Misteri Lukisan Tengkorak Seri 4 Opas Karya Wen Rui An Bagian 4
pertarungan yang dilakukannya dulu bagaikan permainan
anak-anak saja, dengan wajah sedih tanyanya, "Lalu kenapa
dia tidak menggunakan senjata pamungkasnya untuk
menghadapimu?"
"Ia sedang menanti kesempatan lain yang jauh lebih
bagus," ucap Leng-hiat sambil mengawasi bayangan
punggung Ni Jian-ciu yang semakin menjauh, "ketika
serangannya gagal mencapai sasaran, tenaga dalamnya jadi
melemah dan isi perutnya turut terluka, itulah sebabnya dia
harus menanti kesempatan lain yang jauh lebih
menguntungkan."
"Kalau dia tidak turun tangan, kenapa kau pun hanya
berdiam diri?" tanya Ting Tong-ih cepat.
Leng-hiat tertawa getir. "Sebab aku sendiri pun tidak
memiliki keyakinan untuk menang, lagi pula aku memang
tidak berniat untuk membunuhnya."
Kemudian setelah berhenti sejenak untuk menarik napas,
lanjutnya, "Aku hanya berharap dia tidak membunuh kalian."
Sementara itu dari arah jalan raya terdengar suara
bentakan nyaring.
Mendengar itu segera Leng-hiat berseru, "Cepat kita
tinggalkan tempat ini ketimbang terseret dalam kesulitan."
Keempat orang itu segera melompat naik ke punggung
kuda masing-masing dan mencemplak kudanya untuk berlalu
dari situ. Kini di atas jembatan hanya tersisa sebuah sangkar burung
yang telah hancur serta sebuah topi bambu yang telah
terbelah dua. Tak lama kemudian petugas opas dan petugas keamanan
sudah berkerumun di seputar jembatan itu.
Selang beberapa saat kemudian kerumunan opas itu baru
menyingkir ke samping dan membuka sebuah jalan lewat.
Tiga buah tandu dipimpin seekor kuda perlahan-lahan
berjalan mendekati jembatan itu.
Orang yang berada di atas kuda tak lain adalah Lu Bunchang.
Ia melompat turun dari kudanya dan membukakan tirai
yang menutupi tandu, tiga orang manusia, seorang lelaki tua,
seorang lelaki setengah umur dan seorang pemuda perlahanlahan
berjalan keluar dari balik tandu.
Sikap Lu Bun-chang sangat menaruh hormat, sisir
kegemarannya masih berada dalam genggamannya, siap
menyisir kumisnya yang lebat.
Lelaki tua itu berjalan ke atas jembatan, memungut
sangkar burung yang rusak itu kemudian mengamatinya
beberapa saat. Lelaki setengah umur itupun memungut topi bambu yang
terbelah dua dan menelitinya dengan seksama.
Kemudian kakek itu mendongakkan kepalanya, saling
bertukar pandang dengan lelaki setengah umur itu.
"Apakah dia?" tanya kakek itu kemudian.
"Ya, benar, memang dia!" jawab lelaki setengah umur itu.
Sementara kedua orang itu sibuk meneliti, pemuda berbaju
putih itu hanya berdiri santai di tepi sungai sambil
menggendong tangan, dia seakan tidak menggubris urusan di
atas jembatan, pikirannya seolah lebih terpusat untuk
menikmati lambaian ranting pohon liu yang tertiup angin dan
burung walet yang terbang rendah di atas kepalanya.
Tampaknya para opas kota kecil itu tak ada yang tahu
siapa gerangan ketiga orang itu, mereka hanya berbisik-bisik
membicarakan persoalan itu.
"Siapakah ketiga orang itu?"
"Darimana aku tahu?"
"Tampaknya asal-usul mereka luar biasa!"
"Darimana kau bisa berkata begitu?"
"Kalau orang macam Lu-thayjin saja mau membukakan tirai
tandu mereka bahkan menjadi petunjuk jalan, masakah
pangkat ketiga orang itu jauh lebih rendah dari posisinya?"
"Benar juga perkataanmu."
"Tapi terlepas siapa pun mereka itu, sepak-terjang orangorang
itu sungguh menyebalkan."
"Sttt, jangan sembarangan bicara, konon ketiga buah tandu
itu digotong keluar dari gedung kediaman Li-thayjin, kalau kita
sampai melakukan kesalahan terhadap mereka bertiga, bisa
jadi nyawa kita bakal segera lenyap dari muka bumi."
"Hmmm, tapi aku tetap menganggap mereka menyebalkan,
coba lihat gaya pemuda itu, betul-betul memuakkan"
Orang yang mengucapkan perkataan itu adalah seorang
anggota keamanan setempat, biasanya dia selalu dihormati
orang, tapi sekarang, bukan saja ada orang lain yang
menginjak-injak daerah kekuasaannya, bahkan tidak pandang
sebelah mata kepadanya, tak heran dia pun menggerutu
panjang lebar. Sekalipun dia bicara secara berbisik-bisik, siapa tahu
perkataan itu tampaknya terdengar oleh pemuda itu,
mendadak si anak muda berpaling dan melemparkan sekulum
senyuman ke arahnya.
Petugas keamanan itu tertegun dan tak berani bicara lebih
jauh. Hari itu juga, ketika petugas keamanan itu sedang mandi di
rumah, mendadak terdengar ia menjerit kesakitan dan tahuTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
tahu orang menjumpai dia sudah tewas di dalam bak
mandinya dengan lidah sudah tercabut keluar.
Setelah menyeberangi Put-lo-si dan berjalan menelusuri
sungai, waktu pun sudah mendekati senja, awan gelap mulai
muncul di ujung langit, kuda pun sudah lelah, manusia juga
mulai penat. Di tepi sungai banyak berdiri warung penjual teh yang
dibangun ala kadarnya, tiba-tiba Ting Tong-ih bertanya,
"Kalian berminat mandi air panas?"
Semua orang melengak.
"Mandi air panas?" tanya Tong Keng kemudian.
"Betul, di seputar sini pasti ada sumber air panas, aku bisa
mengendus baunya," jawab Ting Tong-ih sambil tertawa, tapi
sesaat kemudian dengan wajah termangu lanjutnya, "dulu aku
sering berkelana bersama Kwan-toako, tempat mana pun
pernah kami kunjungi, tempat macam apapun pernah
kusambangi"
"Bagus sih bagus" kata Leng-hiat tiba-tiba, "hanya saja...."
Seandainya mereka semua adalah kaum lelaki, urusan
menjadi lebih gampang diselesaikan karena mandi bersama
antar lelaki bukan sesuatu yang aneh, tapi di antara mereka
ada yang perempuan, jelas hal ini membuat masalah menjadi
tidak segampang itu.
Ting Tong-ih segera tertawa, tukasnya, "Kita sebagai orang
dewasa yang sudah lama berkecimpungan dalam dunia
persilatan, kenapa cara pandang kalian masih macam anakanak?"
Seraya berkata ia segera menuding ke arah depan, betul
saja di sisi sungai terdapat beberapa buah kubangan kecil,
dari kubangan itulah terlihat uap panas mengepul.
"Itulah sumber air panasnya," kembali Ting Tong-ih
berseru, "kalau ingin mandi, ayolah mandi, kita langsung saja
mencebur ke situ."
Sambil berkata ia membuka buntalan kecilnya,
mengeluarkan sebatang hio, lalu menancapkan di atas tanah.
Sementara semua orang masih termangu, terdengar Ting
Tong-ih dengan suara lirih sedang berdoa, "Toako, aku tahu
kau tak bakal melupakan aku, aku pun tak pernah akan
melupakan dirimu walau sampai mati. Semasa hidupmu dulu
kau banyak bermain perempuan di luaran, aku sendiri pun tak
pernah menjaga kehormatanku, kini kau sudah mati
sementara aku masih hidup, sebelum berhasil membalaskan
dendam sakit hatimu, aku pasti akan menjaga hidupku secara
baik-baik, kau tak usah menguatirkan keselamatanku"
Berdoa sampai di sini dia pun menjura tiga kali, kemudian
dengan santainya dia melepaskan seluruh pakaian yang
dikenakan dan berjalan menuju ke sumber air panas.
Ketika melepaskan seluruh pakaian yang dikenakan, Ting
Tong-ih melakukannya tanpa canggung dan malu, seakanakan
melepaskan pakaian sama urusannya seperti melepas
ikat kepala saja.
Dengan tangan kanan ia melepaskan kancing baju kirinya,
baru saja ia melepas kancing, ikat pinggang pun segera
terlepas dan pakaian pun terbuka, bahunya yang putih mulus,
payudaranya yang kenyal dan berdiri menantang seketika
muncul dari balik pakaiannya yang terlepas, dalam waktu
singkat gadis itu benar-benar dalam keadaan bugil.
Tatkala gadis itu mulai melepas pakaiannya, Leng-hiat
segera merasakan kepalanya mendengung keras, segera dia
melengos ke arah lain dan tak berani memperhatikan lagi.
Tatkala pakaian gadis itu mulai terlepas dan sepasang
payudaranya yang kenyal besar mulai melompat keluar, Ko
Hong-liang ikut melengos ke arah lain.
Tinggal Tong Keng seorang yang masih menikmati tubuh
bugil gadis itu dengan mata terbelalak lebar.
"Apa" Dia berani berbugil ria di hadapan kaum lelaki"
demikian ia berpikir.
Tapi pikiran lain segera melintas, "Aaah, aku tak boleh
berpikir yang bukan-bukan dan lagi aku tak boleh melototi
terus tubuh bugilnya, kalau enci Ting saja tak takut dilihat
orang, kenapa aku mesti takut mandi bersama?"
Tapi sesaat kemudian pikiran lain melintas, "Cuma, setiap
kali melihat tubuhnya yang bugil, melihat payudaranya yang
menantang, aku ... aku merasa mulai terangsang ... aaah,
sungguh memalukan, aku tak boleh berpikiran sesat macam
begini, tapi apakah salah kalau aku sebagai lelaki sehat
terangsang setelah melihat gadis bugil" Apalagi aku
melihatnya secara terbuka, kalau aku mengintip dia lagi
mandi, itu baru salah, kenapa aku mesti berlagak seolah tidak
melihatnya?"
Dalam waktu singkat berbagai ingatan melintas dalam
benaknya, sementara sepasang matanya masih terbelalak
lebar, mengawasi tubuh bugil Ting Tong-ih tanpa berkedip.
Tubuh gadis itu memang putih, mulus dan sangat indah, di
balik warna putih terselip warna kemerah-merahan, tak lama
kemudian ia sudah berendam di dalam kolam air panas,
berendam hingga ke batas dadanya.
Setelah mengikat rambutnya dengan seutas pita, gadis itu
mulai memejamkan mata sambil menikmati hangatnya air
dalam kolam, tangannya yang putih mulus mulai menggosok
seluruh bagian tubuhnya, mulai menggosok lengannya,
payudaranya, perutnya ....
Mendadak Ting Tong-ih membuka matanya kembali, sambil
tertawa ujarnya, "Aku adalah perempuan persilatan yang tak
pernah merisaukan persoalan semacam ini, aku tak suka
terikat dengan tradisi dan segala peraturan busuk, kalian
boleh saja menuduhku tak tahu malu, memakiku perempuan
murahan, tapi terus terang saja, siapa manusia di dunia ini
yang tidak telanjang ketika sedang mandi" Buat apa masalah
sepele macam begini dijadikan masalah serius yang seolaholah
sangat memalukan?"
Sambil berbicara gadis itu mulai mandi dengan santainya,
bahkan dengan wajah riang mulai membersihkan seluruh
bagian tubuhnya yang kotor.
Di antara sekian orang, ilmu silat Leng-hiat terhitung paling
hebat, tapi sekarang ia merasa jantungnya berdetak sangat
cepat seolah-olah ada anak yang sedang menjotos dadanya,
mungkin hal ini lantaran tenaga dalamnya yang kuat sedang
bergolak di dalam tubuhnya, tapi gejolak perasaan yang
dialaminya saat ini membuat pendekar sakti ini menjadi sangat
gelisah dan tak tenang pikirannya.
Mendadak ia melepaskan seluruh pakaian yang dikenakan,
kemudian bagaikan kembali ke zaman purba pemuda itu
melangkah ke arah kolam air panas dan menceburkan diri ke
dalam air. Dalam waktu singkat air panas menggenangi seluruh
tubuhnya, hawa hangat yang menyelimuti badan membuat ia
merasa segar dan sangat nyaman.
Sambil tertawa Ting Tong-ih menengok ke arah Leng-hiat,
serunya tiba-tiba, "Kau jangan memaksakan diri
mengendalikan perasaan, cara menahan diri semacam ini
merupakan pantangan bagi seorang lelaki, apa salahnya kalau
seorang lelaki terangsang" Kenapa tidak kau biarkan badanmu
bereaksi sesuai alamnya?"
Leng-hiat sama sekali tidak menyangka kalau ada gadis
yang berani menegur masalah kesensitifannya, untuk sesaat
dia tertegun, entah karena air panas yang begitu hangat atau
karena malu, paras mukanya kontan berubah menjadi merah
padam. Ko Hong-liang yang mendengar perkataan itu segera
menarik napas panjang dan tertawa terbahak-bahak, kepada
Tong Keng serunya, "Hahaha, aku bukan seorang lelaki sejati,
aku pun tahu imamku kurang tegar, tak tahan godaan, kalau
suruh aku ikut mandi bugil bersama, mungkin yang paling
memalukan adalah diriku, kelihatan kejelekanku sendiri ...
hahahaha ... lebih baik kau saja yang ikut berbugil ria, maaf,
aku tidak ingin mendapat malu!"
"Aku...." Tong Keng membelalakkan matanya semakin
lebar. Terdengar Ting Tong-ih tertawa cekikikan, waktu itu ia
sedang menggesekkan punggungnya di tepi bebatuan sambil
menggosok kakinya yang mulus, teriaknya, "He, kenapa kalian
yang menjadi anak lelaki malah begitu rewel dan malu-malu"
Tong Keng berteriak keras, dengan masih berpakaian
lengkap ia segera menceburkan diri ke dalam kolam air panas.
"He, macam apa itu" Mau bunuh diri dengan mencebur ke
kolam?" teriak Ko Hong-liang sambil tertawa tergelak.
"Bukan, bukan bunuh diri, lebih mirip laron menubruk api,"
imbuh Ting Tong-ih sambil tertawa cekikikan.
Dengan tubuh basah kuyup Tong Keng muncul ke
permukaan air, mukanya yang bercambang kelihatan semakin
hitam berkilat, rambutnya basah kuyup, dengan termangu dia
hanya bisa mengawasi Ting Tong-ih tanpa mampu berbicara
sepatah kata pun.
Sementara itu Leng-hiat sudah memperoleh kembali
ketenangan hatinya, tiba-tiba saja dia seperti kembali ke masa
anak-anaknya dulu, memukul air, membuat gelombang dan
memercikkan air ke wajah rekannya, keriangan, kegembiraan
dan kenakalannya muncul kembali, bahkan seluruh hawa
Misteri Lukisan Tengkorak Seri 4 Opas Karya Wen Rui An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pembunuhan yang biasanya menghiasi wajahnya, kini hilang
lenyap. Sambil tertawa kembali Ting Tong-ih berseru, "Kalian orang
lelaki memang banyak yang dipikirkan, kalau tidak menikmati
suasana secara santai dan riang, apakah tidak menyiksa diri
namanya?" Ko Hong-liang yang berdiri di tepian segera menyahut
sambil tertawa, "Nona Ting, padahal orang lelaki bukannya tak
berani melakukan, hanya masalahnya yang tidak dimiliki kaum
wanita justru dimiliki kaum pria, kalian kaum wanita tak perlu
malu karena tak bakal kelihatan jeleknya, beda dengan kaum
lelaki, begitu dia terangsang maka ada bagian tertentu di
tubuhnya yang bereaksi berlebihan, padahal benda yang
sudah bereaksi susah disembunyikan, terlebih jika mesti
berjalan dalam keadaan bugil, bagian yang sudah bereaksi itu
akan sangat mencolok mata, memangnya kita mesti berjalan
sambil memperlihatkan 'tombak'" Hahaha"
"Betul juga perkataanmu itu," sahut Ting Tong-ih sambil
tertawa cekikikan, "keadaan seperti itu memang mudah
membikin orang serba salah."
"Nona Ting," kembali Ko Hong-liang berkata sambil tertawa
getir, "jika aku menjadi kau, berwajah cantik, bertubuh indah,
aku tak akan berani mandi telanjang di depan kaum pria"
"Memangnya ada larangan berbuat begitu?" seru Ting
Tong-ih sambil tertawa, "memangnya aku mesti
menyembunyikan terus badanku di balik pakaian" Apakah
tubuhku baru boleh dilihat petugas yang memandikan mayat
ketika aku sudah berubah menjadi nenek peyot dan
menghembuskan napas terakhir?"
Untuk sesaat Ko Hong-liang menjadi bungkam dan tak
mampu berkata lagi.
Terdengar Ting Tong-ih berkata lebih jauh, "Padahal bisa
mandi telanjang di tengah hutan seperti ini merupakan
kenikmatan yang luar biasa, ketika kita membuang semua
atribut budaya yang membebani pikiran serta kelakuan kita,
ketika kita bertelanjang ria, kembali ke alam semesta, ooh...
betapa ringannya pikiran kita, betapa bebasnya kita berbuat,
sungguh sebuah kenikmatan yang tak terlukiskan."
Ko Hong-liang tertawa getir. "Yang aku kuatirkan justru...."
Belum selesai ia bicara mendadak terlihat burung gagak
beterbangan ke angkasa.
Menyusul kemudian terlihat seseorang sedang berjongkok
di atas tebing batu cadas.
Kalau dilihat dari gaya bayangan hitam itu, seakan setiap
saat dia akan menubruk ke bawah sambil melancarkan
sergapan mematikan.
Ko Hong-liang seketika menghentikan perkataannya, Lenghiat
sendiri pun segera merasa kalau ada seseorang sedang
bersembunyi di atas batu cadas.
Tapi kini dia berada dalam keadaan bugil, tubuhnya sedang
berendam di dalam kolam. Sementara musuh justru berada
persis di atas kepalanya.
Mendadak bayangan hitam itu memekik nyaring, cahaya
tajam berkelebat, tahu-tahu orang itu diiringi desingan angin
tajam telah menerjang ke arah Ko Hong-liang.
"Byuuur!", percikan air menyebar ke empat penjuru, tahutahu
Leng-hiat sudah melompat keluar dari dalam kolam,
kemudian di antara kilauan cahaya air, sebuah tusukan maut
telah dia lancarkan mengarah lambung bayangan hitam itu.
Kelihatannya orang itu sangat terkejut, dia tak menyangka
Leng-hiat mencebur ke dalam kolam sambil menggembol
pedang, tergopoh-gopoh dia membuka penutup buli-buli
keduanya yang tergantung di pinggang.
Dalam waktu singkat muncullah semburan kabur tebal yang
segera menyelimuti wajah Leng-hiat.
Dengan sekali berjumpalitan Leng-hiat sudah menyambar
Tong Keng di tangan kiri dan Ting Tong-ih di tangan kanan
untuk melompat keluar dari kolam, kepada Ko Hong-liang
yang masih berdiri melongo di tepi kolam segera teriaknya,
"Cepat tutup pernapasanmu!"
Menanti lapisan kabur telah buyar, Leng-hiat dan Ting
Tong-ih juga selesai mengenakan pakaian, bersama Ko Hongliang
dan Tong Keng yang sudah melompat naik ke punggung
kuda masing-masing, mereka segera bergerak meninggalkan
tempat itu. Pedang masih terhunus di tangan Leng-hiat, pada ujung
pedang terlihat beberapa tetes noda darah yang masih
menempel, ketika pemuda itu mengebaskan senjatanya,
butiran darah pun menetes ke dalam air kolam.
Di tengah hembusan angin malam yang dingin, Tong Keng
menggigil keras hingga gigi pun saling beradu, tanyanya
setengah berbisik, "Mana dia?"
"Sudah pergi," sahut Leng-hiat dengan suara berat.
Ting Tong-ih tak sempat mengikuti jalannya pertarungan
secara jelas, sebab pertempuran itu berlangsung cepat dan
singkat, selain itu orang berdiri membelakangi dirinya.
"Apakah Ni Jian-ciu?" tanyanya kemudian.
"Betul, sekarang menjelang senja, rambutnya sedang
berubah dari putih menjadi abu-abu."
"Kau berhasil melukainya?"
Leng-hiat manggut-manggut.
"Dia tidak menyangka di saat aku sedang berbugil ria, di
saat tubuhku sedang berendam di dalam air, pedang tak
pernah berpisah dari sisi tubuhku."
"Ya, siapa yang mengira ketika sedang mandi pun kau
menggembol pedang," sambung Ting Tong-ih sambil
mengerling ke arahnya dan tertawa.
"Aaai, bintang pembawa bencana" gumam Ko Hong-liang
sambil menghela napas, "untung saja dia sudah pergi"
"Tidak, dia akan menunggu kita di depan sana," tukas
Leng-hiat. Kemudian setelah mengawasi rembulan yang mulai muncul
di angkasa, lanjutnya, "Aku telah berhasil menghancurkan dua
buah buli-bulinya, bila turun tangan kembali, akulah yang
akan menjadi target utamanya."
Tong Keng memandang sekejap ke arah Leng-hiat, lalu
menengok Ting Tong-ih dan akhirnya memandang rembulan,
ketika angin malam berhembus lewat, tak tahan dia pun
bersin, suara keras yang mengejutkan kudanya hingga
meringkik panjang.
ooOOOoo Bab IV. JALA LANGIT PENGGUBAH IMPIAN.
15. Gua Gelap. Bukit Jui-bin-san.
Pantulan cahaya senja di bukit Jui-bin merupakan sebuah
pemandangan alam yang sangat indah, tanah perbukitan yang
sambung menyambung mempersatukan tujuh puluh lima buah
puncak bukit menjadi sebuah gunung yang menawan, bukit
bagian tengah yang mirip Pousat sedang duduk bersila
dikelilingi banyak puncak tebing kecil di sekelilingnya, sebuah
perpaduan alam yang menakjubkan.
Sejak dari punggung bukit hingga ke puncak gunung,
banyak berserakan gua yang sambung menyambung, mulut
gua gelap gulita susah untuk melihat jelas keadaan di
dalamnya, konon di dalam gua-gua itu banyak terdapat harta
karun yang tak ternilai harganya, tapi setiap kali ada yang
berusaha menemukan harta karun itu, tak satu pun di antara
mereka yang bisa kembali dalam keadaan selamat.
Leng-hiat pun mengetahui tentang bukit ini, juga tahu
tentang gua-gua yang berserakan, tapi dia tak menguasai
keadaan medan di seputar sana.
Justru yang sangat menguasai keadaan tempat itu adalah
Tong Keng, sebab sejak kecil dia memang sering bermain di
seputar tempat ini, Ko Hong-liang pun cukup menguasai
keadaan seputar sana.
Sewaktu mereka tiba di bukit Jui-bin-san, waktu
menunjukkan pagi hari, saat fajar baru saja akan
menyingsing. Semalam mereka menginap di bawah gunung, melakukan
penjagaan secara bergilir, dalam keadaan begini mereka tak
berani meneruskan perjalanan di tengah kegelapan, kuatir
mendapat serangan di luar dugaan.
Ketika tiba di gunung Jui-bin-san, tepat saat sang surya
memancarkan sinar keemasannya, suasana terang benderang
dan sejauh mata memandang nampak langit amat bersih dan
angin berhembus semilir.
Sambil menunjuk ke sebuah celah di antara bukit karang,
seru Tong Keng tiba-tiba, "Bila kita melompat turun di antara
celah bukit dan berjalan menerobos gua, maka dalam waktu
singkat kita akan tiba di kota Cing-thian-tin"
Sambil berkata ia melompat turun duluan diikuti Leng-hiat
di belakangnya, menyusul kemudian Ting Tong-ih dan Ko
Hong-liang berjaga di paling belakang.
Gua karang itu sangat sempit dan terjal, suasana di situ
gelap gulita hingga susah melihat kelima jari tangan sendiri,
Tong Keng di depan dan Ko Hong-liang di belakang segera
menyulut obor sebagai penerangan, tapi setiap beberapa
langkah mereka harus melompat turun ke bawah sedalam
beberapa kaki, permukaan tanah yang berbatu tajam amat
sulit diinjak. Lebih kurang setengah jam kemudian, setelah berbelok
beberapa tikungan gua, tiba-tiba udara terasa segar
sementara lorong pun bertambah lebar.
Di dalam gua itu terdapat aneka macam bebatuan
berbentuk aneh, ketika tertimpa cahaya segera memantulkan
sinar gemerlapan yang sangat indah.
Walaupun gua itu semakin melebar namun suasana amat
hening, sedemikian sepinya hingga detak jantung setiap orang
pun dapat terdengar sangat jelas.
Tiba-tiba Tong Keng menengadah ke atas.
Semua orang tertegun, mereka tak tahu apa yang hendak
dilakukan pemuda itu, ternyata Tong Keng hanya bersin.
Suara bersin yang bergaung keras membuat suara itu
memantul kemana-mana, tak tahan Ting Tong-ih berseru
sambil tertawa, "Coba kau lihat, hampir dari setiap sudut gua
terdengar suara pantulan bersinmu."
Kembali mereka berempat menelusir jalan berbatu yang
amat curam, tiba-tiba Leng-hiat memanggil, "Ko-kokcu!"
"Ada apa?" tanya Ko Hong-liang.
"Dapatkah kau menceritakan kembali kisah kejadian yang
menimpa perusahaan ekspedisi Sin-wi-piau-kiok hingga
kehilangan barang kawalannya?"
Ko Hong-liang menghela napas panjang, sebelum ia sempat
menjawab, Ting Tong-ih kembali berseru sambil tertawa,
"Benar, lebih baik kau yang bercerita, ketimbang semua orang
harus mendengarkan suara orang bersin"
Ko Hong-liang tertawa getir.
"Kisah ceritaku mungkin jauh lebih tak sedap didengar
ketimbang suara bersinnya," katanya, "aaai, di seputar Cingthiansian, perusahaan ekspedisi Sin-wi-piau-kiok terhitung
punya nama, sekalipun berlokasi di sebuah kota kecil namun
banyak teman persilatan yang memberi muka kepada kami
dengan memberi berbagai order pengiriman
"Ko-kokcu tak perlu rendah hati," tukas Leng-hiat, "dulu,
sewaktu Ko-lotoaya mendirikan perusahaan ekspedisi Sin-wipiaukiok, Cukat-sianseng pun pernah berkata kepada Sik
Hong-sian, Sik-thayjin bahwa perusahaan ekspedisi ini
mempunyai pamor yang hebat, hubungan antar majikan
dengan anak buah lebih akrab dari saudara, bahkan tak
pernah mau menerima pengawalan barang yang tak jelas
asal-usulnya, bukan saja hasil kerja keras perusahaan sering
didermakan kepada fakir miskin, banyak keluarga miskin yang
ditampung dalam perusahaan, diberi pendidikan silat dan
diajak bekerja dalam pengawalan barang."
Setelah berhenti sejenak, kembali lanjutnya, "Oleh sebab
itu Cukat-sianseng pernah berkata kepada Sik-thayjin, dengan
cara kerja Sin-wi-piau-kiok yang bersih dan mengutamakan
norma hidup, asal bisa bertahan dua tiga puluh tahun, maka
keberhasilannya pasti akan luar biasa."
"Ketika Sik-thayjin masih memangku jabatan, beliau
memang sangat memperhatikan perusahaan kami," segera Ko
Hong-liang menyambung, "waktu itu tak pernah ada peristiwa
apapun yang menimpa perusahaan kami"
"Sik Hong-sian, Sik-thayjin akhirnya tewas dicelakai kaum
durjana dan pembesar laknat," sambung Leng-hiat dengan
nada sedih, "bukan hanya dirinya yang terbunuh, nyaris
seluruh anggota keluarganya musnah dibantai, padahal
berulang kali Cukat-sianseng telah memperingatkan agar
untuk sementara waktu mengungsi lebih dulu daripada
dicelakai orang jahat, ketika akhirnya dalam perjalanan
menuju kota Si-ciu, Sik-thayjin dihadang orang jahat di tengah
jalan dan mati terbunuh!"
Bicara sampai di sini nadanya menjadi sumbang karena
dipengaruh emosi dan amarah.
Ko Hong-liang menghela napas panjang. "Sik-thayjin adalah
seorang pembesar yang bersih, adil dan suka menegakkan
kebenaran, sayang dia mati dibunuh pejabat laknat, konon
orang yang membunuh Sik-thayjin adalah jago lihai yang
berasal dari istana Cukat, apa betul?"
"Betul, salah satu di antara kawanan pembunuh itu adalah
murid keponakan Cukat-sianseng, orang menyebutnya Cingbwetiok (Bambu hijau), mereka sudah berbuat bejad, suka
mengkhianati ajaran leluhur, mencelakai rakyat, bergabung
dengan kaum laknat untuk berbuat jahat, orang tamak
kekuasaan dan harta semacam ini sudah tidak pantas menjadi
anggota istana Cukat lagi," kata Leng-hiat dengan nada
dendam. Ko Hong-liang memang kurang begitu paham terhadap
pertikaian dan persaingan yang terjadi di kalangan atas,
khususnya antara para pejabat berkuasa, maka dia hanya
mengiakan dan kemudian berkata lebih jauh, "Semenjak
memperoleh dukungan serta perlindungan dari Sik-thayjin,
usaha ayahku berjalan lancar, wilayah jelajah perusahaan
ekspedisi Sin-wi-piau-kiok pun kian hari kian bertambah luas,
kemudian setelah ayah wafat, perusahaan ekspedisi ini
diserahkan ke tanganku, berkat perlindungan ayah di alam
baka, aku pun berhasil mengembangkan perusahaan ini dari
yang semula hanya tiga kantor cabang menjadi sembilan
kantor cabang, aaai ... tak nyana, setelah Sik-thayjin tewas
dibunuh orang, segala sesuatu pun ikut berubah secara drastis
Misteri Lukisan Tengkorak Seri 4 Opas Karya Wen Rui An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dulu ayahmu adalah salah satu orang yang paling
mendapat perhatian Sik-thayjin, beliau sudah banyak berjasa
bagi kehidupan rakyat kecil, sudah banyak melakukan
perbuatan mulia, setelah Li Ok-lay Li-thayjin mendapat kuasa,
tentu saja dia tak nanti akan mempergunakan kalian lagi."
Ko Hong-liang tertawa pedih.
"Sebagai seorang lelaki sejati, hidup merupakan tantangan
dan setiap orang wajib menerima kenyataan, jadi masalah
mau dipergunakan atau tidak, mau diperhatikan atau tidak,
buat kami bukan masalah. Tapi dia sengaja memfitnah,
mengadu domba, menjadikan orang sebagai kambing hitam
dengan menuduh kami sebagai pemberontak, jelas dia
mempunyai ambisi dan rencana busuk di balik semua
tindakannya itu, berulang kali mereka membikin susah kami,
dalam keadaan begini terpaksa aku menggabung kesembilan
kantor cabang menjadi empat kantor cabang saja, aaai ... tak
nyana akhirnya dari dua kantor cabang yang tersisa, kami
harus kehilangan barang kawalan secara beruntun, karena tak
sanggup mengembalikan barang kawalan, kantor kami pun
akhirnya disegel, kini yang tersisa hanya sebuah kantor
cabang serta kantor pusat di Cing-thian."
Sekali lagi Tong Keng bersin, bersin dengan suara keras.
Tiba-tiba Ko Hong-liang bertanya, "Saudara Leng, apakah
kau hendak mengatakan sesuatu?"
"Aku rasa seandainya Cukat-sianseng berada di sini, dia
pasti akan menasihatimu dengan sepatah kata," ucap Lenghiat.
"Silakan saja diutarakan."
"Sin-wi-piau-kiok sudah berjuang mati-matian untuk
mempertahankan diri, semangat dan perjuangan kalian
memang sangat mengagumkan, tapi aku rasa kini sudah
saatnya untuk dibubarkan."
"Benar," Ko Hong-liang menghela napas panjang, "dalam
situasi kalut dan serba tak menentu seperti saat ini,
menyelamatkan jiwa anggota memang merupakan tindakan
paling bijak, sebab mempertahankan panji kebenaran dan
keadilan dalam situasi seperti ini justru merupakan sebuah
tindakan yang sangat bodoh."
"Bila kau membuka lembaran sejarah, maka akan kau
jumpai banyak contoh kejadian seperti ini."
"Bukannya aku tak tahu akan hal ini, tapi Sin-wi-piau-kiok
terdiri dari beratus jiwa, semua orang butuh nasi untuk hidup,
jadi tak mungkin dibubarkan begitu saja tanpa persiapan
matang, itulah sebabnya ... terjadilah peristiwa di Pak-hansampei yang sangat menghebohkan itu."
"Bluuk!" tiba-tiba Leng-hiat dan Tong Keng terjerumus ke
dalam kubangan air, Tong Keng segera berseru, "Hati-hati, di
bawah ada kubangan!"
Kemudian terdengar Leng-hiat berkata lagi, "Silakan kau
melanjutkan perkataanmu."
"Tahukah saudara Leng kalau pajak tanam di seputar
tempat ini telah dinaikkan berlipat ganda?" tanya Ko Hongliang
kemudian. Leng-hiat manggut-manggut.
"Ya, aku pun dengar iklim di seputar tempat ini sangat
bersahabat sehingga hasil panen meningkat tajam,
penghasilan rakyat pun berlipat ganda, itulah sebabnya pajak
penghasilan mereka dinaikkan"
"Sialan!" umpat Ko Hong-liang sinis, "itu hanya alasan yang
digunakan kawanan anjing pejabat itu untuk memberikan
laporan ke atasan"
Mendadak teringat akan sesuatu, segera ia menambahkan,
"Aku bukan sedang memaki dirimu!"
Kemudian setelah menarik napas panjang, lanjutnya,
"Siapa bilang hasil panen mereka melimpah" Siapa bilang
penghidupan mereka bertambah makmur" Wilayah seputar
Kou-cu-kok tak pernah aman, perampok merajalela, awal
tahun lalu sungai Huang-ho meluap sehingga menimbulkan
bencana banjir yang parah, lalu terjadi kebakaran hutan yang
luas di seputar hutan Ang-to-kan, ditambah lagi wabah
penyakit yang menimbulkan banyak kematian, boleh dibilang
semua bencana, semua musibah telah menimpa wilayah ini ...
betul-betul sialan, betul-betul terkutuk!"
Mendadak ia seperti sadar akan sesuatu, kembali
tambahnya, "Aku bukan mengatakan kau yang sialan, bukan
kau yang terkutuk, tapi kawanan pejabat korup, pembesar
laknat itulah yang bajingan bangsat terkutuk!"
Tampaknya Tong Keng pun tak kuasa menahan diri,
serunya pula, "Hmmm, apa itu berkat perlindungan Kaisar,
rakyat hidup makmur, panen berlimpah ruah, pajak dinaikkan
karena penghasilan rakyat meningkat ... semuanya bohong,
masih mendingan kalau hanya sebatas itu, tahukah kau bahwa
sekarang berlaku juga pajak garam, pajak beras, mungkin
sebentar lagi juga akan berlaku pajak kepala, setiap keluarga
yang melahirkan bayi, mereka langsung dikenakan pajak
sebesar tujuh delapan pikul beras tiap tahunnya, mereka yang
membeli tiga stel pakaian tiap tahunnya juga mendapat
tambahan pajak, he, permainan macam apakah ini!"
Hijau membesi wajah Leng-hiat mendengar penuturan itu,
sorot matanya memancarkan sinar berapi namun mulurnya
tetap membungkam, siapa pun tak ada yang tahu apa yang
sedang dia pikirkan.
Setelah mengerling ke arah Leng-hiat sekejap, kembali Ko
Hong-liang berkata, "Tahun ini dari wilayah Cing-thian saja
telah berhasil dikumpulkan uang pajak sebesar lima belas juta
tahil emas murni, mereka mengutus kami untuk mengawalnya
menuju ke kotaraja"
"Apakah selama ini uang pajak selalu ... selalu kalian yang
mengawalnya menuju kotaraja?" tiba-tiba Leng-hiat
menukas. "Tentu saja bukan, selama ini urusan pengiriman pajak
selalu dilakukan pasukan pemerintah, tapi sejak tahun lalu
dengan alasan pasukan pemerintah sedang dikirim ke
perbatasan hingga kekurangan tenaga, maka tanggung jawab
pengiriman uang diserahkan kepada kami, ongkos
pengawalannya memang ... memang tidak terhitung sedikit."
Setelah menghela napas panjang, katanya lebih jauh,
"Dalam dua pengiriman sebelumnya, semua berjalan aman
dan selamat, tak disangka dalam pengiriman kali ini telah
terjadi musibah yang tak terduga, nama baik ayah, nama
besar perusahaan ekspedisi akhirnya hancur dan musnah di
tanganku!"
"Coba kau ceritakan kembali kisah pembegalan itu sejak
awal," bujuk Leng-hiat sembari menepuk bahunya.
"Hari itu udara sangat panas, waktu sudah menunjukkan
sekitar pukul 3 sore, tapi hawa panas masih terasa menyengat
badan, waktu itu semua orang hanya berharap bisa segera
melewati daerah tandus Pak-han-sam-pei, melampaui daerah
berpasir putih yang panasnya bagai dipanggang di atas api,
tiba-tiba dari belakang gundukan tanah muncul berpuluh lelaki
berkerudung, mereka langsung menyerbu ke dalam
rombongan sambil melancarkan serangan."
"Semuanya berkerudung?" tanya Leng-hiat.
"Betul, semuanya berkerudung," Ko Hong-liang manggutmanggut,
"maka aku pun bertanya siapa mereka, namun
orang-orang itu sama sekali tak menggubris, tanpa banyak
bicara mereka langsung menyerbu sambil melakukan
pembantaian. Dua orang yang menjadi pimpinan rombongan
memiliki kungfu yang sangat tangguh, kebanyakan saudara
kami tewas secara mengenaskan di tangan kedua orang ini"
Bicara sampai di sini ia nampak sedih bercampur gusar.
"Senjata apa yang digunakan kedua orang itu?" tanya
Leng-hiat tiba-tiba.
Ko Hong-liang berpikir sejenak kemudian sahutnya, "Kedua
orang itu bertangan kosong, begitu menyerbu ke dalam
rombongan kami, mereka segera merampas senjata. Senjata
apapun yang berhasil dirampas segera akan menjadi senjata
andalannya, kelihatannya mereka berdua sengaja
merahasiakan aliran silat serta identitas yang sebenarnya, tiga
kali aku bertarung melawan salah seorang di antara mereka,
tapi aku segera sadar bahwa kepandaian silatku masih bukan
tandingannya, jangan kan melakukan perlawanan, mengenali
asal-usul jurus serangannya pun tak mampu, kalau diingat
kembali sungguh memalukan."
"Pihak lawan kalau memang sengaja hendak merahasiakan
identitasnya, tak aneh jika sulit bagimu untuk mengenalinya,"
ucap Leng-hiat, "tapi kalau dilihat bahwa tanpa menggunakan
ilmu silat andalannya pun orang itu mampu bertarung di atas
angin melawan Kokcu, dapat disimpulkan bahwa ilmu silatnya
memang sangat tangguh. Lantas bagaimana dengan yang
seorang lagi?"
"Kepandaian silat yang dimiliki orang ini jauh lebih hebat
lagi," kata Ko Hong-liang dengan nada ngeri bercampur
seram, "di tengah berlangsungnya pertempuran, dia kelihatan
melambung dan menukik berulang kali, bukan saja dengan
tangan kosong berhasil merampas senjata anak buahku,
bahkan beberapa orang piausu tergeletak bersimbah darah,
setiap kali selesai membunuh korbannya, dia selalu membesut
hidungnya satu kali, sepak terjangnya betul-betul
menakutkan."
"Orang itu bukan manusia, tapi setan, setan pembunuh
berhati kejam!" sela Tong Keng dengan penuh emosi.
Leng-hiat menghela napas panjang, ujarnya, "Berada
dalam keadaan seperti ini, tidak seharusnya kalian
mengorbankan diri, sepantasnya kalian melarikan diri untuk
menyelamatkan jiwa."
Ko Hong-liang ikut menghela napas panjang.
"Yang lebih aneh lagi," katanya, "selain kedua orang itu,
kawanan begal lainnya memiliki kungfu yang tak seberapa
hebat, sekalipun dia berhasil membunuh dua-tiga puluh orang
anak buah kami, sebaliknya kami pun berhasil menjagal dua
puluhan anak buahnya, kemudian datang lagi sekawanan
manusia berkerudung, melihat situasi semakin gawat aku pun
memutuskan untuk menarik diri dari arena pertarungan,
sambil melepaskan tanda rahasia, kami berusaha menerjang
keluar kepungan"
"Ehmm, dalam keadaan seperti itu, memang mustahil bagi
kalian untuk melindungi uang pajak itu," Leng-hiat manggutmanggut.
"Perkataan saudara Leng memang benar. Tapi kami
mengemban tugas, sudah sepantasnya kalau mati hidup
bersama uang pajak itu, sayang kepandaian kami memang tak
mampu mengungguli mereka, tak lama kemudian kereta
barang kami berhasil direbut, salah seorang di antara jago
misterius itu turut berlalu bersama kereta uang, sementara
dua puluhan orang sisa kekuatan kami yang masih bertahan
akhirnya ikut terbasmi oleh manusia berkerudung itu"
"Padahal kami sudah bertempur sengit sampai larut
malam," imbuh Tong Keng dengan nada sedih, "dengan tubuh
bermandikan keringat bercampur darah, kami bertarung terus"
Berbicara sampai di situ, dia seolah terbayang kembali
keadaan pada saat itu, dia seakan melihat ceceran darah
membasahi seluruh permukaan tanah, melihat mayat
bergelimpangan.
Saat itu yang tersisa dari rombongan mereka tinggal Ko
Hong-liang, Tong Keng, Lan-lotoa, Go Seng, Thio Gi-hong dan
Li Siau-hong berenam, dengan napas tersengal dan tubuh
berlumuran darah mereka hanya bisa mengawasi manusia
berkerudung bersama belasan orang musuh lainnya.
Tak lama kemudian orang berkerudung itu memberi tanda,
segenap kawanan jago itu membawa kabur kereta uang
lainnya dan segera pergi meninggalkan tempat itu.
Dalam keadaan begini mereka hanya bisa berdiri melongo,
terperangah. Mereka tak habis mengerti, kenapa kawanan
musuh melepaskan mereka begitu saja.
Menyaksikan mayat anak buahnya yang berserakan di
tengah genangan darah, Ko Hong-liang berusaha
mengendalikan rasa pedih hatinya, dengan cepat ia membagi
tugas kepada mereka yang masih tersisa, Tong Keng, Lanlotoa
dan Thio Gi-hong ditugaskan kembali ke markas besar,
mengumpulkan kekuatan baru sambil menyelidiki peristiwa ini,
Li Siau-hong dan Go Seng bertugas melaporkan kejadian ini
kepada pihak berwenang, sedangkan Ko Hong-liang seorang
diri melacak kawanan pembegal itu.
Sekalipun dua orang manusia berkerudung itu susah
dihadapi, namun kungfu yang dimiliki para pembegal lainnya
tidak seberapa hebat, sepantasnya kalau gerak-geriknya tak
akan ketahuan. Sebenarnya Tong Keng dan Go Seng sekalian berharap bisa
mengikuti ketuanya menyerang kawanan musuh tangguh itu,
tapi Ko Hong-liang dengan golok tersoreng segera
menghardik, "Sekarang kita sedang tertimpa musibah, buat
apa kalian ribut terus macam orang tak bisa berpikir,
memangnya dengan kekuatan kita beberapa orang ini mampu
melawan kekuatan musuh" Yang bisa kita lakukan sekarang
hanya berusaha mencari jalan pemecahan, sedikit banyak
dengan saling berpencar kita bisa membuyarkan konsentrasi
lawan, jalan bersama malah tidak mendatangkan manfaat
apa-apa!" Sin-wi-piau-kiok sejak didirikan selalu hidup berjaya
dimana-mana, belum pernah mereka mengalami badai topan
sedahsyat ini, apalagi menderita kekalahan sedrastis ini.
Sekalipun beberapa orang jago yang tersisa merupakan
jago-jago berjiwa besar, tak urung peristiwa ini membuat
mereka gugup dan kacau balau.
Tiba-tiba terdengar Leng-hiat berseru tertahan.
Ko Hong-liang memandang Leng-hiat sekejap, kemudian
lanjutnya lebih jauh, "Aku menguntit terus kepergian
rombongan bandit itu hingga keluar wilayah Pak-han-sam-pei,
dugaanku semula mereka akan keluar wilayah Kwan-cu-leng,
siapa sangka tiba-tiba mereka berbalik arah dan kembali ke
arah kota Cing-thian-sian, aku mulai curiga dan merasa bahwa
urusan ini rada tak beres, maka pengintaian kulanjutkan,
benar saja, ketika tiba di lembah Ui-tiap-cui-kok, aku berhasil
menemukan satu kejadian yang sangat aneh!"
"Kejadian aneh apa?" timbrung Tong Keng cepat, dia
seolah lupa kalau Ko Hong-liang sedang menceritakan kisah
itu kepada Leng-hiat.
Mimik muka Ko Hong-liang kelihatan sangat aneh, seakanakan
dia sedang mengalami kembali peristiwa waktu itu.
"Begitu tiba di lembah itu, kujumpai sembilan belas orang
bandit berkerudung yang masih tersisa itu sudah mati dalam
Misteri Lukisan Tengkorak Seri 4 Opas Karya Wen Rui An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
keadaan mengenaskan, sebagian besar karena mati
keracunan!"
"Haahh?" kembali Tong Keng berseru tertahan, "siapa yang
telah meracuni mereka?"
Ko Hong-liang tertawa getir. "Sudah kuperiksa, tapi tidak
berhasil menganalisa sesuatu apapun, bahkan tidak diketahui
juga jenis racun yang digunakan, yang pasti panca indera
mereka sudah membusuk karena keracunan."
"Apakah kedua orang jago berkerudung itu sudah tak
nampak di situ?" tiba-tiba Leng-hiat bertanya.
"Tidak ada, pasti merekalah yang telah meracuni orangorang
itu dengan tujuan menghilangkan saksi dan
melenyapkan seluruh jejak mereka."
"Aaah, sayang, terlambat," Leng-hiat menggelengkan
kepala berulang kali.
"Begitu menyaksikan mayat kawanan bandit yang mati
keracunan, aku segera berseru tertahan, kemudian dengan
tergopoh gopoh balik ke Pak-han-sam-pei"
"Aku tidak mengerti" gumam Tong Keng.
Sambil tertawa Ting Tong-ih segera memukul kepalanya
satu kali sambil serunya, "Goblok! Ko-kokcu tiba-tiba teringat
kenapa tidak membuka kerudung muka orang-orang itu untuk
diperiksa identitasnya, siapa tahu dengan berbuat demikian
maka kasus ini dapat segera terungkap, ketika opas Leng
berseru tertahan setelah mendengar kisah Ko-kokcu tadi,
tampaknya dia pun segera menyadari akan kesalahan itu."
Leng-hiat tertawa hambar. "Aku rasa setibanya di Pak-hansampei, Ko-kokcu sudah terlambat selangkah dan tak sempat
melihat apa-apa," katanya.
"Benar, aku memang datang terlambat" kata Ko Hong-liang
sambil mendepakkan kakinya berulang kali, "di dataran
berpasir Pak-han-sam-pei hanya tersisa mayat anggota Sin-wipiaukiok, sementara tubuh musuh sudah tak nampak lagi,
bahkan sebuah senjata pun tidak ketinggalan."
"Lalu apa maksud mereka berbuat begitu," gumam Tong
Keng lagi dengan termangu.
"Pembunuh memiliki kekuatan yang luar biasa," ucap Lenghiat,
"andaikata mereka ingin membunuh kalian, semestinya
hal ini bisa dilakukan segampang membalikkan tangan, buat
apa mereka malah melakukan pembantaian terhadap anak
buah sendiri" Jelas perbuatan mereka mempunyai tujuan
tertentu."
"Benar, waktu itupun aku berpendapat demikian," Ko Hongliang
manggut-manggut, "andaikata tujuan sang pembunuh
hanya ingin mengangkangi uang kiriman, mereka tak usah
menghancurkan mayat, bila tujuannya untuk melenyapkan
saksi mata, sepantasnya kami pun ikut dibunuh semua, buat
apa mesti repot-repot melakukan semuanya itu?"
"Jangan-jangan" bisik Leng-hiat setelah termenung
sejenak, tiba-tiba ia menutup mulut dan tidak bicara lagi.
Ko Hong-liang menanti beberapa saat, ketika tidak melihat
Leng-hiat melanjutkan perkataannya, dia pun berkata lagi,
"Tindakan sang pembunuh yang melakukan semua itu sempat
membuat pikiranku menduga-duga, kemudian lantaran kuatir
terjadi sesuatu di kantor pusat, maka malam itu juga aku balik
ke kota Cing-thian-tin, tapi aku harus berjalan sangat hati-hati
karena kuatir banyak jebakan di sepanjang jalan, ketika
mendekati fajar aku baru tiba di sekitar markas, hatiku baru
lega ketika melihat keadaan di situ amat tenang. Siapa tahu
aku lihat kantor pusat sudah disegel pemerintah, malah
kusaksikan juga anak buahku diseret ke dalam penjara meski
sudah berteriak tidak bersalah, sebetulnya aku ingin maju
menolong, tapi ketika itu kudengar ada seorang petugas
keamanan sedang memaki, katanya, bila kami gagal
menangkap Kokcu kalian pun bakal tertimpa sial, mana
mungkin kalian dibebaskan" Saat itulah aku baru tahu kalau
akulah yang menjadi target mereka"
"Berada dalam keadaan seperti ini, bila kau menampilkan
diri, sama artinya menjadi burung dalam sangkar, sama sekali
tak akan bermanfaat apa-apa."
"Aku pun berpendapat demikian," ujar Ko Hong-liang sedih,
"menang kalah bukan masalah, yang penting justru
kebersihan nama, bila sekali mendapat nama jelek maka
selama ribuan tahun hanya akan dicemooh orang, ambruknya
perusahaan piaukiok bukan masalah serius, tapi uang sebesar
belasan juta tahil emas bukan jumlah yang kecil, bila pihak
pemerintah memeras rakyat kecil lagi, bagaimana mungkin
rakyat bisa hidup tenteram?"
"Ketika uang pajak hilang dirampok orang, seharusnya
pasukan pemerintah pergi mengejar kaum begal, kenapa
malah menangkap orang-orang perusahaan ekspedisi?" kata
Leng-hiat dengan wajah serius.
Ko Hong-liang segera berpaling ke arah Tong Keng, waktu
itu dia sedang melacak jejak musuh hingga urusan yang
terjadi dalam kantor perusahaan tidak sejelas Tong Keng.
Tong Keng segera menjawab, "Aku sendiri pun kurang
jelas, ketika aku bersama Lan-lotoa dan saudara Thio balik ke
kantor pusat dan memberitahukan kejadian ini kepada enso,
paman Yong serta si ketapel cilik seketika mengirim orang
untuk menyusul Kokcu, tak disangka saat itulah Li Siau-hong
dengan membawa sepasukan prajurit telah menyerbu tiba,
sambil menuding ke arah kami bertiga Li Siau-hong segera
berseru, 'Mereka itulah orangnya". Maka prajurit pun tanpa
banyak bicara segera memborgol kami bertiga dan
menggelandang pergi."
"Apa maksud Li Siau-hong berbuat begitu?" seru Ko Hongliang
dengan kening berkerut.
"Siapa sih Li Siau-hong itu?" tanya Leng-hiat pula.
"Dia adalah seorang anak muda, dulunya hanya kuli kasar,
empat tahun lalu baru diangkat menjadi wakil piausu. Bocah
ini cerdas dan rajin, semestinya masih bisa naik pangkat lagi."
"Aku rasa bocah itu rada aneh," kata Tong Keng sambil
garuk-garuk kepala, kemudian lagi-lagi dia bersin, tampaknya
menderita demam.
"Waktu itu Yong-jite ada di situ," kata Ko Hong-liang,
"seharusnya dia yang tampil bicara."
"Siapa itu Yong-jite?" kembali Leng-hiat menyela, "apakah
dia punya julukan Mencari hingga sepatu baja jebol, Yong
Seng, Yong-jihiap?"
Ko Hong-liang manggut-manggut. "Benar, Yong-jite sudah
banyak membuat jasa besar bagi perusahaan Sin-wi-piau-kiok,
kini dia menduduki jabatan sebagai wakil Congpiauthau."
Leng-hiat bungkam. Ia dapat menilai bahwa Ko Hong-liang
adalah seseorang yang sangat menghargai kemampuan orang,
selama orang itu berbakat dan bisa bekerja, dia selalu
menghargai kemampuannya dengan menghadiahkan posisi
yang bagus. Sementara itu Tong Keng telah menjawab, "Gara-gara
Yong-jisiok tampil ke depan melarang kawanan prajurit itu
menggelandang kami, akhirnya dia dihajar dua bersaudara
Yan hingga terluka parah dan roboh ke tanah, saudara lainnya
yang berada di kantor serentak bersiap melancarkan
serangan, tapi Lu Bun-chang segera berseru, 'Kami mendapat
perintah dari Li-thayjin untuk menangkap tersangka
perampokan, barang siapa berani menghalangi, kami akan
menganggapnya ikut berkomplot dan bunuh tanpa ampun!',
dalam keadaan begini paman Yong dengan napas tersengal
segera memerintahkan semua orang agar mengurungkan niat
bertempur, dia kuatir tindakan itu justru akan merusak
reputasi perusahaan ekspedisi, akhirnya mereka pun hanya
bisa mengawasi kawanan opas itu menggelandang kami."
"Bagaimana dengan nasib Go Seng, Lan-lotoa dan Thio Gihong
saat ini?" tanya Ko Hong-liang.
"Lan-lotoa dan Thio Gi-hong secara beruntun mati tragis
dalam penjara karena dikuliti hidup-hidup, sementara Go Seng
dijebloskan dalam penjara bawah tanah, kondisinya pun tidak
lebih bagus, hanya yang memuakkan adalah Li Siau-hong itu,
setelah kejadian konon dia pernah muncul satu kali di kantor
perusahaan, gayanya angkuh dan jumawa, setelah itu aku tak
tahu bagaimana nasibnya."
Kembali Tong Keng bersin berulang kali.
Menunggu sampai dia selesai bersin, Ko Hong-liang baru
berkata lagi, "Malam itu aku tidak kembali ke markas, baru
keesokan harinya kudengar berita yang mengatakan Sin-wipiaukiok telah menelan sendiri barang kawalannya, untuk
menutupi perbuatan bejadnya mereka telah membunuh orang
untuk menghilangkan saksi, berkat laporan dari salah seorang
piausu, akhirnya baru terungkap kalau Sin-wi-piau-kiok
memang berencana menggelapkan uang pajak jerih-payah
rakyat jelata, di semua sudut tempat dipasang plakat yang
melukiskan wajahku, dimana-mana perintah penangkapan
disebar. Sadar kalau kami sudah difitnah, mustahil bisa
membela diri, akhirnya dengan menyerempet bahaya aku
masuk ke kota dengan harapan bisa bertemu langsung
dengan Li-thayjin dan menjelaskan duduk perkaranya, aku
sadar, dengan tuduhan semacam ini, bila sekali tertangkap
maka jangan harap kau bisa hidup lagi!"
Bicara sampai di situ ia berpaling ke arah Ting Tong-ih,
kemudian tambahnya. "Perkumpulan Bu-su-bun selalu
membegal kaum kaya untuk menolong fakir miskin, sepak
terjangnya gagah perkasa dan mengutamakan kebenaran
serta keadilan, aku pun selalu mengagumi sepak terjang
Kwan-tayhiap serta nona Ting. Anak buah kalian yang
bernama Wan Hui dulunya adalan seorang piauthau kami, dari
mulut dialah aku mendapat tahu bahwa kalian akan menyerbu
penjara pada malam itu, karenanya aku pun selalu waspada."
Ting Tong-ih mengerling sekejap ke arah Leng-hiat,
kemudian serunya, "Kau jangan memuji kami, jangan lupa
Leng-suya berada di sini dan kita masih tetap menjadi
tersangka, apalagi dosa kita bukan hanya maling ayam atau
maling baju saja."
"Ucapan nona Ting kelewat serius," kata Leng-hiat hambar,
"perkumpulan Bu-su-bun memang memiliki reputasi yang
mengagumkan dalam dunia persilatan, bila kami empat
bersaudara diharuskan memerangi maling budiman macam
kalian, sudah sepantasnya bila kami berganti julukan, bukan
empat opas tapi empat gembong iblis!"
Nama besar dan reputasi empat opas bisa tersohor di
kolong langit bukan lantaran Leng-hiat, Tui-beng, Tiat-iiu dan
Bu-cing berhasil memecahkan banyak kasus berat, yang lebih
penting lagi adalah semua senak terjang dan perbuatan
mereka tidak melanggar Hong dan ci. itulah sebabnya mereka
sangat dihormati kalangan putih dan disegani kalangan hitam.
Dalam pada itu Tong Keng telah berseru "Tak heran kalau
Kokcu bisa datang tepat waktu pada malam itu!"
Mendadak Leng-hiat bertanva, "Tadi kau bercerita tentang
kematian tragis Lan-lotoa dan Thio Gi-hong lantaran dikuliti
hidup-hidup, sebenarnya bagaimana ceritanya?"
Secara ringkas Tong Keng pun bercerita bagaimana Li Wantiong
dengan dukungan dua bersaudara Yan dan Gi Eng-si
menguliti para narapidana dengan tujuan membuat sulaman
dari kulit manusia, selain itu diceritakan pula bagaimana
perjuangan Kwan Hui-tok membela kaum tertindas hingga
akhirnya mati mengenaskan.
Selesai mendengar penuturan itu, dengan wajah serius
Leng-hiat berpikir sejenak, kemudian baru ujarnya,
"Membunuh putra Li-thayjin jelas merupakan sebuah kasus
pembunuhan besar! Li-thayjin merupakan salah satu di antara
lima orang didikan perdana menteri Hu, dan lagi Li Wan-tiong
pun tewas gara-gara sedang mempersiapkan hadiah ulang
tahun sang perdana menteri, jelas masalahnya menjadi
bertambah serius, mengenai Kwan Hui-tok, dengan
kepandaian silat yang dimiliki, semestinya sulit orang lain
membekuknya, tapi demi membela rakyat kecil yang tertindas
dalam penjara, ia rela dijebloskan ke dalam neraka,
pengorbanannya patut dikagumi. Kedatanganku kali ini
sebenarnya juga sedang mengemban tugas membebaskan dia
dari semua dosa, tak nyana jiwanya telanjur dicelakai oleh
kaum durjana, aaai... sungguh..."
Mendadak obor yang berada di tangan Tong Keng maupun
Ko Hong-liang padam.
Seketika itu juga seluruh gua berubah menjadi gelap gulita.
ooOOOoo 16. Jala Yang Tak Terlihat.
Pada saat bersamaan Tong Keng, Ting Tong-ih serta Ko
Hong-liang merasakan datangnya angin sergapan yang dingin
dan memekakkan telinga, menanti mereka sadar akan
datangnya bahaya, keadaan sudah terlambat.
Mendadak terasa desingan angin tajam datang dari atas
gua, kemudian diikuti suara gemerincing nyaring, terlihat
sekilas cahaya merah berkelebat.
Sekali lagi cahaya merah itu berkilat, kemudian segalanya
menjadi sepi, hening dan tak terdengar suara apapun.
Suasana di dalam gua pun kembali dalam kegelapan.
Lama kemudian baru terdengar Leng-hiat berseru, "Pasang
obor!" Segera Tong Keng dan Ko Hong-liang memasang obor,
kemudian terdengar Ting Tong-ih menjerit sambil menutupi
bibirnya dengan jari tangan.
Ternyata separuh bagian kaki kiri Leng-hiat telah berdarah.
"Kau terluka!" seru Tong Keng.
Ting Tong-ih turut mendekat dan membantu Leng-hiat
menghentikan aliran darah.
"Ni Jian-ciu yang datang!" bisik Leng-hiat.
"Apa" Dia?" seru Ko Hong-liang.
"Dia sendiri pun terpaksa, untuk membunuh kalian, mau
tak mau dia harus membunuhku terlebih dulu."
Ting Tong-ih memberi tanda agar Leng-hiat duduk
bersandar di dinding batu, kemudian tanpa ragu dia
mengangkat kaki kiri Leng-hiat yang diletakkan di atas lutut
kanannya, kemudian dengan merobek celananya untuk
dipakai membalut luka itu.
Sewaktu ia menundukkan kepala sambil membubuhkan
obat, rambutnya yang harum semerbak serasa menusuk
penciuman, di bawah remang-remangnya cahaya obor,
dengus napasnya terdengar amat berirama.
Tiba-tiba, "Sreet!", ia merobek pakaian sendiri untuk
dijadikan perban, lalu merobek lagi celananya yang digunakan
sebagai tali, dalam waktu singkat gadis itu telah
membubuhkan obat serta membalut luka di kaki kiri Leng-hiat.
Misteri Lukisan Tengkorak Seri 4 Opas Karya Wen Rui An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Selama ini Leng-hiat hanya duduk mematung dengan
wajah tak berubah, tapi sorot matanya memancarkan
perasaan terima kasih yang amat sangat.
Dalam pada itu Tong Keng telah menyoroti sekeliling
tempat itu dengan obornya, kemudian berseru, "Di ... dimana
dia?" "Dia ada di dalam tanah," sahut Leng-hiat.
Dengan perasaan terperanjat segera Tong Keng menyoroti
permukaan tanah.
"Dia telah menggunakan sebuah buli-bulinya lagi," ujar
Leng-hiat lebih jauh.
"Tapi kau pun berhasil menjebolnya," sambung Ko Hongliang
dengan senyum di kulum.
"Tapi aku pun terluka."
"Mungkin ... mungkinkah dia balik lagi?" tanya Tong Keng
agak tergagap. Leng-hiat tidak menjawab pertanyaan itu sebaliknya malah
bertanya, "Masih jauhkah gua ini?"
Tong Keng memeriksa sekejap sekeliling tempat itu,
kemudian baru menjawab, "Kita sudah hampir keluar dari
mulut gua, mulut gua berada di lambung bukit Jui-bin-san."
"Pemandangan alam di tempat itu pasti amat indah," tibatiba
Leng-hiat berkata lagi.
Pemandangan alam di depan sana memang amat indah,
sejauh mata memandang terlihat bukit yang menjulang ke
angkasa dengan kabut yang menyelimuti pepohonan, gua
yang berserakan di antara dinding bukit dengan air terjun
yang memercikkan air, membuat suasana di situ selain indah
juga terasa nyaman.
Di depan mulut gua duduk bersila seseorang.
Orang itu berambut putih, cara duduknya sangat aneh,
gaya tangannya seolah-olah sedang menyebar sebuah jala.
Di sisi badannya tergeletak sebuah buli-buli.
Buli-buli berwarna hitam pekat, buli-buli ketiga.
Tapi anehnya tiada jala di tangannya, bahkan dalam
genggaman tangannya sama sekali tak terlihat adanya sesuatu
benda. Di belakang orang berambut putih itu, tak jauh dari mulut
gua, berdiri dua orang manusia, perawakan tubuh mereka
seimbang, tapi mereka hanya berdiri di kejauhan sambil
menanti dengan wajah amat tegang.
Dilihat dari mimik muka kedua orang itu, tampaknya
mereka sangat takut terhadap benda yang berada dalam
genggaman manusia berambut putih itu, karenanya mereka
hanya berdiri di kejauhan dan sama sekali tak berani
mendekat. Tapi tak nampak sesuatu benda pun di tangan manusia
berambut putih itu.
Matahari senja sudah condong ke barat.
Cahaya matahari yang berwarna kemerah-merahan
memancar masuk melalui mulut gua yang lembab.
Leng-hiat, Ko Hong-liang, Ting Tong-ih dan Tong Keng
akhirnya secara beruntun muncul. Kini Leng-hiat sudah saling
bertatap muka dengan Ni Jian-ciu yang duduk bersila di depan
mulut gua. Leng-hiat sama sekali tidak menghentikan langkahnya, dia
berjalan terus mendekati mulut gua itu.
Posisi mulut gua sedikit agak serong ke samping,
sementara posisi Ni Jian-ciu berada di sebelah atas.
Tapi Leng-hiat berjalan terus, posisi medan yang tegak
lurus ke atas dianggapnya sangat menguntungkan posisi
sendiri. Ting Tong-ih, Ko Hong-liang maupun Tong Keng berada
dalam keadaan siaga penuh, mereka mengikuti terus di
belakangnya secara ketat.
Ni Jian-ciu masih duduk dengan tenang, dia sama sekali
tidak melakukan sesuatu tindakan apapun.
Leng-hiat masih bergerak terus ke depan, dia seakan tidak
memandang sebelah mata terhadap lawannya.
Dua bersaudara Yan masih berdiri di kejauhan, sekalipun
kedua orang ini banyak pengalaman dan sudah berulang kali
menghadapi pertarungan sengit, namun kini paras muka
mereka telah berubah hebat saking tegangnya.
Mendadak Leng-hiat merasakan sesuatu tak beres, dia
mendapat firasat jelek.
Sejak kecil dia memang tumbuh besar di tengah hutan
belantara, ia telah menguasai kemampuan seekor serigala,
dapat membedakan dimana ada jebakan, dimana ada
perangkap dan dimana ada ancaman mara bahaya.
Tapi sekarang, meskipun dia sudah memperoleh sinyal
yang menunjukkan mara bahaya, sayangnya tidak diketahui
berada dimanakah mara bahaya itu.
Mara bahaya yang tidak terlihat, justru merupakan mara
bahaya yang betul-betul amat berbahaya!
Tangannya yang mantap bagai sebuah batu karang, kini
sudah mulai memegang gagang pedangnya.
Pada saat itulah tiba-tiba Ni Jian-ciu memperdengarkan
suara pekikan yang keras dan memekakkan telinga.
Begitu dahsyat suara pekikan itu membuat pasir dan debu
segera beterbangan, ujung baju berkibar kencang, rumput
dan pohon bergoyang, bahkan rambut putihnya ikut
bergelombang bagai gulungan ombak samudra.
Serentak dua bersaudara Yan, Ting Tong-ih serta Tong
Keng menutupi lubang telinga mereka dengan tangan, bahkan
Ko Hong-liang sendiri pun seketika mengernyitkan dahi.
Hanya Leng-hiat yang tetap berdiri tenang, paras mukanya
sama sekali tak berubah.
Pada saat itulah secara tiba-tiba Leng-hiat merasakan
tubuhnya terjerumus ke dalam sebuah jala, dan dia pun
segera merasa bahwa perasaan itu bukan sebatas perasaan
saja, tapi benar-benar terjerumus ke dalam kurungan jala.
Dengan cepat dia merasakan tangan dan kakinya mulai
mengencang, seakan terbelenggu kencang, membuat ia sama
sekali tak mampu meronta, tak mampu bereaksi secara wajar.
Pada saat bersamaan, Ting Tong-ih serta Tong Keng telah
menjerit sambil membentak nyaring, rupanya kedua orang
itupun merasakan hal yang sama.
Yang berbeda adalah Leng-hiat telah mencabut pedangnya.
Dengan pedang di muka, tubuhnya ada di belakang, dia
melebur diri menjadi gabungan tubuh dan pedang yang
menyatu, kemudian secepat kilat melesat ke depan.
Leng-hiat segera merasakan tubuhnya terbelenggu makin
kencang, badannya seolah-olah dililit oleh tangan gurita
raksasa yang menghisapnya kuat-kuat, tapi saat itu juga
pedangnya telah memancarkan cahaya tajam yang
menyilaukan mata, dari ujung pedangnya telah memancarkan
suara desingan tajam yang mengiringi suara gemerincing
seolah-olah ada benda yang mulai robek.
Padahal sekeliling tubuh mereka sama sekali kosong, tiada
sesuatu benda pun.
Leng-hiat merasakan seluruh tulang belulangnya
terbelenggu kencang bagai ikatan sebuah bakcang, tapi
seluruh pikiran dan perhatiannya telah bersatu-padu dengan
cahaya pedangnya, "Sreeet!", mendadak ia merasakan
badannya menjadi kendor, menyusul kemudian tubuhnya telah
melesat keluar dan melayang turun beberapa depa dari mulut
gua. Dia seakan baru saja berhasil menjebol kurungan jala
raksasa yang tak berwujud, seakan-akan juga dia telah
mencapai ujung langit yang tak bertepian, berhasil menembus
tepi langit dan menerobos keluar.
Segera Ko Hong-liang mengikut di belakang Leng-hiat dan
berusaha menerobos keluar melalui lubang yang berhasil
dirobek rekannya, tapi sayang jalan perginya mendadak
terhalang, tersumbat kembali.
Padahal tiada sesuatu benda pun yang menghalangi di
hadapannya. Dia merasa ada semacam benda tak berwujud yang
tumbuh dan berkembang di hadapannya, benda itu berakar
kuat dan mengembang dengan cepat menyelimuti seluruh
angkasa, lubang kecil yang semula berhasil dijebol serasa
tumbuh dan tertambal kembali dalam waktu singkat, membuat
seluruh jalan keluar tersumbat dan mengurung korbannya di
dalam. Jika benda tak berwujud itu adalah sebuah jala, maka saat
ini jala itu sudah mulai ditarik, sudah mulai menyusut
kencang. Ko Hong-liang, Ting Tong-ih serta Tong Keng merasakan
sekujur tubuhnya seolah terbelenggu, sama sekali tak mampu
berkutik, seluruh benang jala seolah mencengkeram setiap
bagian badannya, mengait setiap jalan darahnya, membuat
mereka tak mampu meronta, tak mampu bergerak dan tak
mampu berkutik.
Dengan pedang terhunus Leng-hiat membalikkan badan,
sorot mata tajam memancar keluar dari balik matanya.
Waktu itu Ni Jian-ciu sedang melakukan gerakan seolah
sedang menarik tali jala raksasanya.
Kini sorot mata Leng-hiat telah tertuju ke atas buli-buli
yang berada di sisi Ni Jian-ciu.
Suara pekikan nyaring Ni Jian-ciu tiba-tiba berhenti, kini dia
pun berpaling ke arah Leng-hiat.
Sambil menatap tajam buli-buli di tanah, tegur Leng-hiat,
"Itulah jaring langit penggubah impian" Serat sakti tanpa
wujud?" Ni Jian-ciu menepuk buli-bulinya satu kali. Tong Keng, Ting
Tong-ih dan Ko Hong-liang yang terbelenggu menjadi satu
seketika terlihat bergetar keras, rasa gusar bercampur kaget
segera muncul di wajah mereka.
Terdengar Leng-hiat menegur, "Bukankah sewaktu berada
dalam gua aku telah menjebol buli-buli ketigamu?"
"Kau hanya menjebol buli-buliku yang kedua," jawab Ni
Jian-ciu, "buli-buli kedua selain dapat menyemburkan asap
beracun Tay-ih-ngo-lo-yan, juga bisa melepaskan cahaya sakti
bayangan merah Ci-im-sin-kong, hawa pedangmu telah
menghancurkannya. Tapi buli-buliku yang ketiga belum
kugunakan."
Kemudian dengan wajah penuh kebanggaan dia
melanjutkan, "Selama ini serat sakti tanpa wujud, jala langit
penggubah impianku tak pernah gagal!"
"Tapi aku toh berhasil menjebol jalamu dan keluar dari
kurungan," jengek Leng-hiat dingin.
Paras muka Ni Jian-ciu sedikit berubah, tapi dengan cepat
katanya, "Tapi nyatanya aku berhasil menangkap orang yang
harus kutangkap."
Kali ini Leng-hiat hanya mengucapkan empat kata, "Kau
jangan paksa aku!"
Kemudian seluruh konsentrasinya tertumpu pada ujung
pedangnya. Ni Jian-ciu sama sekali tidak berpaling, hanya perintahnya
kepada dua bersaudara Yan, "Ambil buli-buli itu dan segera
gelandang pergi ketiga orang buronan itu! Beritahu Li Ok-lay,
apa yang dia inginkan telah kulaksanakan baginya, mulai
sekarang Ni Jian-ciu sudah tidak berhutang apa-apa lagi
kepadanya!"
"Baik!" sahut Yan Yu-gi cepat.
"Ni-lotoa," seru Yan Yu-sim pula, "kenapa tidak
menggunakan kesempatan ini kita bekerja sama melenyapkan
bajingan" Ni Jian-ciu seorang pun sudah merupakan seorang musuh
yang sangat tangguh, bila ditambah dua bersaudara Yan, jelas
tidak gampang bagi Leng Kiat untuk menghadapnya.
Ni Jian-ciu sama sekali tidak menanggapi usul itu, dia
hanya mengucapkan satu kata, "Pergi!"
Berputar sepasang biji mata Yan Yu-gi, serunya, "Aku tahu,
kau kuatir kami bukan tandingannya bukan?"
Mendadak dia melompat ke samping Ko Hong-liang bertiga,
sambil menggenggam tiga batang peluru Cing-leng-soh
serunya lagi, "Bila dia tak mau menyerahkan diri, aku segera
akan melepaskan senjata rahasia untuk membunuh mereka
bertiga, akan kulihat apakah dia masih berani membangkang!"
Kali ini Ni Jian-ciu lebih tak sungkan lagi, umpatnya
nyaring, "Menggelinding dari sini!"
Segera Yan Yu-sim menarik ujung baju Yan Yu-gi sambil
memberi tanda agar tidak berbuat ulah, kemudian dengan
sangat berhati-hati mereka berdua menghampiri buli-buli yang
tergeletak di tanah itu, sambil bergerak mereka mengawasi
terus ketiga orang yang terbelenggu di balik jala tak berwujud
itu. Sungguh aneh, begitu buli-buli itu bergerak ketiga orang
tawanan itupun ikut bergerak, mereka seakan kehilangan
seluruh kekuatannya untuk meronta, jangan kan melawan,
mau bergerak bebas pun Lik mampu.
Ketika Leng-hiat mulai menggerakkan tubuhnya, Ni Jian-ciu
telah melepaskan buli-buli lainnya dari sisi pinggang.
Buli-buli itu merupakan sisa satu-satunya yang dia miliKi.
Seketika itu juga Leng-hiat menghentikan langkahnya dan
berdiri dengan wajah serius.
Tak seorang pun berani berpikiran cabang di saat sedang
menghadapi serangan maut dari Ni Jian-ciu dengan ketiga
buli-buli mestikanya, termasuk Cukat-sianseng sekalipun.
Ia sadar, bila ingin menyelamatkan Ko Hong-liang sekalian
dari ancaman kematian, dia sendiri harus tetap berada dalam
keadaan hidup. Dua bersaudara Yan kabur dengan langkah yang sangat
cepat, tak selang beberapa saat kemudian bayangan tubuhnya
sudah lenyap dari pandangan.
221 Leng-hiat sadar, bila dia ingin menyelamatkan rekanrekannya,
maka langkah pertama yang harus dilakukan adalah
membunuh lawannya, membunuh musuh di depan mata yang
amat menakutkan itu!
Mendadak Ni Jian-ciu kembali berpekik nyaring.
Begitu suara pekikannya berkumandang, dengan cepat
tubuhnya bergerak mundur ke belakang.
Dengan pedang terhunus Leng-hiat segera merangsek
maju, ternyata arah yang diambil Ni Jian-ciu ketika mundur
persis sama seperti arah yang diambil dua bersaudara Yan.
Semakin keras suara pekikan nyaringnya, semakin cepat
juga Ni Jian-ciu mundur dari situ.
Leng-hiat menempel terus secara ketat, selisih jarak
Misteri Lukisan Tengkorak Seri 4 Opas Karya Wen Rui An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mereka selalu bertahan dalam posisi sebelas kaki, ujung
pedangnya tertuju ke depan, tapi selama ini dia belum
berhasil menemukan kesempatan untuk melancarkan
serangan. Sekonyong-konyong Ni Jian-ciu berhenti.
Udara di tanah perbukitan itu dingin dan segar, tapi
suasana di sekeliling tempat itu justru amat panas, tanah yang
diinjak pun tanah lumpur berwarna hitam, tanah yang
mengandung bau belerang, bau yang sangat menyengat
hidung, sementara tanah lumpur itupun terasa becek dan
panas. Lamat-lamat terdengar juga suara gerumuh yang bergema
dari seputar tempat itu.
Mimpi pun Leng-hiat tidak menyangka kalau di atas tanah
perbukitan yang begitu segar, indah dan nyaman, ternyata
terdapat sebuah wilayah yang begitu aneh.
Mendadak Ni Jian-ciu menghentikan langkahnya, pada saat
bersamaan Leng-hiat menghentikan langkahnya.
Selisih jarak antara ujung pedangnya dengan tubuh Ni Jianciu
sama sekali tak bergeser, persis berjarak sebelas kaki.
Tiba-tiba Ni Jian-ciu bertanya, "Tahukah kau, mengapa aku
memancingmu kemari?"
Leng-hiat tidak menjawab. Meskipun matanya tidak
bergeser namun secara diam-diam telah memperhatikan
keadaan di seputar situ. Tampak di arah depan, kiri dan kanan
terdapat beberapa kubangan lumpur yang mengeluarkan
gelembung berasap putih, gelembung itu ada yang besar
seperti kepala gajah, ada pula yang kecil seperti biji mata,
sembari meletupkan gelembung udara, terbawa juga
semburan lumpur berhawa panas.
Terdengar Ni Jian-ciu berkata lagi, "Tempat ini disebut
kolam bergelembung besar, karena gerakan magma di perut
bumi membuat lumpur di seputar situ menjadi panas sekali,
itulah sebabnya gelembung udara yang menyembur ke atas
membawa cairan lumpur panas, semburan itu mengalir di
sekeliling tempat ini hingga terbentuklah kolam lumpur panas,
barang siapa berjalan kurang hati-hati di sini, badannya akan
tenggelam ke dalam kolam dan tubuhnya akan terhisap oleh
cairan lumpur panas itu, bila sampai demikian, selamanya dia
akan menjadi tamu neraka dan jangan harap bisa lolos lagi!"
Kemudian sambil menatap wajah lawannya, dia berkata
lagi, "Tahukah kau apa alasannya kuajak kau datang kemari?"
Leng-hiat hanya menatapnya tanpa berkedip, sama sekali
tak berbicara. Tiba-tiba Ni Jian-ciu mendongakkan kepala dan tertawa
terbahak-bahak, "Sejak tadi kau tidak melancarkan serangan,
sebuah kesalahan besar telah kau lakukan!"
"Aku tidak melancarkan serangan karena aku tak berhasil
menemukan kesempatan untuk turun tangan," jawab Lenghiat
hambar. Ni Jian-ciu segera menghentikan gelak tawanya.
"Sayang mulai sekarang kau lebih sukar menemukan
peluang itu," katanya, "aku sengaja memancingmu kemari
lantaran kakimu sudah terluka."
Tanah lumpur di seputar situ amat lembek, sekali diinjak
maka permukaannya gampang amblas ke dalam, lagi pula bila
kurang hati-hati, badannya bisa terperosok ke dalam kolam
lumpur berbahaya itu, padahal luka di kaki Leng-hiat termasuk
parah, bila dia sampai salah berpijak, maka tak ada harapan
lagi untuk menyelamatkan jiwanya.
Dengan pandangan tajam Ni Jian-ciu mengawasi kaki kiri
lawannya, kembali ia berkata, "Pertarungan satu lawan satu
baru bisa dianggap pertarungan yang adil. Apalagi sekarang
aku telah menjelaskan situasi di wilayah ini secara gamblang,
bila kau tak beruntung dan mati di sini, jangan salahkan aku
tidak menjelaskan lebih dulu."
Leng-hiat manggut-manggut.
"Mencari kemenangan dengan mengandalkan jumlah
banyak memang bukan kelakuan seorang enghiong, apalagi
dalam satu pertempuran, menggunakan akal bukan suatu
pantangan."
"Apakah kau sudah siap?" tanya Ni Jian-ciu kemudian.
Mendadak terjadi letupan gelembung udara secara
beruntun dari kubangan lumpur itu, diikuti suara gemuruh
seperti suara air yang mendidih dari dasar permukaan bumi.
Ni Jian-ciu segera berseru lagi, "Hati-hati, sumber air panas
yang berada di balik kubangan lumpur segera akan memancar
keluar, di saat itulah mati hidup kita berdua segera akan
ditentukan!"
Dengan cepat Leng-hiat dapat memahami maksud tujuan
Ni Jian-ciu yang sesungguhnya.
Rupanya di tempat itu terdapat sumber air panas yang
letaknya berada di dasar kubangan lumpur, tak heran dalam
radius beberapa ratus kaki di wilayah itu tak nampak ada
tumbuhan yang bisa hidup, dari sini bisa disimpulkan betapa
dahsyat dan jahatnya hawa panas beracun yang dipancarkan
keluar dari sumber air panas itu.
Bagi kebanyakan jago silat, mereka pasti memiliki satu
kegemaran, ada yang tergila-gila dengan pedang maka dia
pun mengandalkan ilmu pedang, ada yang tergila-gila dengan
berbagai aliran ilmu silat, maka dia pun mempelajari ilmu silat
gado-gado dari berbagai aliran.
Begitu juga halnya dengan seorang pembunuh, bila sedang
berhadapan dengan seorang musuh tangguh, maka dia pun
selalu berharap bisa membunuh lawannya atau terbunuh oleh
lawannya dalam satu keadaan dan situasi khusus.
Bagi mereka, mungkin hanya berbuat begitu baru bisa
memenuhi selera dan kepuasannya sebagai seorang
pembunuh! Sayang Leng-hiat bukan seorang pembunuh.
Dia hanya seorang opas.
Dia pernah menangkap buronannya dengan berbagai
situasi dan keadaan, di tempat yang paling panas, di tempat
yang paling dingin, di tempat yang susah sekali, di tempat
yang sama sekali tak terduga, bahklan pernah bertarung
dalam situasi dan keadaan yang tak mungkin bisa
dibayangkan dengan akal sehat.
Walau begitu, dia tak pernah gagal. Sekarang dia pun
dapat memahami perasaan Ni Jian-ciu. Pada saat itulah tibatiba
Ni Jian-ciu berpekik nyaring. Pada saat bersamaan
pekikan itu berkumandang, serangan pun dimulai.
ooOOOoo 17. Burung Gereja Dan Elang.
Seandainya di bawah permukaan tanah terdapat sebuah
anglo raksasa yang sedang menggodok permukaan tanah itu,
maka sekaranglah saat tanah itu mulai mendidih dan bergolak.
Pertemuan udara panas dan dingin yang terjadi di bawah
lekukan tanah berkubang itu sudah mencapai titik yang tak
terlukiskan dengan kata, "Blaaam!", diiringi ledakan keras,
bubur lumpur dan air panas dalam jumlah besar segera
menyembur dari pusat kubangan lumpur itu.
Semburan material tanah yang berupa campuran bubur
lumpur, bebatuan dan air panas ini segera memancar ke
empat penjuru, ketika tertimpa cahaya matahari, segera
membiaskan sinar aneh yang menyilaukan mata, bagaikan
hujan lumpur, material semburan itu segera menyebar dan
jatuh kembali ke dalam kubangan.
Hujan lumpur ini benar-benar luar biasa panasnya.
Serangan yang dilancarkan Ni Jian-ciu pun tak kalah panas
dan gencarnya. Rambutnya yang beruban nampak berkibar kencang,
diiringi pekikan nyaring, tubuhnya melambung ke udara,
kemudian dari atas menuju ke bawah, sinar tajam yang
memancar keluar dari balik buli-bulinya langsung diarahkan ke
tubuh Leng-hiat.
Leng-hiat tak bergerak, posisinya saat itu bagaikan seekor
burung elang yang siap menerkam burung gereja di
bawahnya. Tampaknya Ni Jian-ciu sudah memperhitungkan luka di kaki
Leng-hiat, menurut dia sulit bagi opas itu untuk menghindar
atau berkelit dengan gerakan cepat.
Dia berniat melancarkan serangan maut ke arah Leng-hiat
di saat semburan lumpur panas itu belum berhamburan ke
bawah, kemudian baru menghindarkan diri, bagi dia maupun
lawannya, jelas hal ini merupakan sebuah tantangan.
Siapa yang tak berhasil lolos dari tantangan ini berarti
dialah yang akan mati!
Seorang jago tangguh tulen, biasanya memang gemar
mencari tantangan, sebab tantangan merupakan rangsangan
baginya, dengan tantangan maka semangat tempurnya
tumbuh, bila semangatnya tumbuh maka kemajuan baru bisa
dicapai. Menjalankan sampan dengan menentang arus, bukannya
maju sebaliknya malah mundur, bagi seorang pembunuh,
mundur berarti sebuah kematian.
Lumpur panas, air panas menyembur ke tengah angkasa,
membentuk sekuntum bunga yang sangat aneh.
Tubuh Ni Jian-ciu ibarat seekor elang, elang yang
menerkam Leng-hiat.
Sanggupkah dia membunuh si darah dingin di saat
semburan lumpur panas itu belum sampai berhamburan
kembali ke atas permukaan tanah"
Yan Yu-sim dan Yan Yu-gi bergerak cepat dengan menarik
buli-buli, Ting Tong-ih, Ko Hong-liang serta Tong Keng
ternyata turut berjalan di belakang mereka tanpa melawan,
seakan-akan terdapat selembar jaring tak berwujud yang telah
mengurung mereka semua, membuat mereka sama sekali tak
mampu berkutik.
Mereka sudah menempuh perjalanan sejauh dua tiga li, Yan
Yu-sim masih saja berpaling menengok ke belakang.
Tiba-tiba Yan Yu-gi berkata, "Mari kita menggunakan jalan
setapak untuk kembali."
"Kenapa?" tanya Yan Yu-sim keheranan.
"Kini Li-thayjin dan Lu-thayjin sedang dalam perjalanan
menuju ke kota Cing-thian, bukan saat yang tepat bagi kita
untuk pergi ke tujuan yang sama, daripada sepanjang jalan
harus menjumpai banyak masalah."
Betapa terperanjatnya Ko Hong-liang serta Tong Keng
ketika mendengar Li Ok-lay datang sendiri ke kota Cing-thiantin,
pikir mereka tanpa terasa, "Aneh, kenapa gara-gara kasus
ini, mereka harus mempersiapkan diri begitu serius, seolaholah
sedang menghadapi pertempuran besar saja?"
Terdengar Yan Yu-gi menyahut sambil tertawa, "Kali ini kita
berhasil membekuk ketiga orang ini, jelas merupakan sebuah
pahala besar bagi kita."
"Tapi sayang
"Apanya yang sayang?"
"Sayang ketiga orang itu ditangkap si Auman harimau di
tengah malam."
Mendengar perkataan itu, Yan Yu-gi segera tertawa
terkekeh-kekeh, katanya, "Kau sangka Ni Jian-ciu masih punya
kesempatan untuk menerima pahala itu?"
"Maksudmu...?"
Yan Yu-gi tidak menjawab, dia hanya memandang ke
angkasa dan dahan pepohonan.
Di angkasa bebas terlihat ada seekor burung elang sedang
terbang sambil mementangkan sayapnya, sementara di atas
dahan terlihat ada burung gereja.
Burung gereja sedang menyembunyikan kepalanya sembari
menengok elang yang sedang terbang di angkasa, entah dia
sedang mengagumi ataukah sedang ketakutan"
Dengan sorot mata setajam sembilu ujar Yan Yu-gi lagi,
"Bila tebakanku tidak keliru, pemuda berpedang itu adalah..."
Dia tidak melanjutkan perkataannya, hanya gumamnya
lirih, "Entah siapa yang menjadi burung gereja" Dan siapa
pula sang burung elang?"
Tubuh Ni Jian-ciu sudah melambung di tengah udara,
tubuhnya yang besar telah menutupi separuh cahaya sang
surya. Leng-hiat berada di balik remang-remang cuaca.
Dia tidak menyurut mundur, juga tidak menyongsong
datangnya terkaman itu.
Tiba-tiba saja sebuah pukulan dahsyat dilontarkan ke
depan! Tenaga serangan itu bukan diarahkan ke tubuh Ni Jian-ciu,
melainkan menghajar semburan lumpur panas yang masih
muncrat di tengah udara.
Begitu terhantam tenaga pukulannya, lumpur panas yang
membara itu seketika mencelat ke belakang dan menghantam
tubuh Ni Jian-ciu.
Betapapun hebatnya ilmu silat yang dimiliki Ni Jian-ciu, tak
nanti ia berani tersiram lelehan lumpur panas yang bersuhu
tinggi itu, segera jubahnya dikebaskan ke bawah untuk
menggulung datangnya muncratan lumpur itu, sementara
tubuhnya dengan meminjam tenaga pantulan itu melayang
turun beberapa kaki dari posisi semula.
Dengan cepat muncratan lumpur panas itu berhamburan ke
empat penjuru. Di saat kakinya menginjak di atas tanah itulah mendadak
dari belakang telinganya terasa segulung angin dingin
menyambar lewat.
Perlahan-lahan dia berpaling ke belakang, sebilah pedang
tahu-tahu sudah menempel di atas tenggorokannya.
Sebilah mata pedang yang tajam dan berkilat.
Pedang itu berada dalam genggaman si darah dingin.
Mata pedang yang dingin, tapi sorot matanya jauh lebih
dingin. Tiba-tiba Ni Jian-ciu melangkah maju ke depan, dengan
maju selangkah, sama artinya dia mengantar tenggorokan
sendiri ke atas mata pedang itu.
Tetapi Leng-hiat justru tidak menggorok lehernya, malah ia
bergerak mundur selangkah.
Mata pedang masih tetap menempel di atas tenggorokan Ni
Jian-ciu, namun tiada butiran darah yang meleleh dari ujung
senjatanya. Sekali lagi Ni Jian-ciu mengebaskan kepalanya ke samping,
kebasan itu sama halnya dengan menggorokkan tengkuknya
pada ujung pedang.
Terlihat mata pedang ikut berputar satu lingkaran, menanti
kebasan kepala Ni Jian-ciu berhenti, mata pedang masih tetap
Misteri Lukisan Tengkorak Seri 4 Opas Karya Wen Rui An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menempel di sisi lehernya, sama sekali tidak menimbulkan
luka. "Ilmu pedang yang hebat," jengek Ni Jian-ciu sambil
tertawa dingin, "tapi sayang tak berani membunuh orang."
Rupanya di saat dia menghancurkan kemampuan bulibulinya
tadi, Leng-hiat telah menghadang jalan mundurnya.
Leng-hiat segera tertawa, begitu ia tertawa, sorot matanya
nampak jauh lebih hangat.
"Kenapa aku harus membunuhmu?" dia balik bertanya,
seraya berkata ia menarik kembali pedangnya, membalikkan
badan dan beranjak pergi dari situ.
Kini tinggal Ni Jian-ciu seorang masih berdiri termangu,
bukan saja dia berdiri melongo, bahkan pakaiannya terlihat
kotor di sana sini karena kena cipratan lumpur panas.
"Aku hendak membunuhmu, kenapa kau tidak
membunuhku?" teriak Ni Jian-ciu penasaran, "kenapa kau
tidak membunuhku" Ternyata pedang milik Leng-hiat tak
berani dipakai untuk membunuh orang!"
Leng-hiat sama sekali tidak berpaling, jawabnya, "Apakah
lantaran kau ingin membunuhku maka aku harus
membunuhmu" Apakah pedang milik Leng-hiat baru terhitung
pedang milik Darah dingin jika sudah digunakan untuk
membunuh?"
Kontan Ni Jian-ciu tertegun setelah mendengar pertanyaan
itu. Sambil melanjutkan langkahnya kembali Leng-hiat berkata.
"Kau harus hidup terus, saksikanlah hubungan persahabatan
dari tanpa perasaan berubah menjadi berperasaan, aku pun
harus tetap hidup karena ada tiga orang temanku difitnah
orang, dijadikan kambing hitam, aku tak bisa membiarkan
mereka hidup sebagai kambing hitam orang, hidup
memanggul fitnahan."
ooOOoo Ketika dua bersaudara Yan tiba di desa kebun buah di
belakang 'gelembung air kecil', hari sudah senja.
Yan Yu-gi masih ingin melanjutkan perjalanannya, tapi Yan
Yu-sim segera berkata, "Lebih baik kita beristirahat sebentar di
sini, konon di seputar tempat ini terdapat sebuah wilayah yang
disebut 'gelembung air kecil', di sana terdapat banyak
kubangan lumpur panas serta pasir tenggelam, jika kurang
berhati-hati tubuh kita bisa tenggelam dan tak tertolong lagi."
Saat itu serangga sudah mulai berbunyi dari empat
penjuru, di tengah hembusan angin malam, hanya suara
langkah kaki kelima orang itu yang terdengar.
Yan Yu-gi berpikir sejenak, kemudian sahutnya, "Baiklah!"
Di sekitar tempat itu hanya terdapat beberapa buah rumah
gubuk, meskipun berjalan di bawah pepohonan yang lebat,
namun karena bintang bertaburan di angkasa maka suasana
tidak terlalu gelap, mereka berusaha menghindari jalanan
yang dekat dengan kubangan lumpur.
Setelah memutar biji matanya sekejap, ujar Yan Yu-gi, "Aku
rasa lebih baik kita mencari sebuah rumah yang punya kebun
untuk tinggal semalam."
Maka Yan Yu-sim pun menendang sebuah pintu rumah
gubuk dan menerobos masuk ke dalam.
Rumah itu berpenghuni empat orang, setelah seharian
bekerja di kebun, saat itu mereka sedang menikmati hidangan
malam ketika tahu-tahu telah kedatangan tamu tak diundang.
"Siapa kalian?" tegur tuan rumah.
Yan Yu-gi tidak menjawab, ia justru menghajar lelaki itu
hingga roboh terkapar.
Melihat orang itu menyiksa rakyat yang tak berdosa. Tong
Keng maupun Ko Hong-liang sekalian merasa amat gusar, tapi
mereka tak dapat berbuat apa-apa selain menyimpan rasa
dongkolnya di dalam hati.
Kembali Yan Yu-gi menghardik, "Kalian punya makanan
apa" Ayo, keluarkan semua!"
Di dalam rumah itu masih terdapat seorang wanita,
seorang anak perempuan dan seorang bocah lelaki, mereka
semua sedang menangis tersedu-sedu.
Terdengar wanita itu berseru sambil menangis terisak,
"Toaya, jangan kau pukuli dia, yang bisa dimakan semuanya
... semuanya berada di sini ... tolong jangan menyusahkan
kami sekeluarga"
Melihat hidangan yang ada hanya terdiri dari sayur asin dan
gorengan, sontak dua bersaudara Yan menjadi sewot,
umpatnya dengan gusar, "Apa" Inipun dianggap makanan?"
"Toaya," keluh wanita itu sambil menangis, "kini
pemerintah memaksa kami membayar pajak tiga empat kali
lipat lebih banyak, mana ada hidangan lain untuk kami
sekeluarga" Apalagi setelah uang pajak yang kemarin hilang
dibegal orang, kami diharuskan sekali lagi membayar pajak,
kami ... kami sudah teramat miskin ... mana ... mana ada
hidangan yang lebih baik?"
Dengan perasaan menyesal Ko Hong-liang dan Tong Keng
menundukkan kepalanya.
Sambil memegangi sepatu Yan Yu-gi, kembali wanita itu
merengek, "Toaya, berbuatlah baik ... lepaskan kami...
sepanjang hidup kami sekeluarga tak akan melupakan budi
kebaikan kalian"
"Tak akan melupakan kami?" Yan Yu-gi tertawa terkekehkekeh,
"tahukah kau siapa kami ini?"
Sambil menuding ke hidung sendiri, lanjutnya, "Akulah
pembesar dari pengadilan, sementara kedua orang itu..."
Sambil berkata ia menuding Ko Hong-liang dan Tong Keng,
kemudian terusnya, "Merekalah Kokcu dan piausu dari
perusahaan ekspedisi Sin-wi-piau-kiok yang kalian caci-maki!"
Sambil menangis perempuan itu mendongakkan kepala
memandang mereka sekejap, air mata bercucuran makin
deras membasahi wajahnya yang ternyata cukup cantik.
"Kalian ... kalian telah mencelakai kami semua!"
Ko Hong-liang serta Tong Keng merasa amat sedih, selain
pedih mereka pun merasa gusar bercampur dendam,
sebetulnya orang lain mau mengundang mereka mengawal
barang, hal ini merupakan kepercayaan orang terhadap
mereka, bagaimanapun nyawa boleh hilang tapi barang
kawalan tak boleh lenyap.
Tapi kenyataannya sekarang, bukan saja barang yang
dikawal adalah uang pajak rakyat, bahkan setelah hilang pun
hingga kini jejaknya belum terlacak, bukan saja tak berhasil
merebut kembali uang kawalan itu, sebaliknya mereka malah
ditangkap pemerintah, bagaimana mungkin mereka bisa
berbicara dalam keadaan begini"
Dalam pada itu Yan Yu-gi sedang mengamati wajah
perempuan itu, lalu memandang pula wajah si bocah
perempuan yang sedang menangis, akhirnya tak tahan dia
memegang dagu wanita itu, semakin dilihat semakin
kesemsem, timbul keinginannya untuk meniduri perempuan
ini, segera tanyanya, "Siapa namamu?"
"Aku... aku..." perempuan itu tergagap, tapi naluri
kewanitaannya segera menangkap ada maksud jahat di balik
pertanyaan itu, tanpa terasa dia mulai waswas.
Terdengar Yan Yu-gi tertawa terbahak-bahak, serunya
mendadak, "Kakak Sim, pergilah mencari makanan yang bisa
dimakan, sementara aku hendak bermain cinta dulu."
Sembari berkata dia menyeret perempuan itu menuju ke
dalam kamar. Segera Ko Hong-liang membentak nyaring, "Manusia
laknat! Hentikan perbuatan bejadmu!"
Tong Keng ikut pula berteriak, "He, jangan sembarangan
kau!" Sambil tertawa terkekeh Yan Yu-gi menyeret perempuan itu
menuju ke kamar, dengan sekuat tenaga perempuan itu
meronta, suaminya yang terkapar di tanah pun sekuat tenaga
merangkak bangun dan menyeret kaki Yan Yu-sim.
Sambil mendengus Yan Yu-sim menghadiahkan sebuah
tendangan ke dada lelaki itu, tak ampun tubuhnya segera
mencelat hingga menumbuk dinding, ketika terjatuh kembali
ke tanah, tubuhnya terkulai lemas, jelas nyawanya sudah
putus. Kontan saja peristiwa ini membuat wanita itu menangis
sejadi-jadinya, teriaknya sambil meraung-raung, "A-lay, Alay..."
Dengan sekali ayunan tangan Yan Yu-gi menampar
perempuan itu hingga jatuh terjerembab, kemudian dengan
sekali raih ia cengkeram bocah perempuan itu, gumamnya,
"Baguslah, kalau yang tua tak mau biar aku cicipi yang muda,
toh rasanya yang muda pasti lebih nikmat."
Bocah perempuan itu ingin mengegos, tapi dengan sekali
cengkeram Yan Yu-gi sudah menangkap tubuhnya.
Perempuan itu menangis, rengeknya, "Toaya, lepaskan dia
... kumohon Toaya, lepaskan dia ... dia masih kecil, tak tahu
urusan..."
"Kau yang tahu urusan justru tidak menurut!"
Pucat pias wajah perempuan itu, akhirnya sambil menggigit
bibir sahutnya, "Aku akan menurut... aku pasti akan menuruti
perkataan Toaya."
Yan Yu-gi tertawa terkekeh, sambil membopong
perempuan itu dia segera menuju ke dalam kamar.
Yan Yu-sim yang menyaksikan kejadian itu hanya
menggeleng kepala berulang kali, kepada bocah laki dan
bocah perempuan itu ancamnya, "Kalian duduk di situ jangan
bergerak, sebentar ibumu juga akan keluar untuk menyiapkan
hidangan buat Toaya. Hmmm! Barang siapa berani bergerak,
aku akan segera membunuhnya, seperti..."
Ia menuding lelaki yang sudah tewas di lantai itu sambil
menambahkan, "Seperti bapakmu itu!"
Mendadak Ting Tong-ih memanggil, "Yan-lotoa, kemarilah!"
Yan Yu-sim agak tertegun, kemudian sambil tertawa dan
menuding ke hidung sendiri balik tanyanya, "Aku?"
Ting Tong-ih mengerling genit, katanya, "Hari itu ... ketika
berada di penjara ... kenapa kau bebaskan aku?"
Yan Yu-sim segera berkerut kening, kini Ting Tong-ih sudah
menjadi tawanannya, bisa saja ia segera menegurnya atau tak
usah menjawab pertanyaan itu, namun ketika menyaksikan
wajah si nona yang senyum tak senyum, pipinya yang
bersemu merah, bibirnya yang menantang, ia menjadi agak
terangsang juga.
Selama ini belum pernah ia jumpai perempuan secantik ini,
apalagi dalam situasi yang berbahaya, dalam kondisi sebagai
tawanan pun gadis itu masih tampil begitu menawan.
Berpikir sampai di situ, tak tahan Yan Yu-sim tersenyum
sendiri, senyum malu-malu.
Tentu saja Tong Keng serta Ko Hong-liang jadi heran,
bagaimana mungkin seorang gembong iblis yang membunuh
tanpa mengedipkan mata dapat bersikap malu ketika
menghadapi seorang gadis" Apa yang sebenarnya telah
terjadi" Mereka pun tidak habis mengerti, kenapa dalam situasi
seperti ini Ting Tong-ih justru menanyakan hal seperti ini
kepada Yan Yu-sim" Apa tujuan nona itu"
Terdengar Yan Yu-sim menyahut, "Nona Ting, masa ...
masa kau masih belum tahu maksud hatiku?"
Mendadak terdengar suara bentakan gusar diiringi jeritan
kaget berkumandang dari balik kamar.
Paras muka Yan Yu-sim yang semula berubah halus dan
lembut seketika berubah seperti semula, dingin kaku tak
berperasaan, dengan cepat dia membalikkan badan.
Segera Ting Tong-ih berseru lagi, "Yan-lotoa, mengingat
kau menaruh hati kepadaku, kumohon kau melindungi
keselamatan jiwa kedua bocah itu..."
Tampaknya Yan Yu-sim sendiri pun sudah merasa ucapan
lembut Ting Tong-ih terhadapnya mempunyai maksud
tertentu, rasa gusar bercampur tak senang seketika melintas
di wajahnya. Belum sempat dia mengumbar amarah, mendadak
"Blaaam!", pintu kamar sudah terbuka lebar, menyusul
seseorang berlari keluar dengan sempoyongan.
Dengan sekali lompatan Yan Yu-sim memayang tubuh Yan
Yu-gi, tampak tubuh bagian bawah Yan Yu-gi berlumuran
darah, wajahnya kelihatan sedang menahan rasa sakit yang
luar biasa. "Loji, kau...." seru Yan Yu-sim keheranan.
Sambil menahan sakit, umpat Yan Yu-gi, "Perempuan sialan
... ternyata dia menggunakan gunting untuk.... hmmm!"
"Menggunakan gunting?" Yan Yu-sim tertegun.
"Betul, dia menggunting barang milikku," umpat Yan Yu-gi
geram, "karena itu kuhajar dia sampai mampus!"
Tong Keng tak kuasa menahan diri lagi, segera makinya
dengan penuh gusar, "Manusia she Yan! Kau memang anak
jadah yang berhati busuk, bejad dan tak tahu malu, cucu
kura-kura berhati binatang yang sukanya hanya merogol
perempuan baik-baik, manusia macam kau lebih cocok
menjadi hewan, kusumpahi kau agar cepat mampus dan
masuk neraka, anak jadah tak tahu malu, kau..."
Dengan sekali lompatan Yan Yu-gi sudah tiba di
hadapannya, sebuah tendangan keras langsung dilontarkan ke
depan. Tendangan itu bersarang telak dan berat, bila orang biasa
yang menerima serangan itu, tanggung dia akan langsung
muntah darah dan mampus.
Untung Tong Keng memiliki tubuh yang keras dan terlatih,
kendatipun begitu kata berikut tak sanggup lagi dilanjutkan.
Ting Tong-ih segera menengok ke arah Yan Yu-sim, sorot
matanya penuh dengan permohonan.
Tergerak perasaan Yan Yu-sim, cepat dia menarik tangan
Yan Yu-gi yang sudah siap melancarkan tendangannya yang
kedua, bujuknya, "Loji, mereka adalah tawanan yang harus
kita serahkan ke pemerintah, kalau kau bunuh, kita sendiri
yang bakal susah!"
"Maknya sialan!" umpat Yan Yu-gi sambil mengertak gigi,
"anak pusakaku sudah digunting setengah, sekarang ada yang
berani mengumpat diriku .... hmmm! Kalau bukan lantaran
ingin naik pangkat dan kaya, akan kutendang dia hingga
mampus!" Yan Yu-sim menghela napas panjang. "Aai! Siapa sih yang
tak ingin naik pangkat" Siapa yang tak ingin kaya" Demi
nama, kedudukan dan harta, pantangan sebesar apapun harus
tetap dijaga, kalau tidak, mana mungkin semua itu bisa
diraih?" Yan Yu-gi tertawa seram, sorot matanya kembali
Misteri Lukisan Tengkorak Seri 4 Opas Karya Wen Rui An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berkeliaran ke sekeliling tempat itu, ketika menyaksikan bocah
perempuan yang bersembunyi di sudut kamar, segera
serunya, "Baiklah, biar kali ini aku bermain dengan yang kecil."
Sambil berkata dia menghampiri bocah perempuan itu. Yan
Yu-sim segera berpaling ke arah Ting Tong-ih. Dengan cepat
gadis itu manggut-manggut, kemudian menggeleng, sorot
matanya semakin memancarkan permohonan.
Sorot mata lembut membawa daya pikat semacam ini
belum pernah dilihat Yan Yu-sim sepanjang hidupnya, dia
berkerut kening, lalu menarik bahu Yan Yu-gi dan bujuknya,
"Sudahlah, kau telah terluka, lebih baik jaga kondisi
badanmu." Yan Yu-gi segera berpaling sambil melototi Yan Yu-sim
sekejap, dengan wajah keheranan ditatapnya rekannya
sebentar, tapi akhirnya dia menyahut, "Aku tahu!"
ooOOoo 18. Yu-sim Dan Yu-gi.
Yan Yu-sim sendiri pun dibuat tertegun oleh pandangan
aneh rekannya, ia berseru tertahan, "Ooh, ada apa?"
Mendadak Yan Yu-gi menarik napas panjang.
Sekali lagi Yan Yu-sim tertegun, dia tahu ilmu pukulan
mayat hidup yang dilatih adiknya sudah mencapai tingkatan
'tubuh terbang', tapi setiap kali akan melancarkan serangan,
tak urung dia mesti menarik napas dulu untuk menghimpun
kekuatannya dalam Tan-thian, kemudian setelah mengalirkan
kekuatannya ke seluruh tubuh, baru ia bisa menggunakan
kelebihan dari ilmu pukulan mayat hidupnya.
Tanpa terasa Yan Yu-sim mundur selangkah.
Mendadak Yan Yu-gi melejit ke tengah udara, sepasang
tinjunya dihantamkan ke atas.
"Braaaak!", atap rumah segera jebol hingga muncul sebuah
lubang besar, dari balik lubang terlihat tubuh seseorang
melayang jatuh ke bawah.
Kecuali mengalami pendarahan dari lubang hidung dan
mulutnya, ruas lutut orang itupun hancur berantakan,
tampaknya sudah termakan pukulan maut Yan Yu-gi, saat ini
dia tergeletak di lantai sambil merintih kesakitan, ceceran
darah segar menggenangi seluruh permukaan tanah.
Kini Yan Yu-sim baru sadar kalau di atas atap rumah telah
kedatangan musuh, diam-diam ia malu sendiri, tak nyana
gara-gara kesemsem kecantikan Ting Tong-ih, dia sama sekali
tidak menyadari akan kehadiran musuh.
Sementara itu dari atap rumah kembali terdengar suara
langkah manusia yang amat ramai diikuti desingan baju yang
tersampuk angin.
Kembali Yan Yu-gi menghardik, "Kenapa kalian belum
menggelinding keluar?"
"Blaaaam!", pintu rumah ditendang orang hingga terbuka
lebar, daun jendela pun dibacok hingga terbelah, tujuh
delapan orang serentak menyerbu masuk ke dalam ruangan.
Tong Keng segera menengok ke arah luar, dia ingin tahu
siapa yang telah datang, tapi begitu tahu siapa mereka, dia
segera berseru tertahan sambil mengawasinya dengan
melongo. Ko Hong-liang segera merasakan gelagat tidak beres,
segera bisiknya, "Kau kenal mereka?"
"Ya, Liong Giam-ong!" gumam Tong Keng.
"Siapa?" bisik Ting Tong-ih pula.
"Kepala sipir Liong, orang yang menjebloskan kami ke
dalam penjara dan menggunakan obat bius untuk mencelakai
Kwan-toako," sahut Tong Keng lirih.
Ternyata ketujuh delapan orang lelaki itu masuk ke dalam
ruangan diiringi kepala sipir Liong.
Begitu tahu siapa yang datang, dua bersaudara Yan segera
tertawa terbahak-bahak, tegurnya, "Hahaha, kusangka siapa
yang datang, ternyata Liong-loko bersama tiga bersaudara
dari keluarga Tiap dan lima panglima gagah dari keluarga Pit!"
Salah seorang lelaki kekar itu segera lari untuk
membangunkan rekannya yang masih mengaduh kesakitan,
teriaknya penuh amarah, "Manusia she Yan, kematian sudah
di depan mata, masih berani amat bicara besar!"
Yan Yu-sim balas tertawa dingin. "Pit-lotoa," katanya,
"antara kami orang she Yan dengan kalian ibarat air sungai
tidak melanggar air sumur, kali ini kenapa kalian datang
sambil mengacungkan golok, apa-apaan kalian?"
"Air sungai" Air sumur?" dengus Pit-lotoa ketus, "siapa air
sungai dan siapa air sumur" Hmmm, kalianlah air comberan
yang berbau busuk! Betul-betul tidak tahu diri, sudah
merengek mencari sesuap nasi di kantor pengadilan, masih
ingin mengangkangi meja orang. Hmm! Bagi kami, sungai
besar macam apapun pernah dijumpai, memangnya takut
kepada kalian orang she Yan?"
Yan Yu-gi tertawa terbahak-bahak. "Hahaha, ternyata
kedatangan Pit-lotoa lantaran urusan ini... he, engkoh-engkoh
dari keluarga Tiap, apakah kalian..."
"Orang she Yan," tukas salah seorang lelaki beralis tebal itu
ketus, "sejak Li-thayjin mengundang kedatangan kalian,
sikapnya terhadap kami makin lama semakin jauh dan tak
perhatian, pada mulanya masih ada sisa nasi untuk kami, tapi
pada akhirnya bangku untuk kami duduki pun sudah tak ada"
"Kalau terhadap si Auman harimau di tengah malam kami
masih bisa mengalah," sambung seorang lelaki lain sambil
pentang mulutnya yang lebar, "sebab kami tahu kungfunya
memang hebat dan jauh di atas kemampuan kami, tapi
terhadap kalian serta si pelajar rudin bermarga Gi..."
Seorang lelaki lain yang wajahnya penuh bopeng segera
menyela pula, "Sekarang Siucay she Gi itu sudah mampus,
tinggal kalian berdua yang menunggu giliran, itulah sebabnya
kami khusus datang kemari untuk mengantar kalian pulang ke
rumah nenek"
"Hahaha, rupanya karena persoalan ini," Yan Yu-gi tertawa
sinis. "Bagaimana dengan kepala sipir Liong?" Yan Yu-sim
berpaling ke arah Liong Giam-ong, "apakah kau pun ingin
memanfaatkan kesempatan ini untuk ikut mencari
keramaian?"
"Bicara sejujurnya," kata Liong Giam-ong, "sebelum
kedatangan kalian berempat, tempat ini merupakan wilayah
kekuasaan tiga orang gagah dari keluarga Tiap serta lima
panglima kosen dari keluarga Pit, aku sendiri pun ikut
merasakan kejayaan mereka, tapi sejak kedatangan kalian,
aku malah dibuang ke penjara dan dijadikan kepala sipir,
kehadiran kalian"
"Kehadiran kami mendatangkan kesuraman bagi kalian,"
sambung Yan Yu-sim.
Berubah paras muka Liong Giam-ong, umpatnya, "Orang
she Yan! Jangan disangka setelah menjadi orang kesayangan
Li-thayjin, kami lantas takut kepadamu!"
"Tentu saja kau tak takut," sahut Yan Yu-sim santai,
tampaknya dia memang bermaksud membuat marah orang
ini, "apalagi sekarang ada tiga jagoan dari keluarga Tiap dan
lima jagoan dari keluarga Pit yang melindungi, bukan saja tak
takut, bahkan kau pun punya nyali untuk melenyapkan kami
berdua!" "Kita sama-sama orang persilatan" ujar Pit-lotoa, "boleh
saja kami ampuni jiwa kalian berdua, tapi ketiga orang
tawanan ini harus kalian serahkan kepada kami, sedang kalian
berdua, mulai hari ini lebih baik jangan menginjakkan kaki lagi
di wilayah Cing-thian-sian."
Yan Yu-sim tertawa dingin. "Bila kuserahkan tawanan ini
kepada kalian, yang jelas kalian akan memperoleh pahala
besar, pahala yang bisa dijadikan landasan untuk naik pangkat
di kemudian hari, sayangnya
Mendadak Yan Yu-gi menjura seraya berkata dengan
hormat, "Terima kasih banyak karena kalian tidak membunuh
kami." "Nah, begitulah kalau tahu diri," seru salah satu di antara
tiga bersaudara Tiap sambil tertawa.
Rekannya yang lain segera menambahkan, "Kelihatannya
kau memang tahu diri, ingin berebut dengan kami" Huuh,
ibarat belalang ingin menahan lajunya pedati!"
Sementara yang lain ikut menimbrung, "Kepandaian silat
yang diandalkan keluarga Yan paling ilmu pukulan mayat
hidup, pukulan kaku macam orang bego, mendingan pulang
ke Kiang-say dan bekerja jadi tukang gotong mayat."
Paras muka Yan Yu-sim berubah seketika.
Sebaliknya Yan Yu-gi masih merendah, sahutnya.
"Perkataan kalian memang sangat tepat, dulu kami tak tahu
diri hingga seringkah menyalahi kalian, untuk itu kami mohon
maaf yang sebesar-besarnya."
Bicara sampai di situ ternyata ia benar-benar menjatuhkan
diri berlutut. Tiga bersaudara Tiap jadi kelabakan sendiri, segera
serunya, "He, apa-apaan kalian ini" Cepat bangun, cepat
bangun, hanya sedikit salah paham, tak perlu dimasukkan
dalam hati!"
Pit-lotoa ikut menimbrung, katanya dengan wajah berat,
"Seandainya kalian tidak melukai Losu terlebih dulu, mungkin
aku pun bersedia melepaskan kalian."
"Plaaak, plook!", sekali lagi Yan Yu-gi menempeleng pipi
sendiri sambil merengek, "Semuanya ini memang merupakan
kesalahanku, aku tak tahu kalau kalian telah datang
berkunjung sehingga tanpa sengaja melukai Pit-suya,
perbuatanku memang pantas diganjar mati!"
Pit-lotoa mendengus dingin.
Dalam pada itu Liong Giam-ong telah menghampirinya,
membisikkan sesuatu di sisi telinganya, biji mata Pit-lotoa
segera berputar berulang kali, kemudian serunya, "Baiklah!
Boleh saja kalau tak ingin dibunuh, tapi kalian harus angkat
sumpah dan berjanji selama hidup tak akan menginjakkan kaki
kembali di wilayah Cing-thian, bila bersua dengan kami pun
harus cepat-cepat menyingkir!"
Padahal jalan pikirannya sama seperti apa yang dipikirkan
Liong Giam-ong, kepandaian silat dua bersaudara Yan
khususnya ilmu pukulan mayat hidup mereka sudah mencapai
taraf 'mayat terbang', kalau tak punya keyakinan untuk
menang memang lebih baik menghindari pertarungan yang
tak berguna. Sementara itu Tong Keng, Ko Hong-liang serta Ting Tongih
diam-diam bersorak gembira, mereka berharap kawanan
manusia busuk itu bisa saling gontok sendiri karena
memperebutkan posisi yang lebih diperhatikan Li Ok-lay,
betapa kecewanya mereka setelah menyaksikan sikap dua
bersaudara Yan yang lebih suka mengaku kalah ketimbang
bertarung, dalam hati serentak mereka mencaci-maki habishabisan.
Dalam pada itu Yan Yu-gi sudah angkat tangannya sambil
bersumpah, "Aku Yan Yu-gi, hari ini dengan hati ikhlas
memberi pernyataan sejujurnya kepada Liong Giam-ong, tiga
bersaudara Tiap dan lima bersaudara Pit bahwa sejak hari ini
tak akan menginjak kembali wilayah Cing-thian barang
sete Pendekar Super Sakti 6 Raja Naga 7 Bintang Karya Khu Lung Pendekar Pemetik Harpa 9
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama