Laron Pengisap Darah Karya Huang Yin Bagian 2
sekeliling tempat itu sekejap, tibatiba
pandangan matanya terhenti lagi diatas lantai persis
dimuka jendela, lagi-lagi ditemukan bercak darah segar.
Jui Pakhay menarik napas panjang, tubuhnya segera
melambung lalu menerobos keluar melalui daun jendela.
Angin malam berhembus kencang diluar jendela sana,
rembulan masih tergantung di awang-awang, rembulan yang
bersinar terang dan angin yang menderu-deru.
Ketika Jui Pakhay melompat keluar dari jendela, kebetulan
rembulan sedang bersembunyi dibalik awan, hal ini membuat
suasana diseputar halaman terasa redup dan gelap, angin
musim semi yang semula terasa hangat, tahu tahu berubah
jadi dingin dan menusuk tulang.
Cahaya lentera yang memancar keluar dari balik ruang
perpustakaan masih cukup menerangi sekeliling bangunan,
membuat keadaan diseputar sana masih terlihat cukup jelas.
Kembali dijumpai bercak darah diatas lantai, ini
membuktikan tusukan yang dilepaskan Jui Pakhay tadi cukup
hebat. Biarpun siluman laron itu sudah hilang lenyap tidak
berbekas, lenyap bagaikan setan iblis, namun cairan darah
yang meleleh keluar dari mulut lukanya tidak urung
membocorkan juga jejaknya yang misterius.
Asal mengikuti bercak darah yang menodai sepanjang
jalan, tidak sulit bagi kita untuk menemukan tempat
persembunyiannya.
70 Namun sayang Jui Pakhay sudah tidak sanggup lagi untuk
memandang lebih jauh ke depan, karena waktu itu cahaya
rembulan telah bersembunyi dibalik awan, seluruh halaman
dicekam dalam kegelapan yang mengerikan.
Tiba-tiba dia membalikkan badan lalu menerjang masuk
lagi ke dalam ruangan, dalam kamar ada lentera, dia bersiap
mengambil lentera untuk kemudian melanjutkan lagi
pengejarannya. Tapi begitu tubuhnya melayang turun, kembali jagoan ini
berdiri tertegun.
Baskom berisi air masih tetap seperti sediakala, lidah api
dalam tabung tembaga juga masih membara seperti semula,
namun kawanan laron penghisap darah yang terluka dan
semula tergeletak disekeliling baskon, kini sudah hilang lenyap
tidak berbekas, seekor pun tidak nampak.
Bukan begitu saja bahkan sekawanan laron penghisap
darah yang semula masih mengapung diatas permukaan air
pun kini juga ikut lenyap.
Padahal serangga-serangga itu dalam keadaan terluka,
mustahil mereka bisa menggerakkan lagi sayapnya, aneh,
mengapa mereka dapat pergi meninggalkan tempat ini"
Terbang" Jelas tidak mungkin, atau pergi dengan merangkak"
Dengan sebuah lompatan kilat Jui Pakhay mendekati
baskom berisi air itu, lalu sambil pentangkan matanya lebarlebar
dia periksa seputar tempat itu.
Meski sudah ada empat buah lidah api yang padam dalam
tabung tembaga itu, namun masih ada tiga yang hidup dan
tetap membakar, cahaya yang terpancar keluar pun sangat
terang, membuat dia dapat melihat seputar sana dengan
sangat jelas. 71 Tidak salah, disana memang tidak ada seekor laron pun,
namun air bersih yang semula memenuhi baskom itu, kini
telah berubah jadi air darah!
Jangan-jangan bangkai dari kawanan laron penghisap
darah itu sudah hancur dan berubah jadi air darah" Dengan
perasaan penuh tanda tanya, jagoan itu mencoba
mencelupkan ujung pedangnya ke dalam air darah.
Belum sempat ujung pedang menyentuh permukaan air,
mendadak air darah dalam baskom itu hilang lenyap. Yang
lenyap hanya darah, bukan airnya.
Baskom itu masih dipenuhi dengan air, air bersih. Jui
Pakhay segera mengurungkan niatnya untuk mencelupkan
ujung pedang ke dalam air.
Dengan sigap dia berpaling ke arah jendela, namun bercak
darah yang semula menodai permukaan lantai, kinipun hilang
lenyap tidak berbekas, seakan sudah meresap ke dasar tanah.
Dengan perasaan tercekat dia periksa tangan sendiri, ujung
jarinya sempat memegang noda darah itu bahkan masih dapat
merasakan hangatnya darah, tapi..... ternyata diujung jaripun
tidak nampak ada noda darah, jangan jangan semua yang
dialami hanya ilusi" Hanya khayalan" Atau darah itu memang
benar-benar darah iblis"
Jui Pakhay tidak tahu. Peristiwa aneh ini benar-benar
membuatnya tidak habis mengerti dan tidak percaya, namun
mau tidak mau dia harus mempercayainya juga
Sebenarnya air bersih" Atau air darah"
Bab 5. Sakit hati dan Obat hati.
Kalau dia sendiripun tidak percaya, biar diceritakan kepada
orang pun ada siapa yang mau mempercayainya"
72 Dia tertawa getir, yaa! Dia memang hanya bisa tertawa
getir. 0-0-0 Bulan tiga tanggal sebelas. Fajar. Angin timur kembali
berhembus kencang, guguran bebungahan rontok bagaikan
hujan gerimis. Jui Pakhay berdiri termangu ditengah guguran bunga. Dia
berdiri kaku ditengah serambi panjang.
Tidak sedikit guguran bunga yang terbawa masuk ke dalam
serambi oleh hembusan angin timur, namun dia tidak
memungutnya, menggubris pun tidak
Dia kuatir dibalik guguran bunga itu hinggap seekor laron
penghisap darah, dia takut sewaktu dia pungut bunga
tersebut, sang laron akan menusuk tangannya dan menghisap
darahnya. Mengawasi guguran bunga yang berserakan ditanah,
perasaan hatinya amat masgul, sedikitpun tak terlintas
keriangan musim semi.
Dia tidak merasakan apa-apa, dia tidak punya perasaaan
apa pun. Sorot matanya mendelong seperti orang bodoh,
hatinya sudah kaku, sudah membeku, sedikitpun tak ada
perasaan apapun.
Rasa takut yang mencekam, teror horor yang berulang,
rasa mengantuk, kurang tidur, harus dialami belasan hari
secara beruntun, dalam situasi dan kondisi seperti ini,
bagaimana mungkin ia dapat mempertahankan diri" Tidak
menjadi gila pun sudah sangat beruntung.
Bahkan dia sama sekali tidak merasa kalau Gi Tiok-kun
telah berjalan mendekatinya.
Kelihatannya Gi Tiok-kun sendiripun tidak menyangka akan
berjumpa dengan Jui Pakhay di serambi tersebut pada saat
73 sperti ini, padahal serambi itu letaknya sangat jauh dari
Perpustakaan buku.
Serambi tersebut selain penuh dengan kelokan dan
tikungan, Jui Pakhay juga bukan berdiri ditengah jalan, diapun
sama sekali tidak menimbulkan suara apa pun, menanti dia
bertemu dengan suaminya, untuk menghindar sudah tidak
sempat lagi. Begitu melihat kehadiran suaminya, paras muka perempuan
itu segera menunjukkan perasaan kaget bercampur ngeri,
cepat badannya menyusut dan berusaha untuk
menghindarkan diri dari pertemuan itu.
Sayang walaupun Jui Pakhay tidak melihat bayangan
tubuhnya, namun suara langkah kakinya yang nyaring sudah
cukup menarik perhatian suaminya.
Pelan-pelan Jui Pakhay berpaling, namun ketika sorot
matanya yang kaku dan mendelong itu bertemu dengan tubuh
Gi Tiok-kun, mendadak dia gemetar keras kelopak matanya
seketika menyusut kencang.
"Laron............."
Baru mengucapkan sepatah kata, dia segera menghentikan
teriakannya di tengah jalan.
Hari ini Gi Tiok-kun mengenakan pakaian berwarna hijau
pupus, hijau bagaikan warna kemala, persis seperti warna
tubuh sang laron, warna sayap dari laron.
Keadaan Jui Pakhay saat itu tidak ubahnya seperti sang
burung yang takut melihat busur, baru menjumpai warna
semacam itu dia sudah ketakutan setengah mati, karena
secara otomatis dia menghubungkan warna tersebut dengan
sang laron penghisap darah.
Tanpa sadar tangannya sudah mulai menggenggam gagang
pedangnya kencang-kencang, masih untung dia dapat
74 membedakan kalau bayangan yang muncul adalah seorang
manusia, bininya.
Itulah sebabnya teriakannya ditelan kembali separuh jalan,
kemudian karena tidak ada lagi bahan pembicaraan maka
untuk sesaat dia hanya mengawasi wajah bininya dengan
pandangan tertegun.
Gi Tiok-kun sendiripun tidak bicara, perasaan ketakutan
bercampur ngeri masih kental menghiasi wajahnya, dia seakan
baru saja bertemu dengan seorang manusia sinting, orang
gila! Bila seseorang bertemu dengan orang gila dan sang orang
gila memancarkan sinar napsu membunuh yang tebal, apalagi
ditangannya menggenggam sebilah pedang tajam, tentu saja
siapa pun akan berusaha untuk menghindarkan diri, dan
paling baik adalah membungkam diri.
Gi Tiok-kun tidak bersuara, diapun tidak bisa bersuara
karena dia tak lain adalah bininya si orang gila.
Begitulah, kedua orang itu saling berhadapan dan saling
berpandangan bagaikan sepasang boneka kayu, tak ada yang
bicara, pun tak ada yang melakukan suatu tindakan atau
gerakan apapun Keadaan mereka berdua sama sekali tidak mirip dengan
sepasang suami istri, jangan lagi suami istri, dengan orang
asingpun jauh lebih terasa asing.
Dua orang asing yang bersua dipagi hari pun kadangkala
akan saling menyapa, tidak mungkin mereka akan berusaha
menghindar begitu bertemu dari kejauhan.
Kembali Jui Pakhay merasa amat pedih, akhirnya dia tidak
kuasa menahan diri, tegurnya lebih dulu:
"Sepagi ini, kau hendak kemana?"
"Mencari angin di tepi kolam teratai"
75 "Kenapa" Murung" Masgul?"
Gi Tiok-kun tidak menjawab.
Jui Pakhay tidak mendesak lebih jauh, setelah menghela
napas panjang kembali ujarnya:
"Bunga teratai memang masih mekar berkembang,
mumpung belum layu, kalau ingin menikmati memang
sekarang waktunya....."
Walaupun bicara begitu namun kakinya sama sekali tidak
bergeser setengah langkah pun, sorot matanya juga tidak
pernah beralih untuk mengawasi perempuan itu, dia seakan
sama sekali tidak berniat untuk menemani bininya berjalan
jalan ke tepi kolam.
Gi Tiok-kun sendiripun tetap membungkam diri, dia masih
berdiri mematung.
"Apa lagi yang kau tunggu?" kembali Jui Pakhay menegur
sambil menghela napas.
"Kau tidak ikut?" tanya Gi Tiok-kun lirih.
"Kau berharap aku turut serta?"
Kembali Gi Tiok-kun terbungkam, dia seakan tidak tahu
bagaimana harus menjawab pertanyaan itu.
Setelah tertawa getir kembali Jui Pakhay berkata:
"Sebenarnya akupun ingin menemani kau berjalan-jalan ke
sana, sayang aku masih ada urusan lain yang harus segera
diselesaikan, lebih baik kau pergilah seorang diri"
Tertawanya nampak begitu mengenaskan, sorot matanya
juga mengenaskan, benarkah dia tidak sanggup untuk ikut
serta bersama istrinya" Benarkah ada urusan penting yang
harus segera dia selesaikan"
Gi Tiok-kun tidak bertanya, dengan kepala tertunduk dia
melanjutkan kembali langkahnya meninggalkan tempat itu.
76 Dengan termangu dan pandangan mendelong Jui Pakhay
mengawasi bininya berjalan lewat dari sisi tubuhnya. Baru
berjalan setengah kaki, mendadak perempuan itu mulai
mempercepat langkahnya dan buru buru kabur dari situ.
"Tiok-kun!" teriak Jui Pakhay lantang. Teriakan itu sangat
mendadak, nada suara yang digunakan pun aneh sekali.
Seketika itu juga Gi Tiok-kun nampak tertegun, langkah
kakinya yang mulai diayunkan cepat seketika terhenti, namun
dia tidak berpaling.
Begitu memanggil nama istrinya, Jui Pakhay segera
bergerak cepat mengejar kearah depan. Apakah dia telah
berubah pikiran dan sekarang berniat menemani Gi Tiok-kun
berjalan jalan di tepi kolam bunga teratai"
Menyaksikan suaminya berjalan mendekat, wajah Gi Tiokkun
sama sekali tidak menunjukkan perasaan girang atau
puas, bahkan berpaling pun tidak.
Menanti suaminya telah menyusul tiba dan berhenti persis
disisi tubuhnya, Gi Tiok-kun baru tidak bisa menahan diri, dia
berpaling lalu menegur:
"Ada apa?"
Jui Pakhay tidak menjawab, hanya sepasang matanya yang
terbelalak lebar mengawasi terus tangan kiri bininya tanpa
berkedip. Waktu itu sepasang tangan Gi Tiok-kun disembunyikan
dibalik bajunya, sekarang yang dia tatap adalah ujung
bajunya. Ujung baju berwarna hijau bagaikan kemala itu tampak
dihiasi segumpal bercak warna merah yang mencolok, begitu
merahnya hingga mirip sekali dengan darah segar.
Kelihatannya Gi Tiok-kun sudah merasa apa yang sedang
diperhatikan suaminya, tanpa sadar dia menarik tangan kirinya
77 makin ke dalam, namun gerakan tubuh Jui Pakhay jauh lebih
cepat, dengan suatu gerakan kilat dia sudah pegang tangan
Laron Pengisap Darah Karya Huang Yin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kiri itu dan menariknya kuat kuat.
Cengkeraman itu nampaknya mengenai bagian tangannya
yang sakit, keningnya nampak berkerut dan wajahnya
menunjukkan kesakitan yang luar biasa.
Jui Pakhay tidak memperhatikan hal itu, sinar matanya
seratus persen tertuju ke ujung baju itu, mendadak ia
menegur: "Kenapa dengan tangan kirimu itu?"
Sekujur tubuh Gi Tiok-kun gemetar keras, agak tersedak
sahutnya: "Tidak apa apa, tidak apa apa......."
"Kalau tidak apa apa, kenapa ada darah yang mengalir"
Kenapa sampai baju mu pun ada bercak darahnya?"
"Jangan jangan lenganmu terluka" Darah itu mengalir
keluar dari mulut luka di lengan mu?"
Tanpa banyak bicara lagi dia tarik keluar lengan kiri Gi Tiokkun
dari balik bajunya, benar juga, lengan yang putih mulus
bagaikan pualam itu kini sudah dibalut dengan selembar kain
putih. Kain perban putih itu sudah berubah menjadi merah, basah
oleh cucuran darah segar.
"Apa yang terjadi?" kembali Jui Pakhay menegur dengan
wajah berubah, "mengapa lenganmu terluka dan
mengucurkan banyak darah?"
"Tadi...... tadi aku sedang menjahit pakaian, karena kurang
hati hati.... lenganku.... lenganku terkena gunting hingga
terluka......." sahut Gi Tiok-kun agak tergagap.
78 Menjahit pakaian" Kena gunting" Bagaimana cara dia
memegang gunting hingga bisa melukai lengan sendiri" Mana
mungkin sebuah gunting bisa melukai lengannya separah ini"
Satu ingatan melintas dalam benak Jui Pakhay, serunya
kemudian: "Coba aku periksa bagaimana keadaan lukamu itu?"
Tidak menunggu persetujuan dari bininya, ia segera
membuka kain perban yang membungkus lengan perempuan
itu, benar juga, luka yang dideritanya cukup parah, mulut luka
sepanjang lima-enam inci dengan kedalaman dua-tiga mili,
cairan darah masih bercucuran dengan derasnya dari mulut
luka itu. Ditinjau dari mulut luka yang begitu dalam, mena mungkin
disebabkan terluka oleh gunting"
Dalam sekilas pandangan saja, Jui Pakhay sudah
mengetahui kalau luka itu berasal dari luka pedang, air
mukanya seketika berubah hebat, dia pingin menjerit, namun
tidak sepatah kata pun yang meluncur keluar.
Dia percaya dan yakin, dugaan dan kesimpulan yang dibuat
tidak bakal salah. Tidak seharusnya salah.
Bagaimanapun juga dia adalah seorang jagoan lihay dalam
penggunaan pedang, seharusnya bukan pekerjaan yang
kelewat sulit untuk membedakan mulut luka itu berasal dari
luka pedang atau bukan.
......Tapi.......mengapa dia harus berbohong"
Tanpa sadar sorot mata Jui Pakhay pelan-pelan dialihkan ke
wajah perempuan itu, tampak paras muka Gi Tiok-kun
dicekam perasaan takut dan ngeri yang luar biasa, apa yang
dia takuti" Apa yang membuatnya merasa ngeri"
79 Dengan terkesima Jui Pakhay mengawasi bininya tanpa
berkedip, rasa takut dan ngeri yang mencekam perasaan
hatinya sedikitpun tidak dibawah rasa takut perempuan itu.
......Dia tak mengerti ilmu silat, tidak ada alasan dia
menggunakan pedang, tapi mengapa dia terluka" Mengapa
luka yang ada dilengannya berasal dari luka bekas tusukan
pedang" ......Jangan jangan........." Mana mungkin dia"
Tapi kalau bukan dia, lantas siapa"
......Ditempat ini, dirumah kediaman mereka, siapa yang
berani melukainya dengan menggunakan pedang" Tidak ada
orang lain, kecuali aku!
.....Jangan-jangan laron penghisap darah yang amat besar
dan muncul dalam perpustakaan semalam adalah jelmaannya"
Jangan-jangan dia jelmaan dari siluman laron"
.....Itu berarti tusukan pedang yang dilancarkan semalam
telah mengenai lengannya, darah yang menodai ujung
pedangnya, bercak darah dilantai, semua adalah darah yang
berasal dari tubuhnya"
.....Tapi.... mengapa bercak bercak darah itu
bisa lenyap dalam waktu singkat" Mungkinkah ketika dia
menjelma jadi laron penghisap darah, cairan darah yang
mengalir dalam tubuhnya ikut berubah pula jadi darah
siluman" ....Kesemuanya ini merupakan kenyataan, jangan-jangan
dia memang benar-benar jelmaan dari siluman laron
penghisap darah" Dia adalah seekor siluman laron" Makin
berpikir, Jui Pakhay merasa makin terkejut dan ngeri.
......Bukankah hal ini berarti, untuk menyelamatkan nyawa
sendiri, dia harus menghabisi nyawanya"
80 ..... Tapi, bagaimana pun juga dia adalah istriku, tegakah
aku membunuhnya"
Kelopak mata Jui Pakhay mulai bergetar, kulit matanya
seakan melompat-lompat, dia memandang sekejap tangan
sendiri lalu memandang pula tangan Gi Tiok-kun, akhirnya dia
lepaskan genggamannya dan menghela napas panjang.
"Percuma kalau kau hanya membungkus dengan kain
perban, si nenek tukang masak mengerti soal luka pisau, pergi
dan cari dia, mintalah obat luka luar, kalau tidak mulut luka itu
akan membusuk dan semakin parah"
"Baik, aku segera pergi mencarinya" akhirnya Gi Tiok-kun
mengangguk. "Bukankah tadi kau bilang mau jalan jalan ke kolam
teratai?" kembali Jui Pakhay berkata sambil tertawa hambar.
Gi Tiok-kun nampak tertegun, tapi akhirnya dia tundukkan
kepalanya. Belum sempat dia mengucapkan sesuatu, kembali Jui
Pakhay melanjutkan:
"Jalan-jalan mah urusan kecil, lebih baik perhatikan
kesehatan badan sendiri, aku rasa luka itu tidak terlalu serius,
Liu popo tentu bisa mengobatinya"
"Ehmml"
"Kenapa tidak segera pergi?"
Gi Tiok-kun memang seorang bini yang penurut, dia segera
beranjak pergi dari situ.
Memandang hingga bayangan tubuhnya menjauh, sorot
mata kesedihan yang terpancar keluar dari mata Jui Pakhay
nampak makin tebal dan kental.
Mengawini istri hasil jelmaan siluman laron, siluman yang
berusaha menghisap darahnya, sama parahnya sama
81 pedihnya seperti mengawini istri yang membohongi dirinya,
tidak setia kepadanya, bila semua kejadian terbukti
merupakan kenyataan, jelas hal ini merupakan sebuah tragedi
yang amat memilukan hati.
Angin timur kembali berhembus lewat, kembab bunga
berguguran, ditengah guguran bunga yang menyelimuti
angkasa, kembali Jui Pakhay menghela napas panjang.
Tahun ini bunga berguguran, tahun depan bunga akan
kuncup dan mekar kembali, tapi bagaimana dengan perasaan
yang mulai retak, hubungan yang mulai renggang, masih
adakah kesempatan untuk memperbaiki dan membinanya
kembali jadi utuh dan damai"
0-0-0 Bulan tiga tanggal dua belas, ditengah hujan rintik dan
angin kencang, seorang rekan lama telah datang berkunjung.
Orang yang datang sebenarnya bukan sanak, bukan pula
keluarga dengan Jui Pakhay, karena orang ini tidak lain adalah
kakak misan Gi Tiok-kun.
Sebutan kakak misan atau piauko sering bukan hanya
melambangkan seorang piauko yang sebenarnya, terkadang
melambangkan juga bekas kekasih lama.
Konon banyak perempuan yang senang menyebut kekasih
hatinya sebagai piauko, sebab panggilan ini bukan saja dapat
mengurai kesungkanan dalam penyebutan, pun jauh lebih
leluasa dan bebas, tidak gampang memancing kasak usuk
orang lain. Tentu saja piauko dari Gi Tiok-kun ini belum tentu piauko
macam begitu. Piauko nya ini bernama Kwee Bok, sepintas lalu
memandang usianya mungkin jauh lebih muda ketimbang usia
Gi Tiok-kun. Selain masih muda, dia pun berwajah tampan.
82 Bukankah pemuda tampan semacam ini merupakan pilihan
setiap gadis muda di dunia ini" Tidak heran kalau Jui Pakhay
merasa amat tidak senang dengan kehadiran Kwee Bok.
Setelah sibuk seharian penuh dan menyerahkan urusan lain
kepada pegawainya, dia berencana kembali ke Perpustakaan
untuk beristirahat, saat itulah Gi Tiok-kun muncul sambil
membawa piauko nya Kwee Bok.
Ternyata mereka berdua datang bersama ke Ruang
Perpustaan, paling tidak mereka datang berurutan, satu
didepan dan yang lain menyusul di belakangnya.
Gi Tiok-kun berjalan dimuka, berulang kali dia berpaling
menengok sekejap piaukonya, sementara Kwee Bok menyusul
dibelakang, sepasang matanya seakan belum pernah berpisah
dari tubuh Gi Tiok-kun yang ramping semampai.
Melihat kesemuanya itu, Jui Pakhay merasa sangat kheki,
jengkel bercampur mendongkol, namun dia berusaha
menahan diri, emosinya tidak sampai diutarakan keluar.
Masih dengari senyum dikulum dia segera menyapa:
"Siapakah saudara cilik ini?"
"Ooh, dia piauko ku" buru buru Gi Tiok-kun
memperkenalkan saudaranya.
"Ooh, rupanya piauko mu, siapa namanya?"
"Kwee Bok!"
"Ehmm, aku seperti pernah mendengar nama ini"
"Padahal kau semestinya sudah pernah berjumpa
dengannya"
"Apa sewaktu dirumah ibu angkatmu dulu?"
Gi Tiok-kun mengangguk.
83 "Tidak aneh kalau rasanya pernah bertemu, silahkan
duduk!" Dia mengulapkan tangannya mempersilahkan tamunya
duduk, mimik muka serta penampilannya amat sopan.
Bagai terkejut dan tidak menyangka akan perlakuan orang,
Kwee Bok nampak salah tingkah dan buru buru duduk
disebuah bangku dengan tersipu.
Dengan pandangan dingin Jui Pakhay mengawasi orang itu
hingga duduk, meski dimulut dia bicara sungkan padahal hati
kecilnya dongkol bukan kepalang, kalau bisa dia pingin
menendang pantat sang piauko hingga menggelinding keluar
dari pintu. Meski api cemburu sudah membara dalam hati kecilnya,
namun dia berusaha untuk menahan diri, karena dia pingin
tahu apa sebabnya Gi Tiok-kun mengajak piauko nya datang
menghadap"
Seakan tidak ada kejadian apa pun, dia berkata kepada
Kwee Bok: "Sudah hampir tiga tahun lamanya aku tidak berkunjung ke
rumahnya Gi Toama, tidak heran kalau meski sudah pernah
bertemu, namun lantaran kejadian sudah kelewat tiga tahun,
sekarang aku sudah tidak mengenalinya lagi"
"Tidak berani, tidak berani" buru-buru Kwee Bok merendah
"Boleh aku tahu ada urusan apa kau datang berkunjung kali
ini?" Sebelum Kwee Bok buka suara, Gi Tiok-kun sudah berebut
menjawab duluan:
"Piauko ku adalah seorang tabib kenamaan, sejak kecil dia
sudah belajar ilmu pengobatan, pandai periksa nadi, pandai
mengobati pelbagai penyakit, dua tahun terakhir da sudah
84 banyak mengobati penyakit orang dan selamatkan jiwa
mereka" "Ooh?"
"Aku lihat pikiran dan kesadaranmu kurang normal, sering
mengucapkan kata kata yang aneh dan sama sekali tidak
masuk diakal, maka aku sengaja mengundangnya datang
untuk memeriksakan kondisi kesehatanmu"
Ternyata inilah alasan kedatangannya.
Bila ditinjau dari perkataan Gi Tiok-kun barusan, dia seakan
sama sekali tidak tahu persoalan yang sebenarnya, dia sangka
otak Jui Pakhay sudah tak waras, dia sudah dianggapnya gila,
edan! .....Mungkin dia memang bukan jelmaan dari laron
penghisap darah" Dia memang bukan jelmaan dari siluman
laron" .....Benarkah selama berapa hari belakangan, dia benarbenar
tidak pernah melihat kawanan laron penghisap darah
itu" .....Benarkah dia sangat memperhatikan kondisi
kesehatannya"
Jui Pakhay merasakan hatinya dingin, sekulum senyuman
aneh menghiasi wajahnya, seperti sedang tertawa dingin,
seperti juga sedang tertawa getir.
Sambil tertawa, ujarnya: "biarpun perasaanku tidak stabil,
gerak gerikku masih tetap normal dan wajar, apa yang
kuucapkan juga tidak aneh, aku sama sekali tidak sakit, buat
apa kau mencarikan tabib?"
"Diperiksa tabib bukanlah suatu kejadian yang buruk" bujuk
Gi Tiok-kun sambil menghela napas.
"Kalau kau bersikeras mengatakan aku sedang sakit,
penyakit yang kuderita hanya semacam!"
85 "Apa penyakitmu?"
"Sakit hati"
"Sakit hati?" Gi Tiok-kun nampak tertegun.
"Yaa. Sakit hati" pelan-pelan dia membalikkan badan dan
berpaling ke arah Kwee Bok kemudian terusnya, "tahukah kau
sakit hati mesti disembuhkan dengan apa?"
Laron Pengisap Darah Karya Huang Yin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kwee Bok tertegun.
Belum sempat dia mengucapkan sepatah katapun, Jui
Pakhay telah bicara lebih jauh:
"Penyakit lain mungkin harus disembuhkan oleh seorang
tabib, tapi sakit hati ....." Aku rasa tidak perlu tabib untuk
menyembuhkannya"
Kwee Bok manggut-manggut, baru saja dia akan
mengucapkan sesuatu, Jui Pakhay telah berkata lebih jauh:
"Padahal hanya ada satu cara untuk menyembuhkan
penyakit semacam ini"
Pelan-pelan sorot matanya dialihkan ke tempat kejauhan
sana, setelah menghela napas panjang, lanjutnya:
"Untuk menyembuhkan sakit hati dibutuhkan tabib penyakit
hati, sang tabib penyakit hati bila ingin mengobati sakit hati,
diapun harus menggunakan obat hati"
Setelah menghela napas panjang, tambahnya:
"Oleh sebab itu obat hati memang paling susah dicari dan
didapatkan dibandingkan dengan obat apa pun"
Gi Tiok-kun dan Kwee Bok saling berpandangan dengan
wajah termangu, walau hanya sekali saling berpandangan
namun dibalik pandangan tersebut seakan mengandung
banyak, banyak sekali maksud yang mungkin hanya diketahui
mereka berdua. 86 Setelah itu sorot mata mereka berdua kembali dialihkan ke
wajah Jui Pakhay, hanya kali ini mimik muka yang mereka
tampilkan adalah perasaan iba dan kasihan.
Pandangan ke dua orang ini seakan pandangan terhadap
seseorang yang telah mengidap penyakit yang amat parah
Tentu saja Jui Pakhay dapat melihat perubahan mimik
muka mereka berdua, dia segera tertawa, mendadak ujarnya
lagi: "Perkataanku mungkin tidak kalian pahami, mungkin juga
dipahami, perduli mau mengerti atau tidak, aku tak ambil
perduli" Sekali lagi dia berpaling menatap wajah Kwee Bok, sambil
meletakkan tangannya ke atas meja kecil, ujarnya:
"Kalau memang kau sudah banyak belajar ilmu pertabiban,
pandai memeriksa nadi dan membuka resep obat, coba
periksakan denyut nadiku, lihatlah apa aku benar-benar telah
mengidap penyakit?"
Kwee Bok melirik Gi Tiok-kun sekejap, kemudian baru
mengangguk. "Baiklah, akan kuperiksa!"
Dia tempelkan jari tangannya ke atas pergelangan tangan
Jui Pakhay, sementara paras mukanya berubah amat serius,
seluruh perhatiannya dipusatkan jadi satu, lagaknya persis
seperti seperti seorang tabib pengalaman.
Jui Pakhay tidak menampilkan perubahan mimik wajah
apapun, sementara dihati kecilnya diam-diam dia tertawa geli,
dia tidak percaya orang itu berhasil menemukan sesuatu
penyakit pada dirinya, karena jauh sebelum kejadian ini, dia
sudah dua kali memeriksa sendiri seluruh badannya.
87 Dia yakin kalau badannya sehat dan tidak mengidap
penyakit apapun, meski begitu, dia tetap membiarkan Gi Tiokkun
dan Kwee Bok melakukan apa mereka mereka kehendaki
Sebab dia sudah menaruh curiga, dia ingin tahu permainan
busuk apa yang sebenarnya sedang dipersiapkan kedua orang
itu, diapun ingin menjajal apa benar Kwee Bok adalah seorang
tabib sakti seperti apa yang dia katakan.
Kalau dibilang seorang pemuda tampan macam dia adalah
seorang tabib pintar yang pandai mengobati pelbagai
penyakit, siapa pun rasanya tak mau percaya dengan begitu
saja. Sejak awal, Jui Pakhay nampaknya sudah mencurigai setiap
tindak tanduk dan perkataan yang diucapkan Gi Tiok-kun
Sekalipun begitu, kadangkala wajah seseorang memang tak
bisa mencerminkan kehebatan yang dimiliki orang itu.
Pemuda yang bernama Kwee Bok ini bukan saja pandai
memeriksa denyut nadi orang, dia bahkan benar-benar
memiliki kepandaian pertabiban yang mengagumkan.
Setelah memeriksa denyut nadinya, Kwee Bok memeriksa
juga raut wajah Jui Pakhay dengan seksama, tiba tiba sorot
matanya berubah jadi aneh sekli.
Melihat perubahan wajah orang, dengan cepat Jui Pakhay
merasakannya, buru-buru dia menegur:
"Bagaimana" Apakah aku berpenyakit?"
"Denyut nadinya sangat normal sama sekali tak ada gejala
sakit atau menderita suatu penyakit, aku lihat kau hanya
kurang tidur saja"
Jui Pakhay agak tertegun, kemudian ia tertawa tergelak:
"Hahahaha....ternyata kau hebat juga, terus terang aku
sendiripun mengerti sedikit tentang ilmu pertabiban,
menderita sakit atau tidak aku mengetahui dengn jelas sekali"
88 Kwee Bok tertawa getir.
"Kalau dibiang kau sedang sakit, rasanya penyakitmu
memang semacam sakit hati yang baru bisa disembuhkan bila
diobati dengan obat hati"
"Hahaha....memang begitulah masalahnya"
"Kalau memang begitu, aku tidak bisa membantumu"
"Untuk mengobati penyakit hati memang tidak dibutuhkan
seorang tabib, asal kita bisa menemukan sumber penyakitnya,
biar seseorang yang tidak memahami ilmu pertabiban pun,
rasanya tidak sulit untuk menemukan cara yag tepat untuk
mengobatinya"
"Dan kau telah berhasil menemukan sumber penyakitnya?"
tanya Kwee Bok ceat.
Jui Pakhay manggut manggut:
"Yaa, sejak awal sudah kutemukan"
"Lalu sudah kau temukan cara untuk mengobati penyakit
itu?" "Sudah"
"Waah, kalau begitu kedatanganku sama sekali tidak ada
gunanya" kata Kwee Bok kemudia sambil menghela napas
panjang. Setelah berhenti sejenak, tiba-tiba dia tertawa tergelak,
katanya lebih jauh:
"Tapi begini pun ada baiknya juga, paling tidak piaumoayku
tidak usah kuatir dan risau siang malam"
Sambil tertawa dia mengerling sekejap ke arah Gi Tiok-kun.
Gi Tiok-kun ikut tertawa, hanya tertawanya kelewat
dipaksakan, kalau dilihat dari tampangnya seakan dia lebih
89 suka merasa kuatir siang dan malam daripada menjumpai Jui
Pakhay tidak menderita sakit.
Seandainya suaminya benar-benar menderita sakit, belum
tentu dia akan merasa kuatir siang dan malam.
Dalam hati kecilnya Jui Pakhay berpikir terus sementara
penampilan wajahnya justru lain, senyuman mulai menghiasi
ujung bibirnya, kepada Kwee Bok ujarnya:
"Aku lihat kedatanganmu memang tepat pada waktunya"
"Oya....?" Kwee Bok agak tercengang.
"Saat ini aku memang sedang murung bercampur masgul,
aku memang butuh seseorang untuk menemani aku minum
barang berapa cawan"
Sekali lagi Kwee Bok tertegun.
"Kau sudah makan siang?" Gi Tiok-kun bertanya pula.
"Belum!"
"Mengerti cara minum arak?" sambung Jui Pakhay.
"Berapa cawan mah masih sanggup"
"Bagus sekali!" seru Jui Pakhay sambil bertepuk tangan.
Dia segera berpaling, belum sempat minta kepada istrinya
untuk mempersiapkan perjamuan, Gi Tiok-kun sudah berkata
duluan: "Biar kuperintahkan orang untuk menyiapkan sayur dan
arak" Selesai berkata dia segera berlalu dengan senyuman
menghiasi wajahnya.
Kalau dilihat tampang wajahnya, dia seperti amat gembira
karena Kwee Bok bisa tinggal lebih lama lagi disitu.
Sedemikian gembiranya sehingga dia lupa untuk bertanya
kepada Jui Pakhay, perjamuan harus disiapkan dimana.
90 Bab 6. Malam bulan purnama.
Meja perjamuan telah dipersiapkan dalam ruang samping.
Disitulah Jui Pakhay biasanya menjamu para tamutamunya,
paling tidak Gi Tiok-kun masih teringat dengan
kebiasaan suaminya ini. Dia perintahkan orang untuk
menyiapkan enam macam hidangan, lima macam hidangan
lezat ditambah semacam hidangan lagi yang masih tertutup
dengan kain sutera halus.
Dengan sorot mata berkilat Jui Pakhay menyebutkan nama
dari kelima macam hidangan itu satu per satu, akhirnya dia
berhenti memandang di atas hidangan yang masih tertutup
dengan kain sutera itu, tanyanya keheranan:
"Hidangan macam apa lagi yang ada dibalik kain itu?"
"Ooh, hidangn ini adalah bola udang masak madu, sebuah
hidangan yang khusus aku masak sendiri" sahut Gi Tiok-kun
sambil membuka penutupnya.
Bola udang goreng yang ditaburi madu bening diatasnya,
dihiasi pula denga mentimun yang hijau sehingga bentuk
hidangan ini mirip dengan sebuah mutiara berwarna hijau
kemala. Selain indah bentuknya juga lezat rasanya, jelas Gi Tiokkun
sudah menggunakan banyak pikiran dan tenaga untuk
mempersiapkan hidangan istimewa ini.
Kwee Bok dengan mata melotot besar sedang mengawasi
hidangan bola udang itu tanpa berkedip, wajahnya nampak
kerakusannya. Dilihat dari tampang mukanya, jelas dia merasa tidak asing
dengan hidangan tersebut, hunya saja sudah kelewat lama
tidak pernah mencicipinya lagi.
91 Sebaliknya Jui Pakhay justru menunjukkan wajah
keheranan, dia sepertinya belum pernah mendengar nama
hidangan seperti itu, terlebih diapun tidak tahu kalau istrinya
memiliki kepandaian sehebat ini.
Ditatapnya wajah perempuan itu dengan termangu,
kemudian baru tegurnya:
"Rupanya kau mempunyai kepandaian dihidang memasak?"
"Kepandaiannya yang paling utama memang dalam bidang
ini" sambung Kwee Bok sebelum perempuan itu sempat
menjawab. Tidak nyana sang kakak misan ternyata jauh lebih mengerti
ketimbang Jui Pakhay yang menjadi suaminya, bisa
dibayangkan bagaimana perasaan hatinya saat ini.
"Oya.....?" serunya kemudian.
Kembali Kwee Bok berkata:
Bola udang dilapisi madu merupakan hidangan andalannya,
buatan dia sangat lezat, sudah tiga tahun aku tidak pernah
mencicipinya"
Jui Pakhay merasakan hatinya makin kecut, meski begitu
dia sempat tertawa juga, katanya:
"Aneh, aku yang menjadi suaminya malah belum pernah
mencicipi"
Meskipun dia masih tertawa namun nada suaranya sudah
kedengaran agak berubah, Gi Tiok-kun segera dapat
merasakan perubahan itu.
Kwee Bok bukan orang bodoh, tentu saja diapun dapat
mendengar perubahan nada suara pembicaraannya, teringat
kembali apa yang diucapkan orang itu, kontan wajah pemuda
tampan ini berubah menjadi beku.
Setelah tertawa tergelak kembali Jui Pakhay berkata:
92 "Rupanya lantaran kehadiranmu kali ini, dia khusus turun
ke dapur untuk mempersiapkan sendiri beberapa hidangan ini,
hahaha.....kelihatannya aku telah membonceng hokkie mu!"
Begitu perkataan tersebut diutarakan, paras muka Gi Tiokkun
kontan berubah makin tidak sedap dipandang.
Sambil tertawa paksa buru buru Kwee Bok berkata:
"Setelah menikah dengan orang kaya, kebanyakan wanita
memang enggan turun tangan sendiri, mungkin lantaran
kedatangan aku si piauko kali ini, dia jadi teringat akan
kepandaiannya memasak hingga turun tangan sendiri,
mungkin dia pingin tahu apakah kepandaiannya masih ada
atau tidak......"
Kemudian sambil berpaling ke arah Gi Tiok-kun, terusnya:
"Bukan begitu maksudmu piaumoay?"
Tentu saja Gi Tiok-kun segera mengangguk berulang kali.
"Aaah, kalau begitu aku harus mencobanya, siapa tahu
kalau akupun cocok dengan selera masaknya....."
Seraya berkata, kembali dia tertawa tergelak.
Melihat suasana mereda kembali, Gi Tiok-kun maupun
Kwee Bok diam diam menghembuskan napas lega.
Kembali Jui Pakhay berkata sambil tertawa:
"Kita semua kan orang sendiri, kenapa mesti sungkan
sungkan" Mari, mumpung masih panas, kita makan bersama"
Sambil berkata, dia segera menyumpit sepotong udang dan
digigit ke dalam mulut.
"Ciiit......ciiit....!" siapa tahu begitu udang tersebut digigit,
bergema suara yang sangat aneh, ternyata bukan udang yang
dia gigit melainkan daging seekor tikus.
93 Bangkai tikus! Cairan merah darah segera memancar keluar
dari daging yang digigit dan mengalir masuk melalui
tenggorokannya.
Cairan darah itu membawa semacam bau busuk yang tidak
terlukiskan dengan kata, mirip sekali dengan bau busuk dan
bangkai tikus yang mulai membusuk.
Semestinya bau udang tidak seperti bau begini, sudah pasti
bukan! Lalu apa isi bola udang berlapis madu itu" Kenapa baunya
mirip bangkai tikus"
Jui Pakhay tidak ingin bersikap kurang sopan dihadapan
tamunya, tapi setelah ditahan berapa saat, akhirnya dia tidak
kuasa menahan diri lagi.
Cairan berbau busuk itu benar benar membuat perutnya
Laron Pengisap Darah Karya Huang Yin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mual, membuat dia pusing dan pingin muntah rasanya....
Dan..... "Huaaa.....!" dia membuka mulutnya lebar-lebar
dan muntahkan keluar bola udang yang ditelannya tadi.
Ketika bola udang terjatuh persis diatas meja, tenhat jelas
daging itu telah tergigit hingga nyaris terbelah dua, ternyata
isi dibalik bungkusan madu itu bukan daging udang, melainkan
seekor laron. Seekor laron penghisap darah dengan sayap berwarna
hijau kemala dan sepasang mata berwarna merah darah.
Bola laron penghisap darah yang dibungkus dengan madu!
Entah laron penghisap darah itu mati karena tergigit atau
pada dasarnya memang seekor bangkai laron penghisap
darah, yang pasti darah terlihat bercucuran keluar dari tubuh
bangkai itu, membasahi lapisan luar madu yang membungkus
hidangan tersebut hingga warnanya ikut berubah jadi merah.
Darah yang berwarna merah kental, dengan membawa
semacam bau busuk yag sukar dilukiskan dengan kata
94 mengalir masuk melalui tenggorokan Jui Pakhay bau busuk
semakin menyebar ke mana-mana.
Masih mending kalau tidak dipandang, begitu dilihat paras
mukanya kontan berubah jadi pucat pias bagai mayat.
Sambil berpegangan disisi meja, kontan dia memuntahkan
seluruh isi perutnya.
Darah laron penghisap darah yang berbau busuk seketika
mengotori seluruh permukaan lantai, bukan cuma itu saja
bahkan seluruh isi perutnya ikut tertumpah keluar, membuat
Gi Tiok-kun serta Kwee Bok berdiri terkesima.
Sorot mata mereka berdua sama-sama bertuju keatas bola
udang yang ditumpahkan Jui Pakhay, namun tiada perasaan
aneh atau kaget yang terbesit dari wajah mereka, seakan
didalam pandangan mereka, benda itu sama sekali tidak aneh
atau menakutkan.
Apakah mereka telah menduga benda apa yang berada
dibalik bungkusan madu itu" Buktinya mereka tidak ikut
memakan hidangan tersebut.
Jui Pakhay masih saja memuntahkan isi perutnya, malah
sekarang air getir pun ikut tertumpah keluar.
Paras mukanya yang semula pucat keabu-abuan kini telah
berubah jadi merah padam, tubuhnya ikut gontai dan lemas
lantaran tumpahannya nyaris telah menguras seluruh isi
perutnya, dia nampak sempoyongan seakan setiap saat bisa
roboh terjungkal.
Tanpa terasa Gi Tiok-kun dan Kwee Bok bangkit berdiri lalu
memburu ke depan dengan langkah cepat, baru saja mereka
akan memayang tubuh Jui Pakhay, tiba-tiba lelaki itu
mendongakkan kepalanya lalu melotot ke arah mereka dengan
pandangan buas.
Dipelototi dengan pandangan yang begitu buas, tangan Gi
Tiok-kun dan Kwee Bok yang sudah terangkat pun seketika
95 terhenti ditengah jalan, mereka berdua melengak dan berdiri
mematung. Bersamaan dengan berhentinya muntahan, otot dan kulit
tenggorokan Jui Pakhay mulai mengejang keras.
Mulutnya masih ternganga, air liur bercampur sisa
muntahan masih meleleh dari ujung mulut, sementara butiran
peluh sebesar kacang kedele jatuh bercucuran membasahi
seluruh badan, seluruh otot tubuhnya nyaris ikut mengejang
keras, tampang dan mimik mukanya menampilkan perubahan
yang sangat aneh, entah dia sedang ketakutan atau justru
sedang amat gusar.
Mengawasi wajah suaminya, Gi Tiok-kun tertegun berapa
saat lalu tegurnya tanpa terasa:
"Kee....kenapa kau?"
Jui Pakhay berusaha mengendalikan ujung bibirnya yang
mengejang, dengan susah payah akhirnya bisiknya juga:
"La.....la....ron......."
"Apa" Laron" Laron penghisap darah?" mimik muka Gi
Tiok-kun menampilkan suatu perubahan yang sangat aneh.
Jui Pakhay berusaha miringkan badannya, lalu sambil
menuding Gi Tiok-kun katanya dengan suara parau:
"Darimana kau dapatkan begitu banyak laron penghisap
darah?" "Laron penghisap darah" Dimana lagi kau jumpai laron
penghisap darah?" Gi Tiok-kun menghela napas panjang.
Dengan jari tangan yang gemetar keras Jui Pakhay
menunjuk ke arah bola udang bungkus madu diatas piring,
serunya: "Kau.....kau bilang.... masakan apa itu?"
96 "Bukankah bola udang bungkus madu?" sahut Gi Tiok-kun
setelah tertegun sejenak.
"Bola udang" Hahaha.....bola udang.....?" Jui Pakhay
tertawa seram, "benarkah dibalik bungkusan madu itu berisi
bola udang?"
"Haii.....kalau bukan bola udang lantas apa?"
"Apa" Laron! Laron penghisap darah!"
Gi Tiok-kun gelengkan kepalanya berulang kali tanpa
komentar lagi. Kembali Jui Pakhay berkata:
"Kau sengaja masuk ke dapur mempersiapkan secara
khusus hidangan bola udang bungkus madu, sebetulnya
hidangan ini kau siapkan untuk siapa?"
Sekali lagi Gi Tiok-kun gelengkan kepalanya dengan mulut
terbungkam. "Mana ada laron penghisap darah?" sela Kwee Bok tibatiba.
"Itu dia! Masa kau tidak melihat......" teriak Jui Pakhay
gusar. Sembari berkata, dia menuding kearah bola udang yang
baru saja dimuntahkan ke atas meja.
Tadi, bola udang itu berbentuk seekor laron penghisap
darah, tapi sekarang telah berubah jadi cairan lebah berwarna
kuning emas. Dalam sekejap mata itu pula mendadak dia merasa
mulutnya yang semula berbau sangat amis dan busuk, kini
telah berubah jadi harum semerbak seperti harumnya patih
bunga. Jui Pakhay berdiri melongo dengan mata terbelalak
lebar........ entah berapa lama sudah lewat, kemudian sinar
97 matanya baru pelan-pelan dialihkan ke wajah Gi Tiok-kun
berdua. Saat inilah dia telah menyaksikan dua orang "manusia"
yang sangat menakutkan!
Dua orang manusia dengan wajah berwarna hijau kemala,
sepasang mata tanpa pupil berwarna merah darah dan bola
mata yang menyerupai berapa sarang tawon yang bergabung
menjadi satu. Kalau mereka adalah manusia, kenapa begitu seram
tampangnya" Siluman! Pekik Jui Pakhay dalam hati kecilnya.
Belum sempat suara jeritannya terlontar keluar, ke dua
siluman menyeramkan itu sudah lenyap tidak berbekas,
termasuk juga bayangan tubuhnya, bilang lenyap seakan
sudah menguap ke udara.
Yang lebih tepat sebenarnya yang hilang lenyap hanya raut
wajah mereka berdua yang menyeramkan itu.
Ke dua lembar wajah siluman itu sebenarnya tidak lenyap
dengan begitu saja, yang benar wajah itu sudah tidak lagi
berwarna hijau, matanya tidak lagi berwarna merah dan biji
matanya yang hitam tidak lagi melotot keluar.
Dua lembar wajah siluman itu telah berubah jadi dua
lembar wajah manusia lagi, wajah Gi Tiok-kun dan Kwee Bok.
Raut muka berwarna hijau kemala, mata berwarna merah
darah, pada hakekatnya mereka berdua merupakan jelmaan
dari laron penghisap darah.
Jangan jangan mereka berdua adalah jelmaan dari siluman
laron penghisap darah"
Jui Pakhay merasa darah yang mengalir dalam tubuhnya
seolah membeku, ditatapnya wajah Gi Tiok-kun dan Kwee Bok
dengan pandangan kaku.
98 Sebaliknya Gi Tiok-kun dan Kwee Bok juga sedang menatap
Jui Pakhay tanpa berkedip, begitu melihat dia berpaling, Kwee
Bok segera menegur:
"Dimana sih laron penghisap darah nya?"
Jui Pakhay tidak menjawab, namun sinar matanya lagi lagi
mencerminkan perasaan takut dan ngeri yang luar biasa.
Akhirnya Gi Tiok-kun menghela napas panjang, seraya
berpaling ke arah Kwee Bok katanya:
"Begitulah kondisinya, berulang kali dia ribut mengatakan
telah melihat laron penghisap darah, menurut pendapatku ada
baiknya kau periksakan dulu denyut nadinya, mungkin
sekarang kau sudah bisa menemukan penyebab penyakitnya"
"Yaa, aku memang punya maksud begitu" Kwee Bok
mengangguk. Baru dia maju dua langkah dan siap memegang nadinya,
mendadak terdengar Jui Pakhay menjerit sekeras kerasnya
sambil berteriak:
"Jangan dekati aku!"
Teriakan itu sangat aneh dan sangat menggidikkan hati.
Kwee Bok nyaris mati lantaran kaget, sambil paksakan diri
tertawa katanya:
"Lebih, baik biarkan aku periksa dulu nadimu"
"Apa yang perlu dilihat?" sahut Jui Pakhay dingin,
"sekarang...... sekarang aku semakin mengerti......."
Gi Tiok-kun dan Kwee Bok saling bertukar pandangan
sekejap, seakan mereka tidak mengerti apa yang dimaksud Jui
Pakhay. "Laron penghisap darah....... wahai laron penghisap darah!
Sebenarnya apa salahku dengan kalian.....?"
99 Setelah bergumam sendirian, tiba-tiba dia mendongakkan
kepala nya dan tertawa seram Wajahnya diliputi kedukaan,
dibalik gelak tertawanya terselip pula perasaan pedih dan
sedih yang luar biasa.
Kembali Gi Tiok-kun dan Kwee Bok saling bertukar
pandangan, tiba tiba mereka berdua menghela napas panjang.
"Kelihatannya penyakit lamanya telah kambuh lagi" bisik Gi
Tiok-kun sambil menarik napas panjang.
Kelihatannya Jui Pakhay ikut mendengar gumaman itu,
mendadak serunya sambil tertawa pedih:
"Yaa betul, penyakit lamaku kambuh kembali!"
Begitu selesai bicara, mendadak dia membalikkan tubuh
dan kabur dari situ.
0-0-0 Air dalam kolam teratai terasa dingin bagaikan es.
Jui Pakhay menggunakan sepasang tangannya meraup
segenggam air kemudian diguyurkan ke wajah sendiri, gejolak
emosinya yang menggelora tadi lambat laun menjadi tenang
kembali, perasaan hatinya saat ini tidak ubahnya seperti
rerumputan di musim semi.
Ketika Gi Tiok-kun kawin denganku, dia bukan dalam status
seorang gadis perawan, walaupun lantaran amat mencintainya
aku tidak membongkar rahasia tersebut, juga tidak membuat
perhitungan dengan Gi Toa-ma, namun kejadian ini selalu
menjadi ganjalan dalam hatiku, aku selalu berharap suatu
ketika nanti bisa menemukan orang yang telah merenggut
mahkota kegadisannya.
Jangan jangan orang itu adalah kakak misannya, Kwee
Bok" Siapa pun orangnya, bila dia bisa memperoleh gadis
secantik dan semenarik Gi Tiok-kun, dapat dipastikan orang
100 itu akan berusaha untuk mempertahankan kepemilikannya,
Kwee Bok tidak berani berebut denganku waktu itu dan
membiarkan pujaan hatinya kawin denganku, dapat dipastikan
karena dia merasa takut untuk berhadapan denganku
sehingga tidak berani menampilkan diri dan berebut
denganku. Selama tiga tahun ini bisa jadi dia telah pergi mempelajari
semacam ilmu sesat, dan kali ini dia sengaja kembali ke sini
untuk merebut Gi Tiok-kun dari tanganku, atau mungkin
kemunculan kawanan laron penghisap darah itu ada hubungan
dan sangkut pautnya dengannya" Siapa tahu dialah pawang
dari laron penghisap darah" Siapa tahu semua peristiwa aneh
yang terjadi selama ini adalah hasil karyanya"
Mungkinkah mereka berdua memang jelmaan dari siluman
laron penghisap darah" Mungkinkah Kwee Bok memang
sengaja membiarkan Gi Tiok-kun kawin denganku, agar
setelah saatnya tiba dia bisa muncul dalam wujud aslinya dan
menghisap darahku, mencabut nyawaku"
Kalau apa yang diduga memang merupakan satu
kenyataan, tujuan mereka jelas tidak akan sedemikian
sederhana, mungkinkah hal ini dikarenakan darah yang
mengalir dalam tubuhku merupakan sebuah mestika yang luar
biasa" Karena itu mereka tidak segan membuang waktu
selama tiga tahun untuk mempersiapkan segala sesuatunya"
Kalau bukan karena itu, lantas apa tujuan mereka yang
sebenarnya"
Semakin dipikir, Jui Pakhay merasa pikirannya semakin
kalut. Kalau tujuan mereka benar benar berniat akan mencelakai
aku, jelas akupun tidak boleh berlaku sungkan lagi terhadap
mereka, terlepas dia manusia asli atau jelmaan dari siluman
laron penghisap darah, yang penting semuanya harus
dibunuh, dibantai sampai habis!
101 Begitu napsu membunuhnya muncul, tanpa sadar Jui
Pakhay meraba gagang pedang yang tersoren dipinggangnya.
Tapi kesemuanya itu hanya dugaanku sendiri, analisaku
sendiri, tanpa diperkuat dengan bukti dan fakta, lebih baik
tunggu lagi selama beberapa hari, siapa tahu dalam satu dua
hari mendatang aku akan menemukan bukti yang
menunjukkan bahwa mereka memang berencana akan
membunuhku, nah saat itulah aku baru akan turun tangan.
Berpikir sampai disitu, lambat laun Jui Pakhay mulai
mengendorkan kembali genggamannya, genggaman atas
gagang pedangnya.
Dia putuskan akan menunggu satu hari lagi.
Laron Pengisap Darah Karya Huang Yin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
0-0-0 Bulan tiga tanggal tiga belas, malam ini rembulan nampak
tidak utuh, meski tidak terlalu benjol namun masih sebesar
setengah bulatan jendela.
Kertas daun jendela ruang Perpustakaan yang menghadap
ke arah rembulan telah berubah warnanya menjadi putih
kepucat pucatan, pucat seperti wajah sesosok mayat.
Seorang diri Jui Pakhay bersandar diujung pembaringan,
dengan tenang mengawasi kertas jendela yang berwarna
putih kepucat-pucatan, paras mukanya saat itu berwarna putih
juga, putih pucat seperti mayat.
Wajahnya nampak sangat letih, sepasang matanya
terbelalak lebar.
Setelah sibuk seharian penuh, dia telah menelusuri hampir
setiap sudut ruangan di perkampungan itu, setiap barang milik
Gi Tiok-kun sudah diperiksa secara diam diam dan seksama.
Tapi dia tidak berhasil menemukan bukti apa pun, juga
tidak berhasil menemukan sesuatu benda yang mencurigakan,
bahkan seekor laron penghisap darah pun tidak dijumpainya.
102 Mungkinkah mereka sudah menduga kalau aku bakal
melakukan penyelidikan sehingga bertindak lebih awal dengan
menyembunyikan semua benda yang membawa persoalan"
Mungkinkah sarang dari kawanan laron penghisap darah itu
bukan berada di perkampungan ini tapi di tempat lain"
Sejak pagi hingga petang dia sudah menyibukkan diri
seharian penuh, tapi tidak seekor laron penghisap darah pun
ditemukan dan sekarang, baru saja dia merebahkan diri,
kawanan laron penghisap darah itu sudah muncul kembali.
Kawanan laron penghisap darah yang mengerikan itu
muncul diluar ruangan perpustakaannya, kebasan sayap
mereka yang bising kedengaran amat menusuk telinga,
apalagi di tengah keheningan malam seperti ini, suara itu
menambah seram dan ngerinya suasana.
Mereka seakan terbang datang dan rembulan. Sinar
rembulan yang memancar diatas kertas jendela membiaskan
pula bayangan tubuh mereka yang kecil.
Bayangan laron-laron itu beterbangan bagaikan
gerombolan setan iblis yang sedang menari, dari jauh semakin
mendekat, dari besar menjadi kecil!
Cahaya rembulan sudah dihancurkan oleh tarian bayangan
sang laron, kertas jendela pun seakan ikut hancur diterjang
oleh tarian binatang binatang itu.
Namun Jui Pakhay masih menahan diri, dia masih berusaha
tidak bergerak, tidak melakukan sesuatu tindakan apa pun.
Entah berapa lama sudah lewat, suara kebasan sayap dari
kawanan laron penghisap darah itupun berhenti secara
mendadak, bukan hanya suaranya hilang lenyap, bayangan
tarian mereka pun ikut terhenti, suasana serasa menjadi
hening dan sepi.
103 Beribu ribu ekor bayangan laron seakan seluruhnya
mendekam tenang, mendekam tanpa bergerak diatas kertas
jendela yang putih memucat itu.
Kertas jendela bukan lantaran kejadian ini lalu berubah jadi
suram, jadi gelap, sebaliknya malah tampak lebih hijau
bersinar, hijau dari ebongkah batu kemala.
Cahaya rembulan menyinari tubuh laron laron itu, membuat
kawanan binatang itu seakan bermandikan cahaya putih.
Paras muka Jui Pakhay yang putih memucat tiba tiba
berubah jadi hijau membesi, mendadak badannya melejit ke
udara, melompat bangun dari ujung pembaringan.
"Sreeet!" bagaikan anak panah yang terlepas dari
busurnya, dia hinggap didepan jendela, jendela dengan beribu
buah bayangan laron.
Dengan mata yang melotot besar diawasinya kawanan
laron penghisap darah itu tanpa berkedip, dia akan menunggu
sampai kawanan binatang itu benar-benar jadi tenang
sebelum mengambil sesuatu tindakan.
Sementara tubuhnya masih melambung, sepasang
tangannya sudah siap melancarkan serangan, begitu kakinya
hinggap di tanah, sepasang tangannya itu langsung
melepaskan sebuah bacokan, menghajar daun jendela itu.
Begitu bacokan sudah dilepas, tangan kanannya berputar
pula cepat dan "Criiing!" dia sudah meloloskan pedangnya.
Dia sudah bersiap sedia menghadapi serbuan dari kawanan
laron itu ketika daun jendela terbentang lebar karena bacokan
mautnya tadi. Siapa tahu sama sekali diluar dugaannya, kawanan laron
penghisap darah yang semula menempel penuh diatas kertas
jendela, kini sudah hilang lenyap tidak berbekas, lenyap
seakan menguap menjadi asap.
104 Namun dihalaman luar, dibalik kabut tebal yang
menyelimuti kegelapan malam, seakan terlihat ada ribuan titik
cahaya berkedip mirip api setan sedang bergoyang menarikan
tari samba disana, cahayanya berwarna hijau yang
menggidikkan hati.
Jui Pakhay tidak melakukan pengejaran, tapi rasa duka,
rasa gusar bercampur aduk dalam lubuk hatinya dan tercermin
jelas diraut mukanya.
Mendadak dia mengayunkan kepalan tinjunya,
menghantam daun jendela dihadapannya kuat-kuat.
"Braaak...!" seluruh daun jendela hancur berantakan
terhajar pukulan itu, sayang hancurnya jendela tidak
menguraikan rasa duka dan gusar yang mengganjal dalam
hatinya. Walaupun dia tidak tahu mengapa kawanan laron
penghisap darah yang menampakkan diri secara beruntun
selama berapa hari ini tidak melakukan tindakan lebih jauh,
walaupun dia tidak tahu apakah hal ini merupakan kebiasaan
dari kawanan laron tersebut atau karena takut dan jeri
terhadapnya, tapi ada satu hal yang dia ketahui secara pasti,
jika keadaan demikian dibiarkan berlangsung terus maka pada
akhirnya dia akan menjadi orang gila, orang yang tidak waras
otaknya karena gangguan jiwa.
Bila seseorang harus hidup berkepanjangan dalam suasana
teror, suasana horor dan suasana ketakutan yang begitu
mencekam, lambat laun rasa percaya diri orang tersebut akan
luntur dan memudar, kesadaran otaknya juga akan hancur
berantakan, pada akhirnya kalau bukan jadi pemurung, tentu
menjadi orang yang tidak waras olaknya.
Masih untung hari ini baru bulan tiga tanggal tiga belas,
lusa baru bulan tiga tanggal lima belas.
105 Konon ketika bulan sedang purnama setiap tanggal lima
belas, raja laron akan munculkan diri untuk menikmati
keindahan alam dan menghisap sari cahaya dari langit.
Ketika raja laron sudah menampakkan diri, maka saat itulah
semua masalah, semua persoalan akan berakhir.
Ini berarti dia masih harus hidup selama dua hari lagi
dalam suasana penuh teror, penuh horor seperti ini.
Jui Pakhay hanya berharap selama dua hari ini dia masih
dapat mempertahankan kejernihan otaknya, dia berharap
tidak sampai berubah jadi orang sinting, orang gila yang tidak
waras otaknya. Walaupun disaat berakhirnya semua masalah dan semua
persoalan sama artinya saat berakhirnya kehidupan dia,
namun paling tidak, saat itu dia sudah tak perlu lagi
menghadapi teror dan horor yang menegangkan pikiran
seperti saat ini.
Rasa takut karena teror dan horor kadangkala memang
jauh lebih menyiksa daripada menghadapi kematian itu
sendiri. 0-0-0 Bulan tiga tanggal empat belas, saat itu matahari sore
sudah mulai condong ke langit barat.
Jui Pakhay sedang duduk santai ditengah halaman barat,
duduk dibawah cahaya matahari senja yang mulai redup, pada
saat itulah seorang pelayannya muncul diiringi Tu Siau-thian.
Dengan dandanan seorang wakil opas Tu Siau-thian
munculkan diri disitu, wajahnya nampak letih dan penuh debu.
Begitu melihat kehadiran orang tersebut, dengan penuh
kegirangan Jui Pakhay maju menyambut seraya berseru:
"Saudara Tu, kenapa baru muncul sekarang" Kau tahu, aku
sudah hampir gila karena menantikan kehadiranmu!"
106 Dengan penuh tenaga Jui Pakhay menepuk bahu Tu Siauthian,
tepukan yang merupakan luapan rasa gembiranya.
Tapi tepukan itu menyebabkan pula debu dan pasir
beterbangan ke udara.
Jui Pakhay nampak agak tertegun, sepasang tangannya
segera terhenti ditengah jalan.
Buru-buru Tu Siau-thian menyingkir ke samping, lalu
sahutnya sambil tertawa tergelak:
"Jika kau tepuk lebih jauh, maka tubuhmu pun akan ikut
bermandikan debu dan pasir"
Setelah tertegun sesaat Jui Pakhay baru bertanya:
"Sebenarnya kau datang dari mana" Mengapa seluruh
tubuhmu bermandikan pasir dan debu" Memangnya kau
menongol dan dalam tanah?"
"Hahaha.... tentu saja aku bukan baru nongol dari dalam
tanah, baru saja aku pulang dari menempuh perjalanan jauh,
seharian penuh berjalan ditengah pasir yang menderu"
"Oooh... jadi selama sepuluh hari terakhir kau sedang
pergi" Ke mana kau pergi selama ini?"
"Ke Hong-yang!"
"Karena urusan dinas?"
Tu Siau-thian mengangguk tanda membenarkan.
"Sudah kau selesaikan tugas kantormu itu?" kembali Jui
Pakhay bertanya.
"Yaaa, sudah selesai"
"Lantas kenapa kau masih nampak terburu-buru?"
"Sebab aku terburu-buru kemari karena ingin berjumpa
denganmu" "Oya?"
107 "Jadi kau anggap aku sudah melupakan sama sekali urusan
tentang laron penghisap darah itu?"
"Yaa, kelihatannya aku memang berpendapat begitu" Jui
Pakhay mengangguk membenarkan.
"Ooh, jadi kau anggap aku termasuk manusia yang tidak
akan memperdulikan keselamatan jiwa rekan sendiri?"
"Bukan begitu maksudku" ujar Jui Pakhay serius, "tapi
kejadian ini memang tidak masuk akal, susah membuat orang
lain percaya, sekalipun kau benar-benar tidak memikirkannya
dihati, aku juga tidak bakal salahkan dirimu"
"Seandainya secara tidak sengaja aku tidak bertemu
dengan dua ekor laron penghisap darah ditepi telaga tempo
hari, bahkan secara tanpa sengaja tertusuk oleh salah satu
diantaranya, mungkin aku benar benar tidak akan
memikirkannya dihati"
"Kau sudah menemukan cara yang paling jitu untuk
menghadapi kawanan binatang itu?"
"Belum!"
"Lantas mau apa kau datang kemari mencari aku?"
"Coba lihat kau, kenapa watakmu berubah jadi begini
rupa?" seru Tu Siau-thian cepat, kemudian setelah
memperhatikan sekejap wajah rekannya, dia berkata lebih
jauh, "sekarang, tampaknya kau tetap sehat tanpa
kekurangan sesuatu apa pun?"
Jui Pakhay tidak menjawab, dia hanya tertawa getir.
Kembali Tu Siau-thian berkata:
"Seandainya apa yang diceritakan orang selama ini benar,
Raja laron baru akan muncul pada malam tanggal lima belas
dikala bulan sedang purnama, hari ini toh baru tanggal empat
belas, maka kepulanganku kali ini masih pada aatnya, aku
108 masih cukup waktu untuk membantumu menghadapi
serangan kawanan laron penghisap darah tersebut"
"Haai, walaupun kepulanganmu tepat pada aatnya, tapi aku
kuatir kau tidak bisa membantu apa apa kepadaku"
Tu Siau-thian melengak, serunya:
"Kalau didengar dari perkataanmu barusan, seakan dalam
sepuluh hari terakhir kau sudah banyak mengalami kejadian
yang aneh?"
"Benar, sudah terlalu banyak" Jui Pakhay mengangguk
membenarkan. "Apakah kawanan laron penghisap darah itu kembali
menampakkan diri?"
"Bukan hanya menampakkan diri, bahkan ctiap kali
kemunculannya jumlah mereka tambah lama tambah banyak,
sewaktu muncul !ugi semalam, aku lihat jumlah mereka sudah
mencapai ribuan ekor"
Agak berubah paras muka Tu Siau-thian, tanpa sadar
serunya: "Masa kejadian seperti ini bukan hanya sebuah dongeng
belaka?" "Yaa, tampaknya bukan, semua sudah menjadi sebuah
kenyataan, aku telah melihat dan mengalaminya sendiri"
"Mereka terbang, datang dari mana?" tiba tiba Tu Siauthian
bertanya lagi. "Entahlah, aku sendiri juga tidak tahu"
"Apakah mereka menyerangmu?" Tu Siau-thian bertanya
lebih jauh. "Tidak, mereka hanya menebar teror dan horor, mungkin
begitulah kebiasaan mereka, mungkin juga merupakan
perintah dari si Raja laron, sebelum tiba tanggal lima belas,
109 sebelum bulan jadi purnama, sebelum raja laron
menampakkan diri, mereka dilarang melakukan suatu tindakan
apa pun" "Bagaimana dengan kau sendiri" desak Tu Siau-thian,
"Apakah kau tidak melakukan sesuatu tindakan terhadap
mereka?" "Sudah, aku telah melakukan suatu tindakan"
"Tidak mampu mencegah mereka" Tidak mampu
menghadapi mereka?"
"Bukan cuma tidak mampu mencegah mereka, pada
hakekatnya sama sekali tidak berguna"
Laron Pengisap Darah Karya Huang Yin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Memangnya mereka tidak takut dengan bacokan golok
atau sambaran pedang?"
"Betul, persis seperti kejadian pertama kali dulu"
"Apakah mereka mendadak hilang lenyap bagaikan
bayangan setan setiap kali kau siap melakukan sesuatu
tindakan?"
Jui Pakhay menghela napas panjang.
"Haai...... pada hakekatnya mereka memang jelmaan dari
setan iblis" bisiknya.
Tu Siau-thian termenung sambil berpikir sejenak, lalu
tanyanya: "Pernah berpikir, sejak kapan kau usik kawanan makhluk
itu?" Tampaknya Jui Pakhay tidak mengira kalau rekannya akan
mengajukan pertanyaan seperti itu, untuk sesaat dia
terbelalak dengan wajah tertegun.
Kembali terdengar Tu Siau-thian berkata:
110 "Pernah kau berpikir, ada begitu banyak manusia di dunia
ini, mengapa mereka justru menjatuhkan pilihannya
kepadamu" Jelas mereka pasti mempunyai alasan tertentu,
maka aku pikir asal kita memahami alasan mereka, urusan
akan lebih gampang untuk diatasi dan diselesaikan"
Jui Pakhay tertawa getir, dia seperti akan mengucapkan
sesuatu tapi kemudian niat tersebut diurungkan.
Dengan kepala tertunduk kembali Tu Siau-thian berpikir,
dia seakan tidak menaruh perhatian atas perubahan sikap
yang ditampilkan Jui Pakhay, tanyanya lebih jauh:
"Kebanyakan mereka muncul di mana?"
"Nyaris tidak pernah sama, setiap kali muncul mereka
selalu memilih tempat penampilan yang berbeda"
"Semalam mereka muncul di mana?" desak Tu Siau-thian
lagi. "Diluar ruang perpustakaan"
"Beberapa hari berselang, mereka muncul di mana?"
Jui Pakhay segera menutup mulutnya rapat-rapat, dia
seperti enggan untuk menjawab pertanyaan itu.
"Sudah lupa?" tanya Tu Siau-thian.
"Memangnya aku mirip seorang pelupa?" teriak Jui Pakhay.
"Berarti ada kesulitan bagimu untuk bicara terus terang?"
Sekali lagi Jui Pakhay menutup mulutnya rapat-rapat.
"Bila tidak keberatan, katakanlah terus terang" pinta Tu
Siau-thian, "siapa tahu dari keterangan yang kau ungkap nanti
aku bisa menemukan titik kelemahan dari laron penghisap
darah tersebut dan merancangkan siasat untuk
menghadapinya, sebaliknya bila kau enggan mengungkapnya,
aku kuatir aku benar-benar tidak akan bisa membantu apaapa
lagi" 111 Sekali lagi Jui Pakhay tertawa getir, katanya:
"Ada sementara persoalan biar sudah kuungkap pun belum
tentu kau mau mempercayainya"
"Aaah belum tentu, coba saja kau utarakan"
Tapi Jui Pakhay hanya terbungkam sambil termenung,
sampai lama sekali dia belum juga memberikan tanggapan.
Tu Siau-thian tidak merecokinya, dia hanya menunggu
disisinya dengan tenang.
Bab 7. Bianglala melintas dalam keremangan.
Jui Pakhay termenung sambil berpikir sejenak, kemudian
dia menghela napas panjang dan menggelengkan kepalanya
berulang kali. Melihat sikapnya yang serba ragu, Tu Siau-thian segera
menukas: "Kalau memang kau anggap sulit untuk diutarakan, yaa
sudahlah, aku tidak akan memaksamu lebih jauh"
"Ada satu hal aku perlu mengatakannya kepadamu" ujar Jui
Pakhay sambil tertawa pahit.
"Katakan saja, akan kudengarkan"
"Setiap kali kawanan laron penghisap darah itu
menampakkan diri, tidak setiap kali aku sedang berada
seorang diri, tapi selain aku, orang lain yang turut hadir
ditempat kejadian sama sekali tidak melihat kehadiran
mereka, coba kau bayangkan, aneh tidak kejadian ini?"
"Aaah, masa ada kejadian seperti ini?"
"Masa saudara Tu juga tidak percaya dengan
penuturanku?"
112 "Bukan begitu" cepat cepat Tu Siau-thian menggeleng,
"tapi jika hal ini merupakan kenyataan, berarti kawanan laron
penghisap darah itu memang benar-benar merupakan jelmaan
dari setan iblis"
Tiba-tiba ia tertawa getir, setelah termenung sejenak,
terusnya: "Tapi..... apa benar di dunia ini terdapat setan iblis atau
siluman" Aku tidak percaya!"
"Aku sendiripun tidak percaya kalau di dunia ini terdapat
setan iblis ataupun siluman, tapi.... dengan mata kepalaku
sendiri kusaksikan bagaimana ribuan ekor laron penghisap
darah itu munculkan diri secara bersamaan waktu, bahkan
selain aku seorang, kenyataannya orang lain tidak ikut
melihat, lantas..... bagaimana penjelasannya dengan peristiwa
ini?" Tu Siau-thian tidak mampu memberi penjelasan, tentu saja
dia hanya bisa membungkam diri.
Kembali Jui Pakhay berkata:
"Kecuali mereka yang hadir bersama aku waktu kejadian,
aku pun sudah bertanya kepada seluruh penghuni
perkampungan ini, tapi jawaban mereka sama, semuanya
bilang tidak tahu, kalau hal tersebut bukan merupakan
kenyataan maka satu satunya penjelasan adalah mereka
semua sedang berbohong kepadaku!"
"Berapa saat berselang, bukankah kau pernah bilang
bahwa seluruh penghuni perkampungan ini amat setia
kepadamu?"
"Betul, waktu itu aku memang pernah berkata begitu.
Waktu itu aku bisa berkata demikian karena aku selalu
melupakan akan satu hal"
"Melupakan apa?"
113 "Hati manusia memang sukar diduga!" sahut Jui Pakhay
sambil menghela napas.
"Apakah kau tidak merasa kalau perkataan itu muncul
karena luapan emosi?"
Kembali Jui Pakhay menghela napas panjang.
"Andaikata mereka semua benar benar setia kepadaku,
tidak membohongiku, urusan ini malah lebih mudah
penyelesaiannya"
"Oya?"
"Sebab tinggal tiga kemungkinan yang perlu dibahas,
pertama kawanan laron penghisap darah itu memang benarbenar
jelmaan dari siluman, karena itu hanya aku sang korban
yang bisa melihat kehadirannya"
"Kalau tidak lantas kenapa?"
"Berarti akulah yang sedang berbohong, sengaja
mengarang cerita bohong, sengaja menakuti orang dengan
cerita horor, atau kalau tidak berarti otakku ada yang kurang
beres, segala sesuatu yang kuucapkan hanya muncul dari
ilusiku, dari khayalanku saja"
"Waah, bukankah hal ini berarti juga bahwa otak ku pun
tidak beres?" seru Tu Siau-thian sambil tertawa tergelak.
Jui Pakhay tidak menjawab, dia hanya menghela napas
berulang kali. Perlahan-lahan Tu Siau-thian mengalihkan sinar matanya
ke ujung jari sendiri, ujung jari yang terluka karena tusukan
laron penghisap darah, mendadak senyumannya hilang
lenyap, katanya:
"Belum tentu kawanan makhluk itu merupakan jelmaan dari
setan iblis, tapi wujud dan keberadaan mereka itu nyata dan
benar benar ada"
114 Dia memang amat mempercayai pandangan mata sendiri,
apalagi saat itu dia sempat menangkap seekor laron
penghisap darah dan mencengkeramnya dalam genggaman
Bukankah ujung jarinya telah ditusuk oleh laron penghisap
darah itu" Masa kejadian itupun hanya sebuah ilusi" Sebuah
khayalan" Bila otaknya waras, bila pikirannya tidak sinting, tidak gila,
semestinya otak Jui Pakhay pun waras dan tidak ada masalah.
Tapi.......apa yang telah terjadi dalam sepuluh hari itu"
Mengapa Jui Pakhay enggan menceritakannya keluar"
Mengapa dia harus merahasiakan semua pengalamannya"
Tanpa terasa sorot mata Tu Siau-thian beralih kembali ke
wajah Jui Pakhay, dia menemukan rekannya sedang berdiri
dengan mata mendelong, bukan sedang mengawasinya tapi
sedang memandang ke tempat kejauhan sana.
Sebenarnya apa yang sedang dia perhatikan"
Tanpa terasa pandangan mata Tu Siau-thian mengikuti
arah mata Jui Pakhay dan ikut berpaling.
Dengan cepat dia pun menyaksikan sepasang laron! Mata
yang merah padam bagai darah dengan sepasang sayap yang
hijau bagai pualam.
Laron penghisap darah! Tidak kuasa lagi Tu Siau-thian
bersin berulang kali, bulu kuduknya pada bangun berdiri.
Dibawah sinar matahari senja yang berwarna kuning
keemas-emasan, sepasang laron penghisap darah itu nampak
lebih cantik, lebih menarik dan sangat aneh.
Mereka terbang berpasangan dan menari di antara
kelompok bunga-bunga an yang mekar.
Kelopak bunga nampak berguguran, bergetar ditengah
hembusan angin senja yang dingin, apakah bunga bunga itu
pun berfirasat" Apakah mereka pun tahu kalau kehadiran
115 sepasang laron penghisap darah itu membawa petaka,
membawa bencana besar sehingga mereka ketakutan dan
gemetaran"
Ternyata benar juga, bencana memang segera tiba.
"Weeesss....!" diiringi desingan angin tajam, mendadak
bagaikan anak panah yang terlepas dari busurnya tubuh Jui
Pakhay meluncur ke depan, menerjang ke tengah gerombolan
bunga itu. Belum lagi tubuhnya tiba, serangan pedangnya sudah
dilancarkan duluan, pedang jit seng coat mia kiam bagaikan
titiran air hujan telah berhamburan disekeliling tempat itu.
Seketika itu juga segerombol bunga-bunga hancur dan
berguguran terbabat sambaran pedang yang tajam, apakah
sepasang laron penghisap darah itupun ikut tercincang dan
mati dengan tubuh hancur"
Ketika serangannya berakhir, tubuh Jui Pakhay ikut
melayang turun ke bawah, hujan pedang telah merontokan
sebagian besar kuncup bunga ditaman itu.
"Criiing....!" pedang telah disarungkan kembali, seluruh
gerakan tubuh Jui Pakhay ikut berhenti, berdiri mematung
ditengah guguran bunga, sepasang matanya terbelalak lebar
dan sinar matanya berkilauan.
Hampir pada saat yang bersamaan Tu Siau-thian ikut
melayang turun disamping tubuh Jui Pakhay, segera tegurnya:
"Saudara Jui, bagaimana?"
Jui Pakhay mengalihkan sorot matanya menatap tajam
wajah Tu Siau-thian, lalu tegurnya:
"Barusan, apakah kau pun ikut melihat ada sepasang laron
penghisap darah?"
Tu Siau-thian mengangguk tanpa menjawab.
116 "Apakah kau sedang membohongi aku" Kembali Jui Pakhay
bertanya dengan suara dalam.
"Aku rasa tidak ada alasan untuk membohongi dirimu,
apalagi sekarang bukan saat yang tepat untuk bergurau"
Mendadak Jui Pakhay mendongakkan kepalanya dan
tertawa nyaring.
Gelak tertawa itu kontan membuat Tu Siau-thian tertegun,
tidak tahan lagi diapun menegur:
"Hey, apa yang kau tertawakan?"
"Aku benar benar merasa gembira, benar benar merasa
riang" "Oya?" sekali lagi Tu Siau-thian tertegun.
Sambil tertawa Jui Pakhay berkata lebih jauh:
"Bila sekali lagi hanya aku seorang yang melihatnya, berarti
otakku memang benar benar kurang beres, tapi sekarang kau
pun ikut melihatnya bahkan melihat untuk kedua kalinya, hal
ini membuktikan bahwa laron penghisap darah memang
benar-benar nyata, memang ada makhluk semacam ini di
dunia kita, aku sendiripun tidak percaya kalau di dunia ini ada
kejadian yang kebetulan, otak kita berdua sama-sama sehat,
sama sama tidak ada masalah, tidak mungkin bukan secara
kebetulan dikala untuk ke dua kalinya kita berada bersama,
kita berdua telah sama sama melihat seeekor makhluk yang
tidak mungkin ada di dunia ini"
"Yaa, aku pikir otak kita seharusnya memang tidak ada
masalah......." ujar Tu Siau-thian sambil mengangguk.
"Sewaktu aku melancarkan serangan pedang tadi, apakah
kau sempat menyaksikan sepasang laron penghisap darah itu
kabur dari balik jaring pedang?" tiba-tiba Jui Pakhay menukas.
"Rasanya tidak pernah" Tu Siau-thian menggeleng.
117 "Padahal seluruh tubuh mereka sudah terkurung didalam
jaring pedang" ujar Jui Pakhay dengan gemas, "tapi begitu
aku mulai mempersempit jaring pedang itu, mereka seakan
berubah jadi tembus pandang dan lenyap dengan begitu saja
bagaikan setan iblis!"
Tu Siau-thian tertawa getir, sorot matanya dialihkan keatas
permukaan tanah.
Dia hanya berharap bisa menemukan sebuah saja bangkai
laron, sebab hal tersebut sudah lebih dari cukup untuk
membuktikan bahwa laron penghisap darah itu sudah mati
karena tusukan pedang tersebut dan apa yang dikatakan Jui
Pakhay tidak lebih karena akibat pandangan matanya yang
mulai kabur. Tapi apa yang dia temukan" Hanya hancuran daun-daunan,
juga hancuran bunga yang berserakan dimana mana.
Laron Pengisap Darah Karya Huang Yin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Diantara hancuran daun dan bunga itu tidak ditemukan
bangkai laron, jangan lagi tubuhnya, biar selembar sayapnya
yang kecil pun tidak ada.
Tu Siau-thian segera mengebaskan ujung bajunya,
membuat daun-daunan dan bunga-bungaan itu segera
beterbangan ke angkasa, namun bangkai laron yang dicari
satupun tidak ditemukan, dibawah tumpukan daun dan bunga
ternyata memang tidak ditemukan bangkai makhluk kecil itu.
Lantas ke mana perginya laron penghisap darah itu" Masa
mereka benar-benar dapat lenyap bagaikan setan iblis"
Apa benar mereka memang jelmaan dari setan iblis atau
siluman" Tidak kuasa lagi Tu Siau-thian menghela napas panjang,
begitu juga dengan Jui Pakhay, dia pun menghela napas tiada
hentinya. "Apa yang hendak kau lakukan sekarang?" tiba tiba Tu
Siau-thian bertanya.
118 "Menunggu mati!" jawaban dari Jui Pakhay ini singkat tapi
jelas. "Apa?" Tu Siau-thian nampak seperti tertegun, "besok
sudah tanggal lima belas, berarti kau masih mempunyai waktu
satu hari"
"Kau anggap waktu yang tinggal satu hari itu sudah lebih
dari cukup untuk menemukan suatu cara yang tepat untuk
menghadapi serangan itu?"
"Tapi paling tidak kau toh bisa memanfaatkan kesempatan
itu untuk pergi jauh, pergi tinggalkan tempat ini, atau mungkin
mencari sebuah tempat yang rahasia dan bersembunyi
sementara waktu, muncullah selewatnya tanggal lima belas"
"Kalau aku kabur dari sini, sejak awal aku sudah pergi
meninggalkan tempat ini"
"Lalu.... kenapa kau tidak pergi dan sini?" tanya Tu Siauthian
keheranan. "Seandainya kawanan laron penghisap darah itu benarbenar
jelmaan dari iblis atau setan, biar ke mana pun aku
pergi, mereka tetap masih bisa menemukan jejakku"
Sekali lagi Tu Siau-thian berdiri termangu, apa yang
dikatakan Jui Pakhay memang sangat masuk di akal.
Menurut cerita orang kuno, setan iblis itu tahu segalanya
dan mampu melakukan apa pun, mau kabur dan bersembunyi
ke dasar tanah pun tidak ada gunanya, sebab akhirnya akan
ditemukan juga.
Tiba-tiba satu ingatan melintas dalam benak Tu Siau-thian,
buru buru serunya:
"Kau bisa kabur ke biara atau kuil Buddha untuk
menghindarkan diri"
"Kau anggap aku tidak pernah berpikir sampai ke situ?" Jui
Pakhay balik bertanya sambil tertawa.
119 "Menurut apa yang kuketahui, setan iblis pasti akan
menghindari tempat tempat suci seperti biara atau kuil
Buddha" "Aku pun tahu kalau diseputar sini banyak terdapat biara
atau kuil Buddha"
"Memangnya sudah kau coba cara ini" Sudah tahu dan
yakin kalau cara tersebut sama sekali tidak bermanfaat?"
"Aku hanya mengetahui satu hal"
"Apa?"
"Walaupun diseputar tempat ini banyak terdapat biara atau
kuil Buddha, namun belum uda sebuah tempat pun yang
benar-benar merupakan biara atau kuil Buddha yang sangat
tenang, juga tidak seorang pendeta suci pun yang terdapat
disini" Tu Siau-thian tidak mencoba untuk membantah apa yang
dikatakan Jui Pakhay, tebagai seorang opas, dia memang
cukup tahu keadaan diseputar wilayah itu, tidak ada orang
kedua yang lebih jelas ketimbang dirinya.
Apa yang diucapkan Jui Pakhay memang benar dan
merupakan satu kenyataan.
Maka setelah menghela napas panjang, ujarnya:
"Yaaa, kalau mau bicara jujur, berapa banyak biara dan kuil
suci yang terdapat didunia ini" Berapa banyak pendeta suci
yang menghuni di sekeliling kita?"
"Apalagi semakin tinggi ajaran To, semakin tinggi pula
pengaruh sesat" sambung Jui Pakhay cepat, "sekalipun aku
benar benar bersembunyi didalam biara suci, biarpun ada
seorang pendeta suci yang mendampingiku, apakah
kesemuanya ini menjamin kalau si Raja laron tidak akan
munculkan diri?"
120 "Maka kau lebih suka menunggu kemunculan si Raja laron
disini?" "Betul, terus terang, aku sendiripun ingin sekali bertemu
dengannya!" kata Jui Pakhay sambil manggut-manggut.
"Oya?"
"Lebih baik lagi bila tiba pada saatnya nanti dia bisa muncul
dengan wujud sebagai manusia, dapat berbicara seperti
manusia dan memberi kesempatan pula kepadaku untuk
berbicara dan mengeluarkan seluruh isi hatiku"
"Kau ingin bertanya kepadanya, mengapa kau yang dipilih
sebagai korbannya?"
Sekali lagi Jui Pakhay tertawa sedih.
"Asal dia bersedia memberikan sedikit keterangan
kepadaku, aku pun rela mempersembahkan darahku
kepadanya, mempersembahkan dengan ikhlas"
Tu Siau-thian tidak bicara lagi, dia tertunduk dengan mulut
membungkam. "Aku hanya menuntut sebuah penjelasan" sambung Jui
Pakhay lagi perlahan.
"Yaa, aku sendiripun berharap bisa mendengar sebuah
penjelasan" tanpa terasa Tu Siau-thian menambahkan.
"Kalau itu agak sulit, sebab disaat aku memahami semua
duduknya persoalan, saat itulah ajalku akan tiba, orang mati
kan tidak bisa menyampaikan kabar apa apa"
"Besok malam aku akan mendampingimu setiap saat setiap
detik, asal kau diberi penjelasan maka aku pun pasti akan
mendengarnya juga" ujar Tu Siau-thian sambil tertawa.
"Jangan, jangan sekali kali kau berbuat begitu!" cegah Jui
Pakhay. "Kenapa?"
121 "Sebab kau adalah sahabatku, kau tidak seharusnya
mempertaruhkan nyawamu demi seorang teman macam aku"
"Semakin kau berkata begitu, aku semakin harus
menyerempet bahaya ini"
Jui Pakhay tidak berbicara lagi, dia hanya mengawasi
rekannya dengan mata melotot.
Terdengar Tu Siau-thian berkata lebih jauh:
"Bila kau sudah anggap aku sebagai sahabatmu, kenapa
aku tidak boleh memandang kau sebagai temanku" Ketika
melihat teman sedang menghadapi kesulitan, masa aku harus
berpeluk tangan belaka?"
"Tahukah kau, siapa pun itu orangnya, bila dia berada
bersama aku besok malam, besar kemungkinan dia pun akan
dijadikan target sasaran dan kawanan laron penghisap darah
itu?" Tu Siau-thian mengangguk.
"Tahukah kau, bila apa yang dikatakan orang benar,
kemungkinan besar kawanan laron itu akan menghisap darah
dalam tubuhmu hingga mengering?" kembali Jui Pakhay
berkata. Untuk kedua kalinya Tu Siau-thian mengangguk.
"Kalau sudah tahu begitu, kau masih tetap bersikeras akan
menyerempet bahaya?" sambung Jui Pakhay.
Sekali lagi Tu Siau-thian mengangguk.
Mendadak Jui Pakhay menepuk bahu Tu Siau-thian keras
keras, serunya sambil tertawa tergelak:
"Hahaha.... sahabat karib, sahabat karib!"
"Jadi kau sudah mengijinkan aku untuk mendampingimu
besok malam?" tanya Tu Siau-thian.
122 "Tidak, aku masih tetap menolak!" tiba tiba Jui Pakhay
menghentikan gelak tertawanya, kemudian setelah menatap
wajah Tu Siau-thian sesaat, terusnya, "bila kuijinkan kau
mendampingiku, berarti aku lah yang tidak setiakawan"
Sambil menggeleng berulang kali, Tu Siau-thian menghela
napas panjang: "Aaai.... kau terlalu kolot, terlalu kaku dan keras kepala"
"Betul, memang begitu watakku sejak lahir"
"Tapi sampai waktunya aku tetap akan datang, kau toh
tidak mungkin bisa mengusirku" tiba tiba Tu Siau-thian
tertawa. "Karena kau adalah seorang opas?"
"Benar, aku bertanggung jawab untuk menghentikan setiap
pembunuhan yang bakal terjadi diwilayahku"
"Tapi berbicara dari kedudukanku dalam masyarakat, masa
dikala aku sedang tidur pun kau bisa masuk ke kamarku
seenaknya?"
"Baiklah, kalau begitu besok malam aku akan berjaga-jaga
diluar kamarmu saja" kata Tu Siau-thian sambil tertawa
"Apakah ada sesuatu yang bisa mengubah rencanamu itu?"
"Tidak ada"
Dengan perasaan apa boleh buat Jui Pakhay menghela
napas panjang, ujarnya kemudian:
"Asalkan kau tidak menyerbu masuk ke dalam kamarku
ketika gerombolan laron itu muncul, semestinya diluar pintu
merupakan sebuah tempat yang sangat aman"
Tu Siau-thian segera tertawa tergelak.
Terdengar Jui Pakhay berkata lebih jauh:
123 "Aku tahu, kau tidak bakal memiliki kesabaran seperti itu,
jangan lagi gerombolan laron itu sudah menampakkan diri,
asal di dalam kamarku terdapat sedikit gerakan pun mungkin
kau sudah menyerbu masuk ke dalam"
"Hey, sejak kapan kau tahu dengan begitu jelas tentang
watakku?" Jui Pakhay tidak menanggapi pertanyaan itu, dia hanya
bertanya: "Besok, jam berapa kau akan datang kemari?"
"Semakin awal tentu saja semakin baik"
"Besok, seharian penuh aku akan tetap berdiam di dalam
perpustakaan ku"
"Ehmmm, memang tidak salah pilih, pemandangan diluar
perpustakaanmu memang cukup indah"
"Memang indah, mungkin pemandangan dikala malam
bulan purnama jauh lebih indah lagi, hanya sayang hawa pasti
dingin dan angin pasti bertambah kencang"
"Kalau udara terlalu dingin, aku bisa mengenakan pakaian
lebih" "Haai, tidak kusangka kau lebih keras kepala ketimbang
aku" keluh Jui Pakhay sambil gelengkan kepalanya berulang
kali. Tu Siau-thian hanya tertawa saja, kemudian dia
mengalihkan pokok pembicaraan ke soal lain, ujarnya:
"Aku masih bermandikan debu dan berwajah letih, kenapa
kau tidak memberikan pernyataan apa pun?"
"Semestinya aku harus menjamu kedatanganmu dari
tempat yang jauh, hanya sayang perasaan hatiku saat ini
sedang kurang baik sehingga aku merasa segan untuk
melakukan sesuatu apa pun"
124 "Kalau begitu aku mesti mohon diri lebih dulu?"
Jui Pakhay sama sekali tidak berminat untuk menahannya
lebih jauh, dengan menunjukkan perasaan menyesal katanya:
"Bila aku masih tetap hidup selepasnya besok malam, aku
pasti akan menjamumu besar besaran dan mengajakmu
mabuk selama tiga hari tiga malam"
"Sampai waktunya, jangan lupa kau keluarkan semua arak
simpananmu!"
"Asal kita dapatkan kesempatan seperti ini, kau anggap aku
merasa sayang untuk mengeluarkan barang barang
simpananku?" sahut Jui Pakhay sambil tertawa pedih.
Menyaksikan mimik wajah rekannya yang begitu
mengenaskan, tentu saja Tu Siau-thian tidak bisa bicara apa
apa lagi, katanya kemudian sambil menghela napas:
"Padahal kau tidak perlu begitu kuatir....."
"Aaai.....apa mungkin aku tidak kuatir?"
Tu Siau-thian tidak bicara lagi, diapun segera berpamitan
dan beranjak pergi meninggalkan tempat itu.
Jui Pakhay benar benar tidak menghantar kepergjan
rekannya, bahkan dia hanya berdiri mematung ditempat,
bergerak sedikitpun tidak.
Matahari senja sudah condong diluar jendela kecil,
menyinari tanah lapang diluar dinding pekarangan.
Walaupun malam belum menjelang, namun cuaca lambat
laun bertambah gelap dan suram, angin malam yang dingin
pun mulai berhembus kencang.
Segulung angin berhembus lewat menyibak mantel panjang
yang dikenakan Jui Pakhay, menyibak pula tumpukan daundaunan
yang berada disisi kakinya.
125 Diatas daun terdapat bercak darah, darah itu darah kental,
walaupun hanya setetes namun memancarkan sinar yang
menyilaukan. Ketika cahaya darah siluman itu berkelebat lewat kemudian
lenyap, daun itu kembali berbalik dan jatuh kembali ke tempat
semula. Jui Pakhay membalikkan badan, sorot matanya mengawasi
bayangan tubuh Tu Siau thian yang lenyap di balik pintu
didepan situ, ketika kakinya bergeser itulah cahaya darah
kembali menampakkan diri.
Bercak darah yang terlihat kali ini bukan berada diatas
daun-daunan, juga bukan hanya setitik saja.
Segumpal bercak darah membasahi permukaan lantai,
darah itu kental dan bersinar aneh, sebenarnya darah apa itu"
Darah muncul dari bawah kaki Jui Pakhay, mungkinkah
darah tersebut adalah darah yang meleleh dari tubuhnya"
Kalau benar darahnya, mengapa dia berdarah"
Darah itu kental bagaikan cairan lem yang telah
menggumpal, lamat-lamat terendus pula bau amis yang aneh,
Laron Pengisap Darah Karya Huang Yin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bau yang sukar dilukiskan dengan kata, cahaya darah yang
aneh membuat suasana disekeliling tempat itu terasa seakan
menyeramkan. Mimik muka Jui Pakhay tiba-tiba mengalami perubahan,
raut wajahnya seakan ikut berubah jadi aneh karena pengaruh
suasana itu. 0-0-0 Bulan tiga tanggal lima belas, hujan rintik-rintik membasahi
bumi disaat senja menjelang datang, ketika malam semakin
mencekam jagad, hujan rintik itu seakan buyar terhembus
angin malam yang kencang.
126 Perlahan lahan rembulan mulai muncul dari balik awan
gelap, sinar yang redup mulai merambah seluruh jagad.
Tanggal lima belas saat bulan purnama, rembulan nampak
bulat bagai cermin.
"Aneh...." mendadak Tu Siau-thian seperti menemukan
sesuatu, "kenapa seawal ini rembulan sudah menampakkan
diri?" Tidak kuasa dia merasakan bulu kuduknya pada bangun
berdiri hingga bersin berulang kali.
Rembulan yang berada diangkasa seakan mendatangkan
hawa dingin yang membekukan tubuh, mendatangkan
perasaan dingin, aneh, seram bagi siapa pun yang melihatnya.
Sekarang dia sedang berada di dalam perpustakaan Ki po
cay. Karena sejak awal Jui Pakhay sudah meninggalkan pesan,
maka begitu Tu Siau-thian muncul disitu, pelayan segera
menghantarnya ke ruang perpustakaan dan meninggalkannya
di depan ruangan itu.
Memang inilah kehendak Tu Siau-thian sendiri, dia ingin
berjaga jaga didepan gedung.
Pelayan itu segera pergi meninggalkan tamunya seorang
diri, karena Jui Pakhay telah berpesan pula, bila Tu Siau-thian
sudah tiba disana, maka siapa pun dilarang mendekati lagi
ruang perpustakaan itu.
Dia memang sengaja berbuat demikian agar tidak menyeret
orang lain ke dalam kancah kekalutan ini.
Tu Siau-thian cukup memahami maksud dan niat rekannya
itu, maka dia bukan datang seorang diri, dia muncul
didampingi dua orang rekan opas lainnya, Tan Piau dan Yau
Kun. 127 Kedua orang ini merupakan opas opas andalannya, anak
buah yang sangat dipercaya olehnya, mereka miliki
kepandaian silat yang cukup tangguh.
Pintu ruang perpustakaan berada dalam keadaan tertutup
rapat, biarpun cahaya lentera telah menerangi ruangan itu,
namun tidak terlihat sesosok bayangan manusia pun berada
disitu. Pelan pelan Tu Siau-thian mengalihkan sorot matanya
keatas pintu, dia sedang mempertimbangkan haruskah
mengetuk pintu ruang perpustakaan atau tidak, dia pingin
menyapa Jui Pakhay rekannya itu sekalian memeriksa
bagaimana kondisi dalam ruangan itu sekarang.
Belum lagi dia melakukan sesuatu, mendadak pintu
ruangan dibuka orang.
Sambil memegangi pintu ruangan dengan kedua
tangannya, Jui Pakhay melongok keluar dari balik ruangan,
namun dia tidak bertindak keluar dari situ.
Maka sorot mata Tu Siau-thian pun beralih keatas wajah
rekannya, tapi dengan cepat dia merinding sambil bersin
berulang kali. Baru berpisah satu hari, raut muka Jui Pakhay telah
berubah hebat, kini air mukanya tampak putih memucat,
bahkan pucat kehijauan persis seperti wajah sesosok mayat,
ketika tertimpa sinar rembulan yang redup, membuat raut
muka itu tampil menyeramkan, persis seperti wajah siluman.
Tampaknya sebelum membukakan pintu dia sudah tahu
akan kehadiran Tu Siau-thian, tapi diapun seakan baru
sekarang tahu akan kehadiran rekannya, suara maupun mimik
mukanya nampak dingin, kaku dan sangat aneh.
"Apa yang telah terjadi?" buru-buru Tu Siau-thian bertanya.
128 "Apa yang terjadi?" Jui Pakhay nampak agak melengak,
"tidak ada kejadian apa apa disini, kenapa kau mengajukan
pertanyaan yang aneh?"
"Masa kau tidak merasa kalau wajahmu nampak jelek
sekali?" Jui Pakhay tertawa getir.
"Kalau orang tidak bisa tidur barang sekejap pun sepanjang
malam, seharian penuh mesti bersiap dalam suasana tegang
dan panik, apakah tampangnya masih bisa tampil bagus dan
enak dipandang?"
"Apa yang kau sibukkan seharian ini?"
"Mencatat semua peristiwa yang telah kualami selama
belasan hari ini dalam sebuah kitab catatan......."
"Boleh aku melihatnya?"
"Boleh sih boleh, tapi bukan sekarang"
"Kalau bukan sekarang, aku harus menunggu sampai
kapan?" desak Tu Siau-thian lebih jauh.
"Tunggu setelah aku mati"
Tu Siau-thian tertegun, berapa saat lamanya dia hanya bisa
berdiri mematung tanpa mengucapkan sepat ah kata pun.
Dengan sedih Jui Pakhay berkata lebih jauh:
"Seandainya aku tidak jadi mati, maka akan kuusut
peristiwa ini hingga tuntas dan melakukan penyelesaian sesuai
dengan caraku sendiri"
"Bagaimana kalau kau keburu mati duluan?" seru Tu Siauthian
tanpa sadar. "Cepat atau lambat kau pasti akan menemukan kitab
catatanku itu, dengan membaca seluruh rangkaian peristiwa
yang kucatat dalam kitab itu, kau bakal paham sendiri hal
129 ikhwal terjadinya peristiwa ini dan tidak sulit untuk
menemukan latar belakang yang sebenarnya atas kematianku
itu" Tu Siau-thian gelengkan kepalanya berulang kali, katanya:
"Kenapa tidak kau tunjukkan kepadaku sekarang saja"
Siapa tahu aku akan menemukan cara penanggulangan yang
belum terpikirkan sebelumnya, siapa tahu dengan cara
tersebut nyawamu masih bisa diselamatkan?"
Jui Pakhay menggelengkan kepalanya berulang kali,
tukasnya: "Kitab catatan tersebut hanya boleh dibaca setelah aku
mati" "Buat apa sih kau gunakan nyawa sendiri sebagai taruhan
untuk membuktikan kebenaran dari semua peristiwa ini?" seru
Tu Siau-thian dengan mata terbelalak.
"Sebab hanya cara inilah merupakan satu satunya cara
yang terbaik"
"Jadi kau sudah bosan hidup?"
"Siapa yang tidak bosan hidup bila tiap saat tiap detik harus
hidup dalam suasana horor dan penuh teror?"
Tu Siau-thian memperhatikan rekannya sekejap,
mengawasi dari ujung kepala hingga ke ujung kakinya,
kemudian bergumam:
"Aku lihat kau sudah mirip dengan orang gila........"
"Aku justru berharap diriku benar-benar bisa berubah
menjadi orang gila!"
Sesudah tertawa getir, lanjutnya:
"Kalau aku berubah menjadi orang gila maka aku tidak
perlu menguatirkan persoalan apa pun, juga tidak perlu
tersiksa oleh perasaan apa pun, aku tak usah takut, tak perlu
130 kuatir, tak usah tegang dan ketakutan, tak usah marah atau
sedih......."
Sekali lagi Tu Siau-thian tertegun.
BAB 8 Bayangan Laron Berlapis-lapis
Dari dalam sakunya Jui Pakhay mengeluarkan sepucuk
surat, sambil disodorkan ke depan, ujarnya:
"Aku sempat menulis sepucuk surat ini."
"Surat" Apa yang akan kau perbuat dengan surat ini?"
"Untuk kuserahkan kepadamu."
"Buat aku?" Tu Siau-thian tercengang.
"Bukan, surat itu bukan untukmu," Jui Pakhay menggeleng.
"Lantas, kenapa kau serahkan kepadaku?"
"Karena aku sudah tidak punya kesempatan untuk keluar
lagi dari tempat ini, sedang sekelilingku juga tidak ada
seorangpun orang yang bisa kupercaya, maka dari itu
terpaksa kugunakan kesempatan ini untuk menyerahkannya
kepadamu, tolong bantu aku untuk sampaikan surat tersebut
kepada alamat yang kumaksud."
"Aku harus menghantar surat ini kemana?"
"Ke kantor polisi."
"Serahkan kepada siapa?"
"Kepada penguasa setempat, Ko Thian-liok!"
Tampaknya Tu Siau-thian sangat tercengang dengan sikap
rekannya itu, buru buru dia bertanya lagi:
131 "Sebenarnya apa isi surat ini?"
"Sebetulnya bukan sebuah surat, lebih tepatnya sebuah
surat wasiat."
"Surat wasiat?"
"Aku minta tuan Ko untuk mengaturkan semua harta
warisanku sepeninggalku nanti."
"Ooh...."
"Tentu saja bila aku masih bisa hidup sampai esok pagi,
surat tersebut tidak perlu kau sampaikan lagi, segera
kembalikan kepadaku," Jui Pakhay menambahkan sambil
tertawa paksa. "Maksudmu, untuk sementara waktu kau minta aku untuk
menyimpankan surat wasiat ini?"
"Benar."
Tiba-tiba Tu Siau-thian tertawa tergelak.
"Hahaha... aku kuatir sepeninggal gerombola laron
penghisap darah itu, aku sendiripun telah berubah jadi
sesosok mayat kering, kalau sampai begitu, tentu saja aku
tidak bisa sampaikan suratmu itu kepada yang bersangkutan."
"Kalaupun kau telah berubah jadi sesosok mayat
mengering, toh masih ada dua orang anak buahmu."
"Siapa tahu mereka akan senasib pula dengan diriku?" ucap
Tu Siau-thian sambil berpaling sekejap memandang ke dua
orang anak buahnya.
"Oooh, tidak kusangka hatimu begitu mulia...."
Tu Siau-thian menghela napas panjang, ujarnya:
"Kalau sampai kau dengan andalanmu jit-seng-toh-hun, Itkiamcoat-mia tujuh bintang pencabut nyawa, pedang sakti
perenggut sukma pun masih tidak yakin bisa hidup,
132 bagaimana mungkin sepasang tombak pendeknya ditambah
ruyung bajanya mampu menandingi kehebatan pedang tujuh
bintang pencabut nyawamu?"
"Belum tentu gerombolan laron penghisap darah itu akan
menyerang kalian, seandainya kalian pun tertimpa musibah
hingga mati semua, aku yakin surat tersebut pun akan turut
musnah, jadi tidak perlu dipermasalahkan."
Tu Siau-thian tidak mengerti, dia mengawasi rekannya
dengan termangu.
Buru-buru Jui Pakhay menjelaskan:
"Sebab selain surat itu, aku masih mempersiapkan lagi
sepucuk surat dengan isi yang sama sekali berbeda, surat itu
kutaruh menjadi satu dengan kitab catatanku itu, bila kita
semua harus mati bersama, tiga hari kemudian pun surat
tersebut tetap akan sampai ke tangan pejabat Ko."
Tu Siau-thian semakin tidak mengerti, dia semakin
tertegun. Terdengar Jui Pakhay berkata lagi:
"Tiga hari lagi seorang sahabatku akan tiba di sini, dalam
keadaan apa pun dia pasti akan muncul di tempat ini, dengan
kecerdasan otaknya, aku yakin dia pasti akan menemukan
kitab catatan beserta surat wasiatku itu, di atas surat sudah
kucantumkan nama si penerimanya dengan jelas, aku percaya
dia akan membantu aku untuk menyampaikannya."
"Tampaknya kau termasuk orang yang sangat berhati-hati."
"Kalau seseorang sudah berada dalam keadaan seperti ini,
bagaimana mungkin dia tidak berhati-hati?"
"Boleh aku tahu, siapa sih temanmu itu?" tiba-tiba Tu Siauthian
bertanya. "Siang Hu-hoa!"
133 "Apa" Siang Hu-hoa?" begitu nama tersebut disebut, paras
muka Tu Siau-thian, Tan Piau maupun Yau Kun segera
berubah hebat. "Memangnya kalian belum pernah mendengar nama
sahabatku itu?" tanya Jui Pakhay sambil melirik ke tiga orang
itu sekejap. "Aku rasa tidak banyak lagi jago dalam persilatan yang
tidak pernah mendengar nama dari sahabatmu itu."
"Betul," Jui Pakhay mengangguk berulang kali, "nama
besarnya memang cukup tersohor di dalam dunia persilatan,
aku lihat di antara jagoan pedang yang ada di dunia saat ini,
mungkin dialah jagoan nomor wahid."
Kelihatannya Tu Siau-thian sependapat dengan ucapan
rekannya, katanya:
"Walaupun aku belum pernah berjumpa dengan orang ini,
pun belum pernah melihat ilmu pedangnya, tapi di dalam
dunia persilatan saat ini rasanya memang belum ditemukan
orang ke dua yang sanggup menandingi kehebatannya."
"Kalian pasti tidak menyangka bukan kalau aku mempunyai
seorang sahabat yang hebat macam dia?"
"Aku sudah kenal denganmu bertahun-tahun lamanya, tapi
baru pertama kali ini kudengar cerita tersebut."
Jui Pakhay tidak bicara lagi, dia termenung dan terbungkam
mulutnya. Kelihatannya Tu Siau-thian tidak merasakan perubahan
aneh di wajah rekannya itu, kembali ujarnya:
"Menurut apa yang kudengar, konon sahabatmu itu tinggal
di perkampungan selaksa bunga Ban-hoa-sanceng?"
Laron Pengisap Darah Karya Huang Yin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jui Pakhay tidak menjawab, dia hanya mengangguk.
134 "Aku rasa selisih jarak dari perkampungan Ban-hoa sanceng
sampai di sini tidaklah terlampau jauh," kembali Tu Siau-thian
berkata. "Dengan menunggang kuda tercepat pun butuh enam hari
untuk sampai di sini."
"Apakah kau tidak berusaha menghubunginya sejak awal?"
"Tanggal tujuh aku baru mengutus Jui Gi untuk membawa
suratku berangkat ke perkampungan Ban-hoa sanceng."
"Jui Gi?"
"Mestinya kau tidak asing dengan orang ini!"
"Yaa, rasanya aku ingat kalau ada manusia seperti ini."
"Keluarganya turun temurun selalu bekerja melayani
keluarga Jui, aku percaya seratus persen dengan orang ini,
karenanya dialah yang kuutus untuk pergi menjumpai Siang
Hu-hoa." "Seharusnya kau utus dia lebih awal lagi, mungkin saat ini
dia sudah tiba di sini."
"Kalau bukan betul-betul terpaksa, semestinya aku tidak
ingin pergi mencarinya...."
Setelah menghela napas panjang, lanjutnya:
"Sebab... sebetulnya kami sudah tidak bersahabat lagi"
"Oya?"
Jui Pakhay tidak menjelaskan lebih jauh, dia alihkan sorot
matanya ke atas surat itu dan katanya:
"Surat ini sudah disegel dengan lak merah dan bukan kali
pertama kukirim surat semacam ini kepada ko thayjin, biarpun
belum tentu dia mengenali gaya tulisanku, tapi bila
disejajarkan dengan surat yang lama, bentuk maupun
modelnya persis sama."
135 "Kau kuatir ada orang mengganti atau merubah isi surat
wasiatmu itu?" tegur Tu Siau-thian sambil tertawa.
"Yaa benar, aku memang menguatirkan hal ini, itulah
sebabnya di atas segel tersebut sengaja kuberikan cap
pribadiku sebanyak dua kali."
Kemudian setelah tertawa paksa, lanjutnya:
"Surat wasiat yang telah dirancang macam begini, tentunya
tidak bakal terjadi hal-hal yang tidak diinginkan bukan?"
Tu Siau-thian tidak langsung menjawab, ujarnya setelah
menghela napas:
"Kalau dibilang otakmu sudah tidak waras, kau sudah jadi
orang gila, kenapa jalan pemikiranmu masih begitu teliti dan
cermat?" Jui Pakhay ikut menghela napas panjang, tapi dia tidak
berkata apa-apa, suratnya segera dilontarkan ke depan.
Ketika Tu Siau-thian menerima surat tersebut, dengan
cepat dia menutup kembali pintu ruangannya, oleh sebab itu
dia pun tidak bisa berkata apa-apa lagi.
Serta-merta sorot matanya dialihkan ke atas surat itu,
diperiksanya sekejap dari depan ke belakang, dari atas hingga
ke bawah, memang surat itu merupakan sepucuk surat yang
sangat rapat dan tertutup.
Dengan sangat hati-hati Tu Siau-thian menyimpan surat itu
ke dalam sakunya, lalu setelah mengerling sekejap ke arah
dua orang pembantunya, dia berkata lagi:
"Di sebelah sana terdapat gardu, mari kita berjaga-jaga di
dalam gardu itu saja."
Waktu itu sisa cahaya senja sama sekali sudah lenyap dari
pandangan, rembulan yang bulat di ujung langit sana nampak
masih bening bagaikan air.
136 ?"> Bangunan gardu itu berada di tengah pepohonan dan
bebungaan, namun daun-daunan dan pohon-pohonan
tersebut sama sekali tidak menutupi pandangan orang ke
empat penjuru, tidak terlampau sulit untuk melihat keadaan
ruang perpustakaan dari situ, sebaliknya dari ruang
perpustakaan pun tidak sulit untuk memandang ke arah
gardu. Di tengah gardu itu terdapat sebuah meja yang terbuat dari
batu dan beberapa buah bangku dari batu pula.
Tu Siau-thian segera memilih sebuah bangku yang persis
menghadap ke arah ruang perpustakaan dan duduk, perasaan
hatinya mulai tegang bercampur sedikit panik.
Tan Piau dan Yau Kun duduk di sisi kiri kanannya.
"Komandan," ujar Yau Kun kemudian, "kalau didengar dari
nada pembicaraan orang she-Jui itu, tampaknya di sini benarbenar
terdapat makhluk yang disebut laron penghisap darah
itu?" "Dalam kenyataan memang ada!"
"Apakah komandan juga telah menjumpai sendiri makhluk
itu?" "Betul, sudah bertemu sebanyak dua kali" Tu Siau-thian
mengangguk. "Benarkah makhluk itu adalah laron yang bisa menghisap
darah?" desak Yau Kun lebih jauh.
Sekali lagi Tu Siau-thian mengangguk.
Berubah paras muka Yau Kun, serunya:
"Kalau dilihat jawaban komandan yang begitu meyakinkan,
apakah kau pernah juga dihisap darahnya oleh makhluk itu?"
Untuk kesekian kalinya Tu Siau-thian mengangguk.
137 "Waktu itu yang muncul hanya seekor, baru saja laron
penghisap darah itu mulai menghisap darahku, segera
kukebaskan tanganku hingga terlepas gigitannya."
Kali ini paras muka Yau Kun benar-benar berubah hebat,
seketika dia terbungkam.
Tan Piau yang berada di sisinya tidak tahan untuk ikut
menimbrung, tanyanya:
"Bagaimana sih ceritanya hingga orang she-Jui itu direcoki
makhluk tersebut?"
"Aku sendiripun kurang begitu jelas."
"Dia sendiri juga tidak tahu?"
"Bila kudengar dari logat bicaranya, jelas dia tahu secara
pasti, Cuma dia enggan untuk mengatakannya, seakan ada
kesulitan yang sukar diterangkan."
Setelah berhenti sejenak, tambahnya: "Cuma, sekalipun dia
enggan berbicara pun tidak jadi masalah, sebab pada malam
nanti, besar kemungkinan kita akan peroleh sebuah jawaban
yang jelas."
"Tampaknya malam sudah menjelang tiba...."
Tu Siau-thian mengalihkan pandangan matanya ke luar
gardu, benar saja, kegelapan malam mulai menyelimuti
seluruh jagad. Halaman mulai terselubung dalam kegelapan, hanya sedikit
cahaya remang terlihat memancar keluar dari balik ruang
perpustakaan. Lambat laun Tu Siau-thian bertiga pun terkepung di balik
kegelapan, dalam suasana seperti ini mereka bertiga tidak
banyak bicara lagi.
?"> 138 Malam semakin larut, bulan yang purnama pun lambat laun
semakin bergeser ke tengah angkasa.
Cahaya lentera yang menyorot keluar dari balik jendela
ruang perpustakaan makin bertambah terang-benderang,
seluruh daun jendela seakan berubah jadi memutih karena
bermandikan sinar.
Bayangan tubuh Jui Pakhay kelihatan lamat-lamat, ada
kalanya dia nampak berdiri, ada kalanya berjalan kian kemari,
ada kalanya berputar-putar saja dalam ruangan seperti semut
yang kepanasan di atas kuali.
Biarpun tidak terdengar suara apa pun, walau hanya
bayangan tubuh Jui Pakhay yang nampak, namun Tu Siauthian
bertiga dapat ikut merasaan ketidaktenangan, kepanikan
serta ketidaksabaran orang itu.
Tanpa sadar mereka bertiga pun ikut panik, ikut tidak
tenang, tidak sabar, sampai kapan kawanan laron penghisap
darah itu baru akan munculkan diri"
?"> Malam bertambah larut, rembulan semakin tinggi
menerawang, juga nampak semakin bulat.
Sinar rembulan yang dingin menyinari seluruh permukaan
bumi, kabut tipis mulai membungkus seluruh halaman.
Entah darimana datangnya kabut itu, tidak tahu pula sejak
kapan kemunculannya, di bawah cahaya rembulan lapisan
kabut tipis itu seakan menyebarkan hawa dingin yang
menggidikkan hati.
Tu Siau-thian bertiga seolah sudah kaku karena kedinginan,
mereka sama sekali tak bergerak, cahaya rembulan yang ikut
membeku seolah tak pernah bergeser pula dari jendela ruang
perpustakaan. 139 Kini cahaya lentera yang muncul dari balik jendela nampak
semakin terang, seluruh permukaan jendela seolah telah
berubah jadi putih bersih karena lapisan salju.
Bayangan tubuh Jui Pakhay masih tertera pula dari balik
jendela, sesosok bayangan tubuh yang sama sekali tak
bergerak. Bila ditinjau dari bayangan yang memantul, tampaknya Jui
Pakhay sedang duduk di sisi lentera, betapa panik dan
gelisahnya seseorang ada saatnya juga untuk bersikap tenang.
Kentongan pertama, kentongan ke dua, kentongan ke
tiga.... Kini rembulan sudah berada tepat di atas angkasa, bening
bulat bagaikan sebuah cermin, sebuah bulan purnama yang
amat sempurna. Suara kentongan sekali lagi berkumandang, ti
Bentrok Rimba Persilatan 14 Rahasia 180 Patung Mas Karya Gan Kl Durjana Dan Ksatria 12
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama