malam buta rata
di tengah kraton, untuk menghibur dirinya.
Siau Ma tidak terhitung laki-laki tampan, tapi dia masih
muda lagi gagah, perkasa dan pemberani, apalagi wajahnya
tidak jelek. Seorang mengulur sebatang tongkat ke tangannya lalu
diseret ke depan, seperti orang buta saja dia ikut mereka
beranjak ke depan. Naik turun, belak-belok, entah berapa jauh
mereka berjalan, akhirnya memasuki sebuah rumah yang
penuh bau harum.
Sukar Siau Ma membedakan bau harum itu, namun dia
yakin bau harum semacam ini belum pernah dia menciumnya
selama hidup. Cuma satu harapannya, bila kain yang menutup matanya
ditanggalkan, dia bisa melihat dan berhadapan dengan
seorang cewek ayu yang belum pernah dilihatnya selama ini.
Di saat pikiran melayang hati gembira itulah, mendadak
dua jalur angin tajam datang dari depan dan belakang
menusuk ke arah dirinya, betepa cepat serangan ini, belum
pernah dia menghadapinya.
* * * Sejak kecil Siau Ma suka berkelahi, kalau sehari tidak
berkelahi, badan terasa pegal linu malah. Terutama tiga bulan
belakangan ini, rekor berkelahinya boleh dikata lebih banyak
tiga ratus kali lipat dibanding jago berkelahi selama hidupnya.
Dalam hal minum arak Siau Ma juga tidak terlalu rewel,
arak apa saja, Mo-tai boleh, Ciu-yap-ceng juga baik, anggur
atau arak juga tidak jadi soal, sampaipun tuak atau legen yang
murah harganya juga dapat menghibur dirinya.
Demikian pula dalam berkelahi.
Kalau hati sedang risau, bila ada orang menantang dan
mengajaknya berkelahi, peduli siapa lawannya juga pasti
dihadapinya. Umpama lawannya anak raja juga akan dihajar
lebih dahulu, perkara belakangan, umpama bukan tandingan
lawan, meski adu jiwa juga akan dihadapinya dengan gagah
berani. Jago-jago kosen pernah dia hadapi, jarang ada tokoh
besar, pendekar atau penjahat manapun yang bisa
menandingi dirinya, punya pengalaman berkelahi seperti
dirinya. Hanya mendengar sambaran angin tajam, Siau Ma tahu
dua orang yang membokong dirinya adalah jago kosen kelas
wahid di kalangan Kangouw, jurus serangan yang dilakukan
bukan saja cepat lagi telak, juga keji dan telengas.
Walau dia menderita, tersiksa lahir batin, begitu besar rasa
deritanya sehingga kalau bisa dilancarkan ingin menghajar diri
sendiri tiga ratus kali tempelengan. Tapi dia belum ingin mati,
apalagi mati secara konyol.
Siau Ma masih ingin hidup, masih ingin melihat orangorang


Kuda Binal Kasmaran Serial Tujuh Senjata Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang amat dia rindukan, tapi juga orang yang
membuatnya menderita dan tersiksa selama hidup. Cewek ayu
yang dingin, romantis tapi tega. Kenapa laki-laki sering
menderita lantaran cewek yang dipujanya" Kenapa dia
menderita karena cewek yang mestinya tidak pantas dia
rindukan, tidak setimpal jadi bininya hingga dia harus tersiksa
lahir batin"
* * * Angin tajam dua ujung senjata runcing yang menderu di
udara itu mengancam pinggang dan ulu hatinya. Serangan
yang mematikan dengan senjata yang mematikan pula.
Mendadak Siau Ma menggembor, meraung seperti singa
jantan yang mengamuk, di tengah raung kemurkaan itulah
tubuhnya melejit ke udara. Bukan menghindari serangan dari
belakang, senjata tajam yang dingin itu bukan menusuk
pantatnya. Pantat bukan sasaran yang mematikan, hal ini dia
tidak pedulikan. Tapi dia meluputkan diri dari serangan depan
yang mengancam ulu hati, begitu tinjunya bekerja dengan
telak dia menghajar muka orang.
Siau Ma tidak melihat jelas sasaran mana yang kena di
muka lawan, hakikatnya dia tidak sempat menarik kain hitam
yang menutup matanya. Tapi telinganya bekerja secara
normal, suara tulang retak terpukul tinjunya, dia mendengar
jelas sekali. Suara retak tulang karena kena jotosan jelas
kurang menyenangkan kalau tidak mau dikata cukup
menggiriskan, tapi suara itu justru menggembirakan Siau Ma.
Dia paling benci terhadap manusia rendah yang
membokong, orang yang membunuh lawan secara gelap.
Padahal pantat kanannya tertusuk senjata lawan, tulang
pantatnya seperti hampir patah oleh tusukan itu, sakitnya juga
luar biasa, tapi Siau Ma tidak peduli. Begitu membalik tubuh,
tinjunya juga terayun ke belakang dan telak memukul wajah
pembokongnya, pukulannya jelas tidak enteng.
Pembokongnya ini adalah dua jago kosen yang sudah
banyak pengalaman dan berkepandaian tinggi, namun mereka
terpesona dan bergidik menghadapi perlawanan Siau Ma yang
luar biasa ini. Bukan terpukul semaput, tapi terpesona karena
kaget dan kagum.
Belum pernah mereka lihat atau menghadapi adu jiwa
seperti yang dilakukan Siau Ma, mendengar juga belum
pernah, umpama pernah dengar juga pasti tidak percaya. Oleh
karena itu, bila Siau Ma meraung untuk kedua kalinya, kedua
orang ini segera angkat langkah seribu, lebih cepat mereka
melarikan diri dibanding dua ekor kelinci yang kena panah.
Siau Ma mendengar lambaian pakaian mereka di saat
menerobos keluar jendela, tapi dia tidak mengejar. Dia sedang
tertawa besar. Luka tusuk pedang kembali menghias
tubuhnya, walau luka di pantatnya cukup dalam, tapi dia
masih tertawa dengan riang gembira.
Kain hitam yang menutup matanya belum dia tanggalkan,
Siau Ma tidak tahu apakah dalam rumah ada orang lain yang
mengintai dirinya dan siap membokong lagi, dia tidak peduli,
sedikitpun tidak peduli.
Bila dia ingin tertawa, dia akan tertawa bebas. Seorang
kalau ingin tertawa tapi tidak bisa tertawa lalu apa makna
hidupnya ini. Kini Siau Ma berada di sebuah gedung yang mewah
perabotnya, di kala matanya masih tertutup kain hitam,
hakikatnya tidak pernah terpikir dalam benak Siau Ma bahwa
rumah ini sedemikian besar lagi mentereng.
Kini dia sudah menarik kain hitam yang menutup matanya.
Dia tidak melihat bayangan seorang pun. Cewek paling ayu
atau perempuan paling jelek tiada seorang pun yang
kelihatan, sepi lengang, angin menghembus sepoi dari
jendela, membawa bau harum semerbak. Dari jendela besar di
sebelah kanan itulah dua orang pembokong dirinya tadi
melarikan diri. Di luar malam pekat, tak terdengar suara
manusia. Siau Ma berduduk. Karena tidak mengejar kedua orang
pembokong dirinya, dia pun tidak ingin lari atau menyingkir
dari tempat itu, namun dia memilih sebuah kursi besar yang
paling empuk dan enak lalu duduk dengan santai.
Siapakah majikan orang-orang baju hitam itu" Kenapa
mengundang dirinya kemari dengan cara yang luar biasa"
Kenapa ada pembokong dirinya" Setelah gagal usaha
pertama, apakah akan dilanjutkan usaha kedua"
Dengan cara keji apa pula mereka akan membokong
dirinya" Semua hal ini tidak pernah Siau Ma risaukan. Karena
itu ada sementara orang bilang, Siau Ma lebih suka
menggerakkan tinju daripada menggunakan otaknya.
Peduli apa aksi selanjutnya dari majikan yang terselubung
dalam persoalan ini, cepat atau lambat pasti akan keluar, akan
mengunjukkan diri. Kalau tinggal menunggu saatnya saja,
kenapa Siau Ma harus merisaukan hal ini, lebih baik duduk di
kursi empuk melepas lelah dengan santai, bukankah cara ini
lebih melegakan.
Satu hal yang harus disesalkan adalah, walau kursi itu
empuk dan nyaman, tapi pantatnya amat nyeri dan sakit.
Tusukan pedang pembokong tadi sebetulnya memang tidak
enteng. Di saat dia celingukan mencari arak di rumah besar itu, di
luar berkumandang percakapan orang.
* * * Ada dua pintu di rumah besar ini, di depan dan di
belakang, suara percakapan berkumandang di balik pintu
belakang itu. Suara percakapan perempuan, dari suaranya yang merdu
dapat dipastikan yang bicara adalah cewek-cewek jelita.
"Dalam almari kecil di pojok rumah itu ada arak, berbagai
macam jenis arak ada disimpan di sana, tapi kuanjurkan
jangan kau minum," sebuah suara berkumandang di luar sana.
"Kenapa?" Siau Ma bertanya.
"Karena setiap botol arak yang tersedia dicampur racun,
setiap arak bercampur jenis racun yang berbeda pula."
Tanpa bicara Siau Ma berdiri lalu menghampiri almari di
pojok sana serta membukanya. Dia ambil satu botol,
membuka tutup lalu menenggaknya penuh nikmat, lekas sekali
satu botol arak berpindah ke dalam perutnya, bukan saja tidak
kuatir, apakah dalam arak betul mengandung racun,
bagaimana rasa arak itupun tidak dia rasakan sama sekali.
Seorang menghela napas di belakang pintu.
"Arak sebagus itu, diminum dengan cara demikian,
sungguh mirip kura-kura melalap padi, rangsum berguna disiasiakan."
"Bukan kura-kura makan padi, lebih tepat kalau dikata
bulus makan nasi!" Siau Ma mengoreksi istilah yang diucapkan
orang. Cewek di luar cekikikan, tawanya semerdu kelintingan,
"Ternyata kau bukan kura-kura, kau lebih tepat seekor bulus!"
Siau Ma juga tertawa, bahwasanya dia sendiri tidak bisa
membedakan, dimana perbedaan kura-kura dan bulus. Entah
kenapa tiba-tiba dia merasa tertarik pada cewek di luar itu.
Setelah bertemu dengan cewek yang menarik, kalau tidak
minum arak, tak ubahnya seperti seorang yang bermain catur
sendiri. Maka dia mengeluarkan lagi sebotol arak, tapi kali ini
dia minum jauh lebih lambat.
Cewek di belakang pintu itu berkata lagi, "Di atas pintu ada
lubang, aku sedang mandi di sini, kalau kau sudah mabuk,
jangan kau mengintip ya."
Siau Ma segera meletakkan botol arak di atas meja, lekas
sekali dia sudah menemukan lubang di atas pintu. Laki-laki
mana yang tidak menjadi gatal bila mendengar cewek sedang
mandi, padahal ada lubang yang bisa digunakan untuk
mengintip. Umpama tidak berhasil menemukan lubang juga
akan berusaha membuat lubang, umpama harus menumbuk
dinding dengan kepala sampai jebol juga akan dilakukan
dengan senang hati.
Waktu Siau Ma mengintip dengan sebelah matanya, hanya
sekali pandang, jantungnya hampir saja melonjak keluar.
Detak jantungnya mirip kereta api yang memburu waktu.
Di ruang belakang itu bukan hanya seorang cewek lagi
mandi, tapi ada delapan gadis jelita sedang mandi. Delapan
cewek ayu dan muda dengan tubuh montok kenyal sedang
berendam di dalam sebuah bak mandi yang besar dengan air
yang mengebul hangat, air nan jernih, ke sudut manapun
menyembunyikan diri juga takkan bisa menutupi tubuh yang
kelihatan mulus putih lagi menggiurkan.
Hanya satu gadis terkecuali.
Gadis ini tidak lebih ayu dibanding tujuh cewek yang lain,
tapi Siau Ma justru tertarik pada gadis yang satu ini, meski dia
tidak bisa melihat apa-apa, jangan kata paha, lengan pun
tidak kelihatan.
Gadis ini mandi sambil mengenakan jubah panjang warna
hitam, yang kelihatan hanya lehernya yang panjang, putih dan
mulus. Kini mata Siau Ma sedang mengawasi lehernya yang
mulus itu. Karena tidak kelihatan, rasanya jadi lebih misterius, makin
misterius makin merangsang, makin merangsang lebih ingin
melihatnya, laki-laki mana di dunia ini yang tidak punya
perasaan demikian terhadap perempuan.
Gadis yang mandi pakai jubah terdengar menghela napas,
katanya, "Kalau kau ingin mengintip, aku memang tak bisa
melarang, tapi jangan kau menerobos kemari, pintu itu tidak
dikunci juga tidak dipalang, asal kau dorong pasti terbuka."
Siau Ma tidak perlu mendorongnya, sekuat tenaga dia
menerjang masuk. Pintu menjeplak terbuka dengan mudah.
"Byuur", Siau Ma langsung terjun ke dalam bak mandi. Mandi
bersama delapan cewek ayu dalam satu bak yang sama, yakin
bukan setiap laki-laki bisa melakukan.
Cewek-cewek itu tidak menjerit kaget atau menyingkir
malu, mereka juga tidak bersikap takut atau marah. Kejadian
seperti ini seolah-olah sudah sering kali mereka alami.
Namun ada juga yang memprotes, "Kau laki-laki kotor dan
bau begini, kenapa ikut mandi di sini?"
"Justru karena aku bau dan kotor, maka aku harus mandi,"
Siau Ma memang pandai bicara, "kalau kalian bisa mandi di
sini, selayaknya aku pun boleh mandi di sini."
"Kalau mau mandi kenapa tidak kau copot pakaianmu?"
"Kalau dia boleh mandi berpakaian, kenapa aku tidak
boleh?" Gadis mandi berpakaian geleng kepala, katanya setelah
menghela napas, "Melihat keadaanmu memang pantas kau
mandi, tapi seharusnya kau mencopot dulu sepatumu."
Siau Ma berkata, "Kenapa harus sepatu, sepatu dicuci
sekalian, bukankah lebih leluasa?"
Gadis yang mandi pakai baju mengawasinya, katanya
dengan menyengir getir, "Tugas yang orang lain minta kau
kerjakan, kau justru menolaknya. Kalau kau tidak disuruh
melakukan kau justru berbuat tidak keruan, apakah kau orang
normal?" "Siapa bilang aku tidak normal?" sahut Siau Ma tertawa
lebar. Gadis yang mandi pakai baju mengedipkan mata, katanya,
"Peduli kau ini normal atau tidak, air yang sudah kita pakai
untuk mandi, jangan kau meminumnya."
"Baiklah, aku pasti takkan mencicipinya."
"Kotoran anjing kau pun tak boleh memakannya."
"Baik, aku pasti tidak makan."
Gadis itu tertawa cekikikan, katanya, "Agaknya kau tidak
bodoh, semula kukira kau ini seekor keledai dungu."
"Siapa bilang aku keledai dungu, aku adalah serigala yang
lagi birahi, seratus persen laki-laki yang ketagihan sex." Lalu
dia berlagak sebagai laki-laki hidung belang, bila berhadapan
dengan cewek merangsang. Gadis yang mandi pakai baju
seketika mengunjuk sikap takut, lalu bersembunyi di belakang
seorang gadis yang semula berada di sampingnya, tanyanya,
"Bagaimana cewek ini menurut pandanganmu?"
"Bagus sekali," sahut Siau Ma.
Gadis ini memang ayu lagi montok, serba bagus,
senyumannya pun manis merangsang, tubuh semampai dan
padat dengan paha yang jenjang mulus.
Gadis yang mandi dengan berpakaian menghela napas
lega, katanya, "Dia bernama Hiang-hiang, kalau kau mau,
boleh kusuruh dia menemani kau."
"Aku tidak mau," sahut Siau Ma.
Gadis yang pakai baju berkata pula, "Tahun ini dia berusia
enam belas, badannya benar-benar harum sesuai namanya."
"Aku tahu," sahut Siau Ma.
"Kau masih tidak mau?"
"Tidak mau."
Gadis yang mandi pakai baju tertawa cekikikan, katanya,
"Ternyata kau bukan laki-laki hidung belang."
"Siapa bilang" Aku laki-laki mata keranjang tulen."
Gadis yang mandi berpakaian mulai tegang, serunya, "Apa
kau ingin memilih yang lain?"
"Ya. Aku ingin yang lain."
"Siapa yang kau pilih" Boleh kau pilih satu di antara
cewek-cewek yang ada di sini."
"Satu pun aku tidak mau."
"Satu tidak mau, pilih dua atau tiga juga boleh."
"Mereka tiada yang menarik seleraku."
"Lho, memangnya siapa yang kau pilih?"
"Aku memilih kau," sahut Siau Ma, habis bicara mendadak
dia melompat maju.
Gadis yang mandi pakai baju melompat mundur sambil
mendorong Hiang-hiang ke dalam pelukan Siau Ma, selincah
tupai dia melompat keluar dari bak mandi.
Seorang gadis telanjang bulat dengan tubuh padat montok
lagi merangsang berada dalam pelukan, jarang ada laki-laki
yang tidak tergoda hatinya. Tapi Siau Ma tidak ambil
perhatian, sedikitpun tidak tergoda hatinya. Dia dorong Hianghiang
ke pinggir lalu melompat naik keluar bak mandi.
Gadis yang mandi pakai baju berlari mengitari bak mandi,
serunya dengan napas tersengal, "Mereka adalah nona-nona
cilik, aku sudah nenek-nenek, kenapa kau justru mengejar
aku?" Siau Ma berkata, "Aku justru tertarik pada nenek seperti
dirimu." Sudah tentu gadis ayu yang mandi mengenakan pakaian
ini bukan nenek-nenek. Usia memang lebih tua sedikit
dibanding gadis yang lain, tapi dia memang kelihatan lebih


Kuda Binal Kasmaran Serial Tujuh Senjata Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

matang, lebih padat dan menggiurkan. Letak daya tariknya
mungkin karena dia mengenakan pakaian.
Dia lari di depan, Siau Ma mengejar di belakang, gadis itu
lari dengan cepat, Siau Ma mengejar tanpa gugup. Karena dia
tahu gadis ini takkan lolos dari tangannya.
Kenyataan gadis itu memang tidak mampu melarikan diri.
Di belakang masih ada sebuah pintu, baru saja dia menerobos
ke balik pintu, Siau Ma sudah berhasil menjangkaunya.
Kebetulan di balik pintu ada sebuah ranjang, ranjang yang
besar dan lebar, begitu dia roboh, Siau Ma kebetulan menindih
di atas badannya, mereka bertumpang tindih di atas ranjang.
Gadis itu megap-megap, napasnya seperti hampir putus,
dengan kencang dia pegang tangan Siau Ma, katanya,
"Tunggu dulu, tunggu sebentar."
Siau Ma sengaja menyeringai sambil menunjukkan taring
giginya, katanya, "Masih tunggu apa lagi?" Tangannya yang
nakal terus bergerak, sekuat tenaga gadis itu mendorong
tubuhnya. "Umpama betul kau sudah kepingin, sedikitnya kita bicara
dulu secara santai, ngobrol dengan romantis."
"Dalam keadaan seperti ini, aku tidak mau ngobrol."
"Apa kau tidak ingin tahu kenapa aku mencari dan
mengundangmu kemari?"
"Sekarang tidak perlu tahu."
Walau sekuat tenaga dia mendorong, tapi dekapan lengan
Siau Ma betul-betul sekeras tanggem, gadis itu tak kuat
melawan. Mendadak tangannya seperti luluh, tubuhnya
lunglai, dia tidak mendorong lagi.
Waktu mandi dia kelihatan seperti tamu yang hendak
keluar pintu, pergi ke tempat yang jauh, mengenakan pakaian
yang rapi dan molek, sekarang dia pun seperti sedang mandi.
Dengan ujung hidungnya, Siau Ma menahan ujung hidung
sang gadis, matanya menatap tajam, desisnya kalem, "Kau
menyerah tidak?"
Gadis itu masih megap-megap, sekuatnya dia menggigit
bibir, sahutnya, "Tidak mau menyerah."
"Kalau menyerah akan kuampuni kau."
Tapi gadis itu menggeleng kepala, serunya, "Aku tidak mau
menyerah, kau bisa berbuat apa terhadapku?"
Dalam keadaan seperti itu, apa yang bisa dilakukan
seorang laki-laki terhadap perempuan" Silakan menerkanya"
* * * Bab 2 Banyak persoalan tidak bisa diterka, tak bisa dipikirkan,
kalau dibayangkan, bukan saja jantung bisa berdebar-debar,
muka merah, tubuh menjadi panas dan terangsang.
Akan tetapi, banyak pula persoalan yang tidak perlu
diterka, juga tak usah dipikir, karena siapa saja sudah maklum
dan bisa menduga dengan betul.
Siau Ma adalah jejaka, laki-laki tulen, pemuda sejati yang
gagah perkasa. Gadis itu adalah cewek yang lagi mekar dan
menanjak dewasa, perempuan bak mawar yang lagi
berkembang. Siau Ma tidak bodoh, dia bukan banci, bukan pendeta,
bukan Nabi. Umpama betul dia seorang dungu, pasti merasakan bahwa
cewek ini sengaja merayu dan membangkitkan nafsu
birahinya, oleh karena itu ....
* * * Oleh karena itu, Siau Ma tak mampu bergerak lagi, sekujur
badannya lemas lunglai, sedikit tenaga pun tak mampu
dikerahkan. Demikian pula napas si dia cukup lama terhenti, sekarang
baru mulai bernapas dengan tersengal-sengal, katanya,
"Ternyata kau memang bukan manusia baik."
"Memang aku bukan orang baik, terutama bila berhadapan
dengan cewek sejenismu."
"Kau tahu aku ini siapa?"
"Entah, aku tidak perlu tahu."
"Sedikitpun kau tidak tahu."
"Aku hanya tahu, kau bukan orang baik, malah lebih bejat
dari aku, seratus persen lebih rusak."
Gadis itu cekikikan, katanya, "Tapi aku sudah tahu siapa
kau." "Tahu menyeluruh?"
"Kau bernama Siau Ma, orang menyebut kau si Kuda Binal,
kuda yang suka mengamuk, karena watakmu jelek, suka
emosi." "Betul."
"Kau punya sahabat karib bernama Ting Si. Ting Si si
cerdik pandai."
"Tidak salah."
"Kalian seperti saudara kandung, tidak pernah berpisah,
dimana ada dia, di situ ada kau. Tapi sekarang dia sudah
punya bini, dia sudah kawin, suami isteri hidup tenteram
bahagia, sudah tentu tak enak kau campur dengan mereka,
apalagi hidup dalam satu rumah."
Siau Ma tidak menjawab, tidak memberi reaksi, namun
sorot matanya tampak menderita.
Gadis itu berkata lebih lanjut, "Kau sudah punya teman
perempuan, cewek idaman hatimu, kau yakin dia akan kawin
denganmu, dia sudah siap menjadi binimu, sayang sekali kau
selalu membawa adat jelek dan kasar, dia gusar dan jengkel,
saking tak tahan dia minggat. Sudah tiga bulan kau
mencarinya tanpa hasil, bukan saja tidak menemukan
jejaknya, bayangannya pun tidak kau lihat."
Siau Ma bungkam. Terpaksa dia tutup mulut, karena dia
takut. Dia takut dirinya menangis tergerung-gerung, berteriakteriak.
Dia takut dirinya berjingkrak bangun menumbukkan
kepala ke dinding.
"Aku she Lan," di luar dugaan gadis ini memperkenalkan
diri, "Namaku Lan Lan."
Siau Ma berkata, "Aku tidak tanya siapa she dan namamu."
Karena hati sedang risau, tentu ucapannya juga kasar dan
tidak enak didengar.
Sedikitpun Lan Lan tidak marah, katanya pula, "Ayah
bundaku sudah meninggal, namun aku mendapat warisan
harta benda yang tak ternilai besarnya."
Siau Ma berkata, "Aku tidak ingin tahu dan tidak tanya
riwayat hidup dan silsilah keluargamu, aku tidak ingin kawin
dengan bini yang banyak uang dan harta."
"Tapi aku kebacut menceritakan dan kau sudah
mendengar."
"Aku tidak tuli."
"Kau sudah tahu siapa aku dan orang macam apa diriku,
aku pun sudah tahu orang macam apa dirimu."
"Hm," Siau Ma bersuara dalam mulut.
"Sekarang silakan kau pergi."
Siau Ma berdiri, mengenakan pakaiannya lalu beranjak
keluar. Lan Lan tidak menahan atau memanggilnya, sikapnya
menunjukkan bahwa dia tidak merasa kehilangan atau
dirugikan meski ditinggal pergi.
Di ambang pintu Siau Ma berhenti lalu menoleh, tanyanya,
"Kau pemilik gedung ini?"
"Ehm," Lan Lan manggut.
"Kau menyuruh mereka memanggilku kemari?"
Lan Lan mengiakan.
"Kuhajar lima orangmu, dua botol arakmu kuhabiskan,
main cinta denganmu ...."
Lan Lan mengangkat tangan, tukasnya, "Aku tahu apa
yang kau lakukan, tak usah kau ceritakan."
"Kau berupaya dengan cara sembunyi-sembunyi
memancing aku kemari, maksudmu supaya aku menghajar
orangmu, minum arak dan main dengan kau?"
"Sudah tentu bukan."
"Lalu apa tujuanmu mengundangku kemari?"
"Semula memang ada keperluan."
"Dan sekarang?"
"Aku tidak ingin kau melakukannya."
"Kenapa?"
"Karena aku mulai tertarik kepadamu, tak tega aku
menyuruh kau mengantar jiwa."
"Mengantar jiwa" Mati maksudmu" Mati dimana?"
"Di Long-san (gunung serigala)."
* * * Namanya saja Long-san, sudah tentu banyak serigala di
sana. Berbagai jenis serigala, besar kecil, jantan maupun betina,
yang hitam atau kelabu, berbagai jenis serigala yang ada di
dunia semua ada di Long-san, serigala-serigala mengembara
dan mencari makan ke seluruh pelosok dunia, bila ajal sudah
menjelang, mereka akan pulang ke Long-san menunggu
kematian. Sudah tentu semua itu hanya dongeng. Memang tidak
sedikit legenda di dunia ini yang mendekati dongeng, ada
dongeng yang bagus, mengasyikan, misterius, ada juga
dongeng yang menakutkan. Tapi tiada orang tahu apakah
dongeng itu betul atau hanya isapan jempol belaka, susah
orang menentukan bobot kebenarannya.
Orang hanya tahu satu hal.
Sekarang seekor serigala pun tak ada lagi di Long-san.
Serigala di Long-san sudah punah. Dibunuh orang-orang yang
bertempat tinggal di atas Long-san. Maka dapat kita
simpulkan, bahwa manusia di atas Long-san tentu lebih
menakutkan dibanding serigala. Kenyataan memang demikian,
setiap manusia yang tinggal di Long-san memang jauh lebih
menakutkan dibanding segala binatang buas, liar maupun
beracun. Maklum mereka bukan membunuh serigala saja, manusia
juga mereka bantai. Manusia yang pernah mereka bunuh jauh
lebih banyak dibanding serigala yang pernah ada di atas
gunung itu. Orang-orang Kangouw memberi julukan yang
menggiriskan "Long-jin", manusia serigala. Mereka senang
menerima julukan ini. Mereka senang bila manusia takut
terhadap mereka.
* * * Setelah mendengar "Long-san", Siau Ma tak jadi pergi,
malah beranjak balik ke dekat ranjang, dengan tajam
mengawasi Lan Lan.
"Kau tahu tempat apa Long-san itu?"
"Aku tidak tahu, kenapa aku harus mengantar kematian ke
Long-san."
"Karena kau harus melindungi kami ke sana."
"Kalian?"
"Kami yang kumaksud adalah aku dan adikku."
"Kalian ingin ke Long-san?"
"Ya, harus ke sana."
"Kapan kalian akan berangkat?"
"Begitu terang tanah lantas berangkat."
Siau Ma duduk di pinggir ranjang, lama dia menatapnya,
lalu berkata, "Kabarnya orang yang banyak duit sering kali
punya pikiran yang tidak normal."
"Duitku memang banyak, tapi aku seorang normal, gadis
segar bugar."
"Kalau kau orang normal, kenapa ingin pergi ke tempat
celaka itu?"
"Karena Long-san adalah jalan pendek."
"Jalan pendek?"
"Kalau pergi ke Se-ek, lewat Long-san sedikitnya
menghemat tujuh hari perjalanan."
"Jadi kalian ingin lekas sampai di Se-ek?"
"Adikku sakit, sakitnya cukup parah, kalau dalam tiga hari
tak bisa tiba di Se-ek, jiwanya takkan mungkin ditolong lagi."
"Tapi kalau lewat Long-san, mungkin seumur hidup dia tak
bisa tiba di Se-ek."
"Aku tahu."
"Kau ingin bertaruh dengan nasib?"
"Tiada jalan lain yang bisa kulakukan."
"Ada orang Se-ek yang bisa menyembuhkan penyakit
adikmu?" "Ya, ada seorang."
Siau Ma berdiri, lalu duduk lagi, agaknya dia kehabisan
akal. Lan Lan berkata, "Sebetulnya aku bisa mengundang Piausu
terkenal, tapi urusan amat mendesak, aku hanya berhasil
mengundang seorang."
"Siapa?"
Lan Lan menghela napas, katanya, "Sayang sekali orang
itu sudah tidak terhitung manusia lengkap."
"Kenapa?"
"Karena kau sudah menghajarnya, ingin berdiri juga tidak
mampu." "Lui-lohou?"
Lan Lan tertawa getir, katanya, "Semula kami beranggapan
Ngo-hou-toan-bun-to yang diyakinkan cukup ampuh. Siapa
tahu berhadapan dengan engkau, macan garang itu menjadi
kucing penyakitan."
"Lalu kau mengundangku."
"Aku tahu watakmu kasar, otakmu seperti kerbau, kalau
kuundang secara pantas, kau pasti tak mau datang. Apalagi
keadaanmu terakhir ini cukup menguatirkan."
Siau Ma berdiri, matanya melotot, katanya dingin,
"Kuharap kau ingat satu hal."
Lan Lan diam, dia mendengarkan.
"Bagaimana keadaanku, menguatirkan atau tidak adalah
urusanku, tiada sangkut pautnya dengan kau."
"Baik, selalu kuingat."
"Bagus sekali."
"Apa maksudnya bagus sekali?"
"Maksudnya bahwa sekarang kau sudah menemukan
seorang yang akan melindungi dirimu."
Lan Lan berjingkrak bangun, menatapnya dengan
pandangan terbelalak girang, serunya, "Kau menerima
permintaanku?"
"Kenapa aku tidak boleh menerima?"
"Kau tidak takut berhadapan dengan manusia serigala?"
"Sedikit takut."
"Tapi kau tidak takut mati?"


Kuda Binal Kasmaran Serial Tujuh Senjata Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Siapa tidak takut mati" Hanya orang pikun yang tidak
takut mati."
"Lalu kenapa kau berani ke sana?"
"Aku punya ciri khas."
"Ya, ciri khasmu ada tiga ribu tujuh ratus delapan puluh
tiga." "Tidak, tepatnya tiga ribu tujuh ratus delapan puluh
empat." "Jadi sekarang tambah satu?"
"Ya, tambah satu yang paling fatal."
"Tambah satu apa?"
Mendadak Siau Ma memeluk serta membopongnya,
katanya, "Satu yang begini."
* * * Halimun masih menyelimuti mayapada.
Sinar surya sudah menyorot masuk lewat jendela, kulit
badannya putih halus, semulus sutra.
Lan Lan mengawasinya. Siau Ma diam dan bungkam,
hanya laki-laki sejenis dia, di kala hatinya risau, menderita,
maka dia akan diam dan bungkam seribu basa.
Maka Lan Lan bertanya, "Apakah kau teringat kepadanya"
Teringat cewek yang minggat karena kau buat gusar itu?"
Siau Ma diam. "Kau mau membantu aku, apakah lantaran aku dapat
menghibur kau sehingga sementara kau dapat melupakan
dia?" Tiba-tiba Siau Ma balik menindih tubuhnya, jari-jarinya
mencekik leher Lan Lan. Hampir saja Lan Lan tak bisa
bernapas, tapi ia meronta sekuatnya, serunya, "Seumpama
aku salah omong, tak perlu kau marah kepadaku?"
Siau Ma menatapnya, derita yang terpancar di rona
matanya tambah mendalam, namun jari-jarinya mengendor,
katanya keras, "Kalau kau salah omong, paling kuanggap kau
sedang kentut, kenapa aku harus marah?" Dia marah, karena
dia telah mengorek isi hatinya. Derita yang terukir di relung
hatinya memang sukar dilupakan. Seumpama dapat
melupakan meski hanya sekejap juga mendingan.
Dia suka tertawa latah, senang menangis, sering mabuk,
tujuannya hanya ingin sekedar mencari pelarian di kala dirinya
lupa daratan. Siau Ma tahu kenyataan ini susah dihindari, dia
maklum bila dirinya sadar hanya akan menambah derita
batinnya. Sayang dia tidak punya pilihan.
Waktu Lan Lan balas menatapnya lagi, kerlingan matanya
sudah lebih lembut, welas asih, mengandung daya cinta kasih
seorang ibunda yang simpati terhadap asuhannya. Kini dia
sudah mulai mengenalnya, menyelami jiwanya.
Dia gagah perkasa, pongah dan kukuh, sekujur badannya
seperti mempunyai kekuatan untuk berontak, tapi dia tidak
lebih hanya seorang anak yang perlu dikasihani. Tak tertahan
Lan Lan memeluknya, menciumnya. Tapi dia sadar hari sudah
terang tanah, sinar mentari sudah menyorot ke dalam kamar.
"Kita harus berangkat pagi-pagi," ucap Lan Lan sambil
duduk. "Di sini ada dua tiga puluh centeng, pernah
meyakinkan Kungfu, kau boleh pilih beberapa di antaranya."
"Sekarang juga aku sudah pilih satu."
"Siapa?"
"Hiang-hiang."
"Kenapa harus membawa dia?"
"Karena dia harum, benar-benar harum."
"Memangnya kenapa kalau harum?"
"Aku senang orang yang harum baunya, kan lebih baik dari
yang berbau apek."
* * * Cahaya mentari cerlang-cemerlang.
27 laki-laki berdiri berjajar di bawah sinar matahari, ada
yang telanjang dada, kepala plontos, dengan kulit muka coklat
mengkilap berminyak.
"Aku she Cui bernama Thong," laki-laki pertama
memperkenalkan diri. "Yang kuyakinkan adalah Toa-ang-kun."
Toa-ang-kun adalah kungfu yang amat populer di kalangan
Kangouw, ilmu silat yang umum diyakinkan oleh orang-orang
yang suka cari duit, tapi Cui Thong dapat bermain dengan
bagus, gerak tangan dan kakinya menderu penuh tenaga.
"Bagaimana?" tanya Lan Lan.
"Bagus sekali."
"Maksudmu ...."
Siau Ma manukas, "Bagus sekali yang kumaksud adalah dia
boleh beristirahat di rumah."
Orang kedua bernama Ong Ping, murid preman Siau-lim-si,
ternyata mahir memainkan Hu-hou-lo-han-kun.
"Bagus sekali," kembali Siau Ma memberi komentar
dengan nada datar. Sebelum Lan Lan bertanya, dia sudah
menjelaskan, "Maksudku adalah supaya dia memukulku
sekali." Ong Ping bukan laki-laki yang suka bermuka-muka, lakilaki
kasar yang berangasan. Sejak pertama kedatangan Siau
Ma, dia sudah merasa sebal dan dengki. Umpama Siau Ma
suruh dia memukul sepuluh kali juga pasti dilaksanakan tanpa
sungkan. Disuruh memukul, tinjunya lantas menghantam, jurus
tinjunya menggunakan gerakan berat dari Siau-lik-lo-han-kun,
"Blang" dengan telak dada Siau Ma dipukulnya. Begitu tinju
mengenai dada, seorang seketika melolong kesakitan. Yang
menjerit bukan Siau Ma, tapi Ong Ping sendiri malah.
Orang yang dipukul tidak mengeluh, si pemukul malah
menjerit kesakitan, maklum tinjunya seperti menggenjot batu
cadas. Siapa saja, betapapun keras tinjunya kalau memukul
batu, tentu tinju sendiri akan merasa sakit, yakin dapat
dihitung jumlah orang yang memiliki tinju lebih keras dari batu
di dunia ini. "Bagaimana?" tanya Siau Ma mengawasi Lan Lan.
Lan Lan menyingkir getir, katanya, "Kurasa dia juga harus
menemani Cui Thong istirahat di rumah."
Siau Ma berkata, "27 orang-orangmu ini kurasa biar
istirahat saja di rumah."
"Lho, seorang pun tidak kau bawa?"
"Aku tidak ingin mengantar kematian."
"Lalu kau ingin mengajak siapa?"
"Akan kubawa dua orang yang hari ini tidak muncul."
"Siapa yang tidak muncul hari ini?"
"Hari ini memang tidak muncul, tapi semalam mereka
menyergap aku, seorang malah menusuk pantatku."
"Kau pun telah menghajar mereka setiap orang satu
pukulan, memangnya kau masih penasaran" Kau masih ingin
mengumbar marah kepada mereka?"
"Sebetulnya aku benci terhadap orang yng membokong
secara gelap. Tapi untuk menghadapi manusia serigala,
manusia jenis mereka justru paling berguna."
Lan Lan menghela napas, katanya, "Kenapa yang kau pilih
semuanya anak perempuan?"
Siau Ma melengak, tanyanya, "Jadi mereka perempuan?"
Lan Lan tertawa, ujarnya, "Bukan saja perempuan, mereka
juga harum sekali."
Siau Ma tertawa lebar, katanya, "Bagus sekali, baiklah,
maksudku kali ini ialah baik sekali."
"Hanya satu hal yang tidak baik."
"Hal apa tidak baik?"
"Wajah mereka bengkak oleh pukulanmu, walau orangnya
masih harum, tapi wajah mereka mirip congor babi."
Sebetulnya kedua gadis itu tidak mirip congor (moncong)
babi. Seorang gadis berusia tujuh belas berwajah cantik,
meski mukanya dipukul bengkak, bagaimana juga tampangnya
takkan mirip congor babi.
Sungguh di luar dugaan bahwa pembokong yang
menyerang secara keji dengan ilmu pedang gabungan yang
telengas, pelakunya adalah nona-nona cilik berusia tujuh
belasan. Mereka adalah kakak beradik. Sang taci bernama Cen
Cen, adiknya bernama Cen Cu, bola mata kedua nona jelita ini
memang mirip mutiara.
Setelah melihat wajah mereka, Siau Ma amat menyesal,
menyesal bahwa tinju yang bersarang di wajah kedua nona ini
dilontarkan terlalu keras.
Waktu Cen Cen berdua berhadapan dengan Siau Ma sorot
matanya menampilkan rasa gusar dan penasaran. Tapi
berbeda dengan sikap sang adik, walau wajahnya bengkak,
dia masih selalu tertawa, senyumannya masih manis
menggiurkan. Setelah kedua orang ini mengundurkan diri, Siau Ma
bertanya, "Bagaimana kau mengundang kakak beradik ini?"
"Kau saja dapat kucari dan kuundang kemari, apalagi
mereka," sahut Lan Lan tertawa.
"Mereka murid aliran mana?" tanya Siau Ma.
"Apa mereka juga tanya kau murid dari aliran mana?"
"Tidak."
"Kalau tidak, kenapa kau ingin tahu mereka darimana"
Siau Ma mengawasinya sejenak, mendadak terasa olehnya
gadis ini makin misterius, jauh lebih misterius dari gadis-gadis
mana pun yang pernah dia lihat.
Lan Lan bertanya pula, "Kecuali mereka kakak beradik dan
Hiang-hiang, siapa lagi yang ingin kau ajak?"
"Pertama, aku ingin mengajak seorang yang punya telinga
tajam." "Kemana kau akan mencarinya?"
"Aku tahu di kota ada satu, orang ini dapat mendengar
seorang berbisik dalam jarak tiga puluh tombak."
"Siapa dia?"
"Orang ini bernama Thio-gongcu, Thio-gongcu si tukang
tambal sepatu di kota itu."
Lan Lan mengira telinganya kurang jelas mendengar,
tanyanya, "Kau bilang siapa namanya?"
"Namanya Thio-gongcu (Thio si tuli)."
"Kuharap dia tidak benar-benar tuli."
"Justru tuli seratus persen."
Lan Lan berjingkrak, serunya, "Kau bilang orang yang
punya telinga paling tajam pendengarannya justru seorang
tuli?" "Tapi aku berani bertaruh, setiap patah katamu dapat dia
dengar dengan betul."
Lan Lan menghela napas, katanya, "Kelihatannya kau ini
abnormal, kalau tidak tentu gila."
Siau Ma tertawa, tawa penuh arti, katanya, "Kalau kau
tidak percaya, kenapa tidak kau panggil kemari, silakan coba
sendiri." * * * Thio-gongcu juga bernama Thio-bi-kang. Kerja Thio-bikang
adalah menambal atau mereparasi sepatu, kalau ada
orang mengundangnya untuk memperbaiki sepatu, Thio-bikang
pasti segera datang.
Demikian pula hari ini. Thio-bi-kang datang lebih cepat dari
yang diduga semula.
Waktu dia melangkah masuk, di belakang pintu
bersembunyi enam orang yang siap dengan gembreng besar,
begitu kaki Thio-bikang melangkah masuk, enam gembreng
ditabuh serentak dengan suaranya yang gaduh dan ramai.
Dapat bayangkan, betapa pekak telinga seorang kalau
mendadak enam gembreng sekaligus ditabuh di depannya,
seorang tuli juga akan semaput dibuatnya.
Akan tetapi Thio-gongcu tetap tenang tanpa reaksi,
mengedip mata pun tidak. Dia memang benar-benar seorang
tuli. Tuli seratus persen.
Pendopo itu luas lagi panjang. Lan Lan duduk di pojok
yang paling jauh, jaraknya dari pintu sedikitnya ada dua puluh
tombak. Begitu masuk pintu Thio-gongcu lantas berdiri tegak.
Lan Lan mengawasinya, tanyanya dengan suara merdu,
"Kau bisa memperbaiki sepatu?"
Thio-gongcu manggut-manggut.
"Kau she apa?" tanya Lan Lan, "darimana" Siapa
keluargamu?"
Thio-gongcu lantas menjawab, "Aku she Thio, asal Holam,
istri sudah mati, putri sudah menikah, di rumah tinggal
seorang diri."
Lan Lan terbeliak di tempat duduknya. Suaranya lirih, jarak
mereka ada 20 tombak, tapi setiap patah pertanyaan
terdengar oleh Thio si tuli dan dijawab dengan betul.
Bab 3 "Bagaimana?" tanya Siau Ma dari belakang pintu.
Lan Lan menghela napas, ujarnya, "Bagus, bagus sekali."
Sambil bergelak tertawa Siau Ma melangkah keluar,
serunya, "Gong-heng kau baik-baik saja?"
Begitu Siau Ma keluar, wajah Thio-gongcu berubah jelek,
seperti melihat setan di siang hari bolong, tanpa bicara segera
dia putar tubuh hendak pergi.
Sudah tentu dia tidak bisa lari. Enam orang laki-laki yang
memegang pentung sudah mencegat di depan pintu.
Terpaksa Thio-gongcu membalik badan, sambil mengawasi
Siau Ma dia menghela napas, katanya dengan menyengir
getir, "Aku tidak baik, tidak baik sekali."
"Lho, kenapa tidak baik?" tanya Siau Ma.
"Siapa saja yang bertemu setan sialan macam dirimu,
mana mungkin bisa baik-baik saja?"
Siau Ma bergelak tertawa sambil menghampiri, dengan
kencang dia peluk pundak orang, kelihatannya mereka seperti
sahabat lama, bahkan sahabat kental.
Seorang gelandangan seperti Siau Ma bersahabat dengan
tukang sepatu" Maka asal-usul tukang sepatu ini patut
dicurigai. Tapi Lan Lan tidak mencari tahu asal-usulnya, satu hal
yang paling ingin segera dia lakukan adalah segera berangkat,
lewat Long-san dan tiba di tempat tujuan dengan selamat.
Lan Lan hanya bertanya, "Kenapa tidak kau tanya
padanya, apakah dia mau berangkat bersama kami?"
"Dia pasti mau," jawab Siau Ma tegas.
"Bagaimana kau tahu?"
"Kalau dia sudah bertemu dengan aku, kemana dia bisa
menyingkir?"
Air muka Thio-gongcu makin jelek, segera dia memancing
pertanyaan, "Kalian tidak mengajakku pergi ke Long-san
bukan?" "Siapa bilang bukan" Aku justru akan mengajakmu ke
Long-san."


Kuda Binal Kasmaran Serial Tujuh Senjata Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Berubah pucat muka Thio-gongcu, mendadak dia
memejamkan mata, lalu duduk mendeprok di lantai.
Maksudnya hendak mogok jalan, bukan saja tidak mau ikut,
dia pun tidak mau dengar bujukan siapa pun, peduli apa yang
diucapkan, dia tidak akan mau menurut lagi.
Lan Lan mengawasi Siau Ma, Siau Ma tertawa, dia tarik
tangan Thio-gongcu lalu mencoret-coret di telapak tangannya,
seperti tabib yang menulis resep obat layaknya. Resep obat itu
ternyata ces-pleng, amat manjur. Mendadak Thio-gongcu
melompat berdiri, katanya sambil melotot kepada Siau Ma,
"Apa aku harus menempuh perjalanan ini?"
Siau Ma manggut-manggut.
Berubah hijau muka Thio-gongcu, lalu menjadi pucat pula,
akhirnya dia menghela napas, katanya, "Baiklah, aku ikut, tapi
aku punya syarat."
"Katakan."
"Panggillah Lo-bi kemari, kalau mau basah, biarlah kita
terjun bersama."
Seketika bersinar mata Siau Ma, katanya, "Jadi Lo-bi juga
ada di kota?"
"Dia baru datang," sahut Thio-gongcu. "Dia sedang minum
arak di dapur rumahku."
Lebih terang cahaya mata Siau Ma, seperti gelandangan
yang mendadak menemukan mestika di tumpukan sampah,
mestika yang tak ternilai harganya.
Lan Lan bertanya pula, "Siapakah Lo-bi itu?"
"Lo-bi juga seorang tukang kulit."
"Apa kemampuannya?"
"Tidak punya kemampuan apa-apa."
"Sedikit pun tidak punya?"
"Setengah pun tidak punya."
"Tidak punya kemampuan apa-apa?"
Siau Ma mengangguk.
Lan Lan bekata, "Kalau orang itu tidak punya kemampuan
apa-apa, untuk apa kau mengundangnya kemari?"
"Berapa banyak orang yang pernah kau lihat dari mereka
yang tidak punya kemampuan apa-apa?"
Lan Lan berpikir sejenak, katanya kemudian, "Kurasa
seorang pun tiada."
"Oleh karena itu orang seperti dia justru sukar ditemukan."
Lan Lan bingung, dia tidak mengerti.
Siau Ma menjelaskan, "Sedikitpun tidak mampu berbuat
apa-apa adalah kemahirannya, keahliannya yang utama, di
seluruh kolong langit, yakin takkan bisa kau temukan seorang
seperti dia."
Lan Lan seperti maklum, tapi juga seperti belum paham
betul. Di hadapan lelaki jarang dia bisa memahami suatu
persoalan, umpama satu tambah satu sama dengan dua juga
tidak mungkin dia pahami dengan cepat. Akan tetapi bila
dikira dia dungu, dia tidak mengerti, maka adalah keliru, salah
besar. Siau Ma tidak melakukan kesalahan, maka dia tidak
memberi penjelasan lebih lanjut. Dia hanya tanya kepada
Thio-gongcu, "Berapa banyak kau simpan arakmu di dapur?"
"Kalau tidak empat pasti ada tiga kati," sahut Thio-gongcu.
Siau Ma menghela napas, katanya, "Kalau begitu tentu dia
sudah pergi, setelah minum tiga kati arak, dia pasti tak mau
tinggal lebih lama di dapur orang lain."
Thio-gongcu sependapat. Lan Lan malah bertanya,
"Setelah minum tiga kati arak, apa yang akan dilakukan?"
Siau Ma tertawa kecut, katanya, "Hanya Thian yang tahu
apa yang akan dia lakukan" Setelah minum tiga kati arak,
malaikat atau dewa juga pasti takkan bisa menerka apa yang
akan dia lakukan." Sembari bicara dia mengawasi Thio-gongcu
dengan harapan laki-laki tuli ini mendukung kebenaran
pernyataannya. Ternyata Thio-gongcu tidak pernah memperhatikan
ucapannya, matanya tertuju keluar pintu, wajahnya
menampilkan mimik yang aneh.
Seorang laki-laki jikalau melihat cewek jelita, perempuan
ayu yang benar-benar mengetuk hati dan menarik
perhatiannya, baru wajahnya menampilkan mimik seperti yang
diperlihatkan si tuli ini. Pandangan matanya ternyata tertuju
ke arah Hiang-hiang.
Hiang-hiang sedang mendatangi dari pekarangan,
langkahnya gopoh, wajahnya yang cantik kelihatan merah
karena senang dan riang, sebelum masuk pintu mulutnya
sudah berkaok, "Barusan aku dengar sebuah berita baik."
Lan Lan menunggu penjelasan Hiang-hiang. Demikian pula
Thio-gongcu juga sedang menanti, setelah melihat Hianghiang,
kelihatannya dia menjadi lebih muda dua puluh tahun.
Sayang sekali mengerling pun Hiang-hiang tidak
memandang padanya, katanya lebih lanjut, "Hari ini datang
seorang luar biasa di kota, jikalau kita bisa mengundangnya
kemari, segala persoalan pasti dapat dibereskan."
"Siapa orang luar biasa yang kau maksud?" tanya Lan Lan.
"Namanya Teng Ting-hou," sahut Hiang-hiang.
"Teng Ting-hou yang berjuluk Tinju sakti?" tanya Lan Lan.
Tampak riang sinar mata Hiang-hiang, katanya, "Tadi Losun
pulang dari kota, dia memberitahu, Teng Ting-hou sedang
minum arak di Thian-hok-lau, tamu-tamu diundang untuk
menemani dia minum."
Akhirnya Thio-gongcu menoleh ke arah Siau Ma, Siau Ma
juga sedang mengawasinya. Kedua orang ini seperti ingin
tertawa, tapi mereka tak dapat tertawa.
"Kau atau aku yang pergi ke sana?" tanya Thio-gongcu.
"Biar aku saja," sahut Siau Ma.
"Mengundang Teng Ting-hou?" tanya Hiang-hiang.
"Tidak, mencari Bi Ku-cu (kera kulit), kera gendut yang
mukanya lebih tebal dari tembok kota," ujar Siau Ma dengan
nada humor. Hiang-hiang tidak paham. Lan Lan justru sudah paham,
katanya, "Apakah Lo-bi menyamar jadi Teng Ting-hou?"
"Kalau bukan malah aneh," kata Siau Ma.
Hiang-hiang berkata, "Teng Ting-hou adalah pendekar
besar yang terkenal di kolong langit, siapa berani menyaru
dia?" "Lo-bi yang berani, setelah minum tiga kati arak, tiada
persoalan di dunia ini yang tidak berani dia lakukan."
Lan Lan protes, "Tadi kau bilang dia tidak punya
kemampuan apa-apa, mana mungkin melakukan
penyamaran?"
"Justru karena dia tidak punya kemampuan, maka
perbuatan apapun berani dia lakukan, itulah keahliannya."
* * * Lo-bi tidak gendut, sudah tentu tidak mirip kera. Dia
berpakaian wajar, wajah tampan tubuh tegap, siapa melihat
dia akan merasa wajahnya memang mirip Teng Ting-hou
dibanding Teng Ting-hou yang asli.
Tapi waktu melihat Siau Ma muncul di restoran itu,
sikapnya berubah seperti tikus melihat kucing, Siau Ma suruh
dia ke timur, dia pasti tak berani lari ke barat.
Siau Ma berkata, "Hayo kita pergi ke Long-san."
Dia langsung setuju, "Baik, kita berangkat ke Long-san."
"Kau tidak takut?" tanya Siau Ma.
Lo-bi menepuk dada, katanya, "Berkorban demi kawan
tidak pernah kutakuti, apalagi pergi ke Long-san."
Siau Ma tertawa, katanya, "Sekarang kau mengerti
bukan?" Lan Lan tertawa lebar. Dia sudah mengerti, orang ini
memang seratus persen mirip kera gendut. Hanya satu yang
belum dia pahami, "Kenapa kalian bilang dia tukang kulit?"
"Dia memang tukang kulit," sahut Siau Ma.
"Tapi kelihatannya dia tidak mirip tukang kulit."
Thio-gongcu segera menjelaskan, "Soalnya tukang kulit
yang satu ini berbeda dengan tukang kulit seperti diriku."
"Dalam hal apa dia berbeda dengan kau?" tanya Lan Lan.
Thio-gongcu menjelaskan pula, "Aku adalah tukang tambal
kulit." "Dan dia tukang apa?"
"Kalau dia kulit malas, kulit tebal."
Lo-bi tidak marah karena olok-olok itu, dengan tertawa dia
berkata, "Kalau dua tukang kulit busuk seperti kami kumpul
bersama, meski belum mampu mengalahkan Cukat Liang, tapi
menandingi Co Coh, kami yakin cukup berlebihan."
* * * Siau Ma berangkat membawa dua tukang kulit, tiga nona
cilik melindungi seorang gadis lemah yang takut ditiup angin
dan seorang pemuda yang empas-empis karena sakit parah.
Hari itu juga mereka berangkat, menempuh perjalanan ke
arah selatan. Kalau orang tahu mereka akan pergi ke Long-san yang
lebih berbahaya dibanding sarang naga atau gua harimau,
siapa pun akan bergidik dan mencucurkan keringat dingin.
Akan tetapi Siau Ma justru tidak peduli.
Yang sakit duduk dalam tandu, tandu yang ditutup rapat,
angin pun tak mungkin meniup masuk, bagaimana tampang
dan keadaan orang yang sakit, Siau Ma tidak pernah
melihatnya, namun dia rela mempertaruhkan jiwa untuk
melindunginya. Orang lain pasti berpendapat Siau Ma adalah orang bodoh,
tapi dia tidak peduli pendapat orang lain. Asal dia senang, bila
dia mau, urusan apapun boleh dia lakukan, perbuatan apapun
berani dia lakukan, soal lain dia tidak peduli.
* * * Langit membiru, cerah ceria, tiada mega di angkasa.
Dua buah tandu, tiga ekor keledai, keluar dari pintu barat
kota. Mirip satu keluarga yang hendak bertamasya ke suatu
tempat sejuk dan menyenangkan.
Dengan membusungkan dada, langkah lebar dan tegap,
Lo-bi berjalan paling depan, seolah-olah dialah yang menjadi
pimpinan rombongan, tiga nona cilik itu semua mengenakan
cadar untuk menutup muka mereka, semua menunggang
keledai, sang ayah dan ibu duduk dalam tandu, sementara
Siau Ma dan Thio-gongcu adalah kacung atau pesuruh
mereka. Satu kacung cilik dan satu kacung tua, berpakaian
lebih butut dibanding tukang pikul tandu.
Lan Lan bertanya kepada Siau Ma, kenapa dia tidak mau
ganti pakaian baru, Siau Ma menjawab secara cekak, "Aku
tidak mau ganti pakaian."
Kalau Siau Ma tidak mau melakukan, umpama dipenggal
kepalanya, juga dia tetap menolak bertukar pakaian.
Rombongan ini menempuh perjalanan, menarik perhatian
orang-orang di pinggir jalan, diam-diam mereka juga
memperhatikan orang lain. Setiap orang yang mereka jumpai
pasti diperhatikan. Lan Lan juga sering menyingkap kerai
mengintip keluar, memperhatikan orang-orang yang hilir
mudik di jalan raya. Kenyataan orang-orang yang hilir mudik
di jalan raya tiada seorang pun yang perlu diperhatikan secara
khusus, karena tempat ini masih jauh dari Long-san.
Saat itu mereka berada di Liong-bun. Liong-bun adalah
sebuah kota kecil, namun kota satu-satunya dimana harus
singgah sebelum mencapai Long-san.
Seorang yang berotak sehat dan normal, pasti tidak mau
pergi ke Long-san. Umpama di tengah malam bermimpi buruk
juga takkan bermimpi pergi ke Long-san.
Maka orang berkesimpulan, mereka yang lewat kota kecil
ini, kalau bukan orang gila, pasti otaknya tidak normal,
pikirannya miring, kalau bukan gelandangan miskin, pasti
buaya darat atau bajingan gede. Oleh karena itu, kota kecil
yang jauh terpencil keadaannya serba jorok dan bobrok.
Penduduk kota bukan tidak ingin pindah ke tempat lain, tiada
orang yang tidak ingin mencari nafkah lebih baik, tapi mereka
tidak bisa dan tidak berani pindah atau keluar dari kota itu.
Maka mereka yang tidak bisa keluar atau pindah dari kota
kecil ini, kalau bukan terlalu miskin, tentu usianya sudah
terlalu lanjut.
* * * * * Seorang nenek reyot yang sudah ompong, membuka
sebuah warung nasi dengan wajan yang sudah bolong untuk
menggoreng telur. Di atas dinding ditempel kertas yang
bertuliskan nama-nama menu yang tersedia di warung itu,
masakan dan arak, anehnya menu yang tercantum di sini tidak
kalah banyak ragamnya dibanding menu masakan restoran
besar ternama di kota-kota basar.
Sebetulnya selera makan dapat dipenuhi, kecuali orang
yang hampir gila karena sudah terlalu miskin, siapa pun
takkan mau makan di tempat ini. Anehnya warung itu
dikunjungi delapan tamu. Selintas pandang, bukan saja tidak
miskin, dandanan dan sikap mereka kelihatan gagah, lagaknya
cukup punya asal-usul.
Delapan orang ini seperti sudah ada janji, menjelang
tengah hari satu per satu mereka datang dari arah yang
berbeda, kelihatannya mereka menempuh perjalanan dengan
tergesa-gesa, namun satu dengan yang lain jelas belum saling
kenal sebelum ini.
Delapan orang duduk berpencar dalam warung setengah
reyot ini, kursi dan meja yang tersedia di warung juga sudah
miring dan tak kuat diduduki satu pantat manusia sekalipun,
lucunya delapan orang itu saling tatap dengan pandangan
melotot, semua membawa gaman, ada golok dan pedang atau
senjata lainya, sorot mata mereka jelas mengandung makna
permusuhan. Anehnya lagi, delapan orang ini minta semangkok mi tite
(kaki babi), setengah kati arak kuning, maklum kecuali kedua
macam hidangan ini, warung kecil ini tidak mampu menyajikan
hidangan yang lain.
Mi sudah berada di atas meja di depannya, demikian pula
sepoci arak dengan sebuah cangkir di meja, tapi tiada seorang
pun diantara mereka yang menggerakkan sumpit melalap
bakmi. Karena kuah bakmi dalam mangkuk kelihatan jorok,
lebih kotor dibanding air cuci pakaian, demikian pula bau
araknya lebih kecut dibanding cuka.
Sementara nenek reyot yang ompong itu sudah tidak
kelihatan batang hidungnya. Agaknya dia tidak peduli apakah
para tamu mau makan atau tidak hidangan yang dia siapkan,
karena permintaan sudah bayar lunas lebih dulu.
Nenek reyot itu ternyata tidak bodoh. Maklum, siapa saja
setelah hidup setua dia, dalam kota yang serba kekurangan
lagi, pengalaman hidup akan memojokkan dirinya


Kuda Binal Kasmaran Serial Tujuh Senjata Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menghalalkan cara, hanya orang jujur dan bodoh yang selalu
diapusi orang dan terima hidup menderita dan dihina orang
pula. Agaknya dia sudah menduga kedatangan orang-orang ini
pasti disengaja dan bukan bermaksud makan dan minum di
warungnya. Lalu untuk apa orang-orang ini datang kemari"
Dia sukar menerka, dia tidak peduli, juga tidak mau turut
campur, walau dia sudah tua, rudin lagi peyot, tapi dia masih
ingin hidup beberapa tahun lagi.
* * * * * Lohor telah berlalu, wajah delapan orang itu tidak
berkeringat, sorot mata mereka tidak tenteram, sikap mereka
jelas mulai gelisah, namun mereka tetap duduk dikursi
masing-masing, tiada yang bergerak atau beringsut.
Mendadak derap lari kuda berdentam di jalan raya, makin
lama makin dekat, suaranya makin gemuruh. Delapan orang
dalam warung itu menegakkan leher melongok keluar.
Seekor kuda dicongklang secepat angin, penumpangnya
berpundak lebar, pinggang ramping, tangan besar kaki
panjang, pakaian biru muda dan ketat, bagian pinggangnya
tampak menonjol, di balik bajunya jelas menyembunyikan
senjata lemas entah jenis apa.
Melihat orang ini, delapan orang itu hanya memandang
sekejap, lalu melengos memperhatikan hidangan di depannya.
Jelas bukan orang ini yang mereka tunggu.
Sekali menepuk kepala kuda, kuda segera berhenti. Begitu
kuda berhenti, penunggangnya sudah berada di warung
bobrok si nenek reyot, tiada orang melihat dengan cara apa
dia melompat turun dari punggung kuda.
Kakinya panjang, bukan saja panjang juga istimewa.
Tetapi yang panjang bukan hanya kakinya, tampangnya
ternyata juga panjang, lonjong seperti muka kuda, di atas
mukanya yang panjang itu tumbuh sepasang mata segitiga,
bola mata yang segitiga itu ternyata gemerlap terang, satu per
satu dia menyapu pandang wajah delapan orang yang hadir
dalam warung reyot itu, mendadak dia berkata, "Aku tahu
siapa kalian, aku juga tahu untuk apa kalian berkumpul di
tempat ini."
Tiada yang menjawab, tiada yang memberi reaksi,
menoleh atau melirik kepadanya pun tidak, seolah-olah
mereka takut sekilas melirik bola matanya akan dicolok keluar.
Orang berkaki panjang berkata sambil tertawa dingin, "Aku
yakin kalian juga tahu siapa aku, untuk apa aku datang
kemari." Mendadak kakinya menendang. Kakinya memang panjang,
betapapun panjang kaki seorang juga tak mungkin lima kaki
panjangnya. Warung itu dibangun secara sederhana, bentuknya kecil
lagi pendek, tapi betapapun pendek sebuah rumah, tingginya
juga pasti ada tiga empat meter. Siapa nyana seenaknya saja
orang ini angkat kakinya, atap rumah ditendangnya jebol dan
bolong. Roman muka hadirin berubah, namun tetap tak bergerak.
Runtuhan genteng, kayu dan debu dari atas berjatuhan di
kepala, badan, meja dan mangkuk bakmi mereka, namun
tidak ada yang memberi reaksi.
Si kaki panjang sudah duduk, duduk di depan seorang lakilaki
gede brewok, katanya dingin, "Selama setengah tahun di
Ho Tang, kau melakukan beberapa kali jual beli yang besar
nilainya, penghasilanmu amat besar."
Laki-laki gede itu tetap tidak memberi reaksi, namun otototot
hijau di punggung tangannya tampak merongkol, jarijarinya
menggenggam kencang gagang golok di bawah meja.
Si kaki panjang berkata, "Mulai hari ini, kalau kau
menghadapi kesukaran, aku akan melindungimu, usaha tanpa
modal yang kau lakukan kita bagi tiga dan tujuh bagian."
Akhirnya laki-laki gede bersuara, "Kau mau tiga bagian
saja?" "Kau terima tiga bagian, aku ambil tujuh bagian," demikian
ujar si kaki panjang.
Laki-laki gede tertawa. Di saat dia mulai tertawa, golok
sudah keluar dari sarungnya, sinar golok berkelebat, yang
diincar adalah leher kiri si kaki panjang, gerakan goloknya itu
keras lagi berat, serangannya cukup keji, entah berapa banyak
kepala manusia yang terpenggal oleh golok ini.
Si kaki panjang tidak bergerak, yang jelas tubuh bagian
atas tidak kelihatan bergerak, tapi laki-laki bertubuh segede
anak kerbau itu mendadak mencelat terbang, tubuhnya
terbang di atas kepala tiga orang yang duduk di belakangnya
dan "Blang" dengan keras menumbuk dinding, rumah itu
bergoyang seperti hampir ambruk.
Tabasan goloknya memang cepat, tapi tendangan si kaki
panjang lebih cepat, seenaknya saja kakinya bergerak di
bawah meja, tubuh laki-laki gede seberat ratusan kati itu
ditendangnya mencelat beberapa tombak jauhnya.
Si kaki panjang tertawa dingin, katanya, "Itulah Tui-hongtohbing-bu-in-ga kebanggaanku, siapa lagi yang masih ingin
merasakan kelihaian "kaki tanpa bayangan mengejar angin
merenggut sukma" milikku ini?"
Tiada orang menjawab, hadirin seperti ciut nyalinya,
bernapas juga ditahan.
Si kaki panjang berkata pula, "Baiklah, sejak hari ini, jual
beli yang kalian lakukan, seluruhnya harus diserahkan
kepadaku untuk membaginya...."
Mendadak seorang berkata dingin di belakangnya, "Tiga
bagian milik mereka, tujuh bagian jadi milikku."
Berubah air muka si kaki panjang, mendadak tubuhnya
mengkeret, laksana angin puyuh sepasang kaki panjangnya
menendang berantai. Maka berkumandanglah suara "Krak"
dua kali, tubuhnya terlempar jauh keluar pintu dan terbanting
keras di tengah jalan.
Kain gorden di bagian pintu belakang seperti ditiup angin,
masih kelihatan bergetar, tiada hadirin melihat ada orang
masuk. Tapi suara bicara di depan pintu besar sekarang sudah
berpindah ke belakang pintu dalam warung jorok itu, katanya
pula, "Tio-toa-hucu boleh mengambil dua bagian lebih banyak
untuk ongkos perawatan sakitnya di rumah, yang lain juga
diubah menjadi tiga dan tujuh bagian, siapa yang
menyerahkan lebih dulu boleh segera menyingkir dari sini."
Seorang pemuda yang duduk di dekat pintu belakang
segera buka suara, "Selama setengah tahun aku bekerja tanpa
modal tiga belas kali total penghasilan tiga ribu lima ratus tahil
perak, tapi untuk makan minum dan berfoya-foya dengan
perempuan, seluruhnya sudah kuhabiskan hampir separoh."
Dengan nada tertawa orang itu berkata, "Kau bocah
keparat memang pandai menghamburkan duit."
Pemuda itu berkata, "Sisanya sudah kubawa semua,
sekarang seluruhnya akan kuserahkan kepada kau orang tua."
"Sisanya bagaimana?"
"Terserah bagaimana putusanmu, aku menurut saja."
"Bagus, bijaksana mengingat kau berterus terang, aku
hanya minta kau menebus kesalahanmu."
Waktu pemuda itu keluar dari warung reyot itu, wajahnya
tampak berlepotan darah, pipi kirinya ternyata terkelupas
kulitnya. * * * * * Tandu itu berhenti di sebelah depan, dengan langkah lebar
Lo-bi berputar balik, biasanya kalau dia berjalan langkahnya
tegap dan tenang, kelihatan gagah lagi angker, jarang orang
melihat dia segopoh saat itu.
"Kau melihat setan?" Siau Ma segera menegur dia.
"Setan aku tidak melihat, tapi manusia kulihat cukup
banyak." "Siapa yang kau maksud?"
"Tiang Tiang-tui."
Siau Ma mengerut alis, dia tahu Tiang Tiang-tui atau Tiang
si kaki panjang memang tak lebih bagus dibanding setan atau
dedemit. "Dia dimana?" sela Thio-gongcu.
"Rebah di jalan raya tidak jauh di depan sana," sahut Lobi.
"Untuk apa dia rebah di jalan raya?" tanya Thio-gongcu.
"Kau masih ingat nenek peyot yang membuka warung nasi
itu?" tanya Lo-bi.
Thio-gongcu tahu, Siau Ma juga tahu, entah sudah berapa
kali mereka lewat.
"Waktu aku sampai di depan warung reyot itu, kebetulan si
kaki panjang terbang keluar dari warung si nenek, begitu
terbanting di jalan raya lantas semaput!"
"Selanjutnya?" tanya Siau Ma.
"Selanjutnya dia tidak mampu bergerak lagi."
"Lho, kenapa tidak bergerak."
"Karena kakinya buntung!"
Siau Ma mengerut alis pula.
Tiang Tiang-tui atau si kaki panjang terkenal dengan Tuihongtoh-bing-bu-in-ga, Siau Ma kenal kepandaian orang yang
lihai dan khusus ini, orang yang mampu membikin Tiang-tui
buntung kakinya bisa dihitung dengan jari.
"Masih ada siapa dalam warung si nenek?" tanya Siau Ma.
"Masih ada tujuh delapan orang"
"Ada tidak yang kita kenal?"
"Ada satu."
"Siapa?"
Lo-bi menelan air liur, roman mukanya kelihatan kecut,
mirip orang yang sekaligus menegak habis lima kati arak
kuning. Mata Siau Ma sebaliknya menjadi terang, katanya, "Apakah
Siang-loto?"
Lo-bi manggut-manggut, mimiknya berubah pula, seperti
seorang yang disuruh menelan telur busuk.
Siau Ma justru berjingkrak girang seperti ketiban rejeki,
lebih senang dibanding gelandangan yang menemukan
mestika dalam tumpukan sampah.
Lo-bi berkata tegas, "Kalau engkau mengajak dia, aku
segera minggat."
"Kau bisa minggat kemana?" tanya Siau-Ma.
Apa boleh buat Lo-bi berkata, "Kalau aku harus tetap
dalam rombongan ini, kau harus menerima satu syaratku."
"Coba katakan."
"Suruh dia menjauh dari aku, makin jauh lebih baik, satu
tombak dia berada di sampingku, umpama tidak minggat, aku
akan menumbukkan kepala di atas batu."
Siau Ma hanya tertawa saja.
Kerai tandu tersingkap sedikit, sepasang mata yang jeli
tampak mengawasi mereka, tanyanya, "Orang macam apa
Siang-loto itu?"
"Siang-loto adalah tukang kulit," sahut Siau Ma. Berkedip
mata Lan Lan, katanya, "Tukang kulit jenis apa dia?"
"Tukang kulit yang menguliti kulit," Siau Ma menjelaskan.
* * * * * Tujuh orang dalam warung kini tinggal dua orang saja.
Dua orang pesilat yang tadi bersikap gagah kereng, kini mirip
domba yang menunggu giliran untuk disembelih, muka
cemberut, alis bertaut, berkeluh resah dan geleng kepala,
seperti putus asa.
Orang di balik gorden di belakang pintu mendesak,
"Kenapa kamu tidak segera setor?"
Kedua orang ini saling pandang, seperti ingin memberi
kesempatan kepada orang lain bicara lebih dahulu, seolaholah
mereka sudah tahu bila masuk ke dalam, mereka pasti
dihajar dan dicaci maki, mungkin disembelih.
Suara orang di balik gorden menjadi kaku, "Apa kalian
ingin aku seret kemari?"
Seorang berusia lebih muda menabahkan hati, perlahan
dia berdiri. Yang berusia lebih tua segera menarik lengannya,
katanya dengan merendahkan suara, "Kali ini kau tidak bisa
setoran?" Yang muda manggut-manggut.
"Masih kurang berapa?" tanya yang berusia tua.
"Kurang banyak," sahut yang muda.
Yang usia tua menghela napas, katanya, "Hasilku juga
tidak cukup untuk setoran, kurang banyak." Mendadak dia
mengertak gigi, dari dalam kantongnya dia merogoh setumpuk
uang kertas, katanya, "Ditambah punyaku, setoranmu tentu
cukup, semua milikku kau ambil saja."
Yang muda terbelalak kaget dan senang. "Dan kau?"
tanyanya tak mengerti.
Yang tua tertawa getir, katanya, "Cepat diiris, terlambat
juga diiris, aku sudah tua bangka, aku ... aku tidak jadi soal."
Yang muda menatapnya lekat, terharu dan terketuk
sanubarinya, mendadak dia pun rogoh duit miliknya dari
dalam kantong, katanya, "Ditambah punyaku, setoranmu pasti
cukup, kau ambil saja."
Yang berusia tua terbelalak, serunya, "Tapi kau ...."
Yang muda menyengir tawa, katanya, "Kau punya anak
bini, aku hidup sebatang kara, aku tidak jadi soal."
Kedua orang ini saling pandang saling pegang dengan
mata berkaca-kaca, mereka tidak sadar seorang telah muncul
dan berdiri di depan pintu besar.
Yang berdiri di ambang pintu adalah Siau Ma, terharu oleh
kesetiakawanan kedua orang ini, air mata pun hampir meleleh
keluar. Sebelum ia buka suara, orang di belakang gorden itu
sudah pentang bacot mencaci maki, "Maknya, keparat,
bedebah, kunyuk, jangkrik mampus, sundel, kurcaci ...."
rentetan caci maki menyembur dari mulut seorang yang
berhati kaku dingin, sudah tentu kelakuannya cukup
mengejutkan. Lebih mengejutkan lagi karena dia berkata,
"Kalian dua cucu kelinci lekas enyah, menggelinding pergi,
lebih jauh lebih baik, lebih cepat aku lebih senang."
Kedua orang yang saling pegang itu tertegun bingung,
bukan tertegun bingung ketakutan lagi, tapi tertegun girang.
Orang itu suruh mereka enyah, rasa senang mereka sungguh
lebih besar dibanding mereka ketiban rejeki nomplok. Rasa
senang yang tak terduga dan tak pernah mereka bayangkan
ini benar-benar susah dipercaya.
Tapi Siau Ma percaya. Karena Siau Ma tahu dan maklum
akan watak orang itu, maka Siau Ma berkata, "Dia suruh
kalian pergi, kalian masih tunggu apa?"
Baru sekarang dua orang itu melihat kehadiran Siau Ma,
yang berusia lebih tua berkata gagap, "Apa benar dia suruh
kami pergi?"


Kuda Binal Kasmaran Serial Tujuh Senjata Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kalian boleh setia kawan, kenapa dia tidak boleh?"
Kedua orang itu masih bimbang, masih kurang percaya.
"Kalian tak usah takut. Dia mencaci dan memukul, hanya
karena merasa harus setia terhadap kawan baru dia akan
mencaci maki orang."
Kedua orang itu saling tatap lagi, lalu sama-sama menoleh
ke arah Siau Ma, lalu pelan-pelan beranjak keluar. Tapi
beberapa langkah kemudian mereka benar-benar pergi,
tepatnya bukan pergi, tapi lari. Lari lebih cepat dibanding kuda
yang dihajar tiga ratus kali dengan cemeti.
Siau Ma tertawa lebar.
Tak terdengar suara dari belakang gorden.
Dengan tertawa Siau Ma berkata, "Sungguh luar biasa,
babi kurus yang biasanya mengelupas kulit orang, datang juga
ke sini buat berburu."
Orang di belakang gorden seperti tak kuat menahan diri,
serunya, "Babi kurus adalah kau, bukan aku."
Siau Ma tertawa lebar.
Orang di belakang gorden berkata pula, "Kau lebih kurus
dari aku, kau lebih babi dibanding aku."
Di tengah gelak tawanya, Siau Ma berkata, "Sedikitnya ada
satu hal aku yang lebih kuat dari engkau."
"Satu yang mana?" tanya orang di balik gorden.
"Setelah bertemu, kau harus ikut aku," demikian ucap Siau
Ma, lalu menjelaskan, "Ikut aku memang menyebalkan,
nasibmu jadi jelek, tapi kalau kau tidak ikut aku, kau akan
lebih celaka."
Siapa pun tidak mengharap dirinya celaka.
Kalau dua tukang kulit bertambah satu menjadi tiga tukang
kulit. Seorang tukang tambal kulit, seorang ahli menguliti,
seorang lagi tukang kerok kulit.
* * * * * Tanggal 12 bulan 9, setelah lohor.
Cahaya mentari di musim rontok tampak lebih cemerlang.
Cahayanya yang benderang menyorot lewat jendela, sehingga
warung nasi nenek peyot itu kelihatan lebih jorok dan kotor.
Siang-loto yang kerjanya menguliti tubuh orang kelihatan lebih
menakutkan. Biasanya Siang-loto dipanggil Siang-po-bi. Karena dia
memang sering mengelupas kulit manusia.
Begitu Siang-loto muncul, Lo-bi segera menyingkir jauh,
berdiri dalam jarak satu tombak lebih. Seolah-olah dia takut
bila Siang-loto menguliti tubuhnya, sikap Siang-loto memang
seperti ingin menguliti dia.
Siapa saja bila berhadapan dengan Siang-po-bi, pasti
merasa takut dan ngeri serta merinding, takut dirinya dikuliti.
Perawakannya pendek kalau tidak mau dibilang kate, kurus
kering seperti kayu habis terbakar, seluruh berat badannya
mungkin tidak lebih tiga puluh kilo. Tapi dia lebih menakutkan
dibanding raksasa yang bertubuh segede gajah. Sesuai
namanya, dirinya mirip sebilah pisau atau sebatang golok.
Golok yang beratnya tiga puluh kilo, lebih menakutkan
dibanding besi karat yang bobotnya tiga ratus delapan puluh
kilo. Apalagi pisau atau golok yang satu ini memiliki mata yang
tipis tajam lagi runcing, sudah terlolos dari sarungnya. Siapa
yang berhadapan dengan dia, hatinya pasti giris dan
merinding. Terutama sepasang matanya. Bila mengawasi orang, yang
diawasi akan merasa seakan ditusuk pisau, menusuk di bagian
yang paling sakit di tubuhnya.
Demikianlah perasaan Lan Lan saat itu, sepasang mata
Siang-po-bi sedang menatap dirinya. Lan Lan adalah gadis
yang cantik rupawan. Perempuan cantik belum tentu ada daya
tarik. Tapi lain dengan Lan Lan, bukan saja cantik, dia juga
punya daya tarik, sehingga laki-laki yang pernah melihatnya
satu kali, mesti berada tiga ratus li jauhnya, akan disedot
sukmanya. la lekas berdiri di hadapannya.
Tapi ia sadar dan maklum bahwa sorot mata laki-laki kate
ini jauh berbeda. Kalau tatapan mata laki-laki umumnya ingin
membelejeti pakaiannya, tapi tatapan laki-laki ini ingin
membelejeti kulit tubuhnya.
Pandangan yang ingin membelejeti pakaian, perempuan
manapun bisa menerimanya, asal ia perempuan normal,
perempuan yang berhati tabah, karena orang tidak
membelejeti pakaiannya. Tapi berbeda dengan pandangan
orang yang ingin membelejeti kulit manusia ini, perempuan
pasti tak tahan ditatap seperti itu, entah perempuan normal,
perempuan terhormat atau perempuan nakal.
Maka Lan Lan mengawasi Siau Ma, lalu tanyanya, "Apakah
Siang-siansing juga ikut kita ke Long-san?"
"Dia akan ikut," sahut Siau Ma.
"Kau yakin?"
"Ya, yakin."
"Kenapa?"
"Karena dia membuat si kaki panjang buntung."
"Tiang Tiang-tui atau si kaki panjang itu juga manusia
serigala?"
"Bukan," sahut Siau Ma.
"Kaki panjang adalah gendak Liu-toa-ga (Liu si kaki
besar)," ucap Thio-gongcu.
"Siapakah Liu-toa-ga?" tanya Lan Lan.
"Manusia serigala ada yang jantan dan betina, Liu-toa-ga
adalah salah satu dari sekian serigala betina paling ganas, keji
dan telengas," Thio-gongcu menjelaskan.
Lan Lan tertawa, katanya, "Kaki panjang berjodoh dengan
kaki besar, memang pasangan yang setimpal."
Siau Ma berkata, "Oleh karena itu, setelah kaki panjang
menjadi buntung, Liu-toa-ga pasti naik pitam, umpama Sianglosam
tidak pergi ke Long-san, Liu-toa-ga pasti turun gunung
membuat perhitungan dengan dia."
Berputar mata Lan Lan, katanya, "Kalau dia pergi ke Longsan,
bukankah masuk ke mulut serigala malah?"
"Tapi Siang-losam bukan kambing, juga bukan Lo-bi, kalau
dia berani membabat buntung kaki si kaki panjang, tentu dia
punya maksud dan ada akal, mungkin Liu-toa-ga juga akan
dibuatnya buntung."
Thio-gongcu menimbrung, "Setiap melaksanakan tugas
Siang-losam bekerja secara cermat, teliti dan bersih, kalau
membabat rumput harus memotong akarnya, tak boleh
meninggalkan bibit bencana di kemudian hari."
Sejak tadi Siang-po-bi hanya mendengarkan saja tanpa
komentar, wajahnya tidak mengunjuk perasaan apa-apa,
mendadak dia menyeletuk, "Selaksa tahil perak, dua guci arak
paling bagus." Agaknya Siang-losam, tidak suka bicara. Apa
yang ia ucapkan jarang ada orang paham maksudnya.
Lan Lan tidak mengerti, tapi dia mengawasi sikap Siau Ma
dan Thio-gongcu, dia maklum kedua orang ini tahu apa yang
dimaksud oleh ucapan si kate.
Thio-gongcu segera berkata, "Itulah syaratnya."
Lan Lan berkata, "Jadi kalau mau mengajak dia ke Longsan
aku harus bayar selaksa tahil perak dan dua guci arak
kualitet terbagus?"
"Tidak salah," ucap Thio-gongcu. "Sepeser pun tidak boleh
kurang, demikian pula araknya harus betul-betul bagus dan
sesuai syarat yang diajukan Siang-loasam, selamanya tidak
boleh ditawar, tiada kompromi."
Siau Ma berkata, "Tapi tuntutannya itu tidak dicaploknya
sendiri, dia tidak suka minum, dia bukan setan arak."
Thio-gongcu berkata, "Dia minta duit, selalu senang
menggunakan caranya yang khas, cara yang paling disenangi
dia adalah hitam caplok hitam". Maksudnya menodong
kawanan penjahat yang berhasil dengan operasinya.
Siau Ma menambahkan pula, "Oleh karena itu, barangbarang
yang ia tuntut diberikan kepada orang lain."
"Seorang lain siapa?" tanya Lan Lan.
Siau Ma tidak menjawab. Thio-gongcu juga diam. Karena
mereka tidak tahu.
Ternyata Lan Lan tidak bertanya lagi, tanpa pikir ia berdiri
dan beranjak keluar, waktu balik ke dalam dia membawa
buntalan yang berisi uang selaksa tahil perak dan dua guci Lijiang yang paling baik.
Lan Lan adalah perempuan, gadis jelita, tapi tindak
tanduknya tegas, dalam menghadapi persoalan ia bisa
berlapang dada dan jauh lebih cekatan dibanding laki-laki.
Siang-po-bi hanya meliriknya sekejap sepatah kata pun
tidak bicara, dengan sebelah tangan dia apit kedua guci arak
itu, dua jari tangan yang lain menjepit buntalan uang terus
berdiri. Bukan beranjak keluar, malah masuk ke rumah atau
tempat tinggal si nenek reyot pemilik warung kotor ini.
* * * * * Di dalam sebuah kamar kecil yang kotor, bobrok semrawut
dan gelap, nenek kurus peyot itu meringkuk di atas ranjang
batu yang dingin dan rusak, mengkeret di pojok, tubuhnya
meringkel mirip trenggiling.
Siang-po-bi beranjak masuk, dengan laku hormat dia taruh
kedua guci arak dan buntalan kain berisi uang itu di atas meja
yang sudah setengah reyot di depan ranjang, lalu menjura
hormat kepada si nenek. Belum pernah ada orang melihat
Siang-lo-bi bersikap hormat seperti itu kepada orang lain,
mesti terhadap ibu bapaknya juga tak pernah dia menjura.
Begitu Siang-po-bi masuk kamarnya, nenek itu tampak
kaget serta mengkeret ke dalam, kelihatannya amat takut.
Siang-po-bi berkata, "Duitnya genap selaksa tahil, araknya
adalah Li-ji-ang yang sudah tersimpan dua puluh tahun."
Bahwasanya nenek itu seperti tak mengerti apa maksud
ucapannya. Tapi Siang-po-bi masih berlaku hormat, katanya pula,
"Wan-pwe she Siang, bernama Siang Bu-gi, dalam silsilah
keluarga aku nomor tiga."
Mendadak nenek itu bertanya; "Bapakmu bernama Siang
Pa-thian?"
"Betul," Siang Bu-gi munduk-munduk.
Mendadak si nenek meluruskan badan, sigap sekali dia
sudah berada di depan meja, mulut guci ditepuknya hancur
lalu mengendus bau arak, sorot mata yang semula kuyu
karena dimakan usia mendadak bercahaya.
Hanya dalam sekejap nenek peyot yang giginya ompong
tinggal satu dua itu, tahu-tahu berubah menjadi manusia lain,
bukan saja berubah lebih muda, malah lebih tepat kalau
dibilang penuh gairah, punya keyakinan dan berwibawa,
berubah menjadi tenang dingin lagi kaku. Bukan saja
mengejutkan, perubahan yang dramatis ini betul-betul
menakutkan. Ternyata Siang Bu-gi tidak takut juga tidak kaget, seakanakan
kejadian ini sudah sering dilihatnya.
Waktu nenek ini duduk di pinggir meja, buntalan berisi
uang itu mendadak lenyap dari pandangan.
Walau wajah Siang Bu-gi tidak berubah, tidak
menampilkan perasaan hatinya, tapi sorot matanya
menampilkan harapan. Asal nenek ini mau menerima uang,
urusan pasti ada harapan.
"Ini arak bagus," ujar si nenek.
"Ya," sahut Siang Bu-gi.
"Arak tidak boleh diminum sendirian."
"Betul."
"Duduklah, temani aku minum."
"Boleh."
"Minum arak harus adil, satu orang satu guci."
"Baiklah," sahut Siang Bu-gi, dia seret sebuah kursi lalu
duduk di depan si nenek, dia tepuk hancur mulut guci yang
lain. Si nenek berkata, "Aku minum seteguk, kau pun minum
seteguk." "Baik," sahut Siang Bu-gi alias Siang-po-bi.
Si nenek angkat guci lalu menghirup seteguk. Siang Bu-gi
juga angkat guci menghirup satu teguk. Seteguk besar.
Begitu arak masuk perut, mata si nenek bersinar lebih
terang, ketika teguk kedua masuk kerongkongan, wajah yang
keriput dan pucat berubah semu merah, lama ia menatap
Siang Bu-gi, lalu berkata, "Sungguh tak nyana, kau bocah ini
memang menyenangkan!"
Siang Bu-gi manggut-manggut.
"Paling tidak kau lebih menurut dibanding bapakmu."
"Ya," sahut Siang Bu-gi.
Si nenek sekali lagi meneguk arak dalam guci, lama dia
mengawasinya, mendadak bertanya, "Kau juga ingin ikut
mereka ke Long-san?"
"Ya, apa boleh buat."
"Bapakmu sudah mampus, demikian pula Toako dan
Jikomu juga mati, keluargamu hampir mampus seluruhnya."
"Betul."
"Kau juga ingin mampus"'
"Aku tidak."
Nenek itu tertawa lebar, giginya memang ompong
seluruhnya, katanya, "Aku sudah terima uangmu,
menghabiskan arakmu, sudah tentu aku takkan membiarkan
kau mati!"
"Ya," Siang Bu-gi mengiakan.
"Tapi setelah berada di Long-san, aku tak bertanggung
jawab kau pulang dengan hidup dan sehat."
"Aku tahu."
"Di Long-san ada berbagai jenis serigala, ada serigala
siang, serigala malam, ada Kun-cu-long, Siau-jin-long, ada
serigala yang tidak makan orang, tapi ada juga serigala yang
suka gegares daging manusia." Setelah meneguk araknya dia
menambahkan, "Di antara sekian banyak serigala, tahukah
kau jenis mana yang paling menakutkan?"
"Kun-cu-long," sahut Siang Bu-gi.
Si nenek tertawa senang, katanya, "Kurasa bukan saja
menyenangkan, otakmu tidak bodoh."
Manusia munafik apalagi berwajah tampan dan gagah,
dimana pun dia berada, selalu termasuk jenis yang paling
menakutkan. Si nenek berkata pula, Lotoa dari Kun-cu-long dinamakan
Long-kuncu, orang ini mirip guru sekolah, kerja apa saja selalu
penuh tata-krama, kalau bicara juga sopan dan lembut, orang
yang tidak mengenalnya, setelah melihat dan berhadapan
dengan dia tentu merasa kagum dan dekat kepadanya."
Mendadak dia menggebrak meja, suaranya meninggi, "tapi
orang ini bukan manusia, dia harus dipancung kepalanya


Kuda Binal Kasmaran Serial Tujuh Senjata Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hingga mampus, tubuhnya harus dicacah sampai tiga laksa
tujuh ribu delapan ratus enam puluh kali."
Siang Bu-gi hanya mendengarkan.
Si nenek minum beberapa teguk lagi, syukur amarahnya
mereda, katanya, "Kecuali kawanan serigala itu, sekarang di
atas gunung muncul lagi serombongan serigala jenis lain."
"Serigala jenis apa?" tanya Siang Bu-gi.
"Mereka dinamakan Hi-hi-long atau Bit-long."
Dua nama yang aneh, serigala jenis itu jelas juga aneh.
"Usia mereka masih muda, kebanyakan adalah generasi
kedua dari kawanan serigala tua di atas gunung, sejak
dilahirkan takdir sudah menentukan nasib mereka sebagai
manusia serigala, mereka harus hidup sampai mati di atas
gunung itu."
Siang Bu-gi maklum apa maksud perkataannya. Putra putri
atau keturunan manusia serigala, kecuali di Long-san, di
tempat mana mereka bisa hidup" Kemana mereka bisa
mencari nafkah" Dunia memang besar, namun tiada tempat di
dunia ini boleh dan mau menerima kehadiran mereka. Karena
manusia serigala tidak memberi kesempatan orang lain hudup
dalam kelompok mereka.
Akan tetapi mereka masih muda. Kaum muda umumnya
lebih bajik, lebih bijaksana. Karena mereka tak mampu
melampiaskan rasa penasaran, masgul, rasa sial mereka,
putus asa lagi menghadapi masa depan, maka mereka
berubah, dipaksa berubah oleh keadaan menjadi
serombongan manusia yang aneh.
Si nenek bicara lebih lanjut, "Mereka tidak acuh terhadap
segala persoalan, makan sembarangan, pakaian rombeng, ada
kalanya tanpa sebab mereka membunuh orang, tapi datang
saatnya mereka juga menolong orang, asal kau tidak
mengusik atau menyentuh mereka, biasanya mereka tidak
mengganggu kau, maka ...."
"Maka lebih baik aku tidak mengganggu mereka," ucap
Siang Bu-gi. "Lebih baik kau pura-pura tidak melihat, di antara
rombongan kaum muda ini, tidak sedikit yang berkepandaian
tinggi, terutama tiga putera serigala tua Pok Can dan dua putri
Kun-cu-long."
"Konon di atas Long-san terdapat empat Toa-thau-bak,
apakah Pok Can dan Long-kuncu adalah dua di antaranya?"
Si nenek manggut, katanya, "Tapi terhadap putra putri
mereka, kedua orang ini tidak bisa berbuat apa-apa."
"Kecuali Pok Can dan Long-kuncu, siapa lagi kedua Thaubak
yang lain?"
"Orang ketiga bernama Liu Kim-lian, serigala betina yang
buas, sayang sekali betina yang satu ini berjiwa sempit, kejam
lagi telengas."
"Apakah Liu Kim-lian adalah Liu Toa-ga?"
Si nenek tertawa dengan memicingkan mata, katanya geli,
"Serigala betina ini amat cabul lagi serakah, dia benci kalau
orang memanggil dia Toa-ga (kaki besar), jikalau dia tahu kau
membunuh lakinya, bukan mustahil dia bekuk kau sebagai
gantinya, kalau terjadi begitu, lebih baik kau bunuh diri saja!"
Siang Bu-gi sedang meneguk arak, dengan guci dia
menutupi wajahnya. Wajahnya berubah pucat. Dia tidak
senang mendengar kelakar demikian.
"Seorang lagi bernama Hoat-su, seorang Hwesio, tidak
membaca mantra tidak pernah kotbah, dialah pertapa yang
tidak punya pantangan makan."
"Memangnya apa yang suka dia makan?"
"Dia paling suka daging manusia, daging manusia yang
masih segar."
Seguci arak hampir ditenggak habis, mata si nenek sudah
merem melek, kelihatannya setiap saat dia bisa roboh lalu
tidur pulas. Lekas Siang Bu-gi bertanya, "Konon keempat Thau-bak ini
pimpinan tertinggi yang paling berkuasa di Long-san?"
"Ehm, benar."
"Siapakah pimpinan mereka yang tertinggi?"
"Kau tidak perlu tahu."
"Kenapa?"
"Karena takkan bisa melihatnya, orang-orang yang
menetap di atas Long-san juga sukar melihatnya."
"Maksudnya dalam memerintah kawanan serigala itu, dia
tidak pernah tampil sendiri?"
"Lebih baik kau tidak memaksa dia turun tangan."
"Kenapa?" mesti ngeri, tak tahan Siang Bu-gi bertanya
juga. "Bila dia turun tangan, jiwamu pasti tamat."
Lekas Siang Bu-gi menutupi wajahnya dengan guci arak.
"Aku tahu, hatimu penasaran, aku juga tahu Kungfumu
luar biasa, tapi kemampuanmu sekarang dibanding Cu Ngo
Thay-ya, jaraknya seperti bumi dan langit." Setelah menghela
napas, si nenek melanjutkan, "Jangan kata engkau, aku
sendiri masih jauh melawan dia, kalau tidak, buat apa aku
hidup menderita di tempat ini, apakah untuk membunuh Cu
Ngo?" Siang Bu-gi tidak bertanya. Biasanya dia tidak senang dan
pantang bertanya rahasia orang lain.
Si nenek berkata pula, "Cu Ngo bukan saja berkuasa dan
jadi raja di Long-san, kalau dia mau, kemana pun dia pergi, di
setiap tempat dia bisa menjadi raja, seluruh jago-jago kosen
yang ada di dunia persilatan, tiada satu pun yang memiliki
kungfu setaraf dia." Nada ucapannya datar lagi tegas, tidak
marah, benci atau dendam, lebih tepat kalau dia bicara
dengan nada kagum.
Tidak banyak sisa arak dalam guci, si nenek minum lagi,
kali ini sekaligus dia habiskan sisa arak yang ada, sorot
matanya gemerdep terang pula.
Guci di tangan Siang Bu-gi sudah kosong.
Si nenek mengawasinya, mendadak berkata, "Kenapa tidak
kau tanya, apa hubunganku dengan Cu Ngo?"
"Karena aku tidak ingin tahu."
"Betulkah kau tidak ingin tahu?"
"Rahasia orang lain, kenapa aku harus tahu."
Lama si nenek mengawasinya, akhirnya menghela napas
perlahan, katanya lembut, "Kau anak baik, aku suka
kepadamu." Tangannya merogoh kantong mendadak dia
mengeluarkan satu benda lalu disesepkan ke tangan Siang Bugi,
katanya, "Ini untukmu, pasti berguna untukmu."
Yang dia berikan kepada Siang Bu-gi adalah sekeping uang
tembaga yang sudah digosok mengkilap, tapi di atas uang
tembaga itu membekas irisan pisau.
Karena tertarik, Siang Bu-gi bertanya, "Untuk apa ini?"
"Itu bisa menolong jiwa."
"Menolong jiwa siapa?"
"Menolong jiwa kalian," ucap si nenek, "jika kau bisa
bertemu dengan seorang yang mempunyai tujuh jari di tangan
kirinya, serahkan uang tembaga ini kepada dia, apapun yang
harus kau lakukan, dia pasti membantu kalian."
"Orang itu hutang budi terhadapmu?"
Si nenek manggut, katanya, "Sayang kau belum tentu
bertemu dengan dia, karena dia adalah serigala malam, siang
hari tidak pernah keliaran."
"Aku bisa mencarinya malam hari."
"Jangan, sekali-kali kau mencari, kau hanya boleh
menunggu, menunggu dia mencari kau." Sikapnya serius, lalu
menambahkan, "Di hadapan manusia serigala lainnya, jangan
kau singgung dirinya."
Siang Bu-gi masih ingin bertanya, tapi si nenek sudah
tidur. Mendadak dia sudah menggeros, tidur lelap.
Terpaksa Siang Bu-gi berdiri perlahan lalu beranjak keluar,
ketika dia berdiri di ambang pintu, nenek itu masih mengkeret
seperti tadi di pojok dinding, keadaanya seperti tadi, sebagai
nenek peyot yang tua renta dan lemah, gugup dan takut.
Bab 5 Siang Bu-gi duduk di atas kursi, duduk di depan Lan Lan,
sepasang bola matanya yang tajam gemerdep menjadi merah.
Dia sudah mabuk. Biasanya dia jarang minum arak, apalagi
minum seguci, bahwa dia kuat bertahan sekian lama sudah
patut dipuji. Lan Lan berkata, "Percakapan kalian sudah kami dengar
dengan jelas."
Siang Bu-gi tahu. Memang ia mengharap bisa mendengar
percakapannya dengan si nenek, supaya dirinya tak usah
menjelaskan lagi.
"Siapakah nenek tua itu?" tanya Lan Lan.
"Seorang nenek tua."
Lan Lan mengedipkan mata, katanya, "Kukira dia seorang
Bu-lim Cianpwe, kungfunya amat tinggi."
Siang Bu-gi menoleh, tiba-tiba dia bertanya kepada Siau
Ma, "Dia ini binimu?"
Siau Ma tidak menyangkal, sulit dia menjelaskan.
Siang Bu-gi berkata pula, "Kalau dia binimu, lebih baik kau
suruh ia tutup mulut."
Lan Lan menyeletuk; "Kalau bukan bininya?"
Siang Bu-gi berkata dengan nada tegas, "Perjalanan ke
atas gunung bukan untuk bertamasya, kita ke sana
mempertaruhkan jiwa, maka...."
"Masih ada syarat lain?" tanya Siau Ma.
"Bukan syarat, tapi peraturan. Siapa pun harus patuh dan
tunduk pada perturan," ujar Siang Bu-gi.
Orang banyak sedang mendengarkan penuh perhatian,
Siang Bu-gi berkata pula, "Mulai sekarang, laki-laki tidak boleh
menyentuh perempuan, juga dilarang minum arak." Tatapan
matanya setajam pisau, "siapa terbukti melanggar aturan,
tidak pandang bulu, aku akan mengelupas kulitnya."
* * * * * Situasi Long San sebetulnya tidak berbahaya kalau
dibanding puncak-puncak gunung kenamaan lain di
Tionggoan, yang berbahaya di daerah ini justru orang-orang
yang hidup di atas gunung.
Sejauh mata memandang, selama mereka menempuh
perjalanan dan menjelajah gunung ratusan li, bayangan
seorang pun tidak pernah mereka lihat.
Hari sudah menjelang senja.
Sinar matahari yang kuning emas cemerlang menerangi
pegunungan, sehingga kelihatan seindah lukisan.
Siang Bu-gi melompat ke atas sebuah batu cadas besar
yang rata bagian atasnya, lalu kata, "Kita istirahat di sini."
Seorang segera bertanya, "Saat ini harus istirahat, apa
tidak terlalu pagi?" Yang bertanya adalah Hiang-hiang.
Sejauh mereka menjelajah, gunung di bawah kaki mereka
kelihatan rata dan naik turun seperti alunan ombak. Mereka
masih bercokol di punggung keledai. Gaya dan perawakan
Hiang-hiang semampai, menggiurkan lagi molek, pandangan
Thio-gong-cu jarang meninggalkan tubuhnya.
Tapi Siang Bu-gi melirik saja tidak kepadanya, agaknya
segan bicara dengan dia.
Maka Thio-gongcu memberi tanggapan, "Sekarang sudah
tidak pagi lagi."
Hiang-hiang berkata, "Tapi sekarang hari belum gelap."
"Setelah cuaca gelap," kata Thio-gongcu, "kita justu harus
melanjutkan perjalanan."
"Lho, kenapa justru melanjutkan perjalanan di tengah
kegelapan?" tanya Hiang-hiang
"Kalau cuaca gelap kita lebih mudah menyembunyikan diri,
lebih gampang menyelamatkan jiwa, dan yang penting adalah
serigala malam di gunung ini jauh lebih mudah dilayani
dibanding serigala siang, apalagi...."
Mendadak Siang Bu-gi menukas, "Apa dia binimu?"
Thio-gongcu ingin mengangguk, tapi terpaksa geleng
kepala. Siang Bu-gi berada di hadapan Hiang-hiang, dengan
enteng telapak tangannya menepuk kepala keledai yang
ditunggangi Hiang-hiang. Kontan keledai itu roboh binasa.
Hampir saja Hiang-hiang ikut ambruk tertindih
tunggangannya. Syukur reaksinya cekatan, dengan tangkas
dia melompat turun sebelum keledainya ambruk. Selanjutnya
dia tidak berani banyak bicara lagi.
Siau Ma tertawa geli.
Mendadak Siang Bu-gi melotot kepadanya, "Kenapa Kau
tertawa?" Siau Ma memang tertawa, saat itu dia masih tertawa.
"Siapa yang kau tertawakan?" tanya Siang Bu-gi.
"Menertawakan kau," sahut Siau Ma.
Siang Bu-gi menarik muka, katanya merenggut, "Aku
pantas ditertawakan?"
Siau Ma berkata, "Seorang kalau selalu melakukan
pekerjaan yang menggelikan, peduli siapa dia, pasti
menimbulkan tertawaan orang lain." Tanpa menunggu Siang
Bu-gi buka suara, dia sudah menyambung, "Kalau melarang
langit hujan, melarang orang kencing dan buang kotoran,
adalah tugas yang menggelikan, demikian pula kalau kau
melarang cewek bungkam, melarang anak perempuan
berbicara."
Semula Siang Bu-gi melotot kepadanya, namum lama
kelamaan bola matanya memicing.
Siau Ma masih tertawa, katanya, "Kabarnya kulit keledai
laku meski harganya murah, kenapa tidak kau kuliti keledai
ini?" Siang Bu-gi segera melangkah maju, melangkah ke
hadapannya. Siau Ma masih berdiri di tempat, tidak maju juga
tidak mundur. Mendadak Thio-gongcu menjerit kaget, "He, lihat manusia
serigala muncul."
Manusia serigala memang menampakkan diri. Yang datang
tiga orang. Kelihatannya mereka mirip manusia purba yang
hidup liar di alas pegunungan, berdiri di bawah pohon besar
delapan tombak jauhnya di atas batu sana.
Suara Thio-gongcu amat lirih rendah, "Yang datang pasti
serigala pemakan manusia!"
"Me ... mereka, apa benar mereka makan manusia?"
Hiang-hiang bertanya. Suaranya gemetar, takutnya luar biasa,
takut terhadap manusia serigala makan manusia, juga jeri
terhadap Siang Bu-gi. Tak tahan dia tetap mengajukan
pertanyaan. Kalau melarang anak perempuan tutup mulut,
memang sukar sekali.
Thio-gongcu berkata, "Belum pasti makan manusia, tetapi


Kuda Binal Kasmaran Serial Tujuh Senjata Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mungkin mereka berani makan manusia."
Sudah lama Lo-bi tidak bicara, sejak tadi dia berdiri jauh di
Sana, kini dia pun tak kuat bungkam, katanya, "Aku tahu
manusia jenis apa yang paling suka mereka makan."
"Orang ... orang jenis apa?" tanya Hiang-hiang.
"Sudah tentu jenis perempuan," sahut Lo-bi dengan
tertawa, "Terutama perempuan yang enak dipandang,
perempuan yang harum badannya!"
Pucat pias muka Hiang-hiang. Muka Thio-gongcu justru
membesi hijau. Untung Siau Ma segera menarik tangannya, katanya, "Tiga
orang di atas itu kelihatan sedang bicara."
Thio-gongcu manggut-manggut.
"Apa yang mereka bicarakan?"
Thio-gongcu memejamkan mata, hanya sebentar lalu
membuka mata, Roman mukanya seketika berubah,
kelihatannya tidak lagi mirip tukang tambal sepatu yang kotor
dan bau. Mendadak berubah kereng dan berwibawa. Dalam
melaksana tugas dia selalu memeluk keyakinan dan
kepercayaan terhadap kemampuan sendiri. Seorang yang
tidak punya keyakinan, bagaimana mungkin bisa punya
kewibawaan. Semua orang bungkam, pandangan mereka tertuju ke
mulutnya. Hiang-hiang juga mengawasinya.
Thio-gongcu tahu, namun kali ini dia tidak balas
memandang Hiang-hiang, matanya tertuju ke atas, ke arah
tiga orang yang lagi bicara di atas sana. Mulut tiga manusia
serigala di atas batu di bawah pohon itu memang bergerakgerak,
namun bola mata Thio-gongcu mengawasi penuh
perhatian. Agak lama kemudian baru Thio-gongcu buka suara,
"Beberapa ekor kambing gemuk ini mungkin sudah gila, berani
naik ke Long-san?"
"Mereka malah ada yang naik tandu, kelihatannya bukan
saja edan, duit dan bekalnya tentu tidak sedikit."
"Tapi di antara mereka kelihatan ada yang susah
dihadapi."
"Siapa menurut pandanganmu?"
"Orang yang bermuka seperti mayat hidup, bertingkah
seperti orang banci, pasti sukar dilayani."
"Demikian pula yang bertubuh tinggi tegap, kelihatannya
amat perkasa, bukan mustahil dialah pengawal barisan ini."
"Kakek rudin yang melotot ke arah kita itu, menurut
pendapatmu mirip apa?"
"Kukira mirip kakek rudin, saking rudinnya hingga dia
ketakutan hingga pikun."
"Sekarang jumlah mereka lebih banyak, kita harus mencari
bantuan." "Dua tiga hari ini tidak sedikit kambing-kambing gemuk
yang naik ke atas gunung, semua orang sudah punya kerja
dan tugas, hasilnya tidak sedikit, kemana kita mencari bala
bantuan?" "Biarkan saja, mereka takkan lolos, yang jelas kita yang
menemukan kambing-kambing gemuk itu, umpama harus
bekerja sama, bagian kita toh yang paling banyak."
"Aku hanya minta tiga cewek itu."
"Kalau sampai bangkotan tua yang kemaruk paras ayu itu
tahu, mungkin kau tidak kebagian meski hanya menyentuh
tangannya saja."
"Biarlah, setelah mereka puas dan habis mengerjainya, apa
salahnya aku makan dagingnya."
"Kalau hanya ingin makan dagingnya, kurasa tidak jadi
soal." "Lebih baik kalau separoh dipanggang, separohh lagi
digodok, sudah lama aku tidak makan daging segar dan cantik
seperti itu."
"Baiklah, akan kubagi tiga mangkok besar kepadamu, biar
perutmu meledak."
Percakapan ini sudah tentu bukan langsung diucapkan oleh
Thio-gongcu, tapi menjiplak percakapan ketiga manusia
serigala itu, serta mendikte dengan mulutnya.
Sambil bergelak tawa tiga manusia serigala itu melompat
pergi dan lenyap dari pandangan.
Siang Bu-gi tetap tidak menampilkan perubahan wajah,
sementara Lo-bi mengunjuk rasa senang dan puas.
Hiang-hiang sebaliknya sudah meloso jatuh dan semaput
saking takut. Satu di antara kedua tandu itu tampak bergetar, seorang
batuk-batuk dan terus batuk hingga lama, napasnya sudah
senin kamis, dengkur napasnya mirip kerbau yang akan
disembelih. Sementara Lan Lan berada di tandu lain, melongok
mengawasi Siau Ma, lalu menoleh ke arah Siang Bu-gi.
Siang Bu-gi sudah tidur di atas batu cadas besar itu. Kalau
dia sudah bilang istirahat di sini, maka dia akan mendahului
melepaskan lelah, tidur dengan lelap.
"Tempat ini memang bagus," ucap Siau Ma.
"Bagus?" seru Lan Lan.
"Ya, bagus," sahut Siau Ma.
"Tapi ... tapi kurasa tempat ini justru lebih mudah diincar
dan diperhatikan musuh, serangan atau bidikan panah musuh
lebih mudah ditujukan kemari."
Batu cadas itu menjulang tinggi di lereng sana, sementara
tanah di sekitar mereka lapang dan kosong, pohon atau
tempat yang cukup untuk bersembunyi dari bidikan panah
tidak ada. Siau Ma berkata, "Justru karena tempat ini terbuka, maka
lebih baik dan menguntungkan bagi kita."
Lan Lan tidak mengerti. Dia ingin bertanya, tapi melihat
sikap Siang Bu-gi, segera dia bungkam lagi.
Untung Siau Ma segera menjelaskan, "Tempat ini terbuka,
siapa pun datang kemari, begitu membuka mata kita bisa
segera melihatnya."
Thio-gongcu berkata, "Apalagi sementara ini mereka
takkan mendapat bantuan, bila mereka mendapat bantuan,
kita sudah berpindah ke tempat lain."
Hari belum gelap, mereka belum pergi, juga tidak melihat
orang, tapi mendengar suara orang. Suara yang tidak mirip
suara manusia, tapi lebih mirip suara babi disembelih. Tapi
suara itu jelas keluar dari mulut manusia.
Kambing-kambing gemuk yang datang beberapa hari ini
cukup banyak. Apakah mereka siap menyembelih para
korbannya"
Siau Ma sudah duduk, mendadak dia berjingkrak berdiri.
Siang Bu-gi masih tetap rebah di tempatnya, matanya
terpejam, namun dia mendesis kereng, "Duduk."
"Kau suruh siapa duduk?" tanya Siau Ma.
"Kau."
"Kenapa kau suruh aku duduk?"
"Karena kau kemari bukan untuk turut campur urusan
orang lain."
"Sayang, aku justru dilahirkan buat mencampuri urusan
orang lain."
"Kalau begitu silakan."
"Memangnya aku akan ke sana."
"Satu hal aku berani tanggung."
"Satu hal apa?"
"Setelah kau mampus, tiada orang mengubur mayatmu."
"Aku justru suka terkubur di perut orang lain, dan itu
memang keinginanku."
"Sayang mereka hanya suka makan daging perempuan."
"Tapi dagingku gurih dan empuk."
Siau Ma sudah siap pergi. Tapi sebelum dia bergerak,
orang lain sudah datang.
Beberapa tombak dari batu cadas besar sebelah kiri adalah
hutan. Hutan dengan pohon yang rindang, dihitung-hitung
jaraknya mungkin ada belasan tombak dari tempat Siau Ma
berdiri. Jeritan menyayat hati seperti babi disembelih
berkumandang dari dalam hutan. Tampak beberapa orang
menerobos keluar, mereka menjerit-jerit kesakitan, sebelum
lenyap lolong jeritan mereka, satu per satu terjungkal roboh
kelejetan di tanah. Kebetulan sudah dekat batu cadas besar
itu. Melihat jiwa orang terancam, berpeluk tangan adalah
perbuatan yang munafik, ini tak pernah dilakukan Siau Ma,
umpama batok kepala sendiri terancam juga pasti akan
berusaha memberi pertolongan. Maka dia melompat
mendahului, namun cuma dia saja yang memburu ke sana.
Siang Bu-gi masih rebah di atas batu. Hiang-hiang juga
duduk di pinggir tandu. Lo-bi adalah seorang rudin,
kelihatannya sudah pulas di sebelah sana. Hiang-hiang
ternyata sedang mengawasi Thio-gongcu.
Thio-gongcu belum tidur, maka dia melompat turun dan
memburu ke depan. Kupingnya memang tuli, tapi dia bukan
orang bodoh, umpama dia ingin pura-pura pikun juga tidak
mungkin lagi. Dia tahu Hiang-hiang tengah mengawasi dirinya,
walau kupingnya tuli, tapi matanya lebih jeli dibanding telinga
kelinci. Di bawah batu cadas besar mirip panggung itu rebah
malang melintang delapan orang. Semua merintih dan
berkelejetan, ada pula yang bergulingan saking tidak kuat
menahan sakit. Tapi ada juga yang rebah lemas tidak mampu
bergerak, seperti kehabisan tenaga atau terlalu banyak
mengeluarkan darah. Darah segar yang merah kental,
sungguh menggiriskan.
Siau Ma ingin menolong orang yang lengannya putus,
namun juga kasihan terhadap yang buntung kakinya, tapi juga
ingin menolOng orang yang terlalu banyak mengeluarkan
darah. Sungguh dia bingung kehabisan akal, orang mana yang
harus ditolong terlebih dahulu. Untung Thio-gongcu melompat
turun mendekati dirinya.
Siau Ma bertanya, "Bagaimana pendapatmu?"
"Tolong dulu yang lukanya ringan," ucap Thio-gongcu.
Siau Ma setuju. Dia tahu usul Thio-gongcu masuk akal,
sebenarnya dia sudah memikirkan hal ini, soalnya hatinya
lunak, perasaannya tidak tega. Orang yang terluka ringan ada
harapan ditolong jiwanya. Hanya orang hidup yang bisa
menceritakan pengalaman tragis ini. Pengalaman orang lain,
sebagai cermin pengalaman diri sendiri. Pengalaman selalu
berguna. * * * * * Yang terluka paling ringan, usianya juga paling muda.
Darah yang keluar juga paling sedikit, namun kerut-merut di
mukanya justru paling banyak.
Siau Ma memapahnya lebih dulu, lalu menempeleng
mukanya dua kali pulang pergi. Menampar muka orang belum
pasti lantaran marah atau dendam dan benci, menampar juga
kadang-kadang terpaksa karena rasa kasihan dan cinta kasih
terhadap sang korban. Ada kalanya menampar karena ingin
supaya orang sadar dan tobat.
Setelah digampar dua kali, orang ini membuka mata,
sejenak ia mengedipkan mata lalu celingukan seperti ngeri,
takut, tapi lekas sekali dia memejamkan mata.
"Kalian datang darimana?" tanya Siau Ma.
Orang muda ini tersengal-sengal, mulutnya merintih dan
terisak, katanya, "Manusia serigala ... ke Long-san ... minta
uang ... menuntut jiwa.,.."
Walau orang tidak menjawab secara jelas, Siau Ma
maklum, tapi dia bertanya pula, "Untuk apa jauh-jauh kalian
pergi ke Long-san?"
Orang muda itu megap-megap, katanya, "Karena ...
karena ... karena ... ingin menjagal kau."
Beruntun dia mengatakan tiga kali "karena", hingga Siau
Ma dipaksa memperhatikannya. Di saat Siau Ma mendengar
sepenuh perhatian itulah, orang itu mengatakan ingin
menjegal kau, tiga patah kata. Lenyap perkataannya tinjunya
pun bekerja. Bukan hanya orang muda itu saja yang
menyergapnya, tujuh orang yang lain juga serentak turun
tangan, empat orang mengeroyok satu, delapan orang
mengeroyok Siau Ma dan Thio-gongcu.
Yang buntung tangannya memang bertangan tunggal,
demikian pula yang buntung kakinya memang sudah lama
putus. Darah yang berlepotan di tubuh mereka sebetulnya
lebih merah dan kental, kalau mau diteliti, sebetulnya bisa
diketahui, darah itu tidak mirip darah manusia.
Delapan orang turun tangan serempak, seperti berlomba
saja, delapan orang ini seperti ingin mendahului mengajar
roboh dua orang ini dan merenggut jiwanya. Terbukti delapan
orang ini mengeluarkan senjata, empat bilah badik, dua
batang pedang pandak, sebuah ganco panjang, dan gaman
satu lagi jarang terlihat di Bu-lim, yaitu tombak pendek
berantai. Kecuali dapat digunakan sebagai tombak, tombak
inipun dapat ditimpukkan seperti senjata rahasia.
Delapan orang menggunakan gaman pendek. Satu senti
lebih pendek, satu langkah lebih berbahaya. Apalagi mereka
bergerak serempak di saat lawan tidak menyangka dan tak
terduga. Untung Siau Ma punya tinju. Sekali jotos dia bikin remuk
tulang hidung orang muda yang berkeriput itu, sekali genjot
pula dia bikin amblek muka orang lain yang ada di sebelahnya.
Untung dia masih punya kaki. Sekali sepak dia bikin si
tangan tunggal yang membawa badik terlempar terbang.
Ketika si kaki buntung menusuk dengan tombaknya, maka
terdengar tulang hidung dua rekannya dipukul ringsek oleh
tinju Siau Ma. Begitu bertepuk tangan Siau Ma menjepit ujung
tombak lawan, matanya menatap tajam ke arah si kaki
buntung. Sebelum ia turun tangan, hidungnya sudah mencium
bau busuk. Ternyata si kaki buntung basah celananya, saking
ketakutan dan kaget dia terberak-berak.
Siau Ma tidak perlu menguatirkan keselamatan si tuli.
Walau kuping Thio-gongcu tuli seperti tanduk kerbau, gerak
kaki tangannya jauh lebih cepat dan lincah dibanding
ketajaman telinga kelinci. Di saat dia menjepit ujung tombak si
kaki buntung, kupingnya juga mendengar suara tulang patah
dari empat orang yang mengeroyok Thio-gongcu.
Dengan melotot kepada si kaki buntung yang terberakberak
ini, Siau Ma bertanya, "Kau juga tinggal di Long-san?"
Si kaki buntung manggut.
"Kau ini serigala pemakan manusia atau Kun-cu-long?"


Kuda Binal Kasmaran Serial Tujuh Senjata Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Si kaki buntung megap-megap, sahutnya, "Aku ... aku
adalah Kuncu ..."
Siau Ma tertawa, jengeknya, "Kau terhitung Kuncu
keparat." Di saat gelak tawanya berkumandang, mendadak
lututnya terangkat dan telak mendarat di bagian vital si kaki
buntung yang segera menungging kesakitan. Tanpa mengeluh
sedikitpun, serigala buntung ini meloso roboh tak bergerak
lagi. Delapan orang berkelejetan di tanah, benar-benar
kelejetan menahan sakit. benar-benar rebah tak kuat berdiri,
umpama tabib sakti diundang kemari juga sukar
menyembuhkan mereka dalam waktu singkat.
Dengan senyum lebar Siau Ma mengawasi Thio-gongcu.
Thio-gongcu berkata, "Kelihatannya kita kena tipu."
Siau Ma tetap tertawa.
"Kenyataan justru mereka tertipu, bukan kita."
Siau Ma bergelak tawa, katanya, "Mungkin lantaran
mereka Kuncu tulen."
"Apa benar Kuncu mudah ditipu orang ?"
"Kuncu lebih senang kalau orang lain tertipu."
Mereka tertawa latah, tertawa bingar.
Keadaan sekitar tetap tenang dan sunyi, tiada gerakan
apapun di atas maupun di sekitar batu cadas. Tiba-tiba
mereka sadar, mungkin lawan menggunakan tipu memancing
harimau meninggalkan sarang, orang yang berani turun,
nyalinya tentu lebih besar dibanding orang yang tidak berani
turun. Berkepandaian tinggi nyalinya besar. Orang yang bernyali
besar, kungfu umumnya juga tinggi dan lihai. Kalau benar
mereka turun, itu berarti orang-orang yang berada di atas
cadas dan sekitarnya sudah dikerjai musuh.
Kali ini Thio-gongcu mendahului melompat ke atas. Dia
tidak bisa melupakan pandangan Hiang-hiang ke arah dirinya
tadi. Begitu naik ke atas, dia melihat sepasang mata Hianghiang.
Mata yang terbuka, kalau tidak mau dikata terbelalak,
sepasang bola mata yang besar bundar lagi jeli dan indah,
menampilkan mimik yang lucu.
* * * * * Setiap manusia, siapa saja, untuk menunjukkan perasaan
yang berbeda biasanya di wajah mereka. Wajah manusia
mana saja, mata adalah ind
Hati Budha Tangan Berbisa 2 Rahasia Mo-kau Kaucu Karya Khu Lung Dendam Iblis Seribu Wajah 5

Cari Blog Ini