Musuh Dalam Selimut Karya Liang Ie Shen Bagian 1
" ~ MUSUH DALAM SELIMUT ~
Karya : Liang Ie Shen saduran : Gan KL
1. Cara Menguji Yang Aneh
Dua baris pasukan pengawal bersenjata lengkap berdiri
tegak di depan istana berbatu pualam putih. Mata setiap
orang terbelalak memusatkan perhatian atas diri seorang Busu
(jago, kesatria) muda.
Kesatria muda itu seakan-akan tidak mau tahu terhadap
segala apa yang terjadi disekitarnya. Pandangan semua orang
terpusat atas dirinya, maka iapun sedang mencurahkan
segenap perhatiannya kepada seorang lain.
Orang itu adalah seorang sakit yang terbaring di balai-balai.
Dari pakaiannya yang mentereng jelas dia adalah seorang
perwira kerajaan Kim. Perawakannya tampak kekar tegap, tapi
mukanya pucat, napasnya senin-kemis seakan-akan setiap
detik dapat menghembuskan napasnya yang pengabisan.
Dua orang perajurit pengawal yang berdiri paling belakang
sedang berbicara dengan bisik-bisik. Kata seorang di
antaranya: "Sungguh jarang Ong-ya kita berlaku secermat dan
sedemikian seriusnya, apakah kau tahu siapakah pemuda ini?"
"Konon dia bernama Loh Si-hiong," jawab perajurit
pengawal yang lain." Katanya dia adalah putera seorang
bawahan Ce-jin-ong Tan-goanswe (pangeran Tan berpangkat
jenderal) dan sangat disayang oleh Tan-goanswe."
"O, pantas Ong-ya kita juga sedemikian menghargai dia."
"Tidak, ..... tidak demikian halnya. Tan-goanswe dan Ongya
kita adalah orang-orang yang tegas tanpa pandang bulu.
Jika pemuda ini tidak memiliki kepandaian sejati pasti takkan
terpakai oleh Ong-ya kita. Lihat saja, bukankah sekarang juga
dia akan diuji di depan umum untuk membuktikan ketegasan
Ong-ya yang tidak pilih kasih."
"Apa yang akan diuji" Mengapa Ci-camciang yang sudah
jatuh sakit bertahun-tahun tak tersembuhkan itu sekarang pun
digotong kesini?"
"Akupun tidak tahu tentang ini. Ah, toh sebentar juga kita
akan mengetahuinya, kita tunggu saja. Nah itu! Ssst, Ong-ya
sudah datang!"
Yang diceritakan ini terjadi di pendopo istana Wanyen
Tiang-ci, panglima pasukan pengawal kerajaan Kim. Wan?yen
Tiang-ci sendiri adalah paman Sri Baginda kerajaan Kim yang
bertahta sekarang. Namun bukanlah lantaran beliau adalah
paman raja yang bertahta sehingga beliau diberi tugas sebagai
pimpinan tertinggi dari pasukan pengawal kerajaan, tapi
jabatan itu diperolehnya memang berdasarkan kepandaiannya
yang sejati, sebab ilmu silat Wanyen Tiang-ci memang sangat
tinggi dan terpandang sebagai jago nomor satu di negeri Kim.
Saat itu Wanyen Tiang-ci tampak muncul bersama seorang
tua yang berambut ubanan. Kakek ini adalah tabib kerajaan,
konon adalah tabib nomor dua di seluruh negeri,
kepandaiannya hanya dibawah Ih-un (tabib sakti) Tek Jonghu.
Ketika Wanyen Tian-ci dan tabib kerajaan sudah duduk di
tengah ruangan, keadaan menjadi sunyi senyap, tiada
seorangpun yang berani bersuara. Suasana yang hikmat itu
membuat hati Loh Si-hiong rada tidak tenteram. Ia tahu ujian
ini sangat besar menyangkut kepentingannya, apakah akan
berhasil atau akan gagal, seluruh hari depannya akan
ditentukan oleh hasil dari pada ujian yang sedang dihadapinya
ini. Sesungguhnya ia cukup yakin dirinya sendiri pasti akan
dapat mengatasi ujian ini dengan baik, cuma saja waktu ujian
hanya akan terjadi dalam sekejap saja, ini adalah ujian yang
memerlukan ketenangan yang sangat serta tehnik yang tinggi
dan tepat. Kini ujian justru harus dilakukannya dibawah saksi
pandangan orang sekian banyak dan suasana terasa begini
tegang pula, jika perasaannya sedikit terpengaruh sehingga
cara turun tangannya rada meleset saja, maka akibatnya
sukarlah dibayangkan.
Begitulah sesudah Loh Si-hiong memberi hormat, Si tabib
kerajaan lantas bertanya: "Apa kau sudah siap?"
"Sudah siap!" jawab Si-hiong.
Wanyen Tiang-ci mulai ketok-ketok meja, dengan sorot
mata yang tajam ia pandang Loh Si-hiong, katanya pelahan:
"Hendaklah kau mendengarkan pula yang jelas! Jika dia
sampai mati, maka kau harus mengganti nyawanya. Bila kau
mau mengurungkan ujian ini, sekarang juga masih dapat
ditarik." Cara ujian demikian sesungguhnya jauh lebih berat dari
pada dugaan Loh Si-hiong semula. Namun dia masih tetap
bersikap tenang dan menjawab: "Aku bersedia menerima ujian
ini." Wanyen Tiang-ci manggut-manggut. Mendadak ia berseru:
"Baik ...... mulai!"
Baru saja pangeran itu mulai bersuara, cepat sekali Loh Sihiong
sudah melolos sebilah belati yang sangat khas
bentuknya, panjangnya kira-kira setengah meter, lebarnya
hanya tiga-empat senti, tipisnya luar biasa seakan-akan
bening tembus. Dan baru saja ucapan "mulai" tercetus dari mulut Wanyen
Tiang-ci, seketika juga pisau Loh Si-hiong itu terus menyayat
ke arah si penderita sakit yang terbaring itu. Walaupun kedua
baris pasukan pengawal itu sama mendengar Ong-ya mereka
yang memberi aba-aba "mulai", tapi kejadian yang mendadak
itu tidak urung menerbitkan jerit kaget orang banyak. Bahkan
ada dua orang perajurit yang agak bebal, lantaran tak bisa
berpikir, mereka malah terus melolos golok dan memburu
maju sambil membentak-bentak: "Bangsat! Ong-ya telah
memperingatkan kau jika dia sampai mati, maka kau harus
mengganti nyawa. Tapi sekarang kau malah sengaja
membunuhnya!"
Tampaknya golok kedua perajurit itu segera akan mampir
di atas tubuh Loh Si-hiong, namun Wanyen Tiang-ci keburu
menggebrak meja dan membentak: "Tolol! Enyah sana!"
Karena itu pikiran kedua perajurit pengawal itu baru
terbuka, mereka baru paham bahwa Loh Si-hiong bukan
sengaja hendak membunuh orang, tapi justru sedang
melakukan operasi untuk menyembuhkan perwira yang sakit
parah itu. Perhatian Loh Si-hiong sendiri hanya terpusat kepada si
penderita sakit sehingga segala apa yang terjadi di sekitarnya
sama sekali dia tidak ambil pusing.
Ketika bagian perut si penderita tersayat, darah lantas
merembes keluar. Segera Loh Si-hiong mengerjakan pisau
operasinya lagi, dengan cara yang amat lincah dan cepat,
pisaunya mengorek sepotong daging dalam bentuk uci-uci
sebesar cangkir teh lantas diiris keluar dari dalam perut.
Segera ada dua orang melangkah maju untuk menjahit luka
si penderita. Mereka adalah asisten si tabib istana.
Loh Si-hiong mengusap keringat dingin yang membasahi
dahinya, perlahan-lahan ia menyimpan kembali pisau
operasinya. Dan baru saja perasaan tegangnya tadi mulai
mengendur, sekonyong-konyong kedua pembantu yang baru
selesai menjahit luka di atas perut si penderita itu menjerit:
"He, Ci-camciang telah meninggal!"
Wanyen Tiang-ci terkejut, tapi sebelum dia bertindak apaapa,
terlihat si tabib istana tersenyum-senyum padanya. Lalu
omelnya kepada kedua pembantunya itu: "Kalian sudah sekian
tahun ikut aku, mengapa kalian masih begini bodoh, masakah
orang mati benar-benar atau pingsan saja tidak tahu?"
Kedua asistennya saling pandang dengan bingung, yang
satu tidak berani bersuara yang lain menjawab: "Tapi.......tapi
napasnya sudah putus, apakah ...... apakah ini bukan
tandanya sudah meninggal"''
Loh Si-hiong juga lantas memberi hormat kepada Wanyen
Tiang-ci dan berkata: "Mohon Ong-ya jangan kuatir, sebentar
juga dia akan hidup kembali." Habis berkata ia lantas
mengeluarkan sebatang jarum perak terus ditusukkan di ujung
dahi si penderita sambil memberi penjelasan: "Penyakitnya
bersumber pada urat Jimmeh, sebab itulah di dalam perutnya
timbul sepotong daging mati. Sekarang aku menjarumi Thayyanghiat di pelipisnya, entah tepat atau tidak terapiku ini."
Ucapannya yang terakhir ini adalah dalam kedudukannya,
sebagai kaum muda yang sedang mohon nasihat kepada si
tabib istana. Cuma saja jawabannya tidak perlu diberikan lagi
oleh si tabib, sebab pada waktu jarum peraknya dicabut
keluar, si penderita segera dapatlah bersuara merintih, kedua
matanya lantas melek juga.
Dengan wajah tersenjum puas si tabib istana berkata:
"Kepandaianmu memang boleh juga, yang harus dipuji adalah
ketenanganmu, sungguh kau tidak malu sebagai muridnya Ihun
Tek Jong-hu. "Ya, benar-benar ilmu tabib yang sakti," Wanyen Tiang-ci
ikut memuji. "Muridnya saja begini hebat, pantasnya Tek
Jong-hu harus diakui sebagai tabib nomor satu di dunia ini.
Tapi mengapa ada orang mengatakan dia masih kalah bila
dibandingkan Liu Goan-cong?"
Terdengar tabib istana itu menghela napas, katanya:
"Sebab Liu Goan-cong sudah hampir dapat memahami rahasia
semua Hiat-to di atas patung tembaga. Dalam hal ini mungkin
Tek Jong-hu tak dapat menandinginya. "
Wanyen Tiang-ci tampak merenung sejenak, kemudian ia
memanggil komandan pasukan pengawal dan bertanya:
"Bagaimana hasil ujian ilmu silatnya pada babak pertama?"
"Ke delapanbelas jago pilihan dari pasukan telah dikalahkan
semua olehnya," lapor komandan pengawal itu.
"Bagus, sangat bagus!" Wanyen Tiang-ci tersenyum. "Baik
ilmu silat maupun ilmu pertabibanmu ternyata terpilih semua,
asal kau dapat lulus pada ujian yang terakhir nanti, dengan
segera kau akan dapat diterima."
Diam-diam Loh Si-hiong terkejut, tanyanya hati-hati:
"Apakah masih ada ujian lagi" Entah apa yang diuji nanti?"
"Ya, justru ujian terakhir inilah yang akan menentukan,"
sahut Wanyen Tian-ci. "Tentang apa yang diuji dan kapan
dilakukan, sebelumnya aku tak dapat memberitahukan
padamu. Ya, mungkin juga nanti atau bisa juga besok, tapi
boleh jadi juga beberapa hari lagi. Nah, sudahlah, kau sudah
lulus dari ujian dua babak, tentu kau sudah lelah, boleh kau
pergi mengaso dulu. Pondoknya sudah disiapkan belum?"
"Sudah siap," lapor komandan pengawal.
"Baiklah, boleh kau mengantarkan dia dan berikan bantuan
seperlunya," kata Wanyen Tiang-ci.
Malamnya komandan pasukan pengawal itu telah menjamu
Loh Si-hiong dengan segala kehormatan, beberapa perwira
diundang untuk menemani pula. Mereka telah memberi
selamat kepada Loh Si-hiong dan memandangnya sebagai
kawan sejawat yang akan datang, mereka mengatakan kedua
babak ujian yang berat saja sudah dilalui Loh Si-hiong dengan
baik, tentu ujian yang terakhir juga takkan menjadi soal.
"Sebenarnya aku kurang mengerti," demikian komandan
pengawal itu berkata, "kau toh tidak akan diangkat sebagai
perwira kesehatan, mengapa kau diuji dalam hal ilmu
pertabiban" Apakah kau sudah tahu tugas apa yang akan
diberikan kepadamu oleh Ong-ya?"
Loh Si-hiong sendiri hanya tahu bila lulus ujian tentu akan
dapat dipakai, ini adalah janji dari mulut Wanyen Tiang-ci
sendiri sebagai panglima pasukan pengawal kerajaan. Adapun
tentang kedudukan atau tugas apa yang akan diberikan
padanya ia sendiri pun tidak tahu. Namun demikian, diamdiam
iapun sudah dapat menerka beberapa bagian, bahkan ia
dapat menduga pertanyaan yang diajukan komandan
pengawal ini justru sengaja hendak memancing sampai berapa
banyak ia dapat menerka.
Maka dengan sikap seperti tidak ambil pusing terhadap
tugas atau jabatan yang akan diterimanya kelak, sekenanya
Loh Si-hiong menjawab: "Boleh jadi Ong-ya mengetahui aku
pernah belajar ilmu pertabiban, maka sengaja menguji aku
dalam bidang ini. Bagiku asalkan dapat mengabdi kepada
Ong-ya, tentang tugas apa saja yang akan kuterima tentu
akan kulakukan dengan senang hati."
Begitulah selesai makan dan obrol sampai mendekat
tengah malam, komandan pengawal itu mengantar Loh Sihiong
ke kamar yang telah disediakan baginya. Setelah melalui
serambi yang berliku-liku, akhirnya sampai di depan sebuah
rumah batu. "Inilah kamarmu, silakan mengaso dan bersiap-siap untuk
ujian babak terakhir," kata kepala pengawal itu.
Dan begitu Loh Si-hiong melangkah masuk kekamar itu,
"blang", segera terdengar suara pintu ditutup dari luar oleh
kepala pengawal. Dari suaranya yang keras dan berat itu
segera Loh Si-hiong tahu pintu itu terbuat dari besi.
Keadaan di dalam kamar batu itu gelap gulita, sampai jari
tangan sendiri tidak kelihatan. Loh Si-hiong coba meraba-raba
sekitarnya, ternyata kamar ini kosong melompong, jangankan
tempat tidur, sedangkan sebuah kursi saja tidak ada. Kecuali
dinding batu yang mengelilingi hanya ada empat pilar yang
sama dinginnya seperti dinding itu. Cuma dari perasaannya ia
tahu pilar itu bukan buatan dari batu, hanya terbuat dari apa
kurang jelas baginya, yang pasti bukanlah pilar kayu.
"Ini lebih mirip sebuah kamar penjara, mengapa aku
disuruh tidur disini?" demikian pikir Loh Si-hiong. Biarpun
nyalinya cukup besar, tapi dalam keadaan terkurung begini
hatinya menjadi gelisah juga. Pikirnya pula: "Mengapa aku
disekap disini" Jangan-jangan Ong-ya telah menaruh curiga
padaku?" Namun Loh Si-hiong dapat berpikir secara tenang, setelah
direnungkan kembali, ia merasa tiada sedikitpun gerakgeriknya
dapat menimbulkan kecurigaan orang. Akhirnya
pikiran gelisahnya dapat dikuasainya kembali. Ia yakin
Wanyen Tiang-ci tidak nanti mempermainkan dirinya tanpa
alasan. Apa yang berlangsung sekarang ini tentu ada maksud
tujuan tertentu, hanya sebab apa masih belum jelas baginya.
Daripada susah-susah memikirkan lebih baik kumpul tenaga
dan himpun semangat untuk menghadapi ujian babak terakhir
yang setiap saat bisa terjadi. Demikian akhirnya Leh Si-hiong
mengambil keputusan.
Tapi teringat kepada ujian babak terakhir nanti, tidak urung
hati Loh Si-hiong menjadi gelisah pula. Sungguh sukar
dibayangkan ujian terakhir itu entah bagaimana aneh caranya.
Musuh Dalam Selimut Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Terhadap sesuatu kejadian yang telah diketahui sebelumnya
betapapun seseorang masih berani menghadapinya. Tapi
sekarang Loh Si-hiong seperti ditutup kedua matanya, lalu
digusur orang kesuatu tempat yang penuh rahasia untuk
menerima nasib yang belum dapat diramalkan. Dalam
keadaan demikian biarpun cukup yakin dirinya akan mampu
lulus dari segala ujian yang betapa beratnya toh hatinya
terasa kebat-kebit juga.
Lantaran siangnya dia sudah mengalami dua babak ujian
yang cukup berat dan tegang, yaitu pertama bertanding
melawan delapanbelas jago pengawal, kemudian diuji tentang
kepandaian operasi orang sakit kanker dibawah penyaksian
orang banyak, maka kini ia benar-benar sangat letih lahirbatin.
Sebab itulah lambat-laun iapun terpulas dalam
kegelapan kamar itu.
Entah sudah berapa lamanya ketika samar-samar ia
merasakan sesuatu. Sebagai orang yang sudah terlatih baik,
serentak Loh Si-hiong lantas melompat bangun. Memang
benar, kamar penjara yang mestinya sunyi senyap itu rasanya
seperti ada suatu suara napas yang sangat pelahan. Pasti di
dalam kamar batu ini ada orang lain.
Sebenarnya Loh Si-hiong bermaksud menubruk ke tempat
suara yang hampir-hampir tak terdengar itu, tapi sekilas
teringat sesuatu olehnya sehingga maksudnya diurungkan.
Maklumlah, rumah batu yang ditempati Loh Si-hiong itu
berada di tengah istana panglima pasukan pengawal kerajaan,
suatu tempat yang diberi penjaga yang sangat keras dan
rapat. Kamar batu ini sedemikan rapat, jangankan manusia,
lalatpun tak bisa masuk. Jika sekarang di dalam kamar batu
terdapat orang lagi, maka dapatlah diperkirakan orang macam
apa dia. Dan sebelum Loh Si-hiong menegur, orang itu sudah
mendahului bersuara, logatnya sangat aneh, seperti orang
bicara dengan penjet hidung, bahkan apa yang dikatakan
sukar dimengerti, entah bahasa daerah mana yang
diucapkannya Hanya kalimat yang diucapkan seperti berbunyi:
"Klen, kur-kucihap!" dan entah apa artinya?"
"Siapa kau!" bentak Loh Si-hiong.
Kembali orang itu mengulangi ucapannya yang tidak
dike?tahui artinya itu.
"Kau bilang apa" Aku tidak paham!'' sahut Loh Si-hiong.
Mendadak penjara, yang gelap gulita itu menjadi terang
benderang. Kiranya keempat pilar itu terbuat dari batu kristal
yang bening tembus, ditengahnya kosong sehingga mirip
semprong raksasa, ditengahnya dinyalakan lilin yang besar.
Pada saat di dalam rumah mendadak terang benderang,
orang itu lantas berseru pula sambil menuding Loh Si-hiong:
"Aku bilang, kau adalah mata-mata musuh!" Sekali ini katakatanya
itu diucapkan dalam bahasa ibukota yang tulen.
Dalam keadaan demikian, bila orang lain pasti akan
terperanjat. Namun sikap yang diperlihatkan oleh Loh Si-hiong
ternyata kemarahan belaka, sama sekali tiada tanda-tanda
terkejut. Padahal sikap marah itu sebenarnya juga cuma
buatan belaka, cuma saja caranya sangat wajar dan mirip
sekali, biarpun orang paling teliti juga sukar mengetahui
kepalsuannya. Begitulah dibawah aling-aling kemarahan yang
diperlihatkan itu, dengan tenang Loh Si-hiong mengamatamati
orang itu. Ternyata tinggi orang itu tidak lebih dari satu setengah
meter, tapi mempunyai suatu kepala yang amat besar, sama
sekali tidak seimbang dengan badannya. Malahan rambutnya
kusut masai seperti alang-alang kering, mukanya kaku tanpa
perasaan sehingga membuat siapa saja yang melihatnya akan
merasa seram. Dengan suara keras Loh Si-hiong lantas berteriak:
"Berdasarkan apa kau menuduh aku sebagai mata-mata
musuh" Marilah kita pergi mengadu kepada Ong-ya."
"Hm, mengadu apa"' jengek orang itu. "Justru Ong-ya yang
memerintahkan aku kesini untuk menangkap kau, sebab Ongya
sudah tahu kau adalah agen rahasia musuh."
"Kau mengaco-belo, aku tidak percaya," sahut Si-hiong.
"Ha..ha..ha, kau tidak percaya" Apakah kau masih
bermimpi muluk-muluk tentang kedudukanmu yang agung
kelak" Coba kau pikir sendiri, kau adalah orang yang dikirim
oleh Tan-goanswe, jika bukan karena Ong-ya sudah
mengetahui kau adalah mata-mata musuh, mengapa kau
dipenjarakan disini?"
"Hm, apakah kau datang kesini benar-benar atas perintah
Ong-ya?" jengek Loh Si-hiong.
"Sudah tentu! Kalau tidak cara bagaimana aku mampu
masuk kesini"''
"Baik, jika demikian bolehlah kau meringkus aku saja,
kenapa mesti banyak cincong pula?"
"Jadi kau sudah mengaku dirimu adalah agen rahasia
musuh"'' "Siapa, bilang aku sudah mengaku" Asal diriku suci bersih,
kenapa aku mesti takut difitnah orang" Hayolah, sekarang
juga kita pergi menemui Ong-ya agar aku dapat mohon
penjelasan kepada beliau."
Tiba-tiba orang itu menghela napas dan menggerutu: "Ai,
tolol! Sungguh tolol! Apakah kau sangka, dapat mengelabui
orang dengan begini saja" Ong-ya sudah memegang buktibukti
yang nyata dan telah mengetahui asal-usulmu dengan
jelas. Tidak menjadi soal jika kau sendiri yang mati, tapi
urusan besar akan menjadi runyam."
"Siapa kau sebenarnya?" bentak Loh Si-hiong mendadak.
"Sssst, jangan keras-keras!" tiba-tiba orang itu mendesis
sambil goyang-goyang tangannya, "Kau jangan takut. Aku
sengaja datang untuk menolong kau!"
"Sesungguhnya kau siapa" Aku tidak perlu ditolong
olehmu." "Dihadapan dewa tidak perlu berdusta. Sampai kini
masakah kau masih berlagak pilon padaku?" ujar orang itu.
"Aku serupa dengan kau, sama-sama datang dari Kang-lam.
Kau telah berhasil menyusup ke dalam markas besar Tangoanswe
dan menjadi perwira bawahannya, aku sendiri
berhasil nyelundup ke dalam istana Ong-ya, dan menjadi
pengawalnya. Sekarang kau sudah jelas belum?"
"O, jadi kau adalah agen rahasia dari Lim-an (ibukota
kerajaan Song)," kata Loh Si-hiong,
"Ah, sama-sama, setali-tiga-uang," sahut orang itu tertawa,
"Untung malam ini aku yang disuruh kemari, kalau tidak tentu
kepalamu sudah berpisah dengan tubuhmu. Sudahlah, jangan
omong kosong lagi, lekas kau lari saja."
"Baik!" kata Loh Si-hiong sambil mendekati orang itu. Tapi
mendadak jarinya terus menjojoh, Thay-yang-hiat dipelipis
orang itu lantas ditutuknya.
Karena sama sekali tidak menyangka, ketika cepat berkelit,
namun tidak urung dahi orang itupun sudah tertutuk. "Tjret'',
tapi Loh Si-hiang merasa jarinya seperti menutuk diatas kulit
busuk, seakan-akan bukan tubuh manusia.
"Tangkap mata-mata musuh!" demikian Loh Si-hiong malah
berteriak-teriak.
Kepandaian orang itu ternyata sangat lihay sekali
melangkah ke samping, cepat ia membalas, memotong
pergelangan tangan Loh Si-hiong.
Sambil menghindar, secepat kilat Loh Si-hiong lantas
melolos pedang, "sret", kontan ia menusuk.
Gerakan orang itu memang sangat lincah dan gesit, waktu
tusukan Loh Si-hiong dilontarkan, tahu-tahu orang itupun
sudah mencabut goloknya. "Trang", golok membentur pedang
sehingga lelatu meletik.
Secepat kilat Loh Si-hiong lantas menusuk pula ke ulu hati
lawan dalam jurus "pelangi menembus cahaya matahari". Tak
terduga tusukannya telah mengenai tempat kosong, orang itu
tahu-tahu sudah melingkar kebelakangnya, goloknya lantas
membacok kepundaknya.
Tanpa menoleh Loh Si-hiong memutar pedang ke belakang
untuk menangkis, selagi ia hendak mengerahkan tenaga
dalam untuk menggetar jatuh senjata musuh, namun lebih
dulu orang itu sudah menarik kembali goloknya, dengan jurus
"menyapu bersih seribu perajurit", kembali goloknya
berkelebat dan membabat kedua kaki Loh Si-hiong.
Lekas-lekas Si-hiong melompat keatas. Walaupun dapat
menghindar, tapi tidak urung Loh Si-hiong terkesiap juga dan
harus mengakui kepandaian lawan yang tidak lemah dan tidak
boleh dipandang enteng itu.
Begitulah pertarungan mereka makin lama makin sengit.
Ilmu golok orang itu ternyata sangat aneh. Meski Loh Si-hiong
sudah mengeluarkan segenap kepandaiannya toh masih selalu
terdesak. Sekaligus orang itu telah melancarkan tigapuluh enam kali
serangan, goloknya berputar cepat laksana kilat, serangan
membadai itu membuat Loh Si-hiong berulang-ulang main
mundur dan tampaknya akan segera terdesak sampai di pojok
dinding. "Kena!" sekonyong-konyong Loh Si-hiong menggertak satu
kali, "sret", ujung pedangnya telah menusuk sobek kulit muka
musuh. 2. Rahasia Patung Tembaga
Rupanya Loh Si-hiong telah menggunakan tipu pancingan,
ia sengaja mengalah supaja pihak musuh merasa unggul, tapi
pada suatu kesempatan yang lain ia lantas balas menyerang
dengan ilmu pedangnya yang lihay dan dengan gerakan yang
amat cepat pedangnya telah merobek "kulit muka" lawan,
menjusul segera ia bermaksud menutuk Hiat-to untuk
merobohkannya. Diluar dugaan, disamping mereka masih ada seorang pula
yang bertindak lebih cepat daripada Loh Si-hiong, ketika ujung
pedang Loh Si-hiong sudah hampir menusuk di tempat Hiat-to
yang diincar, mendadak terdengar "tring" satu kali, tangan
Loh Si-hiong terasa kesemutan, pedangnya terpental jatuh
terbentur sambitan senjata rahasia seseorang.
Ternyata senjata rahasia yang digunakan penyambit itu
tidak lebih hanya sebatang jarum Bwe-hoa-ciam saja.
Jarum adalah senjata rahasia yang punya bobot paling
ringan, tapi benda sekecil itu ternyata bisa menimpuk jatuh
pedang yang terpegang ditangan Loh Si-hiong, hal ini
sungguh-sungguh sukar dibayangkan. Bahkan lebih dari itu,
ilmu silat orang yang belum kelihatan itu pasti lebih-lebih
sukar di ukur, sebab di dalam kamar penjara itu hanya
terdapat Loh Si-hiong serta orang aneh yang berkepala besar
itu, jadi sudah pasti penyambit jarum itu masih berada di luar
kamar. Padahal sekeliling kamar batu itu hanya dinding belaka
tiada terdapat jendela atau lubang lain, pastilah jarum kecil itu
disambit masuk melalui sebuah lubang yang amat kecil.
Tapi yang membuat kejut Loh Si-hiong tidak melulu karena
pedangnya tertimpuk jatuh oleh jarum kecil itu, masih ada
pula sesuatu yang dirasakannya sebagai hal yang luar biasa.
Sesudah "kulit muka" orang berkepala besar itu tertusuk
robek, mendadak orang itu lantas mengeletek kulit mukanya
yang lebih mirip sebuah selubung kepala, maka tertampaklah
rambut yang panjang terurai dan sepasang alis yang lentik
menaungi sepasang mata yang celi, nyata sekali yang
berhadapan dengan Loh-Si-hiong sekarang ternyata adalah
seorang nona yang amat cantik yang tadinya memakai kedok.
Memang sedari semula Loh Si-hiong sudah menduga
lawannya pasti memakai kedok, hanya tidak disangkanya
bahwa orang itu adalah seorang wanita, bahkan adalah nona
sangat cantik yang selamanya belum pernah dilihatnya.
Begitulah, pada saat si nona membuka kedoknya sendiri,
segera pintu kamar batu itupun didorong dan masuklah
seorang sambil bergelak tertawa: "Ha..ha, ujian babak terakhir
sekarangpun sudah selesai!"
Siapakah orang yang melangkah masuk dengan bergelak
tertawa itu" Ternyata bukan lain daripada tuan rumah,
panglima pasukan pengawal kerajaan Wanyen Tiang-ci
adanya. Baru sekarang Loh Si-hiong sadar bahwa apa yang
dialaminya tadi tak lain tak bukan adalah ujian ketiga atau
terakhir yang telah sengaja diatur oleh Wanyen Tiang-ci.
Diam-diam ia bersyukur dan merasa beruntung atas
ketabahan hatinya tadi, kalau tidak tentu rahasianya
sendiripun sudah terbongkar. "Semoga selanjutnya takkan ada
percobaan-percobaan yang aneh-aneh lagi, kalau tidak, tentu
tugasku bisa runyam," demikian pikirnya.
Sudah tentu, akan ada percobaan lagi atau tidak hanya
Wanyen Tiang-ci saja yang bisa memberi jawaban tepat.
Melihat wajahnya yang berseri-seri, jelas sekali ia merasa
sangat puas terhadap hasil ujian Loh Si-hiong tadi. "Mungkin
dia takkan mengadakan percobaan-percobaan sulit padaku
lagi," demikian Loh Si-hiong membatin pula.
"Ha..ha..ha, sesudah berkelahi, sekarang kalian harus
berkenalan," demikian Wanyen Tiang-ci berkata. "Mari
kuperkenalkan kalian. Dia adalah perwira muda kepercayaan
Tan-goanswe, namanya Loh Si-hiong. Dan ini adalah puteriku,
namanya Hui-hong."
Si-hiong terkejut, cepat-cepat ia menanggapi: "Wah,
hamba tidak tahu adalah tuan puteri adanya sehingga berlaku
kasar kepada Keke (sebutan puteri bangsawan negeri Kim),
harap Ong-ya sudi memberi ampun."
Walaupun begitu omongnya, tapi diam-diam Loh Si-hiong
rada ragu-ragu, sebab menurut keterangan Tan-goanswe,
katanya Wanyen Tiang-ci hanya punya seorang anak laki-laki
dan tidak punya anak perempuan. Apakah mungkin Tangoanswe
tidak tahu jelas keadaan keluarga pangeran ini atau
jangan-jangan Hui-hong Keke ini adalah ..............
Rupanya Wanyen Tiang-ci dapat melihat rasa sangsi Loh Sihiong
itu, segera ia menerangkan: "Meski Hui-hong adalah
puteri-angkatku, tapi aku paling sayang padanya. Ilmu silatnya
adalah ajaranku sendiri. Bagaimana, lumayan bukan?"
Baru sekarang Si-hiong paham duduknya perkara:
"Benarlah kalau begitu. Kiranya nona ini adalah 'Ciongthian
?hong' (cenderawasih terbang dilangit) yang tersohor
itu, ternyata memang tidak bernama kosong!"
Kiranya Wanyen Tiang-ci mempunyai seorang punggawa
pribadi yang she Tokko, selama hidupnya sangat setia kepada
majikannya itu dan telah banyak mendampingi Wanyen Tiangci
di medan perang. Pada suatu peperangan dengan kerajaan
Musuh Dalam Selimut Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Song selatan pengawai pribadi she Tokko itu telah gugur dan
meninggalkan seorang puteri yang masih kecil. Puteri itu
kemudian diambil dan dibesarkan oleh Wanyen Tiang-ci.
Ilmu silat Tokko Hui-hong sangat tinggi, lincah dan cerdik
pula sehingga sangat disayang dan dipercayai oleh Wanyen
Tiang-ci. Tidak hanya urusan-urusan rumah tangga sang
pangeran saja yang dipasrahkan kepada puteri angkatnya itu,
bahkan banyak urusan dinas, persoalan kenegaraan yang
penting sering-sering Wanyen Tiang-ci juga ajak berunding
dan minta pendapat Tokko Hui-hong.
Hui-hong sudah biasa hidup bebas dan suka naik kuda
menyelajahi seluruh wilayah ibukota. Sering juga ia diganggu
oleh pemuda-pemuda bangor yang tidak kenal asal-usulnya,
tapi akibatnya pemuda-pemuda bangor itu mendapat hajaran
setengah mati. Setelah peristiwa demikian terjadi beberapa
kali, akhirnya setiap penduduk ibukota lantas kenal Hui-hong
adanya dan tiada seorangpun yang berani lagi main gila
padanya. Begitulah maka Tokko Hui-hong telah mendapat julukan
"Ciong-thian-hong" dari penduduk ibukota untuk
ketangkasannya. Nama julukan ini baru dikenal Loh Si-hiong
setibanya di kotaraja. Maka sekarang setelah mengetahui
siapa si nona, Si-hiong tidak berani lagi, cepat ia memberi
hormat: "Ilmu silat Keke benar-benar sangat lihay, sungguh
hamba sangat kagum."
Tokko Hui-hong hanya mendengus saja acuh tak acuh
tampaknya. Dengan tertawa Wanyen Tiang-ci berkata: "Anak Hong,
meski kau kalah satu jurus, tapi tidak berarti kau kehilangan
muka. Kau tidak tahu bahwa delapanbelas jago pilihan kitapun
dikalahkan olehnya. Nah, tentunya kaupun merasa kagum
terhadap kepandaiannya bukan"''
"Benar," sahut Hui-hong sambil menjengkitkan mulutnya
yang kecil, "jurus serangannya tadi memang boleh juga. Tapi
tindakan ayah tadi yang tidak betul."
Wanyen Tiang-ci melengak, ia merasa ucapan puteri
angkatnya itu rada aneh, apakah maksudnya mengomel atau
menganggap rencana yang telah diaturnya itu tak tepat" Ia
pikir nanti perlu ditanyakan lebih jelas kepada si nona. Segera
dengan tertawa ia berkata: "Ya, memang jarum yang
kusambitkan tadi rada kasip sedikit sehingga kau hampir
tercidera. Maklumlah, selama beberapa tahun terakhir ini aku
kurang berlatih, rasanya kepandaianku telah banyak mundur."
Lalu ia berpaling kepada Loh Si-hiong dan berkata pula:
"Kepandaianmu ternyata lebih tinggi daripada perkiraanku
semula. Tadinya kusangka akan dapat menimpuk jatuh
pedangmu, siapa duga seranganmu sedemikian cepatnya
sehingga anak Hong hampir-hampir terluka. Tapi untung juga
kau tidak sampai melukainya, kalau tidak, he..he, mungkin
jarumku juga akan kutimpukkan dengan cara lain."
Si-hiong terkesiap dan membatin: "Baiknya aku telah pakai
perhitungan dan tahu si nona memakai kedok, tujuanku hanya
ingin menyingkap kedoknya untuk melihat wajah aslinya saja
dan sama sekali tidak bermaksud melukai dia. Kalau tidak
tentu urusanku bisa runyam dan rencanaku bisa gagal total."
Walaupun didalam hati merasa was-was, namun lahirnya
Si-hiong berlaku tenang saja dan berkata: "Kepandaian
menimpuk jarum Ong-ya benar-benar sudah maha sempurna,
dibandingkan kepandaianku yang mirip cakar ayam sungguh
hamba boleh dikata tidak ada artinya lagi."
"Kaupun tidak perlu merendah hati," ujar Wanyen Tiang-ci.
"Asal kau giat berlatih, tidak sampai sepuluh tahun tentu kau
akan melampui aku. Cuma saja aku masih ada suatu
persoalan yang hendak kutanyakan padamu."
"Silakan Ong-ya tanya," sahut Si-hiong dengan hormat.
Dengan wajah serius Wanyen Tiang-ci berkata: "Dalam
keadaan tadi, anak Hong telah mengatakan dia adalah matamata
musuh Song, mengapa kau lantas hendak
membunuhnya" Apa barangkali kau sudah tahu dia berdusta
dan kenal siapa dia?"
Dengan sangat hati-hati dan hormat Loh Si-hiong
menjawab: "Hamba benar-benar tidak tahu. Cuma menurut
pendapat hamba, segala sesuatu yang terjadi di tengah istana,
tak peduli menyangkut siapa, adalah seharusnya dimintakan
keputusan kepada Ong-ya, itulah hamba tidak berani
sembarangan membunuh orang."
"Ehm, tindakanmu sangat tepat," puji Wanyen Tiang-ci
dengan tertawa. "Orang berkepandaian tinggi mudah dicari,
tapi orang yang pandai berpikir dan selalu hati-hati dalam
setiap langkahnya yang sukar dicari. Baiklah, ujianmu yang
terakhir ini hasilnya sangat memuaskan aku. Sekarang aku
akan memberikan tugas kepadamu. Cuma aku masih harus
tanya dulu pendapatmu."
"Asalkan dapat mengabdi dibawah pimpinan Ong-ya, biar
pun terjun ke lautan apipun hamba siap sedia,'' sahut Loh Sihiong.
Tiba-tiba Hui-hong memberikan hormat kepada ayah
angkatnya dan berkata: "Kalian hendak bicara urusan dinas,
biarlah anak mohon diri saja."
Setelah Tokko Hui-hong pergi perlahan-lahan Wanyen
Tiang-ci bicara pula: "Apakah kau mengira aku akan memberi
tugas berat kepadamu. Ucapanmu tadi sebenarnya salah. Aku
tidak perlu kau terjun ke lautan api segala. Sebab pada
hakikatnya aku tidak akan memberi tugas padamu untuk pergi
ke medan perang."
Si-hiong melengak. Sahutnya kemudian: "Terserah kepada
perintah Ong-ya, segala pekerjaan pasti, akan hamba lakukan
dengan baik."
"Sebenarnya dengan ilmu silat yang kau miliki sekarang
seharusnya kau menjabat sesuatu tugas kemeliteran, tapi
sekarang tugas yang akan kuberikan justru memerlukan
ketekunan seperti kaum pelajar yang asyik bersekolah di
dalam kamar, setiap hari kau harus menutup diri di dalam
rumah dan mungkin selama hidupmu akan kau lewatkan
secara demikian, segala nama, pangkat dan kemewahan
takkan kau rasakan pula. Apakah kau siap menerima tugas
demikian?"
"Hamba hanya tahu mengabdi bagi Ong-ya, asal Ong-ya
memberi perintah setiap saat hamba siap melaksanakannya."
"Bagus. Jika demikian, sekarang juga aku dapat
memberitahukan apa yang harus kau kerjakan. Aku ingin
tanya dulu padamu, apakah kau tahu benda apa "Hiat-totongjin" (boneka atau patung tembaga berlukiskan Hiat-to)"
Sebab tugasmu ini harus dimulai dari pengenalan patung
tembaga ini."
"Hamba tidak tahu tentang patung demikian itu."
"Apakah gurumu juga tidak pernah bercerita padamu?"
tanya Wanyen Tiang-ci pula dengan rada heran.
"Tidak pernah."
Wanyen Tiang-ci manggut-manggut, ternyata gurumu
dapat tutup mulut sedemikian rapatnya. Biar kuberitahu
sekarang juga, Hiat-to-tong-jin itu adalah pusaka negara
Tiongkok".
"Hah, pusaka negara Tiongkok?" Si-hiong menegas. "Lalu
apa manfaatnya bagi kita?"
"Manfaatnya sangat besar," sahut Wanyen Tiang-ci sambil
tersenyum. "Patung tembaga kita. Dahulu, belasan tahun yang
lalu waktu kita menyerbu kesana, ke kotaraja Song, kita telah
dapat menawan dua raja mereka, yaitu raja Wi dan Gim,
lantaran itu kerajaan Song terpaksa mengungsi ke daerah
selatan. Soal kita dapat melawan kedua raja musuh itu adalah
tidak mengherankan, yang paling berharga adalah Hiat-totongjin yang kita rampas itu."
"Dimanakah letak manfaat patung tembaga itu?" tanya Sihiong.
"Diatas badan patung tembaga itu terukir titik-titik Hiat-to
secara sangat terperinci, urat-nadinya terlukis sangat terang,
setiap kitab ilmu silat atau ilmu pertabiban yang menyangkut
pelajaran Hiat-to tiada yang lebih jelas terang daripada patung
tembaga ini. Maka dari itu siapa saja, apakah dia tabib sakti
atau maha guru ilmu silat, yang diharap-harapkan tentu juga
dapat melihat bentuk asli patung tembaga ini."
Terhadap ilmu silat dan ilmu pertabiban Loh Si-hiong
memang telah pernah mempelajarinya secara mendalam,
maka sekali dengar saja segera paham. Ia mengangguk dan
berkata: "Jika demikian patung itu benar-benar benda mestika
yang tiada bandingannya di dunia."
Wanyen Tiang-ci memandang Loh Si-hiong sekejap, lalu
berkata pula: "Gurumu adalah tabib nomor satu dari negeri
kita, gurumu yang kedua juga ahli silat terkemuka. Kabarnya
Taysuhumu (gurumu yang pertama) sangat ahli dalam hal
Ciam-kiu (pengobatan dengan tusuk jarum, akupuntur). Maka
terhadap Hiat-to tentunya kaupun sudah mempelajarinya
dengan baik?"
"Menurut ilmu pertabiban yang telah kupelajari tentang
urat-nadi dan Hiat-to ditubuh manusia adalah sangat ruwet
dan macam-macam bentuknya. Ada 12 Keng-meh, ada 15
Keng-loh, ada pula yang disebut titik-titik Hiat-to tersembunyi
yang disebut Ki-keng-pat-meh di dalam isi perut. Taysuhuku
pernah berkata padaku bahwa apa yang telah dipahami beliau
tentang Hiat-to tidak lebih hanya tiga atau empat persepuluh
bagian saja. Sedangkan kepandaian Suhu yang diajarkan
kepadaku juga cuma satu-dua bagiannya saja, sebab itulah
sesungguhnya aku belum dapat dikatakan mempelajari
tentang Hiat-to segala."
"Ah, kau terlalu rendah hati," kata Wanyen Tiang-ci
tersenyum. "Sesungguhnya keajaiban urat nadi dan titik-titik
Hiat-to di tubuh manusia memang terlalu mendalam dan
sampai sekarang belum terpecahkan secara ilmiah. Tentang
patung tembaga itu kita sudah pernah mengundang puluhan,
bahkan ratusan ahli-ahli silat serta tabib-tabib kelas tinggi di
seluruh negera untuk mempelajarinya bersama selama
sepuluh tahun, tapi sampai kini rahasianya masih tetap belum
dipecahkan."
Sampai disini Wanyen Tiang-ci berhenti sejenak, kemudian
melanjutkan pula: "Sebab itulah aku sebenarnya ada suatu
pertanyaan yang belum terjawab. Bahwasanya Hiat-to-tong-jin
itu adalah benda mestika yang sangat diingini oleh ahli silat
dan tabib sakti manapun juga, walaupun hanya dapat
melihatnya saja, lantaran itu orang yang aku undang tiada
satupun yang tidak hadir dengan penuh minat, tapi hanya ada
satu orang saja yang terkecuali, orang itu bukan lain adalah
Taysuhumu."
"Taysuhu sendiri" tidak pernah bicara tentang hal ini
kepadaku, maka hambapun tidak tahu duduknya perkara,"
sahut Si-hiong. "Tapi menurut sepanjang tahuku, sejak
sepuluh tahun yang lalu Taysuhu menderita penyakit yang tak
tersembuhkan, berkat kepandaian beliau dalam hal ilmu
pengobatan barulah beliau dapat bertahan sampai saat ini.
Maka beliau selama ini tidak pernah menggunakan otak lagi,
yang dia lakukan hanya mengajarkan apa yang telah beliau
pahami dan tidak mau peras otak untuk memikirkan urusan
lain." "O, kiranya demikian, pantas dia telah mau melepaskan
kesempatan yang bagus untuk melihat benda mestika yang
sukar dicari ini," ujar Wanyen Tiang-ci. "Tapi kau jangan salah
paham, sekali-kali aku tidak punya prasangka apa-apa kepada
Taysuhumu, kalau tidak, tentu akupun takkan menerima kau
atas usul Tan-goanswe. Aku hanya sekadar ingin tahu apa
sebabnya Taysuhumu tidak ikut hadir ke sini."
"Hamba paham, atas kebijaksanaan Ong-ya sungguh
hamba sangat berterima kasih," sahut Si-hiong.
"Tapi Taysuhumu hanya mengetahui adanya sebuah
patung tembaga mestika, padahal masih ada suatu benda
mestika lain yang tak diketahui olehnya. Mestika ini ada
sangkut-paut yang erat dengan patung tembaga, biarlah
kuceritakan pula kepadamu. Benda ini adalah mestika kedua
dari kerajaan Song, bicara tentang nilainya boleh dikata tidak
dibawah patung tembaga itu, malahan benda ini mempunyai
suatu cerita tersendiri dalam sejarah.
"Kau sendiri pernah ikut berperang dengan kerajaan Song,
tentu kaupun cukup tahu sedikit banyak sejarah kerajaan
musuh kita itu. Tio Khong-in, itu raja cakal bakal dinasti Song,
bagaimana asal usulnya, apakah kau tahu?"
Pertanyaan ini rada diluar dugaan Loh Si-hiong, dengan
sangat hati-hati ia menjawab: "Kabarnya raja Song yang
sekarang, Tio Ko, adalah seorang penguasa yang lalim tapi
lemah. Adapun mengenai raja cikal bakal mereka, karena
termasuk sejarah lama, hamba tidak banyak mempelajarinya."
"Tapi sedikit banyak tentupun tahu bukan?"
"Ya, konon Tio Khong-in adalah seorang panglima perang
yang mahir. Waktu pasukannya berpangkalan di Hong-kiu,
anak buahnya telah mengadakan pemberontakan kepada
kerajaan Ciu, lalu mendukung Tio Khong-in sebagai raja
dengan sebutan Song. Konon Tio Khong-in adalah seorang
ahli militer yang lihay."
"Memang, Tio Khong-in bukan saja seorang ahli
kemiliteran, bahkan dia adalah seorang jago silat yang ahli."
"O, kiranya demikian. Hal ini hamba tidak tahu," kata Sihiong.
"Di dalam pasukan kalian, apakah 'Thay-co-kun' dan 'Jisengpang' cukup populer?" tanya Wanyen Tiang-ci.
"Ya, memang sangat banyak perajurit yang mempelajari
kedua macam kepandaian itu. Cuma menurut pendapatku,
kepandaian itupun tidak lebih daripada ilmu pukulan dan
permainan toya yang umum."
"Ah, soalnya karena orang yang mempelajarinya tidak
memperoleh didikan murni dari kedua macam kepandaian itu,"
ujar Wanyen Tiang-ci. "Sesungguhnya ilmu pukulan dan ilmu
permainan toya itu sangat hebat. Tapi yang ingin kubicarakan
bukanlah tentang ilmu pukulan dan permainan toyanya, tapi
adalah asal-usul kedua macam ilmu silat itu. Apakah kau
sudah tahu?"
"Pengetahuan hamba terlalu dangkal, mohon Ong-ya
memberi petunjuk," sahut Loh Si-hiong.
"Seperti diketahui, sebagai cakal-bakal kerajaan Song,
maka Tio Khong-in memakai sebutan 'Song-thay-co'. Jadi
'Thay-co-kun-hoat' (ilmu pukulan Song-thay-co) itu adalah
ilmu pukulan andalan Tio Khong-in ketika dia malangmelintang
di dunia Kangouw sebelum menjadi panglima
perang. Adapun 'Ji-seng-pang' (permainan toya dwi agung),
nama ini diperoleh karena selain Tio Khong-in juga termasuk
pula adiknya Tio Khong-in yang bernama Tio Khong-gi.
Musuh Dalam Selimut Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mereka berdua sama-sama mahir main toya. Tio Khong-gi
kemudian naik tahta menggantikan Tio Khong-in dengan
sebutan Song-thay cong, sebab itulah dia dan Tio Khong-in
disebut sebagai "Ji-seng' (dwi agung).
"Asal-usul Tio Khong-in adalah dari keluarga rakyat jelata
yang miskin, masa mudanya sudah luas menjelajahi Kangouw,
kemudian menjadi orang militer dan lambat laun menjadi
panglima raja Ciu. Kepandaian Tio Khong-?gi adalah ajaran
Tio Khong-in, tapi otak Tio Khong-gi memang cerdik, dalam
ilmu permainan toyanya mempunyai caranya sendiri yang
khas, mereka berdua saudaralah yang telah menciptakan 'Jisengpang-hoat' yang terkenal itu."
"Kiranya demikian asal-usulnya," kata Loh Si-hiong. "Jika
begitu, jadi kepandaian yang dipelajari perajurit-perajurit kita
berasal dari orang Han dan sampai sekarang kita masih
mempertahankan nama aslinya. Hal ini bukanlan rada-rada
janggal?" Hal ini tidak menjadi soal dan tidak perlu dibuat sirikan,"
ujar Wanyen Tiang-ci tertawa. "Tio Khong-in memangnya
adalah Song-thay-co. Apa halangannya kalau perajurit kita
mempelajari kepandaian ajarannya serta tetap menggunakan
nama aslinya" Yang penting, asalkan kita mahir mempelajari
kepandaian musuh untuk mengalahkan musuh, inilah titik
pokoknya yang harus dipegang teguh."
"Benar, memang pandangan Ong-ya jauh lebih luas,
sungguh hamba amat kagum," sahut Si-hiong.
"Sekarang marilah kita bicara tentang persoalan pokok,"
kata Wanyen Tiang-ci lebih lanjut. "Tio Khong-in tidak hanya
mahir ilmu pukulan dan main toya saja, bahkan Lwekangnya
juga mempunyai keyakinan yang mendalam. Senjata
berhubungan erat dengan kepandaian Lwekang, hal ini tentu
kau sudah paham."
"Ya, memang demikian halnya. Jika tidak beralaskan
Lwekang, senjata apapun takkan memancarkan daya
tempurnya yang hebat."
"Dan harus diketahui bahwa ilmu silat Tio Khong-in itu
diperoleh dari ajaran orang kosen dari Hoa-san yang bernama
Tan Hu yang biasanya dipandang sebagai dewata oleh bangsa
Han. Menurut ceritanya, katanya pada masa sebelum jayanya
Tio Khong-in, dia telah main catur bersama Tan Hu dipuncak
Hoa-san, anehnya yang dibuat taruhan adalah gunung Hoa
itu. Akhirnya Tio Khong-in kalah dan mengakui hak Tan Hu
atas gunung itu. Main catur bukanlah soalnya yang pokok,
yang benar Tan Hu telah mengajarkan ilmu silatnya kepada
Tio Khong-in pada kesempatan itu. Tan Hu telah menulis
pengetahuan Lwekangnya di dalam satu buku 'Ci-goan-bian'
yang disertakan didalam kitab ajaran ilmu pukulan, semuanya
itu telah diturunkan kepada Tio Khong-in."
"Jika demikian, bila Tio Khong-in tidak jadi raja tentu akan
menjadi seorang maha guru ilmu silat kelas satu," ujar Sihiong
dengan tertawa. "Tapi mengapa kerajaan Song
sedemikian lemah dan bobrok" Sampai kini bukan saja tak
bisa memadai kerajaan Kim kita, bahkan dibandingkan orang
Mongol saja juga kalah kuat."
"Soalnya Tio Khong-in terlalu mementingkan diri
pribadinya," kata Wanyen Tiang-ci. "Sesudah menjadi raja,
disangkanya seluruh negeri sudah aman sentausa, ia telah
menerima usul perdana menteri Tio Bok, kekuasaan militer
para panglima perangnya satu per satu dilucuti dan lebih
mengutamakan pemerintahan sipil. Sejak itu negeri,
dinyatakan kembali pada keadaan normal, tapi sesungguhnya
malah banyak melahirkan pembesar-pembesar korup yang
tahunya cuma cari pangkat dan mengumpulkan harta.
Sesudah Song-thay-cong Tio Kong-gi keadaan semakin
runyam lagi, satu turunan lebih buruk daripada turunan yang
lain, yang dipikirkan hanya kenikmatan hidup sebagai
penguasa dan tidak pernah berlatih silat pula. Adapun
mengenai kitab ajaran ilmu silat dan Lwekang berasal dari Tan
Hu itu hanya tersimpan di dalam keraton saja tanpa guna."
"Apakah yang Ong-ya maksudkan sebagai benda mestika
kedua selain Hiat-to-tong-jin itu adalah Kun-keng-sim-hoat
(kitab-kitab ajaran silat dan Lwekang) ciptaan Tan Hu itu"
tanya Si-hiong.
"Benar," sahut Wanyen Tiang-ci, "Dahulu, ketika pasukan
Kim kita membobolkan ibukota kerajaan Song, kita telah
angkut semua benda mestika keraton Song ke Tay-toh
(ibukota, Peking sekarang) sini. Di antara benda-benda
mestika itu juga terdapat Hiat-to-tong-jin serta kitab-kitab
pelajaran hasil karya Tan Hu itu."
"Semua benda pusaka kerajaan Song telah berada di negeri
kita, sungguh suatu anugerah dan kebahagiaan Kim raya kita,"
puji Si-hiong. "Tapi sayang, ilmu ajaran Tan Hu itu juga teramat
mendalam sehingga sampai saat ini kita masih belum dapat
memahaminya," kata Wanyen Tiang-ci lebih jauh. Setelah
memandang Loh Si-hiong sekejap, lalu sambungnya: "Maka
sekarang aku ingin minta bantuanmu."
"Ah, ucapan Ong-ya teramat jauh, silakan Ong-ya memberi
perintah saja," sahut Si-hiong gugup.
"Begini soalnya. Setelah Sri Baginda memperoleh kedua
benda pusaka itu, beliau telah mengadakan suatu lembaga
penyelidikan khusus dan mengundang semua orang pandai di
seluruh negeri untuk mempelajari rahasia Hiat-to di tubuh
patung tembaga serta intisari Lwekang ajaran Tan Hu itu.
Akulah yang ditugaskan memimpin lembaga penyelidikan itu.
Sekarang akupun mengundang kau ikut masuk sebagai
anggota lembaga itu. Boleh jadi urusan ini akan sangat
berguna bagi hari depanmu kelak. Apakah kau mau?"
"Demi kepentingan negara, dan untuk mengabdi kepada
Ong-ya, masakah hamba berani menolak" Soalnya hamba
kuatir pengetahuan hamba terlalu cetek dan mungkin sekali
akan mengecewakan harapan Ong-ya."
"Kau tidak perlu sungkan-sungkan," kata Wanyen Tiang-ci.
"Ada tiga syarat yang telah kau penuhi, makanya aku telah
penujui kau. Pertama kau adalah murid kesayangan tabib sakti
Tek Jong-hu, tabib istana juga memuji akan kepandaianmu.
Kedua, peyakinan ilmu silatmu juga sudah cukup hebat, yang
terang tiada seorang perwiraku yang mampu menandingi kau.
Hanya orang yang sudah memiliki dasar yang kuat barulah
dapat mempelajari ilmu sakti ajaran Tan Hu itu, malahan
untuk mempelajari isi Hiat-to-tong-jin itu diperlukan orang
yang selain paham ilmu silat yang tinggi juga perlu
pengetahuan ilmu pertabiban yang luas. Dalam hal ini kau
telah memenuhi syarat kedua-duanya, dengan sendirinya kau
adalah calon yang paling cocok. Ketiga, kau adalah bangsa
Kim, orang kepercayaan Tan-goanswe pula, maka aku dapat
menerima. Kau Harus diketahui, jika kau bukan orang Kim dan
cuma memenuhi kedua syarat saja masih belum dapat
diterima olehku."
"Apakah di dalam lembaga penyelidikan itu tiada terdapat
anggota bangsa Han?" tanya Si-hiong.
3. Orang Sinting Di Tempat Penyelidikan.
"Dahulu pernah ada, tapi kemudian telah terjadi suatu
kekacauan, sejak itu orang Han tak bisa dipakai lagi. Kejadian
itu adalah tujuh tahun yang lalu, ketika seorang Han bernama
Liu Goan-cong yang mahir ilmu silat dan pertabiban, karena
namanya sangat tersohor, maka dia telah diundang untuk ikut
menyelidiki rahasia-rahasia pusaka itu."
"Terhadap bangsa Han sebenarnya kita sudah mengadakan
penjagaan dan pengawasan yang ketat, tak terduga pada
suatu malam, di bawah penjagaan jago-jago keraton yang
sedemikian rapatnya dia masih berhasil mencuri kabur
tigabelas helai gambar penjelasan dari patung tembaga itu."
Apa yang diceritakan Wanyen Tiang-ci adalah apa yang
terkenal dengan "peristiwa pencurian pusaka di keraton Kim''.
Waktu Loh Si-hiong masih berkelana di Kangouw juga pernah
mendengar cerita orang, hanya saja kejadian cerita itu tidak
terlalu jelas dan tidak diketahui pusaka apa yang telah dicuri.
Dan baru sekarang ia tahu jelas bahwa yang dicuri Liu Goancong
itu kiranya adalah rahasia mengenai patung tembaga.
Lalu Wanyen Tiang-ci melanjutkan ceritanya: "Waktu itu Liu
Goan-cong telah membunuh delapanbelas jago keraton kita,
tapi dia sendiripun terluka parah. Aku menyangka dia sudah
mati karena luka-lukanya itu, tapi akhir-akhir ini aku mendapat
kabar bahwa dia belum mati, bahkan hidup bebas di daerah
Kanglam." Terhadap "peristiwa pencurian pusaka di keraton Kim itu
rupanya Wanyen Tiang-ci tidak suka banyak cerita pula, maka
sampai disini ia lantas membelokkan pokok pembicaraannya:
"Tapi kejadian demikian untuk selanjutnya dan untuk
selamanya takkan terjadi lagi. Kita sudah mengambil segala
tindakan penjagaan yang sempurna. Dan lantaran itu juga di
dalam lembaga penyelidikan itu telah banyak tambah
peraturan-peraturan dan larangan-larangan, ada beberapa
larangan-larangan yang tentu akan kau rasakan tidak pantas
dan mungkin melanggar prikemanusiaan. Apakah kau sanggup
menerima kemungkinan-kemungkinan itu?"
"Demi untuk menjaga segala kemungkinan, adalah jamak
jika diadakan penjagaan serapinya," sahut Si-hiong. "Hamba
telah bersumpah setia akan berbakti kepada negara dan
mengabdi kepada Ong-ya, terjun ke lautan api saja siap sedia,
apalagi cuma sedikit derita yang tiada artinya itu. Cuma entah
peraturan apakah itu, harap Ong-ya suka memberi penjelasan
agar hamba dapat mentaatinya dengan baik."
"Tentang peraturan-peraturan dan larangan-larangan itu
aku sendiri tidak ingat sebanyak itu, nanti bila kau sudah
berada disana, tentu ada orang akan memberi keterangan
padamu," demikian jawab Wanyen Tiang-ci secara hambar.
''Pengurus harian di dalam lembaga itu adalah ajudanku
bernama Pan Kian-hau, setiap jam dia selalu berada disana.
Sebaliknya aku sendiri tidak tentu, terkadang tiga hari atau
lima hari baru berkunjung ke sana satu kali. Baiklah, karena
kaupun sudah bertekad untuk berbakti kepada negara, maka
hari ini juga kau sudah boleh mulai bekerja. Ini adalah sebuah
medali emas, gunakanlah medali ini sebagai pengenal diri dan
sekali-kali jangan sampai hilang. Medali ini ada orangnya juga
tetap ada, medali hilang orangnya akan binasa. Harap kau
ingat baik-baik pesanku ini."
Waktu Loh Si-hiong menerima medali itu dan dilihatnya,
ternyata diatas medali emas itu terukir potretnya sendiri,
dibawah potret ada tanda angka "124". Diam-diam ia terkejut,
pikirnya: "Kiranya sebelumnya Ong-ya sudah menduga
dengan pasti bahwa aku tentu akan menerima semua
syaratnya dan telah menyiapkan segala sesuatu yang perlu
bagiku. Angka pengenal ini mungkin adalah nomorku sebagai
tanda orang ke-124 yang ikut dalam tugas rahasia ini."
"Sebenarnya bila medali emas ini juga tak berguna bagi
orang lain andaikan orang berhasil mencurinya darimu," kata
Wanyen Tiang-ci dengan tertawa, "tapi bagimu medali ini
sama dengan jimat penyelamat jiwamu. Penjaga-penjaga di
kantor lembaga penyelidikan itu selalu berganti-ganti, jika
ketemukan penjaga yang tidak kenal kau dan kau tidak
sanggup memperlihatkan medali emas, maka kau pasti akan
dibunuh. Sudah tentu, di ruangan sana kaupun tidak boleh
sembarangan bergerak. Tapi nanti bila kau sudah berada
disana, tentu Pan Kian-hau akan menerangkan segala
peraturannya kepadamu. Nah, bolehlah kau berangkat
sekarang."
Ketika Wanyen Tiang-ci membuka pintu kamar penjara itu,
ternyata tembusannya adalah sebuah pintu pojok kebun istana
pangeran itu. Di luar sudah menunggu sebuah kereta kuda,
kusirnya adalah seorang tua yang jenggot dan rambutnya
sudah ubanan semua dan sedang mengantuk di atas kereta.
Wanyen Tiang-ci memberi pesan pula: "Tentang dirimu
sudah kukatakan kepada Pan Kian-hau, setibanya disana tentu
dia akan mengatur segala sesuatu bagimu. Orang ini adalah
khusus menjadi kusirmu, selanjutnya setiap hari dia yang akan
mengantar kau pulang pergi."
Sampai disini kusir tua itu barulah membuka mata dan
menguap ngantuk. Lalu katanya: "Silakan naik, Loh-tayjin."
Dan baru saja Si-hiong hendak melangkah ke atas kereta,
sekonyong-konyong pandangannya menjadi gelap, dengan
kecepatan yang sukar dilukiskan kusir tua itu mendadak
mengerudungi kepala Loh Si-hiong dengan sebuah kantong
kain. Sebagai seorang jago silat, menghadapi serangan
mendadak ini secara otomatis Si-hiong lantas memberi reaksi,
kedua tangannya terpentang hendak menjodok kusir itu, akan
tetapi sudah kasip, tahu-tahu kusir tua itu telah menyekapnya
dengan kencang seperti jepitan besi kuatnya sehingga Sihiong
tak bisa berkutik.
Tiba-tiba terkilas sesuatu pikiran dalam benak Si-hiong,
segera ia tidak melakukan perlawanan lebih jauh. Pada saat
itu juga terdengar Wanyen Tiang-ci telah berkata dengan
tertawa: "Si-hiong, aku telah lupa memberitahukan padamu.
Apa yang terjadi ini termasuk salah satu peraturan bagimu.
Kedua matamu harus ditutup baru diperbolehkan berangkat
kesana." Si-hiong menghela napas lega dan diam-diam bersyukur
dirinya tadi tidak bertindak sembrono. Jika dirinya mau
meronta sekuat tenaga tidaklah mustahil dirinya akan dapat
melepaskan diri dari cengkeraman si kusir, akan tetapi dirinya
apakah dapat lolos dengan selamat tanpa mengalami sesuatu
cidera, inilah yang dirinya tidak yakin. Ternyata kepandaian
kusir tua ini masih di atas delapanbelas jago yang telah
dikalahkan olehnya kemarin, hal ini yang membuat Loh Sihiong
rada-rada prihatin.
Kantong kain itu dengan pas menutup rapat kepalanya dan
dapat dijirat di bagian lehernya. Walaupun tidak kencang dan
masih longgar untuk bernapas, tapi rasanya tidak enak juga.
Si-hiong tahu bahwa kusir tua ini tidak cuma bertugas
mengantar dirinya saja, tentu masih berkewajiban mengawasi
gerak-geriknya. Dengan duduk di dalam kereta, dari perasaan
dan sentuhannya Si-hiong tahu di luar kereta tertutup pula
sehelai tirai. Kusir itu duduk di depan dan membelakanginya,
jika dirinya mau membuka kantong kain itu untuk mengintai
rasanya tidaklah susah. Tapi mengingat tugas si kusir yang
juga mengawasi gerak-geriknya, betapapun Si-hiong tidak
berani sembarangan membuka kantong tutup kepala itu.
Kereta kuda itu dilarikan dengan sangat cepat. Dalam
Musuh Dalam Selimut Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
keadaan kepala dikerudung rapat Si-hiong merasa seakanakan
terapung di udara dan naik di atas awan. Diam-diam ia
heran juga, pikirnya: "Menurut cerita Wanyen katanya Giankengih itu terletak di dalam istana raja. Dari istananya
Wanyen Tiang-ci ke istana raja seharusnya jalannya sangat
lapang, mengapa kereta kuda itu seperti naik turun di tanah
pegunungan" Apakah barangkali tempat Gian-keng-ih telah
dipindah ketempat yang dirahasiakan dan Wanyen Tiang-ci
sengaja tidak memberitahukan padaku."
Ini adalah pengalaman yang misterius yang dialami Sihiong
untuk pertama kalinya selama hidup, dengan sendirinya
perasaannya rada gelisah. Semalam waktu berada di tengah
penjara itu ia merasa dirinya seperti digusur orang ke suatu
tempat yang penuh rahasia dengan mata tertutup untuk
menerima nasib yang belum dapat diramalkan. Sekarang
perasaan demikian itu timbul pula, bahkan lebih hebat. Sebab
keadaannya sekarang bukan lagi "seperti'', tapi benar-benar
kedua matanya telah ditutup orang dan sedang dihantar ke
suatu tempat yang penuh rahasia.
Ditengah renungan Loh Si-hiong yang menggelisahkan itu,
tiba-tiba terdengar si kusir berkata: "Sudah sampai. Kau sudah
boleh membuka kantong itu!"
Waktu Loh Si-hiong melepaskan kerudung kepala itu,
ternyata kereta itu berhenti di depan sebuah gedung yang
megah dengan genting kaca warna hijau dan emas yang
mengkilap, pintu gerbangnya bercat merah tua, dinding pagar
tingginya lima-enam meter, tampaknya mirip sebuah istana,
tapi lebih mirip sebuah benteng kecil. Sekitar pagar tembok
yang tinggi itu penuh pepohonan yang rindang sehingga
cahaya matahari tak tertembus. Kalau dipandang dari jauh
sukar mengetahui bahwa dibalik pepohonan itu terdapat
bangunan semegah itu. Si-hiong merasa bingung, apakah
dirinya sekarang, sudah berada ditengah lingkungan istana"
Demikian ia bertanya-tanya dalam hati.
Terdengar petugas yang berjaga disitu menegur: "Siapa
itu" Apakah orang baru?"
Kusir tua itu lantas menjawab: "Ya, dia adalah Loh Sihiong,
orang yang dipilih sendiri oleh Ong-ya, kemarin itu."
Sesudah penjaga memeriksa medali emas, lalu dia
menyilakan Loh Si-hiong masuk.
"Aku akan kembali lebih dulu, tiba waktunya kau akan
pulang tentu aku akan memapak kemari," kata si kusir.
Setelah Si-hiong memasuki pintu gerbang itu, seorang
perwira telah menyambutnya dan membawanya melalui suatu
serambi panjang. Sampai di depan sebuah kamar, perwira itu
membuka pintu dan, berkata: "Silakan masuk!" tapi dia sendiri
tidak ikut masuk ke dalam.
Dengan rasa was-was Si-hiong masuk ke dalam rumah itu.
Ternyata di dalam sudah menunggu dua orang dayang cantik,
seorang membawa pakaian dan yang lain membawa kopiah,
sepatu dan sebagainya. Dengan suara genit mereka berkata:
"Silakan Loh-tayjin berganti pakaian."
Si-hiong melengak, sebab di dalam rumah itu hanya
ruangan terbuka dan tiada sesuatu perlengkapan sebagai
tempat berganti pakaian segala, hanya kedua samping ada
rak-rak kayu dan tampak tertumpuk peti-peti besi pada setiap
kotak rak itu. "Aku .... aku harus ganti pakaian disini?" tanya Si-hiong
ragu-ragu. Dengan tertawa dayang yang berusia lebih tua menjawab:
"Ya, ganti pakaian ini adalah peraturan. Kau belum biasa
karena baru datang, lama-lama tentu kau merasa biasa,"
sambil bicara terus meladeni Si-hiong untuk salin pakaian.
Mendengar kata-kata "peraturan'', Si-hiong tidak dapat
menolak lagi, terpaksa ia membiarkan kedua dayang itu
melepaskan pakaiannya.
Biarpun Si-hiong sudah terlatih dan gemblengan dalam
tugasnya ini, tapi kini tanpa sehelai kainpun berdiri dihadapan
kedua wanita muda yang cantik jelita itu mau tak mau ia
menjadi merah jengah.
Tapi kedua dayang cantik itu anggap seperti biasa saja,
mereka terus menukarkan pakaian Si-hiong dengan baju baru
yang telah mereka sediakan itu.
"Apakah senjataku juga harus ditinggalkan disini" tanya Sihiong.
"Benar," sahut dayang tadi. "Segala benda yang kau bawa
harus ditinggalkan disini kecuali medali emas pemberian Ongya
kepadamu itu."
Diam-diam Si-hiong heran, pikirnya: "Sungguh peraturan
yang aneh. Mungkin untuk menjaga bila kemasukan matamata
musuh. Namun peraturan yang terlalu pelik ini
sesungguhnya membikin orang rada-rada kikuk."
Setelah menyimpan pakaian Si-hiong beserta pedang dan
benda-benda bawaannya ke dalam suatu peti besi, lalu
dayang itu berkata: "Diwaktu akan pulang nanti boleh kau
ambil kembali barang-barangmu berdasarkan medali emasmu.
Mungkin saat mana bukan kami lagi yang dinas jaga."
Si-hiong melihat peti besi tempat pakaian dan barangbarangnya
disimpan itu bertanda nomor "124", yaitu nomor
yang sesuai dengan nomor di atas medali emas miliknya.
Kemudian dayang itu membuka sebuah pintu, perwira tadi
ternyata sudah menunggu di sini. Segera Si-hiong ikut di
belakang perwira itu berseru: "Loh-ciangkun sudah datang!''
Lalu dengan setengah berbisik ia berkata kepada Si-hiong:
"Boleh kau masuk menemui Pan-huthongling."
Si-hiong tahu Pan-huthongling (wakil panglima) dari
pasukan pengawal kerajaan yang dimaksudkan adalah
pemimpin Gian-keng-ih itu, maka ia tidak berani ayal, waktu
berhadapan segera ia memberi hormat sebagai bawahan
kepada atasan, Pan Kian-hau bergelak tertawa, katanya: "Ong-ya sangat
memuji dirimu. Kau tidak perlu sungkan-sungkan, silakan
bangun." -- sambil berkata kedua tangannya bergerak seakanakan
hendak mengangkat bangun Loh Si-hiong.
Seketika Si-hiong merasa badannya diangkat oleh suatu
tenaga, yang sangat besar, cuma ia masih sanggup bertahan
sehingga dapat menjalankan penghormatan sekadarnya.
Dengan tertawa Pan Kian-hau memuji pula: "Pantas kau
dipuji Ong-ya, usiamu mungkin belum lebih dari tigapuluh
tahun" Dengan usiamu ini sungguh kepandaianmu sudah
boleh dikata cukup hebat."
Walaupun dirinya dipuji, tapi diam-diam Si-hiong sangat
terkejut. Pikirnya: "Walaupun kepandaian Pan Kian-hau tidak
melebihi Wanyen Tiang-ci, tapi, juga jauh di atasku. Kemarin
aku sudah merasa senang karena dapat mengalahkan
delapanbelas jago mereka, tapi kalau dipikir sekarang sungguh
aku ini terlalu bodoh, sebab jago yang sesungguhnya belum
lagi kuhadapi."
Sesudah bicara pula berapa saat secara ramah, kemudian
Pan Kian-hau berkata: "Kamarmu sudah kusiapkan, sekarang
juga aku membawa kau kesana"
Gian-keng-ih itu ternyata menempati suatu kompleks tanah
yang luas, di dalamnya adalah sebuah taman bunga yang luas
dan di sana-sini berdiri gedung-gedung secara terpisah
sehingga mirip suatu keluarga besar. Setiap gedung itu
mempunyai pekarangan sendiri dengan pepohonan dan
tanaman bunga yang sedang mekar dengan indahnya.
Diam-diam Si-hiong membatin: "Tempat indah yang
menyerupai sorga ini sungguh susah dicari bandingannya,
sayang aku tak dapat berdiam disini untuk selamanya."
Belum habis ia berpikir, tiba-tiba terdengar suara kresakkresek.
Waktu ia berpaling, dilihatnya seorang laki-laki di
tengah suatu pekarangan sedang menebarkan segenggam
pasir ke atas pohon.
Di tengah pekarangan rumah itu ada beberapa pohon Tho
yang sedang mekar bunganya dan tawon madu bergerombolgerombol
tampak merubung bunga-bunga Tho itu untuk
mengisap sari bunga. Ketika laki-laki itu menghamburkan
pasirnya, serentak gerombolan tawon madu itu sama jatuh ke
atas tanah. Ini masih tidak mengherankan, baru saja Loh Sihiong
menganggap laki-laki itu terlalu kejam karena
menggunakan kawanan tawon madu itu sebagai sasaran
latihan senjata rahasia, sekonyong-konyong dalam sekejap
saja kawanan tawon yang jatuh tadi tahu-tahu telah terbang
kembali ke udara.
Baru sekarang Si-hiong terperanjat. Harus diketahui bahwa,
menyambit jatuh tawon madu sebanyak itu dengan
segenggam pasir sudah terhitung kepandaian yang sulit
dipelajari, walaupun Si-hiong sendiri sekadarnya masih
mampu melakukannya, tapi kalau mesti menirukan cara orang
itu, yaitu tenaga sambitannya tiba cukup untuk menyambit
pingsan tawon itu tanpa membinasakannya sehingga dalam
waktu singkat tawon kecil itu dapat terbang lagi, kepandaian
menggunakan senjata rahasia demikianlah yang benar-benar
sukar dilatih dan bahkan belum pernah dilihat oleh Loh Sihiong.
Diam-diam Si-hiong membatin: "Kepandaian menyambit
jarum seperti apa yang dipertunjukkan Wanyen Tiang-ci
semalam mungkin masih kalah lihay kalau dibandingkan
kepandaian orang ini. Tampaknya di tengah Gian-keng-ih ini
benar-benar tidak sedikit terdapat orang-orang kosen."
Dalam pada itu terdengar Pan Kian-hau telah berkata
dengan tertawa: "Sudah tiga tahun lamanya orang ini
mempelajari gambar penjelasan Hiat-to-tong-jin dan sama
sekali belum dapat memecahkan rahasia gambar itu, mungkin
saking kesalnya jadi dia melampiaskan mendongkolnya kepada
kawanan tawon. Tapi kita tak perlu gubris dia, marilah kita
terus ke sana."
Setelah melewati dua gedung yang lain, kembali ketemu
orang kosen dan peristiwa aneh pula.
Di ruangan gedung itu tengah duduk seorang kakek
berjenggot dan rambut ubanan dan sedang menyambitkan
biji-biji catur ke atas dinding di sebelah depan. Setiap biji catur
itu sama ambles dan tercetak di dalam dinding, dalam sekejap
saja di atas dinding sudah terlukis sebuah papan catur.
Dengan tertawa Pan Kian-hau menyapa: "Janganlah kakek
terburu-buru nafsu, pelajarilah secara pelahan-lahan saja. Lain
hari aku akan mencari kawan bercatur bagimu."
Sembari bicara ia sudah melangkah ke dalam ruangan itu,
mendadak lengan bajunya yang gondrong mengebas, secomot
biji catur yang dihambur oleh sikakek beruban tadi telah kena
digulung semua. Sambil tertawa Pan Kian-hau mengembalikan
biji-biji catur itu kepada si kakek, lalu ia melangkah keluar
kembali. "Orang ini sudah tua, tidak tersangka tabiatnya masih
begini keras," katanya kepada Loh Si-hiong.
"Ada apalagi dengan orang tua itu?" tanya Si-hiong.
"Dia telah mempelajari bab ketujuh dari kitab pusaka
tinggalan Tan Hu, tapi dia telah kebentur pada suatu soal
sulit. Sudah lima tahun lamanya dia berpikir secara tekun, tapi
soal itu belum terpecahkan. Dia paling suka main catur, di
waktu kesal dia tidak punya kesukaan lain, terpaksa dia main
catur dengan dirinya sendiri untuk menghilangkan waktu
iseng. Tapi akibatnya semakin kesal dan akhirnya dia
melampiaskan rasa kesalnya dengan membanting papan catur
dan melempar biji catur."
"Aneh juga orang tua itu," ujar Si-hiong tertawa. Tapi diamdiam
hatinya tambah was-was. Baru sekarang ia tahu bahwa,
jago-jago kelas satu negeri itu tidak berada di tengah pasukan
pengawal, tapi terhimpun di Gian-keng-ih, di lembaga
penyelidikan kitab pusaka ini. Sungguh membikin orang patah
semangat bilamana mengetahui bahwa tokoh-tokoh dan
orang-orang pandai sebanyak itu sama berubah sinting
lantaran mempelajari rahasia kitab pusaka tinggalan Tan Hu
serta patung tembaga itu.
"Beberapa orang ini masih mendingan, bahkan banyak
diantara mereka benar-benar telah menjadi gila," tutur Pan
Kian-hau. "Cuma, sudah tentu kau berbeda daripada mereka,
sebab dalam hal ilmu silat dan pertabiban kau sudah
mempunyai dasar yang baik, usiamu muda dan tenaga kuat
apalagi dengan izin khusus Ong-ya kau diperbolehkan pulang
di waktu malam sehingga tidak seperti mereka, sedemikian
tekunnya belajar sampai-sampai ada yang sepuluh tahun
lamanya tak pernah keluar rumah ini."
Sampai disini Pan Kian-hau merandek sejenak dan
memandang Loh Si-hiong sekejap, lalu menyambung dengan
tertawa: "Tidak pernah keluar rumah selama sepuluh tahun,
pantas saja ada yang sampai gila. Sebab itulah sekarang aku
telah banyak memberi kelonggaran mengenai tata tertib di
sini, terkadang akupun mengizinkan mereka berhubungan satu
sama lain untuk bersahabat, apa kesukaan mereka akupun
dapat memenuhi keinginan mereka. Tapi, kau dikecualikan
tentu, maka jangan kuatir."
Dari uraiannya ini teranglah bahwa setiap anggota Giankengih itu bukan saja tidak boleh sembarangan keluar rumah,
bahkan biasanya juga dilarang berhubungan satu sama yang
lain sampai hari tua.
Segera Loh Si-hiong berkata: "Banyak terima kasih atas
perhatian Ong-ya dan Pan-tayjin terhadap diriku. Cuma
akupun tidak ingin dikecualikan, bagaimana tata-tertib di sini
biarlah aku lakukan saja seperti yang lain-lain."
"Kau adalah perwira kesayangan Tan-goanswe, kau telah
banyak berjuang di medan bakti bersama beliau, jiwamu yang
setia kepada negara dan Sri Baginda sudah tentu Ong-ya
dapat mempercayai kau sepenuhnya. Pula, dengan cara
pengaturan demikian Ong-ya juga mempunyai maksud
tertentu, kau sendiri tidak perlu merasa rikuh."
Terpaksa Si-hiong mengiakan dan tidak berani banyak
omong lagi. Ketika kemudian Pan Kian-hau menyatakan sudah sampai
di tempat tujuan, ia membawa Si-hiong ke dalam sebuah
rumah, rumah ini ada tiga kamar, yang ditengah berbentuk
kamar kerja, kedua kamar samping tertutup rapat dan entah
apa isinya. Di bagian luar ada suatu pekarangan yang penuh
tertanam tumbuh-tumbuhan bunga dan sebagainya.
Sesudah masuk kamar kerja itu, Pan Kian-hau bertepuk
tangan satu kali, dari kedua kamar samping masing-masing
lantas muncul seorang Kiong-go (dayang perempuan) dan
seorang Wi-su (pengawal).
"Mulai hari ini kalian harus melajani Loh-tayjin ini," kata
Pan Kian-hau. Lalu katanya pula kepada Si-hiong: "Selanjutnya segala
Musuh Dalam Selimut Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
keperluanmu misalnya makanan dan minuman, dayang inilah
yang akan melayani kau. Pengawal ini adalah pesuruhmu, jika
kau ada urusan perlu mencari aku boleh suruh dia lapor
kepadaku. Selain itu dia merangkap tugas juga agar bila
terjadi sesuatu di luar dugaan kau sendiri tidak perlu repot.
Misalnya ada orang gila mau menerobos masuk kesini, ini
termasuk salah satu yang diluar dugaan itu."
Si-hiong mengiakan dengan mengangguk. Sudah tentu ia
pun paham bahwa dayang dan pengawal itupun bertugas
mengawasi dia. "Di atas meja situ ada sebuah lukisan dengan keteranganketerangan
tentang Hiat-to-tong-jin, gambar itu adalah bahan
penyelidikanmu, sesudah kau mempelajari segala rahasianya
dengan jelas, silakan kau mencatat segala sesuatu hasil
penemuanmu itu, lalu serahkan padaku bersama gambar itu,"
demikian kata Pan Kian-hau lebih lanjut. "Cuma, kau hanya
boleh mempelajari dan menyelidikinya disini saja, secarik
kertaspun dilarang dibawa keluar. Apa kau sudah mengerti?"
Si-hiong mengangguk, tanyanya kemudian: "Tentang
patung tembaga itu seluruhnya ada berapa gambar?"
"Duabelas mengenai urat, 15 mengenai nadi, seluruhnya
menjadi 27 gambar," sahut Kian-hau. "Selain itu masih ada
urat nadi tersembunyi yang aneh dan berhubungan erat
dengan ilmu silat tingkat paling tinggi, tentang ini telah
dipecah ke dalam bagian penyelidikan rahasia Lwekang dan
mempunyai 16 gambar tersendiri."
Tampaknya bibir Si-hiong bergerak-gerak seperti ingin
bicara sesuatu, tapi urung diucapkan.
"Apa barangkali kau anggap sebuah gambar terlalu sedikit
bagi penyelidikanmu?" tanya Kian-hau tertawa. "Harus
diketahui bahwa banyak sekali kaum cerdik-pandai yang
berkumpul disini, tapi sebuah gambar saja terkadang tiada
diketemukan sesuatu apapun oleh mereka meski selama
beberapa tahun mereka tekun menyelidiki dan menyelami.
Sudah tentu, kau adalah murid pujian tabib sakti Teklocianpwe,
boleh jadi kau akan lebih hemat waktu daripada
mereka. Namun ada baiknya juga bila kau tetap maju setindak
demi setindak dan jangan terburu-buru ingin cepat".
"Benar, Wanpwe yang tidak berbakat ini mana berani
terburu nafsu ingin cepat?" sahut Si-hiong. Dan karena itu,
apa yang mestinya hendak diucapkan Loh Si-hiong lantas tidak
jadi dikatakan.
"Dan buku-buku yang terdapat di rak dinding ini adalah
kitab-kitab ilmu pengobatan yang bersangkut-paut dengan
gambar yang akan kau selidiki ini, mungkin dapat kau
gunakan sebagai bahan tambahan," kata Pan Kian-hau pula.
Sesudah Pan Kian-hau pergi, dayang itupun mengundurkan
diri ke dalam kamar samping dan si pengawal berjaga di luar,
di dalam kamar kerja kini hanya tinggal Si-hiong sendirian.
Ia coba memeriksa gambar itu, sampai sekian lamanya,
akhirnya ia dapat mengetahui gambar itu adalah sebagian
kecil daripada lukisan urat-urat nadi badan manusia, yaitu
bagian kaki dan perut, hanya suatu bagian yang tidak terlalu
penting daripada 12 urat nadi besar.
Diam-diam Si-hiong merasa kecewa, pikirnya: "Kukira akan
dapat melihat bentuk patung tembaga yang asli, siapa tahu
hanya sebuah gambar demikian ini. Jika demikian, sekali pun
aku dapat melihat ke-27 gambar seluruhnya dan tetap belum
bisa melihat patungnya juga masih belum lengkap artinya.
Apalagi masih ada kitab pelajaran Lwekang tinggalan Tan Hu,
entah kapan lagi aku baru dapat melihatnya?"
Namun demikian ia tahu melulu sebuah gambar itu saja
sudah cukup ruwet untuk bisa memahaminya dengan baik, ia
merasa dalam setahun saja rasanya belum yakin dirinya dapat
memahaminya. Menurut pikiran Loh Si-hiong, asalkan dapat melihat patung
aslinya tentu hasilnya akan sudah tercapai separohnya. Tapi
kini hanya sebuah gambar saja yang dihadapkan padanya, ini
berarti kebalikannya daripada perhitungannya semula.
Ia menduga apa, yang diatur sekarang ini tentu disebabkan
peristiwa pencurian pusaka oleh Liu Goan-cong dahulu itu,
maka sekarang penjagaan sengaja diperkeras. Akan tetapi
dengan demikian setiap orang hanya diberikan sebuah gambar
yang satu dan lain tiada bersangkutan sehingga terpaksa
harus mempelajarinya secara tidak menentu dan banyak
tenaga serta waktu yang terbuang percuma, pantas saja di
Gian-keng-hi ini sedemikian banyak orang menjadi sinting
lantaran memikirkan isi gambar yang tiada ujung-pangkalnya
itu. Sesungguhnya Loh Si-hiong telah dapat melihat dimana
letaknya pokok persoalan tadi sebenarnya iapun ingin
mengajukan pendapatnya itu kepada Pan Kian-hau, tapi kuatir
menimbulkan curiga orang, maka akhirnya ia telan kembali
kata-katanya yang hampir diucapkan.
4. Perjodohan "Paksa"
Padahal peraturan yang jelimet demikian sebenarnya sudah
ada sebelum terjadinya "peristiwa pencurian pusaka di keraton
Kim" Hanya saja sesudah peristiwa itu pembagian gambar itu
dipecah-pecah lebih banyak lagi.
Diantara anggota-anggota Gian-keng-ih itu yang pernah
melihat patung tembaga hanya Wanyen Tiang-ci sendiri.
Bahkan hanya Wanyen Tiang-ci saja yang memiliki seluruh
gambar penjelasan patung itu secara lengkap serta kitab "Cigoanbian", yaitu kitab pelajaran Lwekang tinggalan Tan Hu
itu. Malahan Wanyen Tiang-ci sendiri juga tidak punya kuasa
untuk membawa keluar kedua macam pusaka itu dari ruang
Gian-keng-ih. Kedua macam pusaka itu tersimpan di dalam
sebuah kamar rahasia yang hanya boleh dimasuki oleh
Wanyen Tiang-ci sendiri. Tentang rahasia ini baru diketahui
oleh Loh Si-hiong sesudah banyak tahun kemudian.
Daripada terburu nafsu dan menggagalkan segala
usahanya, diam-diam Loh Si-hiong bertekad akan bersabar
dahulu, biarpun mesti mengeram selama delapan tahun atau
sepuluh tahun, bahkan seumur hidup juga akan dilakukannya
untuk bersabar dan mempelajari gambar itu dengan baik.
Begitulah tanpa merasa hari sudah sore. Segenap perhatian
Loh Si-hiong hanya dicurahkan untuk mempelajari dan
menyelami gambar itu sampai datangnya Pan Kian-hau baru
dia seperti sadar dari mimpi. Nyata satu hari telah dilaluinya
dengan cepat. Tempo sehari ini hanya digunakan oleh Loh Si-hiong
sebagai pembukaan dalam usahanya mencari titik permulaan
saja, dan titik permulaan inipun cuma mengenai sebuah Hiatto,
jadi masih jauh jaraknya jika mau menyingkap rahasia
yang tercakup di dalam gambar yang ruwet itu. Namun
demikian sedikit hasilnya ini ternyata cukup memuaskan Pan
Kian-hau. Sesudah menyimpan kembali gambar itu, kemudian Pan
Kian-hau berkata: "Hari ini adalah hari pertama, kau boleh
pulang agak siangan.
Baru saja Si-hiong mau menyatakan siap taat kepada
segala peraturan, begitu pula mengenai waktu bekerja dan
waktu pulang. Namun dengan tersenyum Pan Kian-hau sudah
berkata lagi: "Rupanya Ong-ya sangat memikirkan dirimu.
sekarang beliau sudah mengirim orang untuk menyemput
kau." Begitulah dengan medali emasnya Si-hiong datang ke
kamar pakaian dan sekali lagi berganti baju dihadapan kedua
dayang cantik. Diam-diam ia membatin: "Cara demikian
memang adalah cara terbaik untuk menjaga segala
kemungkinan. Hanya saja terlalu repot dan membikin kikuk
saja." Segala sesuatu dilakukan pula seperti waktu dia datang,
kembali Si-hiong diberi kerudung kepala dan dinaikkan ke atas
kereta kuda, kusir tua itu mengantarkan dia pulang ke istana
Wanyen Tiang-ci.
Diam-diam Si-hiong mengingat jalan-jalan yang pernah
dilalui kereta kuda itu, dimana ada tikungan, dimana
menanjak dan dimana pula menurun. Pikirnya: "Jika jalanan
ini tidak berubah setahun kemudian biarpun kedua mataku
tetap ditutup juga aku sanggup pulang pergi sendiri tanpa
dihantar."
Setibanya di istana, ternyata Wanyen Tiang-ci sudah
menunggu padanya di suatu kamar rahasia.
"Menurut laporan Kian-hau, katanya hasil penyelidikanmu
hari ini sangat baik. aku ikut merasa senang,'' demikian kata
Wanyen Tiang-ci. "Tapi sekarang aku cuma ingin omongomong
dengan kau tentang urusan pribadi. Kau tidak perlu
merasa rikuh, marilah kita bicara secara bebas saja."
Di dalam kamar rahasia itu Wanyen Tiang-ci tampak sangat
ramah, sedikitpun tidak berlagak sebagai seorang pangeran
atau panglima yang berkuasa, dia bicara kepada Si-hiong
dengan ramah-tamah.
Sudah tentu hal ini rada-rada diluar dugaan Si-hiong. Ia
tahu pangeran berkuasa itu mau membiarkan dia masuk
menjadi anggota Gian-keng-ih tentunya juga perlu
mengetahui dengan jelas sesuatu mengenai dirinya atau asalusulnya.
Cuma dia tidak menduga Wanyen Tiang-ci sendirilah
yang langsung tanya padanya dan waktunya juga jauh lebih
daripada perhitungannya.
"Entah urusan pribadi apa yang hendak ditanyakannya
padaku?" demikian diam-diam Si-hiong membatin.
Belum selesai pikirannya melayang-layang, terdengar
Wanyen Tiang-ci sudah mulai bertanya: "Kabarnya kau adalah
anak piatu?"
"Ya," sahut Si-hiong. "Limabelas tahun yang lalu ayahku
ikut Tan-goanswe berperang dengan pasukan Song dan
malang beliau telah gugur dimedan bakti."
"Berapa usiamu tahun ini?"
"Dua puluh tiga."
"O, jadi waktu ayahmu gugur kau baru berumur delapan
tahun. Apakah kau dibesarkan oleh ibumu?"
"Tidak, ibupun meninggal dunia pada tahun kedua sesudah
ayah gugur."
"Waktu ayahmu gugur, apakah kalian ibu dan anak tinggal
di rumah?"
"Tatkala itu suasana kacau-balau, kampung halaman kami
pernah juga diserbu dan diduduki oleh pasukan Song.
Ibu telah mengungsi bersama hamba dan karena tidak
tahan penderitaan dalam pengembaraan, akhirnya ibu
meninggal ditengah perjalanan."
"Lalu kau dirawat dan dibesarkan oleh siapa" Apakah kau
bersedia menceritakan padaku mengenai pengalamanmu
dimasa kanak-kanak?"
"Sesudah ibu meninggal, untunglah ada suatu keluarga
petani yang sudi memelihara hamba. Tidak lama kemudian
utusan Tan-goanswe datang mencari kami dan hamba telah
diketemukan disana. Sejak itulah hamba terlepas dari
penderitaan."
"Apakah kau masih ingat kepada keluarga petani itu?"
"Ingat. Keluarga itu she Tho dan berada di suatu desa di
daerah Cengciu. Cuma sayang, tiga tahun yang lalu hamba
telah berusaha mencari mereka dengan maksud hendak
membalas budi kebaikan mereka, namun mereka ternyata
sudah pindah dari tempat semula dan entah tinggal dimana
kini." "Siapakah utusan yang dikirim Tan-goanswe untuk mencari
kau itu?" "Adalah seorang perwira sejabat dengan ayahku. Sungguh
malang, beliaupun sudah gugur di medan perang pada lima
tahun yang lampau."
"Apakah perwira itupun kenal kau pada waktu kau masih
kecil." "Kami adalah orang sekampung, setiap kali pulang
kampung halaman tentu beliau datang menjenguk kami ibu
dan anak. Pada waktu ayah gugur, tahun itu beliaupun pernah
mampir dirumah hamba sebelum berangkat bertugas."
"Ya, pertanyaanku ini sungguh bodoh," ujar Wanyen Tiangci
tertawa. "Sudah tentu Tan-goanswe takkan mengutus
seorang yang tidak dikenal untuk mencari kalian."
Apa yang ditanyakan Wanyen Tiang-ci ini sebenarnya
sudah pernah dikemukakannya juga kepada Tan-goanswe,
cuma dia ingin tahu lebih jelas, maka tanpa bosan-bosan ia
bertanya langsung pula kepada Loh Si-hiong.
Diam-diam Wanyeng Tiang-ci berpikir: "Jika bukan bocah
yang dicari oleh utusan yang dikirim Tan-goanswe itu tentu
tak bisa terlepas dari penyelidikan utusan itu. Selama
beberapa tahun ini Loh Si-hiong telah banyak berjasa pula
dibawah pimpinan Tan-goanswe, rasanya dia bukanlah matamata
yang dikirim oleh kerajaan Song selatan."
Setelah berpikir dan merasa tiada sesuatu dari gerak-gerik
dan tutur kata Loh Si-hiong yang mencurigakan, segera
Wanyen Tiang-ci mengambil keputusan. Tanyanya pula:
"Dirumahmu masih ada anggota keluarga siapa lagi?"
"Aku adalah putera tunggal ayah-ibu dan tiada punya
anggota keluarga lain," sahut Si-hiong.
"Anggota keluarga juga tidak terbatas pada saudara
sekandung saja. Maksudku, apakah kau pernah mengikat
perjodohan, misalnya?"
Tergeraklah hati Si-hiong. Dengan hati-hati ia menjawab:
"Sejak kedua orang tua hamba wafat, hamba hidup sebatang
kara dan dengan sendirinya belum mengikat jodoh." "
Sampai disini samar-samar ia sudah dapat menduga apa
maksud tujuan ucapan Wanyen Tiang-ci itu.
Terdengar Wanyen Tiang-ci berkata pula: "Kedua gurumu
mempunyai hubungan yang sangat luas di dunia persilatan.
Selama sepuluh tahun kau belajar dibawah asuhan mereka
apa juga belum pernah ketemu dengan gadis yang
mencocoki?"
"Toa-suhu menderita sakit dan selamanya tinggal menyepi
di gunung. Ji-suhu juga merasa berat meninggalkan Toa-suhu
sehingga beliaupun jarang keluar rumah. Selama sepuluh
tahun hamba belajar disana, tamu yang datang menjenguk
kebanyakan adalah sahabat lama Suhu. Sesudah
meninggalkan perguruan hamba lantas bekerja dibawah
pimpinan Tan-goanswe dan jarang bergaul dengan orang
Kangouw, apalagi hendak ketemukan gadis yang mencocoki."
"Ya, hal ini kemarin juga sudah kau ceritakan padaku,
akulah yang lupa. Cuma, kau seperti bilang gurumu baru
menderita penyakit jahat itu pada sepuluh tahun, bukan?"
Musuh Dalam Selimut Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Terkesiap hati Loh Si-hiong, pikirnya: "Teliti benar Ong-ya
ini, apa yang pernah kukatakan ternyata tiada satu katapun
yang dilupakan olehnya."
Perlu diketahui bahwa usia Loh Si-hiong sekarang adalah
23 tahun, pada waktu berumur delapan tahun, utusan Tangoanswe
telah dapat menemukan dia, lalu mengirim dia
belajar silat kerumah kedua saudara Tek Jong-hu. Tek Jonghu
sendiri paling mahir dalam ilmu pertabiban dan boleh
dikata tiada bandingannya di seluruh negeri Kim. Adiknya Tek
Jong-bong hanya belajar silat dan tergolong tokoh-tokoh
terkemuka yang dapat dihitung dengan jari di negeri Kim. Loh
Si-hiong belajar sepuluh tahun dibawah pimpinan kedua
saudara Tek itu, pada umur delapanbelas baru dia
meninggalkan perguruan. Sebab itu kalau dihitung waktunya.
jika Tek Jong-hu mendapat penyakit jahat (kanker) tentunya
terjadi lima tahun kemudian sesudah Loh Si-hiong
mengangkat guru padanya.
Begitulah dengan hati-hati Si-hiong lantas menyawab: "Ya,
pada waktu hamba berguru kepada beliau memang Toa-suhu
belum kena penyakit jahat itu, cuma saja sedikit-sedikit sudah
mulai ada tanda-tandanya maka tidak lama kemudian beliau
lantas membawa hamba mengasingkan diri ke pegunungan
dan tidak mau tahu urusan duniawi pula. Lantaran itu pula
beliau telah mendapatkan julukan tabib sakti pengasingan."
"Jika demikian, jadi memang gurumu sama sekali belum
pernah membicarakan perjodohan bagimu?"
"Ya. Umur hamba masih terlalu muda. Yang kupikir adalah
berbakti kepada negara, apalagi di tengah pasukan, maka
tiada punya pikiran untuk berkeluarga."
Wanyen Tiang-ci bergelak tertawa. katanya: "Bagus!
Sungguh seorang pemuda yang berjiwa patriot. Cuma
sekarang kau sudah meninggalkan pasukan, umurmu juga
sudah 23 tahun, kini sudah tiba waktunya kau berkeluarga.
Sesudah berkeluarga juga masih tetap berbakti bagi negara.''
Melihat Loh Si-hiong diam saja, selang sejenak Wanyen
Tiang-ci menyambung pula: "Dari berkelahi kau menjadi kenal
dengan anak Hong. Ilmu silat dan mukanya kau sudah tahu.
Apakah kau suka padanya?"
"Ah, hamba tidak berani," sahut Si-hiong.
"Jadi kau dapat dikatakan suka padanya bukan?" ujar
Wanyen Tiang-ci dengan tertawa. "Baiklah, sekarang juga
sebagai walinya aku menjodohkan dia kepadamu."
Kemana maksud tujuan Wanyen Tiang-ci sejak permulaan
pembicaraan sebenarnya Loh Si-hiong sudah dapat menduga
beberapa bagian. Tapi kini demi mendengar dari mulut sang
pangeran sendiri telah menjodohkan puterinya itu kepadanya,
mau tak mau Si-hiong merasa tersipu-sipu juga.
Maka dengan rada gugup Si-hiong menjawab: "Banyak
terima kasih atas kebaikan hati Ong-ya, cuma hamba kuatir
tidak sesuai untuk menerima anugerah setinggi itu."
"Kau tidak usah rendah hati. Bukan maksud aku memuji
puteriku sendiri, sesungguhnya dia dan kau adalah suatu
jodoh yang setimpal baik wajah kalian maupun kepandaian.
Kau tidak perlu menolak lagi, hari bahagia kalian sudah
kupilihkan, yaitu jatuh besok pagi. Aku sengaja memberikan
tiga hari libur bagimu."
Segera Si-hiong berlutut memberi sembah dan menyatakan
terima kasih. Sekarang ia telah ganti sebutannya dengan
"Ayah mertua''.
Wanyen Tiang-ci membangunkan Si-hiong dan berkata
pula: "Orang yang sudah masuk Gian-keng-ih sebenarnya
tidak boleh sembarangan keluar kecuali kalau ada urusan
khusus, terkadang dua-tiga tahun baru boleh minta cuti.
Sudah tentu, hanya beberapa orang tertentu saja yang
diberikan kekecualian dan kau termasuk satu diantaranya.
Nah, sekarang dapatlah kau memahami apa sebabnya aku
sedemikian memperhatikan dirimu bukan" Ha..ha..ha,
tentunya aku tidak inginkan puteriku kesepian di kamar
pengantinnya, ya toh?"
Wajah Si-hiong merah jengah, katanya: "Atas kebaikan
ayah, biarpun hancur lebur badan anak juga belum cukup
untuk membalas budimu."
"Ucapanmu ini sebaiknya kau katakan kepada isterimu di
dalam kamar pengantin nanti," ujar Wanyen Tiang-ci tertawa.
"Baiklah, sekarang kau boleh istirahat. Malam ini boleh kau
tidur disini saja, besok barulah pindah ke kamarmu yang
baru." Wanyen Tiang-ci menyuruhnya istirahat, tapi Si-hiong
sendiri golak-galik tak bisa pulas. Entah disebabkan terlalu
girang hatinya atau lantaran terlalu letih. Atau karena rasa
ketakutan atas nasibnya sendiri dikemudian hari yang sukar
diramalkan itu" Memang, sekarang dia sudah mulai mencapai
tujuannya, selangkah demi selangkah dia sedang menuju ke
jalan yang sukses bagi tugas rahasianya, tapi iapun mulai
merasakan keletihan lahir batin yang susah dilukiskan.
Ia memadamkan lampu pelita kamarnya dan memandang
jauh keluar jendela. Terlihat bintang-bintang berkelip-kelip di
atas langit, bulan menghias di tengah cakrawala.
Pemandangan ini menimbulkan kenangannya yang wajar
sebagai seorang pemuda. Pikirannya melayang-layang dan
mengelamun jauh ke sana, ke suatu tempat yang amat jauh,
dalam benaknya timbul suatu bayangan seorang gadis jelita
yang pernah bergaul bersama sekian lamanya.
Lama dan lama sekali ia mengelamun. Tanpa merasa
terdengarlah sayup-sayup suara kentongan, ternyata hari
sudah jauh lewat tengah malam. Si-hiong seperti sadar dari
impian, teringat olehnya dirinya sekarang berada di dalam
istana pangeran kerajaan Kim yang paling berkuasa, bahkan
besok juga dirinya akan menjadi pengantin lelaki. Bayangan si
gadis jelita yang terkenang tadi lantas terdesak lenyap oleh
bayangannya Tokko Hui-hong.
Sang pangeran telah menjodohkan puterinya kepadanya,
bahkan pengantin perempuan ini cantiknya seperti bidadari,
adalah Tokko Hui-hong yang namanya terkenal di seluruh
negeri. Ini benar-benar penemuan aneh yang sedikitpun tak
terduga sebelumnya, malahan mimpipun tak pernah
diterkabul. Akan tetapi sekarang Loh Si-hiong menjadi rada
gelisah malah. "Akan bahagia atau celaka?" Inilah yang menjadi
pertanyaan. Tapi siapa yang dapat meramalnya"
Si-hiong tersenyum kecut sendiri, terpaksa ia tidak
memikirkan lagi, ia memejamkan mata untuk tidur. Jalan yang
terbaik baginya adalah pasrah nasib saja.
Pada saat yang sama itu, di dalam suatu kamar lain Tokko
Hui-hong juga sedang murung dan gelisah mengenai
perkawinan ini.
Waktu dia diberitahu tentang keputusannya oleh Wanyen
Tiang-ci, dengan alis menegak dan mulut menjengkit ia
menjawab: "Tidak, anak tidak mau menikah."
Dengan tertawa Wanyen Tiang-ci membujuknya:
"Sudahlah, jangan seperti anak kecil saja. Pemuda sudah
dewasa harus nikah, perempuan sudah besar harus kawin.
Inikan soal jamak."
"Tapi di dunia ini juga adalah perawan tua, yang tidak
menikah. Biar anak selama hidup tidak kawin dan rela
mendampingi ayah saja."
Melihat kesungguhan ucapan Tokko Hui-hong yang
tampaknya bukan pura-pura itu, mau tak mau Wanyen Tiangci
sendiri menjadi melengak malah. Pikirnya: "Jangan-jangan
disebabkan puteraku itu?"
Maka dengan suara halus Wanyen Tiang-ci membujuk lagi:
"Anak Hong, apakah kau memandang rendah akan pangkat
Loh Si-hiong" Jika demikian halnya boleh tak usah kuatir.
Sesudah menjadi menantuku dengan sendirinya aku akan
menuntun dan membela dia, aku tanggung tidak lama
kemudian dia akan naik pangkat dan mendapat kedudukan
yang baik, masakan kau kuatir takkan mendapatkan
kemewahan sepenuhnya" Sesudah kalian menikah, kalian
masih boleh tetap tinggal di dalam istana sini. Kita ayah dan
anak juga masih tetap dapat bertemu setiap hari."
"Tapi tapi bukan karena soal ini bagiku," sahut Hui-hong
dengan terputus-putus. Air matapun berlinang-linang.
Diam-diam Wanyen Tiang-ci juga merasa menyesal.
Pikirnya: "Masakah aku sendiri tidak tahu hubungan antara
kau dengan puteraku sendiri itu. Tapi mana boleh aku
menjodohkan kalian?"
Sesudah terdiam agak lama, kemudian Wanyen Tiang-ci
berkata pula sambil membelai-belai rambut Hui-hong: "Anak
Hong, turutlah kata-kataku. Aku dapat mengerti perasaanmu.
Tapi saat ini aku sedang memerlukan tenaga yang cakap, dan
untuk ini Si-hiong akan sangat membantu kebutuhanku itu.
Aku kuatir dia menyeleweng, untuk ini diperlukan seorang
kepercayaanku untuk mendampingi dia. Jika kau menjadi
isterinya, terhadap diriku, terhadap negeri Kim kita yang jaya
akan banyak manfaatnya. Apakah kau sudah paham" Apalagi
baik muka maupun ilmu silat Loh Si-hiong juga tiada yang
terbuang, malahan menurut pandanganku, Si-hiong masih
lebih unggul setingkat daripada kakakmu."
Keruan malu dan dongkol pula Tokko Hui-hong mendengar
kata-kata itu. Pikirnya: "Darimana kau bisa mengetahui
perasaanku" Memangnya kau sangka aku kepingin menjadi
anak menantumu?"
Akan tetapi, betapapun ia tak dapat menceritakan isi
hatinya kepada Wanyen Tiang-ci, walaupun merasa penasaran
juga tak bisa membela diri, terpaksa dengan mendongkol ia
menjawab: "Anak telah menerima budi dari ayah dan sukar
membalas kebaikan ini, maka apa yang ayah kehendaki sudah
tentu anak akan menurut saja."
Wanyen Tiang-ci tampak merasa puas, katanya: "Bagus,
inilah baru puteriku yang baik. Besok juga kau akan menjadi
pengantin, maka malam ini boleh kau mengaso agak siangan."
Sebenarnya Wanyen Tiang-ci juga dapat meraba perasaan
Tokko Hui-hong, di dalam hati tentu si nona tidak suka atas
perjodohan itu, tapi mengingat sesudah menikah nanti mereka
tentu akan menjadi baik dan lambat-laun juga akan timbul
cinta kasih antara suami-isteri. Jika Hui-hong sudah mau
menurut, maka soal inipun sudah beres berjalan dengan
lancar. Begitulah malam itu Hui-hong juga serupa Loh Si-hiong, ia
bergulak-galik ditempat tidurnya tak bisa pulas.
Sambil berbaring dan memandangi langit-langit kamar, Huihong
sedang melamun: "Dimanakah dia berada sekarang?"
"Dia". Ya, antara Loh Si-hiong dan Tokko Hui-hong saat itu
sedang sama-sama mengenangkan si dia. Cuma ada sedikit
berbeda. Kalau Loh Si-hiong masih mengetahui dimana
beradanya si "dia'', adalah sebaliknya Tokko Hui-hong punya si
"dia" sudah lama putus kabar beritanya.
Tokko Hui-hong sedang berpikir pula: "Seumpama aku
mengetahui dia berada dimana sekarang, lantas apa yang
dapat kulakukan" Apakah aku bisa pergi mencarinya" Dan
setelah bertemu dapatkah aku menjadi isterinya" Sudah pasti
ayah pangeran takkan meluluskan perkawinan kami.
Dan, kalau toh tak dapat menjadi suami-isteri dengan dia,
ya, apa boleh buat, biarkan saja, terserah kepada nasib.
Hanya saja setelah dia mengetahui hal ini entah betapa sedih
hatinya?" Sama sekali Tokko Hui-hong tidak tahu bahwa orang yang
sedang murung dan kesal dalam urusan mereka ini tidak cuma
dia dan Loh Si-hiong berdua, tapi masih ada lagi orang ketiga.
Sesudah Wanyen Tiang-ci pulang ke kamarnya, pikirannya
juga timbul tenggelam tak tetap. Selagi hendak suruhan orang
pergi memanggil puteranya, tiba-tiba terdengar pintu kamar
diketok pelahan dan terdengar suara: "Ayah, apakah engkau
belum tidur?"
Kiranya sebelum dipanggil putera kesayangannya itu sudah
datang sendiri. Wanyen Ting-kok, putera tunggal Wanyen
Tiang-ci. Setelah masuk kamar, wajah Wanyen Ting-kok tampak
murung dan lesu. Sebelum ditanya ia sudah lantas membuka
suara: "Ayah, kabarnya engkau telah menjodohkan adik
perempuan kepada orang yang bernama Loh Si-hiong itu?"
"Benar, apakah kau mempunyai pendapat apa-apa tentang
hal ini?" tanya Wanyen Tiang-ci.
"Adik Hong bukan adik-kandungku sendiri, maka anak ingin
memperisterikan dia."
"Apakah kau sudah gila " Ini mana boleh jadi?" sahut
Tiang-ci. "Ayah, selamanya kau suka memuji kepandaian dan
kecerdikan adik Hong, jika dia menjadi menantumu tentu
selama hidupnya akan tetap menjadi pembantumu yang
terpercaya, cara demikian bukankah paling baik?"
Wanyen Tiang-ci menghela napas, katanya: "Ting-kok, cara
demikian tentu akan ditertawai orang. Pertama, Hui-hong
hanya anak seorang punggawa kita, soalnya ayahnya pernah
menolong aku tanpa menghiraukan jiwanya sendiri, maka aku
telah mengambilnya sebagai puteri angkat. Walaupun aku
sangat sayang padanya dan memandangnya seperti anak
kandungku sendiri, tapi betapapun dia berasal dari kaum
hamba, mana boleh dia dijadikan permaisurimu" Kedua, tadi
aku memang sudah menjodohkan dia kepada Loh Si-hiong,
jika sekarang aku tarik kembali keputusanku, tentu aku akan
ditertawai dan diejek orang. Anak Kok, janganlah kau berpikir
macam-macam. Yelu-siangkok ada maksud menjodohkan
puterinya kepadamu, dalam waktu singkat ini juga aku akan
mengirim utusan untuk melamarnya bagimu. Kita harus
berbesanan dengan keluarga perdana menteri Yelu, dengan
demikian barulah setimpal."
Padahal Wanyen Tiang-ci masih ada suatu alasan yang
tidak dikemukakannya, yaitu ia ingin memperalat Loh Si-hiong,
untuk ini dia perlu memelet dan mengambil hati perwira muda
itu. Begitulah Wanyen Ting-kok menjadi putus-asa dan semakin
lesu. Ia ingin bicara pula, tapi dengan suara bengis sang ayah
telah mengomelnya: "Hendaklah kau berpikir secara sadar
bahwa apa yang ayah lakukan adalah demi kepentinganmu
pula dan kau membikin susah hari depanmu sendiri.
Ketahuilah bahwa Sri Baginda tidak punya anak laki-laki, kita
terhitung pangeran yang terdekat, ayahmu memegang kuasa
penuh kemiliteran, semuanya ini adalah jaminan bahwa hari
depanmu tak terbatas, apa kau dapat memahami maksudku?"
Musuh Dalam Selimut Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mendengar uraian ayahnya itu, Wanyen Ting-kok tahu
bahwa sang ayah sudah ada rencana bilamana Sri Baginda
yang bertahta sekarang wafat, maka dengan kekuasaannya
yang dipegang sekarang ayahnya bermaksud merebut takhta.
Soalnya pangeran-pangeran dari keluarga raja yang terdekat
tidak cuma Wanyen Tiang-ci saja sendiri, maka ia perlu
mencari dukungan di antara para pembesar, lebih-lebih
perdana menteri Yelu yang memegang pemerintahan sipil.
Maka bergiranglah Wanyen Ting-kok, ia manggut-manggut
dan menjawab: "Ya, anak paham."
Setelah pembicaraan ini Wanyen Tiang-ci mengira Ting-kok
sudah tunduk kepada kata-katanya itu. Ia tidak tahu, meski
Wanyen Ting-kok juga sangat kepingin menjadi putera
mahkota, walaupun dia patuh juga kepada kata-kata sang
ayah dan tidak berkeras ingin memperisterikan Tokko Huihong
lagi, namun dia toh masih belum melepaskan minatnya
kepada Tokko Hui-hong.
Di dalam kamarnya Tokko Hui-hong masih terus bergulangguling
tak bisa tidur. Suara kentongan sudah berbunyi tiga
kali, suasana sunyi senyap. Tiba-tiba terdengar suara pintu
diketok. Dengan cepat Hui-hong melompat bangun dan
membentak: "Siapa itu?"
"Sssst, jangan bersuara adikku, akulah yang datang!"
demikian terdengar jawaban Wanyen Ting-kok di luar pintu
dengan suara tertahan.
Tokko Hui-hong terkejut. "He, apakah kakak Ting-kok" Ada
urusan apa kau datang kemari pada waktu begini?"
"Bukalah pintu dahulu, marilah kita membicarakannya di
dalam," pinta Ting-kok.
5. Huru-Hara Di Pesta Perkawinan
Tapi mendadak Hui-hong sudah melayang keluar tanpa
membuka pintu kamar, kiranya dia meloncat keluar melalui
jendela. "Meski kita adalah saudara sendiri, tapi di tengah malam
buta begini tidaklah pantas untuk bertemu di dalam kamar."
kata Hui-hong dengan kaku. "Nah, ada urusan apa boleh kita
bicarakan saja disini."
Keruan Wanyen Ting-kok seperti diguyur air dingin, ia
menjadi kikuk, terpaksa ia menjawab dengan tersenyum ewa:
"Ya, besok kau akan menjadi pengantin, maka perlu
menghindarkan prasangka bukan?"
"Prasangka memang sebaiknya dihindari," sahut Hui-hong.
"Bagaimana kedatanganmu ditengah malam buta begini
apakah perlunya cuma untuk mengucapkan selamat padaku?"
"Aku ingin tanya padamu, apakah kau benar-benar rela
menjadi isterinya Loh Si-hiong?"
"Apa artinya kau bertanya tentang hal ini?"
"Aku tahu kau terpaksa menurut atas perintah ayah,
bukan?" "Kalau ya kenapa, kalau bukan lantas bagaimana?"
Ting-kok menghela napas, katanya kemudian: "Aku tahu.
Tak peduli kau sendiri sukarela atau tidak, yang jelas urusan
ini sudah tak bisa ditarik kembali lagi. Cuma saja, aku masih
ingin mengemukakan isi hatiku kepadamu."
"Oh, ada isi hati apakah yang hendak kau kemukakan
kepadaku?" tanya Hui-hong.
"Adik Hong, apakah kau benar-benar tidak tahu ataukah
pura-pura tidak tahu?" tanya. Ting-kok. "Di dalam hatiku
sudah lama telah ter ..... terisi dirimu. Hanya sayang, aku
menyesal tidak dulu-dulu mengemukakan pikiranku kepada
ayah sehingga sekarang dengan mata kepalaku sendiri
menyaksikan kau direbut orang di depan hidungku. Namun
aku hendak minta pengertianmu, bahwa hatiku masih selalu
menjadi milikmu. Sekarang kau terpaksa menikah dengan Loh
Si-hiong, ya, apa boleh buat, harap kau bersabar dan tekan
perasaanmu saja. Pada suatu saat bila aku sudah memegang
kekuasaan tentu aku akan berdaya untuk membebaskan kau.
Selanjutnya di dalam istana ini kitapun masih akan selalu
bertemu ......."
Dongkol dan malu rasa Tokko Hui-hong, kuatir kalau Tingkok
mengucapkan kata-kata yang lebih ''seram" lagi, cepat ia,
memutus pembicaraan orang: "Toako, aku dan kau hanya adik
dan kakak belaka, janganlah kau berpikiran sesat dan
bertujuan menyeleweng. Silakan kau kembali ke kamarmu
saja, jangan-jangan akan menimbulkan sangkaan jelek bila.
dilihat orang."
Wanyen Ting-kok tertegun sejenak, katanya kemudian:
"Adik Hong, janganlah kau mengusir aku ......" tiba-tiba ia
bermaksud menarik Hui-hong, tapi dengan cepat Hui-hong
mengebaskan lengan bajunya.
Setiap hari Ting-kok berlatih silat dengan Hui-hong dan
sering telan pil pahit dari si nona, maka betapapun ia rada jeri
kepadanya dan terpaksa menarik kembali tangannya.
Dibawah cahaya bulan yang remang-remang tampak muka
Hui-hong bersungut. "Jika kau tidak lekas pergi segera aku
akan berteriak memanggil ayah!" ancam si nona.
Ternyata Wanyen Ting-kok masih belum kapok, ia coba
memancing pula: "Adik Hong, bicara terus terang saja. Apakah
kau benar-benar sukarela menjadi isteri bocah itu?"
"Ya, aku suka," sahut Hui-hong dengan ketus.
Akhirnya Wanyen Ting-kok menghela napas panjang seperti
seekor ayam jago yang sudah keok, dengan gesit ia
mengeluyur pergi.
Masuk kembali ke dalam kamarnya, menangislah Tokko
Hui-hong. Pikirnya: "Rasanya tidak boleh tidak aku harus
kawin dengan Loh Si-hiong."
Biarpun pesta kawin itu diadakan secara mendadak, tapi
ternyata tidak sembarangan dan tetap dilangsungkan dengan
ramai dan megah. Dengan harta kekayaan pangeran serta
kaum hambanya yang tak terhitung banyaknya, segala
sesuatu telah dapat dibereskan dengan baik dan cepat.
Walaupun perintah mengadakan pesta itu baru diberikan oleh
Wanyen Tiang-ci pada malam harinya, tapi besok paginya
ketika ia bangun tidur, istananya yang besar itu sudah
berubah dalam suasana pesta pora yang luar biasa.
Setiap orang tahu Wanyen Tiang-ci sangat sayang kepada,
puteri angkatnya itu, maka begitu berita tentang sang
pangeran hendak mengawinkan puterinya tersiar, seketika
datanglah berbondong-bondong pembesar-pembesar militer
maupun sipil untuk mengucapkan selamat. Bahkan pembesar
yang tidak menerima kartu undangan juga sengaja datang
dengan membawa hadiah perkawinan yang berharga, sudah
tentu dengan maksud mengambil hati Wanyen Tiang-ci yang
berkuasa itu. Pesta perkawinan itu diadakan di tengah taman bunga yang
luas. Taman itu telah dihias sedemikian indahnya, diundang
pula beberapa rombongan pemain sandiwara dan akrobat,
banyak pula seniman dan seniwati dengan aneka atraksinya,
sehingga makin menambah semaraknya suasana pesta.
Di suatu tempat Wanyen Tiang-ci duduk bersama satu meja
dengan sepasang mempelai. Saking banyaknya tetamu
sehingga sepasang pengantin baru itu tidak dapat mendatangi
setiap tamu untuk menyuguhkan arak, maka tamu-tamu yang
duduk agak jauhnya berturut-turut sama datang ke tempat
mempelai untuk mengucapkan selamat kepada Ong-ya dan
kedua orang pengantin baru.
Karena Wanyen Tiang-ci adalah panglima pasukan
pengawal kerajaan, dengan sendirinya diantara tetamu banyak
terdapat perwira-perwira tinggi. Maka tentang Loh Si-hiong
mengalahkan delapanbelas jago pengawal pada ujian kemarin
dulu lantas menjadi bahan pembicaraan yang menarik di
tengah tetamu itu, mereka sama memuji ketangkasan
pengantin lelaki yang jarang terdapat itu.
Ditengah hiruk-pikuk suasana pesta ria itu, tiba-tiba ada
seorang dengan membawa satu cawan arak mendekati
mempelai. Orang ini adalah pangeran muda Wanyen Ting-kok
"Pada hari bahagia adikku ini, aku ingin menyuguh secawan
kepada mempelai lelaki bakal adik iparku," kata Wanyen Tingkok
dengan sikap rada kaku.
Waktu Loh Si-hiong merasa serba salah, tiba-tiba Ting-kok
mendesaknya pula: "Marilah minum!" berbareng ia pegang
tangan Si-hiong yang memegangi cawan arak itu terus dipaksa
minum. Diam-diam ia mengerahkan "Kim-kong-ci-lik" (tenaga
jari sakti), pikirnya hendak meremas remuk tulang
pergelangan Si-hiong agar mendapat malu di depan orang
banyak. Tak tersangka Si-hiong ternyata tidak mengadakan
perlawanan apa-apa, secara wajar ia tenggak habis araknya.
Keruan Ting-kok terkejut dan diam-diam mengakui Si-hiong
memang benar-benar berisi. Tapi karena Si-hiong tidak
mengerahkan tenaga untuk melawan, maka Ting-kok belum
dapat menjajaki sampai dimana sebenarnya kekuatan
saingannya itu.
Melihat kelakuan puteranya itu, Wanyen Tiang-ci mengerut
dahi dan berkata: "Anak Kok, kau sudah terlalu banyak
minum, janganlah bikin kacau."
"Harap ayah jangan kuatir, anak tidak mabuk, sahut
Wanyen Ting-kok. Nyata, ia justru ingin mengacau.
Segera Wanyen Ting-kok menuang pula satu cawan arak
dan ditenggaknya sendiri hingga habis, lalu katanya: "Lohtoako,
kau telah mengalahkan delapanbelas jago pengawal
kerajaan, namamu kini telah menggetarkan seluruh ibukota,
para tamu sungguh ingin tahu kepandaianmu. Mengingat hari
ini kita sedemikian gembira, maka sudilah kau memperlihatkan
beberapa jurus sekadar menambah pengalaman kami."
Karena tidak paham maksud ucapan orang, Si-hiong
melengak dan menjawab dengan tersenyum: "Ah, hanya
sedikit kepandaianku yang tak berarti mana aku berani pamer
disini?" "Harap Loh-toako jangan sungkan-sungkan, kita adalah
kaum persilatan yang mengutamakan ketegasan dan terus
terang. Jika sekiranya kau merasa rikuh, bolehlah aku
mengiringi kau berlatih."
Adalah menjadi kebiasaan rakyat negeri Kim yang gemar
silat untuk ikut berdemonstrasikan kepandaian masing-masing
di tengah pesta, apalagi tuan rumahnya sekarang adalah
panglima pasukan pengawal kerajaan. Keruan ada sebagian
tamu yang mendengar kata-kata Wanyen Ting-kok itu
serentak bersorak menyokong.
Karena tak bisa menolak lagi, terpaksa Loh Si-hiong berdiri.
Waktu itu wakil panglima pasukan pengawal kerajaan yaitu
Pan Kian-hau, kebetulan duduk di depan Wanyen Tiang-ci.
Ketika dilihatnya air muka sang pangeran rada geram, dengan
tertawa segera ia berkata kepada Wanyen Ting-kok: "Saudara
kecil hari ini adalah hari baik adikmu ......"
Belum lanjut ucapannya mendadak Wanyen Ting-kok telah
memotong: "Pan-sioksiok jangan kuatir. Aku hanya berlatih
dengan Loh-toako, masakah kami sampai bertarung sungguhsungguh
dengan senjata segala" Aku tentu akan hati-hati dan
cukup asal tangan menyentuh pihak lawan. Hari ini adalah hari
bahagia adikku, he..he, masakah aku sampai hati membikin
susah mempelai lelaki sehingga mengacaukan malaman
pengantin mereka?" - Habis berkata ia tertawa terbahakbahak.
Diam-diam Loh Si-hiong juga mendongkol, pikirnya
masakah aku jeri kepadamu" Maka dengan langkah lebar
segera ia tampil kedepan.
Kedengaran Wanyen Tiang-ci mendengus satu kali, tapi
tidak membuka suara. Bukanlah dia kuatir puteranya melukai
Loh Si-hiong, sebaliknya ia justru takut kalau Loh Si-hiong
menciderai puteranya itu. Akan tetapi mengingat dengan
kepandaiannya sendiri masih mampu melerai nanti bila perlu,
maka iapun tidak mencegah mereka.
Begitulah para tamu lantas sama menyingkir sehingga
terluang suatu kalangan yang cukup lebar. Mereka sama
mengelilingi kalangan itu untuk menyaksikan pertandingan
yang mereka anggap pasti akan hebat.
Ketika Wanyen Ting-kok memberi tanda, seorang kacung
telah maju membawakan sebatang tongkat bambu
kepadanya. Setelah memegang tongkat bambu itu, dengan
penuh lagak ia berseru: "Loh-toako, senjata apa yang kau
sukai, silakan pilih." - Dibalik kata-katanya itu seakan-akan
sedikitpun ia tidak jeri andaikan Si-hiong hendak
menggunakan senjata tajam.
Tongkat bambu yang dipegang Wanyen Ting-kok itu
berwarna hijau mengkilat dan berbeda daripada tongkat
bambu biasa. Banyak diantara tamu-tamu itu sama memuji
kehebatan pangeran muda itu, sampai sebatang bambu saja
juga sedemikian bagusnya, apalagi benda lain yang menjadi
miliknya. Mereka hanya memuji akan kebagusan bambu hijau itu,
tapi mereka tidak memikirkan dimana letak khasiat tongkat
bambu itu. Bagi mereka, bambu tetap bambu dan pasti tidak
sekuat tongkat yang terbuat dari logam.
Hanya Tokko Hui-hong saja yang diam-diam merasa kuatir,
kalau orang lain tidak kenal asal-usul tongkat bambu itu, maka
dia sendiri cukup mengetahui, sebab tongkat bambu hijau itu
memang benar-benar sejenis senjata yang amat lihay.
Kiranya tongkat bambu hijau itu adalah benda pusaka
keluarga Wanyen Tiang-ci.
Diantara perbatasan Tiongkok dan India, di lereng, bukit
Taji ada tumbuh sejenis "bambu hijau kemala" hijau pupus
mengkilat, kerasnya seperti baja dan mampu menahan
tajamnya senjata logam. Cuma jenis bambu itu sangat sedikit
tumbuhnya, bahkan umur bambu demikian harus ratusan
tahun barulah dapat digunakan. Umumnya jarang orang yang
tahu akan kebagusan bambu hijau demikian itu, andaikan
tahu, untuk mencari bambu yang berumur ratusan tahun juga
tidak gampang. Tongkat bambu Wanyen Tiang-ci itu adalah hadiah seorang
paderi Hindu. Wanyen Tiang-ci terhitung jago Tiam-hiat
terkemuka, sesudah mendapatkan tongkat pusaka itu sungguh
sayangnya ke pati-pati dan tidak sembarangan diperlihatkan
kepada orang luar. Mestinya tongkat bambu ini akan
digunakannya sendiri, cuma terlalu sayang kepada putera
tunggalnya, maka pada waktu Wanyen Ting-kok berulang
tahun ke delapanbelas ia telah menghadiahkan benda pusaka
itu. Tak tersangka anak itu sekarang menggunakan tongkat
pusaka ini untuk melayani Loh Si-hiong.
Diam-diam Tokko Hui-hong merasa kuatir, sebab ia tahu
dengan mengeluarkan tongkat pusaka itu teranglah Wanyen
Musuh Dalam Selimut Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ting-kok bermaksud membinasakan Si-hiong. Sebaliknya Loh
Si-hiong tidak tahu betapa lihaynya "bambu hijau kemala" itu.
Karena menganggap pihak lawan cuma memakai tongkat
bambu, dengan sendirinya ia tidak dapat melolos pedang.
Pikirnya: "Dengan senjata apakah aku melawan dia" Jika
bertangan kosong, pangeran muda yang tinggi hati ini tentu
akan menganggap aku menghina dia."
Sekilas pandang dilihatnya ada seorang anak kecil sedang
memain sebatang pedang kayu. Bocah ini adalah anak
pengurus rumah tangga istana pangeran, tampaknya asyik
main anggar dengan beberapa anak nakal yang lain. Tapi
karena ingin melihat pertandingan pangeran muda mereka,
maka permainan anggar-anggaran anak-anak kecil itu
sekarang sudah berhenti.
Si-hiong mendekati anak kecil itu, katanya dengan tertawa:
"Adik cilik, pinyamkan sebentar pedangmu ya?"
"Baiklah paman, kau boleh pinjam, tapi jangan dibikin
patah ya," sahut bocah itu.
"Tidak, tidak patah, jangan kuatir adik cilik yang baik," kata
Si-hiong sambil mengambil pedang kayu itu dari tangan anak
itu. Lalu ia memberi hormat kepada Wanyen Ting-kok dan
berkata: "Silakan Yang Mulia memberi petunjuk."
"Ah, Loh-toako jangan sungkan-sungkan," sahut Ting-kok
acuh tak acuh dan mendadak tongkatnya terus mengemplang
dari atas. Cepat Si-hiong menangkis dengan pedang-kayunya. Diamdiam
Tokko Hui-hong menduga pedang kayu itu pasti akan
patah terbentur oleh bambu hijau kemala yang kerasnya
sebagai baja itu. Tak tersangka, ketika kedua senjata itu
beradu, keduanya ternyata tiada yang rusak. Pedang kayu itu
seakan-akan lengket di atas tongkat dan ikut berguncang
menuruti daya benturan tongkat. Beberapa kali Wanyen Tingkok
berganti jurus serangan dan pedang kayu lawan masih
tetap seperti lengket di atas batang tongkat bambu. Keruan
kejutnya tak terhingga.
Sebaliknya Wanyen Tiang-ci telah menghela napas lega dan
diam-diam bergirang. Pikirnya: "Loh Si-hiong ternyata telah
menjaga kehormatanku dan tidak mau membikin malu
puteraku."
Iapun tahu bahwa Loh Si-hiong belum kenal betapa
lihaynya tongkat bambu hijau itu. Jika Si-hiong benar-benar
bermaksud bertanding, dengan Ting-kok tentu tongkat itu
akan dianggapnya seperti tongkat bambu biasa dan jurus
pertama tadi saja pasti sudah mengerahkan tenaga dalam
yang kuat dengan maksud menggetar putus tongkat bambu
itu. Dan dengan sendiri, jika dia berbuat demikian, maka yang
patah tentu bukanlah tongkatnya, tapi adalah pedang
kayunya. Namun sekarang pedang kayu itu tidak rusak
sedikitpun, ini membuktikan bahwa Si-hiong tidak
menggunakan tenaga dalam dan tiada niat bertanding
sungguh-sungguh dengan puteranya.
Karena tongkatnya masih terus dilengket oleh pedang
kayunya Loh Si-hiong, wajah Ting-kok menjadi merah,
mendadak ia menggertak satu kali dan mengerahkan segenap
tenaganya ke ujung tongkat, sekali tongkat ditekan ke bawah,
segera ia menutuk ke Koan-tiau-hiat di dengkulnya Loh Sihiong.
Sebagai pemuda yang dilahirkan di keluarga kerajaan, sejak
kecil Wanyen Ting-kok telah tenggelam dalam dunia
kesenangan yang tak terbatas sehingga tidak berlatih silat
sepenuh hati. Dari itulah meski usianya sepadan dengan Loh
Si-hiong namun tenaganya jauh lebih lemah. Walaupun
demikian betapapun ia terhitung putera dari tokoh nomor satu
di negeri Kim, maka permainan tongkatnya juga tidak boleh
dipandang enteng, terutama tutukannya mengarah dengkul ini
tidak boleh dibuat main-main.
Jika Loh Si-hiong mesti mengadu Lwekang dengan
Pangeran muda ini, maka Wanyen Ting-kok tentu akan terluka
parah. Namun Si-hiong tak dapat berbuat demikian, terpaksa
ia melompat ke samping untuk menghindar. Dengan begini
tongkat Wanyen Ting-kok lantas terlepas juga dari lengketan
pedang kayu Loh Si-hiong.
Orang sengaja mengalah, namun Wanyen Ting-kok tak
mau tahu, sebaliknya tongkatnya terus menyerang lebih
gencar, dalam sekejap saja tubuh Loh Si-hiong sudah
terselubung di tengah kurungan bayangan tongkat. Serangan
bertubi-tubi ini membuat Si-hiong rada kelabakan juga
sehingga terpaksa main mundur terus.
Diam-diam Si-hiong terkejut. Bukankah dia kuatir
dikalahkan si pangeran muda ini, tapi terkejut atas hebatnya
Tiam-hiat-hoat keluarga Wanyen itu. Pikirnya: "Kabarnya
kepandaian Tiat-hiat-hoat Wanyen Tiang-ci diperoleh dari
gambar patung tembaga, sesudah mengalami penyelidikan
sekian lamanya oleh mereka, konon yang berhasil dipecahkan
mereka juga tidak lebih dari dua persepuluh bagian.
Kepandaian menutuk Hiat-to Wanyen Tiang-ci diajarkan pula
kepada puteranya, rasanya pangeran muda ini belum
memperoleh separoh dari seluruh kepandaian sang ayah, tapi
ilmu tutuk yang dimainkan pangeran muda ini sekarang sudah
begini lihay, apalagi orang yang sudah dapat memahami
segenap rahasia patung tembaga itu, lantas siapa lagi didunia
ini yang mampu menandingi dia"''
Di sebelah lain Tokko Hui-hong juga terkesiap, dia benarbenar
berkuatir bagi keselamatan Loh Si-hiong. Ia dapat
melihatnya bahwa setiap jurus serangan Wanyen Ting-kok
adalah serangan yang ganas dan mematikan, sekali-kali bukan
pertandingan persahabatan yang biasa.
Meski orang yang betul-betul dicintai Tokko Hui-hong
bukanlah Loh Si-hiong, tapi bila Wanyen Ting-kok sampai
membinasakan Loh Si-hiong, maka dirinya tak terlepas dari
tanggung jawab sebagai orang yang menjadi sebab
musababnya. Dan dirinya mana boleh menyaksikan kematian
Loh Si-hiong gara-gara dirinya.
Dalam pada itu Pan Kian-hau telah berseru memuji:
"Sungguh Keng-sin-pit-hoat yang hebat!"
Kiranya kepandaian Tiam-hiat yang disimpulkan Wanyen
Tiang-ci dari gambar Hiat-to-tong-jin itu telah diberi nama
"Keng-sin-pit-hoat" (ilmu tutukan pengejut malaikat). Ilmu
tutukan ini mestinya harus menggunakan senjata Boan-koanpit,
sejenis potlot baja yang tajam. Tapi dia telah sengaja
pakai cara lain, yaitu menggunakan tongkat bambu sebagai
gantinya potlot baja. Maka ilmu tutukan "Keng-sin-pit-hoat" ini
menjadi lebih-lebih aneh dan sukar dijajaki.
Oleh karena gambar-gambar penjelasan Hiat-to-tong-jin
dipusatkan semua dalam tangan Wanyen Tiang-ci, meski Pan
Kian-hau adalah wakilnya yang diberi tugas memimpin
lembaga penyelidikan itu, namun selama ini ia hanya kenal
"Keng-sin-pit-hoat'' saja dan baru sekarang ia menyaksikan
sendiri untuk pertama kalinya.
Begitulah, dengan tersenyum Wanyen Tiang-ci telah
menjawab: "Ah, hanya begitu saja mana dapat dipuji. Soalnya
Loh-ciangkun sengaja mengalah kepada anak Kok."
Namun Pan Kian-hau setengah ragu-ragu. Sesungguhnya ia
merasa kuatir kalau-kalau Wanyen Ting-kok benar-benar
melukai Loh Si-hiong, suasana pesta pora itu bisa jadi akan
berubah kacau, inilah yang dia pikirkan.
Di tengah macam-macam pikiran para penonton itu,
sekonyong-konyong bayangan hijau berkelebat lebih gencar,
berulang-ulang tongkat bambu Wanyen Ting-kok menghantam
tiga kali dan berulang tiga kali pula Loh Si-hiong tampak
menghindar dengan berjumpalitan. Jumpalitan yang terakhir
hampir-hampir menempel permukaan lantai dan tubuhnya
berputar secepat kitiran menggeser ke samping.
Serentak para tamu bersorak sorai memuji. Mereka tahu
bahwa tongkat Wanyen Ting-kok itu dapat membinasakan
lawannya, sebaliknya mereka menyangka pangeran muda itu
cuma sengaja memamerkan kepandaiannya saja. Kesempatan
yang baik segera, digunakan oleh segolongan hadirin untuk
menjilat kepada Wanyen Tiang-ci, mereka sama memuji ilmu
silat pangeran cilik yang tinggi itu.
Ada lagi sebagian hadirin lantas ingat juga bahwa Lo Sihiong
kinipun sudah terhitung menantu Wanyen Tiang-ci,
maka disamping memuji pangeran muda Wanyen Ting-kok
juga disertai umpakan kepada Loh Si-hiong.
Kalau sebagian besar penonton menyangka Wanyen Tingkok
sengaja pamer kepandaian, adalah Tokko Hui-hong yang
paling tahu bahwa serangan Ting-kok itu benar-benar
serangan maut, tiga kali jumpalitan Loh Si-hiong tadi dikata
telah memakan seluruh kemahirannya barulah lolos dari
lubang jarum. Pada detik yang berbahaya tadi malahan tanpa merasa
Tokko Hui-hong sampai ikut menjerit kuatir. Untung waktu itu
para hadirin juga sedang bersorak memuji sehingga suara
jeritannya tak terdengar.
Namun beberapa orang yang berada di sebelahnya toh
mendengar juga. Segera ada tukang menjilat yang berkata
padanya: "Harap Tuan Puteri jangan kuatir, hanya tongkat
bambu dan pedang kayu saja takkan melukai orang."
Ada lagi seorang wanita bangsawan yang bawel malahan
ber-bisik-bisik dengan kawannya: "Dasar anak perempuan,
kalau sudah kawin tentu bela orang lain. Belum masuk kamar
pengantin saja sudah membela sang suami. Coba jeritan Tuan
Puteri tadi, bukankah dia kuatir kakaknya melukai suaminya.
Padahal tongkat bambu saja masakah bisa membikin cidera
orang?" Sayup-sayup Wanyen Ting-kok juga mendengar suara
jeritan Tokko Hui-hong serta mendengar kisikan wanita
bangsawan bawel itu. Keruan rasa irinya semakin berkobar.
Belum sempat Loh Si-hiong berdiri tegak dari
berjumpalitannya tadi segera Ting-kok menubruk maju pula.
Karena merasa risih mendengar sanjung puji kepada
puteranya, dengan mengerut kening Wanyen Tiang-ci tiba-tiba
berbangkit dan memasuki kalangan. Sekali lengan bajunya
mengebas, tongkat bambu ditangan Wanyen Ting-kok lantas
dirampasnya. Katanya: "Adik iparmu sudah sengaja memberi
muka kepadamu, masakah kau masih tidak mau mengaku
kalah?" Ting-kok melengak penasaran, jawabnya: "Mengapa aku
harus mengaku kalah, ayah?" Didalam hati ia berkata: "Syukur
semua orang menyaksikan bahwa aku telah maksa dia
terguling-guling di atas tanah dan menghindar dengan
kelabakan. Biarpun ayah bermaksud membelanya juga para
hadirin akan memberi keadilan padaku bahwa akulah yang
mengalahkan dia."
Dalam pada itu dengan tersenyum Si-hiong telah berkata:
"Ah, memang ilmu permainan tongkat Pwecu (sebutan bagi
putera pangeran) sangat hebat, hamba terima mengaku
kalah." Habis berkata ia lantas mengembalikan pedang kayu
kepada, anak kecil tadi.
Wanyen Ting-kok sangat senang. katanya: "Ayah, Lohtoako
sendiri juga telah mengaku kalah."
"Hm," Wanyen Tiang-ci mendengus. "Masakah masih tidak
tahu. Coba lihat badanmu sendiri, apakah itu?"
Waktu Ting-kok memeriksa, seketika mukanya menjadi
merah malu. Kiranya di atas mantel putih berbulu rase itu, di
bagian dadanya ada, tiga titik kotoran, waktu dikebas, kotoran
itu lantas rontok. Baru sekarang Wanyen Ting-kok tahu bahwa
ketika Loh Si-hiong berguling-guling di atas tanah tadi telah
sengaja membikin kotor ujung pedang kayunya. Maka tiga titik
kotoran di atas mantelnya itu tak usah disangsikan lagi pasti
ditinggalkan ujung pedang Loh Si-hiong yang telah berhasil
menutuknya tanpa dirasakannya tadi. Melihat gelagatnya, jika
Loh Si-hiong bermaksud membunuhnya dan yang digunakan
adalah senjata tajam betul-betul, maka dapat dibayangkan
dadanya tentu sudah berlubang tiga oleh pedang lawan.
Keruan kejut Ting-kok tak terhingga sehingga berkeringat
dingin. Walaupun didalam hati mendongkol dan penasaran,
namun mau tak mau ia harus tunduk dan mengaku kalah
kepada Loh Si-hiong.
Sedikitpun Si-hiong tidak memperlihatkan rasa congkak,
katanya dengan tersenyum rendah hati: "Kita hanya berlatih di
antara anggota keluarga sendiri untuk meramaikan pesta ini,
mengapa mesti anggap sungguh-sungguh. Jika mau bicara
tentang kalah menang, maka sejak tadi aku sudah kalah
serangan."
Karena ucapan Si-hiong sangat luwes dan tetap menjaga
kehormatan pangeran muda itu, maka rasa dongkol Ting-kok
menjadi jauh berkurang.
Selesai pesta itu, menurut tata tertib atau protokol
kerajaan, sepasang pengantin baru lantas dihantar ke kamar
baru oleh orang-orang tua. Pengantin perempuan masuk
kamar dulu, pengantin lelaki harus tinggal sementara di luar,
nanti sesudah ada dayang keluar mengundang baru
diperbolehkan masuk.
Lantaran isterinya Wanyen Tiang-ci sudah lama meninggal
dunia, mestinya ia boleh minta seorang anggota keluarga
wanita angkatan tua untuk mengantar pengantin perempuan
ke kamar, tapi dia sengaja melakukan sendiri tugas ini. Semua
orang tahu hal ini disebabkan Wanyen Tiang-ci teramat
sayang kepada puteri angkatnya ini, maka tiada seorangpun
yang merasa curiga, sebaliknya sama memuji akan kasih
sayang antara ayah dan puteri angkat itu.
Setelah berada didalam kamar pengantin, tiba-tiba Tokko
Hui-hong berkata: "Ayah, aku ingin bicara padamu."
Segera Wanyen Tiang-ci memberi tanda agar ke empat
dayang mengundurkan diri.
Lalu Tokko Hui-hong mulai bicara: "Selama belasan tahun
ini anak telah banyak menerima budi kebaikan ayah, kini anak
Pendekar Kembar 16 Rahasia Mo-kau Kaucu Karya Khu Lung Pendekar Pemetik Harpa 8
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama